Pengaruh Kadar Nitrogen dan Salinitas terhadap Pertumbuhan ...
OPTIMASI SALINITAS YANG BERBEDA TERHADAP DAYA …
Transcript of OPTIMASI SALINITAS YANG BERBEDA TERHADAP DAYA …
i
OPTIMASI SALINITAS YANG BERBEDA TERHADAP DAYA
TETAS TELUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
DARWIS
10594 00659 11
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
ii
OPTIMASI SALINITAS YANG BERBEDA TERHADAP DAYA
TETAS TELUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
SKRIPSI
DARWIS
10594 00659 11
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi
Budidaya Perairan
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Optimasi Salinitas yang Berbeda Terhadap Daya
Tetas Telur Kepiting Bakau (Scylla serrata).
Nama Mahasiswa : Darwis
Stambuk : 10594 00659 11
Program Studi : Budidaya Perairan (BDP)
Fakultas : Pertanian
Makassar, Juni 2016
Telah Diperiksa dan Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Rahmi, S.Pi., M.Si Ir. Andi Khaeriyah.,M.Pd
NIDN : 0905027904 NIDN: 0926036803
Diketahui,
Dekan Fakultas Pertanian Ketua Program studi
Budidaya Perairan
Ir. H. Saleh Molla, MM Murni, S.Pi., M.Si
NIDN: 0931126113 NIDN : 0903037306
iv
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI
Judul Penelitian : Optimasi Salinitas yang Berbeda Terhadap Daya
Tetas Telur Kepiting Bakau (Scylla serrata).
Nama Mahasiswa : Darwis
Stambuk : 10594 00659 11
Program Studi : Budidaya Perairan (BDP)
Fakultas : Pertanian
SUSUNAN KOMISI PENGUJI
Nama Tanda Tangan
1. Dr.Rahmi, S.Pi., M.Si (........................)
Ketua Sidang
2. Ir. Andi Khaeriyah, M. Pd (........................)
Sekretaris
3. Dr. Abdul Haris Sambu, M.Si (.....................)
Anggota
4. H. Burhanuddin, S.Pi., M.P (.....................)
Anggota
Tanggal Lulus …………………………..
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Optimasi Salinitas yang Berbeda Terhadap Daya Tetas Telur
Kepiting Bakau (Scylla serrata). Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya
sendiri yang belum diajukan oleh siapapun, bukan merupakan pengambil alihan
tulisan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber
data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut kedalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Makassar, Juni 2016
Darwis
Nim: 10594 00659 11
vi
ABSTRAK
DARWIS. 10594 00659 11. Optimasi Salinitas yang Berbeda Terhadap
Daya Tetas Telur Kepiting Bakau (Scylla serrata). Dibimbing oleh RAHMI dan
ANDI KHAERIYAH.Tujuan penelitian ini untuk menentukan salinitas optimal
terhadap daya tetas telur kepiting bakau (Scylla serrata), serta mengetahui
permasalahan yang dihadapi dalam pembenihan atau pembudidayaan. Metode
penelitian yang digunakan adalah induk kepiting bakau berat rata-rata 490 gram
dengan tingkat kematangan gonad IV. Setiap wadah penelitian ditebar induk
rajungan sebanyak 1 ekor. Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran
50x40x30 cm3. Jumlah wadah penelitian sebanyak 9 buah untuk media penetasan
telur kepiting bakau. Air media penetasan telur rajungan sebanyak 30 liter/wadah.
Perlakuan yang dicobakan adalah salinitas berbeda terhadap daya tetas telur
kepiting rajungan. Pada penelitian ini terdapat 3 perlakuan dengan 3 kali ulangan,
yaitu salinitas 25 ppt (perlakuan A), 30 ppt (perlakuan B), dan 35 ppt (perlakuan
C).Hasil penelitian yang dilakukan selama ±1 bulan menunjukkan bahwa daya
tetas tertinggi telur kepiting bakau terdapat pada perlakuan 30 ppt yaitu 51.95%.
Disarankan memperhatikan dan menjaga kualitas air terutama salinitas media
penetasan telur kepiting bakau untuk memperoleh hasil penetasan telur yang
optimal. Disarankan pula menguji salinitas 30 ppt dengan penebaran dan volume
air yang lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Kata Kunci: Telur Kepiting Bakau, Salinitas, Daya Tetas.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan Optimasi Salinitas yang
Berbeda Terhadap Daya Tetas Telur Kepiting Bakau (Scylla serrata), guna
memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program study budidaya perairan
jurusan perikanan fakultas pertanian Universitas Muhammadiayah Makassar.
Tidak lupa pula penulis mengirimkan Shalawat kepada Rasulullah Muhammad
SAW pengembang amanah mulia dan guru ilmu pengetahuan yang maha luas bagi
seluruh umat manusia. Penulis mengambil judul penelitian ini karena tingginya
permintaan kepiting bakau baik tingkat benih maupun rajungan konsumsi.
Tingginya permintaan tersebut masih terkendala oleh rendahnya daya tetas telur
menjadi larva yang salah satu penyebabnya adalah belum banyaknya pengetahuan
tentang salinitas optimal air media penetasan telur.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skirpsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Ayahanda dan ibunda tercinta yang telah mendidik saya sampai ketahap
ini, yang telah memberikan dorongan semangan dan materi dalam proses
penyelesaian karya ilmiah ini.
viii
2. Ibu Rahmi, S.Pi., M.Si, selaku pembimbing pertama yang telah banyak
membantu dalam bentuk arahan dan masukan baik teknis maupun
nonteknis mulai dari tahap proposal, tahap penelitian, sampai penyusunan
skripsi ini.
3. Ibu Ir. Andi Khaeriyah., M.Pd, selaku pembimbing kedua yang telah
banyak membantu dalam bentuk arahan dan masukan baik teknis maupun
nonteknis mulai dari tahap proposal, tahap penelitian, sampai penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Abdul Haris Sambu, M.Si, selaku penguji pertama yang telah
banyak memberikan masukan berupa kritik dan saran dalam pembuatan
skripsi ini.
5. Bapak Ir. H. Burhanuddin, M.P, selaku penguji kedua yang telah
memberikan motivasi dan nasehat bagi penulis selama kuliah di Fakultas
Pertanian dan pembuatan skripsi ini.
