ORDE BARU

14
ORDE BARU Dalam pemerintahan Order baru, muncul otoriterisme. Bentuk politik Orde Baru mirip dengan ciri-ciri Bureaucratic-polity (Jackson, 1978) atau Otoriterian- Bureaucratic (Robinson, 1977) yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. dominasi peranan ketenteraan (militer) dalam pemerintahan. 2. pengambilan keputusan hanya terbatas pada kelompok teknorat dan birokrat. 3. Pemerintahan ini didukung oleh enterpreneurship oligopolistik dan kelompok bisness international. 4. massa dimobilisasikan. 5. wartawan (pers) dan oposisi dikendalikan dengan cara-cara represif. Ciri-ciri Biroktasik-Otoriter atau Birokratik Politik tersebut apa akhirnya menempatkankan pemerintahan pada position yang sangat kuat dan dominan, tidak lain sebagai penjelmaan kekuatan negara. Meskipun begitu, dari sudut lain telah melemahkan peranan kekuatan masyarakat. Akibat logik dari menguatnya peranan negara adalah hilangnya Check and Balances dalam pembentukan kekuasaan.

description

sejarah Indonesia.

Transcript of ORDE BARU

Page 1: ORDE BARU

ORDE BARU

Dalam pemerintahan Order baru, muncul otoriterisme. Bentuk politik Orde Baru mirip

dengan ciri-ciri Bureaucratic-polity (Jackson, 1978) atau Otoriterian- Bureaucratic

(Robinson, 1977) yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. dominasi peranan ketenteraan (militer) dalam pemerintahan.

2. pengambilan keputusan hanya terbatas pada kelompok teknorat dan birokrat.

3. Pemerintahan ini didukung oleh enterpreneurship oligopolistik dan kelompok

bisness international.

4. massa dimobilisasikan.

5. wartawan (pers) dan oposisi dikendalikan dengan cara-cara represif.

Ciri-ciri Biroktasik-Otoriter atau Birokratik Politik tersebut apa akhirnya

menempatkankan pemerintahan pada position yang sangat kuat dan dominan, tidak

lain sebagai penjelmaan kekuatan negara. Meskipun begitu, dari sudut lain telah

melemahkan peranan kekuatan masyarakat. Akibat logik dari menguatnya peranan

negara adalah hilangnya Check and Balances dalam pembentukan kekuasaan.

Dalam hal ini Benda (1964) berpendapat bahawa kemunculan Otoriterisme dalam

pemerintahan jauh berakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Benda melihatmunculnya

Otoriterisme di Indonesia sebagai kebangkitan kembali tradisi politik asli (esp. Jawa)

sejak zaman sebelum penjajahan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ben

Anderson (1972) bahawa pengaruh budaya politik. Feudalisme Jawa sangat mewarnai

baik rejim Demokrasi Terpimpin mahupun Orde Baru. Pada initinyw kedua pendapat ahli

tersebut ingin mengemukakan bahawa ada kesamaan dan kesinambungan budaya politik

pada kedua rejim tersebut iaitu pemperkuatkan dan memperkukuhkan budaya

otoritarian.

Page 2: ORDE BARU

Perkara ini memperjelaskan bahawa wujud hubungan yang cukup kuat terhadap

fenomena kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa era Demokrasi Terpimpin,

Soekarno membubarkan DPR, serta mengangkat anggota MPR yang langsung ditunjuk

oleh Soekarno sendiri. Langkah ini adalah proses awal terhadap pelecehan terhapa

Kedaulatan Rakyat serta menyimpang dari UUD 1945. Orde Lama melakukan

pembungkaman terhadap pers serta tindakan represif terhadap lawan-lawan politik,

bahkan sampai pada tindakan Soekarno membekukan parti politik (Masyumi dan PSI)

yang sangat kritis terhadap dasarnya. Proses ideologi NASAKOM dalam kehidupan

sosial politik ketika itu yang tidak lebih sebagai upaya membangun kesedaran politik

beku, telah menjadi alat represif, menekan lawan-lawan politiknya. Di samping itu,

proses ideologi tersebut pada akhirnya hanya untuk membangun loyalitas dan dukungan

politis terhadap dirinya, hingga ia diangkat sebagai Presiden seumur hidup. Tidaklah

menghairankan apabila Bung Hatta kemudian mengkritik langkah-langkah dan perilaku

politik Soekarno sebagai seorang diktator.

Pada awalnya Orde Baru pemerintahan Soeharto bertekat melakukan pembaharuan

terutama dalam bidang poltik dan ekonomi. Reconstruction dibidang politik, seperti

penyerderhanaan sistem kepartian dengan 3 parti politik PPP, GOLKAR. PDI,

dasar massa mengambang dan asas tunggal pancasila.

