OBI Liberalisasi Perdagangan AGRO Oke...
Transcript of OBI Liberalisasi Perdagangan AGRO Oke...
Obsatar Sinaga
Liberasi Perdagangan AgrOKesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:1. Hak Cipta merupakan hak eksklusifbagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hal Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Obsatar Sinaga
Puslitbang Kpk LPPM Unpad
Bandung
2011
Liberalisasi Perdagangan AgroLiberalisasi Perdagangan AgroKesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA
Pengantar:
Prof. Dr. Ina Primiana
LIBERALISASI PERDAGANGAN AGROKesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA
Copyright © Obsatar Sinaga, 2010
Editor : "Tim Editor M63 Foundation"
Setting/layout : Win'S
Indeks : Waluyo Zulfikar
Ilustrasi Cover : Prabowo Sakti
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Diterbitkan pertama kali oleh:
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung,
M63 Foundation
Bekerjasama dengan
Puslit KPK LPPM Unpad
Jl. Cisangkuy 62 Bandung 40115
Telp/Fax. (022) 7279435
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT);
Liberalisasi Perdagangan AGRO, Kesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA,
cetakan 1, Bandung; Penerbit AIPI Bandung, 2010
cetakan 2, 2011
xiv + 170 hal. 21 cm x 14 cm
termasuk tabel, gambar, daftar pustaka, dan indeks
ISBN: 978-602-9015-01-0
I. Liberalisasi Perdagangan Agro
II. Sinaga, Obsatar
III. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung
IV. Puslit KPK LPPM Unpad
uji syukur kehadirat Alloh Subhaanahu wata'ala yang telah
telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga Ppenulisan buku ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, namun penulis berkeyakinan
bahwa setiap pemikiran yang positif sedikit apapun pasti ada
manfaatnya. Semoga buku yang semula adalah disertasi penulis
ini dapat memberi masukan dalam pengkajian Ilmu Administrasi
Publik pada umumnya dan khususnya Ilmu Kebijakan Publik.
Untuk Orang tua penulis Ibu Hj. Sumarni Suatma
(almarhum) dan Bapak Marzuki Sinaga yang telah memberikan
dukungan moril dan do'a yang tiada henti-hentinya, penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang tulus dan mendalam.
Selain itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ganjar Kurnia; Prof. Dr. H.
Asep Kartiwa, Drs., SH., MS.; Prof. Dr. Ir. H. Mahfud Arifin, M.S.; Prof.
Dr. H. Engkus Kuswarno, M.S.; Dr. H. Memed Sueb, S.E., M.S., Ak.;
Prof. Drs. H. A. Dajadja Saefullah, M.A.; Prof. Dr. Josy Adiwisastra;
Prof. Dr. H. Tachyan,Drs.,MS.; Prof. Dr. H. Nasrullah, Drs., M.S.; Prof.
Prakata
vPRAKATA
Dr. H. Budiman Rusli, Drs., M.S.; Prof. Dr. H. Utang Suwaryo, Drs.,
M.S.; Yanyan Mochamad Yani, Drs., MAIR., Ph.D.
Juga patut saya sampaikan ucapan terimakasih kepada:
Dirjen ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia;
Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat; Kepala
Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Indutri dan Perdagangan
Agro Jawa Barat; Kepala Kamar Dagang dan Industri Jawa Barat;
Kepala Bappeda Jawa Barat; Kepala Biro Desentralisasi Setda
Propinsi Jawa Barat; Komunitas Komoditi Agro Jawa Barat.
Tentu saja penulis semestinya berterimakasih kepada isteri
tercinta Ina Herlina, S.IP., dan keempat anak kami, Afghan Prawira,
Muhammad Kahfi, Cinta Nadzira Sinaga, dan Lovely Jannati
Sinaga yang telah banyak memberikan dukungan yang tak ternilai
kepada penulis.
Kepada Prof. Dr. H. Dede Mariana selaku Kepala Puslitbang
KPK LPPM Unpad yang telah berkenan menerbitkan buku ini, serta
kepada sejumlah pihak yang turut andil dalam merancang
perubahan ujud dari disertasi menjadi buku ini, saya pun
menghaturkan terimakasih banyak. Demikian juga untuk Prof. Dr.
Ina Primiana yang telah memberikan catatan pengantarnya bagi
buku ini.
Penulis hanya bisa berterima kasih dan menyerahkan
kepada Allah SWT untuk membalas kebaikannya secara berlimpah
baik di dunia maupun di akhirat. Amiin.<
Penulis,
Dr. H. Obsatar Sinaga, M.Si
Ruang Publik dan Pertarungan Wacanavi LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
idang pembaca sekalian, sebagaima pepatah klasik yang
menyebutkan bahwa buku adalah gudang ilmu dan Smembaca adalah kuncinya, menjadi kian relevan di tengah
upaya kita semua mendorong pemerintah meningkatkan kualitas
manusia Indonesia.
Puslitbang Kebijakan Publik dan Kewilayahan LPPM Unpad
tentu saja memiliki niat untuk selalu menyebarkan setiap butir
hasil pemikiran apalagi hasil penelitian sehingga kian banyak yang
membacanya akan semakin baik, sekurangnya pemikiran-
pemikiran itu tidak akan berkutat di ruang-ruang sempit akademis
belaka, sebab publik juga memiliki hak untuk meningkatkan daya
kritisnya, menambah asupan ilmu pengetahuannya. Karena kami
yakin, buku adalah gizi bagi tumbuh kembang jiwa kemanusiaan
kita.
Melalui sejumlah penerbitan buku dan jurnal, Puslitbang
KPK LPPM Unpad bekerjasama dengan Penerbit AIPI Bandung
dan M63 Foundation, terus mencoba berkomitmen merealisasikan
niatan tersebut. Buku berjudul Liberalisasi Perdagangan Agro,
Kesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA karya Dr. H.
Kata Pengantar
viiKata Pengantar
Obsatar Sinaga, M.Si., ini semula merupakan manuskrip disertasi
pada program doktor (S3) ilmu administrasi program pascasarjana
FISIP Unpad. Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Ina Primiana Sagir,
M.T., yang telah berkenan memberikan kata pengantar. Juga
ucapan terima kasih kepada Rektor Unpad, Prof. Dr. Ganjar Kurnia,
DEA., yang selalu memotivasi dan menantang agar karya-karya
mahasiswa berupa Skripsi, Tesis, dan Disertasi dapat dipublikasi-
kan berupa buku sebagai salah satu wujud akuntabilitas insan
akademik kepada publik. Terima kasih pula kepada Dekan FISIP
Unpad, Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, S.H., M.S., yang senantiasa
berkomitmen untuk membeli karya-karya buku yang diterbitkan
guna melengkapi kepustakaan di perpustakaan FISIP Unpad.
Sedang pembaca sekalian, tegur dan sapa, kritik dan saran,
dari berbagai pihak, merupakan enerji bagi kami untuk selalu
bebenah diri agar edisi penerbitan-penerbitan buku selanjutnya
semakin bisa mencerahkan.
Selamat membaca!<
Kepala Puslitbang
KPK LPPM Unpad
Dede Mariana
Ruang Publik dan Pertarungan Wacanaviii LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
erbicara tentang AFTA yang kemudian dilanjutkan dengan
perjanjian lebih khusus seperti dengan China yang disebut BACFTA ataupun dengan India yang disebut AIFTA maka
yang terbayang dalam benak kita adalah mampukah Negara kita
berkompetisi dengan Negara-negara tersebut di dalam koridor
liberalisasi perdagangan? Bagaimanakah daya saing produk-
produk domestik pasca liberalisasi perdagangan tersebut. Dalam
kaitan tersebut Dr. Obsatar Sinaga tertarik untuk membahas
Implementasi AFTA di sektor pertanian.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki
kontributor tertinggi pada PDB Nasional, maka buku ini diharapkan
dapat memperkaya pengetahuan para pembuat kebijakan dalam
mendorong sektor pertanian di era AFTA ini khususnya di Jawa
Barat dan Indonesia umumnya.
Perbedaan buku ini dengan buku-buku yang membahas
tentang AFTA lainnya adalah dalam pembahasannya bukan
semata-mata ditinjau dari sisi ekonomi saja tetapi juga dari sisi
pemerintahan yaitu dikaitkan dengan struktur birokrasi yang ada
PENGANTAR: Prof. Dr. Ina Primiana
Peluang dan Tantangan AFTA di Sektor Pertanian
ixPENGANTAR
di Jawa Barat. Ternyata diperlukan penyesuaian ataupun
pemberdayaan terhadap struktur birokrasi yang ada agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan global secara cepat dan
terarah. Dan ini untuk menghindari ketidaktahuan informasi
tentang liberalisasi perdagangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat.
Demikian pengantar saya, selamat membaca dan semoga
dapat memperkaya pengetahuan tentang bagaimana peluang
dan ancaman dengan adanya AFTA khususnya di sektor
Pertanian.<
x LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRORuang Publik dan Pertarungan Wacana
PRAKATA
KATA PENGANTAR
PENGANTAR: Prof. Dr. Ina Primiana; Peluang dan
Tantangan AFTA di Sektor Pertanian
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Jalur Normal (normal track)...........................................
Jalur Cepat (fast track)......................................................
Problem Nasional dan Jawa Barat...............................
BAB 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Model-Model Implementasi Kebijakan.....................
Model Lane....................................................................
Model Van Meter dan Van Horn............................
Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier...........................................................................
Model Grindle..............................................................
v
vii
ix
xi
1
3
3
11
13
19
19
22
22
23
Daftar Isi
xiDAFTAR ISI
Model Hogwood dan Gunn....................................
Model George C. Edward III....................................
Komunikasi (communication)..............................
Komunikator.......................................................
Penerima (Receiver)...........................................
Media/Saluran Komunikasi (Channel-
Transmitter).........................................................
Hambatan (Noise).............................................
Sumberdaya (resources).........................................
Sumberdaya Aparatur......................................
Sumberdana Implementasi Kebijakan.......
Sarana dan prasarana (Facilities –
Infrastructure).....................................................
Disposisi atau Sikap dan Perilaku terhadap
Kebijakan (Disposition)...........................................
Pengaruh D i spos i s i (E f f ec t s o f
Dispositions)........................................................
Penataan Staf Birokrasi (Staffing the
Bereaucratic).......................................................
Insentif (Incentives)...........................................
Struktur Birokrasi (bureaucracy structure).......
Prosedur Operasional Baku (Standard
Operational Procedures - SOP).....................
Fragmentasi (Fragmentation).......................
BAB 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Motif Perdagangan dan Tekanan Liberalisasi..........
Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro.......................
Skenario Liberalisasi.........................................................
Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi..............................
24
32
33
34
34
35
35
37
38
39
39
40
40
40
41
41
42
43
45
45
48
49
50
xii LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRORuang Publik dan Pertarungan Wacana
54
55
61
63
64
65
66
68
72
73
78
81
83
84
87
88
93
94
95
96
Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan
Usaha Industri Agro..........................................................
Analisi Kebijakan...............................................................
BAB 4 MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro
Propinsi Jawa Barat............................................................
Program Pengembangan Agribisnis....................
Program Pengembangan Usaha dan Peman-
faatan Sumberdaya Agro Kelautan.......................
Program Pengembangan Industri Manufaktur
Agro.................................................................................
Program Pengembangan Perdagangan Agro
Dalam dan Luar Negeri..............................................
Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Jawa
Barat 2005-2025.................................................................
Sari dari RPJPD Jawa Barat Tahun 2005-2025..........
Sentra Produksi Komoditas Agro Jawa Barat..........
Produktivitas Komoditi Agro.........................................
Karakteristik Fluktuasi Harga Produk/Komoditi
Agro........................................................................................
Faktor-Faktor Penentu Daya Daing Jawa Barat.......
Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro
dalam Kerangka AFTA......................................................
Realitas Lapangan..............................................................
Faktor Transmisi dari Komunikasi................................
Pertentangan Pendapat............................................
Penyimpangan (Distorsi)..........................................
Persepsi Pribadi Pelaksana.......................................
xiiiDAFTAR ISI
Faktor Kejelasan (Clarity).................................................
Keadaan Sumber Daya (Resources)..............................
Staf yang Melaksanakan..................................................
Informasi...............................................................................
Kewenangan (Authority).................................................
Fasilitas-Fasilitas Fisik Material......................................
Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi)......
Struktur Birokrasi (Bueraucratic Structure)................
Implikasi Kebijakan...........................................................
Pembangunan Data Base Potensi Lokal.....................
Skala Prioritas Agenda Hubungan Luar Negeri.......
Struktur Baru: Biro Kerjasama Luar Negeri di Setda
Propinsi Jawa Barat............................................................
Pengembangan Mekanisme Diplomasi Publik
melalui Sistem Pelayanan Informasi Pember-
dayaan Publik......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
RIWAYAT SINGKAT PENULIS
97
100
101
103
107
111
117
124
129
130
132
133
134
161
177
190
xiv LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRORuang Publik dan Pertarungan Wacana
iberalisasi perdagangan, investasi maupun jasa baik pada
tingkat regional maupun global telah menuntut negara-Lnegara di seluruh dunia untuk meningkatkan kemam-puan
bersaingnya seiring dengan semakin terbukanya pasar
internasional. Dalam skala regional, Indonesia tidak luput dari
tuntutan terhadap liberalisasi perdagangan ASEAN Free Trade
Agreement (AFTA).
AFTA ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN ke-IV tahun 1992. Peluncuran AFTA ini dilatarbelakangi
oleh keberhasilan kerjasama regional lainnya seperti NAFTA, Pasar
Tunggal Eropa, dan keinginan negara-negara anggota ASEAN
sendiri untuk lebih membuka perekonomiannya. Melalui
pembentukan AFTA, ASEAN yang akan berpenduduk lebih dari
500 juta jiwa pada tahun 2010 merupakan pasar potensial,
sekaligus mempunyai daya tarik yang lebih besar bagi investasi
intraregional maupun dari luar ASEAN.
Upaya perwujudan AFTA ini sangat memberikan harapan.
Hal itu secara jelas tercermin dari kesediaan negara-negara
ASEAN untuk memulai pelaksanaan AFTA terhitung sejak tanggal
1bab 1 PENDAHULUAN–
BAB 1
Pendahuluan
1 Januari 1993 ketika semua negara anggota telah menyampaikan
jadwal penurunan tarifnya dan mencapai puncaknya pada tahun
2002 ketika suatu kawasan perdagangan bebas AFTA telah
terbentuk di Asia Tenggara.
Indonesia mendukung diberlakukannya AFTA secara ber-
tahap melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT),
yaitu daftar barang-barang komoditi yang diperjualbelikan antar
negara-negara ASEAN yang telah dikurangi tarif bea masuknya.
Implementasi penurunan tarif beberapa komoditas yang tertuang
dalam ketentuan CEPT dalam agenda AFTA terbagi dalam tiga
kelompok yaitu: 1) Kategori CEPT (Fast Track); 2) Kaegori Normal
(Normal Track) dan; 3) Kategori perkecualian sementara
(Temporary Exclusion List).
Penurunan tarif dari beberapa komoditas tersebut telah
dimulai pada tahun 1993 dan (diharapkan) akan berakhir pada
tahun 2008. Maksudnya tingkat tarif seluruh komoditas
manufaktur dan hasil olahan pertanian akan diturunkan menjadi
0-5 % dalam waktu 15 tahun.
Hambatan-hambatan teknis dan non-teknis yang meling-
kupi perdagangan intra-regional ASEAN juga akan dihilangkan.
Untuk komoditas yang termasuk dalam kategori cepat (fast track)
yang meliputi 15 kelompok komoditas dan konon mencapai 40%
dari volume perdagangan ASEAN, setiap negara anggota ASEAN
bahkan diharapkan untuk mengurangi tingkat tarif pada
perdagangan intra ASEAN lebih kecil 5% paling lambat pada akhir
tahun 2003.
Untuk komoditas yang termasuk dalam kategori per-
kecualian (temporary exclusion list), walaupun bersifat untuk
sementara, negara anggota mempunyai komitmen moral untuk
melepas status eksklusivitas itu pada akhir tahun 2001. Tahapan
2 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
menuju ke sana telah dimulai, misalnya pada pertemuan para
Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-26 di Thailand (September
1994), penurunan tarif kedua jalur pertama (cepat dan normal)
dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Jalur Normal (normal track)
Komoditas dengan tingkat tarif di atas 20% akan dikurangi
hingga 20% sebelum 1 Januari 1998, dan secara betahap
dikurangi dari 20% menjadi 0 - 5% sebelum 1 Januari 2003
komoditas dengan tingkat tarif sebesar 20% atau kurang akan
di kurangi hingga 0 - 5% sebelum 1 Januari 2000.
2. Jalur Cepat (fast track)
Komoditas dengan tarif di atas 20% akan dikurangi menjadi 0-
5% sebelum 1 Januari 2000. Komoditas dengan tarif sebesar
20% atau kurang akan dikurangi hingga 0-5% sebelum 1
Januari 1998.
Secara keseluruhan melalui skema CEPT terdapat lebih dari
14.800 komoditas yang termasuk dalam kategori cepat, hampir
26.000 dalam kategori perekonomian sementara (lihat Tabel di
bawah ini).
Tabel 1.1. Jumlah Komoditas dalam CEPT
Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2003
3bab 1 PENDAHULUAN–
NEGARA CEPAT NORMALPERKECUALIAN
SEMENTARA
Brunei
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
Sub total
Total
2,377
2,819
2,985
960
2,183
3,531
14.885
3,618
4,539
5,170
5,170
3,473
5,146
25.918
236
1,648
621
694
1
122
3,322
44.095
Sejak tahun 2003 daftar perkecualian sementara umumnya
meliputi bahan kimia, plastik dan sektor kendaraan bermotor yang
mencapai lebih dari 45 % dari daftar perekonomian itu, Indonesia
bahkan memasukan jumlah komoditas terbesar, yaitu sebesar
1.648 terutama pada sektor bahan kimia. Sementara Brunei
memasukan daftar perkecualian sementara pada sektor mesin
dan barang-barang elektronik, kendaraan di Malaysia, tekstil di
Filipina dan kendaraan di Thailand.
Sementara itu, hasil kesepakatan AEM ke-26 di Thailand
(September 1994) juga diantaranya memasukan semua
komoditas pertanian yang belum diolah ke dalam skema CEPT.
Para anggota ASEAN pun sementara telah mengelompokan
komoditas pertanian ke dalam tiga jalur: 1) Daftar normal/cepat;
2) Daftar perkecualian dan; 3) Daftar sensitif.
Dalam pertemuan tingkat Menteri Ekonomi ASEAN (AEM)
dan tingkat Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN (AMAF)
telah menghasilkan daftar-daftar yang termasuk ke dalam tiga
kategori tersebut. Hal yang cukup mengagumkan adalah bahwa
68 % dari hampir 200 komoditas yang semula tidak termasuk CEPT
kini telah dimasukan dalam daftar normal cepat (immediate
inclusion).
Tabel 1.2.
Komoditas Pertanian Belum Diolah
Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2007
4 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
URAIAN JUMLAH PERSENTASE
Daftar Normal/Cepat
Daftar Perkecualian
Daftar Sensitif
TOTAL
1.358
402
235
1.995
68
20
12
100
Berdasarkan Tabel 1.2. terlihat bahwa komoditas yang masuk
daftar cepat/normal sebagai agenda penting AFTA mencatat angka
yang tinggi. Hal tersebut sekaligus menjadi penyebab lambatnya
proses implementasi kebijakan AFTA secara menyeluruh.
Hambatan pelaksanaannya adalah pertama, hambatan
prosedur dan administrasi. Kedua, perbedaan tarif efektif di
negara-negara anggota ASEAN atas suatu barang yang sama
setelah dikenakan MOP (Margin of Preference). Ketiga, perbedaan
kebijakan dan program diantara negara-negara atas produk yang
termasuk dalam CEPT. Keempat, produk-produk CEPT masih
terkena halangan nontarif, seperti pembatasan jumlah impor, dari
sini dibutuhkan suatu terobosan bagi kerja sama ASEAN.
Meskipun AFTA sudah dilaksanakan sejak tahun 2003,
namun pada kenyataannya terus mengalami kemunduran
dikarenakan produk-produk yang masih dipersoalkan tarifnya,
utamanya komoditas pertanian. Secara khusus, Indonesia sebagai
salah satu negara anggota ASEAN juga tidak dapat menghindar
dari proses liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Tenggara ini.
Pada tataran administratif Sekretariat ASEAN (ASEAN
Secretariat) memiliki perwakilan di setiap negara anggota ASEAN
yakni Sekretariat Nasional ASEAN di bawah Departemen Luar
Negeri. Dengan kata lain di era reformasi Indonesia, implementasi
AFTA di tingkat nasional meliputi instansi terkait seperti Seknas
ASEAN, pemerintahan pusat, dan pemerintah daerah. Hal itu perlu
secara saksama dikaji karena dewasa ini pelaksanaan otonomi
daerah telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai
salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan luar
negeri. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri
(Deplu) RI memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah
untuk menjalin kerja sama dengan luar negeri.
5bab 1 PENDAHULUAN–
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dalam beberapa pasalnya mengatur soal kerja sama. Salah satu
diantaranya disebutkan bahwa ”daerah dapat mengadakan kerja
sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan luar
negeri yang diatur dengan keputusan bersama”.
Sementara dalam UU Nomor: 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, antara lain disebutkan hubungan luar
negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional
dan internasional yang dilakukan pemerintah di tingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan
usaha, organisasi masyarakat, LSM atau warga negara Indonesia
(Pasal 1, Ayat 1).
Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan
Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan
hukum serta kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi
semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah
maupun nonpemerintah (Pasal 5, Ayat 1 dan 2).
Kaitannya dengan implementasi AFTA, Departemen Luar
Negeri RI memberi peluang kepada daerah untuk melakukan kerja
sama luar negeri dalam kerangka AFTA dengan berpedoman pada
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Peran
Deplu yaitu memadukan seluruh potensi kerjasama daerah agar
tercipta sinergi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Selain itu, mencari terobosan baru, menyediakan data yang
diperlukan dan mencari mitra kerja di luar negeri, mempromosikan
potensi daerah di luar negeri, memberikan perlindungan kepada
daerah, memfasilitasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Kemudian sesuai dengan perkembangan ekonomi dan
politik di dalam negeri, penyelenggaraan hubungan luar negeri
6 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dan pelaksanaan politik luar negeri tampaknya cenderung
memberikan penekanan pada kepentingan ekonomi. Dalam
mengintensifkan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri di bidang ekonomi, Indonesia lebih
mendorong keterlibatan lembaga-lembaga non-pemerintah
(second track diplomacy) di bidang ekonomi, seperti Kamar
Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) baik di tingkat nasional
maupun daerah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UU Nomor 37 tentang
Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional telah memberikan dasar hukum yang
lebih baik bagi koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan
hubungan luar negeri. Pola diplomasi yang kini berkembangpun
tidak lagi semata-mata bertumpu pada jalur first track diplomacy
yang bersifat formal antar pemerintah, melainkan juga semakin
sering terlaksana melalui jalur second track diplomacy yang
bersifat informal antar non-pemerintah.
Kaitannya dengan keterlibatan aktif pemerintahan daerah
dalam proses perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara,
Propinsi Jawa Barat mempunyai potensi dan peluang yang sangat
besar menjadi salah satu pusat perdagangan, jasa, agrobisnis dan
agroindustri terkemuka di Indonesia melalui pengembangan
kerjasama luar negeri dalam kerangka AFTA.
Lebih lanjut, dasar hukum kerja sama daerah, khususnya
Propinsi Jawa Barat, dengan luar negeri yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerin-
tahan Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintaha Daerah;
7bab 1 PENDAHULUAN–
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional;
4. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
5. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
6. Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/01
tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri
oleh Daerah;
7. Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri;
Secara khusus, di Propinsi Jawa Barat telah dikeluarkan
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar Negeri.
Keputusan Gubernur Jawa Barat ini merupakan salah satu bentuk
upaya sungguh-sungguh membangun kerja sama luar negeri
dalam rangka pemberdayaan potensi daerah Jawa Barat,
termasuk upaya keterlibatan Jawa Barat dalam perdagangan
bebas komoditas pertanian di bawah aturan AFTA.
Perkembangan agrobisnis dan agroindustri di Jawa Barat
mempunyai prospek yang sangat baik. Hal itu dikarenakan
beberapa faktor yakni didukung oleh sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang melimpah, permintaan komoditas dari
dalam dan luar negeri tinggi, variabilitas produk yang dapat
dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor tinggi, usaha dalam
bidang agrobisnis dan agroindustri merupakan bisnis dengan nilai
milyaran dollar sehingga dapat menjadi sebagai sumber devisa.
Secara demikian pengem-bangan agrobisnis dan agroindustri
dapat memiliki keunggulan komparatif dengan bangsa lain.
8 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Namun, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan
AFTA di Jawa Barat tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Misalnya saja berbagai kebijakan kaitannya dengan proses AFTA
di Jawa Barat belum dapat mengatasi berbagai kendala yang
dihadapi agrobisnis dan agroindustri komoditas pertanian di Jawa
Barat yakni lingkungan makro ekonomi yang belum kondusif,
permodalan, sumber daya manusia, teknologi, manajerial,
pemasaran, dan jaringan kerja (networking).
Hasil pengamatan awal di lapangan berkenaan dengan
berbagai kendala yang dihadapi agrobisnis dan agroindustri di
Jawa Barat antara lain: pertama, berkenaan dengan ketersediaan
sumber logistik bahan baku yang memiliki ketidakpastian yang
tinggi karena pemetaan potensi sumber bahan baku belum
adikuat serta kapasitas, kualitas, dan kuantitas yang belum
memadai karena kerap menerapkan manajemen uji coba (trial and
error), kedua, terdapatnya mismanajemen dalam produksi,
keuangan, perawatan, persediaan, dan organisasi; ketiga, masih
terbatasnya informasi pasar yang dapat menunjang kelancaran
distribusi dan pemasaran karena terdapatnya hambatan dalam
akses dan distribusi informasi, system dan tata niaga, metode
distribusi dan transportasi, implementasi MSTQ (Measurement,
Standard, Testing and Quality) yang tidak berjalan dengan baik,
keempat, masih rendahnya tingkat pelayanan purna jual dan nilai
tambah komoditas karena latar belakang pendidikan,
pengetahuan, teknologi dan inovasi yang masih rendah di
kalangan petani serta standar mutu dan HAKI yang minim.
Kondisi di atas memunculkan ketertarikan untuk mengada-
kan suatu penelitian tentang bagaimana sebenarnya kondisi riil
kesiapan komunitas pertanian Jawa Barat di dalam menghadapi
perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Penelitian ini
9bab 1 PENDAHULUAN–
mengambil lokus di Jawa Barat dengan spesifikasi pada Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat, Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Barat, Dewan Pengurus Daerah Asosiasi
Pengusaha Komoditas Pertanian.
Propinsi Jawa Barat, dan Kamar Dagang Indonesia Daerah
Jawa Barat (KADINDA JABAR) dengan pertimbangan komunitas
komoditas pertanian di tingkat Jawa Barat dapat merupakan
barometer perkembangan perdagangan komoditas pertanian
dalam kerangka AFTA di Jawa Barat.
Alasan pemilihan komoditas pertanian dikarenakan dalam
konteks implementasi AFTA terdapat empat daftar produk yang
masuk dalam skema CEPT, yaitu: 1) Inclusion list (hambatan non-
tarifnya harus dihapuskan dalam 5 tahun; tidak ada pembatasan
kuantitatif); 2) General exception list (daftar produk yang
dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap
penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional. Misalnya:
senjata, amunisis, arkeologis, narkotik, dsb); 3) Temporary
exclusion list (daftar produk yang dikecualikan sementara untuk
dimasukan dalam skema CEPT, misalnya: barang manufaktur,
produk pertanian olahan); 4) Sensitive list (produk pertanian
bukan olahan. Misalnya: beras, gula, produk daging, gandum,
bawang putih, cengkeh, dsb.
Tahun 2008 diharapkan semua negara anggota ASEAN
sudah menerapkan skema CEPT terhadap sensitive list (produk
pertanian bukan olahan). Padahal perdagangan agrikultur intra
ASEAN masih memiliki tingkat proteksi yang tinggi, hanya
Singapura, Brunei (0%), Vietnam (0,92%) yang sudah menerapkan
tarif di bawah 5%. Segangkan Malaysia (5%), Filipina (8%),
Indonesia (12%), dan Thailand (15%) pada tahun 2003. Jadi,
penelitian ini menarik untuk dilakukan sebab berupaya untuk
10 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mengkaji implementasi AFTA dalam perdagangan komoditas
pertanian pada tataran akar rumput daerah Jawa Barat di
Indonesia.
Keseluruhan pemikiran itu dikemas dalam judul penelitian:
“Implementasi AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) Bidang
Perdagangan Komoditas Pertanian di Jawa Barat, Indonesia”.
Problem Nasional dan Jawa Barat
Permasalahan yang teridentifikasi yakni implementasi AFTA
di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Birokrasi pemerintahan belum mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan dari dimensi administrasi dan dimensi
politis yang terkait dengan implementasi AFTA di Indonesia.
Dalam konteks Jawa Barat, penulis menemukan fakta
bahwa permasalahan yang utama adalah implementasi AFTA
dalam perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Persoalannya kemudian adalah:
Mengapa implementasi AFTA dalam perdagangan komoditas
pertanian di Jawa Barat belum berjalan sebagaimana diharapkan?
Tulisan ini diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor
apakah yang paling besar berperan dalam implementasi AFTA di
Indonesia, khususnya perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat, serta untuk memperoleh konsep baru bagi pengembangan
ilmu kebijakan publik khususnya kebijakan hubungan luar negeri.
Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
konseptual yang bersumber dari penerapan sudut pandang (a
way of looking at) administrasi yaitu pada konteks kelembagaan,
administrasi dan organisasi untuk menelaah implementasi AFTA
yang diupayakan oleh suatu negara anggota ASEAN (Indonesia)
11bab 1 PENDAHULUAN–
dalam organisasi regional sehinga dapat menambah perspektif
ilmu administrasi dalam kerja sama intra ASEAN, serta diharapkan
dapat memperkaya perspektif pengembangan ilmu administrasi.
Sedangkan bagi aspek guna laksana, tulisan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintahan
Indonesia dalam implementasi AFTA di Indonesia, khususnya bagi
pemerintahan Kota/Kabupaten di Indonesia dalam memahami
makna, proses, dan tujuan mengadakan kerjasama luar negeri
dalam kerangka otonomi daerah.<
12 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mplementasi kebijakan dapat diidentifikasikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, Ibaik secara individu maupun kelompok dengan maksud
untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan.
Secara sederhana kegiatan implementasi kebijakan merupakan
suatu kegiatan penjabaran suatu rumusan kebijakan yang bersifat
makro (abstrak) menjadi tindakan yang bersifat mikro (konkrit)
atau dengan kata lain melaksanakan keputusan (rumusan)
kebijakan yang menyangkut aspek manajerial dan teknis proses
implementasi baru dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran
telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, serta dana
telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran-sasaran
tersebut.
Menurut Howlet dan Ramesh (1995:153), “Its is defined as
the process whereby programs or policies are carried out; it donotes
the translation of plans into practice”. Kemudian Lane (1993:197)
dalam bukunya The Public Sector; Concepts, Models, and
Approaches menyebut Paul A. Sabatier sebagai pionir dalam
implementasi kebijakan khususnya analisis implementasi. Paul A.
13bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
BAB 2
Implementasi Kebijakan
Sabatier mengemukakan bahwa ada dua model yang dipacu
(com\-peting) dalam implementasi kebijakan yakni implementasi
berdasarkan top-down dan berdasarkan bottom up.
“Paul A. Sabatier, a pioneer in implementation analisys, raises some fundamental questions about the nature of implementation in a review of the present state of implementation theory (Sabatier, 1986). Although Sabatier's analysis of the two competing models of implementation– topdown versus bottom-up implementation....”
(Lane, 1993: 90).
Jika dilihat dari model pembuatan kebijakan publik maka
kedua aspek ini terdapat pada setiap model dari pembuatan
kebijakan tersebut, seperti model elite, model proses (sebagai
aktivitas politik), dan model inkrementalis menggambarkan
pembuatan kebijakan yang didasarkan pada model top down.
Gambar dari model bottom up dapat dilihat pada model kelompok,
model kelembagaan dan beberapa model lain yang jika
digambarkan akan merupa-kan model yang berasal dari bawah
(bottom up). Lebih lanjut dijelaskan oleh Lane bahwa pada dasarnya
implementasi dapat dibedakan berdasarkan implementasi sebagai
outcome dan implementasi sebagai suatu proses.
“In addition, because policy implementation is considered to depend on program outcomes, it is' difficult to separate the fate of policies from that of their constituent programs. Its success programs as designed. In turn, overall policy implementation can be evaluated by measuring program outcomes against policy goals. ”(Grindle, 1980:7).
Hubungan antara kebijakan dan program dalam suatu
implementasi kebijakan merupakan fungsi dari implementasi
program yang mempunyai pengaruh dalam mencapai outcome seb-
agai konsekuensi dari studi implementasi kebijakan. Implementasi
14 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kebijakan senantiasa melibatkan hasil penelitian dan analisis dari
pelaksanaan program nyata yang mempunyai bentuk sebagai
sarana yang dapat menjadikan sasaran kebijakan yang luas.
Walaupun studi implementasi merupakan suatu pendekatan
atau kecenderungan baru dalam studi Administrasi Negara
(administrasi pembangunan), pada hakekatnya bukanlah hal yang
sama sekali baru, paling tidak dalam arti konsep dan ruang lingkup
yang telah lama menjadi bidang perhatian studi administrasi
pembangunan. Namun harus diakui bahwa konseptualisasi, model,
pendekatan penerapan dalam penelitian dan pengkajian terhadap
proses pembangunan nasional, dengan studi kasus terhadap
beberapa program pembangunan nasional tertentu, memang
merupakan sesuatu yang relatif baru di Indonesia.
Masalah implementasi kebijakan (policy implementation)
sejak kurang lebih dua dekade terakhir, telah menarik perhatian
para ahli ilmu sosial, khususnya ilmu politik dan Administrasi
Negara, baik di Negara maju atau industri maupun di Negara
berkembang. Masalah implementasi kebijakan (pembangunan)
telah menarik perhatian karena dari berbagai pengalaman di
negara maju dan di negara berkembang menunjukkan bahwa
berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, mulai dari yang
sederhana sampai yang rumit. Faktor tersebut antara lain berupa
sumberdaya manusia sampai pada struktur organisasi dan
hubungan kerja antarorganisasi; dari masalah komitmen para
pelaksana sampai sistem pelaporan yang kurang lancar, dan dari
sikap politisi yang kurang setuju sampai faktor lain yang sifatnya
kebetulan.
Dalam kenyataan, hal itu dapat mempengaruhi program-
program pembangunan, baik dalam arti mendorong keberhasilan
maupun menjadi penyebab berbagai kegagalan atau kurang
15bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
berhasilnya mencapai apa yang telah dinyatakan semula sebagai
tujuan kebijakan dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya
terwujud dan diterima oleh masyarakat. Upaya untuk memahami
adanya gap antara apa yang diharapkan dengan apa yang
sesungguhnya terlaksana atau yang diwujudkan dan diterima oleh
masyarakat sebagai “outcome” dari kebijakan telah menimbulkan
kesadaran mengenai pentingnya studi implementasi.
Secara umum implementasi adalah menghubungkan
antara tujuan kebijakan terhadap realisasi dengan hasil kegiatan
pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Grindle (1980:6)
bahwa:
In general, the task of implementation is to establish a link that allows the goals of publik policies to be realized as outcomes of governmental activity. It involves, therefore, the creation of a “policy delivery sistemr”, in whuch specific are designed and pursued in the expectation of arriving at particular ends.
Menurut Lane (1993:191), implementasi dapat dinyatakan
dalam formula-formula sebagai berikut: (DF1) Implementation = F
= (Intention, Output, Outcome). Dimana implementasi mengacu
kepada menghasilkan output dan outcome yang kongruen
dengan maksud awalnya. Dengan demikian implementasi
memiliki pengertian ganda, yaitu: (1) “eksekusi” di satu sisi dan, (2)
“fulfil” atau penyelesaian (accomplishment) disisi lain.