6. Bapak Ir. H. Saleh Molla., MP, selaku dekan Fakultas Pertanian yang
selalu memberikan motivasi dan nasehat bagi penulis selama kuliah di
Fakultas Pertanian.
7. Bapak dan Ibu dosen beserta staf akademik yang telah memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat bagi penulis selama kuliah di Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Makassar.
8. Seluruh pegawai dan staf BPBAP Takalar yang telah memberikan
kesempatan berupa ijin lokasi, bantuan teknis dan nonteknis selama
penelitian.
ix
9. Teman-teman program studi budidaya perairan khususnya angkatan 2011
yang telah memberikan bantuan selama melaksanakan aktifitas kampus
samapai ketahap penulisan skripsi ini.
Penulis sangat menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak
kekurangan, maka kritikan dan saran dari berbagai pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu........
Penulis
Darwis.
x
DAFTAR ISI
Sampul i
Halaman Sampul ii
Halaman Pengesahan iii
Halaman Pengesahan Komisi Penguji iv
Pernyataan Mengenai Skripsi Dan Sumber Informasi v
Abstrak vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi x
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan dan Kegunaan 2
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau 3
2.2. Habitat, Penyebaran dan Siklus Hidup 4
2.3. Makanan dan Kebiasaan Makan 6
2.4. Reproduksi 7
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Daya Tetas Telur 9
2.5.1. Faktor kimia 9
2.5.2. Faktor Fisika 12
2.5.3. Faktor Biolgi 12
2.6. Penetasan Telur Kepiting Bakau (Scylla Serrta) 13
2.7. Salinitas 14
III. Metode Penelitian
3.1. Waktu dan Tempat 15
3.2. Alat dan Bahan 15
3.3. Prosedur Penelitian 16
3.3.1. Persiapan Induk Kepiting Bakau 16
3.3.2. Persiapan Wadah Penelitian 17
3.3.3. Persiapan Media Penelitian 17
3.3.4. Penentuan Salinitas 18
3.4. Rancanagan Penelitian 18
3.5. Pubah yang Diamati 19
3.5.1 Daya Tetas Telur 19
3.5.2. Analisis Kualitas Air 20
3.8. Analisa Data 20
xi
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1. Daya Tetas Telur Kepiting Bakau 21
4.2. Kualitas Air 24
V. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 26
5.2. Saran 26
Daftar Pustaka 27
xii
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Alat yang digunakan pada saat penelitian 15
2. Bahan dan kegunaan pada saat penelitian 16
3. Daya tetas telur kepiting bakau pada setiap perlakuan 21
4. Parameter kualitas air media penelitian dari setiap perlakuan 24
xiii
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Morfologi kepiting bakau (Scylla serrata) 3
2. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina 4
3. Siklus hidup kepiting bakau 6
4. Kepiting Matang Gonad 14
5. Rancangan Acak Lengkap 19
6. Rata-rata daya tetas kepiting bakau pada setiap perlakuan 22
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman
1. Tabel data berat induk dan gonad kepiting bakau pada penelitian 29
2. Tabel kepadatan larva kepiting bakau pada setiap perlakuan 29
3. Hasil uji anova daya tetas telur kepiting bakau. 30
4. Hasil uji lanjut LSD daya tetas kepiting bakau 30
5. Foto-foto penelitian 31
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas andalan
perikanan yang tersebar di perairan payau kepulauan Indonesia khususnya
perairan hutan bakau. Dengan sumber daya hutan bakau yang membentang luas
diseluruh kawasan pantai nusantara, maka tidak heran jika Indonesia dikenal
sebagai pengeskpor kepiting yang cukup besar dibanding dengan negara- negara
produsen kepiting lainnya.
Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu
dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol, guna menunjang usaha
budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis
maka perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau.
Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya
memberikan pertumbuhan yang maksimal. Salinitas merupakan masking faktor
bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air
menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh
pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, perkembangan kepiting yang
maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk
metabolisme.Salah satu persoalan pelik yang dihadapi dalam budidaya kepiting
secara umum adalah terkait dengan keseimbangan lingkungan budidaya utamanya
salinitas.
2
Keberhasilan suatu usaha budidaya sangat tergantung pada keberhasilan
menjaga kondisi lingkungan budidaya dan sekitarnya, hal ini sangat terkait
dengan daya dukung, daya tampung dan daya asimilasi dalam lingkungan
tersebut. Menurut (Karim, 2013) salinitas dapat mempengaruhi fisiologi kepiting
bakau. Dalam hubungan dengan salinitas, kepiting bakau termasuk akuatik
euryhaline yaitu mampu hidup pada rentang salinitas yang lebar. Namun (Effendi,
2003), menyatakan bahwa salinitas yang baik untuk pemeliharaan telur dan larva
kepiting bakau berkisar 27-30 ppt.
Salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ organisme
perairan melalui perubahan tekanan osmotik. Pengaruh negatif salinitas yang
tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu dan lebih buruk lagi ketika
pergantian air tidak dapat dilakukan akibat pasang rendah. Untuk itu penentuan
teknik budidaya dipandang perlu karena berkaitan dengan strategi pengembangan
sistem usaha yang dapat meningkatkan produktifitas budidaya kepiting ke depan.
1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan salinitas optimal terhadap
daya tetas telur kepiting bakau (Scylla serrata), serta mengetahui permasalahan
yang dihadapi dalam pembenihan atau pembudidayaan. Berdasarkan
pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu dikembangkan budidaya kepiting
bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif,
efisien dan menguntungkan secara ekonomis maka perlu dilakukan penelitian.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau
Secara taksonomi kepiting bakau diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea
Ordo : Decapoda
Familia : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla sp
Secara Morfologi kepiting bakau tampak seperti gambar berikut:
Gambar. 1 Morfologi kepiting bakau (Scylla serrata)
Kepiting memiliki ukuran (Scylla serrata) lebar karapas lebih besar dari
pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaannya agak licin. Pada dahi antara
sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan serta kirinya
terdapat sembilan buah duri. Kepitng bakau jantan mempunyai sepasang capit
4
yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari pada panjang karapasnya,
sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek. Selain itu, kepiting baku
juga memiliki 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Kepiting bakau
berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdoment bagian bawah berbentuk
segitiga meruncing, sedangkan pada betina kepiting bakau melebar (Soim 1994).
