OCD a
-
Upload
dyah-ayu-kusumawarddhani -
Category
Documents
-
view
49 -
download
5
Transcript of OCD a
17
17
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Terapi Rasional Emotif Behavior
Terapi Rasional Emotif Behavior adalah teori yang diperkenalkan oleh
Dr.Albert Ellis pada tahun 1955, seorang ahli Klinik Psikologi setelah
menimba pengalaman dari praktik yang dilakukannya dalam bidang
Konseling Keluarga, Perkawinan dan Seks. Pada mulanya Albert Ellis
menggunakan prosedur psikoanalisis dalam praktiknya, tetapi dia menemukan
ketidakpuasan dengan prosedur tersebut. Akhirnya dia mengembangkan teori
Rasional Emotif Behavior ini.19
Salah satu pandangan pendekatan ini adalah bahwa permasalahan yang
dimiliki seseorang bukan disebabkan oleh lingkungan dan perasaannya, tetapi
lebih pada sistem keyakinan dan cara memandang lingkungan disekitarnya.
Lebih khusus lagi, gangguan emosi yang dimiliki seseorang yang
mempengaruhi keyakinan, bagaimana menilai dan mengiterpretasikan apa
yang dialaminya. Jika seseorang terganggu, maka akan terganggu pula pola
pikir yang dimilikinya, dengan demikian akan timbul pola pikir yang
irasional.
19 John Mc Leod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Open University
Press, 2003), 150.
18
18
TREB memiliki berbagai nama, yaitu Rasional Emotif Therapi,
Semanik Therapy, Cognitif Behavior Therapy, dan Rasional Behavior
Training. Dalam teori-teori konseling dan psikoterapi TREB ini
dikelompokkan sebagai terapi kognitif-behavior.20 Dalam hal ini peneliti
memakai nama yang sesuai dengan bukunya Latipun yaitu Terapi Rasional
Emotif Behavior.
1. Pengertian Terapi Rasional Emotif Behavior
Terapi Rasional Emotif Behavior (TREB) menurut W.S. Winkle
adalah corak terapi yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara
berfikir dengan akal sehat (Rational thinking), berperasaan (Emoting) dan
berperilaku (Acting) serta sekaligus menekankan bahwa cara berfikir
dapat menghasilkan perubahan yang mendalam dan dapat menghasilkan
suatu perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku.
Maka orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya harus di
bantu untuk meninjau kembali cara berfikir dan memanfaatkan cara
berfikir dan memanfaatkan akal. 21
Menurut Singgih D.Gunarsah mengungkapkan bahwa Terapi
Rasional Emotif Behavior adalah suatu teknik pendekatan yang berusaha
memperbaiki pola berfikirnya yang irasional. Jadi terapis bertindak
20 Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM Press, 2003), 91. 21 W.S. Winkle, Bimbingan dan Konseling di Institut Sekolah (Jakarta: Grafindo, 1991), 364.
19
19
sebagai pendidik dengan memberi tugas yang harus dilakukan konseli
serta memberikan terapi untuk memperkuat proses berfikirnya.22
Latipun Mengungkapkan Terapi Rasional Emotif Behavior adalah
terapi yang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi,
kognisi, dan perilaku. Menurut Albert Ellis pelopor sekaligus promotor
utama Terapi Rasional Emotif Behavior menyatakan bahwa orang yang
berkeyakinan rasional emotif akan mereaksi peristiwa-peristiwa yang
dihadapi dengan melakukan sesuatu secara realistik. Dan sebaliknya jika
individu berkeyakinan irasional, maka dalam menghadapi berbagai
peristiwa akan mengalami hambatan emosiona l seperti perasaan cemas,
menganggap ada bahaya sedang mengancam dan pada akhirnya akan
melakukan atau mereaksi peristiwa itu secara tidak realistik.23
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Terapi Rasional
Emotif Behavior adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir
konseli dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya serta menyerang,
menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan yang
irasional itu.
22 Singgih D.Gunarsah, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2000), 23. 23 Latipun, Psikologi Konseling , 92.
20
20
2. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Terapi Rasional Emotif
Behavior
Dalam memandang hakikat manusia TREB memiliki sejumlah
asumsi tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dalam hubungannya
dengan dinamika pikiran dan perasaan. Asumsi tentang hakikat manusia
menurut TREB adalah sebagai berikut:
a. Manusia adalah pribadi unik yang dipandang sebagai makhluk rasional
dan juga dapat irasional. Pada hakikatnya manusia cenderung berpikir
rasional disamping juga memiliki kecenderungan berpikir irasional.
Kecenderungan itu termanifestasikan dalam tingkah lakunya. Ketika
seseorang berpikir dan berprilaku rasional maka dia akan bertingkah
laku logis dan efektif, dengan demikian ia akan memperoleh
kebahagiaan di dalam hidupnya. Sebaliknya apabila ia berfikir dan
berperilaku irasional, maka ia akan menunjukkan tingkah laku yang
tidak logis dan tidak efektif. Menurut Ellis, cara berpikir demikianlah
yang menyebabkan seseorang itu mengalami gangguan emosional,
yang disebabkan oleh cara berpikirnya yang keliru. Pikiran irasional
berakal pada hal-hal yang tidak logis yang dipelajari sejak awal, salah
didik dan keliru, sehingga menyebabkan terbentuknya persepsi yang
salah pada dirinya.
21
21
b. Pikiran, perasaan dan tindakan manusia merupakan proses yang saling
berhubungan dengan lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Pendekatan
TREB memandang bahwa manusia itu berpikir, tidak pernah terlepas
dari perasaan dan perbuatannya. Sebaliknya tindakan selalu
melibatkan pikiran dan perasaan, demikian pula perasaannya tidak
terlepas dari pikiran dan tindakannya. Ketika seseorang merasakan
sesuatu, maka ia akan memikirkan dan bertindak, ketika seseorang
berpikir maka ia juga merasakan dan bertindak, dan jika seseorang
bertindak, maka ia juga merasakan dan berpikir. Maka untuk
memahami penyimpangan tingkah laku tertentu, haruslah dipahami
bagaimana seseorang itu berperasaan, berpikir, menerima, dan
melaksanakan sesuatu itu, serta apa yang ada dibalik semuanya itu.
c. Manusia sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kekuatan untuk
memahami keterbatasannya serta kemampuan mengubah pandangan
dasar dan sistem nilaianya dan untuk melawan kecenderungan-
kecenderungan untuk menolak diri sendiri. Teori ini memandang
bahwa setiap individu mampu memahami segala kelebihan,
kekurangan dan keterbatasannya. Justru dalam keterbatasan inilah ia
harus mampu berpandangan realistis dan rasional agar mampu
mengadakan penyesuaian diri dengan baik.24
24 Juhana Wijaya, Psikologi Bimbingan (Bandung: Eresco, 1988), 221
22
22
Tentang sifat manusia Ellis menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk-makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan
naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.
