NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …
Transcript of NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …
KONGRESBAHASA DAERAH NUSANTARA
Gedung Merdeka, Bandung2-4 Agustus 2016
NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI:TANTANGAN DAN PROSPEK PENERBITAN
BUKU SASTRA BALI MODERN
I Nyoman Darma Putra
1
Pendahuluan
Buku merupakan indikator penting untuk menilai kemajuan sastra suatu bangsa di era
modern. Kehadiran buku setidaknya menandakan hadirnya tiga pilar penunjang
kehidupan sastra tersebut yaitu (1) masyarakat penulis, (2) masyarakat pembaca, dan
(3) industri perbukuan yang berurusan dengan cetak-mencetak, distribusi, dan menjual
buku itu sehingga sampai di tangan pembaca. Makin banyak buku sastra terbit, makin
kokoh tradisi sastra bangsa tersebut, demikian juga sebaliknya.
Jumlah buku sastra Bali modern (SBM) yang terbit dalam satu setengah dekade terakhir
sangat sedikit, rata-rata sepuluh judul per tahun. Selain sedikit, angka cetak per judul
juga kecil, rata-rata 200 buah/judul. Fakta serba sedikit ini ditambah lagi kerapnya
muncul wacana ‘kematian bahasa Bali’ di media massa dengan segera memberikan
gambaran suramnya kehidupan buku-buku SBM. Walau kecil, kehadiran buku SBM
setiap tahun secara stabil menandakan bahwa SBM tidak jadi mati, seperti sering
dikhawatirkan kalangan pengamat, sejalan dengan kekhawatiran akan matinya bahasa
Bali. Kekhawatiran yang disampaikan adalah jika generasi muda tidak lagi bangga
dengan bahasa Bali, bahasa ini akan mati, tradisi sastranya pun akan menyusul tamat.
Apakah persoalannya sesederhana itu, atau adakah cara pandang lain untuk melihat
kehidupan sastra Bali modern termasuk buku-bukunya walaupun sedikit, gemanya lagu
sunyi, namun yang pasti dalam seratus tahun terakhir ini nyatanya tetap hadir, alias
tidak jadi mati?
Makalah ini membahas tantangan dan prospek kehidupan buku sastra Bali modern,
mulai dari awal kelahirannya pada zaman kolonial Belanda 1910-an, sampai tahun
2010-an, sekitar rentang waktu seratus tahun. Hal-hal yang dibahas meliputi
perkembangan buku sastra Bali pada zaman kolonial, kemudian peran kalangan
pemerintah dan sarjana Bali dalam mempertahankan kehidupan sastra Bali modern,
kehidupan sastra Bali modern secara umum, dan peran lembaga eksternal dalam hal ini
Yayasan Kebudayaan Rancage dalam ikut memotivasi kehidupan sastra Bali modern
melalui pemberian hadiah untuk buku dan tokoh yng berjasa. Di akhir akan ditegaskan
bahwa peran Yayasan Kebudayaan Rancage membuat kehidupan sastra Bali modern
2
dan tradisi penerbitan buku ‘tak jadi mati’, hanya saja gemanya kecil ibarat ‘nyanyi
sunyi’.
Buku Bali Era Kolonial
Buku sastra Bali modern pertama terbit tahun 1931, berjudul Nemoe Karma karya I
Wayan Gobiah, seorang guru di sekolah rakyat di Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka (alamatnya Batavia Centrum). Novelet setebal
64 halaman ini dianggap sastra modern karena bentuknya seperti novel atau roman,
berkisah tentang percintaan dalam kehidupan keluarga yang tercerai-berai namun
akhirnya bertemu (nemoe), sebuah happy ending. Para sarjana membagi cerita rakyat
menjadi empat yaitu legenda, mite, dongeng, dan fabel. Dibandingkan dengan keempat
jenis cerita rakyat yang ada, Nemoe Karma sangat lain, oleh karena itu pantas diterima
sebagai sastra Bali modern. Sehubungan dengan kehadirannya tahun 1931, maka para
sarjana sastra terutama I Gusti Ngurah Bagus menetapkan tahun 1931 sebagai tahun
kelahiran sastra Bali modern. Pendapat ini didukung oleh sejumlah sarjana lainnya
sebagai tonggak lahirnya sastra Bali modern (Jendra 1975; Setia 1987; Eddy 1991).
Pertanyaannya adalah apakah tidak ada karya sastra yang pantas dianggap sebagai
sastra Bali modern sebelum novelet karya Gobiah itu terbit?
Fakta menunjukkan ada banyak buku berbahasa Bali yang memuat cerita rakyat dan
cerita baru yang sudah menyerupai proto-cerita pendek modern. Penerbitan buku
bahasa Bali ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan
sekolah modern yang mereka bangun dalam rangka politik etis (politik balas budi).
Tahun 1874/75, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah modern pertama di
Singaraja, Bali Utara (Putra Agung 1969:2), disusul sekolah-sekolah lainnya di Bali
Barat, Timur, dan Selatan. Sejalan dengan pembukaan sekolah modern, pemerintah
kolonial Belanda mencetak tenaga guru dan mendorong mereka menyiapkan buku teks
untuk bahan pengajaran di sekolah. Dalam situasi pendidikan seperti inilah, terbit
beberapa buku berbahasa Bali, ada yang memakai huruf Bali dan ada juga huruf Latin.
Buku pertama yang terbit adalah Balineesch Spelboekje (pelajaran menulis aksara Bali,
1874) karya I Ranta, penerbitnya Lands-Drukkerij, Batavia. I Ranta adalah seorang guru
yang tamat dari sekolah pendidikan guru di Bandung. Kemungkinan besar dia
disekolahkan ke Bandung oleh Belanda untuk persiapan menjadi guru pada pembukaan
3
sekolah pertama di Singaraja. Uniknya, buku pelajaran aksara Bali ini tercetak
menggunakan huruf Jawa, mungkin karena mesin cetak waktu itu belum memiliki
piranti aksara Bali. Huruf Bali memang mirip dengan huruf Jawa dan merupakan asal
dari huruf Bali.
Satu buku lainnya yang ditulis I Ranta berjudul Balineesch leesboekje (pelajaran bahasa
Bali). Buku ini selesai ditulis tahun 1905, namun terbit tahun 1908, oleh penerbit sama
dengan buku pertama. Berbeda dengan buku pertama yang berisi panduan mempelajari
aksara Bali, buku kedua adalah pelajaran bahasa Bali. Isinya adalah cerita rakyat,
seperti kisah ‘Pan Balang Tamak’, nama warga desa yang cerdik, suka mengolok-olok
publik. Cerita jenaka tetapi penuh dengan pesan implisit untuk berfikir kritis meski
dalam situasi menghadapi hal yang sederhana masih sangat populer di Bali dewasa ini.
