O Berita ikoumene - pgi.or.id · PDF fileTema Bertolong-tolonganlah dalam ... Panggilan...

52
Keugaharian: Cukup dan Berbagi untuk Keberlanjutan Kehidupan Berita O ikoumene untuk keesaan dan kebangsaan Februari 2016

Transcript of O Berita ikoumene - pgi.or.id · PDF fileTema Bertolong-tolonganlah dalam ... Panggilan...

Keugaharian: Cukup dan Berbagi untuk Keberlanjutan Kehidupan

Berita

Oikoumeneuntuk keesaan dan kebangsaan

Februari 2016

KONSULTASI NASIONALGEREJA DAN PENDIDIKANKRISTEN DI INDONESIATAHUN 2016

TemaBertolong-tolonganlah dalammenanggung bebanmu untukmembangung bangsa dengankasih Kristus

Sub TemaDengan Semangat KebangkitanNasional, Gereja Meningkatkan

Peran Pendidikan Kristen dalamMewujudkan Generasi

Emas Indonesia

Diselenggarakan bersama olehMajelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK)

dan Lembaga-lembaga Gereja Nasional(PGI, PGLII, PGPI, PGTI,

Bala Keselamatan, GMAHK, PBI)Dengan tuan dan nyonya rumah

Majelis Pendidikan Kristen Wilayah Jawa Timurdidukung oleh

Gereja-gereja dan Lembaga Kristen di Jawa Timur

Surabaya19 - 21 Mei 2016

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 1

Sidang MPL- PGI 2015 di Malinau dan Sidang MPL-PGI 2016 di Parapat, sama-sama mengangkat Spiritualitas Keugaharian sebagai bahan diskusi. Di Malinau, diskusi lebih ditekankan

pada aspek perilaku hidup keseharian warga gereja, sedangkan di Parapat, aspek lingkungan hidup, kebhinnekaan dan solidaritas sosial.

Istilah Spiritualitas Keugaharian mungkin masih asing di telinga kita. Nah, untuk itu, Majalah Berita Oikoumene Edisi Februari 2016 secara khusus mengulas Spiritualitas Keugaharian dalam Laporan Utama.

Selain tentang Spiritualitas Keugaharian, Redaksi juga telah me-nyiapkan beberapa berita dan artikel menarik yang akan mem-perkaya wawasan Anda, diantaranya, laporan kegiatan Sidang MPL-PGI Tahun 2016 di Parapat, perayaan Jubileum 100 Tahun Injil masuk Sulawesi Tenggara, pemberangkatan Paket Cinta Pustaka Gereja: PGI-BPK Gunung Mulia, dan peringatan HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua ke-161, serta banyak lagi.

Ada juga sejumlah artikel menarik yaitu Jejak-jejak Ottow- Geissler di Papua yang ditulis oleh Pdt. Dr. Karel Phil Erari, Keugaharian: Diantara Hikmat dan Intelektualitas, Temuan Survei PTPB: Belum Dikenal Luas Namun Peduli Kemiskinan dan Kebhinnekaan, dll.

Akhir kata, redaksi mengucapkan selamat membaca.

Redaksi.

Penasihat:Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang(Ketua Umum PGI)

Pdt. Gomar Gultom, MTh(Sekretaris Umum PGI)

Pemimpin Umum/Penanggung Jawab:Pdt. Krise Anki Rotti-Gosal

Pemimpin Redaksi:Jeirry Sumampow

Wakil Pemimpin Redaksi:Irma Simanjuntak

Redaktur Pelaksana:Markus Saragih

Sekretaris Redaksi/Keuangan:Ardina Sirait

Editor:Rainy Hutabarat

Dewan Redaksi:

Pdt. Krise Anki Rotti-Gosal, Jeirry Sumampow, Irma Simanjuntak, Markus Saragih, Rainy Hutabarat,Sabar Subakti, Kris Hidayat, Trisno Sutanto

Kontributor Daerah:Aleksander MangotingJuri Nefosan Torek

Distribusi:Sumarno, Suhanda

Desain dan Tata Letak:NaHapKap

Susunan Redaksi Surat Redaksi

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 2

SaJian UTama

• Keugaharian: Cukup dan Berbagi untuk Keberlanjutan Kehidupan

LaPoRan KhUSUS

• Sidang MPL-PGI: Ancaman NIIS, Narkoba dan Keugaharian

KaJian

• PTPB: Belum Dikenal Luas Namun Peduli Kemiskinan dan Kebhinnekaan

inTERnaSionaL

• Amnesty International: Dunia Dilanda Krisis Pengungsi

• Gereja Pohon

REfLEKSi

• Jejak-jejak Ottow dan Geissler

YaKoma

• Siaran Televisi Terus Membodohi Pemirsa

• Meme dan Plesetan

VaRia

• PGI-BPK Gunung Mulia Luncurkan Paket Cinta Pustaka Gereja

• Perayaan Jubileum 100 Tahun Injil Masuk Sulawesi Tenggara

• Jangan Sebut Kota Injil, Bila Masih ada Orang Mabuk!

• Pemerintah Kabupaten/Kota Pelanggar Hak Atas KBB Tertinggi!

• Workshop Perlindungan Anak Gereja Toraja

oPini

• Dari Kemarau Sampai Hujan dan Akhirnya Memasuki Masa Panen

RESEnSi

• Merajut Kebhinnekaan Memaknai Indonesia

Daftar isi

3

14

23

39

44

47

36

34

28

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 3

Apakah yang dimaksud dengan Spiritualitas Ugahari? Spiritualitas Ugahari adalah kebijaksanaan hidup bahwa rahmat Tuhan cukup untuk semua ciptaanNya. Karena itu kita didorong mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam sikap kecukupan dan bersedia ber-bagi dengan orang lain agar semua ikut merayakan kehidupan.

Spiritualitas Ugahari mendorong kita untuk terus mengembangkan kualitas hidup dan pelayanan gereja dalam masyarakat Indonesia, sambil memelihara semangat berbagi dengan sesama tanpa me-mandang perbedaan identitas sosial, terutama dengan mereka yang paling lemah dalam kehidupan bersama, yakni kaum marjinal dan tertindas.

Keugaharian: Cukup dan Berbagi untuk Keberlanjutan Kehidupan

Spiritualitas Ugahari merupakan pokok bahasan dalam Sidang

MPL- PGI 2015 di Malinau. Diskusi di Malinau lebih di-tekankan pada aspek perilaku hidup keseharian warga gereja. Sidang MPL-PGI 2016 di Parapat, kembali mengang-katnya sebagai Pikiran Pokok. Dalam sidang ini spiritualitas ugahari ditekankan kepada aspek lingkungan hidup, kebhinnekaan dan solidaritas sosial.

sajian utama

Narasumber (ki - ka): Prof. Dr. Syafiq A. Mughny, Ulil Abshar Abdala, Pdt. Dr. Albertus Patty, dan Suryati Simanjuntak

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 4

Masyarakat Indonesia semakin intens hidup dalam kemajemukan. Keragaman telah menjadi ciri ke-luarga, jemaat, gereja/denominasi, agama-agama, dan masyarakat Indonesia. Kega-galan menyikapi keragaman secara baik akan mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan. Karena itu perlu ada kesediaan untuk terbuka dan meng-hargai perbedaan serta berdialog dan belajar dari perbedaan yang ada.

Keterbukaan untuk menghargai pendapat dan kemampuan ber-dialog itu perlu dikembangkan antar generasi, antar keluarga, antar jemaat, antar denominasi/gereja dan antar agama. Dalam semangat keugaharian dan kebhinnekaan, gereja-gereja di Indonesia dan bangsa ini perlu belajar menghindari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal, dalam penyelesa-ian perbedaan pendapat yang acap kali menyebabkan konflik.

Melihat realitas kehidupan sekarang ini, penerapan spiritualitas keugaha-rian menjadi hal yang tak terhindar-kan. Di berbagai sudut negeri ini selalu kita bertatap muka dengan kemiskinan, kekurangan gizi, kesen-jangan sosial, ketidakadilan, radikal-isme serta perusakan lingkungan yang berdampak pemiskinan. Semua ini terjadi lantaran kerakusan dan ketidakpedulian manusia terhadap sesamanya dan lingkungannya. Banyak orang yang rela mati,

merugikan serta mencelakai banyak orang hanya demi melampiaskan fanatisme yang dianutnya, gurita ketamakan terus meluas merusak

dan mencemari alam ciptaan Allah yang telah diciptakan dengan amat baik, tanpa pernah berpikir tentang kelang-sungan hidup di

kemudian hari.

Perusakan alam

Kerusakan Danau Toba adalah salah satu bentuk kerakusan manusia ter-hadap alam. Seperti dituturkan panelis Suryati Simanjuntak, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat, dalam diskusi panel Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI 2016, Parapat, Sumatra Utara, ada tujuh perusahaan besar yang saat ini ber-investasi di Kawasan Danau Toba, yaitu PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Gorga Duma Sari (GDS), PT Aquafarm Nusantara (AN), PT Suri Tani Pemuka, PT Alegrindo Nusantara, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lae Renun dan PLTA Asahan II, yang memberikan kontribusi bagi rusaknya ekosistem di Danau Toba. “PT TPL sebuah perusahaan penghasil pulp yang pabriknya berlokasi di Kecamatan Parmaksian, Toba Samosir. Sejak

1992, perusahaan ini telah mendapat izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 269.060 ha. Akibatnya hutan-hutan alam yang dulunya ada di Daerah Tangkapan Air (DTA) kini sudah banyak yang berubah men-jadi hutan eukaliptus. Selain itu PT Alegrindo Nusantara, perusahaan yang mengembangkan ternak babi di Tiga Runggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun ini, volume limbahnya, baik dalam bentuk padat maupun cair, mencapai 1200 ton, dibuang ke Sungai Silali melalui Desa Urung Pane dan akhirnya masuk ke Danau Toba,” ungkapnya.

Menurut Suryati, adalah fakta bahwa kehadiran para investor di Danau Toba kerap menimbulkan berbagai persoalan baru dan justru me-miskinkan masyarakat setempat.

Tidak sedikit yang akhirnya ter-gusur atau pindah ke tempat lain karena tanah mereka dirampas atas nama pembangunan dan investasi. Masyarakat yang sudah hidup secara turun-temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu terpaksa dan dipaksa kehilangan hak asal-usul, identi-tas, budaya dan sumber hidupnya.

Melihat realitas kehidupan sekarang ini, penerapan

spiritualitas keugaharian menjadi hal yang tak

terhindarkan.

sajian utama

Danau Toba, Parapat.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 5

“Butuh waktu dan biaya besar untuk membangun kembali kehidupan yang rusak akibat keserakahan segelintir orang yang mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan diri, kelompok dan golongannya. Kerap muncul wacana menyangkut kawasan Danau Toba untuk menjawab keprihatinan berbagai kalangan atas rusaknya ekosistim Danau Toba, namun ternyata tidak berujung pada lahirnya kebijakan lingkungan yang menyelesaikan persoalan. Malah sebaliknya, wacana-wacana itu hadir menjadi isu yang berkembang sehingga rusaknya ekosistim Danau Toba yang menjadi persoalan utama menjadi kabur,” tegasnya.

Keugaharian dan Kebhinnekaan

Keprihatinan yang sama juga muncul dalam kehidupan keberagaman kita. Salah satu akibat dari gagalnya memahami keragaman yaitu timbulnya aksi-aksi penolakan terhadap komunitas yang dianggap tidak sepaham dengan komunitas lain. Penutupan/pelarangan hingga pembakaran rumah ibadah pun terjadi. Demikian pula radikalisme dan terorisme. Kasus terakhir yaitu aksi bom bunuh diri di Sarinah, Jakarta. Panelis Pdt. Dr. Albertus Patty, Ketua PGI dan Prof. Dr. Syafiq A. Mughny, Ketua PP Muham-madiyah mengulas soal ini.

Menurut Pdt. Albertus Patty, be- berapa persoalan yang sering muncul dalam kebhinnekaan kita di Indonesia yaitu persoalan relasi agama dan negara, bangkitnya fundamentalisme, radikalisme dan terorisme atas nama agama yang merusak dalam masyarakat, konflik internal agama, proselitisme agama, dan terakhir spirit kapitalisme yang menguasai agama sehingga materi-alisme telah menjauhkan agama dari rakyat yang menderita.

Dia menambahkan, memang ke-beragaman memperhadapkan kita pada pilihan etis yaitu antara menyingkirkan atau merangkul, mendiskriminasi atau menghormati, mengeksploitasi atau melindungi, menindas atau melayani. Panggilan teologis kita dalam realitas ke-beragaman, baik antar dan internal gereja, adalah memberi respon sesuai dengan amanat Kitab Suci. “Kita membutuhkan sikap kebe-ragaman yang moderat, yaitu sikap

yang halus, menjadi penengah, dan memiliki kedewasaan yang dicirikan dengan kemampuan melihat segala persoalan dari berbagai sudut. Selain itu kita membutuhkan sikap interde-pendensi, yaitu mengembangkan interaksi positif yang didasarkan pada kesetaraan, solidaritas dan sikap saling menghormati antar sesama yang diciptakan segambar dan secitra dengan Allah,” tandasnya.Bertumbuh bersama dalam kebe-ragaman, ujar Pdt. Albertus, mengisyaratkan adanya pertumbuh-an holistik, baik personal maupun sosial. Bertumbuh bersama dalam keberagaman juga mengisyaratkan perubahan pola relasi baik antar maupun internal umat beragama. Se-buah perubahan dari relasi dominasi, segregasi dan diskriminasi menjadi relasi kesetaraan yang dilandasi semangat saling mengisi dan saling melengkapi. Sikap seperti itu bisa ter-jadi bila kita menghayati spiritualitas keugaharian yang menawarkan

sikap tahu batas, mampu mawas diri dan memiliki kemampuan bersikap moderat di tengah keberagaman. Sedangkan Prof. Dr. Syafiq me-ngatakan, agama sering disalah-gunakan untuk kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya, yang tidak jarang mendatangkan konflik. Namun sayangnya, masyarakat bawah sering tidak memahami apa yang terjadi sehingga seolah-olah terjadi konflik agama. Padahal semuanya didasari oleh kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri demi kekuasaan dan perebutan sumber-sumber ekonomi.

Sebab itu, menurutnya, kita perlu memberikan wawasan luas kepada jamaat agar memiliki perspektif yang jelas ketika menghadapi persoalan-persoalan yang menimpa kita ber-sama. Keragaman tidak mungkin dihilangkan. “Penyebab dari mala-petaka dunia ini adalah keserakahan, kemudian kesemena-menaan. Pesan yang penting adalah bagaimana kita

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 6

mempraktekkan spiritualitas keuga-harian ini dalam kehidupan bersama-sama sehingga agama menjadi sumber kemaslahatan, sumber perdamaian di antara sesama umat manusia,” ujarnya.

Keberlanjutan Kehidupan

Spiritualitas keugaharian meng-ajarkan kita untuk mengendalikan keinginan-keinginan dan hawa nafsu. Dalam kehidupan kebersamaan, spiritualitas keugaharian berarti menghormati orang lain, menghor-mati kepentingan bersama, dan kemudian kita harus saling me-nolong. Salah satu yang juga perlu diwaspadai, menurut Prof. Syafiq, adalah tidak ada agama yang dipa-hami secara seragam oleh semua umatnya, pasti ada perbedaan-per-bedaan di dalam memahami agama. Dan dalam memahami agama kita banyak dikendalikan dan disandera oleh sejarah masa lalu yang sulit dihilangkan. Akibatnya selalu muncul kecurigaan, dan adanya keingian untuk mendominasi. Tetapi sekarang ini situasinya sudah ber-beda. Ada batas-batas negara, ada konvensi dan hukum internasional yang harus dihormati. Sehingga tidak bisa lagi dibenarkan keyakinan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) untuk membangun Khilafah Islamiah, atau versis Hisbut Tahir Indonesia (HTI) yang berupaya agar seluruh du-nia Islam melebur dan menjadi satu kekuatan khilafah. Menilik dari perspektif ekonomi dan agama Islam, Ulil Abshar Abdala melihat pentingnya spritualitas keugaharian karena keprihatinan

atas kecenderungan umat manusia sekarang ini yang mengkonsumsi segala sesuatu secara ekstrim atau berlebihan. Dalam ajaran Islam,Ulil menjelaskan, mengkonsumsi barang secara berlebihan itu dilarang. Dalam Al Quran disebutkan innallaha laa yuhibbul musrifin, yang artinya sesungguhnya Tuhan itu tidak mencintai, tidak suka orang-orang yang mengkonsumsi barang secara berlebihan.

“Saya tidak tahu kenapa bangsa kita ini suka mengkonsumsi barang secara berlebihan, dan tidak berpikir jangka panjang. Dalam hukum Islam ada ajaran yang menarik, kalau ada orang yang menggunakan hartanya secara ceroboh, secara tidak ber- tanggung jawab dalam meng-gunakan hartanya, sehingga tidak memberikan pendidikan yang layak kepada anaknya, padahal hartanya banyak, maka dia berhak diintervensi oleh negara supaya tidak menggu-nakan hartanya secara sembarangan. Dan, saya rasa, ajaran dalam semua agama sama dalam hal ini,” tegasnya.

Spiritualitas keugaharian juga menekankan perlunya sikap kritis. Kritis terhadap pemerintahan yang menyelenggarakan kekuasaan dengan eksesif, dan memper-tahankan status quo baik politik maupun ekonomi. Lahirnya agama, menurut Ulil dimulai dengan kritik. Sebab itu, baik nabi-nabi maupun para rosul dalam semua agama sebagian besar mereka berlawanan dengan kekuasaan, status quo. Tidak ada nabi yang datang dalam masyarakat lalu disukai oleh masyarakat. Maka jika ada agama

dekat dengan status quo, atau ke-kuasaan, itu menyalahi kodratnya. Pesan Sidang MPL-PGI 2016 semakin meneguhkan betapa pentingnya spritualitas keugaharian di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bergereja yang dikepung kultur konsumtivisme dan hedonisme yang dilanggengkan dan disebarluaskan oleh media massa. Sebab itu kepada gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia diserukan perlunya menghidupi spiritualitas keugaharian di tengah kemiskinan dan penderitaan umat serta masyara-kat Indonesia. Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja mestinya berbela rasa dan tidak menjadi nyaman di tengah kemiskinan masyarakat.

