Nuria
-
Upload
febri-yudha-adhi-kurniawan -
Category
Documents
-
view
214 -
download
1
description
Transcript of Nuria
2. Patomekanisme dari penyakit yang disebabkan oleh virus dan
patomekanisme dari gatal sebagai gejala.
A. Varisela
I. Etiologi
Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV).
yang termasuk dalam kelompok Herpes Virus tipe Virus ini
berkapsul dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus
disebut capsid yang berebntuk ikosahedral, terdiri dari protein
dan DNA berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat
molekul 100 juta dan disusun dari 162 isomer. Lapisan ini
bersifat infeksius1,3 . VZV dapat ditemukan dalam cairan
vesikel dan dalam darah penderita. Virus ini dapat
diinokulasikan dengan menggunakan biakan dari fibroblas paru
embrio manusia kemudian dilihat dibawah mikroskop elektron.
Di dalam sel yang terinfeksi akan tampak adanya sel
raksasa berinti banyak (multinucleated giant cell) dan adanya
badan inklusi eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic
inclusion bodies) 1,4,5 . VZV menyebabkan penyakit varisela
dan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini memiliki manifestasi
klinis yang berbeda. Pada kontak pertama dengan manusia
menyebabkan penyakit varisela atau cacar air, karena itu
varisela dikatakan sebagai infeksi akut primer. Penderita dapat
sembuh, atau penderita sembuh dengan virus yang menjadi
laten (tanpa manifestasi klinis) dalam ganglia sensoris dorsalis,
jika kemudian terjadi reaktivasi maka virus akan menyebabkan
penyakit Herpes zoster (Sylvia,2006).
II. Definisi
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular,
disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV), yang
menyerang kulit dan mukosa, dan ditandai dengan adanya
vesikel-vesikel. Varisela pada tubuh anak (Sylvia,2006).
III. Epidemiologi
Di negara barat kejadian varisela terutama meningkat pada
musim dingin dan awal musim semi, sedangkan di Indonesia
virus menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke
musim hujan atau sebaliknya Namun varisela dapat menjadi
penyakit musiman jika terjadi penularan dari seorang penderita
yang tinggal di populasi padat, ataupun menyebar di dalam satu
sekolah.Varisela terutama menyerang anak-anak dibawah 10
tahun terbanyak usia 5-9 tahun. Varisela merupakan penyakit
yang sangat menular, 75 % anak terjangkit setelah terjadi
penularan. Varisela menular melalui sekret saluran pernapasan,
percikan ludah, terjadi kontak dengan lesi cairan vesikel,
pustula, dan secara transplasental. Individu dengan zoster juga
dapat menyebarkan varisela. Masa inkubasi 11-21 hari. Pasien
menjadi sangat infektif sekitar 24 – 48 jam sebelum lesi kulit
timbul sampai lesi menjadi krusta biasanya sekitar 5 hari
(Sylvia,2006).
IV. Patogenesis
Setelah VZV masuk melaui saluran pernapasan atas, atau
setelah penderita berkontak dengan lesi kulit, selama masa
inkubasinya terjadi viremia primer. Infeksi mula-mula terjadi
pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian
menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini
virus menyebar melalui peredaran darah dan system limfa ke
hepar, dan berkumpul dalam monosit/makrofag, disana virus
bereplikasi, pada kebanyakan kasus virus dapat mengatasi
pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder.
Pada viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit
T, kemudian virus menyebar ke kulit dan mukosa dan
bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai dengan lesi
varisela. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper
endotel pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel
dermis, folikel kulit dan glandula sebasea, saat ini timbul
demam dan malaise (Sylvia,2006).
V. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu:
1. Stadium prodormal
Stadium Prodormal timbul 10-21 hari, setelah masa
inkubasi selesai. Individu akan merasakan demam yang
tidak terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala
anoreksia, dan malaise.
2. Stadium erupsi
1-2 hari kemudian timbuh ruam-ruam kulit “ dew
drops on rose petals” tersebar pada wajah, leher, kulit
kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan
ekstremitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang
tertutup, jarang pada telapak tangan dan telapak kaki.
Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Total lesi
yang ditemukan dapat mencapai 50-500 buah. Makula
kemudian berubah menjadi papulla, vesikel, pustula, dan
krusta. Erupsi ini disertai rasa gatal. Perubahan ini hanya
berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisella secara
khas dalam perjalanan penyakitnya didapatkan bentuk
papula, vesikel, dan krusta dalam waktu yang bersamaan,
ini disebut polimorf.
Vesikel akan berada pada lapisan sel dibawah kulit
dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum,
sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam
Gambaran vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak
umbilicated, menonjol dari permukaan kulit, dasar
eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear
drops”. Cairan dalam vesikel kecil mula-mula jernih,
kemudian vesikel berubah menjadi besar dan keruh akibat
sebukan sel radang polimorfonuklear lalu menjadi pustula.
Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi mulai
mengering dimulai dari bagian tengah dan akhirnya
terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu
tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan
membentuk cekungan dangkal berwarna merah muda,
dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur hilang.
Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring,
laring, trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan
konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta, vesikel-
vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka,
kemudian sembuh dengan cepat. Karena lesi kulit terbatas
terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus
membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari
terjadi tanpa meninggalkan jaringan parut, walaupun lesi
hyper-hipo pigmentasi mungkin menetap sampai beberapa
bulan. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi
ditandai dengan demam yang berlanjut dengan suhu badan
yang tinggi dan akan terbentuk jaringan parut.
Varisela yang menyerang wanita hamil sangat
jarang (0,7 tiap 1000 kelamilan). Sekitar 17 % anak yang
dilahirkan dari wanita yang mendapat varisela pada 20
minggu pertama kehamilannya akan menderita kelainan
bawaan berupa bekas luka dikulit (cutaneous scarr),
mikrosefali, berat badan lahir rendah, hipoplasia tungkai,
kelumpuhan, atrofi tungkai, kejang, retardasi mental,
korioretinitis, mikropthalmia, atrofi kortikal, katarak dan
defisit neurologis lainnya. Defisit neurologis yang
mengenai system persarafan autonom dapat menimbulkan
kelainan kontrol sphingter, obstruksi intestinal, Horner
sindrom. Jika wanita hamil mendapatkan varisela dalam
waktu 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25 % dari
neonatus yang dilahirkan akan memperliharkan gejala
varisela kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur
5 hari, biasanya varisela ringan sebab antibodi ibu yang
sempat dihantarkan transplasental dalam bentuk IGg
spesifik masih ada dalam tubuh neonatus sehingga jarang
mengakibatkan kematian. Bila seorang wanita hamil
mendapatkan varisela pada 4-5 hari sebelum ia melahirkan,
maka neonatusnya akan memperliharkan gejala verisela
kongenital pada umur 5-19 hari Disini perjalanan varisela
sering berat dan menyebabkan kematian pada 25-30 %
karena mereka mendapatkan virus dalam jumlah yang
banyak tanpa sempat mendapatkan antibodi yang
dikirimkan transplasental.
Wanita hamil dengan varisela pneumonia dapat menderita
hipoksia dan gagal nafas yang dapat berakibat fatal bagi ibu
maupun fetus3,4,7 . Seorang anak yang ibunya mendapat
varisella selama masa kehamilan, atau bayi yang terkena
varisela selama bulan awal kelahirannya mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk menderita herpes zoster
dibawah 2 tahun (Sylvia,2006).
VI. Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela,
infeksi yang dapat terjadi diantaranya adalah: Infeksi sekunder
dengan bakteri Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat
stafilokokus. Stafilokokus dapat muncul sebagai impetigo,
selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever, atau
sepsis.
1. Varisela Pneumonia Varisela Pneumonia terutama terjadi
pada penderita immunokompromis, dan kehamilan.
Ditandai dengan panas tinggi, Batuk, sesak napas, takipneu,
Ronki basah, sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari
setelah timbulnya ruam. Pada pemeriksaan radiologi
didapatkan gambaran noduler yang radio-opak pada kedua
paru1,7 Gambar 2.4. Gambaran Radiologis Varisela
Pnemonia8 .l Reye sindrom letargi, mual, muntah menetap,
anak tampak bingung dan perubahan sensoris menandakan
terjadinya Reye sindrom atau ensefalitis. Reye sindrom
terutama terjadi pada pasien yang menggunakan salisilat,
sehingga pada varisela penggunaan varisela harus dihindari.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
SGOT, SGPT serta amonia.