Makin banyak sekolah berdiri, makin bertambah jenjang kelas, makin banyak buku yang
diperlukan di sekolah. Buku-buku tersebut hampir semuanya ditulis oleh guru seperti I
Made Pasek, Ketut Nasa, I Wayan Jiwa, I Ketut Gelgel, I Gusti Ketut Ranuh, I Gusti Bagus
Sugeriwa, dan Mas Nitisastro. Nama terakhir adalah guru berasal dari Jawa yang
bertugas di Bali. Selain yang dikarang sendiri, ada pula buku pelajaran ditulis bersama.
Antara tahun 1874 sampai 1947, sejak awal buku Bali pertama tetbit, sampai buku
terakhir di saat-saat terakhir kolonial Belanda menjajah Indonesia, jumlah buku bahasa
Bali yang terbit relatif sedikit. Dalam rentang waktu sekitar 75 tahun, buku yang terbit
sekitar 50 buku pelajaran. Berbeda dengan Jawa pada umumnya, pendidikan di Bali
pada zaman kolonial terlambat jauh, jumlah sekolah dan murid juga sedikit. Jumlah
buku-buku yang terbit juga tidak sebanyak buku-buku berbahasa Jawa dan Sunda.
Meski demikian, untuk kepentingan menelusuri sejarah sastra dan buku sastra Bali
modern, dalam buku-buku pelajaran sekolah itu yang kebanyakan memuat cerita
rakyat, ternyata ada sejumlah cerita pendek modern. Dalam penelitiannya, Putra (2010
[2000]) menemukan beberapa cerita pendek yang bisa dijadikan alasan untuk
menentukan bahwa tonggak baru sastra Bali modern sudah bermula tahun 1910-an,
sekitar satu setengah dekade sebelum terbitnya novel Nemoe Karma. Cerita-cerita
‘modern’ karya I Made Pasek, I Wayan Jiwa, Mas Nitisastro dikutip dan dimuat dalam
buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010 [2000]). Cerita ‘Siap Mapalu’ (Ayam
Bertikai), karya Made Pasek misalnya, menonjolkan tema emansipasi wanita di bidang
4
pendidikan lewat cerita seorang remaja wanita menuntut untuk bersekolah agar tidak
menjadi ayam bodoh yang bertikai dengan bayangannya di kaca cermin. Cerita lainnya
seperti ‘Pemadat’ oleh Made Pasek dan “Anak Ririh’ (Orang Cerdik) dan ‘Loba’ karya
Mas Nitisastro semuanya memiliki struktur dan kisah yang mendekati cerpen modern,
beda jauh dengan cerita rakyat.
Sejak terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern, pelan-pelan pendapat lama yang
mengatakan sastra Bali modern mulai 1931 tertandingi. Walau para guru yang menulis
cerita itu mula-mula untuk menampaikan pendidikan moral, tidak bermaksud
melahirkan sastra Bali modern, karya mereka walaupun jumlahnya hanya belasan, tetap
memberikan arti penting dalam kelahiran dan perbukuan sastra Bali modern. Jika
cerpen-cerpen itu tidak pernah hadir di dalam buku, maka niscaya karya itu tidak akan
pernah hadir dalam masyarakat pecinta sastra dewasa ini. Sekali lagi, walaupun
sederhana, sedikit, terbatas, yang namanya buku tetap saja memainkan peranan penting
dalam kehidupan sastra.
Tiga Entitas Sastra
Kehidupan sastra di Bali bersifat heterogen, terdiri dari paling tidak tiga entitas sastra.
Ketiga entitas sastra ini hidup berdampingan dengan ranah berbeda-beda tetapi secara
bersama-sama mewarnai denyut nadi kehidupan seni sastra di Bali.1
Pertama, sastra Indonesia dengan jenis novel, puisi, dan drama. Sastra Indonesia
berkembang di Bali sejak tahun 1920-an atau 1930-an ditandai dengan terbitnya
roman-roman Panji Tisna yang diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti Sukreni Gadis Bali
dan Ni Rawit Ceti Penjual Orang. Selain nama Panji Tisna, Bali yang kecil dengan
penduduk sangat sedikit (dibandingkan total penduduk Indonesia) juga
menyumbangkan ke dalam kanon sastra Indonesia beberapa nama yaitu Putu Wijaya, I
Gde Aryantha Soethama, Oka Rusmini, dan Cok Sawitri. Beberapa penulis Bali mendapat
anugerah sastra bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa atas karyanya seperti cerpenis
Aryantha Soethama 2006, penyair Sindhu Putra 2008, dan Oka Rusmini 2014; Cok
Sawitri mendapat anugerah Dharmawangsa (2010), dan Oka Rusmini menerima
anugerah Southeast Asia Writers Award (2012).
1 Bagian ini adalah elaborasi dari artikel penulis yang dimuat dalam buku Seperempat Hadiah Sastra Rancage1989-2013, suntingan Etti R.S., dkk, Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2013, pp. 47-58.
5
Peneliti sastra dari Belanda, Will Derks, pernah menulis bahwa Bali menjadi salah satu
pusat perkembangan sastra Indonesia (Derks, 2002), penilaian yang tidak berlebihan
bukan saja karena prestasi para penulis Bali tetapi memang kehidupan sastra Indonesia
di Bali semarak sekali (Putra, 2011). Kehadiran Bentara Budaya Kompas di Bali tahun
2009 yang sering mengadakan kegiatan seni termasuk seni sastra (misalnya diskusi
sastra, peluncuran buku, pentas teater) membuat kehidupan sastra di Denpasar
semakin berdenyut.
Kedua, sastra Bali yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali atau Jawa Kuna dalam
bentuk-bentuk tradisional seperti geguritan, kidung, kakawin. Karena bentuk-
bentuknya demikian itulah, jenis sastra ini sering disebutkan dengan sastra Bali
tradisional. Sastra Bali tradisional ini berasal dari tradisi Jawa Kuna yang dianggap
mulai berkembang sejak abad ke-10 di Jawa, zaman Dharmawangsa Teguh (Agastia,
1994; Creese, 1998), dan sampai sekarang sastra Bali tradisional memiliki korpus karya
yang sangat banyak. Karya-karya itu ada yang mendapat inspirasi dari epos
Mahabharata dan Ramayana, ada karya yang hadir dengan tema-tema kontemporer
seperti gunung meletus, silsilah, kisah perjalanan, dan bahaya narkoba. Sastra Bali
tradisional yang umumnya ditulis dalam aksara Bali berhubungan erat dengan adat dan
tradisi. Teks sastra Bali tradisional banyak ditembangkan untuk mengiringi ritual.
Belakangan, penembangan geguritan dan kakawin juga dilakukan di radio dan televisi
secara interaktif (Putra, 2009; 2012). Aktivitas di media elektronik ini membuat
dimensi modern dari sastra Bali tradisional.