Selain itu, gedung gereja yang megah dan mewah, dalam konteks kemiskinan umat dan masyarakat, menunjukkan belum diwujudkannya Spiritualitas Keugaharian di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Gereja perlu mendayagunakan seluruh kapasitas yang dimiliki untuk men-jadi tanda rahmat bagi masyarakat, bangsa, dan alam Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari etos hidup yang konsumtif, pamer kemewahan dan kekuasaan, boros, eksploitatif, instan, dan tidak ramah lingkungan.

Sebaliknya, gereja perlu hidup seder-hana sesuai doa Yesus: “berikan-lah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11). Spiritualitas Keugaharian juga dapat terwujud melalui upaya gereja me-nahan diri untuk tidak mengumbar simbol-simbol gerejawi, seperti salib, di ruang publik. ∎ (Markus Saragih)

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 7

Spiritualitas keugaharian

itu ciri hidup yang Yesus

sendiri ajarkan. Dalam

Doa Bapa Kami, Dia mengajar-

kan kita, “berilah makanan kami

pada hari ini yang secukupnya”.

Jadi spiritualitas keugaharian

itu berada pada inti ajaran .

Yesus dalam visinya tentang

Kerajaan Allah mengajak pengikut-

pengikutnya agar menghidupi

sebuah spiritualitas keugaharian.

Karena itu spiritualitas keugaharian

pertama-tama dimulai dari gereja,

dari para pemimpin gereja.

Kita mengkampanyekan spiritualitas

keugaharian sebagai bagian dari

visi Yesus tentang Kerajaan Allah itu.

Tetapi tidak cukup dikampanyekan,

kampanye yang paling penting

adalah menghidupinya. Itu harus

dihidupi gereja-gereja dan dimulai

dari para pemimpinnya. Jadi sangat

baik dalam Sidang MPL-PGI 2016 kita

mengangkatnya sebagai Pikiran

Pokok. Tetapi ini mestinya menjadi

aksi bersama gereja di Indonesia.

Mengapa harus dimulai dari para

pemimpin gereja? Karena para

pemimpin gereja berpengaruh besar

terhadap umatnya. Untuk itu,

sangat penting para pemimpin

gereja menampilkan hidup yang

sederhana di tengah-tengah jemaat

dan masyarakat. Dalam situasi

masyarakat yang dikuasai oleh

kapitalisme, kita dibanjiri oleh ber-

bagai iklan yang membuat kita harus

tampil mewah, bahkan gereja

kita juga harus mewah, maka

spiritualitas keugaharian itu

menyerukan sebuah per-

tobatan. Kapitalisme dapat

membawa ancaman kehidu-

pan, termasuk dari manusia

terhadap alam, dan karena itu

penting bagi gereja-gereja

memulai dari para pemimpinnya

untuk menampilkan kehidupan yang

sederhana.

Sebagai gereja di Indonesia kita

hidup di tengah masyarakat yang

masih dililit oleh berbagai persoalan

kemiskinan, kebodohan, masalah

lingkungan hidup dan lainnya. Salah

satu hal yang bisa kita pastikan untuk

menghidupi spiritualitas keugaharian

ialah solidaritas dengan sesama. ∎

Ketua Sinode GmiT Pdt. Dr. merry Kolimon

“Bagian dari Visi Yesus”

sajian utama

Yesus.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 8

Spiritualitas keugaharian

memang sangat kita

butuhkan sekarang di

tengah-tengah budaya ma-

terialistis yang telah merasuki

umat manusia. Segala sesuatu

diukur dari seberapa besar kita

peroleh dalam hidup ini, dan

untuk mewujudkannya sam-

pai mengorbankan sesama

kita. Sesama tidak hanya menunjuk

kepada manusia tetapi seluruh cip-

taan Tuhan.

Sebab itu, kehadiran spiritualitas

keugaharian merupakan tawaran

yang sesuai dengan ajaran Alkitab,

hidup dalam kecukupan, hemat, dan

bersyukur.

Eropa sekarang mengembangkan

etika cukup, tetapi bukan etika

sederhana. Karena mereka sudah

mengembangkan etika pembangun-

an. Mereka melihat terlalu banyak

yang telah dikorbankan oleh etika

pembangunan yang akhirnya

mengarah kepada materialistis ini.

Sekarang ini kita diajak untuk ber-

sama-sama melaksanakan spirituali-

tas keugaharian, tidak hanya kepada

sesama seiman tetapi juga orang

lain. Ini proyek atau revolusi besar

dalam kehidupan kita sehingga harus

ditekuni terus agar kita tidak hanya

memikirkan diri dan komunitas

saja, karena kita tidak dapat

hidup sendiri. Spriritualitas

keugaharian sangat menarik,

sebab dia spiritualitas bukan

falsafah. Sebab itu harus kita

bangun dari roh kita.

Kita semua harus memulai

spiritualitas keugaharian ini.

Kalau dulu kita punya masyara-

kat hirarkis, artinya yang di atas me-

nentukan, sekarang masyarakat kita

sifatnya flat, sama. Dalam kondisi

ini tidak baik kita mempertanyakan

siapa yang harus duluan. Tugas kita

semua untuk memulai dan gencar

mengkampanyekannya. ∎

Ketua Komisi Teologi hKBP Pdt. Dr. Robinson Butarbutar

“Tawaran yang Sesuai Dengan Ajaran Alkitab”

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 9

Sesuai dengan prinsip-

prinsip ajaran Yesus

Kristus, seperti dalam

Doa Bapa Kami ...berilah pada

hari ini makanan kami yang

secukupnya. Namun dalam

perkembangannya, setelah

manusia diberi kuasa oleh

Tuhan, justru disalahgunakan

menjadi keserakahan; ke-

serakahan dalam segala hal, harta

kekayaan, kekuasaan, pikiran, dan

sebagainya.

Jika dalam periode kali ini PGI

mencanangkan sikap keugaharian,

saya kira ini adalah tanggung jawab

gereja untuk mengajarkan kepada

umatnya untuk hidup secara

sederhana; sederhana dalam

ekonomi, mengungkapkan kata-kata,

sederhana dalam bertindak, tetapi

akan berdampak positif kepada

dunia. Pembakaran hutan, narkoba,

dan terorisme itu termasuk simbol

keserakahan.

Ketika keserakahan menguasai kita,

orang lain itu akan kita lindas demi

memenuhi nafsu itu. Tetapi ketika

kita merasa cukup, kita akan mem-

perhatikan orang lain. Ketika kita

punya lebih, Tuhan Yesus mengajar-

kan berikanlah kepada yang tidak

punya. Maka ketika kita memberi

dan membangun hubungan seperti

itu, pasti akan terjadi hubungan dan

relasi yang mesra. Memang gereja

harus hadir di tengah-tengah dunia

ini, dan semua makhluk harus me-

nikmati kehadiran gereja.

Spiritualitas keugaharian

memang bukan hal yang

mudah, terlebih di tengah

budaya konsumerisme.

Kemajuan zaman menawarkan

sesuatu yang lebih, misalnya

ada produk elektronik yang

muncul hari ini dan dalam

beberapa waktu yang relatif

singkat muncul lagi yang baru

dan semakin canggih. Ini mendorong

orang untuk ingin membeli, tidak

mau ketinggalan zaman.

Meski demikian para pemimpin

gereja harus memberikan teladan,

walaupun kita lihat banyak juga

pemimpin gereja yang berponsel

lebih dari satu dengan teknologi

terkini. Lalu, bagaimana dia mau

memberikan teladan? Jika begitu,

akan bertambah sulit menjemaatkan

spiritualitas keugaharian di tengah-

tengah jemaat dan masyarakat. ∎

Bishop Gmi Pdt. Darwis manurung

“Tanggung jawab Gereja, Mengajar Umat Hidup Sederhana!”

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 10

Spiritualitas keugahar

adalah spiritualitas

yang menjunjung

tinggi keberanian. Berani

untuk berkata cukup kepada

diri sendiri, lingkungan, juga

kepada komunitasnya. Ini

adalah spiritualitas untuk

menghitung berkat Tuhan,

bahwa sedemikian banyak berkat

yang Tuhan sudah berikan kepada

kita, dan saatnya menghitung untuk

kemudian harus berani untuk ber-

tanggungjawab. Jadi bukan sekadar

berani berkata cukup, tapi bertang-

gungjawab terhadap apa yang sudah

ada.

Bicara spiritualitas keugaharian

tanpa keberanian untuk mengakui

bahwa sudah banyak hal, termasuk

potensi, yang Tuhan berikan kepada

gereja, kepada komunitas dan ke-

pada diri kita, maka tak ada gunanya

spiritualitas itu.

Spiritualias keugaharian juga mem-

bawa kita dan gereja serta komunitas

Kristen kepada keberanian untuk ber-

bagi kepada orang lain tanpa harus

melihat apa pun latar belakangnya.

Ini artinya, ada kesediaan untuk

melihat seberapa banyak kecuku-

pan yang Tuhan berikan kepada kita

dan bisa di-share kepada yang lain.

Artinya juga, spiritualitas yang mem-

bawa gereja-gereja kepada relasi

yang semakin benar serta optimal di

antara gereja dengan gereja, gereja

dengan masyarakat. Spritualitas

keugaharian berarti juga kesediaan

untuk menerima yang lain sehingga

ada tantangan untuk mem-

bangun relasi-relasi, men-

dobrak tembok-tembok yang

selama ini tertutup. Maka jika

spiritualitas keugaharian dapat

diimplementasikan dengan

konkrit, saat itu pula gereja

terbuka terhadap lingkungan-

nya.

Memang ada banyak konsekuensi

logis. Kita tidak lagi bicara bagaimana

meminta tetapi juga memberi, kita

tidak lagi bicara tentang bagaimana

mencari terus-menerus bahkan

mengeksploitas tetapi bagaimana

yang sudah ada, kita cukupkan dan

membawa yang lain untuk bisa

mengatakan cukup juga.

Spiritualitas keugaharian harus dimu-

lai dari para pemimpin itu sendiri

agar jemaat jemaat menjadi ter-

dorong, lalu gereja bergerak bersama

masyarakat. ∎

Ketua Sinode GKJ Pdt. Simon Julianto

”Spiritualitas Keugaharian: Keberanian untuk berbagi kepada Orang Lain”

sajian utama

ian

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 11

KEUGAHARIAN: Diantara HIKMAT dan

INTELEKTUALITASOleh: Rainy MP Hutabarat

Sekurangnya itulah yang tersurat atau tersirat dalam petatah-petitih, peribahasa-peribahasa pun cerita-cerita rakyat yang tak terkira banyaknya, yang merupakan pe-tunjuk-petunjuk praktis tentang keutamaan hidup. Petatah-petitih, peribahasa, cerita-cerita rakyat tersebut setara hikmat-hikmat dalam kitab Amsal dan perumpamaan-perumpamaan Yesus. Dengan keugaharian seseorang tak hanya merawat keselarasan jiwa dan pikiran dalam diri pribadinya, juga

keselarasan hidup dengan sesamanya dan lingkungannya. Tanpa keugaharian, tatanan sosial akan menjadi kacau sebab individu-individu kelompok maupun komunitas tak mampu mengontrol pemuasan nafsu hedonis, keraku-san, eksploitasi dan berlakulah homo homini lupus (manusia memakan sesamanya).

Falsafah Batak mengenal ke-utamaan hamoraon, hagabeon, hasangapon. Keutamaan ini sering disalah-artikan sehingga maknanya

sempit. Hamoraon diarti-kan “kaya harta”, padahal melampaui arti kata yang tersurat. Hamoraon tidak menekankan kebendaan. Seorang tukang parkir yang dengan kerja keras berhasil menyekolahkan anaknya hingga men-jadi sarjana, mandiri, dan bekerja dengan prinsip hidup lurus serta berguna

bagi masyarakatnya, adalah halak na mora (orang kaya). Kaya bisa me-nunjuk kepada ilmu, kebijaksanaan, teladan dan inspirasi bagi orang lain, keberhasilan mendidik anak menjadi manusia berguna di masyarakat, dan seterusnya. Gabe sering diartikan “jadi orang berjabatan dan bergelar tinggi serta berharta banyak”. Padahal artinya tak demikian. Jadi menunjuk kepada “menjadi” (to be) yang artinya menjadi orang atas usaha dan kerja kerasnya dan anak-anaknya berhasil dalam pendidikan, berguna bagi masyarakatnya, serta hidup lurus. Hasangapon tak identik dengan kemuliaan dalam arti mahkota di kepala dan pangkat, melainkan kehormatan dalam kehidupan: prestasi pribadi dengan berjuang, gigih dan lurus, dan berha-sil mendidik anak-anaknya menjadi “orang”, serta hidup sebagai teladan bagi orang-orang sekelilingnya. Dengan melihat makna luas falsafah hamoraon, hagabeon, hasangapon,

Tak ada budaya yang tidak mengedepankan keugaharian sebagai bagian dari hikmat. Keugaharian adalah bentuk kearifan dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat yang berimplikasi luas, mulai dari keseimbangan sosial hingga ekologis yang menyangga dan memelihara keberlanjutan kehidupan.

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 12

budaya Batak sebenarnya men-junjung nilai-nilai kerja keras, hidup lurus atau hidup sederhana dan pengabdian kepada orang banyak.

Keugaharian ditempatkan dalam kerangka hikmat dan intelektualitas: sebagai ilmu, prestasi sekaligus teladan dan makna kehadiran individu dalam masyarakatnya.

Budaya Jawa juga mengedepankan ugahari sebagai keutamaan dalam kehidupan. Petatah-petitih Jawa mengatakan sugih tanpa bandha, yang artinya kaya tanpa didasari harta kebendaan. Dalam pandangan Jawa, harta benda atau kekayaan ma-teri bukanlah tujuan hidup melain-kan sekadar sarana untuk mencapai tujuan hidup yang mulia. Petatah petitih Jawa juga mengatakan, aja ketungkul marang kalungguhan, kad-onyan lan kemareman, yang artinya janganlah terkungkung oleh keingi-nan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi. Gila harta, kekuasaan dan kenik-matan itu mencerminkan manusia

yang kehilangan kendali atas perilakunya sendiri, hidup hedonis dan merusak kehidupan harmonis serta solider dengan sesama dan makhluk hidup lainnya.

Salah satu tahap hidup mulia dalam budaya Jawa adalah mampu mengontrol diri dan mawas diri (eling lan waspada). Ada petatah-petitih yang mengatakan ojo milik barang kang melok; ojo mangro mundak kendo (jangan lekas tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, gemerlap, dan cantik). Hidup selaras dengan ke-mampuan kita sendiri adalah bijaksa-na ketimbang hidup hedonis penuh kepalsuan dan pencitraan layaknya bunyi pepatah lama ”besar pasak daripada tiang”. Rame ing gawe, sepi ing pamrih, memayu hayuning bawo-no (giat bekerja, membantu tanpa pamrih, memelihara alam semesta dan mengendalikan hawa nafsu).

Menurut ajaran Konghucu, ada delapan kebajikan (Ba De) dalam etika hidup manusia. Ugahari merupakan bagian dari delapan kebajikan akhlak mulia. Lian dalam Konghucu berarti memiliki hati yang suci dengan menjalani hidup sederhana dan tidak me-nyeleweng atau menyimpang. Hidup suci bertalian dengan kebajikan yang lain, yakni Qian Rang yakni hidup se-derhana dan suka mengalah, serta Shou Chang berarti menjaga ke-wajaran. Jadi bagi Konfusius, hidup lurus dan menjaga kewajaran) merupakan komponen hidup sederhana. Kontrol diri berupa Xiao Ti yakni bakti dan rendah hati, dan Shen Si (hati-hati dan cermat ber-pikir), serta Zheng Ji (meluruskan diri) merupakan etos hidup sederhana. Orang yang hidup sederhana juga membenci kepalsuan atau pen-citraan (E Wei).

“baik padi segenggam dengan senang hati,

daripada padi selumbung

dengan susah hati.”

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 13

Pepatah Melayu mengatakan, baik padi segenggam dengan senang hati, daripada padi selumbung dengan susah hati. Artinya, lebih baik hidup sederhana dengan hati yang tenang dan tenteram daripada kaya raya namun dengan hati yang tidak tenang dan gelisah. Hidup sederhana dengan hasil kerja dijalan yang lurus membuat hati bahagia dan puas. Kaya raya tidak menjamin kebahagiaan hidup, kesederhanaan juga bukan berarti tidak bahagia. Hemat adalah kearifan hidup yang mengantar kepada keberhasilan, hemat pangkal kaya sia-sia utang tumbuh. Boros adalah laku yang takabur, lupa daratan, tanpa pertimbangan matang, selangkah menuju belitan utang. Besar pasak dari tiang.

Dalam tradisi filsafat klasik Yunani Kuno, ada empat keutamaan pokok, satu di antaranya adalah sophrosune (keugaharian). Keutamaan lainnya adalah andreia (cour-age, keberanian), sophia (wisdom, kebijaksanaan), dan dikaiosune (justice, dalam arti benar dan tegak). Dalam sastra Yunani Kuno soprhosune menunjuk kepada higiene (kesehatan) jiwa. Orang yang memiliki sophrosune berarti mempunyai disposisi intelektual yang sehat yang memampukannya menilai dengan baik se-hingga tindakannya terukur. Kata ini berasal dari sun-phronesis, artinya sama dengan hikmat atau kebijak-sanaan praktis. Mereka yang memiliki sophrosune ber-arti memiliki keutamaan yang dilandasi hikmat. Dalam bahasa Indonesia sophrosune mengandung unsur moral (tahu batas) dan unsur intelektual, dan kata yang ber-padanan adalah mawas diri.

