NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

21
KONGRES BAHASA DAERAH NUSANTARA Gedung Merdeka, Bandung 2-4 Agustus 2016 NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN PROSPEK PENERBITAN BUKU SASTRA BALI MODERN I Nyoman Darma Putra

Transcript of NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

Page 1: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

KONGRESBAHASA DAERAH NUSANTARA

Gedung Merdeka, Bandung2-4 Agustus 2016

NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI:TANTANGAN DAN PROSPEK PENERBITAN

BUKU SASTRA BALI MODERN

I Nyoman Darma Putra

Page 2: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

1

Pendahuluan

Buku merupakan indikator penting untuk menilai kemajuan sastra suatu bangsa di era

modern. Kehadiran buku setidaknya menandakan hadirnya tiga pilar penunjang

kehidupan sastra tersebut yaitu (1) masyarakat penulis, (2) masyarakat pembaca, dan

(3) industri perbukuan yang berurusan dengan cetak-mencetak, distribusi, dan menjual

buku itu sehingga sampai di tangan pembaca. Makin banyak buku sastra terbit, makin

kokoh tradisi sastra bangsa tersebut, demikian juga sebaliknya.

Jumlah buku sastra Bali modern (SBM) yang terbit dalam satu setengah dekade terakhir

sangat sedikit, rata-rata sepuluh judul per tahun. Selain sedikit, angka cetak per judul

juga kecil, rata-rata 200 buah/judul. Fakta serba sedikit ini ditambah lagi kerapnya

muncul wacana ‘kematian bahasa Bali’ di media massa dengan segera memberikan

gambaran suramnya kehidupan buku-buku SBM. Walau kecil, kehadiran buku SBM

setiap tahun secara stabil menandakan bahwa SBM tidak jadi mati, seperti sering

dikhawatirkan kalangan pengamat, sejalan dengan kekhawatiran akan matinya bahasa

Bali. Kekhawatiran yang disampaikan adalah jika generasi muda tidak lagi bangga

dengan bahasa Bali, bahasa ini akan mati, tradisi sastranya pun akan menyusul tamat.

Apakah persoalannya sesederhana itu, atau adakah cara pandang lain untuk melihat

kehidupan sastra Bali modern termasuk buku-bukunya walaupun sedikit, gemanya lagu

sunyi, namun yang pasti dalam seratus tahun terakhir ini nyatanya tetap hadir, alias

tidak jadi mati?

Makalah ini membahas tantangan dan prospek kehidupan buku sastra Bali modern,

mulai dari awal kelahirannya pada zaman kolonial Belanda 1910-an, sampai tahun

2010-an, sekitar rentang waktu seratus tahun. Hal-hal yang dibahas meliputi

perkembangan buku sastra Bali pada zaman kolonial, kemudian peran kalangan

pemerintah dan sarjana Bali dalam mempertahankan kehidupan sastra Bali modern,

kehidupan sastra Bali modern secara umum, dan peran lembaga eksternal dalam hal ini

Yayasan Kebudayaan Rancage dalam ikut memotivasi kehidupan sastra Bali modern

melalui pemberian hadiah untuk buku dan tokoh yng berjasa. Di akhir akan ditegaskan

bahwa peran Yayasan Kebudayaan Rancage membuat kehidupan sastra Bali modern

Page 3: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

2

dan tradisi penerbitan buku ‘tak jadi mati’, hanya saja gemanya kecil ibarat ‘nyanyi

sunyi’.

Buku Bali Era Kolonial

Buku sastra Bali modern pertama terbit tahun 1931, berjudul Nemoe Karma karya I

Wayan Gobiah, seorang guru di sekolah rakyat di Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.

Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka (alamatnya Batavia Centrum). Novelet setebal

64 halaman ini dianggap sastra modern karena bentuknya seperti novel atau roman,

berkisah tentang percintaan dalam kehidupan keluarga yang tercerai-berai namun

akhirnya bertemu (nemoe), sebuah happy ending. Para sarjana membagi cerita rakyat

menjadi empat yaitu legenda, mite, dongeng, dan fabel. Dibandingkan dengan keempat

jenis cerita rakyat yang ada, Nemoe Karma sangat lain, oleh karena itu pantas diterima

sebagai sastra Bali modern. Sehubungan dengan kehadirannya tahun 1931, maka para

sarjana sastra terutama I Gusti Ngurah Bagus menetapkan tahun 1931 sebagai tahun

kelahiran sastra Bali modern. Pendapat ini didukung oleh sejumlah sarjana lainnya

sebagai tonggak lahirnya sastra Bali modern (Jendra 1975; Setia 1987; Eddy 1991).

Pertanyaannya adalah apakah tidak ada karya sastra yang pantas dianggap sebagai

sastra Bali modern sebelum novelet karya Gobiah itu terbit?

Fakta menunjukkan ada banyak buku berbahasa Bali yang memuat cerita rakyat dan

cerita baru yang sudah menyerupai proto-cerita pendek modern. Penerbitan buku

bahasa Bali ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan

sekolah modern yang mereka bangun dalam rangka politik etis (politik balas budi).

Tahun 1874/75, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah modern pertama di

Singaraja, Bali Utara (Putra Agung 1969:2), disusul sekolah-sekolah lainnya di Bali

Barat, Timur, dan Selatan. Sejalan dengan pembukaan sekolah modern, pemerintah

kolonial Belanda mencetak tenaga guru dan mendorong mereka menyiapkan buku teks

untuk bahan pengajaran di sekolah. Dalam situasi pendidikan seperti inilah, terbit

beberapa buku berbahasa Bali, ada yang memakai huruf Bali dan ada juga huruf Latin.

Buku pertama yang terbit adalah Balineesch Spelboekje (pelajaran menulis aksara Bali,

1874) karya I Ranta, penerbitnya Lands-Drukkerij, Batavia. I Ranta adalah seorang guru

yang tamat dari sekolah pendidikan guru di Bandung. Kemungkinan besar dia

disekolahkan ke Bandung oleh Belanda untuk persiapan menjadi guru pada pembukaan

Page 4: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

3

sekolah pertama di Singaraja. Uniknya, buku pelajaran aksara Bali ini tercetak

menggunakan huruf Jawa, mungkin karena mesin cetak waktu itu belum memiliki

piranti aksara Bali. Huruf Bali memang mirip dengan huruf Jawa dan merupakan asal

dari huruf Bali.

Satu buku lainnya yang ditulis I Ranta berjudul Balineesch leesboekje (pelajaran bahasa

Bali). Buku ini selesai ditulis tahun 1905, namun terbit tahun 1908, oleh penerbit sama

dengan buku pertama. Berbeda dengan buku pertama yang berisi panduan mempelajari

aksara Bali, buku kedua adalah pelajaran bahasa Bali. Isinya adalah cerita rakyat,

seperti kisah ‘Pan Balang Tamak’, nama warga desa yang cerdik, suka mengolok-olok

publik. Cerita jenaka tetapi penuh dengan pesan implisit untuk berfikir kritis meski

dalam situasi menghadapi hal yang sederhana masih sangat populer di Bali dewasa ini.