Konsep implementasi mencakup dua hal pokok yaitu
program kebijakan (policy) yang kemudian akan menghasilkan out-
come. Tujuan-tujuan dari kebijakan dirumuskan oleh berbagai
actor dalam proses politik, sehingga definisi actor ini meliputi dua
kelompok yaitu formator dan implementator.
16 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Dengan mengembangkan formula awal, maka implementasi
dapat dikemukakan dalam formula berikut: (DF2) Implementation =
F (Policy, Outcome, Form ator, Implementor, Initiator, Time).
Berdasarkan definisi implementasi kebijakan tersebut,
maka menurut Lane (1993:91), terdapat dua konsep dalam
implementasi yang memiliki fokus yang berbeda, yaitu: 1)
Implementasi sebagai tujuan akhir atau pencapaian kebijakan
(policy achievement). Focus dalam konsep ini adalah evaluasi, yaitu
menilai (implementation judgment) sampai sejauh mana
keberhasilan implementasi (fungsi penyelesaian/accomplishment
function); 2) implementasi sebagai proses atau eksekusi kebijakan
yang memberikan focus pada prosesnya (fungsi sebab akibat/
causal function).
Selanjutnya Lane mengemukakan bahwa konsep imple-
mentasi memiliki dua aspek, yaitu (Lane, 1993 :102): 1) Hubungan
antara tujuan (objective) dan hasil (outcome), sisi tanggung jawab
(responsibility side); 2) Proses untuk membawa kebijakan kedalam
efek yang merupakan sisi keepercayaa n (trust side).
Berdasarkan sisi tanggungjawab dan kepercayaan tersebut
dalam proses kebijakan terdapat dua model, yaitu (Lane,
1993:103): 1) Top-down model yang memberikan tekanan
berlebih pada sisi tanggungjawab (responsibility); 2) Bottom-up
model yang menekankan pada sisi kepercayaan (trust side), yang
berusaha untuk memberikan kebebasan kepada implementor,
sebagai alat untuk menangani ketidakpastian dengan fleksibilitas
dan pembelajaran.
Proses implementasi adalah kombinasi dari tanggung-
jawab (responsibility) dan kepercayaan (trust) dalam kaitan antara
warganegara dan sector publik secara umum dan dalam hubungan
antara politisi dan pejabat. Dalam proses implementasi sekurang-
17bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak harus ada,
yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan; (2)
kelompok target, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran, dan diharapkan akan menerima manfaat dari program
tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3) adanya pelaksana
(implementor), baik organisasi atau perorangan, yang ber-
tanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun
pengawasan dai proses implementasi tersebut.
Ketidakberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan yang sering
dijumpai antara lain disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya,
struktur organisasi yang kurang memadai dan kurang efektif, dan
atau karena komitmen (nilai) yang rendah di kalangan pelaksana.
Faktor-faktor politik atau waktu yang kurang tepat serta
bermacam alasan lainnya, turut pula mempengaruhi sebuah
kebijakan atau program hingga tidak dapat terlaksana dengan
baik.
Terdapat beberapa teori utama tentang implementasi.
Donald S. Van Meter and Ccarl E. Van Horn (1978) menyatakan
implementation as a linear process. Pandangan ini melihat
implementasi meliputi proses linear yang terdiri atas 6 variable
yang mengkaitkan kebijakan dengan performance: (a) Standar dan
tujuan; (b) Sumber daya; (c) Komunikasi dan aktivitas antara
organisasi; (d) Karakteristik agen-agen implementasi; (e) Kondisi
ekonomi, dan politik; (f) Sikap dari pelaksana.
Kemudian secara sederhana dikatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan penterjemahan dari pernyataan kebijakan ke
dalam tindakan (Cooper, 1998 :185). Keterkaitan yang sangat kuat
antara perumusan kebijakan dan implementasi dikemukakan oleh
Hogwood dan Gunn (Hogwood and Gunn, 1986:198): “ there is not
sharp divide between (a) formulating a policy and (b) implementing
18 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
that policy. What happens at the so – called “Implementation” stage
will influence the actual policy outcome. Conversely the probability
of a successful outcome (which we define for the moment as that
outcome desired by the initiators of the policy) will be increased if
thought is given as the policy design stage to potential problems of
implementation”.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perumusan
kebijakan harus dilakukan dalam “perspektif” implementasi, agar
kebijakan tersebut dapat di implementasikan secara efektif.
Model-Model Implementasi Kebijakan
1. Model Lane
Menurut Lane (1993:94), terdapat beberapa model
implementasi yaitu sebagai berikut:
a. Implementasi sebagai administrasi yang sempurna
(implementation as perfect administration). Model ini
dikemukakan oleh Hood yang merumuskan model
inplementasi yang menghasilkan implementasi kebijakan
yang sempurna. Model administrasi sempurna ini
mensyaratkan adanya struktur otoritas: hirarki (hierarchy),
kepatuhan (obedience), kendali (control) dan koordinasi
sempurna (perfect coordination). Kritik terhadap model
yang sifatnya top-down ini adalah adanya kompleksitas
intra atau inter organizational.
b. Implementasi sebagai manajemen kebijakan (implementation
as policy management). Model yang dikembangkan oleh
Sabatier dan Mazmanian ini mengemukakan kondisi-
kondisi yang mempengaruhi keberhasilan implementator:
a) Technology; b) Tujuan-tujuan yang tidak ambiquity
19bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
(bermakna ganda); c) Keahlian (skill); d) Dukungan (support)
dan consensus.
c. Implementasi sebagai evolusi (implementation as evolution).
Teori proses implementasi ini sebagai redefinisi dari
objectives (tujuan) dan reinter-pretasi dari outcomes, itulah
evolusi. Konsep evolusi dari implementasi berimplikasi
bahwa proses implementasi tidak dapat secara sederhana
dipisahkan dari tahapan-tahapan dari perumusan kebijakan,
objectives dan outcomes. Hal ini menunjukkan bahwa
implementasi adalah tanpa akhir (endless). Implementasi
akan selalu berevolusi, tidak dapat dihindari merupakan
reformulasi sebagaimana juga pelaksanaan kebijakan.
d. Implementasi sebagai pembelajaran (implementation as
learning). Dalam model ini implementasi merupakan suatu
proses pembelajaran tanpa akhir (an endless learning
process) dimana implementator melalui proses pencarian
yang kontinyu muncul dengan fungsi tujuan yang telah
diperbaiki dari teknologi program muncul dengan fungsi
yang telah diperbaiki dari teknologi program yang lebih
dapat diandalkan. Tidak ada suatu akhir yang alamiah dari
proses implementasi kebijakan, karena masing-masing
tahapan berarti suatu perbaikan dalam kaitan dengan
tahapan terdahulu, dimana berdasarkan perubahan waktu,
tujuan-tujuan asli sudah ditransformasikan (wildavsky).
e. Implementasi sebagai struktur (implementation as structure).
Model ini menyatakan bahwa struktur implementasi terdiri
atas himpunan dari anggota-anggota di dalam organisasi
yang melihat program sebagai kepentingan umum mereka.
Secara jelas, struktur implementasi meliputi kumpulan para
aktor, yaitu unit-unit yang melaksanakan program-program.
20 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
f. Implementasi sebagai outcome (implementation as
outcome). Model ini memusatkan perhatian pada
implementasi sebagai: “putting policy into effect”.
g. Implementasi sebagai suatu perspektif (implementation as
perspective). Model ini merujuk pada pendapat Walter
Williams dalam Lane (1993 : 95 ) yang mengemukakan
bahwa diperlukan mengambil perspektif khusus sebagai
titik awal untuk eksekusi kebijakan. Perspektif implementasi
disini adalah suatu jenis ilmu administrasi yang bersifat
praktis. Menurut William, perspektif implementasi adalah
perspektif para praktisi.
h. Implementasi sebagai pemetaan bagian belakang
(implementation as backward mapping). Model ini
menyatakan bahwa proses imlementasi melibatkan
sejumlah partisipan. Analisis implementasi sebenarnya
membutuhkan perhatian yang lebih difokuskan kepada
pihak-pihak yang bertang-gungjawab untuk menghasilkan
outmes pada basis kegiatan hari per hari (day-to-day basis).
i. Implementasi sebagai simbolisme (implementation as
symbolism). Model ini menyatakan bahwa tidak hanya
implementor yang dapat menolak perubahan atau pen-
dekatan bahwa tujuan dan program menurut interprestasi
mereka, tetapi juga pembuat kebijakan (policy maker)
dapat menganggap penting atau menguntungkan untuk
mengakibatkan eksekusi kebijakan. Hal ini menunjukkan
bahwa proses implementasi merupakan suatu simbolisme
secara politik (political symbolism).
j. Implementasi sebagai bermakna ganda (implementation as
ambiquity). Dalam model ini implementasi kebijakan akan
mengalami kegagalan (sidebut implementation deficit)
21bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
bukan karena adanya gap antara pembuatan kebijakan
yang rasional dengan implementasi kebijakan yang tidak
sempurna, tetapi karena the Loosences of policies.
k. Implementasi sebagai koalisi (implementation as coalition).
Sebatier dalam Lane (1993:95) mengemukakan bahwa
proses implementasi berbagai organisasi publik dan private
yang sharing keyakinan dan yang berusaha untuk
merealisasikan tujuan-tujuan umum mereka. Dalam model
ini implementasi dipahami sebagai proses jangka panjang
dimana koalisi (private dan publik) berinteraksi dan belajar
tentang teknologi dan outcome program.
2. Model Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh
van Meter dan van Horn (1978 : 145) disebut sebagai A Model of
The Policy Implementation Prosess yang mengemukakan adanya
enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan
dan pencapaian (performance). Model ini menunjukan hubungan
antara variabel-variabel bebas (independent variable) dan variable
terikat (dependent variable) mengenai kepentingan-kepentingan,
serta hubungan di antara variabel bebas.
3. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Sabatier dan Mazmanian dalam Wibawa (1994: 25) mem-
berikan perhatian yang lebih pada birokrasi. Dia menganggap
bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi
pelaksanaannya mematuhi apa yang telah digariskan oleh
peraturan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis). Karena
itulah model ini disebut sebagai model Top-down. Dengan asumsi
tersebut, maka tujuan dan sasaran program harus jelas dan
22 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
konsisten, karena ini merupakan standar evaluasi dan sarana yang
legal bagi birokrasi pelaksana untuk mengarahkan sumberdaya.
Model ini cenderung sentralistik dan otoriter kurang memper-
hatikan pendapat bawahan.
Penulis berpendapat bahwa model Mazmanian dan
Sabatier hanya lebih menekankan kepatuhan para imple-
mentator terhadap aturan-aturan artinya hanya bersifat top-down
sementara dalam kebijakan tentang AFTA dituntut untuk
mengakomodir tuntutan dari bawah atau lebih bersifat bottom-
up jadi teori ini kurang cocok.
4. Model Grindle
Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi
dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesikasikan,
program-program telah di desain, dan dana telah dialokasikan
untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-
syarat dasar (Basic Con-ditions) untuk eksekusi suatu kebijakan
publik. Selanjutnya Grindle mengemukakan bahwa proses
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi kebijakan (the
Content of Policy) dan konteks kebijakan (the Context of Policy)
yang terkait dengan formulasi kebijakan.
Isu kebijakan yang berkaitan dengan jenis kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi, yaitu:
a. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi;
b. Tipe keuntungan (dapat terbagi/tidak tebagi, jangka
pendek/panjang);
c. Tingkat perubahan perilaku;
d. Lokasi dari implementasi (secara geografi dan organi-
sasional);
23bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
e. Pelaksanaan program yang ditunjuk (kapasitas memanage
program);
f. Sumber daya.
Konteks kebijakan meliputi:
a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor-aktor yang
terlibat;
b. karakteristik institusi dan regim;
c. kerelaan/kesediaan (Compliance) dan responsiveness.
Penulis berpendapat bahwa model Grindle menyatakan
salah satu faktor dalam implementasi kebijakan adalah adanya
tipe keuntungan untuk jangka panjang (lebih dari 10 tahun)
sehingga lebih tepat untuk policy level karena dalam operational
level waktunya tidak lebih dari satu tahun.
5. Model Hogwood dan Gunn
Menurut Hogwood dan Gunn (1986 : 199) untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna
diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut :
The logical pre conditions of implementation, such as:
a. The circumstances external to implementing agency do not
impose crippling constraints.
b. That adequate time and sufficient resources are made
available to the program
c. That the required combination of resources is actually
available
d. That the policy to be implemented is based upon a valid
theory of cause and effect
e. That the relationship between cause and effect is direct and
that there are few any, interesting links
24 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
f. That dependency relationships are minimal
g. That there is understanding oj and agreement on objectives
h. That task are fully specify in correct sequence.
i. That There is perfect communications and coordination
j. That those in perfect communication can demand and ob-
tain in perfect compliance.
Selanjutnya Wahab (2002:71) mengacu pada pendapat
Hogwood dan Gunn menjelaskan bahwa untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna (perfect
implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu
sebagai berikut :
a. Kondisi ekternal yang dihadapi oleh badan pelaksana tidak
akan menimbulkan kendala yang serius
b. Waktu dan sumber daya yang memadai untuk memungkin-
kan pelaksanaan program
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
tersedia
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh teori
kausalitas yang andal
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit
mata rantai penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus seminimal
mungkin
g. Pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan
h. Tugas yang ditempatkan dalam urutan yang tepat
i. Komunikasi dan koordinasi yang baik
j. Pihak-pihak yang memiliki kewenangan kekuasa-an dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang penuh.
Selanjutnya penulis akan menguraikan sepuluh syarat dari
Hogwood dan Gunn dalam mengimplementasikan kebijakan:
25bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan Pelaksana Tidak
Menimbulkan kendala yang serius. Beberapa kendala pada
saat implementasi kebijakan berada di luar kendali para
administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di
luar jangkauan wewenang badan pelaksana. Hambatan-
hambatan tersebut diantaranya bisa bersifat fisik dan bisa
hambatan politis dalam arti bahwa baik kebijakan maupun
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan-
nya dapat diterima atau tidak disepakati oleh berbagai pihak
yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam ini
cukup jelas dan mendasar sifatnya sehingga sedikit sekali
yang dapat diperbuat oleh para administrator guna menga-
tasinya, (Hogwood dan Gunn, 1986 : 199): ”Some abstacles to
implementation are outside the control of administrators
because they are external to the policy and the implementing
agency. Such obstacles may be physical, or they maybe
political, in that either policy or measure needed to achieve it
are unacceptable to interest's which have the power to veto
them. These constraint are obvious and these is little that
administrators can do to overcome them except in their
capacity as adviser”.
Hambatan dalam kondisi eksternal ini didukung pula
oleh pendapat (Wahab, 2002:62) sebagai berikut: “Suatu
kebijakan boleh jadi tidak dapat diimplementasikan secara
efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai
pelaksanaan yang jelek atau baik pembuat kebijakan mapun
mereka yang ditugasi untuk melaksanakan sama-sama
sepakat bahwa kondisi eksternal benar-benar tidak
menguntungkan bagi efektivitas implementasi sehingga
tidak seorangpun perlu dipersalahkan. Dengan kata lain,
kebijakan itu telah gagal karena nasibnya memang jelek”.
26 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
b. Waktu dan Sumber Daya yang Memadai untuk Memungkin-
kan Pelaksanaan Program. “This condition partly overlaps the
first , in hat it often within the category of external constraints.
However, policies hich are physically or politically feasible
may strill fail to achieve state intentions. A common reasons is
that too much is expected too soon, especially when attitudes
or behaviour are involved. Another reasons is that politicians
sometimes will the policy and but not the 'means'.“ (Hogwood
dan Gunn, 1986: 200).
Pada syarat yang kedua dikemukakan bahwa alasan
yang biasanya dikemukakan untuk menerangkan penyebab
gagalnya suatu pencapaian tujuan, namun kurang peduli
dengan penyediaan sarana untuk mencapainya. Jika dana,
sarana dan waktu yang diperlukan dalam mengimplemen-
tasikan kebijakan tidak tersedia maka dapat menyebabkan
seluruh proses kebijakan yang sudah dijalankan menjadi
sia-sia, sehingga tujuan kebijakan yang telah dirumuskan
tidak dapat dicapai dengan optimal.
c. Perpaduan sumber-sumber daya yang benar-benar tersedia.
Dalam kenyataannya seringkali terjadi hambatan yang
serius, misalnya perpaduan antara lingkungan, dana, tenaga
kerja serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
menjalankan program yang seharusnya dipersiapkan secara
serentak, sehingga keterlambatan sumber-sumber tersebut
seringkali terjadi dan berdampak pada penyelesaian
program/proyek. “The third conditions follows on naturally
from the second, namely that there must not only be constraint
in term of overall resources but also that, at reach stage in the
implementation process, the appropriate combination of
resources mus actually.” (Hogwood dan Gunn. 1986:201).
27bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
Tersedianya sumber yang diperlukan tidak menjamin
bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik
jika tidak didukung dengan perpaduan antara sumber-
sumber tersebut. Sama halnya jika sumber daya yang telah
tersedia tidak dapat digunakan secara optimal, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengimplemen-
tasikan kebijakan. Pernyataan ini didukung pula oleh
Santoso yang menyatakan bahwa: “Personil yang tidak
memadai jumlahnya dan dengan kecakapan yang rendah
maka akan mempengaruhi dalam pelaksanaan kebijakan.
Selanjutnya pelaksanaan kebijakan dipengaruhi juga oleh
sumber daya yang memadai.” (Santoso, 1997:8). Dengan
demikian walupun jumlah pelaksana sudah memadai
namun jika tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
melaksanakan kebijakan termasuk menyampaikan informasi
kepada orangorang yang memerlukannya maka akan
mengakibatkan pencapaian tujuan dari kebijakan tidak
optimal.
d. Kebijakan yang Diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausal yang andal. Kebijakan terkadang tidak
efektif bukan karena kebijakan itu diimplementasikan
secara asal-asalan, melainkan karena itu sendiri memang
tidak baik. Hal ini dikarenakan tingkat pemahaman yang
tidak memadai mengenai tingkat persoalan yang akan
ditanggulangi sebab-sebab timbunya masalah dan cara
penyelesainnya atau peluang-peluang yang tersedia untuk
mengatasi masalahnya, sifat permasalahan dan tindakan
yang diperlukan. Permasalahan implementasi kebijakan
bila diselesaikan dengan analisis terhadap efisiensi
permasalahan, serta permilihan langkah analisis yang baik
dalam proses pembuatan kebijakan. “Policies are
28 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sometimes ineffective not because they are badly
implemented, but because they are bad policies. That is, the
policies maybe based upon in inadequate understanding of a
problems to be solved, its cause and cure or of an opportunity,
its nature, and what it needed to exploit it.... A problem of
implementation which can only be tackled by better analysis
at the issues definition and options analysis stages of the py
making process.” (Hogwood dan Gunn, 1986:202).
Alasan mengenai kebijakan yang tidak tepat ini, jelas
nantinya akan berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan. Pendapat yang mendukung Hogwood dan Gunn
ini dikemukakan oleh Wahab sebagai berikut: “Faktor
penyebab lainnya, namun kerapkali oleh para pembuat
kebijakan tidak diungkapkan secara terbuka kepada
masyarakat, ialah bahwa kebijakan itu gagal karena
sebenarnya sejak awal kebijakan tadi memang jelek, dalam
artian bahwa ia telah dirumuskan secara sembrono, tidak
didukung oleh informasi yang memadai, alasan yang keliru
atau asumsi-asumsi dan harapan-harapan yang tidak
realistis.” (Wahab, 2002:62).
e Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh
suatu hubungan kausal yang berlaku. “Pressman and
Wildavsky argue that policies which depend upon a long
sequence of cause and effect relationship have a particular
tendency to break down, since a longer chain of causality, the
more numerous the reciprocal relationship among the links
and the more complex implementation becomes, in other
words, the more links in the chain, the greater the risks that
some of them will prove to be poorly conceived or badly
executed.” (Hogwood dan Gunn, 1986:203).
29bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
Hogwood dan Gunn berdasarkan pendapat
Pressman dan Wildavsky, kebijakan yang tergantung pada
mata rantai yang sangat panjang dari hubungan kausalitas,
memiliki kecenderungan yang khusus untuk mengalami
kegagalan sebab makin panjang mata rantai kausalitas,
semakin banyak hubungan timbale balik diantara mata
rantai penghubungnya dan implementasinya menjadi
semakin kompleks, dengan kata lain, semakin banyak mata
rantai, semakin tinggi resiko dari beberapa mata rantai
tersebut mengalami kegagalan.
Dari penjelasan tersebut intinya bahwa semakin
banyak hubungan mata rantai dalam implementasi
kebijakan, maka semakin besar pula resiko tidak
tercapainya target yang ingin dica pai.
f. Hubungan saling ketergantungan harus seminimal
mungkin. ”The condition of perfect implementation that
there is a single implementing agency which need not
depend on other agencies mus be involved that the
dependency relatioanship are minimal in number and
importance.” (Hogwood dan Gunn, 1986:2004).
Implementasi kebijakan yang sempurna menuntut
adanya persyaratan bahwa untuk mencapai kesuksesan
hanya diperlukan badan pelaksana tunggal, walaupun
dalam pelaksanaan harus melibatkan badan atau instansi
lain, maka hubungan ketergantungan dalam organisasi-
organisasi tersebut haruslah pada tingkat yang minimal,
baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya.
Pendapat yang juga menyatakan mengenai hubungan
antara lembaga dan kaitannya dengan kurang antisipasi
terhadap teknis pelaksanaan dan perumusan suatu
30 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kebijakan dikemukakan oleh Hoogerwerf yang diterjemah-
kan oleh Nasroen sebagai berikut: “Lebih sering lagi tidak
cukup diberikan waktu pembentukan kebijakan kepada
aspek-aspek teknis dari pelaksanaan kebijakan yang
bersangkutan. Masalah ini umpamanya akan timbul jika
ada pemisahan kelembagaan antara pembentukan
kebijakan dengan pelaksanaan kebijakan.” (Hoogerwerf.
1983:170). Pendapat tersebut mengenai pentingnya
pelaksana tunggal, hal ini perlu untuk mengantisipasi
terjadinya konflik yang disebabkan adanya perbedaan
kesepakatan dan komitmen terhadap tujuan maupun
terhadap setiap taha-pan kebijakan.
g. Pemahaman dan Kesepakatan terhadap tujuan. Pada syarat
yang ketujuh Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa: ”The
requirement here is that ther should be complete
understanding of, and agreement on, the objectives to be
achieved, and that there conditions should persist through
out the implementation process.” (Hogwood dan Gunn,
1986: 205).
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman
yang menyeluruh mengenai tujuan dan kesepakatan
terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang
penting keadaan ini harus dapat diperthankan selama
proses implementasi. Setiap pelaksanaan tidak hanya harus
mampu melaksanakan suatu kebijakan, tapi yang lebih
penting mereka harus memahami tujuan yang harus
dicapai melalui kebijakan tersebut. Sehubungan dengan hal
itu Sunggono (1994:147) menyatakan bahwa pelaksana
tidak hanya dipersyaratkan memiliki kemampuan untuk
melaksanakan akan substansi kebijakan publik yang
31bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
hendak dilaksanakan. Tujuan yang diutarakan di dalam
kebijakan sering masih berupa garis besarnya saja. Tujuan
tidak diuraikan lebih operasional lagi, menyebabkan para
pelaksana kurang memahami tujuan yang diinginkan.
Implementasi suatu program tidak hanya membutuhkan
serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu,
melainkan juga kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran
serta komitmen pada tiap tahapan diantara sejumlah
pelaku yang terlibat, apabila hal tersebut tidak dilaksanakan
maka peluang bagi keberhasilan implementasi program
dan pencapaian hasil akhir yang diharapkan kemungkingan
akan makin berkurang.
6. Model George C. Edward III
Menurut Edward III, studi implementasi kebijakan adalah
krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi
kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. “The study policy implementation is crucial
for the study of public administration and public policy. Policy
implementation, as we have seen, is the stage of policy making
between the establishment of a policy and the consequences of the
policy for the people whom it affects.”. Selanjutnya dalam bukunya
“Implementing Public Policy” tersebut, Edward III (1980: 37)
mengemukakan terdapat 4 (empat) faktor kritis dalam imple-
mentasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumber daya, sikap
kecenderungan dan struktur birokrasi.“ four critical factor or
variable in implementing public policy: communication, resources,
disposition or attitudes, and bureaucratic structure”.
32 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
a. Komunikasi (communication)
Dalam proses komunikasi kebijakan, Edward III
(1980: 37) menyebutkan bahwa transmisi, konsistensi dan
kejelasan, memberikan pengaruh terhadap efektifitas
implementasi kebijakan. Para penerima informasi (target
audience) baik sebagai pengirim (sender) maupun
penerima (receiver) perlu mengetahui apa yang harus
dilakukan terhadap kebijakan.
Hakekat komunikasi yang dirangkum oleh Ibrahim
T.J., A. Sudiyono, dan Harpowo (2003: 37-38) dari pendapat
pakar ilmu komunikasi adalah: “Komunikasi pada
hakekatnya adalah proses pertukaran pesan-pesan verbal
dan atau nonverbal (message) diantara pengirim (sender or
sourceor communicator) dengan penerima (receiver-
communicant) melalui berbagai media (method, channel,
transmitter)– transmisi guna mengubah sikap dan perilaku
yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psiko-motorik”.
Proses alami komunikasi digambarkan oleh Schermerhorn,
et al (2003: 337) dengan menambah faktor noise: “A process
of sending and receiving messages with attached meanings.
They include a source, who encodes an intended meaning into
a message, and receiver, who decodes the message into a per-
ceived meaning. The receiver may or may not give feedback to
the source. Noise is the term used to any disturbance that
disrupts it and interferes with transference of the messages
within the communications process”. Maksud Schermerhorn
et al bahwa pelaksanaan komunikasi kebijakan antara
pemerintah dengan masyarakat merupakan suatu proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang mengan-
dung arti-arti. Mereka terdiri atas sebuah sumber yang
memberi tanda arti yang dimaksudkan dan penerima yang
33bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
ditandai pesan dengan arti yang diterima. Penerima bisa
memberikan atau tidak memberikan masukan balik kepada
sumber. Noise adalah istilah yang diberikan bagi gangguan
yang menghambat pesan-pesan dalam proses komunikasi.
1) Komunikator
Sumber komunikasi atau komunikator atau dalam
penelitian ini berfungsi sebagai implementator kebijakan
yang menurut Ibrahim et al (2003: 17) harus memiliki
keterampilan untuk meyakinkan atau mempengaruhi
orang lain, sehingga sebelum berkomunikasi, komuni-
kator harus meyakini terlebih dahulu kebenaran dan
rumusan kebijakan yang akan dikomunikasikan.
Komunikator kebijakan harus memiliki rasa percaya diri.
yang tinggi.
Komunikator kebijakan harus memiliki rasa
percaya diri yang tinggi, sehingga dalam proses
komunikasi kebijakan tidak terjadi hambatan-hambatan
yang berasal dari internal diri komunikator (Ibrahim et
al, 2003: 37-38).
2) Penerima (Receiver)
Ibrahim et al (2003 : 40) membagi dua kelompok
komunikasi ini yakni penerima yang dikehendaki
(intended receiver) dan penerima yang tidak dikehendaki
(unintended receiver). Fliegel F.C. (1984) dalam Swanson
B.E. (1984: 80) menyatakan bahwa beberapa tahapan
respon yang terjadi dalam diri penerima pesan
komunikasi tergantung pada; (1) bentuk pengetahuan
atau informasi (pesan) yang dikomunikasikan (baru atau
lama), adalah merupakan kondisi kualitas tertentu dari
informasi yang diperoleh berdasarkan perbedaan waktu
34 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mendapatkannya. (2) cara mengkomunikasikan atau
menyampaikan (persuasive, atau menarik), adalah
langkah-langkah bagaimana memperoleh informasi
tersebut, dengan jalan yang persuasive atau pemaksaan/
penekanan. (3) keputusan yang diambil oleh penerima
untuk implementasi atau adopsi dan konfirmasi, adalah
rencana penggunaan informasi yang telah diperoleh
tersebut yaitu untuk implementasi atau konfirmasi.
3) Media/Saluran Komunikasi (Channel-Transmitter)
Terdapat banyak cara, metode dan saluran
komunikasi baik secara lisan pada pendekatan individual
dan massal (pidato, ceramah, kuliah), maupun secara
tertulis (melalui poster, brosur, leaflet, selebaran dan
media cetak lain), audiovisual (film, TV, CD) dan bentuk-
bentuk lainnya. Semakin banyak cara, metoda dan
saluran komunikasi yang digunakan oleh komunikator
komunikasi kebijakan, semakin paham penerima
(receiver) kebijakan terhadap rumusan, implementasi
dan evaluasi kebijakan yang disampaikan itu (Ibrahim et
al, 2003 : 18).
4) Hambatan (Noise)
Noise or Communication barriers atau hambatan
komunikasi menurut Schermerhorn, Hunt and Osborn
(2003: 342) disebabkan oleh enam faktor yaitu: (a)
Distraksi fisik (physical distraction) yang merupakan
akibat dari gangguan konsentrasi yang disebabkan
perencanaan tidak menetapkan prioritas-prioritas; (b)
Masalah-masalah semantik (semantic problems), yakni
masalah bahasa dan kata-kata yang dapat menyebabkan
penerima pesan mempersepsikan lain isi pesan yang
disampaikan komunikator, sehingga komunikasi lisan
35bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
maupun tertulis harus benar-benar memperhatikan
bahasa dan memilih kata-kata yang tepat, atau dengan
lain kata: sampaikan pesan singkat dan sederhana (Kiss
principle) ; (c) Pesanpesan campuran (mixed messages)
yaitu ketika komunikator menyampaikan suatu pesan
dengan kata-kata, namun bersamaan dengan itu dibuat
gerakan-gerakan badan dan mimiknya (body language)
yang mengkombinasikan pesan lain; (d) Perbedaaan
budaya (cultural difference) yang terjadi pada komunikasi
lintas kultur; (e) Tiadanya masukan (absence of feedback)
yang terjadi pada komunikasi satu arah (one way
communication) dan terakhir adalah (f) Pengaruh-
pengaruh status (status effects) yang terjadi akibat
perbedaan tingkatan antara komunikator dan penerima.
Untuk menghilangkan pengaruh perbedaan tingkatan ini
maka komunikator dan penerima harus membangun
kemitrasetaraan dengan optimalisasi pada obyek
kegiatannya. Pelaksanaan pengkomunikasian kepada
penerima sebagai suatu proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan yang mengandung arti-arti.
Mereka terdiri dari sebuah sumber yang memberi tanda
arti yang dimaksudkan dan penerima yang ditandai
pesan dengan arti yang diterima. Penerima bisa
memberikan atau tidak memberikan masukan balik
kepada sumber. Noise adalah istilah yang diberikan bagi
gangguan yang menghambat pesan-pesan dalam
proses komunikasi. Jika terdapat tersendatnya komuni-
kasi dengan penerima disebabkan peran komunikator
masih belum optimal. Mereka terdiri atas sebuah sumber
yang memberi tanda arti yang dimaksudkan dan
penerima yang ditandai pesan dengan arti yang diterima.
36 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Penerima bisa memberikan atau tidak memberikan
masukan balik kepada sumber.
b. Sumberdaya (resources)
Faktor kedua yang mempengaruhi implementasi
kebijakan adalah sumberdaya. Edward III (1980:87)
menyebutkan bahwa walaupun ketiga faktor dalam dalam
proses komunikasi terpenuhi, namun tanpa dukungan
sumberdaya (manusia dan fasilitas) yang handal dan
memadai, implementasi kebijakan tidak akan efektif. Karena
peran komunikator merupakan faktor terpenting yang akan
menghalangi keberhasilan pelaksanaan kebijakan peng-
komunikasian, yang dalam hal ini dialami oleh banyak peran
komunikator yang mungkin akan menyebabkan kinerja
obyek kegiatan semakin menurun. Simanjuntak, (1985 : 30)
menyatakan bahwa sumberdaya masukan dapat terdiri atas
beraneka ragam faktor produksi seperti kapital, tanah,
bangunan, peralatan dan mesin, bahan baku dan sumber-
daya manusia. Kendatipun demikian dalam implementasi
kebijakan, faktor manusia adalah strategis karena
peningkatan produktifitas faktor produksi lainnya sangat
tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya
manusia yang menangani, mengelola, mengendalikan dan
memanfaatkannya. Sumberdaya kebijakan yang secara garis
besar terdiri dari sumberdaya manusia yakni sumberdaya
komunikator (dalam hal ini aparatur pemerintah) dan
sumberdaya produksi dan distribusi; di samping sumber-
daya alam baik berupa potensi alam, ketersediaan waktu,
ketersediaan tempat, serta sumberdaya buatan yang terdiri
dari ketersediaan sumber dana yang stabil, serta fasilitas-
fasilitas berupa sarana dan prasarana implementasi.
Pembagian sumberdaya kebijakan sebagai faktor penting
37bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
pada implementasi kebijakan dalam empat dimensi praktis
tersebut adalah:
1) Sumberdaya Aparatur
Sumberdaya aparatur yang jumlahnya tidak
mencukupi pada tingkat kelembagaan implementator,
akan menghambat kelancaran implementasi kebijakan,
sehingga, staffing yang dimulai dari rekruitmen dan pem-
binaan merupakan masalah sentral dalam implementasi
terutama pada implementasi kebijakan baru. Di samping
itu segi keterampilan aparatur yang menangani imple-
mentasi kebijakan juga sangat menentukan tercapainya
tujuan implementasi. Aparatur perlu segera dibina serta
dikembangkan secara terus menerus, bertahap serta
sistematis agar memiliki lebih banyak kemauan dan
kemampuan secara individual atau secara kolektif.
Menurut Winardi (2000 : 441) ketika mereka bekerja
dalam suatu tim jaringan kerja (team work and
networking) pada fokus berikut: (1) memiliki sikap
mental dan budi pekerti luhur (highly mental attitude),
(2) memiliki cita-cita, imajinasi, gagasan, kreatifitas,
inovasi, dedikasi, empati dan kearifan (idealism,
imagination, initiative, creativity, innovation, dedication,
emphatic and wisdom). Empatisme dan kearifan dalam
implementasi kebijakan akan menimbulkan sikap bahwa
pelaku implementasi tersebut tidak menggurui, tidak
semata-mata menjadi ahli, tidak berdebat, tidak
memutuskan komunikasi dan pembicaraan, serta tidak
bersikap diskriminatif terhadap pelayanan publik.
Secara sistematis, layanan implementator kebijakan
ditentukan oleh pemahaman ikhwal problemnya,
orang-orang mempengaruhinya, kekuatan dan keter-
38 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
batasannya, sifat serta pola hubungan-hubungan kerja
yang timbul di antara dan di dalam berbagai kelompok
orang-orang yang bersama-sama membentuk ling-
kungan kerjanya (Winardi, 2000 : 442).
2) Sumberdana Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan harus memiliki dukungan
pendanaan yang memadai dan stabil. Implementator
pada tingkat bawah, biasanya mengalami hambatan
yang paling besar dalam menjalankan kewenangannya
karena keterbatasan kewenangan pengelolaan sumber
dana, sekalipun implementasi kebijakan telah menetap-
kan pembiayaan atas pelaksanaannya dari sumber
pemerintah dan swasta. Kewenangan di atas kertas
sangat berbeda dengan operasionalisasinya di lapangan,
terutama karena kewenangan akan tampil dalam
pelbagai bentuk, termasuk kewenangan untuk mem-
peroleh sumber dana bagi penyediaan fasilitas
implementasi kebijakan tersebut.
3) Sarana dan prasarana (Facilities – Infra-structure)
Seorang implementator lapis atas yang memiliki
staf yang cukup dari segi kuantitas maupun kualitas,
memahami informasi yang lengkap, memiliki kewe-
nangan yang cukup, namun tidak memiliki fasilitas yang
memadai, sangat besar kemungkinannya tidak akan
mampu mengimplementasikan sebuah kebijakan publik
dengan efektif. Fasilitas antara lain menyangkut piranti
keras, lunak, organisasi, serta teknologi. Sarana dan
prasarana implementasi kebijakan terdiri atas, selebaran,
papan tulis dan papan penempel, alat tulis, proyektor,
perlengkapan ruang, alat peraga, dan sarana mobilitas
dan base camp.
39bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
c. Disposisi atau Sikap dan Perilaku terhadap Kebijakan
(Disposition)
Ketanggapan yang dimanifestasikan sebagai sikap
dan perilaku sumber daya manusia aparatur implementasi
kebijakan sebagai implementator kebijakan dan sumber
daya optimalisasi hasil implementasi kebijakan ber-
sangkutan, serta dampaknya dalam pelayanan sebagai
konsumen (obyek) atas implementasi kebijakan. Edward III
(1980 : 90) menelaah faktor disposisi ini ke dalam tiga
dimensi berikut:
1) Pengaruh Disposisi (Effects of Dispositions)
Kepentingan implementator secara pribadi dan
atau organisasional yang ditujukkan oleh sikapnya
terhadap kebijakan pada kenyataannya sangat besar
pengaruhnya pada implementasi kebijakan yang efektif.
Sikap implementator yang merintangi implementasi
kebijakan dimulai dari munculnya tindakan seleksi,
diskriminasi, ketidaksetujuan serta dilanjutkan dengan
penyimpangan yang tidak terelakkan antara keputusan
kebijakan dan kinerja kebijakan. Kadangkala, imple-
mentator secara selektif menerima pelbagai perintah,
namun sesungguhnya ia menolak perintah yang tidak
sama dan sebangun dengan sikapnya terhadap
kebijakan. Perbedaan sudut pandang organisasional
mungkin juga mencegah kerja sama antar implemen-
tator atau terjadinya konflik internal sebuah unit
implementator dalam implementasi kebijakan menjadi
penting.
2) Penataan Staf Birokrasi (Staffing the Buereaucratic)
Pengangkatan (selection and recruitment),
penempatan dan pembinaan personalia staf yang
40 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
bersedia dengan tulus dan mampu (mempunyai ability,
capacity, dan capability) karena memiliki kompetensi dan
profesi yang tepat untuk mengimplementasi kebijakan
adalah bagian yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan (Edward III, 1980: 95). Sistem
penataan implementator kebijakan dibangun dalam
rangka kelancaran proses implementasi kebijakan
pemerintahan yang strategis antara lain dengan
mengesampingkan, menarik, menempatkan atau
memindahkan staf yang mungkin tidak patuh dan
menolak atau menghambat proses implementasi
kebijakan tersebut.
3) Insentif (Incentives)
Insentif merupakan salah satu faktor pembangkit
motivasi staf implementator pada setiap tingkatan perlu
diperhatikan dan dipenuhi. (Winardi, 2002 : 27). Insentif
dapat diwujudkan dalam bentuk sistem penggajian,
pemberian honorarium, tunjangan, maupun berbentuk
penghargaan lainnya yang bersifat kompetitif sesuai
kinerja implementator (Edward III, 1980: 93-94.; Winardi,
2002 : 28).
d. Struktur Birokrasi (bureaucracy structure)
Struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan di
pusat dan di daerah sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan pemerintahan.
Prosedur Operasional Baku (SOP) dan fragmentasi struktur
birokrasi ini dapat menjadi penghambat implementasi
dalam bentuk pemborosan sumberdaya, perintangan
koordinasi, pengacauan yuridiksi implementator lapis
bawah, serta pembangkitan tindakan-tindakan yang tidak
41bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
dikehendaki sehingga harus mendapatkan tambahan atensi
(Edward III, 1980: 127) menilai struktur birokrasi sebagai
faktor yang sangat berperan terhadap implementasi
kebijakan pada dimensi berikut:
1) Prosedur Operasional Baku (Standard Operational
Procedures - SOP).
Standard Operational Procedures (SOP) merupa-
kan tuntutan internal dari implementasi suatu kebijakan
yang seragam, dan umum keterbatasan sumber daya,
kesempitan waktu, serta keragaman operasional
organisasi yang besar dan luas. SOP disusun, juga
sebagai akibat tuntutan efisiensi dari birokrasi eksternal
terutama pada implementasi kebijakan yang secara luas
mempengaruhi lingkungan eksternal. SOP adalah suatu
hal yang secara rutin memungkinkan para pejabat publik
menetapkan keputusan-keputusannya secara cepat
setiap saat karena prosedurnya telah disederhanakan
dan diseragamkan sehingga dengan SOP menghemat
waktu yang sangat berharga. Kendatipun demikian SOP
yang berlaku seragam pada situasi umum tidak jarang
merupakan hambatan dalam implementasi kebijakan
yang bersifat khusus dan baru, fleksibel karena harus
adanya perubahan dan pada situasi yang di luar
kebiasaan. SOP yang ketat seringkali menyebabkan
individu dan organisasi enggan menerima tanggung
jawab baru sehingga tidak saja akan menunda atau
bahkan merintangi implementasi sebagian atau
keseluruhan kebijakan baru tetapi juga akan meng-
hambat terlaksananya program-program baru. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan pengertian SOP adalah;
suatu langkah-langkah prosedur yang telah berlaku
42 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tetap dan diputuskan melalui sebuah kebijakan tertentu.
SOP disusun untuk membantu bagaimana implementasi
kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan baik, tepat
sasaran dan efisien.
2) Fragmentasi (Fragmentation)
Fragmentasi merupakan pembagian tanggung
jawab untuk sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit
organisasional yang tersebar luas. Terlalu banyak unit
yang melakukan terlalu banyak hal yang terlalu sering
tumpang tindih, yang jarang dikoordinasikan, meng-
habiskan terlalu banyak uang, dan melakukan terlalu
sedikit pemecahan masalah yang nyata. Pada kenyataan-
nya, unit-unit tidak dapat. dengan mudah diorganisasi-
kan seputar suatu bidang kebijakan, sehingga sebagai
konsekuensinya. Fragmentasi dilakukan untuk men-
disribusikan tanggungjawab atas sumber daya dan
otoritas pemecahan masalah komprehensif, dan hal ini
menyebabkan koordinasi kebijakan menjadi sulit
dilakukan. Tanggungjawab yang terfragmentasi ini
secara signifikan menyebabkan sempitnya fokus dan
merintangi kebijakan yang bersifat khusus. Dengan
demikian, implementasi kebijakan dapat terlaksana
dengan baik jika keempat faktor kritis (komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi) dapat
bekerja dengan baik, karena tidak mungkin setiap faktor
berdiri sendiri, melainkan akan bekerja bersama-sama
dan satu sama lain saling mempengaruhi. Kelemahan
pada satu faktor, akan berpengaruh pada proses
implementasi yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja
implementasi itu sendiri. Kiranya dapat diartikan bahwa;
(i) komunikasi merupakan suatu bentuk kanalisasi
43bab 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN–
penerapan kebijakan dan strategi suatu kegiatan tertentu
kepada implemen-tator kebijakan, (ii) sumber daya
menceminkan adanya suatu sarana-prasarana pendu-
kung utama implementasi kebijakan, misalnya; aparatur,
infrastruktur, dana, keterampilan dan sebagainya, (iii)
disposisi mencerminkan arus deliveri bagaimana
kebijakan itu harus diimplementasikan melalui agregasi
kemampuan sumber daya, sedangkan (iv) struktur
birokrasi mencerminkan adanya keharusan bahwa
berjalannya implementasi kebijakan itu melalui lini
organisasi dan struktur birokrasi. Faktor-faktor tersebut
disamping secara langsung mempengaruhi implemen-
tasi, secara tidak langsung mereka juga mempengaruhi
implemen-tasi melalui dampak/pengaruh satu terhadap
lainnya. “Aside Directly affecting implementation, however,
they also indirectly affect it through their impact on each
other. In other words, communications affect resources,
dispositions, and bureaucratic structures, which in turn
influence implementation”.
Penulis berpendapat bahwa dari beberapa model yang
dikemukakan di atas, peneliti mengambil model Edward III
sebagai pisau analisis dalam implementasi AFTA di Indonesia
dengan alasan: model Edward III lebih cocok untuk dijabarkan
kepada organizational level melalui institutional arrangement. Hal
ini didasari oleh pemikiran bahwa dalam setiap kebijakan perlu
dibuat organisasi birokrasi yang akan melaksanakan kebijakan
tersebut.<
44 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ebagai negara ekonomi terbuka, situasi pasar domestik di
Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang Ssemakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat
terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekwensi keikutsertaan
meratifikasi kerjasana perdagangan regional maupun global yang
menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan (tarif
dan nontarif).
Isu liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan
komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat ini,
tidak terkecuali perdagangan komoditas agro. Sebagai negara
ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan
kerjasama ekonomi dan perdagangan regional maupun global,
tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerjasama
tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan
dengan kebijakan internal dan mengancan kepentingan nasional.
Motif Perdagangan dan Tekanan Liberalisasi
Menurut Chacholiades (1978:5) partisipasi dalam per-
dagangan internasional bersifat bebas (free) sehingga
45bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
BAB 3
LiberalisasiPerdagangan Agro
keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan
secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara
melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan (choice)
oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan seharusnya
memberikan keuntungan pada kedua pihak (mutually benefited).
Dalam sistem ekonomi tertutup (autarky) negara hanya dapat
meng-konsumsi barang dan jasa sebanyak yang diproduksi
sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan (open
economic) suatu negara memiliki kesempatan mengkonsumsi
lebih besar dari kemampuamya berproduksi karena terdapat
perbedaan harga relatif dalam proses produksi yang mendorong
spesialisasi (Chacoliades, 1978:7; Chaves et al., 1993: 19).
Perbedaan harga relatif itu muncul sebagai dampak perbedaan
penguasaan sumber daya dari bahan baku proses produksi
(resource endowment) antar negara. Derajat penguasaan sumber
daya dan kemampuan mencapai skala usaha dalam proses
produksi secara bersama akan menjadi determinan daya saing dan
menentukan arah serta intensitas partisipasi negara dalam pasar
internasional (Susilowati, 2003: 17).
llham (2003:9) menyebut liberalisasi sebagai penggunaan
mekanisme harga yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi
bias anti ekspor dari rezim perdagangan. Disebutkan pula bahwa
liberalisasi juga menunjukkan kecenderungan makin berkurang-
nya intervensi pasar sehingga liberalisasi dapat menggambarkan
situasi semakin terbukanya pasar domestik untuk produk-produk
luar negeri. Percepatan perkembangan liberalisasi pasar terjadi
karena dukungan revolusi di bidang teknologi, telekomunikasi
dan transportasi yang mengatasi kendala ruang dan waktu
(Kariyasa, 2003: 7).
Menurut pendapat Kindleberger dan Lindert (1978:9),
perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas
46 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dengan seminimun mungkin pengenaan tarif dan hambatan
lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih
bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan
bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar
dibanding-kan tidak ada perdagangan. Dijelaskan oleh Hadi
(2003: 17), selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar
negara liberalisasi perdagangan juga akan meningkatkan
kuantitas perdagangan dunia dan peningkatan efisiensi ekonomi.
Namun demikian, oleh karena terdapat perbedaan
penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung
daya saing, sebagian pakar yang lain berpendapat liberalisasi pasar
berpotensi menimbulkan dampak negatif karena mendorong
persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu maka timbul
pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi
dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar
internasional melalui pemberlakuan kendala atau hambatan
perdagangan (Abidin, 2000:89).
Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasi
pasar, efektivitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut
dalam perdagangan akan menentukan derajat keterbukaan pasar.
Keterbukaan pasar semakin tinggi bila pemerintah suatu negara
menurunkan tarif (bea masuk) produk yang diperdagangkan
(tariff reduction) dan menghilangkan hambatan-hambatan
nontarif (non tariff barriers). Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah
cenderung menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan nontarif.
Secara internal, Indonesia mulai mereformasi kebijakan di
bidang perdagangan sejak pertengahan dekade 1980-an, ketika
terjadi penurunan harga minyak mentah di pasar dunia yang
merupakan andalan ekspor nasional. Namun dalam hal ini
pemerintah melakukan serangkaian deregulasi ekonomi untuk
47bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
mendorong ekspor yang menghasilkan devisa (Erwidodo,
1999:17; Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2003: 57).
Makin terbuka dan terintegrasinya perdagangan (pasar)
antar negara juga didorong faktor eksternal seperti karena terikat
ratifikasi perjanjian perdagangan antar negara, kawasan, atau
bahkan yang bersifat global (Anugerah, 2003: 69; Kanyasa, 2003:
17). Dijelaskan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003: 60),
tekanan eksternal liberalisasi selain karena dorongan upaya
regionalisasi terjadi pada akhir 1900-an hingga pertengahan
1990-an (seperti dengan pembentukan AFTA dan APEC) juga
karena keterikatan komitmen terhadap Kesepakatan Putaran
Uruguay (the Uruguay Round Agreement) sebagai bagian dari
rangkaian putaran GATT (General Agreement on Tax and Tariff)
yang kemudian diubah menjadi organisasi formal bernama WTO
(World Trade Organization). Kesepakatan dalam AFTA dan WTO
bersifat mengikat (binding), sedangkan dasar kesepakatan APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) bersifat sukarela. Namun
demikian semangat yang dibawa oleh ketiga bertuk kelembagaan
relatif sama, yaitu liberalisasi melalui penurunan kendala
perdagangan (tarif dan kendala nontarif).
Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro
Selain kebijakan yang bersifat protektif dalam perdagang-
an juga dikenal kebijakan promotif. Kebijakan promotif ditujukan
untuk mendorong pertumbuhan perdagangan dari dalam negeri
(ekspor). Salah satu contoh kebijakan promotif terdapat pada
sektor pertanian.
Pada dasarnya terdapat dua tipe kebijakan pemerintah di
bidang pertanian yaitu development policy dan compensating
policy (Suryana, 2001:7). Development policy biasanya dilakukan
48 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pemerintah untuk mendorong produksi pertanian dengan tujuan
yang ingin dicapai adalah meningkatan produksi dan pendapatan
petani. Dalam compensating policy, tujuan utama kebijakan
adalah meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan
kecenderungan menekan produksi. Development policy banyak
dilakukan oleh negara yang kekurangan (defisit) produk
pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh
negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan produknya.
Misalnya, kebijakan harga dasar dan kebijakan subsidi, seperti
kebijakan harga gabah dan subsidi pupuk yang pernah
diberlakukan di Indonesia, dapat dikategorikan sebagai
development policy. Tujuan kedua kebijakan tersebut adalah
mendorong produksi beras agar meningkat, di sisi lain petani
mendapat harga yang wajar.
Skenario Liberalisasi
Budiono (2001: 37-42) menyebutkan, terdapat lima
manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan. Pertama. akses
pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi
karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-
pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan
industri yang saling terkait dan saling menunjang sehingga biaya
produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih
kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent
seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan
produktifitas dan efisiensi, bukan bagaimana mengharapkan
mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan
investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi
untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Keempat, perda-
gangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang “sesuai”
49bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam
perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen
meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk
dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu
dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan
yang sehat dan melarang praktek monopoli.
Dalam praktek proses liberalisasi perdagangan dapat
dilakukan melalui berbagai skenario. Selain proses liberalisasi
unilateral, ratifikasi kerjasama perdagangan internasional melalui
pembentukan kelembagaan seperti AFTA dan WTO merupakan
pilihan skenario liberalisasi bagi negara pelaku perdagangan,
termasuk Indonesia. Akan tetapi, oleh karena memiliki sasaran dan
mekanisme implementasi yang berbeda-beda maka masing-
masing skenario proses liberalisasi tersebut akan menghasilkan
dampak berbeda pula.
Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi
Menurut Indrawati (1995:89), Putaran Uruguay merupakan
kesepakatan yang paling ambisius dibandingkan putaran-putaran
GATT sebelumnya karena bertujuan mengontrol proliferasi segala
bentuk protek-sionisme baru untuk menuju pada kecenderungan
liberalisasi perdagangan antarnegara, termasuk aturan inter-
nasional dalam bidang Hak Properti Intelektual, dan memperbaiki
mekanisme penyelesaian perselisihan dengan menerapkan
keputusan dan mematuhi aturan-aturan GATT, misalnya proteksi
yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui
kebijaksanaan harga (price support), bantuan langsung (direct
payment), dan bantuan pasokan (supply management program)
telah menyebabkan distorsi perdagangan hasil pertanian dunia.
Distorsi terjadi seiring dengan meningkatnya hasil produksi
50 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pertanian dari negara-negara maju yang mengakibatkan
penurunan harga dunia untuk produk pertanian. Meskipun harga
produk pertanian yang rendah menolong negara pengimpor
tetapi faktor rendahnya harga produk pertarnian tersebut juga
akan merugikan negara-negara berstatus produsen netto.
Secara umum menurut Indrawati (1995:94), liberalisasi akan
menguntungkan bagi negara ber-kembang dan penduduk miskin
dari kelompok pendapatan menengah karena ekspor produk
yang bersifat padat karya akan meningkat. Namun demikian,
derajat manfaat dan keuntungan liberalisasi perdagangan sangat
tergantung pada reformnasi kebijaksanaan yang diambil dan
keadaan struktur perekonomian domestik nagara berkembang itu
sendiri.
Pada studi keterkaitan liberalisasi dengan aspek lingkung-
an, Abimanyu (1995: 189) berpendapat, bahwa dalam liberalisasi
perdagangan masing-masing negara sebenarnya dibolehkan
menerapkan kebijaksanaan subsidi. pajak, dan peraturan
pemerintah lainnya selama tidak membedakan antara perusahaan
domestik dan asing, sebagaimana klausul dalam aturan GATT.
Adanya peluang tersebut menurut Abimanyu dapat menimbulkan
dampak positif dalam hal fairness kompetisi dan kemampuan
suatu perusahaan asing untuk menyesuaikan dengan kondisi
(khususnya teknologi) di negara di mana perusahaan berlokasi.
Akan tetapi disisi lain, peluang tersebut juga berpotensi
menimbukan dampak negatif, yaitu masuknya teknologi dan
produk “kolor” ke negara tujuan perdagangan, khususnya negara
berkembang yang lebih rendah standar lingkungannya.
Studi tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap
pertanian di Indonesia oIeh Erwidodo (1999) menunjukkan
beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, sebelum tahun 1985
51bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
Indonesia sangat mengutamakan kebijakan proteksi pasar
domestik. Kebijakan ini menimbukan ekonomi biaya tinggi dan
manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh sebagian besar
penerima proteksi tersebut. Dalam rangka mendorong reformasi
menuju perdagangan bebas yang digulirkan sejak awal 1980-an
pemerintah memperkenalkan baberapa kebijakan berikut: (1)
penyederhanaan prosedur kepabeanan termasuk dikeluarkannya
undang-undang kepabeanan yang baru, (2) menurunkan tarif dan
pungutan-pungutan. (3) mengurangi lisensi impor dan hambatan
nontarif, (4) deregulasi dari sistem distribusi, (5) deregulasi rejim
investasi, dan (6) memantapkan batas wilayah dan prosedur
ekspor. Salah satu sektor yang mendapat proteksi cukup tinggi
adalah sektor makanan dan minuman (food and beverage).
Kedua, liberalisasi perdagangan secara potensial akan
mempertuas akses pasar untuk Indonesia khususnya ke negara
industri. Ketiga, liberalisasi perdagangan diperkirakan akan
meningkatkan pendapatan dunia secara signifikan dan
terdistribusi secara luas di antara negara maju dan negara
berkembang. Hasil studi juga menunjukkan indikasi adanya
deregulasi perdagangan dengan partner dagang Indonesia
mengakibatkan tidak hanya kehilangan daya saing ekspor tetapi
juga kemungkinan penurunan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, seberapa besar Indonesia akan memperoleh
manfaat diterapkannya liberalisasi perdagangan tergantung tidak
hanya pada penurunan hambatan perdagangan di pasar partner
dagang Indonesia tetapi juga upaya dalam membuka pasar
Indonesia sendiri.
Amang dan Sawit (1997: 27-35) mengingatkan bahwa
dampak perdagangan bebas cukup serius buat Indonesia, tidak
hanya menyangkut bidang ekonomi tetapi juga bidang non
52 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ekonomi. Perpindahan faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan,
kapital secara cepat dan berlebihan dalam waktu yang relatif
singkat dari sektor pertanian dan jasa ke sektor manufaktur, akan
menimbulkan masalah baru yang lebih sulit dan mahal untuk
mengatasinya. Hampir tidak mungkin dibangun infrastruktur
perkotaan yang cukup untuk menampung pesatnya urbanisasi,
sehingga akan muncul masalah kekumuhan dan kemiskinan di
kota, kepadatan kota, kekurangan tempat tinggal, tidak cukupnya
tanah, kekurangan air bersih (kualitas dan kuantitasnya),
memburuknya lingkungan hidup dan meringkatnya kriminalitas.
Di samping itu distribusi pendapatan masyarakat akan semakin
timpang.
Indikasi dampak negatif dari liberalisasi terhadap petani
(pertanian) juga terjadi di negara maju seperti Jepang. Studi
Kamiya (2002) menyebutkan, liberalisasi menyebabkan harga
komoditas pertanian di pasar domestik Jepang yang semula
sangat tinggi karena diproteksi menjadi terus menurun.
Penurunan harga tersebut mengakibatkan pengusahaan
komoditas pertanian menjadi tidak menguntungkan. Akibat
selanjutnya, banyak areal pertanian yang dibiarkan tidak tergarap
di samping semakin sedikit petani yang bersedia mengusahakan.
Meskipun secara teori liberalisasi perdagangan disebutkan
akan meningkatkan perolehan manfaat bagi para pelaku
perdagangan, akan tetapi pada kenyataannya implementasi
liberalisasi juga membawa dampak buruk yang mengancam pasar
domestik dan kepentingan domestik lain, khususnya menyangkut
kesejahteraan petani produsen. Beberapa kajian terdahulu telah
mengulas cukup banyak sisi positif dan negatif liberalisasi
perdagangan dari berbagai sisi perekonomian.
53bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan Usaha Industri Agro
Porter (1990: 19-27) menyatakan bahwa faktor-faktor
penentu yang menciptakan keunggulan bersaing adalah: 1)
Kondisi Faktor (Factor Conditions); 2) Kondisi Pemintaan (Demand
Conditions); 3) Industri Terkait dan lndustri Pendukung (Related
and Supporting Industries); 4) Strategi perusahaan, struktur, dan
persaingan (Firm Strategy, Structure and Rivalry).
Dari faktor-faktor penentu daya saing di atas dapat dinyata-
kan bahwa kemakmuran bangsa ditentukan oleh produktivitas
ekonomi, yang diukur dengan nilai barang dan jasa yang
diproduksi persatuan sumber daya manusia, modal, dan alam.
Produktivitas tergantung dari nilai produk dan jasa, diukur dengan
harga yang dapat membuka pasar dan efisiensi dalam produksinya.
Daya saing yang benar diukur dengan produktivitas.
Produktivitas memberikan kemampuan sebuah negara untuk
mendukung upah tinggi, mata uang yang kuat, dan pengembalian
modal yang menarik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Produktivitas adalah tujuan, bukan hanya sekedar ekspor. Hanya
negara yang meningkatkan ekspor produk atau jasa dengan cara
produktif akan menaikan produktivitas nasional.
Dalam lingkup mikro, daya saing perusahaan dapat
didefinisikan sebagai suatu tingkat di mana perusahaan mampu,
dalam kondisi pasar kerja yang bebas dan adil, menghasilkan
barang dan jasa yang memenuhi pasar internasional, dan secara
bersamaan meningkatkan dan memelihara penghasilan riil dari
orang-orangnya dalam jangka panjang.
Perbedaan dalam pemilikan sumber daya, penguasaan
teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen
pemerintah untuk membela kepentingan produsen di dalam
54 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
negeri sangat menentukan kemampuan suatu negara bersaing
dalam pasar global yang makin liberal.
Analisis Kebijakan
Setiap kebijakan perlu dianalisis dalam rangka pemecahan
masalah yang terjadi. Ilmu Administrasi memberikan bantuan
untuk melakukan analisis kebijakan tersebut mulai dari tahap
formulasi, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Salah
satu analisis yang dijelaskan oleh Dunn adalah :
Analisis kebijakan yang tujuannya bersifat penandaan
(designative), penilaian (evaluatif) dan anjuran (advocative) yang
dapat diharapkan menghasilkan informasi-informasi dan
argumen-argumen yang masuk akal. (Dunn, 1995 : 50).
Dari analisis yang mengacu pada disiplin ilmu administrasi,
kebijakan dapat dilukiskan sebagai sistem dalam kerangka input
dan output melalui transformasi dan merangkum feedback yang
merupakan proses, sehingga bermakna sebagai sesuatu yang
bersifat dinamis.
Kebijakan Publik selalu mengandung tiga komponen dasar,
yaitu: tujuan, sasaran dan cara mencapai sasaran dan tujuan
tersebut. Tiga komponen ini biasa disebut sebagai implementasi.
Implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dengan sarana tertentu
dan dalam urutan waktu tertentu (Hoogerwerf, 1983:157).
Implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian
arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan (Dunn,
1995:80). Jones (1994:26) mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang
ditujukan untuk memberikan dampak tertentu.
55bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
56 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Dengan demikian, implementasi kebijakan merujuk pada
pelaksanaan kebijakan publik secara efektif, sehingga implemen-
tasi kebijakan juga memuat aktivitas-aktivitas program yang akan
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan
dirasakan hasilnya atau manfaatnya oleh kelompok sasaran yang
dituju melalui berbagai sarana.
Berdasarkan makna tersebut, implementasi kebijakan
mengandung unsur-unsur: (1) Proses, yaitu rangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mewujudkan sasaran yang ditetapkan; (2)
Tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai melalui aktivitas yang
dilaksanakan; dan (3) Hasil atau dampak, yaitu manfaat yang
dirasakan oleh kelompok sasaran.
Setiap kebijakan perlu dianalisis dalam rangka pemecahan
masalah yang terjadi. Ilmu administrasi memberikan bantuan
untuk melakukan analisis kebijakan tersebut mulai dari tahap
formulasi, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Salah
satu analisis yang dijelaskan oleh Dunn adalah: “Analisis kebijakan
yang tujuannya bersifat penandaan (designative), penilaian
(evaluatif) dan anjuran (advocative) yang dapat diharapkan
menghasilkan informasi-informasi dan argumen-argumen yang
masuk akal. (Dunn, 1995:50)”.
Pembentukan AFTA dapat dianggap sebagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh sejumlah negara yang terhimpun dalam
asosiasi. ASEAN dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi
kepentingan di kawasan Asia Tenggara (Bennet, 1984 : 348). Untuk
keperluan mensikapi lingkungan tersebut ASEAN sebagai
organisasi regional mengeluarkan kebijakan yang dipandang
perlu bagi kepentingan bersama, yang dikategorikan sebagai
kebijakan regional (Anderson, 1984 : 24).
57bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
Pembentukan ASEAN dapat dianggap sebagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh sejumlah negara yang terhimpun dalam
asosiasi. ASEAN kemudian dapat diposiskan sebagai asosiasi
regional yang memiliki kesamaan dalam mempersepsikan
lingkungan di luar kawasan Asia Tenggara (Bennet, 1984:348).
Untuk keperluan mensikapi lingkungan tersebut ASEAN sebagai
organisasi regional mengeluarkan kebijakan yang di-pandang
perlu bagi kepentingan bersama, yang dikate-gorikan sebagai
kebijakan regional (Anderson, 1984:24). Meskipun Dasar
pembentukan organisasi regional ini bervariasi, namun ASEAN
merupakan kerja sama antar negara yang dalam struktur formal
yang didasari oleh kawasan (Bennet, 1984 : 349).
Pada tataran tingkat nasional, Indonesia sebagai salah satu
negara anggota ASEAN perlu tanggap terhadap perubahan di
lingkungan ASEAN khususnya proses pelaksanaan kesepakatan
AFTA. Dengan kata lain, secara administratif pemerintah Indonesia
perlu mengimplementasikan kebijakan publik yang berkenaan
dengan implementasi AFTA di Indonesia.
Susunan kebijakan publik di Indonesia meliputi pertama, di
Indonesia kebijakan publik tertinggi dibuat oleh Legislatif. Hal ini
sejalan dengan ajaran pokok dari Montesquieu yang berkembang
pada abad ke-17 yang pada intinya mengatakan bahwa: Formulasi
kebijakan dilakukan oleh Legislatif, Implementasi oleh eksekutif,
sedangkan Yudikatif bertugas menerapkan sanksi jika terjadi
pelanggaran oleh eksekutif. Pada perkembangannya yaitu pada
abad ke-19 ajaran Montesquieu ini kemudian ditindaklanjuti
dengan teori administrasi publik yang dikenal dengan paradigma
“When the politics end administration begun” .
Bentuk kebijakan yang ke dua: Kebijakan yang dibuat secara
bersama oleh Legislatif dan Eksekutif. Hal ini mencerminkan
58 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kompleksnya masalah yang harus dihadapi yang tidak mungkin
hanya dihadapi oleh legislatif saja. Contoh: Tkt.nasional: Undang-
Undang, Perpu; Prop/Kab/Kota: Perda.
Bentuk kebijakan yang ke tiga: Kebijakan yang dibuat oleh
eksekutif saja. Sebagai konsekwensi dari kompleksnya kehidupan
masyarakat maka eksekutif pun dapat membuat kebijakan
turunan dari kebijakan tingkat atasnya.
Kaitannya dengan implementasi AFTA, tersidik bahwa
pemerintahan tingkat pusat bertindak sebagai implementor pada
tataran nasional dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan
publik dengan pola top-down yakni ratifikasi Pemerintah RI
terhadap skema CEPT dalam kerangka AFTA yang tertuang dalam
Keppress Nomor 228/M Tahun 2001; Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/ X/2003/2001 tentang
Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Daerah;
Keputusan Menkeu RI No. 392/KMK.01/2003 tentang Penetapan
Bea Masuk Atas Impor Barang dalam Rangka Skema CEPT.
Pada tataran tingkat daerah Jawa Barat, Lembaga Peme-
rintah dan Non Pemerintah Tingkat Jawa Barat bertindak sebagai
implementor dengan dikeluarkannya kebijakan publik Keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang Pedoman
Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar Negeri.
Keseluruhan kebijakan publik termaktub di atas diimple-
mentasikan kepada target (sasaran) implementasi kebijakan yakni
59bab 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO–
komunitas komoditas pertanian di Jawa Barat termasuk di dalam-
nya para petani di tingkat akar rumput.
Dalam keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya
adalah pemilihan model yang tepat sesuai dengan level atau isi
dari kebijakan tersebut. Dari beberapa model implementasi
kebijakan yang dikemukakan, peneliti mengambil model Edward
III sebagai pisau analisis dalam implementasi kebijakan tentang
AFTA terhadap efektivitas pelayanan publik dengan alasan: model
Edward III lebih cocok untuk dijabarkan kepada organizational
level melalui institutional arrangement. Hal ini didasari oleh
pemikiran bahwa dalam setiap kebijakan perlu dibuat organisasi
birokrasi yang akan melaksanakan kebijakan tersebut.
Institusional arrangement tersebut berkait erat dengan
memperhatikan bagaimana keterpaduan antara komunikasi, sum-
ber daya sarana dan prasarana, kecenderungan-kecenderungan
implementer (disposisi), dan struktur birokrasi pada implementasi
AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat,
Indonesia.
Implementasi suatu kebijakan pada kenyataannya merupa-
kan strategi komunikasi dalam menyelaraskan semua sumber daya
sarana dan prasarana yang dimiliki dengan keadaan lingkungan di
sekitarnya yang selalu berubah. Keserasian hubungan organisasi
dengan lingkungan merupakan suatu keharusan karena organisasi
akan tetap bertahan manakala bisa menyesuaikan dengan
lingkungannya sebaliknya organisasi akan mengalami kematian
manakala tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungan.<
ropinsi Jawa Barat terletak di bagian Barat Pulau Jawa pada
5° 50'– 7° 50' lintang selatan dan 104° 48' – 108° Bujur
Timur, dengan batas-batas sebagai berikut:P1. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah
2. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Jawa Barat
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
4. Sebalah Barat berbatasan dengan Propinsi Banten dan
Selat Sunda
Berdasarkan keadaan topografinya, Jawa Barat dibagi
menjadi 3 zona ketinggian yaitu:
1. Daerah bagian utara yang merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 0 – 100 m diatas permukaan laut.
2. Daerah bagian Tengah dan Selatan dengan ketinggian
antara 100 – 500 m di atas permukaan laut;
3. Daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m
di atas permukaan laut.
4. Curah hujan rata-rata pada umumnya di atas 2000
mm/tahun, bahkan di beberapa daerah pegunungan
berkisar antara 3.000 – 5.000 mm/tahun.
61bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
BAB 4
Mengukur KesiapanJawa Barat
Propinsi Jawa Barat merupakan bagian dari rangkaian
pegunungan yang membentang dari ujung Utara Pulau Sumatera
atau Bukit Barisan melalui Pulau Jawa, Bali. Nusa Tenggara sampai
ke ujung Utara pulau Sulawesi, yang berupa deratan gunung apai
yang masih aktif maupun tidak aktif serta membentuk suatu
rangkaian pegunungan. Secara umum Propinsi Jawa Barat terbagi
menjadi wilayah pegunungan di bagian Selatan, serta wilayah
dataran dan lereng yang landai di bagian Utara. Wilayah Selatan
pada umumnya terdiri atas pegunungan yang secara morfologi
dapat dibedakan atas pegunungan batuan tua dan kerucut-
kerucut gunung api muda serta morfologi pantai yang relatif
curam apabila dibandingkan wilayah utara yang landai serta
dataran pantainya yang luas.
Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan
keuntungan bagi daerah Jawa Barat dalam bidang komunikasi dan
perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah dataran rendah,
sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai
dan dataran bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Jawa
Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan
vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian
besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian, sehingga
Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional.
Agribisnis sebagai salah satu core business pembangunan
Jawa Barat, berkonotasi bahwa sektor ini adalah sebagai
penggerak dan titik bertemunya sektor ekonomi lainnya yaitu
industri manufaktur dan jasa-jasa. Adanya keterbatasan
infrastruktur agribisnis akibat ketimpangan perhatian terhadap
pertanian di masa lalu, kurangnya sinkronisasi dan koordinasi
antara instasi pengemban pembangunan, serta keterbatasan
sumber daya pembangunan yang dimiliki pemerintah maupun
masyarakat dunia usaha, menjadi dasar perlunya perhatian dalam
62 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
akselerasi penataan dan pengembangan agribisnis sebagai salah
satu sumberdaya ekonomi di Jawa Barat.
Permasalahan utama yang kini dirasakan dan memerlukan
pemecahan segera dalam pengembangan agribisnis di Jawa Barat
antara lain adalah :
1. Produk agribisnis Jawa Barat masih lemah dalam tingkat
pemenuhan kuantitas, kualitas, harga yang proporsional
dan kontinuitas supply sebagaimana yang diinginkan oleh
pasar
2. Belum adanya Sistem Penjaminan/Sertifikasi Mutu produk
agribisnis yang kredibel, independen, terakreditasi dan
diakui pasar dunia internasional.
3. Masih lemahnya sistem informasi yang menghubungkan
antara kebutuhan pasar dengan produksi yang ada di
produsen (petani), sehingga segmen pasar yang tersedia
tidak dapat dimasuki oleh produk yang ada, sementara
limpahan produksi banyak terjadi stagnasi di sentra-sentra
produsen akibat dari keterbatasan informasi pasar dan
mengandalkan pasar langganan yang sudah ada, namun
jumlahnya masih terbatas
4. Terbatasnya fasilitas transaksi antara produsen dengan
segmen pasar yang ada.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat
Salah satu alternatif untuk mengakses semua permasalah-
an yang ada di dalam kegiatan Agribisnis adalah dibentuknya
Dinas Industri dan Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat, yang
akan berkonsentrasi dalam fasilitas pengembangan agribisnis
pada off farm.
63bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Sebagai acuan pelaksanaan tugas operasionalnya Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat mempunyai Visi dan
Misi sebagai berikut :
Visi:
Sebagai akselerator dalam mewujudkan perindustrian dan
perdagangan agro termaju di Indonesia.
Misi:
1. Mengembangkan regulasi perindustrian dan perdagangan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemasaran
produk agro.
2. Mengembangkan fasilitas pasar untuk meningkatkan
penyerapan pasar dalam negeri dan luar negeri.