Orang yang mawas diri akan selalu awas, tajam peng-lihatannya terhadap diri sendiri (keinginan dan nafsu- nafsunya) juga terhadap apa yang terjadi di luar dirinya.

Sokrates, dalam bukunya yang ditulis oleh Platon berta-juk Xarmides (Keugaharian, Platon, Penerbit Kanisius: 2015) juga bergulat dengan sophrosune. Definisi mula-mula adalah ketenangan, selanjutnya rasa tahu malu, dan yang ketiga “melakukan tindakan baik”, kemudian bergeser “mengenal diri sendiri” dan dirumuskan kembali sebagai “sains tentang dirinya sendiri dan sains universal”. Definisi terakhir sophrosune adalah pengetahuan tentang kebai-kan dan kejahatan. Dari perkembangan pemahaman ten-tang keugaharian ini tampak, bahwa pemaknaan berada dalam ketegangan antara yang etis dan intelektual dan kedua kutub tersebut saling memperkaya.

Banyak hikmat budaya-budaya dalam yang mengajarkan keugaharian sebagai keutamaan hidup. Jadi bukan hanya kitab suci yang menganjurkannya. Bahkan sejarah filsafat juga menempatkan keugaharian bukan hanya virtue melainkan juga pengetahuan universal untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Artinya, keugaharian bukan semata etika pribadi melain-kan juga etika sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial melalui sharing kekayaan, modal atau sumber-sumber keuangan. ∎

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 14

Rangkaian kerja keras Gereja Methodist Indonesia (GMI) selaku tuan dan nyonya rumah Sidang Majelis Pekerja Lengkap-Persekutuan Gereja-Gereja di

Indonesia (MPL-PGI) 2016 yang berlangsung mulai 22-26 Januari 2016 di Parapat, Sumatera Utara, tak sia-sia. Seluruh rangkaian acara mulai dari pembukaan, persidangan, dan penutupan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Utusan-utusan yang mewakili sebanyak 89 gereja anggota PGI dan 28 PGI Wilayah/SAG, serta mitra-mitra PGI dari dalam dan luar negeri, telah mengikuti per-sidangan oikoumenis tahunan ini. Keindahan Danau Toba dan khasanah budaya Batak yang dikemas dalam seluruh rangkaian kegiatan menjadikan persidangan diwarnai cita rasa lokal dan menorehkan pesona yang kaya bagi seluruh peserta sidang.

Bertempat di Open Stage Pagoda yang berlokasi di tepian Danau Toba, Parapat, Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang, Ketua Umum PGI, secara resmi mem-buka pelaksanaan Sidang MPL-PGI 2016 yang ditandai dengan pemukulan gong seusai ibadah. Tidak hanya peserta dan undangan, masyarakat sekitar pun antusias menyaksikan kegiatan ini, apalagi diawali dengan pawai dari HKBP Parapat yang diikuti oleh MPH-PGI, anggota MPL-PGI, pimpinan pemerintah daerah, mitra PGI dari dalam dan luar negeri, pendeta, mahasiswa serta jemaat, membuat suasana prosesi pembukaan semakin semarak. Kaum pria yang mengikuti pawai memakai gotong (mahkota untuk pria dari Simalungun), sedangkan kaum perempuan memakai bulang (mahkota untuk perempuan dari Simalungun).

Drumband mahasiswa STT-GMI berada di baris terdepan mengantar para peserta sidang menuju Open Stage Pagoda untuk ibadah pembukaan.

Bishop Darwis Manurung, STh, M.Psi., pimpinan GMI men-jadi pelayan firman dalam ibadah pembukaan ini. Sejum-lah paduan suara, di antaranya paduan suara GMI Bandar Baru Sibolangit, paduan suara Immanuel dari Universitas Methodist Indonesia, Medan, turut melantunkan kidung puji-pujian.

Dalam kotbahnya Bishop Darwis menegaskan, warga gereja yang berkarya di bumi Indonesia tidak terlepas dari tantangan dan persoalan yang kita rasakan bersama-sama anak-anak bangsa lainnya. Angka kemiskinan tidak pernah surut, justru semakin bertambah. Kemiskinan dan ketidakadilan serta radikalisme semakin marak terjadi. “Peristiwa-peristiwa ini adalah gambaran keserakahan yang sangat bertolak belakang dengan spiritualitas keugaharian. Sebab itu yang kita perlukan adalah hati yang sederhana untuk menaklukkan keserakahan yang mengusai hati kita,” katanya.

Dalam sambutannya, Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang menegaskan bahwa Allah yang setia memelihara seluruh ciptaannya, menolong, menguatkan bahkan mengangkat kita dari berbagai kemelut yang dihadapi baik sebagai keluarga, gereja, masyarakat, dan sebagai bangsa. “Keyakinan ini akan memperkuat kita untuk maju ber-sama-sama menumbuh-kembangkan semangat per-saudaraan dan menghargai keberagaman yang ada,” tandasnya.

Ancaman NIIS, Narkoba dan Keugaharian

laporan khusus

Dari Sidang MPL-PGI 2016

MPH-PGI, anggota MPL-PGI, Panitia bersama Pemda setempat saat pembukaan sidang.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 15

Pdt. Henriette menambahkan, “Gereja hadir di tengah masyarakat majemuk Indonesia, firman Tuhan menasehati kita untuk mengusahakan kesejahte-raan kota maupun kesejahteraan desa di mana kita berada, sebab ke-sejahteraanya adalah kesejahteraan kita juga.

Firman Tuhan ini mendorong kita untuk menghargai keberagaman dalam komunitas di mana pun kita berada. Mengembangkan sikap hidup yang bersahabat dengan semua orang apa pun latar-belakangnya, dan dengan semua ciptaan Allah, termasuk memelihara Danau Toba.”

Ditambahkannya pula, kita perlu belajar untuk mengatasi nafsu ke-serakahan, yaitu kecenderungan memupuk banyak hanya untuk diri sendiri dan melupakan atau meng-abaikan orang lain. Sebab itu spiritu-alitas keugaharian penting, dengan menerima dan mensyukuri berkat Tuhan seraya membagi kehidupan kepada siapa pun, termasuk meme-lihara ciptaan Allah. Karena bumi ini adalah rumah kita bersama.

Kegiatan pembukaan Sidang MPL-PGI yang berlangsung sekitar tiga jam ini, ditutup dengan berbagai pertunjukan kesenian dan budaya dari etnis Batak.

Diskusi Pikiran Pokok: Keugaha-rian, Kebhinnekaan dan Berbagi

Usai ibadah dan pembukaan Sidang MPL-PGI 2016, seluruh peserta lang-sung menuju Wisma Retreat GMI di Bangun Dolok, Parapat, untuk mengi-kuti sidang hari pertama yang diisi Sesi II (Paripurna) ceramah mengenai Pikiran Pokok Spiritualitas Keugahar-ian: Tumbuh Bersama Memelihara Keberagaman, dengan narasumber Suryati Simanjuntak, Pdt. Dr. Albertus Patty, Prof. Dr. Syafiq A. Mughny dan Ulil Abshar Abdala.

Berbagai pertanyaan dan pemikiran kritis pun muncul dalam sesi ini. Lebih jauh Pdt. Albertus Patty men-jelaskan, kita butuh cara beragama yang moderat. Bersikap moderat bukan berarti kompromistik, yang oleh banyak orang dianggap sebagai sikap yang siap menggadai-kan substansi imannya. Sikap moderat adalah kemampuan memandang dari berbagai sudut dan mampu menegosiasikan apa yang dipahami dalam semangat berdialog yang akrab.

laporan khusus

Ketua Umum PGI, Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang, sebelum pemukulan gong sebagai tanda pembukaan sidang.

Pelajar dan Masyarakat antusias menyaksikan dan mengikuti prosesi pembukaan sidang.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 16

“Moderat bukan berarti suam-suam kuku, komitmennya hanya setengah, tidak panas, tidak dingin. Sikap moderat justru menunjukkan kede-wasaan sekaligus kerendahan hati. Ia tidak memutlakkan apa yang ia anut. Sebaliknya, ia siap menguji dan mengembangkan terus apa yang ia pahami dalam kehidupan melalui proses berdialog dengan yang lain,” katanya.

Moderat berarti dalam terang iman-nya, mencoba memahami dan mempertimbangkan segala sesuatu demi kebaikan semua. Spiritualitas keugaharian memupuk sikap beragama yang moderat. Spiritualitas ini memperkuat identitas partikularitas tanpa terjebak pada sikap eksklusif dan primordialis.

Ia mendorong kita berbaur dan menaruh respek pada siapapun yang berbeda tanpa terjebak pada homogenitas, penyeragaman. Spiritualitas keugaharian dengan sikap moderatnya ini memberi

amunisi untuk membangun sikap gotong-royong dalam realitas keber-agaman bangsa.

Meskipun demikian spiritualitas keugaharian mampu menjadi faktor korektif terhadap gereja, terhadap relasi antar umat dan terhadap berb-agai kebijakan pemerintah terutama bila kita sudah kebablasan, alias melanggar batas.

Suryati Simanjuntak menilik per-soalan rusaknya ekosistem di Danau Toba. Menurutnya, dibutuhkan waktu dan biaya besar untuk membangun kembali kehidupan yang rusak akibat keserakahan segelintir orang yang mengekploitasi sumber daya alam untuk kepentingan diri, kelompok dan golongannya. Kerap muncul wacana menyangkut kawasan Danau Toba untuk menjawab keprihatinan berbagai kalangan atas rusaknya eko-sistem Danau Toba, namun ternyata tidak berujung pada lahirnya ke-bijakan lingkungan yang menyele-saikan persoalan.

Sementara dari perspektif ekonomi dan agama Islam, Ulil Abshar Abdala melihat spiritualitas keugaharian sebagai keprihatinan atas ke-cenderungan hedonisme umat ma-nusia sekarang ini yang meng-konsumsi segala sesuatu secara ekstrim atau berlebihan.

laporan khusus

Marching Band Pemuda GMI di barisan depan saat pawai

Berpakaian adat Bulang dan Gotong, MPH PGI, anggota MPL PGI, dan Pemda melakukan pawai.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 17

Memasuki hari kedua, (Sabtu, 23/1) sidang dilanjutkan dengan Sesi III yang memaparkan Pengantar Ketua Umum, Laporan Bagian Umum, Laporan Bagian Keuangan dan Perbendaharaan, Infomasi BPP serta Pertimbangan MP.

Kemudian, Sesi IV dan V disediakan untuk menanggapi laporan, informasi BPP dan Pertimbangan MP. Sesi VI dikhususkan untuk tangga-pan laporan dan pertimbangan MP. Dalam sesi ini peserta sidang banyak menyampaikan berbagai pertanyaan dan masukan, sebagai bentuk evaluasi perjalanan kerja MPH-PGI tahun 2015. Semua sesi dapat ber-jalan lancar.

Keesokan harinya (Minggu, 24/1) usai ibadah Minggu di beberapa gereja yang berdekatan dengan lokasi persidangan, para peserta sidang langsung mengikuti kegiatan wisata ke Tomok, Samosir. Ditempat ini mereka menyaksikan beberapa obyek wisata diantaranya Patung Sigale-gale yang telah melegenda.

Keesokan harinya, (Senin, 25/1) para peserta melanjutkan Sesi VII untuk membahas Program 2016 dan sidang Seksi/Panitia. Dalam sidang Seksi/Pa-nitia peserta dibagi menjadi tujuh ke-lompok. Dua kelompok untuk Panitia A (Pesan MPL-PGI 2016) dan Panitia B (Kredensi). Sedangkan sisanya untuk Seksi I (Umum), Seksi II (Program dan Anggaran), Seksi III (Keuangan/Perbendaharaan dan RAPB PGI 2016), Seksi IV (Pikiran Pokok MPL-PGI), dan Seksi V (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan).Sama seperti sesi sebelumnya, diskusi kelompok juga berjalan alot. Tidak jarang terjadi perdebatan, namun semua berjalan dengan baik.

ancaman niiS

Hari kelima atau hari terakhir sidang, (Selasa, 26/1) lanjut dengan laporan Sidang/Panitia dan Pengambilan Keputusan. Seluruh hasil Seksi/Pa-nitia diterima oleh peserta sidang meski dengan berbagai catatan, untuk menjadi dokumen keputusan Sidang MPL-PGI 2016.

Di tengah berlangsungnya sesi ini, Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jendral (Purn.) Luhut Panjaitan hadir memenuhi undangan.

Luhut memaparkan sejumlah persoalan yang sedang mendera bangsa Indonesia, yakni radikal-isme, terorisme, dan narkoba.

Diingatkan, terorisme kini telah menjadi tantangan global yang paling berbahaya lantaran para pimpinan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) atau ISIS (Islamic State in Iraq and Suriah) telah bergerak ke seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara. “Sebab itu kita harus segera menangani ancaman-ancaman itu semua. Jika tidak, akan membahayakan, tidak hanya di kawasan Asia Tenggara juga secara global. Kini banyak pengikutnya karena ISIS me-manfaatkan media sosial untuk bermain. Kini sudah ada sekitar 46 ribu akun twitter yang men-dukung ISIS dan terus meningkat drastis,” jelasnya.

laporan khusus

Atraksi tarian budaya Batak

Luhut Panjaitan saat memaparkan soal radikalisme, terorisme dan narkoba

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 18

Luhut juga menambahkan, mening-katnya aksi terorisme adalah akibat ketidakpuasan, dan gap yang sema-kin lebar antara orang kaya dengan orang miskin, sehingga dengan mudah orang diiming-imingi untuk masuk ke dalam jaringan teroris seperti ISIS. Ditegaskan pula, narkoba kini telah menjadi ancaman mengerikan bagi bangsa. “Terorisme memang bahaya, tetapi narkoba juga sangat berbahaya karena tiap hari ada 30-50 orang yang mati karena narkoba,” kata Luhut. Menyikapi persoalan-persoalan tersebut, Luhut berharap agar

gereja menjalankan peran-peran strategisnya. Gereja perlu mencip-takan kedamaian dan memberikan penerangan-penerangan kepada jemaat untuk membuat ketahanan-ketahanan di tingkat lokal. Gereja juga perlu menahan diri, serta lebih mengedepankan kasih agar mengu-

rangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik yang dapat di-susupi oleh para teroris. “Sekali-sekali pendeta perlu turunlah ke bawah melihat kondisi yang terjadi, jangan cuma khotbah di atas mimbar,” tandas Luhut yang langsung disambut tepuk tangan oleh seluruh peserta.

Usai berdiskusi dengan para peserta sidang, Luhut yang saat itu di-dampingi oleh J. R. Saragih beserta Pemerintah Daerah Simalungun, bersantap siang bersama sebelum akhirnya meninggalkan Wisma Retreat GMI.

Penutupan Sidang mPL-PGi 2016

Seluruh rangkaian proses per-sidangan dihari terakhir ditutup dengan penyerahan palu sidang dari pimpinan sidang kepada MPH-PGI. Disusul ibadah penutup serta per-jamuan kudus.

Penutupan ditandai pemukulan gong oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang, dalam kata penutup, secara khusus ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada Sinode Gereja Methodist Indonesia (GMI) yang telah menjadi tuan dan nyonya rumah persidangan, muspida se-tempat, panitia, juga para pandu yang turut berpartisipasi sehingga acara dapat berjalan dengan baik.

“Terima kasih karena telah mem-persiapkan acara dengan baik, juga kepada para pandu, semoga kalian banyak mendapat pengalaman dari kegiatan ini, dan dapat menjadi kader-kader oikoumene di kemu-dian hari. Juga kepada tim ibadah yang telah membuat suasana ibadah dalam persidangan begitu hikmat,” tandasnya.

Sebagai bentuk apresiasi, MPH-PGI memberikan cenderamata kepada semua pihak, seperti majelis persida-ngan, para pelayan, dan Ketua Pani-tia Sidang MPL-PGI 2016.

Untuk penyelenggaraan sidang

MPL-PGI berikutnya, telah ditetap-kan yang menjadi tuan dan nyonya rumah adalah sinode-sinode gereja di Jawa Tengah yang dikoordinasi-kan oleh Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ). Waktu pelaksanaan adalah pada 27-31 Januari 2017.

Kesan dan Pesan

Pelaksanaan Sidang MPL-PGI 2016 mendapat apresiasi dari beberapa peserta. Pdt. Dr. Robinson Butar-butar, Dosen Perjanjian Baru di STT

laporan khusus

Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang memukul gong tanda penutupan sidang.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 19

HKBP Pematangsiantar mengatakan bahwa relasi dan interaksi antar seluruh peserta sangat baik. “Disini saya lihat interaksi itu berjalan baik, tidak ada keras-keras ngomong, jadi rasa fellowship, rasa oikoumenis kita semakin menguat dan mengental. Ada orang baru yang datang seperti saya diterima dengan baik dan tidak merasa asing,” katanya. Ia melihat, panitia telah memberi-kan yang terbaik, dan malah ada metode-metode yang baru. Misalnya, dalam sidang diperlihatkan setiap orang yang berbicara. Hal semacam ini tidak ada dalam sidang-sidang, bahkan persidangan internasional sekali pun. “Ini membuat kita cepat untuk saling mengenal. Ini bisa terjadi pasti karena ada kerjasama yang baik di antara peserta,” tandas Robinson.

Demikian halnya penuturan Pdt. Brigjen TNI (Purn.). Drs. Harsanto Adi MM., MTh., anggota MPL-PGI dari Sinode Gereja Gerakan Pentakosta (GGP). Dia melihat, panitia pusat dan daerah telah bekerja dengan baik. Terkait lokasi persidangan dengan penginapan, juga sangat dekat. “Saya tidak bisa membayangkan seperti di Mamasa, misalnya, kan cukup jauh tempatnya, antara lokasi persidangan dengan penginapan,” katanya.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan ke depan adalah soal komitmen peserta mengikuti sidang hingga tuntas. Menurutnya, perlu dilakukan survei tentang kehadiran

peserta, apakah mewakili pengurus pusat atau daerah. Ini penting untuk melihat keseriusan peserta mengikuti sidang.

