OK.docx

54
BUDAYA HUKUM Banyak di antara kita, terutama para pejabat dan aparat hukum dan pemerintahan, ketika ditanyakan kelanjutan suatu peristiwa atau kejadian, maka jawaban baku yang akan kita dengar adalah bahwa perkara itu akan diperiksa atau diselesaikan atau ditindaklanjuti atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kemudian, kita seolah mengalami katarsis dan kelegaan tersendiri bahwa sememangnyalah negara kita ini negara hukum. Senyatanyalah berba-gai persoalan, soal kecil atau besar, menyangkut orang penting atau tidak, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Alangkah sakti dan mulianya suatu negara yang dengan taat asas dapat menaati hukum yang berlaku. Sementara itu, cara melaksanakan atau menerapkan atau mempraktik-kan hukum yang berlaku itu, memang persoalan lain. Semua telah diatur se¬suai dengan undang-undang yang berlaku. Segalanya telah termaktub dalam peraturan yang berlaku. Tak pelak, tentu ada keanehan di dalamnya. Ada semacam ketak-transparanan yang disengaja pada prinsip- prinsip yang disebut sebagai hukum yang berlaku atau diberlakukan. Ada semacam temporalitas terbuka tentang cara seharusnya hukum tersebut diberlakukan. Di sinilah persoalannya. Begitu banyak perkara yang seharusnya dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku mengalami pemberlakuan terus-menerus sesuai dengan konteks dan skenario kepentingan politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Oleh karenanya, prinsip hukum yang berlaku tidak lebih sebagai prinsip hukum yang diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lain berdasarkan konteks kepentingan tertentu pula. Bab 3 tentang :

Transcript of OK.docx

Page 1: OK.docx

BUDAYA HUKUM

Banyak di antara kita, terutama para pejabat dan aparat hukum dan pemerintahan, ketika ditanyakan kelanjutan suatu peristiwa atau kejadian, maka jawaban baku yang akan kita dengar adalah bahwa perkara itu akan diperiksa atau diselesaikan atau ditindaklanjuti atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kemudian, kita seolah mengalami katarsis dan kelegaan tersendiri bahwa sememangnyalah negara kita ini negara hukum. Senyatanyalah berba-gai persoalan, soal kecil atau besar, menyangkut orang penting atau tidak, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Alangkah sakti dan mulianya suatu negara yang dengan taat asas dapat menaati hukum yang berlaku.

Sementara itu, cara melaksanakan atau menerapkan atau mempraktik-kan hukum yang berlaku itu, memang persoalan lain. Semua telah diatur se¬suai dengan undang-undang yang berlaku. Segalanya telah termaktub dalam peraturan yang berlaku.

Tak pelak, tentu ada keanehan di dalamnya. Ada semacam ketak-transparanan yang disengaja pada prinsip-prinsip yang disebut sebagai hukum yang berlaku atau diberlakukan. Ada semacam temporalitas terbuka tentang cara seharusnya hukum tersebut diberlakukan.Di sinilah persoalannya. Begitu banyak perkara yang seharusnya dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku mengalami pemberlakuan terus-menerus sesuai dengan konteks dan skenario kepentingan politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Oleh karenanya, prinsip hukum yang berlaku tidak lebih sebagai prinsip hukum yang diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lain berdasarkan konteks kepentingan tertentu pula.

Dalam perspektif akademis, tentu saya memang bukan seorang dengan latar belakang ilmu hukum. Namun, sebagai warga negara Indonesia, sebagai manusia bebas, siapa pun ia, berhak memberikan pendapatnya untuk mem-pertanyakan kembali sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum itu. Bagaimanapun ia, sehingga siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai manusia makhluk sosial, harus mempercayakan dirinya pada satu prinsip aturan main yang menata keberadaan dan hubungan diri dan masyarakatnya sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku, atau tepatnya diberlakukan.

Secara implisit terlihat bahwa pada dasarnya hukum adalah suatu tata aturan main, berdasarkan prinsip-prinsip akal sehat dan rasional, yang mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan (universal) dan yang bertujuan mengatur proses penyelenggaraan perikehidupan, yang pada gilirannya mendapat legi-timasi berdasarkan konsensus maksimal.

Bab 3 tentang :

Page 2: OK.docx

Dalam hal ini, hukum bernilai hukum jika ada logika sanksi yang dijadikan acuan keseimbangan. Ketika prinsip aturan main tersebut dilanggar atau tidak, akan diberlakukan sebagaimana mestinya. Tentu saja prinsip sanksi tersebut tidak dalam pengertian kuantitatif semata, seperti halnya seorang koruptor selayaknya mendapat hukuman kurungan sekian bulan (tahun). Akan tetapi, bisa pula dalam pengertian kualitatif yang berkaitan dengan sanksi moral, misalnya saja pengutukan, pemrihatinan, dan sebagainya.

Pengertian tersebut tentu masih amat luas. Hal itulah sebabnya, kita mengenal tataran lain, misalnya hukum-hukum politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, yang diberlakukan sesuai dengan konteks dan perspektif ketika hukum tersebut dimaksudkan. Secara lebih khusus pada akhirnya kita juga mengenal hal yang biasa disebut sebagai hukum pidana atau perdata.

Yang terpenting, hukumlah yang paling memiliki peluang besar dalam menjaga keberlangsungan suatu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan. Hal ini terjadi mengingat bahwa pada akhirnya berdirinya satu tatanan kebangsaan dan/atau kenegaraan didasarkan pengakuan terhadap hukum yang berlaku berdasarkan konsensus yang diakui secara bersama pula.

Prinsip ketatanan kebangsaan dan kenegaraan akan gugur dengan sendirinya jika masyarakat pendukungnya tidak mengakuinya lagi, atau, berdasarkan konsensus baru, memilih prinsip hukum lain yang relevan, dan sesuai dengan perubahan zaman dan nilai-nilai yang menvertainya.

Bukan hal berlebihan jika dikatakan bahwa pembicaraan apa pun yang berkaitan dengan hukum, besar atau kecil ia berdimensi politik dalam segala wacananya. Untuk tidak mengatakan bahwa varian apa pun yang berkaitan dengan persoalan hukum, ia tidak bisa melepaskan dirinya dari kebudayaan tempat hukum tersebut diberlakukan.

Hal tersebut tampak, sekaligus menjadi sebab, ketika pada akhirnya praksis hukum mengalami pemberlakuan yang berbeda dan tidak konsisten karena mengalami penyesuaian dengan kekuatan "wacana" yang tengah berlangsung. Katakanlah bahwa tidak mustahil wacana politis dan ekonomis mampu membuat skenario ke arah tempat atau cara hukum tersebut diperlakukan. Singkat kata, hukum dapat diperlakukan sedemikian rupa oleh kekuatan tertentu yang dominan baik secara politik maupun ekonomi.

Artinya, hukum mendapat perlakuan yang berbeda disesuaikan dengan realitas persoalan yang dihadapinya. Dalam hal ini, realitas persoalan inilah yang mendapat subjektivikasi tertentu sesuai dengan kasus yang seharusnya diatasi secara objektif. Sebagai contoh, hukum akan mengalami perlakuan yang berbeda jika yang coba ditata dan diatur tersebut ternyata seseorang yang secara struktural berposisi di atas. Demikian sebaliknya.

Page 3: OK.docx

Bukan dalam arti bahwa struktur semata-mata mengatasi prinsip hukum yang diberlakukan. Untuk konteks struktur bisa jadi ketakutanlah yang terjadi karena adanya semacam ketergantungan tertentu yang bersifat ekonomis atau politis. Lebih dari itu, terjadi pula dialektika pada sisinya yang lain yakni budaya-budaya tertentu yang mengontrolnya. Dalam hal ini kita mengenal budaya pakewuh, segan, dan sejenisnya.

Mungkin itulah sebabnya, kadang-kadang dicurigai, jangan-jangan hukum yang sering dibicarakan itu tidak lebih hanya dikenakan bagi mereka yang memang tidak memiliki kekuatan penawar menghadapi kekuatan hukum yang diperlakukan itu, karena secara politis dan ekonomis merupakan pihak yang terdominasi.

Dengan demikian, persoalannya bukan sekadar permainan kata-kata. Ada perbedaan makna yang serius berkaitan dengan penggunaan kata hukum yang berlaku, diberlakukan, atau diperlakukan beserta implikasi yang terkait dengannya. Prinsip hukum yang berlaku adalah perlakuan terhadap tata aturan yang menjadi konsensus atau kesepakatan bersama bagi masyarakat, terlepas dari hal-hal terkait hukum tersebut memadai atau tidak untuk diberlakukan. Sementara itu, hukum yang diberlakukan adalah pelaksanaan secara konsekuen dari prinsip hukum yang berlaku,'

Lain halnya dengan hukum yang diperlakukan. Sebagai ilustrasi misalnya dengan contoh-contoh kalimat berikut. Pertama, Ia tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Akan berbeda artinya dengan, kedua, la tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Pasti akan sangat berbeda pula dengan kalimat ketiga, la tidak berlaku sebagaimana mestinya.

Pada kalimat pertama, diandaikan ada pihak tertentu (subjek) yang memperlakukan sesuatu (objek) tidak sebagaimana mestinya. Objek dikenai perlakuan tertentu. Kalimat kedua diandaikan tanpa kehadiran subjek, tetapi secara objektif objek tidak diberlakukan sebagaimana seharusnya. Pada kalimat ketiga, justru subjek yang tidak berlaku sebagaimana mestinya tanpa pembayangan perlakuannya terhadap objek.

Sebagai risikonya, implikasi secara teoritik tentu berbeda-beda pula. Jika yang pertama yang terjadi, sama artinya telah terjadi pelecehan terhadap hukum. Jika yang kedua yang terjadi bukan pelecehan, tetapi hukum tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Lebih tepat jika disebut terja-dinya penyimpangan. Sementara itu, jika yang ketiga yang terjadi maka hu¬kum di negara kita bukan suatu yang otonom yang mampu mengatasi persoalan yang berkaitan baik di dalam maupun di luar dirinya. Artinya, perlu konsensus lain yang baru yang relevan dengan berdaya guna demi kemandirian sebuah hukum.

Nah, dalam hal ini saya tidak tahu pasti, sesungguhnya hukum di negara kita ini mengikuti hukum yang berlaku, atau yang diberlakukan, atau justru yang

Page 4: OK.docx

diperlakukan. Yang dikhawatirkan terjadi adalah yang terakhir. Jika memang demikian, alangkah runyamnya.

Page 5: OK.docx

KORUPSI DAN PERUBAHAN SOSIAL

Secara umum sering dikatakan bahwa korupsi langsung atau tidak ikut menghalangi kemajuan (progress) dan dinamika perubahan sosial. Juga sering disebut-sebut kasus' korupsi pada banyak negara berkembang meru-pakan pengaruh langsung dari tindakan korupsi oleh perusahaan multinasio-nal dan lemahnya hukum mengenai penyuapan di negara industri, apalagi di negara sedang berkembang.

Untuk itu menarik mempersoalkan hal tersebut ketika diketahui bahwa Indonesia termasuk 10 negara korupsi terbesar di dunia setelah Nigeria, Pakistan, Kenya, Bangladesh, Cina, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India, (data awal tahun 1997). Pemerintah berganti, dan kita selalu berharap korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Namun, kenyataannya pada tahun 2000, korupsi di Indonesia malah nongkrong di urutan kelima sebagai negara paling sukses besar-besaran korupsi di atas Azerbaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan Nigeria (Kompas, 20 Desember 2000). Yang juga mengherankan, walau Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling besar korupsi di dunia, tetapi koruptor di Indonesia amatlah dikitnya.