Reconstruction tersebut dilakukan sebagai prasyarat bagi terciptanya politik untuk

keperluan pembangunan khususnya d sektor ekonomi.

Stability politik memang berhasil dicapai secara gemilang dengan angka pertumbuhan

ekonomi dari 6 hingga 7 %. Keberhasilan pembangunan dalam era Orde Baru, tersebut

merupakan keberhasilan Soeharto dalam memimpin bangsa Indonesia.

Ali Murtopo kemudian mempelopori penganugerahan gelar sebagai “Bapak

Pembangunan Indonesia “ kepada Soeharto.

Page 3: ORDE BARU

Dari aspek budaya pula, lebih mencerminkan bentuk neo-feudalime, sebagai suatu ciri

dan tradisi kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lalu yang menganggap raja atau

pemimpin sebagai dewa yang sangat berjasa dalam menyelamatkan rakyat. Kerana itu,

seorang raja memiliki Legitimasi Kekuasaan dengan Otoriti tidak terbatas.

Di sebalik keberhasilan membangun stability politik dan pertumbuhan eknomi selama

pemerintahan Orde Baru, terdapat kondisi paradoks sebagai hasil dari proses

pembangunan politik.

# Iaitu, melemahnya kekuatan sosial masayarakat serta lumpuhnya

kedaulatan rakyat yang tercermin pada institusi politik seperti Pers, Parti

politik yang mengimbas pada peranan dan fungsi DPR dan MPR.

Sementara dari segi lain, kedudukan nagara semakin kukuh sebagai instrumen

kepentingan elit militer (tentera), birokrasi dan pengusaha.

Pengisian jabatan-jabatan politik baik dalam birokrasi mahupun lembaga politik di luar

birokrasi lebih mencerminkan suatu hubungan patrimonial iaitu suatu hubungan

“patron” dan “klien” yang bersifat familier dan personal. Dengan kata lain,

kedudukan elot pemerintahan menjadi patron bagi elit politik masyarakat sehingga

“budaya restu” sebagai bentuk imbalan (balasan) atas loyaliti (kesetiaan). Pengabdian

kepada penguasa telah menjadi sumber legitimasi politik bagi pejabat atau politikus yang

ingin meniti karier politik.

Budaya politik sedemikian baik secara langsung mahupun tidak langsung telah

mereduction derajat keterwakilan rakyat. Representativenesspolitik seperti itu jelas tidak

didasarkan pada pertimbangan rasional iaitu sejauh mana seseorang memiliki capability

(kebolehan/kemampuan), acceptability (dapat diterima) dan integrity. Akibatnya, dalam

fungsi lembaga perwakilan politik yang lebih menonjol adalah keterwakilan kepentingan

penguasa daripada kepentingan rakyat.

Page 4: ORDE BARU

Dalam era Orde Baru, Pemilu telah dilaksanakan sebanyak 6 kali: 1971, 1977, 1982,

1987, 1992 dan 1997. dan sekaligus menghasilkan 6 kali badan legislatif. Selama masa

pemerintahan Orde Baru terlihat kecenderungan untuk memperkuat kedudukan eksekutif

seperti yang telah diwariskan Orde Lama.

Bersamaan dengan itu, pemerintah Orde Baru juga melakukan rekayasa politik untuk

memantapkan kedudukan pemerintah. Hal ini dengan jelas dapat dilihat mulai dari

Pemilu pertama 1971 sampai Pemilu terakhir 1997.

Dalam kesemua Pemilu itu, Golkar selalu memenangi majoriti suara melalui strategi

campuran antara persuasi dan represi (Liddle, 1973). Intervention pemerintah ke dalam

DPR terlalu berlebihan, sehingga mengakibatkan lemahnya fungsi DPR di dalam

manjlankan tugasnya.

Selain itu, 1973, pemerintah memaksa kehendaknya untuk memfusikan parti-parti politik

yang ketuka itu berjumlah 9 partipolitik. Ke-9 parti politik tersebut dijadikan 2 iaitu Parti

Persatuan Pembangunan (PPP) yang menrupakan gabungan dari parti Parmusi, NU, PSII

dan Perti dan Parti Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI,

IPKI, PARKINDO, Parti katolik dan Murba. Di dalam perjalannya, kedua parti ini tidak

diberi kesempatan oleh pemerintah untuk memainkan perananya dalam percaturan politik

Indonesia.

Pemerintah juga mengintervension untuk memastikan siapa yang boleh dan siapa yang

tidak boleh dijadikan pimpinan parti. Bersamaan dengan itu, konflik yang terjadi di daam

tubuh parti-baik konflik yang terjadi secara internal maupun yang direkayasa-selalu

dicampuri oleh pemerintah. Dalam menyelesaikan konflik di tubuh parti, pemerintah

yang semestinya bertindak sebagai penengah, telah memihak kepada kelompok tertentu

sahaja.

