PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN … · Lahan gambut perkebunan kelapa sawit: ketebalan
Organ Tanaman Yang Terganggu Akibat Asam Organik Dari Lahan Gambut Dan Perbedaan Lahan Gambut Dengan...
-
Upload
agintakeliat -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
description
Transcript of Organ Tanaman Yang Terganggu Akibat Asam Organik Dari Lahan Gambut Dan Perbedaan Lahan Gambut Dengan...
LAPORAN DISKUSI FISIOLOGI TUMBUHAN
SEMESTER GENAP
TAHUN AJARAN 2014/2015
ORGAN TANAMAN YANG TERGANGGU AKIBAT ASAM ORGANIK DARI LAHAN GAMBUT DAN PERBEDAAN LAHAN GAMBUT DEGAN LAHAN MINERAL
NAMA : AGINTA PUTRI REHULINA KELIAT
140410120037
KELOMPOK 9
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia istilah gambut diambil dari kosa kata bahasa Kalimantan Selatan (Suku
Banjar) yang berarti material dan bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan
basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya mengalami sedikit perombakan
(Noor, 2007 dalam Yuleli, 2009). Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi
bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu
yang cukup lama. Menurut Driessen, gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan
organik lebih dari 65 % (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Pengelolaan
Lahan Gambut Nasional, 2006)
Gambut juga sering disebut rawa gambut yang diartikan sebagai lahan basah. Namun
tidak berarti semua lahan basah adalah lahan rawa atau lahan gambut. Dalam klasifikasi tanah
(soil taxonomi), tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos = jaringan) atau
sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis
tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan
asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001 dalam Yuleli, 2009).
Lahan gambut di Indonesia cukup luas ± 17 juta hektar (Tjahjono, 2007 dalam Yuleli,
2009). Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta
ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di
empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil
ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%( Radjagukguk, 1992; 1995 dalam Ratmini, 2012).
Lahan gambut memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lahan lain
(Notohadiprawiro, 2006). Namun demikian, lahan gambut apabila dikelola dengan baik, tetap
dapat diusahakan sebagai lahan pertanian Menurut Mawardi et al, (2001), secara umum sifat
kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil
akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi
tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses
metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu
secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini
akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi
dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas (Nugraheni,
2008).
BAB II
ISI
2.1 Organ Tanaman Yang Terganggu Akibat Asam Organik Dari Lahan Gambut
Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan
kisaran pH 3 - 4. Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat
masam dengan pH <4,0. Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam-asam
organik yang terdapat pada koloid gambut. Kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah
gambut menyebabkan rendahnya ketersediaan hara makro dan mikro karena dekomposisi
bahan organik pada keadaan anaerob membentuk senyawa-senyawa kompleks dengan asam
organik (senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan tingginya kemasaman gambut
sehingga sulit digunakan oleh tanaman. Selain itu, tingkat kemasaman tanah gambut juga
berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organik lainnya, yaitu asam humat dan asam
fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990). Asam organik sangat tinggi, sebagian
bersifat racun (asam fenolat dan turunannya) yang bersifat fitotoksik.
Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif
karboksil dan fenol yang bersifat sebagai asam lemah. Diperkirakan 85-95% sumber
kemasaman tanah gambut disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.
Terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat ini dapat meracuni tanaman pertanian
(Sabiham, 1996).
Asam-asam fenolat
Tanah gambut di Indonesia umumnya terbentuk dari kayu-kayuan yang mempunyai
kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tanah gambut yang berada di
daerah beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976; Driessen, 1978). Dekomposisi tanah
gambut kayu-kayuan kaya lignin dalam keadaan anaerob selain menghasilkan asam-asam
alifatik juga menghasilkan asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat
racun bagi tanaman (Kononova, 1968; Tsutsuki dan Ponnamperuma, 1987, Tsutsuki dan
Kondo, 1995). Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah asam
vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam syringat
(Tsutsuki, 1984). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat
fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978;
Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984). Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh menghambat
perkembangan akar tanaman dan penyediaan hara di dalam tanah.