Itulah sebabnya, perlu sedikit dipersoalkan sampai seberapa jauh korupsi menghambat jalan perubahan sosial ke arah kondisi yang lebih kondusif, demokratis, dan moralis. Khususnya bagi Indonesia, di samping itu, tentunya adalah terciptanya kemajuan nasional seperti menjadi cita-cita masyarakat Indonesia.

Walaupun perlu diingat bahwa tentu saja bukan semata-mata korupsi yang menjadi faktor bagi penghalangan kemajuan (progress) dan dinamika perubahan. Sesungguhnyalah begitu banyak variabel yang dapat diperhitung-kan sehubungan dengan berbagai perubahan yang dimungkinkan. Uraian ini hanya akan dikhususkan pada konteks persoalan tersebut.

Salah satu persoalan yang perlu dikaji adalah peluang-peluang yang memungkinkan dan dimungkinkan berkaitan dengan terjadinya korupsi. Salah satunya disebutkan karena kelemahan hukum mengenai penyuapan. Akan tetapi, terjadinya perbaikan atau bahkan pengerasan hukum mengenai masalah penyuapan dianggap belum mampu menyelesaikan masalah, dan belum mampu mengatasi masalah korupsi sehingga dipertanyakan selanjut-nya implikasi akan terjadi pula perlancaran perubahan sosial.

Tesis di atas secara tidak langsung sesungguhnya ingin menegaskan bahwa faktor penting dari kemungkinan ke arah perubahan sosial adalah termaksimalkannya penggunaan dana dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian, tesis tersebut secara implisit, sekali lagi, ingin menggarisbawahi bahwa

Page 6: OK.docx

tampak adanya semacam kepercayaan terhadap kapitalisme sebagai penggerak berbagai perubahan.

Sudah cukup banyak analisis yang menguraikan sebab-sebab terjadi-nya korupsi. Terlepas dari lemahnya sistem pengawasan dan hukum pe-nyuapan, lebih dari itu hal yang paling utama perlu diperhitungkan bahwa yang melakukan korupsi tersebut adalah manusia. Artinya, pada tingkat tertentu faktor manusia berpengaruh secara langsung, misalnya itu berupa mental korupsi dalam segala maknanya, maupun pada akhimya berpengaruh pada seretnya dinamika perubahan ke arah kemajuan nasional seperti yang telah digarisbawahi dalam GBHN.

Berdasarkan hal di atas, ada dua hal yang perlu diuraikan lebih jauh. Pertama, adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan korupsi, peluang, dan tantangannya. Kedua, adalah bentuk dinamika perubahan sosial yang dimaksudkan jika kasus korupsi dapat ditekan sedemikian rupa sehingga, paling tidak, terjadinya semacam demokratisasi, tidak hanya berkaitan dengan peluang bagi pemerataan perkembangan dan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan bagi pemilikan ekonomis sehingga masyarakat memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan manusia modern dalam segala wacana dan niaknanya.

Kita mulai dari persoalan pertama. Dalam pengertian umum, yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu perbuatan buruk, ilegal, di luar kese-pakatan etis, yang berkaitan dengan proses pengambilan uang, terkait itu penggelapan uang, sogok, pungli, manipulasi angka-angka, dan sebagainya. Tetapi kemudian maknanya mengalami perluasan yakni segala perbuatan yang menimbulkan kerugian, kebusukan, dan kerusakan, dapat dikategorikan sebagai korupsi. Artinya, korupsi bukan saja hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan uang secara tidak sah semata.

Akan tetapi, seperti juga diketahui, segala pebuatan yang melanggar ketentuan dan etika umum, dapat pula disebut korupsi. Sebagai contoh, korupsi terhadap waktu, saat begitu banyak pekerja yang santai atau bermain ketika jam kerja. Korupsi jabatan ketika ada orang yang memanfaatkan jabatannya untuk melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung jawab jabatannya, dan sejumlah contoh lain.

Namun, pada akhirnya, secara umum korupsi lebih ditafsirkan sebagai pengambilan uang secara ilegal meskipun konsep ilegal dan legal memang perlu mendapat perhatian. Karena bisa saja korupsi itu justru dilakukan dalam prosedur resmi. Artinya, yang sebagian besar terjadi adalah permainan angka-angka, tetapi hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur resmi birokrasi, diketahui oleh pihak yang berwenang, dan sah. Dengan begitu, secara hukum korupsi yang dilakukan dalam prosedur resmi itu akan sulit dituntut. Tidak perlu ragu, hal ini tentu banyak dilakukan oleh pejabat pemerintah, baik di daerah apalagi di pusat.

Page 7: OK.docx

Persoalannya, ada peluang-peluang yang memungkinkannya. Pertama, terjadinya lingkaran setan (keserakahan) sehingga berapa pun uang dan keka-yaan yang dimiliki, selalu merasa kurang sehingga begitu banyak orang mencari celah-celah tertentu untuk mendapatkan tambahan, atau bahkan nafsu menumpuk kekayaan. Dalam banyak hal, fenomana lingkaran setan (keserakahan) tersebut menjadi semacam sikap budaya tahu sama tahu, dan menciptakan sikap ketergantungari. Karenanya, banyak orang menjadi mak-lum dengan perbuatan korupsi sehingga lingkaran setan itu membuat siapa pun yang ada di dalamnya turut terlibat.

Kedua, sebagai akibat pertama, kekuatan kontrol, yang diharapkan sebagai ujung tombak bagi tegaknya hukum berkenaan dengan kasus korupsi tidak dapat diberlakukan. Pada akhirnya yang serba menentukan bukan kekuatan hukum itu sendiri, tetapi justru niat baik dan keberanian moral manusianya melawan korupsi (baca: kejahatan pada umumnya) terjamin.

Padahal kedua hal itu hanya terjadi ketika adanya jaminan hukum antara hak dan kewajiban yang betul-betul dilaksanakan. Ketiga, sebagaima¬na dapat kita baca, kasus korupsi justru paling banyak terjadi di negara sedang berkembang. Data tersebut pun tidak ingin mengatakan bahwa di negara maju tidak terjadi korupsi, tentu saja tidak. Persolannya bukan pada negara sedang berkembang atau tidak, tetapi negara yang kehidupan demo-krasinya rendah. Penjelasan tersebut sekaligus ingin mengatakan bahwa tidak semua negara berkembang kasus korupsinya besar, dan demikian pula sebaliknya.

Seberapa jauh nilai-nilai dan penerapan demokrasi dapat mengontrol lajunya korupsi. Hal ini terutama berkaitan dengan persoalan kedua dan ketiga, yaitu salah satu indikasi kualitatif kehidupan demokrasi adalah adanya jaminan hukum bagi warga negara untuk berbuat benar, sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, jika itu dilakukan secara legal dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Terlepas kaitannya dengan persoalan budaya, kenyataannya, hal inilah yang terutama membedakan dengan negara-negara yang kasus korupsinya kecil, seperti Kanada, Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan beberapa negara (maju) lain.

Persoalan di atas ada hubungannya dengan terganggunya mekanisme dan dinamika perubahan sosial. Yang ingin ditegaskan oleh logika tersebut adalah ketika sebagian besar dana terakumulasi pada pihak-pihak tertentu secara pribadi dan tidak produktif. Karena, ada dua kemungkinan arah perginya uang-uang korupsi tersebut. Pertama adalah jenis korupsi yang dilakukan karena desakan kebutuhan ekonomi yang menuntut, agar kehidupan ekonomi (seseorang beserta tanggungaannya) menjadi lebih longgar dalam batas-batas tertentu. Namun, korupsi jenis ini biasanya tidak besar-besaran, walaupun tentu saja tetap dilarang.

Page 8: OK.docx

Kedua adalah jenis korupsi yang dilakukan bukan untuk sekadar melonggarkan kebutuhan ekonomis, tetapi diniatkan untuk penumpukan ke-kayaan secara pribadi. Jenis ini biasanya dilakukan secara besar-besaran. Kemudian uang tersebut tertimbun di bank-bank, rumah-rumah pribadi, tanah-tanah pribadi, taman dan hutan pribadi, kenikmatan pribadi, dan lain-lain, yang kesemuanya terhenti hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan masy^arakat tidak dapat memanfaatkannya.

Konsep penumpukan kekayaan tersebutlah yang secara langsung atau tidak ikut menghambat mekanisme dan progress perubahan. Hal tersebut terjadi karena sejumlah dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk proses pembangunan dan proyek-proyek sosial lainnya tidak dapat dipakai, tidak diputar, tidak termaksimalkan penggunaannya. Ia hanya terhenti sekadar untuk keperluan pribadi-pribadi.

Page 9: OK.docx

M ENJINAKKAN BOM WAKTU

Pembangunan yang selama ini kita lakukan dapat diibaratkan merakit bom-bora waktu, dan bom-bom waktu itu sebagian sudah meledak, sedang-kan sebagian belum; Yang sudah meledak antara lain ledakan pertengahan Mei 1998 yang legendaris itu, disusul ledakan-ledakan sesudahnya seperti Kupang, Ujung Pandang, beberapa daerah di Jawa, Kalbar, tragedi Ambon, Aceh, dan sebagainya. Saat ini, saya yakin masih tersisa sejumlah bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledak atau diledakkan.

Selalu ada saja bahan-bahan bom waktu itu sehingga kita dapat me-nyimpulkan rangkaian dan Jaringan yang dirancang lebih dari 30 tahun tersebut demikian kuat dan sulit dijinakkan. Rangkaian tersebut antara lain, pertama, arogansi kekuasaan yang berlebihan yang telah sukses membangun dirinya menjadi dominatif, telah kerahasiaan terhadap rumus-rumus yang terjamin (karena tidak ada orang yang berani membocorkannya).

Akibatnya, rangkaian (sistem) kekuasaan yang dominan (bahan hegemonik) itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri (mendekonstruksi dirinya), walau diketahui ada yang tidak beres dengan konstruksi budaya kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, untuk menghancurkan rangkaian (budaya) kekuasaan seperti itu tidak mustahil dibutuhkan ledakan itu sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa saja kita menyebutnya sebagai revolusi sosial.

Kedua, sebagai akibat dari yang pertama pula, jaringan bom waktu tersebut tenaga ledakannya diperkuat dengan adanya kandungan instalasi KKN. Namun, yang ingin ditegaskan adalah sebetulnya ramuan dari bom waktu yang dibangun oleh pemerintah Orba adalah dengan mengaktifkan moral kemunafikan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita disetel sedemikian rupa untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Tentu saja itu sementara. Suatu ketika ia pasti meledak dengan sendirinya.

Ketiga, kecanggihan lain yang tidak kalah penting dari rakitan bom waktu itu adalah jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Artinya, yang kuat menindas yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah ledakan yang luar biasa rawannya.

Keempat, rakitan bom waktu tersebut diperumit dengan tidak ditegak-kannya hukum. Hukum paling tidak diperlakukan sesuai dengan tuntutan rumus-rumus rakitan bom waktu. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, jika masalah ini diak-tifkan terus-menerus, maka potensi ledakannya akan menjadi luar biasa.

Kelima, bom waktu ditempatkan dalam suatu wadah yaitu sistem pendidikan yang diatur sedemikian rupa dalam konstelasi kepentingan tersebut di

Page 10: OK.docx

atas. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis me-ngontrolnya secara ketat. Entah itu berkaitan dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Keenam, bom waktu itu semakin diperkuat dengan jaringan-jaringan SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda, tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). Tentu ini merupakan kekerasan tersendiri. Kondisi ini justru membuat masyarakat tidak pernah dewasa dan, sekali lagi, sangat mengandung potensi ledakan yang hebat pula.