Perbedaan morfologi antara kepiting bakau jantan dan betina dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar.2. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina.
2.2. Habitat, Penyebaran dan Siklus Hidup
Habitat kepiting bakau adalah daerah perairan payau yang merupakan
muara ataau pertemuan antara air asin dan air tawar. Kepiting bakau menyebar
merata hampir diseluruh perairan hutan bakau atau hutan mangrove yang tersebar
diwilayah pesisir Indonesia. Kepiting bakau juga bisa ditemukan pada daerah-
daerah estuaria, perairan pantai berlumpur dan di daerah tambak-tambak air
payau.
5
Menurut Ghufron dan Kordi, (1997) dalam pertumbuhannya semua jenis
kepiting sering berganti kulit (moulting). Habitat kepiting tergantung dari daur
hidupnya, dalam menjalani hidupnya kepiting beruaya dari perairan pantai
keperairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya kembali keperairan pantai,
muara-muara sungai atau hutan bakau. Kepiting yang siap melakukan perkawinan
akan masuk keperairan hutan bakau atau tambak. Setelah melakukan perkawinan
itu, kepiting betina perlahan-lahan meninggalkan pantai ketengah laut untuk
berpijah. Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat 1 (Zoea 1) dan terus-
menerus berganti kulit sambil terbawa arus ke perairan pantai.
Kanna (1991), menyatakan bahwa kepiting muda yang baru berganti kulit
dari megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentoleransi salinitas air yang
rendah (10-24 ppt) dan suhu diatas 100C. Menurut Ghufron dan Kordi, (1997),
penyebaran kepiting cukup luas mulai dari Selatan dan Timu Afrika, Mozambi,
terus ke Iran, pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, Negara ASEAN, Cina,
Vietnam, Kamboja, Jepang, Taiwan, Lautan Pasifik, Hawai, Selandia Baru dan
Australia Selatan.
Secara siklus hidup kepiting bakau menjalani metamorphosis sempurna,
artinya bak larva berlainan sama sekali dengan bentuk dewasanya. Telur kepiting
bakau yang telah dibuahi akan menetas menjadi Zoea, megalopa, kepiting muda
dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Selama masa pertumbuhan, kepiting
bakau menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit antara 17-20 kali
tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan.
6
Proses pergantian kulit pada fase Zoea berlangsung relative lebih cepat
sekitar3-4 hari, sedangkan pada Fase megalopa proses dan interval pergantian
kulit relative lama yaitu setiap 15 hari. Setiap ganti kulit tubuh kepiting akan
bertambah besar sekitar 1/3 kulit ukuran dan panjang karapas 5-10 mm pada
kepiting dewasa. Kepiting dewasa umur12 bulan memiliki karapas sepanjang
17cm dan berat sekitar 200 gram.
Gambar 3. Siklus hidup kepiting bakau.
2.3. Makanan dan Kebiasaan Makan
Kanna (1991), mengemukakan bahwa pakan yang diberikan untuk
kepiting berupa potongan-potongan daging ikan, cumi-cumi, maupun daging
udang, dan ukuran pakan juga disesuaikan dengan kemampuan kepiting untuk
mencengkram pakan. Kepiting tergolong pemakan segala (omnivora) dan
pemakan bangkai (scavenger). Sedangkan larva kepiting memakan plankton.
Kepiting tergolong hewan nocturnal, pada saat sianghari kepiting
cendrung membenamkan diri atau bersembunyi didalam lumpur. Kepiting bakau
7
muda dan dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai sedangkan larva
kepiting bakau bersifat pemakan plankton. Jenis makanan yang dimakan larva
kepiting adalah diatom, tetra selmis, clorella, rotifer, larva ekinodermata, larva
berbagai molusca, cacing dan binatang kecil lainnya.
Umumnya pada tempat pembudidayaan pakan yang diberikan ialah ikan
rucah yang harganya murah atau binatang-binatang pengganggu di tambak seperti
ular, belut yang dipotong-potong kecil-kecil. Di Negara lain seperti Malaysia dan
Philippina, dianjurkan untuk memberi pakan kepiting dengan bahan-bahan
buangan dari penyembelihan hewan ( jerohan) ayam, dan ternak lain. Banyaknya
ransum 3-5 % berat biomassa kepiting 2-3 kali sehari. Pemberian yang terlalu
banyak , pakan akan bersisa dan membusuk dalam tambak sehingga kurang baik
akibatnya bagi kepiting. Karena itu petani harus mengamati keadaan mutu air
tambak, sehingga bila terjadi hal yang memburuk, dapat dilakukan pergantian air,
pada waktu terjadi pasang.
2.4. Reproduksi
Kepiting bakau melalui memijah pada umur 12 bulan atau pada ukuran
karapasnya 120 mm. ketika hendak memijah, kepiting bakau melakukan ruaya
yang tidak lebih dari 1 km dari pantai. Pemijahan berlangsung di dasar perairan
yang dalam. Bila kepiting bakau mulai matang gonad yang ditandai dengan
mengandung telur disela-sela bagian dalam kerapasnya maka, akan mencari
tempat yang sunyi, aman dan terlindung dari berbagai gangguan.
Kepiting bakau jantan kemudian membuntuti dan ketika terjadi
kecocokan, maka kepiting jantan naik kekepiting betina dengan posisi perut
8
keduanya menghadap kebawah. Dengan posisi itu kepiting janatan berenang
membawa kepiting betina mencari tempat yang sunyi. Sekitar 7 hari kemudian
induk kepiting bakau betina berganti kulit (moulting) yang disertai dengan
pengeluaran hormon yang menarik kepiting jantan untuk mendekatinya. Kepiting
betina yang masih dalam kondisi lunak tidak tertutup kemungkinan akan hancur
oleh capit-capait kepiting jantan.
Setelah kerapas kepiting betina mulai mengeras, kepiting jantan akan
mulai berlahan-lahan membalikkan tubuh kepiting betina sehingga perut dan alat
kelaminnya saling berhadapan, beberapa jam kemudian terjadilah pembuahan.
