one man one fote ) melalui pesta rakyat...
-
Upload
nguyenhanh -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of one man one fote ) melalui pesta rakyat...
1
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang mengakui
kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan ini lahir dari sistem
pemerintahan demokrasi. Para pemimpin daerah maupun di pusat, dipilih
langsung oleh rakyat (one man one fote) melalui pesta rakyat yang
dilaksanakan sekali 5 tahun menjadi titik klimaks dari kepemimpinan di
negara ini. Kecenderungan sebagian rakyat merasa tertipu dari janji-janji
kampanye para calon wakil pilihannya, baik calon kepala daerah hingga
calon presiden dan menjadi momok yang tak pernah berubah dari periode
sebelumnya ke periode selanjutnya.
Di saat tampuk kepemimpinan berlangsung, kekuasaan sering kali
dijalankan diluar impian para pemilihnya. Kepentingan rakyat terabaikan
karena kepentingan pribadi atau golongan dari pemimpin terpilih. Tidak
dapat dipungkiri, bahwa kehidupan sebagian pemimpin dikalahkan oleh
problema materialistik. Memperkaya diri sendiri dan golongan membuat
kebutuhan rakyat dinomor duakan. Mereka tidak lagi hadir sebagai pelayan
rakyat, namun sebaliknya, rakyatlah yang diposisikan sebagai pelayan.
Banyak kebijakan pemimpin yang tidak lagi memikirkan atau berpihak pada
kehidupan rakyatnya, kebutuhan pangan, harga bahan pokok melonjak, anak-
anak yang tidak berpendidikan dan banyaknya pengangguran merupakan
korban akan keserakahan para pemimpin.
Negara telah merdeka 70 tahun lamanya, namun mengsejahterakan
kehidupan rakyat belum mengalami perubahan yang signifikan. Namun
sebaliknya, sebagian pemimpin menjadi koruptor, melemahkan hukum dan
keadilan. Semestinya, dari sebuah negara yang kaya, terdiri dari ribuan pulau,
hasil bumi yang tidak ternilai harganya dan keberagaman suku bangsa,
bahasa, agama, budaya serta adat-istiadatnya. Melahirkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, menjadi cerminan akan kehidupan bangsa ini.
2
Kearifan lokal yang dimiliki negara di setiap suku bangsa, belum pernah
dijadikan sumber nilai yang mampu membuat negara ini lebih bermartabat
dan bermoral.
Di setiap adat, bahasa, suku dan agama itu terkandung sistem nilai
dan sistem pengetahuan yang sudah tumbuh ratusan bahkan ribuan tahun
yang lalu. Jauh sebelum lahirnya NKRI, wilayah yang dikenal dengan nama
nuswantara atau nusantara. Seiring dengan perkembangan peradaban di
seluruh dunia. Populasi makin bertambah, perkembangan suku-suku bangsa
membentuk diri menjadi sebuah wilayah kekuasaan dalam teritorial kampung
(palili) atau dapat dikatakan sebagai polis dalam istilah Plato. Hingga
menyatu membentuk kerajaan besar, sangat kuat dan diperhitungkan oleh
kerajaan-kerajaan sekitarnya.
Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang hidup di dalam
kemajemukan rakyatnya. Bersuku-suku, ada ratusan bahasa, setiap bangsa
memiliki karakter dan kualitas yang beragam. Karakter ini terbentuk
berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakat. Memiliki wujud
kesatuan sosial khasnya masing-masing yang terus menjadi suatu
kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang
terus menerus di antara mereka memiliki sistem politik, sistem ekonomi dan
sistem pemerintahan sendiri.
Selain kerajaan, ada pula komunitas adat. Komunitas berdasarkan
ruang lingkup yang lebih kecil jika dibandingkan dengan menggunakan kata
masyarakat yang lebih luas. Menurut Koentjaraningrat (2002: 148) definisi
komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia, menempati suatu wilayah
yang nyata dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta
terikat suatu rasa identitas komunitas. Artinya, komunitas memiliki ruang
lingkup kesadaran wilayah, kesadaran identitas berbeda dengan identitas
yang berada di luar wilayah mereka.
Soekanto (2001: 162) mengatakan istilah Community dapat
diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, menunjuk pada warga sebuah
desa, kota, suku dan bangsa. Dijelaskan, bahwa apabila anggota-anggota
3
suatu kelompok, baik kelompok kecil atau besar, hidup bersama sedemikian
rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut
masyarakat setempat. Poplin (dalam Soelaeman, 1989: 67) mengartikan
secara ringkas bahwa komunitas sebagai satuan kebersamaan hidup sejumlah
orang banyak yang memiliki ciri-ciri: teritorialitas terbatas, keorganisasian
tata kehidupan bersama dan berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang
kolektif.
Ruang lingkup komunitas yang hidup bermasyarakat dengan sistem
yang sudah diatur dan dikelola secara turun-temurun hingga tidak terhitung
jumlah hukum adat, sistem kepercayaan dan agama. Hal ini terbukti dengan
pasang surutnya kejayaan-kejayaan bangsa pada masa lalu dengan
keberagaman kerajaan atau komunitas adat. Kebaradaan komunitas adat
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) hasil amandemen
mendapat pengakuan dan penghormatan, termaktub dalam Pasal 18 B ayat 2.
Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada komunitas adat
dalam hubungannya dengan negara. Dengan demikian, pada pasal tersebut
adalah satu deklarasi tentang kewajiban konstitusional bagi negara untuk
mengakui dan juga menghormati komunitas adat, memiliki hak
konstitusional untuk memperoleh pengakuan serta penghormatan terhadap
hak-hak tradisionalnya. Hal ini menjadi penting diatur oleh negara, sebab
beberapa komunitas adat di negeri ini, masih memberlakukan sistem politik
dan pemerintahan lokal yang sangat mencerminkan nilai-nilai adat dan
leluhur mereka.1
Penulis melihat, sudah seharusnya negara kembali kepada nilai-nilai
yang terkandung pada kearifan lokal suku bangsa yang dimiliki. Penulis
membahas Komunitas Adat Kajang (KAK) di Kabupaten Bulukumba
1 Misalnya: Keraton Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang saat ini dipimpin Sultan HB IX secara turun temurun; masyarakat adat Minangkabau di Sumatera Barat (Sumbar) dengan kepemimpinan kepala-kepala adat yang disebut datuk (baca: Toeah, 1985). Komunitas adat Dayak yang hingga saat ini masih terdapat di Pulau Kalimantan (Laksono, dkk, 2006); Spina (1981) menuliskan Mitos dan Legenda Suku Mentawai dengan bagus dan beberapa komunitas adat yang masih banyak ditemukan di Indonesia.
4
Sulawesi Selatan dengan kepemimpinan Ammatoa (kepala adat).
Kepemimpinan Ammatoa diyakini memiliki kebijaksanaan, kekuataan dan
keahlian lebih. Dalam konsep KAK lebih mengarah pada tatanan sosial serta
mendahulukan kepentingan komunitasnya, pola hidup sederhana dan
bersahaja untuk memanifestasikan kekuasaan adat dalam menjaga hutan adat
serta budaya leluhur, serta KAK adalah komunitas yang mempunyai
pengaruh besar terhadap pemerintahan yang ada di luar Tana Toa.
Komunitas adat biasanya memiliki struktur dan lembaga-lembaga
sosial yang diakui secara formal dalam pemerintahan (negara). Lembaga-
lembaga sosial yang dimaksud dalam KAK adalah Ada’ Limaya, dan
Karaeng Tallua. Dalam struktur kelembagaan terdapat personil yang
mengendalikan gerak dan peranan lembaga-lembaga tersebut, Ammatoa
dibantu sejumlah perangkat adat lain yang dikenal dengan Sulle Hatang,
Anak Karaeng, Pu’Sanro, dan Anrongta (Katu, 2005: 2). Ammatoa bagi
KAK adalah sosok orang suci dari para leluhur mereka yang menerima titah
Tu Riek A’ra’na (TRA).
Dalam penuturan Pasang berupa cerita suci dan ungkapan lainnya
menyebut bahwa perintah atau amanah dari TRA disampaikan kepada
manusia melalui manusia pilihan, Ammatoa. Sebelum masuk pembahasan
yang mendalam mengenai KAK, penulis beralih pada filsuf Yunani yang
telah menghasilkan karya tentang negara ideal -Republik-. Plato, salah satu
filsuf besar yang mengatakan bahwa negara harus dipimpin kaum sofis,
menurutnya kaum sofislah yang memiliki kebijaksanaan (Budiman, 2002: 9).
Dalam Bahasa Yunani nama Plato dieja sebagai “Platon” artinya “yang berbahu lebar”, namun literatur Bahasa Latin dieja menjadi “Plato” sama halnya dalam literatur Bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya. Sementara di Indonesia menyebutnya “Plato”, gara-gara filsafat masuk ke negeri ini lewat Bahasa Belanda, yang memakai kata “Plato”. Andai ingin mengikuti Bahasa Yunaninya Pla/twn (Platon), dan kalau ingin menyesuaikan diri dengan sebagian besar bahasa internasional di Barat, lebih baik menyebutnya Platon, karena lebih tepat untuk menggambarkan munculnya kata-kata turunan Platonisme, Platonic, Platonis atau Platonisian (Wibowo, 2008: 4-5). Dari sumber yang berbeda, dinyatakan nama julukan Plato itu diberikan oleh seorang pelatih senamnya, berarti “si lebar”.
5
Julukan ini lebih cepat populer dan menjadi panggilan sehari-hari, bahkan menjadi nama resmi yang diabadikannya lewat seluruh karyanya (Rapar, 2001: 37-38). Namun, dalam penulisan ini, tetap menggunakan ejaan Plato karena ini ejaan yang populer di sebagian kalangan akademisi dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pemikiran Plato mengenai negara ideal bukan hal yang tidak berdasar
atau asal-asalaan saja. Melihat konsep Plato memiliki indikator yang sama
dalam berjalanannya pemerintahan KAK yang dipimpin Ammatoa. Plato,
dalam karya monumentalnya -Republik-, memulai tulisannya dengan
menjelaskan makna keadilan (justice) dalam dialog yang dilakukan Socrates.
Bagian pertama (Book I) Republik dijelaskan apa dan bagaimana suatu
keadilan. Konsep mengenai keadilan tersebut mengarah pada sosok
pemerintahan dan pemimpin yang baik, dibahas dalam Republik.
Argumen mendasar dalam Republik ialah bahwa “pemimpin” (ruler)
harus memperhatikan aspek moral dan membangun sebuah harmoni antara
individu dan negara (state), perhatiannya terhadap “negara ideal” tersebut
sangat berlandaskan pada etika dalam pelaksanaannya (Melling, 2002: 139).
Hal ini setidaknnya dapat dilaksanakan raja (king) yang mempunyai
kemampuan sebagaimana yang filosof miliki. Pendapat Plato
memperlihatkan raja adalah filosof dan sebaliknya filosof juga seorang raja
(Melling, 2002: 142).