Makin banyak sekolah berdiri, makin bertambah jenjang kelas, makin banyak buku yang

diperlukan di sekolah. Buku-buku tersebut hampir semuanya ditulis oleh guru seperti I

Made Pasek, Ketut Nasa, I Wayan Jiwa, I Ketut Gelgel, I Gusti Ketut Ranuh, I Gusti Bagus

Sugeriwa, dan Mas Nitisastro. Nama terakhir adalah guru berasal dari Jawa yang

bertugas di Bali. Selain yang dikarang sendiri, ada pula buku pelajaran ditulis bersama.

Antara tahun 1874 sampai 1947, sejak awal buku Bali pertama tetbit, sampai buku

terakhir di saat-saat terakhir kolonial Belanda menjajah Indonesia, jumlah buku bahasa

Bali yang terbit relatif sedikit. Dalam rentang waktu sekitar 75 tahun, buku yang terbit

sekitar 50 buku pelajaran. Berbeda dengan Jawa pada umumnya, pendidikan di Bali

pada zaman kolonial terlambat jauh, jumlah sekolah dan murid juga sedikit. Jumlah

buku-buku yang terbit juga tidak sebanyak buku-buku berbahasa Jawa dan Sunda.

Meski demikian, untuk kepentingan menelusuri sejarah sastra dan buku sastra Bali

modern, dalam buku-buku pelajaran sekolah itu yang kebanyakan memuat cerita

rakyat, ternyata ada sejumlah cerita pendek modern. Dalam penelitiannya, Putra (2010

[2000]) menemukan beberapa cerita pendek yang bisa dijadikan alasan untuk

menentukan bahwa tonggak baru sastra Bali modern sudah bermula tahun 1910-an,

sekitar satu setengah dekade sebelum terbitnya novel Nemoe Karma. Cerita-cerita

‘modern’ karya I Made Pasek, I Wayan Jiwa, Mas Nitisastro dikutip dan dimuat dalam

buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010 [2000]). Cerita ‘Siap Mapalu’ (Ayam

Bertikai), karya Made Pasek misalnya, menonjolkan tema emansipasi wanita di bidang

Page 5: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

4

pendidikan lewat cerita seorang remaja wanita menuntut untuk bersekolah agar tidak

menjadi ayam bodoh yang bertikai dengan bayangannya di kaca cermin. Cerita lainnya

seperti ‘Pemadat’ oleh Made Pasek dan “Anak Ririh’ (Orang Cerdik) dan ‘Loba’ karya

Mas Nitisastro semuanya memiliki struktur dan kisah yang mendekati cerpen modern,

beda jauh dengan cerita rakyat.

Sejak terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern, pelan-pelan pendapat lama yang

mengatakan sastra Bali modern mulai 1931 tertandingi. Walau para guru yang menulis

cerita itu mula-mula untuk menampaikan pendidikan moral, tidak bermaksud

melahirkan sastra Bali modern, karya mereka walaupun jumlahnya hanya belasan, tetap

memberikan arti penting dalam kelahiran dan perbukuan sastra Bali modern. Jika

cerpen-cerpen itu tidak pernah hadir di dalam buku, maka niscaya karya itu tidak akan

pernah hadir dalam masyarakat pecinta sastra dewasa ini. Sekali lagi, walaupun

sederhana, sedikit, terbatas, yang namanya buku tetap saja memainkan peranan penting

dalam kehidupan sastra.

Tiga Entitas Sastra

Kehidupan sastra di Bali bersifat heterogen, terdiri dari paling tidak tiga entitas sastra.

Ketiga entitas sastra ini hidup berdampingan dengan ranah berbeda-beda tetapi secara

bersama-sama mewarnai denyut nadi kehidupan seni sastra di Bali.1

Pertama, sastra Indonesia dengan jenis novel, puisi, dan drama. Sastra Indonesia

berkembang di Bali sejak tahun 1920-an atau 1930-an ditandai dengan terbitnya

roman-roman Panji Tisna yang diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti Sukreni Gadis Bali

dan Ni Rawit Ceti Penjual Orang. Selain nama Panji Tisna, Bali yang kecil dengan

penduduk sangat sedikit (dibandingkan total penduduk Indonesia) juga

menyumbangkan ke dalam kanon sastra Indonesia beberapa nama yaitu Putu Wijaya, I

Gde Aryantha Soethama, Oka Rusmini, dan Cok Sawitri. Beberapa penulis Bali mendapat

anugerah sastra bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa atas karyanya seperti cerpenis

Aryantha Soethama 2006, penyair Sindhu Putra 2008, dan Oka Rusmini 2014; Cok

Sawitri mendapat anugerah Dharmawangsa (2010), dan Oka Rusmini menerima

anugerah Southeast Asia Writers Award (2012).

1 Bagian ini adalah elaborasi dari artikel penulis yang dimuat dalam buku Seperempat Hadiah Sastra Rancage1989-2013, suntingan Etti R.S., dkk, Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2013, pp. 47-58.

Page 6: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

5

Peneliti sastra dari Belanda, Will Derks, pernah menulis bahwa Bali menjadi salah satu

pusat perkembangan sastra Indonesia (Derks, 2002), penilaian yang tidak berlebihan

bukan saja karena prestasi para penulis Bali tetapi memang kehidupan sastra Indonesia

di Bali semarak sekali (Putra, 2011). Kehadiran Bentara Budaya Kompas di Bali tahun

2009 yang sering mengadakan kegiatan seni termasuk seni sastra (misalnya diskusi

sastra, peluncuran buku, pentas teater) membuat kehidupan sastra di Denpasar

semakin berdenyut.

Kedua, sastra Bali yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali atau Jawa Kuna dalam

bentuk-bentuk tradisional seperti geguritan, kidung, kakawin. Karena bentuk-

bentuknya demikian itulah, jenis sastra ini sering disebutkan dengan sastra Bali

tradisional. Sastra Bali tradisional ini berasal dari tradisi Jawa Kuna yang dianggap

mulai berkembang sejak abad ke-10 di Jawa, zaman Dharmawangsa Teguh (Agastia,

1994; Creese, 1998), dan sampai sekarang sastra Bali tradisional memiliki korpus karya

yang sangat banyak. Karya-karya itu ada yang mendapat inspirasi dari epos

Mahabharata dan Ramayana, ada karya yang hadir dengan tema-tema kontemporer

seperti gunung meletus, silsilah, kisah perjalanan, dan bahaya narkoba. Sastra Bali

tradisional yang umumnya ditulis dalam aksara Bali berhubungan erat dengan adat dan

tradisi. Teks sastra Bali tradisional banyak ditembangkan untuk mengiringi ritual.

Belakangan, penembangan geguritan dan kakawin juga dilakukan di radio dan televisi

secara interaktif (Putra, 2009; 2012). Aktivitas di media elektronik ini membuat

dimensi modern dari sastra Bali tradisional.