Apabila individu- individu tidak dikondisikan untuk berfikir dan merasa
dengan cara tertentu, maka mereka cenderung untuk bertingkah laku
dengan cara demikian meskipun mereka menyadari bahwa tingkah laku
mereka itu menolak atau meniadakan diri. 25
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali orang berpikir irasional,
misalnya ingin dicintai semua orang, ingin bebas dari permasalahan,
mengangap dirinya paling tahu, dan keinginan lain yang kadang-kadang
tidak masuk akal. Tetapi karena setiap orang mempunyai kemampuan
mengubah apa-apa yang dipikirannya, yang dipercayainya, maka pikiran
yang irasional itu dapat diubah kearah rasional sehingga gangguan emosi
itu pun dapat disembuhkan.
3. Konsep Teori Kepribadian Dalam Terapi Rasional Emotif Behavior
Untuk memahami dinamika kepribadian dalam pandangan TREB
perlu memahami konsep-konsep dasar yang dikemukakan Ellis. Menurut
Ellis (1994) ada tiga hal yang terkait dengan perilaku, yaitu antecedent
25 Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling danPsikoterapi (Bandung: PT. Rafika Aditama,
2003), 240.
23
23
event (A), belief (B) dan emotional consequance (C), yang kemudian
dikenal dengan konsep A-B-C..
Antecedent event (A) merupakan keberadaan suatu fakta, suatu
peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. seperti perceraian, kelulusan
bagi siswa, dan ujian skripsi juga dapat menjadi antecedent event bagi
seseorang.
Belief (B) adalah keyakinan individu terhadap peristiwa (pada A),
yang nantinya akan menjadi penyebab C. Keyakinan seseorang ada dua
macam, yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional.
Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan
yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan produktif. Sedangkan keyakinan
yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir seseorang
yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
Emosional consequence (C) adalah konsekuensi atau reaksi
emosional seseorang sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk
perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan (A).
Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi
disebabkan oleh keyakinan individu (B) baik yang rasional atau yang
irasiona l. Hubungan A-B-C ini dapat digambarkan sebagai berikut:26
A B C D
26 Latipun, Psikologi Konseling , 92.
24
24
Setelah ABC menyusul D yaitu penerapan metode ilmiah untuk
membantu konseli menantang keyakinan-keyakinannya yang irasional
yang telah mengakibatkan gangguan-gangguan emosi dan tingkah laku. 27
Misalnya, jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan
perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresi
melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan,
penolakan, atau kehilangan teman hidup. Ellis berkeyakinan akan
penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi
(pada C), bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi
manusia bertangguang jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan
gangguan-gangguannya sendiri.
Menurut Ellis orang yang berkeyakinan rasional akan mereaksi
peristiwa-peristiwa yang dihadapi dengan melakukan sesuatu secara
realistik. Sebaliknya, jika individu berkeyakinan irasional, dalam
menghadapi berbagai peristiwa, akan mengalami hambatan emosional,28
seperti merasa cemas, menganggap ada bahaya yang sedang mengancam
dan pada akhirnya akan melakukan atau mereaksi peristiwa itu secara
tidak realistis.
Terapi Rasional Emotif Behavior berasumsi bahwa keyakinan-
keyakinan dan nilai-nilai irasional berhubungan dengan gangguan
27 Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling danPsikoterapi, 244. 28 Ibid., 94.
25
25
emosional dan behaviornya, maka cara yang paling efisien untuk
membantu perubahan-perubahan kepribadiannya adalah
mengonfrontasikan secara langsung dengan filsafat hidupnya,
menerangkan bagaimana gagasan-gagasan itu sampai mengganggu,
menyerang gagasan irasional diatas dasar-dasar logika, dan mengajari
bagaimana berpikir secara logis dan didorong untuk mampu mengubah
atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya.29 Jadi Terapi Rasional
Emotif Behavior mengonfrontasikan dengan keyakinan-keyakinan
irasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan
membahas keyakinan-keyakinan irasional itu.
4. Perilaku Bermasalah Dalam Terapi Rasional Emotif Behavior
Menurut TREB perilaku yang bermasalah adalah perilaku yang
didasarkan pada cara berfikir yang irasional. Albert Ellis mengemukakan
indikator keyakinan irasional yang berlaku secara universal. Indikator-
indikator orang yang berkeyakinan irasional tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Tuntutan untuk selalu dicintai dan didukung oleh orang-orang terdekat
(significant others). hal ini merupakan pemikiran irasional, karena hal
itu tidak mungkin untuk dicapai. seharusnya mereka menghargai diri
29 Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling danPsikoterapi, 244.
26
26
sendiri (self-respect), dan memenangkan tujuan-tujuan praktis,
mencintai dari pada menjadi obyek yang dicintai.
2) Pandangan bahwa tindakan tertentu adalah mengerikan dan jahat, dan
orang yang melakukan tindakan demikian sangat terkutuk. Seharusnya
berpandangan bahwa tindakan tertentu adalah kegagalan diri, dan
orang yang melakukan demikian adalah karena ketidaktahuan, dan
akan lebih baik jika ditolong untuk berubah. Orang yang melakukan
kekeliruhan tidak membuat mereka menjadi individu yang buruk.
3) Tidak senang atas kejadian yang tidak diharapkan. Konseli tidak
menyadari bahwa keadaan lingkungan di sekitar konseli selalu tidak
seperti yang diharapkan. Perubahan-perubahan sering kali terjadi di
sekitar kita, konseli akan mengalami “sakit” jika dia tidak belajar
untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.
4) Pandangan bahwa segala masalah selalu disebabkan oleh faktor
eksternal. Pada saat ini, individu merasa bahwa kejadian-kejadian di
luar dirinya dapat menyakitkan atau membahayakan dirinya. Hal ini
tidak akan terjadi jika individu tidak bereaksi secara berlebihan
terhadap kejadian-kejadian yang timbul di sekitarnya.
5) Pandangan bahwa jika sesuatu itu berbahaya atau menakutkan maka
akan terganggu dan selalu memikirkannya. Seharusnya berpandangan
bahwa seseorang akan lebih baik menghadapinya secara langsung dan
27
27
mengubahnya tidak berbahaya dan diterima sebagai sesuatu hal yang
tidak dapat dihindari.
6) Pandangan bahwa kita lebih mudah menghindari berbagai kesulitan
hidup dan tanggung jawab dari pada berusaha untuk menghadapinya.
Seharusnya berpandangan bahwa kemudahan itu biasanya banyak
kesulitan dikemudian hari.
