Oleh Budi Sulistiono

14
PERANAN PONDOK PESANTREN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (disampaikan dalam acara Milad Pondok Pesantren Darul Falah,di desa Carenang Udik, Kec Kopo, Tangerang, Banten,02 April 2011) Oleh Budi Sulistiono Muqaddimah Sungguh aneh, jika kita sering membicarakan “Kesultanan”, tapi tak sesering kita mengingat apalagi membicarakan proses bagaimana kesultanan itu dibentuk ? bagaimana kesultanan itu dibangun ? Paling tidak, dari soal awal kedatangan masyarakat Muslim di wilayah Nusantara, kemudian berkembang, hingga terwujudnya sebuah kekuatan politik dalam wujud Kesultanan adalah hasil jihad wal- ijtihad dari banyak profesi, (a.l. ekonom, Ustadz, Kyai, guru, Tuan Guru, Ajeungan, Teungku, ulama, politikus, saudagar, dsb). Dan untuk sampai terwujudnya SDM professional Muslim, tentu tidak sedikit di wilayah Nusantara pernah terselenggara wadah untuk menimba ilmu pengetahuan. Pondok Pesantren dan atau yang semisal (dayah, Surau, madrasah) adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara yang telah berperan aktif sebagai salah satu pusat menimba ilmu pengetahuan, benteng pertahanan Ummat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat Muslim dan sekitarnya di Nusantara. Pesantren, dayah, surau, sejak sebelum era penjajahan Belanda adalah satu-satunya lembaga pendidikan agama Islam yang tersedia. Dengan datangnya Bangsa kolonialis- imperialis (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang) lembaga ini, di samping berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan semangat independen - sebagaimana tersimpan dalam lembaran sejarah Nusantara, peranan ulama dan guru

Transcript of Oleh Budi Sulistiono

Page 1: Oleh Budi Sulistiono

PERANAN PONDOK PESANTREN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

(disampaikan dalam acara Milad Pondok Pesantren Darul Falah,di desa Carenang

Udik, Kec Kopo, Tangerang, Banten,02 April 2011)

Oleh Budi Sulistiono

Muqaddimah

Sungguh aneh, jika kita sering membicarakan “Kesultanan”, tapi tak sesering kita

mengingat apalagi membicarakan proses bagaimana kesultanan itu dibentuk ?

bagaimana kesultanan itu dibangun ? Paling tidak, dari soal awal kedatangan

masyarakat Muslim di wilayah Nusantara, kemudian berkembang, hingga

terwujudnya sebuah kekuatan politik dalam wujud Kesultanan adalah hasil jihad wal-

ijtihad dari banyak profesi, (a.l. ekonom, Ustadz, Kyai, guru, Tuan Guru, Ajeungan,

Teungku, ulama, politikus, saudagar, dsb). Dan untuk sampai terwujudnya SDM

professional Muslim, tentu tidak sedikit di wilayah Nusantara pernah terselenggara

wadah untuk menimba ilmu pengetahuan. Pondok Pesantren dan atau yang semisal

(dayah, Surau, madrasah) adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara yang

telah berperan aktif sebagai salah satu pusat menimba ilmu pengetahuan, benteng

pertahanan Ummat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat

Muslim dan sekitarnya di Nusantara.

Pesantren, dayah, surau, sejak sebelum era penjajahan Belanda adalah satu-satunya

lembaga pendidikan agama Islam yang tersedia. Dengan datangnya Bangsa kolonialis-

imperialis (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang) lembaga ini, di samping

berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan semangat independen -

sebagaimana tersimpan dalam lembaran sejarah Nusantara, peranan ulama dan guru

Page 2: Oleh Budi Sulistiono

agama dalam pergerakan rakyat garis depan perlawanan bersenjata. Pesantren diakui

secara umum telah menjadi benteng perlawanan, antara lain – kasus di Jawa,

berkulminasi pada bantuan dan dukungan kepada Pangeran Diponegoro – saat itu

pesantren banyak menampung para pengikutnya yang masih bersikap non-kooperatif

terhadap penjajah dan vazal-vazalnya. Keseluruhan sikap hidup, tata nilai struktur

sosial yang dimiliki pesantren jelas menunjukkan fungsi perlawanan ini, seperti dapat

disimpulkan dari studi Sartono Kartodirdjo1 tentang "gerakan protest di pedalaman

Jawa" di abad yang lalu dan permulaan abad ini.

