Opiod

download Opiod

of 34

Transcript of Opiod

  • 7/29/2019 Opiod

    1/34

    Bab 14

    Opioid

    SEJARAH

    Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi

    nyeri. Zat opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata

    opium sendiri berasal dari kata opos, yang dalam bahasa Jerman artinya

    juice. Opium terdiri lebih dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang

    ahli farmasi telah mengisolasi suatu zat yang disebut sopofiric principleyang

    terkandung di dalam opium, kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama

    morfin, berasal dari nama dewa Morpheus. Penelitian-penelitian untuk

    mengisolasi alkaloid opium lainnya terus dilakukan, sehingga sejak

    pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih banyak digunakan

    di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium langsung.

    Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir

    800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi

    morfin oral, efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential

    abuse. Morfin telah digunakan secara luas untuk menangani tentara yang

    terluka saat perang masyarakat Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard

    menggunakan morfin sebagai obat premedikasi. Akan tetapi penggunaan

    opioid jika tanpa obat pelumpuh otot, dan kontrol terhadap ventilasi, dapat

    menyebabkan resiko depresi pernapasan parah dan kematian, karena itu

    penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas.

    Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950,

    berkembang pula opioid asnesthesia. Satu dekade kemudian, Lowenstein

    melaporkan penggunaan morfin dalam dosis besar yang progresif tanpa

    menyebabkan efek samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian

    dijelaskan tentang keterbatasan teknik tersebut, termasuk penekanan

    terhadap respon stress yang tidak lengkap, hipotensi, dan bangun kembali

    saat dalam anestesi. Menurut Stanley, morfin dalam dosis tinggi dihubungkan

    dengan adanya kejadian peningkatan kebutuhan cairan dan darah.

    Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957

    telah dibuat bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-

  • 7/29/2019 Opiod

    2/34

    anilinoperidine baru dibuat sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini

    memiliki efek yang lebih poten dan memiliki savety margin yang lebih baik

    dibandingkan meperidine. Kemajuan teknik bedah menimbulkan

    meningkatnya kebi\utuhan opioid yang memiliki efek lebih poten, dengan

    onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta memiliki savety

    margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl, alfentanyl,

    dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang

    terbaru, remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan

    cepat. Hal itu menyebabkan keamanan fleksibilitas yang lebih.

    Penelitian tentang analgesik opioid yang tidak berpotensi

    menyebabkan ketergantungan mulai muncul sejak adanya kekhawatiran

    tentang adiksi opioid. Pada pertengahan tahun 1960, nalorphine, obat yang

    telah diketahui memiliki efek yang berlawanan dengan morfin, ternyata juga

    memiliki efek analgesik. Dua zat lain yang memilki efek berlawanan dengan

    morfin adalah pentazocine, cyclazocine. Keduanya memiliki efek psikotrofik

    yang tidak dimiliki oleh morfin, disamping itu pentazocine juga memilki efek

    analgesik. Martin mencetuskan tentan adanya teori dualisme reseptor, yang

    memiliki dua konsep kunci, yaitu : 1)Adanya reseptor opioid multipel, 2)

    Adanya farmakologik redundancy. Oleh sebab itu, sebuah obat dapat memilki

    efek agonis kuat, agonis parsial, atau antagonis kompetitif tergantung pada

    tipe reseptornya. Berdasarkan penelitian, didapatkan adanya 3 macam famili

    peptida opioid, dan ada banyak reseptor opioid. Penelitian selanjutnya

    meneliti tentang zat yang memiliki efek analgesia poten, dengan efek

    samping yang lebih sedikit.

    TERMINOLOGI

    Kata opiat digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium,

    termasuk morfin, derivat semisintetiknya, serta kodein. Secara umum opiat

    adalah semua jenis obat, baik alami maupun sintetik, yang memilki sifat

    morfin, termasuk pula peptida endogen. Kata narkotik berasal dar bahasa

    Jerman, narkotikos, digunakan untuk morfin dan analgesik yang memiliki sifat

    seperti morfin. Akan tetapi karena kata narkotik banyak digunakan dalam

    konteks legal, karena dapat menyebabkan ketergantungan, maka kata

    narkotik tidak digunakan dalam konteks farmakologi dan klinik.

  • 7/29/2019 Opiod

    3/34

    Opiod dapat memilki efek agonis, agonis parsial, agonis-antagonis,

    maupun antagonis kompetitif, tergantung ikatan terhadap reseptor. Menurut

    teori tentang reseptor, ada dua karakteristik pada reseptor : afinitas,

    kemampuan untuk berikatan dengan reseptor dan membentuk kompleks yang

    stabil ; aktivitas intrinsik atau efikasi, yang digambarkan dengan kurva efek

    berdasarkan dosis, sebagai hasil kombinasi obat dengan reseptor. Efikasi

    dapat berkisar mulai dari tidak ada efek, hingga efek maksimal, dalam kurva

    efek dosis akan tampak gambaran plateue (Fig. 14-1). Pemberian agonis

    dalam dosis yang cukup tinggi akan menghasilkan efek maksimal akibat

    berikatan dengan reseptor, sedangkan antagonis tidak akan menimbulkan

    efek langsung apabila berikatan dengan reseptor. efek agonis parsial lebih

    rendah dibanding efek maksimal yang dapat dihasilkan oleh agonis penuh,

    sehingga kurva efek dosis tampak lebih curam dibandingkan dengan kurva

    efek dosis agonis penuh. Campuran agonis-antagonis, memilki efek agonis

    pada satu reseptor, dan memilki efek antagonis pada reseptor lainnya. Efikasi

    berhubungan dengan kisaran efek yang dihasilkan oleh kombinasi ikatan

    dengan reseptor, relatif terhadap efek maksimal yang mungkin terjadi.

    Sedangkan Potensi adalah mengenai dosis relatif yang diperlukan untuk

    menghasilkan efek, berhubungan dengan afinitas reseptor.

    OPIOID ENDOGEN DAN RESEPTOR OPIOID

    Reseptor opioid telah ditemukan pada jaringan otak, sebelum endogen

    opioid berhasil diisolasi. Pada tahun 1975, Hughes dan teman-teman

    mengidentifikasi adanya dua buah pentapeptida yang memiliki aktifitas opioid

    yang poten, dan dalam waktu 10 tahun, lebih dari 20 peptida opioid telah

    berhasil diidentifikasi. Semua opioid endogen berasal dari 3 prohormon, yaitu

    proenkepalin, prodinorpin, dan proopiomelanokortin (POMC), masing-masing

    prekursornya telah dikode oleh sejumlah gen. Tiga famili peptida dibedakan

    berdasarkan distribusinya, selektivitas terhadap reseptor, dan

    neurochemicalnya, akan tetapi mereka juga memilki persamaan sifat.

    Sebagai contoh, opioid endogen dari ketiga famili, memiliki urutan

    pentapeptida yang dimulai dari (Leu)-atau (Met)-enkepalin. Proenkepalin,

    termasukpentapeptida (Met)-dan (Leu)-enkepalin. Dan sell yang mensintesa

    proenkebpalin, banyak tersebar di dalam otak dan medula spinalis, serta di

    bagian perifer, terutama medula adrenal. Proopiomelanokortin merupakan

  • 7/29/2019 Opiod

    4/34

    prekursor dari beberapa peptida, termasuk -endorfin, adrenokotikotropik

    hormon, dan melanosit stimulating hormon. Kata endorfin ditujukan pada

    peptida dari famili POMC. POMC terutama disintesa di hipofisis, akan tetapi

    juga ditemukan di pankreas dan plasenta. Prodinopin telah lama diketahuisebagai proenkepalin B. Urutan peptida dinorpin semuanya dimulai dari

    (Leu)-enkepalin. Seperti pada enkepalin, dinorfin banyak tersebar di otak,

    medula spinalis, dan juga di perifer.

    Peptida opioid endogen berikatan dengan sejumlah reseptor opioid untuk

    dapat menghasilkan suatu efek. Klasifikasi reseptor opioid terus menerus

    mengalami perluasan dan mengalami revisi. Klasifikasi dari Martin tentang

    reseptor opioid, dibedakan menjadi 3 macam, berdasarkan pada aktivitas

    ikatan dari morfin eksogen, ketocylazocine, dan SKF10,047 pada reseptor mu

    , kappa, dan sigma. Reseptor opioid lain yang berhasil diidentifikasi adalah

    reseptor delta, yang berikatan dengan enkepalin, reseptor epsilon, yang

    berikatan dengan endorfin. Dari reseptor-reseptor di atas, hanya reseptor mu,

    kappa dan delta yang banyak diakui sebagai reseptor opioid. Telah dibuktikan

    pula adanya sub tipe reseptor, yaitu dua mu, dua delta, dan tiga kappa.

    Tampak bahwa reseptor spesifik opioid bertanggung jawab terhadap efek

    opioid yang berbeda-beda, dan opioid sintetik selektif terhadap tipe dan

    subtipe reseptor. Perlu diperhatikan bahwa sangat sedikit opioid endogen

    yang memiliki selektivitas tinggi hanya terhadap satu reseptor saja. Dan juga

    perlu diingat tentang teori dualisme reseptor, termasuk konsep mengenai

    farmakologi redudancy dari fungsi reseptor. Efek opioiod melibatkan interaksi

    kompleks terhadap sistem reseptor yang berbeda pada supraspinal, spinal,

    dan perifer. Tabel 14-1, menggambarkan tentang pengertian reseptor opioid

    yang bertanggung jawab untuk memediasi analgesik opioid dan efek

    sampingnya. Kebanyakan opioid yang digunakan pada anestesi klinik saat ini

    (fentanyl, morfin dan derivatnya) adalah yang memiliki selektifitas tinggi

    terhadap reeptor . Naloxon adalah anatagonis opioid yang paling sering

    digunakan, tidak selektif terhadap tipe reseptor.

    Pada tingkat selularm peptida opioid endogen dan opioid eksogen

    mampu menimbulkan efek melalui komunikasi interneural. Ikatan dengan

    reseptor menginisisasi perubahan fungsi fisiologis, akibat hiperpolarisasi dan

  • 7/29/2019 Opiod

    5/34

    inhibisi pelepasan neurotransmiter, efek yang dimediasi oleh second

    messenger. Semua reseptor opioid berpasangan dengan G protein, yang

    berfungsi untuk meregulasi aktivitas adenilatsiklase, serta fungsi-fungsi

    lainnya. Interaksi dengan G protein akan berpengaruh terhadap ion channel.