2. Ensefalitis
Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan
imunitas. Dijumpai 1 pada 1000 kasus varisela dan
memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul pada
hari 3-8 setelah timbulnya ruam. Maguire (1985)
melaporkan 1 kasus pada anak berusia 3 tahun dengan
komplikasi ensefalitis menunjukkan gejala susah tidur,
nafsu makan menurun, hiperaktif, iritabel dan sakit kepala.
19 hari setelah ruam timbul, gerakan korea atetoid lengan
dan tungkai. Penderita meninggal setelah 35 hari
perawatan1 . Hemorrargis varisela terutama disebabkan
oleh autoimun trombositopenia, tetapi hemorrargis varisela
dapat menyebabkan idiopatik koagulasi intravaskuler
diseminata (purpura fulminan).
3. Hepatitis
Komplikasi lain Komplikasi yang dapat ditemukan namun
jarang terjadi diantaranya adalah neuritis optic, myelitis
tranversa, orkitis dan arthritis (Sylvia,2006).
B. Herpes Zoster
Herpes Zoster adalah penyakit rekuren yang terjadi karena
terjadinya reaktivasi VZV yang tadinya laten di ganglion sensoris
dorsalis kemudian bereplikasi dan menyebar melalui persyarafan ke
kulit.
I. Epidemiologi
Herpes Zoster Peningkatan insidensi terjadinya zoster
berhubungan dengan umur. Reaktivasi ini dipercaya akibat
imunitas tubuh individu yang menurun terhadap VZV yang
laten. Perbedaan ras juga mempengaruhi, insidensi Zoster pada
ras Afrika-Amerika hanya setengah dari yang dilaporkan
terjadi pada ras kulit putih. Anak-anak dengan degenerasi
maligna (limfoma, akut limfositik leukemia) dan AIDS
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan zoster
(Sylvia,2006).
II. Patogenesis
Herpes Zoster Jika virus tidak sepenuhnya dapat
dihilangkan saat viremia selesai, selanjutnya virus menjadi
laten dan diam untuk beberapa waktu di ganglion sensoris
dorsalis. Antigen spesifik Limfosit T dipercaya sebagai
penyebab utama virus sehingga menjadi laten. Immunosupresi
atau penurunan kekebalan alami sel T limfosit menyebabkan
terjadinya mekanisme yang memungkinkan reaktivasi virus dan
rekurensi sehingga virus bermanifestasi sebagai penyakit yang
disebut zoster (Sylvia,2006).
III. Manifestasi Klinis
Herpes Zoster Zoster tampak sebagai proses unilateral
melibatkan satu sampai tiga dermatom yang berdekatan.
Beberapa lesi yang mungkin terdapat agak jauh dari dermaton
yang terkena dapat juga terlihat. Dermatom torakal adalah yang
paling sering terkena, disusul oleh nervus cranial dan daerah
lombosakral. Lesi pertama kali muncul sebagai eritema, yang
kemudian berubah menjadi sekumpulan vesikel. Nyeri dan
parestesi pada dermatom yang terkena mendahului timbulnya
vesikel. Erupsi terjadi sekitar 3-5 hari kemudian mengering dan
menjadi krusta dalam 2 minggu.
Nyeri preerupsi torakal dapat disalah artikan sebagai angina
pectoris. Penyebaran Lesi pada Herpes Zoster Secara
Dermatomal (Sylvia,2006).
IV. Komplikasi
Herpes Zoster Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya
adalah infeksi sekunder oleh bakteri biasanya disebabkan oleh
kokus gram positif, paralysis nervus motorik atau kranialis,
ensefalitis biasanya menyebabkan kejang dan gejala kelainan
serebelar, keratitis, disseminata pada pasien
immunokompromis, dan post herpetik neuralgia. Post herpetik
neuralgia ini menyebabkan nyeri berat persisten pada
dermatom yang terkena setelah lesi kulit menghilang
(Sylvia,2006).