Sekarang, berbagai alasan fungsional dari kehadiran dan pentingnya peranan lembaga

pendidikan agama, pesantren sebagai sub-kultur masyarakat Islam tidak mau

kehilangan validitasnya. Persoalan yang muncul adalah, dalam rentangan waktu yang

panjang, mengapakah pesantren-pesantren di Jawa, misalnya masih atau tetap

memperlihatkan vitalitasnya ? Dimana letak kekuatan pesantren ? Makalah dengan

judul di atas hendak memahami letak kekuatan pesantren di Jawa.

B.Pengertian, dan Sejarah Pertumbuhan

Pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan yang sangat tua, dan telah ada

jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia. Istilah "Pesantren" berasal dari kata santri,

yang mendapat awalan 'pe' dan akhiran 'an', berarti 'tempat tinggal para santri'.

Menurut C.C.Berg2, istilah 'santri' berasal' dari kata 'shastri' (dalam bahasa India berarti

'orang yang mengerti isi buku suci agama Hindu'). Sumber lain menyatakan, kata

Pesantren berasal dari bahasa India “shastri” dari asal kata Shastra yang berarti buku-

buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Sebutan

1 Kartodirdjo, Sartono, Protest Movements in Rural Java : A Study of Agrarian A Unrest in

the Nineteenth and Early Twentieth Centuries, (Singapore: Oxford University Press: Institute of

South East Asian Studies, 1973). 2 Berg, CC., “Indonesia”, dalam HAR Gibb, (ed), Wither Islam ? A Survey of Modern

Movements in the Moslem World, (London, 1932).

Page 3: Oleh Budi Sulistiono

untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib

atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit

(san= orang baik; tra= suka menolong), lembaga tempat belajar itu pun kemudian

mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau pesantren.

Mengikuti pengertian ini, timbul perdebatan tentang keberadaan pesantren pada masa

pra-Islam atau masa Islam, di Indonesia. Bukti pesantren sebagai lembaga pendidikan

dan keagamaan sebelum datangnya Islam ke Indonesia diperkuat oleh penelitian

I.J.Brugman dan K.Meys, yang menyimpulkan bahwa pesantren lebih tua dari

kehadiran Islam di Indonesia. Ia bersumber dari tradisi penghormatan santri kepada

guru, tata hubungan antara keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat

pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh negara kepada para guru dan

pendeta. Gejala lain yang menunjukkan asal non-Islam pesantren ialah kenyataan,

bahwa pesantren tidak terdapat di negara-negara Islam sekarang selain di Indonesia;

sedangkan lembaga-lembaga yang dapat dipersamakan dengan pesantren kini masih

hidup terus di India yang Hindu, dan di Burma serta Muangthai yang Buddha3.

Setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara, pesantren dimodifikasi menjadi lembaga

keislaman. Ini wujud nyata strategi dakwah bil hal, dan nyatanya hingga kini - kian

berkembang pesat, baik jumlah maupun kedudukannya, yang tidak lagi hanya terbatas

pada kependidikan dan keagamaan semata, tetapi juga merupakan lembaga

kemasyarakatan dan pusat perjuangan politik ummat Islam di zaman penjajahan

Belanda sampai Indonesia merdeka.

Di era Indonesia merdeka, Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di wilayah

Nusantara, nyata pesat perkembangannya hingga sekarang. Ini salah satu bukti dan

sulit dipungkiri oleh siapa pun bahwa sistem pendidikannya tetap dapat diterima di

3 Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjahmada University

Press, 1981), h.275.

Page 4: Oleh Budi Sulistiono

tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah

satu bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dan

dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari

transformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu sangat panjang.4 Statement ini

sekaligus mengkritisi pendapat Martin van Bruinessen “lembaga yang layak disebut

pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18 M… dan belum ada lembaga semacam

pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok sebelum abad ke-205. Menurutnya,

transmisi ilmu keislaman di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, Lombok) sebelum abad

ke-20 masih sangat informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan

menghafal al-Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya.

