Orientasi Religius Remaja Ditinjau dari Tipe Kepribadian...
Transcript of Orientasi Religius Remaja Ditinjau dari Tipe Kepribadian...
i
ORIENTASI RELIGIUS REMAJA DITINJAU DARI TIPE
KEPRIBADIAN EKSTROVER DAN INTROVER PADA JEMAAT
GEREJA-GEREJA ANGGOTA GEPSULTRA (GEREJA PROTESTAN
DI SULAWESI TENGGARA) DI KOTA KENDARI
OLEH
JOSHUA F. M. MASSIE
80 2011 131
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
1
2
3
4
i
Abstrak
Menggunakan teori Locus of Control (LOC) yang dikembangkan oleh Levenson (1973), penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui LOC pada remaja akhir dengan kecacatan fisik (tuna daksa) dan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi kontrol partisipan. Levenson mengembangkan
teori unidimensional dari Rotter (1954), dimana Levenson membagi membagi dimensi LOC
menjadi tiga yaitu, internality, powerful other dan chance. Jumlah partisipan dalam penelitian ini
adalah dua orang mahasiswa yang memiliki kecacatan fisik. Penelitian dilakukan dengan metode
kualitatif dimana kedua partisipan diwawancarai secara mendalam dengan menggunakan pedoman
wawancara, selain itu model wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan pedoman
umum. Hasil penelitian menunjukkan persamaan dan perbedaan LOC pada partisipan pertama dan
kedua dalam keadaan-keadaan tertentu seperti dalam pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan
terhadap keberhasilan karir di masa depan. Partisipan pertama cenderung memiliki LOC eksternal
dan partisipan kedua cenderung memliki LOC internal. Selain itu, kedua partisipan juga
mempunyai secondary control dan mengembangkan religious coping dalam menghadapi
kekurangan fisik yang mereka miliki.
Kata kunci:Locus of Control (LOC); tuna daksa; secondary control; religious coping
ii
Abstract
Using the theory Locus of Control (LOC) that was developed by Levenson (1973), this study aims
to determine LOC in adolescents with physical disabilities and other factors that influence the
participant’s perception of control. Levenson developed the Rotter’s unidimensional theory
(1954), which are divided into three dimensions: internality, powerful other and chance. The
number of participants in this study were two students who have a physical disability. The study
conducted with the qualitative method in which both participants were depth interviewed by using
interview guide and the model of interviews were interviews with general guidelines. Results: The
results showed similarities and differences LOC of both participant in certain circumstances such
as educational, social relation and expectation of the future career. The first participants are likely
has an external LOC in educational, social relation and expectation of the future career, and the
second participants likely has internal LOC in educational and expectation of the future career,
but has external in social relation. In addition, both participants also have secondary control and
develop religious coping in the face their physical disabilities.
Kata kunci: Locus of Control (LOC); physical disabilities; secondary control; religious
coping
1
PENDAHULUAN
Kehidupan beragama di Indonesia, khususnya agama Kristen Protestan
mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik pada jumlah orang yang memeluk
agama ini maupun pada jumlah gedung gereja di Indonesia. Menurut data yang dilansir
di situs Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), agama Kristen Protestan memiliki
pertumbuhan nasional tertinggi yaitu sebanyak 3,41% dengan jumlah tujuh persen dari
total populasi nasional (16,5 juta jiwa) dengan konsentrasi merata di propinsi Sumatera
Utara, Papua, dan Sulawesi Utara. Selain itu kita juga bisa melihat bagaimana kegiatan-
kegiatan beragama khususnya kegiatan umat agama Kristen yang semakin banyak dan
tidak terlalu ditekan sejak pemerintahan presiden keempat Indonesia KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang memegang teguh Pancasila dan paham pluralisme.
Anggota-anggota gereja terdiri dari berbagai usia mulai dari anak-anak Sekolah
Dasar (SD) yang mengikuti kegiatan Sekolah Minggu gereja, anak-anak Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang mengikuti persekutuan remaja, dan setelah
menyelesaikan SMP maka seseorang akan mengikuti persekutuan pemuda, kemudian
setelah seseorang berkeluarga pengelompokkan persekutuan akan lebih luas seperti
Persekutuan Wanita, Persekutuan Keluarga, dan lain-lain.