    Reseptor opioid berpasangan dengan jalur kalium, aktivasi pada reseptor

    akan menyebabkan peningkatan aliran kalium, yang akan menghambat

    pelepasan neurotransmitter dan hiperpolarisasi dari membran sel. Reseptor

    juga meningkatkan aliran dari kalium dengan cara yang sama, akan tetapi

    juga mempunyai efek terhadap voltage dari aliran kalsium. Reseptor

    tampaknya menghambatnya masuknya kalsium melalui voltage dependent

    calcium channel.STRUKTUR DAN AKTIVITAS

    Struktur dari alkaloid opium kelas Phenanthrene sangatlah kompleks,

    terdiri dari gabungan 5 atau 6 cincin yang bentuknya seperti huruf T, dengan

    cincin Phenylpiperidine sebagai pembatasnya, da cincin arometik hidoksilasi

    pada aksis vertical. Jenis Phenanthrane yang lain adalah kodein yang

    merupakan derivate morfin, dan thebain sebagai precursor oxycodone dan

    naloxone.Morphinan memiliki 4 cincin, benzomorphan memiliki 3 cincin,

    phenylpiperidine memiliki 2 cincin, sedangan Tyramine yang merupakan

    peptide opioid endogen hanya memiliki 1 buah cincin. Semua zat-zat tersebut

    mempunyai aktivitas seperti morfin.Thorpe telah menemukan adanya bentuk

    reseptor yang terdiri dari struktur dasar 2 ikatan aromatic dan satu anion yang

    akan berikatan dengan nitrogen. Perbedaan ikatan pada struktur aromatic

    atau anion, akan menghasilkan aktivitas yang berbeda, dapat menyebabkan

    kativitas agonis ataupun antagonis. Perbedaan struktur memiliki pengaruh

    yang besar terhadap afinitas terhadap reseptor, resisitasi terhadap

    pemecahan metabolic, kelarutan dalam lemak, dan farmakokinetik.

    FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

    Pertimbangan Dasar

    Efek opioid ditimbulkan dari kombinasi opioid dengan satu atau beberapa

    reseptor pada jaringan yang spesifik. Hubungan antara dosis den efek

    bergantung pada variabel farmakokinetik dan farmakodinamik.

  • 7/29/2019 Opiod

    6/34

    Farmakokinetik adalah hubungan antara dosis dan konsentrasi obat terhadap

    tubuh. Farmakodinamik berhubungan dengan konsentrasi obat pada target

    (otak dan jaringan lain), dan intensitas efeknya.Kita tidak mungkin dapat

    melakukan penguuran terhadap konsentrasi obat di dalam darah dan plasma

    secara langsung. Oleh karena itu Farmakokinetik mempelajari konsentrasi

    obat dalam plasma berdasarkan waktu, sebab darah mudah diambil, dan

    merupakan medium untuk menyebarkan obat ke seluruh tubuh.Perubahan

    konsentrasi obat dalam darah seiring dengan waktu, bergantung pada proses

    psikokimia, termasuk absorpsi, redistribui, biotransformasi, dan eleminasi.

    Pada prakteknya, opioid biasanya diberikan secara intravena. Setelah

    pemberian secara bolus ataupun infus, konsentrasi obat di plasma akan

    segera meningkat dan mencapai puncaknya dalam hitungan menit..

    Konsentrasi dalam plasma akan segera menurun dengan cepat, saat

    didistribusikan ke daerah ekstravaskular. Kenaikan konsentrasi obat di dalam

    plasma hingga mencapainya masuk ke dalam fase distribusi, sedangkan saat

    konsentrasi obat mulai semakin menurun, disebut sebagai fase eleminasi.

    Penting untuk diketahui bahwa farmakokinetik banyak dipengaruhi oleh

    parameter-perameter tertentu, seperti usia, ataupun penyakitnya, saat

    pengambilan sampel pemeriksaan, durasi, pembedahan, efek akibat

    pemberian oabt lain.

    Untuk dapat bekerja pada susunan saraf pusat, opioid harus terlebih

    dahulu menembus membran biologis, dar darah ke reseptor pada membran

    sel saraf. Kemepuan opioid untuk menembus sawar darah otak tergantung

    pada ukuran molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan dengan

    protein. Dari kesemuanya itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah

    yang memegang peranan paling penting dalam penetrasi obat ke SSP. Di

    laborarium, kelarutan dalm lemak diukur dengan menggunakan oktanol, air

    atau iktanol:buffer partition koefisien. Ionisasi obat juga berpengaruh terhadap

    kelarutan dalam lemak,. Obat yang dalam bentuk tidak terionisasi memiliki

    kelarutan 1000-10000 kali diabandingkan bentu terionisasi. Tingkat ionisasi

    bergantung kepada pKa dari opioid serta pH lingkungan.Opioid dengan pKa

    kurang dari 7,4 memliki fraksi noionisasi yang lebih besar d dalam

    pl;asma.Korelasi antara kelarutan dalam lemak dengan permeabilitas

    membran tidak selalu dalm bentuk linear. Ikatan protein dalam plasma juga

  • 7/29/2019 Opiod

    7/34

    mempengaruhi redistribusinya, karena hanya fraksi yang tidak berikatan yang

    dapat menembus membran sel. Protein plasma yang akan berikatanm

    dengan opioid adalah albumin dan 1 acid glycoprotein (AAG). Perubahan

    pada konsentrasi AAG, terjadi pada beberapa kondisi tertentu, dan penyakit

    tertentu, dan akan menimbulkan perubahan pada kebutuhan opoid.

    Dua mekanisme ayng bertanggung jawab terhadap elemimasi obat

    adalah biotransformasi dan ekskresi. Opioid mengalami biotransformasi di

    hati melalui du buah fase. Fase I meliputi proses oksidasi dan reduksi yang

    dikatalisasi oleh P450 dan reaksi hidrolasi. Fase II melibatkan konjugasi dari

    obat dan metabolitnya terhadap substrat endogen seperti D-glucoronic acid.

    Phenilpiperidine, remifentanil, dimetabolisme melalui hidrolisis ester.Secara

    umu metabolit opioid berada dalam bentuk tidak aktif, kecuali untuk N-

    dellylated yang merupakan metabolit meperidine,6 atau mungkin 3-

    glucoronide. Metabolit diekskresi terutama melalui ginjal, bisa juga melalui

    sistem empedu, usus, dan rute lainnya.

    MORFIN

    Morfin memilki efek terapeutik, akan tetapi juga memiliki efek terhadap

    sistem saqraf pusat ( otak dan medula spinalis ), terhadap saluran

    pencernaan, serta sistem lainnya. Efek terhadap SSP meliputi Anlgesik,

    sedasi, perubahan sifat, depresi pernapasan, mual dan muntah, pruritus,

    serta perubahan ukuran pupil. Morfin juga berpengaruh terhadap sekresi

    labung, motilitas usus, serta memiliki efek terhadap endokrin, saluran

    kencing, sistem sarao autonom. Morfin memiliki efek yang menyerupai opioid

    endogen, dengan cara bekerja sebagai agonis pada reseptor 1 dan2.dan

    dipertimbangkan sebagai agonis standar terhadap agonis lainnya.

    ANALGESIK

    Efek analgesik dari morfin adalah hasil dari terbentuknya interaksi

    kompleks pada tempat-tempat seperti otak, medula spinalis, jarngan perifer,

    melbatkan efek opioid 1 dan 2. Pada tingkt medula spinalis, efek morfin

    pada presinaptik adalah pada nociceptor afferen, untuk menurunkan jumlah

    substansi P, dan juga hiperpolarisasi pada neuron post sinaptik di substansia

    gelatinosa pada cornu spinal dorsalis untuk mengurangi transmisi aferen dari

  • 7/29/2019 Opiod

    8/34

    impuls nociceptive. Analgesik morfin spinal, dimediasi oleh reseptor opioid 2.

    Analgesik opioid supraspinal bersumber dari Periaquaductal Gray Matter

    (PAG), Locus Ceruleus (LC), dan nukleus di dalam medula, dan secara pimer

    melibatkan reseptor opioid 1. Mkroinjeksion morfin ke tempat-tempat

    tersebut akan menimbulkan efek analgesik. Penjelasan yang lebih jelas

    tentang transmisi nyeri endogen dan jalur modulasinya diberikan dalam bab

    55. Pemberian pada tingkat otak dan medula spinalis akan meningkatkan

    efek analgesik 10 kali dibandingkan efek yang timbul dari hasil modulasi

    reseptor opioid 2. Berdasarkan penelitian pada hewan, morfin juga dapat

    menghasilkan efek analgesik melalui mekanisme perifer, terutama dengan

    mengaktivasi reseptor opioid pada neurob aferen. Efek analgesik opioid

    perifer muncul hanya pada saat terjadi inflamasi.

    Walaupun terjadi perubahan cepat pada konsentrasi morfin di dalam

    plasma, contohnya pada saat pemberian secara bolus, tidak memliki korelasi

    hubungan dengan efek analgesik yang ditimbulkan, akan tetapi perubahan

    komsentrasi secara lambat dan konstan akan mempengaruhi efek yang

    ditimbulkan. Pasien yang menggunakan analgesk terkontrol akan memiliki

    konsentrasi opioid dalam plasma yang konstan. Dibandingkan pemberian

    secara intramuskular. Menurut Dahlsrum, konsentrasi minimal yang dapat

    menimbulkan efek analgetik (MEAC) dari morfin post operative adalah 10-15

    ng/ml. Pada pasien kanker dengan mukositis orofaringeal yang parah,

    memerlukan konsentrasi morfin di dalam plasma yang lebih besar untuk

    dapat menimbulkan efek analgesik yang adekuat ( 30-50 ng/ml).

    EFEK ANESTESI VOLATILE TERHADAP MAC

    Pada pasien yang masih dalam keadaan sadar, dosis terapi morfin

    efektif untuk mengurangi nyeri, dan meningkatkan kemampuan subyek untuk

    mentoleransi nyeri. Agonis seringkali digunakan bersama N2O, dapat

    dengan ataupun tanpa pemberian anestesi volatile untuk menghasilkan

    Balance anestesi. Roizen den teman-teman mendemonstrasikan adanya

    stimulasi elektrik pada Periaqueductal Gray (PAG) matter setelah 1 jam

    operasi dapat menurunkan MAC (Minimum Alveolar Concentration) dari

    halotan dengan 60% N2O, sebanyak 70%. Suatu mekanisme yang mungkin

    terjadi adalah peleapsan opioid endogen setelah stimulasi terhadap PAG.

  • 7/29/2019 Opiod

    9/34

    Pada Hewan Morfin mengurangi MAC anestesi volatile, akan tetapi

    tampaknya memilki efek pule terhadap kemampuan anestesi dari morfin.

    Pengukuran efek maksimal dari pemberian morfindosis tinggi memiliki

    keterbatasan, akibat dari efek samping yang bisa muncul, u\yaitu hipotensi,

    serta rigiditas dari dinding perut. Pemberian morfin 1mg/kg bersama dengan

    60% N2O akan mengeblok respon adrenergik terhadap insisi kulit dari 50%

    pasien. Morfin neuroeksial juga dapt menurunkan MAC. Morfin epidural 4mg

    yang diberikan dalam waktu 90 menit, akan mengurangi MAC halotan

    sebanyak 30%. Efek dari morfin intratekal terhadap MAC belum jelas. Pada

    suatu studi, morfin intra tekal dalam dosis tinggi (0,750 g/kg) mengurang

    MAC halotan sebesar 40%, akan tetapi pada dosi 15 g/kg gagal untuk

    mengurangi MAC halotan. Alasan terjadinya hal ini masih belum jelas.