Melihat pemerintahan yang dibangun dalam kearifan lokal KAK dan
ajaran atau pemikiran Plato dalam Republiknya dapat memberikan gambaran
kearifan lokal dan pemikiran filsafat dalam menciptakan pemimpin yang
bijaksana dan terciptanya negara ideal. Seorang pemimpin diharapkan dari
kaum sofis, menurut penulis menarik jika melihat kepemimpinan Ammatoa
dalam KAK. Ammatoa dianggap manusia pilihan dan bijaksana menjadi
sosok pemimpin KAK, penulis melihat dari sudut pandang negara Republik-
Plato. Hal mendasar untuk menulis konsep negara KAK dikarenakan
keberadaan dan keeksistensian nilai-nilai KAK tetap terjaga dan terus
dilestarikan komunitasnya sampai saat ini.
6
Pemaparan latar belakang masalah mengenai pemikiran Plato dan
pemerintahan KAK telah menghasilkan beberapa masalah untuk dijadikan
rumusan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pemerintahan dalam filsafat politik Plato?
2. Bagaimana struktur dan sistem pemerintahan komunitas adat Kajang?
3. Apa konsep pemerintahan komunitas adat Kajang ditinjau dari pemikiran
Plato dalam ‘Republik’?
Penulis mengambil tema terkait KAK ditinjau dari pemikiran -Republik-
Plato. Maka terkait penulisan tersebut, terbukti sejauh ini belum
ditemukannya penelitian yang bertema sama. Plato sebagai filsuf awal
mencoba melihat negara ideal dipimpin kaum aristokrat, sangat menarik
untuk menggali pemikirannya secara lebih mendalam. Beberapa penelusuran
penulis terkait para peneliti, akademisi yang pernah mengangkat KAK telah
terdapat sebagai berikut:
1. Karya dari buku:
a. Sitti Aminah. P. H. berjudul Nilai-Nilai Luhur Budaya Spiritual
Ammatoa Kajang, yang diterbitkan Kanwil Depdikbud Propinsi
Sulawesi Selatan, tahun 1989. Buku ini banyak menjabarkan ajaran
nilai-nilai luhur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan alamnya, manusia dengan manusia dan manusia
dengan diri sendiri serta menjabarkan tata cara ritual KAK. Buku
tersebut belum membahas khusus mengenai sistem pemerintahannya
(Aminah , 1989: 19-22).
b. Yusuf Akib. Potret Manusia Kajang. Penerbit Pustaka Refleksi, 2003.
Karya yang banyak berbicara masalah kepercayaan Patuntung dalam
bahasa Konjo, juga karya ini banyak mengungkap kamase-mase
(orang yang bersahaja) dalam sistem nilai-nilainya. Karya Akib cukup
7
membantu dalam memahami nilai-nilai falsafah ajaran patuntung
(Akib, 2003, 35-39; 52).
c. Mas Alim Katu. Tasawuf Kajang. Penerbit: Pustaka Refleksi,
Makassar, 2005. Karya Katu mengulas penganut kepercayaan
Patuntung berdasarkan pada pasang-pasang dari Kajang. Menurut
hasil penelitiannya, orang Kajang mengklaim bahwa Al-Qur’an turun
dari Kajang, 30 Juz dibawah ke tanah Arab dan 10 Juz Al-Qur’an
tinggal di Kajang. 10 Juz Al-Qur’an yang berada di Kajang
merupakan hakikat dari Pasang ri Kajang (Katu, 2005: 31-32).
2. Karya dari Skripsi, Tesis dan Disertasi:
a. Lungga. Ungkapan Tradisional Dalam Upacara Perkawinan Suku
Kajang Kabupaten Bulukumba (suatu tinjauan antropolingiustik)
ditulis dalam skripsi milik Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin,
1991. Penelitian ini lebih membahas pada ungkapan terkait
perkawinan KAK Desa Tana Toa. Karya Lungga belum menyentuh
hal-hal terkait pemerintahan lokal di Kajang (Lungga, 1991: 24).
b. Abdul Kadir Ahmad. Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba
Studi Tentang Peranan Kepercayaan Terhadap Pelestarian
Lingkungan Hidup ditulis dalam tesis Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin tahun 1991. Tesis ini dituliskan bagaimana
komunitas Ammatoa dalam hubungannya dengan alam. Hal ini dapat
membantu tesis penulis dalam karya Ahmad menjelaskan aturan-
aturan adat terkait lingkungan atau alam berdasarkan pasang, dengan
dipimpin langsung pemangku adat, Ammatoa (Ahmad, 1991: 68).
c. Sukirman. Konflik dan Integrasi Dalam Masyarakat Bulukumba
(Suatu Kajian Antropologi Budaya Di Kelurahan Tanajaya
Kecamatan Kajang) yang ditulis dalam sebuah tesis Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2002. Tesis ini
digambarkan konflik yang terjadi di antara etnis Bugis dan etnis
berbahasa Konjo di Kecamatan Kajang. Dalam tulisan ini, tidak
8
menyinggung bagaimana kedudukan dan kehidupan komunitas
Ammatoa secara langsung dan jelas (Sukirman, 2002: 53).
d. Kaimuddin Salle. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang (Sebuah
Kajian Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa
Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba).
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1999. Disertasi
ini, fokus kepada kebijakan lingkungan atau alam yang dilakukan
komunitas Ammatoa (Salle, 1999: 100), sementara penulis lebih
kepada ketatanegaraan KAK dalam konsep negara. Namun penulis
dapat mengutip pasang-pasang yang terdapat dalam tesis tersebut.
Bagi penulis, ini cukup membantu memahami ilham-ilham yang
pernah turun melalui Ammatoa maupun KAK pada umumnya.