Menurut Santrock (2011) usia remaja dimulai sekitar usia 10-12 dan berakhir
pada usia 18-21. Isu-isu mengenai religius sangat penting untuk remaja karena memberi
dampak yang positif seperti komunitas religius yang bisa membuat remaja melakukan
perilaku-perilaku yang secara sosial diterima (Santrock, 2014).
Religius didefinisikan sebagai melakukan dengan penuh kegiatan-kegiatan yang
bersifat praktis dan spiritual (batin, jiwa, dan kualitas moral yang lebih baik) sebagai
bagian dari agama (Kavros dalam Leeming, 2014). Melakukan kegiatan-kegiatan gereja
2
merupakan bentuk dari religiusitas seseorang. Kata religius pertama kali disebut pada
abad ke 12 di Perancis dan berasal dari bahasa Latin religios-us (religio: merujuk kepada
Tuhan, us: penuh dengan). Seseorang dapat dikatakan religius apabila melakukan
kegiatan-kegiatan gereja seperti pelayanan, ibadah, paduan suara, doa, dan lain-lain.
(Kavros dalam Tyler, 2014).
Menurut Allport dan Ross (1967) orientasi religius merupakan proses yang
mengontrol dan mengatur perilaku dari individu sehingga individu tersebut melihat
dirinya sebagai orang yang religius. Allport dan Ross mengidentifikasikan orientasi
religius menjadi dua yaitu orientasi religius ekstrinsik dan intrinsik. Orientasi religius
ekstrinsik adalah agama yang dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan sebagai pemberi rasa
aman, meningkatkan status sosial, penghibur duka, mendukung kepercayaan diri dan
dukungan sosial. Orang dengan orientasi ini biasanya sering ke gereja namun memiliki
ketertarikan yang sedikit untuk berbicara dengan serius tentang makna imannya daripada
tentang keuntungan-keuntungan nyata yang didapat dari agama, sedangkan orientasi
religius intrinsik adalah agama yang dihayati. Iman dipandang bernilai pada dirinya
sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi. Orang dengan orientasi ini akan
menganggap agama ada bukan untuk melayani manusia tapi manusialah yang melayani
agama. Contohnya adalah para martir yang mati karena imannya (Allport dalam Crapps,
1993).
Batson dan Schoenrade (1991) mendefinisikan tiga aspek dari orientasi religius
ekstrinsik yaitu: (1) compartmentalization atau pemisahan agama dari nilai-nilai
kehidupan; (2) social support atau memanfaatkan agama untuk mendapatkan dukungan
sosial; (3) personal support atau memanfaatkan agama melalui doa untuk penghiburan
diri. Aspek dari orientasi religius intrinsik yaitu: (1) integration atau mendekatkan nilai-
3
nilai keagamaan dengan kehidupan; (2) public religion atau kegiatan-kegiatan di gereja
untuk kepentingan agama; (3) personal religion atau doa-doa pribadi untuk kepentingan
agama.
Jung (1953) merupakan yang pertama memformulasikan istilah psikologi yang
disebut ekstrover untuk menjelaskan aliran dari energi psikis ke arah dunia luar baik objek
maupun orang lain. Kata ekstrover berasal dari kata latin yaitu extra dan verte yang berarti
mengarah ke luar (Tyler dalam Leeming, 2014). Jung berteori bahwa ekstrover dan
lawannya, introver sebagai dua dasar, bawaan, dan sikap ke arah dunia luar ini berlaku
sama pada orang-orang dengan dengan tipe ini. Jung mendefinisikan ekstrover sebagai
pergerakan energi psikis atau libido ke arah luar dari subjek ke objek. Ekstrover akan
lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya dibanding oleh kondisi dirinya sendiri.
Orang ekstrover menggunakan dan memperbarui energinya dengan fokus ke arah luar
dan energinya akan terasa terkuras jika terlalu sering menghabiskan waktu seorang diri.