    EFEK TERHADAP SSP YANG LAIN

    Morfin dapat menghasilkan efek sedasi, termasuk gangguan kognitif

    dan motorik. Efek samping subyektif yang lain meliputi euforia, disforia, dan

    gangguan tidur. Morfin dosis tinggi dan opioid serupa menyebabkan aktivitas

    EEG yang lambat, serta penurunan frekuensi. Morfin juga dapat

    menyebabkan gangguan tidur, reduksi terhadap REM, dan gelombang tidur

    yang lambat. Pada dosis yang sangat tinggi, morfin dapat mengakibatkan

    kejang pada percobaan dengan binatang, akan tetapi efek toksik ini tidak

    terlihat pada dosis klinis yang diberikan ke manusia.

    Morfin menyebabkan konstriksi pupil (miosis) pada manusia. Efek ini

    diperkirakan dimediasi oleh nukleus Edinger-Westphal dari nervus

    okulomotorius. Tingkat miosis maksimal pada pupil didapatkan dengan

    pemberian morfin sebanyak 0,5 mg/kg. Apabila kita tidak memberikan obat-

    obat lainnya, maka miosis tampaknya memilki korelasi dengan depresi

    ventilasi yang diinduksi oleh opioid. Akan tetapi hipoksemia akibat depresi

    respirasi oleh opioid yang parah, justru akan menyebabkan pupil menjadi

    dilatasi.

    Pemberian morfin secara sistemik dan neuroaksial dapat

    menyebabkan pruritus, walaupun efek ini terutanma timbul pada pemberian

    secara spinal. Timbulnya pruritus akibat mediasi dari reseptor pada tingkat

    kornu dorsalis dari medula (MDH). Secara klinis, antihistamin seringkali

  • 7/29/2019 Opiod

    10/34

    diberikan untuk mengatasi efek samping ini, akan tetapi pruritus yang

    diinduksi oleh mikroinjeksi morfin ke MDH tidak dimediasi oleh histamin.

    Efektivitas dari antihistamin tersebut mungkin berhubungan dengan efek

    sedasi yang muncul.

    Morfin juga dapat menyebabkan pelepasan beberapa hormon hipofisis,

    baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Inhibisi terhadap

    Corticotropin Releasing Factor dan Gonadotropin Releasing Hormone akan

    menurunkan konsentrasi ACTH, -endorfin, FSH dan LH. Prolaktin dan

    Growth Hormone Konsentrasinya dapat meningkat, sedangkan pelepasan

    hormon ADH justru menurun akibat pemberian opioid.

    DEPRESI RESPIRASI

    Morfin dan agonis lainnya menghasilkan penekanan terhjadap ventilasi,

    dengan cara mengurang respon dari pusat respirasi di medula terhadap CO2.

    Dosis terapi standar dari morfin dapar mnyebabkan pergeseran ke kanan,

    dan penurunan kurva respon ventilasi terhadap CO2, serta pola pernapasan

    yang abnormal. Fig 14-3 menggambarkan tentang perpanjangan durasi dari

    respon ventilasi individu terhadap CO2, setelah pemberian morfin dosis tinggi

    (2mg/kg). Depresi ventilasi terkihat sebagai pergeseran ke kanan dan

    penurunan kurva, setelah 1 jam pemberian naloxon loading dose. (3,66

    g/kg) ditambah infus berkelanjutan (3,66 g/kg/jam). Selam dan setelah 10

    jam pemberian naloxon infus, Tidal akhir dari CO2 dan ventilasi, secara

    bertahap kembali hingga 21 jam setelah pemberian morfin. Efek depresi

    respirasi akibat morfin, memiliki efek yang sama baik terhadap remaja

    maupun orang tua.

    REFLEK BATUK

    Morfin dan opioid yang segolong menurunkan reflek batuk, sekurangnya

    memiliki sedikit efek langsung ke pusat batuk di medulla otak. Dosis yang

    dibutuhkan untuk menurunkan refleks batuk lebih sedikit daripada dosis

    analgesik umumnya, dan reseptor membantu efek tersebut menjadi kurang

    stereospesifik dan kurang sensitif terhadap nalokson daripada sifat

    analgesiknya,.

    KEKAKUAN OTOT

  • 7/29/2019 Opiod

    11/34

    Dosis besar intravena morfin (2 mg/kg dimasukkan 10 mg/mnt) dapat

    menyebabkan kekakuan otot abdominal dan menurunkan kemampuan dada;

    efek ini dicapai 10 menit setelah pemberian morfin lengkap. Orang yang

    menerima dosis intravena morfin yang lebih kecil (10-15 mg) dilaporkan

    mengalami kenaikan tegangan otot, kebanyakan di leher atau tungkai, tetapi

    kadang-kadang di sekitar dada. Kekakuan otot secara drastic meningkat

    dengan penambahan 70% N2O. Gangguan mioklonik, seperti mirip kejang,

    tetapi tanpa bukti EEG mengenai aktifitas kejang, telah dipantau dengan

    dosis tinggi opioid. Golongan opioid yang menginduksi kekakuan otot

    sepertinya dimediasi oleh reseptor yang berlokasi di supraspinal, termasuk

    di nucleus raphe pontis. Secara temuan klinik, opioid yang menginduksi

    kekakuan otot dan kelainan mioklonik lebih sering ditemukan pada saat

    induksi, tetapi ditemukan juga saat post operatif, dan dapat memberat untuk

    menganggu penggunaan ventilasi manual atau mekanik. Efek-efek ini dapat

    dikurangi atau dieliminasi oleh nalokson, obat yang memfasilitasi aktifitas

    GABA agonis (seperti thiopental dan diazepam) dan muscle relaxants.

    MUAL DAN MUNTAH

    Mual dan muntah merupakan efek samping tersering pemberian morfin

    dan derifatnya. Peningkatan muntah post operatif dijumpai pada premedikasi

    dengan morfin sama banyaknya dengan penggunaan opioid intra operatif

    sebagai bagian Teknik Balanced Anesthesia. Insidensi opioid yang

    menginduksi mual sepertinya terlepas dari rute pemberian, baik oral,

    intravena, intramuskular, subkutan, transmukosa, transdermal, intratekal, dan

    epidural. Lebih lanjut, pemeriksaan laboratorium dan klinik post operatif

    membandingkan insidensi beratnya mual dan muntah yang ditemukan tidak

    ada perbedaan diantara opioid, baik morfin, meperidin, fentanil, sufentanil,

    dan alfentanil. Morfin menyebabkan mual dan muntah, tetapi secara fisiologi

    dan neurofarmakologi opioid yang menginduksi mual muntah sangat

    kompleks. Pusat muntah menerima input dari Chemotactic Trigger Zone

    (CTZ) di area postrema medulla, sama asalnya dari faring, traktus GI,

    mediastinum, dan pusat penglihatan. CTZ sangat kaya akan opioid, dopamin

    (D2), serotonin (5-HT3), histamin, dan (muskarinik) reseptor asetilkolin, dan

    juga menerima input dari nervus kranial delapan bagian vestibular. Morfin dan

    opioid sejenis menginduksi mual dengan stimulasi langsung ke CTZ dan juga

  • 7/29/2019 Opiod

    12/34

    menyebabkan peningkatan sensitifitas vestibular. Oleh karena itu, stimulasi

    vestibular seperti ambulasi secara pasti meningkatkan efek muntah dan

    emesis dari morfin. Morfin dosis tinggi dan opioid lain juga memiliki efek

    antiemesis nalokson yang reversible setingkat pusat muntah. Pada

    percobaan, morfin yang menginduksi mual muntah meningkat setelah infus

    morfin dihentikan, yang menimbulkan dugaan bahwa efek antiemetik memiliki

    hidup lebih pendek daripada efek emesis. Penjelasan lain yang lebih mungkin

    untuk penelitian ini adalah bahwa metabolit aktif morphine-6-glucoronide

    terus berakumulasi dan memperburuk muntah. Profilaksis dan terapi opioid

    yang menginduksi mual dan muntah termasuk penggunaan yang bekerja

    sebagai antagonis di berbagai lokasi teseptor di CTZ seperti yang lain,

    propofol dan benzodiazepine, yang mekanisme antiemesisnya belum

    diketahui.

    MOTILITAS & SEKRESI GASTROINTESTINAL

    Morfin dan opioid lain juga berefek pada motilitas GI dan propulsi,

    seperti sekresi gaster dan pankreas melalui stimulasi reseptor opioid di otak,

    tulang belakang, otot lurik dan otot polos. Aktifitas yang selektif dari reseptor

    opioid , dan berbeda secara anatomi yang mempengaruhi fungsi GI

    berbeda pula. Morfin menurunkan kontraksi sfingter esophagus dan

    menyebabkan tanda-tanda refluks gastroesofageal pada pasien seperti

    normal, sedangkan diamorfin, derivat dari morfin secara signifikan

    melambatkan pengosongan lambung pada pasien postoperatif. Ini dapat

    meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi isi lambung pada pasien yang

    teranestesi atau tersedasi. Epidural morfin dapat juga memperlambat

    pengosongan lambung. Single dose epidural (4 mg) memperlambat

    pengosongan lambung sedangkan dosis intramuskular tidak.

    TRAKTUS BILIARIS

    Morfin dan opioid lain meningkatkan kontraksi duktus bilier komunis dan

    sfingter Oddi. Tanda-tanda yang mengikuti peningkatan tekanan bilier dapat

    bermacam-macam mulai dari tanda bahaya epigastrik sampai kolik bilier dan

    mungkin nyeri dada. Morfin menyebabkan perlambatan pengosongan

  • 7/29/2019 Opiod

    13/34

    kandung kemih dan meningkatkan konraksi sfingter Oddi yang lebih besar

    dibandingkan meperidin. Diduga bahwa morfin menyebabkan kontraksi

    traktus bilier via pelepasan histamin.

    EFEK GENITOURIN

    Retensi urin, terlihat setelah pemberian morfin secara sistemik dan

    spinal, mengacu pada efek yang kompleks di pusat dan perifer dari

    mekanisme neurogenik. Dopamin agonis apomorfin merupakan terapi efektif

    pada retensi urin yang diinduksi oleh spinal morfin pada hewan percobaan,

    tetapi terapi ini tidak direkomendasikan dalam praktek klinik karena efek

    emetic poten dari apomorfin.

    PELEPASAN HISTAMIN

    Opioid menstimulasi pelepasan histamin dari basofil seperti pada sel

    mast kulit dan paru-paru. Morfin menyebabkan pelepasan histamin; injeksi

    morfin intradermal pada konsentrasi 1 mg/ml menyebabkan bintul urtikaria

    dan kemerahan. Morfin yang menginduksi pelepasan histamin tidak dapat

    dicegah oleh nalokson premedikasi, diduga bahwa pelepasan histamin tidak

    dimediasi oleh reseptor opioid. Pelepasan histamine juga bertanggungjawab

    akan peningkatan resistensi vaskuler paru-paru dan edema paru akut yang

    dihubungkan dengan penyalahgunaan opioid intravena.