“Contoh, ada satu sinode besar hanya mengutus pengurus daerahnya. Memang tidak masalah, tapi se-telah ikut pembukaan lalu pulang. Ini hal sepele tapi soal besar. Kenapa? Jangan sidang ini dianggap tidak pen-ting. Ketua Umum PGI telah menyinggung bahwa harus direncanakan jauh-jauh kalau memang ingin ikut. Kalau waktunya tabrakan, bisa dibagi karena dalam sinode ti-dak hanya satu orang ketua. Artinya, mereka yang datang itu punya otoritas. Semoga soal ini tidak terulang lagi di sidang MPL-PGI yang akan datang,” tegas Harsanto. ∎(Markus Saragih)

laporan khusus

suasana persidangan

Foto bersama Peserta sidang MPL-PGI.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 20

Oleh pimpinan Tuhan, Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL-PGI) 2016 dapat terlaksana dengan baik

di Parapat, Sumatera Utara pada 22-26 Januari 2016. Dijamu oleh keramahtamahan tuan dan nyonya rumah, yaitu Gereja Methodist Indonesia, utusan-utusan yang mewakili 89 gereja anggota PGI dan 28 PGI Wilayah/SAG, serta mitra-mitra PGI dari dalam dan luar negeri menyatu dalam agenda sidang tahunan. Sidang ini diarahkan oleh Tema Sidang Raya PGI XVI/2014 di Nias, yaitu “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya” (Mazmur 71:20), dan Subtema “Dalam Solidaritas dengan Sesama Anak Bangsa, Kita Tetap Mengamalkan Nilai-Nilai Pancasila, Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Kerusakan Lingkungan”.

Pikiran Pokok yang dikaji dalam persidangan ini adalah: “Spiritualitas Keugaharian: Tumbuh Bersama Memeli-hara Keragaman”. Pikiran Pokok ini meneruskan hal yang telah ditekankan pada Sidang MPL-PGI 2015 di Malinau, Kalimantan Utara, tentang Spiritualitas Keugaharian, yaitu sebuah kebijaksanaan hidup bahwa rahmat Tuhan cukup untuk semua ciptaanNya. Karena itu kita didorong untuk mengendalikan diri dan hidup sederhana, dalam semangat kecukupan, dan bersedia berbagi dengan orang lain agar semua mengalami kehidupan yang sejahtera. Spiritualitas Keugaharian ini mendorong kita untuk terus mengembangkan kehandalan kualitas hidup dan pelayanan gereja dan masyarakat Indonesia, sambil memelihara semangat berbagi dan solidaritas, terutama dengan mereka yang paling lemah, yaitu kaum marjinal dan tertindas.

Secara khusus Pikiran Pokok persidangan ini mengaitkan keugaharian dan keragaman. Keragaman telah menjadi ciri keluarga, jemaat, gereja, agama-agama dan masyara-kat Indonesia. Kegagalan menyikapi keragaman secara baik akan melahirkan disintegrasi atau perpecahan.

Karena itu perlu ada kesediaan untuk terbuka dan menghargai perbedaan serta berdialog dan belajar dari perbedaan yang ada. Keterbukaan untuk menghargai pendapat dan kemampuan berdialog itu perlu dikem-bangkan antar generasi, antar suku dan antar agama maupun dalam hidup keluarga, jemaat, gereja dan masyarakat. Dalam semangat keugaharian dan keraga-man, gereja-gereja di Indonesia dan masyarakat bangsa ini perlu belajar menghindari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal, dalam penyelesaian perbe-daan pendapat yang acap kali menyebabkan konflik.

Kami bersyukur bahwa Sidang MPL-PGI 2016 diseleng-garakan di kota Parapat, di tepian Danau Toba yang indah dan sejuk. Danau Toba adalah karunia Allah yang sangat berharga bagi masyarakat di sekitar Danau Toba, bahkan bagi Indonesia dan dunia. Sayangnya Danau Toba kini terancam oleh industri pengolahan kayu dan agroindustri yang menggunduli hutan di sekitarnya dan tercemar oleh limbah berbagai industri peternakan dan perikanan, serta usaha perhotelan dan pariwisata yang tidak memperha-tikan kelestarian dan keindahan Danau Toba. Danau yang indah terancam menjadi kubangan sampah dan lim-bah. Selain itu longsor dan banjir bandang mengancam kelangsungan hidup masyarakat setempat. Kerusakan lingkungan Danau Toba ini juga menjadi salah satu con-toh dari krisis ekologis yang terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia. Dalam konteks yang demikian, Sidang MPL-PGI 2016 ini mendukung Gerakan Cinta Danau Toba sebagai langkah bersama pemerintah, masyarakat dan unsur-unsur masyarakat sipil demi penyelamatan lingkungan Danau Toba. Seluruh upaya pengembangan pariwisata di sekitar Danau Toba mestilah ditujukan pada kelestarian dan keindahan Danau Toba, serta kesejah-teraan masyarakat di daerah ini.

Selain dianugerahi alam yang indah, masyarakat di sekitar Danau Toba juga mewarisi kekayaan budaya dan

PESAN SIDANG MPL-PGI 2016DI PAR APAT SUMATER A UTAR A, 22-26 JANUARI 2016

laporan khusus

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 21

adat istiadat. Pada zaman yang sangat kuat dipengaruhi modernisasi dan globalisasi, masyarakat di sekitar Danau Toba dan diberbagai komunitas adat lainnya di Indonesia perlu memelihara jati diri lokal, termasuk rumah adat, ba-hasa daerah, dan situs-situs budaya. Pada saat yang sama, gereja dan masyarakat perlu tetap kritis pada praktik-praktik budaya yang memiskinkan dan menyebabkan ketidakadilan.

Terkait Tema, Subtema dan Pikiran Pokok persidangan MPL-PGI 2016, kami menyerukan kepada gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia hal-hal berikut ini:

1. Gereja perlu menghidupi spiritualitas keugaharian ditengah kemiskinan dan penderitaan umat serta masyarakat Indonesia. Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja mestinya berbela rasa dan tidak menjadi nyaman di tengah kemiskinan masyarakat. Gedung-gedung gereja yang megah, dalam konteks kemiskinan umat dan masyarakat, menunjukkan belum diwujudkannya Spiritualitas Keugaharian di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Gereja-gereja perlu mendayagunakan seluruh kapasitas yang di-milikinya untuk menjadi tanda rahmat bagi masyara-kat, bangsa, dan alam Indonesia. Hal ini dapat dilaku-kan dengan menjauhkan diri dari etos hidup yang konsumtif, pamer kemewahan dan kekuasaan, boros, eksploitatif, instan, dan tidak ramah lingkungan. Sebaliknya gereja-gereja perlu hidup sederhana sesuai doa Yesus: “…berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11). Spiri-tualitas Keugaharian juga dapat terwujud melalui upaya gereja-gereja menahan diri untuk tidak mengumbar simbol-simbol gerejawi, seperti salib, di ruang publik.

2. Gereja-gereja anggota PGI --yang beragam dalam hal sumber daya, dana dan teologi-- perlu terus mengembangkan kesediaan dan kemampuan untuk saling berbagi. Pola relasi antar jemaat dan antar gereja mestinya diarahkan pada saling melengkapi dan memperkaya dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan begitu gereja-gereja sung-guh menjadi anggota tubuh Kristus yang saling menopang.

3. Terkait Pilkada kami menggarisbawahi Pesan Pastoral

PGI tentang Pilkada Serentak 2015. Secara khusus kami meminta perhatian para pelayan gereja untuk belajar dari pengalaman agar tidak terjebak menjadi tim sukses/pemenangan pasangan calon tertentu, mengingat keragaman pilihan politik warga jemaat. Selanjutnya gereja perlu terus melatih diri untuk tidak turut menyuburkan budaya korupsi yang berakibat pada samarnya suara kenabiannya. Sebaliknya gereja harus terus memperdengarkan suara kenabiannya dan melayankan karya pastoral transformatifnya.

4. Sehubungan dengan meningkatnya kecenderunganfundamentalisme agama dan radikalisme, kami me-nyerukan kepada gereja-gereja untuk meninggalkancara memahami teks-teks kitab suci, termasuk narasi-narasi kekerasan, secara harafiah dan terus mengem-bangkan pemahaman Alkitab secara kontekstual. Dengan ini diharapkan perbedaan pemahaman yang mungkin muncul dalam jemaat dapat disikapi dengan baik. Pada saat yang sama umat perlu dido-rong untuk belajar mengenal ajaran agama yang lain dan menghormati tradisi agama yang berbeda, serta menghindari cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan.

Kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia, Sidang MPL-PGI ini menyerukan:

1. Masyarakat Indonesia perlu bersama-sama meng-hormati dan memperkuat komitmen pluralisme dan kebangsaan bagi kesejahteraan masyarakat menuju Indonesia yang demokratis dan berkeadilan. Kami mendukung penegakan hukum, upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI, dan kerja sama guna mengatasi dampak buruk krisis finansial global. Dalam kaitan dengan itu, kami men-dorong pemerintah untuk sungguh-sungguh meng-upayakan kesejahteraan rakyat, termasuk melalui pembangunan infrastruktur yang adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

2. PGI mendukung pembaruan mental (revolusi mental) yang dicanangkan Bapak Presiden Joko Widodo. Hal itu merupakan inti ajaran Kristen terkait pembaruan budi (Roma 12:1-2), yaitu pembaruan hidup yang menyangkut seluruh eksistensi manusia, bukan

laporan khusus

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 22

hanya mentalnya. Oleh karena itu kami menyerukan pertobatan gereja-gereja dan bangsa Indonesia secara terus-menerus. Pertobatan itu mestilah menyangkut seluruh aspek kehidupan.

3. Terorisme dan kekerasan bermotif apapun mesti ditanggapi dengan cepat untuk menjamin rasa aman masyarakat. Meskipun demikian kami mendorong penyelesaian konflik dan kekerasan dengan cara-cara yang tidak arogan dan represif. Pemerintah wajib menghormati hak azasi manusia, menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, serta mem-berikan perlindungan terhadap semua warga negara Indonesia, termasuk kelompok Gafatar, Ahmadiyah, dan Syiah. Pemerintah mesti hadir bagi seluruh masyarakat Indonesia dan tidak hanya melindungi kelompok-kelompok dominan. Kebebasan beragama adalah hak seluruh warga negara dan pemerintah wajib me-lindungi hak tersebut tanpa membeda-bedakan latar belakang agama dan keyakinan. Masih terkait ke-cenderungan meningkatnya radikalisme dan terorisme di Indonesia dan di seluruh dunia, kami mendorong pemerintah untuk secara sungguh-sungguh meng-upayakan keadilan sosial dan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat guna menanggulangi ketimpangan yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin dalam masyarakat.

4. Kami mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia demi pemerintahan yang bersih dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami mendukung KPK untuk bekerja secara adil, profesional, dan tidak tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu kami menolak upaya-upaya pelemahan KPK yang akan ber-akibat pada penyalahgunaan dana publik yang me-miskinkan rakyat. Kami mengajak seluruh rakyat untuk secara bersama-sama menolak budaya koruptif yang telah menciptakan ketidakadilan dan menghalangi bangsa kita untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

5. Kami menyesalkan perilaku tidak patut yang ditampil-kan oleh penyelenggara lembaga tinggi negara. Kami menyesalkan masih terdapatnya tokoh-tokoh politik yang mendasarkan moralitas dan etika tindakannya

pada kesepakatan-kesepakatan politik, bukan seba-liknya mendasarkan kesepakatan politik pada moralitas dan etika. Untuk itu kami menyerukan kepada para politisi agar kembali kepada prinsip politik bagi ke-sejahteraan bersama. Kami juga menghimbau partai-partai politik melakukan pendidikan politik sehingga kader-kadernya beretika dan cakap menegakkan keadilan dan hukum.

6. Kami prihatin terhadap maraknya peredaran dan peng-gunaan narkoba dalam masyarakat Indonesia. Kami mendukung pemerintah, khususnya pihak keamanan, untuk secara konsisten memutus mata rantai pereda-raan narkoba. Kami juga mendorong kerjasama semua elemen masyarakat, termasuk gereja, untuk pencegah-an dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

7. Terkait pengembangan wilayah pariwisata, termasuk di Danau Toba, kami menyerukan agar semua pihak yang terlibat dalam pengembangan pariwisata meng-hormati hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan hidup. Kami mendorong pemerintah untuk bersikap tegas, meninjau kembali ijin kepada para investor yang terbukti melakukan ketidakadilan terha-dap masyarakat dan kekerasan terhadap alam. Kepada masyarakat di daerah pariwisata, kami serukan untuk memelihara keramahtamahan, sopan santun, dan etika pergaulan yang baik, serta nilai-nilai adat istiadat setempat, sambil terbuka untuk belajar dari nilai-nilai global yang humanis dan berkeadilan.

Demikianlah Pesan Sidang MPL-PGI 2016.

Terpujilah Nama Tuhan!

Atas nama Peserta Sidang MPL-PGI 2016:

Majelis Ketua :

1. Bishop Darwis Manurung (GMI)

2. Pdt. Agustinus Purba (GBKP)

3. Pdt. Agripa Selly (PGIW Kepri)

4. Pdt. Geraldine Zakarias (Mitra Perempuan)

5. Sepriyani Rida (Mitra Pemuda)

Sekretaris Persidangan:

Pdt. Gomar Gultom (Sekum PGI)

laporan khusus

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 23

PTPB: BELUM DIKENAL LUAS NAMUN

PEDULI KEMISKINAN DAN KEBhinnekaAN

Oleh: Pdt. Penrad Siagian

Sejak DGI (Dewan gereja-gereja di Indonesia) yang dibentuk pada 25 Mei 1950 berganti

nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dalam Sidang Raya DGI/PGI X 1984 di Ambon, visi beroikoumene di Indonesia mengalami pergeseran. Tak lagi semata perwujudan keesaan gereja atau penyatuan gereja-gereja melalui “pembentukan satoe geredja di Indonesia...” melainkan lebih kepada upaya menata dunia ini agar menjadi rumah yang lebih nyaman untuk dihuni bersama (oikos dan menein).

Dalam paradigma ini, gerakan oikoumene diletakkan pada kon-teks Tugas Panggilan Bersama dan menemukan keesaannya dalam panggilan dan pelayanan bersama. Singkatnya, ini penegasan visioner bahwa keesaan gereja-gereja adalah keesaan in action. Dalam arti, justru dalam melaksanakan aksi bersama inilah keesaan gereja semakin nyata. Karena itu, dalam SR DGI/PGI X 1984 tersebut, sejumlah dokumen ke-esaan (PTPB, PBIK, PSMSM, TD-PGI, MKTDD) diterima dan menjadi ruju-kan bagi gereja-gereja dalam me-majukan gerakan oikoumene.

Dari sejumlah dokumen keesaan gereja tersebut, Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) menjadi arah gerak oikoumenis bagi per-wujudan keesaan gereja-gereja di Indonesia. PTPB adalah landasan teo-logis dan misiologis yang memberi arah bagi gereja-gereja, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dalam rangka perwujudan keesaan gereja. Dokumen ini disusun dengan dasar pemikiran yang memperhati-kan konteks perkembangan kehidu-pan bangsa Indonesia pada masa kini, pengalaman beroikoumene yang telah dijalani gereja-gereja se-cara bersama-sama, serta pertimban-gan dasar-dasar teologis, eklesiologis pun misiologis yang kontekstual.

Melalui PTPB gereja-gereja semakin menyadari bahwa keesaan gereja adalah keesaan in action, dalam arti justru di dalam melaksanakan pang-gilan misi bersama itulah keesaan gereja makin nyata dan dirasakan. Dengan demikian PTPB diharapkan menjadi landasan dan kerangka acuan program konkret gereja-gereja anggota PGI dalam melaksanakan tugas panggilannya masing-masing maupun secara bersama-sama, sehingga makin nyata keesaan gereja sebagai Tubuh Kristus di Indonesia.

Mengingat pentingnya PTPB dalam mengorkestrasi gerakan oikoumenis, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama gereja-gereja di Indonesia, maka

“ PTPB adalah landasan teologis dan misiologis yang memberi arah

bagi gereja-gereja, baik secara bersama-sama maupun sendiri-

sendiri dalam rangka perwujudan keesaan gereja. ”

kajian

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 24

Sidang MPH PGI (8-9 Oktober 2015) di Grha Oikumene PGI memutuskan untuk melakukan survei PTPB untuk mengetahui komitmen oikoumenis gereja-gereja anggota PGI yang secara bersama-sama menetapkan PTPB 2014-2019 sebagai acuan dan landasan programatik keesaan dan panggilan oikoumenisnya, seka-ligus untuk melihat tempat dan kedudukan PTPB dalam gereja-gereja anggota PGI dan sejauh mana PTPB tersebut telah diimplementasikan dalam perjalanan gereja-gereja ang-gota PGI, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

Dengan pendekatan kualitatif meng-gunakan instrumen dalam bentuk kuesioner, survei PTPB ini terdiri dari tiga bagian: pertama, tentang visi, misi, pikiran pokok dan dokumen PTPB dalam sinode dan PGIW/SAG. Data ini untuk mendapatkan infor-masi tentang tempat dan kedudukan PTPB dalam sinode gereja-gereja anggota PGI. Kedua, tentang peng-galian informasi atas gerakan oikoumene. Dalam perspektif PTPB yang dijadikan kerangka dan tujuan survei, informasi ini akan memperli-hatkan paradigma oikoumenis pada gereja-gereja anggota PGI dalam membangun relasi dan kemajuan gerakan oikoumene di Indonesia. Bagian ketiga, berisi tentang tugas panggilan gereja yang merupakan landasan programatik dari PTPB yang bertujuan melihat sejauh mana PTPB telah dijalankan gereja-gereja anggota PGI sebagai komitmen ber-sama dalam gerakan oikoumenis di Indonesia.