3. Laporan Penelitian:
a. KMA. M. Usop. Pasang Ri Kajang: Kajian Sistem Nilai Di “Benteng
Hitam: Ammatoa. Laporan Penelitian Pusat Latihan Penelitian Ilmu-
Ilmu Sosial, Ujung Pandang, 1978. Penelitian ini membicarakan
pasang yang diyakini diturunkan melalui Ammatoa (Usop, 1978: 42).
b. Redaksi: R. A. Pelenkahu., Djirong Basang., Abdul Muthalib Saeha.,
dan Nurdin Yatim. Dialek Kondjo Di Sulawesi Selatan: Suatu Laporan
Penelitian Lembaga Bahasa Nasional Tjabang III. Diterbitkan:
Lembaga Bahasa Nasioanal Tjabang III, Udjung Pandang, 1971.
Penelitian ini cukup membantu dalam hal bahasa Konjo dan budaya
Kajang (Pelenkahu, dkk.,1971: 1).
Penelitian yang dilakukan diharapkan memiliki manfaat buat peneliti
selanjutnya, beberapa manfaat penelitian ini:
1. Pada ranah teoritis-akademis, diharapkan memberikan sumbangan
wawasan dan ilmu pengetahuan bagi khazanah penelitian kefilsafatan pada
9
umumnya, filsafat ke-nusantara-an dan filsafat ke-negara-an dalam sudut
pandang KAK pada khususnya.
2. Berangkat dari kemajuan Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada
berlandaskan Filsafat Pancasila (Dasar Negara NKRI) maka penelitian
falsafah lokal (lokal wisdom) merupakan ‘isi dalam’ falsafah Pancasila.
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan pendidikan demi kemajuan bangsa dan negara.
3. Penelitian diharapkan dapat mengajukan wacana dan orientasi baru dalam
pengembangan penelitian filsafat dalam konteks negara (pemerintahan
adat) serta yang berakar dari kearifan-kearifan budaya masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Menjelaskan pemikiran filsafat Plato secara umum dan secara khusus pada
filsafat politik pemerintahan ‘Republik’.
2. Menjelaskan secara detail struktur dan sistem pemerintahan KAK.
3. Menganalisis konsep pemerintahan KAK dengan perspektif Plato tentang
Republik.
Kebutuhan dalam literatur untuk dapat menambahkan wawasan tentang KAK
sangatlah perlu, tetapi perlu dikatakan bahwa sangat jarang orang-orang
akademisi dapat menulis dan meneliti tentang KAK. KAK sebenarnya baru
terbuka terhadap masyarakat luar pada masa kepemimpinan Puto Cacong.
Jadi berangkat dari penelusuran pustaka, penulis menemukan berbagai
literatur yang berkaitan dengan topik ini. diantaranya:
Ungkapan tradisional dalam upacara perkawinan Suku Kajang
Kabupaten Bulukumba, suatu tinjauan antropolingiustik yang ditulis dalam
skripsi milik Fakultas Sastra UNHAS 1991 oleh Lungga. Penelitian yang
10
berangkat dari teori-teori antropolinguistik, membahas pada ungkapan terkait
perkawinan KAK Desa Tana Toa. Misalnya, ungkapan dalam sisaliliki,
adduta, angingassai paua, anggutta sunrang, appanasi balanja, tanro allo
passitteang dan aqnikkah. Diketahui bahwa ungkapan tradisional dalam
upacara perkawinan KAK tidak diucapkan begitu saja, tetapi diungkapkan
berdasarkan konsep-konsep kebudayaan, bahwa ungkapan adalah perkataan
atau kelompok kata yang khusus mengatakan buah maksud dengan arti
kiasan. Dalam Bahasa Konjo, istilah itu dapat di kenal dengan pasang, ilham
dapat digolongkan sebagai ungkapan yang berdiri atas susunan kata-kata
yang baik, indah, menarik dan menggugah perasaan guna mengungkapkan
maksud dengan baik (Lungga, 1991: 34).
Sebuah karya dari Sitti Aminah. P.H. berjudul Nilai-nilai luhur
budaya spiritual Ammatoa Kajang, buku ini banyak menjabarkan tentang
ajaran nilai-nilai luhur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan alamnya, manusia dengan manusia dan manusia dengan diri
sendiri (Aminah, 1989: 19). Buku ini sangat deskriptif, menuliskan secara
datar tanpa menggunakan teori khusus.
Yusuf Akib salah satu penulis KAK, Potret Manusia Kajang. Karya
yang banyak berbicara masalah kepercayaan Patuntung dalam Bahasa Konjo,
karya ini banyak mengungkap tentang kamase-mase dalam sistem nilai-
nilainya (Akib, 2003: 35). Ada kaitan dengan penelitian penulis.
Mas Alim Katu. Tasawuf Kajang. Penerbit: Pustaka Refleksi,
Makassar, 2005. Karya Katu mengulas penganut kepercayaan Patuntung
berdasarkan pasang-pasang dari Kajang. Menurut hasil penelitiannya, orang
Kajang mengklaim bahwa asal mula Al-Qur’an turun dari Kajang. 30 Juz
dibawah ke tanah Arab dan selebihnya 10 Juz ditaruh di Kajang. 10 Juz Al-
Qur’an yang berada di Kajang merupakan hakikat dari Pasang ri Kajang
(Katu, 2005: 31-32).
Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba Studi Tentang Peranan
Kepercayaan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup yang ditulis dalam
tesis pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1991 oleh H. Abdul Kadir
11
Ahmad. Dalam tesisnya, dituliskan menggunakan teori-teori terkait dengan
lingkungan, melihat komunitas Ammatoa dalam hubungannya dengan alam
(Ahmad, 1991: 68).
Konflik dan Integrasi Dalam Masyarakat Bulukumba suatu kajian
antropologi budaya di Kelurahan Tanajaya, Kecamatan Kajang yang ditulis
dalam tesis pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2002 oleh Sukirman.