Kini, Pak Harto memang turun dari kekuasaannya. Akan tetapi, itu sama dengan mengaktifkan bom-bom waktu yang selama ini telah dirakitnya. Bahkan, jika kita melihat berbagai fenomena yang terjadi saat ini, tidak mustahil bahwa tombol pemicu ledakan itu ada di tangannya. Kalaupun tidak di tangannya, paling tidak secara umum masih ada di bawah kendalinya. Tidak perlu disebutkan apa dan siapakah mereka itu.

Karena yang lebih penting dari itu adalah bahwa kita sekarang sudah mengetahui ada beberapa bom waktu yang belum meledak, dan sewaktu-waktu siap me/diledakEan. Artinya, paling tidak ada dua tantangan sekaligus yang harus diatasi. Pertama, mengetahui letak-letak bom waktu itu terpasang atau dipasang. Kedua, jika hal tersebut sudah diketahui, cara kita menjinak-kan bom waktu itu Sejauh ini, memang tidak ada rumus (pola) yang pasti di mana saja ledakan-ledakan yang sudah terjadi sehingga dapat dijadikan acuan atau perkiraan di tempat lain lagi bom waktu itu terpasang dan setiap saat siap meledak. Kita hanya mengetahui bahwa berbagai ledakan tersebut terjadi pada tempat-tempat sebagai berikut :(1) Di tempat tersebut ada perbedaan kehidupan ekononji yang timpang

sehingga menimbulkan kecemburuan yang mencekam. Itu artinya, tesis ini secara tidak langsung ingin menyebutkan bahwa hampir di semua tempat di Indonesia merupakan tempat potensial terpasangnya bom waktu.Ada bias tertentu jika ketimpangan tersebut dimaksudkan ketidakadilan pembagian hue pusat-daerah, misalnya. Sebagai implikasinya, sebetul-nya ledakan mengarah pada pemerintah pusat, tetapi yang kena getahnya adalah mereka yang dianggap perpanjangan tangan atau representasi pemerintah. Bisa jadi ditujukan kepada mereka yang selama rezim Orde Baru mendapat keuntungan oleh rezim tersebut.

(2) Wilayah identifikasi keberadaan bom waktu itu semakin diperkecil dengan mengetahui aspirasi suatu masyarakat tertentu (bisa jadi berda-sarkan suku,

Page 11: OK.docx

agama, ras), selama ini tidak diperhatikan. Jika selama ini agak disia-siakan, atau bahkan justru dipolitisasi, dapat diperkirakan tempat tersebut potensial adanya bom waktu.

(3) Keberadaan bom waktu tersebut semakin bisa dipastikan jika ada indikasi-indikasi tertentu yang secara "fisik" mengarah ke arah terjadi-nya ledakan. Indikasi tersebut bisa disebut provokator, dalang-dalang gelap, dan sebagainya. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan gelagat-gelagat tertentu yang seharusnya dapat diketahui dengan segera jika sistem intelijen kita berjalan dengan baik. Akan tetapi, sebetulnya, seburuk apapun mekanisme dan sistem intelijen kita, bukankah terlalu sulit untuk membaca indikasi ledakan, kecuali memang ada unsur kesengajaan.

Sekarang, kita membayangkan telah mengetahui beberapa tempat diidentifikasi ada bom waktunya sehingga mau tidak mau perlu dijinakkan. Langkah spontan yang biasanya dilakukan tentu saja segera memanggil para ahli penjinak bom untuk segera mengatasi hal tersebut.

Ada beberapa kesulitan. Pertama, sebagaimana biasanya menghadapi bom waktu kita menjadi tegang karena dikondisikan waktu aktif masa bom waktu itu seketika dapat meledak. Ketegangan ini terus terang membuat kita gusar, gugup, marah, tidak bisa konsentrasi, grusa-grusu, bahkan tidak mus-tahil saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Kondisi ini sungguh memakan waktu sehingga pada akhirnya bom itu meledak juga.

Kesulitan kedua, jangan-jangan kita memang tidak punya ahli yang mampu menjinakkan bom waktu tersebut. Kalaupun punya, para ahli kita hanya mengetahui salah satu jaringan dalam bom waktu tersebut. Misalnya, mengetahui jaringan ekonominya, tetapi tidak mengetahui komplikasi jaring¬an lain. Ada yang ahli kabel-kabel moral, tetapi buta soal politik. Padahal, rakitan bom waktu yang canggih tersebut demikian kompleks sehingga dibutuhkan keahlian yang kompleks pula.

Hal demikian mungkin masih bisa diatasi jika ada upaya menyiner-gikan berbagai keahlian dalam satu jaringan kerja yang terpadu untuk mengatasi komplikasi rakitan bom waktu. Repotnya, kita lebih terkondisi oleh kesulitan pertama yang telah disebutkan di atas. Memang, mau tidak mau dibutuhkan mereka yang berkepala dan bertangan dingin untuk mengatasi bom waktu yang sedang aktif, yang sewaktu-waktu siap meledak. Kalau kita tidak menemukan "sosok" itu, dikhawatirkan bom-bom waktu akan meledak lagi.

Namun begitu, seperti kita lihat dalam film-film action, yang namanya menjinakkan bom waktu itu bukan saja keahlian dan kecekatan yang dibu¬tuhkan. Kadang- kadang dibutuhkan juga nasib baik. Kalau mujur, kita bisa sukses menjinakkannya. Kalau tidak, apa boleh buat. Siap-siap saja meng-hadapi ledakan berikutnya. Barangkali di tempat kita masing-masing.

Page 12: OK.docx

MENGURAI BENANG KUSUT

Sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka. Paling tidak sudah lima dasawarsa lebih Indonesia seharusnya memiliki kemandirian untuk memba-ngun masyarakat dan negaranya menjadi lebih baik. Namun, seperti kita ketahui bersama, saat ini kita berada dalam kondisi miskin dan pemiskinan, dan dalam situasi bunuh diri terus-menerus. Proses penghancuran terhadap hal-hal yang pernah kita miliki pun sedang berlangsung.

Sebagai perbandingan, misalnya, negara Jerman pada tahun 1945, akibat Perang Dunia II, nyaris hancur lebur. Dari 2.200 sekolah yang dimiliki negara tersebut, hanya 212 sekolah yang masih bisa dipakai menyekolahkan anak-anak mudanya. Selain itu, saat ini negara Jerman merupakan salah satu negara yang maju di Eropa, bahkan dunia.

Jepang pun demikian. Negara tersebut pada tahun 1945 hancur berkeping4ieping. Hampir sepertiga negaranya berantakan. Selain itu, secara geografis negara Jepang juga bukan negara yang "apa-apa punya". Negara Matahari itu adalah negara yang tanahnya tidak terlalu berbaik hati untuk memberikan sumbangan kekayaan. Namun, dunia tahu, sekarang Jepang merupakan negara yang Amerika pun sangat iri atas kemajuan dan kesuk-sesan yang ditempuh oleh masyarakat Jepang.

Belajar dari kenyataan itu, tentu ada sesuatu yang salah dengan sejarah pembangunan Indonesia. Dengan peluang yang tidak lebih buruk, dengan kondisi kekayaan alam yang berlimpah, dengan jumlah penduduk ratusan juta, letak geografis yang sangat strategis, seharusnya, paling tidak, Indonesia bukan malah menjadi salah satu negara paling miskin dan paling tidak beruntung di dunia.

Kondisi itu, kita sama-sama tahu, adalah sebagai berikut. Pertama, rendahnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang hanya berkisar 400 dolar Amerika per tahun jika rupiah hanya berharga Rp.8.000,-. Apalagi jika keadaannya lebih rendah dari itu. Ditambah dengan kenyataan lain. Pada pertengahan tahun 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 15,3 juta orang. Bahkan, pascakerusuhan dan tekanan krisis ekonomi dan politik yang semakin memburuk, angka pengangguran pada akhir Mei 1998 sudah menembus angka 21 juta orang.

Hal yang juga mengenaskan adalah ada 10 juta anak usm sekolah di Indonesia pada tahun 1998 tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Jjari catatan tersebut dapat diperhitungkan pendidikan dan kualitas SDM masyarakat Indonesia pada 20 hingga 30 tahun mendatang diramalkan mengalami penu-runan yang signifikan. Orang Indonesia, demikian laporan UNICEF, akan mengalami inferioritas memasuki abad ke-21.

Page 13: OK.docx

Pada pertengahan tahun 1997, orang miskin di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), tidak lebih dari 13 juta orang. Jumlah tersebut sempat merosot dibanding tahun sebelumnya yang masih berjumlah sekitar 25 juta orang. Angka tersebut sesungguhnya menggambarkan kesuksesan semu pemerintahan Orde Baru dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia yakni yang biasa disebut dengan program pengentasan kemiskinan. Bentuk program pengentasan kemiskinan tersebut dilaksanakan dengan diadakannya proyek-proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal).

Akan tetapi, pada awal bulan Juli 1998, BPS mencatat bahwa orang miskin (baru) pada akhir Mei 1998 tercatat sebanyak 79,4 juta orang. Bahkan pada akhir tahun 1998, jika hal tersebut tidak tertanggulangi, maka jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sebesar 95,8 hingga 100 juta orang lebih. Ukuran kemiskinan yang dipakai BPS cukup jelas yaitu bagi mereka yang konsumsi makannya per hari di bawah 2.100 kalori. Artinya, dari segi pemenuhan kebutuhan manusia yang hidup secara wajar, konsumsi di bawah 2.100 kalori dianggap miskin terlepas dari berbagai kondisi dan situasi yang berbeda.

Karena kekurangan gizi, itulah sebabnya, pada masa yang akan datang ada kemungkinan peluang (masyarakat) Indonesia untuk menggapai kemaju¬an justru mengalami kemunduran. Karena, secara fisik saja misalnya tinggi badan sebagian masyarakat Indonesia akan turun 2-3 cm. Di samping itu, IQ masyarakat Indonesia juga akan mengalami penurunan sebanyak 5 angka. Artinya, secara umum masyarakat Indonesia bertambah bodoh. Hal tersebut semakin menurun inteligensinya ini tentu saja berimplikasi sangat serius keti¬ka masyarakat Indonesia, mau tidak mau, harus bersaing secara kompetitif dan terbuka dengan masyarakat dunia, masyarakat global.

Tegasnya, alangkah banyaknya orang Indonesia kehilangan harapan terhadap perbaikan kehidupan dan masa depannya. Mimpi dan harapan-harapan masa depan masyarakat Indonesia pun dapat hancur berantakan. Masyarakat Indonesia yang de jure telah merdeka lebIh dari setengah abad, ternyata tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Negara yang merdeka tersebut dikelola dengan cara yang salah sehingga menjerumuskan bangsa dan negaranya ke jurang kehancuran.

Masalah-masalah tersebut di atas tentu saja tidak bisa diatasi dengan mudah. Untuk mengatasi persoalan tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan dalam sebuah siarannya pada Januari 1999 sebuah stasiun swasta memberi informasi bahwa perbaikan yang sedang dihadapi Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 35 tahun. Itu artinya hampir 2 generasi. Jika satu generasi diandaikan antara 15 hingga 20 tahun.

