ORDE BARU
-
Upload
aminudin-abdul-wahab -
Category
Documents
-
view
49 -
download
0
description
Transcript of ORDE BARU
ORDE BARU
Dalam pemerintahan Order baru, muncul otoriterisme. Bentuk politik Orde Baru mirip
dengan ciri-ciri Bureaucratic-polity (Jackson, 1978) atau Otoriterian- Bureaucratic
(Robinson, 1977) yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. dominasi peranan ketenteraan (militer) dalam pemerintahan.
2. pengambilan keputusan hanya terbatas pada kelompok teknorat dan birokrat.
3. Pemerintahan ini didukung oleh enterpreneurship oligopolistik dan kelompok
bisness international.
4. massa dimobilisasikan.
5. wartawan (pers) dan oposisi dikendalikan dengan cara-cara represif.
Ciri-ciri Biroktasik-Otoriter atau Birokratik Politik tersebut apa akhirnya
menempatkankan pemerintahan pada position yang sangat kuat dan dominan, tidak
lain sebagai penjelmaan kekuatan negara. Meskipun begitu, dari sudut lain telah
melemahkan peranan kekuatan masyarakat. Akibat logik dari menguatnya peranan
negara adalah hilangnya Check and Balances dalam pembentukan kekuasaan.
Dalam hal ini Benda (1964) berpendapat bahawa kemunculan Otoriterisme dalam
pemerintahan jauh berakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Benda melihatmunculnya
Otoriterisme di Indonesia sebagai kebangkitan kembali tradisi politik asli (esp. Jawa)
sejak zaman sebelum penjajahan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ben
Anderson (1972) bahawa pengaruh budaya politik. Feudalisme Jawa sangat mewarnai
baik rejim Demokrasi Terpimpin mahupun Orde Baru. Pada initinyw kedua pendapat ahli
tersebut ingin mengemukakan bahawa ada kesamaan dan kesinambungan budaya politik
pada kedua rejim tersebut iaitu pemperkuatkan dan memperkukuhkan budaya
otoritarian.
Perkara ini memperjelaskan bahawa wujud hubungan yang cukup kuat terhadap
fenomena kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa era Demokrasi Terpimpin,
Soekarno membubarkan DPR, serta mengangkat anggota MPR yang langsung ditunjuk
oleh Soekarno sendiri. Langkah ini adalah proses awal terhadap pelecehan terhapa
Kedaulatan Rakyat serta menyimpang dari UUD 1945. Orde Lama melakukan
pembungkaman terhadap pers serta tindakan represif terhadap lawan-lawan politik,
bahkan sampai pada tindakan Soekarno membekukan parti politik (Masyumi dan PSI)
yang sangat kritis terhadap dasarnya. Proses ideologi NASAKOM dalam kehidupan
sosial politik ketika itu yang tidak lebih sebagai upaya membangun kesedaran politik
beku, telah menjadi alat represif, menekan lawan-lawan politiknya. Di samping itu,
proses ideologi tersebut pada akhirnya hanya untuk membangun loyalitas dan dukungan
politis terhadap dirinya, hingga ia diangkat sebagai Presiden seumur hidup. Tidaklah
menghairankan apabila Bung Hatta kemudian mengkritik langkah-langkah dan perilaku
politik Soekarno sebagai seorang diktator.
Pada awalnya Orde Baru pemerintahan Soeharto bertekat melakukan pembaharuan
terutama dalam bidang poltik dan ekonomi. Reconstruction dibidang politik, seperti
penyerderhanaan sistem kepartian dengan 3 parti politik PPP, GOLKAR. PDI,
dasar massa mengambang dan asas tunggal pancasila.
Reconstruction tersebut dilakukan sebagai prasyarat bagi terciptanya politik untuk
keperluan pembangunan khususnya d sektor ekonomi.
Stability politik memang berhasil dicapai secara gemilang dengan angka pertumbuhan
ekonomi dari 6 hingga 7 %. Keberhasilan pembangunan dalam era Orde Baru, tersebut
merupakan keberhasilan Soeharto dalam memimpin bangsa Indonesia.
Ali Murtopo kemudian mempelopori penganugerahan gelar sebagai “Bapak
Pembangunan Indonesia “ kepada Soeharto.
Dari aspek budaya pula, lebih mencerminkan bentuk neo-feudalime, sebagai suatu ciri
dan tradisi kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lalu yang menganggap raja atau
pemimpin sebagai dewa yang sangat berjasa dalam menyelamatkan rakyat. Kerana itu,
seorang raja memiliki Legitimasi Kekuasaan dengan Otoriti tidak terbatas.
