Opiod
-
Upload
rumahorbo-hinsa-julian -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of Opiod
-
7/29/2019 Opiod
1/34
Bab 14
Opioid
SEJARAH
Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi
nyeri. Zat opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata
opium sendiri berasal dari kata opos, yang dalam bahasa Jerman artinya
juice. Opium terdiri lebih dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang
ahli farmasi telah mengisolasi suatu zat yang disebut sopofiric principleyang
terkandung di dalam opium, kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama
morfin, berasal dari nama dewa Morpheus. Penelitian-penelitian untuk
mengisolasi alkaloid opium lainnya terus dilakukan, sehingga sejak
pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih banyak digunakan
di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium langsung.
Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir
800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi
morfin oral, efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential
abuse. Morfin telah digunakan secara luas untuk menangani tentara yang
terluka saat perang masyarakat Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard
menggunakan morfin sebagai obat premedikasi. Akan tetapi penggunaan
opioid jika tanpa obat pelumpuh otot, dan kontrol terhadap ventilasi, dapat
menyebabkan resiko depresi pernapasan parah dan kematian, karena itu
penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas.
Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950,
berkembang pula opioid asnesthesia. Satu dekade kemudian, Lowenstein
melaporkan penggunaan morfin dalam dosis besar yang progresif tanpa
menyebabkan efek samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian
dijelaskan tentang keterbatasan teknik tersebut, termasuk penekanan
terhadap respon stress yang tidak lengkap, hipotensi, dan bangun kembali
saat dalam anestesi. Menurut Stanley, morfin dalam dosis tinggi dihubungkan
dengan adanya kejadian peningkatan kebutuhan cairan dan darah.
Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957
telah dibuat bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-
-
7/29/2019 Opiod
2/34
anilinoperidine baru dibuat sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini
memiliki efek yang lebih poten dan memiliki savety margin yang lebih baik
dibandingkan meperidine. Kemajuan teknik bedah menimbulkan
meningkatnya kebi\utuhan opioid yang memiliki efek lebih poten, dengan
onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta memiliki savety
margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl, alfentanyl,
dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang
terbaru, remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan
cepat. Hal itu menyebabkan keamanan fleksibilitas yang lebih.
Penelitian tentang analgesik opioid yang tidak berpotensi
menyebabkan ketergantungan mulai muncul sejak adanya kekhawatiran
tentang adiksi opioid. Pada pertengahan tahun 1960, nalorphine, obat yang
telah diketahui memiliki efek yang berlawanan dengan morfin, ternyata juga
memiliki efek analgesik. Dua zat lain yang memilki efek berlawanan dengan
morfin adalah pentazocine, cyclazocine. Keduanya memiliki efek psikotrofik
yang tidak dimiliki oleh morfin, disamping itu pentazocine juga memilki efek
analgesik. Martin mencetuskan tentan adanya teori dualisme reseptor, yang
memiliki dua konsep kunci, yaitu : 1)Adanya reseptor opioid multipel, 2)
Adanya farmakologik redundancy. Oleh sebab itu, sebuah obat dapat memilki
efek agonis kuat, agonis parsial, atau antagonis kompetitif tergantung pada
tipe reseptornya. Berdasarkan penelitian, didapatkan adanya 3 macam famili
peptida opioid, dan ada banyak reseptor opioid. Penelitian selanjutnya
meneliti tentang zat yang memiliki efek analgesia poten, dengan efek
samping yang lebih sedikit.
TERMINOLOGI
Kata opiat digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium,
termasuk morfin, derivat semisintetiknya, serta kodein. Secara umum opiat
adalah semua jenis obat, baik alami maupun sintetik, yang memilki sifat
morfin, termasuk pula peptida endogen. Kata narkotik berasal dar bahasa
Jerman, narkotikos, digunakan untuk morfin dan analgesik yang memiliki sifat
seperti morfin. Akan tetapi karena kata narkotik banyak digunakan dalam
konteks legal, karena dapat menyebabkan ketergantungan, maka kata
narkotik tidak digunakan dalam konteks farmakologi dan klinik.
-
7/29/2019 Opiod
3/34
Opiod dapat memilki efek agonis, agonis parsial, agonis-antagonis,
maupun antagonis kompetitif, tergantung ikatan terhadap reseptor. Menurut
teori tentang reseptor, ada dua karakteristik pada reseptor : afinitas,
kemampuan untuk berikatan dengan reseptor dan membentuk kompleks yang
stabil ; aktivitas intrinsik atau efikasi, yang digambarkan dengan kurva efek
berdasarkan dosis, sebagai hasil kombinasi obat dengan reseptor. Efikasi
dapat berkisar mulai dari tidak ada efek, hingga efek maksimal, dalam kurva
efek dosis akan tampak gambaran plateue (Fig. 14-1). Pemberian agonis
dalam dosis yang cukup tinggi akan menghasilkan efek maksimal akibat
berikatan dengan reseptor, sedangkan antagonis tidak akan menimbulkan
efek langsung apabila berikatan dengan reseptor. efek agonis parsial lebih
rendah dibanding efek maksimal yang dapat dihasilkan oleh agonis penuh,
sehingga kurva efek dosis tampak lebih curam dibandingkan dengan kurva
efek dosis agonis penuh. Campuran agonis-antagonis, memilki efek agonis
pada satu reseptor, dan memilki efek antagonis pada reseptor lainnya. Efikasi
berhubungan dengan kisaran efek yang dihasilkan oleh kombinasi ikatan
dengan reseptor, relatif terhadap efek maksimal yang mungkin terjadi.
Sedangkan Potensi adalah mengenai dosis relatif yang diperlukan untuk
menghasilkan efek, berhubungan dengan afinitas reseptor.
OPIOID ENDOGEN DAN RESEPTOR OPIOID
Reseptor opioid telah ditemukan pada jaringan otak, sebelum endogen
opioid berhasil diisolasi. Pada tahun 1975, Hughes dan teman-teman
mengidentifikasi adanya dua buah pentapeptida yang memiliki aktifitas opioid
yang poten, dan dalam waktu 10 tahun, lebih dari 20 peptida opioid telah
berhasil diidentifikasi. Semua opioid endogen berasal dari 3 prohormon, yaitu
proenkepalin, prodinorpin, dan proopiomelanokortin (POMC), masing-masing
prekursornya telah dikode oleh sejumlah gen. Tiga famili peptida dibedakan
berdasarkan distribusinya, selektivitas terhadap reseptor, dan
neurochemicalnya, akan tetapi mereka juga memilki persamaan sifat.
Sebagai contoh, opioid endogen dari ketiga famili, memiliki urutan
pentapeptida yang dimulai dari (Leu)-atau (Met)-enkepalin. Proenkepalin,
termasukpentapeptida (Met)-dan (Leu)-enkepalin. Dan sell yang mensintesa
proenkebpalin, banyak tersebar di dalam otak dan medula spinalis, serta di
bagian perifer, terutama medula adrenal. Proopiomelanokortin merupakan
-
7/29/2019 Opiod
4/34
prekursor dari beberapa peptida, termasuk -endorfin, adrenokotikotropik
hormon, dan melanosit stimulating hormon. Kata endorfin ditujukan pada
peptida dari famili POMC. POMC terutama disintesa di hipofisis, akan tetapi
juga ditemukan di pankreas dan plasenta. Prodinopin telah lama diketahuisebagai proenkepalin B. Urutan peptida dinorpin semuanya dimulai dari
(Leu)-enkepalin. Seperti pada enkepalin, dinorfin banyak tersebar di otak,
medula spinalis, dan juga di perifer.
Peptida opioid endogen berikatan dengan sejumlah reseptor opioid untuk
dapat menghasilkan suatu efek. Klasifikasi reseptor opioid terus menerus
mengalami perluasan dan mengalami revisi. Klasifikasi dari Martin tentang
reseptor opioid, dibedakan menjadi 3 macam, berdasarkan pada aktivitas
ikatan dari morfin eksogen, ketocylazocine, dan SKF10,047 pada reseptor mu
, kappa, dan sigma. Reseptor opioid lain yang berhasil diidentifikasi adalah
reseptor delta, yang berikatan dengan enkepalin, reseptor epsilon, yang
berikatan dengan endorfin. Dari reseptor-reseptor di atas, hanya reseptor mu,
kappa dan delta yang banyak diakui sebagai reseptor opioid. Telah dibuktikan
pula adanya sub tipe reseptor, yaitu dua mu, dua delta, dan tiga kappa.
Tampak bahwa reseptor spesifik opioid bertanggung jawab terhadap efek
opioid yang berbeda-beda, dan opioid sintetik selektif terhadap tipe dan
subtipe reseptor. Perlu diperhatikan bahwa sangat sedikit opioid endogen
yang memiliki selektivitas tinggi hanya terhadap satu reseptor saja. Dan juga
perlu diingat tentang teori dualisme reseptor, termasuk konsep mengenai
farmakologi redudancy dari fungsi reseptor. Efek opioiod melibatkan interaksi
kompleks terhadap sistem reseptor yang berbeda pada supraspinal, spinal,
dan perifer. Tabel 14-1, menggambarkan tentang pengertian reseptor opioid
yang bertanggung jawab untuk memediasi analgesik opioid dan efek
sampingnya. Kebanyakan opioid yang digunakan pada anestesi klinik saat ini
(fentanyl, morfin dan derivatnya) adalah yang memiliki selektifitas tinggi
terhadap reeptor . Naloxon adalah anatagonis opioid yang paling sering
digunakan, tidak selektif terhadap tipe reseptor.
Pada tingkat selularm peptida opioid endogen dan opioid eksogen
mampu menimbulkan efek melalui komunikasi interneural. Ikatan dengan
reseptor menginisisasi perubahan fungsi fisiologis, akibat hiperpolarisasi dan
-
7/29/2019 Opiod
5/34
inhibisi pelepasan neurotransmiter, efek yang dimediasi oleh second
messenger. Semua reseptor opioid berpasangan dengan G protein, yang
berfungsi untuk meregulasi aktivitas adenilatsiklase, serta fungsi-fungsi
lainnya. Interaksi dengan G protein akan berpengaruh terhadap ion channel.