3. Mengembangkan sistem pembiayaan dan kemitraan usaha
untuk mewujudkan kewirausahaan yang handal.
4. Mengembangkan usaha industri dan perdagangan agro
untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk di
pasar domestik dan ekspor.
Adapun program dan kegiatan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-
2007 antara lain:
1. Program Pengembangan Agribisnis
Tujuan:
Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan nilai tambah bidang
pertanian.
Sasaran:
Peningkatan laju pertumbuhan sektor pertanian sebesar
3,98% Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga
kerja di sektor pertanian sebesar 42.000 orang.
64 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Kegiatan:
a. Peningkatan Keterkaitan dan Penguatan Jaringan Usaha
Agribisnis
b. Kegiatan Peningkatan Keterkaitan dan Penguatan Jaringan
Usaha Agribisnis
c. Pertemuan koordinasi peningkatan keterkaitan dan
penguatan jaringan usaha agribisnis
d. Workshop sinergitas pengembangan agribisnis
2. Program Pengembangan Usaha dan Pemanfaatan
Sumber-daya Agro Kelautan
Tujuan:
Meningkatnya kemampuan usaha dan pemanfaatan sumber-
daya agro kelautan yang berwawasan lingkungan serta sarana
dan prasarana kelautan yang optimal
Sasaran:
a. Meningkatnya kemampuan usaha dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan yang berwawasan lingkungan serta
tersedianya sarana dan prasarana kelautan yang optimal
b. Tercapainya produksi perikanan budidaya air tawar dan
payau 298.661 ton
Kegiatan:
a. Peningkatan Usaha Industri Agro Hasil Perikanan
b. Kegiatan Peningkatan Usaha Industri Agro Hasil Perikanan
c. Identifikasi struktur industri pengolahan ikan laut di Jawa
Barat
d. Penguatan kapasitas dan kualitas industri pengolahan ikan
laut di Jawa Barat.
65bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
3. Program Pengembangan Industri Manufaktur Agro
Tujuan:
Terwujudnya industri yang maju dan tangguh serta berdaya
saing tinggi dan mampu memasuki pasar global yang
didukung oleh kandungan bahan baku lokal dan teknologi.
Sehingga produk-produk industri yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif.
Sasaran:
a. Meningkatnya laju pertumbuhan sektor industri sebesar
4,28% dengan laju partumbuhan dari sektor industri
makanan, minuman dan tembakau sebesar 9,00% .
b. Meningkatnya investasi industri komoditi agro sebesar 950
Milyar
c. Terbinanya pelaku usaha IKM agro sebanyak 3.000 unit
usaha dari 18.000 unit usaha yang direncanakan
d. Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga
kerja di sektor industri sebesar 92.000 ribu orang
e. Meningkatnya penggunaan bahan baku/komponen lokal
dalam setiap proses produksi.
Kegiatan:
a. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Agro
1) Penerapan standar mutu pada industri manufaktur agro
- Fasilitasi sertifikasi Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP)
- Fasilitasi penetapan/pengujian komposisi dan umur
simpan produk industri agro
- Fasilitasi penerapan sertifikasi halal
2) Fasilitasi sistem lacak internasional (Barcode) untuk
Industri Manufaktur Agro (IMA)
66 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
3) Pengembangan pusat konsultasi desain dan teknik
kemasan produk makanan olahan
4) Pengembangan Ragam Makanan Olahan Khas Jawa
Barat
5) Feasibility Study pengembangan usaha industri
pengolahan kelapa
6) Fasilitasi alat dan bahan kemasan produk industri kecil
menengah agro
b. Pengembangan Jaringan Kerja dan Manajemen Wirausaha
Industri Agro.
1) Penguatan struktur industri dalam model Babakan
Industri Agro
2) Bimbingan teknis pengembangan klaster Industri
Manufaktur Agro (IMA) di Bandung
3) Partisipasi dalam forum konsultasi pengembangan
klaster Industri Manufaktur Agro (IMA) Tingkat Nasional
4) Fasilitasi pengembangan pengolahan komoditi agro-
Pengembangan teknik diversifikasi produk olahan
berbahan baku ubi jalar.
- Penumbuhan dan pengembangan pengolahan Keju
- Fasilitasi alat dan mesin pengolahan Industri Manu-
faktur Agro dalam model Babakan Industri Manufaktur
Agro (IMA).
5) Fasilitasi jalan usaha industri Babakan Opak di Kab.
Sumedang
6) Fasilitasi peningkatan kualitas lingkungan usaha industri
makanan ringan di Kota Tasikmalaya
7) Fasilitasi perlengkapan rumah produksi di Kabupaten
Ciamis dan Sumedang
8) Workshop pengembangan industri dengan pendekatan
klaster di Bandung
67bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
9) Bimbingan Teknis pengolahan produk Industri Manu-
faktur Agro (IMA)
10) Lokakarya pengembangan klaster Industri Manufaktur
Agro (IMA) Babakan Industri Agro (Opak, Kerupuk).
4. Program Pengembangan Perdagangan Agro Dalam dan Luar Negeri.
Tujuan:
Meningkatkan kegiatan perdagangan dalam negeri dan luar
negeri melalui peningkatan daya saing komoditas ekspor,
pengembangan pemasaran ekspor tertib tata niaga, per-
lindungan konsumen dan produsen sehingga tercipta
kestabilan harga dan terjaminnya distribusi barang dan jasa.
Sasaran:
a. Meningkatnya laju pertumbuhan sektor perdagangan
sebesar 5,23%
b. Tercapainya nilai transaksi penjualan hasil lelang produk
agro minimal sebesar 23 Milyar
c. Meningkatnya nilai ekspor tahun 2007 menjadi US$ 3,2
milyar
d. Meningkatnya penggunaan produk dalam negeri
e. Tertatanya sistem distribusi barang
f. Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga
kerja di sektor perdagangan sebanyak 51.000 orang
g. Meningkatnya peluang pasar melalui event promosi
dagang.
Kegiatan:
a. Pengembangan Sistem Perdagangan Produk Agro Dalam
Negeri
1) Optimalisasi pengembangan pola lelang forward
komoditi agro
68 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
2) Monitoring harga kebutuhan pokok masyarakat di 3
pasar
3) Koordinasi antisipasi pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat
4) Promosi produk industri dan perdagangan agro dalam
negeri
- Fasilitasi Pasar Peduli Ramadhan
- Partisipasi Pameran Jawa Barat Expo
- Partisipasi Hari Pangan Sedunia (HPS)
- Partisipasi Pekan Raya Jakarta (PRJ)
- Partisipasi Agro and Food di Jakarta
5) Pengembangan dan optimalisasi perdagangan komo-
diti agro antar pulau.
- Konsolidasi perdagangan komoditi agro antar pulau
ke Provinsi Kalimantan Barat
- Konsolidasi perdagangan komoditi agro antar pulau
ke Provinsi Riau
6) Penyusunan Neraca Perdangan
7) Pengembangan perdagangan dan pasar perdesaan
produk agro
b. Kegiatan Pengembangan Sistem Perdagangan Produk
Agro Luar Negeri
1) Penyebarluasan informasi perdagangan luar negeri
2) Pembinaan dunia usaha melalui Bimbingan Ekspor dan
Impor produk agro.
3) Sosialisasi kebijakan perdagangan luar negeri (ekspor
impor) di Bandung.
4) Peningkatan mutu produk bunga potong, ubi jalar dan
ikan hias berorientasi ekspor.
5) Partisipasi promosi dagang nasional.
69bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor (PPE) di Jakarta
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor Daerah (PPED) di
Yogyakarta
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor Daerah (PPED) di
Medan
6) Partisipasi promosi dagang di luar negeri
- Promosi Dagang Produk Makanan Olahan di Malaysia
- Partisipasi pada Indonesia Solo Exhibition di Beijing
China.
c. Kegiatan Peningkatan Tertib Niaga dan Perlindungan
Konsumen
1) Sosialisasi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Fasilitasi Sertifikat
Penyuluhan (SP) di Kab. Kuningan
2) Sosialisasi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Fasilitasi Sertifikat
Penyuluhan (SP) di Kab. Subang
3) Sosialisasi kualitas komoditi produk agro dan fasilitasi
Sertifikat Penyuluhan (SP) di Kota Cirebon
4) Sosialisasi kualitas komoditi produk agro dan fasilitasi
Sertifikat Penyuluhan (SP) di Kab. Indramayu
5) Sosialisasi pemberlakuan Standar Mutu SNI dan
pemantauan komoditas agro dalam dan luar negeri
6) Pengawasan kualitas/mutu produk agro dalam dan luar
negeri yang beredar
7) Analisa potensi produk agro yang beredar di pasar Jawa
Barat
8) Penyusunan dan penyebarluasan leaflet/brosur standari-
sasi dan sertifikasi hasil agro.
70 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
d. Kegiatan Pengembangan dan Pendukungan Usaha Industri
dan Perdagangan Komoditi Agro
1) Pengembangan sistem pembiayaan agribisnis konsolidasi
pemanfaatan pembiayaan dengan sumber pembiayaan.
- Pengembangan dan optimalisasi pembiayaan Daka-
balarea Agribisnis
- Pengembangan sistem Pola Resi Gudang
2) Pengembangan dan penguatan jaringan pelaku usaha
industri dan perdagangan komoditi agro Jawa Barat –
Forum kerja sama tentang implementasi Surat Keterangan
Berdokumen Dalam Negeri dan Sistem Penjaminan
- Tindak lanjut kerjasama perdagangan produk agro
dengan Negara Malaysia
- Tindak lanjut kerjasama perdagangan produk agro
dengan Negara Singapura
3) Pengembangan fasilitas komoditi agro Jawa Barat.
e. Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi, Perencanaan
dan Pengendalian Perindustrian dan Perdagangan Agro
1) Koordinasi operasional program dan kegiatan Tahun
Anggaran.
2) Koordinasi evaluasi program dan kegi-atan Tahun
Anggaran.
3) Koordinasi penyusunan rencana partisipatif pengem-
bangan usaha industri dan perdagangan agro
4) Lokakarya desain pusat perdagangan komoditi agro di
Kawasan Purwasuka
5) Partisipasi dalam forum konsultasi program pengem-
bangan perindustrian dan perdagangan
6) Optimalisasi informasi sistem internet
7) Rekonsiliasi data dan informasi perindag agro dengan
Kab./Kota
71bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
8) Pengembangan koneksitas informasi di sentra-sentra
agro.
9) Penyebarluasan informasi perindag agro
10) Pengukuran kontribusi sub bidang perindustrian dan
perdagangan agro dalam Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE) Jawa Barat
11) Lokakarya kontribusi sub bidang perindustrian dan
perdagangan agro dalam Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE) Jawa Barat.
Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Jawa Barat 2005-2025
Misi ketiga dari Misi Pembangunan Jawa Barat 2005-2025
menyebutkan “Mewujudkan perekonomian. yang tangguh ber-
basis pada agrobisnis; adalah mengembangkan dan memperkuat
perekonomian regional yang berdaya saing global dan
berorientasi pada keunggulan komparatif, kompetitif dan
kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam
agribisnis. Pengembangan ekonomi regional didukung oleh
penyediaan infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang
berkualitas dan regulasi yang mendukung pencapaian iklim.
investasi yang kondusif”.
Terwujudnya perekonomian yang tangguh berbasis pada
agribisnis, ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer, sektor
sekunder dan sektor tersier dalam suatu sistem yang
produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta
keterkaitan pembangunan ekonomi antar wilayah.
72 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
2. Tersedianya jaringan infrastruktur transportasi yang handal
dan terintegrasi, terpenuhinya pasokan energi yang andal
dan efisien, tersedianya infrastruktur komunikas yang
efisien dan modern serta tersedianya infrastruktur sumber
daya air yang berkualitas.
3. Meningkatnya PDRB, laju pertumbuhan ekonomi, penye-
rapan tenaga kerja, investasi di daerah, nilai ekspor produk
serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku
impor.
4. Tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat ]awa Barat.
5. Tersedianya penunjang perkembangan ekonomi dalam
bentuk regulasi yang efektif, pembiayaan yang ber-
kelanjutan, sumberdaya manusia yang berkualitas,
teknologi tinggi dan tepat guna, jaringan distribusi efektif
dan efisien serta sistem informasi yang handal.
Sari dari RPJPD Jawa Barat Tahun 2005-2025
1. Arah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
harus berkelanjutan dan berkualitas, dalam arti meningkatkan
kemakmuran bagi seluruh masyarakat Jawa Barat yang
didukung oleh iklim usaha yang berdaya saing secara global.
Keberhasilan pencapaian visi pembangunan sangat ditentukan
oleh kemampuan daerah untuk memanfaatkan potensi wilayah
melalui pengembangan kegiatan utama (core business).
Pembangunan ekonomi daerah Jawa Barat tahun 2005-2025
diarahkan kepada peningkatan nilai tambah segenap
sumberdaya ekonomi melalui industri pengolahan dan jasa
dalam arti luas yang berbasis pada agribisnis serta revitalisasi
pertanian dalam arti luas.
73bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Agribisnis di Jawa Barat sudah ada dan tumbuh di masyarakat
serta masih memiliki potensi yang besar dan variatif untuk
didukung agro ekosistem yang cocok untuk pengembangan
komoditas pertanian sehingga komoditas pertanian memiliki
citra yang positif dan berdaya saing baik pada tingkat lokal,
regional dan internasional.
Pengembangan agribisnis di Provinsi Jawa Barat diarahkan
pada (1) pengembangan industri input yang memadai dari segi
jumlah, kualitas dan waktu sesuai dengan tuntutan pengem-
bangan agribisnis hiIir; (2) pengembangan teknologi budidaya
dan organisasi produksi yang dapat meningkatkan produktivi-
tas tanaman, ternak dan ikan dengan menggunakan lahan
minimal dan ramah lingkungan untuk menghasilkan produk
yang berkualiatas dan aman bagi konsumen; (3) peningkatan
nilai tambah melalui pengolahan hasil produk primer; (4)
pengembangan sistem pemasaran yang berorientasi pada
perubahan permintaan konsumen; (5) pengembangan
penunjang system agribisnis yang berfungsi mengatur dan
memandu sistem agribisnis, dan (6) pengembangan jejaring
bisnis terintegrasi yang menggambarkan harmoni antar
pelaku bisnis pada tingkat institusi pemerintah terkait,
produsen dan pelaku jasa agribisnis dalam lingkup wilayah dan
lingkup fungsional.
2. Dalam rangka meningkatkan daya saing, pengembangan
industri Jawa Barat diarahkan pada; Pertama, peningkatan nilai
tambah dan produktivitas melalui diversifikasi produk
(pengembangan ke hilir), pendalaman struktur (hulu-hilir),
penguatan hubungan antar industri, dan pendukungan
infrastruktur produksi yang antara lain tersedianya sarana dan.
prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana
dan prasarana teknologi), prasarana pengukuran standardi-
74 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sasi, pengujian dan pengendalian kualitas; serta sarana dan
prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri.
Kedua, pembangunan industri yang berkelanjutan, dimana
produksi industri harus memperhatikan faktor lingkungan
sehingga dapat menghasilkan industri produksi bersih (green
product/ecological product). Ketiga, pengembangan Industri
Kecil dan Menengah (IKM) sehingga mampu berdaya saing
baik di pasar lokal maupun internasional.
3. Pengembangan perdagangan dalam negeri diarahkan pada
peningkatan sistem informasi pasar dan penguasaan akses
pasar lokal dan regional, meningkatkan sistem distribusi yang
efektif dan efisien dengan harapan akan terjaminnya keter-
sediaan kebutuhan pokok masyarakat. Adapun untuk pengem-
bangan perdagangan luar hegeri diarahkan pada penguatan
akses dan jaringan perdagangan ekspor, sehingga diharapkan
dapat memperkuat posisi produk Jawa Darat di mata
internasional. Upaya tersebut diharapkan dapat memberikan
dampak positif terhadap pembangunan perekonomian Jawa
Barat sehingga diharapkan dapat memberikan nilai tambah
yang sebesar-besarnya terhadap kesejahteraan masyarakat.
4. Kini dalam memasuki RJPM tahap Kedua (2008-2013)
pengembangan agribisnis terfokus pada beberapa hal dimulai
dengan penataan agribisnis yang ada dan penyelesaian
permasalahan yang dihadapi di setiap sub sistem agribisnis.
Dari segi sistem agribisnis yang perlu dilakukan pada tahap ini
yaitu (1) penataan agribisnis yang ada, (2) perbaikan subsistem
agribisnis yang bermasalah, (3) revitalisasi agribisnis untuk
pembangunan ekonomi, (4) mengubah proporsi peran
agribisnis dalam struktur PDRB Propinsi Jawa Barat, dan (5)
realokasi sumberdaya, pendanaan, dan wilayah pertumbuhan
agribisnis.
75bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Dengan menempatkan agribisnis sebagai suatu sistem,
konsekuensinya akan mengubah proporsi peran agribisnis
dalam perekonomian Provinsi Jawa Barat. Implikasi lebih
lanjutdari reposisi ini adalah realokasi sumberdaya ekonomi
yang lebih berat ke pengembangan agribisnis. Sedangkan
pada sektor peidagangan diharapkan dapat mengoptimalkan
pasar dalam negeri, penataan distribusi barang dan
meningkatkan orientasi ekpor.
5. Pada RPJM tahap Ketiga (2013-2018) akan terjadi tahap
pemantapan mutu. Ini merupakan tahap pengembangan
teknologi agribisnis hulu dengan agribisnis hilir, diperolehnya
komitmen terhadap pembangunan agribisnis di Provinsi Jawa
Barat. Pemantapan mutu merupakan komitmen Provinsi Jawa
Barat untuk merespons setiap tuntutan konsumen, terutama
terhadap mutu, kenyamanan, keamanan, kesehatan, kelestari-
an dan isu-isu lingkungan lainnya. Tuntutan tersebut
memerlukan rekayasa teknologi di semua subsistem agribisnis.
Pada tahap ini diperIukan: (1) Supply Chain Management yang
efektif dan efisien, (2) Budaya mutu dan merk, (3) Sertifikasi
dan standardisasi produk, (4) Respons terhadap upaya
mencapai kepuasan konsumen, dan (5) Kelembagaan
penunjang yang efisien. Pada faktor industri dan perdagangan
tahapan pembangunan ini diarahkan pada penciptaan
lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, pengembangan
kemampuan inovasi, peningkatan kemampuan sumber daya
industri dan mengembangkan industri kecil yang tangguh.
Sedangkan pada sektor perdagangan di arahkan pada
perluasan kawasan perdagangan ekspor dan penataan
distribusi barang, pemberdayaan produk dalam negeri dan
pengembangan pasar dalam negeri.
76 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
6. Pada RPJM tahap Keempat (2018-2023) pengembangan
pertanian Provinsi Jawa Barat harus sudah menguasai jaringan
bisnis yang luas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya integrasi
vertikal dan integrasi horizontal dalam sistem agribisnis. Untuk
itu diperlukan: (1) Holding Company dan integrasi integrasi
vertikal tingkat lokal, regional, dan internasional, (2) kolaborasi
bisnis di tingkat Jawa Barat dan provinsi lain, dan (3) Relasi
bisnis di pasar internasional. Pada tahap ini agribisnis Provinsi
]awa Barat sudah berkembang menembus batas-batas wilayah
provinsi dan negara. Konsekuensinya adalah pada tahap ini
persaingan global akan semakin kuat. Selama tahapan
sebelumnya dapat dilalui dengan baik, pada tahap
pengembangan jaringan ini akan dapat dilalui dengan baik.
Dalam faktor industri dan perdagangan, tahapan pemantapan
diarahkan pada peningkatan daya saing industri yang
berorientasi ekspor, menciptakan kesempatan kerja dalam
jumlah besar dan mengoptimalkan pendayagunaan potensi
dalam negeri serta perluasan perdagangan luar negeri.
7. Pada tahap Kelima (2023-2025), pertanian Provinsi Jawa Barat
harus sudah memasuki tahap pemenangan persaingan baik
nasional maupun global. Untuk itu diperlukan: (1) Penguatan
keunggulan kompetitif, (2) Terpenuhinya konsumsi Provinsi
Jawa Barat dan domestik, (3) tingginya daya terima pasar
internasional, dan (4) nilai tambah ekspor yang tinggi. Kegiatan
agribisnis pada tahap ini dicirikan dengan komitmen yang
tinggi terhadap tujuan memenangkan keunggulan kompetitip
di pasar global, dengan ciri bisnis yang berorientasi pada
efisiensi, kualitas, keamanan, dan keberlanjutan.
77bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Sentra Produksi Komoditas Agro Jawa Barat
Sentra produksi komoditi agro tersebar di berbagai daerah
sesuai dengan karakter tanaman dan potensi agroekologinya.
Berdasarkan prinsip tata niaga, semakin dekat jarak antar sentra
produksi ke tempat pemasaran/konsumen, semakin efisien tata
niaga. Dilihat dari potensi produksi komoditas agro di Jawa Barat,
maka banyak sentra komoditi komoditi agro yang potensial.
Beberapa komoditi agro yang ada di Jawa Barat dan produksi
untuk setiap sentra produksi disajikan pada uraian berikut:
1. Padi
Sentra produksi padi dan produksinya di Jawa Barat tersebar
di beberapa daerah seperti Karawang (962.424 ton), Bekasi
(518.142 ton), Subang (891.572 ton), Indramayu (1.080.306
ton), Majalengka (511.564 ton), Cirebon (449.864 ton),
Cianjur (635.567 ton), Kabupaten Bandung (609.660 ton),
Garut (647.416) dan Sukabumi (728.050 ton).
2. Jagung
Sentra produksi jagung dan produksinya di Jawa Barat adalah
Garut (265490 ton), Bandung (59747 ton), Majalengka (38.896
ton), Sumedang (37179 ton), Tasikmalaya (35975 ton), Cianjur
(27.977 ton), Kuningan (21.476 ton), Sukabumi (20.740 ton),
Ciamis (16.050 ton) dan Purwakarta (12.217 ton).
3. Kacang Tanah
Sentra produksi kacang tanah dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Sukabumi (13.105 ton), Cianjur (12.633 ton), dan Garut
(27.887 ton).
4. Kacang Hijau
Sentra produksi kacang hijau dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Garut (1.769 ton), Ciamis (1.182 ton), Cirebon (2.463
78 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ton), Majalengka (1.673 ton), Sumedang (1.042 ton),
Indramayu (1.454 ton), dan Karawang (1.216 ton).
5. Ubi Kayu
Sentra produksi ubi kayu dan produksinya di Jawa Barat, yaitu
Purwakarta (104.203 ton), Sumedang (178.438 ton), Ciamis
(219.772 ton), Tasikmalaya (248.155 ton), Garut (479.068 ton),
Bandung (212.893 ton), Cianjur (127.636 ton), Sukabumi
(134.870 ton), dan Bogor (189.421 ton).
6. Ketimun
Sentra produksi ketimun dan produksinya di Jawa Barat, yaitu
Tasikmalaya (16.701 ton), Indramayu (8.770 ton), Bogor
(13.395 ton), Sukabumi (8.169 ton), Cianjur (23.995 ton),
Bandung (21.480 ton), Garut (41.247 ton), Karawang (14.493
ton), Bekasi (12.238 ton) dan lain-lain.
7. Terong
Sentra Produksi terong dan produksinya di Jawa Barat, yaitu
Bogor (4.717 ton), Sukabumi (3.493 ton), Cianjur (15.162 ton),
Bandung (3.248 ton), Garut (6.764 ton), Tasikmalaya (5.737
ton), dan lain-lain.
8. Kangkung
Sentra Produksi kangkung dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Kabupaten Bogor (6.625 ton), Cianjur (2.226 ton),
Bandung (2.810 ton), Garut (3.453 ton), Tasikmalaya (2.400
ton), Ciamis (2.294 ton), Purwakarta (1.159 ton), Karawang
(5.012 ton), Bekasi (9.185 ton), Kota Bogor (1.036 ton), Kota
Bekasi (1.826 ton), Kota Depok (1.785 ton), dan Kota Banjar
(1.214 ton).
9. Kacang Panjang
Sentra Produksi kacang panjang Jawa Barat dan Produksinya,
yaitu: Kabupaten Bogor (10.768 ton) Sukabumi (6.873 ton),
79bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Cianjur (20.487 ton), Bandung (13.465 ton), Garut (8.963 ton),
Tasikmalaya (8.300 ton), Purwakarta (8.735 ton), Karawang
(34.258 ton) dan lain-lain.
10. Tomat
Sentra Produksi Tomat Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (4.700 ton), Sukabumi (9.283 ton), Cianjur (25.198 ton),
Bandung (111.645 ton), Garut (61.825 ton), Tasikmalaya
(6.703 ton), Majalengka (7.780 ton), Sumedang (4.742 ton).
11. Bayam
Sentra Produksi bayam Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (6.172 ton), Cianjur (1.448 ton), Bandung (1.743 ton),
Garut (1.231 ton), Tasikmalaya (1.511 ton), Ciamis (1.089 ton),
Karawang (1.171 ton), Kabupaten Bekasi (7.516 ton), dan Kota
Bekasi (1.766 ton).
12. Cabai
Sentra Produksi cabai Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Sukabumi (7.988 ton), Cianjur (27.212 ton), Bandung (28.761
ton), Garut (41.283 ton), Tasikmalaya (19.544 ton),
Majalengka (11.037 ton), Sukabumi (7.988 ton), Indramayu
(4.224 ton) dan lain-lain.
13. Sawi/petsai
Sentra Produksi Sawi Jawa Barat dan produksinya, yaitu Kota
Sukabumi (5.829 ton), Kabupaten Sukabumi (33.972 ton),
Cianjur (46.426 ton), Ban dung (78.374 ton), Garut (26.040
ton), Kuningan (6.429 ton), Majalengka (8.860 ton).
14. Buncis
Sentra Produksi Buncis Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (4.417 ton), Sukabumi (6.092 ton), Cianjur (29.462 ton),
Bandung (27.058 ton), Garut (13.473 ton), Tasikmalaya (8.921
ton) dan Purwakarta (2.534 ton).
80 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
15. Cabe Rawit
Sentra Produksi Cabe Rawit Jawa Barat dan produksinya,
yaitu Bogor (1.336 ton), Sukabumi (2.886 ton), Cianjur (9.826
ton), Bandung (4.494 ton), Garut (17.749 ton), Tasikmalaya
(2.449 ton), Majalengka (5.797 ton), Sumedang (1.554 ton),
dan Purwakarta (1.366 ton).
16. Lobak
Sentra Produksi lobak dan produksinya di Jawa Barat, yaitu
Cianjur (3.836 ton), Bandung (13.585 ton).
17. Bawang Putih
Sentra Produksi bawang putih Jawa Barat dan Produksinya,
yaitu Bandung (1.110 ton) dan Garut (221 ton).
18. Bawang Merah
Sentra Produksi Bawang merah Jawa Barat dan produksinya,
yaitu Bandung (40.516 ton), Garut (7.670 ton), Kuningan
(4.946 ton), Cirebon (32.144 ton), Majalengka (33.250 ton),
dan Indramayu (1.431 ton).
Produktivitas Komoditi Agro
Secara umum produktivitas komoditi agro di Jawa Barat
masih rendah bila dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.
Kesenjangan antara produktivitas faktual dengan produktivitas
potensial terjadi karena beberapa alasan, seperti masih belum
optimalnya pemeliharaan yang dilakukan oleh petani, adanya
serangan hama dan penyakit, kondisi lingkungan yang kurang
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman, baik kesesuaian tanah
maupun kesesuaian iklim, penanganan panen dan pasca panen
yang masih belum optimal, dan lain-lain.
81bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Produktivitas beberapa komoditi agro di Jawa Barat dapat
dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 4.1.
Produktivitas Beberapa Komoditi Agro Di Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik 2007. Diolah dari data produksi dibagi luas panen.
JENIS KOMODITI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Padi
Jagung
Ubi Kayu
Kedelai
Kacang Hijau
Kacang Tanah
Bawang Daun
Bawang Merah
Kentang
Kubis
Lobak
Petsai/sawi
Wortel
Buncis
Bayam
Ketimun
Cabai
Kacang panjang
Tomat
Terong
labu siam
Kangkung
Bawang putih
Kacang merah
Kembang kol
Cabai rawit
5.107
4.584
17.415
1.385
1.003
1.355
13.93
9,96
19,83
25,50
18,56
17,14
21,95
13,75
7,29
14,76
11,32
10,43
21,66
13,17
47,43
10,18
13,58
6,62
18,54
8,41
NO RATA-RATA PRODUKSI/HA (TON/HA) *)
82 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Karakteristik Fluktuasi Harga Produk/Komoditi Agro
Secara umum karakteristik harga produk agro fluktuatif
tergantung pada berbagai faktor dengan elastisitas bervariasi
sesuai dengan jenis komoditinya.
Faktor paling dominan yang menentukan fluktuasi harga
produk agro adalah kondisi permintaan dan penawaran.
Permintaan yang banyak secara langsung akan mengkatrol harga
produk ke posisi yang lebih tinggi, sebaliknya penawaran yang
banyak akan menurunkan harga ke posisi yang lebih rendah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga
produk agro antara lain:
a. Per pmintaan dan penawaran.
b. Kualitas produk.
c. Musim.
d. Jarak sentra produksi ke pasar.
e. Kebijakan Pemerintah, yaitu tidak adanya sistem
pengendalian harga.
f. Tidak adanya informasi tentang jenis komoditi, waktu
tanam, serta luas tanam dari sentra produksi.
g. Tidak adanya substitusi/produk pengganti
h. Karakteristik produk agro. Beberapa karakteristik dasar dari
komoditiertanian, diantaranya :
1) Mudah rusak, tingkat kerusakan yang tinggi maka secara
substansial akan meningkatkan biaya pemasaran.
2) Bersifat volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, hal
tersebut akan meningkatkan biaya penyimpanan dan
transportasi
3) Bersifat musiman, jika terjadi panen dalam jangka pendek
maka biaya penyimpanan dan penanganan produk akan
meningkat.
83bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
4) Adanya perbedaan antara produk akhir dan bahan
mentah, proses pengolahan dilakukan dalam upaya
meningkatkan nilai tambah produk akan meningkatkan
biaya pemasaran.
5) Pasar konsumen terpisah dari daerah produksi sehingga
perlu adanya tindakan pemasaran untuk mengirimkan
produk pertanian sampai ke konsumen akhir.
Perilaku harga di pasar merupakan indikator penting bagi
kinerja secara keseluruhan dari pasar. Salah satu fungsi utama
pasar yang efisien aalah memberikan fasilitas bagi arus informasi
harga. Informasi harga merupakan faktor esensial bagi efisiensi
fungsi pemasaran, jika pasar menyediakan. Informasi harga secara
menyeluruh dan lengkap, tepat waktu, dan akurat bagi para
pelaku pasar. Harga yang tebentuk berdasarkan informasi
tersebut mencerminkan kondisi penawaran dan permintaan
produk.
Fungsi utama jasa informasi pasar adalah untuk
mengumpulkan, memproses, menganalisis data secara sistematis,
secara terus menerus dan tepat waktu bagi seluruh para pelaku
pasar. Informasi pasar berguna bagi pelaku pasar dalam
mengambil keputusan transaksi jual beli komoditi pertanian.
Faktor-Faktor Penentu Daya Daing Jawa Barat
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dirjen ASEAN
Departemen Luar Negeri serta kalangan pengusaha agro baik di
tingkat nasional maupun Provinsi Jawa Barat dapat dimaknakan
bahwa dengan diterapkannya otonomi daerah pembahasan
mengenai daya saing wilayah, misalnya provinsi atau wilayah
administrasi lebih rendah, di Indonesia saat ini menjadi sangat
84 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
relevan. Persaingan tidak hanya dalam perdagangan eksternal
tetapi juga dalam menarik investasi dari luar, dan persaingan juga
tidak hanya antara suatu wilayah dengan wilayah di negara
(tetangga) tetapi juga antar wilayah di Indonesia. Misalnya
pertanyaan sekarang adalah apakah Jawa Barat mampu menarik
lebih banyak investor asing dibandingkan wilayah-wilayah lain di
Indonesia. Juga, apakah Jawa Barat mampu untuk lebih banyak
mengekspor ke daripada mengimpor dari wilayah lain di dalam
negeri atau luar negeri.
Daya saing Jawa Barat ditentukan terutama oleh daya saing
dari sektor-sektor atau unit-unit kegiatan usaha, misalnya sektor
industri dan sektor pertanian di Jawa Barat. Kemudian daya saing
provinsi Jawa Barat sangat tergantung pada kapasitas
masyarakatnya (terutama pengusaha) untuk berinovasi dan
melakukan pembaharuan terus menerus, dan untuk ini diperlukan
teknologi dan SDM. Oleh karena itu, berbeda dengan keunggulan
komparatif, keunggulan kompetitif sifatnya sangat dinamis:
teknologi berubah terus, demikian juga kualitas SDM
berkembang terus.
Lebih lanjut, dalam perdagangan eksternal (atau
internasional), kemampuan Jawa Barat untuk menembus pasar
eksternal (global) atau meningkatkan ekspornya ditentukan oleh
suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang
dimiliki masing-masing perusahaan di Jawa Barat atas pesaing-
pesaingnya dari wilayah/negara lain. Dalam konteks ekonomi/
perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan
relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif. Suatu wilayah memiliki keunggulan bisa
secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan
(acquired advantages).
85bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Keunggulan alami yang dimiliki Jawa Barat adalah jumlah
tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan
bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga
kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih murah.
Keunggulan alamiah ini sangat mendukung perkembangan
ekspor komoditas-komoditas primer Jawa Barat seperti minyak
dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya
yang padat karya dan berbasis sumber daya alam (seperti produk-
produk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembang-
kan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya
sedikit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan
penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan baku
sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau
berproduksi secara lebih efisien dibandingkan wilayah/negara lain
yang kaya sumber daya alam.
Inti daripada keunggulan kompetitif adalah bahwa
keunggulan suatu wilayah atau industri di dalam persaingan
global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang
dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari
pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitif-
nya. Faktor-faktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki
oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional, khususnya Jawa
Barat, untuk dapat unggul dalam persaingan di pasar inter-
nasional diantaranya yang paling penting yaitu:
1) Penguasaan teknologi dan know-how;
2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas
tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi
yang tinggi, dan inovatif;
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam
proses produksi;
86 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;
5) Promosi yang luas dan agresif;
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik;
7) Pelayanan teknis maupun non-teknis yang baik (service
after sale);
8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi;
9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup;
10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar
negeri yang baik;
11) Proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time;
12) Tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang
pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan
memiliki visi yang luas mengenai produknya dan
lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.),
dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam
menghadapi persaingan yang ketat di pasar global.
13) Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem
pemerintahan transparan dan efisien.
Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro dalam Kerangka AFTA
Seperti dituturkan Kasie Perdagangan Luar Negeri
Disindagagro Jawa Barat, dalam upaya menciptakan sistem
penyediaan dan distribusi pangan di Jawa Barat yang direncana-
kan, perlu melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:
1. Fungsi/peran pemerintah daerah, mulai dari tahap
penyiapan/perencanaan dan pengoperasian pasar
2. Peran sektor swasta dan publik, mulai dari tahap
penyiapan/ perencanaan dan pengoperasian pasar
87bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
3. Indikator kinerja, yang dapat digunakan sebagai tolok ukur
keberhasilan dalam melakukan monitoring dan evaluasi
khususnya dalam pengoperasian pasar
4. Prioritas pengembangan, disesuaikan dengan sumberdaya
yang dimiliki dalam upaya mengembangkan pengelolaan
dan pengoperasian yang maksimal menuju sasaran yang
diinginkan
5. Tahapan pengembangan.
Realitas Lapangan
Dari pengamatan di lapangan, kegiatan komunikasi dalam
kerangka perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat tidak
berjalan sesuai dengan entitas dassein. Pemerintah seharusnya
menunjuk implementor yang dinilai akan menjalankan seluruh
proses komunikasi. Di tingkat propinsi Jawa Barat implementor
tersebut hanya bertumpu pada satu instansi yakni Dinas Industri
dan Perdagangan Agro. Padahal proses komunikasi yang
dijalankan berkenaan dengan implementasi AFTA bidang
komoditas pertanian di Jawa Barat memerlukan suatu institusi
yang tingkat kewenangannya dapat bersifat lintas sektoral dan
implementor yang dimaksud diharapkan dapat mengawasi dan
mengendalikan transmisi seluruh pesan yang menjadi dasar dari
pemahaman perdagangan komoditas pertanian dalam kerangka
AFTA di Jawa Barat.