Di sebalik keberhasilan membangun stability politik dan pertumbuhan eknomi selama
pemerintahan Orde Baru, terdapat kondisi paradoks sebagai hasil dari proses
pembangunan politik.
# Iaitu, melemahnya kekuatan sosial masayarakat serta lumpuhnya
kedaulatan rakyat yang tercermin pada institusi politik seperti Pers, Parti
politik yang mengimbas pada peranan dan fungsi DPR dan MPR.
Sementara dari segi lain, kedudukan nagara semakin kukuh sebagai instrumen
kepentingan elit militer (tentera), birokrasi dan pengusaha.
Pengisian jabatan-jabatan politik baik dalam birokrasi mahupun lembaga politik di luar
birokrasi lebih mencerminkan suatu hubungan patrimonial iaitu suatu hubungan
“patron” dan “klien” yang bersifat familier dan personal. Dengan kata lain,
kedudukan elot pemerintahan menjadi patron bagi elit politik masyarakat sehingga
“budaya restu” sebagai bentuk imbalan (balasan) atas loyaliti (kesetiaan). Pengabdian
kepada penguasa telah menjadi sumber legitimasi politik bagi pejabat atau politikus yang
ingin meniti karier politik.
Budaya politik sedemikian baik secara langsung mahupun tidak langsung telah
mereduction derajat keterwakilan rakyat. Representativenesspolitik seperti itu jelas tidak
didasarkan pada pertimbangan rasional iaitu sejauh mana seseorang memiliki capability
(kebolehan/kemampuan), acceptability (dapat diterima) dan integrity. Akibatnya, dalam
fungsi lembaga perwakilan politik yang lebih menonjol adalah keterwakilan kepentingan
penguasa daripada kepentingan rakyat.
Dalam era Orde Baru, Pemilu telah dilaksanakan sebanyak 6 kali: 1971, 1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997. dan sekaligus menghasilkan 6 kali badan legislatif. Selama masa
pemerintahan Orde Baru terlihat kecenderungan untuk memperkuat kedudukan eksekutif
seperti yang telah diwariskan Orde Lama.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Orde Baru juga melakukan rekayasa politik untuk
memantapkan kedudukan pemerintah. Hal ini dengan jelas dapat dilihat mulai dari
Pemilu pertama 1971 sampai Pemilu terakhir 1997.
Dalam kesemua Pemilu itu, Golkar selalu memenangi majoriti suara melalui strategi
campuran antara persuasi dan represi (Liddle, 1973). Intervention pemerintah ke dalam
DPR terlalu berlebihan, sehingga mengakibatkan lemahnya fungsi DPR di dalam
manjlankan tugasnya.
Selain itu, 1973, pemerintah memaksa kehendaknya untuk memfusikan parti-parti politik
yang ketuka itu berjumlah 9 partipolitik. Ke-9 parti politik tersebut dijadikan 2 iaitu Parti
Persatuan Pembangunan (PPP) yang menrupakan gabungan dari parti Parmusi, NU, PSII
dan Perti dan Parti Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI,
IPKI, PARKINDO, Parti katolik dan Murba. Di dalam perjalannya, kedua parti ini tidak
diberi kesempatan oleh pemerintah untuk memainkan perananya dalam percaturan politik
Indonesia.
Pemerintah juga mengintervension untuk memastikan siapa yang boleh dan siapa yang
tidak boleh dijadikan pimpinan parti. Bersamaan dengan itu, konflik yang terjadi di daam
tubuh parti-baik konflik yang terjadi secara internal maupun yang direkayasa-selalu
dicampuri oleh pemerintah. Dalam menyelesaikan konflik di tubuh parti, pemerintah
yang semestinya bertindak sebagai penengah, telah memihak kepada kelompok tertentu
sahaja.
Selain itu, intervensi militer melalui pengangkatan personal TNI (ABRI) untuk
mendukung kepentingan politik pemerintah semakin melemahkan kedudukan DPR.
Begitu juga halnya dengan pengangkatan personal militer dalam pelbagai position sivil,
mulai dari jabatan Lurah hingga Gabenur, begitu juga dengan jabatan2 penting yang ada
di departmen.