Reseptor opioid berpasangan dengan jalur kalium, aktivasi pada reseptor
akan menyebabkan peningkatan aliran kalium, yang akan menghambat
pelepasan neurotransmitter dan hiperpolarisasi dari membran sel. Reseptor
juga meningkatkan aliran dari kalium dengan cara yang sama, akan tetapi
juga mempunyai efek terhadap voltage dari aliran kalsium. Reseptor
tampaknya menghambatnya masuknya kalsium melalui voltage dependent
calcium channel.STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Struktur dari alkaloid opium kelas Phenanthrene sangatlah kompleks,
terdiri dari gabungan 5 atau 6 cincin yang bentuknya seperti huruf T, dengan
cincin Phenylpiperidine sebagai pembatasnya, da cincin arometik hidoksilasi
pada aksis vertical. Jenis Phenanthrane yang lain adalah kodein yang
merupakan derivate morfin, dan thebain sebagai precursor oxycodone dan
naloxone.Morphinan memiliki 4 cincin, benzomorphan memiliki 3 cincin,
phenylpiperidine memiliki 2 cincin, sedangan Tyramine yang merupakan
peptide opioid endogen hanya memiliki 1 buah cincin. Semua zat-zat tersebut
mempunyai aktivitas seperti morfin.Thorpe telah menemukan adanya bentuk
reseptor yang terdiri dari struktur dasar 2 ikatan aromatic dan satu anion yang
akan berikatan dengan nitrogen. Perbedaan ikatan pada struktur aromatic
atau anion, akan menghasilkan aktivitas yang berbeda, dapat menyebabkan
kativitas agonis ataupun antagonis. Perbedaan struktur memiliki pengaruh
yang besar terhadap afinitas terhadap reseptor, resisitasi terhadap
pemecahan metabolic, kelarutan dalam lemak, dan farmakokinetik.
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK
Pertimbangan Dasar
Efek opioid ditimbulkan dari kombinasi opioid dengan satu atau beberapa
reseptor pada jaringan yang spesifik. Hubungan antara dosis den efek
bergantung pada variabel farmakokinetik dan farmakodinamik.
-
7/29/2019 Opiod
6/34
Farmakokinetik adalah hubungan antara dosis dan konsentrasi obat terhadap
tubuh. Farmakodinamik berhubungan dengan konsentrasi obat pada target
(otak dan jaringan lain), dan intensitas efeknya.Kita tidak mungkin dapat
melakukan penguuran terhadap konsentrasi obat di dalam darah dan plasma
secara langsung. Oleh karena itu Farmakokinetik mempelajari konsentrasi
obat dalam plasma berdasarkan waktu, sebab darah mudah diambil, dan
merupakan medium untuk menyebarkan obat ke seluruh tubuh.Perubahan
konsentrasi obat dalam darah seiring dengan waktu, bergantung pada proses
psikokimia, termasuk absorpsi, redistribui, biotransformasi, dan eleminasi.
Pada prakteknya, opioid biasanya diberikan secara intravena. Setelah
pemberian secara bolus ataupun infus, konsentrasi obat di plasma akan
segera meningkat dan mencapai puncaknya dalam hitungan menit..
Konsentrasi dalam plasma akan segera menurun dengan cepat, saat
didistribusikan ke daerah ekstravaskular. Kenaikan konsentrasi obat di dalam
plasma hingga mencapainya masuk ke dalam fase distribusi, sedangkan saat
konsentrasi obat mulai semakin menurun, disebut sebagai fase eleminasi.
Penting untuk diketahui bahwa farmakokinetik banyak dipengaruhi oleh
parameter-perameter tertentu, seperti usia, ataupun penyakitnya, saat
pengambilan sampel pemeriksaan, durasi, pembedahan, efek akibat
pemberian oabt lain.
Untuk dapat bekerja pada susunan saraf pusat, opioid harus terlebih
dahulu menembus membran biologis, dar darah ke reseptor pada membran
sel saraf. Kemepuan opioid untuk menembus sawar darah otak tergantung
pada ukuran molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan dengan
protein. Dari kesemuanya itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah
yang memegang peranan paling penting dalam penetrasi obat ke SSP. Di
laborarium, kelarutan dalm lemak diukur dengan menggunakan oktanol, air
atau iktanol:buffer partition koefisien. Ionisasi obat juga berpengaruh terhadap
kelarutan dalam lemak,. Obat yang dalam bentuk tidak terionisasi memiliki
kelarutan 1000-10000 kali diabandingkan bentu terionisasi. Tingkat ionisasi
bergantung kepada pKa dari opioid serta pH lingkungan.Opioid dengan pKa
kurang dari 7,4 memliki fraksi noionisasi yang lebih besar d dalam
pl;asma.Korelasi antara kelarutan dalam lemak dengan permeabilitas
membran tidak selalu dalm bentuk linear. Ikatan protein dalam plasma juga
-
7/29/2019 Opiod
7/34
mempengaruhi redistribusinya, karena hanya fraksi yang tidak berikatan yang
dapat menembus membran sel. Protein plasma yang akan berikatanm
dengan opioid adalah albumin dan 1 acid glycoprotein (AAG). Perubahan
pada konsentrasi AAG, terjadi pada beberapa kondisi tertentu, dan penyakit
tertentu, dan akan menimbulkan perubahan pada kebutuhan opoid.
Dua mekanisme ayng bertanggung jawab terhadap elemimasi obat
adalah biotransformasi dan ekskresi. Opioid mengalami biotransformasi di
hati melalui du buah fase. Fase I meliputi proses oksidasi dan reduksi yang
dikatalisasi oleh P450 dan reaksi hidrolasi. Fase II melibatkan konjugasi dari
obat dan metabolitnya terhadap substrat endogen seperti D-glucoronic acid.
Phenilpiperidine, remifentanil, dimetabolisme melalui hidrolisis ester.Secara
umu metabolit opioid berada dalam bentuk tidak aktif, kecuali untuk N-
dellylated yang merupakan metabolit meperidine,6 atau mungkin 3-
glucoronide. Metabolit diekskresi terutama melalui ginjal, bisa juga melalui
sistem empedu, usus, dan rute lainnya.
MORFIN
Morfin memilki efek terapeutik, akan tetapi juga memiliki efek terhadap
sistem saqraf pusat ( otak dan medula spinalis ), terhadap saluran
pencernaan, serta sistem lainnya. Efek terhadap SSP meliputi Anlgesik,
sedasi, perubahan sifat, depresi pernapasan, mual dan muntah, pruritus,
serta perubahan ukuran pupil. Morfin juga berpengaruh terhadap sekresi
labung, motilitas usus, serta memiliki efek terhadap endokrin, saluran
kencing, sistem sarao autonom. Morfin memiliki efek yang menyerupai opioid
endogen, dengan cara bekerja sebagai agonis pada reseptor 1 dan2.dan
dipertimbangkan sebagai agonis standar terhadap agonis lainnya.
ANALGESIK
Efek analgesik dari morfin adalah hasil dari terbentuknya interaksi
kompleks pada tempat-tempat seperti otak, medula spinalis, jarngan perifer,
melbatkan efek opioid 1 dan 2. Pada tingkt medula spinalis, efek morfin
pada presinaptik adalah pada nociceptor afferen, untuk menurunkan jumlah
substansi P, dan juga hiperpolarisasi pada neuron post sinaptik di substansia
gelatinosa pada cornu spinal dorsalis untuk mengurangi transmisi aferen dari
-
7/29/2019 Opiod
8/34
impuls nociceptive. Analgesik morfin spinal, dimediasi oleh reseptor opioid 2.
Analgesik opioid supraspinal bersumber dari Periaquaductal Gray Matter
(PAG), Locus Ceruleus (LC), dan nukleus di dalam medula, dan secara pimer
melibatkan reseptor opioid 1. Mkroinjeksion morfin ke tempat-tempat
tersebut akan menimbulkan efek analgesik. Penjelasan yang lebih jelas
tentang transmisi nyeri endogen dan jalur modulasinya diberikan dalam bab
55. Pemberian pada tingkat otak dan medula spinalis akan meningkatkan
efek analgesik 10 kali dibandingkan efek yang timbul dari hasil modulasi
reseptor opioid 2. Berdasarkan penelitian pada hewan, morfin juga dapat
menghasilkan efek analgesik melalui mekanisme perifer, terutama dengan
mengaktivasi reseptor opioid pada neurob aferen. Efek analgesik opioid
perifer muncul hanya pada saat terjadi inflamasi.
Walaupun terjadi perubahan cepat pada konsentrasi morfin di dalam
plasma, contohnya pada saat pemberian secara bolus, tidak memliki korelasi
hubungan dengan efek analgesik yang ditimbulkan, akan tetapi perubahan
komsentrasi secara lambat dan konstan akan mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Pasien yang menggunakan analgesk terkontrol akan memiliki
konsentrasi opioid dalam plasma yang konstan. Dibandingkan pemberian
secara intramuskular. Menurut Dahlsrum, konsentrasi minimal yang dapat
menimbulkan efek analgetik (MEAC) dari morfin post operative adalah 10-15
ng/ml. Pada pasien kanker dengan mukositis orofaringeal yang parah,
memerlukan konsentrasi morfin di dalam plasma yang lebih besar untuk
dapat menimbulkan efek analgesik yang adekuat ( 30-50 ng/ml).
EFEK ANESTESI VOLATILE TERHADAP MAC
Pada pasien yang masih dalam keadaan sadar, dosis terapi morfin
efektif untuk mengurangi nyeri, dan meningkatkan kemampuan subyek untuk
mentoleransi nyeri. Agonis seringkali digunakan bersama N2O, dapat
dengan ataupun tanpa pemberian anestesi volatile untuk menghasilkan
Balance anestesi. Roizen den teman-teman mendemonstrasikan adanya
stimulasi elektrik pada Periaqueductal Gray (PAG) matter setelah 1 jam
operasi dapat menurunkan MAC (Minimum Alveolar Concentration) dari
halotan dengan 60% N2O, sebanyak 70%. Suatu mekanisme yang mungkin
terjadi adalah peleapsan opioid endogen setelah stimulasi terhadap PAG.
-
7/29/2019 Opiod
9/34
Pada Hewan Morfin mengurangi MAC anestesi volatile, akan tetapi
tampaknya memilki efek pule terhadap kemampuan anestesi dari morfin.
Pengukuran efek maksimal dari pemberian morfindosis tinggi memiliki
keterbatasan, akibat dari efek samping yang bisa muncul, u\yaitu hipotensi,
serta rigiditas dari dinding perut. Pemberian morfin 1mg/kg bersama dengan
60% N2O akan mengeblok respon adrenergik terhadap insisi kulit dari 50%
pasien. Morfin neuroeksial juga dapt menurunkan MAC. Morfin epidural 4mg
yang diberikan dalam waktu 90 menit, akan mengurangi MAC halotan
sebanyak 30%. Efek dari morfin intratekal terhadap MAC belum jelas. Pada
suatu studi, morfin intra tekal dalam dosis tinggi (0,750 g/kg) mengurang
MAC halotan sebesar 40%, akan tetapi pada dosi 15 g/kg gagal untuk
mengurangi MAC halotan. Alasan terjadinya hal ini masih belum jelas.