Ketiga, sastra Bali modern, yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali namun
bentuknya modern sama dengan bentuk-bentuk sastra Indonesia, seperti puisi, cerpen,
novel, dan drama. Karena bentuknya yang modern itulah, sastra Bali ini diberikan nama
sastra Bali modern, sekaligus membedakan dengan sastra Bali tradisional. Dari ketiga
kategori sastra yang hidup di Bali ini, sastra Bali modern-lah yang masuk dalam seleksi
untuk anugerah hadiah sastra Rancage. Belakangan, semua sastra Bali modern ditulis
dalam huruf Latin. Sama dengan sastra Indonesia, sastra Bali modern pun kini muncul
di koran edisi minggu, walau jumlahnya sangat terbatas dan dengan pembaca terbatas.
6
Paling Minim Peminat
Di antara ketiga kategori sastra di atas, sastra Bali modern yang paling terseok-seok
perkembangannya dan paling minim peminatnya, sedangkan perkembangan sastra
Indonesia dan sastra Bali tradisional cukup luas dengan wilayah dan peminat berbeda.
Sastra Indonesia modern berkembang karena jenis sastra ini merupakan sastra nasional
yang memiliki banyak buku yang mudah diperoleh dan diajarkan di sekolah-sekolah,
sedangkan sastra Bali tradisional memiliki sejarah panjang dan berkaitan dengan adat
dan agama. Peminat sastra Bali tradisional kebanyakan orang dewasa dan tua.
Menekuni sastra Bali tradisional identik dengan mengisi diri dengan ajaran etika, moral,
dan agama.
Minimnya perkembangan dan peminat sastra Bali modern karena berbagai faktor
berikut. Pertama, kehidupan sastra Bali modern sejak awal kelahirannya mengalami
pasang surut yang tajam. Walaupun sastra Bali modern sudah mulai muncul tahun
1910-an dalam bentuk cerita pendek di buku-buku pelajaran sekolah zaman kolonial,
perkembangan berikutnya diwarnai berbagai kesenjangan. Tahun 1931 terbit pertama
kali novel atau roman pendek sastra Bali modern berjudul Nemoe Karma (Ketemu
Jodoh) karya I Wayan Gobiah. Selang delapan tahun, tahun 1939, terbit secara
bersambung novel Mlancaran ka Sasak (Berwisata ke Lombok) karya Gde Srawana
(nama pena Wayan Bhadra) di majalah Djatajoe, meniru model majalah Poedjangga
Baroe. Novel ini dimuat bersambung sampai awal 1940-an, namun baru awal 1970-an
diterbitkan dan diedarkan secara terbatas.
Antara tahun 1910-an sampai 1940-an tidak ada karya sastra Bali modern berupa puisi
yang pernah terbit. Kenyataan ini membuat kehadiran sastra Bali modern belum
lengkap. Puisi berbahasa Bali pertama kali terbit tahun 1959, sebuah sajak karya
Suntari Pr. berjudul “Basa Bali” (Bahasa Bali).2 Karena begitu minimnya karya sastra
Bali modern yang terbit sejak sebelum dan awal kemerdekaan, maka peminat dan
komunitasnya tidak pernah sungguh-sungguh terbentuk. Absennya komunitas sastra
Bali modern melemahkan minat sastrawan untuk menulis karena dianggap tidak ada
pembaca.
2 Sajak ini dimuat dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali, No. 1, Th. I, Maret 1959, hlm. 30. Nama SuntariPr. bukan nama khas Bali. Nama Bali biasanya ditandai dengan nama awal Wayan, Made, Nyoman, Ketut.Apakah Suntari Pr. ini nama asli atau nama samaran, tidak ada yang mengetahuinya.
7
Kesenjangan kehidupan sastra Bali modern tidak saja terjadi pada era kolonial dan awal
kemerdekaan Indonesia, tetapi juga berlanjut sampai tahun 1990-an. Setelah terbit
puisi Bali pertama, tidak ada lagi karya sastra Bali modern yang terbit sampai tahun
1960-an. Kenyataan ini membuat sejumlah sarjana, sastrawan, dan budayawan di
bawah inisiatif I Gusti Ngurah Bagus (waktu itu belum Doktor, belum menjadi guru
besar) untuk melaksanakan pertemuan untuk pengembangan sastra Bali. Jalan yang
ditempuh adalah dengan mengadakan sayembara-sayembara. Makanya sastra Bali
modern pernah dijuluki ‘sastra sayembara’ (Jendra, 1975).
Langkah sayembara mampu memotivasi pengarang untuk menulis. Bukan untuk
mengejar hadiah materi, tetapi karena ‘rasa kebanggaan’. Cerpen “Ketemu ring
Tampaksiring” (Bertemu di Tampaksiring) karya I Made Sanggra merupakan salah satu
cerpen juara sayembara awal 1970-an. Cerpen ini terkenal sampai sekarang, ikut
memperkokoh eksistensi sastra Bali modern, bersama sedikit karya lainnya.
Usaha-usaha sayembara itu memungkinkan Ngurah Bagus lewat lembaga Balai Bahasa
menerbitkan beberapa buku bunga rampai karya sastra Bali modern seperti Kembang
Rampe Kasusatraan Bali (1978), yang memuat puisi, cerpen, dan drama. Buku-buku ini
menjadi korpus yang mendeklarasikan eksistensi sastra Bali modern. Namun, karena
jumlahnya terbatas, buku-buku itu hanya untuk di kalangan penulis, kaum akademisi,
dan mahasiswa jurusan bahasa Bali. Mereka tidak sampai ke masyarakat luas. Sekolah-
sekolah tidak memiliki ruang atau jam pelajaran bahasa daerah yang cukup untuk
memperkenalkan sastra Bali modern. Hal ini melemahkan penulis untuk berkarya.
Mereka lalu menulis sastra Bali tradisional atau sastra Indonesia (modern).
Kedua, minimnya dukungan media massa dalam memperkenalkan sastra Bali modern
kepada masyarakat. Ketika sastrawan, sarjana, dan budayawan mengadakan pertemuan
tahun 1969, salah satu keputusan yang diambil adalah mengusahakan menerbitkan
majalah berbahasa Bali atau mendorong media massa yang ada untuk membuka rubrik
sastra Bali modern. Mereka berhasil melobi surat kabar Suluh Marhaen (nama lama Bali
Post) yang kemudian sudi membuka rubrik ‘Sabha Sastra’. Rubrik ini memuat puisi,
ulasan, dan cerita pendek berbahasa Bali. Di luar tradisi sayembara untuk merangsang
8
penulis berkarya, mulai 1969 hadir ruang di surat kabar untuk penulis memublikasikan
karya. Namun, hal ini hanya berlangsung sekitar dua tahun. Program ‘Sabha Sastra’
banyak yang tidak jalan karena ditinggal oleh tokohnya I Gusti Ngurah Bagus untuk
melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Antara tahun 1970-an dan 1980-an, nasib sastra Bali modern bagaikan kerakap tumbuh
di batu, hidup segan mati tidak mau. Sesekali terbit buku antologi puisi atau cerpen
sastra Bali modern dalam bentuk stensilan yang diusahakan oleh pengarang sendiri.