Kebutuhan waktu yang demikian lama itu membuktikan kondisi internal kita memang demikian buruk. Saya ingin menyebutkan bahwa kondisi internal itu

Page 14: OK.docx

seperti merajut benang-benang pembangunan yang salah urus atau bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi demikian kusutnya.

Kalau yang terjadi adalah merajut benang pembangunan, tetapi secara tidak sengaja tidak tahu cara merajut yang benar sehingga yang terjadi adalah kekusutan, mungkin sedikit bisa dimaklumi. Akan tetapi, jika kekusutan tersebut disengaja justru untuk melanggungkan kekuasaan, hal tersebut adalah sebuah kejahatan politik. Kita percaya yang terjadi adalah hal yang kedua ini. Tugas kita sekarang adalah mengurai benang kusut itu, untuk kemudian bersama-sama kembali membangun, meminjam istilah yang baru-baru ini disebut B. Anderson, demi sebuah proyek bersama (dalam ceramahnya di Grha Sabha Pramana UGM, 1998).

Hal-hal yang membuat kekusutan itu adalah sebagai berikut. Pertama, arogansi kekuasaan yang dijalin sedemikian rupa sehingga dengan sukses membangun dirinya menjadi hegemonik. Sebagai akibatnya, jalinan-jalinan kekusutan itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri mengurai dirinya walau diketahui ada yang tidak beres dengan uraian budaya kekuasaan tersebut.

Kedua, kekusutan lain yang tidak kalah membingungkannya adalah adanya jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Maksudnya, yang kuat menindas yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah bertam-bah lemah. Sebagai akibatnya, sekali lagi, anyaman yang kacau itu membuat masyarakat terperangkap dalam satu jalinan buntu, tidak tahu harus berbuat atau kalau toh tahu, tidak berdaya untuk bisa keluar dari kekusutan ekonomis tersebut.

Ketiga, sebagai akibat dari pertama, jalinan kekusutan itu diperkusut dengan adanya simpul-simpul mati KKN. Namun, saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya simpul-simpul KKN yang dirancang oleh pemerintah Orba adalah dengan membiarkan benang-benang kemunafikan. Kita tahu,bahwa begitu banyak hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita terperangkap sedemikian rupa dalam kekusutan itu sendiri. Artinya, jujur saja, kita sendiri tidak jarang merupakan bagian dari kekusutan itu.

Keempat, kekusutan itu diperparah oleh benang-benang hukum yang tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Paling tidak, hukum diperlakukan sebagaimana ia diatur dalam wacana yang telah disebutkan di atas. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, ketika masalah ini dibiarkan terus-menerus, maka dia meng-gumpal menjadi sebuah labirin besar.

Kelima._kekusutan itu diperparah oleh sistem pendidikan yang diatur sedemikian rupa dalam benang-benang kepentingan kekuasaan yang me-nyimpulkan dirinya secara salah, sebagai sumber dari kekusutan yang sedang kita

Page 15: OK.docx

bicarakan ini. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis me-ngontrolnya secara ketat, misalnya yang berkaitan dengan wacana keilmiah-an, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan seba-gainya.

Keenam, kekusutan itu semakin diperumit dengan jaringan benang SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). Kondisi ini justru membuat masyarakat memiliki pengetahuan yang palsu pula, yaitu posisi sebenarnya ia berada di luar atau di dalam kekusutan.

Sudah bukan rahasia, tentu ada yang salah dalam mengelola Indonesia pada masa-masa sebelumnya. Itulah sebabnya, sepantasnya kita geram (dan bahkan marah) terhadap berbagai kejadian yang menimpa sebagai akibat pemerintahan Orde Baru seolah membawa kita dalam kekusutan-kekusutan dan saat ini kita terperangkap di dalamnya.

Memang, disadari bahwa terjadinya berbagai kekusutan itu tidak sepenuhnya merupakan problem internal Indonesia. Sebegitu jauh ada faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi sehingga kejadian pahit yang terjadi sekarang ini tidak dapat dihindari. faktor-faktor eksternal itu antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, faktor yang bersifat makro (eksternal). Hal yang signifikan adalah perangkap tata hubungan intemasional yang timpang. Dalam arti, sebagaimana diketahui, negara-negara kuat yang dominan, sebegitu jauh telah membuat skenario dan mendikte negara-negara sedang berkembang agar terus-menerus dalam posisi ketergantungan dalam pengertiannya yang luas. Ketergantungan itu bisa dalam pengertian ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, dan seterusnya.

Hal ini tampak, misalnya bahwa struktur dan wacana kapitalisme, yang menjadi ciri dari rezim Amerika misalnya, hampir mewarnai seluruh kinerja masyarakat dunia. Misalnya dalam bentuk kehidupan ekonomi, pemanfaatan teknologi tinggi yang efektif dan efisien, gaya politik, serta berbagai gaya hidup sosial budaya lainnya.

Amerika sebagai negara adidaya tentu saja tidak mau melepaskan posisinya sebagai negara adidaya dan polisi dunia dengan mengalihkan secara mudah kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (berkat kerja keras dan sistem yang kondusif). Sebaliknya, perkembangan kemampuan negara-negara lain yang memiliki kapasitas untuk berkembang selalu ditekan dengan kekuatan yang mereka miliki.

Page 16: OK.docx

Penekanan tersebut bisa dengan mengekspor barang jadi secara terus-menerus. Masyarakat Indonesia misalnya, terlanjur menjadi konsumen dan penikmat pasif dari produk-produk jadi buatan luar negeri (negara maju) sehingga terlanjur tidak dikondisikan untuk berpikir agar barang-barang jadi tersebut bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.

Kemungkinan lain adalah dengan menghancurkan secara nyata kekuat¬an penyeimbang yang secara langsung dianggap berbahaya bagi posisi tanpa tandingnya. Hal itu tampak dari cara negara Amerika menghadapi Irak, bebe-rapa negara di Timur Tengah, dan Amerika Latin, serta kerja-kerja intelijen yang terselubung dan sangat rahasia untuk penggagalan semua kegiatan di luar negaranya yang dianggap berbahaya bagi kedudukan dominannya.

Kedua, karena faktor pertama yang cukup dominan, akibatnya lebih jauh negara berkembang seperti Indonesia, tidak memiliki kekuatan apa pun yang mampu dijadikan kartu untuk merumuskan dan merealisasikan^kemam-puan-kemampuan yang dimiliki dalam menentukan nasibny^sendjrju Parah-nya, skenario dalam posisi ketergantungan membuat kinerja masyarakat selalu dalam keadaan pas-pasan, untuk tidak mengatakan bahwa sebetulnya dalam banyak hal kita hidup dalam kondisi yang serba terbatas.

Tegasnya, bukan saja dalam skala luas rakyat Indonesia dikondisikan dalam kekusutan yang melibatkan tata hubungan internasional, melainkan juga secara internal kita juga terjerumus dalam kekusutan-kekusutan dari dalam negeri sendiri, kekusutan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, sungguh malang nasib bangsa dan masyarakat Indonesia karena paling tidak ada dua pekerjaan besar yang harus dihadapi, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang.Tadahal, kenyata-annya adalah bahwa tantangan tersebut harus dihadapi dalam kondisi yang buruk dan lemah dalam berbagai dimensinya.

Pertanyaan berikutnya adalah peluang bangsa dan masyarakat Indonesia untuk keluar dalam kekusutan tersebut. Meskipun memang sangat mence-maskan dan menakutkan tidak ada salahnya saya menguraikan beberapa ilustrasi dan analisis berikut.

Jawaban dari persoalan tersebut dengan mempersoalkan lebih dahulu hal yang lebih mendesak untuk "diatasi", problem yang bersifat eksternal atau internal. Jawaban bisa beragam, tergantung perspektifMan paradigma yang dipakai. Anggaplah ada suatu upaya internal dalam rangka mengurai kekusutan dalam negeri, tetapi hal tersebut belum tentu bisa berjalan sesuai dengan harapan jika kekusutan eksternal sama sekali tidak berubah.

Demikian pula sebaliknya, diandaikan ada upaya-upaya internasional untuk menata kembali kekusutan eksternal (internasional). Akan tetapi, hal

Page 17: OK.docx

tersebut juga menjadi tidak mungkin jika kekusutan internal sama sekali tidak menuju pada suatu penguraian yang jernih, konseptual, dan gamblang.

Jawaban yang diharapkan tentu saja melakukan penguraian kekusutan tersebut secara sekaligus. Namun, seperti juga telah disinggung, hal tersebut tampaknya akan mengalami banyak kendala terutama ketika negara dominan seperti Amerika tidak berniat untuk mengubah tata hubungan internasional yang terlanjur menguntungkan negaranya. Apalagi, bisa jadi kekusutan itu hanya dirasakan oleh negara seperti Indonesia, atau beberapa negara lain yang dirugikan oleh tata hubungan internasional yang tidak adil tersebut.

Jika perkiraan tersebut tidak terlalu meleset, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mengubah kekusutan tata hubungan internasional kecuali niat baik dari negara-negara adikuasa (super power). Barangkali yang bisa dikerjakan oleh negara-negara yang bergantung pada negara-negara kuat tersebut tidak lain adalah imbauan-imbauan moral agar negara kuat sedikti banyak bersedia mengomunikasikan sharing) hal-hal yang diperlukan demi terjaganya tata hubungan internasional yang adil, berkeseimbangan, saling menguntungkan, dan terbuka (fair).

Akan tetapi, imbauan moral tersebut akan tidak berdaya guna jika tidak ada satu alasan pun yang membuat negara-negara maju dan kaya tertarik untuk melakukan suatu perubahan kebijakan jika negara-negara yang berteriak tersebut kacau, kusut, tidak aman, HAM diabaikan, hukum tidak ditegakkan, dan sebagainya.

Itulah sebabnya, menilik persoalan itu tampaknya perjuangan dalam negeri (sendiri) untuk mengatasi berbagai kekusutan lebih mendapatkan alasan yang signifikan dan mendesak. Muncul pertanyaan kemudian adalah tidak mutlak dari mana pekerjaan tersebut bisa dimulai.

Seperti telah diuraikan pada tulisan terdahulu, paling tidak kita telah mengidentifikasi letak dan faktor-faktor yang menyebabkan kekusutan (internal) tersebut. Jawaban yang mungkin, sebagai ilustrasi, adalah dengan mengurutkan kembali satu per satu benang-benang yang terlibat dalam jalinan yang semrawut tersebut. Memang, dibutuhkan kehati-hatian agar dalam mengurutkan benang-benang tersebut tidak salah tarik sehingga justru menjadi tambah bulet.

Selain itu, dalam mengurutkan benang-benang yang kusut tersebut tidak saja membutuhkan waktu, tetapi sekaligus seperti dimulai dari awal. Memang, dalam situasi sekarang ini, tidak ada kata lain yang paling pantas diucapkan bahwa hampir dalam segala lini kehidupan kita harus memulainya kembali dari awal lagi karena yang kita miliki selama ini secara relatif sudah hancur(-hancuran).

Kita harus merunut kembali benang-benang politik yang terlanjur semrawut. Caranya dengan menegakkan etik dan hukum politik yang sesuai

Page 18: OK.docx

dengan nilai-nilai (agama atau Pancasila) sejauh hal tersebut memang sesuai dengan kejujuran dan keikhlasan hati nurani. Kita harus mengurai satu per satu benang-benang jaringan ekonomi yang selama ini tentu saja ada salah jalur sehingga KKN merajalela misalnya.

Benang-benang hukum harus ditegakkan. Walaupun itu berat dan barangkali menyakitkan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini diuntung-kan. Benang-benang pendidikan dirajut kembali sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk yang bermutu dan diharapkan mampu membantu menguraikan benang-benang yang kusut itu.

