Orang Perempuan

6

Click here to load reader

description

good job

Transcript of Orang Perempuan

Orang perempuan, tetapi apa salahnya kami mencangkul dan berladang, membalik tanah, menanami ladang-ladang dengan singkong,kedelai,dan ubi jalar.Lihatlah otot-otot kami ini, otot-otot yang tak pernah menjadi liat seperti laki-laki. Tetapi memang keadaan telah memaksa siapapun untuk melakukan hal apa pun demi menyambung hidup ini. Maka, sebenarnya kami telah melawan kodrat kami sebagai seorang wanita untuk tidak melakukan pekerjaan kaum laki-laki tetapi kami melakukannya. Seperti yang kami lakukan kali ini, sepulang dari pertemuan dengan Raga, kami tetap melakukan pekerjaan seperti biasa, kami tak begitu ingat dengan apapun perkataan Raga yang begitu banyak itu, kami tak bisa mengingat penuh karena yang ada di kepala kami adalah pada ladang yang kian kering. Tangan-tangan kami sudah bersiap mencabut singkong dan ubi jalar, kami sudah persiapkan tenaga dari rumah meski hanya mencaplok seiris singkong rebus yang hanya mengganjal tetapi tak pernah memberikan rasa kenyang sebab, kami tak pernah makan kenyang. Ada berkahnya juga dengan rasa lapar ini karena menurut ajaran islam, Rasulullah sendiri tak pernah makan sampai kenyang,sepertiga perut diisi udara, sepetiga singkong rebus, dan sepertiganya air.Ya singkongnya nggak berbuah lagi, Bu! kataku dari kejauhan seraya mengangkat singkong itu tinggi-tinggi. Hanya ada daun singkong yang lebat, tetapi pada akar yang seharusnya gemuk dan ranum itu, tetap mengecil seperti tak dipasok makanan dari batang tumbuhan. Wak bajo yang melihat itu seketika jadi lemas. Susah payah mereka menggemburkan tanah, menanam singkong, namun hasilnya gagal dan gagal lagi.Hah, ya sudah, tak perlu risau. Allah belum memberi kita rezeki hari ini.Tapi Bu, kita makan apa!Kita masih ada sisa beras.Beras di lumbung kita yang hampir kosong itu?Siapa bilang? Masih ada sisa-sisanya walaupun hanya sedikit.Bu, kemarin aku mlihat seekor tikus mengeram dan beranak pinak di lumbung itu. Sekarang ibu menyuruh aku memakan sisa-sisa beras yang bercampur dengan keringat tikus, hhhiiiii menjijikkan!Tak ada ciptaan Allah ini mubazir dan sia-sia. Semua bisa kita manfaatkan jika kita mau menekuninyaJadi,ibu mau memberiku makam dengan itu?Sudah Ibu bilang nak, bersyukurlah atas segala pemberian Allah. Apa yang kelihatannya dibuang sia-sia bisa kita manfaatkan kalau kita tahu cara penggunaannya.Aku terdiam. Tak mampu berkata-kata, aku sangat paham ibu adalah orang yang sangat ahli untuk merekayasa sesuatu yang tak berguna menjadi berguna. Aku pulang dengan kekecewaan, entah dengan ibu. Ia adalah perempuan paling tegar sedunia, perempuan yang mampu menyembunyikan penderitaannya di balik senyum tipisnya yang selalu tersungging kala menasihati aku. Kemiskinan kami bukan menjadi alasan untuk tidak bersyukur kepada Allah.Kami berjalan beriringan seperti seorang sahabat, sahabat yang akan selalu mengungatkan, jika aku sedih dan kecewa dengan kenyataan hidup yang kami alami.