Contohnya: Hartley dan Whitehead (1984), mengemukakan bahwa asam-asam
fenolat pada konsentrasi 250 μM menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman
barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh
tanaman gandum, serta asam ferulat pada konsentrasi 500-1.000 μM menurunkan serapan
fosfor pada tanaman kedelai. Konsentrasi asam fenolat sebesar 0,6-3,0 μM dapat
menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50%, sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga
0,1 μM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Takijima 1960, dalam Tsutsuki,
1984). Sedangkan pada p-hidroksibenzoat konsentrasi 180 μM tidak berpengaruh terhadap
tanaman tebu, tetapi pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 μM berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar tanaman tebu.
Sumber kemasaman pada tanah gambut tidak hanya berasal dari asam-asam organik
melainkan adanya ion-ioh hidroksil pada tanah gambut seperti Al, Fe dan Si. Unsur-unsur ini
jika berikatan dalam senyawa membentuk reaksi kimia maka akan membentuk ion H+. yang
akan menyebabkan tanah gambut menjadi semakin masam. Tanah gambut yang masam
menyebabkan berkurangnya ketersediaan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo didalam tanah
dan organisme didalam tanah mejadi sulit hidup. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur
mikro yang seringkali sangat kurang, sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium
tinggi dan ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini sedikit. Ketersediaan unsur
beracun yang melimpah seperti Al, Fe dan Si pada tanah gambut dikarenakan tanah yang
masam menyebabkan tanaman yang dibudidayakan di atas lahan gambut kekurangan hara
dan keracunan sehingga tidak dapat hidup. Contoh: pada tanaman jagung, ketela pohon dan
kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut mengalami kekahatan Cu, karena senyawa
fenolat membentuk komplek dengan Cu, sehingga Cu tidak tersedia bagi tanaman.
Kondisi tersebut dapat diatasi dengan beberapa metode, diantaranya dengan
Ameliorasi yang diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan
asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah
mineral, pupuk kandang, abu jerami dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan
amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002;
Salampak, 1999). Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu, dan Zn)
seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai sangat efektif mengurangi dampak
buruk asam fenolat (Salampak, 1999; Sabiham et al., 1997). Penambahan kation polivalen
seperti Fe dan Al akan menciptakan pertukaran ion bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi
kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995).
Penambahan Al, Fe, dan Cu (ion-ion logam) cenderung menurunkan jumlah total
asam-asam organik yang bersifat beracun karena terbentuknya kompleks organokation
sehingga pH akan meningkat dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman lebih tersedia
dan fotosintesis akan meningkat. Di samping itu, dengan naiknya pH tanah gambut, aktivitas
organisme yang berasal dari M-Bio dan miroorganisme alami tanah akan meningkat. Dengan
demikian, proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari tanah gambut dapat
berlangsung dengan baik sehingga perakaran tanaman berkembang maksimal dan mampu
mengabsorbsi unsur hara, terutama N, P, K, Ca, dan Mg.
Ketersediaan unsur hara Nitrogen (N), Fosfor (P) , dan K (Kalium) yang dapat
mengaktifkan pembelahan sel pada titik tumbuh tanaman dan perkembangan jaringan
pembuluh yang akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman serta mempengaruhi
transport hara dan air (Sarief, 1986). Selain itu keberadaan unsur N yang cukup juga dapat
meningkatkan sintesis protein untuk pembelahan dan pembesaran sel pada primordia daun.
Ketersediaan unsur N dalam tanah berfungsi sebagai salah satu unsur yang dbutuhkan untuk
pembentukan klorofil sehingga berpengaruh pada laju fotosintesis. Hasil fotosintesis yang
meningkat menghasilkan senyawa – senyawa organik yang ditranslokasikan keseluruh organ
tanaman ( Lakitan, 2001 dalam Herfyany, 2013). Unsur P berperan dalam proses fotosntesis,
respirasi, dan penyimpanan energi. Selain itu ketersedian unsur P pada media tanam dapat
merangsang pembentukan bunga yang banyak serta merangsang perkembangan primordia
organ vegetatif menjadi organ generatif (Rukmana, 2002 dalam Herfyany, 2013). Unsur K
berperan aktif terhadap penyerapan air, sehingga memperlancar proses metabolisme (Tisdale,
1975 dalam Herfyany, 2013). Susilo (1991) mengatakan bahwa pertumbuhan suatu tanaman
berkaitan dengan ketersediaan unsur hara dan air dalam tanah yang diserap oleh akar.
Contoh: Pemberian abu jerami padi dan pupuk kandang sapi pada tanaman kedelai mampu
meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah yang baik untuk merangsang
pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman dan jumlah daun.