Telur yang dibuahi akan dikeluarkan seluruhnya dan berserakan.
Selanjutkan telur-telur tersebut dikumpulkan kembali oleh induk betina
dengan bantuan kaki jalan dan ditata pada poleopod (wadah telur) oleh kedua kaki
renangnya. Telur yang dibuaahi akan menetes 9-15 hari setelh telur dikeluarkan.
Seekor betina dapat mengandung 2 samapai 8 juta butir telur tergantung dari
ukuran kepiting.
Tingkat perkembangan kepiting bakau dibagi dalam 3 fase, yaitu fase
embrio (telur), fase larva dan fase kepiting sempurna. Pada fase larva dikenal
tingkat zoea I, II, III, IV, V dan megalopa. Sedanagkan pada fase kepiting
sempurna dikenal kepiting muda dan kepiting dewasa.
Telur kepiting bakau menetas menjadi larva yang dibagi kedalam zoea I,
II, III, IV, dan V. Pada setiap ganti kulit zoea tumbuh dan berkembang menjadi
lebih besar dan lebih berat, dan pada tingkat megalopa bentuk tubuhnya sudah
mirip kepiting dewasa, kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang
9
relatif panjang. Apabila megalopa berganti kulit untuk menjadi kepiting muda
pertama, abdomen bentuk ekor berubah seperti pada kepiting dewasa.
Pada setiap perkembanagan zoea diperlukan waktu yaitu dari zoea I
sampai zoea V umumnya sekitar 2- 3 hari, sedangkan lamanya metamorfosis kira-
kira antara 17-26 hari. Proses ganti kulit pada tingkat zoea relatif cepat yaitu 3-4
hari, pada megalopa di butuhkan waktu sekitar 7-10 hari, dan ganti kulit pada fase
ini sekitar 11-15 hari.
Pada fese kepiting muda berwal dari megalopa berganti kulit atau umur
kepiting mencapai 30-35 hari setelah penetesan. Sejak hingga dewasa, kepiting
bakau mengalami ganti kulit sebanyak 17-20 kali. Fase terakhir kepiting muda
adalah fase 16 atau 17 dengan panjang kerapas sekitar 100 mm.
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Daya Tetas Telur
Keberhasilan dalam proses penetasan telur merupakan salah satu tahapan
terpenting dalam proses pembenihan, baik yang dilakukan secara alami maupun
buatan. Telur yang telah dibuahi oleh sperma akan berkembang hingga menetas
dan menjadi larva yang kemudian siap untuk didederkan. Keberhasilan penetasan
telur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
2.5.1. Faktor kimia
Kelarutan oksigen (DO) juga akan mempengaruhi proses penetasan
Oksigen tersebut masuk ke dalam telur secara difusi melalui lapisan permukaan
cangkang telur. Kebutuhan oksigen optimum untuk kegiatan penetasan telur
adalah > 5 mg/L. Selain oksigen, untuk keperluan perkembangan, diperlukan
10
energi yang berasal dari kuning telur (yolk sac) dan kemudian butir minyak (oil
globule). Oleh karena itu, kuning telur terus menyusut sejalan dengan
perkembangan embrio. Energi yang terdapat dalam kuning telur berpindah ke
organ tubuh embrio.
Gas terlarut dalam air juga berpengaruh terhadap penetasan telur, terutama
zat asam arang dan ammonia yang menyebabkan kematian embrio pada masa
pengeraman. Kematian dan pertumbuhan embrio yang jelek serta pigmentasi yang
banyak, dapat berakibat pada terganggunya proses penetasan.
Sementara itu, derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi kerja enzim
chorionase. Pada pH 7,1 – 9,6 enzim ini akan bekerja secara optimum. Tekanan
zat asam ini akan mempengaruhi unsur meristik pada jumlah tulang belakang,
dimana apabila jumlah zat asam tinggi maka jumlah ruas tulang belakang
bertambah, sebaliknya jika zat asam rendah maka jumlah ruas tulang belakang
berkurang jumlahnya.
Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan penetasan telur kepiting bakau. Salinitas
mempengaruhi kemampuan penetasasan yang cepat dan lambat, hal ini diduga
kondisi lingkungan yang dibutuhkan harus sesuai salinitas dengan kondisi habitat
aslinya. Kemampuan penetasan telur dipengaruhi daya dukung lingkungan,
terutama tingkat osmotik media (salinitas).
Karena perbedaan salinitas akan berpengaruh pada pengaturan ion-ion
guna mempertahankan lingkungan internal, yang secara langsung memerlukan
energi yang secara langsung untuk transfor aktif ion-ion guna memperetahankan
11
lingkungan internal, yang sebelumnya telah melakukan penelitian tentang
perbedaan salinitas terhadap daya tetas telur kepiting bakau (Scylla serrata).
Mulyawan dkk, (2010) telah menguji kepiting bakau (Scylla serrata) dengan 3
perlakuan pada salinitas yang berbeda yaitu A (15 ppt), B (25 ppt) bisa memijah,
tetapi kedua perlakuan C (30 ppt). Perlakuan C (30 ppt) memiliki kemampuan
memijah lebih cepat,hal ini diduga kondisi lingkungan yang dibutuhkan sesuai
dengan habitat asli.
Derajat penetasan kepiting bakau (Scylla serrata) yang terjadi pada hari
ke-10 pada perlakuan A (15 ppt) adalah 0 % (tidak terjadi penetasan). Hal ini
disebabkan karena pada salinitas 15 ppt diduga kemampuan kerja osmotik yang
minimal dan memerlukan peradaptasian terhadap salinitas.Perlakuan B jumlah
telur yang ditetaskan adalah 91,8 %, dengan salinitas 25 ppt dan perlakuan C
telur yang menetas adalah 75,8 %, dengan salinitas 30 ppt, rendah daya tetasnya
diduga karena cangkang telur mengeras sehingga menyulitkan larva keluar dari
telur dan dapat menyebabkan cacat bahkan mati pada larva. Dari hasil penelitian
ditemukan salinitas yang optimal pada penetasan telur kepiting bakau terhadap
perbedaan salinitas yaitu terdapat pada perlakuan B 25 ppt.