Ketiga, sastra Bali modern, yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali namun

bentuknya modern sama dengan bentuk-bentuk sastra Indonesia, seperti puisi, cerpen,

novel, dan drama. Karena bentuknya yang modern itulah, sastra Bali ini diberikan nama

sastra Bali modern, sekaligus membedakan dengan sastra Bali tradisional. Dari ketiga

kategori sastra yang hidup di Bali ini, sastra Bali modern-lah yang masuk dalam seleksi

untuk anugerah hadiah sastra Rancage. Belakangan, semua sastra Bali modern ditulis

dalam huruf Latin. Sama dengan sastra Indonesia, sastra Bali modern pun kini muncul

di koran edisi minggu, walau jumlahnya sangat terbatas dan dengan pembaca terbatas.

Page 7: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

6

Paling Minim Peminat

Di antara ketiga kategori sastra di atas, sastra Bali modern yang paling terseok-seok

perkembangannya dan paling minim peminatnya, sedangkan perkembangan sastra

Indonesia dan sastra Bali tradisional cukup luas dengan wilayah dan peminat berbeda.

Sastra Indonesia modern berkembang karena jenis sastra ini merupakan sastra nasional

yang memiliki banyak buku yang mudah diperoleh dan diajarkan di sekolah-sekolah,

sedangkan sastra Bali tradisional memiliki sejarah panjang dan berkaitan dengan adat

dan agama. Peminat sastra Bali tradisional kebanyakan orang dewasa dan tua.

Menekuni sastra Bali tradisional identik dengan mengisi diri dengan ajaran etika, moral,

dan agama.

Minimnya perkembangan dan peminat sastra Bali modern karena berbagai faktor

berikut. Pertama, kehidupan sastra Bali modern sejak awal kelahirannya mengalami

pasang surut yang tajam. Walaupun sastra Bali modern sudah mulai muncul tahun

1910-an dalam bentuk cerita pendek di buku-buku pelajaran sekolah zaman kolonial,

perkembangan berikutnya diwarnai berbagai kesenjangan. Tahun 1931 terbit pertama

kali novel atau roman pendek sastra Bali modern berjudul Nemoe Karma (Ketemu

Jodoh) karya I Wayan Gobiah. Selang delapan tahun, tahun 1939, terbit secara

bersambung novel Mlancaran ka Sasak (Berwisata ke Lombok) karya Gde Srawana

(nama pena Wayan Bhadra) di majalah Djatajoe, meniru model majalah Poedjangga

Baroe. Novel ini dimuat bersambung sampai awal 1940-an, namun baru awal 1970-an

diterbitkan dan diedarkan secara terbatas.

Antara tahun 1910-an sampai 1940-an tidak ada karya sastra Bali modern berupa puisi

yang pernah terbit. Kenyataan ini membuat kehadiran sastra Bali modern belum

lengkap. Puisi berbahasa Bali pertama kali terbit tahun 1959, sebuah sajak karya

Suntari Pr. berjudul “Basa Bali” (Bahasa Bali).2 Karena begitu minimnya karya sastra

Bali modern yang terbit sejak sebelum dan awal kemerdekaan, maka peminat dan

komunitasnya tidak pernah sungguh-sungguh terbentuk. Absennya komunitas sastra

Bali modern melemahkan minat sastrawan untuk menulis karena dianggap tidak ada

pembaca.

2 Sajak ini dimuat dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali, No. 1, Th. I, Maret 1959, hlm. 30. Nama SuntariPr. bukan nama khas Bali. Nama Bali biasanya ditandai dengan nama awal Wayan, Made, Nyoman, Ketut.Apakah Suntari Pr. ini nama asli atau nama samaran, tidak ada yang mengetahuinya.

Page 8: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

7

Kesenjangan kehidupan sastra Bali modern tidak saja terjadi pada era kolonial dan awal

kemerdekaan Indonesia, tetapi juga berlanjut sampai tahun 1990-an. Setelah terbit

puisi Bali pertama, tidak ada lagi karya sastra Bali modern yang terbit sampai tahun

1960-an. Kenyataan ini membuat sejumlah sarjana, sastrawan, dan budayawan di

bawah inisiatif I Gusti Ngurah Bagus (waktu itu belum Doktor, belum menjadi guru

besar) untuk melaksanakan pertemuan untuk pengembangan sastra Bali. Jalan yang

ditempuh adalah dengan mengadakan sayembara-sayembara. Makanya sastra Bali

modern pernah dijuluki ‘sastra sayembara’ (Jendra, 1975).

Langkah sayembara mampu memotivasi pengarang untuk menulis. Bukan untuk

mengejar hadiah materi, tetapi karena ‘rasa kebanggaan’. Cerpen “Ketemu ring

Tampaksiring” (Bertemu di Tampaksiring) karya I Made Sanggra merupakan salah satu

cerpen juara sayembara awal 1970-an. Cerpen ini terkenal sampai sekarang, ikut

memperkokoh eksistensi sastra Bali modern, bersama sedikit karya lainnya.

Usaha-usaha sayembara itu memungkinkan Ngurah Bagus lewat lembaga Balai Bahasa

menerbitkan beberapa buku bunga rampai karya sastra Bali modern seperti Kembang

Rampe Kasusatraan Bali (1978), yang memuat puisi, cerpen, dan drama. Buku-buku ini

menjadi korpus yang mendeklarasikan eksistensi sastra Bali modern. Namun, karena

jumlahnya terbatas, buku-buku itu hanya untuk di kalangan penulis, kaum akademisi,

dan mahasiswa jurusan bahasa Bali. Mereka tidak sampai ke masyarakat luas. Sekolah-

sekolah tidak memiliki ruang atau jam pelajaran bahasa daerah yang cukup untuk

memperkenalkan sastra Bali modern. Hal ini melemahkan penulis untuk berkarya.

Mereka lalu menulis sastra Bali tradisional atau sastra Indonesia (modern).

Kedua, minimnya dukungan media massa dalam memperkenalkan sastra Bali modern

kepada masyarakat. Ketika sastrawan, sarjana, dan budayawan mengadakan pertemuan

tahun 1969, salah satu keputusan yang diambil adalah mengusahakan menerbitkan

majalah berbahasa Bali atau mendorong media massa yang ada untuk membuka rubrik

sastra Bali modern. Mereka berhasil melobi surat kabar Suluh Marhaen (nama lama Bali

Post) yang kemudian sudi membuka rubrik ‘Sabha Sastra’. Rubrik ini memuat puisi,

ulasan, dan cerita pendek berbahasa Bali. Di luar tradisi sayembara untuk merangsang

Page 9: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

8

penulis berkarya, mulai 1969 hadir ruang di surat kabar untuk penulis memublikasikan

karya. Namun, hal ini hanya berlangsung sekitar dua tahun. Program ‘Sabha Sastra’

banyak yang tidak jalan karena ditinggal oleh tokohnya I Gusti Ngurah Bagus untuk

melanjutkan pendidikan ke Belanda.