Karakteristik umum dari sikap-sikap ekstrover adalah banyak bicara, berbicara dengan
cepat dan percaya diri, ekspresif, suka bergaul dengan orang lain, mudah bosan, dan
mudah teralihkan perhatiannya.
Introver merupakan istilah psikologi yang digunakan untuk menjelaskan aliran
dari energi psikis ke arah dalam yaitu pikiran dan emosi atau subjek. Kata introver berasal
dari kata latin yaitu introvere yang berarti mengarah ke dalam (Tyler dalam Leeming,
2014). Jung menjelaskan introversi adalah menarik energi psikis atau libido dari objek ke
dalam subjek. Orang-orang dengan tipe kepribadian introver menggunakan dan
memperbarui energinya dengan fokus ke arah dalam dan merasa akan terkuras energinya
jika memfokuskan energinya ke arah dunia luar. Beberapa karakteristik dari introver
adalah kecenderungan untuk memilih kesunyian, kegiatan-kegiatan tunggal, interaksi di
4
dalam kelompok kecil bahkan dengan satu orang saja, lebih suka mendengarkan daripada
berbicara, mudah berkonsentrasi, dan memiliki sifat yang pendiam.
Lebih lanjut Tyler menjelaskan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian
ekstrover membentuk ekspresi keagamaan mencari Tuhan dalam komunitas dengan
orang-orang lain melalui latihan kelompok worship, mendiskusikan konsep-konsep
agama, dan tindakan pelayanan, sedangkan orang-orang dengan tipe kepribadian introver
membentuk ekspresi religius dalam mencari Tuhan dan perjalanan spiritual melalui
kegiatan refleksi dan perenungan seperti meditasi, berdoa sendirian, dan mempelajari
firman Tuhan di dalam kelompok yang kecil.
Jadi perlu diketahui apakah karakteristik-karakteristik dari tipe kepribadian
ekstrover dan introver yang telah disebutkan berhubungan dengan orientasi religius
seseorang. Apakah dengan karakteristik dari tipe kepribadian seseorang akan menentukan
orientasi religius seseorang? Apakah dengan karakteristik introver yaitu seperti memilih
kegiatan tunggal dan interaksi dalam kelompok kecil bahkan satu orang akan membuat
orang itu mengikuti kegiatan gereja untuk hanya mencari Tuhan, membangun relasinya
dengan Tuhan? Begitu juga sebaliknya dengan karakterisitik ekstrover seperti suka
bergaul dengan orang lain dan mudah bosan membuat dia mengikuti kegiatan gereja
karena bosan di rumah dengan kegiatan yang sedikit, ingin mengekspresikan dirinya
dalam kegiatan worship atau paduan suara gereja, dan mencari teman-teman gereja untuk
sekedar ngobrol dan bisa juga mendiskusikan konsep-konsep agama.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Francis (2010a) tipe kepribadian
dihubungkan dengan orientasi religius dan terdapat perbedaan pada introver dan ekstrover
dalam hal orientasi religius yaitu subjek dengan tipe kepribadian introver cenderung
mendapat skor yang tinggi untuk orientasi religius intrinsik, sedangkan subjek dengan
5
tipe kepribadian ekstrover cenderung mendapat skor yang tinggi untuk orientasi religius
ekstrinsik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa orang introvert dan
orang ekstrovert ke gereja dengan alasan yang berbeda, sehingga penelitian yang
dilakukan oleh Francis ini mendukung pernyataan Tyler mengenai ekspresi keagamaan
orang dengan tipe kepribadian introver dan tipe kepribadian ekstrover. Subjek penelitian
yang dilakukan oleh Francis adalah jemaat dewasa, sedangkan pada penelitian ini akan
dilakukan pada subjek remaja. Orientasi religius berbeda-beda pada remaja, dewasa, dan
lansia, khususnya pada remaja yaitu orientasi religiusnya cenderung ekstrinsik (Watson,
dkk., 1988).