Hal ini juga akan berpengaruh pada proses fisiologis yang dapat
berakibat pada kerusakan pada telur kepiting pada salinitas yang tidak stabil
mengakibatkan rendahnya daya tetasnya diduga karena cangkang telur mengeras
sehingga menyulitkan larva keluar dari telur dan juga dapat menyebabkan cacat
bahkan mati pada larva (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
12
2.5.2. Faktor Fisika
Suhu sangat berpengaruh terhadap proses dan lama waktu penetasan telur.
Proses penetasan umumnya berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi
karena pada suhu yang tinggi proses metabolisme berjalan lebih cepat sehingga
perkembangan embrio juga akan lebih cepat yang berakibat lanjut pada
pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif. Namun demikian, suhu
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat proses penetasan,
bahkan suhu yang terlalu ekstrim atau berubah secara mendadak dapat
menyebabkan kematian embrio dan kegagalan penetasan. Juwana dan
Romimohtarto (2000), menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pemeliharaan
telur dan larva kepiting bakau berkisar antara 28-31 ºC.
Faktor cahaya juga mempengaruhi masa pengeraman, telur yang
diletakkan pada tempat yang gelap akan menetas lebih lambat dibandingkan
dengan telur yang diletakkan pada tempat yang terang.
2.5.3. Faktor Biolgi
Faktor yang berpengaruh pada penetasan telur salah satunya adalah adalah
bacteria, jamur dan protozoa yang berakibat cacatnya telur, proses penetasannya
semakin lambat dan mengurangi tingkat optimal atau kualitas telur bahkan telur
yang menetas tidak normal dikarenakan melekatnya, terinfeksi oleh bakteri dan
jamur pada telur kepiting bakau.
13
2.6. Penetasan Telur Kepiting Bakau (Scylla Serrta)
Selama proses penetasan telur berlangsung induk kepiting tidak diberi
pakan apapun. Penetasan telur kepiting dapat dilakukan dalam bak fiber gelas
yang berbentuk kerucut dengan volume 300 – 500 liter. Bak di isi air laut yang
disaring dengan fiber bogdan diaerasi secukupnya agar tidak mengganggu induk
yang akan menetaskan telurnya.
Air laut untuk penetasan sebaiknya mempunyai salinitas berkisar 32-35
ppt. Penetasan yang berlangsung pada suhu 29-30ºC dan salinitas 35 ppt
menghasilkan tingkat penetasan telur (hatching rate) kepiting terbesar 93,60 %
dan akan menurun sejalan dengan menurunnya salinitas. Untuk mengetahui
fekunditasnya,satu buah bak penetasan dapat di isi seekor induk kepiting matang
telur.
Induk kepiting yang telah dimasukkan dalam bak penetasan tidak lagi
diberi pakan sampai telur-telurnya menetas perendaman telur dengan larutan
formalin berkadar 10 ppm dengan lama 24 jam di dalam bak penetasan sangat
membantu untuk membersihkan telur dari jamur yang menempel.
Selama perendaman dalam batas waktu tersebut, induk kepiting dan
perkembangan embrio dalam telur tidak berpengaruh. Penetasan berlangsung
selama 1-2 hari setelah induk dimasukkan kedalam bak penetasan. Penetasan
berlangsung pada pagi hari antara pukul 06.30-09.00 selama kurang lebih 1
sampai 2 jam dalam proses penetasan.
14
Gambar 4. Kepiting Matang Gonad.
2.7. Salinitas
Salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air.
Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu
rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama. Rasio
ini dihitung berdasarkan konidisi suhu 15°C.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.
Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan
garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil
sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%.
Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline
bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine. Air laut secara
alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Effendi
(2003), salinitas yang optimal untuk larva kepiting berkisar 28–31 ppt.
15
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2016 pada Divisi
Pembenihan Kepiting di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.
Lokasi penelitian berada di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong,
Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
3.2. Alat dan Bahan
Keberhasilan suatu penelitian sangat ditunjang kelengkapan alat dan
bahan yang digunakan. Alat yang digunakan selama penelitian disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan pada saat penelitian
No Alat Kegunaan
1 Akuarium ukuran 50x40x30 cm3 Wadah pengamatan/penetasan
2 Bak Menampung air media/induk
3 Perlengkapan Aerasi Mensuplai oksigen
4 Blower Penambah/suplai oksigen
5 Timbangan Menimbang
6 Gelas ukur 1 L Menakar jumlah air media
7 Saringan Menyaring
8 DO Meter Mengukur oksigen terlarut
9 Thermometer Mengukur suhu
10 pH Meter Mengukur derajat keasaman
16
Bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan dan kegunaan pada saat penelitian
No Bahan Kegunaan
1 Rajungan bakau gonad Hewan uji
2 Air laut Media penelitian
3 Air tawar Media pengenceran salintas air laut
4 Kaporit Sterilisasi bahan dan air media
5 Natrium thiosulfat Menetralkan air media
6 Deterjen Membersihkan wadah penelitian
3.3. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan melipiti persiapan induk kepiting
bakau, persiapan wadah penelitian, persiapan media penelitian, dan penentuan
salinitas.
3.3.1. Persiapan Induk Kepiting Bakau
Untuk melakukan pembenihan kepiting bakau, kepiting bakau betina
yang diperlukan dalam pelitian ini. Tentu kepiting bakau betina yang dipilih
haruslah yang sudah matang gonad. Kematang gonad pada kepiting bakau betina
bisa dilihat dari bagian bawah perut kepiting dengan cara membuka katupnya.
Kepiting bakau betina yang sudah matang gonad dan siap memijah mempunyai
telur berwarna oranye gelap. Jika kepiting bakau betina mempunyai telur yang
belum matang dan ditandai dengan warna yang masih kuning cerah, kepiting
bakau betina ini perlu diablasi di salah satu tangkai matanya.
17
Berat induk kepiting yang digunakan yaitu berat induk kepiting betina
matang gonad dengan TKG IV yaitu 490 gram selain itu kelengkapan tubuh pada
calon induk juga sangat perlu di perhatikan karena kualitas induk yang baik
adalah induk yang tidak memiliki kecacatan organ tubuh (Kanna, 2002).