EFEK TERHADAP SSP YANG LAIN
Morfin dapat menghasilkan efek sedasi, termasuk gangguan kognitif
dan motorik. Efek samping subyektif yang lain meliputi euforia, disforia, dan
gangguan tidur. Morfin dosis tinggi dan opioid serupa menyebabkan aktivitas
EEG yang lambat, serta penurunan frekuensi. Morfin juga dapat
menyebabkan gangguan tidur, reduksi terhadap REM, dan gelombang tidur
yang lambat. Pada dosis yang sangat tinggi, morfin dapat mengakibatkan
kejang pada percobaan dengan binatang, akan tetapi efek toksik ini tidak
terlihat pada dosis klinis yang diberikan ke manusia.
Morfin menyebabkan konstriksi pupil (miosis) pada manusia. Efek ini
diperkirakan dimediasi oleh nukleus Edinger-Westphal dari nervus
okulomotorius. Tingkat miosis maksimal pada pupil didapatkan dengan
pemberian morfin sebanyak 0,5 mg/kg. Apabila kita tidak memberikan obat-
obat lainnya, maka miosis tampaknya memilki korelasi dengan depresi
ventilasi yang diinduksi oleh opioid. Akan tetapi hipoksemia akibat depresi
respirasi oleh opioid yang parah, justru akan menyebabkan pupil menjadi
dilatasi.
Pemberian morfin secara sistemik dan neuroaksial dapat
menyebabkan pruritus, walaupun efek ini terutanma timbul pada pemberian
secara spinal. Timbulnya pruritus akibat mediasi dari reseptor pada tingkat
kornu dorsalis dari medula (MDH). Secara klinis, antihistamin seringkali
-
7/29/2019 Opiod
10/34
diberikan untuk mengatasi efek samping ini, akan tetapi pruritus yang
diinduksi oleh mikroinjeksi morfin ke MDH tidak dimediasi oleh histamin.
Efektivitas dari antihistamin tersebut mungkin berhubungan dengan efek
sedasi yang muncul.
Morfin juga dapat menyebabkan pelepasan beberapa hormon hipofisis,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Inhibisi terhadap
Corticotropin Releasing Factor dan Gonadotropin Releasing Hormone akan
menurunkan konsentrasi ACTH, -endorfin, FSH dan LH. Prolaktin dan
Growth Hormone Konsentrasinya dapat meningkat, sedangkan pelepasan
hormon ADH justru menurun akibat pemberian opioid.
DEPRESI RESPIRASI
Morfin dan agonis lainnya menghasilkan penekanan terhjadap ventilasi,
dengan cara mengurang respon dari pusat respirasi di medula terhadap CO2.
Dosis terapi standar dari morfin dapar mnyebabkan pergeseran ke kanan,
dan penurunan kurva respon ventilasi terhadap CO2, serta pola pernapasan
yang abnormal. Fig 14-3 menggambarkan tentang perpanjangan durasi dari
respon ventilasi individu terhadap CO2, setelah pemberian morfin dosis tinggi
(2mg/kg). Depresi ventilasi terkihat sebagai pergeseran ke kanan dan
penurunan kurva, setelah 1 jam pemberian naloxon loading dose. (3,66
g/kg) ditambah infus berkelanjutan (3,66 g/kg/jam). Selam dan setelah 10
jam pemberian naloxon infus, Tidal akhir dari CO2 dan ventilasi, secara
bertahap kembali hingga 21 jam setelah pemberian morfin. Efek depresi
respirasi akibat morfin, memiliki efek yang sama baik terhadap remaja
maupun orang tua.
REFLEK BATUK
Morfin dan opioid yang segolong menurunkan reflek batuk, sekurangnya
memiliki sedikit efek langsung ke pusat batuk di medulla otak. Dosis yang
dibutuhkan untuk menurunkan refleks batuk lebih sedikit daripada dosis
analgesik umumnya, dan reseptor membantu efek tersebut menjadi kurang
stereospesifik dan kurang sensitif terhadap nalokson daripada sifat
analgesiknya,.
KEKAKUAN OTOT
-
7/29/2019 Opiod
11/34
Dosis besar intravena morfin (2 mg/kg dimasukkan 10 mg/mnt) dapat
menyebabkan kekakuan otot abdominal dan menurunkan kemampuan dada;
efek ini dicapai 10 menit setelah pemberian morfin lengkap. Orang yang
menerima dosis intravena morfin yang lebih kecil (10-15 mg) dilaporkan
mengalami kenaikan tegangan otot, kebanyakan di leher atau tungkai, tetapi
kadang-kadang di sekitar dada. Kekakuan otot secara drastic meningkat
dengan penambahan 70% N2O. Gangguan mioklonik, seperti mirip kejang,
tetapi tanpa bukti EEG mengenai aktifitas kejang, telah dipantau dengan
dosis tinggi opioid. Golongan opioid yang menginduksi kekakuan otot
sepertinya dimediasi oleh reseptor yang berlokasi di supraspinal, termasuk
di nucleus raphe pontis. Secara temuan klinik, opioid yang menginduksi
kekakuan otot dan kelainan mioklonik lebih sering ditemukan pada saat
induksi, tetapi ditemukan juga saat post operatif, dan dapat memberat untuk
menganggu penggunaan ventilasi manual atau mekanik. Efek-efek ini dapat
dikurangi atau dieliminasi oleh nalokson, obat yang memfasilitasi aktifitas
GABA agonis (seperti thiopental dan diazepam) dan muscle relaxants.
MUAL DAN MUNTAH
Mual dan muntah merupakan efek samping tersering pemberian morfin
dan derifatnya. Peningkatan muntah post operatif dijumpai pada premedikasi
dengan morfin sama banyaknya dengan penggunaan opioid intra operatif
sebagai bagian Teknik Balanced Anesthesia. Insidensi opioid yang
menginduksi mual sepertinya terlepas dari rute pemberian, baik oral,
intravena, intramuskular, subkutan, transmukosa, transdermal, intratekal, dan
epidural. Lebih lanjut, pemeriksaan laboratorium dan klinik post operatif
membandingkan insidensi beratnya mual dan muntah yang ditemukan tidak
ada perbedaan diantara opioid, baik morfin, meperidin, fentanil, sufentanil,
dan alfentanil. Morfin menyebabkan mual dan muntah, tetapi secara fisiologi
dan neurofarmakologi opioid yang menginduksi mual muntah sangat
kompleks. Pusat muntah menerima input dari Chemotactic Trigger Zone
(CTZ) di area postrema medulla, sama asalnya dari faring, traktus GI,
mediastinum, dan pusat penglihatan. CTZ sangat kaya akan opioid, dopamin
(D2), serotonin (5-HT3), histamin, dan (muskarinik) reseptor asetilkolin, dan
juga menerima input dari nervus kranial delapan bagian vestibular. Morfin dan
opioid sejenis menginduksi mual dengan stimulasi langsung ke CTZ dan juga
-
7/29/2019 Opiod
12/34
menyebabkan peningkatan sensitifitas vestibular. Oleh karena itu, stimulasi
vestibular seperti ambulasi secara pasti meningkatkan efek muntah dan
emesis dari morfin. Morfin dosis tinggi dan opioid lain juga memiliki efek
antiemesis nalokson yang reversible setingkat pusat muntah. Pada
percobaan, morfin yang menginduksi mual muntah meningkat setelah infus
morfin dihentikan, yang menimbulkan dugaan bahwa efek antiemetik memiliki
hidup lebih pendek daripada efek emesis. Penjelasan lain yang lebih mungkin
untuk penelitian ini adalah bahwa metabolit aktif morphine-6-glucoronide
terus berakumulasi dan memperburuk muntah. Profilaksis dan terapi opioid
yang menginduksi mual dan muntah termasuk penggunaan yang bekerja
sebagai antagonis di berbagai lokasi teseptor di CTZ seperti yang lain,
propofol dan benzodiazepine, yang mekanisme antiemesisnya belum
diketahui.
MOTILITAS & SEKRESI GASTROINTESTINAL
Morfin dan opioid lain juga berefek pada motilitas GI dan propulsi,
seperti sekresi gaster dan pankreas melalui stimulasi reseptor opioid di otak,
tulang belakang, otot lurik dan otot polos. Aktifitas yang selektif dari reseptor
opioid , dan berbeda secara anatomi yang mempengaruhi fungsi GI
berbeda pula. Morfin menurunkan kontraksi sfingter esophagus dan
menyebabkan tanda-tanda refluks gastroesofageal pada pasien seperti
normal, sedangkan diamorfin, derivat dari morfin secara signifikan
melambatkan pengosongan lambung pada pasien postoperatif. Ini dapat
meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi isi lambung pada pasien yang
teranestesi atau tersedasi. Epidural morfin dapat juga memperlambat
pengosongan lambung. Single dose epidural (4 mg) memperlambat
pengosongan lambung sedangkan dosis intramuskular tidak.
TRAKTUS BILIARIS
Morfin dan opioid lain meningkatkan kontraksi duktus bilier komunis dan
sfingter Oddi. Tanda-tanda yang mengikuti peningkatan tekanan bilier dapat
bermacam-macam mulai dari tanda bahaya epigastrik sampai kolik bilier dan
mungkin nyeri dada. Morfin menyebabkan perlambatan pengosongan
-
7/29/2019 Opiod
13/34
kandung kemih dan meningkatkan konraksi sfingter Oddi yang lebih besar
dibandingkan meperidin. Diduga bahwa morfin menyebabkan kontraksi
traktus bilier via pelepasan histamin.
EFEK GENITOURIN
Retensi urin, terlihat setelah pemberian morfin secara sistemik dan
spinal, mengacu pada efek yang kompleks di pusat dan perifer dari
mekanisme neurogenik. Dopamin agonis apomorfin merupakan terapi efektif
pada retensi urin yang diinduksi oleh spinal morfin pada hewan percobaan,
tetapi terapi ini tidak direkomendasikan dalam praktek klinik karena efek
emetic poten dari apomorfin.
PELEPASAN HISTAMIN
Opioid menstimulasi pelepasan histamin dari basofil seperti pada sel
mast kulit dan paru-paru. Morfin menyebabkan pelepasan histamin; injeksi
morfin intradermal pada konsentrasi 1 mg/ml menyebabkan bintul urtikaria
dan kemerahan. Morfin yang menginduksi pelepasan histamin tidak dapat
dicegah oleh nalokson premedikasi, diduga bahwa pelepasan histamin tidak
dimediasi oleh reseptor opioid. Pelepasan histamine juga bertanggungjawab
akan peningkatan resistensi vaskuler paru-paru dan edema paru akut yang
dihubungkan dengan penyalahgunaan opioid intravena.