Penelitian ini berusaha untuk mengukur hubungan orientasi religius dengan tipe
kepribadian introver dan ekstrover pada anggota gereja remaja, sehingga bisa diketahui
apakah tipe kepribadian seseorang berkorelasi dengan motivasi seseorang untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan gereja.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan positif dan signifikan antara tipe kepribadian introver dengan
orientasi religius intrinsik.
2. Ada hubungan positif dan signifikan antara tipe kepribadian ekstrover dengan
orientasi religius ekstrinsik.
6
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1189 remaja Gepsultra. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan accidental sampling. Jumlah sampel minimal
dalam penelitian ini sebanyak 92 berdasarkan perhitungan menggunakan metode Slovin
(dalam Setiawan, 2007) sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini telah memenuhi
jumlah minimal sampel yang dapat digunakan yaitu sebanyak 100. Karakterisitik subjek
yang dipilih adalah laki-laki atau perempuan dan berusia 17-21 tahun.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi
korelasional. Studi korelasional mengkaji hubungan antara variabel dan memprediksikan
nilai dari satu variabel pada variabel lainnya. Variabel-variabel dalam penelitian ini
adalah:
1. Variabel bebas : Tipe kepribadian ekstrover dan tipe kepribadian introver.
2. Variabel terikat : Orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik.
Instrumen Pengambilan data
1. NIRO
New Indices of Religious Orientation (NIRO) merupakan instrumen yang digunakan
untuk mengukur orientasi religius. Dalam instrumen ini orientasi religius dibagi menjadi
tiga yaitu orientasi religius intrinsik, orientasi religius ekstrinsik, dan orientasi religius
quest. Namun dalam penelitian ini yang akan diukur hanya orientasi religius ekstrinsik
7
dan intrinsik. Instrumen ini dari 9 item orientasi religius ekstrinsik dan 9 item orientasi
religius intrinsik dengan setiap item diskor dengan skala Likert: sangat setuju, setuju,
tidak yakin, tidak setuju, sangat tidak setuju. Dalam Francis (2007) koefisien alfa dari
skala ini adalah: ekstrinsik, 0.84; intrinsik, 0.91. Hal ini berarti kedua skala dalam
instrument ini memiliki koefisien lebih dari minimum yang disarankan menurut Kline
(1993) yaitu 0,70 sehingga bisa dikatakan kedua skala memiliki reliabilitas yang baik.
Untuk melihat validitas konkuren dari instrument ini, maka dikorelasikan dengan
instrumen religiusitas yang lain yaitu skala gabungan dari self-assigned religiosity,
church attendance, dan personal prayer. Koefisien alpha (α) dari validitas konkuren skala
NIRO adalah 0,59 (Francis, 2007). Menurut Azwar (2012) jika koefisien alfa dari
validitas berada di atas 0,35, maka sudah bisa dikatakan baik dan sangat berguna sebagai
skala lain dalam hal ini religiusitas.
2. The Eysenck Personality Questionnaire Brief Version (EPQ-BV)
EPQ-BV merupakan EPQ versi yang lebih pendek dari EPQ-Revised. Dibandingkan
dengan EPQ yang sebelumnya, EPQ-BV memiliki reliabilitas dan validitas yang lebih
baik. Dalam instrument tes ini yang diukur adalah ekstraversi/introversi, neurotik, dan
psikotik namun untuk penelitian ini yang diukur hanya ekstraversi/introversi. Skala
ekstraversi/introversi terdiri dari 12 item dengan setiap item diskor dengan skala Likert:
sama sekali tidak demikian, sedikit demikian, sedang/cukup demikian, sering demikian,
sangat demikian. Reliabilitas skala ekstroversi/introversi adalah 0,87 sehingga bisa
dikatakan baik menurut yang disarankan oleh Kline (1993). Validitas dari EPQ-BV yang
baru ini dihitung dengan cara korelasi dengan EPQ-S yang merupakan instrument yang
8
lebih lama, sehingga dikatakan berkorelasi tinggi dengan EPQ versi sebelumnya yang
didapat adalah 0,88-0,89 (validitas konkuren).