Koran Bali Post memuat secara bersambung novel berbahasa Bali, lalu diterbitkan oleh
penerbit lain seperti Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cintanya Hancur Lebur
sebelum Berkembang) karya Djelantik Santa. Sastrawan yang tekun berkarya walau
sulit memublikasikan karyanya adalah I Made Sanggra, I Ketut Suwidja, dan I Nyoman
Manda. Namun, mereka juga menulis karya sastra Indonesia dan sastra Bali tradisional.
Kelompok penulis muda yang belajar sastra Bali di perguruan tinggi dan kalangan
penulis/wartawan juga menunjukkan komitmen untuk menumbuhkan sastra Bali.
Mereka menerbitkan majalah berbahasa Bali seperti Kulkul, namun hanya bertahan
beberapa bulan.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah Provinsi Bali menerbitkan beberapa
buku sastra tradisional dan buku pelajaran sekolah. Mereka melibatkan ilustrator lokal
untuk mengisi gambar-gambar. Hanya saja, proyek pengadaan buku itu tidak
menyentuh buku sastra Bali modern. Pendanaannya sebatas buku pelajaran sekolah.
Melihat situasi kehidupan sastra Bali modern, tidak mengherankan orang berkata sastra
Bali ‘mandeg’ atau sudah mati. Suara-suara pesimistis terhadap eksistensi sastra Bali
modern pun terus berkumandang. Tahun 1987, misalnya, wartawan (Tempo) Putu Setia
dalam bukunya Menggugat Bali menegaskan bahwa ‘lonceng kematian sastra Bali dari
yang tradisional sampai yang modern telah berbunyi nyaring’ (Setia, 1987: 126).
Pernyataan ini tentu saja berlebihan karena kenyataannya sastra Bali (tradisional atau
modern) tidaklah sungguh telah mati. Memang kalah semarak dengan kehidupan
cabang seni lainnya seperti tari, gamelan, dan lagu pop Bali. Penilaian pesimistik
merupakan warning (peringatan) yang membuat para penulis sastra Bali modern
merasa tertantang.
9
Dalam krisis demikian, Made Sanggra menerbitkan buku kumpulan puisi Kidung
Republik (1997) dengan usaha dan biayanya diperoleh dari kemurahan hati sponsor.
Kehadiran antologi puisi ini tidak serta merta menggeliatkan kehidupan sastra Bali
modern, tetapi hanya menegaskan bahwa sastra Bali modern belum mati. Novel Sunari
karya I Ketut Rida merupakan perkecualian karena diterbitkan oleh penerbit luar yang
profesional, yaitu Yayasan Obor, tahun 1999, yakni 19 tahun sejak ditulis pertama 1980.
Walaupun dicetak offset (bukan lagi stensilan seperti buku-buku sebelumnya) dan
dengan kulit-buku berwarna, dengan harapan menarik hati banyak pembeli. Secara
umum, buku sastra memang kurang laku, lebih kurang laku lagi adalah buku-buku
sastra Bali modern, tidak mengherankan kalau dilukiskan ‘bagai kerakap tumbuh di
batu’.
Tak Jadi Mati, Berkat Rancage
Tahun 1998 merupakan tahun istimewa bagi eksistensi sastra Bali modern karena saat
itulah untuk pertama kalinya diikutsertakan oleh sastrawan sekaligus Ketua Yayasan
Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage. Untuk
melakukan seleksi atau nominasi yang layak menerima penghargaan, Ajip Rosidi
menunjuk Nyoman Tusthi Eddy, seorang guru, sastrawan, dan kritikus. Tusthi Eddy
menulis kritik sastra Indonesia, menulis puisi Bali modern, dan juga menerbitkan buku
sastra Bali modern berjudul Mengenal Sastra Bali Modern (Balai Pustaka, 1991). Dia
adalah orang yang tepat menjadi juri, membantu Ajip Rosidi dalam seleksi penerima
Hadiah Sastra rancage untuk sastra Bali modern. Dalam konteks ini, sastra Bali modern
hanya disebutkan dengan Sastra Bali, sedangkan yang dimaksud adalah SBM, bukan SBT
(sastra Bali tradisional).
Penerima pertama anugerah Rancage untuk buku terbaik tahun 1997 adalah buku puisi
Kidung Republik karya I Made Sanggra, sedangkan untuk tokoh yang berjasa dalam
pengembangan sastra Bali modern adalah I Nyoman Manda. Ketika tahun seleksi tahun
1997 dilaksanakan, saya kira kemungkinan hanya ada satu buku sastra Bali modern
yang layak diseleksi. Ini untuk menegaskan bahwa tidak banyak ada buku yang
diseleksi, walau demikian tetap harus dikatakan bahwa sajak-sajak I Made Sanggra
10
dalam antologi Kidung Republik adalah karya puisi yang hebat dan walau tidak ada
saingan dalam seleksi sungguh buku itu pantas mendapat anugerah.
Sebelum Ajip Rosidi memasukkan sastra Bali modern ke dalam seleksi penerima hadiah
sastra Rancage, kehidupan sastra Bali modern sayup-sayup, antara ada dan tiada.
Perkembangannya sangat sporadis, hanya kedengaran di kalangan dosen dan
mahasiswa bahasa Bali dan sejumlah kecil peminat. I Gusti Ngurah Bagus berkali-kali
mendorong penelitian dan publikasi tentang sastra Bali modern, tetapi tidak juga
berhasil menggenjot sastra Bali modern ke luar dari dunia sayup-sayup.
Pada tahun-tahun awal pemberian hadiah sastra Rancage untuk sastra Bali, jumlah
buku yang terbit sedikit sekali. Barulah, setelah tahun 2000, jumlah buku yang terbit
per tahun meningkat, antara 5 judul sampai 17. Kalau dirata-ratakan dalam 10 tahun
terakhir, ada sekitar 8 buku sastra Bali terbit per tahun, belakangan meningkat sedikit
menjadi 10 judul per tahun. Tentu saja jumlah ini masih kecil, tetapi bisa dibayangkan
bahwa angka itu akan jauh lebih kecil jika rangsangan dari Rancage tidak ada sama
sekali.
Untuk seleksi penerima hadiah mulai tahun keempat dipercayakan kepada saya, sampai
sekarang. Kepercayaan untuk saya itu datang ketika saya sedang dalam proses
penerbitan buku tonggak baru sastra Bali modern yang terbit tahun 2000.
Arti penting hadiah sastra Rancage terhadap kehidupan sastra Bali modern bisa
dirumuskan dalam beberapa point. Pertama, hadiah sastra Rancage ini memberikan
motivasi penulis untuk berkarya, baik bagi penulis ‘tua’ maupun ‘pendatang baru’.