Tesis Sukirman menggambarkan konflik yang terjadi di antara etnis Bugis
dan etnis Konjo di Kecamatan Kajang (Sukirman, 2002: 53). Dalam tulisan
ini, penulis tidak menyinggung bagaimana kedudukan dan kehidupan
komunitas Ammatoa secara langsung dan jelas.
Sebuah disertasi ditulis Kaimuddin Salle pada program pascasarjana
Universitas Hasanuddin tahun 1999, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang
sebuah kajian hukum lingkungan adat pada komunitas Ammatoa Kecamatan
Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba. Pada tesis ini, fokus
kepada kebijakan lingkungan atau alam yang dilakukan komunitas Ammatoa,
sementara penulis lebih pada ketatanegaraan komunitas Ammatoa dalam
konsep negara (Salle, 1999: 100). Namun penulis dapat mengutip tentang
pasang-pasang yang terdapat dalam tesis tersebut. Bagi penulis ini cukup
membantu dalam memahami ilham-ilham yang pernah turun melalui
Ammatoa maupun KAK pada umumnya.
KMA. M. Usop. Pasang Ri Kajang: Kajian Sistem Nilai Di “Benteng
Hitam: Ammatoa. Laporan Penelitian Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial, Ujung Pandang, 1978. Penelitian ini membicarakan pasang atau ilham
diyakini diturunkan melalui Ammatoa (Usop, 1978: 42).
R. A. Pelenkahu., Djirong Basang., Abdul Muthalib Saeha., dan
Nurdin Yatim. Dialek Kondjo Di Sulawesi Selatan: Suatu Laporan
Penelitian. Diterbitkan: Lembaga Bahasa Nasioanal Tjabang III, Udjung
Pandang, 1971, laporan penelitian yang cukup rinci menjelaskan tentang
dialek, Bahasa Konjo dan mencontohkan kata-perkata agar mudah dipahami
bunyi atau ucapan (Pelenkahu, dkk.,1971: 1).
12
Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas yang digunakan
menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun landasan
teoritis dimaksudkan berhubungan dengan pengertian negara, gagasan Plato
tentang republik, negara ideal, bentuk-bentuk pemerintahan negara dan
ketidakadilan serta etika dan politik.
1. Pengertian Negara
Negara adalah lembaga purba manusia yang telah ada sekitar 10.000
tahun lampau, sejak masyarakat pertanian pertama muncul di
Mesopotamia. Di Cina, negara dengan birokrasi yang sangat terlatih telah
ada selama ribuan tahun. Di Eropa, negara modern, yang mempunyai
pasukan besar, kekuasaan perpajakan, dan birokrasi terpusat yang dapat
menjalankan otoritas tertinggi atas suatu wilayah luas, muncul lebih
belakangan, sekitar empat atau lima ratus tahun sejak konsolidasi
kerajaan-kerajaan Prancis, Spanyol, dan Swedia (Fukuyama, 2005: 1).
Sementara Plato mengatakan negara adalah tubuh yang senantiasa
maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang
timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-
sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang
beraneka ragam, menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk
memenuhi kepentingan bersama (Melling, 2002: 135).
Melihat definisi di atas, dapat diperkuat pernyataan Musa (1963:
25) bahwa negara merupakan sekumpulan manusia yang secara tetap
mendiami wilayah tertentu dan memiliki institusi abstraknya sendiri,
sistem yang dipatuhi para pemegang kekuasaan dan ditaatinya serta
memiliki kemerdekaan politik. Lanjutnya, dari definisi tersebut dapat
ditarik unsur-unsur yang ada bagi terwujudnya dan berdirinya negara
adalah adanya bangsa yang mendiami wilayah tertentu di belahan bumi,
adanya institusi abstrak yang diterima baik bangsa tersebut dan
direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, adanya sistem yang ditaati dan
mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang
13
menjadi identitas bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada
negara lain (Musa, 1963: 25).
2. Asal Mula Negara Menurut Plato
Keberadaan negara di muka bumi sudah lama, misalnya adanya negara-
negara Babylonia, Mesir, Assyria dan negara-negara ini adanya sekitar
abad ke XVIII sebelum masehi dengan sistem pemerintahan yang sangat
absolut (Soehino, 2005: 11). Namun pemikiran-pemikiran mengenai
negara dan kekuasaan serta hukum dimulai pada masa Bangsa Yunani
kuno dalam abad ke V sebelum masehi yaitu di Athena (Soehino, 2005:
11-13). Terbukti, banyaknya pemikiran-pemikiran dan tokoh-tokoh
filsafat yang lahir dari bangsa ini, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan
lain sebagainya.
Plato adalah seorang filsuf didikan dari Socrates, hidup pada
tahun 429-347SM dan terkenal sebagai pencipta ajaran alam cita
(ideeenleer), dapat diketahui ada tiga karyanya yang terkenal: pertama,
Politeia (negara hukum); kedua, Politikos (ahli negara); dan terakhir,
Nomoi (undang-undang), (Sabon, dkk., 1989: 39). Plato menjelaskan
negara timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia
beraneka ragam, yang menyebabkan harus bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Karena itu, sesuai kecakapan
mereka masing-masing di dalam kerja sama tersebut diadakan
pembagian tugas, namun tetap dalam kesatuan karena tugas-tugas yang
berbeda itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama-
sama (Melling, 2002: 135). Kesatuan mereka itulah yang kemudian
disebut masyarakat atau negara (Soehino, 2005: 17).