Analisis Data
Analisis korelasional adalah analisis statistik yang berusaha untuk mencari hubungan
antara dua buah variabel atau lebih (Creswell, 2010). Untuk melihat hubungan antar
variabel dilakukan dengan analisis korelasi product moment dilakukan dengan
menggunakan program SPSS.
HASIL
Uji Asumsi
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, variabel orientasi
religius ekstrinsik memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,979 dengan signifikansi sebesar p =
0,979 (p>0,05). Variabel orientasi religius intrinsik memiliki nilai K-S-Z sebesar 1,505
dengan signifikansi sebesar p = 0,022 (p<0,05). Variabel ekstrover memiliki nilai K-S-Z
sebesar 1,085 dengan signifikansi sebesar p = 0,189 (p>0,05). Variabel introver memiliki
nilai K-S-Z sebesar 1,356 dengan signifikansi sebesar p = 0,051 (p>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa data mengenai orientasi religius ekstrinsik, tipe kepribadian
ekstrover, dan tipe kepribadian introver merupakan sebaran data yang berdistribusi
normal, sedangkan data mengenai orientasi religius intrisik merupakan sebaran data yang
berdistribusi tidak normal.
9
Uji Linearitas
Dalam penelitian ini dilakukan uji linearitas kepribadian ekstrover dengan
orientasi religius ekstrinsik dan kepribadian introver dengan orientasi religius intrinsik.
Hubungan kepribadian ekstrover dengan orientasi religius ekstrinsik memiliki sifat linear.
Kesimpulan ini diambil dengan melihat nilai F sebesar 0,048 dengan signifikansi sebesar
0,994 (p>0,05). Sedangkan hubungan kepribadian introver dengan orientasi religius
intrinsik juga memiliki sifat linear. Kesimpulan ini diambil dengan melihat nilai F sebesar
1,036 dengan signifikansi sebesar 0,428 (p>0,05).
Hasil Deskriptif
Kategorisasi Hasil Pengukuran Skala Orientasi Religius NIRO
Orientasi Religius Ekstrinsik
Rata-rata subjek penelitian yang tergolong pada orientasi religius ekstrinsik adalah 30,83
yang berada pada kategori rendah. Berarti rata-rata remaja Gepsultra memiliki orientasi
religius ekstrinsik yang rendah.
Orientasi Religius Intrinsik
Rata-rata subjek penelitian yang tergolong pada orientasi religius intrinsik adalah 34,17
yang berada pada kategori tinggi. Berarti rata-rata remaja Gepsultra memiliki orientasi
religius intrinsik yang tinggi.
10
Kategorisasi Hasil Pengukuran Skala Kepribadian EPQ-BV
Rata-rata partisipan penelitian mendapatkan skor 38,74. Apabila seseorang mendapatkan
nilai total di atas rata-rata maka akan dikategorikan memiliki tipe kepribadian ekstrover.
Apabila seseorang mendapatkan nilai total di bawah rata-rata maka akan dikategorikan
memiliki tipe kepribadian introver. Tipe kepribadian remaja Gepsultra cukup berimbang
antara ekstrover (45%) dan introver (55%).
Uji Korelasi
Tabel Korelasi Orientasi religius dengan Tipe Kepribadian
ekstrinsik intrinsic ekstrover Introver
Spearman's rho
ekstrinsik
Correlation
Coefficient 1.000 -.201 -.531* .264
Sig. (1-tailed) . .265 .038 .204
N 12 12 12 12
intrinsik
Correlation
Coefficient -.201 1.000 -.105 .310*
Sig. (1-tailed) .265 . .246 .011
N 12 88 45 55
*. Korelasi signifikan pada level 0,05.