Belum Dikenal Luas

Data survei memperlihatkan, lebih dari 75 persen sinode telah memaha-minya. Dapat dikatakan, visi, misi dan pikiran pokok PGI telah tersosialisasi-kan dengan signifikan. Ini dimungkinkan terjadi karena setelah Sidang Raya PGI di Nias, MPH PGI melakukan sosialisasi ke sinode-sinode, baik melalui kunjungan ke persidangan-persidangan sinode maupun pertemuan-pertemuan diaras lokal dan nasional. Selain itu, surat-surat edaran yang dikeluarkan PGI dalam menyambut perayaan hari-hari besar gerejawi juga mendukung tersosialisasinya visi, misi dan pikiran pokok ini.

Berbeda halnya dengan PTPB. Dari data survei, hanya 25 persen sinode gereja anggota PGI yang mengetahuinya, bahkan juga yang memiliki dokumen PTPB tersebut. Ini memprihatinkan. Peran PTPB sebagai landasan teologis dan misiologis yang bersifat programatik bagi gerakan oikoumene dalam melaksanakan tugas panggilan bersama menjadi tidak terealisasi. Ini didukung data bahwa hanya 15 persen anggota sinode yang menjawab memakai PTPB sebagai landasan dalam perencanaan program sinodalnya.

Gerakan oikoumene

Relasi oikoumenis di antara sinode anggota PGI dengan denominasi lain, baik sesama anggota PGI maupun yang bukan, mencapai 90 persen. Angka yang signifikan. Survei oikoumene tentang hal yang sama pada 2013 (lihat Potret dan Tantangan Gerakan Oikoumene, 2015, hlm. 55) juga menunjuk-kan persentase yang signifikan (73 persen). Relasi oikoumenis ini dibukti-kan dengan hubungan dan kerjasama yang dilakukan antar sinode maupun dengan denominasi lain sebanyak 75 persen.

Signifikansi capaian di atas, berbeda dengan program Pendidikan Kader Oikoumene (PKO) yang hanya 45 persen sinode melakukannya. PKO adalah sarana dalam mendukung tidak hanya keberlanjutan gerakan oikoumene namun juga sebagai pembangunan kapasitas atas kualitas dan wawasan oikoumene itu sendiri. Perbandingan kedua data ini memperlihatkan: 1) relasi oikoumenis yang dilakukan belum berbasis rencana keberlanjutan dan regenerasi gerakan oikoumenis, 2) tingginya relasi oikoumenis dan kerjasama yang dibangun memperlihatkan kemungkinan bahwa hal tersebut dapat terjadi tergantung pada sikap dan wawasan oikoumenis pemimpin dan bukan dalam tataran yang programatik. Artinya, relasi dan hubungan kerjasama oikoumenis bergantung pada siapa yang menjadi pemimpin dalam gereja. Bila pemimpin adalah orang yang memiliki wawasan dan jaringan yang cukup luas dalam konteks oikoumenis maka akan telihat dari program/kegiatan yang dilakukan, dan sebaliknya. Model seperti ini tentu tidak dapat sepenuhnya diandalkan dalam gerakan oikoumenis di masa depan.

kajian

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 25

Survei PTPB ini mengaji program-program sinodal yang mengacu pada isu-isu pokok (core issues) PTPB yakni Kemiskinan, Kerusakan Lingkungan dan Pelestarian Sumber Daya Alam, Pluralisme dan Kerjasama, Keadilan dan Perdamaian, Politik, Hukum dan HAM, Pengurangan Resiko Bencana, dan Komunitas Rentan. Ini dilakukan untuk melihat sejauh mana PTPB seb-agai landasan oikoumenis, bersifat programatik telah diimplementasi-kan gereja-gereja anggota PGI.

• Kemiskinan. Gereja-gereja yang memberikan perhatian signifikan, mencapai 90 persen dari jumlah responden. Bahkan survei juga menunjukkan, sinode-sinode telah melangkah lebih jauh dalam isu kemiskinan. Terbukti 100 persen sinode telah memiliki lembaga/badan atau komisi yang khusus memberikan perhatian untuk menjawab masalah-masalah kemiskinan. Berbagai program juga dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi rakyat yang juga memperlihatkan data signifikan mencapai 90 persen responden.

• Kerusakan Lingkungan dan Peles-tarian Sumber Daya Alam (SDA). Berbeda dengan kemiskinan, isu lingkungan dan pelestarian SDA belum diperhatikan cukup serius oleh gereja-gereja. Survei mem-perlihatkan, program terkait upaya advokasi dan pengamanan lingkungan dan sumber daya

alam hanya 40 persen. Wujud perhatian gereja-gereja pada isu lingkungan dan pelestarian SDA masih pada tahap membang-kitkan kesadaran warga dengan mengangkatnya sebagai wacana teologis sebanyak 85 persen. Survei oikoumene 2013 me-nunjukkan, untuk soal ini gereja-gereja masih tahap memasukkan tema-tema lingkungan hidup dalam khotbah atau katekisasi.

• Pluralisme dan Kerjasama. Survei memperlihatkan, 90 persen responden telah bersikap positif dan terbuka terhadap realitas kemajemukan, baik agama/kepercayaan maupun suku dan budaya yang berbeda. Sebanyak 85 persen responden memahami agama/kepercayaan lain tidak lagi sebagai musuh, saingan atau ancaman melainkan rekan dalam menyelesaikan berbagai persoa-lan bersama di tengah-tengah masyarakat. Namun kesadaran dan pengakuan atas realitas ke-majemukan belum berbanding lurus dengan realisasi program kerjasama untuk membangun hubungan antaragama dan kepercayaan. Hanya sebanyak 45 – 65 persen sinode yang memi-liki program kerjasama dengan agama/kepercayaan lain. Menu-rut hemat kami, ini terkait ke-lengkapan kelembagaan sinode untuk merespons isu tersebut. Survei menunjukkan, hanya 65 persen sinode yang telah memi-

liki lembaga/badan atau komisi yang memberikan perhatian khusus pada kemajemukan dan membangun hubungan antar agama dan kepercayaan.

• Keadilan dan Perdamaian. Persentase programatik gereja-gereja untuk isu ini secara keseluruhan relatif rendah. Soal-soal yang terkandung dalam isu keadilan dan perdamaian umumnya merupakan isu-isu aktual dalam masyarakat namun belum banyak direspon oleh sinode. Untuk isu Politik, Hukum dan HAM misalnya, persentase hanya dikisaran 45 persen responden yang memiliki komisi Hukum dan HAM serta program-program terkait pen-didikan dan pelatihan tentang politik dan HAM. Bila ditarik ke area advokasi, yakni keterlibatan dalam pembahasan-pembahasan regulasi dalam aras daerah dan nasional, persentasenya menu-run menjadi 40 persen saja.

• Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Survei memperlihatkan, 50 persen gereja telah memiliki lembaga/badan atau komisi dan melakukan pendidikan dan pelatihan tanggap bencana bagi warga dan masyarakat. Bila me-nilik konteks geografi Indonesia yang berada pada gugus rentan bencana, tentu persentase ini terbilang rendah.

Peduli Kemiskinan, mengusung Kebhinnekaan

kajian

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 26

Isu lainnya dalam isu pokok Keadilan dan Perdamaian adalah Komunitas Rentan. Dalam PTPB gereja-gereja didorong untuk menaruh perhatian pada diskriminasi yang terus terjadi terhadap kelompok-kelompok rentan dari kalangan kaum perempuan, buruh migran, anak-anak, kelompok berkebutuhan khusus, SATHI (Sauda-ra yang Terinfeksi HIV), maupun Les-bian Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT) (PTPB #102d). Isu terhadap komunitas rentan ini dikategorikan dalam dua kelompok: pertama, komunitas korban KDRT, Perempuan dan Anak; kedua, LGBT, berkebutu-han khusus, SATHI dan perdagangan manusia.

Ada perbedaan respon dan perhatian yang sangat mencolok dari gereja-gereja terhadap kedua komunitas rentan ini. Survey memperlihatkan, terhadap komunitas yang pertama (korban KDRT, Perempuan dan Anak) perhatian sinode mencapai 70 persen. Sementara terhadap komuni-tas kedua, hanya sebanyak 15 persen. Kepekaan terhadap isu dan pemaha-man teologis atas kedua kelompok rentan ini ternyata mempengaruhi perhatian terhadap keduanya.

Belum Banyak Dikenal: Tempat dan Kedudukan PTPB

Sebagai pengarah bagi “gerak bersa-ma” gereja-gereja di Indonesia, PTPB lebih menekankan pendekatan misiologis-pastoral, tanpa mengabai-kan pendekatan dogmatis. Pendeka-tan misiologis-pastoral berarti, bah-wa PTPB berangkat dari pemahaman tentang panggilan bersama gereja-gereja di dalam konteks pergulatan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945 (PTPB#2).

Mengingat pentingnya kedudukan PTPB dalam gerak perjalanan gereja yang dapat dilihat melalui sisi pro-gramatik kehadiran gereja, sudah seharusnya PTPB dimiliki, dibaca, dipahami dan dilaksanakan oleh se-luruh gereja dalam berbagai tingka-tan. Namun, temuan survei PTPB ini memperlihatkan bahwa tempat dan posisi PTPB belum terimplementa-sikan secara tepat, bahkan dapat dikatakan masih memprihatinkan. Survei memperlihatkan, hanya 25 persen sinode yang mengetahui bah-kan yang memiliki dokumen tersebut dan 15 persen yang menjadikannya sebagai “pengarah dan landasan” programatisnya.

PTPB dan Program Sinode: Korelasi

Berangkat dari kenyataan diatas ten-tang tempat dan kedudukan PTPB, akhirnya berkorelasi pada program gereja-gereja anggota PGI. PTPB yang idealnya merupakan konduk-tor atas orkestrasi oikoumenis dalam keesaan in action baik sendiri-send-iri maupun secara bersama-sama

akhirnya -- meminjam istilah survei oikoumene 2013 -- mengalami “ke-mandegan”. Kemandegan tersebut adalah akibat dari tidak diimplemen-tasikannya PTPB sebagai landasan dan acuan program gereja-gereja anggota PGI. Secara programatik, survei memperlihatkan rendahnya persentase perhatian dan respon sinode-sinode terhadap isu-isu pokok yang menjadi area kepedulian dalam PTPB kecuali isu kemiskinan yang berada di kisaran 50 persen.

Kelengkapan Kelembagaan dan Program

Salah satu temuan dalam survei ini, adalah terdapat korelasi yang sig-nifikan antara kelengkapan kelem-bagaan dengan program. Beberapa sinode yang telah memiliki keleng-kapan kelembagaan seperti badan atau komisi yang terkait dengan isu tertentu memperlihatkan intensitas sinode tersebut menggarap beragam aspek dari isu pokok kelembagaan tersebut. Ini terlihat dari isu ekonomi jemaat, lingkungan hidup, hubungan antaragama dan kepercayaan serta lembaga bantuan hukum dan HAM. Survei ini memperlihatkan kecilnya rentang antara keberadaan lembaga dengan program yang dilakukan.

sudah seharusnya

PTPB dimiliki, dibaca, dipahami dan

dilaksanakan oleh se-luruh gereja dalam

berbagai tingka-tan.

!

PTPB diharap-

kan menjadi landasan dan

kerangka acuan program konkret

gereja-gereja angogota

PGI

kajian

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 27

Simpulan

Berdasarkan temuan-temuan survei dapat disimpulkan bahwa implementasi PTPB masih dalam kategori rendah sebagaimana tampak pada manajemen isu dan program yang disusun sinode-sinode anggota PGI yang menjadi responden. Ini akibat PTPB belum operasional sebagai landasan dan acuan perencanaan dan pelaksanaan pro-gram kerja sinode. Selain itu, dalam tataran programatis, terdapat rentang yang jauh antara tataran konseptual dengan tataran implementatif. ∎

!

kajian

MPH-PGI MENGUCAPKAN SELAMAT ULANG TAHUN KEPADA:

Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL), 6 Februari

Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA), 7 Februari

Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), 10 Februari

Gereja Protestan Kalimantan Barat (GPKB), 10 Februari

Gereja Protestan Indonesia di Banggai Kepulauan (GPIBK), 12 Februari

Gereja Kristen Jawa (GKJ), 17 Februari

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 28

Salah satu contoh khusus dalam laporan Amnesty International adalah para manusia perahu, warga Rohingnya dari Myanmar dan Bangladesh, yang mencari kehidupan baru dengan menempuh bahaya. Mereka dimanipulasi serta diperas oleh para penyelundup manusia.

Para imigran tersebut tewas kelaparan, sakit tak terawat ditengah laut, dan tenggelam bersama perahu yang karam.

“Indonesia, Malaysia, dan Thailand awalnya menghalau kapal-kapal kelebihan penumpang itu keluar dari perairan mereka agar orang-orang itu tak mendarat. Adapun pemerintah-pemerintah daerah sangat lambat melancarkan operasi pencarian dan penyelamatan,” kata Salil Shetty, Sek-retaris Jenderal Amnesty Internation-al, dalam laporan tersebut. Indonesia dan Malaysia akhirnya mengizinkan orang-orang itu berlabuh.

Di Eropa, Amnesty International mengkritik keras Hungaria, yang menutup perbatasannya agar ribuan pengungsi yang putus asa tak bisa melintas. Selain Jerman, seluruh negara di Eropa memperlakukan pengungsi dengan buruk. Lebih dari 1 juta imigran tiba di Eropa tahun lalu. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, selama dua bulan terakhir, lebih dari 110 ribu pengungsi tiba di Benua Biru.

Amnesty International: Dunia Dilanda Krisis Pengungsi

Krisis pengungsi, yang melanda dunia sepanjang 2015, menjadi salah satu topik utama dalam laporan tahunan kelompok pegiat hak asasi manusia, Amnesty International belum lama ini. Kelompok yang berbasis di London itu mengatakan

sedikitnya 30 negara secara ilegal memaksa para pengungsi kembali ke lokasi tempat mereka terancam bahaya.

internasional

Manusia perahu yang mencari amnesty.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 29

“Sebagai zona terkaya di dunia, kegagalan Eropa memenuhi kebutu-han dasar orang-orang yang sangat terancam ini sangat memalukan,” kata Shetty. Sekitar separuh dari pengungsi yang tiba di Eropa be-rasal dari Suriah, yang merupakan wilayah “tanpa hak asasi manusia”. Ia pun menghimbau dunia agar segera menampung 1,2 juta pengungsi yang tak bisa menunggu lagi untuk diselamatkan.

Sementara itu, ketegangan antarnegara di Eropa meningkat menjelang pertemuan negara-negara Balkan. PBB mengingatkan bahwa kebijakan menutup per-batasan yang dilakukan beberapa negara akan menyebabkan kekacau-

an. Ini terlihat dari ribuan pengungsi yang kini terdampar di Yunani setelah Mekadonia tiba-tiba menutup perba-tasannya dengan Afganistan.

“Penutupan perbatasan di wilayah Balkan hanya akan memicu ke-kacauan dan konflik baru,” ujar Filipo Grandi, Kepala Badan Dunia untuk Pengungsi (UNHCR), saat mengun-jungi Pulau Lesbos di Yunani, garda terdepan yang menerima para manu-sia perahu. Kekacauan di perbatasan berdampak pertikaian diplomatik

antara Yunani dan Austria. Athena, yang terjebak dalam krisis ribuan pengungsi ini, semakin kesal karena tak memperoleh undangan perte-muan soal krisis yang disponsori oleh Wina.

Kementrian Luar Negeri Yunani menyatakan pertemuan itu hanya dilakukan sepihak. Adapun Austria berjanji menggelar pertemuan for-mal antar-menteri dalam negeri dan hukum seluruh Negara Uni Eropa. ∎ Sumber: Rueters - (MS)

internasional

Pengungsi Timur Tengah yang memasuki Eropa.

Para pengungsi tidur berhimpitan dalam sebuah perahu.

Aksi demo menuntut restorasi Rohingya.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 30

Setelah berkunjung ke ber-bagai negara di penjuru dunia, seorang pria yang ber-

asal dari New Zealand, Barry Cox, berhasil mengembangkan idenya menjadi sebuah hasil bangunan arsitektur yang mengagumkan. Ketertarikannya pada desain dan arsitektur membuatnya terinspi-rasi, untuk mendirikan sebuah gereja hidup yang terbuat dari beraneka jenis tanaman.

Gereja Pohon

internasional

Gejera Pohon - tampak atas.

Gereja Pohon - tampak depan.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 31

Untuk mewujudkan keingi-nannya ini, Cox menggu-nakan bantuan dari sebuah perusahaan pertamanan yang dimilikinya yaitu Treelo-cations. Perusahaan ini mem-bantu menyediakan sarana transportasi untuk memin-dahkan tanaman-tanaman hidup tersebut ke lokasi di mana gereja tersebut akan didirikan. Hal ini sangat membantu Cox, sehingga dia dapat menanam kembali tanaman-tanaman itu sesuai dengan keinginannya.

Pohon dengan batang-batang yang berwarna seperti batu digunakan oleh Cox sebagai dinding gereja. Semen-tara untuk atapnya, Cox menggunakan pohon-pohon dengan daun yang jarang sehingga memungkinkan bagi para pengunjung gereja untuk mendapatkan cahaya alami dari alam.

Menurut sang arsitek hebat ini, idenya untuk mem-bangun sebuah gereja muncul secara tiba-tiba. Saat itu dia sedang berada di halaman belakang rumahnya dan tiba-tiba terpikir olehnya kalau dunia membutuhkan sebuah gereja. Akhirnya mulailah dia mempersiapkan diri untuk mewujudkan keinginannya itu.Pada bulan April 2011, Cox mulai mengosongkan area yang akan dia jadikan sebagai tempat berdirinya gereja tersebut dan mulai membuat kerangka gereja dari besi. Menggambar desain gereja dan selama tahun-tahun berikutnya dia mempelajari tentang bangunan gereja dan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut.