EFEK KARDIVASKULER
Opioid sangat popular di anestesi klinik karena mereka sangat reliable
menyebabkan analgesia dan hemodinamik yang stabil. Pada dosis yang
digunakan untuk manajemen nyeri atau sebagai bagian dari Balanced
Anesthesia, morfin memiliki efek yang kecil terhadap tekanan darah atau
detak jantung. Bagaimanapun, dosis terapi dari morfin dapat menyebabkan
dilatasi arteri dan vena, menurunkan resitensi perifer, dan menghambat reflek
baroreseptor, semua ini dapat menyebabkan hipotensi postural. Morfin juga
memiliki kerja langsung di pembuluh darah otot polos. Morfin tidak bekerja
langsung pada sirkulasi serebral. Bagaimanapun, morfin yang menginduksi
depresi pernapasan, retensi CO2 menyebabkan vasodilatasi serebral dan
peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Selanjutnya, morfin dan opioid
poten lain harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang bernapas
spontan dengan cedera kepala atau kondisi lain yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
-
7/29/2019 Opiod
14/34
DISPOSISI KINETIK
Morfin sangat cepat diabsorbsi setelah pemberian intramuskular,
subkutan dan oral. Setelah pemberian intramuskular, puncak konsentrasi
plasma terlihat 20 menit dan waktu paruh absorbsi diduga 7,7 menit. Setelah
pemberian intravena, morfin sangat cepat diredistribusi, rata-rata waktu paruh
redistribusi antara 1,5 menit dan 4,4 menit. Sekitar 35% morfin diikat oleh
protein, utamanya albumin.
PEMBERIAN MORFIN
Di dalam praktek klinik, morfin digunakan sebagai premedikasi,
komponen dari Balanced Anesthesia, dosis tinggi opioid anestesi dan untuk
analgesik post operatif. Pasien mengalami pemanjangan analgesik dan efek
samping seperti depresi pernapasan ketika konsentrasi plasma morfin
rendah.
MEPERIDIN
Merupakan derivat fenilpiperidin, merupakan opioid sintetis total.
Awalnya dipelajari sebagai antikolinergik agen, tetapi ditemukan memiliki
aktifitas analgesik yang signifikan. Potensi analgesik meperidine hanya 1/10
efek morfin dan umumnya dimediasi oleh aktivasi reseptor opioid. Meperidin
juga memiliki afinitas sedang untuk dan reseptor opioid. Tidak sepearti
morfin, konsentrasi plasma meperidine berkorelasi baik dengan efek
analgesic.Dibandingkan dengan morfin, fentanil dan buprenorephin yang
diinjeksi perineural, hanya meperidine mempengaruhi konduksi syaraf dan
mengeluarkan analgesik Karena efek anestesi lokal spinal meperidine dapat
juga menyebabkan blok sensori dan motorik seperti efek simpatolitik yang
tidak dijumpai pada opioid lain.
EFEK SAMPING
Seperti morfin, dosis teraputik meperidin dapat menyebabkan sedasi,
kontriksi pupil dan euphoria. Dosis tinggi meperidin dihubungkan dengan
eksitasi SSP dan kejang. Seperti opioid lain, meperidin menyebabkan
perlambatan pengosongan lambung. Sementara meperidin meningkatkan
tekanan duktus biliaris komunis dan memperlambat pengosongan kandung
kemih,.
-
7/29/2019 Opiod
15/34
DEMAM MENGGIGIL
Meperidin efektif dalam mengurangi demam menggigil dari bermacam
sebab, termasuk anestesi emum dan epidural, reaksi transfusi dan
pemeberian amfoterisin B.
PEMBERIAN MEPERIDIN
Dosis tunggal meperidine diperkirakan 1/10 morfin bila diberikan
perenteral, tetapi memiliki DOA yang lebih singkat. Dosis besar meperidine
selama intraoperatif tidak direkomendasikan karena instabilitas hemodinamik.
Sebagai tambahan, dosis tunggal yang besar atau pemberian lama dapat
menyebabkan kejang karena metabolit normeperidin, sehingga total
pemberian dosis sehari tidak lebih dari 1000 mg/24 jam.
METHADON
Methadon, opioid sintetis ditemukan tahun 1940, memiliki farmakologi
yang mirip morfin. Meskipun struktur kimia sangat berbeda dengan morfin,
factor sterik memaksa molekul untuk menstimulasi cincin pseudopiperidin
menjadi sangat dibutuhkan dalam aktivitas opioid. Karena bersifat eliminasi
waktu paruh yang lama, metadon lebih sering digunakan dalam manajemen
nyeri jangka panjang dan sebagai terapi sindrom pantang opioid.
Dalam pemberian perenteral, onset analgesik sangat cepat sekitar 10-20
menit. Setelah dosis tunggal sampai 10 mg, durasi analgesik mirip morfin.
EFEK SAMPING
Efek samping methadone mirip morfin. Pasien yang menerima 20 mg
methadone pada awal bedah tersedasi dalam periode postoperative cepat,
tetapi tidak tampak depresi pernapasan secara klinik. Sekitar 50% mengalami
mual muntah, yang sangat mudah diterapi dengan obat antiemetik. Methadon
memproduksi efek opioid tipikal pada otot polos. Seperti morfin, dapat
menurunkan aktivitas propulsi usus, dan konstipasi seperti pada spasme
bilier.
Hal ini dapat dilihat sebagai suatu pengamatan seksama terhadap
perubahan tepi spektrum EEG menggunakan konsentrasi remifentanil dalam
plasma. Pada anjing yang dianastesi menggunakan isofluran 1% dan NO
50% dalam oksigen ditemukan bahwa pemberian remifentanil dan alfentanil,
-
7/29/2019 Opiod
16/34
baik dengan dosis rendah maupun dosis tinggi, akan menghasilkan
perlambatan EEG, penurunan aliran darah serebral dan penurunan tekanan
intrakranial yang sama besar. Tekanan arteri rata-rata juga mengalami
penurunan setelah pemberian kedua jenis opioid tersebut, namun saat
tekanan darah dipertahankan dengan pemberian fenilephrin, remifentanil
menghasilkan penurunan aliran darah serebral serta penurunan tekanan
intrakranial yang sama.
Beberapa laporan klinis telah menggambarkan hemodinamika serebral
pada manusia. Pada laporan klinis yang pertama, pemberian bolus
remifentanil (0,5 atau 1,0 g.kg-1) atau alfentanil (10 atau 20 g.kg-1) dilakukan
setelah pengeboran lubang Burr yang pertama. Dalam kondisi dimana telah
terdapat anastesi isofluran atau N2O dan ventilasi terkontrol, kedua jenis
opioid tersebut tidak mempengaruhi tekanan intrakranial dan keduanya
menghasilkan sedikit penurunan tekanan darah arteri rata-rata yang
berbanding lurus dengan dosis. Kemudian suatu penelitian multisenter
dilakukan, dimana anastesi remifentanil/N2O dibandingkan dengan anastesi
fentanil/N2O. Infusi opioid dimulai sebelum induksi; kemudian lajunya
dikurangi setelah dilakukan intubasi dan dilakukan titrasi untuk menjaga
hemodinamika tetap stabil. Tekanan intrakranial (remifentanil 13 10; fentanil
14 13 mmHg) dan tekanan perfusi serebral (remifentanil 78 14mmHg;
fentanil 76 19mmHg) pada kedua regimen besarnya sama. Pada kondisi
dimana dibutuhkan ventilasi yang terkendali dan pengaturan tekanan darah
dengan adjuvan vasoaktif, aliran darah serebral ditemukan sama, sementara
reaktifitas pembuluh darah serebral terhadap CO2 tetap terjaga saat anastesi
dengan remifentanil/N2O dan fentanil/N2O digunakan pada operasi kraniotomi.
Sebuah penelitian lain menjelaskan mengenai efek infusi remifentanil dengan
kecepatan yang berbeda terhadap kecepatan aliran darah serebral pada
pasien yang dijadwalkan untuk operasi bypass graft arteri koroner. Tidak ada
zat inhalan yang digunakan, ventilasi dikendalikan untuk menjaga keadaan
isokapnea dan tekanan darah arteri rata-rata dikendalikan dengan pemberian
fenilephrin. Kecepatan aliran darah serebral berkurang secara signifikan pada
pasien yang menerima remifentanil dosis tinggi (5g.kg-1, diikuti dengan
-
7/29/2019 Opiod
17/34
3g.kg-1.min-1) namun tidak terdapat pengurangan pada dosis sedang (2g.kg-
1, diikuti dengan 1g.kg-1. min-1).
Depresi pernapasanRemifentanil menghasilkan suatu depresi pernapasan yang berbanding
lurus dengan dosis pemberian sebagaimana terukur dengan peningkatan
pada volume CO2 end-tidal dan penurunan dalam saturasi oksigen. Pada
suatu penelitian pada subyek normal dimana dilakukan peningkatan-
peningkatan pada dosis pemberian, dilakukan perbandingan antara efek
depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh remifentanil dan alfentanil. Puncak
depresi pernapasan terjadi 5 menit setelah pemberian masing-masing dosis
remifentanil dan alfentanil, dan efek depresi pernapasan maksimal yang
ditemukan pada pemberian remifentanil 2g.kg-1 sama dengan yang
ditemukan pada pemberian alfentanil 32g.kg-1. Durasi efek depresi
pernapasan, yang diukur sebagai waktu yang diperlukan gas darah untuk
kembali mencapai 10% dari nilai dasar, adalah 10 menit setelah pemberian
remifentanil 1,5g.kg-1 dan 20 menit setelah pemberian remifentanil 2g.kg-1;
sedangkan setelah pemberian alfentanil 32g.kg-1
durasinya adalah 30 menit.Selama infusi opioid yang berkelanjutan, ventilasi per-menit pada keadaan
CO2 terinspirasi sebesar 8% berkurang kurang lebih sebesar 30, 45 da 60%
setelah pemberian infusi remifentanil selama 4 jam sebesar 0,025, 0,050 dan
0,075g.kg-1.min-1. Pemulihan dari depresi pernapasan yang diakibatkan oleh
remifentanil berlangsung cepat, dan ventilasi per-menit kembali ke nilai dasar
setalah 8 menit (dengan simpangan 5-15 menit) setelah penghentian infusi.
Sementara penurunan ventilasi per-menit sebesar 50% yang dihasilkan oleh
infusi berkelanjutan alfentanil 0,5g.kg-1.min-1 selama 4 jam membutuhkan
waktu 61 menit (dengan simpangan 5-90 menit) untuk kembali mencapai nilai
dasar. Dalam suatu penelitian, Glass dan kawan-kawan melaporkan bahwa
konsentrasi remifentanil dalam darah yang dibutuhkan untuk menekan
ventilasi per-menit sebanyak 50% (EC50)pada keadaan CO2 terinspirasi
sebesar 8% adalah 1,17ng.ml-1.