7) Pandangan bahwa kita selalu membutuhkan bantuan orang lain yang
lebih besar dari pada diri sendiri sebagai sandaran. Seharusnya
pandangan itu adalah kita bertindak atau melakukan sesuatu tanpa
bergantung pada orang lain.
8) Pandangan bahwa kita seharusnya kompeten, inteligen, dan mencapai
semua kemungkinan yang menjadi perhatian kita. Seharusnya
pandangan itu adalah kita bekerja lebih baik dari pada selalu
membutuhkan untuk bekerja secara baik dan menerima diri sendiri
sebagai makhluk yang tidak benar-benar sempurna, yang memiliki
keterbatasan umumnya dan kesalahan.
9) Pandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan santai
tanpa berbuat apapun. Seharunya berpandangan bahwa kita dapat
menuju kebahagiaan jika kita sangat tertarik dalam hal melakukan
kreativitas atau jika kita mencurahkan perhatian diri kita pada orang
lain atau melakukan sesuatu di luar diri kita sendiri.
28
28
10) Pandangan bahwa kita harus memiliki kepastian dan pengendalian
yang sempurna atas sesuatu hal bahwa dunia ini penuh dengan
probabilitas (serba mungkin) dan berubah dan kita dapat hidup nikmat
sekalipun demikian keadaannya.
11) Pandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan santai
dan tanpa berbuat. Seharusnya berpandangan bahwa kita dapat menuju
kebahagiaan jika kita sangat tertarik dalam hal melakukan kreativitas,
atau jika kita mencurahkan perhatian kita pada orang lain atau
melakukan sesuatu di luar diri kita sendiri.
Keyakinan-keyakinan yang irasional tersebut menghasilkan reaksi
emosional pada individu. Dalam pandangan Ellis, keyakinan yang
irasional berakibat pada perilaku dan reaksi individu yang tepat,
sedangkan keyakinan yang irasional berakibat pada reaksi emosional dan
perilaku yang salah. 30
Menurut Ellis yang dalam bukunya Corey menunjukkan bahwa
kesalahan berperilaku yang dimunculkan oleh seseorang lebih disebabkan
karena pandangan yang salah dari seseorang terhadap sesuatu. 31
30 Latipun, Psikologi Konseling , 96. 31 Hartono Boy Sudarmaji, Psikologi Konseling , 170.
29
29
5. Karakteristik Keyakinan Irasional Dalam Terapi Rasional Emotif
Behavior
Menurut Nelson-Jones (1982) yang dikutip oleh Latipun
karakteristik cara berfikir irasional yang dapat dijumpai secara umum
adalah sebagai berikut:
a. Terlalu menuntut
Menurut TREB tuntutan, perintah, komando, dan permintaan
yang berlebihan dibedakan dengan hasrat, pikiran dan keinginan.
Hambatan emosional terjadi ketika individu menuntut “harus”
terpuaskan dan bukan “ingin” terpuaskan. Tuntutan ini dapat tertuju
pada dirinya sendiri, orang lain atau sekitarnya dengan kata “harus”
merupaka cara berfikir absolut tanpa ada toleransi. Tuntutan itu dapat
membuat individu mengalami hambatan.
b. Generalisasi secara berlebihan
Generalisasi secara berlebihan (overgeneralization) yaitu
individu menganggap sebuah peristiwa atau keadaan diluar adalah
batas-batas yang wajar. Overgeneralization dapat diketahui secara
semantik seperti “sayalah orang yang paling bodoh di dunia”. Ini
adalah overgeneralization, karena kenyataannnya dia bukan orang
terbodoh. “saya tidak memiliki kemampuan apapun untuk melakukan
sesuatu”, dan sebagainya.
30
30
c. Penilaian diri
Pada dasarnya seseorang dapat memiliki sifat-sifat yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan. Yang terpenting adalah
seseorang dapat belajar untuk menerima dirinya tanpa syarat
(unconditioning self-regard). Sesuatu yang irasional jika seseorag
selalu menilai harga dirinya (self-rating). Hal ini akan berakibat
negatif karena cenderung tidak konsisten dan selalu menuntut
kesempurnaan. Yang terbaik adalah menerima dirinya (self-
acceptance), dan tidak melakukan penilaian terhadap dirinya (self-
evaluating).
d. Penekanan
Penekanan (awfulizing) yaitu mempunyai arti hampir sama
dengan demandingnes. Jika demandingnes menuntut dengan “harus”
dalam awfulizing tuntutan atau harapan itu mengarah pada upaya
peningkatan secara emosional dicampur dengan kemampuan untuk
problem solving yang rasional. Penekanan ini akan mempengaruhi
seseorang dalam memandang keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa,
tingkah laku atau sikap seseorang (antecedent event) secara tepat dan
karena itu digolongkan sebagai cara berpikir yang irasional.
31
31
e. Kesalahan atribusi
Kesalahan melakukan atribusi adalah kesalahan dalam
menetapkan sebab dan motivasi perilaku baik dilakukan sendiri, orang
lain, atau sebuah peristiwa. Kesalahan atribusi adalah sama dengan
alasan palsu diri seseorang/ orang lain dan umumnya menimbulkan
hambatan emosional.
f. Anti pada kenyataan
Anti pada kenyataan terjadi karena tidak dapat menunjukkan
fakta empiris secara tepat. Orang yang berkeyakinan irasional akan
cenderung kuat untuk memaksa keyakinan yang irasional dan
menggugurkan sendiri gagasannya yang sebenarnya rasional. Orang
yang rasional akan dapat menunjukkan fakta secara empiris.
g. Repetisi
Keyakinan yang irasional cenderung terjadi berulang-ulang.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Ellis, seseorang cenderung
mengajarkan dirinya sendiri dengan pandangan-pandangan yang
menghambat dirinya.32 Misalnya, seorang konseli yang memiliki
masalah dengan wawancara kerja akan melakukan dialog internal
ketika wawancara berlangsung, dia mempunyai pikiran bahwa “saya
akan gagal”. Keyakinan atau pernyataan diri seperti itu sangat
cenderung melemahkan penampilan maupun proses wawancara, yaitu
32 Latipun, Psikologi Konseling , 99.
32
32
mereka menciptakan dan menguatkan perasaan cemas dalam dirinya
yang menagkibatakan terpecahnya konsentrasi dengan lebih
mendegarkan pernyataan internal daripada mendengarkan pertanyaan
yang dilontarkan olek pewawancara. Dan secara otomatis proses
wawancara dapat terganggu. 33
6. Tujuan Terapi Rasional Emotif Behavior
Berdasarkan pandangan dan asumsi tentang hakikat manusia dan
kepribadiannya serta konsep-konsep teoritik dari TREB, tujuan utama
Terapi Rasional Emotif Behavior adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan
serta pandangan-pandangan konseli yang irasional dan tidak logis
menjadi rasional dan logis agar konseli dapat mengembangkan diri,
meningkatkan self actualizationnya seoptimal mungkin melalui
perilaku kognitif dan afektif yang positif.
b. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri
sendiri seperti: rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas,
merasa was-was, dan rasa marah. Dan juga berusaha menghilangkan
dengan jalan melatih dan mengajar konseli untuk menghadapi
33 John Mc Leod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 155.
33
33
kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan
kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri. 34
7. Langkah-langkah Terapi Rasional Emotif Behavior
Berdasarkan tujuan Terapi Rasional Emotif Behavior konselor
perlu memahami dunia konseli, perilaku konseli dari sudut pandang
konseli, memahami perilaku konseli yang tidak rasional sehingga
memungkinkan konselor dapat mendorong konseli agar konseli
menghentikan cara berfikir yang tidak rasional. Dalam hal ini konselor
akan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Konselor menunjukkan kepada konseli bahwa masalah yang
dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya,
menunjukkan bagaimana konseli mengembangkan nilai-nilai dan
sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa konseli telah
melakukan banyak “keharusan”, “sebaliknya”, dan “semestinya”.
Konseli harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinannya yang
rasional dan keyakinan-keyakinan irasionalnya. Dan konselor juga
menunjukkan hubungan gangguan irasional itu dengan
ketidakbahagiaan dan gangguan emosional yang dialami.
b. Konselor membawa konseli ke tahap kesadaran dengan menunjukkan
bahwa konseli mempertahankan gangguan-gangguan emosionalnya
34 Mohammad Surya, Teori-teori Konseling (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003), 16.
34
34
untuk tetap aktif dengan terus menerus berfikir secara irasional dan
dengan mengulang-ulang kalimat–kalimat mengalahkan diri. Konselor
menunjukkan kepada konseli bahwa konseli memiliki proses-proses
yang tidak logis sebab konseli cenderung mengatakan, “Sekarang saya
mengerti bahwa saya memiliki ketakutan akan kegagalan dan
ketakutan saya ini berlebihan dan tidak realistis. Sekalipun demikian,
saya tetap merasa gagal”. Dalam hal ini konselor mambantu konseli
meyakini bahwa berpikir dapat ditantang dan diubah.
c. Konselor berusaha agar konseli memperbaiki pikiran-pikirannya dan
meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya. TREB berasumsi bahwa
keyakinan-keyakinan yang irasional itu berakar sehingga biasanya
konseli tidak bersedia mengubahnya sendiri. Konselor membantu
konseli untuk memahami hubungan antara gagasan-gagasan yang
mengalahkan diri dan filsafat- filsafatnya yang tidak realistik yang
menjurus pada proses penyalahan diri.35
Jadi langkah- langkah dalam proses TREB adalah menantang
konseli untuk mengembangkan filsafat- filsafat hidup yang rasional
sehingga konseli mampu menghindari kemungkinan menjadi korban
keyakinan-keyakinan yang irasional. Konselor menyerang inti pikiran
irasional dan mengajari konseli bagaimana menggantikan keyakinan-
keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.
35 Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling, 246.
35
35
8. Peranan Konselor Dalam Terapi Rasional Emotif Behavior
Dalam pendekatan TREB seorang konselor harus berusaha secara
langsung untuk mengubah diri konseli. Seperti yang diungkapkan Ellis,
seorang konselor harus bertindak sebagai berikut:
a. Aktif-direktif terhadap kebanyakan konseli, melakukan pembicaraan
dan menjelaskan sesuatunya, terutama pada saat awal hubungan.
b. Mengkonfrontasikan konseli secara langsung, dengan demikian tidak
akan ada waktu yang terbuang selama proses konseling berlangsung.
c. Melakukan pendekatan dengan penuh semangat agar konseli berpikir
dan kemudian mampu mendidik ulang dirinya sendiri.
d. Gigih dan berulang-ulang dalam menekankan bahwa ide irasional
itulah yang mendasari gangguan emosional pada konseli.
e. Memunculkan kekuatan konseli untuk berpikir dari pada
mempergunakan perasaannya.
f. Dalam pendekatannya harus didaktif dan filosofis.
g. Mempergunakan humor dan latihan malu sebagai cara untuk
mengkonfrontasikan pemikiran irasional konseli.36
Albert Ellis (1973) memberikan gambaran tentang apa yang dapat
dilakukan oleh seorang praktisi Rasional Emotif yaitu :
a. Mengajak, mendorong konseli untuk menanggalkan ide- ide irasional
yang mendasari gangguan emosional dan perilaku.
36 Latipun, Psikologi Konseling , 103.
36
36
b. Menantang konseli dengan berbagai ide yang rasional.
c. Menunjukkan kepada konseli asas ilogis dalam berpikirnya.
d. Menggunakan analisis logis untuk mengurangi keyakinan-keyakinan
irasional konseli.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan irasional ini adalah
inoperative dan bahkan hal ini pasti senantiasa mengarahkan konseli
pada gangguan-gangguan behavioral dan emosional.
f. Menggunakan absurdity dan humor untuk menantang irasionalitas
pemikiran konseli.
g. Menjelaskan kepada konseli bagaimana ide- ide irasional ini dapat
ditempatkan kembali dan disubtitusikan kepada ide- ide rasional yang
harus secara empirik melatar belakangi kehidupannya.
h. Mengajarkan kepada konseli bagaimana mengaplikasikan pendekatan-
pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berpikir dan selanjutnya
melatih diri konseli untuk mengobservasi dan menghayati sendiri
bahwa ide- ide irasional dan deduksi-deduksi hanya kan membantu
perkembangan perilaku dan perasaan-perasaan yang dapat
menghambat perkembangan dirinya.37
37 Ciri-ciri Teori Konseling , (18 Maret 2008), http://eko13.wordpress.com.
37
37
9. Ciri-ciri Terapi Rasional Emotif Behavior
Dalam Terapi Rasional Emotif Behavior konselor berusaha secara
langsung untuk mengubah diri konseli. Dalam pendekatannya Terapi
Rasional Emotif Behavior mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dalam menelusuri masalah konseli yang dibantunya, konselor lebih
aktif dibanding konseli.
b. Dalam proses hubungan konseling harus tetap diciptakan dan
dipelihara hubungan baik dengan konseli.
c. Terciptanya dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh
konselor untuk membantu konseli mengubah cara berpikir konseli
yang tidak rasional menjadi rasional.
d. Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak terlalu banyak
menelurusi masa lampau konseli.
e. Diagnosis (rumusan masalah) yang dilakukan dalam Terapi Rasional
Emotif Terapi bertujuan untuk membuka ketidaklogisan pola pikir dari
konseli.38
Dari ciri-ciri yang dikemukakan di atas bahwa dalam
pelaksanaannya ditekankan pada konselor untuk lebih aktif dan menjaga
hubungan baik dengan konseli, agar konseli lebih mudah menerima dan
memahami apa yang diberikan oleh konselor.