Pesantren sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti "dayah" dan

"meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan Semenanjung Malaya - kebanyakan

masih tetap merupakan kubu-kubu terkuat tasawuf, abad ke-18. Dan lembaga-lembaga

Islam semacam ini telah tumbuh menjadi institusi supra desa, yang mengatasi

kepemimpinan, kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan dan lainnya6. Mereka

tumbuh menjadi lembaga Islam yang universal, yang menerima guru dan murid tanpa

memandang latar belakang suku, daerah, dan semacamnya, sehingga mereka mampu

membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan praktek keagamaan dalam

berbagai tingkatan. Seperti juga para penuntut ilmu di Timur Tengah pada masa-masa

awal, guru, terutama murid-murid lembaga-lembaga pendidikan Islam di Asia

4 pesantren Tegalsari merupakan pesantren tertua dan masih eksis, didirikan

1742.

5 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999),cet.ke-III, hlm.25. 6 Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam akan lebih terkenal

perananannya apabila murid-muridnya berasal dari daerah-daerah yang radiusnya dari

pesantren tersebut, makin besar dan makin jauh.

Page 5: Oleh Budi Sulistiono

Tenggara ini, adalah para penuntut ilmu yang mengembara dari satu surau ke surau

lain atau dari pesantren satu ke pesantren lain guna meningkatkan pengetahuan

keislaman mereka7.

Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran pesantren dapat difahami

bahwa pengaruh lembaga ini pada masyarakat sekitarnya sangat besar. Banyak

peristiwa sejarah abad ke-19 yang menunjukkan betapa besar pengaruh pesantren

dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya

kekuasaan birokrasi kolonial Eropa di pedesaan8. Aksi-aksi protes mereka hingga

melahirkan pemberontakan9 dan meletuslah, misalnya "Geger Cilegon" juga terkenal

dengan "Perang Wasid" (1888), di Banten. Kenyataan ini sebagai wujud komitmen

sosial pesantren kepada masyarakat sudah terbukti dari masa ke masa, bahkan dari

abad ke abad.

Selain memperlihatkan jumlah yang sangat besar, pesantren dalam perkembangannya,

juga telah mengalami corak perkembangan yang beraneka-ragam. Perkembangan itu

meliputi kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat

7 Azyumardi Azra, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosydakarya, 1999 ).

8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), cet.ke-3,

1991: 247) 9 Dua pemberontak yang paling menonjol ialah Tumenggung Muhammad dan Mas

Zakaria. dan kawan-kawan selama dua puluh tahun (1820-1840) terus menerus

membangkitkan huru-hara sampai berhasil mengepung Pandeglang dan Serang. Sejak 1840

gerakan-gerakan mulai reda, di satu pihak secara sporadik keamanan masih diganggu oleh

"perbanditan" dari Sahab, Conat, Ija, Sakan dan Kemodin, dan pihak lain secara berkala

meletus huru-hara yang berpusat di tempat-tempat tertentu, seperti Cikandi Udik (1845),

geger A.Wahya (1850), affair Usap (1851), affair Pungut (1862), peristiwa Kolelet (1866), dan

peristiwa Jayakusuma (1869); lihat Sartono Kartodirdjo, "Berkunjung ke Banten Satu Abad

Yang Lalu (1879-1888)", makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Perjuangan KH Wasyid

dan Para Pejuang Banten 1888, Serang 9-18 September 1988;

Page 6: Oleh Budi Sulistiono

perkembangan sejak 1906 ketika Kasunanan Surakarta mendirikan Mambaul-Ulum10.

Dalam "metode mengajar" - atau cara pemberian pelajarannya, ada perkembangan dari

sistem salaf ke sistem madrasi11. Pesantren Tebuireng (sejak 1916), misalnya telah

menerapkan sistem madrasi kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, antara

lain pesantren Salafiyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, sejak 1925.

Dengan demikian di dalam pesantren telah terjadi perkembangan dan sudah dimulai

sejak awal abad ke-20. Ini berarti, pesantren dapat memetik hasil yang sangat positif

dari sistem madrasah – sebagai langkah alternatif para kyai mengkonsolidasikan

kedudukan pesantren dalam menghadapai perkembangan sekolah-sekolah agama.