C. Variola
PENDAHULUAN
Cacar merupakan penyakit infeksi menularan sudah dikenal sejak
berabad-abad sebelumnya. Penyakit ini dahulu pada daerah-daerah
tertentu dapat endemi atau epidemi (Handoko, Ronny P.2015)
DEFINISI
Variola ialah penyakit virus yang disertai keadaan umum yang buruk,
dapat menyebabkan kematian, efloresensinya bersifat monomorf
terutama terdapat di perifer tubuh (Handoko, Ronny P.2015).
SINONIM
Cacar, small pox.
EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit ini kosmopolit, tetapi pada daerah tertentu
memberi insidens yang tinggi, misalnya di Amerika Tengah dan
Selatan, Hindia Barat, dan Timur Jauh. Dengan vaksinasi yang teratur
dan terorganisasi baik, maka insidens akan jauh menurun, sehingga di
daerah yang sebelumnya terdapat endemi tidak lagi dijumpai kasus
variola dan daerah ini dapat disebut se- bagai bebas variola seperti di
Indonesia. Sejak tahun 1984, WHO menyatakan seluruh dunia telah
bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian kita harus waspada
terhadap munculnya kembali penyakit ini (Handoko, Ronny P.2015).
Etiologi
Penyebab variola ialah virus poks(pox virus variolae). Dikenal 2 tipe
virus yang hampir identik, tetapi menyebabkan 2 tipe variola, yaitu
variola mayor dan variola minor (alastrim). Perbedaan kedua tipe
virus tersebut adalah bahwa virus yang menyebabkan variola mayor
bila diinokulasikan pada membran korioalantoik tubuh pada suhu 38°-
38,5°C, sedangkan yang menyebabkan variola minor tumbuh di
bawah suhu 38°C. Virus ini sangat stabil pada suhu ruangan, Sehingga
dapat hidup di luar tubuh selama berbulan-bulan (Handoko, Ronny
P.2015).
PATOGENESIS
Transmisi terjadi secara aerogen karena virus ini terdapat dalam
jumlah yang sangat banyak di saluran napas bagian atas dan juga
terdapat/terbawa di pakaian penderita. Setelah masuk ke dalam tubuh,
virus akan mengalami muitiplikasi dalam sistem retikuloendoteiiai,
kemudian masuk ke dalam darah (viremia) dan melepaskan diri
melaiui kapiler dermis menuju sel epidermis (epidermotropik) dan
membentuk badan inklusi intra sitoplasma yang terletak di inti sel
(badan Guarneri). Tipe variola yang timbul bergantung pada imunitas,
tipe virus dan gizi penderita (Handoko, Ronny P.2015).
GEJALA KLINIS
lnkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium:
Stadium inkubasi erupsi (prodromal)
Terdapat nyeri kepala, nyeri tulang dan Sendi disertai demam tinggi,
mengigil,lemas, dan muntah-muntah, yang berlangsung selama 3-4
hari.
Stadium makulo-papular
Timbul banyak makula eritematosa yang cepat menjadi papul,
terutama di wajah dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan
telapak kaki. Pada stadium ini tubuh normal kembali, penderita
merasa sehat dan tidak timbul lesi baru
Stadium vesikulo-pustulosa
Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel yang kemudian menjadi pustul
dan pada saat ini suhu tubuh meningkat lagi. Pada kelaman tersebut
timbul umbilikasi.
Stadium resolusi
Stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu,timbul krusta dan
suhu tubuh mulai menurun. Kemudian, krusta terlepas dan
meninggalkan sikatriks yang atrofi. Kadang kadang dapat timbul
perdarahan yang disebabkan depresi hematopoetik dan disebut sebagai
black variola yang sering fatal. Mortilitas variola bervariasi diantara 1-
50%.
(Handoko, Ronny P.2015)
VARIOLA MINOR (alastrim)
Masa inkubasinya lebih singkat dan prodromal tampak ringan,
sedangkan lesi yang timbul tidak banyak. kurang dari 1%.