Setelah 4 tahun menekuni proyeknya ini, akhirnya Cox dapat tersenyum bangga karena hasil karyanya benar-benar sangat luar biasa. Gereja yang didirikannya ini bukanlah gereja biasa, bentuk dan bangunannya sangat mengagumkan. Tanaman-tanaman yang melapisi gereja tersebut membuat gereja ini menjadi tampak hidup dan alami. Sebuah gereja dengan keindahan yang sangat mengagumkan. ∎ Sumber: Beritarohani.com

internasional

Gejera Pohon - bagian dalam.

Barry Cox, sang perancang Gereja Pohon.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 32

PESAN PASKAH 2016PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Tema: “KRISTUS BANGKIT: BERILAH DIRIMU DIPERDAMAIKAN” (2 Kor.5:20b)

Umat Kristiani terkasih di manapun Saudara berada.

Salam Sejahtera dalam Yesus Kristus,

“Kristus bangkit ! Ya benar, Kristus telah bangkit!”, demikianlah seruan optimistis umat Kristen pada periode mula-mula yang suaranya tetap bergema hingga zaman ini. Kebangkitan Kristus adalah kesaksian iman orang percaya yang mengawali hadirnya gereja dan bahkan mendorong pelayanan dan kesaksian gereja sepanjang masa. Iman kepada Kristus yang bangkit menjadi harapan yang terus menerus mengobarkan semangat gereja untuk mengarungi samudera kehidupan dengan keberanian.

Dalam suasana penuh sukacita memperingati hari raya Paskah, umat Kristen di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, diingatkan ulang bahwa kematian dan kebangki-tan Kristus adalah prakarsa Allah dalam mendamaikan kita dengan diri-Nya, dan dengan demikian telah mem-percayakan pelayanan pendamaian itu kepada kita (2 Kor. 5:18). Karya pendamaian tersebut merangkumi hubu-ngan Allah dengan manusia dan dengan alam semesta (Kol. 1:20). Artinya, keselamatan itu tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh alam semesta. Semua dilakukan-Nya dalam kasih-Nya yang tidak mem-biarkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya binasa.

Paskah selalu membangkitkan pengharapan, kekuatan dan semangat baru bagi kita untuk memberikan diri kita diperdamaikan oleh Allah, dan berdasarkan realita itu, kita dimampukan untuk melanjutkan perjalanan hidup secara harmonis bersama Tuhan, maupun bersama dengan sesama dalam masyarakat, dan dengan seluruh makhluk ciptaan.

Tema “KRISTUS BANGKIT: BERILAH DIRIMU DIPERDAMAI-KAN” (2Kor.5:20b) sangat relevan dengan pergumulan Gereja-gereja di Indonesia yang saat ini tengah mengha-dapi berbagai perubahan dan dinamika. Gereja berada di tengah masyarakat majemuk yang sedang mengalami

perubahan yang cepat. Banyak hal menggembirakan yang telah dicapai di tengah perubahan tersebut. Namun tak sedikit juga keprihatinan yang kita hadapi. Salah satu keprihatinan utama adalah konflik yang semakin mere-bak di tengah masyarakat, yang pada gilirannya merusak relasi antar manusia dan relasi manusia dengan alam. Ada cukup banyak orang yang berjuang keras mengusa-hakan kepentingan dan kenyamanan pribadi atau kelom-poknya, dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan acap mengeksploitasi alam tanpa batas. Realitas ini sangat potensial merusak damai sejahtera dalam masyarakat.

Kecenderungan sedemikian juga terjadi di tengah-tengah kehidupan dan pelayanan gereja. Ada gereja-gereja yang mengalami ketidak-harmonisan bahkan perpecahan, karena rusaknya relasi antar warga yang satu dengan yang lain. Pasang-surut relasi kehidupan ber-agama di Indonesia, sebagaimana peristiwa yang senan-tiasa berulang pada akhir-akhir ini, juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan dan keengganan untuk mendengarkan dan memahami berbagai kelompok yang hidup dalam masyarakat. Gaya hidup yang semakin kon-sumtif tidak jarang menjauhkan manusia yang satu dari yang lain dan menyakiti bumi, misalnya dalam bentuk membuang sampah sembarangan dan mengeksploitasi hutan, tanah dan air tanpa batas. Keadaan seperti ini telah menjadikan relasi dengan Allah, sesama manusia dan alam menjadi rusak.

Melalui tema Paskah ini, Gereja-gereja di Indonesia didorong untuk membuka diri dan memberikan dirinya diperdamaikan dengan Allah. Pemulihan relasi dengan Allah – yang rusak oleh dosa manusia – menjadi peng-harapan dan kekuatan baru bagi kita untuk memulihkan relasi kita dengan sesama dan dengan alam semesta. Dengan demikian, damai sejahtera dapat dirasakan oleh seluruh ciptaan.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 33

Pelayanan pendamaian ini mendorong kita untuk lebih mengembangkan Spiritualitas Keugaharian, yang dia-manatkan oleh Sidang Raya PGI 2014 di Gunungsitoli, Nias, tatkala kita diajak untuk mensyukuri rahmat Allah yang cukup untuk semua dan bersedia berbagi dengan sesama.

Dalam suasana syukur dan sukacita Paskah, perkenan-kanlah kami mengajak kita semua sebagai Tubuh Kristus untuk mewujudnyatakan hal-hal berikut:

1. merendahkan diri di hadapan Allah dan membuka diri untuk menerima karya pendamaian Allah. Hal ini sejatinya kita wujudkan secara nyata dalam tindakan konkret untuk memperbaiki relasi-relasi yang telah rusak, baik relasi dengan sesama maupun dengan lingkungan. Marilah kita secara konsisten mengem-bangkan budaya damai dalam keluarga, gereja, ma-syarakat, dan dengan alam semesta, melalui pikiran, sikap hidup, kata dan perbuatan;

2. menjadikan gereja sebagai persekutuan yang saling mendengar, saling mengampuni, dan saling me-nyembuhkan agar kita mampu memenuhi panggilan kita secara optimal sebagai pelayan pendamaian di tengah masyarakat;

3. berperan aktif sebagai pelayan pendamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan mendukung upaya-upaya pe-negakan kebenaran, hukum, dan keadilan serta men-dorong diwujudkannya revolusi mental di kalangan seluruh warga bangsa demi hadirnya sebuah NKRI yang bersatu dan berkeadaban berdasarkan Pancasila dan UUD 45;

4. mengembangkan sikap hidup saling menghargai di tengah konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, sehingga dialog yang jujur dan terbuka dapat men-dukung tercapainya kerukunan antar kelompok yang berbeda;

5. mampu mengendalikan diri sehingga tidak terper-angkap oleh gaya hidup konsumtif, materialistis dan hedonistis yang tidak jarang menggiring kita me-nyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada kita.

Selamat PASKAH, selamat menghayati peristiwa ke-bangkitan-Nya. Kebangkitan Kristus menghidupkan kita semua untuk terus berkarya tanpa lelah, sambil mengin-gat bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payah kita tidak sia-sia (I Kor. 15:58).

Jakarta, Maret 2016

Atas nama Majelis Pekerja Harian PGI

Pdt. Dr. Henriette T. H-Lebang

Ketua Umum

Pdt. Gomar Gultom

Sekretaris Umum

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 34

Mansinam setelah 161 tahun Pekabaran Injil, orang Papua harus bersyukur

kepada Tuhan karena kerendahan, kesederhanaan dan penderitaan Ottow dan Geissler yang telah de-ngan jerih payah sakit dan mati demi Injil di Tanah Papua. Pada 5 Februari 2016 jutaan orang Kristen di Tanah Papua ini boleh bersyukur bersama dengan siapa saja yang beragama yang lain menikmati karya Besar Tuhan melalui dua pemuda Jerman Ottow dan Geissler. Apakah spirit kedua Rasul Papua ini juga dimiliki para pendeta dari Raja Ampat sam-pai Skou dan Pulau Kiman? Dalam Nama Tuhan, kami Injak Tanah ini. Inilah kredo Mansinam. Sepuluh tahun Ottow dan Geissler berjuang untuk memberitakan Injil, namun lebih banyak tantangan yang diha-dapi, dibandingkan respons orang Papua untuk menerima Injil. Setelah 10 tahun Injil diberitakan, barulah satu orang Papua dibaptis, seorang perempuan, pembantu dari kedua Penginjil yang bernama Sara, seorang gadis Doreri.

Pada 1855, tidak ada satupun orang Papua yang tahu membaca dan menulis. Karena tidak ada kertas dan

tidak ada buku. Saat itu jumlah pen-duduk Papua sekitar 300.000 orang yang tersebar di Jayapura, Merauke, Pegunungan, Raja Ampat, Manok-wari, Biak sampai Mamberamo. Di Mansinam dan Manokwari hanya ter-dapat 1.000 orang. Pada tahun 2016 ini sudah terdapat sekitar 100.000 orang di kota Manokwari. Penduduk Papua hari ini, sekitar 2, 5 juta.

Injil mulai bertumbuh pada 1870 sampai tahun 1900, di mana ter-dapat 13 guru yang berpendidikan SD dan 200 orang Papua yang bisa membaca. Timotius Awendu dan Petrus Kafiar dikirim untuk mendapat pendidikan di Depok. Dan ada guru Papua yang dididik di Tobelo. Antara tahun 1910 sampai tahun 1920, terjadilah suatu perkembangan besar setelah "revival" melalui mimpi Yan Ayamiseba di Jende, Roon. Yan Ayamiseba dalam mimpi menjumpai Kristus. Kristus berpesan agar orang Roon harus percaya pada apa yang diberitakan oleh Pdt. Bink. Guru-guru

yang dipersiapkan Pdt. F.J.F Van Hasselt dan anaknya serta barisan pendeta dari Zending Heldrink berhasil mempersiapkan18 guru di Mansinam Doreri, 28 guru di Wanda-men, Yapen, Waropen, 29 guru di Biak dan Numfor dan 17 guru di Numbai, Yotefa, Tanah Merah, Bonggo dan Sarmi.

Sebanyak 12 guru ditempatkan di Bintuni, Inanwatan dan Fak Fak. Pada tahap inilah peran Ds. Izaak Samuel Kijne berhasil dengan pendidikan guru Injil dan Sekolah di Aitumieri Miei, tahun 1925, setelah 3 tahun se-belumnya 1923 mendirikan sekolahperadaban di Mansinam. Orang Papua, pada hari ini patut bersyukur dan berterima kasih kepada puluhan guru guru asal Sangihe Talaud, Ambon dan Manado yang direkruit oleh Ds. Izaak Samuel Kijne, yang bersama guru-guru orang Papua, membangun Papua, dalam bidang pendidikan sebagai lapisan pertama pembangunan di Tanah Papua.

jejak - jejakOttow

danGeissler

oleh Pdt. Phil Karel Erari

refleksi

Makam Ottow di Kwawi.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 35

nasib Tragis ottow dan Geissler

Kedua pemuda Jerman bersemangat tinggi itu, pada tahun pertama men-galami berbagai tantangan. Selain penduduk Doreri di pulau Mansi-nam, dingin penuh curiga, kurang memberi dukungan, terutama ketika keduanya di serang malaria. Tanggal 20 April 1855, Geissler kembali ke Ternate. Dari Juni sampai Desember, Geissler melayani jemaat yang ada di Bacan. Tanggal 12 Februari 1856, Geissler baru kembali ke Mansinam dari Bacan. Pada 1857, giliran Ottow ke Ternate menjemput istri A. Letz yang tiba di Ternate Oktober 1857. Januari 1958 Ottow dan istrinya tiba di Mansinam. Tidak lama kemudian, Geissler dengan luka besar di kaki dirawat di RS Ambon, dan pada Desember 1858 ia ke Ternate. Pada 1860, dua tahun kemudian, Geissler sakit lagi dan dibawa ke Jawa hingga tahun 1861. Ia baru pulang ke Mansinam dalam keadaan sangat tragis dan menyedihkan. Pada 1861, Ottow dan istrinya pindah ke Kwawi. Tahun 1862, Geissler ke Ternate untuk menikah dengan Justine Pauline Reinard. Sangat menyedihkan karena tanggal 8 September 1862, Ottow meninggal dunia dan dikuburkan di Kwawi. Karena selama 7 tahun tidak seorang pun yang dibaptis, maka doa Ottow yang terkenal adalah “Tuhan, semoga di surga kelak, saya akan menemukan satu orang Papua.” Atas doa inilah maka di atas nisan kuburan Ottow terpahat ayat ucapan Yesus: “Berbahagialah orang yang percaya, kendati tidak melihat.” Anak dan istri Ottow pindah ke Ternate kemudian pulang ke Belanda.

Pada 1 Januari 1863, istri Geiisler melahirkan, tetapi anaknya mening-gal. Tanggal 18 Agustus Geissler dan istri dan satu anak menuju Ternate. Di sana bersama J.F Van Hasselt memeriksa ulang terjemahan Injil Lukas dalam bahasa Numfor-Doreh. Perlu dicatat, Ottow maupun Geiisler belum pernah berlibur ke Jerman atau Belanda. Dengan penuh haru, Geissler akhirnya naik sendiri di atas kapal dari Ternate ke Belanda. Mengapa sendiri? Ia tahu bahwa ia mengidap TBC dan akan meninggal dalam waktu yang tidak lama lagi. Ia seorang penginjil yang miskin. Ia kha-watir, istrinya tidak akan diurus oleh keluarganya di Jerman. Ia juga merasa bahwa istrinya yang "indo" itu tidak akan diperhatikan di Siegen oleh keluarganya.

Geissler meninggal 11 Juni 1870, dan di atas batu nisan hanya ditulis tiga huruf JGG. Mengapa? Ia miskin dan tidak punya cukup uang untuk menulis sebuah memori nisan yang lengkap, sama seperti batu nisan Ottow di Kwawi. Doa Geissler beda dari doa Ottow. Ia katakan kepada Tuhan: "Kabut Papua". Ia hanya berada di tanah airnya selama 25 hari sebe-

lum Tuhan memanggilnya di Siegen.

Penulis bersyukur bahwa pada Juni 1992 bersama Pdt. Frans Mambras-sar, diantar Suster Hanna dan Martha berziarah ke kuburan Geissler di Siegen. Di sana penulis menamam sebuah pohon kecil di samping kuburan Geissler. Dengan Doa, atas nama orang Papua, kami bersyukur bahwa doa Ottow sudah terjawab Tuhan karena setelah Injil diberi-takan, sudah lebih dari satu orang Papua dibaptis, sudah lebih dari 1 juta. Apakah Ottow dan Geissler akan bertemu dengan mereka semua di surga? Hanya Tuhan Sang Kepala Gereja yang tahu.

Selamat merayakan HUT PI ke 161 tahun di mana pun anda berada. ∎Penulis, Anggota Majelis Pertimbangan PGI

refleksi

Ottow dan Geissler

Pdt. Phil Karel Erari

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 36

SIARAN TELEVISI TERUS MEMBODOHI PEMIRSA

Hingga saat ini tercatat 12 stasiun televisi komersial yang bersiaran secara nasional di tanah air dan 129

stasiun televisi lokal. Dengan jumlah yang relatif banyak untuk pemirsa dari Sabang hingga Merauke mestinya masyarakat Indonesia tumbuh menjadi sipil yang kritis dan cerdas karena mendapat pasokan informasi dari berbagai perspektif dan tentang berbagai hal bidang kehidupan dari stasiun-stasiun televisi komersial. Politik, budaya, kehidupan flora dan fauna Nusantara atau di dunia, musik, mode, kuliner khas Nusantara, dan seterusnya. Dari segi ideologi dan pandangan politik, stasiun-stasiun televisi tersebut juga diharapkan menyajikan perspektif yang berbeda-beda. Sayang, ini cuma impian, semua stasiun televisi berorientasi sama: komersial dan menjadi corong kepentingan politik pemiliknya.

Mari kita simak konglomerasi media massa di tanah air. Trans TV, Trans 7, dan Detik.com dengan payung bisnis Trans Corp dikuasai Chairul Tanjung; Global TV, RCTI, TPI, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio dengan payung bisnis Grup MNC di-kuasai Hary Tanoesoedibyo; TV One, ANTV, Viva.news dengan bendera Bakrie Group dikuasai Aburizal Bakrie; SCTV sebagian besar saham-nya dimiliki Eddy Sariatmadja; Metro TV, Media Indonesia, Metro.com di-kuasai Surya Paloh; Jawa Pos, Rakyat Merdeka dan koran-koran jaringan di daerah-daerah dan cukup kuat di-kuasai Dahlan Iskan; Majalah Tempo,

Koran Tempo, Tempo.com, Radio Utankayu dengan nama perseroan PT Graffiti Pers; KompasTV, koran Kom-pas, Kompas.com di bawah payung Gramedia milik Jakob Oetama.

Tiga pemilik korporasi media yakni Abu Rizal Bakrie, Hary Tanoesoedi-byo, Surya Paloh adalah pengusaha merangkap politikus pengurus partai. Bias-bias politik tersiar jelas dalam pemberitaan media massa yang dikuasai pengusaha merangkap politikus. Jangan harap pemirsa akan mendapat informasi terkait kasus Lapindo. Surya Paloh sering tampil di MetroTV dalam acara-acara sere-

monial partai maupun pemerintah; demikian juga Hary Tanoe me-manfaatkan stasiun-stasiun televisi miliknya untuk tujuan kampanye politik. Sebuah penelitian terhadap lima suratkabar menyimpulkan bahwa kelima suratkabar tersebut terpenjara oleh kepentingan politik para pemiliknya. Karena itu kong-lomerasi media justru membajak demokrasi dan hak rakyat atas infor-masi yang benar.

World Radio and Television Council 2002 mengatakan, prinsip utama la-yanan penyiaran publik mengatakan,

yakoma

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 37

“Neither commercial nor state-controlled, public broadcasting’s only raison d’etre is public service. It is public broadcasting organization; it speaks to every one as a citizen. Public broad-casters encourage access to and par-ticipation in public life. They develop knowledge, broaden horizons and enable people to better understand themselves by better understanding the world and others.”

Fungsi utama media siaran adalah meningkatkan pengetahuan publik, memperluas wawasan dan memam-pukan rakyat memahami diri mereka sendiri dengan memahami dunia dan orang lain. Di Indonesia, ada tiga tu-juan penyiaran yang ditetapkan oleh pemerintah: informasi, pendidikan, dan hiburan.