Dalam tahun 1920-an dan 1930-an jumlah pesantren besar dan santri-santrinya

melonjak berlipatganda12. Sebelum tahun 1920-an, pesantren-pesantren besar hanya

mempunyai sekitar 200 santri. Dalam permulaan tahun 1930-an banyak pesantren,

seperti Pesantren Tebuireng, mempunyai jumlah murid lebih dari 1500 orang. Selain

itu, walaupun jumlah sekolah-sekolah yang didirikan Belanda terus menerus

bertambah, namun pendidikan tingkat menengah sampai tahun 1940 masih sangat

terbatas bagi penduduk golongan Eropa. Menurut catatan van den Berg, 1885 hanya

300 buah kemudian meningkat menjadi. 4.752 buah di seluruh Indonesia dengan

jumlah 830.850 santri, setelah berkembang satu abad kemudian. Jumlah ini meningkat

menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 198113. Dua puluh tahun

kemudian, pesantren mengalami pertumbuhan yang pesat, yakni 9.413 buah pesantren,

10 Mambaul Ulum di Surakarta, adalah tempat untuk mendidik calon-calon pejabat

agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama. Pada waktu yang

hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat. 11 Dalam sistem madrasi, di Jawa sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatan-

tingkatan pendidikan (Steenbrink, 1986: 102). 12 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, ,

(Jakarta LP3ES, 1982). 13 Yacub, HM., 1985, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa,

(Bandung;Penb.Angkasa, 1985), hlm. 68.

Page 7: Oleh Budi Sulistiono

dengan jumlah santri 1.775.768 orang14. Pertanyaan yang muncul adalah, di mana letak

kekuatan pesantren sehingga nampak tetap eksis bahkan semakin meningkat

jumlahnya baik yang tradisional maupun modern untuk selalu isitqomah menjaga

keberlangsungan penyelenggaraan pengajaran dan pendidikannya ?

Pada tahun 1970-an banyak pesantren menerapkan SKB Tiga Menteri (juga dikenal

dengan pola kurikulum pemerintah). Sekalipun demikian mereka tetap

mempertahankan sistem pengajaran dengan sistem bandongan dan sistem sorogan.

Ada sebagian yang lain yang tidak menyesuaikan kurikulumnya dengan pola

kurikulum pemerintah, tapi membuat kurikulum sendiri yang sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai. Kenyataan ini terjadi di pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo.

Pesantren ini telah memberlakukan sistem madrasi sejak 1926. Kondisi nyata ini telah

menunjukkan perkembangan pesantren. Dengan kondisi tersebut, kadang-kadang

terasa sangat sulit membuat gambaran suatu pola pesantren dan lebih sulit lagi

mengadakan generalisasinya. Lebih-lebih pada tahap berikutnya, di pesantren-

pesantren juga didirikan sekolah umum (SMP, SMU), dan perguruan tinggi. Namun,

dengan mengesampingkan karakteristik masing-masing, setidaknya pesantren dapat

ditandai minimal elemen pendukungnya, yakni pondok, masjid, santri, pengajaran

kitab-kitab Islam klasik karangan ulama tertentu, dan kyai15. Melalui elemen

pendukungnya, di dalam pesantren senyatanya telah terjadi pengolahan potensi diri

individu-individu santri di bawah bimbingan keteladanan kyai dan para guru

pendampingnya. Dengan kata lain, di sinilah letak eksistensi kekuatan

penyelenggaraan pendidikan pesantren dari masa ke masa telah berhasil menerapkan

kurikulumnya yang tidak membatasi dirinya pada pelajaran atau kitab-kitab yang

dipakai, tapi keseluruhan kegiatan di dalam asrama atau pondok.