Masalah SARA, HAM. dan sebagainya harus didefinisikan ulang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman, dan disosialisasikan sedemi¬kian rupa sehingga diharapkan tidak menambahkan kekusutan, dan sebagai-nya,

Sekalipun ajakan tersebut tentu saja sangat sulit untuk direalisasikan, tidak ada rumus yang pasti selain kekuatan, kerja keras, dan niat baik dari diri kita sendiri. Seperti kata Tuhan, Ia tidak akan mengubah nasib sebuah bangsa (kaum, masyarakat) jika masyarakat tersebut tidak (bermaksud, berniat, tidak mau kerja keras) mengubah kehidupannya sendiri. Artinya, kalau niat dan kerja keras itu tidak ada dalam diri kita, jangan menangis kalau nasib bangsa dan masyarakat Indonesia selalu dalam kemalangan.

Page 19: OK.docx

BERSAMA KOLUSI MENUJU MASYARAKAT ADILDAN MAKMUR

Pemerintahan siapa pun di Indonesia, selalu ditantang untuk membuk-tikan janjinya menghapus kolusi, korupsi, nepotisme, dan sebagainya pada masa-masa yang akan datang. Di sini saya hanya menyinggung persoalan kolusi karena ia menjadi rangkaian utama dari terjadinya korupsi dan nepotisme yang kemudian memunculkan beberapa persoalan. Pertama adalah kemungkinan terjadinya hal tersebut. Kedua, adalah berkaitan dengan mungkin atau tidak yaitu dampak sesungguhnya kekolusian itu berdampak bagi perubahan-perubahan (sosial) ke arah kemajuan seperti telah digarisba-wahi oleh GBHN yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Hal penting yang perlu dipersoalkan adalah status perilaku kolusi tersebut merupakan perilaku spontan dan insidental atau lebih merupakan suatu sikap kebudayaan. Upaya identifikasi ini sangat penting dan mendasar karena berkaitan secara langsung dengan kemungkinan perilaku kolusi dan segala dampaknya itu dapat dihilangkan atau tidak. Pendek kata, jika kolusi adalah kasus spontan dan insidental, cara memahaminya akan berbeda jika kolusi itu lebih sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan sikap kebudayaan.

Pada dasarnya kolusi adalah terjadinya aktivitas persengkongkolan, perkongkalikongan, antara dua pihak atau lebih berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan tertentu, dan biasanya bersifat politis dan ekonomis. Wacana persekongkolan atau perkongkalikongan bagaimanapun bernada dasar nega-tif, sesuatu yang dianggap tidak baik, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan di bawah tangan. Lain halnya jika dinamakan kerja sama, yakni bisa berkonotasi netral, negatif, maupun positif.

Persekongkolan terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mengenal, terlebih-lebih ada unsur persaudaraan dan kekeluargaan di dalamnya (nepotisme), juga antara atasan dan bawahan, yang memiliki kesamaan-kesamaan tujuan dan ambisi, yang relatif saling tahu sama tahu, dan pada umumnya merupakan kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan.

Kegiatan kolusi bisa tanpa rencana, tetapi dapat pula karena direnca-nakan sebelumnya, tergantung situasi yang memungkinkan dan mengondi-sikannya. Yang tidak terencana, misalnya, ketika ada pihak tertentu secara sengaja atau tidak mengetahui kejahatan pihak lain. Kemudian, pihak yang melakukan kejahatan tersebut, agar kejahatannya tidak menyebar, membe-rikan tawaran kerja sama kepada pihak yang mengetahui. Kolusi terjadi atau tidak bergantung pihak yang mendapat tawaran kerja sama.

Page 20: OK.docx

Karena kolusi pada dasarnya kegiatan "ilegal" yang menguntungkan, sangat sering tawaran tersebut diterirtla. Kemudian, terjadilah kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan itu. Kalau dikatakan ada perencanaan, justru pada tindak korupsinya.

Akan tetapi, tidak jarang pula justru bentuk kolusi sangat terencana. Dalam bahasa yang lebih populer semacam ada rekayasa. Saya percaya bentuk rekayasa-rekayasa inilah yang secara umum sesungguhnya terjadi, baik dari bentuk kolusi yang secara politis dan ekonomis beruang gerak kecil (level rendah) hingga beruang gerak luas (level tinggi). Sebagai contoh, katakanlah pemilihan ketua RT di satu sisi dan pemilihan presiden di sisi lain.

Di sini memang secara sengaja hanya disebutkan beruang gerak politis dan ekonomis. Juga tidak secara spesifik menyebutkannya yang lebih dominan dan sebagai motif bagi yang lain. Padahal, tentu saja ada faktor lain yang juga saling berpengaruh dan bergantung. Bagaimanapun, kedua faktor tersebut dianggap cukup representatif bagi kemungkinan-kemungkinan lain.

Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan bentuk kolusi terencana itu selalu terjadi. Pertama, bahwa pada dasarnya motif-motif dengan tujuan tertentu tidak dapat direalisasikan begitu saja tanpa kerja sama yang berarti dari berbagai pihak. Untuk mengatasi struktur politik maupun ekonomi di Indonesia, agar dapat berdiri di atas (menguasai), bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dikerjakan seorang diri. Dibutuhkan kerja sama yang terkonvergensi, semacam konglomerasi (pemusatan), agar tujuan tersebut dapat terfokus dan menggumpal.

Itulah sebabnya, tidak jarang banyak orang justru memanfaatkan pe-luang-peluang "budaya" untuk tujuan-tujuan itu. Misalnya, budaya harmoni yang menghindari konflik, sikap tidak berani berkata terus terang, pakewuh yang tidak pada tempatnya, maupun sikap-sikap tidak kritis lainnya.

Kedua, struktur birokrasi sosial kemasyarakatan yang relatif tertutup, sehingga memberi peluang bagi masyarakat yang berkepentingan, untuk melakukan pembicaraan tersembunyi pada setiap levelnya secara aman. Hal tersebut sesungguhnya terjadi lebih karena adanya unsur feodalisme, sehingga proses struktur birokrasinya mengalami perpanjangan yang tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidakefisienan tersebutlah yang secara langsung memberi peluang bagi permainan-permainan tidak resmi dan terselubung, seperti secara umum kita disebut kolusi.

Mengingat kebiasaan itu merupakan suatu pola perilaku yang terjadi secara sistemik dan berkelanjutan, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kolusi merupakan suatu pola umum yang membudaya. Jika ia menjadi suatu sikap budaya, kebudayaan mengalami kesulitan tertentu untuk mem-bongkar dirinya bertransformasi ke satu sikap budaya lain yang berbeda. Apalagi jika

Page 21: OK.docx

kemungkinan transformasi tersebut tidak atau belum menjan-jikan keuntungan apa pun. Hal nilah yang biasa disebut bahwa kebudayaan mengatasi aspek struktural (mekanisme rasional).

Kesadaran tentang adanya ketidakberesan terhadap budaya kolusi tersebut terjadi ketika wacana yang dipakai dalam melihat persoalan berdiri di luar kondisi wacana budaya yang dimaksud. Karenanya, dalam hal ini tinjauan yang objektif dan ilmiah, yang berkaitan dengan dampak budaya yang merugikan cita-cita nasional demi pencapaian masyarakat adil dan makmur, mendesak untuk dibuktikan lebih jauh.

Paling tidak ada dua dampak. Pertama, sederhananya bila ditempatkan dalam kepentingan ekonomis. Secara langsung budaya kolusi ikut menjaga dan menimbulkan korupsi, manipulasi, dan segala bentuk pengambilan uang negara (masyarakat) untuk keperluan yang sifatnya pribadi. Bisa pula dalam pengertian yang lebih luas, seperti korupsi waktu. palam hal ini budaya ko¬lusi secara langsung ikut memelihara sikap tahu sama tahu, saling pengertian, atas berbagai kejahatan yang sedang dan akan terjadi.

Dengan sikap itu, begitu banyak kejahatan (ekonomi) yang tidak terbongkar. Kalaupun toh terdeteksi oleh sistem dan mekanisme yang dimungkinkannya, untuk proses lebih lanjut sering pula diselesaikan secara kolutif. Akibat pengunaan dana untuk keperluan pribadi itu, paling tidak maksimalisasi penggunaan dana untuk keperluan pembangunan nasional menjadi terganggu atau tidak maksimal. Itu artinya, keadaan semacam itu ikut memperlambat kemajuan nasional dalam meraih masyarakat adil dan makmur.

Kedua, dalam kepentingan politis (sosial), budaya kolusi ikut melesta-rikan hal-hal yang bekaitan dengan penyalahgunaan jabatan, kepentingan-kepentingan politik pribadi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan sebagainya. Akan tetapi, karena terlanjur dalam telikungan kolutif, maka banyak orang menjadi tidak memiliki keberanian untuk mempersoalkannya. Bukan saja pada sisi tertentu kita tahu sama tahu bahwa tidak ada jalur hukum yang jelas untuk mempersoalkan hal tersebut, melainkan seperti domino principle. Bisa jadi, jangan-jangan kita pun ikut kena getah dari berbagai kasus-kasus tidak sehat itu. Sebagai contoh yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan. Dalam dunia demokratis dan kompetitif, seharusnya seseorang mendapatkan peluang politis dan sosialnya, sesuai dengan prestasi yang dihasilkannya. Namun, karena adanya faktor kolutif, maka begitu banyak orang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya, prestasi yang dimungkinkannya, dan sebagainya. Akibatnya, begitu banyak persoalan yang berkaitan dengan cara men-capai masyarakat yang sehat, berkualitas, bersaing secara sportif, sebagai indikator penting masyarakat adil dan makmur, tidak ditangani oleh manusia-manusia (SDM) yang berkualitas, berprestasi, dan proporsional sesuai dengan SDM yang selayaknya pula.

Page 22: OK.docx

CATATAN DARI PINGGIR J ALAN (I)

"Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku."(Goenawan Mohammad, "Tentang Seorang Yang Terbunuhdi Sekitar Hari Pemilihan Umum ",dalam Asmaradana Pilihan Sajak 1961-1991, Jakarta, 1992.

Dapat dipastikan, jika musim kampanye tiba, hampir sebagian besar orang Indonesia berbicara, membahas, menyaksikan, sesuatu yang bernama kampanye. Dari anak-anak hingga nenek-nenek, dari gadis yang malu-malu kucingmngga pemuda yang berandalart, dari pemulung hingga pilot, dari ketua RT hingga presiden, semuanya berurusan dengan kampanye. Jangan tanya, apakah Tuhan tidak tahu-menahu urusan kampanye di Indonesia.

Akan tetapi, hal ini bukan persoalan kampanye an sich. Sudah begitu banyak yang membahas persoalan kampanye, baik di media massa, pada berbagai seminar, dalam berbagai obrolan, dan sebagainya. Uraian ini hanya semacam catatan kecil dari dunia luar kampanye 1997. Catatan tercecer dari seorang penonton di pinggir jalan sambil menggendong atau memangku anaknya. Tentu saja sambil mengajarkan dengan sabar kepada sang anak yang balita itu, warna ini punya cara mengacungkan jari, dan warna itu pun punya cara harus diacungkan. Karena jika keliru, tidak peduli dia balita berumur dua tahun, kakek-kakek yang hampir sakratul maut, wanita hamil, kepalanya bisa bengkak bahkan bocor.