Selain itu, intervensi militer melalui pengangkatan personal TNI (ABRI) untuk

mendukung kepentingan politik pemerintah semakin melemahkan kedudukan DPR.

Page 5: ORDE BARU

Begitu juga halnya dengan pengangkatan personal militer dalam pelbagai position sivil,

mulai dari jabatan Lurah hingga Gabenur, begitu juga dengan jabatan2 penting yang ada

di departmen.

Pengangkatan legislatif oleh eksekutif dilakukan melalui perubahan susunan anggota dan

tata tertib DPR. Dalam tata tertib ada anggota DPR yang diangkat oleh pemerintah sepert

yang terlihat dalam DPR hasil Pemilu 1971, 1977 dan 1982, jumlah anggota DPR adalah

362 baik yang berasal dari TNI (ABRI) dan dari GOLKAR non TNI (ABRI). Ha ini

dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kepentingan politik militer.

Kemerosotan Nilai-nilai Civility (Ketertiban/kesopanan)

Dari struktur politik rijim Orde lama dan Orde Baru telah menampakkan eksesnya yang

paling nyata dalam kehidupan bebangsa dan bernegara, iaitu melemahnya penegakkan

nilai-nilai civility.

Maksudnya, membangun sistem politik yang demoktarik haruslah ditopang (disangga)

oleh budaya politik yang demokratik pula. Dalam proses tersebut, nilai-nilai civility

merupakan asas nilai-nilai atau budaya politik yang sangat signifikan.

Perkembangan proses sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat sangat mempengaruhi

terhadap pembentukan budaya dan struktur politik dalam suatu sistem politik. Menurut

Kolberg (1969), pembentukan budaya politik sangat berkait rapat dengan moral growth

suatu bangsa. Ia menjelaskan bahawa pertumbuhan moral seseorang dalam politik

terbahagi ke dalam 3 (level) tahap iaitu:

Level Preconventional = tingkah laku seseorang bukan ditentukan oleh norma, tetapi

kekuasaan, rasa takut, mengikut kehendak orang lain. Pada

Page 6: ORDE BARU

saat itu, seseorang lebih mengutamkan untuk menghindari

dahulu daripada hukuman penguasa. Selanjutnya, ia hanya

berusaha memaksimakan perolehan material dan memberi

dukungan kepada struktur kekuasaan yang

menguntungkannya.

Level Conventional = seseorang cenderung memasukkan dirinya pada fenomena

conformise dan stereotype yang berkembang dalam

tingkah laku majoriti yang dipandangnya mempunyai

hubungan langsung dengannya. Tahap berikutnya, ia

akan mendekatkan diri pada struktur kekuasaan,

orientasinya pada otority, pemeliharaan norma.

Level Post conventional = seseorang akan berfikir dan bertingkah laku tidak hanya

didasarkan pada convention (adat kebiasaan) belaka,

melainkan lebih menaruh recpect terhadap

berkembangnya kesedaran politik yang hakiki. Serta

dominannya peranan hati nurani. Kesedaran moral dalam

melakukan tindakan politik. Di sinilah hakikatnya

“civility” dalam kehidupan politik.

Dalam perkembangan politik yang kita saksikan, budaya politik yang berkembang

selama Orde Lama dan Orde Baru selama hampir 40 tahun baru pada peringkat

Preconventional dan Conventional. Kedua bentuk budaya politik tersebut memiliki watak

yang sama dengan ciri-ciri budaya feudalisme dan otoriterian, iaitu faktor kekuasaan

lebih dominan berbicara daripada moral, sehingga kerap menggunakan cara-cara

kekerasan.

Pada masa Orde Lama kelompok kekuatan sosial politik yang tidak sejalan dengan cita-

cita Revolusi yang dikumandangkan oleh Soekarno akan berhadapan dengan kekuatan

Page 7: ORDE BARU

revolusioner terutama kekuatan PKI dan nasionalis kiri. Banyak kalangan santri yang

menjadi sasaran teroris dan kekuatan revolusioner tersebut, terutama di daerah2 pasentrn

di jawa, sebagai asas massa Islam. Penangkapan tanpa melalui hukum, seperti yang

dialami tokoh-tokoh Islam Natsir, Buya Hamka, Yunan Nasution dan Syahrir dari tokoh

PSI.

Budaya teror sebagai bentuk kekerasan politik berlanjutan dan meningkat pada

pembunuhan politik seperti peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965.

Kelihatannya pada masa Orde Baru, budaya politik otoriterian dalam sejarah politik

Indonesia tidak ada tanda-tanda surut, seakan telah membudaya, iaitu penggunaan

kekuasaan dan kekerasan lebih dikedepankan.