Walaupun waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan rangsang ventilasi
normal cukup singkat pada pasien dan subyek penelitian, pemeliharaan
-
7/29/2019 Opiod
18/34
respirasi spontan selama anastesi umum dengan menggunakan remifentanil
dan zat volatil atau propofol mungkin tidak dapat dilakukan kecuali jika
remifentanil yang digunakan dosisnya rendah. Pengalaman klinis pada
manusia yang bernapas spontan yang diberikan remifentanil dalam kombinasi
baik dengan isofluran maupun propofol telah menunjukkan adanya depresi
pernapasan yang tergantung dosis. Depresi pernapasan dapat ditemukan
pada 10-35% pasien yang menerima remifentanil dengan dosis 0,025g.kg-
1.min-1. Angka ini meningkat sampai 50% pada pasien yang menerima 0,05
g.kg-1.min-1 dan sampai >90% pada pasien yang menerima dosis
0,075g.kg-1.min-1.
Efek hemodinamik
Pada subyek penelitian yang sehat, remberian remifentanil dengan dosis
bolus melebihi 1,0g.kg-1 menghasilkan peningkatan singkat tekanan darah
sistolik (5-20 torr) dan detak jantung (10-25 detak/menit), yang akan kembali
menuju nilai dasar setelah 10 menit. Pada pasien yang dianastesi dengan
isofluran dan 66% N2O dalam oksigen, remifentanil (sampai 5g.kg-1) akan
menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan detak jantung yangbesarnya bergantung pada dosis. Efek-efek ini dapat diperkuat dengan
adanya premedikasi glikopirolat 0,3-0,4 mg dan dapat dengan segera diputar
balik dengan efedrin dan fenilephrin. Sebel dan kawan-kawan mengevaluasi
respon hemodinamik pada pasien yang menerima 2-30 g.kg-1 (dengan
dosis yang ditingkatkan secara bertahap) saat sedang dalam anastesi umum.
Ditemukan bahwa remifentanil dengan dosis melebihi 2g.kg-1 menghasilkan
efek penurunan detak jantung sistolik lebih dari 20%. Konsentrasi histamintidak mengalami perubahan, hal ini menunjukkan bahwa efek hemodinamik
yang timbul tidak berkaitan dengan pelepasan histamin. Suatu rangkaian
laporan klinis yang lain menyatakan adanya bradikardi yang berat (detak
jantung
-
7/29/2019 Opiod
19/34
kurang dari 30 detik (dimana yang dianjurkan adalah 30-60 detik). Hipotensi
yang terjadi pada semua kasus dapat diatasi dengan efektif menggunakan
efedrin dan penghentian sementara remifentanil. Penggunaan beta-blocker
atau calcium-channel blockerpreoperasi tidak menjadi predisposisi terjadinya
bradikardi. Pemberian dosis bolus remifentanil yang lebih kecil (0,3-0,5 g.kg-
1) tidak berkaitan dengan bradikardi yang berat maupun dengan hipotensi.
Mekanisme yang paling mungkin untuk menjelaskan perubahan-perubahan
hemodinamika ini diantaranya adalah penurunan tonus simpatis oleh sistem
saraf pusat dan bradikardi yang diakibatkan oleh refleks vagus.
Efek samping lainnya
Sebagaimana halnya dengan agonis lainnya, remifentanil dapat
menyebabkan mual dan muntah. Hasil sementara menunjukkan bahwa
terjadinya mual dan muntah akibat remifentanil lebih jarang dibandingkan
dengan alfentanil setelah pemberian bolus tunggal pada subyek penelitian
maupun pada pasien yang disedasi dengan infusi opioid dosis-rendah
(remifentanil 0,05g.kg-1.min-1) saat dalam anastesi regional. Pada kecepatan
infusi yang tinggi (1-8g.kg-1.min-1) mual ditemukan pada 70% subyek dan
kaku otot ditemukan pada semua subyek. Pada pasien anak yang menerima
pemberian desfluran dengan atau tanpa remifentanil 0.2g.kg-1.min-1, telah
dievaluasi timbulnya mual dan muntah saat sadar dari anastesi umum. Pada
penelitian ini, penambahan remifentanil tidak menimbulkan peningkatan
insidensi mual atau muntah pasca operasi pada operasi mulut; mual dan
muntah ditemukan pada
-
7/29/2019 Opiod
20/34
pemberian sebanding dengan efek yang ditimbulkan oleh opioid agois
short-actinglainnya.
Kinetika disposisiFaktor struktural utama pada remifentanil adalah suatu gugus ester
fungsional yang mudah mengalami hidrolisis oleh esterase non-spesifik darah
dan jaringan, sehingga metabolismenya sangat cepat. Karena
butirokolinesterase (pseudokolinesterase) tidak ditemukan dapat
memetabolisir remifentanil, maka diduga bahwa defisiensi kolinesterase
plasma dan pemberian zat antikolinergik tidak akan berpengaruh terhadap
pembuangan remifentanil. Dugaan ini telah dikonfirmasi kebenarannya. Tidak
seperti opioid lainnya, pembuangan remifentanil terutama dilakukan oleh
hidrolisis enzimatik, sedangkan redistribusi hanya berperan kecil. Hal ini
menurunkan variabilitas farmakokinetiknya dibandingkan dengan opioid
lainnya. beberapa peneliti telah mengevaluasi farmakokinetik remifentanil
pada manusia. Baik model dua kompartemen maupun tiga kompartemen
telah digunakan untuk menjelaskan kurva penurunan konsentrasi plasma
remifentanil. Glass dan kawan-kawan telah mencoba memberikan dosis bolus
sampai 2g.kg-1 pada subyek normal. Mereka melaporkan adanya volume
distribusi yang kecil, yaitu 0,39 l.kg-1, dan pembuangan yang tinggi mencapai
41 ml.kg-1.min-1. Fase distribusi yang cepat, yaitu 0,9 menit, dan waktu paruh
pembuangan akhir yang singkat, yaitu 9,5 menit, menggambarkan suatu
model dua kompartemen. Westmoreland dan kawan-kawan menemukan
parameter farmakokinetik yang sama pada pasien anastesi yang diberikan 2 -
30g.kg-1, tetapi menyatakan bahwa suatu model tiga-kompartemen lebih
dapat menjelaskan farmakokinetika remifentanil. Waktu paruh distribusi yang
cepat adalah 0,4 - 0,5 menit sedangkan yang lambat adalah 2 3,7 menit,
sementara waktu paruh eliminasi adalah 10 20 menit. Penelitian
melaporkan bahwa terdapat distribusi volume yang sama (kurang lebih 0,3
0,5 l.kg-1) dan klirens total yang tinggi (250 300 l.h-1), kurang lebih 3 4 kali
aliran darah hepar normal.
Walaupun parameter farmakokinetik remifentanil tidak berbeda pada
pasien dengan penyakit hepar kronis atau gagal ginjal, pasien dengan
-
7/29/2019 Opiod
21/34
penyakit hepar tampak lebih sensitif terhadap depresi pernapasan yang
diakibatkan remifentanil (diukur dengan tes hiperbarik). Sedangkan pada
kongener fentanil lainnya gender tidak berpengaruh terhadap farmakokinetik
remifentanil, namun usia lanjut berkaitan dengan adanya penurunan klirens
dan volume distribusi, demikian juga dengan potensinya. Egan dan kawan-
kawan menemukan bahwa farmakokinetika remifentanil hampir sama pada
pasien yang kurus (dalam range 20% dari berat badan ideal) dan obese
(minimal 80% lebih dari berat tubuh ideal), dan dianjurkan penentuan dosis
remifentanil didasarkan pada masa tubuh.
Dosis dan Pemberian Remifentanil
Saat ini sedang dilakukan percobaan-percobaan klinis untuk
menentukan kombinasi dan regimen dosis yang ideal untuk berbagai
prosedur pada pasien rawat inap dan rawat jalan. Namun, sejak diijinkannya
penggunaan remifentanil untuk prosedur klinis, banyak laporan yang
menyatakan regimen dosis untuk remifentanil baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan zat lain untuk induksi dan mempertahankan anastesi
umum dan sebagai komponen dalam sedasi dan perawatan anatesi
terpantau. Karena durasi kerjanya yang sangat singkat, remifentanil lebih baik
diberikan sebagai suatu infusi yang berkelanjutan, namun pemberian dosis
bolus juga dilaporkan cukup efektif.
Sebagaimana telah dijelaskan, remifentanil tidak dapat menjadi zat
tunggal yang efektif untuk induksi anastesi karena dapat timbul penurunan
kesadaran dan kekakuan otot yang tidak dapat diperkirakan. Beberapa
percobaan klinis telah menjelaskan penentukan regimen dosis remifentanil
dan propofol untuk induksi anastesi. Hogue dan kawan-kawan menggunakan
sebuah dosis remifentanil 1g.kg-1 diikuti infusi 1g.kg-1.min-1 dan tiga menit
kemudian diberikan propofol 0,5-1mg.kg-1. Regimen ini menghasilkan respon
hemodinamik yang minimal terhadap intubasi trakea, namun 15% pasien
mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik < 80 mmHg atau tekanan arteri
rata-rata < 60 mmHg). Song dan kawan-kawan membandingkan dosis bolus
fentanil 1g.kg-1, remifentanil 0,5 g.kg-1 dan remifentanil 1g.kg-1 yang diikuti
satu menit kemudian dengan pemberian propofol 2mg.kg-1. Kedua dosis
-
7/29/2019 Opiod
22/34
remifentanil memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan fentanil.
Remifentanil 1g,kg-1 menghasilkan kendali hemodinamika yang paling baik
tanpa hipotensi.
Pengalaman awal dengan remifentanil mengindikasikan bahwa saatdiberikan sebagai bagian dari suatu anastesi seimbang dengan 66% N 2O,
kecepatan infusi remifentanil 0,3-1g.kg-1.min-1 merupakan kecepatan optimal
untuk mencegah respon hemodinamik terhadap stimulus bedah. Saat
kecepatan infusi dipertahankan setinggi 2g.kg-1.min-1 sampai penyelesaian
jahitan terakhir, ventilasi spontan timbul setelah 7 menit. Peacock dan Phillip
telah menyatakan bahwa infusi remifentanil pada kecepatan 0,02-0,05 g.kg-
1
.min-1
bersama dengan isofluran pada konsentrasi end-tidalsebesar 0,8 1,3% akan mempertahankan anastesi dengan adekuat. Saat diberikan dalam
kombinasi dengan infus propofol 75g.kg-1.min-1, kecepatan infusi rata-rata
sebesar 0,25 0,4 g.kg-1 tampak dapat memberikan kendali hemodinamika
yang baik dan memungkinkan pemulihan yang cepat dari anastesi. Dengan
kecepatan infusi propofol yang lebih cepat, sebesar 120-140 g.kg-1.min-1,
infusi reminfentanil dapat dikurangi sampai 0,02 0,05 g.kg-1. Untuk bedah
jantung, kecepatan infusi remifentanil antara 1 sampai 3 g.kg-1.min-1
dikombinasikan dengan dengan infusi propofol dosis rendah sebesar 50
g.kg-1.min-1 dapat menekan dengan efektif timbulnya respon terhadap
pembelahan kulit, sternotomi dan kanulasi aorta.