Di dalam bukunya Politeia (Republik), Plato menggambarkan
negara dalam bentuk ideal seperti manusia yang mempunyai tiga
kemampuan jiwa, yaitu; Kehendak, akal pikiran dan perasaan. Sesuai
dengan tiga kemampuan jiwa yang ada pada manusia tersebut, maka di
14
dalam negara juga terdapat tiga golongan masyarakat yang mempunyai
kemampuannya masing-masing (Saragih, 1988: 14-15).
Solusi Plato terhadap tentang struktur ideal Negara Beradab
adalah pembagian warga negara ke dalam tiga kelas, masing-masing
memiliki fungsi khususnya sendiri: penguasa akan menyelenggarakan
negara, prajurit Pasukan Asing (Warrior Auxiliaries) akan mendukung
dan membantu Penguasa, Kelas ketiga, warga negara lainnya, akan
menyediakan semua jenis barang dan jasa yang diperlukan untuk
kehidupan yang beradab (Melling, 2002: 146-147). Golongan pertama
hendaknya terdiri dari orang-orang pandai ahli-ahli berpikir dan ahli-ahli
filsafat, rajanya diharapkan orang berfilsafat tinggi (Soehino, 2005: 21).
Plato, individu memiliki kecenderungan yang keras dalam
bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Menurutnya, hanya filsuf
yang dapat melihat persoalan sebenarnya dalam kehidupan, dapat
membedakan yang baik dan yang buruk (Soehino, 2005: 18). Filsuf
melihat nilai-nilai yang abadi; filsuf dapat membebaskan diri dari “dunia
lahir yang berubah dan berganti-ganti dalam gejalanya” dan mereka
mengetahui persoalan sampai pada inti dari segala-galanya (Budiman,
2002: 9). Lanjutnya, bagi Plato yang bisa menjadi pemimpin atau raja
dalam sebuah negara itu hanyalah seorang filsuf.
Golongan kedua disebut golongan ksatria atau prajurit, bertugas
menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau kalau keadaan di
dalam negara mengalami kekacauan (Saragih, 1988: 15). Mereka harus
mendapatkan didikan khusus untuk menjalankan tugasnya, pertama-tama
dibutuhkan adanya siasat keberanian dan golongan ketiga adalah
golongan pekerja atau rakyat, yang biasa disamakan dengan perasaan
manusia. Lanjut Soehino, golongan ini termasuk golongan petani dan
pedagang, tugasnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan benda atau material
orang yang hidup di dalam negara (Soehino, 1980: 21).
15
3. Tujuan Negara
Sepanjang perkembangan sejarah kenegaraan sejak zaman dahulu hingga
sekarang, tujuan daripada negara tidak pernah sama dan tetap. Ada
beberapa pendapat mengenai tujuan dari negara, yaitu sebagaimana
ajaran etik yang Plato kembangkan, maka bagi Plato tujuan negara
sinkron dengan tujuan hidup manusia, yaitu kesenangan dan
kebahagiaan warganya (Sabon, dkk. 1989: 93-97).
Ketika tujuan negara adalah kesenangan dan kebahagiaan hidup
manusia maka tugas negara yang paling menonjol ialah fungsi
kesejahteraan yakni mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan
tersebut. Kendati demikian pemikiran Plato tidaklah dapat dimaknai
sesederhana itu, karena sesungguhnya terdapat pemahaman dan
pengertian filsafat yang mendalam. Ketika Plato mengungkapkan tujuan
hidup manusia untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, tidak
berarti Plato mengobarkan semangat hedonisme yang mengutamakan
kenikmatan dunia belaka (Melling, 2002: 138).
4. Bentuk-bentuk Negara Menurut Plato
Terkait dengan bentuk negara, Plato mengungkapkan terdapat lima
bentuk negara yang sesuai dengan kondisi jiwa manusia (Plato, 2002:
353). Menurut Plato, negara dan manusia memilik persamaan, maka
senantiasa ada kesesuaian antara manusia dan negara, baik dalam sifat
dan karakter maupun kondisi dan lain sebagainya (Meiling, 2002: 150;
Soehino, 2005: 18).
Sebagaimana latar belakang Plato yang sangat kritis terhadap
demokratis, maka ia meletakkan bentuk negara aristokrasi sebagai negara
terbaik dari empat bentuk negara lainnya, yakni timokrasi, oligarki,
demokasi, dan tirani (Plato, 2002: 150). Menurut Plato, pemerintahan
aristokratik berada di tangan para cendekiawan yang oleh Plato
dikatakan sebagai orang-orang terbaik yang penuh dan berorientasi pada
keadilan, kebajikan, dan kebaikan yang dapat dinikmati oleh seluruh
16
warga negara, sehingga baginya. Aristokrasi adalah bentuk negara yang
paling tepat dan sempurna bagi suatu negara ideal (Sabon dkk, 1989:
147).
Bentuk negara ini tidaklah abadi walaupun kota (negara) yang
dibangun dengan sistem aristokrasi sulit untuk digoyahkan, tetapi Plato
menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal pasti juga
memiliki akhir, demikian juga dengan negara Aristokrasi (Plato, 2002:
355). Perubahan bentuk negara dimulai ketika pemerintahan tidak lagi
ditujukan kepada kepentingan umum, tidak lagi berpedoman pada rasa
keadilan sehingga keadaan seperti itu tidak lagi dinamakan aristokrasi
tapi berubah menjadi timokrasi (Sabon dkk, 1989: 147). Dalam sistem
pemerintahan timokrasi ini, segala sesuatu dilaksanakan semata-mata
untuk kepentingan penguasa (Sabon dkk, 1989 : 147) dimana penguasa
memiliki sifat sedikit hakikat tamak di dalam dirinya dan tidak tulus
ikhlas terhadap kebaikan (Plato, 2002: 360).
Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan
dan kemuliaan akan berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sistem
pemerintahan akhirnya beralih pada sistem Oligarki, dimana manusia
atau para penguasa akan menjadi tamak terhadap uang, mereka akan
menyembunyikna hasrat yang dahsyat terhadap emas dan perak, yang
akan mereka timbun secara diam-diam di tempat gelap tersembunyi
walau sebenarnya harta yang mereka miliki itu adalah uang orang lain
dan mereka pergunakan untuk kesenangan diri mereka sendiri (Plato,
2002: 358-359). Terlebih lagi, mereka yang duduk di pemerintahan
tidaklah lagi berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka,
melainkan karena kekayaan (Sabon dkk, 1989: 148).
Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki
menyebabkan rakyat sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk.
Penguasa tidak pernah puas memperkaya diri, maka orang-orang yang
tersingkir dari persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah orang
melarat semakin bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan
17
merebut kekuasaan, serta membunuh orang kaya (Sabon dkk, 1989: 148)
hingga terjadinya revolusi (Plato, 2002: 372). Ketika penguasa tersebut
dapat ditaklukkan maka kemudian dibentuklah pemerintahan yang
penguasa dan rakyatnya sederajat, sebab pemerintah dipilih oleh rakyat
dan berasal dari rakyat. Lahirlah demokrasi sebagai bentuk keempat
negara oleh Plato. Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan kebebasan
merupakan prinsip yang paling utama (Sabon dkk, 1989: 148).
Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini
membuat setiap orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka
hati sehingga timbullah berbagai kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban,
bahkan anarki (Sabon dkk, 1989: 148). Kebebasan yang diagungkan
dalam sistem demokrasi akhirnya sampai pada titik yang berlebihna atau
kebebasan yang terlalu bebas tanpa batas, kebebasan yang kebablasan
entah dalam negara ataupun dalam diri setiap individu, kebebasan yang
sangat ekstrem inilah yang akhirnya melahirkan negara tirani (Plato,
2002: 385).
a. Sumber Data
Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan karya tulis ini
adalah metode penelitian pustaka. Mengambil dan menganalisis data-
data yang ada dalam karya tulis ini merujuk pada berbagai sumber
primer dan sekunder yang berasal dari karya-karya pustaka, baik yang
telah diterbitkan sebagai buku maupun dalam bentuk karya tulis
ilmiah, serta tentunya dari artikel sendiri sebagai sumber data yang
akan dianalisis.
Adapun objek material dalam karya ini adalah Komunitas
Adat Kajang (KAK). Penulis mencoba mencari konsep falsafah KAK
tentang pemerintahan adat yang dapat dimisalkan sebagai ’negara’.
Sedangkan objek formal yang digunakan dalam karya ini adalah Plato
18
dengan teori negara idealnya. Plato memikirkan negara ideal yang
dituliskan dalam karyanya dengan judul Republik.
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berupa karya-karya kepustakaan yang dapat dijadikan sebagai
rujukan utama dalam penulisan karya tulis ini. Sebagaimana
diketahui, banyak penulis yang membicarakan konsep negara dari
berbagai sudut pandang keilmuan, termasuk filsafat.
Sehingga dalam menganalisa berbagai fenomena dalam
persoalan tersebut, penulis berupaya untuk melihat persoalan tersebut
secara lebih komprehensif dengan menggunakan beberapa karya atau
hasil penelitian yang menyangkut persoalan yang menjadi topik
utama dalam penulisan ini, agar di kemudian hari tidak menimbulkan
kontradiksi-kontradiksi pokok dalam menganalisis persoalan yang
dimaksud.
Beberapa sumber pustaka yang akan digunakan sebagai
rujukan dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
i. Karya Plato yang berjudul The Republic, 1992. New York: Quality
Paperback Book Club. Terbitan dalam bahasa Indonesia berjudul
Republik, diterbitkan oleh Bentang: Yogyakarta, 2002.
ii. Plato, Great Dialogues of Plato. New American Library, 1970.
Karya ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan
judul Dua Dialog Sokrates. Diterbitkan oleh Sinar Baru, Bandung
pada tahun 1983.
iii. Plato, Apologia: Pidato Pembelaan Socrates Yang diabadikan
Plato. Diterbitkan di Jakarta oleh Bulan Bintang pada tahun 1986.
iv. Plato, Simposium: Dialog Sokrates Tentang Hakekat Cinta.
Diterbitkan di Bandung, oleh Sinar Baru, pada tahun 1986.
v. Plato, Matinya Socrates. Diterjemahkan dari Phaedo dalam The
Republic and Other Works, Anchor Books, Random House, Inc,
New York, 1989. Cetakan pertama di Yogyakarta oleh penerbit
Bentang pada tahun 2003.
19
vi. Karya ini dituliskan oleh Plato dengan judul aslinya adalah Plato
dan diterjemahkan oleh A. Setyo Wibowo dengan judul Indonesia:
Mari Berbincang Bersama Plato: Keberanian (Lakhes).
Diterbitkan oleh Indonesia Publishing, tahun 2011.
Beberapa sumber lain atau sekunder untuk membantu,
memperkaya dalam penulisan ini, yaitu:
i. Konrad Kebung Beoang, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan Yang
Benar. Di terbitkan di Yogyakarta oleh Kanisius, tahun 1997.
ii. Lou Marinoff, Plato: Not Prozac! Diterbitkan oleh Teraju, di
Jakarta tahun 2003.
iii. G.R.F.Ferrari, The Cambridge Companion to Plato’s Republic.