3.3.2. Persiapan Wadah Penelitian
Penelitian ini menggunakan 9 buah akuarium berkapasitas 50 liter yang
diisi air sebanyak 30 liter serta dilengkapi aerasi untuk mensuplai oksigen pada
media penetasan. Sebelum digunakan wadah penelitian terlebih dahulu dicuci
dengan menggunakan air sabun dan dibilas hingga bersih. Siapnya wadah
penelitian ditandai dengan sudah keringnya wadah tersebut.
3.3.3. Persiapan Media Penelitian
Air yang digunakan dalam penetasan telur kepiting bakau disterilisasi
menggunakan larutan kaporit 20 ppm minimal selama 24 jam. Selama proses
sterilisasi air, aerasi tetap dijalankan dengan posisi keluaran udara maksimal. Air
yang telah steril ditampung pada bak penampungan dan selalu dalam keadaan
tertutup rapat untuk menghindari kontaminan. Air yang telah dikaporit sebelum
digunakan terlebih dahulu dinetralkan dengan natrium thiosulfat 10 ppm. Air
dapat digunakan setelah dilakukan test chlorin yang menunjukkan kandungan
Chlorine sebesar 0 ppm. Air yang telah disterilkan tersebut siap untuk digunakan
sebagai media penelitian.
18
3.3.4. Penentuan Salinitas
Setelah air media telah siap maka tahap selanjutnya yaitu mentukan
salinitas sesuai perlakuan uji. Untuk mendapatkan media perlakuan sesuai dengan
tingkat salinitas yang diinginkan, dilakukan teknik pengenceran menggunakan
rumus:
V1 X N1 = V2 X N2
Dimana :
V1 = volume air laut
N1 = salinitas air laut mula-mula
V2 = volume setelah pengenceran
N2 = salinitas setelah pengenceran.
Setiap perlakuan dibuat sebanyak masing-masing 3 wadah sehingga
jumlah air media yang telah dibuat pengenceranya sebanyak 9 wadah, yang
berasal dari 3 perlakuan dikalikan 3 ulangan. Setiap perlakuan salinitas juga
dibuat air media cadangan untuk persiapan pergantian air pada saat dibutuhkan.
3.4. Rancanagan Penelitian
Salinitas yanga digunakan dalam penelitian ini teridiri atas 3 perlakuan
dan 3 ulangan sehingga terbentuk 9 unit wadah penelitian. Adapun perlakuan
yang diuji adalah sebagai berikut:
Perlakuan A dengan Salinitas = 25ppt
Perlakuan B dengan Salinitas = 30ppt
Perlakuan C dengan Salinitas = 35ppt
19
Penempatan perlakuan dalam wadah percobaan dilakukan secara acak
dengan cara undian Gasperz, (1994). Tata letak percobaan tersebut disajikan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Rancangan Acak Lengkap.
3.5. Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati meliputi daya tetas telur kepiting bakau dan analisis
kualitas air.
3.5.1. Daya Tetas Telur
Proses penetasan berlangsung pada pagi hari. Larva yang baru menetas
disebut pre-zoea yang sekitar 30 menit kemudian akan bermetamorfosa menjadi
Zoea-1. Zoea yang baru menetas dan telur yang tidak di buahi dihitung dari
sampel dan derajat penetasan. Jumlah total zoea yang dihasilkan diestimasi dari 5
titik dengan menggunakan aliquot water samples dengan volume 1 ml (Millamena
dan Quinitio, 2000). Zoea yang baru menetas dan telur yang tidak terbuahi
A1
B3
C2
B2
C3
A2
C1
A3
B1
20
dihitung dari sampel dan derajat penetasan dikalkulasi dengan menggunakan
formula sebagai berikut:
HR= HZ
HZ+UFEX100%
Dimana : HR = Derajat penetasan (%)
HZ = Jumlah zoea yang menetas
UFE = Jumlah telur yang tidak dibuahi
3.5.2. Analisis Kualitas Air
Untuk menjaga kualitas air media penelitian, maka sisa-sisa pakan dan
kotoran kepiting uji setiap hari dibuang dengan cara menyipon. Agar kualitas air
media senantiasa berada dalam ambang batas kelayakan penetasan telur kepiting
bakau. Untuk mempertahankan salinitas perlakuan, maka dilakukan pengukuran
salinitas pada setiap pagi, siang dan sore dengan menggunakan hand
refraktometer. Jika terjadi peningkatan salinitas, maka dilakukan penambahan air
tawar sampai salinitas media sesuai dengan perlakuan. Selain salinitas parameter
kualitas air yang diukur meliputi pH, suhu, dan oksigen terlarut. Pengukuran
dilakukan 3 kali sehari hingga telur menetas menjadi larva.
3.6. Analisa Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan salinitas berbeda terhadap
hatching rate telur kepiting bakau, maka dianalisis sidik ragam (Anova) dengan
bantuan SPSS 16.0. Apabila pengaruh perlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan
dengan uji lanjut dengan metode LSD (Least Significant Differences), untuk
mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Daya Tetas Telur Kepiting Bakau
Daya tetas telur kepiting bakau setiap perlakuan dengan salinitas berbeda
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Daya tetas telur kepiting bakau pada setiap perlakuan
Perlakuan Ulangan Jumlah
(%) HR (%)
1 2 3
A 50.00 48.72 48.72 147.44 49.15a
B 52.56 50.72 52.56 155.84 51.95b
C 46.15 44.87 44.38 135,40 45.13c
Keterangan: Huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antara perlakuan
pada taraf 5% (p < 0,05).
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa daya tetas telur kepiting bakau
terdapat pada perlakuan B (30 ppt) yaitu 51.95%. Disusul perlakuan A (25 ppt)
dengan daya tetas 49.15%. Daya tetas telur kepiting bakau terendah terdapat pada
perlakuan C (35 ppt) yaitu 45.13%. Hasil analisis of Varians (ANOVA)
menujukkan bahwa perlakuan dengan salinitas berbeda terhadap daya tetas telur
kepiting bakau berpengaruh nyata ntara perlakuan (p<0,05). Hasil uji lanjut
dengan metode LSD menujukkan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan
perlakuan B dan C. Perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A dan C.