Dari pengamatan di lapangan, tidak berjalannya kegiatan
komunikasi sesuai yang diharapkan misalnya terkaji dalam tataran
Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Tugas
komunikasi yang menjadi tanggung jawab dari instansi dimaksud
hanya berkisar pada penyuluhan kepada komunikan dengan
mempergunakan media seminar-seminar dan lokakarya. Kegiatan
88 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
seperti ini hanya diikuti oleh para pelaku pasar yang berada di
tingkat organisasi profesi seperti Kamar Dagang dan Industri
(KADINDA) atau asosiasi yang bergerak di bidang pertanian,
seperti DPD Asosiasi Pengusaha Komoditas Pertanian Jawa Barat,
KUD dan kelompok-kelompok tani. Kegiatan yang menjadi
substansi dari faktor komunikasi ini tidak dapat dilaksanakan
karena persepsi terhadap komunikasi yang lebih dipahami
sebagai suatu proses untuk menyampaikan pesan dalam tatanan
stuktural saja. Dalam pemahaman para implementor, per-
dagangan komoditas pertanian di Jawa Barat hanya berkisar pada
para pelaku pasar saja. Informasi yang disampaikan sebagai pesan
tidak dirasakan oleh para petani secara langsung, bahkan
persyaratan perdagangan bebas yang kemudian menjadi tujuan
dari informasi yang disampaikan tidak dipahami secara jelas.
Para petani juga tidak merasa berkewajiban untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan hasil produksi mereka dalam
kerangka perdagangan bebas yang menjadi tuntutan untuk
dilaksanakannya AFTA. Hal ini merupakan bukti dari pemahaman
yang dimiliki komunikator/implementor terhadap komunikasi
yang dimaknakan hanya sebagai sosialisasi. Lebih tegasnya,
implementor merasa berkewajiban untuk mensosialisasikan
kondisi kesiapan untuk perdagangan komoditas pertanian dalam
kerangka AFTA. Sosialisasi yang dimaksud tidak dengan
pemahaman yang mendalam tentang berbagai subtansi
mendasar dari sebuah persyaratan perdagangan bebas.
Pemahaman yang terbatas terhadap situasi dan kondisi
yang menjadi persyaratan bagi pelaksanaan perdagangan bebas
dalam kerangka AFTA tersebut, berdasarkan catatan wawancara,
tidak sepenuhnya menjadi kesalahan dari para implementor.
Setidaknya, keputusan pelaksanaan AFTA merupakan sebuah
89bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
kesepakatan mengikat yang menjadi hasil dari berbagai
pertemuan di tingkat tinggi antar-negara anggota ASEAN.
Kesepakatan tersebut lebih banyak merupakan hasil dari
pertemuan tingkat kepala negara anggota ASEAN atau tingkat
menteri. Bahkan apabila dilihat dari kajian pustaka yang ada, mulai
dari pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967), KTT ASEAN IV di
Singapura sampai dengan pertemuan yang sama tahun 1997
terlihat lebih banyak pertemuan dan kesepakatan AFTA dilakukan
oleh para eksekutif di tingkat menteri luar negeri. Menteri luar
negeri dari negara-negara ASEAN ini bertindak sebagai pengambil
keputusan meneruskan struktur sistem ASEAN Secretariat yang
ada dalam tataran supra nasional dari negara-negara anggota.
Kondisi seperti itu memungkinkan terjadinya ketidak-
jelasan perintah yang ada bagi pelaksanaan komunikasi. Paling
tidak, kebijakan yang merupakan hasil dari kesepakatan ASEAN
melalui menteri luar negeri tidak akan mudah untuk disampaikan
secara langsung kepada Departemen Perdagangan. Kebijakan
tersebut harus melalui proses panjang mulai dari ratifikasi Dewan
Perwakilan Rakyat sampai kepada keputusan presiden yang
dilanjutkan kepada Departemen Perdagangan (pada masa itu
Departemen Perdagangan dan Industri).
Kesulitan selanjutnya justru berada di tingkat pemerintah
daerah yang sudah menganut pola kerja otonomi daerah. Pember-
lakukan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No 22 Ta-
hun 1999 dan direvisi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, memperlihatkan adanya ketimpangan hubungan instansi
departemen terhadap struktur yang sama di pemerintah daerah.
Artinya, struktur Dinas Perdagangan yang ada di pemerintah dae-
rah tidak akan sama kedudukannya dengan ketika menjadi bagian
integral dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
90 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Demikian halnya Dinas Industri dan Perdagangan Provinsi Jawa
Barat bukan merupakan ”bawahan” dari Departemen Pedagangan
Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pola kerja yang
ada pun hanya bersifat koordinatif tidak bersifat intruksif, sehingga
masih harus berdasarkan persetujuan (tembusan) dari Kepala
Daerah atau Gubernur.
Pola hubungan yang tidak langsung seperti ini mengakibat-
kan sulitnya komunikasi yang terjadi dari Departemen Per-
dagangan kepada Dinas Industri dan Perdagangan di pemerintah
daerah. Kesulitan yang sama juga dialami oleh implementor dari
posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro yang oleh pemerintah
Daerah Jawa Barat dikategorikan secara mandiri terpisah dari
Dinas Industri dan Perdagangan induk. Dengan kondisi tersebut
dapat dimengerti sulitnya menemukan faktor ketegasan dalam
informasi yang diberikan oleh implementor dari pejabat di Dinas
Industri dan Perdagangan Jawa Barat. Selain posisinya sebagai
Dinas yang baru berdasarkan Perda tentang SOTK Pemerintah
Daerah Jawa Barat, implementor perdagangan agro ini
berhadapan dengan persoalan klasik dari posisi Dinas Industri dan
Perdagangan Jawa Barat yang masih memposisikan diri sebagai
induk organisasi dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro.
Pada praktiknya, informasi kebijakan yang turun dari
Departemen Perdagangan RI mengenai kerangka pelaksanaan
AFTA sudah berhadapan dengan struktur yang ada di Departemen
Luar Negeri. Setidaknya, ejawantah dari kebijakan perdagangan
bebas sebagai kesepakatan ASEAN dari Departemen Luar Negeri
masih menjadi bagian dari proses kerja yang dihasilkan dari
Direktorat Jenderal ASEAN. Berdasarkan wawancara dengan
pejabat di lingkungan Direktorat ASEAN dinyatakan bahwa
kesulitan struktural merupakan kendala yang sering dihadapi
91bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
dalam pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN
(AFTA).
Kendati keputusan yang diambil atas nama menteri luar
negeri dan disampaikan kepada depar-temen terkait dalam
pelaksanaan AFTA, kerapkali keputusan tersebut dipandang
”sebelah mata” oleh instansi dimaksud. Hal ini sebagai akibat dari
arogansi sektoral yang berkembang dari budaya organisasi di
negeri ini. Seorang menteri pemimpin departemen tertentu tidak
akan merasa berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang
datang dari struktur direktorat jenderal, apalagi dari departemen
lain. Bahkan keputusan sejenis yang datang dari menteri di
lingkungan yang berbeda pun sulit untuk dilaksanakan oleh
menteri di departemen lain.
Keadaan ini, menurut Dirjen ASEAN akan membuat
kebijakan tentang AFTA menjadi bias dan sulit dipahami sampai
pada tingkat ”akar rumput”. Masyarakat awam (man in the street)
tidak akan bisa memahami secara utuh sesungguhnya makna dari
sebuah kebijakan perdagangan bebas yang menjadi kesepakatan
ASEAN itu. Apalagi kenyataan akan adanya perdagangan bebas
dunia justru diartikan sebagai praktek liberalisasi yang negatif
sehingga terkadang maknanya sama dengan kolonialisme. Selain
substansi dari kebijakan yang terkadang bias (perintah yang tidak
jelas), tidak jarang kebijakan tersebut berjalan lambat karena
keterlambatan dari sampainya informasi tentang kebijakan itu
kepada masyarakat pelaku ekonomi dan petani yang ber-
kepentingan dengan kebijakan AFTA.
Peneliti berpendapat bahwa kondisi di atas menyiratkan
adanya bias komunikasi antara para implementor kebijakan
tingkat nasional, tingkat propinsi, para pelaku bisnis sampai
dengan tataran akar rumput. Secara teoritik isi pesan yang
92 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
disampaikan tidak diterima dengan baik oleh komunikan. Itu
berarti proses effect dari transformasi informasi yakni kesan yang
didapat oleh komunikan setelah dia mendapatkan pesan pun
tidak berlangsung semestinya.
Dalam konteks implementasi AFTA di tataran akar rumput
terlihat bahwa para petani tidak memberikan feed-back positif
yang mendukung implementasi AFTA. Hal itu dikarenakan
komunitas petani agro di Jawa Barat tidak memperoleh infomasi
berkenaan dengan manfaat apa yang secara langsung dapat
mereka dapatkan dengan adanya ikut sertanya komunitas petani
agro Jawa Barat dalam kerangka perdagangan bebas di kawasan
Asia Tenggara.
Secara demikian tidak mengherankan apabila di masa
depan implementasi AFTA di tataran akar rumput tampaknya tidak
akan mendapatkan dukungan penuh dari komunitas agro Jawa
Barat apabila sosialisasi untung ruginya impelentasi AFTA tidak
disampaikan sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut, seperti yang disampaikan pada kajian teoritis
pada Bab II, interpretasi peneliti ini dapat dijelaskan secara lebih
mendalam seperti di bawah ini.
Faktor Transmisi dari Komunikasi
Sejak tahun 2002 kesepakatan AFTA ini sudah dilaksanakan.
Perintah kebijakan telah dikeluarkan akan tetapi komunikasi dari
kebijakan ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Berbagai hal
yang menjadi entitas transmisi dari komunikasi kebijakan ini
adalah (1) pertentangan pendapat; (2) distorsi/penyimpangan
karena informasi; dan (3) persepsi pribadi pelaksana. Tiga hal
tersebut akan dibahas secara akumulatif dan bersama-sama
dalam subjudul ini.
93bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
1. Pertentangan Pendapat
Apabila ditinjau dari hasil observasi dan wawancara dengan
berbagai informan di Dinas Industri dan Perdagangan Agro,
terlihat adanya pertentangan pendapat yang cukup tajam
antarpara pelaksana kebijakan kesepakatan AFTA. Masing-masing
informan memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang aplikasi
kesepakatan AFTA. Sebagian di tataran Sub-Dinas menilai bahwa
kebijakan AFTA ini tidak realistik sehingga akan sulit dilaksanakan
di lapangan. Kekhawatiran mereka ini diawali oleh tuduhan bahwa
perdagangan bebas akan memaksa masuknya para pelaku
ekonomi asing yang sudah pasti memiliki tingkat kemampuan
kompetisi yang tinggi. Kemampuan kompetisi yang tinggi
tersebut akan mengalahkan seluruh komponen pelaku ekonomi
khususnya pedagang komoditas agro di Jawa Barat.
Sebagian yang lain menilai bahwa kebijakan AFTA ini
merupakan kebijakan yang sempurna dan harus segera dilaksana-
kan untuk mewujudkan kemajuan bagi para petani di Jawa Barat.
Asumsi dari pendapat ini adalah bahwa perdagangan bebas tidak
mungkin dapat dibendung, sehingga yang mungkin adalah
memanfaatkan arus perdagangan bebas untuk kemakmuran
petani di Jawa Barat. Apabila pola adaptasi yang cepat dilaksana-
kan kepada seluruh jajaran petani dan pelaku ekonomi (pedagang
komoditas agro) di Jawa Barat maka ke depan perdagangan bebas
akan menguntungkan bagi seluruh komponen komunitas agro di
Jawa Barat.
Pandangan lain lagi juga muncul, bahwa perdagangan
bebas hanya akan menjadi isu regim internasional yang tidak
membawa perubahan signifikan bagi perdagangan agro di Jawa
Barat. Pandangan ini menilai bahwa perkembangan dunia tentang
perdagangan bebas tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Perdagangan bebas hanya akan menjadi isu politik dari negara-
94 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
negara kaya untuk bisa menyerap sumber daya alam yang ada di
negara-negara berkembang. Akan tetapi perdagangan bebas
tersebut tidak akan berjalan lama, sehingga pada saatnya akan
pupus seperti isu-isu globalisasi yang lainnya.
Perbedaan pandangan ini menimbulkan cara-cara yang
berbeda dalam implementasi kebijakan kesepakatan AFTA di Jawa
Barat khususnya dalam bidang perdagangan komoditas agro.
Dengan perbedaan ini ketegasan untuk menentukan teknis
pelaksanaan kebijakan juga tidak terlihat. Sebagian pihak
menginginkan agar komunikasi dilaksanakan dengan mengguna-
kan penyuluhan yang mendalam dan pelatihan-pelatihan agar
pemahaman mendalam juga diperoleh dari komunikan. Akan
tetapi kemudian muncul pertentangan dari pihak yang berbeda
bahwa pelatihan dan penyuluhan akan memakan biaya mahal dan
tujuan tidak terlalu efektif. Akhirnya komunikasi hanya disepakati
dengan penyampaian pesan melalui seminar dan lokakarya yang
bertujuan untuk mengefisienkan penggunaan anggaran dan
kewajiban dasarnya sudah dilaksanakan.
2. Penyimpangan (distorsi)
Faktor kedua yang muncul adalah penyimpangan (distorsi)
karena adanya informasi melalui lapisan birokrasi yang panjang.
Yang mengemuka dalam faktor ini adalah lapisan birokrasi yang
terjadi di Dinas Industri dan Perdagangan Agro di Jawa Barat tidak
memiliki komunikasi yang cukup baik dan intensif dengan pusat
pemerintahan di Gedung Sate. Kondisi ini diakibatkan oleh posisi
Dinas Industri dan Perdagangan Agro yang merupakan struktur
baru dari ”pecahan” dari Dinas Industri dan Perdagangan Jawa
Barat. Keputusan pemisahan Dinas ini pun lebih didasarkan pada
kebijakan dari keinginan Kepala Daerah untuk meningkatkan
perdagangan dan industri agro di Jawa Barat.
95bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Dinas ini lebih banyak
overlaping dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk
sehingga nuansa kerjanya tidak bisa maksimal untuk menyampai-
kan informasi. Berbagai institusi di masyarakat masih lebih
meletakkan kepercayaan kepada Dinas Industri dan Perdagangan
induk. Kadin dan asosiasi komoditas pertanian yang ada di Jawa
Barat lebih banyak mempercayakan komunikasi institusi mereka
kepada Dinas Industri dan Perdagangan induk. Hal seperti ini yang
mengakibatkan komunikasi dari implementor berjalan dalam
distorsi lapisan birokrasi.
3. Persepsi Pribadi Pelaksana
Faktor terakhir yang menjadi entitas komunikasi adalah
persepsi pribadi pelaksana yang selektif dan penolakan atas
persyaratan-persyaratan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi
sumber daya manusia yang memiliki latar belakang berbeda-beda
di lingkungan Dinas industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat.
Dari kajian faktor ini dapat disebutkan bahwa peran dan posisi
Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat ini tidak diminati
oleh personil birokrasi di pemerintah daerah. Personil staf di
lingkungan pemerintah daerah memiliki persepsi yang sama
dalam pengakuan bahwa Dinas Industri dan Perdagangan Agro ini
merupakan wadah bagi personil yang sudah tidak terpakai di
lingkungan pemerintah daerah. Posisinya tidak berbeda jauh
dengan lembaga-lembaga tertentu yang dipandang sama yang
ada di lingkungan pemerintah daerah, seperti Badan Litbangda
(Penelitian dan Pengembangan Daerah).
Bahkan Dinas Industri dan Perdagangan Induk pun
memiliki nilai yang sama sebagai ”Dinas Buangan”, apalagi Dinas
Industri dan Perdagangan Agro. Semua gambaran ini memberi-
kan persepsi pribadi dari pelaksana yang selektif. Tidak setiap
96 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
personil yang berkedudukan atau ditempatkan di Dinas Industri
dan Perdagangan Agro merasa nyaman untuk berada dalam
posisi tersebut. Bahkan posisi puncak dari jajaran eselon tertinggi
di Dinas bersangkutan juga masih melakukan manuver untuk bisa
sesegera mungkin mendapat mutasi dari posisinya saat ini.
Wajar kiranya apabila berbagai persyaratan yang ada dalam
pelaksanaan kesepakatan AFTA dianggap sebagai sesuatu yang
mengganggu oleh personil yang ada di dalam Dinas Industri dan
Perdagangan. Penolakan tersebut kemudian ditularkan dengan
memberikan penetrasi kepada institusi yang bergerak di bidang
agro pula. Karena dinilai secara pribadi sebagai nilai-nilai yang
persyaratannya bertentangan dengan persepsi pribadi tersebut
maka informasi yang disampaikan tidak sepenuhnya, sehingga
tidak jarang komunikasi terjadi tidak sesuai dengan harapan dalam
komunikasi kebijakan. Persepsi yang selektif terhadap pesan yang
disampaikan mengakibatkan pesan tidak seluruhnya disampaikan
dan akibatnya kebijakan kesepakatan AFTA tidak dimengerti.
Faktor Kejelasan (Clarity)
Faktor ini mensyaratkan agar komunikasi berjalan dengan
baik maka diperlukan kejelasan dari petunjuk-petunjuk yang ada
dalam kebijakan kesepakatan AFTA. Kejelasan dalam petunjuk-
petunjuk itu menghadapi kendala sebagai akibat pula dari simpang
siur dan biasnya pesan yang ada dari kebijakan pemerintah pusat
sebagai kesepakatan AFTA sampai kepada kebijakan di bidang
perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat.
Sebagai kebijakan yang dihasilkan dari keseluruhan bentuk
kerjasama ASEAN dan menanggapi adanya perdagangan bebas
dunia, maka kebijakan kesepakatan AFTA itupun bermakna dalam
97bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas kebijakan itu
merupakan faktor yang sulit untuk dipahami dalam pelaksanaan-
nya mengingat di tingkat akar rumput maupun di tingkat
implementor di daerah akan berhadapan dengan kesulitan dalam
memahami makna yang terkandung secara menyeluruh dalam
kebijakan perdagangan bebas tersebut. Entitas dari perdagangan
bebas ASEAN yang mengandung barang-barang/jasa bersifat fast
track, normal track dan lain-lain bukan merupakan hal yang
mudah untuk dipahami kategorisasinya oleh masyarakat pelaku
ekonomi dan petani agro secara umum.
Selain itu, terdapat banyak keanekaragaman yang terjadi
dalam struktur masyarakat di Jawa Barat. Keanekaragaman
tersebut memunculkan berbagai kelompok kepentingan baik di
bidang sosial, ekonomi dan politik, misalnya para pemilik modal,
termasuk para tengkulak yang kerap menerapkan sistem ijon
kepada para petani agro, masuknya parpol yang berupaya
menjadikan para petani agro sebagai bagian dari konstituennya
dengan cara mengelompokkan mereka dalam organisasi-
organisasi bawahan parpol tersebut, oligarki dalam sistem
pemasaran yang dikuasai oleh kelompok etnis tertentu.
Berbagai kelompok yang ada juga memiliki kekuatan sosial
yang tidak mudah untuk ditembus atau bahkan memiliki kekuatan
penekan tertentu bagi kebijakan yang akan diambil oleh
pemerintah daerah. Oleh karena itu, tidak jarang pemerintah
daerah (dalam hal ini Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat) berhadapan dengan kepentingan kelompok ekonomi
tersebut dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Implementasi
kebijakan kesepakatan AFTA juga berbenturan dengan berbagai
kepentingan dari kelompok-kelompok ekonomi dimaksud. Petani
Gula, misalnya, memiliki kepentingan yang sudah diformulasikan
ke dalam kebijakan para petani gula dalam organisasi petani Tebu.
98 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Demikian juga kelompok kepentingan lainnya yang ada di Jawa
Barat dalam kaitannya dengan perdagangan komoditas agro.
Tegasnya, Dinas Industri dan Perdagangan Agro juga
merasa tidak dapat melaksanakan kebijakan kesepakatan AFTA
terhadap substansi tertentu apabila ber-hadapan dengan
kelompok masyarakat dimaksud. Bahkan keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok masyarakat tertentu tersebut merupakan
faktor yang mengakibatkan komunikasi tidak berjalan sebagai-
mana mestinya.
Kondisi tidak berjalannya komunikasi tersebut ditambah
lagi dengan kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan yang tidak dipahami oleh setiap personil yang ada
dalam Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Para staf yang ada
sebagai SDM dalam Dinas dimaksud tidak memiliki konsensus
yang kuat terhadap tujuan-tujuan dari kebijakan kesepakatan
AFTA untuk mewujudkan perdagangan bebas dan mendorong
komo-ditas agro di Jawa Barat. Bahkan banyak masalah-masalah
baru yang muncul bersamaan dengan munculnya kebijakan baru
yang tidak dapat diselesaikan di tingkat dinas.
Apabila sebuah faktor kebijakan yang ada berkaitan
dengan dinas lain di lingkungan pemerintah Jawa Barat, maka
faktor kebijakan tersebut cenderung tidak berjalan dikarenakan
tidak mendapat respon yang baik dari dinas terkait bersangkutan.
Sebagai contoh apabila informasi dari Dinas Industri dan
Perdagangan Agro mengharuskan agar produk tertentu harus
memenuhi standar perdagangan bebas yang menjadi patokan
dari komoditas pertanian agro di pasar bebas, maka Dinas
Pertanian tidak merasa berkewajiban untuk menyesuaikan dalam
substansi penyuluhan atau pengarahan kepada petani di
lapangan. Hal demikian sering terjadi sehingga arogansi lintas
99bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
sektoral ini membutuhkan penanganan yang memadai dan
berkesinambungan. Meskipun terlalu dini apabila disebutkan
bahwa dibutuhkan sebuah struktur yang memadai dalam
menangani hal demikian, lintas sektoral di antara Dinas ini baru
dapat dikoordinasikan dengan lembaga Asisten Daerah atau
setingkat Biro pelaksana koordinasi.
Dari keseluruhan paparan pada kegiatan komunikasi
termaktub di atas, peneliti dapat menginterpretasikan bahwa dari
sudut pandang faktor transmisi dan faktor kejelasan (Clarity) dari
komunikasi sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoritis
pada Bab II dari Edward III, kegiatan komunikasi implementasi
AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat belum
berlangsung sebagaimana yang diharapkan sehingga belum
mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam
menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.
Keadaan Sumber Daya (Resources)
Seperti yang disampaikan kajian teoritis pada Bab II,
tampaknya, faktor sumber daya ini merupakan faktor penting yang
sangat menentukan dalam keberhasilan sebuah implementasi
kebijakan. Implementor sebagai sumber daya utama juga mem-
butuhkan sumber daya lainnya yang dianggap penting dalam
melaksanakan kebijakan. Di samping sumber daya manusia
sebagai staf dengan kriteria jumlah dan kualitas (kuantitas dan
keahlian/skill), sumber daya yang dibutuhkan implementor adalah
informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas.
Berikut ini akan dianalisis sesuai rambu-rambu kajian
teoritis pada Bab II mengenai sumber daya yang ada dalam
implementasi kebijakan perdagangan komoditas pertanian dalam
kerangka AFTA di Jawa Barat.
100 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Staf yang Melaksanakan
Faktor pertama dan utama dalam pelaksanaan sebuah
kebijakan adalah sumber daya manusia dalam pengertian staf
yang melaksanakan membantu implementor. Sejumlah staf yang
ada di jajaran Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
tergolong staf yang berada dalam taraf ”terbuang”. Jajaran staf di
bawah eselon II lebih bermakna sebagai posisi dilempar dari
dinas/instansi lain yang tak dibutuhkan. Tidak jarang SDM yang
ada merupakan personil yang ”dihukum” sebagai akibat kesalahan
tertentu dalam melaksanakan tugas, misalnya saja melanggar
disiplin bekerja, berseberangan dengan kebijakan atasan di
instansi sebelumnya.
Lebih jauh, posisi alamat kantor yang bertempat di lokasi
yang cukup jauh dari pusat pemerintahan induk memberikan
kesan jarangnya lokasi tersebut dikunjungi atau mendapat
kunjungan dari kepala daerah. Dan memang benar adanya.
Dengan demikian, sangat memungkinkan apabila staf yang ada di
jajaran eselon III ke bawah akan memiliki tingkat keaktifan yang
rendah dibandingkan dengan dinas lain yang lebih terkontrol dari
pusat pemerintahan. Mekanisme kerja staf juga diwarnai oleh
suasana tidak aktif yang biasa terjadi di instansi yang jarang sekali
melaksanakan kegiatan inti. Posisi Dinas Industri dan Per-
dagangan Agro Jawa Barat yang sangat jarang memiliki inisiatif
untuk melaksanakan kegiatan secara mandiri juga menjadi
penyebab kenapa instansi ini kurang diminati.
Kondisi ini seiring dengan struktur sumber daya manusia
yang ada di lingkungan dinas tersebut menjadi sangat rendah
kualitasnya. Meskipun secara kuantitas dinas ini memiliki struktur
yang sama dengan dinas lain di lingkungan pemerintah daerah
Jawa Barat, akan tetapi jumlah personil staf yang ada tidak
101bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
memadai dalam melaksanakan tugas seiring dengan semangat
untuk mengimplementasikan kebijakan kesepakatan AFTA di
bidang komoditas agro. Meskipun secara menyeluruh pendidikan
staf berdasarkan penjenjangan yang berlaku umum di lingkungan
pemerintah daerah, akan tetapi staf dimaksud sangat jarang
mengalami proses mutasi apabila sudah masuk di lingkungan
Dinas Industri dan Perdagangan Agro, termasuk Dinas Industri
dan Perdagangan induk. Bahkan diklat penjenjangan yang pernah
diikuti tidak berdasarkan bidang kerja yang digeluti. Staf
perdagangan luar negeri misalnya, sangat jarang mengalami
diklat tentang proses perdagangan luar negeri. Bahkan untuk
memahami proses perdagangan bebas hanya mendapat
informasi dari pelaku pasar atau informasi media massa yang
beredar dan menjadi langganan dari Dinas tersebut.
Secara menyeluruh keahlian dari staf yang ada sebagai
sumber daya manusia di lingkungan Dinas yang menangani
perdagangan komoditas pertanian agro ini sangat minim
sehingga sangat sulit untuk melaksanakan secara maksimal.
Keahlian kesarjanaan yang ada juga tidak memadai, meskipun
20% dari staf bergelar Strata 2 (termasuk Kepala Dinas), namun
keahlian yang ditempuh melalui jalur formal tersebut tidak
bersesuaian langsung dengan keahlian yang dibutuhkan. Dari
sejumlah S-2 dimaksud 85% merupakan strata 2 dengan keahlian
bidang pertanian, atau spesialisasi perika nan.
Tentu saja kondisi sumber daya manusia dengan struktur
demikian ini lebih mengarah pada semakin sulitnya pelaksanaan
kebijakan perdagangan bebas dengan mengandalkan komoditas
agro. Selain itu, sangat tidak mudah untuk menemui staf Dinas
yang ada di tempat pada jam-jam kerja. Kesibukan yang tidak
terjadwal dengan pasti semakin mempersulit intensitas
102 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pelaksanaan kebijakan apapun di lingkungan Dinas Industri dan
Perdagangan Agro Jawa Barat. Kenyataan yang sangat kerap
terjadi apabila Kepala Dinas tidak berada di tempat (atau
melakukan tugas di luar kantor) dalam waktu yang cukup lama.
Hal ini pun akan secara otomatis memberikan peluang kepada staf
di bawahnya untuk tidak masuk kantor dengan berbagai alasan
selama kegiatan Kepala Dinas tersebut tidak berada di kantor.
Sebuah kebijakan atau surat disposisi yang tersalurkan ke staf pun
akan mengalami penundaan sebagai akibat dari tidak adanya staf
di kantor.
Kesulitan dalam menyelesaikan segala surat-menyurat
yang berkaitan dengan kewenangan Dinas Industri dan
Perdagangan Agro ditemukan dalam kerangka sulitnya staf
berada di tempat. Berbagai wawancara dengan asosiasi petani
dan stake holder di bidang komoditas agro (pengurus Kadinda)
yang berkepentingan dengan dinas ini ditemukan adanya
kesulitan dalam penyelesaian persoalan perdagangan agro
sebagai konsekuensi dari jarangnya staf ada di kantor. Semua hal
di atas memperlihatkan sumber daya manusia yang terhitung
minim dari Dinas yang melaksanakan impelementasi kebijakan
kesepakatan AFTA selaku implementor.
Informasi
Sumber daya kedua yang cukup penting dalam pelaksana-
an kebijakan adalah informasi. Pengertian informasi dimaksud
sebagai sumber daya adalah petunjuk pelaksanaan kebijakan dan
data ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan
pemerintah yang dikeluarkan dalam kerangka AFTA sebagai kajian
ini. Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan diperoleh data
bahwa kebijakan tentang AFTA sampai ke tingkat pemerintah
103bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
daerah Jawa Barat didukung oleh Keputusan Gubernur No. 21
Tahun 2004. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak didukung secara
teknis dengan petunjuk pelaksanaannya di lapangan, sehingga
masing-masing Dinas memberikan penafsiran tersendiri. Sebagai
contoh Dinas Industri dan Perdagangan Induk Jawa Barat yang
menterjemahkan bahwa kawasan perdagangan bebas diimple-
mentasi dengan membentuk zona ekonomi di lima kawasan di
Jawa Barat.
Tentu saja pembentukan zona ekonomi khusus yang
disebut sebagai langkah menuju zona perdagangan bebas inter-
nasional ini dianggap sebagai langkah tepat untuk mengimple-
mentasikan kebijakan perdagangan bebas. Kawasan perdagangan
yang sudah dilaksanakan di Kawasan Industri Cikarang-Bekasi ini
lebih merupakan langkah untuk memberikan stimulasi gerakan
kepada industri yang ada di kawasan dimaksud. Namun kebijakan
tersebut tidak mendorong persiapan aturan yang akan
memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem perdagangan
bebas. Sebagai sebuah gerakan, seperti halnya gerakan lainnnya
(GDN-Gerakan Disiplin Nasional) hanya merupakan kebijakan
sesaat yang tidak ber-kesinambungan. Bahkan banyak kalangan
pelaku ekonomi seperti para investor baik dalam maupun luar
negeri, distributor perdagangan, pengembang (developer) infra-
struktur perdagangan serta termasuk para pedagang menilai
gerakan tersebut sebagai kebijakan ”latah” akibat dari gencarnya
isu perdagangan bebas.
Demikian halnya dengan kebijakan kesepakatan AFTA yang
menjadikan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
sebagai implementor langsung. Dinas ini juga tidak menerima
petunjuk pelaksanaan yang seragam sebagai bagian integral dari
kebijakan tersebut. Kebijakan yang diejawantahkan ke dalam
104 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 2004 sebagai respon dari Surat
Keputusan Menteri Luar Negeri No 3 Tahun 2003 dan Keputusan
Menteri Keuangan No 392 Tahun 2003. Keputusan Gubernur
tersebut berisikan tentang pedoman daerah dalam melaksanakan
kerjasama dengan luar negeri. Keputusan tersebut tidak berisikan
petunjuk pelaksanaan teknis tentang pasar bebas yang dijalankan
sebagai derivasi dari kebijakan kesepakatan AFTA. Bahkan
Keputusan Gubernur No. 21 tahun 20004 tidak secara langsung
menyentuh kepentingan implementasi kebijakan tentang AFTA.
Apalagi menyangkut komoditas pertanian agro di Jawa Barat.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa petunjuk pelak-
sanaan kebijakan tentang AFTA melalui Dinas Industri dan Per-
dagangan lebih banyak didasarkan pada informasi yang diperoleh
dari tingkat kementerian luar negeri dan atau kementerian perda-
gangan. Informasi tersebut bermakna sebagai sumber daya yang
sangat lemah untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan di tingkat
implementator. Sebab informasi tersebut hanya bersifat garis
besar saja dari sebuah kebijakan yang menjadi kesepakatan
negara-negara anggota ASEAN itu.
Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil wawancara dengan
pelaku ekonomi di tingkat non-pemerintah, seperti pengusaha
(Kadin) dan asosiasi produksi pertanian, para pengelola pasar
induk, dan para petani, dapat disimpulkan bahwa peraturan yang
diterapkan untuk mewujudkan sebuah mekanisme pasar yang
menguntungkan bagi pihak pelaku ekonomi dinilai tidak jelas.
Petani di Karawang dan Bekasi mengetahui tentang kebijakan
AFTA sebagai kebijakan pasar bebas, akan tetapi mereka tidak
mengerti harus bagaimana mensikapinya. Petani di Indramayu,
Kuningan, Cirebon, Majalengka juga memahami mekanisme
pasar bebas, hanya saja mereka tidak mengerti peranan AFTA
105bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
dalam mekanisme tersebut. Petani di Garut, Tasikmalaya, Ciamis
sampai ke Banjar tidak begitu peduli dengan kondisi pasar bebas.
Petani di Kab/Kota Bandung memahami sepenuhnya tentang
mekanisme pasar bebas AFTA tetapi tidak mendapat persiapan
yang cukup untuk menghadapinya.
Mereka yang bergerak di sektor pelaku ekonomi tidak
merasakan adanya langkah-langkah yang memadai untuk
mewujudkan kebijakan kesepakatan AFTA dalam bidang
pertanian. Bahkan pelayanan dari lembaga yang menjadi
implementor juga dirasakan belum cukup dalam membantu
pelaku ekonomi mempersiapkan diri menghadapi era pasar
bebas. Pola-pola mekanisme pasar bebas yang mengandung
unsur-unsur mekanisme pasar tidak dijelaskan dalam interaksi
pasar bebas Asia Tenggara.
Oleh karena itu pada kenyataannya banyak bagian-bagian
yang terdapat dalam ketetapan tentang pasar bebas dalam
kesepakatan AFTA yang dipilih berdasarkan kebutuhan dari
pelaku pasar sendiri. Pelaku pasar menilai tidak semua ketentuan
yang menjadi kesepakatan menguntungkan apabila dilaksanakan
sehingga harus dipilih bagian mana dari kesepakatan AFTA
tersebut yang bisa menguntungkan dalam pelaksanaannya.
Kesepakatan tentang peningkatan produk ekspor barang
komoditas pertanian yang tidak memiliki daya saing serta-merta
mendapat persetujuan dari pelaku ekonomi, akan tetapi
kesepakatan yang substansinya berkaitan dengan produk barang-
barang substitutif dengan persaingan yang ketat akan segera
mendapat penolakan, kalau tidak dikatakan tidak dihiraukan
ketetapan tersebut.
Dari observasi di lapangan ditemukan data tentang
ketaatan akan kesepakatan yang cukup rendah sehingga dapat
106 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dipastikan data ini menjadi sumber daya yang melemahkan
implementasi kebijakan AFTA di bidang pertanian. Data ini
merupakan informasi dari sumber daya yang tidak menguntung-
kan bagi pelaksanaan kebijakan pasar bebas. Beberapa pelaku
ekonomi yang ditemui memberikan pernyataan yang sama bahwa
perilaku menolak atas aturan yang tidak menguntungkan dari
kesepakatan AFTA merupakan langkah fragmatis menghadapi
persaingan usaha. Bahkan para petani sendiri menyetujui bahwa
sikap fragmatis yang dilakukan oleh asosiasi dan pengusaha
merupakan upaya untuk melindungi petani dari persaingan yang
tidak dapat dihadapi secara langsung.
Kewenangan (authority)
Faktor sumber daya yang tidak kalah pentingnya adalah
kewenangan (authority). Kewenangan dimaknakan sebagai hak
untuk memanggil dengan menggunakan surat panggilan, hak
mengeluarkan perintah kepada pejabat lain, hak menarik dana
dari suatu program, dan hak untuk menyediakan dana, staf serta
bantuan teknis pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Kewenangan yang terlihat dalam hasil penelitian di Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat sangat terbatas.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tentang komunikasi, Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat posisinya tidak sekuat
dinas/instansi lain di lingkungan pemerintahan daerah. Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memiliki
kewenangan yang kuat dalam melakukan pemanggilan terhadap
pejabat lain di luar lingkungan dinas dimaksud. Seperti telah
dijelaskan di atas, apabila terdapat persoalan dalam pelaksanaan
teknis kebijakan perdagangan bebas misalnya, maka dinas terkait
tidak memberikan respon positif dan tanggap sesuai dengan
107bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
permintaan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat.