Antara tahun 1970-an dan 1980-an, nasib sastra Bali modern bagaikan kerakap tumbuh

di batu, hidup segan mati tidak mau. Sesekali terbit buku antologi puisi atau cerpen

sastra Bali modern dalam bentuk stensilan yang diusahakan oleh pengarang sendiri.

Koran Bali Post memuat secara bersambung novel berbahasa Bali, lalu diterbitkan oleh

penerbit lain seperti Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cintanya Hancur Lebur

sebelum Berkembang) karya Djelantik Santa. Sastrawan yang tekun berkarya walau

sulit memublikasikan karyanya adalah I Made Sanggra, I Ketut Suwidja, dan I Nyoman

Manda. Namun, mereka juga menulis karya sastra Indonesia dan sastra Bali tradisional.

Kelompok penulis muda yang belajar sastra Bali di perguruan tinggi dan kalangan

penulis/wartawan juga menunjukkan komitmen untuk menumbuhkan sastra Bali.

Mereka menerbitkan majalah berbahasa Bali seperti Kulkul, namun hanya bertahan

beberapa bulan.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah Provinsi Bali menerbitkan beberapa

buku sastra tradisional dan buku pelajaran sekolah. Mereka melibatkan ilustrator lokal

untuk mengisi gambar-gambar. Hanya saja, proyek pengadaan buku itu tidak

menyentuh buku sastra Bali modern. Pendanaannya sebatas buku pelajaran sekolah.

Melihat situasi kehidupan sastra Bali modern, tidak mengherankan orang berkata sastra

Bali ‘mandeg’ atau sudah mati. Suara-suara pesimistis terhadap eksistensi sastra Bali

modern pun terus berkumandang. Tahun 1987, misalnya, wartawan (Tempo) Putu Setia

dalam bukunya Menggugat Bali menegaskan bahwa ‘lonceng kematian sastra Bali dari

yang tradisional sampai yang modern telah berbunyi nyaring’ (Setia, 1987: 126).

Pernyataan ini tentu saja berlebihan karena kenyataannya sastra Bali (tradisional atau

modern) tidaklah sungguh telah mati. Memang kalah semarak dengan kehidupan

cabang seni lainnya seperti tari, gamelan, dan lagu pop Bali. Penilaian pesimistik

merupakan warning (peringatan) yang membuat para penulis sastra Bali modern

merasa tertantang.

Page 10: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

9

Dalam krisis demikian, Made Sanggra menerbitkan buku kumpulan puisi Kidung

Republik (1997) dengan usaha dan biayanya diperoleh dari kemurahan hati sponsor.

Kehadiran antologi puisi ini tidak serta merta menggeliatkan kehidupan sastra Bali

modern, tetapi hanya menegaskan bahwa sastra Bali modern belum mati. Novel Sunari

karya I Ketut Rida merupakan perkecualian karena diterbitkan oleh penerbit luar yang

profesional, yaitu Yayasan Obor, tahun 1999, yakni 19 tahun sejak ditulis pertama 1980.

Walaupun dicetak offset (bukan lagi stensilan seperti buku-buku sebelumnya) dan

dengan kulit-buku berwarna, dengan harapan menarik hati banyak pembeli. Secara

umum, buku sastra memang kurang laku, lebih kurang laku lagi adalah buku-buku

sastra Bali modern, tidak mengherankan kalau dilukiskan ‘bagai kerakap tumbuh di

batu’.

Tak Jadi Mati, Berkat Rancage

Tahun 1998 merupakan tahun istimewa bagi eksistensi sastra Bali modern karena saat

itulah untuk pertama kalinya diikutsertakan oleh sastrawan sekaligus Ketua Yayasan

Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage. Untuk

melakukan seleksi atau nominasi yang layak menerima penghargaan, Ajip Rosidi

menunjuk Nyoman Tusthi Eddy, seorang guru, sastrawan, dan kritikus. Tusthi Eddy

menulis kritik sastra Indonesia, menulis puisi Bali modern, dan juga menerbitkan buku

sastra Bali modern berjudul Mengenal Sastra Bali Modern (Balai Pustaka, 1991). Dia

adalah orang yang tepat menjadi juri, membantu Ajip Rosidi dalam seleksi penerima

Hadiah Sastra rancage untuk sastra Bali modern. Dalam konteks ini, sastra Bali modern

hanya disebutkan dengan Sastra Bali, sedangkan yang dimaksud adalah SBM, bukan SBT

(sastra Bali tradisional).

Penerima pertama anugerah Rancage untuk buku terbaik tahun 1997 adalah buku puisi

Kidung Republik karya I Made Sanggra, sedangkan untuk tokoh yang berjasa dalam

pengembangan sastra Bali modern adalah I Nyoman Manda. Ketika tahun seleksi tahun

1997 dilaksanakan, saya kira kemungkinan hanya ada satu buku sastra Bali modern

yang layak diseleksi. Ini untuk menegaskan bahwa tidak banyak ada buku yang

diseleksi, walau demikian tetap harus dikatakan bahwa sajak-sajak I Made Sanggra

Page 11: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

10

dalam antologi Kidung Republik adalah karya puisi yang hebat dan walau tidak ada

saingan dalam seleksi sungguh buku itu pantas mendapat anugerah.

Sebelum Ajip Rosidi memasukkan sastra Bali modern ke dalam seleksi penerima hadiah

sastra Rancage, kehidupan sastra Bali modern sayup-sayup, antara ada dan tiada.

Perkembangannya sangat sporadis, hanya kedengaran di kalangan dosen dan

mahasiswa bahasa Bali dan sejumlah kecil peminat. I Gusti Ngurah Bagus berkali-kali

mendorong penelitian dan publikasi tentang sastra Bali modern, tetapi tidak juga

berhasil menggenjot sastra Bali modern ke luar dari dunia sayup-sayup.

Pada tahun-tahun awal pemberian hadiah sastra Rancage untuk sastra Bali, jumlah

buku yang terbit sedikit sekali. Barulah, setelah tahun 2000, jumlah buku yang terbit

per tahun meningkat, antara 5 judul sampai 17. Kalau dirata-ratakan dalam 10 tahun

terakhir, ada sekitar 8 buku sastra Bali terbit per tahun, belakangan meningkat sedikit

menjadi 10 judul per tahun. Tentu saja jumlah ini masih kecil, tetapi bisa dibayangkan

bahwa angka itu akan jauh lebih kecil jika rangsangan dari Rancage tidak ada sama

sekali.

Untuk seleksi penerima hadiah mulai tahun keempat dipercayakan kepada saya, sampai

sekarang. Kepercayaan untuk saya itu datang ketika saya sedang dalam proses

penerbitan buku tonggak baru sastra Bali modern yang terbit tahun 2000.

Arti penting hadiah sastra Rancage terhadap kehidupan sastra Bali modern bisa

dirumuskan dalam beberapa point. Pertama, hadiah sastra Rancage ini memberikan

motivasi penulis untuk berkarya, baik bagi penulis ‘tua’ maupun ‘pendatang baru’.