Suatu kekurangan potensial yang dimiliki remifentanil berkaitan dengan
durasi kerjanya yang singkat. Saat sadar dari anastesi, pasien dapat
mengalami rasa sakit yang cukup berat. Oleh karena itu, apabila diperkirakan
akan timbul nyeri pasca operasi, maka dengan meneruskan infusi remifentanil
dengan kecepatan yang lebih rendah dapat mengatasi masalah ini. Bowdie
dan kawan-kawan menggunakan pendekatan ini pada pasien yang menjalani
beberapa prosedur bedah ortopedi, digestif dan toraks. Pada saat jahitan
terakhir diselesaikan, kecepatan infusi diturunkan sampai 0,05g.kg-1.min-1
dan kemudian dititrasikan untuk mancapai rasa nyaman pasien (saat nyeri
dikatakan tidak ada atau sedikit nyeri). Hampir separuh dari jumlah pasien
ini tidak membutuhkan penyesuaian kecepatan remifentanil lebih lanjut untukanalgesi pasca operasi yang segera; 78% mengalami analgesi yang memadai
-
7/29/2019 Opiod
23/34
dengan kecepatan infusi remifentanil sebesar 0,05 dampai 0,15g.kg-1.min-1.
Apabila nyeri pasca operasi diperkirakan cukup ringan, maka pemberian
NSAID intraoperasi kurang lebih 30 60 menit sebelum akhir operasi dapat
menghasilkan analgesi yang cukup tanpa opioid tambahan.Remifentanil juga dapat digunakan sebagai tambahan untuk sedasi atau
analgesi selama anastesi regional, pemberian anastesi block atau sebagai
bagian dari suatu perawatan anastesi terpantau (monitored anasthesia care
MAC). Pada pemberian dosis sebesar 1g.kg-1 dengan atau tanpa diikuti
pemberian dosis 0,2g.kg-1.min-1 yang diberikan 90 menit sebelum suatu
block opftalmologi, 80% pasien melaporkan tidak adanya rasa sakit saat block
dilakukan. Namun, sebanyak 14% pasien yang menerima infusi tersebutmengalami depresi pernapasan. Selama anastesi regional, suatu pemberian
infusi dengan kecepatan 0,05-0,1g.kg-1.min-1 untuk pemeliharaan dapat
menghasilkan sedasi dan analgesi yang memadai selama operasi yang
dilakukan dengan block saraf regional atau lokal. Secara umum, dosis bolus
remifentanil selama MAC tidak dianjurkan karena meningkatnya resiko
depresi pernapasan dan kekakuan otot, namun hal ini dapat dikurangi dengan
memberikan suatu dosis tunggal secara perlahan-lahan, yaitu > 30 detik.
Kebutuhan dosis remifentanil untuk sedasi/analgesi berkurang cukup banyak
saat dikombinasikan dengan midazolam atau propofol. Gold dan kawan-
kawan menemukan bahwa kebutuhan remifentanil berkurang sebesar 50%
(0,06 dibandingkan dengan 0,12 g.kg-1.min-1) saat pemberian 1-2 mg
midazolam dilakukan pada awal prosedur dalam keadaan anastesi lokal.
Suatu penelitian klinis mengevaluasi beberapa regimen remifentanil ditambah
dengan propofol untuk litotripsi ekstrakorporal gelombang kejut. Dalam
kombinasi dengan propofol 50 g.kg-1.min-1, pemberian remifentanil dalam
dosis kecil dan intermiten (25g.kg-1), yang diberikan dengan waktu lebih dari
15 30 detik, atau suatu infusi berkelanjutan dosis rendah (0,05g.kg-1. min-1)
yang dibantu dengan dosis bolus 12,5g.kg-1 dapat memberikan analgesi
yang memadai, tanpa resiko depresi pernapasan.
-
7/29/2019 Opiod
24/34
AGONIS PARSIAL DAN GABUNGAN AGONIS-ANTAGONIS
Agonis parsial opioid dan gabungan agonis-antagonis opioid merupakan
senyawa sintetis atau semisintetis yang secara struktural berkaitan dengan
morfin. Zat-zat ini memiliki ciri khas berikatan secara aktif dengan beberapa
reseptor opioid dan efek yang berbeda (agonis, agonis parsial atau antagonis)
pada masing-masing jenis reseptor. Efek klinis dari suatu agonis parsial pada
kompleks reseptor opioid cukup rumit. Apabila diberikan sendiri, suatu
agonis parsial memiliki kurva dosis-respon yang lebih datar dan memiliki efek
maksimal yang lebih rendah dibandingan dengan agonis penuh (lihat gambar
13-1 dan kurva paling bawah pada gambar 14-13). Dalam kombinasi dengan
agonis penuh dalam konsentrasi rendah (kurva cf. yang diindikasikan oleh
[Ag] = 0,25 pada gambar 14-13), efek agonis parsial ditambahkan kepada
efek maksimum yang dihasilkan agonis parsial. Dikombinasikan dengan
konsentrasi agonis penuh yang lebih tinggi ([Ag] = 0,67 236), agonis parsial
akan bertindak sebagai suatu antagonis. Obat-obat ini menghasilkan efek
klinisnya melalui ikatan dengan reseptor opioid dan , sebagaimana
dirangkum dalam tabel 14.4. Skema klasifikasi yang dihasilkan dapat berubah
seiring dengan bertambahnya pemahaman kita terhadap obat-obat ini serta
terhadap reseptor-reseptor opioid. Bowdle melakukan review yang
menyeluruh terhadap farmakologi serta penggunaan klinis obat-obat ini dan
obat-obatan lainnya dalam kelas ini. Hanya nalbupine, butorfanol dan
bupremorfin yang dibahas dalam bab ini.
Peran utama obat-obatan campuran agonis-antagonis opioid dan agonis
parsial terus berada dalam kondisi analgesi pasca operasi, namun juga telah
digunakan untuk sedasi intraoperasi, sebagai tambahan saat anastesi umum,
dan untuk memberikan antagonisme terhadap beberapa efek agonis opioid
penuh yang timbul.
Nalbupin
Nalbupin merupakan derivat opioid fenantren. Walaupun lebih sering
diklasifikasikan sebagai suatu agonis dan antagonis , namun lebih tepat
jika dijelaskan sebagai siuatu agonis parsial baik pada reseptor maupun
reseptor . Murphy dan Hug melaporkan bahwa suatu dosis sebesar 0,5
-
7/29/2019 Opiod
25/34
mg.kg-1 dapat mengurangi MAC enfluran sebesar 8%, namun penelitian untuk
mengkaji penurunan MAC pada manusia belum dilakukan. Namun
meningkatkan dosis sampai mencapai 8 kali lipat tidak memberikan
penurunan MAC lebihi lanjut. Penurunan MAC yang sedikit ini, dibandingkan
65% pada morfin mengindikasikan bahwa nalbufin mungkin bukan tambahan
yang baik untuk anastesi umum. Namun, beberapa peneliti telah mengamati
efektivitasnya sebagai komponen dalam anastesi seimbang untuk
pembedahan jantung dan abdomen bagian bawah. Digabungkan dengan
diazepam 0,4mg.kg-1 dan 50% N2O dalam oksigen, suatu dosis loading
sebesar 3 mg.kg-1 diikuti oleh dosis tambahan 0,25 mg.kg-1 sebagaimana
dibutuhkan dalam pembedahan. Tidak terdapat peningkatan lebih lanjut yang
signifikan pada tekanan darah, hormon stres atau histamin, sedangkan
proses sadar dari keadaan anastesi tidak mengalami komplikasi. Nalbufin 0,2
mg.kg-1 telah dibandingkan dengan meperidin 0,5 mg.kg-1 sebagai suatu
adjuvan terhadap anastesi umum dengan halotan 1% dan 70% N2O dalam
oksigen pada pasien bernapas spontan yang menjalani perbaikan hernia
inguinalis. Kedua obat menghasilkan derajat depresi pernapasan yang
menyerupai dan juga terdapat persamaan dalam analgesi pasca operasi serta
efek samping. Efek samping yang paling umum ditemukan adalah rasa
mengantuk. Dalam suatu perbandingan dengan metode double-blinddengan
fentanil pada pembedahan ginekologi, fentanyl ternyata memberikan atenuasi
yang lebih baik terhadap respon hipertensif terhadap intubasi dan stimulasi
bedah. Namun, depresi pernapasan yang signifikan ditemukan pada 8 dari 30
pasien yang menerima fentanil, dan 4 membutuhkan nalokson, sedangkan
pada kelompok yan menerima nabulfin tidak ditemukan adanya depresi
pernapasan. Analgesi yang ditimbulkan hampir sama dan sebagaimana
halnya dengan pada penelitian lain, sedasi pasca operasi umum ditemukan
pada kelompok nabulfin.
Depresi pernapasan yang dihasilkan oleh nabulfin, efek yang
kemungkinan besar diperantari reseptor opioid , memiliki efek puncak yang
ekivalen dengan morfin 30 mg/ 70 kg. Analgesi diperantarai baik oleh reseptor
maupun oleh reseptor. Karena efek ini, nalbufin telah digunakan untuk
melawan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh agonis penuh
-
7/29/2019 Opiod
26/34
sementara tetap memberikan efek analgesi. Dalam suatu perbandingan
double-blind, baik nalbufin maupun entanyl dapat melawan depresi
pernapasan pasca operasi yang diakibatkan oleh fentanil. Namun, pasien
yang menerima nalokson akan lebih sering membutuhkan analgesi
dibandingakan mereka yang menerima nalbufin. Nalbufin juga telah
menunjukkan efektivitasnya dalam melawan depresi pernapasan akibat efek
residu fentanil setelah suatu fentanil anastesi dosis tinggi (100-120 g.kg-1)
pada bedah jantung. Hanya 3 dari 21 pasien yang mengalami nyeri setelah
pemberian nalbufin, dan ini juga dapat diatasi dengan adekuat menggunakan
nalbufin tambahan. Namun, dalam suatu penelitian dengan sukarelawan,
nalbufin 0,21 mg.kg-1 tidak dapat melawan efek depresi pernapasan yang
ditimbulkan morfin 0,21 mg.kg-1.