*** Sesampai dirumah, aku menghempaskan tubuh di atas tikar plastik sedangkan ibu meletakkan pakaiannya di cantelan paku di dinding kayu.Shalat magrib dulu, Wenas, kata ibuku.Ya, bu ,jawabku singkat. Kulihat ibu seperti orang yang tak kenal lelah, selalu sibuk dan dari kepalanya yang kecil itu selalu terbungkus ide-ide brilian yang sama sekali tak pernah aku pikirkan.Habis shalat kita akan buat bubur lezat ,kata ibu dengan raut wajah berbinar. Aku tahu ibu hanya menenangkanku, memnerikan sugesti agar aku tetap bergairah hidup.Ibu sudah bewudhu dan mengambil mukena, sedangkan bawahannya adalah sehelai kain yang dilingkarkan sampai menutupi kaki. Kami shalat bergantian karena hanya kain itu satu-satunya milik kami. Setelah aku selesai shalat, ibu mulai meracik bubur dari sisa-sisa beras. Aku melihat ibu mulai mengeruk-ngeruk sisa-sisa beras dari tempayan tanah liat ke dalam genggaman tangannya. Ia menempatkannya dalam subuh nampan luas dan menjumputi satu per satu kotoran-kotoran yang bercampur beras. Ada kalanya berupa remah-remah pasir, sedangkan sisanya kotoran tikus yang baunya pengap.Tak ada satu ons beras itu, semuanya tak ada yang utuh, remuk dan jika dibuat nasi pun tak akan menjadi nasi yang pulen. Maka, ibu kemudian menumbuknya hingga benar-benar halus seprti tepung. Setelah itu, kemudian direbus hingga air lebih banyak hingga menjadi bubur. Saat terdengar bunyi kawah di dalam panci, inu segera mengaduk-ngaduknya dan meniupnya berulang-ulang. Makan malam sudah siap,makan malam berupa bubur dari beras tumbuk yang aku tidak tahu bagaimana rasanya.Makan malam datang! kata ibu dengan gaya sangat memikat.Terima kasih, ibu,jawabku takzim.Makanlah selagi masih panas.Aku mengangguk, melahapnya kuat-kuat. Rasa panas masih mencekat di lidah, tetapi aku tidak memperdulikannya, rasa lapar telah melepaskan nafsuku untuk menjadi buas.Sudah kenyang? tanya ibuku pelan.Cukup bu, cukup untuk mengganjal perutku, kataku.Syukurlah kalau begitu. Itu tandanya kita mensyukuri karunia Allah, kata ibu dengan lembut.Hari ini kami bisa makan dua kali, pagi tadi dengan ganjalan singkong rebus dan malam ini dengan bubur dari beras tumbuk. Malam harinya kami tidur meringkuk bersama, tak lupa kami berbagi selimut melawan dingin yang mencucuk tulang, rasa lapar diam-diam menyelinap ke bawah perutku. Ah, biarlah rasa lapar itu menderaku, kubuat tidur saja. Bintang mengintip di kejauhan rembulan malu-malu menampakkan diri, memilih untuk menutupi tubuhnya dengan awan.***Ketika mentari merekah, mereka berdua telah bangun. Wak Bajo telah lebih dahulu mengambil air wudhu sedangkan Wenas giliran belakang. Wenas sudah tidak berdaya karena ia menginginkan sesuap nasi. Ibu,aku lapar. kau lapar? Sebentar ya nak, Ibu buatkan makanan dahulu.Wak Bajo kemudian bergegas ke dapur. Di korek-koreknya lumbung padi sampai tangannya masuk ke bawah dan tangan Wak Bajo hanya menyentuh ruangan kosong. kosong, tak ada beras. Batin ibu. tak ada pilian lagi sepertinya. Kata Wak Bajo.Wenas tertidur kelaparan. Ini menjadi kesempatan bagi Wak Bajo untuk segera pergi ke pasar dan mengemis. Jalan darurat setelah tidaak ada pilihan lagi. Dirumahnya dibayangkan sang anak bangun dari tidurnya dan mengais-ngais tempat sampah.aku harus segera mengemis.puts Wak Bajo.pak kasihanilah aku pak, bu, kasihanilah aku, kata Wak Bajo dengan menengadahkan tangannya.jangan deket-dekat, tubuhmu bau!cihh!makanya kalau pingin kaya itu kerja bukannya ngemis! demikianlah lontaran orang-orang berhati sempit tersebut. Itula kalau kita bergantung pada belas kasihan manusia, tetapi kepada siapa lagi ia meminta ? pada Allah ? seperti yang selalu ia tanamkan pada anaknya.