38 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling Cetakan ke II (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), 89.
38
38
10. Teknik-teknik Terapi Rasional Emotif Behavoir
Pendekatan Terapi Rasional Behavior menggunakan berbagai
teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral dan humor yang
disesuaikan dengan kondisi konseli. Setiap konselor dapat
mempergunakan gabungan teknik sejauh penggabungan itu
memungkinkan. Teknik-teknik tersebut diantaranya yaitu:
a. Terapi kognitif
Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal adalah:
1) Home work assigments (pemberian tugas rumah) yaitu teknik yang
dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk mela tih,
membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu
yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
2) Latihan assertive yaitu teknik untuk melatih keberanian konseli
dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang
diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-
model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif adalah:
(a) Mendorong kemampuan konseli mengekspresikan berbagai hal
yang berhubungan dengan emosinya.
(b) Membangkitkan kemampuan konseli dalam mengungkapkan
hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi
orang lain.
39
39
(c) Mendorong konseli untuk meningkatkan kepercayaan dan
kemampuan diri.
(d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-
tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
b. Teknik emotif (afektif)
Teknik ini dipergunakan untuk membantu konseli dalam
mengidentifikasi emosi dan keyakinan, serta menemukan kesulitan
melakukan verbalisasi. Pada saat tertentu, ada konseli yang mampu
mengenal perasaan dan kognitifnya, tetapi tidak dapat mempergunakannya
dalam kejadian-kejadian tertentu. Dalam hal ini teknik yang bisa
digunakan yaitu:
1) Teknik assertive training yaitu teknik yang digunakan untuk melatih,
mendorong, dan membiasakan konseli untuk secara terus-menerus
menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-
latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri konseli.
2) Teknik sosiodrama yaitu teknik yang digunakan untuk
mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-
perasaan yang negatif) melalui suatu suasana yang dramatisasikan
sedemikian rupa sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan
dirinya sendiri secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan
dramatis.
40
40
3) Teknik self modeling (diri sebagai model) yaitu teknik yang digunakan
untuk meminta konseli agar berjanji atau mengadakan komitmen
dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
Dalam self modeling, ini konseli diminta untuk tetap setia pada
janjinya dan secara terus menerus menghindarkan dirinya dari perilaku
negatif.
4) Teknik imitasi yaitu teknik untuk menirukan secara terus menerus
suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan
menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
c. Teknik Behavioristik
Dalam banyak hal TREB banyak menggunakan teknik behavioral
terutama dalam upaya memodifikasi perilaku-perilaku negatif dari konseli
dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak
logis. Beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1) Teknik reinforcement (penguatan) yaitu teknik untuk mendorong
konseli ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan
memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment).
Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan
keyakinan yang irasional pada konseli dan menggantinya dengan
sistem nilai yang positif.
41
41
2) Teknik social modeling (pemodelan social) yakni teknik untuk
membentuk perilaku-perilaku baru pada konseli. Teknik ini dilakukan
agar konseli dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan
dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan
dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model
sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
3) Teknik live models (model dari kehidupan nyata) yaitu teknik yang
digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu, khususnya
situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan
sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah. 39
d. Humor
Penggunaan humor dalam konseling telah diterapkan dalam
berbagai kesempatan seperti di sekolah dasar, pada konseling karir,
konseling kelompok pada konseli yang depresi, terapi keluarga, dan terapi
analitik.
Humor juga dapat digunakan untuk menciptakan rapport dan
sebagai teknik untuk membuka diri konseli, dimana konselor dapat
menunjukkan sempurnaan atau kelemahan yang sebaiknya bisa diterima
oleh setiap manusia. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa tertawa adalah
suatu cara ”menunjuk hidung sendiri” terhadap ketidak mampuan dan
ketidak fahaman terhadap prilakunya sendiri.
39 Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, 18.
42
42
Kebanyakan hambatan itu muncul karena terlalu serius dalam
membicarakannya. Untuk itu humor diharapkan dapat membantu konseli
agar tercipta suasana yang tidak menakutkan dan konseli juga dapat
menikmati proses terapi. Dalam proses konseling ini terapis dapat
mengajak konseli untuk mentertawakan pikiran yang irasional dan
bertanggung jawab terhadap pemikiran itu.
Penggunaan humor dalam konseling sebaiknya memperhatikan
budaya yang dimiliki oleh konseli. Ada budaya-budaya tertentu yang bisa
menerima humor sebagai suatu konsekuensi kegagalan yang dilakukan,
tetapi juga ada budaya atau nilai-nilai masyarakat yang berpikiran bahwa
kegagalan bisa ditertawakan. Dengan demikian penggunaan teknik humor
dalam konseling sebaiknya memperhatikan latar belakang budaya
konseli.40
Dalam pengaplikasiannya berbagai teknik TREB, Albert Ellis
menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik
tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi konseli.
B. Gangguan Obsesif Kompulsif
1. Pengertian Gangguan Obsesif Kompulsif
Menurut C.P.Chaplin dalam bukunya Kamus Lengkap Psikologi
obsesif kompulsif adalah:
40 Hartono Boy Soedarmadji, Psikologi Konseling, 179
43
43
Suatu psikoneurosa dengan ciri khas adanya ide (obsesi) yang
tegar melekat yang sering tidak dikehendaki serta impuls untuk
melakuka kompulsi, atau perbuatan yang tidak rasional,
stereotypus, dan ritualistik. diyakini bahwa pola tingkah laku yang
obsesif dan kompulsif itu merupakan usaha untuk mengatasi rasa
takut, atau untuk meredakan dan menghilangkan perasaan
bersalah. Kompulsi dalam bentuk mencuci tangan terus menerus
misalnya, dapat mencerminkan ketakutan dan rasa bersalah
seseorang akibat melakukan masturbasi.41
Menurut Jeffrey S Nevid, Spencer A Rathus, dan Beverly Greene
obsesif adalah pikiran, ide, atau dorongan yang intrutif dan berulang yang
sepertinya berada diluar kemampuan seseorang untuk mengendalikannya.
Kompulsif adalah tingkah laku yang repetitif (seperti mencuci tangan atau
memeriksa kunci pintu atau gembok) atau tindakan mental repetitif
(seperti berdoa, mengulang-ualng kata-kata tertentu, atau menghitung)
yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan atau dorongan
yang harus dilakukan. 42
Menurut Gerald C Davison, John M Neale, Ann M Kring obsesif
adalah pikiran, impuls, dan citra yang mengganggu dan berulang yang
41 C.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT Raya Grafindo Persada, 1993), 336. 42 Jeffrey S.Nevid, et al., Psikologi Abnormal, 172.