Motivasi menulis dan menerbitkan buku untuk mendapat hadiah sastra tidak harus
dilihat secara negatif apalagi sastra Bali modern memiliki predikat masa lalu sebagai
‘sastra sayembara’. Mencipta untuk mengikuti sebuah sayembara merupakan hal positif
bagi penulis untuk menghasilkan karya terbaiknya. Bagi pembaca, hadirnya karya yang
baik adalah hal yang ideal.
Kedua, hadiah sastra Rancage telah mendorong pencinta sastra Bali modern untuk
memberikan perhatian lebih serius tentang eksistensi sastranya. Ada semacam rasa
11
‘malu’ bagaimana bisa sastra Bali diberikan penghargaan oleh ‘orang luar’, maksudnya
Yayasan Kebudayaan Rancage. Hal ini dibuktikan dengan berusaha menerbitkan
majalah sastra seperti Kulkul, Canang Sari, Buratwangi, dan majalah Satua (Cerita)
sebagai jalan mengembangkan kehidupan sastra Bali modern. Kehadiran media massa
ini disambut para penulis dengan mengirimkan karangannya, tetapi dianggap belum
mampu menyemarakkan kehidupan sastra Bali modern karena sirkulasinya terbatas,
dan beberapa malah berumur pendek alias mati muda.
Ketiga, mendorong komunitas sastra Bali modern untuk kembali melobi surat kabar
terbesar di Bali, dalam hal ini Bali Post, untuk menerbitkan edisi khusus atau suplemen
berbahasa Bali sebagai media untuk memublikasikan dan mendekatkan sastra Bali
modern ke masyarakat luas. Usaha ini berhasil, buktinya sejak Agustus 2006, Bali Post
edisi Minggu, hadir dengan suplemen Bali Orti. Suplemen ini terdiri dari 8 halaman,
memuat feature, cerita bersambung, puisi, cerpen, profil, dan esei sastra. Kalau dulu
rubrik “Sabha Sastra” di Suluh Marhaen hanya setengah halaman, kini lebih luas
ruangannya. Bali Orti inilah yang kini merupakan satu-satunya media massa yang
menjadi pilar penting kehidupan sastra Bali modern, koran lainnya seperti Nusa Bali
tidak memberikan ruang sastra Bali. Penulis-penulis muda memublikasikan cerpennya
di Bali Orti dan kemudian menerbitkan antologi cerpen dengan karya lainnya untuk
kemudian diajukan dalam nominasi hadiah sastra Rancage. Berkat rancage, dunia
perbukuan sastra Bali modern tidak jadi mati.
Relatif Stabil
Merupakan kebanggaan tersendiri bagi penulis dan tokoh yang mendapat hadiah sastra
Rancage. Mereka terus menulis, tiap tahun menerbitkan buku puisi atau cerpen atau
novel sehingga menambah terus kuantitas dan kualitas korpus sastra Bali modern.
Penambahan korpus itu juga terjadi lewat publikasi karya di Bali Orti. Boleh dikatakan
bahwa dalam sepuluh terakhir ini kehidupan sastra Bali modern cukup stabil, tidak lagi
ada gap panjang, kosong karya, seperti tahun 1930-an, 1940-an, atau 1970-an.
Sistem pemerintahan otonomi daerah telah menimbulkan semangat baru bagi daerah-
daerah untuk mengembangkan atau mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah.
Hal ini menimbulkan peluang kerja baru bagi guru bahasa dan sastra daerah. Di Bali hal
12
ini nyata sekali. Dulu hanya Universitas Udayana yang membuka jurusan bahasa dan
sastra Bali, sejak otonomi daerah, jurusan itu ditawarkan oleh beberapa lembaga
pendidikan tinggi, seperti Universitas Dwijendra, IKIP PGRI Bali, dan Institut Hindu
Dharma (IHD). Dulu jumlah mahasiswa yang belajar sastra dan bahasa Bali sangat kecil,
pernah jumlah mahasiswa baru yang masuk di bawah sepuluh. Kini, peminatnya banyak
sekali, dengan harapan setelah kuliah, mereka bisa menjadi guru bahasa dan sastra Bali.
Setelah sempat melonjak, mulai tahun 2014 merosot lagi karena bayang-bayang
penghapusan mata pelajaran bahasa daerah dari sekolah. Walau Peraturan Gubernur
mempertahankan jam pelajaran bahasa daerah, jumlah mahasiswa baru bahasa Bali
masih merosot dalam dua tahun terakhir.
Banyaknya mahasiswa lama membuat buku karya sastra Bali modern mendapat
perhatian misalnya sebagai bahan analisis untuk menulis skripsi. Perkembangan
lainnya, mahasiswa program pascasarjana juga mulai banyak, termasuk yang memilih
dan menjadikan sastra Bali modern untuk objek penelitian. Apresiasi dan analisis atas
karya ini membuat penulis buku sastra Bali seperti mendapat perhatian. Mereka merasa
ada gunanya menulis, dan akhirnya terus menulis sesuai dengan laju kreativitas
masing-masing. Kian banyak buku yang menjadi korpus sastra Bali modern, yang
menjadi body of knowledge tentang apa pun yang diungkapkan terutama ihwal
perubahan sosial budaya dan politik di Bali.
Semangat mempelajari sastra Bali kini dibayang-bayangi oleh kabut Kurikulum 2013
yang menghapuskan pelajaran bahasa daerah. Dalam kurikulum baru, pelajaran bahasa
daerah digabungkan ke dalam mata pelajaran budaya lokal, termasuk di dalamnya
kesenian dan keterampilan. Gejala ini dibayangkan akan mengurangi kebutuhan akan
guru bahasa Bali sehingga mungkin nanti jumlah mahasiswa yang belajar bahasa Bali
untuk menjadi guru akan berkurang juga. Dampak nyatanya masih harus ditunggu
karena di beberapa daerah seperti Bali dan Jawa Barat, ada keinginan untuk tetap
mengajarkan bahasa daerah dalam kuantitas waktu dan kualitas pengajaran seperti
dulu, bahkan lebih, sehingga kebutuhan guru bahasa Bali tetap tinggi.
Terlepas dari gejala tersebut, bisa ditegaskan bahwa sejak pemberian hadiah sastra
Rancage, kehidupan sastra Bali modern cukup stabil. Semoga rangsangan Rancage bisa
13
diteruskan karena memang bermanfaat sebagai pilar penyanggah. Selain itu,
rangsangan serupa dari Bali sendiri tentu juga sangat diperlukan dalam berbagai
bentuk untuk membuat kehidupan sastra Bali modern mendekati semaraknya sastra
Indonesia atau sastra Bali tradisional. Sebagai karya seni, sastra Bali modern pun
terbukti mampu menawarkan nilai-nilai moral, keindahan, dan wacana sosial budaya
yang nikmat dan pantas disimak untuk memahami perasaan dan pemikiran orang Bali
di era global ini.