    EFEK KARDIVASKULER

    Opioid sangat popular di anestesi klinik karena mereka sangat reliable

    menyebabkan analgesia dan hemodinamik yang stabil. Pada dosis yang

    digunakan untuk manajemen nyeri atau sebagai bagian dari Balanced

    Anesthesia, morfin memiliki efek yang kecil terhadap tekanan darah atau

    detak jantung. Bagaimanapun, dosis terapi dari morfin dapat menyebabkan

    dilatasi arteri dan vena, menurunkan resitensi perifer, dan menghambat reflek

    baroreseptor, semua ini dapat menyebabkan hipotensi postural. Morfin juga

    memiliki kerja langsung di pembuluh darah otot polos. Morfin tidak bekerja

    langsung pada sirkulasi serebral. Bagaimanapun, morfin yang menginduksi

    depresi pernapasan, retensi CO2 menyebabkan vasodilatasi serebral dan

    peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Selanjutnya, morfin dan opioid

    poten lain harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang bernapas

    spontan dengan cedera kepala atau kondisi lain yang berhubungan dengan

    peningkatan tekanan intrakranial.

  • 7/29/2019 Opiod

    14/34

    DISPOSISI KINETIK

    Morfin sangat cepat diabsorbsi setelah pemberian intramuskular,

    subkutan dan oral. Setelah pemberian intramuskular, puncak konsentrasi

    plasma terlihat 20 menit dan waktu paruh absorbsi diduga 7,7 menit. Setelah

    pemberian intravena, morfin sangat cepat diredistribusi, rata-rata waktu paruh

    redistribusi antara 1,5 menit dan 4,4 menit. Sekitar 35% morfin diikat oleh

    protein, utamanya albumin.

    PEMBERIAN MORFIN

    Di dalam praktek klinik, morfin digunakan sebagai premedikasi,

    komponen dari Balanced Anesthesia, dosis tinggi opioid anestesi dan untuk

    analgesik post operatif. Pasien mengalami pemanjangan analgesik dan efek

    samping seperti depresi pernapasan ketika konsentrasi plasma morfin

    rendah.

    MEPERIDIN

    Merupakan derivat fenilpiperidin, merupakan opioid sintetis total.

    Awalnya dipelajari sebagai antikolinergik agen, tetapi ditemukan memiliki

    aktifitas analgesik yang signifikan. Potensi analgesik meperidine hanya 1/10

    efek morfin dan umumnya dimediasi oleh aktivasi reseptor opioid. Meperidin

    juga memiliki afinitas sedang untuk dan reseptor opioid. Tidak sepearti

    morfin, konsentrasi plasma meperidine berkorelasi baik dengan efek

    analgesic.Dibandingkan dengan morfin, fentanil dan buprenorephin yang

    diinjeksi perineural, hanya meperidine mempengaruhi konduksi syaraf dan

    mengeluarkan analgesik Karena efek anestesi lokal spinal meperidine dapat

    juga menyebabkan blok sensori dan motorik seperti efek simpatolitik yang

    tidak dijumpai pada opioid lain.

    EFEK SAMPING

    Seperti morfin, dosis teraputik meperidin dapat menyebabkan sedasi,

    kontriksi pupil dan euphoria. Dosis tinggi meperidin dihubungkan dengan

    eksitasi SSP dan kejang. Seperti opioid lain, meperidin menyebabkan

    perlambatan pengosongan lambung. Sementara meperidin meningkatkan

    tekanan duktus biliaris komunis dan memperlambat pengosongan kandung

    kemih,.

  • 7/29/2019 Opiod

    15/34

    DEMAM MENGGIGIL

    Meperidin efektif dalam mengurangi demam menggigil dari bermacam

    sebab, termasuk anestesi emum dan epidural, reaksi transfusi dan

    pemeberian amfoterisin B.

    PEMBERIAN MEPERIDIN

    Dosis tunggal meperidine diperkirakan 1/10 morfin bila diberikan

    perenteral, tetapi memiliki DOA yang lebih singkat. Dosis besar meperidine

    selama intraoperatif tidak direkomendasikan karena instabilitas hemodinamik.

    Sebagai tambahan, dosis tunggal yang besar atau pemberian lama dapat

    menyebabkan kejang karena metabolit normeperidin, sehingga total

    pemberian dosis sehari tidak lebih dari 1000 mg/24 jam.

    METHADON

    Methadon, opioid sintetis ditemukan tahun 1940, memiliki farmakologi

    yang mirip morfin. Meskipun struktur kimia sangat berbeda dengan morfin,

    factor sterik memaksa molekul untuk menstimulasi cincin pseudopiperidin

    menjadi sangat dibutuhkan dalam aktivitas opioid. Karena bersifat eliminasi

    waktu paruh yang lama, metadon lebih sering digunakan dalam manajemen

    nyeri jangka panjang dan sebagai terapi sindrom pantang opioid.

    Dalam pemberian perenteral, onset analgesik sangat cepat sekitar 10-20

    menit. Setelah dosis tunggal sampai 10 mg, durasi analgesik mirip morfin.

    EFEK SAMPING

    Efek samping methadone mirip morfin. Pasien yang menerima 20 mg

    methadone pada awal bedah tersedasi dalam periode postoperative cepat,

    tetapi tidak tampak depresi pernapasan secara klinik. Sekitar 50% mengalami

    mual muntah, yang sangat mudah diterapi dengan obat antiemetik. Methadon

    memproduksi efek opioid tipikal pada otot polos. Seperti morfin, dapat

    menurunkan aktivitas propulsi usus, dan konstipasi seperti pada spasme

    bilier.

    Hal ini dapat dilihat sebagai suatu pengamatan seksama terhadap

    perubahan tepi spektrum EEG menggunakan konsentrasi remifentanil dalam

    plasma. Pada anjing yang dianastesi menggunakan isofluran 1% dan NO

    50% dalam oksigen ditemukan bahwa pemberian remifentanil dan alfentanil,

  • 7/29/2019 Opiod

    16/34

    baik dengan dosis rendah maupun dosis tinggi, akan menghasilkan

    perlambatan EEG, penurunan aliran darah serebral dan penurunan tekanan

    intrakranial yang sama besar. Tekanan arteri rata-rata juga mengalami

    penurunan setelah pemberian kedua jenis opioid tersebut, namun saat

    tekanan darah dipertahankan dengan pemberian fenilephrin, remifentanil

    menghasilkan penurunan aliran darah serebral serta penurunan tekanan

    intrakranial yang sama.

    Beberapa laporan klinis telah menggambarkan hemodinamika serebral

    pada manusia. Pada laporan klinis yang pertama, pemberian bolus

    remifentanil (0,5 atau 1,0 g.kg-1) atau alfentanil (10 atau 20 g.kg-1) dilakukan

    setelah pengeboran lubang Burr yang pertama. Dalam kondisi dimana telah

    terdapat anastesi isofluran atau N2O dan ventilasi terkontrol, kedua jenis

    opioid tersebut tidak mempengaruhi tekanan intrakranial dan keduanya

    menghasilkan sedikit penurunan tekanan darah arteri rata-rata yang

    berbanding lurus dengan dosis. Kemudian suatu penelitian multisenter

    dilakukan, dimana anastesi remifentanil/N2O dibandingkan dengan anastesi

    fentanil/N2O. Infusi opioid dimulai sebelum induksi; kemudian lajunya

    dikurangi setelah dilakukan intubasi dan dilakukan titrasi untuk menjaga

    hemodinamika tetap stabil. Tekanan intrakranial (remifentanil 13 10; fentanil

    14 13 mmHg) dan tekanan perfusi serebral (remifentanil 78 14mmHg;

    fentanil 76 19mmHg) pada kedua regimen besarnya sama. Pada kondisi

    dimana dibutuhkan ventilasi yang terkendali dan pengaturan tekanan darah

    dengan adjuvan vasoaktif, aliran darah serebral ditemukan sama, sementara

    reaktifitas pembuluh darah serebral terhadap CO2 tetap terjaga saat anastesi

    dengan remifentanil/N2O dan fentanil/N2O digunakan pada operasi kraniotomi.

    Sebuah penelitian lain menjelaskan mengenai efek infusi remifentanil dengan

    kecepatan yang berbeda terhadap kecepatan aliran darah serebral pada

    pasien yang dijadwalkan untuk operasi bypass graft arteri koroner. Tidak ada

    zat inhalan yang digunakan, ventilasi dikendalikan untuk menjaga keadaan

    isokapnea dan tekanan darah arteri rata-rata dikendalikan dengan pemberian

    fenilephrin. Kecepatan aliran darah serebral berkurang secara signifikan pada

    pasien yang menerima remifentanil dosis tinggi (5g.kg-1, diikuti dengan

  • 7/29/2019 Opiod

    17/34

    3g.kg-1.min-1) namun tidak terdapat pengurangan pada dosis sedang (2g.kg-

    1, diikuti dengan 1g.kg-1. min-1).

    Depresi pernapasanRemifentanil menghasilkan suatu depresi pernapasan yang berbanding

    lurus dengan dosis pemberian sebagaimana terukur dengan peningkatan

    pada volume CO2 end-tidal dan penurunan dalam saturasi oksigen. Pada

    suatu penelitian pada subyek normal dimana dilakukan peningkatan-

    peningkatan pada dosis pemberian, dilakukan perbandingan antara efek

    depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh remifentanil dan alfentanil. Puncak

    depresi pernapasan terjadi 5 menit setelah pemberian masing-masing dosis

    remifentanil dan alfentanil, dan efek depresi pernapasan maksimal yang

    ditemukan pada pemberian remifentanil 2g.kg-1 sama dengan yang

    ditemukan pada pemberian alfentanil 32g.kg-1. Durasi efek depresi

    pernapasan, yang diukur sebagai waktu yang diperlukan gas darah untuk

    kembali mencapai 10% dari nilai dasar, adalah 10 menit setelah pemberian

    remifentanil 1,5g.kg-1 dan 20 menit setelah pemberian remifentanil 2g.kg-1;

    sedangkan setelah pemberian alfentanil 32g.kg-1

    durasinya adalah 30 menit.Selama infusi opioid yang berkelanjutan, ventilasi per-menit pada keadaan

    CO2 terinspirasi sebesar 8% berkurang kurang lebih sebesar 30, 45 da 60%

    setelah pemberian infusi remifentanil selama 4 jam sebesar 0,025, 0,050 dan

    0,075g.kg-1.min-1. Pemulihan dari depresi pernapasan yang diakibatkan oleh

    remifentanil berlangsung cepat, dan ventilasi per-menit kembali ke nilai dasar

    setalah 8 menit (dengan simpangan 5-15 menit) setelah penghentian infusi.

    Sementara penurunan ventilasi per-menit sebesar 50% yang dihasilkan oleh

    infusi berkelanjutan alfentanil 0,5g.kg-1.min-1 selama 4 jam membutuhkan

    waktu 61 menit (dengan simpangan 5-90 menit) untuk kembali mencapai nilai

    dasar. Dalam suatu penelitian, Glass dan kawan-kawan melaporkan bahwa

    konsentrasi remifentanil dalam darah yang dibutuhkan untuk menekan

    ventilasi per-menit sebanyak 50% (EC50)pada keadaan CO2 terinspirasi

    sebesar 8% adalah 1,17ng.ml-1.