Motivasi menulis dan menerbitkan buku untuk mendapat hadiah sastra tidak harus

dilihat secara negatif apalagi sastra Bali modern memiliki predikat masa lalu sebagai

‘sastra sayembara’. Mencipta untuk mengikuti sebuah sayembara merupakan hal positif

bagi penulis untuk menghasilkan karya terbaiknya. Bagi pembaca, hadirnya karya yang

baik adalah hal yang ideal.

Kedua, hadiah sastra Rancage telah mendorong pencinta sastra Bali modern untuk

memberikan perhatian lebih serius tentang eksistensi sastranya. Ada semacam rasa

Page 12: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

11

‘malu’ bagaimana bisa sastra Bali diberikan penghargaan oleh ‘orang luar’, maksudnya

Yayasan Kebudayaan Rancage. Hal ini dibuktikan dengan berusaha menerbitkan

majalah sastra seperti Kulkul, Canang Sari, Buratwangi, dan majalah Satua (Cerita)

sebagai jalan mengembangkan kehidupan sastra Bali modern. Kehadiran media massa

ini disambut para penulis dengan mengirimkan karangannya, tetapi dianggap belum

mampu menyemarakkan kehidupan sastra Bali modern karena sirkulasinya terbatas,

dan beberapa malah berumur pendek alias mati muda.

Ketiga, mendorong komunitas sastra Bali modern untuk kembali melobi surat kabar

terbesar di Bali, dalam hal ini Bali Post, untuk menerbitkan edisi khusus atau suplemen

berbahasa Bali sebagai media untuk memublikasikan dan mendekatkan sastra Bali

modern ke masyarakat luas. Usaha ini berhasil, buktinya sejak Agustus 2006, Bali Post

edisi Minggu, hadir dengan suplemen Bali Orti. Suplemen ini terdiri dari 8 halaman,

memuat feature, cerita bersambung, puisi, cerpen, profil, dan esei sastra. Kalau dulu

rubrik “Sabha Sastra” di Suluh Marhaen hanya setengah halaman, kini lebih luas

ruangannya. Bali Orti inilah yang kini merupakan satu-satunya media massa yang

menjadi pilar penting kehidupan sastra Bali modern, koran lainnya seperti Nusa Bali

tidak memberikan ruang sastra Bali. Penulis-penulis muda memublikasikan cerpennya

di Bali Orti dan kemudian menerbitkan antologi cerpen dengan karya lainnya untuk

kemudian diajukan dalam nominasi hadiah sastra Rancage. Berkat rancage, dunia

perbukuan sastra Bali modern tidak jadi mati.

Relatif Stabil

Merupakan kebanggaan tersendiri bagi penulis dan tokoh yang mendapat hadiah sastra

Rancage. Mereka terus menulis, tiap tahun menerbitkan buku puisi atau cerpen atau

novel sehingga menambah terus kuantitas dan kualitas korpus sastra Bali modern.

Penambahan korpus itu juga terjadi lewat publikasi karya di Bali Orti. Boleh dikatakan

bahwa dalam sepuluh terakhir ini kehidupan sastra Bali modern cukup stabil, tidak lagi

ada gap panjang, kosong karya, seperti tahun 1930-an, 1940-an, atau 1970-an.

Sistem pemerintahan otonomi daerah telah menimbulkan semangat baru bagi daerah-

daerah untuk mengembangkan atau mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah.

Hal ini menimbulkan peluang kerja baru bagi guru bahasa dan sastra daerah. Di Bali hal

Page 13: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

12

ini nyata sekali. Dulu hanya Universitas Udayana yang membuka jurusan bahasa dan

sastra Bali, sejak otonomi daerah, jurusan itu ditawarkan oleh beberapa lembaga

pendidikan tinggi, seperti Universitas Dwijendra, IKIP PGRI Bali, dan Institut Hindu

Dharma (IHD). Dulu jumlah mahasiswa yang belajar sastra dan bahasa Bali sangat kecil,

pernah jumlah mahasiswa baru yang masuk di bawah sepuluh. Kini, peminatnya banyak

sekali, dengan harapan setelah kuliah, mereka bisa menjadi guru bahasa dan sastra Bali.

Setelah sempat melonjak, mulai tahun 2014 merosot lagi karena bayang-bayang

penghapusan mata pelajaran bahasa daerah dari sekolah. Walau Peraturan Gubernur

mempertahankan jam pelajaran bahasa daerah, jumlah mahasiswa baru bahasa Bali

masih merosot dalam dua tahun terakhir.

Banyaknya mahasiswa lama membuat buku karya sastra Bali modern mendapat

perhatian misalnya sebagai bahan analisis untuk menulis skripsi. Perkembangan

lainnya, mahasiswa program pascasarjana juga mulai banyak, termasuk yang memilih

dan menjadikan sastra Bali modern untuk objek penelitian. Apresiasi dan analisis atas

karya ini membuat penulis buku sastra Bali seperti mendapat perhatian. Mereka merasa

ada gunanya menulis, dan akhirnya terus menulis sesuai dengan laju kreativitas

masing-masing. Kian banyak buku yang menjadi korpus sastra Bali modern, yang

menjadi body of knowledge tentang apa pun yang diungkapkan terutama ihwal

perubahan sosial budaya dan politik di Bali.

Semangat mempelajari sastra Bali kini dibayang-bayangi oleh kabut Kurikulum 2013

yang menghapuskan pelajaran bahasa daerah. Dalam kurikulum baru, pelajaran bahasa

daerah digabungkan ke dalam mata pelajaran budaya lokal, termasuk di dalamnya

kesenian dan keterampilan. Gejala ini dibayangkan akan mengurangi kebutuhan akan

guru bahasa Bali sehingga mungkin nanti jumlah mahasiswa yang belajar bahasa Bali

untuk menjadi guru akan berkurang juga. Dampak nyatanya masih harus ditunggu

karena di beberapa daerah seperti Bali dan Jawa Barat, ada keinginan untuk tetap

mengajarkan bahasa daerah dalam kuantitas waktu dan kualitas pengajaran seperti

dulu, bahkan lebih, sehingga kebutuhan guru bahasa Bali tetap tinggi.

Terlepas dari gejala tersebut, bisa ditegaskan bahwa sejak pemberian hadiah sastra

Rancage, kehidupan sastra Bali modern cukup stabil. Semoga rangsangan Rancage bisa

Page 14: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

13

diteruskan karena memang bermanfaat sebagai pilar penyanggah. Selain itu,

rangsangan serupa dari Bali sendiri tentu juga sangat diperlukan dalam berbagai

bentuk untuk membuat kehidupan sastra Bali modern mendekati semaraknya sastra

Indonesia atau sastra Bali tradisional. Sebagai karya seni, sastra Bali modern pun

terbukti mampu menawarkan nilai-nilai moral, keindahan, dan wacana sosial budaya

yang nikmat dan pantas disimak untuk memahami perasaan dan pemikiran orang Bali

di era global ini.