Perlu juga dicatata kreativitas sastrawan Bali modern dalam memperbanyak buku
dengan menerjemahkan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali. Usaha alih-bahasa ini
dilakukan oleh sastrawan Bali modern yang sehari-hari juga banyak menulis karya asli
dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Mereka adalah I Nyoman Manda, Made
Sanggra, Windhu Sancaya, Raka Kusuma dan Komang Beratha. Di antara penerjemah
itu, Nyoman Manda yang paling produktif. Dialah yang menerjemahkan ke dalam
bahasa Bali antologi puisi “Deru Campur Debu”-nya Chairil Anwar, “Tirani” dan
“Benteng”-nya Taufiq Ismail, “Sukreni Gadis Bali”-nya novel Panji Tisna, “Layar
Terkembang”-nya STA, dan cerpen “Di Tengah Keluarga”-nya Ajip Rosidi, “Bawuk”-nya
Umar Kayam dan “Gauhati”-nya Budi Darma.
Yang tak kalah produktifnya adalah Made Sanggra. Dia sudah menerjemahkan cerpen
Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Terjemahan ini diterbitkan oleh
Yayasan Obor (1999) dalam buku berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang
berisi terjemahan cerpen tersebut dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda,
Minangkabau, Madura, Toraja, dan Bugis.
Made Sanggra juga menerjemahkan cerpen “Bromocorah”-nya Mocthar Lubis dan
diterbitkan di Bali Post dan cerpen Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di
Bale Banjar” — cerpen yang pernah terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra
Horison tahun 1968. Terjemahan Made Sanggra ini dimuat dalam antologi puisi dan
cerpen Bali modern berjudul “Goak Mabunga Sandat” (Gagak Berbunga Sandat). Dalam
antologi ini, Made Sanggra juga menerjemahkan sajak “Aku” Chairil Anwar.
Penerjemah lain, Raka Kusuma mambahasabalikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono
dan diterbitkan dalam antologi dwibahasa berjudul “Sunaran Bulan Tengah Lemeng”
14
(Cahaya Bulan Tengah Malam) tahun 1999. Puisi dalam antologi ini diambil dari dua
antologi Sapardi, yaitu “Hujan Bulan Juni” dan “Perahu Kertas”. Sementara itu, Komang
Berata menerjemahkan sembilan puisi Chairil dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalang”,
dimuat dalam majalah Buratwangi (edisi Januari-April 2002).
Karya terjemahan mereka tidak saja menambah khasanah buku sastra Bali modern
(terjemahan), tetapi juga menyediakan persoalan dalam kemampuan penerjemah dan
bahasa Bali itu sendiri dalam membahasabalikan konsep bahasa Indonesia dan budaya
non-Bali. Hal ini bisa menjadi materi menarik untuk kajian. Pembaca karya terjemahan,
tak hanya terpaku memahami makna teks yang dihadapi tetapi juga mencermati makna
“impor” yang dimasukkan dan makna “ekspor” yang dikeluarkan dalam proses
terjemahan.3
Tantangan dan Prospek Nyanyi Sunyi
Setidak-tidaknya ada tiga tantangan untuk mengembangkan dunia perbukuan sastra
Bali modern.
Pertama, fakta bahwa masyarakat target pembaca sastra Bali modern kecil. Masyarakat
pembaca buku sastra Bali modern terbatas pada mahasiswa dan pelajar yang
mengambil jurusan atau mata pelajaran sastra Bali. Jumlah ini sangat kecil. Untuk
kalangan umum, jumlah itu juga kecil, sebanding dengan kecilnya jumlah penduduk
Bali. Penduduk Bali adalah 4 juta, bandingkan misalnya dengan penduduk berbahasa
Sunda atau berbahasa Jawa yang mencapai puluhan juta. Jumlah dari kalangan
mahasiswa kian merosot sejalan dengan menurunnya angka pendaftaran mahasiswa
sastra Bali di perguruan tinggi di Bali akibat kebijakan kurikulum yang menghapuskan
pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah.
Kedua, jumlah penulis juga sedikit, tidak sampai 25 orang. Selama ini, kebanyakan
penulis harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mencetak bukunya, mirisnya lagi
mereka mengedarkan sendiri. Dorongan mereka menulis sangat tinggi, tetapi tidak ada
penerbit yang mau menerbitkan sekaligus membiayainya. Penulis senior seperti
Nyoman Manda, yang sudah menulis hampir 100 judul buku, termasuk antologi puisi
3 Dikutip dari I Nyoman Darma Putra “Mem-Bali-kan Sastra Indonesia: Makna dan Masalahnya”, Bali Post,Minggu Pon, 12 Januari 2003
15
Gerip Maurip Ngridip Mekedip (Pena Berjiwa Tetap Bercahaya) (2009) empat jilid
dengan total tebal 3654 halaman, harus mengeluarkan biaya sendiri. Karena senang dan
ingin menyelamatkan karya sendiri, melestarikan sastra Bali, dia tidak berfikir panjang
untuk menarik tabungan untuk membiayai penerbitan bukunya. Buku-buku miliknya
tidak dijual secara profesional, hanya diberikan kepada yang memerlukan, terpampang
di toko buku tetapi tujuan utamanya tidaklah mengembalikan biaya cetak. Pengarang
lebih yunior, Made Sugianto, menawarkan bukunya door to door (misalnya ke sekolah,
kantor pemerintah, kantor DPRD, dan kantor polisi) sambil bekerja sebagai wartawan.
Jika laku dan dibeli tokoh atau pejabat, seperti Wakil Bupati Tabanan, Bali, Made
Sugianto menulis status di Facebook berisi foto.
Bagi penulis lain yang bukunya diterbitkan penerbit komersial, sehingga bebas beban
biaya cetak, mereka tidak pernah mendapat royalti, tidak pernah mendapat informasi
berapa eksemplar bukunya dicetak. Made Suarsa, misalnya, bukunya diterbitkan atau
dicetak ulang penerbit Paramitha, penerbit khusus buku agama Hindu dan budaya Bali.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud ini sudah menulis sejumlah buku sastra tradisional
dan sembilan buku sastra Bali modern berupa tiga kumpulan puisi, satu prosa liris, dan
lima kumpulan cerpen. Menurut mantan wartawan Sinar Harapan era 1980-an ini,
penerbit tidak pernah memberikan royalti, hanya memberikan buku 20 buah. Ia
mengatakan: “Kata penerbit kalau sudah laku semua baru diberi royalti. Saya tak/belum
pernah ngecek keadaan buku saya di pasar” (percakapan personal, 6 Juli 2016).
Ketiga, tidak adanya sponsor atau lembaga donor yang membantu penerbitan buku
seperti halnya sponsor dalam dunia seni pertunjukan atau olah raga. Pemerintah juga
tidak memberikan perhatian yang berarti dalam mengembangkan buku sastra Bali
modern. Urusan pemerintah terlalu banyak, termasuk juga membina sastra Bali
tradisional dan seni pertunjukan lain. Di dalam ajang Pesta Kesenian Bali yang
dilaksanakan setiap tahun, Pemprov Bali melakukan lomba penulisan sastra Bali
modern, tetpai anggaran khusus tentang penerbitan buku tidak ada secara terpola.