    Walaupun waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan rangsang ventilasi

    normal cukup singkat pada pasien dan subyek penelitian, pemeliharaan

  • 7/29/2019 Opiod

    18/34

    respirasi spontan selama anastesi umum dengan menggunakan remifentanil

    dan zat volatil atau propofol mungkin tidak dapat dilakukan kecuali jika

    remifentanil yang digunakan dosisnya rendah. Pengalaman klinis pada

    manusia yang bernapas spontan yang diberikan remifentanil dalam kombinasi

    baik dengan isofluran maupun propofol telah menunjukkan adanya depresi

    pernapasan yang tergantung dosis. Depresi pernapasan dapat ditemukan

    pada 10-35% pasien yang menerima remifentanil dengan dosis 0,025g.kg-

    1.min-1. Angka ini meningkat sampai 50% pada pasien yang menerima 0,05

    g.kg-1.min-1 dan sampai >90% pada pasien yang menerima dosis

    0,075g.kg-1.min-1.

    Efek hemodinamik

    Pada subyek penelitian yang sehat, remberian remifentanil dengan dosis

    bolus melebihi 1,0g.kg-1 menghasilkan peningkatan singkat tekanan darah

    sistolik (5-20 torr) dan detak jantung (10-25 detak/menit), yang akan kembali

    menuju nilai dasar setelah 10 menit. Pada pasien yang dianastesi dengan

    isofluran dan 66% N2O dalam oksigen, remifentanil (sampai 5g.kg-1) akan

    menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan detak jantung yangbesarnya bergantung pada dosis. Efek-efek ini dapat diperkuat dengan

    adanya premedikasi glikopirolat 0,3-0,4 mg dan dapat dengan segera diputar

    balik dengan efedrin dan fenilephrin. Sebel dan kawan-kawan mengevaluasi

    respon hemodinamik pada pasien yang menerima 2-30 g.kg-1 (dengan

    dosis yang ditingkatkan secara bertahap) saat sedang dalam anastesi umum.

    Ditemukan bahwa remifentanil dengan dosis melebihi 2g.kg-1 menghasilkan

    efek penurunan detak jantung sistolik lebih dari 20%. Konsentrasi histamintidak mengalami perubahan, hal ini menunjukkan bahwa efek hemodinamik

    yang timbul tidak berkaitan dengan pelepasan histamin. Suatu rangkaian

    laporan klinis yang lain menyatakan adanya bradikardi yang berat (detak

    jantung

  • 7/29/2019 Opiod

    19/34

    kurang dari 30 detik (dimana yang dianjurkan adalah 30-60 detik). Hipotensi

    yang terjadi pada semua kasus dapat diatasi dengan efektif menggunakan

    efedrin dan penghentian sementara remifentanil. Penggunaan beta-blocker

    atau calcium-channel blockerpreoperasi tidak menjadi predisposisi terjadinya

    bradikardi. Pemberian dosis bolus remifentanil yang lebih kecil (0,3-0,5 g.kg-

    1) tidak berkaitan dengan bradikardi yang berat maupun dengan hipotensi.

    Mekanisme yang paling mungkin untuk menjelaskan perubahan-perubahan

    hemodinamika ini diantaranya adalah penurunan tonus simpatis oleh sistem

    saraf pusat dan bradikardi yang diakibatkan oleh refleks vagus.

    Efek samping lainnya

    Sebagaimana halnya dengan agonis lainnya, remifentanil dapat

    menyebabkan mual dan muntah. Hasil sementara menunjukkan bahwa

    terjadinya mual dan muntah akibat remifentanil lebih jarang dibandingkan

    dengan alfentanil setelah pemberian bolus tunggal pada subyek penelitian

    maupun pada pasien yang disedasi dengan infusi opioid dosis-rendah

    (remifentanil 0,05g.kg-1.min-1) saat dalam anastesi regional. Pada kecepatan

    infusi yang tinggi (1-8g.kg-1.min-1) mual ditemukan pada 70% subyek dan

    kaku otot ditemukan pada semua subyek. Pada pasien anak yang menerima

    pemberian desfluran dengan atau tanpa remifentanil 0.2g.kg-1.min-1, telah

    dievaluasi timbulnya mual dan muntah saat sadar dari anastesi umum. Pada

    penelitian ini, penambahan remifentanil tidak menimbulkan peningkatan

    insidensi mual atau muntah pasca operasi pada operasi mulut; mual dan

    muntah ditemukan pada

  • 7/29/2019 Opiod

    20/34

    pemberian sebanding dengan efek yang ditimbulkan oleh opioid agois

    short-actinglainnya.

    Kinetika disposisiFaktor struktural utama pada remifentanil adalah suatu gugus ester

    fungsional yang mudah mengalami hidrolisis oleh esterase non-spesifik darah

    dan jaringan, sehingga metabolismenya sangat cepat. Karena

    butirokolinesterase (pseudokolinesterase) tidak ditemukan dapat

    memetabolisir remifentanil, maka diduga bahwa defisiensi kolinesterase

    plasma dan pemberian zat antikolinergik tidak akan berpengaruh terhadap

    pembuangan remifentanil. Dugaan ini telah dikonfirmasi kebenarannya. Tidak

    seperti opioid lainnya, pembuangan remifentanil terutama dilakukan oleh

    hidrolisis enzimatik, sedangkan redistribusi hanya berperan kecil. Hal ini

    menurunkan variabilitas farmakokinetiknya dibandingkan dengan opioid

    lainnya. beberapa peneliti telah mengevaluasi farmakokinetik remifentanil

    pada manusia. Baik model dua kompartemen maupun tiga kompartemen

    telah digunakan untuk menjelaskan kurva penurunan konsentrasi plasma

    remifentanil. Glass dan kawan-kawan telah mencoba memberikan dosis bolus

    sampai 2g.kg-1 pada subyek normal. Mereka melaporkan adanya volume

    distribusi yang kecil, yaitu 0,39 l.kg-1, dan pembuangan yang tinggi mencapai

    41 ml.kg-1.min-1. Fase distribusi yang cepat, yaitu 0,9 menit, dan waktu paruh

    pembuangan akhir yang singkat, yaitu 9,5 menit, menggambarkan suatu

    model dua kompartemen. Westmoreland dan kawan-kawan menemukan

    parameter farmakokinetik yang sama pada pasien anastesi yang diberikan 2 -

    30g.kg-1, tetapi menyatakan bahwa suatu model tiga-kompartemen lebih

    dapat menjelaskan farmakokinetika remifentanil. Waktu paruh distribusi yang

    cepat adalah 0,4 - 0,5 menit sedangkan yang lambat adalah 2 3,7 menit,

    sementara waktu paruh eliminasi adalah 10 20 menit. Penelitian

    melaporkan bahwa terdapat distribusi volume yang sama (kurang lebih 0,3

    0,5 l.kg-1) dan klirens total yang tinggi (250 300 l.h-1), kurang lebih 3 4 kali

    aliran darah hepar normal.

    Walaupun parameter farmakokinetik remifentanil tidak berbeda pada

    pasien dengan penyakit hepar kronis atau gagal ginjal, pasien dengan

  • 7/29/2019 Opiod

    21/34

    penyakit hepar tampak lebih sensitif terhadap depresi pernapasan yang

    diakibatkan remifentanil (diukur dengan tes hiperbarik). Sedangkan pada

    kongener fentanil lainnya gender tidak berpengaruh terhadap farmakokinetik

    remifentanil, namun usia lanjut berkaitan dengan adanya penurunan klirens

    dan volume distribusi, demikian juga dengan potensinya. Egan dan kawan-

    kawan menemukan bahwa farmakokinetika remifentanil hampir sama pada

    pasien yang kurus (dalam range 20% dari berat badan ideal) dan obese

    (minimal 80% lebih dari berat tubuh ideal), dan dianjurkan penentuan dosis

    remifentanil didasarkan pada masa tubuh.

    Dosis dan Pemberian Remifentanil

    Saat ini sedang dilakukan percobaan-percobaan klinis untuk

    menentukan kombinasi dan regimen dosis yang ideal untuk berbagai

    prosedur pada pasien rawat inap dan rawat jalan. Namun, sejak diijinkannya

    penggunaan remifentanil untuk prosedur klinis, banyak laporan yang

    menyatakan regimen dosis untuk remifentanil baik sendiri maupun dalam

    kombinasi dengan zat lain untuk induksi dan mempertahankan anastesi

    umum dan sebagai komponen dalam sedasi dan perawatan anatesi

    terpantau. Karena durasi kerjanya yang sangat singkat, remifentanil lebih baik

    diberikan sebagai suatu infusi yang berkelanjutan, namun pemberian dosis

    bolus juga dilaporkan cukup efektif.

    Sebagaimana telah dijelaskan, remifentanil tidak dapat menjadi zat

    tunggal yang efektif untuk induksi anastesi karena dapat timbul penurunan

    kesadaran dan kekakuan otot yang tidak dapat diperkirakan. Beberapa

    percobaan klinis telah menjelaskan penentukan regimen dosis remifentanil

    dan propofol untuk induksi anastesi. Hogue dan kawan-kawan menggunakan

    sebuah dosis remifentanil 1g.kg-1 diikuti infusi 1g.kg-1.min-1 dan tiga menit

    kemudian diberikan propofol 0,5-1mg.kg-1. Regimen ini menghasilkan respon

    hemodinamik yang minimal terhadap intubasi trakea, namun 15% pasien

    mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik < 80 mmHg atau tekanan arteri

    rata-rata < 60 mmHg). Song dan kawan-kawan membandingkan dosis bolus

    fentanil 1g.kg-1, remifentanil 0,5 g.kg-1 dan remifentanil 1g.kg-1 yang diikuti

    satu menit kemudian dengan pemberian propofol 2mg.kg-1. Kedua dosis

  • 7/29/2019 Opiod

    22/34

    remifentanil memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan fentanil.

    Remifentanil 1g,kg-1 menghasilkan kendali hemodinamika yang paling baik

    tanpa hipotensi.

    Pengalaman awal dengan remifentanil mengindikasikan bahwa saatdiberikan sebagai bagian dari suatu anastesi seimbang dengan 66% N 2O,

    kecepatan infusi remifentanil 0,3-1g.kg-1.min-1 merupakan kecepatan optimal

    untuk mencegah respon hemodinamik terhadap stimulus bedah. Saat

    kecepatan infusi dipertahankan setinggi 2g.kg-1.min-1 sampai penyelesaian

    jahitan terakhir, ventilasi spontan timbul setelah 7 menit. Peacock dan Phillip

    telah menyatakan bahwa infusi remifentanil pada kecepatan 0,02-0,05 g.kg-

    1

    .min-1

    bersama dengan isofluran pada konsentrasi end-tidalsebesar 0,8 1,3% akan mempertahankan anastesi dengan adekuat. Saat diberikan dalam

    kombinasi dengan infus propofol 75g.kg-1.min-1, kecepatan infusi rata-rata

    sebesar 0,25 0,4 g.kg-1 tampak dapat memberikan kendali hemodinamika

    yang baik dan memungkinkan pemulihan yang cepat dari anastesi. Dengan

    kecepatan infusi propofol yang lebih cepat, sebesar 120-140 g.kg-1.min-1,

    infusi reminfentanil dapat dikurangi sampai 0,02 0,05 g.kg-1. Untuk bedah

    jantung, kecepatan infusi remifentanil antara 1 sampai 3 g.kg-1.min-1

    dikombinasikan dengan dengan infusi propofol dosis rendah sebesar 50

    g.kg-1.min-1 dapat menekan dengan efektif timbulnya respon terhadap

    pembelahan kulit, sternotomi dan kanulasi aorta.