Perlu juga dicatata kreativitas sastrawan Bali modern dalam memperbanyak buku

dengan menerjemahkan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali. Usaha alih-bahasa ini

dilakukan oleh sastrawan Bali modern yang sehari-hari juga banyak menulis karya asli

dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Mereka adalah I Nyoman Manda, Made

Sanggra, Windhu Sancaya, Raka Kusuma dan Komang Beratha. Di antara penerjemah

itu, Nyoman Manda yang paling produktif. Dialah yang menerjemahkan ke dalam

bahasa Bali antologi puisi “Deru Campur Debu”-nya Chairil Anwar, “Tirani” dan

“Benteng”-nya Taufiq Ismail, “Sukreni Gadis Bali”-nya novel Panji Tisna, “Layar

Terkembang”-nya STA, dan cerpen “Di Tengah Keluarga”-nya Ajip Rosidi, “Bawuk”-nya

Umar Kayam dan “Gauhati”-nya Budi Darma.

Yang tak kalah produktifnya adalah Made Sanggra. Dia sudah menerjemahkan cerpen

Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Terjemahan ini diterbitkan oleh

Yayasan Obor (1999) dalam buku berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang

berisi terjemahan cerpen tersebut dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda,

Minangkabau, Madura, Toraja, dan Bugis.

Made Sanggra juga menerjemahkan cerpen “Bromocorah”-nya Mocthar Lubis dan

diterbitkan di Bali Post dan cerpen Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di

Bale Banjar” — cerpen yang pernah terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra

Horison tahun 1968. Terjemahan Made Sanggra ini dimuat dalam antologi puisi dan

cerpen Bali modern berjudul “Goak Mabunga Sandat” (Gagak Berbunga Sandat). Dalam

antologi ini, Made Sanggra juga menerjemahkan sajak “Aku” Chairil Anwar.

Penerjemah lain, Raka Kusuma mambahasabalikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono

dan diterbitkan dalam antologi dwibahasa berjudul “Sunaran Bulan Tengah Lemeng”

Page 15: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

14

(Cahaya Bulan Tengah Malam) tahun 1999. Puisi dalam antologi ini diambil dari dua

antologi Sapardi, yaitu “Hujan Bulan Juni” dan “Perahu Kertas”. Sementara itu, Komang

Berata menerjemahkan sembilan puisi Chairil dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalang”,

dimuat dalam majalah Buratwangi (edisi Januari-April 2002).

Karya terjemahan mereka tidak saja menambah khasanah buku sastra Bali modern

(terjemahan), tetapi juga menyediakan persoalan dalam kemampuan penerjemah dan

bahasa Bali itu sendiri dalam membahasabalikan konsep bahasa Indonesia dan budaya

non-Bali. Hal ini bisa menjadi materi menarik untuk kajian. Pembaca karya terjemahan,

tak hanya terpaku memahami makna teks yang dihadapi tetapi juga mencermati makna

“impor” yang dimasukkan dan makna “ekspor” yang dikeluarkan dalam proses

terjemahan.3

Tantangan dan Prospek Nyanyi Sunyi

Setidak-tidaknya ada tiga tantangan untuk mengembangkan dunia perbukuan sastra

Bali modern.

Pertama, fakta bahwa masyarakat target pembaca sastra Bali modern kecil. Masyarakat

pembaca buku sastra Bali modern terbatas pada mahasiswa dan pelajar yang

mengambil jurusan atau mata pelajaran sastra Bali. Jumlah ini sangat kecil. Untuk

kalangan umum, jumlah itu juga kecil, sebanding dengan kecilnya jumlah penduduk

Bali. Penduduk Bali adalah 4 juta, bandingkan misalnya dengan penduduk berbahasa

Sunda atau berbahasa Jawa yang mencapai puluhan juta. Jumlah dari kalangan

mahasiswa kian merosot sejalan dengan menurunnya angka pendaftaran mahasiswa

sastra Bali di perguruan tinggi di Bali akibat kebijakan kurikulum yang menghapuskan

pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah.

Kedua, jumlah penulis juga sedikit, tidak sampai 25 orang. Selama ini, kebanyakan

penulis harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mencetak bukunya, mirisnya lagi

mereka mengedarkan sendiri. Dorongan mereka menulis sangat tinggi, tetapi tidak ada

penerbit yang mau menerbitkan sekaligus membiayainya. Penulis senior seperti

Nyoman Manda, yang sudah menulis hampir 100 judul buku, termasuk antologi puisi

3 Dikutip dari I Nyoman Darma Putra “Mem-Bali-kan Sastra Indonesia: Makna dan Masalahnya”, Bali Post,Minggu Pon, 12 Januari 2003

Page 16: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

15

Gerip Maurip Ngridip Mekedip (Pena Berjiwa Tetap Bercahaya) (2009) empat jilid

dengan total tebal 3654 halaman, harus mengeluarkan biaya sendiri. Karena senang dan

ingin menyelamatkan karya sendiri, melestarikan sastra Bali, dia tidak berfikir panjang

untuk menarik tabungan untuk membiayai penerbitan bukunya. Buku-buku miliknya

tidak dijual secara profesional, hanya diberikan kepada yang memerlukan, terpampang

di toko buku tetapi tujuan utamanya tidaklah mengembalikan biaya cetak. Pengarang

lebih yunior, Made Sugianto, menawarkan bukunya door to door (misalnya ke sekolah,

kantor pemerintah, kantor DPRD, dan kantor polisi) sambil bekerja sebagai wartawan.

Jika laku dan dibeli tokoh atau pejabat, seperti Wakil Bupati Tabanan, Bali, Made

Sugianto menulis status di Facebook berisi foto.

Bagi penulis lain yang bukunya diterbitkan penerbit komersial, sehingga bebas beban

biaya cetak, mereka tidak pernah mendapat royalti, tidak pernah mendapat informasi

berapa eksemplar bukunya dicetak. Made Suarsa, misalnya, bukunya diterbitkan atau

dicetak ulang penerbit Paramitha, penerbit khusus buku agama Hindu dan budaya Bali.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud ini sudah menulis sejumlah buku sastra tradisional

dan sembilan buku sastra Bali modern berupa tiga kumpulan puisi, satu prosa liris, dan

lima kumpulan cerpen. Menurut mantan wartawan Sinar Harapan era 1980-an ini,

penerbit tidak pernah memberikan royalti, hanya memberikan buku 20 buah. Ia

mengatakan: “Kata penerbit kalau sudah laku semua baru diberi royalti. Saya tak/belum

pernah ngecek keadaan buku saya di pasar” (percakapan personal, 6 Juli 2016).

Ketiga, tidak adanya sponsor atau lembaga donor yang membantu penerbitan buku

seperti halnya sponsor dalam dunia seni pertunjukan atau olah raga. Pemerintah juga

tidak memberikan perhatian yang berarti dalam mengembangkan buku sastra Bali

modern. Urusan pemerintah terlalu banyak, termasuk juga membina sastra Bali

tradisional dan seni pertunjukan lain. Di dalam ajang Pesta Kesenian Bali yang

dilaksanakan setiap tahun, Pemprov Bali melakukan lomba penulisan sastra Bali

modern, tetpai anggaran khusus tentang penerbitan buku tidak ada secara terpola.