Pengangkatan legislatif oleh eksekutif dilakukan melalui perubahan susunan anggota dan
tata tertib DPR. Dalam tata tertib ada anggota DPR yang diangkat oleh pemerintah sepert
yang terlihat dalam DPR hasil Pemilu 1971, 1977 dan 1982, jumlah anggota DPR adalah
362 baik yang berasal dari TNI (ABRI) dan dari GOLKAR non TNI (ABRI). Ha ini
dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kepentingan politik militer.
Kemerosotan Nilai-nilai Civility (Ketertiban/kesopanan)
Dari struktur politik rijim Orde lama dan Orde Baru telah menampakkan eksesnya yang
paling nyata dalam kehidupan bebangsa dan bernegara, iaitu melemahnya penegakkan
nilai-nilai civility.
Maksudnya, membangun sistem politik yang demoktarik haruslah ditopang (disangga)
oleh budaya politik yang demokratik pula. Dalam proses tersebut, nilai-nilai civility
merupakan asas nilai-nilai atau budaya politik yang sangat signifikan.
Perkembangan proses sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat sangat mempengaruhi
terhadap pembentukan budaya dan struktur politik dalam suatu sistem politik. Menurut
Kolberg (1969), pembentukan budaya politik sangat berkait rapat dengan moral growth
suatu bangsa. Ia menjelaskan bahawa pertumbuhan moral seseorang dalam politik
terbahagi ke dalam 3 (level) tahap iaitu:
Level Preconventional = tingkah laku seseorang bukan ditentukan oleh norma, tetapi
kekuasaan, rasa takut, mengikut kehendak orang lain. Pada
saat itu, seseorang lebih mengutamkan untuk menghindari
dahulu daripada hukuman penguasa. Selanjutnya, ia hanya
berusaha memaksimakan perolehan material dan memberi
dukungan kepada struktur kekuasaan yang
menguntungkannya.
Level Conventional = seseorang cenderung memasukkan dirinya pada fenomena
conformise dan stereotype yang berkembang dalam
tingkah laku majoriti yang dipandangnya mempunyai
hubungan langsung dengannya. Tahap berikutnya, ia
akan mendekatkan diri pada struktur kekuasaan,
orientasinya pada otority, pemeliharaan norma.
Level Post conventional = seseorang akan berfikir dan bertingkah laku tidak hanya
didasarkan pada convention (adat kebiasaan) belaka,
melainkan lebih menaruh recpect terhadap
berkembangnya kesedaran politik yang hakiki. Serta
dominannya peranan hati nurani. Kesedaran moral dalam
melakukan tindakan politik. Di sinilah hakikatnya
“civility” dalam kehidupan politik.
Dalam perkembangan politik yang kita saksikan, budaya politik yang berkembang
selama Orde Lama dan Orde Baru selama hampir 40 tahun baru pada peringkat
Preconventional dan Conventional. Kedua bentuk budaya politik tersebut memiliki watak
yang sama dengan ciri-ciri budaya feudalisme dan otoriterian, iaitu faktor kekuasaan
lebih dominan berbicara daripada moral, sehingga kerap menggunakan cara-cara
kekerasan.
Pada masa Orde Lama kelompok kekuatan sosial politik yang tidak sejalan dengan cita-
cita Revolusi yang dikumandangkan oleh Soekarno akan berhadapan dengan kekuatan
revolusioner terutama kekuatan PKI dan nasionalis kiri. Banyak kalangan santri yang
menjadi sasaran teroris dan kekuatan revolusioner tersebut, terutama di daerah2 pasentrn
di jawa, sebagai asas massa Islam. Penangkapan tanpa melalui hukum, seperti yang
dialami tokoh-tokoh Islam Natsir, Buya Hamka, Yunan Nasution dan Syahrir dari tokoh
PSI.
Budaya teror sebagai bentuk kekerasan politik berlanjutan dan meningkat pada
pembunuhan politik seperti peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965.
Kelihatannya pada masa Orde Baru, budaya politik otoriterian dalam sejarah politik
Indonesia tidak ada tanda-tanda surut, seakan telah membudaya, iaitu penggunaan
kekuasaan dan kekerasan lebih dikedepankan.
Penyingkiran terhadap tokoh2 elit politik yang dilakukan oleh rejim Soekarno pada awal
Orde Baru, yang mengabaikan etika politik, misalnya penggusuran terhadap Mohamad
Roem, Djarnawi Hadikusumo, dan Lukman Harun dari kepimpinan Parmusi yang dipilih
oleh Muktamar.