Dalam beberapa tahun terakhir pemprov Bali lewat Badan Perpustakaan Daerah
mengalokasikan dana penerbitan buku Bali lewat program Widya Pataka, dengan
anggaran buku per judul sekitar Rp 4 juta untuk biaya cetak saja, ditujukan untuk
16
menerbitkan buku seni budaya Bali umum, hanya satu-dua buku sastra Bali dari alokasi
rata-rata 10 buku per tahun.
Melihat aspek komunitas, kuantitas, dan komersialitas perbukuan sastra Bali modern
yang serba kecil, bisa dikatakan bahwa masa depan perbukuan sastra Bali modern tidak
begitu menggembirakan. Namun, realitas itu bisa mengikis pesimisme jika dilihat dari
sudut pandang lain, misalnya kontinyuitas munculnya buku sastra Bali modern dan
realitas lain yang mendukung, sehingga memungkinkan untuk berbicara prospek
optismitik perbukuan sastra Bali modern.
Pertama, bahasa Bali merupakan ‘bahasa besar’ karena memiliki sistem aksara dan
tradisi sastra yang sudah panjang dan solid, mula-mula dalam sastra tradisional
kemudian dalam sastra Bali modern. Bahasa Bali tetap dijunjung tinggi masyarakat dan
digunakan dalam berbagai ranah, mulai dari ranah rumah tangga, pendidikan, ranah
publik termasuk dalam berbagai seni pertunjukan. Ada hubungan kait-mengait antara
bahasa Bali, sastra Bali, dan seni pertunjukan yang membuat ketiganya tetap lestari.
Misalnya, cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” sudah menjadi lakon seni pertunjukan
opera–Arja di Bali menggunakan bahasa Bali. Biasanya seni pertunjukan mengambil
lakon tradisional, seperti cerita rakyat, cerita Panji, atau epos Ramayana Mahabharata.
Apresiasi seperti ini tak hanya membantu melestarikan karya sastra Bali modern tetapi
juga merangsang penulis lain terpanggil ikut mencipta karena ada peluang karya
mereka mendapat apresiasi.
Kedua, populasi dan regenarasi penulis sastra Bali modern dewasa ini masih dalam
situasi yang dapat menjamin keberlangsungan perbukuan sastra Bali modern. Menurut
Robert Escarpit dalam buku Sosiologi Sastra (terjemahan 2005:33), masa depan buku
ditentukan oleh populasi pengarang karena mereka mengalami fluktuasi karena umur.
Dalam komunitas pengarang Bali terdapat komposisi menarik di mana penulis senior
(tua) masih aktif dan menjadi teladan, sementara pengarang yunior (muda)
bermunculan, baik laki maupun perempuan. Jika dibuatkan persentase, kira-kira
populasi pengarang sastra Bali modern terdiri dari 20%, 40%, 40% masing-masing
untuk tua, muda, lebih muda lagi. Situasi ini cukup menggembirakan karena
17
menunjukkan bahwa anak-anak muda tidak saja senang berbahasa Bali tetapi malahan
tampil sebagai penulis dalam bahasa Ibu-nya.
Ketiga, perbukuan sastra Bali modern akan berlanjut mengingat selalu ada penulis yang
terpanggil menulis, Kreativitas menulis itu terbangun karena kombinasi bakat dan
minat untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali. Atmosfir mencipta sastra Bali modern
mendapat rangsangan dari dua arah, dari dua entitas sastra: sastra Bali tradisional dan
sastra Indonesia modern. Banyak penulis sastra Bali tradisional yang menulis sastra
Bali modern dan sebaliknya. Nyoman Manda adalah seorang guru yang semula menulis
sastra Indonesia, kemudian beralih menulis sastra Bali modern dengan keinginan untuk
mengembangkan sastra yang belum berkembang. Contoh lain, Made Sanggra yang satu
generasi dengan Nyoman Manda, mula-mula menulis sastra Indonesia, sastra
tradisional Bali, dan tentu juga sastra Bali modern. Made Suarsa, anak dari Made
Sanggra, sudah menulis puisi Indonesia, sastra Bali tradisional, dan sastra Bali modern.
Penulis sastra Indonesia modern lainnya yang juga menulis sastra Bali modern adalah
IDK Raka Kusuma dan I Putu Supartika. Penulis muda, Putu Supartika (usia 22 tahun,
kelahiran 1994), sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen Yen Benjang Tiang Dados
Presiden (Bila Esok Aku Jadi Presiden, 2015) dan baru saja cerpennya judul “Sepasang
Merpati dalam Sebuah Cerita” muncul di Kompas Minggu (3 Juli 2016). Komunitas
pengarang yang begitu terpanggil menulis akan menjamin kehidupan sastra Bali
modern dan perbukuannya tak akan mati. Hadiah sastra Rancage sejak 1998 menjadi
salah satu pendorong utama penulis terus berkarya sehingga memastikan masa depan
sastra dan perbukuan sastra Bali modern hidup terus.
Keempat, masa depan sastra dan buku sastra Bali modern akan berlanjut berkat
bantuan pemerintah untuk penerbitan buku walau sangat kecil dan kehadiran penerbit
buku yang mau menerbitkan dengan atau tanpa biaya produksi dari penulis. Penulis
periah dua kali Hadiah Sastra Rancage, Made Sugianto, membangun penerbitan sendiri
bernama Pustaka ekspresi yang banyak menerbitkan buku sastra Bali modern termasuk
karyanya sendiri dan penulis muda lainnya. Ihwal penyuntingan, lay out, dan distribusi
dia lakukan sendiri di samping kesibukannya sebagai wartawan Harian Nusa Bali.
Sekolah-sekolah, para guru serta mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi, masih akan
18
memerlukan karya mereka sehingga ikut memberikan rangsangan bagi penulis untuk
berkarya, untuk menerbitkan buku.
Penutup
Di tengah derasnya arus pragmatisme global, minat masyarakat dan generasi muda
terhadap sastra Bali modern sangat kecil, sementara itu dunia pendidikan enggan
membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya buku sastra Bali modern ke dalam proses
belajar-mengajar. Syukurnya, masih ada sejumlah kecil penulis yang tekun mengarang
karya sastra Bali modern dan kemudian menerbitkan sebagai buku, baik karena
panggilan jiwa seni, semangat memperkuat identitas kebalian akibat otonomi daerah,
maupun keinginan untuk mendapat pengakuan misalnya lewat anugerah sastra
tahunan dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Populasi pengarang Bali yang berisi cukup
banyak penulis muda, sekitar 40%, akan menjamin prospek penerbitan buku dalam
masa sekitar 25 tahun ke depan.
Tantangan pengembangan penerbitan adalah pada kecilnya masyarakat pembaca buku
sastra Bali dan tidak pastinya dukungan finansial dari swasta dan pemerintah.