    Suatu kekurangan potensial yang dimiliki remifentanil berkaitan dengan

    durasi kerjanya yang singkat. Saat sadar dari anastesi, pasien dapat

    mengalami rasa sakit yang cukup berat. Oleh karena itu, apabila diperkirakan

    akan timbul nyeri pasca operasi, maka dengan meneruskan infusi remifentanil

    dengan kecepatan yang lebih rendah dapat mengatasi masalah ini. Bowdie

    dan kawan-kawan menggunakan pendekatan ini pada pasien yang menjalani

    beberapa prosedur bedah ortopedi, digestif dan toraks. Pada saat jahitan

    terakhir diselesaikan, kecepatan infusi diturunkan sampai 0,05g.kg-1.min-1

    dan kemudian dititrasikan untuk mancapai rasa nyaman pasien (saat nyeri

    dikatakan tidak ada atau sedikit nyeri). Hampir separuh dari jumlah pasien

    ini tidak membutuhkan penyesuaian kecepatan remifentanil lebih lanjut untukanalgesi pasca operasi yang segera; 78% mengalami analgesi yang memadai

  • 7/29/2019 Opiod

    23/34

    dengan kecepatan infusi remifentanil sebesar 0,05 dampai 0,15g.kg-1.min-1.

    Apabila nyeri pasca operasi diperkirakan cukup ringan, maka pemberian

    NSAID intraoperasi kurang lebih 30 60 menit sebelum akhir operasi dapat

    menghasilkan analgesi yang cukup tanpa opioid tambahan.Remifentanil juga dapat digunakan sebagai tambahan untuk sedasi atau

    analgesi selama anastesi regional, pemberian anastesi block atau sebagai

    bagian dari suatu perawatan anastesi terpantau (monitored anasthesia care

    MAC). Pada pemberian dosis sebesar 1g.kg-1 dengan atau tanpa diikuti

    pemberian dosis 0,2g.kg-1.min-1 yang diberikan 90 menit sebelum suatu

    block opftalmologi, 80% pasien melaporkan tidak adanya rasa sakit saat block

    dilakukan. Namun, sebanyak 14% pasien yang menerima infusi tersebutmengalami depresi pernapasan. Selama anastesi regional, suatu pemberian

    infusi dengan kecepatan 0,05-0,1g.kg-1.min-1 untuk pemeliharaan dapat

    menghasilkan sedasi dan analgesi yang memadai selama operasi yang

    dilakukan dengan block saraf regional atau lokal. Secara umum, dosis bolus

    remifentanil selama MAC tidak dianjurkan karena meningkatnya resiko

    depresi pernapasan dan kekakuan otot, namun hal ini dapat dikurangi dengan

    memberikan suatu dosis tunggal secara perlahan-lahan, yaitu > 30 detik.

    Kebutuhan dosis remifentanil untuk sedasi/analgesi berkurang cukup banyak

    saat dikombinasikan dengan midazolam atau propofol. Gold dan kawan-

    kawan menemukan bahwa kebutuhan remifentanil berkurang sebesar 50%

    (0,06 dibandingkan dengan 0,12 g.kg-1.min-1) saat pemberian 1-2 mg

    midazolam dilakukan pada awal prosedur dalam keadaan anastesi lokal.

    Suatu penelitian klinis mengevaluasi beberapa regimen remifentanil ditambah

    dengan propofol untuk litotripsi ekstrakorporal gelombang kejut. Dalam

    kombinasi dengan propofol 50 g.kg-1.min-1, pemberian remifentanil dalam

    dosis kecil dan intermiten (25g.kg-1), yang diberikan dengan waktu lebih dari

    15 30 detik, atau suatu infusi berkelanjutan dosis rendah (0,05g.kg-1. min-1)

    yang dibantu dengan dosis bolus 12,5g.kg-1 dapat memberikan analgesi

    yang memadai, tanpa resiko depresi pernapasan.

  • 7/29/2019 Opiod

    24/34

    AGONIS PARSIAL DAN GABUNGAN AGONIS-ANTAGONIS

    Agonis parsial opioid dan gabungan agonis-antagonis opioid merupakan

    senyawa sintetis atau semisintetis yang secara struktural berkaitan dengan

    morfin. Zat-zat ini memiliki ciri khas berikatan secara aktif dengan beberapa

    reseptor opioid dan efek yang berbeda (agonis, agonis parsial atau antagonis)

    pada masing-masing jenis reseptor. Efek klinis dari suatu agonis parsial pada

    kompleks reseptor opioid cukup rumit. Apabila diberikan sendiri, suatu

    agonis parsial memiliki kurva dosis-respon yang lebih datar dan memiliki efek

    maksimal yang lebih rendah dibandingan dengan agonis penuh (lihat gambar

    13-1 dan kurva paling bawah pada gambar 14-13). Dalam kombinasi dengan

    agonis penuh dalam konsentrasi rendah (kurva cf. yang diindikasikan oleh

    [Ag] = 0,25 pada gambar 14-13), efek agonis parsial ditambahkan kepada

    efek maksimum yang dihasilkan agonis parsial. Dikombinasikan dengan

    konsentrasi agonis penuh yang lebih tinggi ([Ag] = 0,67 236), agonis parsial

    akan bertindak sebagai suatu antagonis. Obat-obat ini menghasilkan efek

    klinisnya melalui ikatan dengan reseptor opioid dan , sebagaimana

    dirangkum dalam tabel 14.4. Skema klasifikasi yang dihasilkan dapat berubah

    seiring dengan bertambahnya pemahaman kita terhadap obat-obat ini serta

    terhadap reseptor-reseptor opioid. Bowdle melakukan review yang

    menyeluruh terhadap farmakologi serta penggunaan klinis obat-obat ini dan

    obat-obatan lainnya dalam kelas ini. Hanya nalbupine, butorfanol dan

    bupremorfin yang dibahas dalam bab ini.

    Peran utama obat-obatan campuran agonis-antagonis opioid dan agonis

    parsial terus berada dalam kondisi analgesi pasca operasi, namun juga telah

    digunakan untuk sedasi intraoperasi, sebagai tambahan saat anastesi umum,

    dan untuk memberikan antagonisme terhadap beberapa efek agonis opioid

    penuh yang timbul.

    Nalbupin

    Nalbupin merupakan derivat opioid fenantren. Walaupun lebih sering

    diklasifikasikan sebagai suatu agonis dan antagonis , namun lebih tepat

    jika dijelaskan sebagai siuatu agonis parsial baik pada reseptor maupun

    reseptor . Murphy dan Hug melaporkan bahwa suatu dosis sebesar 0,5

  • 7/29/2019 Opiod

    25/34

    mg.kg-1 dapat mengurangi MAC enfluran sebesar 8%, namun penelitian untuk

    mengkaji penurunan MAC pada manusia belum dilakukan. Namun

    meningkatkan dosis sampai mencapai 8 kali lipat tidak memberikan

    penurunan MAC lebihi lanjut. Penurunan MAC yang sedikit ini, dibandingkan

    65% pada morfin mengindikasikan bahwa nalbufin mungkin bukan tambahan

    yang baik untuk anastesi umum. Namun, beberapa peneliti telah mengamati

    efektivitasnya sebagai komponen dalam anastesi seimbang untuk

    pembedahan jantung dan abdomen bagian bawah. Digabungkan dengan

    diazepam 0,4mg.kg-1 dan 50% N2O dalam oksigen, suatu dosis loading

    sebesar 3 mg.kg-1 diikuti oleh dosis tambahan 0,25 mg.kg-1 sebagaimana

    dibutuhkan dalam pembedahan. Tidak terdapat peningkatan lebih lanjut yang

    signifikan pada tekanan darah, hormon stres atau histamin, sedangkan

    proses sadar dari keadaan anastesi tidak mengalami komplikasi. Nalbufin 0,2

    mg.kg-1 telah dibandingkan dengan meperidin 0,5 mg.kg-1 sebagai suatu

    adjuvan terhadap anastesi umum dengan halotan 1% dan 70% N2O dalam

    oksigen pada pasien bernapas spontan yang menjalani perbaikan hernia

    inguinalis. Kedua obat menghasilkan derajat depresi pernapasan yang

    menyerupai dan juga terdapat persamaan dalam analgesi pasca operasi serta

    efek samping. Efek samping yang paling umum ditemukan adalah rasa

    mengantuk. Dalam suatu perbandingan dengan metode double-blinddengan

    fentanil pada pembedahan ginekologi, fentanyl ternyata memberikan atenuasi

    yang lebih baik terhadap respon hipertensif terhadap intubasi dan stimulasi

    bedah. Namun, depresi pernapasan yang signifikan ditemukan pada 8 dari 30

    pasien yang menerima fentanil, dan 4 membutuhkan nalokson, sedangkan

    pada kelompok yan menerima nabulfin tidak ditemukan adanya depresi

    pernapasan. Analgesi yang ditimbulkan hampir sama dan sebagaimana

    halnya dengan pada penelitian lain, sedasi pasca operasi umum ditemukan

    pada kelompok nabulfin.

    Depresi pernapasan yang dihasilkan oleh nabulfin, efek yang

    kemungkinan besar diperantari reseptor opioid , memiliki efek puncak yang

    ekivalen dengan morfin 30 mg/ 70 kg. Analgesi diperantarai baik oleh reseptor

    maupun oleh reseptor. Karena efek ini, nalbufin telah digunakan untuk

    melawan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh agonis penuh

  • 7/29/2019 Opiod

    26/34

    sementara tetap memberikan efek analgesi. Dalam suatu perbandingan

    double-blind, baik nalbufin maupun entanyl dapat melawan depresi

    pernapasan pasca operasi yang diakibatkan oleh fentanil. Namun, pasien

    yang menerima nalokson akan lebih sering membutuhkan analgesi

    dibandingakan mereka yang menerima nalbufin. Nalbufin juga telah

    menunjukkan efektivitasnya dalam melawan depresi pernapasan akibat efek

    residu fentanil setelah suatu fentanil anastesi dosis tinggi (100-120 g.kg-1)

    pada bedah jantung. Hanya 3 dari 21 pasien yang mengalami nyeri setelah

    pemberian nalbufin, dan ini juga dapat diatasi dengan adekuat menggunakan

    nalbufin tambahan. Namun, dalam suatu penelitian dengan sukarelawan,

    nalbufin 0,21 mg.kg-1 tidak dapat melawan efek depresi pernapasan yang

    ditimbulkan morfin 0,21 mg.kg-1.