2.2 Perbedaan Lahan Gambut Dengan Lahan Mineral
Tanah mineral adalah tanah yang terbentuk dan berkembang dari bahan mineral,
melalui proses pelapukan, baik secara fisis maupun kimia, dibantu oleh pengaruh iklim,
menyebabkan batuan terdisintegrasi menjadi bahan induk lepas, dan selanjutnya dibawah
pengaruh proses-proses pedogenesis berkembang menjadi tanah (Ilham, 2013).
Tanah mineral berbeda dengan tanah gambut dalam hal kandungan C, pH, struktur,
berat isi, sebaran karbon dalam profil tanah dan tingkat kemudahannya terbakar. Pada
kandungan C-organik tanah gambut berkisar antara 18 – 60 %; sedang tanah mineral
mengandung C-organik berkisar antara 0,5 – 6 %. Kisaran pH tanah mineral biasanya
terdapat antar pH 3,5 sampai 10 atau lebih, untuk tanah gambut kisaran pH nya adalah sekitar
kurang dari 3,0. Dilihat dari strukturnya tanah gambut tidak berstruktur dan tidak membentuk
bongkahan, sedangkan tanah mineral berstruktur dan membentuk bongkahan. Berat isi tanah
gambut berkisar antara 0,03 – 0,3 g/cm3 dan dalam keadaan ekstrim bisa < ,01 dan > 0,4
g/cm3, sedangkan tanah mineral memiliki berat isi berkisar antara 0,6 – 1,5 g/cm3. Pada
tanah gambut karbonya tersebar di seluruh permukaan, sedangkan pada tanah mineral
kandungan karbonnya terkonsentrasi pada lapisan 0 – 30 cm dari permukaan. Tanah gambut
memiliki kerapatan massa yang lebih bila dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut
mudah terbakar, sedangkan tanah mineral tidak mudah terbakar. Pada tanah gambut
kandungan C-organik dan berat isi (BI) per lapisan dari permukaan sampai lapisan dasar
gambut, sedangkan pada tanah mineral kandungan C-organik dan berat isi (BI) pada
kedalaman 0,1 m atau 0,03 m. Berbeda dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah
gambut adalah fase cairnya, bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari
gambut terdiri dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus
fungsional yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Sehingga apabila gambut kering
akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat hidrofobik.
BAB III
KESIMPULAN
Lahan gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 %
(berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m yang menyebabkan tingkat kemasaman
yang dimiliki cukup tinggi.
1. Tingkat kemasaman yang cukup tinggi ini disebabkan oleh kandungan asam-asam
organik yang terdapat pada koloid gambut dan rendahnya ketersediaan hara makro
dan mikro karena dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob.
2. Sumber kemasaman pada tanah gambut tidak hanya berasal dari asam-asam organik
melainkan adanya ion-ioh hidroksil pada tanah gambut seperti Al, Fe dan Si.
3. Tingkat kemasaman yang cukup tinggi ini menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat terutama pada organ akar, dikarenakan asam oganik bersifat fitotoksik bagi
tanaman.
4. Tingkat kemasaman ini dapat diatasi dengan metode Ameliorasi, yaitu penambahan
Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu, dan Zn). Metode ini
diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam
organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik.
5. Tanah gambut dan tanahmineral berbeda dalam hal kandungan C, pH, struktur, berat
isi, sebaran karbon dalam profil tanah dan tingkat kemudahannya terbakar
6. Bagian yang aktif dari tanah gambut adalah fase cairnya. Fase cair dari gambut terdiri
dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus fungsional
yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Sehingga apabila gambut kering
akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat hidrofobik.
DAFTAR PUSTAKA
Agrica. 2009. Reaksi Tanah. http://agrica.wordpress.com/2009/01/03/reaksi-tanah/
Agus, dkk. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Malang : Universitas
Brawijaya
Balai Penelitian Tanah. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor : Indonesia
Mayerni, Reni. 2004. Pertumbuhan Dan Hasil Rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud.) Yang Diberi Raw Mix Semen Dan Mikroorganisme Efektif M-BIO Pada Tanah Gambut. Bandung : Universitas Padjadjaran
Nurida, L.N., A.Mulyani dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor : Indonesia
Ratmini, Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian. Palembang : Universitas Sriwijaya
Subiksa, dkk. 2008. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan. Medan : Universitas Sumatra Utara