Dalam beberapa tahun terakhir pemprov Bali lewat Badan Perpustakaan Daerah

mengalokasikan dana penerbitan buku Bali lewat program Widya Pataka, dengan

anggaran buku per judul sekitar Rp 4 juta untuk biaya cetak saja, ditujukan untuk

Page 17: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

16

menerbitkan buku seni budaya Bali umum, hanya satu-dua buku sastra Bali dari alokasi

rata-rata 10 buku per tahun.

Melihat aspek komunitas, kuantitas, dan komersialitas perbukuan sastra Bali modern

yang serba kecil, bisa dikatakan bahwa masa depan perbukuan sastra Bali modern tidak

begitu menggembirakan. Namun, realitas itu bisa mengikis pesimisme jika dilihat dari

sudut pandang lain, misalnya kontinyuitas munculnya buku sastra Bali modern dan

realitas lain yang mendukung, sehingga memungkinkan untuk berbicara prospek

optismitik perbukuan sastra Bali modern.

Pertama, bahasa Bali merupakan ‘bahasa besar’ karena memiliki sistem aksara dan

tradisi sastra yang sudah panjang dan solid, mula-mula dalam sastra tradisional

kemudian dalam sastra Bali modern. Bahasa Bali tetap dijunjung tinggi masyarakat dan

digunakan dalam berbagai ranah, mulai dari ranah rumah tangga, pendidikan, ranah

publik termasuk dalam berbagai seni pertunjukan. Ada hubungan kait-mengait antara

bahasa Bali, sastra Bali, dan seni pertunjukan yang membuat ketiganya tetap lestari.

Misalnya, cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” sudah menjadi lakon seni pertunjukan

opera–Arja di Bali menggunakan bahasa Bali. Biasanya seni pertunjukan mengambil

lakon tradisional, seperti cerita rakyat, cerita Panji, atau epos Ramayana Mahabharata.

Apresiasi seperti ini tak hanya membantu melestarikan karya sastra Bali modern tetapi

juga merangsang penulis lain terpanggil ikut mencipta karena ada peluang karya

mereka mendapat apresiasi.

Kedua, populasi dan regenarasi penulis sastra Bali modern dewasa ini masih dalam

situasi yang dapat menjamin keberlangsungan perbukuan sastra Bali modern. Menurut

Robert Escarpit dalam buku Sosiologi Sastra (terjemahan 2005:33), masa depan buku

ditentukan oleh populasi pengarang karena mereka mengalami fluktuasi karena umur.

Dalam komunitas pengarang Bali terdapat komposisi menarik di mana penulis senior

(tua) masih aktif dan menjadi teladan, sementara pengarang yunior (muda)

bermunculan, baik laki maupun perempuan. Jika dibuatkan persentase, kira-kira

populasi pengarang sastra Bali modern terdiri dari 20%, 40%, 40% masing-masing

untuk tua, muda, lebih muda lagi. Situasi ini cukup menggembirakan karena

Page 18: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

17

menunjukkan bahwa anak-anak muda tidak saja senang berbahasa Bali tetapi malahan

tampil sebagai penulis dalam bahasa Ibu-nya.

Ketiga, perbukuan sastra Bali modern akan berlanjut mengingat selalu ada penulis yang

terpanggil menulis, Kreativitas menulis itu terbangun karena kombinasi bakat dan

minat untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali. Atmosfir mencipta sastra Bali modern

mendapat rangsangan dari dua arah, dari dua entitas sastra: sastra Bali tradisional dan

sastra Indonesia modern. Banyak penulis sastra Bali tradisional yang menulis sastra

Bali modern dan sebaliknya. Nyoman Manda adalah seorang guru yang semula menulis

sastra Indonesia, kemudian beralih menulis sastra Bali modern dengan keinginan untuk

mengembangkan sastra yang belum berkembang. Contoh lain, Made Sanggra yang satu

generasi dengan Nyoman Manda, mula-mula menulis sastra Indonesia, sastra

tradisional Bali, dan tentu juga sastra Bali modern. Made Suarsa, anak dari Made

Sanggra, sudah menulis puisi Indonesia, sastra Bali tradisional, dan sastra Bali modern.

Penulis sastra Indonesia modern lainnya yang juga menulis sastra Bali modern adalah

IDK Raka Kusuma dan I Putu Supartika. Penulis muda, Putu Supartika (usia 22 tahun,

kelahiran 1994), sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen Yen Benjang Tiang Dados

Presiden (Bila Esok Aku Jadi Presiden, 2015) dan baru saja cerpennya judul “Sepasang

Merpati dalam Sebuah Cerita” muncul di Kompas Minggu (3 Juli 2016). Komunitas

pengarang yang begitu terpanggil menulis akan menjamin kehidupan sastra Bali

modern dan perbukuannya tak akan mati. Hadiah sastra Rancage sejak 1998 menjadi

salah satu pendorong utama penulis terus berkarya sehingga memastikan masa depan

sastra dan perbukuan sastra Bali modern hidup terus.

Keempat, masa depan sastra dan buku sastra Bali modern akan berlanjut berkat

bantuan pemerintah untuk penerbitan buku walau sangat kecil dan kehadiran penerbit

buku yang mau menerbitkan dengan atau tanpa biaya produksi dari penulis. Penulis

periah dua kali Hadiah Sastra Rancage, Made Sugianto, membangun penerbitan sendiri

bernama Pustaka ekspresi yang banyak menerbitkan buku sastra Bali modern termasuk

karyanya sendiri dan penulis muda lainnya. Ihwal penyuntingan, lay out, dan distribusi

dia lakukan sendiri di samping kesibukannya sebagai wartawan Harian Nusa Bali.

Sekolah-sekolah, para guru serta mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi, masih akan

Page 19: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

18

memerlukan karya mereka sehingga ikut memberikan rangsangan bagi penulis untuk

berkarya, untuk menerbitkan buku.

Penutup

Di tengah derasnya arus pragmatisme global, minat masyarakat dan generasi muda

terhadap sastra Bali modern sangat kecil, sementara itu dunia pendidikan enggan

membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya buku sastra Bali modern ke dalam proses

belajar-mengajar. Syukurnya, masih ada sejumlah kecil penulis yang tekun mengarang

karya sastra Bali modern dan kemudian menerbitkan sebagai buku, baik karena

panggilan jiwa seni, semangat memperkuat identitas kebalian akibat otonomi daerah,

maupun keinginan untuk mendapat pengakuan misalnya lewat anugerah sastra

tahunan dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Populasi pengarang Bali yang berisi cukup

banyak penulis muda, sekitar 40%, akan menjamin prospek penerbitan buku dalam

masa sekitar 25 tahun ke depan.

Tantangan pengembangan penerbitan adalah pada kecilnya masyarakat pembaca buku

sastra Bali dan tidak pastinya dukungan finansial dari swasta dan pemerintah.