Pengusaha buku tidak begitu tertarik secara spesifik menerbitkan buku sastra karena
pasarnya kecil. Meskipun demikian, tidak cukup alasan untuk menyuburkan pesimisme.
Sama dengan sastra Bali tradisional dan sastra Indonesia modern, penerbitan buku
sastra Bali modern jauh dari prospek cerah tetapi akan tetap berlanjut.
Tentu saja dari segi komersial masa depan perbukuan tidak akan cerah, namun dari segi
sastra sebagai wahana ekspresi dan repositori seni dan nilai-nilai, kehadiran buku
sastra Bali terbukti telah ikut memperkuat tradisi sastra di Bali yang heterogen dan ikut
mendorong generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya untuk menggunakan
bahasa Bali. Sejak lama dikhawatirkan sastra Bali akan mati, begitu juga perbukuannya,
nyatanya sastra Bali hidup terus dan buku-bukunya terbit stabil meski dalam jumlah
kecil. Pendek kata, prospek sastra Bali modern dan perbukuannya meskipun bisa
diibaratkan ‘nyanyi sunyi’ tak bergema semarak tetapi yang membanggakan adalah
karena buku sastra Bali modern ‘tak jadi mati’ dan kiranya ‘tak akan pernah mati’.
19
Daftar Pustaka
Agastia, IBG. 1994, Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah engantar). Denpasar:Yayasan Dharma Sastra.
Creese, Helen. 1998. P rth ya a, The journeying of P rtha : an eighteenth-centuryBalinese kakawin. Leiden, Netherlands: KITLV Press.
Derks, Will. 2002. ‘‘Sastra Pedalaman’ Local and Regional Literary Centres in Indonesia’in Keith Foulcher dan Tony Day (eds) Clearing a space, Postcolonial readings ofmodern Indonesian literature, pp. 325-48. Leiden: KITLV Press.
Eddy, I Nyoman Tusthi. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakartsa: Balai Pustaka.Escarpit, Robert, 2005. Sosiologi Sastra (terj Ida Sundari Huesin). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.Jendra, I Wayan. 1975. ‘Sekilas tentang Puisi Sastra Bali Modern’, Bahasa dan Sastra, Th
II, No. 4. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa.Putra, I Nyoman Darma. 2009, ‘'Kidung Interaktif' Vocalising and interpreting traditional
literature through electronic mass media in Bali”, Indonesia and the Malay World,37:109, pp. 249-276.
Putra, I Nyoman Darma. 2011. A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity andIdentity in the Twentieth Century. Leiden: KITLV Press.
Putra, I Nyoman Darma. 2012 [2000], Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar:Pustaka Larasan.
Setia, Putu. 1987. Menggugat Bali . Jakarta: Grafiti.
LampiranDaftar Peraih Rancage untuk sastra Bali, 1998-2015
No Tahun Buku terbaik/ karya pengarang Tokoh berjasa1. 2015 Swecan Widhi kumpulan
cerpen karya I Komang AlitJuliartha
I Gede Gita Purnama Arsa Putra,penulis kritik sastra dan aktif diAliansi Peduli Bahasa Bali.
2. 2014 Ngurug Pasih, kumpulan ceritapéndék karya I Gedé PutraAriawan
I Nyoman Adiputra, pengarangsejumlah kakawin antara lain“Kakawin Udayana Mahawidya”(Kakawin Universitas Udayanasebagai Sumber Pengetahuan, 1993)dan “Kakawin Bali Sabho Lango”(Pesta Kesenian Bali),
3. 2013 Tutur Bali, Buku cerita karya IWayan Westa
Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja,penyusun kamus Bahasa Balitermasuk Bali-Indonesia-Inggris.
4. 2012 Sentana (Anak), novel I MadeSugianto.
I Nyoman Suprapta (penggubahgeguritan; pembina kelompoktembang tradisional)
5. 2011 Metèk Bintang (MenghitungBintang), buku cerpen KomangAdnyana.
I Made Sugianto (penerbit bukusastra Bali modern)
20
6. 2010 Leak Pemoroan (LèakPemoroan), buku cerpen IWayan Sadha.
Agung Wiyat S. Ardhi (sastrawan,pembina bahasa dan sastratradisional Bali)
7. 2009 Somah (Istri/Suami), buku puisiI Nyoman Tusthi Eddy.
I Nengah Tinggen (penulis ceritaberbahasa Bali, pengisi programbahasa Bali RRI Singaraja)
8. 2008 Depang Tiang Bajang Kayang-kayang (Biarkan saya LajangSelamanya) novelI Nyoman Manda.
I Made Suatjana (penemu BaliSimbar, yaitu aksara Bali dalamaplikasi computer).
9. 2007 Gede Ombak Gede Angin (BesarOmbak, Besar Angin), bukucerpen I Made Suarsa.
Ida Bagus Dharmasuta (Kepala BalaiBahasa Denpasar, pembantupenerbitan sejumlah buku danmajalah sastra Bali)
10. 2006 Buduh Nglawang (Orang GilaMenari-nari) buku cerpen karyaIda Bagus Wayan WidiasaKeniten.
Drs. Ida Bagus Gdé Agastia (penyair,kritikus sastra Bali tradisional danmodern).
11. 2005 Ang Ah lan Ah Ang , kumpulanpuisiI Made Suarsa.
Drs. Made Taro (penyair sastra Balimodern dan penulis buku dongengBali)
12. 2004 Coffee Shop (Warung Kopi),buku puisiI Dewa Gde Windhu Sancaya.
Nyoman Tusthi Eddy (penyair dankritikus untuk sastra Bali).
13. 2003 Bunga Gadung Ulung Abancang(Bunga Gadung GugurSetangkai), novel I NyomanManda.
I Gusti Putu Bawa Samar Gantang(penyair dan penulis cerpen bahasaBali, guru).
14. 2002 Sembalun Rinjani (SembalunRinjani), novel DjelantikSantha.
IDK Raka Kusuma (penyair,cerpenis, dan pengelola majalahbahasa dna sastra Bali, Buratwangi).
15. 2001 Gending Girang Sisi Pakerisan(Nyanyian Riang di Tepi KaliPakerisan), buku sajak dannaskah drama gong AgungWiyat A. Ardhi.
I Ketut Suwija ( penyair, penulis danpenerjemah sastra tradisional Bali).
16. 2000 Sunari (Sunari), novel I KetutRida.
I Gdé Dharna (penyair, penulisnaskah drama berbahasa Bali,pencipta lagu Bali).
17. 1999 Lekad Tumpek Wayang (Lahirpada Hari Tumpak Wayang),kumpulan cerpenI Komang Berata.
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus(pembina, penerbit buku-buku sastraBali).
18. 1998 Kidung Republik (KidungRepublik), buku puisi I MadéSanggra.
I Nyoman Manda (sastrawan Balimodern, pengelola majalah sastra BaliCanang Sari).