Opini APBD - Madekhan

download Opini  APBD - Madekhan

of 3

Transcript of Opini APBD - Madekhan

APBD: Boros Aparatur, Pelit Untuk Publik

Oleh: Madekhan Ali*

Sebagian besar APBD di Indonesia, sekitar 53 persen di antaranya habis untuk membayar pegawai, belum termasuk biaya perkantoran. Total sekitar 70 hingga 80 persen APBD terserap untuk biaya pekerja yang bertugas untuk memakmurkan masyarakat. Hanya ada sekitar 20 hingga 30 persen dari APBD yang diperuntukkan untuk memakmurkan rakyat. Sulit kiranya meragukan kebenaran pernyataan demikian karena yang mengatakan adalah Dr. I Made Suwandi, seorang pejabat di Kemendagri, sekaligus Ketua Pokja Revisi UU 32 Tahun 2004. Konfigurasi belanja daerah yang belum memihak kepentingan publik juga telah menjadi ranah keprihatinan dan sorotan Presiden SBY. Dalam Pidato Penyampaian RUU APBN 2012, Presiden sampai menginstruksikan agar kepala daerah tidak menggunakan APBD untuk membeli mobil atau keperluan gedung dinas. Beliau mengingatkan agar anggaran daerah harus dipergunakan demi kesejahteraan masyarakat, terutama pembangunan infrastruktur pelayanan publik. Postur APBD harus semakin mengurangi belanja operasional, seperti belanja pegawai, makan minum dan belanja perjalanan dinas aparatur.

Gaji Yang Kian Tinggi Sorotan malpraktek (salah urus) anggaran daerah demikian tentu tidak berangkat dari ruang kosong tanpa realitas penganggaran daerah yang bermasalah. Data anggaran daerah di Bojonegoro, Tuban dan Lamongan setidaknya telah membuktikan betapa semakin tinggi belanja gaji dan honor aparatur, seiring dengan semakin rendahnya anggaran untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Tahun anggaran 2011 contohnya, perbandingan antara komponen belanja pegawai dengan belanja modal (infrastruktur) publik di tiga daerah yang dicermati penulis menggambarkan kenyataan di atas. Pada kasus tiga kabupaten ini, bisa diungkap

pula bahwa akibat alokasi Belanja Pegawai setiap tahun selalu naik minimal 15%, menyebabkan semakin terbatas belanja untuk mensejahterakan rakyatnya. Pada APBD Perubahan 2011, Bojonegoro mengalokasikan untuk gaji, tunjangan dan honorarium PNS mencapai 53% dan belanja modal/infrastruktur 15% dari total belanja daerah. Sementara Kabupaten Tuban, meski porsi belanja pegawainya mencapai 55% total APBD, namun Kabupaten ini masih bisa mengalokasikan minimal 21% APBD untuk belanja modal/infrastruktur. Dibanding dua tetangganya, Kabupaten Lamongan bisa dibilang paling bermasalah dalam postur belanja daerahnya.

APBD Besar, Kemampuan Lemah Khusus Lamongan, statistik tiga tahun terakhir menunjukkan alokasi Belanja Pegawai untuk Gaji/Tunjangan/Honorarium setiap tahun selalu naik rata-rata di atas 20%. Pada realisasi APBD 2010 saja, terbukti 64% belanja daerah habis untuk belanja pegawai (gaji/honor). Dalam skema APBD Lamongan 2011, untuk belanja gaji dan honorarium pegawai meski telah dialokasikan sebesar Rp. 730 Miliar atau 60,2% total belanja daerah, masih dinaikkan lagi dalam Perubahan APBD 2011 (yang sedang dibahas) menjadi Rp. 770,8 miliar. Bagaimana belanja modal/infrastruktur? dalam kategori belanja untuk pembangunan sarana prasarana pendidikan, jalan dan jembatan, irigasi, hanya ada Rp. 232 Miliar atau hanya 16% total rancangan Perubahan APBD penting diingat, 2011. Dan

dana pembangunan yang sudah kecil ini juga harus juga

dialokasikan untuk pembangunan Sarpras aparatur termasuk gedung baru DPRD Lamongan, yang sementara ini dianggarkan Rp. 26 miliar atau 60% anggaran di PU Ciptakarya. Akibatnya tentu hampir mustahil masyarakat khususnya pedesaan di Lamongan bisa merasakan jalan mulus layaknya jalan di depan kantor Pemkab. Mustahil pula bila untuk kinerja Dinas PU Bina Marga, selama 2009 sampai 2011 rata-rata hanya dialokasikan Rp. 29 Miliar atau hanya 2,4% dari total APBD. Lebih khusus lagi, untuk Program Rehabilitasi Jalan di Dinas ini, hanya dialokasikan ratarata Rp. 26 Miliar atau hanya 2% dari total APBD selama tahun 2009 sampai 2011.

Alokasi belanja sebesar itu tentu masih jauh dari angka rasional, dan penulis yakin Badan Anggaran sekaligus Tim Ahli DPRD (yang konon ada) telah mengetahui dan memahami persoalan ini. Mengapa? Karena untuk 346 Km panjang jalan kabupaten Lamongan, maka paling tidak setiap tahun harus dianggarkan Rp. 69,2 Miliar hanya untuk sekedar pemeliharaan berkala. Hal ini mengacu standar biaya minimal di Kementerian PU, bahwa biaya Pemeliharaan Berkala jalan membutuhkan Rp 1 milyar per kilometer untuk setiap 3-5 tahun. Atau dengan kata lain, minimal dibutuhkan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta untuk pemeliharaan setiap kilometer jalan kabupaten. Dengan perhitungan demikian mungkin wajar bila dengan anggaran rata-rata Rp. 26 Miliar tersebut, tematik percepatan pembangunan infrastruktur dalam Nota Keuangan Perubahan APBD 2011, akan lemah ditingkat realisasi. Dengan skema alokasi anggaran yang ada, sangat mungkin sebagian besar perbaikan jalan hanya dilakukan dengan pengurukan batu kapur (Pedel). Belanja infrastruktur harus diprioritaskan, terutama untuk pembangunan jalan sebagai belanja produktif yang sangat potensial menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan infrastruktur transportasi memadai, akan mendorong masyarakat pinggiran (pedesaan) menjadi bagian dari kegiatan ekonomi dengan berbagai inovasi usahanya. Selain memperkecil kesenjangan kemajuan ekonomi antara wilayah kota dengan desa, tentu akan didapati suatu percepatan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, terutama layanan dasar pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, semakin banyak kalangan yang melihat bahwa transfer dana pemerintah pusat yang semakin melimpah ke daerah, tidak berimbas pada peningkatan APBD untuk pelayanan publik. Kondisi daerah semakin

mempertontonkan logika borosnya belanja aparatur, dan pelitnya belanja publik. Tesis demikian masih pantas untuk diperdebatkan, tapi setidaknya untuk menjawab kerisauan dan pertanyaan publik Lamongan terkait jalan rusak, demikianlah data yang dimiliki penulis. Wallahualam Bissawab. *Madekhan Ali adalah Direktur PRAKARSA Lamongan ([email protected])