Juga kes yang menimpa Megawati Soekarno, yang berekoran dari peristiwa 27 Julai
1996. Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, DOM di ace, Irian Jaya, Timor Timur,
penculikan aktivis mahasiswa, dan akhir sekali kes pembantaian dukun santet yang
hingga saat ini masih misteri.
Beberapa peristiwa tersebut dapat menggambarkan bahawa penggunaan kekuasaan dan
kekerasan di atas, selalu mengatas namakan kepentingan stability politik dan
pembangunan, yang ternaya tidak mampu memecahkan berbagai permasalahan.
Bahkan konflik politik yang muncul dalam masyarakat ketika ini semakin hebat, dengan
latar belakang yang berneka ragam:
Mulai dari masalah kesenjangan sosioekonomi seperti antara pusat dan daerah,
antara wilayah, antara golongan;
sampai pada masalah disribution kekuasaan yang tidak adil, seperti dominasi
peranan parti politik sospol ABRI, pemusatan kekuasaan pada diri bekas Presiden
Soekarno secara berlebihan, pemusatan sumber2 ekonomi pada segelintir orang
sahaja yang nota bene dekat dengan pusat kekuasaan.
Ternyata proses pembangunan politik dan ekonomi yang diuar-uarkan selama ini tidak
melahirkan struktur dan budaya politik yang demokratik, dengan indication (indikasi)
yang seharusnya semakin memperkukuhkan lagi fungsi lembaga2 politik, terciptanya
budaya politik yang demokratik dan pemerataan ekonomi.
Apa yang terjadi selama ini bukan proses pembangunan, tetapi sebaliknya yang terjadi?
apa yang dinamakan oleh Huntington sebagai proses pembusukan politik (political
decay), yang mengisyaratkan:
1. hilangnya nilai2 civility sebagai asas pembentukan budaya politik yang
beradab.
2. hilangnya fungsi kelembagaan politik (baca fungsi Partipolotik) sebagai
sarana komunikasi politik, pendidikan politik dan penyelesaian konflik dalam
mayarakat secara damai.
3. Justeru, penyelesaian konflik politik cenderung menggunakan kekuasaan dan
kekerasan yang berjalan di luar aturan mainan, prosedur dan kelembangaan.
4. Makna kekuasaan difahami hanya sebagai Struggle of Power dalam makna
Low Politics, yang cenderung mengabaikan moral.
Dalam kes yang paling nyata misalnya peristiwa sidang Istimewa MPR, di mana budaya
politik konvensional sangat mewarnai perilaku aktor politik, baik pada level elot politik
mahupun level kelompok masyarakat. Jatuhnya korban jiwa pada tarikh 12-13
November 1998 sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kedua belah pihak baik dari pihak
pemerintah dan kelompok mahasiswa mahu menahan diri. Dari segi lain, peristiwa ini
memperlihatkan milai brkembangnya benih-benih kekerasan politik sebagai suatu gejala
baru dalam masyarakat. Maknanya peristiwa 12-13 Nov. tersebut kelompok elit politik,
sekelompok mahasiswa dan masyarakat untuk menduduki dan membubarkan MPR
adalah tindakan politik mengarahkan pada kekerasan politik.
Kesimpulan
Struktur dan budaya politik Indonesia selama kurang lebih 40 tahun yang berlangsung
dalam 2 rejim otoriterian pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah meruntuhkan sendi2
kehiupana demokrasi dan pengabaian nilai-nilai civility, terutama hilang kedaulatan
rakyat yang ditandai dengan lemahnya lembaga perwakilan rakyat seperti parti politik,
DPR/MPR dan lembaga pengawal sosial lainnya. Pada masa Orde Baru, perumpahan
darah dan korban jiwa seringkali mewarnai kehidupan politik. Juga menyangkut
kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh elit penguasa dan penguhasa iaitu timbulnya
krisis ekonomi yang telah menyengsarakan rakyak banyak.
Persoalannya sejauh manakah simbol kejayaan pembangunan Pemerintahan Orde Baru
Presiden Soeharto dianugerahi gelar “ Bapak Pembangunan” dapat menyelamatkan
rakyatnya dari kesengsaraan?
Kecundangnya Presiden Soeharto 4 Mei 1998 yang ditandai krisis yang berpanjangan,
maka kejayaan pembangunan yang selalu dikumandangkan selama ini telah kehilangan
makna. Krisis 1998, yang berkepanjangan itu, ternyata tidak saja mencakup bidang
ekonomi dan politik, tetapi meliputi berbagai aspek kehidupan lainnya yang bersifat
multidimensi.