Berdasarkan hasil uji korelasi yang ditampilkan pada tabel di atas dapat dilihat bahwa
nilai korelasi antara kepribadian ekstrover dengan orientasi religius ekstrinsik adalah
sebesar -0,531 dan signifikansi sebesar 0,038 (p<0,05). Hasil tersebut menunjukkan
adanya hubungan negatif yang signifikan antara kepribadian ekstrover dengan orientasi
religius ekstrinsik. Sedangkan nilai korelasi antara kepribadian introver dengan orientasi
11
religius intrinsik adalah sebesar 0,310 dengan signifikansi sebesar 0,011 (p<0,05). Hasil
tersebut menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara kepribadian
introver dengan orientasi religius intrinsik.
Hasil dari penelitian ini sesuai dengan hipotesis 1 di mana ada hubungan positif
dan signifikan antara tipe kepribadian introver dengan orientasi religius intrinsic, namun
tidak sesuai dengan hipotesis 2 di mana 1 ada hubungan positif dan signifikan antara tipe
kepribadian ekstrover dengan orientasi religius ekstrinsik.
PEMBAHASAN
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan
antara tipe kepribadian introver dengan orientasi religius intrinsik (r = 0,310). Hal ini
berarti seseorang yang introver akan mendapatkan skor yang tinggi pada orientasi religius
intrinsik. Pernyataan ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Francis (2010a) yang
menyatakan bahwa seseorang yang introver akan mendapatkan skor yang tinggi pada
orientasi religius intrinsik, sehingga bisa dikatakan bahwa kedua variabel berkorelasi
positif. Francis (2007b) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki orientasi
religius intrinsik akan menggunakan energinya ke arah dalam yaitu pengalaman religius
orang tersebut. Aspek dari orientasi religius intrinsik tersebut identic dengan aspek dari
tipe kepribadian introver di mana seorang yang introver akan menggunakan dan
memperbarui energinya dengan fokus ke arah dalam.
Hasil uji korelasi menunjukkan tipe kepribadian ekstrover memiliki hubungan
negatif yang signifikan dengan orientasi religius ekstrinsik (r = -0,531). Hal ini berarti
seseorang yang ekstrover akan mendapatkan skor yang rendah pada orientasi religius
ekstrinsik. Namun seseorang dengan orientasi ekstrinsik yang rendah belum tentu
12
memiliki orientasi intrinsik yang tinggi. Bisa saja kedua orientasi seseorang rendah.
Allport & Ross (dalam Nelson, 2010) menyatakan bahwa orientasi religius ekstrinsik dan
orientasi religius intrinsik tidak dapat dipisahkan dan memungkinkan seseorang untuk
memiliki orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik yang tinggi. Orang-orang ini disebut
sebagai indiscriminately pro-religious. Sebaliknya jika seseorang memiliki orientasi
religius intrinsik dan ekstrinsik yang rendah maka disebut sebagai non-religius. Berbeda
dengan tipe kepribadian ekstrover dan introver yang merupakan dua kutub yang berbeda
(bipolar). Allport & Ross (1967) mengkorelasikan variabel orientasi religius ekstrinsik
dengan orientasi religius intrinsik dengan temuan bahwa kedua orientasi religius tersebut
memiliki korelasi yang sangat lemah. Dalam penelitian ini peneliti juga mencoba
mengkorelasikan orientasi religius ekstrinsik dengan orientasi religius intrinsik dan
menemukan bahwa kedua orientasi religius tersebut memang memiliki korelasi yang
sangat lemah. Allport & Ross (1967) melihat orientasi religius ekstrinsik dan orientasi
religius intrinsik bersifat kontinum, sangat jarang seseorang memiliki orientasi religius
ekstrinisik atau orientasi religius intrinsik yang murni, atau dengan kata lain hanya
memiliki satu kecenderungan orientasi religius.
Tipe kepribadian ekstrover tidak serta merta dijadikan sebagai faktor tunggal
dalam menentukan orientasi religius. Menurut Miner (2009) secure attachment bisa
menjadi salah satu faktor yang menentukan orientasi religius seseorang. Seorang yang
memiliki secure attachment dengan orangtuanya akan memiliki kemampuan untuk
membentuk orientasi religius intrinsik yang matang. Sedangkan seorang memiliki
insecure attachment dengan orangtuanya akan memungkinkan orang itu untuk
membentuk orientasi religius ekstrinsik.