44
44
muncul dengan sendirinya serta tidak dapat dikendalikan. Kompulsif
adalah perilaku atau tindakan mental repetitif yang mana seseorang
merasa didorong untuk melakukannya dengan tujuan untuk mengurangi
ketegangan yang disebabkan pikiran-pikiran obsesif atau untuk mencegah
terjadinya suatu bencana 43.
Menurut Widjaja Kusuma obsesif kompulsif yaitu gangguan yang
berupa obsesi (ide, pikiran, impuls yang bersifat ego-distonik, intrusif,
rekuren, dan persisten) atau kompulsi (tingkah laku atau ritual yang
berulang-ulang dilakukan untuk menetralkan kecemasan atau mencegah
rasa tidak enak).44
Menurut Kartini Kartono obsesif adalah ide- ide atau emosi yang
terus menerus melekat dalam fikiran dan hati, dan tidak mau hilang, dan
sesunggunya individu yang bersangkutan secara sadar selalu berusaha
untuk menghilangkannya. Sedangkan Kompulsif adalah tendens atau
impuls yang tidak tertahankan atau tidak dapat dicegah untuk melakukan
sesuatu perbuatan. Tendensi keinginan yang tidak dapat dikontrol dan
dikendalikan, dan bertentangan dengan kemauan yang sadar sewaktu
melakukannya. Misalnya berupa mania untuk terus menerus mandi dan
mencuci tangan, mengangguk sebelum melewati sebuah pintu,
43 Gerald C.Davison, et al., Psikologi Abnormal (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 215. 44 Widjaja Kusuma, Kedaruratan Psikiatrik Dalam Praktek (Jakarta: Professional Boks, 1997),
232.
45
45
menghitung tiang-tiang listrik waktu naik kereta api, mengitari kursi
sebelum duduk diatasnya, dan lain- lain45.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa obsesif kompulsif
adalah dorongan hati yang kuat untuk mengulang-ulang tingkah laku
tertentu yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan atau
dorongan yang harus dilakukan, dan apabila tingkah laku itu dicegah
maka akan menimbulkan sebuah kecemasan.
2. Gejala-gejala Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan obsesif kompulsif membuat seseorang terdorong untuk
melakukan perilaku yang diulang-ulang atau aktivitas mental sebagai
respon terhadap pikiran yang timbul. Dalam hal ini sebelum seseorang
dilabelkan terkena gangguan obsesif kompulsif, mereka menunjukkan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Seseorang mempunyai gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya
secara bertubi- tubi dan terus menerus kedalam kesadaran seseorang.
Seperti, merasa tangannya kotor walaupun hakikatnya tidak.
b. Merasakan ketakutan yang mencemaskan, tertekan yang disertai
manivestasi sentral dan sering kali menyebabkan seseorang melakukan
tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls awal.
45 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual , 120.
46
46
c. Sadar bahwa dan apa yang dilakukannya sebenarnya bukan sesuatu
yang disengaja dan di buat-buat.
d. Sadar bahwa ide atau bayangan yang hadir adalah tidak masuk akal,
akan tetapi dilain pihak jika tindakan ritual itu dihalangi maka akan
timbul kecemasan. 46
3. Faktor-faktor Penyebab Obsesif Kompulsif
Dalam kasus obsesif kompulsif seseorang akan terdorong atau
terpaksa berpikir tentang sesuatu dan akan melakukan tindakan tertentu
yang akan menimbulkan perasaan lega (hilangnya ketegangan) dan puas.
Sebaliknya, seseorang akan merasa cemas atau kecemasanya akan
meningkat apabila ia berusaha tidak melakukannya. Dalam situasi seperti
ini gangguan tersebut dapat timbul karena beberapa sebab diantaranya:
1) Genetik (keturunan), dari ahli keluarga yang mungkin mempunyai
sejarah penyakit obsesif kompulsif.
2) Berkepribadian obsesif kompulsif47 yaitu seseorang yang perfeksionis,
seseorang yang patuh pada aturan, jadwal dan sejenisnya.
3) Merupakan “pembentukan reaksi” atau pengganti tehadap pikiran atau
keinginan untuk melakukan tindakan kebalikannya. Misalnya, seorang
pemuda yang merasa dikhianati cintanya ingin membunuh bekas
46 Malaysia Mental Health Association (MMHA), Obsesif Kompulsif, http:
//www.mentalhealth.org.my <index.htm> 47 Gerald C.Davison, et al., Psikologi Abnormal, 591.
47
47
pacarnya sebagai balas dendam. Namun sebagai seorang yang cukup
shaleh, ia ragu-ragu melaksanakan niatnya, sebab sadar bahwa
membunuh adalah dosa besar. Dalam keraguannya itu tiba-tiba ia
mempunyai kebiasaan baru, yaitu merasakan dorongan yang
sepertinya tidak terbendung untuk memcuci tangan, dan dorongan itu
dapat datang berkali-kali. Jadi niatnya untuk membunuh secara tidak
disadarinya telah direaksi dengan kompulsi mencuci tangan yang
melambangkan kebersihan atau kesucian.
4) Perasaan bersalah dan takut terkena hukuman. Kompulsi memcuci
tangan pada contoh di atas sekaligus mencerminkan perasaan bersalah
dalam diri pemuda itu karena sebagai orang shaleh memiliki niat jahat,
dan mungkin juga cerminan rasa takutnya terkena hukuman berat
seandainya ia melaksanakan niatnya.
5) Untuk menciptakan rasa aman tertib, khususnya menghadapi situasi
yang mengancam atau menimbulkan kecemasan. 48 Kompulsi mencuci
tangan pada contoh di atas juga dapat ditafsirkan sebagai kiat sang
pemuda untuk menciptakan rasa aman bagi dirinya di tengah
kecemasan karena akibat memiliki niat jahat.
Sedangkan menurut Kartini Kartono faktor-faktor penyebab
gangguan obsesif kompulsif yaitu:
48 Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 41.
48
48
a. Konflik-konflik antara keinginan-keinginan berbuat dengan kekuatan-
kekuatan melakukan sesuatu.
b. Represi terhadap pengalaman lama berupa trauma psikis (luka jiwa,
shock mental) dan trauma emosional.
c. Ada kebiasaan-kebiasaan tertentu dan idee-fixed (ide- ide keliru) yang
melekat dan terus-menerus mengganggu ketenangan batin.
d. Perbuatan-perbuatan kompulsi ini merupakan pengganti bagi
keinginan-keinginan yang ditekan. 49
4. Simtom-simtom Obsesif Kompulsif
Seseorang harus menunjukkan salah satu dari obsesi atau
kompulsi, dimana seseorang mengakui bahwa dirinya berlebihan (eksesif)
atau tidak masuk akal (unreasonable).