Walaupun nalbufin dan agonis-antagonis lainnya memiliki efek analgesi
puncak serta efek depresi pernapasan, penggunaan keduanya sama
efektivitasnya dengan agonis dalam menyediakan analgesi pasca operasi.
Nalbufin 5 10 mg juga telah digunakan untuk melawan pruritus untuk
melawan pruritus yang diakibatkan oleh morfin intradural dan intratekal. Dosis
orang dewasa umumnya adalah nalbufin 10 mg paling banyak setiap 3 jam.
Penting untuk diketahui bahwa nalbufin dapat mempresipitasikan gejala putus
obat pada paien yang secara fisik sangat tergantung pada opioid.
Butorfanol
Butorfanol, suatu kongener senyawa morfin, memiliki aktivitas agonis
parsial pada reseptor opioid dan , menyerupai nalbufin. Dibandingkan
dengan nalbufin dan obat-obat lain yang menyerupai, butorfenol memiliki efek
sedatif yang lebih nyata. Baik dalam penelitian laboratoris maupun dalam
penggunaan klinis, butorfanol menghasilkan efek sedasi yang tergantung
dosis yang sebanding dengan midazolam. Seperti nalbufin, butorfanol
mengurangi MAC enfluran pada anjing sebanyak 11% pada dosis terkecil
yang diuji (0,1mg.kg-1). Peningkatan dosis butorfanol sampai 40 kali lipat tidak
menghasilkan penurunan lebih lanjut. Namun, seperti pada nalbufin,
butorfanol telah dilaporkan sebagai suatu komponen efektif suatu anastesi
umum untuk pasien bedah jantung. Pada kombinasi dengan diazepam dan
-
7/29/2019 Opiod
27/34
NO, baik butorfanol maupun morfin dapat menghasilkan anastesi yang sama
baiknya.
Apabila diberikan sendiri, butorfanol menghasilkan depresi pernapasan,
namun seperti nalbufin juga memiliki efek puncak dibawah efek yang yang
ditimbulkan agonis penuh. Pada pasien pascaoperasi sebuah dosis
perenteral sebesar 3 mg dapat menghasilkan depresi pernapasan yang
kurang lebih sama dengan 10 mg morfin. Butorfanol telah digunakan untuk
melawan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan fentanil. Pasien yang
telah dianastesi dengan isofluran, NO dan fentanil 5 g.kg-1 diikuti dengan
infusi 2g.kg-1.h-1 menerima 3 dosis butorfanol berturut-turut masing-masing 1
mg dengan interval 10-15 menit. Setelah dosis 1 mg pertama, laju
pernapasan dan respon ventilasi terhadap CO2 meningkat secara signifikan.
Perubahan progresif lebih lanjut pada semua parameter tidak menunjukkan
perbedaan yeng signifikan dengan respon awal terhadap butorfanol. Analgesi
tidak terpengaruh secara signifikan pada 21 dari 22 pasien.
Berbeda dengan morfin, fentanil, dan bahkan meperidin, butorfanol tidak
meinmbulkan peningkatan yang signifikan pada tekanan intrabilier. (lihat
gambar 14-7) Butorfanol juga telah menunjukkan efektivitasnya dalam
menangani shivering pasca operasi, namun mekanismenya belum diketahui.
Butorfanol diindikasikan untuk sedasi dan juga terapi nyeri sedang
sampai berat pasca operasi. Pengalaman klinis sementara mengindikasikan
bahwa butorfanol yang diberikan sebagai suatu analgesi yang dikendalikan
pasien berkaitan dengan insidensi ileus akibat opioid yang lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan opioid selektif (dinyatakan oleh Dunbar
PJ, melalui komunikasi pribadi). Suatu dosis serendah 0,5 mg dapat
menghasilkan sedasi yang berguna secara klinis, sedangkan dosis analgesi
tunggal berkisar antara 0,5 sampai 2 mg. Butorfanol juga telah dilaporkan
dapat diberikan secara epidural maupun secara transnasal.
Buprenorfin
Buprenorfin adalah suatu derivat thebain yang sangat lipofilik, dan pada
dosis yang rendah sampai sedang kekuatannya 25-50 kali lebih poten
dibandingkan dengan morfin. Berbeda dengan nalbufin dan butorfanol,
-
7/29/2019 Opiod
28/34
buprenorfin tidak memiliki efek agonis pada reseptor opioid , dan mungkin
memiliki efek antagonis pada reseptor tersebut (lihat tabel 14-4). Ciri khas lain
yang dimiliki buprenorfin adalah disosiasi yang lambat dari reseptor, hal ini
dapat memberikan efek yang lebih lama dan tidak mudah untuk dilawandengan pemberian nalokson. Buprenorfin juga memiliki bentuk kurva dosis-
efek yang tidak lazim, yaitu bentuk lonceng, dimana pada dosis yang sangat
tinggi buprenorfin efek analgesi yang dihasilkan semakin sedikit. Dalam suatu
penelitian klinis, Pedersen dan kawan-kawan menemukan bahwa pada
pasien yang diberi 10 atau 20 g.kg-1 buprenorfin selama operasi tidak
mengalami nyeri pascaoperasi, namun pada pasien yang diberi 30 atau 40
g.kg-1
nyeri pasca operasi cukup signifikan. Pengamatan ini konsistendengan kurva dosis-efek buprenorfin yang berbentuk lonceng. Pasien yang
menerima buprenorfin dalam dosis yang tinggi kemungkinan konsentrasi obat
dalam plasmanya berada dalam kisaran dimana efek analgesi sudah mulai
berkurang.
Buprenorfin juga menampakkan adanya efek puncak pada kurva dosis-
efek dalam hal depresi pernapasan. Namun, walaupun depresi pernapasan
akibat bupenorfin dapat dicegah dengan pemberian nalokson sebelumnya,
apabila depresi pernapasan tersebut sudah muncul akan sulit untuk diatasi
dengan pemberian nalokson. Sebuah dosis ebesar 0,5 mg mengurangi
kepekaan terhadap CO2 sampai sebesar 50% dari nilai kontrol. Untuk
melawan efek depresi pernapasan akibat buprenorfin yang timbul pada
sukarelawan penelitian, dibutuhkan nalokon dalam dosis yang tinggi (5-10
mg), sedangkan dosis-dosis 1 mg tidak efektif. Selain itu, efek antagonis
maksimum nalokson terhadap buprenorfin dalam keadaan tersebut baru
timbul setelah 3 jam pemebrian, suatu pengamatan yang konsisten dengan
sifat disosiasi buprenorfin yang lambat dari reseptor . Buprenorfin telah
dibandingkan dengan nalokson dalam hal kemampuannya untuk melawan
depresi pernapasan akibat fentanil, dan ditemukan dapat meningkatkan
pernapasan tanpa mengurangi efek analgesi apabila diberikan dalam dosis
lambat sampai 0,5 mg.
Buprenorfin efektif dalam mengatasi nyeri sedang sampai berat. Mula
kerjanya lambat, tetapi efek analgesi yang dihasilkan dapat melebihi 6 jam.
-
7/29/2019 Opiod
29/34
Sebuah dosis tunggal sebesar 0,3-0,4 mg dapat menghasilkan analgesi yang
sebanding dengan 10 mg morfin.
ZAT-ZAT ANTAGONIS (NALOKSON DAN NALTREKSON)
Dalam keadaan normal, antagonis opioid hanya menghasikan sedikit
efek. Karena bersifat inhibitor kompetitif terhadap agonis opioid maka profil
efeknya bergantung pada tipe dan dosis agonis yang telah diberikan dan juga
dipengaruhi oleh derajat ketergantungan fisik terhadap agonis opioid tersebut.
Antagonis opioid yang paling sering digunakan adalah nalokson, yang secara
struktural berhubungan dengan morfin dan oksimorfin, dan juga merupakan
suatu antagonis murni reseptor opioid , dan . Naltrekson adalah suatu zat
oral long-acting dengan efek antagonis yang relatif murni. Dalam beberapa
keadaan, nalokson dapat melawan efek yang diperantarai oleh opioid
endogen. Sebagai contoh, nalokson dapat melawan efek stress analgesia
pada hewan dan manusia; nalokson juga dapat melawan analgesi yang
ditimbulkan oleh stimulasi frekuensi rendah menggunakan akupunktur dan
melawan analgesi yang ditimbulkan oleh medikasi plasebo.
Dalam praktek anastesi klinis, nalokson diberikan untuk melawan
depresi pernapasan dan sedasi yang dihasilkan oleh opiat. Karena antagonis
opiat akan menghilangkan semua efek opiat, termasuk analgesi, pemberian
nalokson sebaiknya dititrasikan dengan hati-hati untuk mencegah timbulnya
nyeri hebat yang timbul tiba-tiba pada pasien pasca operasi. Hilangnya efek
opiat secara menyeluruh dan tiba-tiba setelah pemberian nalokson sebagai
antagonis opiat dapat menyebabkan hipertensi berat, takikardi, disritmia
ventilasi dan edema paru akut yang terkadang bersifat fatal. Edema paru
akibat pemberian nalokson bahkan dapat terjadi pada pasien muda yang
sehat yang diberi nalokson dalam dosis relatif kecil (80-500g). Mekanisme
terjadinya fenomena ini diduga adalah akibat pelepasan katekolamin atas
perintah sistem saraf pusat, pelepasan katekolamin ini kemudian akan
menyebabkan hipertensi pulmonal akut. Sebagian besar pasien yang
mengalami depresi pernapasan akibat opiat dapat bernapas secara volunter,
oleh karena itu pada masa pasca operasi segera pasien perlu distimulasi
untuk bernapas selain juga memberikan nalokson dalam dosis yang dititrasi
-
7/29/2019 Opiod
30/34
secara hati-hati. Selain itu sangatlah penting untuk mengawasi dengan
seksama tanda-tanda vital dan oksigenisasi setelah pemberian nalokson
untuk mendeteksi adanya komplikasi yang berpotensi untuk menjadi
berbahaya.
Nalokson akan mempresipitasi gejala putus obat opiat pada individu
yang mengalami ketergantungan terhadap golongan opiat. Para klinisi
biasanya sudah waspada akan bahaya ini saat bekerja dengan pasien yang
memiliki sejarah ketergantungan terhadap golongan opiat, namun perlu
diperhatikan bahwa ada potensi untuk timbul gejala putus obat pada pasien
yang tidak mengalami ketergantungan namun berada dalam pengobatan
kronis dengan obat golongan opiat seperti pasien kanker, pasien dengan luka
bakar parah dan pasien trauma dengan masa pemulihan yang panjang.