Diterbitkan oleh Cambridge University Press di New York, tahun
2007.
iv. A. J. Bartlett, Badiou and Plato. Diterbitkan oleh Edinburgh
University Press di Great Britain, tahun 1988.
v. C.C.W.Taylor, Routledge History of Philosophy Volume I: From
the Beginning to Plato. Diterbitkan di Landon and New York, oleh
Taylor & Francis Group tahun 1997.
vi. Zainal Abidin Ahmad, Al Farabi: Negara Utama (Madinatu’l
Fadilah). Diterbitkan oleh PT Kinta di Jakarta, tahun 1980.
vii. A. Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin dan
Negarawan (Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Plato Dari
Yunani Antik Hingga Indonesia). Diterbitkan oleh Lamalera, di
Yogyakarta tahun 2014.
viii. David Melling. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Diterbitkan di
Yogyakarta oleh Bentang, tahun 2002.
b. Langkah-Langkah Penelitian
Tahap awal dari penelitian ini adalah berupa pengumpulan data dari
berbagai sumber referensi pustaka yang tersedia untuk
20
mengeksplorasi data yang dapat memberikan informasi dan
selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan dalam penulisan karya ini.
Setelah tahap awal tersebut rampung dengan data-data yang
memadai, langkah selanjutnya adalah mereduksi data yang tidak
relevan dengan penelitian ini, yang kemudian dapat memudahkan
penulis dalam tahap selanjutnya yakni tahap analisis.
Pada tahap akhir, penulis akan mengolah data dari hasil
penelitian ini dengan menggunakan metode analisis terhadap data
yang telah diverifikasi pada tahap sebelumnya, agar kemudian
menemukan deskripsi yang tepat dan akurat dalam setiap pokok
permasalahan yang menjadi topik kajian dalam pembahasan
penelitian ini. Laporan akhir dari hasil penelitian yang dilaksanakan
tersebut selanjutnya akan berupa tesis, yang akan
dipertanggungjawabkan pada sidang selanjutnya.
c. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
data yang telah terkumpul dan terverifikasi sebelumnya, agar
kemudian mendapatkan hasil analisis yang lebih akurat dalam analisa
terhadap objek material penelitian ini.
Penulis yang menggunakan studi pustaka tentu membutuhkan
beberapa metode: pertama, metode deskripsi. Metode ini digunakan
untuk dapat memaparkan dan menjelaskan KAK dengan kearifan
lokal yang dimiliki secara baik dan tersistematis serta memaparkan
pemikiran-pemikiran Plato di dalam Republik. Kedua, metode
analisa, ini penulis gunakan untuk menganalisis data-data yang telah
penulis kumpulkan dari berbagai sumber untuk dapat lebih dipertajam
sesuai dengan tema. Ketiga, metode Induksi-deduksi, sumber-sumber
mengenai KAK dan Republik Plato, akan dipelajari sebagi suatu
keutuhan masing-masing, dengan meneliti semua istilah dan konsep
pokok satu per satu (induksi). Penulis juga menggunakan jalan
21
terbalik (deduksi) bahwa dari semua sumber yang penulis dapatkan,
akan dipahami dengan lebih baik dengan pemakaian istilah tertentu,
atau sinonimnya. Dalam usaha itu penulis akan terlibat langsung
dalam pemikiran-pemikiran itu (identifikasi), namun tanpa
kehilangan ketelitiannya. Keempat, metode komparasi. Penulis yang
mencoba melihat hubungan-hubungan dalam kehidupan komunitas
atau bernegara. Penulis berusaha agar metode komparasi
memudahkan memahami objek penelitian. Dalam penelitian filsafat,
komparasi dapat diadakan seprti tokoh atau naskah; dapat diadakan
diantara sistem atau konsep dan perbandingan dapat dilakukan
diantara pribadi atau yang lebih banyak. Lanjutnya, menurut Collins
bahwa mereka dapat sangat serupa atau dapat berbeda sekali dan
masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan variasi yang dapat
diadakan (dalam: Bakker dan Charris Zubair, 1990: 51).
Objek penelitian akan tampak lebih jelas dan terfokus
dengan menentukan kesamaan dan perbedaan sehingga hakikat objek
dapat dimengerti.
Penulisan hasil penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan sistematika
berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Latar Belakang Masalah Penelitian
Masalah Penelitian, Rumusan Penelitian, Keaslian Penelitian, Manfaat
Penelitian, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode
Penelitian, Sumber Data, Langkah-Langkah Penelitian, Metode
Penelitian, Sistematika Tulisan.
BAB II FILSAFAT POLITIK DAN PLATO: Filsafat Yunani:
Plato; Filsafat Politik; Filsafat Politik Plato; Biografi Plato, Pemikiran
dan Karya-Karya Plato.
BAB III GARIS-GARIS UMUM DAN SISTEM
PEMERINTAHAN SUKU KAJANG: Letak dan Aksesibilitas Wilayah,
22
Sepintas Tentang Desa Tana Toa dan Sejarah Masyarakat Kajang, Mata
Pencarian dan Tingkat Pendidikan, Pemukiman, Sistem Kepercayaan,
Sistem Kekerabatan, Bahasa, Sistem Kesenian, Kebiasaan Hidup. Para
Kelompok Bangsawan dan Strata Suku Kajang, Galla, Ta’ Bala’ Laya,
Pasang dan Pappasang: Pegangan Hidup Suku Kajang, Tanah: Sebuah
Pemahaman Awal Kehidupan Manusia, Awal Mula Bumi, Hutan: Hutan
Rakyat dan Hutan Adat.
BAB IV ANALISIS FILOSOFIS KONSEP NEGARA PLATO
DALAM KONTEKS SUKU KAJANG: Strata Sosial-Politik Suku
Kajang Dalam Pandangan Plato Tentang Republik, Landasan Pemikiran
Komunitas Adat Kajang, Negara Suku Kajang.
BAB V KESIMPULAN: Kesimpulan dan Saran-saran.
***