14 Depag,RI, Booklet tentang Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Direktorat

Pembinaan Perguruan Agama Islam, Dijend.Binbaga Islam, Depag RI,1998.) 15 Dhofier, Zamakhsyari, Ibid, hlm.44

Page 8: Oleh Budi Sulistiono

C. Eksistensi dan Kesinambungan Kepesantren-an

Pesantren selain memiliki "lingkungan, ia juga "milik" lingkungannya. Bahkan hingga

sekarang Pesantren tak putus-putusnya mempunyai hubungan fungsional dengan

desa-desa di sekitarnya, dalam pendidikan agama, kegiatan sosial, dan kegiatan

ekonomi. Dalam pada itu, kini bukan saatnya untuk berandai-andai untuk lebih

mencermati peran-perannya dalam aksi melawan kolonial Eropa, misalnya, namun

yang mendesak justru upaya-upaya kita lebih mau mengerti tentang "bagaimana strategi

kyai/ulama tempo dulu melalui jalur pesantren dengan potensi yang dimiliki berhasil

menularkan kreativitasnya kepada masyarakat pedesaan dan lingkungan lainnya "?. Penelitian

lebih jauh sudah saatnya dilakukan lebih awal bahkan diperlukan untuk melacak akar

genealogi intelektual mereka di dalam mensistematisasi16 pengetahuan menjadi ilmu

melalui usaha klasifikasi dan penciptaan metodologi empirik, kuantitaf dan

eksperimental. Wujud kreativitas keulamaan mereka itu dapat dicermati dalam

berbagai kegiatan, misalnya dakwah, wirausaha, organisasi, dan sebagainya sehingga

kita memperoleh gambaran yang lebih utuh.

Agaknya, informasi varian aktivitas keulamaan masyarakat tersebut akan bisa pula

dijadikan indikasi perkembangan Islam dalam varian kelompok dari masa ke masa

yang sangat berpengaruh dalam berbagai wilayah. Dengan kata lain, kajian ini

bermaksud menegaskan kembali peranan Islam dengan daya dukung pesantren, dan

masyarakat di dalam perkembangan sejarah ilmu secara nasional maupun

internasional, bahkan kini pun bukanlah sesuatu yang mubadzir. Misalnya,

"keteladanan tokoh tertentu" dapat dicermati lebih lanjut antara lain Imam

Muhammad Nawawi Tanara dikenal dengan Imam Nawawi al-Banteni, seorang ulama

besar yang juga banyak menulis kitab, pernah menjadi panutan (guru) sejumlah ulama

16 kata "sistematisasi" berarti disusun secara teratur mengenai sesuatu bidang

tertentuyang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.

Page 9: Oleh Budi Sulistiono

terkenal seperti KH Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU), Jombang; KH Kholil Bangkalan,

Madura (guru KH Syamsul Arifin - Mustasyar Am NU), KH Asnawi Caringin asal

Labuan, TRIMURTI (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, KH Zainuddin Fanani)

Pendiri Pondok Modern Gontor-Ponorogo, dan sejumlah ulama lainnya.

Dengan mengambil tamstil tokoh-tokoh di atas pengingatan kita ke arah pesantren -

untuk saat ini tidaklah juga mubadzir, justru malah strategis. Alasannya:

Pertama, Pesantren sebagai lembaga sosial yang berada di akar bawah mempunyai

peranan strategis dalam melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan peran

serta masyarakat dan perencanaan dari bawah. Nah, sebagai upaya pelestarian peranan

dan keberadaan pesantren, sebagai langkah awal, sangat simpatik untuk memulai

klasifikasi ke arah pemetaan perkembangan lembaga-lembaga tersebut mana yang

benar-benar eksis baik di kota maupun di desa, untuk kemudian dilakukan

pemberdayaannya ;

Kedua, pesantren masih sering mendapat sorotan yang konon masih kurang

memberikan pendidikan yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi,

karena titik berat pendidikannya masih pada Kitab Kuning. Anggapan itu boleh-boleh

saja muncul, bahkan sudah terlalu sering dikemukakan bahwa kajian Islam selama ini

lebih menekankan aspek ritual semata dan masih kurang dikembangkan pemikiran

Islam yang menyangkut kehidupan sosial ummat, terutama masalah mendesak yang

mereka hadapi kini, yakni kemiskinan dan kebodohan.;

Ketiga, banyak anak keluarga alumni pesantren (santri) tidak lagi dimasukkan ke

pesantren tapi ke sekolah-sekolah non-agama, berbaur dengan anak-anak di luar

komunitas mereka. Singkatnya, kini telah tumbuh generasi baru yang muncul dari

Page 10: Oleh Budi Sulistiono

perbauran subkultur santri dan abangan dengan basis agama yang tak terlalu jauh

berbeda, kalau tak dapat dikatakan sama17.