Nalokson memiliki mula kerja yang cepat, sehingga mudah untuk
dititrasi. Efek puncak terjadi dalam jangka waktu 1 2 menit dan durasinya
tergantung pada dosis, pada umumnya dosis sebesar 0,4-0,8 mg dapat
bertahan selama 1 4 jam. Dosis progresif yang dianjurkan untuk titrasi
intravena adalah 20-40g setiap beberapa menit sampai pernapasan pasien
membaik tetapi analgesi belum hilang seluruhnya. Karena nalokson memiliki
durasi kerja yang singkat, depresi pernapasan dapat terjadi apabila pasien
mendapat obat zat agonis opiat dalam dosis besar dan/atau berdurasi kerja
lama. Apabila diduga akan terjadi depresi pernapasan yang berlangsung
lama, maka dapat diberikan sebuah dosis loadingnalokson di awal dengan
diikuti oleh infusi. Kecepatan infusi antara 3 sampai 10 g.h-1 telah terbukti
efektif dalam melawan depresi pernapasan baik akibat opiat sistemik maupun
epidural.
Penggunaan Agonis Opiat dalam Anastesi Klinis
Opiat digunakan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan zat lain
seperti sedatif dan obat antikolinergis sebagai premedikasi. Untuk keperluan
ini, digunakan opiat dengan durasi kerja yang panjang seperti morfin
diberikan sebagai dosis tunggal yang secara umum berada dalam kisaran
analgesi. Tujuan dari premedikasi dengan opiat adalah untuk menghasilkan
sedasi yang cukup, ansiolisis dan analgesi bersamaan dengan
-
7/29/2019 Opiod
31/34
mempertahankan kestabilan hemodinamika. Resiko dari penggunaan
premedikasi opiat adalah sedasi yang berlebihan, depresi pernapasan, mual
dan muntah. Untuk induksi anastesi, opiat sering digunakan untuk
mengurangi atau mencegah respon hemodinamik terhadap intubasi trakea.
Opiat dengan mula kerja yang cepat seperti fentanil dan derivatnya cocok
digunakan untuk tujuan ini.
Saat operasi berlangsung, opiat diberikan sebagai komponen dari
anastesi yang seimbang dan neuroleptanastesi, atau berdiri sendiri dalam
suatu anastesi opiat dosis tinggi. Selama proses mempertahankan anastesi
umum berlangsung, dosis opiat dititrasi untuk mencapai efek yang diinginkan
berdasarkan stimulasi yang ditimbulkan oleh pembedahan dan juga
berdasarkan karakteristik pasien secara individu, seperti umur, status volume
darah, status neurologis, disfungsi hati atau keadaan sistemik lainnya.
Konsentrasi beberapa jenis opiat dalam plasma yang dibutuhkan untuk
mengurangi respon hemodinamika terhadap laringoskopi, intubasi trakea dan
stimulasi bedah lainnya telah dapat ditentukan, demikian juga konsentrasi
yang dibutuhkan untuk proses sadar kembali dari anastesia. Konsentrasi-
konsentrasi tersebut (lihat tabel 14-3) menggambarkan konsentrasi dalam
otak (yang merupakan lokasi terjadinya efek obat), dan proses titrasi untuk
mencapainya dapat dilakukan dengan memberikan beberapa dosis bolus
kecil atau dengan menginfus opiat dengan kecepatan yang bervariasi.
Fentanil dan derivatnya sufentanil serta alfentanil adalah opiat yang
digunakan secara luas sebagai tambahan dalam anastesi umum. Semua
jenis opiat ini lebih mudah untuk dititrasi dibandingkan dengan morfin karena
mula kerjanya yang cepat. Namun, Shafer dan Varvel telah menekankan
bahwa untuk memilih dengan tepat antara opiat-opiat ini memerlukan
pemahaman mengenai hubungan antara farmakinetika dan
farmakodinamikanya. Mereka telah menggunakan model komputer untuk
melakukan simulasi kecepatan dalam penurunan konsentrasi plasma dan
otak yang timbul setelah beberapa metode pemberian, termasuk metode
pemberian bolus, infusi singkat dan infusi lama. Penurunan konsentrasi dalam
lokasi efek (otak) akan menentukan waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari
efek opiat. Simulasi lainnya yang sebanding dengan simulasi ini juga telah
dilakukan untuk remifentanil. Beberapa perbedaan farmakokinetika yang
-
7/29/2019 Opiod
32/34
penting antara opiat-opiat ini adalah volume distribusi dan klirens
intrakompartemen (distribusional) dan sentral (eliminasi). Volume ditribusi
yang lebih kecil cenderung mempersingkat waktu pemulihan, dan penurunan
dalam waktu klirens cenderung memperlama waktu pemulihan. Perbedaan
farmakodinamika yang utama adalah keampuhan dan waktu ekuilibrasi antara
plasma dan lokasi tujuan obat. Waktu paruh ekuilibrasi antara plasma dan
lokasi tujuan adalah 5 6 menit untuk fentanil dan sufentanil serta 1,3-1,5
menit untuk alfentanil dan remifentanil. Simulasi komputer menunjukkan
bahwa untuk memprediksi kecepatan relatif penurunan konsentrasi pada
lokasi tujuan setelah pemberian dosis bolus atau infusi berkelanjutan fentanil,
sulfentanil dan alfentanil, tidak cukup hanya dengan membandingkan waktu
paruh eliminasi. Kecepatan pemulihan setelah suatu infusi berkelanjutan akan
bergantung pada lamanya infusi dan besarnya penurunan konsentrasi yang
diperlukan. Gambar 14-14 menunjukkan bagaimana bervariasinya waktu
yang dibutuhkan untuk penurunan konsentrasi sebesar 20, 50 dan 80 % pada
lokasi tujuan (otak) antara opiat yang satu dengan opiat yang lain, tergantung
pada lamanya infusi. Apabila hanya dibutuhkan penurunan 20% dari
konsentrasi pada lokasi efek (panel atas), maka pemulihan dari ketiga jenis
opiat akan berlangsung cepat, namun waktu pemulihan bertambah untuk
fentanil setelah infusi yang berlangsung lebih dari 3 jam. Namun apabila yang
dibutuhkan adalah penurunan sebesar 50% maka pemulihan dari sulfentanil
adalah yang paling cepat pada infusi yang berlangsung dibawah 6 8 jam,
sedangkan apabila infusi berlangsung lebih dari 8 jam maka pemulihan dari
alfentanil yang paling cepat.
Waktu Paruh Bergantung Konteks
Hughes dan kawan-kawan memperluas konsep yang dilahirkan oleh
Shafer dan Varvel untuk mendefinisikan kontribusi relatif dari kompartemen
distribusi terhadap distribusi kompartemen sentral (plasma). Kontribusi relatif
ini bervariasi tergantung pada lamana infusi. Hughes menciptakan konsep
waktu paruh bergantung konteks, yang didefinisikan sebagai waktu yang
dibutuhkan untuk terjadi penurunan konsentrasi obat dalam kompartemen
sentral sebesar 50%, Hughes juga mendemonstrasikan bagaimana
perubahan waktu paruh terjadi saat lamanya infusi obat bertambah. Selama
-
7/29/2019 Opiod
33/34
infusi, kompartemen perifer (cepat dan lambat) akan terisi. Setelah infusi
dihentikan, obat akan tereliminasi, tetapi juga terus di redistribusi selama
konsentrasi dalam sebuah kompartemen perifer lebih rendah dari konsentrasi
dalam kompartemen sentral. Hal ini akan mengakibatkan penurunan
konsentrasi obat dalam kompartemen sentral dengan cepat. Saat konsentrasi
dalam kompartemen sentral (plasma) lebih rendah dari kompartemen perifer,
maka arah redistribusi obat akan berputar balik dan akan memperlambat
penurunan dalam konsentrasi plasma. Seberapa banyak redistribusi ini akan
mempengaruhi kecepatan eliminasi obat akan bergantung pada rasio antara
konstanta distribusi dan konstanta waktu eliminasi. Oleh karena itu, obat yang
dapat melakukan redistribusi dengan cepat akan menerima lebih banyak
kontribusi dari kompartemen perifer, dan konsentrasi plasma akan turun
dengan lebih perlahan saat infusi berlanjut. Gambar 14-15 menggambarkan
waktu paruh yang bergantung pada konteks untuk fentanil, alfentanil,
sulfentani dan remifentanil. Model ini memprediksi waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai penurunan konsentrasi sebesar 50% dalam plasma yang
akan menggambarkan (tetapi tidak sama dengan) konsentrasi dalam lokasi
efek yang digambarkan dalam gambar 14-14.
Perlu ditekankan bahwa prediksi-prediksi ini bersifat teoritis dan
didasarkan kepada model komputer, sehingga dibutuhkan pengujian pada
manusia untuk validasinya. Kapila dan kawan-kawan membandingkan waktu
paruh bergantung konteks dalam suatu model dengan penurunan terukur
konsentrasi obat dan efek obat (depresi pernapasan) pada sukarelawan yang
menerima pemberian remifentanil dan alfentanil. Setelah infusi opiat yang
berlangsung selama 3 jam, konsentrasi opiat darah utuh yang terukur dan
pemulihan dorongan pernapasan mendekati nilai-nilai yang dihasilkan oleh
model untuk obat-obat tersebut. Sampai saat ini, prediksi-prediksi ini belum
divalidasi dalam keadaan anastesi saat prosedur pembedahan. Walaupun
konsep waktu paruh bergantung konteks tampak berguna, namun Hughes
dan kawan-kawan menemukan bahwa tidak jelas apakah penurunan
konsentrasi 50% dapat memberikan gambaran penyeimbangan efek opiat
yang berguna secara klinis. Apabila seseorang mentitrasi infusi dengan hati-
hati sehingga konsentrasi efektif minimal dapat tercapai, mungkin hanya
dibutuhkan penurunan yang lebih sedikit. Dalam praktek, lebih mudah untuk
-
7/29/2019 Opiod
34/34
memberikan opiat dengan dosis yang lebih tinggi dari kebutuhan, terutama
pada pasien yang bernapas dengan mesin pernapasan, karena konsekuensi
hemodinamikanya minimal. Melakukan titrasi menggunakan suatu parameter
yang terukur, seperti pernapasan per-menit pada seorang pasien yang
bernapas spontan akan memungkinkan titrasi dosis yang lebih ketat. Namun
cukup jelas bahwa beberapa waktu paruh bergantung konteks lebih berguna
dibandingkan waktu paruh eliminasi. Pemahaman atas konsep-konsep ini
dapat berguna saat menentukan jenis opiat yang akan digunakan, dan juga
berguna dalam mengadaptasi batasan-batasan untuk penentuan dosis opiat
dan kecepatan infusi yang bergantung pada lamanya anastesi.