Sayangnya, siaran televisi di tanah air dari tahun ke tahun semakin mem-perbodoh publik, alih-alih mencer-daskan. Refleksi Akhir Tahun KPI 2015 melaporkan sebanyak 250 sanksi tersebar pada 14 jenis program siaran yang dijatuhkan kepada lembaga penyiaran akibat pelanggaran terha-dap perlindungan anak, pelangga-ran kesopanan dan kesusilaan serta

pelanggaran jurnalistik yakni: Trans TV (47 sanksi), RCTI (25), ANTV (25), Global TV (21), Metro TV (21), Trans (17), Indosiar (16), MNC (16), SCTV (15), TV One (15), RTV (13), Kompas TV (9), TVRI (7) dan News TV (6). Pen-gaduan masyarakat yang masuk ke KPI selama Januari – November 2015 sebanyak 1.37 yang disampaikan melalui surel, SMS, twitter, facebook, telepon dan surat. Program siaran yang diadukan masyarakat paling banyak sinetron dan variety show.

Banyaknya pengaduan masyarakat dan pelanggaran mengindikasi-kan posisi KPI yang strategis dalam meningkatkan mutu siaran. Per-tanyaannya, bagaimana posisi KPI sendiri? Laporan Kompas (21 Januari 2016) bertajuk “PI Makin Tak Punya “Gigi”, “Pelanggaran Terus Berulang”. Artinya, meskipun dikenakan sanksi berulang-ulang, namun tak memberi efek jera. Laporan Kompas tersebut juga mencatat, antusiasme publik dalam mengkritik siaran-siaran televisi relatif tinggi. Lembaga studi dan pemantauan media, Remotivi, misalnya, selama 2015 menerima 853 pengaduan dari masyarakat terkait

tayangan televisi yang melanggar aturan melalui aplikasi Rapotivi. Dari jumlah itu, tak lebih dari 10 persen yang ditindaklanjuti KPI. Dari 853 pengaduan yang terbanyak iklan politik Partai Persatuan Indonesia (Perindo), namun sampai saat ini KPI tidak juga memberikan peringatan apalagi sanksi kepada televisi yang menyiarkannya.

Tak kurang Presiden Jokowi mengatakan dalam visi-misinya: Kami akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran (visi-misi Jokowi-JK 2014, hlm. 17). Peraturan KPI sendiri menyatakan bahwa program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan bukan kepetingan pribadi, kelompok pemlik lembaga penyiaran bersangkutan.

Perbaikan kinerja KPI ditunggu! ∎(Rainy Hutabarat)

yakoma

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 38

MEME DAN PELESETAN

Media sosial (Facebook, Twitter, Path, Whatsapp, Blackberry Messanger) adalah tempat menyimak berbagai gejala bahasa dan media. Mulai dari bahasa Indonesia yang baik dan benar, pelesetan, bahasa prokem atau bahasa gaul, meme, kode-kode emosi, multimedia, sampai bahasa Jawa dan gado-gado bertaburan di sana.

Tak ada peraturan yang mengikat, hanya rambu-rambu SARA, fitnah, pelecehan, kebohongan dan penghinaan. Media sosial sejatinya bersifat personal dan sebagian memanfaatkannya untuk jurnalisme warga, kampanye, promosi dan sosialisasi.

Meme dan pelesetan adalah dua bentuk media yang banyak digunakan di media sosial. Keduanya berfungsi sebagai kritik, sindiran, ejekan, humor, hikmat, tapi juga penghinaan, pelecehan dan kebohongan.

Meme dari kata mīmēma (bahasa Yunani) artinya sesuatu yang diimitasi atau direpilkasi. Menurut pakar budaya, budaya berkembang dengan replikasi gen-gen yang disebut meme. Jadi meme adalah suatu unsur dalam budaya yang berkembang dan tersebar melaui cara-cara nongenetik, khususnya melalui imitasi. Tindakan melakukan meme disebut mimikri, yang mengandung unsur replikasi dan interaksi.

Pelesetan bisa berupa singkatan, akronim, nama, kata, kalimat dan kisah. Contoh pelesetan akronim: BBM (Baru Bisa Mimpi), Malioboro (Malio-boros), hakim (hubungi aku kalau ingin menang), IMF (Indonesia Minta Fulus), KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), dll. Pelesetan nama yang paling diingat publik adalah Harmoko (Hari-hari omong kosong), Titi DJ (hati-hati di jalan), SBY (Si BuYa), dan seterusnya. Pelesetan pelecehan dan penghinaan banyak yang merupakan perpanjangan segregasi dua kubu dalam Pilpres 2015, misalnya Jokowi-Jokodok, Salam Dua Jari – Salam Gigit Jari. Pelesetan dan meme mengkritik atau menyindir dengan cara lucu, ringan, dan santai karena itu membuat orang tersenyum atau tertawa. Meme dan pelesetan politik sesungguhnya mencerminkan sikap politik penggunanya. ∎(Rainy Hutabarat)

yakoma

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 39

PGI-BPK Gunung Mulia Luncurkan Paket Cinta Pustaka Gereja

Dalam rangka ikut mencer-daskan bangsa, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

(PGI) bersama BPK Gunung Mulia meluncurkan progam Paket Cinta Pustaka Gereja. Program ini me-nyiapkan sebanyak 205 paket buku yang akan diberikan kepada gereja, sekolah teologia, serta lembaga sosial yang sangat membutuhkan buku-buku bacaan.

Menurut Direktur BPK Gunung Mulia, Johan Tumanduk, 205 paket yang berisi 340 judul itu, akan dikirim baik ke gereja maupun sinode, mulai dari Pakpak Dairi, Singkil, sampai GKI Tanah Papua, bahkan GPI di Papua Barat.

“Penyebarannya akan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai pada hari Valentine sebanyak 70 paket dalam minggu ini akan diberangkatkan, dan yang me-nerima HKBP dan PGIW DKI Jakarta, lalu ke Nias dan Donggala,” jelas Johan di Kantor BPK Gunung Mulai usai Ibadah Pemberangkatan Perdana Paket Cinta Pustaka Gereja, di Gedung BPK Gunung Mulia, Jakarta, Rabu (24/2).

Sementara, tahap kedua akan dilaksanakan saat Paskah dengan jumlah yang sama ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTT. Sedangkan tahap ketiga dilaksanakan tepat pada perayaan HUT PGI.

Dalam sambutannya, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, MTh menilai, upaya BPK Gunung Mulia adalah bagian dari tugas negara, seperti disebutkan dalam UUD 45, yaitu mencerdaskan bangsa.

“Kami bersyukur karena program ini, dan dengan penuh harapan tentunya juga, ini yang nyaris hilang di tengah

bangsa kita, ketika kita seolah-olah kehilangan harapan karena begitu banyaknya persoalan yang sedang kita ha-dapi. Ini permulaan yang sangat bagus untuk diteruskan dan yang diperlukan adalah untuk saling sehati di BPK Gunung Mulia untuk saling mendukung dan percayalah Tuhan akan beserta kita untuk menjalankan tugas-tugas yang maha berat ini,” jelasnya.

Lebih jauh Pdt. Gomar menjelaskan: “Kalau sekarang dimulai dengan 70 paket, saya percaya dan berharap minimal 10 persen dari 70 paket ini, akan melakukan gerakan serupa. Jadi buku itu tidak tinggal diam di satu tempat tetapi dibaca berkali-kali oleh orang yang berbeda-beda sehingga tujuan kita untuk mencerdaskan bangsa ini betul-betul terjadi.”

Usai ibadah, pengiriman paket pertama ditandai dengan pengguntingan pita oleh Pdt. Gomar Gultom dan Johan Tumanduk, di bagian belakang mobil box yang berisi ketujuhpuluh paket buku tersebut. ∎ (MS)

varia

Foto bersama sebelum memberangkatkan Paket Cinta Pustaka Gereja.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 40

Perayaan Jubileum 100 Tahun Injil masuk Sulawesi Teng-gara berlangsung di Mowewe

Propinsi Sulawesi Tenggara, (Sabtu, 13/2). Selain jemaat dan pimpinan Sinode GEPSULTRA, Menag RI Lukman Hakim Saifuddin, dan Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang juga hadir pada acara ini.

Dalam sambutannya, Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang menyampaikan selamat merayakan Jubileum 100 Tahun Injil Masuk Sulawesi Tenggara kepada jemaat serta pimpinan GEP-SULTRA. Menurutnya, perayaan ini sebagai momen perenungan, men-syukuri rahmat Allah, tetapi sekaligus mengajak kita, khususnya warga Gepsultra, untuk merayakan karya pembebasan Allah (tahun Yobel) terutama dari sikap hidup yang tidak benar di mata Allah.

“Firman Tuhan dalam Roma 12:1-2 mengingatkan kita untuk terus-menerus membarui akal budi dan hati kita agar tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan mate-rialistis serta mengalahkan kuasa

yang acap membuat orang lain ter-sisihkan atau dipinggirkan, bahkan menderita. Ajakan Firman Tuhan bagi pembaruan hidup adalah landasan spiritualitas kita untuk menyambut positif himbauan Presiden Jokowi untuk mengadakan revolusi mental demi tercapainya keadilan, perda-maian, dan kebenaran yang mensejahterakan segenap bangsa Indonesia, serta seantero bumi per-tiwi yang kita cintai,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Sinode GEPSUL-TRA Pdt. Adrie O. Massie mengajak seluruh jemaat serta pimpinan Gepsultra untuk menjadi-kan peringatan Jubileum 100 tahun Injil masuk jazirah Sulawesi Tenggara sebagai hari rahmat Allah bagi kita dalam meneruskan misi dan pang-gilannya di Sulawesi Tenggara untuk menghadirkan Syalom Allah (Damai Sejahtera Allah) di bumi Sulawesi Tenggara.

Sekilas Sejarah injil masuk Sulawesi Tenggara

Injil masuk di wilayah Sulawesi Tenggara pada tahun 1961 dipelo-

pori oleh seorang berkebangsaan Belanda yakni DS. Hendrik Van der Klift. Awalnya, kedatangan Van der Klift di Kolaka adalah untuk kegiatan pelayanan yang ditujukan kepada orang-orang Kristen yang bekerja sebagai pegawai sipil dan tentara Hindia-Belanda.

Tetapi di sisi lain, Van der Klift juga merupakan tenaga misionaris per-tama yang datang ke Sulawesi Teng-gara dalam menjalankan misi ke-kristenan. Dalam Misinya, DS Hendrik Van der Klift pertama kali datang ke Kolaka lalu menuju ke daerah Lembah Mowewe.

Dalam perjalanannya, misionaris Belanda ini menjumpai masyarakat yang masih dalam kondisi terbeleng-gu oleh kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tetapi yang teru-tama adalah bahwa masyarakat yang dijumpai nya masih merupakan ma-syarakat yang menyembah kepada berhala atau dewa-dewa yang oleh masyarakat setempat disebut Sangia.

Seiring berjalannya waktu, pertum-buhan jemaat GEPSULTRA semakin bertambah.

Perayaan Jubileum

100 Tahun Injil Masuk Sulawesi Tenggara

varia

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan bantuan kepada Ketua Sinode Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA) Pdt. Adrie O. Massie

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 41

Saat ini kurang lebih 30.000 jiwa berada di dalam tujuh klasis dan ter-himpun didalam 98 jemaat, 37 bakal jemaat, dan 1 pos pelayanan. ∎

varia

Menag Lukman Hakim Saifuddin menandatangani Parasasti Jubelium 100 Tahun Injil Masuk Sulawesi Tenggara

Jangan Sebut Kota Injil, Bila Masih ada Orang Mabuk!

Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua, Pdt Albert Yoku

menilai, slogan Manokwari Kota Injil sebagai hal luar biasa. Namun, belum bisa menjadi budaya Injil dan Kristen kalau masih banyak orang mabuk, saling bunuh, perkelahian terjadi di Manokwari.

‘’Kalau masih ada orang mabuk, saudara potong saudara, masih ada orang berkelahi, maka ini bukan kota Injil. Camkan ini baik-baik,’’ tegas Pdt Albert Yoku ketika memberi sambu-tan pada peringatan HUT Pekabaran Injil ke- 161 di Tanah Papua, di Pulau Mansinam, Manokwari, (Jumat, 5/2).

Bila mau dikatakan Kota Injil, lanjut Ketua BP Am, Sinode GKI, berarti ti-dak ada orang mabuk di Manokwari. ‘’Tidak ada orang berkelahi,tidak ada orang palang gereja, palang tanah, tuntut itu, tuntut ini,’’ tuturnya. Pada kesempatan peringatan HUT PI ke-161, Ketua BP Am Sinode juga meng-ingatkan umat Kristen, agar tidak main-main dengan sebutan Kota Injil. Dikatakannya, celakalah bagi orang

yang menyebut Kota Injil, tapi tidak melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

‘’Kalau berani (menyebut Kota Injil) harus buktikan. Celakalah aku bila tidak memberitakan Injil,’’ ujar Pdt Albert Yoku menguntip ayat dalam Alkitab Korintus yang menjadi tema peringatan HUT PI ke-161. Ia menilai Pulau Mansinam telah berkembang pesat. Gubernur Papua Barat, Bram O. Atururi, dua mantan Sekda Papua Barat Ir M.L. Rumadas dan GC Auparay, Bupati Manokwari serta Kepala Suku Besar Arfak, Drs. Dominggus Mandacan dinilai memiliki peran besar atas perubahan di Pulau Mansinam.‘’Suatu perubahan baru telah kita lakukan untuk melihat Mansinam sebagai suatu sejarah monumental. Situs Mansinam dibangun oleh kita semua dipimpin Bapak Gubernur,’’ ujarnya. Di Pulau Mansinam terdapat Tugu Yesus Kristus, bangunan gereja megah, museum Pekabaran Injil serta bangunan lainnya. Ketua Sinode berharap, masyarakat dapat menjaga

situs ini sehingga menjadi asset yang sangat berharga.

Pdt. Albert Yoku mengatakan, dirinya dan Bram Atururi tak lama lagi akan berlalu dari kepimpinan sebagai ketua Sinode dan gubernur, namun telah mempersembahkan situs PI di Mansinam. Ia berharap, generasi muda dapat menjaga situs ini. ‘’Mari kita wujudkan situs ini benar-benar menjadi situs agama,’’ tuturnya.

Kepada pemerintah daerah diingatkan, agar menjadikan Pulau Mansinam sebagai tempat khusus bagi kebesaran Tuhan. Sebelum ada pemerintahan, di Pulau Mansinam terlebih dahulu menjadi pusat zending atau misionaris.

‘’Jadikan pulau ini (Mansinam) sebagai pulau zending, pulaumisionaris, pulau Injil yang ditata khusus dengan aturan khusus untuk kebesaran nama Tuhan dan menjadi berkat bagi kita di Tanah Papua,’’ imbuhnya. ∎Sumber: (web.sinodegkiditanahpapua)

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 42

Kondisi tersebut disampaikan Pelapor Khusus KBB KOMNAS HAM, Imdadun Rahmat dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto Kav. 37 Kuningan, Jakarta, Selasa (23/2).

Lebih jauh Imdadun menjelaskan, menurut data ternyata Pemerintah Kabupaten/Kota adalah yang lebih banyak diadukan sebagai pelanggar hak atas KBB (36 kasus), disusul Kelompok Orang/Kelompok Warga Masyarakat (10 kasus), Institusi/Ormas Keagamaan (7 kasus), Pemerin-tah Pusat/Presiden (6 kasus), Kepala Desa/Lurah (6 kasus), dan Kepolisian (5 kasus).

“Fakta ini sangat memprihatinkan karena Pemerintah Daerah yang seharusnya melaksanakan mandat melin-dungi hak beragama warga negara justru menjadi pelaku pelanggaran. Fakta ini juga menunjukkan ada persoalan serius terkait implementasi norma-norma HAM, khusus-nya hak atas KBB di tingkat Pemerintah Daerah. Masalah tersebut dapat berupa komitmen, kesadaran, pengeta-

huan, dan kemampuan aparatur di daerah dalam melak-sanakan jaminan hak atas KBB,” jelasnya.

Selain itu, hal tersebut juga memperlihatkan bahwa banyak Pemimpin Daerah yang belum sepenuhnya menyadari tanggungjawab dan kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas KBB warga negara.

Dilaporkan pula, dari segi korban, diadukan bahwa pelanggaran hak atas KBB lebih banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia -JAI (17 kasus), Jemaat Masjid/Mushala (16 kasus), dan gereja (15 kasus). Tingginya jum-lah korban dari JAI menunjukkan bahwa persoalan JAI di Indonesia juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh Pemerintah. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung tahun 2008 tentang Ahmadiyah ternyata belum mampu menjawab berbagai tindakan pelanggaran terha-dap warga Ahmadiyah.

Sedangkan berdasarkan sebaran wilayah, pengaduan

Pemerintah Kabupaten/Kota Pelanggar Hak Atas KBB Tertinggi!

varia

Jumlah pengaduan pelanggaran hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang diterima Komnas HAM pada tahun 2015 (Januari-November) berjumlah 87 pengaduan. Jumlah ini meningkat dari jumlah pengaduan pada tahun 2014.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 43

pelanggaran terhadap hak atas KBB di Jawa Barat adalah paling tinggi (20), disusul DKI Jakarta (17), Jawa Timur (7), NAD (5), Sumatera Utara (4). Tingginya angka di Jawa Barat menunjukkan bahwa wilayah ini adalah wilayah panas (hot spot) atau wilayah rawan, baik dalam hal jaminan hak atas KBB maupun dalam hal hubungan antar agama.