Peranan salinitas pada perkembangan telur kepiting rajunga berhubungan
dengan proses osmoregulasi. Osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik
cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis
22
tubuhnya berjalan normal (Rahardjo, 1980 dalam Wulandari, 2006). Daya tetas
telur kepiting bakau dengan salinitas berbeda juga disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Rata-rata daya tetas kepiting bakau pada setiap perlakuan.
Ditinjau dari aspek ekofisiologi, organisme akuatik dapat dibagi ke
dalam dua kategori sehubungan dengan mekanisme kemampuan dalam
menghadapi tekanan osmotik media (salinitas), yaitu osmokonformer dan
osmoregulator. Osmokonformer adalah organisme yang secara osmotik labil
karena tidak rnemiliki kemampuan mengatur osmolaritas (kandungan garam dan
air) cairan internalnya. Oleh karena itu, osmolaritas cairan tubuhnya selalu
berubah sesuai dengan kondisi osmolaritas media hidupnya. Osmoregulator
adalah organisme yang mempunyai kemampuan untuk menjaga kemantapan
lingkungan internalnya dengan cara mengatur osmolaritas cairan internalnya
(Mantel dan Farmer, 1983: Nybakken, 1990).
Gambar 6, terlihat bahwa daya tetas telur kepiting bakau tertinggi
terdapat pada perlakuan B (30 ppt) yaitu 51.95%. Hal tersebut merupakan
perlakuan terbaik karen salinitas 30 ppt dianggap paling dapat ditolerir oleh telur
49.15 51.9545.13
0
10
20
30
40
50
60
A B C
Day
a Te
tas
(%)
Perlakuan
23
kepiting bakau untuk dapat menetas menjadi larva. Salinitas 30 ppt juga membuat
telur masih dapat menjaga kemantapan lingkungan internalnya dengan cara
mengatur osmolaritas cairan internalnya. Kanna, (2002) menyatakan bahwa
salinitas sangat penting untuk mengetahui tingkat keberhasilan penetasan telur
kepiting.
Daya tetas telur kepiting bakau tertinggi kedua terdapat pada
perlakuan A (25 ppt) dengan daya tetas 49.15%. Rendahnya daya tetas
dibandingkan perlakuan B disebabkan telur mulai kehilangan keseimbangan
mengatur ion dalam tubuh dengan ion yang ada dalam media. Hal tersebut
disebabkan karena salinitas 25 ppt belum optimal sebagai media penetasan telur
kepiting bakau. Anggoro (1992), bahwa pada tingkat salinitas yang terlalu tinggi
atau rendah dan fluktuasinya yang lebar dapat menyebabkan kematian pada
organisme akuatik. Kematian tersebut disebabkan gejala osmolaritas internal,
yaitu terganggunya keseimbangan osmolaritas cairan dalam tubuh telur kepiting
bakau dengan cairan media. Semakin besar perbedaan osmolaritas antara cairan
tubuh telur dengan media eksternalnya, akan semakin besar pula kebutuhan energi
untuk kerja osmotik.
Perlakuan dengan daya tetas terendah terdapat pada perlakuan C (35 ppt).
Tingginya salinitas air media penetasan membuat telur kepiting sulit
menyeimbangkan ion media dengan ion yang ada dalam telur. Hal tersebut
membuat cangkang telur mengeras sehingga lebih banyak telur gagal menetas
menjadi larva. Subyakto dan Cahyaningsih, (2003) menyatakan bahwa salinitas
yang terlalu tinggi membuat cangkang telur menjadi mengeras sehingga
24
menyulitkan larva keluar dari telur, dan juga dapat menyebabkan cacat bahkan
kematian pada larva.
4.2. Kualitas Air
Selama penelitian dilakukan pula pengukuran kualitas air media
penetasan dari semua perlakuan. Parameter kualitas air media penelitian disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Parameter kualitas air media penelitian dari setiap perlakuan.
Parameter Perlakuan
A B C
Suhu (°C) 26-31 26-31 26-31
pH 7,30-8,15 7,30-8,13 7,30-8,05
DO (ppm) 4,55-5,81 4,54-5,80 4,50-5,80
Sumber: Hasil Pengukuran, 2016.
Pada Tabel 4, terlihat bahwa suhu dari semua perlakuan berkisar antara
26-31 ºC. Hasil pengukuran tersebut masih dalam kondisi layak sebagai media
penetasan kepiting bakau. Juwana dan Romimohtarto (2000), menyatakan bahwa
suhu yang baik untuk pemeliharaan telur dan larva kepiting bakau berkisar antara
28-31ºC.
Derajat kesaman (pH) pada semua media penetasan berkisar antara 7,30-
8,15. Hasil pengukuran tersebut juga masih dalam kondisi layak untuk penetasan
telur kepiting bakau hingga menjadi larva. Air payau cukup terbuffer dengan baik
sehingga pH airnya jarang turun mencapai nilai dibawah 6,5 atau meninggkat
hingga mencapai nilai 9 sehingga efek buruk pada telur dan larva kepiting bakau
jarang terjadi (Boyd, 1990 dalam Karim, 2013). Derajat kesaman (pH) yang baik
25
untuk pemeliharaan larva kepiting bakau berkisar 7,0-7,8 (Christensen dkk.,
2005).
Menurut Kasry (1996 dalam Fauzan, 2011) kandungan oksigen terlarut 4
ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan
organisme dalam perairan. Hal ini masih sesuai dengan hasil pengukuran pada
semua media penetasan 4,50-5,81 ppm.
26
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kualitas air media penetasan terutama salinitas sangat mendukung
daya tetas dan kelangsungan hidup larva kepiting bakau.
2. Daya tetas tertinggi diantara semua perlakuan terdapat pada
perlakuan B (30 ppt) dengan daya tetas rata-rata 51.95% hasil
Analisis of Varians (ANNOVA).
3. Perlakuan dengan salinitas berbeda pada daya tetas telur kepiting
bakau berpengaruh nyata antara perlakuan (p<0,05) dan media
penetasan masih dalam kondisi layak.