Pengusaha buku tidak begitu tertarik secara spesifik menerbitkan buku sastra karena

pasarnya kecil. Meskipun demikian, tidak cukup alasan untuk menyuburkan pesimisme.

Sama dengan sastra Bali tradisional dan sastra Indonesia modern, penerbitan buku

sastra Bali modern jauh dari prospek cerah tetapi akan tetap berlanjut.

Tentu saja dari segi komersial masa depan perbukuan tidak akan cerah, namun dari segi

sastra sebagai wahana ekspresi dan repositori seni dan nilai-nilai, kehadiran buku

sastra Bali terbukti telah ikut memperkuat tradisi sastra di Bali yang heterogen dan ikut

mendorong generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya untuk menggunakan

bahasa Bali. Sejak lama dikhawatirkan sastra Bali akan mati, begitu juga perbukuannya,

nyatanya sastra Bali hidup terus dan buku-bukunya terbit stabil meski dalam jumlah

kecil. Pendek kata, prospek sastra Bali modern dan perbukuannya meskipun bisa

diibaratkan ‘nyanyi sunyi’ tak bergema semarak tetapi yang membanggakan adalah

karena buku sastra Bali modern ‘tak jadi mati’ dan kiranya ‘tak akan pernah mati’.

Page 20: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

19

Daftar Pustaka

Agastia, IBG. 1994, Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah engantar). Denpasar:Yayasan Dharma Sastra.

Creese, Helen. 1998. P rth ya a, The journeying of P rtha : an eighteenth-centuryBalinese kakawin. Leiden, Netherlands: KITLV Press.

Derks, Will. 2002. ‘‘Sastra Pedalaman’ Local and Regional Literary Centres in Indonesia’in Keith Foulcher dan Tony Day (eds) Clearing a space, Postcolonial readings ofmodern Indonesian literature, pp. 325-48. Leiden: KITLV Press.

Eddy, I Nyoman Tusthi. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakartsa: Balai Pustaka.Escarpit, Robert, 2005. Sosiologi Sastra (terj Ida Sundari Huesin). Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.Jendra, I Wayan. 1975. ‘Sekilas tentang Puisi Sastra Bali Modern’, Bahasa dan Sastra, Th

II, No. 4. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa.Putra, I Nyoman Darma. 2009, ‘'Kidung Interaktif' Vocalising and interpreting traditional

literature through electronic mass media in Bali”, Indonesia and the Malay World,37:109, pp. 249-276.

Putra, I Nyoman Darma. 2011. A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity andIdentity in the Twentieth Century. Leiden: KITLV Press.

Putra, I Nyoman Darma. 2012 [2000], Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar:Pustaka Larasan.

Setia, Putu. 1987. Menggugat Bali . Jakarta: Grafiti.

LampiranDaftar Peraih Rancage untuk sastra Bali, 1998-2015

No Tahun Buku terbaik/ karya pengarang Tokoh berjasa1. 2015 Swecan Widhi kumpulan

cerpen karya I Komang AlitJuliartha

I Gede Gita Purnama Arsa Putra,penulis kritik sastra dan aktif diAliansi Peduli Bahasa Bali.

2. 2014 Ngurug Pasih, kumpulan ceritapéndék karya I Gedé PutraAriawan

I Nyoman Adiputra, pengarangsejumlah kakawin antara lain“Kakawin Udayana Mahawidya”(Kakawin Universitas Udayanasebagai Sumber Pengetahuan, 1993)dan “Kakawin Bali Sabho Lango”(Pesta Kesenian Bali),

3. 2013 Tutur Bali, Buku cerita karya IWayan Westa

Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja,penyusun kamus Bahasa Balitermasuk Bali-Indonesia-Inggris.

4. 2012 Sentana (Anak), novel I MadeSugianto.

I Nyoman Suprapta (penggubahgeguritan; pembina kelompoktembang tradisional)

5. 2011 Metèk Bintang (MenghitungBintang), buku cerpen KomangAdnyana.

I Made Sugianto (penerbit bukusastra Bali modern)

Page 21: NYANYI SUNYI DAN TAK JADI MATI: TANTANGAN DAN …

20

6. 2010 Leak Pemoroan (LèakPemoroan), buku cerpen IWayan Sadha.

Agung Wiyat S. Ardhi (sastrawan,pembina bahasa dan sastratradisional Bali)

7. 2009 Somah (Istri/Suami), buku puisiI Nyoman Tusthi Eddy.

I Nengah Tinggen (penulis ceritaberbahasa Bali, pengisi programbahasa Bali RRI Singaraja)

8. 2008 Depang Tiang Bajang Kayang-kayang (Biarkan saya LajangSelamanya) novelI Nyoman Manda.

I Made Suatjana (penemu BaliSimbar, yaitu aksara Bali dalamaplikasi computer).

9. 2007 Gede Ombak Gede Angin (BesarOmbak, Besar Angin), bukucerpen I Made Suarsa.

Ida Bagus Dharmasuta (Kepala BalaiBahasa Denpasar, pembantupenerbitan sejumlah buku danmajalah sastra Bali)

10. 2006 Buduh Nglawang (Orang GilaMenari-nari) buku cerpen karyaIda Bagus Wayan WidiasaKeniten.

Drs. Ida Bagus Gdé Agastia (penyair,kritikus sastra Bali tradisional danmodern).

11. 2005 Ang Ah lan Ah Ang , kumpulanpuisiI Made Suarsa.

Drs. Made Taro (penyair sastra Balimodern dan penulis buku dongengBali)

12. 2004 Coffee Shop (Warung Kopi),buku puisiI Dewa Gde Windhu Sancaya.

Nyoman Tusthi Eddy (penyair dankritikus untuk sastra Bali).

13. 2003 Bunga Gadung Ulung Abancang(Bunga Gadung GugurSetangkai), novel I NyomanManda.

I Gusti Putu Bawa Samar Gantang(penyair dan penulis cerpen bahasaBali, guru).

14. 2002 Sembalun Rinjani (SembalunRinjani), novel DjelantikSantha.

IDK Raka Kusuma (penyair,cerpenis, dan pengelola majalahbahasa dna sastra Bali, Buratwangi).

15. 2001 Gending Girang Sisi Pakerisan(Nyanyian Riang di Tepi KaliPakerisan), buku sajak dannaskah drama gong AgungWiyat A. Ardhi.

I Ketut Suwija ( penyair, penulis danpenerjemah sastra tradisional Bali).

16. 2000 Sunari (Sunari), novel I KetutRida.

I Gdé Dharna (penyair, penulisnaskah drama berbahasa Bali,pencipta lagu Bali).

17. 1999 Lekad Tumpek Wayang (Lahirpada Hari Tumpak Wayang),kumpulan cerpenI Komang Berata.

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus(pembina, penerbit buku-buku sastraBali).

18. 1998 Kidung Republik (KidungRepublik), buku puisi I MadéSanggra.

I Nyoman Manda (sastrawan Balimodern, pengelola majalah sastra BaliCanang Sari).