D. Pesantren di Mata Para Peneliti

Keberadaan pesantren di Indonesia telah direkam dalam sejumlah tulisan misalnya :

1. hasil penelitian lapangan seorang antropolog Amerika Serikat, C.Geertz18,

menulis tentang “Modernization in a Moslem Society: The Indonesian

Case”,1963, ingin menyoroti peranan madrasah dan pesantren dalam

hubungannya dengan proses modernisasi di kalangan muslim di Indonesia.

Peneliti ini berhipotesis bahwa sejak tahun 1920-an, peranan menentukan dalam

bidang pendidikan Islam telah diambil alih oleh Madrasah dan sekaligus

menonjolkan Pesantren ke posisi yang tidak berarti. Tentu saja temuannya

tersebut dipertanyakan kembali oleh para peneliti berikut. Hal ini disebabkan

kemungkinan bervariasi dalam segi organisasi dan pengajaran serta fleksibilitas

dan pamor pesantren yang cukup tinggi di mata masyarakat lingkungannya,

tidak menjadi bahan acuan di dalam analisa Geertz.

2. Tulisan pertama yang khusus menelaah pesantren adalah tentang Pondok

Modern Gontor oleh sejarawan Lance Castle19. Menurutnya, pesantren sebagai

lembaga pendidikan, kebersamaan keciriannya dalam perkembangan sejarah

dan pembagian type, sudah dilakukan sejak sekitar beberapa tahun yang lalu

dalam beberapa penelitian. Karakter yang dipunyai oleh hampir semua

17 Kuntowijoyo, Paradigma Islam :Intrpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan) cetakan ke-3,

1991. 18 Geertz, C.,“Modernization in a Moslem Society: The Indonesian Case”, dalam

QUEST, Vol. 39, (Bombay, 1963). 19 Lance Castles, “Note on Islamic School at Gontor”, dalam Indonesia, (Ithaca: Cornell

University), nomor 6, April, 1966.

Page 11: Oleh Budi Sulistiono

pesantren antara lain adalah kemandirian lembaga ini dalam segi

keorganisasiannya, politis, pedagogik, dan ekonomi.

3. Abdurrachman Wachid20, tentang "Pesantren sebagai Subkultur", dalam

M.Dawam Rahardjo, (ed.), menjajagi seberapa jauh Pesantren sebagai sub-kultur

dan dikarenakan ke sub-kulturannya dalam perjalanan waktu berabad-abad

tidak terintegrasi dan hanyut ke dalam proses perkembangan makro, yang

memungkinkan bertahannya kemandirian pesantren. Selanjutnya ia melihat

aspek sub-kultur pesantren di dalam batasan dan keistimewaan kedudukan

sosialnya di mata masyarakat. Kalau sub-kultur bisa didefinisikan secara

gampang sebagai tingkah laku yang lain, maka pesantren sebagai lembaga

keagamaan yang tidak formal dan sebagai pusat pendidikan petuah spritiual

dan terapannya menurut Abdurrahman Wachid adalah tingkah laku lain yang

terorganisir yang menjadi ujung tombak pembaharuan sosial.

4. Zamachsyari Dhofier melalui penelitian lapangannya mengetengahkan tentang

tidak adanya organisasi formal yang mengikat pesantren satu dengan lainnya.

Kontinuitas dan eksistensi pesantren menurut Dhofier ditunjang oleh pertukaran

intelektual, yang dimungkinkan oleh keterikatan darah diantara keluarga kyai.

Proses perubahan di kalangan muslim tradisonal yang mewakili hampir seluruh

pesantren, disinggung di dalam karya disertasinya. Kontradiksi yang disinggung

dalam proses ini antara lain bahwa satu fihak adanya kesediaan sementara kyai

untuk menginisiasi perubahan yang seringkali fundamental, sementara di fihak

lain tidak adanya kesediaan untuk menginterpretasikan kembali bingkai

ketradisionalannya.