Penyingkiran terhadap tokoh2 elit politik yang dilakukan oleh rejim Soekarno pada awal

Orde Baru, yang mengabaikan etika politik, misalnya penggusuran terhadap Mohamad

Roem, Djarnawi Hadikusumo, dan Lukman Harun dari kepimpinan Parmusi yang dipilih

oleh Muktamar.

Juga kes yang menimpa Megawati Soekarno, yang berekoran dari peristiwa 27 Julai

1996. Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, DOM di ace, Irian Jaya, Timor Timur,

penculikan aktivis mahasiswa, dan akhir sekali kes pembantaian dukun santet yang

hingga saat ini masih misteri.

Beberapa peristiwa tersebut dapat menggambarkan bahawa penggunaan kekuasaan dan

kekerasan di atas, selalu mengatas namakan kepentingan stability politik dan

pembangunan, yang ternaya tidak mampu memecahkan berbagai permasalahan.

Bahkan konflik politik yang muncul dalam masyarakat ketika ini semakin hebat, dengan

latar belakang yang berneka ragam:

Mulai dari masalah kesenjangan sosioekonomi seperti antara pusat dan daerah,

antara wilayah, antara golongan;

Page 8: ORDE BARU

sampai pada masalah disribution kekuasaan yang tidak adil, seperti dominasi

peranan parti politik sospol ABRI, pemusatan kekuasaan pada diri bekas Presiden

Soekarno secara berlebihan, pemusatan sumber2 ekonomi pada segelintir orang

sahaja yang nota bene dekat dengan pusat kekuasaan.

Ternyata proses pembangunan politik dan ekonomi yang diuar-uarkan selama ini tidak

melahirkan struktur dan budaya politik yang demokratik, dengan indication (indikasi)

yang seharusnya semakin memperkukuhkan lagi fungsi lembaga2 politik, terciptanya

budaya politik yang demokratik dan pemerataan ekonomi.

Apa yang terjadi selama ini bukan proses pembangunan, tetapi sebaliknya yang terjadi?

apa yang dinamakan oleh Huntington sebagai proses pembusukan politik (political

decay), yang mengisyaratkan:

1. hilangnya nilai2 civility sebagai asas pembentukan budaya politik yang

beradab.

2. hilangnya fungsi kelembagaan politik (baca fungsi Partipolotik) sebagai

sarana komunikasi politik, pendidikan politik dan penyelesaian konflik dalam

mayarakat secara damai.

3. Justeru, penyelesaian konflik politik cenderung menggunakan kekuasaan dan

kekerasan yang berjalan di luar aturan mainan, prosedur dan kelembangaan.

4. Makna kekuasaan difahami hanya sebagai Struggle of Power dalam makna

Low Politics, yang cenderung mengabaikan moral.

Dalam kes yang paling nyata misalnya peristiwa sidang Istimewa MPR, di mana budaya

politik konvensional sangat mewarnai perilaku aktor politik, baik pada level elot politik

mahupun level kelompok masyarakat. Jatuhnya korban jiwa pada tarikh 12-13

November 1998 sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kedua belah pihak baik dari pihak

pemerintah dan kelompok mahasiswa mahu menahan diri. Dari segi lain, peristiwa ini

memperlihatkan milai brkembangnya benih-benih kekerasan politik sebagai suatu gejala

Page 9: ORDE BARU

baru dalam masyarakat. Maknanya peristiwa 12-13 Nov. tersebut kelompok elit politik,

sekelompok mahasiswa dan masyarakat untuk menduduki dan membubarkan MPR

adalah tindakan politik mengarahkan pada kekerasan politik.

Kesimpulan

Struktur dan budaya politik Indonesia selama kurang lebih 40 tahun yang berlangsung

dalam 2 rejim otoriterian pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah meruntuhkan sendi2

kehiupana demokrasi dan pengabaian nilai-nilai civility, terutama hilang kedaulatan

rakyat yang ditandai dengan lemahnya lembaga perwakilan rakyat seperti parti politik,

DPR/MPR dan lembaga pengawal sosial lainnya. Pada masa Orde Baru, perumpahan

darah dan korban jiwa seringkali mewarnai kehidupan politik. Juga menyangkut

kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh elit penguasa dan penguhasa iaitu timbulnya

krisis ekonomi yang telah menyengsarakan rakyak banyak.

Persoalannya sejauh manakah simbol kejayaan pembangunan Pemerintahan Orde Baru

Presiden Soeharto dianugerahi gelar “ Bapak Pembangunan” dapat menyelamatkan

rakyatnya dari kesengsaraan?

Kecundangnya Presiden Soeharto 4 Mei 1998 yang ditandai krisis yang berpanjangan,

maka kejayaan pembangunan yang selalu dikumandangkan selama ini telah kehilangan

makna. Krisis 1998, yang berkepanjangan itu, ternyata tidak saja mencakup bidang

ekonomi dan politik, tetapi meliputi berbagai aspek kehidupan lainnya yang bersifat

multidimensi.