Diskriminatif dan multi Tafsir

Meningkatnya pelanggaran dan kekerasan KBB, menurut Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Cip-taan (KKC) PGI, Pendeta Penrad Siagian, terjadi akibat dari regulasi-regulasi yang diskriminatif dan multi tafsir. Misalnya PNPS No. 1 Tahun 1965 atau PBM 2 Menteri 2006, yang sering dijadikan alat legitimasi bagi pelang-garan KBB. Namun selain hal tersebut, sikap pemerintah yang tidak tegas, yang tampil dalam bentuk-bentuk pem-

biaran saat terjadi berbagai pelanggaran dan kekerasan terhadap KBB juga menjadi faktor pemicu semakin garangnya kelompok-kelompok intoleran melakukan aksi kekerasannya.

“Namun dari laporan tahunan ini yang cukup mengejut-kan kita adalah tingginya aktor negara sebagai pelaku pelanggaran dan kekerasan KBB ini. Data KOMNAS HAM memperlihatkan sebanyak 36 kasus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Jumlah ini menjadi jumlah tertinggi dari pelaku KBB dibanding kelompok-kelompok lain,” jelasnya.

Tingginya aktor negara sebagai pelanggar dan pelaku ke-kerasan KBB tentunya memberi pesan yang memperlihat-kan massifnya pengarusutamaan intoleransi di kalangan aparatur pemerintah terutama Pemerintah Daerah. Selain tentu saja sebagai akibat dari menjadikan agama sebagai komoditas politik, ekonomi dan kekuasaan. ∎ (MS)

varia

Bertempat di PSP Tangmen-toe, Toraja, sejak 2-5 Februari 2016 dilaksanakan Workshop

Perlidungan Anak Gereja Toraja, yang merupakan hasil Kerjasama Pengurus Pusat OIG (SMGT-PPGT-PWGT), dan didukung oleh Yayasan Sobat Peduli Jakarta, Yayasan IMT, P2TP2A Provinsi

Sulawesi Selatan, Tana Toraja dan Toraja Utara.

Workshop yang dihadiri sekitar 50 orang peserta ini, menghadirkan fasilitator Edward A.Suthardio, M.Psi (Psikolog, Konselor dan Dosen UI), Bunga K.Kobong, M.Psi (Konselor dan Trainer), Natasya M. Dotulong, M.Psi

(Psikolog dan Konselor), serta Eva Christa Paranoan, M.Psi (Psikolog dan Konselor).

Seluruh peserta mengikuti kegiatan dengan penuh antusias. Berbagai komentar dan pertanyaan pun mun-cul. Melalui kegiatan ini diharapkan adanya pemahaman yang lebih luas lagi terkait gereja dan perlindungan anak. ∎(Aleksander Mangoting)

Workshop Perlindungan Anak Gereja TorajaSeluruh perserta Work-shop Perlindungan Anak Gereja Toraja antusia mengikuti kegiatan yang berlangsung selama empat hari.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 44

DARI KEMARAU SAMPAI HUJAN DAN AKHIRNYA

MEMASUKI MASA PANENoleh: Pdt. Brianclief S. nahumury, S.Si Teol

Masyara-kat di tempat

tinggal kami, khususnya para orang tua, seba-gian besar tidak mengetahui tang-gal lahir mer-eka secara pasti. Beberapa puluh tahun lalu, orang tua mereka tidak disertai dengan kalender masehi. Perhitungan

waktu yang digunakan dalam setahun adalah masa ber-ladang yang digunakan sebagai acuan waktu. Sebagai contoh: bila seorang anak lahir pada musim menabur benih saat ini, maka musim menabur benih pada tahun berladang selanjutnya merupakan masa penentuan usia satu tahun bagi anak tersebut; atau dengan kata lain bila seorang anak lahir pada musim menabur benih saat ini, maka musim menabur benih selanjutnya dihitung seb-agai ulang tahunnya yang pertama. Walaupun demikian, tidak pernah ada perayaan ulang tahun dari setiap anak

atau setiap orang, sampai dengan beberapa waktu belakangan ini barulah ada yang mengadakan perayaan ulang tahun setelah masyarakat benar-benar menggu-nakan kalender masehi secara efektif.

Selain dari perayaan ulang tahun, hal lain yang utama dan selalu dirayakan setiap tahun sejak zaman para orang tua terdahulu sampai saat ini adalah ucapan syukur setelah panen padi. Selama setahun, baik dalam musim kemarau maupun musim hujan, masyarakat telah mengolah ladang dan alam sebagai sumber mata pencaharian utama. Tumbuhan yang ditanam diladang misalnya padi ladang, ubi-ubian dan sayur-mayur.

Urutan kegiatan saat membuka ladang baru sampai dengan menuai hasil dimasa panen antara lain: mem-bersihkan lahan > menebas rumput > mengumpulkan sampah organik > membakar lahan > menabur benih > membersihkan area tanaman dari rumput pengganggu tanaman > menuai hasil panen. Urutan pengolahan ladang ini merupakan bagian yang dilakukan setiap tahun sampai saat ini.

Masyarakat ditempat tinggal kami hampir seluruhnya

adalah anggota jemaat Gereja Kalimantan Evangelis

(GKE). Masa saat ini, memasuki bulan Maret, jemaat telah

opini

Selama setahun, baik dalam musim kemarau maupun musim hujan, masyarakat telah mengolah ladang dan alam sebagai sumber mata pencaharian utama. Tumbuhan yang

ditanam diladang misalnya padi ladang, ubi-ubian dan sayur-mayur.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 45opini

sibuk dengan petikan hasil panen

padi sebagai produk primer dan hasil

lainnya dari

tanaman

ladang.

Nampak

keceriaan

dimata

mereka per-

tanda suatu

kepuasan

setelah

melewati

setahun

berladang

dan tuaian

telah dide-

pan mata.

Jemaat

yang telah

melaksanakan panen padi, kemudian

mengadakan acara doa pengucapan

syukur dirumah mereka bersama

keluarga besar mereka. Dalam acara

doa pengucapan syukur, setiap kelu-

arga yang telah memanen padi akan

mengundang pendeta atau pena-

tua atau diaken untuk memimpin

doa pengucapan syukur kemudian

setelah itu akan dihidangkan jamuan

kasih (makan bersama) yang dio-

lah dari tanaman ladang yang baru

dipanen. Misalnya: nasi dimasak dari

beras yang baru dipanen dan hasil

ladang lainnya.

Acara pengucapan syukur setelah

panen bukanlah hal baru bagi jemaat

GKE Imanuel Tebang Benua. Hal

ini telah diadakan turun-temurun

bahkan sebelum para orang tua di-

tempat tinggal

kami menerima

ajaran Injil yang

dibawa oleh

para Pendeta

terdahulu dari

Gereja Kaliman-

tan Evangelis se-

jak tahun 1970.

Masyarakat

ditempat ting-

gal kami sejak

masa orang tua

terdahulu me-

nyadari bahwa

ada kuasa

misteri dan tran-

senden yang

kekuatannya melebihi kekuatan

manusia dan yang telah sanggup

memberkati usaha manusia saat

berladang sehingga menghasilkan

padi yang diolah menjadi beras bagi

kebutuhan hidup manusia. Sebelum

menerima Injil Kristus, masyarakat

ditempat tinggal kami memberi

persembahan kepada benda-benda

yang dianggap sebagai manifestasi

kekuatan ilahi yang transenden. Na-

mun, setelah menerima Injil Kristus di

tanah Tebang Benua, dalam kesada-

ran dan Iman jemaat bahwa Kristus

yang telah memberkati usaha ladang

mereka, mereka semakin giat bekerja

dan tetap bersyukur, bahkan setelah

melewati masa panen, mereka me-

nyatakan rasa syukur kepada-Nya.

Istilah “Pengucapan Syukur” baru

Usaha untuk menyatakan syukur kepada Pribadi yang transenden yang diimani telah member-

kati usaha dan pekerjaan ladang jemaat, me-

rupakan hal yang telah ada sejak dahulu sebelum masyarakat mengenal Injil

Kristus.

Keceriaan dimata petani, kepuasan setelah melewati setahun berladang

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 46 opini

digunakan setelah gereja menanamkan pemahaman

tentang Kristus dalam kehidupan jemaat dan respon

tanggung jawab Manusia kepadaNya. Sebelum meneri-

ma ajaran Kristen, disebut sebagai persembahan kepada

benda yang dianggap memiliki kekuatan roh. Benda yang

dianggap memiliki kekuatan roh disebut dalam istilah

bahasa daerah ditempat kami tinggal, yaitu pedagi –

(sumber: Bpk.Poeng). Sampai saat ini, terkadang masih

ada juga segelintir orang , khususnya orang tua yang

masih berada dalam dualisme antara persembahan terha-

dap pedagi dan ucapan syukur terhadap Kristus. Dalam

generasi muda saat ini sudah tidak ada lagi pemahaman

persembahan terhadap pedagi.

Usaha untuk menyatakan syukur kepada Pribadi yang

transenden yang diimani telah memberkati usaha dan

pekerjaan ladang jemaat, merupakan hal yang telah ada

sejak dahulu sebelum masyarakat mengenal Injil Kristus.

Momen pengucapan syukur selalu ada, namun setelah

jemaat mengenal injil Kristus, tujuan pengucapan syukur

bukan lagi diarahkan pada benda-benda yang diyakini

memiliki roh, melainkan pengucapan syukur itu hanya

dinyatakan dan ditujukan pada Yesus Kristus yang telah

memberkati usaha dan pekerjaan jemaat.

TinJaUan DaRi SUDUT PanDanG aLKiTaB:

1. MANDAT DARI ALLAH : BERKUASA DAN MENAKLU-

KAN BUMI

Alam yang diciptakan Allah begitu indah dan Ia

memberikan mandat bagi manusia untuk berkuasa

dan menaklukan bumi (Kejadian 1:28). Mandat yang

diberikan Allah bagi manusia untuk mengusahakan

bumi bukanlah wewenang sebebasnya sesuai kehen-

dak manusia semata. Kepercayaan yang diberikan

Allah terhadap manusia bertujuan agar alam dapat

dijaga, dilestarikan demi kebahagiaan hidup manusia.

Pelestarian alam demi kebahagiaan hidup manusia

terwujud melalui kesadaran dan perilaku manusia

untuk mengelola alam: menanam segala jenis tumbu-

han yang dapat dinikmati hasilnya untuk memenuhi

kebutuhan hidup manusia.

2. BERSYUKUR KEPADA TUHAN

“Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasan-

nya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.” Kebaikan

Tuhan dirasakan dalam usaha dan pekerjaan jemaat

selama setahun berladang dan dalam kesukacitaan

dimasa panen, jemaat menyatakan syukur kepada

Tuhan Yesus Kristus.

3. KESETIAAN TUHAN TURUN-TEMURUN

Jemaat menyatakan syukur turun-temurun setiap

waktu, khususnya pasca panen karena meyakini

bahwa kesetiaan Tuhan turun-temurun sesuai firman-

Nya; Sebab Tuhan itu baik, kasih setiaNya untuk sela-

ma-lamanya dan kesetiaanNya tetap turun temurun.

(Mazmur 100 : 5). ∎

Penulis saat ini melayani sebagai Pendeta Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) di Calon Resort GKE Tebang Benua, Kec.Tayan hilir, Kab.Sanggau Kaliman-tan Barat; alumni fak.Teologi UKSW.

Alam yang diciptakan Allah begitu indah dan Ia memberi-

kan mandat bagi manusia untuk berkuasa dan

menaklukan bumi.

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 47

Anggota-anggota JK-LPK sendiri sa-ngat beraneka sehingga tak mungkin menolak keragaman. Sikap-sikap yang dikembangkan dari pemaha-man “keragaman sebagai yang given” dalam buku ini meliputi penerimaan, toleransi dan penghargaan.

Pertanyaannya, apakah keberagaman yang dimaksud tersebut merupakan arak-arakan atau gerakan? Istilah ini muncul secara eksplisit. Arak-arakan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia IV Pusat Bahasa adalah iring-iringan, pawai, atau prosesi. Sedangkan gerakan merupakan proses, tidak sama dengan prosesi

yang lebih bersifat seremonial. Proses adalah serangkaian aksi, tindakan, kegiatan yang mengarah kepada hasil tertentu; runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu. Gerakan sebagai gerakan sosial memiliki karakter utama sebagai aksi kolektif untuk peruba-han paradigm, perubahan relasi dan kebijakan dan berujung pada pe-rubahan sosial.

Dalam buku ini, ragam karakter dan karya LPK-LPK meliputi karitatif, refor-matif, dan transformatif dan tidak semua berwatak gerakan. Sering kali yang pertama kali harus dihadapi

adalah gereja. Ragam tipe berdasar-kan target perubahan adalah indi-vidu terbatas (limited individual) dan komunitas terbatas (limited mass). Tidak bisa dan tidak perlu dipaksakan untuk berkarakter gerakan sebab bukan wewenang JK-LPK. Karakter LPK-LPK ini ditentukan oleh banyak faktor: konteks, kebutuhan, kapasitas LPK dan keputusan LPK tersebut. Tugas JK-LPK dalam konteks ini adalah:

(1) memfasilitasi agar dalam keraga-man karakter itu dihubungkan dan diangkat ke aras gerakan;

Judul Buku: merajut Kebhinnekaan memaknai indonesia

Penerbit: JK-LPK dan YaKoma-PGi, Desember 2015

Penyunting: Rainy mP hutabarat

Tebal: 235 hlm.

Keragaman adalah given, suatu keniscayaan yang suka atau tidak suka harus diterima.

Bagi JK-LPK dan Lembaga-lembaga Pelayanan Kristen (LPK) yang men-jadi anggotanya, isu kebhinnekaan sudah selesai. Tetapi bagaimana dengan gereja-gereja yang berada di balik mereka? Saya harap juga sudah selesai. Dalam buku Merajut Kebhinnekaan, Memaknai Indone-sia ini, keberagaman tercatat pada tataran agama, suku dan budaya. Keberagaman dalam arti luas belum muncul.

resensi

BERITA OIKOUMENE | FEBRUARI 2016 48

(2) sinergi LPK-LPK dalam perspektif gerakan menyam-bungkan LPK-LPK dalam rangka perubahan;

(3) membantu gereja untuk memahami bahwa LPK dalam melakukan tugas panggilannya ke dalam dunia adalah menegakkan rahmatan lil alamin, membebaskan dan mentransformasikan;

(4) mengadvokasi negara dan pemerintahnya agar se-makin mampu menjalankan peran dan tugasnya antara lain: memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar se-hingga panti-panti asuhan tak diperlukan lagi, pemenu-han hak-hak dasar rakyatnya sehingga perlahan-lahan

LPK-LPK pengada layanan hak dasar tidak perlu melaku-kannya lagi, serta merawat kebhinnekaan tunggal ika yang merupakan karakter sekaligus rahmat bagi bangsa Indonesia dan mandat Konstitusi Republik Indonesia.

Menerbitkan buku best practices dan lessons learnt seperti ini sebagai bagian dari ragam karakter dan karya men-jadi sebuah gerakan harus memiliki keberanian otokritik. LPK, yang adalah Organisasi Non Pemeritah (Ornop) perlu mengurangi aspek sebagai pengada layanan dan me-nambah aspek advokasi serta mengurangi aspek ornop sebagai penggerak dan mendorong masyarakat.

Buku ini berat kepada best practices dan kurang meng-gali lessons learnt. Juga, masih kurang diangkat ke arah JK-LPK sebagai gerakan misalnya fakta bahwa apakah LPK-LPK sering terposisikan terjepit, dan apakah yang harus dilakukan? Untuk LPK pengada layanan, perlu ambil bagian dalam mengimplementasikan program populis pemerintah agar memaksimalkan dampak yang lebih luas.

Sebagai catatan, JK-LPK dibentuk 1988 dengan visi sosial, kesetaraan, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dan misi: (1) menjadi pusat komunikasi, informasi bagi partisipan JK-LPK di Indonesia; (2) menumbuhkan moti-vasi dan mengembangkan kemampuan partisipan dalam mencapai visi JK-LPK; (3) menyalurkan aspirasi partisipan JK-LPK kepada semua pihak dan memfasilitasi partsipan dalam membangun dan mengembangkan hubungan kerjasama dengan lembaga. Pertanyaannya: di manakah mandat “gerakan” dalam urusan visi-misi ini? Jawabannya adalah program strategis nomor 3 yakni advokasi. ∎Anna Marsiana (Konsultan Brot für die Welt-BFDW)

resensi

Menerbitkan buku best practices dan lessons learnt seperti ini sebagai bagian dari ragam karakter dan karya menjadi sebuah gerakan harus memiliki

keberanian otokritik.

!

Diterbitkan oleh:Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Jl. Salemba Raya 10 JakartaPhone: 021-3150451; Fax: 021-3150457

Untuk mendapatkan copy majalah dan partisipasi pemasanganiklan di Berita Oikoumene, Pembaca bisa menghubungi:Bagian Marketing (021-3150451; Fax: 021-3150457) atau

Ardina Sirait (0813-1266-00747)

Partisipasi Pembaca

Advertisement : Full Color B/W1. Sampul Belakang (Cover 4) Rp. 7.000.000,-

2. Sampul Dalam (Cover 2 atau 3) Rp. 6.000.000,-

3. 1 Halaman Rp. 5.000.000,- Rp. 3.000.000,-

4. 1/2 Halaman Rp. 1.500.000,-

5. 1/4 Halaman Rp. 500.000,-

Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat-Lebang (Ketua Umum)Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua, PhD (Ketua)Pdt. Dr. Bambang H. Widjaja (Ketua)Pdt. Drs. Samuel Budi Prasetya, MSi (Ketua)Pdt. Dr. Albertus Patty (Ketua) Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris Umum)Pdt. Krise Anki Rotti – Gosal (Wakil Sekretaris Umum)Pnt. Ivan Rinaldi, SE, MM (Bendahara Umum)Drs. Arie Moningka (Wakil Bendahara Umum) Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, MTh, MA (Anggota)Pdt. Budieli Hia (Anggota)Pdt. Dr. Zakaria Jusuf Ngelow (Anggota)Pdt. Dr. Lintje H. Pellu (Anggota)

MAJELIS PEKERJA HARIAN PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

(MPH PGI)

Mengucapkan

SELAMAT PASKAH 2016