13
Berdasarkan hasil uji korelasi, adapun sumbangan efektif yang diberikan oleh tipe
kepribadian introver terhadap orientasi religius intrinsik berdasarkan perhitungan adalah
sebesar 9,61%, sedangkan sumbangan efektif yang diberikan oleh tipe kepribadian
ekstrover terhadap orientasi religius ekstrinsik berdasarkan perhitungan adalah sebesar
28,16%. Ini berarti tipe kepribadian introver memiliki konstribsi sebesar 9,61% terhadap
orientasi religius intrinsik sedangkan 80,39% dipengarui oleh faktor lain di luar tipe
kepribadian introver. Tipe kepribadian ekstrover memiliki kontribusi sebesar 28,16%
terhadap orientasi religius ekstrinsik sedangkan 71,84% dipengaruhi faktor lain di luar
tipe kepribadian ekstrover. Faktor-faktor lain itu seperti kesehatan mental, budaya, dan
nilai-nilai agama itu sendiri (Francis, 2010b).
Berdasarkan penelitian didapati bahwa sebaran tipe kepribadian pada remaja
Gepsultra cukup berimbang, yaitu ekstrover (45%) dan introver (55%). Sedangkan untuk
orientasi religius, remaja Gepsultra mayoritas memiliki orientasi religius intrinsik yaitu
88% dan sisanya hanya 12% yang memiliki orientasi religius ekstrinsik. Peneliti
menemukan sedikit remaja Gepsultra yang memiliki orientasi religius ekstrinsik. Wiebe
dan Fleck (1980) mengatakan bahwa orientasi religius ekstrinsik berkorelasi positif
dengan non-religius. Bisa dikatakan bahwa jika peneliti mengambil remaja yang
merupakan anggota gereja, maka mereka kemungkinan tidak masuk ke dalam kategori
non-religius. Jika partisipan tidak masuk dalam kategori non-religius maka akan sulit
untuk didapati partisipan yang memiliki orientasi religius ekstrinsik.
14
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara orientasi
religius ditinjau dari tipe kepribadian ekstrover dan introver pada remaja Gepsultra, maka
dapat disimpulkan:
1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara tipe kepribadian ekstrover dengan
orientasi religius ekstrinsik pada remaja anggota Gepsultra di Kota Kendari.
2. Ada hubungan positif yang signifikan antara tipe kepribadian introver dengan
orientasi religius intrinsik pada remaja anggota Gepsultra di Kota Kendari.
3. Sebagian besar remaja Gepsultra memiliki orientasi religius ekstrinsik pada
kategori sangat rendah dengan jumlah 8 orang dan persentase 66,67%,
sedangkan sebagian besar remaja Gepsultra memiliki orientasi religius intrinsik
pada kategori tinggi dengan jumlah 31 orang dan persentase 35,23%.
4. Sebaran tipe kepribadian remaja Gepsultra di Kota Kendari cukup berimbang,
yaitu ekstrover (45%) dan introver (55%).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta mengingat masih banyaknya keterbatasan
dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:
a. Bagi gereja
Nilai-nilai agama bisa meningkatkan fungsi sosial dan menurunkan perilaku
berisiko remaja. Gereja perlu menekankan perhatian terhadap anggota jemaatnya yang
remaja. Gereja dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan gereja baik secara kualitas maupun
15
kuantitas. Gereja perlu memperhatikan kegiatan-kegiatan religius bukan hanya yang
melibatkan orang namun yang bersifat tunggal karena remaja Gepsultra yang sebagian
besar memiliki orientasi religius intrinsik. Selain itu perlu dilakukan komunikasi yang
tetap antara gereja dan orangtua. Bisa dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan
kepada orang tua mengenai membangun relasi bersama anak dengan tambahan nilai-nilai
religius agar dapat membangun orientasi religius anak yang nantinya intrinsik.
b. Bagi pihak orangtua
Untuk membangun orientasi religius intrinsik yang merupakan motivasi beragama
yang dewasa. Orang tua perlu menekankan pada kualitas hubungan dan kelekatan mereka
dengan anak mereka. Kualitas hubungan dan kelekatan antara anak dan orangtua sejak
belia dapat membangun orientasi religius intrinsik sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Miner (2009). Selain itu sejak dini orang tua perlu melibatkan anak dalam
kegiatan-kegiatan religius di gereja atau mengajarkan tentang nilai-nilai agama, tanpa
melihat kecenderungan anak apakah anak tersebut memiliki tipe kepribadian introver
yang lebih senang di rumah atau ekstrover yang lebih senang kegiatan di luar rumah.