Yang pasti, pada akhirnya saya dipaksa untuk tidak begitu peduli tentang anak saya itu mengerti atau tidak dengan penjelasan saya, berkaitan dengan arak-arakan massa, kibaran warna-warna tertentu, acungan jari, suara motor dan polusi, dan juga orang-orang yang terkesan beringas dan heroik. Saya katakan pula bahwa bisa jadi arak-arakan massa itu hanya untuk senang-senang belaka, sebagai upaya memanipulasi kesuntukan, keresahan, kepengapan, ketakutan, yang secara niscaya dihadapi sehari-hari bangsa Indonesia.

Sambil membetulkan jari-jarinya yang mungil, saya terus memberi penjelasan. Bahwa kita, bangsa Indonesia, hari-hari ini sedang menghadapi

suatu peristiwa yang Insya Allah terjadi lima tahun sekali, yakni pemilu, suatu peristiwa yang, katanya, biasa disebut sebagai pesta demokrasi.

Sekali lagi, walaupun saya tidak peduli bahwa anak saya mengerti atau tidak, tetapi dalam banyak hal saya tetap berniat baik dengan menyensor beberapa hal. Khawatir juga saya jangan-jangan dia mengerti. Misalnya, saya tidak meneruskan keterangan pengertian pesta demokrasi, pihak-pihak yang berpesta, dan apakah mereka yang ramai-ramai itu memang juga sedang berpesta. Bagi saya istilah pesta demokrasi bukan konsep yang berlebihan.Kemungkinan istilah pesta lebih dimaksudkan upaya rekayasa atas kebodohan, ketidaktahuan, irasionalitas, dan massa mengambang untuk tujuan politik tejtentu

Page 23: OK.docx

Di dalamnya terjadi semacam dialektika bahwa masyarakat mengambang melihat pesta demokrasi sebagai kesempatan untuk memuntahkan segala kemualan yang bertahun-tahun menyesakkan dada.

Tapi baiklah, the show must go on. Tidak ada yang perlu disesali, apalagi ditangisi. Bagaimanapun, kampanye, atau tepatnya pemilu, adalah peristiwa teramat penting yang menentukan jalannya bangsa dan negara. Pemilu kadang diandaikan sebagai tolok ukur utama bagi kcberlangsungan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik, sehingga jika itu tidak terjadi masyarakat sedunia akan meragukan kepercayaan atas bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang layak memiliki kemandiri-an mengurus dirinya sendiri.

Kembali saya jelaskan kepada anak saya. Engkau boleh percaya boleh tidak jika segala bentuk kampanye, dari yang monologis hingga dialogis dengan segala wacana dan bentuknya itu, merupakan pendidikan politik. Namun, engkau boleh juga tidak percaya jika segala aktivitas yang berkaitan dengan pemilu merupakan penyangga utama bagi beban pendidikan tersebut. Pendidikan politik tidak bisa dibebankan pada satu peristiwa belaka. Pendi¬dikan, apa pun namanya, adalah proses berkelanjutan sedini mungkin dan sepanjang hidup.

Namun begitu, karena terlanjur salah kaprah, atau memang dengan sengaja pura-pura tidak tahu, selalu saja konsep pendidikan politik dalam pengertian yang paling permukaan itu dieksploitasi sedemikian rupa sehingga selalu terjadi keterpenggalan sejarah pemahaman terhadap jalannya pendi¬dikan dan kesadaran berpolitik.

Akibatnya, dari waktu ke waktu selalu muncul satu generasi yang rawan pengetahuan politik. Satu generasi yang siap berpartisipasi secara semu, bukan berdasarkan kepentingan yang sangat terkait dengan dirinya, bukan pula karena berdasarkan satu kesadaran yang konseptual terhadap arah, arus, dan realitas politik yang sesungguhnya, melainkan lebih sebagai satu generasi penggembira belaka.

Pada taraf inilah rekayasa politik berperan besar untuk menggiring para penggembira tersebut, pada suatu peristiwa politik, apa pun itu namanya. Tidak hanya kebetulan pemilu, tetapi demikian pula untuk peristiwa lain yang, anehnya, selalu saja dapat dikaitkan dengan kepentingan politik.

Lantas, mungkin juga ada yang salah? Kalau saya meneruskan pernyataan itu, dengan mencoba mencari-cari pembenaran, itu artinya saya tidak mencoba untuk menghindari cara pengkambinghitaman. Jelas pula bahwa hal tersebut tidak memberi jalan keluar dari kemelut persoalan. Yang perlu dilakukan bukan soal cara mencari kambing hitam, lebih dari itu adalah niat baik untuk menyadari kesalahan dan upaya memperbaiki kesalahan sejarah (pendidikan) politik.

Page 24: OK.docx

Masa depan ditentukan dari seberapa jauh kita memiliki kesungguhan, kejujuran, kecermatan, kehati-hatian, dalam merajut semua jaringan yang penting dan relevan di hari-hari ini. Entah itu jaringan-jaringan politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu saling gayut, antara satu sama lain tidak dapat diabaikan atau djanakernaskan^ Dengan berat hati, saya katakan hal itu kepadanya.

Terbayang di kepala saya, hal yang dilakukan oleh anak saya lima belas atau dua puluh tahun mendatang realitas politik yang akan dihadapinya dan pengetahuan politik yang dipahaminya. Hal-hal yang lain pula misalnya kebodohan, irasionalitas, kemajuan, dan kepiawaian yang akan dialaminya. Lamunan saya buyar, karena sambil tergopoh-gopoh saya membetulkan acungan jarinya ketika saya mengetahui yang tertekuk hanya jari jempol. Acungan jari yang keliru, sama halnya dengan mengundang kejahatan, mengundang bahaya, baik pada tingkat pribadi, lokal, dan nasional.

Memang, di hari-hari ini, hampir setiap sore, sambil momong, dengan setia saya berdiri di pinggir jalan. Seperti kita ketahui, dunia luar kampanye, bukan berarti tidak kalah gayeng dan ramai dibandingkan para massa perserta kampanye. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dunia luar kampanye justru lebih meriah dibandingkan kamrjanye, Dunia luar kampanyelah yang memiliki kesempatan (kans) untuk membahas persoalan kampanye hampir dua puluh empat jam penuh.

Artinya, masyarakat (awam), kalau boleh disebut demikian, seperti terkooptasi sedemikian rupa untuk ikut berpartisipasi dengan caranya sendiri-sendiri. Barangkali kerawanan pengetahuan politik lebih dapat dirasakan. Namun, itulah realitas politik Indonesia. Di dalam dirinya, tidak ada satu ke-harusan pun untuk menentukan yang benar dan yang salah. Masyarakat

(awam) sungguh sangat bebas memberi arti, mencoba memaknai apa pun peristiwa (politik) yang dilihatnya, yang dirasakannya, yang dihadapinya, atau yang disukai dan tidak disukainya.

Terbesit juga keraguan di hati, sebetulnya saya sedang berbicara dengan siapa. Apakah betul saya sedang mengajak diskusi anak saya. Jangan-jangan saya hanya bercakap-cakap dengan diri sendiri. Satu metode protes yang memang tidak canggih, ketika disadari cara lain tampaknya tidak mungkin. Yang tidak mustahil dirasakan pula oleh sebagian besar orang Indonesia.

Page 25: OK.docx

CATATAN DARI PINGGIR JALAN (II)

kalaulah hidup adalah perjudian jangan pikir arti kalah dan menang kita butuh bertahan hingga malam larut dan fajar mencapai Tepian tanpa luput("Syair Perjudian", Suminto. A. Sayuti dalam Syair-Syair Cinta, J990)

Hari-hari musim kampanye, menonton pawai kendaraan bermotor bagi saya seperti memenuhi kewajiban. Karena punya anak balita yang nakal, untuk menenangkannya saya menggertak-sayang bahwa jika masih tetap nakal tidak diajak menonton kampanye. Jika tidak mau makan, tidak dibawa melihat kampanye. Jika tidak mau tidur, kampanyenya dibatalkan.

Saya pun tidak tahu pasti, letak kekuatan kata-kata kampanye itu, sehingga sang anak relatif patuh dibandingkan hari-hari sebelumnya. Mungkin di matanya kampanye itu adalah sesuatu yang menyenangkan, beramai-ramai berkendaraan motor, aneh, mengherankan, bendera-bendera yang ber-kibaran, sesuatu yang sangat mencuri perhatiartT (Jangan lupa, hampir setiap balita paling suka diajak berjalan-jalan dengan kendaraan).

Setiap usai menunaikan perintah, begitu mendengar suara raungan motor, dengan tegas ia menuntut haknya untuk menonton konvoi motor itu. Nah, sebagai bapak yang baik, saya harus memenuhi janji. Walaupun saya juga tidak perlu merasa munafik, bahwa jangan dikira menonton kampanye dari pingir jalan itu kalah asyik dibanding yang ikut kampanye. (Jangan dikira saya tidak suka menonton kampanye).

Karena sering, secara tidak sengaja kami merasa di antara sesama penonton kampanye teman sekampung, seperti membentuk satu komunitas tersendiri. Cm_kojnunjJas yang kami bentuk antara lain tidak fanatis terhadap satu OPP tertentu, dengan cara berpartisipasi penuh terhadap OPP setiap OPP dengan membawa kain berwarna atau bendera sesuai dengan yang sedang berkampanye. Sembari tentu saja selalu mengacungkan jari, karena tidak ingin cari perkara

Dapat diperkirakan, komunitas seperti itu juga terbentuk bagi pengen-dara kendaraan umum dan pribadi. Mau tidak mau, pada kampanye untuk OPP tertentu mereka terpaksa atau tidak memberi kode khusus berupa warna, acungan jari, agar dianggap simpatisan, orang dalam, atau komunitas sendiri.

Dengan begitu, secara langsung atau tidak, ketakutan terhadap arak-arakan secara kontemporer memiliki kekuatan memaksa untuk menetralkan fanatis-me bagi komunitas bayangan itu, meminjam terminologi B. Anderson (1991), siapa pun ia jika secara kebetulan berdiri di luar komunitas inti (merupakan) peserta kampanye.

Jadi, kata saya memulai ceramah kepada sang anak, coba kamu hitung berapa biaya yang harus dibuang untuk kegiatan drama politik seperti yang kamu

Page 26: OK.docx

lihat itu. Berapa ratus ton bensin, berapa ribu yard kain, berapa korban nyawa dan luka-luka, biaya kerusakan kendaraan dan bangunan (fisik), cat, waktu produktif yang harus terbuang, perkelahian dan permusuhan, dan lain sebagainya. Belum dampak polusi yang disebabkannya, pada kesehatan manusia, kesehatan ekologis, dan kesehatan alam semesta.

Tidak jarang banyak orang berkata politik itu mahal, mahal sekali. Jangankan cuma sekadar biaya material, nyawa puluhan ribu orang saja bisa beterbangan percuma. Dalam sejarah peradaban manusia, politik (ambisi terhadap kekuasaan) memang paling banyak memakan korban manusia. Jadi, jangan salahkan jika hingga hari ini begitu banyak orang yang masih memi¬liki persepsi bahwa politik itu kejam, kotor, dan tak punya hati nurani. Kare-na, tampaknya begitulah.

Oleh karena itu, engkau anakku, yang raj in dan bijaklah belajar. Hingga pada tataran tertentu engkau memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai khususnya berkaitan dengan politik apa pun. Karena, jika engkau tidak waspada terhadapnya, bukan saja engkau akan tertipu dan engkau juga dapat terbunuh olehnya.