Obsesi digambarkan sebagai berikut:
a. Pikiran yang diulang-ulang dan menetap atau terus menerus, impuls,
atau bayangan (images) yang dialami sebagai hal yang bersifat
mengganggu dan tidak pantas. Hal tersebut menimbulkan anxiety atau
distress.
b. Pikiran-pikiran, impuls- impuls atau bayangan (images) tersebut adalah
hal yang tidak mudah menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan
dalam masalah kehidupan nyata.
49 Kartini Kartono, Petologi Sosial, 196.
49
49
c. Pikiran-pikiran, impuls- impuls, atau bayangan (images) yang mereka
coba abaikan atau mereka supress atau untuk di netralisir dengan
pikiran atau tindakan lainnya.
d. Pikiran-pikiran, impuls- impuls, atau bayangan (images) yang
merekaakui adalah hasil dari pikiran mereka sendiri.
Kompulsi digambarkan sebagai berikut:
a. Pengulangan perilaku (seperti mencuci tangan, keteraturan,
memeriksa) atau tindakan mental (seperti berdoa, menghitung, atau
mengulang kata-kata secara diam-diam)yang merasa dikendalikan
untuk menampilkan dalam respon terhadap sebuah obsesi atau sesua i
dengan aturan yang harus ditampilkan
b. Perilaku atau tindakan mental dengan maksud pencegahan atau
pengurangan distress atau pencegahan kejadian atau situasi yang
menakutkan. Bagaimanapun perilaku atau tindakan mental ini, atau
salah satunya tidak dihubungkan dengan cara-cara yang realistik
dengan apa yang mereka bangun untuk mencegah atau mengurangi
atau menyelesaikan sikap berlebihan. 50
50 Sutarjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal (Bandung: Refika Aditama,
2005), 77.
50
50
5. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Obsesif Kompulsif
Seseorang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif dalam
melakukan sesuatu perbuatan akan dilakukan secara berulang-ulang dan
terus menerus. Menurut Gerald C.Davison perilaku atau bentuk-bentuk
umum ritual obsesif kompulsif ini dapat berupa:
a. Mengupayakan kebersihan dan keteraturan, kadangkala melalui
upacara rumit yang memakan waktu berjam-jam dan bahkan sepanjang
hari. Seperti dalam membersihkan rumah harus menggunakan bahan
pembersih yang berlebihan dan tidak boleh terkena kotoran sama
sekali. Mandi dan mencuci tangan berulang-ulang, dan kadang-kadang
orang lain juga harus mengikutinya. Hal ini juga dapat membuat
penderita menghindari kegiatan bersih-bersih karena kesempurnaan
tidak pernah dicapai.
b. Menghindari obyek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang
berwarna coklat.
c. Melakukan praktek-praktek repetitif, magis, dan protektif. Seperti
menghitung, mengucapkan angka tertentu, atau menyentu semacam
jimat atau bagian tubuh tertentu.
51
51
d. Mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk memastikan bahwa
tindakan yang telah dilakukan benar-benar dilakukan. Seperti jendela
telah ditutup, pintu telah dikunci, dan kompor telah dimatikan. 51
e. Rumination (untuk mengulang kembali dalam pikiran da sering kali
secara lambat). Pikiran-pikiran yang bersifat menakutkan, tidak
menyenangkan, dan mengkhawatirkan. Seperti, ”jika saya menyentuh
orang lain, maka mereka akan terkena kanker”, ”jika saya
mempersiapkan makanan untuk orang lain maka akan
mengkontaminasi atau meracuni mereka”. Jika berhubungan dengan
ritual pembatalan, misalnya mengatakan atau melakukan sesuatu agar
orang yang disentuh tidak akan terkena kanker.52
Sedangkan menurut Kartini Kartono bentuk-bentuk tingkah laku
obsesif kompulsif yaitu:
a. Kleptomania yaitu tendensi yang tidak dapat dicegah untuk mencuri.
b. Pyromania yaitu tendensi yang tidak dapat dicegah untuk membakar.
c. Dipsomania yaitu tendensi yang tidak dapat dicegah untuk terus
menerus minum-minuman keras.
d. Wanderlust (wandellust) yaitu tendensi yang tidak dapat dicegah untuk
selalu bepergian, berpindah tempat, mengembara atau ngeloyor ke
mana-mana.
51 Gerald C.Davison, et al., Psikologi Abnormal, 216. 52 Malaysia Mental Health Association (MMHA), Apa itu Gangguan Obsesif Kompulsif, http:
//www.mentalhealth.org.my <index.htm>
52
52
e. Perbuatan ritualistik yaitu tendensi yang tidak dapat dicegah untuk
melakukan suatu perbuatan yang melambangkan satu ide. Misalnya,
terus-menerus menghitung, mencuci tangan atau kaki, kerapian yang
berlebih- lebihan, dan lain- lain.
Sebenarnya banyak juga orang yang dinyatakan sehat secara
psikologis masih juga melakukan ritual tertentu seperti, mencuci piring
setelah makan malam, atau memeriksa kunci-kunci cendela dan pintu di
tengah malam. Demikian pula halnya seseorang yang mengalami
munculnya kembali pikiran-pikiran seperti untaian kata-kata sebuah lagu
yang digemari, mungkin saja akan terus-menerus muncul dalam pikiran
seseorang. Obsesi dan kompulsi ini baru dianggap “neurotik” jika hal itu
tidak menunjang suatu tujuan tertentu, atau membuat seseorang menderita
atau mengacaukan kehidupan seseorang. 53
Gangguan obsesif kompulsif ini dapat mengganggu orang lain,
terutama anggota keluarga. Orang-orang yang terbebani kebutuhan yang
tidak dapat ditahan untuk mencuci tangan, atau menghitung setiap
keramik dilantai kamar mandi kemungkinan hal ini dapat menimbulkan
kekhawatiran dan bahkan kemarahan pada pasangan, pada anak, teman,
dan bahkan rekan-rekan kerja. Sementara penderita sendiri tidak dapat
menghentikan ritual tersebut.