Orang tua bisa mengajak anak sejak kecil untuk mengikuti sekolah minggu atau
memberikan bacaan religius yang sesuai dengan usia anak.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya perlu mencari faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
orientasi religius intrinsik selain daripada tipe kepribadian dan attachment. Jika melihat
kontribusi tipe kepribadian introver sebesar 9,61% terhadap orientasi religius intrinsik,
maka orientasi religius intrinsik 90,39% dipengaruhi faktor lain. Tipe kepribadian
ekstrover memiliki kontribusi sebesar 28,16% maka orientasi religius ekstrinsik 71,84%
dipengaruhi faktor lain. Faktor-faktor yang memiliki kontribusi terhadap orientasi religius
16
ini seperti kesehatan mental, budaya dan nilai-nilai agama. Penelitian ini bisa menjadi
masukan untuk penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
lain tersebut.
17
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice.
Journal of Personality and Social Psychology, 5, 432-443.
Batson, C. D., & Schoenrade, P. A. (1991b). Measuring religion as quest: Reliability
concerns. Journal for the Scientific Study of Religion, 30, 430–447.
Crapps, R. W. (1993). Dialog psikologi dan agama: Sejak William James hingga Gordon
W. Allport. Yogyakarta: Kanisius
Creswell, J. W. (2010). Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of personality (7th ed.). New York: McGraw Hill.
Francis, L. J. (2007). Introducing the New Indices of Religious Orientation (NIRO):
Conceptualization and measurement. Mental Health, Religion & Culture, 10, 585–
602.
Francis, L.J., Village, A., Robbins, M., & Ineson, K. (2007). Mystical orientation and
psychological type: An empirical study among guests staying at a Benedictine
Abbey. Studies in Spirituality, 17, 207–223.
Francis, L. J., et al. (2010a). Psychological type and religious orientation: do introvers
and extraverts go to church for different reasons? Mental Health, Religion &
Culture, 13, 821–827.
Francis, L. J., et al. (2010b). Religious orientation, mental health, and culture: conceptual
and empirical perspectives Mental Health, Religion & Culture, 13, 659-666.
Jaume, L., et al. (2013). Religious as quest and its relationship with intrinsic and extrinsic
orientation. International Journal of Psychological Research, 6, 71-78.
Jung, C.G. (1953). Psychological types or the psychology of individuation. New York:
Pantheon Books
Leeming, D. A. (Ed.). (2014). Encyclopedia of psychology and religion. New York:
Springer
Miner, M. (2009). The Impact of Child-Parent Attachment, Attachment to God. Journal
of Psychology and Theology, 37, 114-124.
Nelson, J. M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. New York: Springer
18
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th ed.). New York: McGraw Hill
Education
Santrock, J. W. (2014). Adolescence (15th ed.). New York: McGraw Hill Education
Sato, Toru. (2005). The Eysenck Personality Questionnaire Brief Version: Factor
Structure and Reliability. The Journal of Psychology, 139, 545–552.
Siahaan, B. T. Membaca Demografi Agama-agama di Indonesia. Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia. Diambil dari http://pgi.or.id/kegiatan-dan-pelayanan-
pgi/membaca-demografi-agama-agama-di-indonesia
Watson, P. J., et al. (1988). Age and Religious Orientation. Review of Religious Research,
29, 271-281.
Wiebe K. F., & Fleck, J. R. (1980). Personality Correlates of Intrinsic, Extrinsic, and
Nonreligius Orientations. The Journal Psychology, 105, 181-187.