5. Untuk melihat betapa peranan pesantren di dalam lembaga pendidikan dan

pengajaran yang dekat dengan lingkungannya untuk menjawab tantangan

20 Wachid, Abdurrahman, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Rahardjo, M.Dawam,

(ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1983).

Page 12: Oleh Budi Sulistiono

perubahan sosial dan ekonomi, ditonjolkan oleh Manfred Ziemek21.

menggambarkan tendensi perkembangan dari beberapa pesantren besar dan

berpengaruh, sebagai bahan olahan konsepsi dari program-program self-help.

6. Melalui beberapa kajian dalam M.Dawam Rahardjo22, antara lain menyebutkan

bahwa sejak tahun 1980-an banyak pesantren yang tergolong tradisional, telah

membuka diri untuk memakai sistem pengajaran klasikal, sebagai upaya

mengikuti kurikulum pemerintah sebagaimana dimaksud dalam SKB Tiga

Menteri, 1975.

7. Sebaliknya, menurut pengamatan Lance Castle, Gontor yang menyandang

sebagai pesantren "modern" - telah memakai sistem pengajaran klasikal. Dalam

rentang perjalanan sejarahnya, menurut hemat peneliti, Gontor tidak mengikuti

kurikulum Pemerintah.

Dilihat dari sudut politik, sosial, budaya, maupun ekonomi, kehidupan di pesantren-

pesantren masih memerlukan penelitian dan penyelidikan yang tidak sedikit.

E. Penutup

Selama kurun waktu yang cukup panjang, pesantren-pesantren dengan penghadapan

pada situasi dan kondisi baik berupa peluang maupun tantangan banyak pula PR yang

harus dijawab. Upaya penyesuaian yang dilakukan pesantren dalam menghadapi

tantangan bukan dimaksud telah terjadi perubahan (bersifat negatif) di lingkungan

dan/ atau penyelenggaraan pendidikannya. Justru sebaliknya, upaya tersebut sebagai

wujud potensi pesantren untuk melakukan kontak dengan dunia ilmu pengetahuan

tanpa melepaskan potensi pendalaman pengetahuan keagamaan.

21 Ziemek, Manfred, Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel, Frankfurt, 1983 22 Rahardjo, M.Dawam, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1983).

Page 13: Oleh Budi Sulistiono

Suasana pendidikan ke arah hidup mandiri tetap menjadi ciri khas pesantren, karena

bagaimana pun juga eksistensinya sebagai lembaga pendidikan sejak keberadaannya

hingga kini sedang dan akan senantiasa ditantang oleh kebutuhan masyarakat yang

mengalami pergeseran-pergeseran sistem nilai disamping pergeseran kebutuhan.

Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan masyarakat pendukungnya menjadi batu

ujian bagi kelangsungan eksistensinya, sehingga transformasi kultural yang

ditempuhnya harus senantiasa memperhatikan perubahan yang terjadi dalam

lingkungan masyarakatnya. Ini berarti dan hampir sulit dilupakan, bahwa kehadiran

pesantren sebagai wujud estafeta dakwah islamiyah dari masa ke masa.

Dalam upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan peningkatan kesejahteraan,

pesantren telah tampil sebagai kawah pemberdayaan individu dan masyarakat,

misalnya : dakwah, pertanian, koperasi, perpustakaan, peternakan, perikanan,

administrasi dan organisasi, pertukangan, kerajinan tangan (menjahit, menyulam, dan

sebagainya), kesehatan (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga), dan sebagainya. Kiprah

pemberdayaan diri (individu) dan masyarakat yang dialami oleh pesantren tersebut,

menarik untuk dicermati lebih lanjut di beberapa pesantren generasi berikutnya.

Usaha-usaha pengembangan pesantren, dalam rentangan sejarahnya, diharapkan

mempunyai peranan yang jelas dalam rangka pengembangan masyarakat. Peranan

tersebut berbentuk partisipasi pesantren dalam melaksanakan program pembangunan

yang dapat mendorong dan meningkatkan tarap hidup masyarakat sekitarnya. Dalam

kaitan ini, ia dituntut untuk selalu aktual dalam kiprahnya. Wallahu a’lam bish-

showab.

Wassalam,

Tebet, Jaksel 12-05-2011

Page 14: Oleh Budi Sulistiono