53 Linda L. Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 231.
53
53
C. Terapi Rasional Emotif Behavior dalam Mengatasi Gangguan Obsesif-
Kompulsif
1. Terapi Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu contoh dari efek positif, di
mana penelitian modern telah menemukan gangguan didalam waktu
singkat. Pada tahun 1980-an, gangguan obsesif kompulsif dianggap
sebagai gangguan yang jarang dan berespon buruk terhadap terapi. Tetapi
sekarang diketahui bahwa gangguan obsesif kompulsif adalah sering
ditemukan dan sangat responsif terhadap terapi. 54 Dalam hal ini beberapa
terapi yang dapat diberikan pada penderita gangguan obsesif kompulsif
yaitu:
a. Terapi psikoanalisis
Terapi ini bertujuan untuk mengangkat perasaan yang
dianggap menghambat dan memberi jalan pada konseli untuk
menghadapi hal-hal yang benar-benar ditakutkannya. Karena pikiran
yang mengganggu dan perilaku kompulsif melindungi ego dari konflik
yang ditekan. 55
b. Pendekatan behavioral
Dalam terapi ini sangat dibutuhkan kerjasama antara konseli
dengan konselor dan kesabaran konseli itu sendiri. Dalam hal ini
54 Harold. I. Kaplan,et al., Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
(Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), 40. 55 Gerald C.Davison, et al., Psikologi Abnormal, 217.
54
54
konseli dikonfrontasikan dengan kecemasannya, kemudian ketika
perilaku obsesif kompulsif itu muncul maka perilaku tersebut itu harus
dicegah sampai beberapa jam kemudian hingg akecemasannya
menurun. Seperti kebiasaan mencuci tangan setelah menyentuh
berbagai benda, penderita disuruh memegang benda-benda, ketika
perilaku mencuci tangan itu akan muncul maka akan segera dicegah
dengan mengikat tangannya atau menghalangi perilaku mencuci tangan
sampai keinginannya tersebut hilang.
c. Terapi kognitif
Terapi ini bertujuan untuk mengubah kepercayaan dan pola pikir
konseli yang irasional berkaitan dengan kecemasannya. Melalui terapi
ini dibangun pola pikir yang rasional dalam diri konseli sehingga
kecemasannya dapat dihilangkan. 56
2. Langkah-langkah Terapi Rasional Emotif Behavior Dalam Mengatasi
Obsesif Kompulsif
TREB adalah sebuah terapi yang dimana sangat menekankan pola
berfikir seseorang. TREB menganggap bahwa berbagai reaksi emosional
yang terus menerus disebabkan oleh kalimat-kalimat internal yang
berulang-ulang dikatakan kepada diri sendiri dan pernyataan diri tersebut
56 Perlaku Obsesif Kompulsif (Posted On Psikology: 23 September 2005)
http://blog.kenz.or.id/category/psicology.
55
55
mencerminkan berbagai asumsi yang kadang kala menjadikan seseorang
yang berpikir irasional. TREB bertujuan untuk menghapus keyakinan-
keyakinan yang merusak diri sendiri.
Diantara keyakinan yang irasional menurut Ellis seseorang yang
mempunyai pandangan bahwa mereka harus kompeten dalam semua hal
yang mereka lakukan. Ellis berpendapat banyak orang yang benar-benar
meyakini asumsi yang tidak dapat dipertahankan tersebut dan
mengevaluasi peristiwa yang terjadi.57
Mengingat kasus obsesif kompulsif berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk menguasai ide yang muncul, maka untuk
mengatasinya peran pikiran sangat penting untuk dioptimalkan. Dengan
Terapi Rasional Emotif Behavior diharapkan mampu membantu konseli
menghapuskan keyakinan atau pikiran-pikiran yang menghambat diri
konseli.
Terapi Rasional Emotif Behavior akan membantu konseli
mengenali pikiran yang membuat kecemasan dan untuk mengoreksi
kesalahan pola berpikir dari perilaku yang dilakukan. Terapi ini akan
melatih konseli untuk berkonsentrasi pada pikiran dan kecemasan yang
dialaminya yaitu dengan tiga langkah:
a. Konselor menunjukkan bahwa cara berfikir konseli irasional.
Seseorang yang mengalami ganguan obsesif kompulsif mempunyai
57 Gerald C.Davison, et al., Psikologi Abnormal, 75.
56
56
pikiran bahwa dia harus kompeten dan sempurna, harus menghindari
kritik dan celaan orang lain, dan mempunyai pikiran bahwa dia akan
dihukum berat jika telah membuat kesalahan atau ketidaksempurnaan.
Maka dalam tahap ini konselor akan menunjukkan bahwa pola
berpikir yang seperti ini adalah irasional.
b. Menunjukkan pada konseli bahwa mempertahankan perilakunya yang
terganggu (kompulsif) karena konseli meneruskan cara berfikirnya
yang irasional. Cara berfikir yang irasional inilah yang menyebabkan
masih adanya gangguan obsesif komplsif.
c. Konselor menunjukkan bahwa berpikir dapat ditantang dan diubah.
Konselor akan membantu konseli mengalahkan ide yang irasional
dengan menggantinya dengan rasional, yaitu dengan memberikan
suatu bisikan bahwa orang melakukan kesalahan adalah suatu hal yang
wajar yang kadang-kadang berbuat salah. Dilangkah yang ketiga ini
konseli diharapkan dapat memahami bahwa dia tidak akan membaik,
juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha
sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan
irasionalnya.58
Dari langkah- langkah di atas yang lebih ditekankan adalah konseli
sadar bahwa dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran
dan perasaan-perasaan yang semula mengganggu dan konseli sebaiknya
58 Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi , 249.
57
57
menghadapinya secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha
menghapinya.
3. Kriteria Keberhasilan Terapi Rasional Emotif Behavior
Secara lebih khusus Ellis menyebutkan bahwa dengan Terapi
Rasional Emotif Behavior akan tercapai pribadi yang ditandai dengan:
a. Mempunyai minat diri terhadap sesuatu;
b. Mempunyai minat sosial;
c. Mempunyai arah diri;
d. Toleransi terhadap orang lain yang berbeda perilaku;
e. Fleksibel terhadap perubahan dan tidak bersifat kaku;
f. Mampu menerima ketidakpastian;
g. Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya;
h. Berpikir secara ilmiah;
i. Menerima diri tanpa syarat tertentu;
j. Berani mengambil resiko;
k. Bertanggung jawab terhadap gangguan mental.
l. Mampu belajar dari kesalahan yang telah diperbuat.59
Dalam hal ini berhasil tidaknya Terapi Rasional Emotif dalam
menangani gangguan obsesif kompulsif dapat dilihat perubahan-perubahan
sikap yang nampak pada diri konseli, kriteria itu antara lain:
59 Mohammad Surya, Teori-teori Konseling (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003), 16.
58
58
a. Konseli dapat merubah pikiran yang irasional menjadi rasional
sehingga perilakunya menjadi baik dan cenderung positif. Dalam hal
ini konseli dapat berhenti melakukan ritual-ritual mencuci tangan.
b. Konseli mempunyai pandangan hidup yang realistis sehingga terbebas
dari perasaan cemas.
Apabila konseli telah mengalami perubahan-perubahan sebagai mana
kriteria tersebut, maka terapi yang dilakukan oleh konselor dapat dikatakan
cukup berhasil.