    Walaupun nalbufin dan agonis-antagonis lainnya memiliki efek analgesi

    puncak serta efek depresi pernapasan, penggunaan keduanya sama

    efektivitasnya dengan agonis dalam menyediakan analgesi pasca operasi.

    Nalbufin 5 10 mg juga telah digunakan untuk melawan pruritus untuk

    melawan pruritus yang diakibatkan oleh morfin intradural dan intratekal. Dosis

    orang dewasa umumnya adalah nalbufin 10 mg paling banyak setiap 3 jam.

    Penting untuk diketahui bahwa nalbufin dapat mempresipitasikan gejala putus

    obat pada paien yang secara fisik sangat tergantung pada opioid.

    Butorfanol

    Butorfanol, suatu kongener senyawa morfin, memiliki aktivitas agonis

    parsial pada reseptor opioid dan , menyerupai nalbufin. Dibandingkan

    dengan nalbufin dan obat-obat lain yang menyerupai, butorfenol memiliki efek

    sedatif yang lebih nyata. Baik dalam penelitian laboratoris maupun dalam

    penggunaan klinis, butorfanol menghasilkan efek sedasi yang tergantung

    dosis yang sebanding dengan midazolam. Seperti nalbufin, butorfanol

    mengurangi MAC enfluran pada anjing sebanyak 11% pada dosis terkecil

    yang diuji (0,1mg.kg-1). Peningkatan dosis butorfanol sampai 40 kali lipat tidak

    menghasilkan penurunan lebih lanjut. Namun, seperti pada nalbufin,

    butorfanol telah dilaporkan sebagai suatu komponen efektif suatu anastesi

    umum untuk pasien bedah jantung. Pada kombinasi dengan diazepam dan

  • 7/29/2019 Opiod

    27/34

    NO, baik butorfanol maupun morfin dapat menghasilkan anastesi yang sama

    baiknya.

    Apabila diberikan sendiri, butorfanol menghasilkan depresi pernapasan,

    namun seperti nalbufin juga memiliki efek puncak dibawah efek yang yang

    ditimbulkan agonis penuh. Pada pasien pascaoperasi sebuah dosis

    perenteral sebesar 3 mg dapat menghasilkan depresi pernapasan yang

    kurang lebih sama dengan 10 mg morfin. Butorfanol telah digunakan untuk

    melawan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan fentanil. Pasien yang

    telah dianastesi dengan isofluran, NO dan fentanil 5 g.kg-1 diikuti dengan

    infusi 2g.kg-1.h-1 menerima 3 dosis butorfanol berturut-turut masing-masing 1

    mg dengan interval 10-15 menit. Setelah dosis 1 mg pertama, laju

    pernapasan dan respon ventilasi terhadap CO2 meningkat secara signifikan.

    Perubahan progresif lebih lanjut pada semua parameter tidak menunjukkan

    perbedaan yeng signifikan dengan respon awal terhadap butorfanol. Analgesi

    tidak terpengaruh secara signifikan pada 21 dari 22 pasien.

    Berbeda dengan morfin, fentanil, dan bahkan meperidin, butorfanol tidak

    meinmbulkan peningkatan yang signifikan pada tekanan intrabilier. (lihat

    gambar 14-7) Butorfanol juga telah menunjukkan efektivitasnya dalam

    menangani shivering pasca operasi, namun mekanismenya belum diketahui.

    Butorfanol diindikasikan untuk sedasi dan juga terapi nyeri sedang

    sampai berat pasca operasi. Pengalaman klinis sementara mengindikasikan

    bahwa butorfanol yang diberikan sebagai suatu analgesi yang dikendalikan

    pasien berkaitan dengan insidensi ileus akibat opioid yang lebih rendah

    dibandingkan dengan penggunaan opioid selektif (dinyatakan oleh Dunbar

    PJ, melalui komunikasi pribadi). Suatu dosis serendah 0,5 mg dapat

    menghasilkan sedasi yang berguna secara klinis, sedangkan dosis analgesi

    tunggal berkisar antara 0,5 sampai 2 mg. Butorfanol juga telah dilaporkan

    dapat diberikan secara epidural maupun secara transnasal.

    Buprenorfin

    Buprenorfin adalah suatu derivat thebain yang sangat lipofilik, dan pada

    dosis yang rendah sampai sedang kekuatannya 25-50 kali lebih poten

    dibandingkan dengan morfin. Berbeda dengan nalbufin dan butorfanol,

  • 7/29/2019 Opiod

    28/34

    buprenorfin tidak memiliki efek agonis pada reseptor opioid , dan mungkin

    memiliki efek antagonis pada reseptor tersebut (lihat tabel 14-4). Ciri khas lain

    yang dimiliki buprenorfin adalah disosiasi yang lambat dari reseptor, hal ini

    dapat memberikan efek yang lebih lama dan tidak mudah untuk dilawandengan pemberian nalokson. Buprenorfin juga memiliki bentuk kurva dosis-

    efek yang tidak lazim, yaitu bentuk lonceng, dimana pada dosis yang sangat

    tinggi buprenorfin efek analgesi yang dihasilkan semakin sedikit. Dalam suatu

    penelitian klinis, Pedersen dan kawan-kawan menemukan bahwa pada

    pasien yang diberi 10 atau 20 g.kg-1 buprenorfin selama operasi tidak

    mengalami nyeri pascaoperasi, namun pada pasien yang diberi 30 atau 40

    g.kg-1

    nyeri pasca operasi cukup signifikan. Pengamatan ini konsistendengan kurva dosis-efek buprenorfin yang berbentuk lonceng. Pasien yang

    menerima buprenorfin dalam dosis yang tinggi kemungkinan konsentrasi obat

    dalam plasmanya berada dalam kisaran dimana efek analgesi sudah mulai

    berkurang.

    Buprenorfin juga menampakkan adanya efek puncak pada kurva dosis-

    efek dalam hal depresi pernapasan. Namun, walaupun depresi pernapasan

    akibat bupenorfin dapat dicegah dengan pemberian nalokson sebelumnya,

    apabila depresi pernapasan tersebut sudah muncul akan sulit untuk diatasi

    dengan pemberian nalokson. Sebuah dosis ebesar 0,5 mg mengurangi

    kepekaan terhadap CO2 sampai sebesar 50% dari nilai kontrol. Untuk

    melawan efek depresi pernapasan akibat buprenorfin yang timbul pada

    sukarelawan penelitian, dibutuhkan nalokon dalam dosis yang tinggi (5-10

    mg), sedangkan dosis-dosis 1 mg tidak efektif. Selain itu, efek antagonis

    maksimum nalokson terhadap buprenorfin dalam keadaan tersebut baru

    timbul setelah 3 jam pemebrian, suatu pengamatan yang konsisten dengan

    sifat disosiasi buprenorfin yang lambat dari reseptor . Buprenorfin telah

    dibandingkan dengan nalokson dalam hal kemampuannya untuk melawan

    depresi pernapasan akibat fentanil, dan ditemukan dapat meningkatkan

    pernapasan tanpa mengurangi efek analgesi apabila diberikan dalam dosis

    lambat sampai 0,5 mg.

    Buprenorfin efektif dalam mengatasi nyeri sedang sampai berat. Mula

    kerjanya lambat, tetapi efek analgesi yang dihasilkan dapat melebihi 6 jam.

  • 7/29/2019 Opiod

    29/34

    Sebuah dosis tunggal sebesar 0,3-0,4 mg dapat menghasilkan analgesi yang

    sebanding dengan 10 mg morfin.

    ZAT-ZAT ANTAGONIS (NALOKSON DAN NALTREKSON)

    Dalam keadaan normal, antagonis opioid hanya menghasikan sedikit

    efek. Karena bersifat inhibitor kompetitif terhadap agonis opioid maka profil

    efeknya bergantung pada tipe dan dosis agonis yang telah diberikan dan juga

    dipengaruhi oleh derajat ketergantungan fisik terhadap agonis opioid tersebut.

    Antagonis opioid yang paling sering digunakan adalah nalokson, yang secara

    struktural berhubungan dengan morfin dan oksimorfin, dan juga merupakan

    suatu antagonis murni reseptor opioid , dan . Naltrekson adalah suatu zat

    oral long-acting dengan efek antagonis yang relatif murni. Dalam beberapa

    keadaan, nalokson dapat melawan efek yang diperantarai oleh opioid

    endogen. Sebagai contoh, nalokson dapat melawan efek stress analgesia

    pada hewan dan manusia; nalokson juga dapat melawan analgesi yang

    ditimbulkan oleh stimulasi frekuensi rendah menggunakan akupunktur dan

    melawan analgesi yang ditimbulkan oleh medikasi plasebo.

    Dalam praktek anastesi klinis, nalokson diberikan untuk melawan

    depresi pernapasan dan sedasi yang dihasilkan oleh opiat. Karena antagonis

    opiat akan menghilangkan semua efek opiat, termasuk analgesi, pemberian

    nalokson sebaiknya dititrasikan dengan hati-hati untuk mencegah timbulnya

    nyeri hebat yang timbul tiba-tiba pada pasien pasca operasi. Hilangnya efek

    opiat secara menyeluruh dan tiba-tiba setelah pemberian nalokson sebagai

    antagonis opiat dapat menyebabkan hipertensi berat, takikardi, disritmia

    ventilasi dan edema paru akut yang terkadang bersifat fatal. Edema paru

    akibat pemberian nalokson bahkan dapat terjadi pada pasien muda yang

    sehat yang diberi nalokson dalam dosis relatif kecil (80-500g). Mekanisme

    terjadinya fenomena ini diduga adalah akibat pelepasan katekolamin atas

    perintah sistem saraf pusat, pelepasan katekolamin ini kemudian akan

    menyebabkan hipertensi pulmonal akut. Sebagian besar pasien yang

    mengalami depresi pernapasan akibat opiat dapat bernapas secara volunter,

    oleh karena itu pada masa pasca operasi segera pasien perlu distimulasi

    untuk bernapas selain juga memberikan nalokson dalam dosis yang dititrasi

  • 7/29/2019 Opiod

    30/34

    secara hati-hati. Selain itu sangatlah penting untuk mengawasi dengan

    seksama tanda-tanda vital dan oksigenisasi setelah pemberian nalokson

    untuk mendeteksi adanya komplikasi yang berpotensi untuk menjadi

    berbahaya.

    Nalokson akan mempresipitasi gejala putus obat opiat pada individu

    yang mengalami ketergantungan terhadap golongan opiat. Para klinisi

    biasanya sudah waspada akan bahaya ini saat bekerja dengan pasien yang

    memiliki sejarah ketergantungan terhadap golongan opiat, namun perlu

    diperhatikan bahwa ada potensi untuk timbul gejala putus obat pada pasien

    yang tidak mengalami ketergantungan namun berada dalam pengobatan

    kronis dengan obat golongan opiat seperti pasien kanker, pasien dengan luka

    bakar parah dan pasien trauma dengan masa pemulihan yang panjang.