5.2. Saran
Disarankan memperhatikan dan menjaga kualitas air terutama salinitas
media penetasan telur kepiting bakau untuk memperoleh hasil penetasan telur
yang optimal. Disarankan pula menguji salinitas 30 ppt dengan penebaran dan
volume air yang lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S. 1992. Efek Osmotik Tingkat Salinitas Media Terhadap Daya Tetas
Telur dan Vitalitas Larva Udang Windu, Penaeus monodon Faabricus,
Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Christensen, S.M., D.J. Macintosh and N.T. Phuong. 2005. Pond Production of
the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea
(Herbst) in the Mekong Delta, Vietnam, using two different suppele
mentarydies. Aqua Res 35:1013-1024.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Faudzan, A. 2011. Tingkat Pemberian Pakan Alami Artemia salina terhadap
Pertumbuhan dan Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia
Megalopa. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah
Makassar. Makassar.
Gasperz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. 472 hal.
Ghufron, M. H. dan Kordi K. 1997. Budidaya kepiting dan Ikan Bandeng di
Tambak Sistem Polikultur. Dahara Prize,Semarang, (1):33-38.
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan Perikanan, Cara Budidaya dan
Menu Masakan. Djambatan. Jakarta. 47 hal.
Kanna Iskandar. 1991. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta.
Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Karim. M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya, dan Pembenihannya).
Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta.
Mantel, L.H. and Farmer, L.L. 1983. Osmotic And Ionic Regulation. Dalam
Mantel L.H. (Ed.) The Biology of Crustacea, Vol. 5. Academic Press Inc.,
New York.
Millamena dan Quinitio. 2000. The effects of diet on reproductive performance of
Eyestal kablated andintactmud crab (Scylla serrata). Aquaculture.
Mulyawan, B., H. Triajie, dan Y. Perwitasari. 2010. Uji perbedaan salinitas
terhadap daya tetas telur (hatching rate) kepiting bakau (Scylla
serrata). J. Kelautan, 3(2):152-158.
28
Nybakken, J.W. 1990. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman, HM,
Koesoebiono, Bengen, D.G., Hutomo, M., Sukardjo, S. (Penerjemah).
Terjemahan dari: Marine Biology and Ecological Approach. PT
Gramedia, Jakarta.
Soim, A.,1996. Pembesaran Kepiting. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Subyakto, S dan Cahyaningsih, S. 2003. Pembenihan Ikan Kerapu Skala Rumah
Tangga. Argo Media Pustaka. Jakarta.
Wulandari AR. 2006. Peranan Salinitas terhadap Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan Benih Ikan Bawal Air Tawar Colossoma macropomum.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
29
LAMPIRAN PENELITIAN
Lampiran 1. Tabel data berat induk dan gonad kepiting bakau pada penelitian.
Perlakuan Berat awal
(gram)
Berat akhir
(gram)
Berat total
Telur (gram)
Jumlah telur
tiap mg
Jumlah
total telur
A1 490 400 90 26 2.340.000
A2 490 400 90 26 2.340.000
A3 492 402 90 26 3.340.000
B1 490 400 90 26 2.340.000
B2 491 400 91 26 2.366.000
B3 490 400 90 26 2.340.000
C1 492 402 90 26 2.340.000
C2 490 400 90 26 2.340.000
C3 491 400 91 26 2.366.000
Lampiran 2. Tabel kepadatan larva kepiting bakau pada setiap perlakuan
Perlakuan Kepadatan
larva/ml
Jumlah air
media (liter)
Jumlah larva
(ekor)
Jumlah total
telur (butir)
Telur mati
(butir)
A1 39 30 1.170.000 2.340.000 1.170.000
A2 38 30 1.140.000 2.340.000 1.200.000
A3 38 30 1.140.000 2.340.000 1.200.000
B1 41 30 1.230.000 2.340.000 1.110.000
B2 40 30 1.200.000 2.366.000 1.196.000
B3 41 30 1.230.000 2.340.000 1.110.000
C1 36 30 1.080.000 2.340.000 1.260.000
C2 35 30 1.050.000 2.340.000 1.290.000
C3 35 30 1.050.000 2.366.000 1.290.000
30
Lampiran 3. Hasil uji anova daya tetas telur kepiting bakau.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:HR
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 70.368a 2 35.184 42.054 .000
Intercept 21382.238 1 21382.238 2.556E4 .000
Perlakuan 70.368 2 35.184 42.054 .000
Error 5.020 6 .837
Total 21457.626 9
Corrected Total 75.388 8
a. R Squared = ,933 (Adjusted R Squared = ,911)
Lampiran 4. Hasil uji lanjut LSD daya tetas kepiting bakau.
Multiple Comparisons
HR
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A B -2.8000* .74683 .010 -4.6274 -.9726
C 4.0133* .74683 .002 2.1859 5.8408
B A 2.8000* .74683 .010 .9726 4.6274
C 6.8133* .74683 .000 4.9859 8.6408
C A -4.0133* .74683 .002 -5.8408 -2.1859
B -6.8133* .74683 .000 -8.6408 -4.9859
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,837.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
31
Lampiran 5. Foto-foto penelitian
Pakan induk kepiting bakau
Persiapan air media penetasan
32
Penetuan/pengukuran salinitas air media
Gonad kepiting bakau
33
Gonad TKG IV/ sebelum menetas
Induk kepiting setelah penetasan
34
Mengambil sampel kepadatan larva kepiting bakau
Alat ukur parameter kualitas air.
35
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lura Tanggal 07 Maret 1990 oleh kedua
orang tua tercinta ayah Dahlan dan Ibu Ruga, yaitu anak ke 4 dari
6 bersaudara. Adapun pendidikan yang dilalui yaitu SD Negeri
110 Lura pada Tahun 1997 dan Tamat pada Tahun 2005. SMP Negeri 3
Anggeraja dari Tahun 2005 sampai 2008. Melajutkan pendidikan pada SMA
Negeri 1 Anggeraja Tahun 2008 sampai 2011. Kemudian pada Tahun 2011
penulis melanjutkan kuliah Strata Satu (S1) pada Universitas Muhammadiyah
Makassar (UMM) di Fakultas Pertanian dengan Program Studi Budidaya Perairan
dan selesai pada Tahun 2016 dengan judul skripsi Optimasi Salinitas Yang
Berbeda Terhadap Daya Tetas Telur Kepiting Bakau (Scylla serrata).