Sudah dicontohkan sebelumnya bahwa produk pertanian yang
tidak memenuhi standar perdagangan bebas pun tidak dapat
dikoordinasikan dengan mudah kepada Dinas Pertanian Jawa
Barat yang memiliki kewenangan tentang hal tersebut. Ketika
dikonfirmasi ke Dinas Pertanian Jawa Barat mengenai hal ini,
diberikan penjelasan bahwa memang hal semacam itu sering
terjadi. Menurut informan yang dihubungkan di Dinas Pertanian
Jawa Barat, kondisi tersebut sebagai akibat dari tidak sinkronnya
program kerja yang ada di Dinas Pertanian Jawa Barat dengan
program kerja yang ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro
Jawa Barat. Meskipun Dinas Pertanian menerima permintaan dari
Dinas Implementor dalam AFTA, namun semua tidak dapat
dilaksanakan begitu saja sebab menyangkut dana/anggaran yang
alokasinya tidak diperuntukan bagi kegiatan tersebut. Setiap mata
anggaran yang ada dalam garis kerja Dinas Pertanian Jawa Barat
sudah merupakan hasil pembahasan berdasarkan Standard
Operating Procedures.
Keterbatasan kewenangan tersebut ditambah lagi dengan
ketidakmampuan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
dalam mengeluarkan perintah langsung kepada dinas lain yang
terkait dengan implementasi perdagangan komoditas pertanian
ini. Perintah tersebut harus dikeluarkan melalui Kepala Daerah,
Sekretaris Daerah atau Asisten, sedikitnya di tingkat Kepala Biro.
Sedangkan rekomendasi untuk melaksanakan perintah dimaksud
bisa berjalan cukup lama atau bahkan terkadang tidak mendapat
tanggapan sama sekali. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kepala
Daerah, Sekda dan Asisten serta Kepala Biro) lebih memfokuskan
diri pada tugas-tugas pemerintahan, ekonomi makro dan
administratif. Tugas-tugas tersebut memiliki nuansa politik yang
tinggi sehingga menarik perhatian yang tinggi dari opini
108 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
masyarakat umum. Sedangkan tugas yang bersifat teknis dalam
penanganan masalah seperti yang dihadapi oleh Dinas Industri
dan Perdagangan Agro Jawa Barat kurang bernuansa politis alias
tidak menarik perhatian publik.
Apabila dilihat dari sisi anggaran, Dinas Industri dan
Perdagangan Agro Jawa Barat tidak berbeda dengan dinas-dinas
lainnya di lingkungan pemerintah daerah Jawa Barat. Dinas ini
bergerak berdasarkan anggaran yang telah ditentukan dalam
penyusunan anggaran tahunan bersama-sama dengan pihak
legislatif. Hanya saja, seperti halnya sifat Dinas ini yang tidak
bersentuhan langsung dengan nuansa politik, maka anggaran
yang diajukan oleh dinas inipun tidak menarik perhatian. Bahkan
proposal ajuan anggaran pemerintah daerah secara menyeluruh,
apabila harus dikurangi secara gradual, maka angka pengurang-
annya dapat dipastikan akan menyentuh pada dinas-dinas bukan
penghasil seperti Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat ini.
Dengan demikian, hak untuk menarik dana dari sebuah
program terbatas pada rencana anggaran yang sudah ditetapkan
sebelumnya dalam Rencana Kerja Dinas. Selain besarnya yang
terbatas, anggaran Dinas ini juga terkadang mengalami kesulitan
dalam pengalokasian program. Hal tersebut akibat dari peren-
canaan yang berjalan lebih lambat ketimbang perkembangan
situasi dan tantangan yang menjadi bidang kerjanya. Apalagi
perencanaan dari Dinas ini juga menyertakan pula kemampuan
SDM yang tidak memadai dalam menyusun mekanisme kerja ke
depan. Yang terjadi kemudian adalah tuntutan perkembangan
situasi tidak memungkinkan untuk ditangani secara lebih cepat
dalam waktu yang bersamaan ketika masalah muncul oleh
tersedianya anggaran. Perencanaan anggaran yang akan datang
sudah tidak relevan secara menyeluruh pada saat anggaran
109bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
tersebut dikeluarkan. Hal ini terlihat misalnya langkah yang
dilakukan Sub Dinas Perdagangan Disindagro Jawa Barat untuk
melakukan pelatihan ekspor impor produk agro terakhir di empat
wilayah (Kota Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Bandung, Kab. Ciamis,
Kab. Purwakarta, Kota Bogor, Kab. Bekasi, Kab. Sukabumi) dengan
pembagian waktu pelaksanaan; Kota Cirebon tanggal 6-8 Maret
2006 bertempat di Jln. RA. Kartini No.60 Cirebon, Kab. Kuningan
tanggal 13-15 Maret 2006 bertempat di Jln. Raya Panauan No.98
Sangkanurip, Kuningan, Kab. Bandung 20-22 Maret 2006
bertempat di Jln. Dokter Junjunan No. 153 Bandung, Kab. Ciamis
tanggal 27-29 Maret 2006 bertempat di Jln. Jend. Sudirman
No.185 Ciamis, Kab. Purwakarta tanggal 3-5 April 2006 bertempat
di Jln. Rasamala No. 1 Jatiluhur Purwakarta, Kota Bogor tanggal
24-26 April 2006 bertempat di Jln. Sawo Jajar No. 38 Bogor, Kab.
Bekasi tanggal 8-10 Mei 2006 bertempat di Jln. Teuku Umar Km. 45
Bekasi, Kab. Sukabumi tanggal 18-20 Mei 2006 bertempat di Jln.
Cikukulu Sukabumi.
Kewenangan menyediakan dana, staf dan bantuan teknis
pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah juga merupakan
kewenangan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro sebagai
implementor. Akan tetapi kewenangan ini tidak otomatis
memberikan otoritas mutlak kepada Dinas ini untuk melakukan
perintah langsung kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota
se-Jawa Barat. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai distribusi
kewenangan yang ada sampai ke tingkat Kab/Kota memberikan
kesulitan lain kepada Dinas ini untuk melakukan perintah
mewujudkan implementasi kebijakan kesepakatan AFTA terutama
dalam bidang komoditas pertanian.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan Dinas ini
sebagai sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan kebijakan
kesepakatan AFTA dalam bidang perdagangan komoditas
110 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pertanian agro sangat terbatas. Keterbatasan ini memperlihatkan
pula kesulitan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan.
Fasilitas-Fasilitas Fisik Material
Faktor dari sumber daya yang lain adalah fasilitas-fasilitas
(berupa bangunan-bangunan, perleng-kapan dan perbekalan).
Fasilitas yang dimiliki secara menyeluruh dalam kajian ini
merupakan fasilitas dari pelaksana kebijakan yang dimulai dari
Departemen Luar Negeri, Departemen Perdagangan sampai
Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Fasilitas di Departemen
Luar Negeri memang tergolong memadai sebatas tugas
Departemen ini untuk melaksanakan implementasi kebijakan
AFTA sampai pada taraf penyampaian informasi. Akan tetapi
fasilitas tersebut tidak bermanfaat langsung kepada institusi
pelaksana terutama dalam tataran dinas. Demikian halnya dengan
fasilitas di Departemen Perdagangan yang sudah pasti memadai
dalam taraf penyampaian informasi dan pengukuran teknis dari
implementasi kebijakan AFTA. Sekali lagi fasilitas yang ada tidak
dapat dipergunakan dalam kondisi teknis implementasi kebijakan
terutama dalam bidang perdagangan komoditas pertanian di
Jawa Barat. Dengan demikian, secara umum sumber daya yang
ada tidak memadai sehingga implementasi kebijakan tidak
berjalan dengan baik. Dibutuhkan penyediaan sumber daya yang
memadai dalam dinas yang menjadi pelaksana (implementator)
dari kebijakan perdagangan bebas bidang komoditas pertanian di
Jawa Barat.
Kemudian juga dari segi infrastruktur, Jawa Barat sangat
minim memiliki Pusat Perdagangan Komoditas Agro (PPKA).
Terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji dan
dikembangkan agar diperoleh gambaran serta arah penyelesaian
111bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
yang lebih jelas, antara lain :
1. Gambaran kondisi Pusat Perdagangan Komoditi Agro di
Jawa Barat yang ingin dicapai, atau biasa disebut visi, masih
belum jelas, sehingga arah yang akan ditujupun (misi)
belum dapat ditentukan.
2. Pasar yang ada saat ini di Indonesia, khususnya di Jawa
Barat, belum ada yang berfungsi seperti PPKA berstandar
internasional, sehingga perlu dicari acuan lain yang dapat
digunakan untuk menentukan dan menyusun regulasinya.
3. Kegiatan yang ditampung di kawasan Pusat Perdagangan
Komoditi Agro, misalnya di Purwasuka masih bersifat
umum, sehingga perlu dilakukan analisis yang lebih rinci
untuk dapat menentukan perkiraan kebutuhan fasilitasnya.
4. Dalam menyusun perkiraan kebutuhan fasilitas tersebut
dilakukan pengkajian, seperti :
a. Kegiatan utama yang akan terjadi dan perlu ditampung,
baik jenis maupun kapasitas/besarannya.
b. Besaran/volume tiap komoditi unggulan dari kawasan
perencanaan yang bisa/dapat ditampung di Pusat
Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat.
Pusat Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat seharus-
nya dapat dimaksimalkan menjadi Pusat Pasar lelang komoditi
agro Jawa Barat yang berdaya guna. Hal itu dikarenakan
berdirinya pasar lelang fungsi utamanya sebagai pembentuk
harga secara transparan (price discovery) dan Risk Management
dengan mempergunakan instrument hedging (lindung nilai),
karena transaksi dilakukan secara lelang terbuka. Dengan adanya
transparansi harga, maka petani sebagai produsen komoditi akan
memiliki bargaining position yang lebih baik. Dengan demikian
mereka dapat menjual komoditinya sesuai dengan harga yang
112 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
berlaku dalam kontrak, sehingga petani dapat meningkatkan
kualitas hasil produksinya dan pendistribusiannya sudah jelas.
Fluktuasi harga yang selama ini terjadi akan dapat dikendalikan
dengan baik karena adanya mekanisme pasar yang wajar. Di sisi
lain, petani juga dapat melakukan pola tanam sesuai dengan
kontrak pada pasar lelang dan akan mengakibat secara otomatis
setiap petani yang lain akan melakukan tanam berbeda dan tidak
akan terjadi panen raya, sehingga menekan kekhawatiran pada
saat panen tiba.
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada
tahun 2006 terjadi 171 transaksi, 27 komoditi yang terjadi deal,
dengan jumlah Rp. 143.564.335.000,- yang paling besar terjadi
pada komoditi beras sebanyak, 73 transaksi 40.435 ton dengan
nilai Rp. 115.069.100.000,- terdiri dari 16 penjual, 8 pembeli dan 3
merangkap penjual/pembeli. Dan yang paling dominan
melakukan transaksi pembelian oleh 2 pembeli dari Provinsi DKI
Jakarta yaitu 29 transaksi dan 17 transaksi, hal ini akan sulit dalam
dalam menentukan harga karena pembeli potensial lebih sedikit
padahal penjualnya cukup banyak, hal ini akan mengakibatkan
dalam negosiasi dikendalikan oleh pembeli walaupun harga yang
ditawar dengan sistem terbuka. Kalau kita lihat hasil transaksi
dengan perdagangan sistem lelang forward yang hanya berjumlah
40.435 ton sedangkan jumlah hasil produk lokal Jawa Barat pada
tahun 2005 sebanyak 6.368.816 ton hal ini yang terserap dengan
melalui perdagangan dengan sistem lelang forward hanya berapa
persen saja yaitu sebesar 0.63%. Sedangkan dari produksi lokal
beras Jawa Barat yang keluar Jawa Barat terutama ke Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang dilakukan pedagang besar
sebesar 191.149,01 ton berdasarkan data dari statistik apakah data
ini sudah termasuk dengan hasil transaksi lelang yang dilakukan
oleh 2 (dua) pembeli sebesar 28.451 ton?
113bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Kemudian melihat keadaan pada tahun 2007-2008
mengindikasikan tingkat presentase yang menggunakan dengan
perdagangan sistem lelang masih sangat jauh sekali dengan
perdagangan tradisional yang besar 99,37%, sedangkan
perdagangan antar provinsinya baru 14,88%, peluang ini masih
cukup besar tinggal bagaimana manajemen pasar lelang menarik
pembeli potesial dari DKI Jakarta untuk bisa mengenal/mengikuti
transaksi dengan sestem lelang forward.
Berdasarkan data dari pasar lelang forward Jawa Barat
tahun 2007-2008, kepada 61 peserta lelang dilakukan survey,
berdasarkan latar belakang, pendidikan, pekerjaan dan frekuensi
transaksi. Maka diketahui bahwa sebagian besar peserta lelang
yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang forward
adalah yang berpendidikan 38 Sarjana 62,4% paling tinggi, 10
D3/D4 setingkat Sarjana muda 16,4%, SLTA 19,6% dan paling
rendah ada pada SLTP 1,6%. Hal ini menggambarkan bahwa
melakukan usaha melalui perdagangan sistem lelang forward
komoditi agro diminati oleh para sarjana disebabkan karena
dengan pola lelang forward ini menawarkan peluang usaha dan
sistem perdagangan modern yang membutuhkan analisa dan
strategi pemasaran.
Latar belakang pekerjaan diketahui bahwa sebagian besar
peserta lelang adalah 27 pedagang 44,3% paling tinggi, 18 Swasta
29,5%, 8 eksportir 13,1% dan 8 petani 13,1%. Hal ini kalau dilihat
persentase dari jumlah petani 13,1% yang mengikuti perdagangan
dengan sistem lelang masih sangat kecil dibandingkan dengan
para pengusaha (pedagang, eksportir, swasta) 86,9%. Padahal
rohnya pasar lelang bertujuan mengangkat harkat martabat para
petani, perlu menjadi perhatian agar dilakukan sosialisasi terus
menerus kepada para petani ataupun kelompok tani. Sedang para
114 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pengusaha telah mendapatkan kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan pengadaan komoditi agro dimana komoditi yang dicari
telah terdapat pada pasar lelang atau sebagai informasi baik
mengenai permintaan pasar, komoditi dan harga atau sebagai
pasar yang terorganisir, sedang petani belum memanfaatkan
secara optimal? Frekuensi yang diinginkan sebagian besar peserta
lelang yang melakukan transaksi di pasar lelang adalah mengin-
ginkan lelang sebulan sekali 30 peserta 49,2%, sebulan 2 kali 40,9%
dan sebulan 3 kali hanya 9,9%, hal ini membuktikan bahwa peserta
lelang lebih cenderung untuk melakukan transaksi dengan sistem
lelang forward lebih banyak memilih sebulan sekali dengan alasan
karena disesuaikan dengan spesifikasi hasil pertanian, masa
tanam, ketentuan pasar lelang dan kesiapan para peserta lelang
dan memudahkan melakukan konsolidasi produknya.
Melihat hasil survey pada peserta lelang adalah
berdasarkan pendidikan, pekerjaan dan frekuensi adalah sarjana
62,4%, pengusaha 86,9% dan sebulan sekali 49,2%. Ini harus
menjadi perhatiaan manajemen pasar lelang sesuai dengan
konsep pendirian awal peranannya untuk meningkatkan harkat
martabat para petani tetapi keberadaan pasar lelang forward
belum optimal bagi kepentingan petani. Jadi keunggulan
perdagangan di pasar lelang yang menggunakan sistem lelang
forward dengan perdagangan lain masih terlalu kecil, dilihat dari
transaksi tahun 2007 misalnya komoditi beras baru 0.63% atau
perdagangan keluar Jawa Barat 14,88%, ini baru satu komoditi
belum komoditi yang lain. Hal ini suatu tantang bagi manajemen
pasar lelang yang menggunakan sistem lelang forward apa yang
menjadi keunggulan tapi belum bisa menjadi kebutuhan bagi
penjual/pembeli. Apakah keberadaan pasar lelang manfaatnya
sudah dirasakan secara optimal bagi peserta lelang, sehingga ada
kebutuhan yang menimbulkan kepuasan/loyalitas peserta lelang
115bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
terhadap pasar lelang dengan sistem lelang forward. Kondisi ini
mengisyaratkan pentingnya perhatian dari penyelenggara pasar
lelang yang menggunakan sistem lelang forward apa keunggulan-
nya dengan sistem perdagangan lain yang selama ini telah
dilakukan penjual/pembeli, apakah masih ada kelemahannya, ini
diperlukan kajian secara nasional.
Dalam mempertahankan keberadaan Pasar Lelang dengan
sistem transaksi sistem lelang forward dalam globalisasi
perdagangan harus mempunyai orientasi pasar global yang telah
mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah
pendekatan kontemporer. Pendekatan konvensional menekankan
kepuasan pelanggan, sedangkan pendekatan kontemporer pada
loyalitas pelanggan. Dengan hanya melakukan pendekatan
kepuasan pelanggan (konvensional) belum bisa diandalkan,
karena para pelanggan pasar lelang hanya ada perasaan puas
bukan loyalitas. Dengan merubah pendekatan secara loyalitas
pelanggan, maka pelanggan akan melakukan transaksi ulang
dalam pasar lelang.
Konsep Pemasaran Masyarakat menegaskan bahwa tugas
organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan minat
dari pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan
secara lebih efektif dan efisien dibandingkan pesaing dengan
tetap memelihara atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan konsumen” Dari uraian diatas yang menjadi perhatian dari
konsep pemasaran masyarakat adalah sifatnya memperhatikan
lingkungan hidup, sumber daya serta pelayanan sosial.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia
dengan kriteria kuantitas dan kualitas (keahlian/skill), informasi,
dan wewenang dan fasilitas-fasilitas, peneliti dapat menginter-
116 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pretasikan bahwa adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki
Jawa Barat berdampak pada tidak maksimalnya pendayagunaan
potensi daerah Jawa Barat secara maksimal dalam implementasi
AFTA komoditas pertanian di Jawa Barat.
Dengan kata lain, peneliti juga dapat menginterpretasikan
bahwa dari sudut pandang faktor ketersediaan sumberdaya
sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoritis pada Bab II,
implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan sehingga
belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di
dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.
Secara demikian, tampaknya hal itu akan dapat meng-
hambat upaya pembangunan provinsi Jawa Barat sebagai salah
satu pusat unggulan (center of excellence) industri agrobisnis di
tingkat nasional. Ketersediaan sumberdaya yang andal, lengkap
dan terintegrasi adalah suatu keharusan bagi suatu daerah yang
ingin berkiprah maju dalam perdagangan luar negeri.
Karena itu, kaitannya dengan Jawa Barat, untuk mengantisi-
pasi kelemahan di atas, ke depan perlu ditingkatkan pengembang-
an kualitas dan kuantitas sumber daya yang dapat berdayaguna
mendukung posisi tawar Jawa Barat dalam perdagangan bebas di
kawasan Asia Tenggara.
Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi)
Penelaahan atas disposisi ini berkisar pada pelaksana
kebijakan, tidak menyentuh kepada pembuat kebijakan awal.
Disposisi dipahami sebagai kecenderungan dari para pelaksana
kebijakan dalam memahami, mengerti dan kemudian melaksana-
kan atau tidak melaksanakan kebijakan yang ada sesuai dengan
117bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
keinginan yang menjadi tujuan dari para pembuat kebijakan awal.
Dalam kajian ini, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
merupakan pelaksana kebijakan yang menjadi pusat kajian dari
penelitian. Selain itu, Departemen Perdagangan RI dan juga Dinas
Industri dan Perdagangan Induk di Jawa Barat menjadi objek dari
kajian dimaksud pula.
Perlu diingat, apabila para pelaksana (implementor) sudah
memahami latar belakang, maksud dan tujuan kebijakan yang
ada, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan
kebijakan tersebut sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh
pembuat keputusan kebijakan awal. Demikian halnya dengan
kebijakan perdagangan komoditas pertanian juga apabila para
pelaksana bersifat baik kepada kebijakan tersebut maka
kemungkinan besar para implementor kebijakan tersebut akan
melaksanakan dengan baik tujuan dari pembuat kebijakan yang
sudah disepakati dalam organisasi regional negara-negara Asia
Tenggara.
Namun begitu, Kasie Perdagangan Luar Negeri Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat
mengemukakan bahwa dalam kebijakan perdagangan bebas
bidang komoditas pertanian agro ini terdapat kecenderungan dari
pelaksana yang kurang baik terhadap kebijakan dimaksud.
Implementor di tingkat staf, misalnya, tidak memiliki sense of
motivation yang setara dengan kebutuhan dari penanganan
terhadap berbagai persoalan yang timbul dari kebijakan
perdagangan komoditas pertanian ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku ekonomi
yang menikmati pelayanan dari implementor diperoleh informasi
bahwa pelayanan yang diberikan tidak memberikan gambaran
keinginan untuk berhasilnya sebuah program dari kebijakan
118 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat dalam
kerangka kesepakatan AFTA, misalnya ketika para calon investor
dan pengusaha memerlukan informasi dan data mengenai
kondisi objektif kesiapan komoditas-komoditas pertanian
unggulan Jawa Barat yang akan dipasarkan dalam kerangka AFTA,
para implementor tidak dapat memberikan informasi dan data
yang komprehensif sesuai harapan para calon investor dan
pengusaha tersebut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat semacam Zone of
Indifference (Zona Ketidakacuhan) yang diperlihatkan oleh para
staf yang ada dalam lembaga implementor. Lebih jauh lagi, dari
hasil pengamatan dalam pemberian pelayanan publik juga
memang sikap tak acuh tersebut muncul dengan perilaku malas-
malasan yang ditunjukkan dalam melakukan pelayanan langsung.
Bahkan satu keperluan pembuatan surat untuk pengolahan
produksi komoditas agro yang diajukan oleh pelaku ekonomi
tertentu (informan lain) juga membutuhkan waktu yang cukup
lama dalam prosesnya. Mereka para pelaksana kebijakan
cenderung menjanjikan waktu yang lama untuk sebuah
penyelesaian dari kebutuhan mendasar pelaku ekonomi
perdagangan komoditas pertanian tersebut.
Boleh jadi, berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat
adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam antar-
dinas/instansi terhadap kebijakan kesepakatan AFTA itu sendiri
dalam memahami tujuan dasar dari kebijakan tersebut. Berbagai
instansi tidak memahami secara utuh kebijakan tentang
perdagangan bebas tersebut sehingga muncul sikap yang tidak
peduli bahkan menganggap tidak penting kebijakan dimaksud.
Seperti sudah dipaparkan terlebih dahulu bahwa Dinas Pertanian
pun tidak memiliki respon yang memadai dalam menanggapi
119bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
persoalan yang berkaitan dengan Perdagangan bebas ini. Dinas
Pertanian hanya memposisikan bahwa perdagangan bebas AFTA
bukan merupakan tugas yang harus ditangani karena tidak
terdapat dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Dinas tersebut.
Bahkan berdasarkan keterangan informan dari Dinas Pertanian,
dalam SOTK hanya terdapat pola koordinasi yang harus dilakukan
dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk, tidak tercantum
pola yang sama dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro
sebagai implementor kebijakan perdagangan bebas. Belum lagi
dinas-dinas yang lain yang memiliki pandangan yang sama
terhadap usulan, ajakan atau bahkan permohonan bantuan dari
pihak implementor.
Perbedaan pandangan tersebut tidak diperlihatkan dalam
kebijakan (sikap) yang vulgar. Perbedaan tersebut lebih terlihat
sebagai suatu sikap yang memperlihatkan bahwa ada prioritas
yang berbeda dalam pelaksanaan tugas sehari-hari ketimbang
harus memberikan perhatian yang khusus kepada pelaksanaan
kebijakan tentang AFTA di bidang perdagangan komoditas agro.
Prioritas kebijakan yang berbeda tersebut menggiring sikap tak
acuh pula dalam memberikan respon dari permintaan yang
dilayangkan dalam bentuk surat resmi dari dinas implementor.
Tidak sedikit surat yang berhubungan dengan kebijakan AFTA
dalam perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat dari Dinas
Industri dan Perdagangan yang tidak mendapat respon sama
sekali. Bahkan kegiatan yang berupa seminar atau lokakarya yang
diadakan oleh Dinas implementor pun tidak mendapat tanggapan
berarti. Seringkali yang hadir hanya staf non eselon atau bahkan
tidak dihadiri oleh dinas-dinas terkait tersebut.
Selain itu, terdapat kebijakan lain yang mereka setujui
untuk dilakukan dan substansi bertentangan secara mendasar
dengan kebijakan kesepakatan AFTA. Sebagai contoh Dinas
120 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Pertanian Jawa Barat, akan lebih menyetujui kebijakan yang
bersifat memberikan proteksi kepada petani tebu, kepada
pengrajin rotan dan kepada petani palawija ketimbang harus
mempertemukan para petani tersebut dalam tatanan persaingan
bebas di pasar dunia. Kesepakatan terhadap kebijakan lain ini
memberikan dorongan untuk melakukan sikap ”masa bodoh”
atau bahkan penolakan terhadap kebijakan kesepakatan pasar
bebas, terutama dalam kerangka perdagangan komoditas agro.
Secara internal di lingkungan Dinas Industri dan Per-
dagangan Agro Jawa Barat juga terdapat sebab lain yang menjadi
penghambat dari implementasi kebijakan kesepakatan AFTA ini.
Hal tersebut adalah adanya sentuhan dari kepentingan pribadi
atau organisasi dari staf yang ada pada Dinas implementor ini.
Para staf implementor ini berdasarkan hasil wawancara, memiliki
kegiatan sampingan di luar kantor yang berhubungan dengan
perdagangan. Kebanyakan dari mereka menjadi konsultan dari
perusahaan pelaku ekonomi yang bergerak di berbagai bidang,
tidak jarang di luar komoditas pertanian agro. Kegiatan tersebut
merasa terancam meskipun tidak bersentuhan langsung dengan
kebijakan kesepakatan AFTA. Akan tetapi pemahaman yang salah
dari staf terhadap kebijakan perdagangan komoditas pertanian
agro justru menimbulkan pemikiran negatif yang akan mencipta-
kan sikap tak acuh kepada kebijakan tersebut. Belum lagi di antara
mereka masih memiliki keinginan yang tinggi untuk bisa
dimutasikan ke instansi lain yang lebih ”basah” sehingga
menimbulkan kesan tak acuh yang tinggi terhadap kebijakan
kesepakatan AFTA. Dalam pandangan personil yang demikian,
kebijakan AFTA hanya akan menambah kegiatan dan memastikan
bahwa mereka dibutuhkan dalam Dinas tersebut sehingga akan
sulit untuk mendapat kesempatan mutasi jabatan ke instansi/
dinas lainnya yang dikenal sebagai instansi penghasil.
121bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Memang dalam pemahaman teoritis ada upaya yang dapat
dilakukan dalam menangani disposisi yang tidak kondusif seperti
ini, yakni dengan melakukan perubahan personil birokrasi. Akan
tetapi perubahan personil birokrasi sangat tidak tepat apabila
dilakukan dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro, karena
secara umum personil birokrasi dari instansi manapun tidak
menginginkan untuk bisa dipindahtugaskan ke Dinas tersebut.
Apalagi untuk menggunakan tenaga profesional di Dinas
dimaksud sangat tidak memungkinkan, sebab evaluasi kinerjanya
pun tidak mendapat perhatian memadai dari pusat pemerintahan
di Gedung Sate. Seperti pernah dijelaskan bahwa staf yang sudah
masuk ke Dinas ini akan sulit keluar atau menerima mutasi ke dinas
lain.
Dengan demikian, kecenderungan dari pelaksana kebijak-
an tidak memperlihatkan adanya dukungan yang memadai untuk
melaksanakan kebijakan implementasi AFTA dalam bidang
perdagangan komoditas agro. Langkah yang paling mudah
berdasarkan saran dari pertimbangan teoritis adalah dengan
mengubah sikap implementor melalui manipulasi insentif-insentif.
Langkah ini akan sangat berguna apabila kemudian memberikan
akibat positif kepada implementor dalam melaksanakan tugasnya.
Namun begitu, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
bukan merupakan dinas penghasil yang memiliki kewenangan
tinggi untuk mengeluarkan sejumlah dana kecuali melalui ajuan
proposal APBD. Bahkan proporsal tersebut menjadi satu dalam
pembahasan panitia anggaran eksekutif di bawah Sekretaris
Daerah dan Kepala Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat.
Tentu saja, apabila muatan untuk manipulasi insentif
tersebut dicantumkan ke dalam APBD akan mendapat tolakan
yang tinggi dari Panitia Anggaran Legislatif dan Panitia Anggaran
Eksekutif (Biro keuangan di bawah Sekretaris Daerah) karena
122 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dianggap sebagai sesuatu yang di luar kewajaran. Kondisi ini
justru akan menghambat dari implementasi kebijakan dimaksud.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
kecenderungan dari para pelaksana (disposisi), peneliti dapat
menginterpretasikan bahwa faktor kecenderungan dari para
pelaksana kebijakan tidak sedikitpun mengarah pada kepenting-
an untuk keberhasilan implementasi kebijakan kesepakatan AFTA.
Berbagai situasi yang mengitari posisi Dinas pelaksana implemen-
tasi kebijakan semakin mempersulit faktor ini untuk dijadikan
pendorong bagi pelaksanaan kebijakan dimaksud. Dapat
diinterpretasikan bahwa disposisi tidak menjadi pendukung
implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di
Jawa Barat. Artinya, terbukti bahwa untuk memanfaatkan faktor
kecenderungan pelaksana (disposisi) dalam pelaksanaan kebijak-
an kesepakatan tentang AFTA dalam kerangka perdagangan
komoditas pertanian tidak dapat diwujudkan sebagaimana yang
diharapkan.
Dari kondisi seperti demikian, peneliti memaknai bahwa
berpijak pada Gambar 4.3. perilaku pelaksana (disposisi)
implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di
Jawa Barat baru pada tahap pengembangan sistem informasi
industri dan perdagangan yang meliputi pengembangan jaringan
informasi pusat data dan pengembangan sistem informasi industri
dan perdagangan. Namun, pengembangan tahapan ini masih
didominasi oleh kepentingan ego sektoral masing-masing, belum
terakomodasi dalam suatu sistem keterpaduan pengembangan
ekspor komoditi agro Jawa Barat.
Dengan kata lain, peneliti juga dapat menginterpretasikan
bahwa dari sudut pandang faktor kecenderungan dari para pelak-
sana (disposisi) sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoritis,
123bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan sehingga
belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di
dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.
Struktur Birokrasi (Bueraucratic Structure)
Struktur birokrasi setingkat dinas di lingkungan pemerin-
tahan Jawa Barat tidak berbeda dengan struktur birokrasi dinas
lainnya. Bahkan pembentukannya yang didasarkan Sistem Organ-
isasi dan Tata Kerja yang mendapat persetujuan dari DPRD
Provinsi Jawa Barat merupakan bentuk general yang biasa pada
lembaga teknis di lingkungan pemerintahan daerah. Dalam
struktur birokrasi dinas yang sudah baku tersebut terdapat
Standard Operating Procedures (SOP) yang bersifat rutin dan
dirancang atas dasar situasi tipikal yang terjadi di masa lalu.
Sifat dari SOP memang dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang sama seperti yang pernah dihadapi di
masa lalu. Demikian halnya dengan Dinas Industri dan Per-
dagangan Agro Jawa Barat yang memiliki struktur organisasi
mulai dari Kepala Dinas, Kepala Sub-Dinas, Kepala Seksi, Kepala
Bidang, Kepala Tata Usaha sampai staf yang memiliki kekhususan
di bawah Kepala Sub-Dinas. Perlu disebutkan di sini bahwa
Bendahara Dinas, meskipun memiliki struktur tersendiri dalam
jajaran tugas/fungsi, akan tetapi struktur ini tidak dijabat oleh staf
yang memiliki eselon. Berdasarkan ketentuan SOTK Pemerintah
Daerah, fungsi dan pembagian struktur disamakan dengan dinas-
dinas lainnya yang ada di lingkungan pemerintah daerah.
Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya kesulitan ketika
terjadi persoalan yang menyangkut pada isu-isu kekinian
124 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
(contemporary issues). Sebagaimana sifat dari SOP yang didesain
dengan asumsi dari tipikal di masa lalu, maka ketika isu per-
dagangan bebas mengemuka dan mengharuskan penanganan
yang komprehensif, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat hanya memiliki struktur birokrasi yang berorientasi pada
situasi di masa lalu. Hal tersebut semakin didukung pula oleh
pengisian staf yang tidak memiliki kemampuan dan pengalaman
memadai dalam struktur di Dinas tersebut.
Seperti telah dijelaskan dalam paparan mengenai sumber
daya manusia, personil yang duduk dalam jabatan eselon di
lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
tergolong personil yang tidak memiliki kualifikasi terhadap tugas
yang diemban. Belum lagi ada persepsi yang menempatkan posisi
di Dinas ini sebagai posisi terbuang. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa secara struktural dan personil birokrasi di Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memadai untuk
mendukung implementasi kebijakan AFTA bidang perdagangan
komoditas pertanian.
Tidak hanya itu, tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan merupakan kondisi yang wajar dalam organisasi
modern. Sedangkan SOP bersifat menghambat perubahan.
Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-
cara yang rutin dari sutau organisasi, semakin besar peluang
Standard Operating Procedures menghambat jalannya implemen-
tasi kebijakan. Dari observasi yang dilakukan terhadap Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat juga ditemukan
kondisi yang sama. Tuntutan perubahan dari suatu kondisi pasar
bebas sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam AFTA
sangat dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tugas implemen-
tasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat. Prosedur
standar kerja yang ada di Dinas tersebut tidak memiliki
125bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan
perubahan yang bersamaan datangnya dengan kebijakan AFTA
itu sendiri. Beberapa keputusan mengenai jenis barang-barang
yang dimasukkan ke dalam kategori fast track yang membutuhkan
penanganan cepat di lapangan tidak dapat dilaksanakan oleh
Dinas ini secara memadai.
Pertimbangan teoritis memang memungkinkan SOP
berguna kepada tuntutan perubahan. Akan tetapi kemungkinan
tersebut harus dipenuhi dengan syarat SOP yang dirancang
bersifat fleksibel dan memiliki kontrol yang memadai sehingga
mampu adaptif terhadap perubahan. Hanya saja, SOP sedemikian
itu biasa berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiliki
orientasi keuntungan dalam kebijakannya. Sedangkan SOP yang
ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat lebih
merupakan keseragaman yang terbentuk dari kondisi SOTK secara
umum. Untuk melakukan perubahan terhadap SOTK dibutuhkan
waktu yang cukup panjang dan berbagai liku-liku bernuansa
politik, sebab harus berhadapan dengan berbagai kepentingan
yang ada di lingkungan lembaga politik legislatif. Artinya, struktur
birokrasi yang menjadi kajian penelitian ini tidak fleksibel dan
tidak memiliki kontrol yang memadai sehingga dapat adaptif
terhadap tuntutan perubahan.
Di samping itu, apabila dilakukan pengkajian secara lebih
luas ditemukan bahwa struktur birokrasi di dalam pemerintahan
daerah Jawa Barat bersifat tumpang tindih fungsi. Masih terdapat
fungsi-fungsi yang memiliki kaitan erat akan tetapi strukturnya
tersebar dalam beberapa instansi yang berbeda. Fragmentasi ini
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian masalah-masalah
yang menyangkut beberapa unit kerja yang tersebar di berbagai
dinas. Sumber-sumber dan kewenangan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah terdistribusikan dalam unit kerja yang
126 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tidak dalam satu kepemimpinan sehingga keputusan yang akan
diambil akan menghadapi kesulitan ketika akan diimplemen-
tasikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di tingkat
Dinas dimaksud, sebuah keputusan untuk memberikan izin kepada
suatu lembaga/badan usaha agro untuk melakukan pengembang-
an usaha masih harus berurusan dengan Dinas Industri dan
Perdagangan induk mengenai Surat Izin Tempat Usahanya (SITU).