    Nalokson memiliki mula kerja yang cepat, sehingga mudah untuk

    dititrasi. Efek puncak terjadi dalam jangka waktu 1 2 menit dan durasinya

    tergantung pada dosis, pada umumnya dosis sebesar 0,4-0,8 mg dapat

    bertahan selama 1 4 jam. Dosis progresif yang dianjurkan untuk titrasi

    intravena adalah 20-40g setiap beberapa menit sampai pernapasan pasien

    membaik tetapi analgesi belum hilang seluruhnya. Karena nalokson memiliki

    durasi kerja yang singkat, depresi pernapasan dapat terjadi apabila pasien

    mendapat obat zat agonis opiat dalam dosis besar dan/atau berdurasi kerja

    lama. Apabila diduga akan terjadi depresi pernapasan yang berlangsung

    lama, maka dapat diberikan sebuah dosis loadingnalokson di awal dengan

    diikuti oleh infusi. Kecepatan infusi antara 3 sampai 10 g.h-1 telah terbukti

    efektif dalam melawan depresi pernapasan baik akibat opiat sistemik maupun

    epidural.

    Penggunaan Agonis Opiat dalam Anastesi Klinis

    Opiat digunakan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan zat lain

    seperti sedatif dan obat antikolinergis sebagai premedikasi. Untuk keperluan

    ini, digunakan opiat dengan durasi kerja yang panjang seperti morfin

    diberikan sebagai dosis tunggal yang secara umum berada dalam kisaran

    analgesi. Tujuan dari premedikasi dengan opiat adalah untuk menghasilkan

    sedasi yang cukup, ansiolisis dan analgesi bersamaan dengan

  • 7/29/2019 Opiod

    31/34

    mempertahankan kestabilan hemodinamika. Resiko dari penggunaan

    premedikasi opiat adalah sedasi yang berlebihan, depresi pernapasan, mual

    dan muntah. Untuk induksi anastesi, opiat sering digunakan untuk

    mengurangi atau mencegah respon hemodinamik terhadap intubasi trakea.

    Opiat dengan mula kerja yang cepat seperti fentanil dan derivatnya cocok

    digunakan untuk tujuan ini.

    Saat operasi berlangsung, opiat diberikan sebagai komponen dari

    anastesi yang seimbang dan neuroleptanastesi, atau berdiri sendiri dalam

    suatu anastesi opiat dosis tinggi. Selama proses mempertahankan anastesi

    umum berlangsung, dosis opiat dititrasi untuk mencapai efek yang diinginkan

    berdasarkan stimulasi yang ditimbulkan oleh pembedahan dan juga

    berdasarkan karakteristik pasien secara individu, seperti umur, status volume

    darah, status neurologis, disfungsi hati atau keadaan sistemik lainnya.

    Konsentrasi beberapa jenis opiat dalam plasma yang dibutuhkan untuk

    mengurangi respon hemodinamika terhadap laringoskopi, intubasi trakea dan

    stimulasi bedah lainnya telah dapat ditentukan, demikian juga konsentrasi

    yang dibutuhkan untuk proses sadar kembali dari anastesia. Konsentrasi-

    konsentrasi tersebut (lihat tabel 14-3) menggambarkan konsentrasi dalam

    otak (yang merupakan lokasi terjadinya efek obat), dan proses titrasi untuk

    mencapainya dapat dilakukan dengan memberikan beberapa dosis bolus

    kecil atau dengan menginfus opiat dengan kecepatan yang bervariasi.

    Fentanil dan derivatnya sufentanil serta alfentanil adalah opiat yang

    digunakan secara luas sebagai tambahan dalam anastesi umum. Semua

    jenis opiat ini lebih mudah untuk dititrasi dibandingkan dengan morfin karena

    mula kerjanya yang cepat. Namun, Shafer dan Varvel telah menekankan

    bahwa untuk memilih dengan tepat antara opiat-opiat ini memerlukan

    pemahaman mengenai hubungan antara farmakinetika dan

    farmakodinamikanya. Mereka telah menggunakan model komputer untuk

    melakukan simulasi kecepatan dalam penurunan konsentrasi plasma dan

    otak yang timbul setelah beberapa metode pemberian, termasuk metode

    pemberian bolus, infusi singkat dan infusi lama. Penurunan konsentrasi dalam

    lokasi efek (otak) akan menentukan waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari

    efek opiat. Simulasi lainnya yang sebanding dengan simulasi ini juga telah

    dilakukan untuk remifentanil. Beberapa perbedaan farmakokinetika yang

  • 7/29/2019 Opiod

    32/34

    penting antara opiat-opiat ini adalah volume distribusi dan klirens

    intrakompartemen (distribusional) dan sentral (eliminasi). Volume ditribusi

    yang lebih kecil cenderung mempersingkat waktu pemulihan, dan penurunan

    dalam waktu klirens cenderung memperlama waktu pemulihan. Perbedaan

    farmakodinamika yang utama adalah keampuhan dan waktu ekuilibrasi antara

    plasma dan lokasi tujuan obat. Waktu paruh ekuilibrasi antara plasma dan

    lokasi tujuan adalah 5 6 menit untuk fentanil dan sufentanil serta 1,3-1,5

    menit untuk alfentanil dan remifentanil. Simulasi komputer menunjukkan

    bahwa untuk memprediksi kecepatan relatif penurunan konsentrasi pada

    lokasi tujuan setelah pemberian dosis bolus atau infusi berkelanjutan fentanil,

    sulfentanil dan alfentanil, tidak cukup hanya dengan membandingkan waktu

    paruh eliminasi. Kecepatan pemulihan setelah suatu infusi berkelanjutan akan

    bergantung pada lamanya infusi dan besarnya penurunan konsentrasi yang

    diperlukan. Gambar 14-14 menunjukkan bagaimana bervariasinya waktu

    yang dibutuhkan untuk penurunan konsentrasi sebesar 20, 50 dan 80 % pada

    lokasi tujuan (otak) antara opiat yang satu dengan opiat yang lain, tergantung

    pada lamanya infusi. Apabila hanya dibutuhkan penurunan 20% dari

    konsentrasi pada lokasi efek (panel atas), maka pemulihan dari ketiga jenis

    opiat akan berlangsung cepat, namun waktu pemulihan bertambah untuk

    fentanil setelah infusi yang berlangsung lebih dari 3 jam. Namun apabila yang

    dibutuhkan adalah penurunan sebesar 50% maka pemulihan dari sulfentanil

    adalah yang paling cepat pada infusi yang berlangsung dibawah 6 8 jam,

    sedangkan apabila infusi berlangsung lebih dari 8 jam maka pemulihan dari

    alfentanil yang paling cepat.

    Waktu Paruh Bergantung Konteks

    Hughes dan kawan-kawan memperluas konsep yang dilahirkan oleh

    Shafer dan Varvel untuk mendefinisikan kontribusi relatif dari kompartemen

    distribusi terhadap distribusi kompartemen sentral (plasma). Kontribusi relatif

    ini bervariasi tergantung pada lamana infusi. Hughes menciptakan konsep

    waktu paruh bergantung konteks, yang didefinisikan sebagai waktu yang

    dibutuhkan untuk terjadi penurunan konsentrasi obat dalam kompartemen

    sentral sebesar 50%, Hughes juga mendemonstrasikan bagaimana

    perubahan waktu paruh terjadi saat lamanya infusi obat bertambah. Selama

  • 7/29/2019 Opiod

    33/34

    infusi, kompartemen perifer (cepat dan lambat) akan terisi. Setelah infusi

    dihentikan, obat akan tereliminasi, tetapi juga terus di redistribusi selama

    konsentrasi dalam sebuah kompartemen perifer lebih rendah dari konsentrasi

    dalam kompartemen sentral. Hal ini akan mengakibatkan penurunan

    konsentrasi obat dalam kompartemen sentral dengan cepat. Saat konsentrasi

    dalam kompartemen sentral (plasma) lebih rendah dari kompartemen perifer,

    maka arah redistribusi obat akan berputar balik dan akan memperlambat

    penurunan dalam konsentrasi plasma. Seberapa banyak redistribusi ini akan

    mempengaruhi kecepatan eliminasi obat akan bergantung pada rasio antara

    konstanta distribusi dan konstanta waktu eliminasi. Oleh karena itu, obat yang

    dapat melakukan redistribusi dengan cepat akan menerima lebih banyak

    kontribusi dari kompartemen perifer, dan konsentrasi plasma akan turun

    dengan lebih perlahan saat infusi berlanjut. Gambar 14-15 menggambarkan

    waktu paruh yang bergantung pada konteks untuk fentanil, alfentanil,

    sulfentani dan remifentanil. Model ini memprediksi waktu yang dibutuhkan

    untuk mencapai penurunan konsentrasi sebesar 50% dalam plasma yang

    akan menggambarkan (tetapi tidak sama dengan) konsentrasi dalam lokasi

    efek yang digambarkan dalam gambar 14-14.

    Perlu ditekankan bahwa prediksi-prediksi ini bersifat teoritis dan

    didasarkan kepada model komputer, sehingga dibutuhkan pengujian pada

    manusia untuk validasinya. Kapila dan kawan-kawan membandingkan waktu

    paruh bergantung konteks dalam suatu model dengan penurunan terukur

    konsentrasi obat dan efek obat (depresi pernapasan) pada sukarelawan yang

    menerima pemberian remifentanil dan alfentanil. Setelah infusi opiat yang

    berlangsung selama 3 jam, konsentrasi opiat darah utuh yang terukur dan

    pemulihan dorongan pernapasan mendekati nilai-nilai yang dihasilkan oleh

    model untuk obat-obat tersebut. Sampai saat ini, prediksi-prediksi ini belum

    divalidasi dalam keadaan anastesi saat prosedur pembedahan. Walaupun

    konsep waktu paruh bergantung konteks tampak berguna, namun Hughes

    dan kawan-kawan menemukan bahwa tidak jelas apakah penurunan

    konsentrasi 50% dapat memberikan gambaran penyeimbangan efek opiat

    yang berguna secara klinis. Apabila seseorang mentitrasi infusi dengan hati-

    hati sehingga konsentrasi efektif minimal dapat tercapai, mungkin hanya

    dibutuhkan penurunan yang lebih sedikit. Dalam praktek, lebih mudah untuk

  • 7/29/2019 Opiod

    34/34

    memberikan opiat dengan dosis yang lebih tinggi dari kebutuhan, terutama

    pada pasien yang bernapas dengan mesin pernapasan, karena konsekuensi

    hemodinamikanya minimal. Melakukan titrasi menggunakan suatu parameter

    yang terukur, seperti pernapasan per-menit pada seorang pasien yang

    bernapas spontan akan memungkinkan titrasi dosis yang lebih ketat. Namun

    cukup jelas bahwa beberapa waktu paruh bergantung konteks lebih berguna

    dibandingkan waktu paruh eliminasi. Pemahaman atas konsep-konsep ini

    dapat berguna saat menentukan jenis opiat yang akan digunakan, dan juga

    berguna dalam mengadaptasi batasan-batasan untuk penentuan dosis opiat

    dan kecepatan infusi yang bergantung pada lamanya anastesi.