VARIOLOID
Bentuk ini timbul pada individu yang sudah mendapat vaksinasi
sehingga didapati imunitas parsial, walaupun mendapat serangan virus
yang cukup virulen. Gejala prodromalnya sedikit sekali atau tidak ada,
begitu pula gejala kulit. Biasanya lesi di dahi, lengan atas dan tangan,
demam kedua seperti pada stadium vesikopustulosa tidak dijumpai
(Handoko, Ronny P.2015).
KOMPLIKASI
Kompiikasinya ialah bronkopneumonia, infeksi kulit sekunder
(furunkel, impetigo dan sebagainya), ulkus kornea, ensefalitis,
efluvium, dan telogen dalam waktu 3-4 bulan.
PENUNJANG DIAGNOSIS
Penunjang diagnosis terdiri atas inokulasi pada korioalantoik,
pemeriksaan virus dengan mikroskop elektron, dan deteksi antigen
virus pada agar-sel. Kecuali itu juga pemeriksaan histo- patologik dan
tes seroiogik (tes ikatan komplemen) (Handoko, Ronny P.2015).
PROFILAKSIS
Vaksinasi dengan virus vaksinia yang di berikan dengan metode
multiple puncture, meru pakan teknik yang dianggap terbaik. Pada
waktu pemberian vaksinasi tempat tersebut tidak diber sihkan dengan
alkohol tetapi cukup dengan eter atau aseton agar alkohol tidak
menginaktifkan virus vaksinia tersebut. Kontraindikasi vaksinasi
ialah: atopi, penderita yang sedang mendapat kortikosteroid dan
dengan defisiensi imunologik (Handoko, Ronny P.2015).
PENGOBATAN
Penderita harus dikarantinakan. Sistemik dapat diberikan obat
antiviral (asiklovir atau valasiklovir) misalnya isoprinosin, dan
interferon, dapat pula diberikan globulin gama. Kecuali itu obat yang
bersifat simtomatik, misalnya analgetik/antipiretik. Diawasi pula
kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, maupun infeksi
nosokomial, serta cairan tubuh dan elektrolit. Jika di mulut masih
terdapat lesi, diberikan makanan lunak. Pengobatan topikal bersifat
penunjang, misalnya kompres dengan antiseptik atau salap antibiotik
(Handoko, Ronny P.2015).
PROGNOSE
Prognosis sangat bergantung pada penatalaksanaan pertama dan
fasilitas perawatan yang tersedia, maka mortalitas sangat bervariasi di
antara 1-50%. Jaringan parut yang timbul dapat diperbaiki dengan
tindakan dermabrasi atau pemberian collagen implant (Handoko,
Ronny P.2015).
D. Patomekanisme gatal
Akan berhubungan dengan pengeluaran histamin sebagai mediator
inflamasi yang menyebabkan pruritus atau gatal.
I. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan basofil. Pelepasannya
dirangsang oleh antigen antibodi (IgE), alergi tipe I, pengaktifan
komplemen (C3a,C5a), inflamasi.
II. Histamin melalui reseptor H1 dan peningkatan konsentrasi Ca2+
seluler diendotel akan menyebabkan endotel melepaskan NO. Yang
merupakan dilator arteri dan vena.
III. Melalui reseptor H2, histamin menyebabkan pelebaran pembuluh
darah kecil yang tidak tergantung pada NO. Histamin akan
meningkatkan permeabilitas protein di kapiler darah.
IV. Ketika sel mast menghasilkan histamin, maka akan mensensitisasi
ujung serabut C yang berada di superficial kulit.
V. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskn pada serabut
radiks dorsalis, kemudian akan diteruskan menuju medula spinalis.
VI. Pada komisura anterior medula spinalis, impuls menghilang ke
kolumna alba anterolateral sisi berlawanan, naik ke batang otak/
thalamus untuk di interpretasikan sebagai sensasi gatal.
VII. Sensasi ini kemudian merangsang ferleks menggaruk untuk
memberikan sensasi nyeri yang cukup untuk kemudian menekan
sinyal gatal pada medulla spinalis (Sudoyo, 2006)
Dapus
Handoko, Ronny P.2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi KeTujuh .
Jakarta ; FK UI
Price, Shylvia. 2006. Patofisiologi Konesp Klinis Proses-proses Penyakit.Edisi 6.Volume I.
Jakarta.EGC.
Sudoyo W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Internal Publishing