Namun, dalam politik persoalannya bukan soal mahal atau tidak, boros atau tidak. Tapi seberapa jauh memberi makna yang signifikan bagi proses pemanusiaan yang dapat dipertanggungjawabkan, beradab, agar pencapaian kualitas kemanusiaan kita tidak semakin merosot seperti akhir-akhir ini kita amat mengkhawatirkannya. Bayangkan, hanya gara-gara simbolisasi jari saja, bisa terjadi pembantaian dan pertumpahan darah.

Untuk sementara pembicaraan terhenti. Raungan suara motor-motor membuat saya agak ragu atas kekuatan suara saya yang sudah setengah berteriak. Tak lama kemudian, saya lanjutkan. Berkampanye itu, Nak, tidak lebih seperti orang yang sedang asyik berjudi. Letak keasyikannya adalah proses berharap bahwa untuk taruhan berikutnya, kitalah yang bakal memenang-kannya. Jadi, lebih pada proses berharapnya. Sementara itu, kemenangan atau kekalahan, hal itu adalah persoalan lain.

Ya, tentu saja tidak sama persis. Kalau bermain judi, bermain kartu remi, sam gong, kiu-kiu, misalnya, hampir boleh dikatakan bahwa kita tidak

tahu persis pemenang pertaruhan. Masa depan adalah misteri. Prinsip itulah yang barangkali membedakannya. Dalam kampanye, tepatnya pemilu di Indonesia, pengetahuan yang bakal menang dan kalah, tampaknya seperti menjadi rahasia umum. Paling tidak hingga pemilu 1997.

Tidak perlu merasa bersalah, tentu saja hampir semua orang berharap dialah yang bakal memenangkan perjudian. Untuk itu, ada beberapa hal yang saling bergantung, nasib baik, keahlian, dan jenis/peraturan permainan. IJal tersebut masih perlu ditambah dengan keberanian melakukan keterampilan kasak-

Page 27: OK.docx

kusuk, dengan melakukan manuver-manuver tertentu agar pertarungan sedapat mungkin dapat dimgnangkari.

Tidak perlu bertanya politik cara memenangkan perjudian, soal fair play, dan sportivitas pun sangat dijunjung tinggi. Pertanyaan itu hanya menunjukkan bahwa kita masih infantil, lugu, bahkan tak tahu diri. Kiat, taktik, strategi, muslihat, trik-trik, metode, merupakan anak kandung yang harus dimanfaatkan dengan baik ketika seseorang harus berpolitik. Kalau ia tak memahami hal itu, jangan coba-coba terjun ke dalam misteri masa datang. Kembali saya terhenti untuk tersenyum sejenak. Seorang ibu yang mungkin telah berumur enam puluh tahun, yang hampir setiap sore kami bertemu dengannya, selalu punya cara yang khas ketika merespons parakampanyewan dan kampanyewati. Sambil mengacungkan jarinya, ia menekuk ia menekukan kakinya, berulang kali, dengan cara yang sama dan terus-menerus. Suatu gerakan yang dalam pandangan saya menjadi sangat sakral.

Terbayang di kepala saya, apa yang ia bayangkan dalam benaknya yang telah banyak makan asam garam itu. Apakah ia sungguh bergembira? Apakah ia tidak sedang menertawakan arak-arakan itu? Apakah ia jenuh dengan kehidupan sehari- harinya, sehingga kampanye menjadi hiburan alter-natif. Kalau itu yang terjadi, perlu diusulkan kepada pemerintah agar kampanye pemilu sebaiknya dilangsungkan sekali setahun. Bisa jadi sesungguhnya ia hanya ingin menyaksikan cucunya yang saya tahu setiap ada kampanye ikut turun ke jalan.

Apa pula yang dipikirkan oleh anak saya? Apakah ia juga jenuh dengan kehidupan sehari-harinya sehingga perlu hiburan alternatif?

Saya melihat ke arah jam tangan. Sudah hampir dua setengah jam kami duduk pada sebuah tembok pagar di pinggir jalan itu. Sudah untuk yang ketiga kalinya pula saya bertanya kepada anak saya apakah ia sudah capai atau mengantuk dan perlu pulang. Selalu saja dijawabnya belum. Padahal punggung saya seperti hampir patah dan mata pun seperti berkunang-kunang. Rasanya, kualitas keasyikan dalam menikmati arak-arakan mendekati titik nol. Namun, demi memenuhi kewajiban, saya harus bertahan.

Keasyikan seorang anak mungkin mengalahkan rasa capainya. Karena kasihan, dia saya pangku. Dengan harapan, ia semakin menikmati dalam me-nyaksikan massa yang berseliweran hilir mudik dan berteriak-teriak dengan motor. Saya tidak tahu letak kesalahan saya karena berinisiatif memang-kunya. Yang jelas beberapa menit kemudian, saya baru tahu ternyata anak saya telah tertidur dengan pulas.

Mungkin dia bermimpi. Minimal saya berharap dia bermimpi karena bermimpi itu penting. Bermimpi menjadi pahlawan, atau katakanlah seperti seorang pendekar, pemberantas kejahatan, ketidakbenaran, kemunafikan, dan sebagainya

Page 28: OK.docx

MENGKHIDMATI BENCANA NASIONAL

Kita perlu prihatin yang mendalam sekaligus mengkhidmati berbagai musibah yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai belahan bumi Indonesia. Ada musibah kecelakaan kapal (air/laut), musibah pesawat (udara), seperti yang terjadi di dekat Medan,kecelakaan lalu lintas (darat), berbagai kerusuhan, perkelahian/peperangan massal antar sesama kita, teror-teror bom, dan lain-lain yang menimpa secara beruntun dan memakan korban yang besar.

Sesungguhnyalah kita tetap menempatkan berbagai peristiwa itu sebagai musibah, bukan tragedi, apalagi malapetaka. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa pada dimensi tertentu yang terjadi adalah malapetaka. Memang, ada beberapa kata yang senada dengan konsep kata yang meng-implikasikan duka cita tersebut. Selain yang telah disebut, misalnya, ada ungkapan lain yaitu halangan, kecelakaan, cobaan, dan sebagainya.

Setiap kata memiliki kadar kedukaan yang berbeda-beda. Di antara beberapa kata di atas, yang dianggap cukup ringan mungkin halangan dan kecelakaan. Yakni terjadinya suatu peristiwa yang dianggap mengganggu, merugikan, menyakitkan, mengambil korban dalam perkiraan sewajarnya. Sebagai contoh, jika ada dua motor bertabrakan, selalu saja kita menama-kannya sebagai kegeJakaan.

Kata lain yang lebih netral barangkali musibah. Secara langsung tampaknya kata tersebut mengandung unsur nrima, atau tawakal. Dia bisa dikenakan untuk peristiwa tertentu yang mengambil kerugian besar, kecil atau sedang. Walau, tentu saja ukuran musibah itu sangat relatif, tergantung dari sudut dan kepentingan kita melihatnya. Bisa dikenakan untuk tabrakan dua motor, tabrakan beruntun di tol, kebakaran, bahkan untuk kejadian sekelas tenggalamnya kapal Tampomas atau banjir besar dan gempa bumi.

Kemudian, katakanlah di antara berbagai peristiwa yang meruyak itu yang dianggap cukup serius adalah bencana atau tragedi, dan lebih-lebih malapetaka. Dalam arti, jika berbagai peristiwa yang biasanya mengheboh-kan itu terjadi secara beruntun dan berkelanjutan, tak pelak kita menamakan nya semacam adanya malapetaka. Seperti halnya menyiratkan sebuah kutukan.

Apa pun nama peristiwa yang biasanya tidak dikehendaki itu, sesung-guhnya secara umum di dalamnya adalah peristiwa ke-celaka-an. Tulisan ini dengan sengaja memakai sudut pandang kecelakaan untuk semua kategori semantis dimaksud.

Yang menarik dari berbagai musibah tersebut adalah telah terjadi sinisme yang akut terhadap berbagai peristiwa kecelakaan sehingga, barang-kali, sebagian besar dari kita dipaksa untuk tidak percaya bahwa rentetan bencana yang mengambil korban materi dan nonmateri itu memang sungguh-sungguh sebagai

Page 29: OK.docx

peristiwa musibah murni. Walau bukan berarti kita tak menerima peristiwa kecelakaan tanpa reserve keprihatinan. Apalagi bila peristiwa kecelakaan itu secara khusus berhubungan langsung dengan dirinya sendiri, keluarganya, kerabatnya, sahabat dan teman, dan seterusnya.

Cuma yang namanya kecelakaan tetap kecelakaan. Ketika peristiwa kecelakaan itu terjadi, tentu banyak pula cara dalam memahami atau mengapresiasi peristiwa tersebut. Biasanya, dalam konteks inilah kita sering bertengkar. Di satu pihak ada yang mencoba mencari kambing hitam karena berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya. Mungkin pula ada yang menerimanya sebagai takdir, yakni semacam kepercayaan bahwa peristiwa kecelakaan itu merupakan bagian dari skenario Tuhan.

Terlepas dari itu, menjadi masuk akal jika pertanyaan alasan/sebab sinisme yang sungguh menggelisahkan itu bisa terjadi Secara umum terjadinya peristiwa kecelakaan memang ada tiga kemungkinan. Pertama, kecelakaan karena kesalahan atau kekhilafan manusiawi. Hampir semua peristiwa kecelakaan sebetulnya dapat masuk dalam kategori ini. Tabrakan beruntun, jatuhnya pesawat terbang, kebakaran, atau bahkan kebanjiran, kecuali mungkin gempa bumi, gunung meletus, dan angin topan. Hal yang disebutkan terakhir tampaknya memang di luar kekhilafan manusiawi.

Persoalannya, apakah kekhilafan dan kecerobohan manusiawi itu merupakan pula bagian dari skenario Tuhan, itu kemungkinan kedua. Karena, kita memang tidak pernah bisa membuktikan unsur kealpaan itu murni adalah kecerobohan manusiawi, atau jauh sebelumnya memang telah disetel sede-mikian rupa oleh yang lebih Maha menentukan.

Dengan demikian, dari dua kondisi di atas paling tidak ada istilah kesalahan nonteknis/manusiawi dan kesalahan teknis. Kasus jembatan layang yang runtuh, misalnya, ada dua kemungkinan. Kesalahan manusiawi karena salah/kealpaan perhitungan. Sebagai kealpaan manusiawi ia sungguh sulit untuk dihindari. Tetapi mungkin pula ia masuk ke jenis kesalahan kedua yakni kesalahan teknis yang sebetulnya dapat dihindari.

Ilustrasi lain adalah banjir (bandang). Ia bisa masuk sebagai kecerobohan teknis dan nonteknis yakni kesalahan perhitungan sebagai sesuatu yang bisa diatasi, sedangkan kesalahan nonteknis sebagai satu kelemahan

Page 30: OK.docx

MASOKISME SOSIAL

Kadang-kadang kita merasa bahwa Indonesia kok tidak maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas politik yang njelimet, mubazir, dan menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin banyak orang Indonesia yang kesulitan mencari makan dan perlahan-lahan meninggal karena penyakit atau kelapar-an. Panggung sosial pun semakin berbahaya dan saling bunuh. Maka mung¬kin saatnya kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penya¬kit masokisme sosial.

Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan, tetapi perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi sebagai hal yang memang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati. Kita mulai menikmati bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai berita yang perlu diikuti.

Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan terlibat. Kemudian sim-pati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman (mungkin melalui SMS, internet, dan sebagainya), sebagai tanda bahwa kita sangat bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan penuh kepuasan. Kita pun mulai menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal merepotkan.

Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung selamatkan pemilu, yakni kita yang merasa puas dapat berperilaku sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kita mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu. Kita mendapatkan kenikmatan berjalan dalam lorong-lorong gelap politik. Kedua, kita pun juga menikmati menjadi penggembos-penggembos pemilu. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis dan berani.

Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan manipulatif, lebih baik tidak perlu ada pemilu. Pemilu seperti itu dikatakan tidak sah. Ada kenikmatan untuk menjadi pelawan. Tampaknya kita juga menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung, ataupun antar-suku.-'Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah kenik-

Page 31: OK.docx

MASOKISME SOSIAL

Kadang-kadang kita merasa bahwa Indonesia kok tidak maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas politik yang njelimet, mubazir, dan menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin banyak orang Indonesia yang kesulitan mencari makan dan perlahan-lahan meninggal karena penyakit atau kelapar-an. Panggung sosial pun semakin berbahaya dan saling bunuh. Maka mungkin saatnya kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penyakit masokisme sosial.

Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan, tetapi perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi sebagai hal yang memang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati. Kita mulai menikmati bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai berita yang perlu diikuti.

Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan terlibaf. Kemudian sim-pati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman (mungkin melalui SMS, internet, dan sebagainya), sebagai tanda bahwa kita sangat bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan penuh kepuasan. Kita pun mulai menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal merepotkan.

Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung selamatkan pemilu, yakni kita yang merasa puas dapat berperilaku sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kita mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu. Kita mendapatkan kenikmatan berjalan dalam lorong-lorong gelap politik. Kedua, kita pun juga menikmati menjadi penggembos-penggembos pemilu. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis dan berani.

Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan manipulatif, lebih baik tidak perlu ada pemilu. Pemilu seperti itu dikatakan tidak sah. Ada kenik¬matan untuk menjadi pelawan. Tampaknya kita juga menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung, ataupun antar-suku.-'Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah kenikmatan, yakni adanya kepuasan berlagak penjadi pahlawan-pahlawan kelom-pok, kampung, ataujmjau.

Dalam kondisi kenikmatan itu, perkelahian dan perseteruan menjadi sulit untuk dihentikan. Tidak heran, konflik-konflik sosial selalu bermunculan di berbagai tempat. Hal yang parah adalah kenikmatan dalam mengha-dapi ritus

Page 32: OK.docx

ekonomi, terutama dalam rangka mencari nafkah. Dalam kondisi yang sulit, ada kepuasan jika persoalan mencari nafkah yang semakin berat itu dapat diatasi. Mungkin dengan cara-cara yang halal atau sesuai dengan prosedur yang diakui bersama sebagai keabsahan. Sangat mungkin pula dalam cara-cara yang ilegal, tetapi tetap mendatangkan kepuasan dan kenik¬matan karena perasaan berhasil mengatasi persoalan hidup.

Hal-hal kecil keseharian pun tak luput untuk mulai dinikmati. Lalu lin-tas jalanan yang ricuh dan semrawut sebagai hiburan yang menyenangkan. "Kalau gak kacau malah gak seperti di Indonesia", jadi nikmati saja. Urusan birokrasi yang tidak teratur dan semrawut sebagai bagian dari prosedur sosial yang harus dilewati dengan penuh kenikmatan. Jika tidak dinikmati, justru stres yang akan datang.

Proses mengidap masokisme sosial itu tentu bukan hal yang datang begitu saja. Ada sejarah panjang yang menyebabkan kita menjadi bangsa seperti itu. Pada awalnya, dalam skala lokal-lokal, masyarakat-masyarakat di berbagai belahan di bumi Nusantara ini, terlatih menderita dalam kekuasaan raja-raja lokal. Dalam penderitaan itu, rakyat akhirnya mendapat kenikmatan bahwa hidup adalah sebuah takdir hierarkis yang harus dijalani. Rakyat mendapat kenikmatan bila bisa berkorban bagi junjungannya.

Pada masa penjajahan, secara sporadis, masyarakat Indonesia semakin dilatih dan terlatih untuk menderita. TJalam berbagai eksplorasi ekonomi dan penindasan politik, masyarakat Indonesia mendapat pelajaran bahwa hidup adalah penderitaan yang harus diatasi. Ada peribahasa yang cukup mewakili kondisi itu, yakni berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Kondisi yang menyebabkan masokisme sosial semakin akut tentulah pada masa Orde Baru. Dalam suatu rezim kekuasaan yang otoriter, selama lebih dari 30 tahun rakyat selalu dipaksa dalam kondisi berakit-rakit ke hulu. Dengan harapan kelak, akan tercipta negara yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. Mimpi itu selalu disuntikkan kepada setiap warga sehingga rakyat pun harus menjalani hidup berakit-rakit ke hulu dengan sabar, prjhatin.

Mungkin karena begitu terbiasa hidup dalam kondisi bersakit-sakit dahulu, akhirnya tersimpan rasa kepuasan, yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kenikmatan, ketika setiap proses sakit itu berhasil dilewati. Kepuasan itu didapatkan, dan dengan bagus dirumuskan dengan ungkapan, hidup adalah perjuangan. Artinya, kita harus mengatasi kondisi sakit itu jika ingin menjadi pejuang-pejuang. Sementara itu, agar tidak menjadi stres massal, kita perlu menikmati masalah-masalah yang dihadapi agar ke depan berjalan sesuai dengan harapan.

Page 33: OK.docx

Masalahnya adalah ada suatu kondisi yang semakin dirasakan sebagai keterlanjuran. Bahkan nyaris menjadi sebuah keyakinan bahwa begitulah Indonesia. Hal itu terus mengkristal ketika situasi politik dan ekonomi telah berubah-ubah, tetapi kehidupan keseharian tidak berubah signifikan. Memang ada upaya-upaya kritis dan perlawanan, tetapi itu pun dimanfaatkan sebagai strategi untuk mendapatkan kenikmatan seperti telah disinggung di atas.

Ujung-ujungnya, kita menjadi seolah-olah pasrah. Dalam kepasrahan itu, kita mulai menertawakan nasib kita sendiri. Selalu muncul kepuasan setiap berhasil melewati kesulitan dan kesakitan. Akhirnya, kita pun mulai berujar, "Nikmatilah hidup ini". Sekarang tampaknya kita betul-betul mulai menikmatinya.

Page 34: OK.docx

SEJARAH PANJANG KEBOHONGAN

Salah satu hal yang cukup diabaikan oleh kajian sejarah adalah sejarah tentang kebohongan. Hal itu terjadi karena arus utama kajian sejarah lebih berorientasi untuk menelusuri bukti-bukti kebenaran tersembunyi, kebenaran yang belum terungkap. Sejarah tidak cukup berniat untuk membuktikan bahwa begitu banyak kebohongan dalam sejarah bangsa atau masyarakatnya.

Mengapa hal itu penting? Karena satu hal yang serius adalah bahwa begitu banyak kebohongan atau ketidakjujuran, yang melanda bangsa Indonesia. Saya tidak bermaksud ingin menjelaskan alasan sebagai bangsa, orang Indonesia suka berbohong. Tentu tidak semua, tapi paling tidak cerita tentang kebohongan.adalah cerita yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari.

Orang tua berbohong kepada anaknya asal ia mendapatkaN harta yang banyak dengan gaji yang pas-pasan. Guru berbohong kepada murid-muridnya karena ia mengajarkan sesuatu yang tidak tahu untuk segala sesuatu diajarkan kepada muridnyar Pejabat berbohong kepada publik dengan bercerita tentang jasa-jasa yang tidak pernah dia kerjakan, demi pencitraan, agar ia menda-patkan kekuasaan secara mapan.

Para pelajar berbohong dengan menyontek (juga copy-paste) agar mendapatkan nilai baik. Para polisi berbohong tidak mengakui (melakukan) praktik pungli (dan pemerasan lainnya). Para politisi, pengacara, hakim, jaksa berbohong demi imbalan yang tidak pernah diakuinya. Para penulis dan intelektual juga berbohong karena tidak berani mengungkapkan kasus-kasus kebohongan karena bisa membuat dapurnya tidak berasap.

Media juga tidak berani mengungkap berbagai kasus kebohongan. Mungkin bukan tidak berani, melainkan tidak memiliki kekuatan/kemampuan untuk bisa menjangkau hal yang benar. Akhirnya, kasus-kasus kebohongan tidak lebih sebagai komoditas berita, substansi tentang kebohongan itu sendiri tidak terungkap. Kebohongan menjadi sebuah sejarah panjang tak berkesudahan.

Ada beberapa kesulitan dan alasan sejarah tidak mampu mengungkap kebohongan. Pertama, banyak hal bohong yang dilakukan oleh para pelaku sejarah, sebisa mungkin ia tidak akan mengungkapkan kebohongannya. Arti-nya, di antara pelaku sejarah juga tidak tahu jika telah terjadi kebohongan. Kemudian, kedua, banyak kebohongan dibawa mati oleh para pelaku sejarah.

Negeri ini sudah terlanjur dibangun atas kebohongan. Karena banyak hal adalah kebohongan, kita menjadi tidak tahu pilihan yang bohong dan yang benar. Batas antara kebohongan dan kejujuran menjadi kabur. Sebagai akibatnya, kita juga tidak pernah tahu, tidak pernah percaya pilihan yang bohong dan yang jujur berdasarkan kebenaran.

Page 35: OK.docx

Ideologi dan kepentingan (pribadi, golongan) juga menyebabkan kita berbohong. Kita mengakui multikuluralisme, multiagama, multiras dan suku, tapi dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita menentangnya dan melakukan kekerasan karena perbedaan tersebut.

Karena ideologi dan kepentingan tadi, jangan-jangan ideologi negara dan undang-undang dasar juga dibangun atas kebohongan. Hal itu terbukti bahwa dalam praktik kehidupan sehari-hari kita tidak pernah cukup ikhlas berpedoman dan menjunjungnya sebagai etika kebenaran berbangsa. Artinya, ada ketidakpercayaan atas berbagai dokumen etik dan regulatif tersebut.

Kalau batas-batas antara kebohongan dan kejujuran, batas antara kebenaran dan kepalsuan menjadi kabur, kita kehilangan sumber-sumber acuan dalam menegakkan etika bermasyarakatf Jika kita telah kehilangan nilai etika dalam menegakkan aturan bermasyarakat, tidak mengherankan bahwa yang terjadi adalah kekacauan dan ketidaktentuan.

Ada pertanyaan apakah berbohong itu tidak boleh? Pertanyaan ini tentu bersiasat untuk mengatakan bahwa dalam beberapa kasus dan pengecualian kita boleh berbohong. Hal itu tidak benar.S'ang sebaiknya kita lakukan adalah dalam kasus apa pun kita tidak boleh berbohong. Akan tetapi, tentu kita boleh memakluminya jika seseorang telah berbuat kesalahan dan kebohongan, kemudian orang tersebut mengakui kebohongannya. Kita pun perlu memberi penghargaan terhadap kejujuran setelah kebohongan.

Dengan demikian, salah satu kerja keras yang harus dilakukan masyarakat Indonesia adalah justru mengatasi berbagai kebohongan tersebut. Saya tidak mengurus negeri lain yang barangkali juga penuh dengan kebohongan. Walaupun kebohongan negeri lain secara langsung juga berdampak terhadap kehidupan kita, kebohongan mereka bisa diatasi jika di dalam negeri ini ada orang yang bersedia membongkar kebohongan itu dengan jujur. Prioritas utama negeri ini adalah membangun kejujuran.