Contoh ini memberikan bukti bahwa penyebaran tanggung jawab
terhadap suatu wilayah kebijakan yang tersebar di beberapa unit
kerja yang berbeda memberikan kesulitan dalam implementasi
kebijakan tentang AFTA. Fragmentasi ini semakin menghambat
implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di
Jawa Barat ketika munculnya merupakan tekanan dari pihak
legislatif, kelompok kepentingan atau pejabat eksekutif yang
kesemuanya bermakna tidak mendukung implementasi kebijakan.
Belum lagi adanya pengaruh antar faktor SOP dan
Fragmentasi yang bisa menimbulkan keinginan yang destruktif
terhadap struktur birokrasi Dinas Industri dan Perdagangan Agro
Jawa Barat. Adanya keinginan untuk melikuidasi Dinas Industri
dan Perdagangan Agro kembali ke induknya semula adalah
merupakan tanda-tanda ke arah pengaruh langsung dari kedua
faktor tersebut. Dalam hal ini muncul kepentingan dari kelompok
tertentu yang mendapat dukungan dari pihak legislatif untuk
mengembalikan Dinas ini kepada Dinas induknya. Kondisi
tersebut semakin mempersulit upaya implementasi AFTA bidang
perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat. Artinya, secara
struktural pemerintah daerah tidak siap. Sebab isu keinginan
untuk mengembalikan Dinas implementor kepada Dinas induknya
sudah cukup menciptakan suasana tidak kondusif bagi
lingkungan kerja staf di Dinas tersebut. Sangat wajar apabila para
127bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
pelaku ekonomi mengeluhkan pelayanan yang bisa diberikan
oleh Dinas Industri dan Perdagangan Agro terhadap berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan usaha mereka. Hal ini
dikarenakan struktur birokrasi yang terlihat menjadi penghambat
dalam implementasi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN
terutama pada bidang perdagangan komoditas pertanian.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
faktor struktur birokrasi, peneliti dapat menginterpretasikan
bahwa struktur birokrasi yang ada sekarang hanya bertumpu
terlalu mengandalkan pada satu institusi teknis yakni Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat untuk menangani
keseluruhan permasalahan implementasi AFTA bidang komoditas
pertanian di Jawa Barat.
Struktur birokrasi di Provinsi Jawa Barat perlu untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang ada. Secara
teoritik, lingkungan yang terdiri dari lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam imple-
mentasi kebijakan Sebagai konsekuensinya, organisasi dituntut
mampu menunjukkan kinerja atau prestasi kerja yang baik meng-
hadapi atau memenuhi tuntutan perubahan-perubahan tersebut.
Untuk kondisi implementasi AFTA bidang komoditas per-
tanian di Jawa Barat struktur birokrasi perlu untuk menyesuaikan
dengan perubahan lingkungan yang ada antara lain melalui
perubahan struktur organisasi yang lebih dinamis karena
lingkungan strategis perdagangan agro di kawasan Asia Tenggara
sudah berubah secara dinamis. Dengan kata lain, pengkajian
ulang terhadap keberadaan struktur birokrasi di Provinsi Jawa
Barat saat ini perlu dilakukan agar struktur birokrasi tersebut andal
dan adaptif dengan perubahan lingkungan perdagangan agro
dalam kerangka AFTA di kawasan Asia Tenggara.
128 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Peneliti dapat menginterpretasikan bahwa dari sudut
pandang faktor struktur birokrasi sebagaimana yang tertuang
dalam kajian teoritis, implementasi AFTA perdagangan komoditas
pertanian di Jawa Barat belum berlangsung sebagaimana yang
diharapkan, sehingga belum mampu mendorong tercapainya
daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas
di kawasan Asia Tenggara
Implikasi Kebijakan
Lebih lanjut, berdasarkan hasil elaborasi wawancara
dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan imple-
mentasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat dari tingkat nasional sampai dengan tataran para petani,
terdapat pemikiran yang berkenaan dengan implikasi kebijakan
sebagai berikut:
Terdapat beberapa implikasi kebijakan yang kiranya perlu
diambil oleh setiap pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya
Jawa Barat, dalam upaya membangun dan atau mengembangkan
kerjasama dengan luar negeri. Pertama, pembangunan pangkalan
data yang komprehensif dan berstandar imernasional tentang
potensi-potensi lokal apa saja yang dimiliki oleh Jawa Barat.
Kedua, menentukan skala prioritas antisipasi terhadap agenda
hubungan internasional yang mendesak dan dalam waktu
beberapa tahun lagi (immediate years) harus segera diikuti oleh
bangsa Indonesia, termasuk Propinsi Jawa Barat. Ketiga, dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, perlu dikaji
kemungkinan adanya pembangunan struktur baru di tingkat
pemerintahan Propinsi, termasuk Jawa Barat. Keempat, pengem-
bangan mekanisme diplomasi publik melalui sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik, dan kelima yaitu prosedur umum
129bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
pengembangan kerjasama daerah Jawa Barat dengan luar negeri
yang berbasis kebutuhan publik (public needs).
Pembangunan Data Base Potensi Lokal
Salah satu faktor yang sangat mendesak untuk dikaji dalam
proses membangun kerjasama daerah Jawa Barat dengan luar
negeri di era otonomi daerah adalah pembangunan pangkalan
data (data base) potensi daerah Jawa Barat yang berstandar
internasional sesuai aturan dalam World Intelectual Property
Rights Organization (WIPO). Hal ini mutlak segera dibangun
terutama untuk perlindungan terhadap hak komunal (adat dan
lokal) atas kepemilikan intelektual, dimana saat ini mulai ramai
diperbincangkan dalam berbagai pertemuan dan diskusi. Upaya
ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk melindungi kekayaan
intelektual mereka dalam interaksi dengan masyarakat global,
terutama sejalan dengan kesepakatan bersama di antara negara-
negara WTO (World Trade Organization) yang mengatur berbagai
faktor intelectual property rights dalam dunia perdagangan (Trade
Related on Intellectual Property Rights/TRIPs).
Gagasan-gagasan yang terkandung dalam Trade Related on
Intellectual Property Rights (FRI Ps) oreintasinya bersifat individual
dan bercorak privatisasi. Ide dasar IPRs itu lebih menekankan pada
hak yang berkaitan dengan hukum benda yang tangible. Di lain
pihak, dalam masyarakat tradisional dan lokal yang menjadi
pedoman komunitas mereka adalah kepatuhan terhadap
pimpinan adat dengan dukungan hukum adat. Dalam hukum adat
di Nusantara ini yang paling utama adalah keterikatan hubungan
antara tanah dengan manusia. Artinya, pengaturan kekayaan
intelektual tradisional dan lokal tidak hanya memperlakukan
benda sebagai benda, tetapi juga benda itu berkaitan dengan
130 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tanah, yang erat kaitannya dengan wilayah geografis. Dengan
kata lain, paradigma yang dianut oleh masyarakat tradisional dan
lokal tersebut berbeda dengan paradigma yang dianut IPRs
selama ini.
Maka itu, pembangunan pangkalan data potensi lokal
mutlak diperlukan terutama sebagai alat kontrol bagi daerah-
daerah di Indonesia apabila suatu ketika menghadapi perselisihan
yang berkaitan dengan TRIPs. Dewasa ini baru dua negara yang
mempunyai pangkalan data yang lengkap dan komprehensif
yakni negara India dan Brasil. Padahal keberadaan pangkalan data
ini dapat dijadikan sebagai suatu amunisi apabila negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, berselisih dalam konteks TRIPs
dengan negara-negara maju.
Misalnya saja ada peluang terjadi perselisihan dengan
pihak asing/luar negeri apabila masyarakat Desa Cilembu,
Kabupaten Sumedang akan mengekspor produk unggulannya
yakni Ubi Manis Cilembu secara besar-besaran dan professional
bisnis sebab dewasa ini hak paten produk ubi manis (sweet
potatoes) sudah dimiliki oleh salah satu perusahaan asing di luar
negeri.
Pemikiran di atas perlu menjadi peringatan dini untuk
mempersiapkan Jawa Barat go international khususnya dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa intemasional yang dalam waktu
dekat harus diikuti oleh bangsa Indonesia, misalnya yaitu
implementasi Bogor Declaration (Deklarasi Bogor) 2010 bagi
negara-negara anggota APEC.
131bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Skala Prioritas Agenda Hubungan Luar Negeri
Sesuai dengan namanya Deklarasi Bogor itu ditetapkan di
Kota Bogor, Indonesia. Sesuai dengan kesepakatan Deklarasi
Bogor, mulai tahun 2010 negara-negara ASEAN akan dapat
memanfaatkan preferensi atas dasar Most Favoured Nations
(MFN) dari negara-negara maju yang tergabung dalam APEC yang
akan mulai meliberalisasikan perdagangannya pada tahun 2010.
Sesudah itu, mulai tahun 2020, negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, harus memberikan preferensi penuh (baca: membuka
penuh pangsa pasarnya) atas dasar MFN kepada negara-negara
lain, termasuk kepada negara-negara maju anggota APEC.
Secara bersamaan pada tahun 2020 akan berlaku juga One
World Trade (satu perdagangan dunia) oleh WTO serta akhir
penerapan dari ASEAN Vision 2020. Pada tahun 2010 juga ada
kemungkinan pengaturan ketat dari WIPO (World Intellectual
Property Rights Organization) akan mulai diimplementasikan dan
mencapai puncaknya pada tahun 2020 ketika saat itu sudah
tercipta satu pasar dunia.
Permasalahannya kini adalah sudah siapkah Pemerintah
Pusat Indonesia, termasuk Pemerintahan tingkat Provinsi Jawa
Barat memasuki peluang dan tantangan di atas? Yang paling
mendesak adalah persiapan dalam menghadapi implementasi
Deklarasi Bogor tahun 2010. Dari pengamatan peneliti, India dan
empat negara ASEAN yaitu Singapura, Thailand, Malaysia, dan
Vietnam yang sudah jauh-jauh hari siap-siap untuk menikmati
kemudahan (preferensi) liberalisasi perdagangan yang akan diberi-
kan oleh negara-negara maju anggota APEC mulai tahun 2010.
Jaringan mereka sudah dibangun sampai ke tingkat daerah-daerah
dengan dukungan teknologi dan informasi yang adikuat untuk
menggenjot pertumbuhan ekonomi nasionalnya masing-masing.
132 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Struktur Baru: Biro Kerjasama Luar Negeri di Setda Propinsi Jawa Barat
Mengkaji begitu luas dan kompleksnya peluang dan
tantangan yang dihadapi serta dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan publik, tampaknya sudah saatnya para elit
pemerintahan di tingkat Propinsi Jawa Barat membuka wacana
pembentukan struktur baru di Sekretariat Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat yaitu Biro Kerjasama Luar Negeri.
Biro Kerjasama Luar Negeri ini mungkin paling tidak terdiri
dari empat bagian yaitu Bagian Kerja sama Bilateral, Bagian Kerja
sama Regional dan Multilateral, Bagian Administrasi Kerja sama,
dan Bagian Humas dan antar Lembaga. Diharapkan keempat
bagian ini dapat terintegrasi secara sinergis dalam menjadi aparat
pemerintah terdepan dalam upaya pemberdayaan potensi daerah
dalam membangun kerja sama dengan luar negeri sekaligus
peningkatan kualitas pelayanan publik.
Struktur baru ini juga menuntut peningkatan keterampilan
dan kompetensi aparat pemerintah, misalnya saja pengetahuan
tentang hubungan internasional, ekonomi-politik internasional,
hukum internasional, dan keterampilan bahasa asing akan
menjadi sangat penting dalam negosiasi internasional dan dalam
setiap forum yang menuntut pengertian tentang sistem dan
kerangka pemikiran kebijakan negara lain.
Diharapkan dengan makin meningkatnya pengetahuan
dan keterampilan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam
pengelolaan hubungan luar negeri, maka upaya membangun
kerjasama luar negeri dalam rangka pemberdayaan potensi
daerah dapat secara maksimal didayagunakan.
133bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Pengembangan Mekanisme Diplomasi Publik melalui Sistem Pelayanan Informasi Pemberdayaan Publik
Ini merupakan sebuah model dengan gambaran sebagai
berikut :
a. Diplomasi publik dilaksanakan melalui aspek people-to
people contact atau interaksi antara kelompok swasta dan
kepentingan suatu negara dengan kelompok swasta dan
kepentingan negara lain.
b. Merupakan konsep untuk mengaktualisasikan potensi
aktor non-negara yang berupa kekuatan, kemampuan
Organisasi non-pemerintah atau kelompok masyarakat,
merevitalisasi kemampuan yang dimiliki untuk melaksana-
kan kegiatan diplomasi publik.
c. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan
yaitu proses yang menekankan kepada pemberian atau
pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampu-
an kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya, dan
proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar
masyarakat mempunyai kemampuan untuk member-
dayakan diri.
d. Pemberdayaan dimaksudkan untuk memecahkan masalah
sebagai tantangan yang harus dihadapi di bidang legitimasi
politis, legalitas, keberlanjutan finansial, kompotensi
profesionalitas, dan kredibilitas sosial LSM/NGO sebagai
aktor non-negara.
e. Pemberdayaan aktor dari LSM/Ornop sebaiknya terarah
dan disinergikan dengan rencana strategis pemerintah
pusat/daerah yang telah merumuskan strategi diplomasi.
Terkait dengan masalah tersebut, maka LSM/Ornop bahkan
kompetensi personal harus diberdayakan.
134 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Unsur-unsur non-pemerintah yang terlibat dalam
diplomasi, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan
berkenaan dengan kebutuhan akan kompetensi diplomasi publik
di masa yang akan datang.
Prosedur Umum Pengembangan Kerjasama Daerah Jawa
Barat dengan Luar Negeri yang Berbasis Kebutuhan Publik (Public
Needs).
Implikasi kebijakan poin ke empat di atas sangat ererat
kaitannya dengan upaya pengembangan kerja sama daerah Jawa
Barat dengan luar Negeri, khususnya pengembangan kerjasama
daerah Jawa Barat dengan negara-negara anggota ASEAN di
bidang perdagangan komoditi agro. Hal itu selaras dengan
implementasi kebijakan publik yang berbasis kebutuhan publik
karena program-program yang dikerjasamakan sudah terlebih
melalui proses bottom-up planning yang terintegrasi melibatkan
Government to Government (Local Governments), Business to
Business, dan People to People contacts.
Pada tahap ini pengembangan kerjasama daerah Jawa
Barat dengan luar negeri sudah memiliki panduan kebijakan
publik yakni Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004
tentang Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri. Dalam Keputusan Gubernur tersebut dinyatakan bahwa
inisitaif kerjasama daerah Propinsi Jawa Barat dalam melakukan
kerjasama luar negeri harus melalui prosedur umum sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlalu antara lain:
1. Dalam perencanaan setiap kegiatan Hubungan dan atau
Kerjasama Luar Negeri, pihak pembuat inisiatif Hubungan
dan atau Kerjasama Luar Negeri perlu menyiapkan Rencana
Program yang sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai hal-hal sebagai berikut:
135bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
a. Identitas, status dan kedudukan hukum pihak-pihak
Pelaku Hubungan atau Kerja sama;
b. Latar belakang kebutuhan, maksud, dan tujuan pem-
binaan Hubungan/Kerja sama;
c. Objek dan atau Bidang atau sub-bidang kerja sama;
d. Ruang lingkup kerja sama berdasarkan kewenangan
daerah;
e. Hak, kewajiban dan tanggungjawab utama para pihak
dalam kerja sama;
f. Pengorganisasian dan tata cara pelaksanaan kerja sama;
g. Rencana, hak dan kewajiban dalam pembiayaan;
h. Jangka waktu kerjasama;
i. (Bila dianggap perlu) Hal-hal lain yang umumnya harus
disepakati di dalam Perjanjian atau Kontrak, seperti
misalnya:
1) perumusan hak dan tanggungjawab para pihak
dalam menghadapi keadaan memaksa, perubahan
kondisi dan situasi pada saat pelaksanaan kontrak;
2) kesepakatan para pihak tentang prosedur penye-
lesaian sengketa;
3) kesepakatan mengenai kemungkinan perubahan
terhadap persyaratan kerja sama;
4) jangka waktu berlangsungnya kerja sama;
5) kondisi-kondisi dan persyaratan pemberlakuan
kerjasama.
2. Program Hubungan dan atau Kerjasama Luar Negeri
dapat dilakukan berdasarkan prakarsa dari:
a. Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota);
b. Pelaku hubungan luar negeri lainnya di daerah;
c. Pihak asing.
136 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
3. Prakarsa Hubungan dan atau Kerjasama Luar Negeri
yang diselenggarakan atas dasar prakarsa Pemerintah
Daerah dan atau Pelaku Kerjasama Luar Negeri lainnya
di Daerah dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Pihak pemrakarsa (dalam hal ini Kepala Daerah)
mengirimkan Rencana Program Kerja sama kepada
Pemerintah, serta mengajukan permohonan penye-
lenggaraan rapat koordinasi yang dihadiri oleh
Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar
Negeri, dan Departemen atau Lembaga lain di
tingkat Pemerintah Pusat yang terkait dengan
Rencana Program, dan Gubernur (untuk Rencana Pro-
gram yang ada dalam kewenangan Propinsi) atau
Bupati/Walikota yang terkait (untuk Rencana
Program yang ada dalam kewenangan Kabupaten/
Kota);
b. Dalam hal pihak pemrakarsa program Hubungan/
Kerjasama Luar Negeri adalah Pelaku Kerjasama lain
selain Kepala daerah, maka pihak pemrakarsa harus
terlebih dahulu menyampaikan Rencana Program
kepada Kepala daerah di wilayah rencana tempat
pelaksanaan program;
c. Dalam hal Rencana Program tersebut me-nyangkut
kepentingan masyarakat banyak, maka Rencana
Program tersebut harus terlebih dahulu memper-
oleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD);
d. Kepala Daerah sebelum menyampaikan kepada
Pemerintah Pusat, berkonsultasi dan berkoordinasi
dahulu tentang Rencana Program yang telah dibuat
kepada Propinsi;
137bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
e. Kepala Daerah kemudian meneruskannya kepada
Pemerintah Pusat sesuai pada butir a di atas;
f. Kepala daerah mengadakan rapat dengan mengun-
dang Departemen Dalam Negeri, departemen Luar
Negeri dan Departemen atau Lembaga lain yang
dimaksud dalam butir a, untuk membicarakan
Rencana Program. Sebelum dan sesudah penyeleng-
garaan rapat konsultasi dan koordinasi, pihak Kepala
daerah dapat melakukan komunikasi resmi melalui
surat menyurat dengan Departemen Dalam Negeri
dan atau Departemen Luar Negeri dan atau
Departemen? lembaga lain yang terkait;
g. Departemen Luar Negeri akan memberikan masukan
dan petunjuk kepada Kepala daerah mengenai
hubungan luar negeri sesuai dengan kebijakan luar
negeri Indonesia. Departemen Luar Negeri juga akan
berperan sebagai fasilitator dalam mengkomunikasi-
kan Rencana dan Pelaksanaan Kerjasama dengan
perwakilan diplomatik dan konsuler pihak asing di
Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di
luarnegeri;
h. Departemen Dalam Negeri akan memberikan masuk-
an dan petunjuk kepada Kepala Daerah mengenai
aspek-aspek kewenangan daerah, masalah-masalah
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, aspek pelaksanaan
dan pengawasan internal serta pembiayaan;
i. Departemen atau Lembaga Pemerintah Pusat lain
yang terkait memberikan masukan dan petunjuk
mengenai subtansi kerjasama dan korelasi serta
konsistensinya dengan perencanaan pembangunan
nasional dalam bidang yang dikerjasamakan;
138 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
j. Dengan memperhatikan pertimbangan-pertim-
bangan yang diperoleh dari kegiatan koordinasi dan
konsultasi, Departemen Luar Negeri akan memberi-
kan keputusan final untuk menyetujui, menyetujui
dengan cata-tan, atau menolak-menyetujui peru-
bahan status Rencana Program menjadi Program
Hubungan/Kerjasama Luar Negeri. Persetujuan
Departemen Luar Negeri dibuktikan dengan
penerbitan Surat Kuasa penuh (Full Powers) oleh
Menteri Luar Negeri kepada Kepala daerah untuk
membuat kesepakatan kerjasama dengan pihak luar
negeri dalam bentuk Perjanjian Internasional dan
atau Kontrak Internasional.
Dengan kata lain upaya pembangunan kerjasama daerah
Jawa Barat dengan luar negeri dalam kaitannya dengan
perdagangan agro dalam kerangka AFTA bertumpu pada pola
bottom-up planning. Hal itu dikarenakan pada tahap awal
pembangunan kerjasama daerah dengan luar negeri proses uji
kelayakannya berada pada persetujuan Kepala Daerah yang
bersangkutan (lihat Gambar 4.3.). Secara demikian diharapkan
setiap implementasi kebijakan yang berkenaan dengan proses
pembangunan kerjasama daerah dengan luar negeri akan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.<
139bab 4 ENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT– M
Dit
ola
k
Dis
etu
jui
Prak
arsa
dar
i Ek
seku
tif
Dae
rah
Prak
arsa
d
ari P
ihak
Lu
ar N
eger
i
Uji
Kela
yaka
n
unt
uk
Men
dap
atka
n
Pers
etu
juan
Ke
pal
a d
aera
h
Ren
can
a Pr
ogr
am
Kep
ala
Dae
rah
B
erko
nsu
ltas
i dan
B
erko
ord
inas
i d
enga
n P
rop
insi
Dis
amp
aika
n k
e p
emer
inta
h
Pusa
t D
iser
tai P
erm
oh
on
an
Peny
elen
ggar
aan
Rap
at
Koo
rdin
asi d
an K
on
sult
asi
yan
g D
ihad
iri o
leh
Dep
dag
ri,
Dep
lu, D
ep/L
em la
in
di T
ingk
at P
usa
t ya
ng
Terk
ait,
dan
Kep
ala
Dae
rah
.
Rap
at
Koo
rdin
asi
dan
Ko
nsu
ltas
i
1
2
3
Peru
bah
an
Dis
etu
jui
Dis
etu
jui
Dit
ola
k
Dit
ola
kPe
rjan
jian
Inte
rnas
ion
al
Kont
rak
Inte
rnas
ion
al
Kep
ala
Dae
rah
M
emb
uat
Ke
sep
akat
an
Kerj
asam
a d
enga
n
Luar
Neg
eri
Sura
t Ku
asa
(Ful
l Pow
ers)
d
ari M
ente
ri
Luar
Neg
eri
kep
ada
Kep
ala
Dae
rah
Dis
etu
jui d
enga
n C
atat
anH
asil
Rap
at
Gam
bar
4.3
.B
AG
AN
ALI
R T
ATA
CA
RA
UM
UM
HU
BU
NG
AN
DA
N K
ERJA
SAM
A L
UA
R N
EGER
I IN
ISIA
TIF
PEM
ERIN
TAH
DA
ERA
H D
AN
PEL
AKU
HU
BU
NG
AN
LU
AR
NEG
ERI D
I DA
ERA
H
140 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Abdullah, Syukur. 1991. Budaya Birokrasi di Indonesia. Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti.
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Keragaman Industri Gula Indonesia: Suatu A nalisis
Kebijakan. Disertasi, tidak dipublikasikan. Bogor: Program
Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor.
Abimanyu, A 1995. Liberalisasi Perdagangan dan Biaya
Lingkungan. dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan
Kemiskinan. Soetrisno, L. dan F. Umaya (Editor).
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Amang, B. dan M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Global dan
Implikasinya pada Ketahanan Pangan Nasional. Agro-
Ekonomika No. 2 Tahun XXVII: 1-14. Jakarta: Perhepi.
Anderson, James E. 1984. Public Policy and Politics in America.
California: Wadsworth, Inc. Belmont.
Anderson, James E. 1997. Public Policy Making. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Anugerah, I. S. 2003. ASEAN Free Trade Area (AFTA), Otonomi
Daerah dan Daya Saing Perdagangan Komoditas
141DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Pertanian Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Volume 21 (1).
Juli 2003. Bogor: Puslilbang Sosial Ekonomi Pertanian.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Atmosudirdjo, Prajudi S. 1976. Beberapa Pandangan Umum
tentang Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Bank Dunia. 2004. Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A
Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia and
Pacific Region Infrastructure Development, Washington,
D.C. and Jakarta.
Bank Dunia. 2005, “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure
Policy Brief, January, Jakarta.
Bappenas. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009. Jakarta
Bellone, Carl J. 1980. Organization Theory and the New Public
Administration, Boston: Allyn and Bacon Inc.
Bennet. 1984. International Organization. New York: McGraw Hill.
BPS, BAPPENAS dan UNDP. 2001, Menuju Consensus Baru.
Demokrasi dan Pembangunan manusia di Indonesia,
Laporan Pembangunan Manusia 2001, Oktober, Jakarta:
Biro Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan United Nations Development Programme.
BPS, Bappenas dan UNDP. 2004. The Economics of Democracy,
Indonesia Human Development Report 2004, Jakarta.
Brian W Hogwood and Lewis A. Gunn, 1984. Policy Analysis For The
Real World. New York : Oxford University Press.
Bromley Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions. The
Conceptual Foundations of Public Policy. Great Britain:
Book craft (Bath) Ltd.
142 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Budiono. 2001. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada.
Bungin, Burhan (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Carl U Patton and David S Sawacki. 1985. “ Basic Methods Of Policy
Analysis and Planning”. New Jersey: Prentice Hall Inter-
national Inc, 1985.
Chacholiades, M. 1978. International Trade Theory and Policy. New
York: McGraw Hill.
Chadwich, Bruce A., Howard M. Bahar, Stan L. Albrecht. 1988. Social
Research Methods. Englewood cliffs, New Jersey: Prentice-
Hall.
Chaves, R.E., J.A. Frankel dan R.W. Jones. 1993. World Trade and
Payments. An Introduction. Sixth Edition. New York:
Harper Collins.
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. From Adam Smith
to Michael Porter. Evolusi Teori Daya Saing, Jakarta:
Salemba Empat.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches. California: Sage Publications.
Crozier, Michael. 1964. The Bureaucratic Phenomenon. London:
Tavistock publication.
Daniels, John D. dan Radebaugh, Lee H. 1989. International Busi-
ness, Environments and Operation, Edisi ke 5, Addison-
Wesley Publishing Company.
David L. Weiner and Aidan R. Vinning. 1989. Policy Analysis:
Concepts and Practice. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Davis, Keith & John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam
Organisasi. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
143DAFTAR PUSTAKA
Dollar, David dan E.N. Wolf. 1993. Competitiveness, Convergence,
and International Specialization, Cambridge, Mass.: the
MIT Press
Doz, Yves L. dan C.K. Prahalad. 1987. Multinational Mission, New
York: The Free Press.
Dunn, Willian N. 1995. Public Policy Analysis. New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Dye Thomas R. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey:
Englewood Cliffs.
Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy.
Washington D.C. : Congressional Quarterly Press.
Edward III, George C. and Sarkansky. 1980. The Policy Predicament.
San Francisco: W.H. Freeman and Company.
Erwidodo dan P.U. Hadi. 1999. Effects of Trade Liberalization on
Agricultureure in Indonesia: Commodity Aspects. The
CGPRT centre. Working Paper No 48.
Erwidodo. 1999. Effects of Trade Liberalization on Agriculure in
Indonesia: Institutional and Structural Aspects. The CGPRT
Centre. Working Paper No 41.
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern (Modern
Organizations). Terjemahan Suryatin. Jakarta: UI Press.
FAO, 2003. Anti-Hunger Programme. A Twin Track Approach to
Hunger Reduction: Priorities for National and International
Action.
Farnham, Davis and Sylvia Norton, 1993, Managing in New Public
Service. London: Mc. Millans Press.
Feridhanusetyawan, T and M. pangestu, 2003. Indonesian Trade
Liberalization: Estimating The Gains. Buletin of Indonesian
Economic Studies, Volume 29 (1). 2003.
Feser & Bergman. 2000. Industrial Cluster. New York: McGraw Hill.
144 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Feser. 2001. Cluster Analysis. New York: McGraw Hill.
Finer, Herman. 1960. The Theory and Practice of Modern
Government. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fitzsimmons, James A & Mona. J. Fitzsimmons, 1994. Service
Management for competitive Advantage. New York: Mc
GrawHill Inc.
Gannon, Marti J. 1979. Organizational Behavior: A Managerial and
Organizational Perspective. Toronto: Little Brown and Co.
Gasperz, Vincent, 1997, Management Kualitas ; Penerapan konsep
kualitas dalam Manajemen Bisnis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
George C Edward III, “Implementing Public Policy“, Washington:
Congressional Qua rtely Press, 1980.
Gibson, L. James, John. M. Ivancevich, & James H. Jr., Donelly. 1986.
Organisasi – Perilaku, Struktur, Proses. Terjemahan Jorban
Wahid. Jakarta: Erlangga.
Gibson, L. James. 1984. Organization and Management. New York:
Mc. Graw-Hill.
Goodall, Merrill. 1975. Bureaucracy and Bureaucrats. Bepal:
Experience
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the
Third World. New York: Princeton University Press.
Grossman, G.M. dan E. Helpman. 1993. Innovation and
Growth in the Global Economy, Cambridge, Mass.: the MIT
Press Gwartney, James D. dan Stroup, Richard. 1980.
Economics: Private and Public Choice. New York: Academic
Press.
Hadi, PU. 2003. Marketing Policy to Improve Competitiveness of
Agricultural Commodities Facing Trade Liberalization.
Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 (2). Juni 2003.
Puslitbang SosiaI Ekonomi Pertanian. Bogor.
145DAFTAR PUSTAKA
Hamdy, H. 2000. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan
Perdagangan Internasional. Buku Kesatu. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Harrison, Ford. 1992. Industrial Cluster. New York: Mc Graw Hill.
Heady, Farrel. 1991. Empowerment: The Politic of
Alternative Development. Massachusetts: Blackwell
Published.
Henry, Nicholas. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-masalah
Publik. Terjemahan Luciana D. Lontoh. Jakarta: PT. Raja
Garfindo Persada.
Hermanto. 2002. Perspektif Implementasi Kebijakan Stabilisasi
Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakaya Ketahanan
Pangan Pasca BuIog. Badan Bimas Ketahanan Pangan,
Departermen Pertanian, Jakarta, 22 November
Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard, & Dewey E. Johnson. 1995.
Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber
Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta:
Erlangga.
Hidayat dan Sucherly. 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi
Pemerintah dan Pegawai Negeri, Kasus Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
Hodge, Grame, 1993, Minding Everybody's Business Performance
Management in Public Sector Agency, Public Sector.
Sydney: Management Institute. Monasti University.
Hoogerwerf, A. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Erlangga.
Hoogwood, Brian W., and Lewis A. Gunn. 1986. Policy Analysis for
the Real World. Princeton: Princeton University Press.
Howlet, Michael and M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy:
Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford: Oxford
University Press.
146 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Hughes,Owen, 1998,Public Management & Administration.
Chipenham: Antony Rowe Ltd.
Husaeni, Martani. 1993. Penyusunan Strategi Pelayanan Prima
dalam Suatu Perspektif Reengineering, dalam Bisnis dan
Birokrasi. Jakarta: Erlangga.
Ibrahim, Budi. 1997. Total Quality Management, Panduan Untuk
Menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.
Ilham, Nyak. 2003. Dampak Liberalisasi Ekonomi Terhadap
Perdagangan dan Kesejahteraan Negara-Negara di
Dunia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, XI (2) 2003.
L1PI. Jakarta.
Indrawati, S.M. 1995. Liberalisasi dan Pemerataan dalam
Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan.
Soetrisno, L. dan F. Umaya (Editor). Yogyakarta: P. Tiara
Wacana Yogya.
Indrawijaya, Adam. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.
Irfan. Islamy, “Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara“,
Jakarta: Bina Aksara, 1984.
ISEI. 2005. Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah Strategis
Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia.
Islamy M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jabra, Joseph. G & Dwivendi OP. 1993. Public Service
Accountability, A. Comprehensive Perpective. New York:
Kumarian Press Inc.
Jenkins Smith, 1990. Democratic Politics and Policy Analysis: Cali-
fornia: California Publishing Company.
Jenkins, W. I., 1970. Policy Analysis : A Political and Organizational
Perspective. New York : ST. Martin Press.
147DAFTAR PUSTAKA
Jones, Charles O. 1994. Study of Public Policy. Belmont, California:
Wadsworth Inc.
Kaniya, M. 2002. 1990s: A DecacIe for AgricuturaJ Poley Reform in
Japan- Breakaway from the Postwar Policies. Food and
Agricultural Policy Research Center, Tokyo daIam Hadi, et
al. 2003. Dampak Implementasi Perdagangan Bebas
AFTA-2003 Terhadap Pertanian Indonesia. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kariyasa. K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga
Dasar serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Beras
Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.
1(4). Desember 2003. Puslilbang SOsial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Kast, Fremont & Rosenzweig, James E. 1985. Organization and
Management: A Systemic and Contingency Approach. New
York: Mc. Graw-Hill Book Company.
Kerlinger, Fred N, Elazar J. Pedhazur. 1987. Foundation of Behavioral.
New York: Research Half Rinehard and Wington.
Kevitt, Davit, 1998, Managing core Public Service. London: Black
Well Publisher.
Kindleberger, C.P. and P.H. Underl. 1978. International Economics.
Six Edition. Illinois. Richard D. Irwin. Inc.
Kompas. 2006. “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis & Keuangan,
Sabtu, 18 Februari, hal. 17.
Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak, dan Suvit Maesincee. 1997.
Pemasaran Keunggulan Bangsa, Jakarta: PT Prenhallindo.
Kotler, Philip. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning,
Implementation & Control. London: Prentice Hall Inter-
national Edition.
148 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Kotler, Philip. 1994. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan,
Implementasi dan Pengendalian. Terjemahan Supranto.
Jakarta: Prentice Hall Edisi Indonesia.
Kristiadi, J.B. 1998. Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pelayanan, Pembangunan Adminis-
trasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Kristiadi, JB. 1998. Pemberdayaan Birokrasi dalam Pembangunan.
Jakarta: Sinar Harapan.
Krugman, P.R. 1988, “Introduction: New Thinking about Trade
Policy”, dalam Krugman, P.R. dkk. (ed.), Strategic Trade
Policy and New International Economics, Cambridge,
Mass.: the MIT Press.
Krugman. 199 1.International Trade. New York: Mc Graw Hill Book
Company.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta:
Rajawali.
La Palombara. 1967. Bureaucracy and Political Development. New
Jersey: Princeton University Press.
Lane. 1993. The Public Sectors, Concepts, Models, and Approaches.
Prentice Hall, Inc.. New Jersey.
Luthans, Fred. 1992. Organization Behavior. Tokyo: Mc.
Graw Hill. Marx. 1996. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan Publik.
Terjemahan Supriatna. Jakarta: Nimas Multima.
Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food security:
Concepts, Indicators, Measurement. A Technical Review.
Jointly Sponsored by United Nation Children's Fund and
International Fund for Agricultural Development.
Mazmanian, Daniel A., and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation
and Public Policy. Illinois: Scoot, Foresman and Company.
Milles, Mathew B. and A. Michael Huberman. 1992.
Qualitative Data Analysis. California: Sage Publications Inc.
149DAFTAR PUSTAKA
Moleong Lexy J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, Noeng. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nasikun. 1997. Proses Perubahan Sosial dan Pembangunan
Nasional. Jakarta: Bulan Bintang.
Newman, Lawrence W. 1997. Social Research Methods: Qualitative
and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon Co.
Needham Heights.
Osborne, David & Ted Gabler, 1992, Reiventing Government, New
York: A William Patrick Book.
Osborne, David and Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi: Lima
Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Tejemahan.
Jakarta: Pendidikan Prasetya Mulya.
Pakpahan, Arten T. 2005. “Gambaran Belanja Modal Daerah, Dana
Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri
Pemerintah untuk Pembansunan Infrastruktur”, makalah
FGD, Jakarta: ISEI.
Pamudji, S., Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta:
Bina Aksara, 1982.
Pardede, Raden. 2005. “Infrastructure Financing: Indonesia
Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.
Parsons, Wayne. 1993. Public Policy: An Introduction to the Theory
and Practice of Policy Analysis. Chelten han: Edward Elga r.
Pollitt & Bouchaert. 2000. Public Management Reform,
New York: Prentice Hall International edition.
Porter, 1990. Competitive Advantage. New York: McGraw Hill.
150 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage, New York: Free Press.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations,
New York: Free Press.
Porter, M.E. 1998a. The Competitive Advantage of Nations: With a
New Introduction, New York: The Free Press.
Porter, M.E. 1998b. On Competition, Boston: Harvard Business
School Press.
Porter, M.E. ed.. 1986. Competition in Global Industries, Boston:
Harvard Business School Press.
Porter, Michael E. 1980. Competitiveness Strategy: Techniques for
analyzing industries and companies, New York: Free Press.
Rasahan, CA 1997. Kesiapan Sektor Pertanian Menghadapi Era
Perdagangan Bebas. Agro-Ekonomika No. 2 Tahun XXVII:
15¬24. Perhepi. Jakarta.
Rauch, Robert. Industrial Cluster: Relocation, Investment and
Production. New York: McGraw Hill.
Rouse, Jhon and Berkley, George. 1997. The Craft of Public
Administration, New York: Brown Benchmark, McGraw-Hill.
Saliem, H.P., S.H. Hartini, A Purwoto, dan G.S. Hardono. 2003.
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja
Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Hasil Penelitian.
Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Bogor.
Santoso, Priyo Budi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru:
Persperktif Kultural dan Struktural. Jakarta: P.T. Grafindo
Persada.
Sarundajang. 2001. Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara. Ja-
karta: Pustaka Sinar Harapan.
Sawit, MH. 2001. Globalisasi dan NJA-WTO: Pengaruhnya Terhadap
Ketahanan Pangan Indonesia. Makalah disampaikan pada
151DAFTAR PUSTAKA
Lokakarya “Ketahanan Pangan” diselenggarakan oIeh YLKI
dan Consumers International for Asia and Pacific (CIROAP)
28-29 Agustus 2001, Jakarta.
Sawit, MH. 2003. Indonesia dalam Perjanjian Pertanian WTO:
Proposal Harbinson. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume
I (1). Maret 2003. Puslitbang SOsial Ekonomi Pertanian.
Bogor
Schmidtz, David. 1991. The Limit of Government An Essay on The
Public Goods Argument. Colorado: Westview Press.
Schwartz, Howard, and Jerry Jacobs. 1979. Qualitative Sociology.
New York: The Free Press.
Scott, James. 1986. Introduction to Industrial Cluster. London: Mc
Graw Hill.
Simatupang, P. 2001. Food security: Basic Concepts and
Measurement in Food Security in Southwest Pacific Island
Countries. CGPRT Center Works Towards Enhanching
Sustainable Agriculure and Reducing Poverty in Asia and
The Pacific.
Simbolon, Reobert. 1998. Manajemen Pelayanan Publik. Jakarta:
Rajawali. Jakarta.
Simon, Harbert. 1984. Administrative Behavior: Perilaku
Administrasi, Suatu Studi Tentang Proses Pen gambilan
Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Terjemahan St.
Dianjung. Jakarta: Bina Aksara.
Siregar, Hermanto. 2005. “Penyediaan dan Pembiayaan
Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat.
Sjahrir. 1986. Pelayanan dan Jasa-jasa Publik, Telaah Ekonomi serta
Implikasi Sosial Politik. Jakarta: LPE3S.
Skelcher, Chris, 1992. Managing For Service Quality. London:
Longman.
152 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Storper, William. 1992. Industrial Management. New York: Mc Graw
Hill.
Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basics of Qualitative
Research: Grounded Theory Procedures and Techniques.
California: Sage Publications.
Sudarsono, Hardjosoekarto. 1994. Beberapa Perspektif Pelayanan
Prima, Bisnis dan Birokrasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sugiyono. 1993. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfa
beta.
Suhadjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan pangan
Rumahtangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Ketahanan Pangan Rumahtangga. Kerjasama Departemen
Pertanian dengan UNICEF. Yogyakarta, 26-30 Mei.
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta:
Sinar Grafika.
Supriatna, Tjahya. 1997. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan
Publik. Jakarta: Nimas Multima.
Suradinata, Ermaya. 1997. Manajemen Pemerintahan dan
Otonomi Daerah. Bandung: Ramadan.
Suryana, A 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pember-
dayaan Masyarakat untuk Mencapal Ketahanan Pangan
dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, Jakarta,
29 Maret.
Susilowati, S.H. 2003. Dinamika Daya Saing Lada. Jumal Agro
Ekonomi Vol. 21 No. 2.0ktober 2003. Bogor: Puslilbang
Sosial Ekonomi Pertanian.
Syarif. 1990. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara Dalam
Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Ramadhan.
153DAFTAR PUSTAKA
Tambunan, Tulus. 2006. “Kondisi Infrastruktur di Indonesia”, April,
Jakarta: Kadin Indonesia
Thoha, Miftah. 1994. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada.
Thomas R. Dye, “Understanding Public Policy“, New Jersey:
Prentice Hall International Inc, 1987.
Thompson, Jhon L. 1993. Strategic Management: Awareness and
Changes, 2nd Edition. New York: Chapman & Hall.
Van Meter, D.S., dan C.E. Van Horn. 1978. ”The Policy Implemen-
tation Process: A Conceptual Framework”, Administration
and Society, Vol. 6, No. 4, Sage Publications Inc.
Wahab, Solichin A. 2002. Analisis Kebijaksanaan. Dari formulasi ke
implementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara. Jakarta.
Warwick, Donal P. 1975. A Theory of Public Bureaucracy:
Massachusetts: Harvard University Press.
Weber, Max. 1997. The Theory of Economics and Social
Organization. New York: The Free Press.
Weihrich, Heinz & Koontz, Harold, 1994. Introduction to Public
Management: A Global Perspective, Tenth edition, McGraw
Hill International Edition.
Wibawa Samudera. 1994. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta:
Rajawali Press.
William N Dunn. 1987.Public Policy Analysis: An Introduction. New
Jersey : Prentice Hall International Inc, 1987.
Winoto, Joyo. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam
Menggerakan Sektor Riil, makalah dalam Sidang Pleno ISEI
XI, 22-23 Maret, Jakarta.
Zeithaml, V.A. 1990. Delivering Quality Service, Balancing Customer
Perceptions and Expectations. New York: The Free Press.
154 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Hasil Penelitian
Abdullah, Awan Yuswanda. 2008. Implementasi Kebijakan Penataan
Organisasi Perangkat Daerah dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus pada Dinas Kesehatan
Kabupaten Bandung). Bandung: Pasacasarjana Unpad.
Fauzi, Teddy Hikmat. 2007. Pengaruh Karakteristik Lingkungan
Eksternal dan Karakteristik Lingkungan Internal terhadap
Efektivitas Pelaksanaan Strategi Usaha (Studi Kasus pada
Bank BNI 1946 wilayah 04 Jawa Barat). Bandung: Pasca-
sarjana Unpad.
Pasha, Rachman. 2005. Pengaruh Faktor-Faktor yang Mem-
pengaruhi Pelaksanaan Penerapan Good Corporate
Governance (Studi Kasus pada Bank Rakyat Indonesia).
Jakarta: Pascasarjana Universitas Satyagama.
Sumaryadi, Nyoman. 2005. Peranan Pemberdayaan Birokrasi
Pemerintahan dalam meningkatkan efektivitas implemen-
tasi kebijakan otonomi daerah (Studi di Propinsi DKI
Jakarta). Bandung: Pascasarjana Unpad.
Dokumen-dokumen
Badan Pusat Statistik Jawa Ba rat, Tahun 2003-2007.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daera h;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional;
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
155DAFTAR PUSTAKA
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; ASEAN
Vision 2020; ASEAN Arrangement for SMEs
Report of the ASEAN Small and Medium Enterprises Agencies
Working Group
Keputusan Presiden RI Nomor 99 Tahun 1998 tentang
Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil
dan Bidang Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha
Menengah atau Usaha Besar dengan Syarat Kemitraan
Keppres Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Ratifikasi Pemerintah
RI terhadap skema CEPT dalam kerangka AFTA.
Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/ 2003/01 tentang
Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh
Daerah;
Keputusan Menkeu RI No. 392/KMK.01/2003 tentang Penetapan
Bea Masuk Atas Impor Ba rang dalam Rangka Skema CEPT
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri.<
156 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
agregasi, 44Aagresif, 87Abidin, 47Agribisnis, 62, 63, 64, 65, 71, 74Abimanyu, 51agrobisnis, 7, 8, 9, 72, 117accomplishment, 16, 17agroindustri, 7, 8, 9adat, 130akselerasi, 63adil, 54akselerator, 64administrasi, 5, 11, 12, 15, 19, akses pasar, 49, 52, 7521, 32, 55, 56, 57aktor, 20, 24, 134administrasi publik, 32, 57akumulatif, 93administratif, 5, 57, 108alami, 33, 85, 86administrator, 26alih teknologi, 49AEM, 3, 4alternatif, 63afektif, 33AMAF, 4AFTA, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, Amang, 5223, 44, 48, 50, 56, 57, 58, ambisius, 5059, 87, 88, 89, 90, 91, 92, analisis, 13, 15, 28, 44, 55, 56, 93, 94, 95, 97, 98, 99,
59, 112100, 102, 103, 104, 105, Anderson, 56, 57106, 107, 108, 110, 111, anggaran, 95, 108, 109117, 119, 120, 121, 122, anjuran, 55, 56123, 124, 125, 126, 127, Anugerah, 48128, 129, 139
157I N D E K S
Indeks
APBD, 122 birokrasi, 22, 23, 32, 41, 42, 43,
APEC, 48, 131, 132 44, 59, 95, 96, 122, 124,
argumen, 47, 55, 56 125, 126, 127, 128, 129
ASEAN, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12, bisnis, 8, 74, 76, 77, 87, 92, 126,
56, 57, 84, 90, 91, 92, 97, 131
98, 105, 128, 132, 135 Bogor, 79, 80, 81, 110, 131, 132
ASEAN Vision, 132 Bottom-up, 17
Asia Tenggara, 2, 5, 7, 9, 56, 57, Brunei, 3, 4
98, 100, 106, 117, 118, budaya, 36, 76, 92
124, 128, 129 Budiono, 49
Asisten Daerah, 100 Bukit Barisan, 62
aspek regional, 6 Buncis, 80, 82
asumsi, 22, 29, 125
autarky, 46
authority, 107 CAyat, 6 Cabe, 81
CEPT, 2, 3, 4, 5, 10, 58
Chacholiades, 45
B Chaves, 46
badan, 6, 25, 26, 30, 36, 127 China, 70
Badan Litbangda, 96 Ciamis, 67, 78, 79, 80, 106, 110
badan pelaksana, 25, 26, 30 Cianjur, 78, 79, 80, 81
badan usaha, 6, 127 Cikarang-Bekasi, 104
bahan baku, 9, 37, 46, 66, 73, 86 Cilembu, 131
bahan kimia, 4 Cirebon, 70, 78, 81, 105, 110
Bali, 62 compensating policy, 48, 49
Bandung, 67, 69, 78, 79, 80, 81, competing, 14
106, 110 consensus, 20
Banjar, 79, 106 Cooper, 18
Banten, 61
bawang putih, 10, 81, 82
bayam, 80, 82 DBea Masuk, 58 daerah, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 41, 58,
Bekasi, 78, 79, 80, 104, 105, 110 61, 62, 73, 78, 84, 87, 90,
Bennet, 56, 57 91, 96, 98, 101, 102, 104,
Biro pelaksana koordinasi, 100 105, 107, 109, 110, 117,
158 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
124, 126, 127, 129, 130, 102, 103, 104, 107, 108,
131, 132, 133, 134, 135, 109, 110, 111, 118, 120,
136, 137, 138, 139 122, 125, 126, 127, 128
dasar hukum, 7 Dinas Perdagangan, 90, 110
dedikasi, 38 diplomasi, 7, 129, 134, 135
defisit, 49 direktorat jenderal, 92
Deklarasi Bogor, 131, 132 disiplin, 55, 101
dengan luar negeri, 5, 7, 129, diskriminatif, 38
130, 135, 139 disposisi, 40, 43, 44, 59, 103,
Departemen Dalam Negeri, 117, 122, 123
137, 138 Disposisi, 40, 117
Departemen Luar Negeri, 5, 6, distorsi, 50, 93, 95, 96
84, 91, 111, 137, 138, distribusi, 9, 37, 47, 52, 53, 68,
139 73, 75, 76, 87, 110
Departemen Perdagangan domestik, 8, 45, 46, 51, 53, 64,
Republik Indonesia, 90 77
Depok, 79 DPRD, 124, 137
deregulasi, 47, 52 Dunn, 55, 56
determinan, 46
development policy, 48, 49Edevisa, 8, 48Edward III, 32, 33, 37, 40, 41, 42, Dewan Perwakilan Rakyat, 90,
44, 59, 100137efektif, 5, 18, 19, 22, 26, 28, 37, diklat, 102
39, 40, 56, 73, 75, 76, 87, dimensi administrasi, 1195, 116dimensi politis, 11
efektivitas, 26, 47, 59, 64dinamis, 55, 85, 128efisiensi, 28, 42, 47, 49, 50, 54, Dinas, 10, 63, 64, 88, 90, 91, 94,
64, 77, 84, 8695, 96, 97, 98, 99, 100, Ekonomi, 3, 4, 6, 7, 72101, 102, 103, 104, 105, ekonomi makro, 108107, 108, 109, 110, 111, eksekusi, 16, 17, 21, 23118, 119, 120, 121, 122, eksekutif, 57, 58, 90, 122, 127123, 124, 125, 126, 127ekspor, 8, 46, 47, 48, 51, 52, 54, Dinas Industri dan Perdagang-
64, 68, 69 ,70, 73, 75 ,76, an, 63, 64, 88, 91, 94, 95, 77, 86, 106, 110, 12396, 97, 98, 99, 100, 101,
159I N D E K S
elaborasi, 129 Gedung Sate, 95, 122
elastisitas, 83 General exception list, 10
elite, 14 geografis, 62, 131
empati, 38 global, 1, 45, 48, 55, 66, 72, 73,
entrepreneurship, 87 77, 85, 86, 89, 116, 130
Erwidodo, 48, 51 globalisasi, 45, 95, 116
etnis, 98 Grindle, 14, 16, 23,24
etos kerja, 86 Gubernur, 8, 58, 91, 104, 105,
evaluasi, 17, 23, 35, 55, 56, 71, 135, 136, 137
88, 122 Gudang, 71
Gula, 10, 98
Gunn, 18, 24, 25, 26, 27, 29, 30,
31Ffaktor, 8, 15, 24, 29, 32, 33, 35,
37, 40, 41, 42, 43, 48, 51,
H53, 54, 75, 76, 77, 83, 84,
85, 89, 91, 95, 96, 98, 99, HACCP, 66
100, 117, 123, 127, 128, Hadi, 47
129, 130 hak, 107, 109, 130, 131, 136
Fast Track, 2 Hak Properti Intelektual, 50
Filipina, 3, 4, 10 HAKI, 9
first track diplomacy, 7 Hambatan, 2, 5, 26, 35
Fliegel, 34 hambatan politis, 26
fluktuasi, 83, 113 harga, 46, 47, 49, 50, 51, 53, 54,
formulasi, 55, 56, 57 63, 68, 69, 83, 84, 86,
fragmatis, 107 112, 113, 115
Fragmentasi, 43, 126, 127 harmonisasi, 56
Harpowo, 33
hijau, 78G Hogwood, 18, 24, 25, 26, 27, 29, gagal, 26, 29 30, 31gagasan, 38 Holding Company, 77gap, 10,, 22 honorarium, 41Garut, 78, 79, 80, 81, 106 Hood, 19GATT, 48, 50, 51 Hoogerwerf, 31, 55GDN, 104 Howlet, 13
160 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
HPS, 69 Impor, 58, 69
hubungan, 5, 6, 7, 11, 15, 17, 23, Inclusion list, 10
28, 29, 30, 32, 39, 59, 74, India, 131, 132
90, 91, 129, 130, 133, indikator, 84
136, 138 Indonesia, 1, 2, 5, 6, 7, 10, 11,
Hubungan, 6, 7, 8, 14, 17, 25, 12, 15, 44, 45, 47, 49, 50,
30, 58, 135, 136, 137, 51, 52, 57, 61, 64, 70, 84,
139 85, 86, 90, 91, 112, 129
hubungan kausal, 28, 29 Indramayu, 70, 78, 79, 80, 105
hubungan kausalitas, 25, 30 Indrawati, 50, 51
hubungan luar negeri, 5, 6, 7, industri, 15, 49, 52, 62, 64, 65,
11, 133, 136, 138 66, 67, 69, 71, 73, 74, 75,
hukum, 6, 7, 130, 133, 136 76, 77, 85, 86, 95, 96,
117, 123
informal, 7
informan, 94, 108, 19, 120, 127Iinformasi, 9, 28, 29, 33, 34, 35, Ibrahim, 33, 34, 35
39, 55, 63, 69, 71, 72, 73, IKM, 66, 75
75, 83, 84, 89, 91, 92, 93, IMA, 66, 67, 68
95, 97, 99, 100, 102, 103, imajinasi, 38
105, 107, 111, 115, 116, immediate inclusion, 4
119, 123, 129, 132Implementasi, 2, 11, 13, 14, 17,
inovasi, 9, 38, 7619, 20, 21, 22, 30, 32, 39,
Insentif, 4157, 59, 98
insinyur, 86Implementasi kebijakan, 13,
instansi, 5, 30, 88, 90, 92, 101, 14, 19, 30, 32, 39, 98
119, 121, 122, 126implementasi liberalisasi, 53
institusi, 24, 74, 88, 97, 111, 128implementator, 16, 19, 20, 34,
Institusional, 5938, 39, 40, 41, 105
institutional arrangement, 44, implementator kebijakan, 34,
5938, 40, 41
intervensi, 46implementor, 17, 21, 58, 88, 89,
inventif, 8791, 92, 96, 98, 100, 101,
investasi, 1, 49, 50, 52, 66, 72, 103, 104, 106, 108, 118,
73, 85119, 120, 121, 122
investor, 85, 104, 119impor, 5, 52, 69, 73, 110
161I N D E K S
isu, 76, 94, 95, 104, 124, 125, Kanyasa, 48
127 kapital, 37, 53
Karawang, 78, 79, 80, 105
Kawasan Industri, 104
Kawasan perdagangan, 2, 76, J104jabatan, 121, 125
kebijakan, 5, 9, 11, 13, 14, 15, jagung, 78, 82
16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, Jakarta, 69, 91, 113, 114
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, jaringan, 38, 65, 67, 71, 73, 75,
30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 77, 87, 123, 132
38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, jasa, 1, 7, 46, 53, 54, 62, 68, 73,
45, 47, 48, 49, 52, 55, 56, 74, 84, 98
57, 58, 59, 69, 90, 91, 92, Jawa Barat, 7, 8, 9, 10, 11, 58, 59,
93, 94, 95, 97, 98, 99, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 69,
100, 101, 102, 103, 104, 70, 71, 72, 73, 78, 79, 80,
105, 106, 107, 110, 111, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88,
117, 118, 119, 120, 121, 89, 91, 93, 94, 95, 96, 97,
122, 123, 125, 126, 127, 98, 99, 100, 101, 103,
128, 129, 133, 135, 138, 104, 105, 107, 108, 109,
110, 111, 112, 113, 114, 139
115, 117, 118, 119, 120, Kebijakan, 13, 19, 25, 28, 29, 39,
121, 122, 123, 124, 125, 48, 52, 55, 57, 58, 83, 90,
126, 127, 128, 129, 130, 104, 110
131, 132, 133, 135, 139 kebijakan harga, 49
Jawa Tengah, 62 kebijakan internal, 45
Jepang, 53 kebijakan proteksi, 52
Jones, 55 kebijakan publik, 11, 14, 23, 24,
25, 31, 32, 39, 56, 57, 58,
135
K kebijakan regional, 56, 57
kebijakan subsidi, 49Kabupaten, 12, 78, 79, 80, 110,
Keju, 67131, 137
Kembang kol, 82kacang, 78, 79
kemiskinan, 53Kadin, 7, 96
kendala, 9, 25, 26, 45, 46, 47, 48, KADINDA, 10, 89
91, 97kangkung, 79
162 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Kentang, 82 95, 99, 102, 103, 120,
Kepala Biro, 108, 122 121, 122
kepala daerah, 101 Komoditi, 71, 112
Kepala Daerah, 91, 95, 108, 137, komparatif, 8, 66, 72, 85, 86
138, 139 kompetensi, 41, 133, 135
kepentingan, 9, 20, 22, 24, 45, kompetitif, 41, 49, 50, 66, 72,
53, 54, 56, 57, 92, 98, 99, 77, 85, 86
105, 115, 121 kompleks, 30
kepercayaan, 17 komprehensif, 43, 119, 125,
Keppress, 58 129, 131
keputusan, 6, 13, 35, 40, 42, 46, komunal, 130
50, 89, 90, 92, 126, 127, Komunikasi, 8, 25 33, 35
129 komunikator, 34, 35, 36, 37
Keputusan Gubernur, 8, 58, kondusif, 9, 72, 76, 122, 127
104, 105, 135 Konferensi, 1
Keputusan Menkeu, 58 konsekwensi, 45, 58
Keputusan Menlu, 8, 58 konsensus, 99
kerjasama, 1, 6, 7, 12, 45, 50, 71, konsistensi, 33
105, 129, 130, 133, 135, konsumen, 40, 50, 68, 74, 76,
136, 138, 139 78, 84, 116
Keterbukaan pasar, 47 konteks, 10, 11, 23, 85, 93, 131
ketimun, 79 kontemporer, 116
keuangan, 7, 9, 122 kontrak, 116, 136
kewenangan, 25, 39, 103, 107, konvensional, 116
108, 110, 122, 126, 136, koordinasi, 7, 19, 25, 41, 43, 62,
137, 138 65, 100, 120, 137, 138,
Kindleberger, 46 139
kinerja, 37, 40, 41, 43, 84, 88, koordinatif, 91
128 kota, 53
klausul, 51 Kota, 12, 58, 67, 70, 72, 79, 80,
koalisi, 22 106, 110, 113, 132, 137
kognitif, 33 kreatifitas, 38
komitmen, 2, 15, 18, 31, 32, 48, krusial, 32
54, 76 KTT, 1, 90
Komoditas, 3, 10, 11, 111 Kubis, 82
komoditas agro, 45, 70, 78, 94, KUD, 89
163I N D E K S
Kuningan, 70, 78, 80, 81, 105, M110 Majalengka, 78, 79, 80, 81, 105
makro ekonomi, 9
manajer, 86L manajerial, 9, 13Labu siam, 82 manufaktur, 2, 10, 53, 62, 66, 86Lane, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22 manusia, 8, 9, 37, 40, 54, 73, 96, Legislatif, 57, 122 100, 101, 102, 103, 116, lembaga, 6, 7, 30, 96, 100, 106, 125, 130
119, 124, 126, 127, 138 Margin of Preference, 5lembaga negara, 6 Masalah, 15, 34, 35liberalisasi, 1, 45, 46, 47, 48, 49, Masyarakat, 92, 116
50, 51, 52, 53, 92, 132 mata rantai, 25, 30liberalisasi perdagangan, 1, 45, Mazmanian, 19, 22, 23
47, 49, 50, 51, 52, 53, Medan, 70132 media massa, 102
Lindert, 46 mekanisme, 46, 50, 105, 106, lingkungan hidup, 53, 116 109, 113, 129lintas kultur, 36 merk, 76lisensi, 52 mesin, 4, 37, 67lobak, 81 MFN, 132logistik, 9 mikro, 13, 54loyalitas, 116 Misi, 64, 73LSM, 6, 134 mismanajemen, 9luar negeri, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 46, monopoli, 50
64, 68, 69, 70, 77, 85, 87, Montesquieu, 5790, 92, 102, 104, 105, MOP, 5117, 129, 130, 131, 133, morfologi, 62135, 136, 138, 139 motivasi, 41, 86
Luar Negeri, 5, 6, 7, 8, 58, 68, 69, MSTQ, 984, 87, 91, 105, 111, 118, mutasi, 97, 102, 121, 122133, 135, 136, 137, 138, mutu, 9, 66, 69, 70, 76, 87139 mutually benefited, 46
164 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Pangestu, 48Nparpol, 98nasional, 5, 6, 7, 10, 15, 45, 47, partisipasi, 45, 4650, 54, 57, 58, 62, 69, 77, Pasal, 684, 86, 90, 92, 104, 116, pasar, 1, 8, 9, 45, 46, 47, 48, 49, 117, 129, 138
50, 52, 53, 54, 55, 63, 64, Nasional, 5, 8, 58, 10466, 68, 69, 70, 75, 76, 77, negatif, 47, 51, 53, 92, 12183, 84, 85, 86, 87, 88, 89, netto, 5199, 102, 105, 106, 107, networking, 9, 38112, 113, 114, 115, 116, nontarif, 45, 47, 48, 52121, 125, 132Normal Track, 2
pasar bebas, 99, 105, 106, 107, Nusa Tenggara, 62121, 125
pasar domestik, 8, 45, 46, 53,
64Opasar internasional, 1, 45, 46,
observasi, 94, 106, 113, 12547, 54, 77
oligarki, 98Paul A. Sabatier, 13, 122
Opak, 67, 68PDRB, 73, 75
opini, 108pejabat, 17, 42, 91, 107, 127
optimal, 27, 28, 36, 65, 115pekerja, 86
Organisasi, 134pelaku pasar, 84, 89, 102
organisasi masyarakat, 6pelayanan, 9, 38, 40, 59, 106,
organisasional, 23, 40, 43116, 118, 119, 128, 129,
otonomi, 5, 12, 84, 90, 130133
otonomi daerah, 5, 12, 84, 90, pelayanan publik, 38, 59, 119,
130129, 133
otoritas, 19, 43, 110pemasaran, 9, 64, 68, 74, 78, 83,
otoriter, 2384, 98, 114, 116
outcome, 14, 16, 17, 19, 21, 22pembentukan, 1, 48, 57, 90,
104, 133
pembuat kebijakan, 21, 26, 29, P117, 118
Padi, 82pemerintah, 5, 6, 7, 13, 33, 37,
pajak, 5147, 48, 49, 51, 52, 54, 57,
panen, 81, 83, 11362, 74, 86, 87, 90, 91, 96,
165I N D E K S
97, 98, 99, 101, 103, 109, 102, 105, 106, 107, 108,
110, 124, 127, 133, 134 111, 115, 117, 118, 119,
pemerintah daerah, 5, 87, 90, 120, 121, 123, 124, 125,
91, 96, 98, 101, 103, 109, 127, 128, 129
110, 124, 127, 133 Pertanian, 4, 10, 11, 89, 99, 108,
Pemerintah Daerah, 6, 58, 91, 119, 120, 121
108, 124, 133, 136, 137 perubahan, 18, 20, 21, 23, 42,
pemerintah pusat, 97, 134 57, 74, 94, 122, 125, 126,
penetrasi, 97 128, 136
penilaian, 55, 56 perumusan kebijakan, 18, 19,
peralatan, 37 20
peraturan, 6, 11, 22, 51, 103, perundang-undangan, 6, 50
105, 135 perwakilan, 5, 138
percaya diri, 34 pesan, 34, 35, 36, 88, 89, 92, 93,
Perda, 58, 91 95, 97
perdagangan bebas, 2, 7, 8, 9, petani, 9, 49, 53, 59, 63, 81, 89,
32, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 92, 93, 94, 98, 99, 103,
97, 98, 99, 100, 102, 104, 105, 107, 112, 113, 14,
111, 117, 118, 119, 120, 115, 121, 129
124, 128, 129 pionir, 13
perdagangan dunia, 47, 132 plastik, 4
perilaku, 23, 33, 40, 107, 119, policy achievement, 17
123 policy level, 24
perindustrian, 64, 71, 72 policy maker, 21
perintah, 40, 90, 92, 107, 108, politik, 6, 7, 14, 15, 16, 18, 21,
110 87, 94, 98, 108, 109, 126,
perjanjian, 48 128, 133
Permasalahan, 11, 63 politis, 11, 86, 109, 134
Perpu, 58 Porter, 54
persepsi, 89, 93, 94, 96, 97, 125 potensi daerah, 6, 8, 117, 130,
personalia, 40 133
perspektif, 12, 19, 21 PPED, 70
pertanian, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 11, PPKA, 111, 112
48, 49, 50, 51, 53, 59, 62, presiden, 90
64, 73, 74, 77, 83, 87, 85, primer, 72, 74, 86
86, 88, 89, 96, 97, 100, PRJ, 69
166 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Problem, 11, 38 regulasi, 64, 72, 73
produksi, 9, 37, 46, 47, 49, 50, Rencana Kerja, 109
53, 54, 63, 65, 66, 67, 71, rent seeking, 49
75, 78, 79, 83, 84, 86, 87, Resi, 71
89, 105, 113, 119 responsibility, 17
program, 13, 14, 15, 16, 18, 20, revitalisasi, 73, 75
21, 22, 24, 25, 27, 32, 56, revolusi, 46
64, 71, 108, 109, 118, rezim, 46
135, 137 5,6, 8, 58, 91, 118,
promotif, 48 Riau, 69
proposal, 109, 122 riil, 9, 54
prosedur, 5, 42, 52, 129, 135, RJPM, 75
136 rumusan kebijakan, 13, 18
proses implementasi, 5, 13, 17,
18, 20, 21, 23, 31, 41, 43
proteksi, 10, 47, 50, 52, 86, 121 Sprotektif, 48 Sabatier, 13, 14, 19, 22, 23
Pulau Jawa, 61, 62 saintis, 86
Purwakarta, 78, 79, 80, 81, 110 sanksi, 57
pusat, 5, 6, 7, 41, 49, 58, 67, 71, Santoso, 28
95, 101, 117, 118, 122, sasaran, 13, 15, 18, 22, 23, 31,
123, 134 32, 43, 50, 55, 56, 58, 88,
Putaran Uruguay, 48, 50 116
Sawi, 80
Sawit, 52
R Schermerhorn, 33, 35
Ramesh, 13 SDM, 85, 86, 99, 101, 109
ratifikasi, 48, 50, 58, 90 second track diplomacy, 7
realistik, 94 Sekda, 108
realistis, 29 Sekretariat Nasional, 5
realokasi, 75, 76 selektif, 40, 96, 97
reformasi, 5, 52 semantik, 35
reformulasi, 20 sembrono, 29
regim, 24, 94 sempurna, 19, 22, 24, 25, 30, 94
regional, 1, 6, 12, 45, 56, 57, 72, Sensitive list, 10
74, 75, 77 sentralistik, 23
167I N D E K S
Sertifikasi, 63, 76 43, 44, 59, 124, 125, 126,
Simanjuntak, 37 127, 128, 129
simbolisme, 21 struktur organisasi, 15, 18, 87,
sinergi, 6 124, 126, 128
sinergitas, 65 Subang, 70, 78
Singapura, 10, 71, 90, 132 Sub-Dinas, 94, 124
sinkronisasi, 56, 62, 138 Sudiyono, 33
sistem, 15, 41, 46, 52, 55, 63, 64, Sulawesi, 62
66, 68, 71, 72, 73, 74, 75, Sumatera, 62
76, 77, 83, 87, 90, 98, sumber daya manusia, 8, 9, 40,
104, 13, 114, 115, 116, 54, 100, 101, 102, 103,
123, 129, 133 116, 135
SITU, 127 Sumedang, 67, 78, 79, 80, 81,
skala, 1, 46, 87, 129 131
skill, 20, 100, 116 Sunggono, 31
SNI, 70 Supply Chain Management, 76
solid, 87 surplus,49
SOP, 41, 42, 43, 124, 125, 126, survey, 114, 115
127 Suryana, 48
sosial, 15, 87, 98, 116, 128, 134 Susilowati, 46
Sosialisasi, 69, 70, 89 Swanson, 34
SOTK, 91, 120, 124, 126 swasta, 13, 39, 87, 14, 134
spesialisasi, 46, 102 syarat dasar, 23
stabil, 37, 39
standar, 9, 23, 51, 66, 99, 108,
125 Tstandar mutu, 9, 66 tanah, 37, 78, 81, 130, 131
strategi, 24, 44, 59, 114, 134 tanggungjawab, 17, 18, 43, 136
strategis, 37, 41, 62, 128, 134 tarif, 2, 3, 5, 10, 45, 47, 48, 52
struktur, 15, 18, 19, 20, 32, 41, Tasikmalaya, 67, 78, 79, 80, 81,
42, 43, 44, 51, 54, 57, 59, 106
65, 67, 74, 75, 87, 90, 91, Tebu, 98
92, 95, 98, 100, 101, 102, teknologi, 9, 20, 22, 39, 46, 49,
104, 124, 125, 126, 127, 51, 54, 66, 73, 74, 76, 85,
128, 133 86, 132
struktur birokrasi, 32, 41, 42, teknologi program, 20
168 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
telekomunikasi, 46 urbanisasi, 53
tembusan, 91 Uruguay, 48, 50
Temporary exclusion list, 10
tengkulak, 98
teori kausalitas, 25 Vteori liberalisasi, 53 Van Horn, 18
terobosan, 5, 6 Van Meter, 18
terong, 79 variabilitas, 8
Thailand, 3, 4, 10, 132 Visi, 64
timpang, 53 vulkanis, 62
Tomat, 80, 82
top-down, 14, 19, 23, 58
Top-down, 17, 22 Wtransaksi, 63, 68, 84, 112, 113, Wahab, 25, 26, 29
114, 115, 116 warganegara, 17transformasi, 55, 93 wawancara, 84, 89, 91, 94, 103, transmisi, 33, 88, 93, 100 105, 118, 121, 127, 129Transmisi, 93 Wibawa, 22transparan, 87, 112 Wildavsky, 30transportasi, 9, 46, 73, 74, 83 WIPO, 130, 132trial and error, 9 WTO, 48, 50, 130, 132TRIPs, 130, 131
trust, 17
trust side, 17 Ytujuan, 7, 12, 13, 16, 17, 18, 19, Yogyakarta, 70
20, 21, 22, 23, 25, 27, 28, Yudikatif, 57
31, 32, 38, 40, 49, 51, 54,
55, 56, 77, 89, 95, 118,
119, 136 Zzona ekonomi, 104
Uubi jalar, 67, 69
Undang-Undang, 7, 8, 58, 90
unilateral, 45
upah, 54, 86
169I N D E K S
170 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Obsatar Sinaga adalah dosen Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Lahir di
Deli Serdang 17 April 1969. Setelah menamatkan sekolah menengah di SMA
Negeri 8 Bandung, melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjajaran dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional dan meraih
gelar sarjana ilmu politik (S.IP). Setamat S-1, melanjutkan studi ke jenjang strata 2
(S-2) dengan mengambil Administrasi Publik dan S-3 pada Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran. Berhasil memperoleh gelar Magister Sains (M.Si), serta
gelar Doktor (Dr) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Program Pascasarjana Unpad.
Riwayat pekerjaan pria yang akrab disapa Obi ini antara lain: Wartawan HU
Mandala, Kepala Wartawan HU Bandung Pos, Pemimpin Perusahaan HU
Bandung Pos, Branch Manager Maranu International Finance, Staf Ahli Walikota
Kota Bandung, Staf Ahli Bupati Kabupaten Tabanan Bali.
Sejak studi, dikenal sebagai penulis artikel/kolumnis yang produktif, tajam
namun kadang menggelitik secara cerdas di beberapa media massa dalam dan
luar negeri. Ia semakin dikenal dan diminati luas karena sering tampil sebagai
nara sumber dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi dan pertemuan ilmiah.
Selain itu, Obi aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mulai organisasi
kepemudaan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi dalam bidang
olahraga. Beberapa jabatan strategis yang pernah dan sedang dijalaninya antara
lain: Ketua KNPI Kota Bandung, Ketua Pemuda Panca Marga Bandung, Wakil
Sekretaris Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Sekretaris Patriot Panca Marga
Jawa Barat, Sekjen Persatuan Golf Indonesia (PGI) Jawa Barat, Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) KONI Jawa Barat, Wakil Ketua Umum Pengda PSSI
Jawa Barat, Wakil Ketua Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Wakil Ketua Depidar
SOKSI Jawa Barat dan Sekjen Ormas MKGR Jawa Barat. Sekarang menjabat Ketua
1 Koni Jabar.<
Riwayat Singkat Penulis
ISBN: 978-602-9015-01-0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .