Nuria

21
2. Patomekanisme dari penyakit yang disebabkan oleh virus dan patomekanisme dari gatal sebagai gejala. A. Varisela I. Etiologi Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). yang termasuk dalam kelompok Herpes Virus tipe Virus ini berkapsul dengan diameter kira-kira 150- 200 nm. Inti virus disebut capsid yang berebntuk ikosahedral, terdiri dari protein dan DNA berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari 162 isomer. Lapisan ini bersifat infeksius1,3 . VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita. Virus ini dapat diinokulasikan dengan menggunakan biakan dari fibroblas paru embrio manusia kemudian dilihat dibawah mikroskop elektron. Di dalam sel yang terinfeksi akan tampak adanya sel raksasa berinti banyak (multinucleated giant cell) dan adanya badan inklusi eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic inclusion bodies) 1,4,5 . VZV menyebabkan penyakit varisela dan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini memiliki

description

fffffffffffffffffffffffffffffffffjjjjjjjjjjjjjjj

Transcript of Nuria

2. Patomekanisme dari penyakit yang disebabkan oleh virus dan

patomekanisme dari gatal sebagai gejala.

A. Varisela

I. Etiologi

Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV).

yang termasuk dalam kelompok Herpes Virus tipe Virus ini

berkapsul dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus

disebut capsid yang berebntuk ikosahedral, terdiri dari protein

dan DNA berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat

molekul 100 juta dan disusun dari 162 isomer. Lapisan ini

bersifat infeksius1,3 . VZV dapat ditemukan dalam cairan

vesikel dan dalam darah penderita. Virus ini dapat

diinokulasikan dengan menggunakan biakan dari fibroblas paru

embrio manusia kemudian dilihat dibawah mikroskop elektron.

Di dalam sel yang terinfeksi akan tampak adanya sel

raksasa berinti banyak (multinucleated giant cell) dan adanya

badan inklusi eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic

inclusion bodies) 1,4,5 . VZV menyebabkan penyakit varisela

dan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini memiliki manifestasi

klinis yang berbeda. Pada kontak pertama dengan manusia

menyebabkan penyakit varisela atau cacar air, karena itu

varisela dikatakan sebagai infeksi akut primer. Penderita dapat

sembuh, atau penderita sembuh dengan virus yang menjadi

laten (tanpa manifestasi klinis) dalam ganglia sensoris dorsalis,

jika kemudian terjadi reaktivasi maka virus akan menyebabkan

penyakit Herpes zoster (Sylvia,2006).

II. Definisi

Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular,

disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV), yang

menyerang kulit dan mukosa, dan ditandai dengan adanya

vesikel-vesikel. Varisela pada tubuh anak (Sylvia,2006).

III. Epidemiologi

Di negara barat kejadian varisela terutama meningkat pada

musim dingin dan awal musim semi, sedangkan di Indonesia

virus menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke

musim hujan atau sebaliknya Namun varisela dapat menjadi

penyakit musiman jika terjadi penularan dari seorang penderita

yang tinggal di populasi padat, ataupun menyebar di dalam satu

sekolah.Varisela terutama menyerang anak-anak dibawah 10

tahun terbanyak usia 5-9 tahun. Varisela merupakan penyakit

yang sangat menular, 75 % anak terjangkit setelah terjadi

penularan. Varisela menular melalui sekret saluran pernapasan,

percikan ludah, terjadi kontak dengan lesi cairan vesikel,

pustula, dan secara transplasental. Individu dengan zoster juga

dapat menyebarkan varisela. Masa inkubasi 11-21 hari. Pasien

menjadi sangat infektif sekitar 24 – 48 jam sebelum lesi kulit

timbul sampai lesi menjadi krusta biasanya sekitar 5 hari

(Sylvia,2006).

IV. Patogenesis

Setelah VZV masuk melaui saluran pernapasan atas, atau

setelah penderita berkontak dengan lesi kulit, selama masa

inkubasinya terjadi viremia primer. Infeksi mula-mula terjadi

pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian

menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini

virus menyebar melalui peredaran darah dan system limfa ke

hepar, dan berkumpul dalam monosit/makrofag, disana virus

bereplikasi, pada kebanyakan kasus virus dapat mengatasi

pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder.

Pada viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit

T, kemudian virus menyebar ke kulit dan mukosa dan

bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai dengan lesi

varisela. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper

endotel pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel

dermis, folikel kulit dan glandula sebasea, saat ini timbul

demam dan malaise (Sylvia,2006).

V. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu:

1. Stadium prodormal

Stadium Prodormal timbul 10-21 hari, setelah masa

inkubasi selesai. Individu akan merasakan demam yang

tidak terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala

anoreksia, dan malaise.

2. Stadium erupsi

1-2 hari kemudian timbuh ruam-ruam kulit “ dew

drops on rose petals” tersebar pada wajah, leher, kulit

kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan

ekstremitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang

tertutup, jarang pada telapak tangan dan telapak kaki.

Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Total lesi

yang ditemukan dapat mencapai 50-500 buah. Makula

kemudian berubah menjadi papulla, vesikel, pustula, dan

krusta. Erupsi ini disertai rasa gatal. Perubahan ini hanya

berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisella secara

khas dalam perjalanan penyakitnya didapatkan bentuk

papula, vesikel, dan krusta dalam waktu yang bersamaan,

ini disebut polimorf.

Vesikel akan berada pada lapisan sel dibawah kulit

dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum,

sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam

Gambaran vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak

umbilicated, menonjol dari permukaan kulit, dasar

eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear

drops”. Cairan dalam vesikel kecil mula-mula jernih,

kemudian vesikel berubah menjadi besar dan keruh akibat

sebukan sel radang polimorfonuklear lalu menjadi pustula.

Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi mulai

mengering dimulai dari bagian tengah dan akhirnya

terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu

tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan

membentuk cekungan dangkal berwarna merah muda,

dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur hilang.

Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring,

laring, trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan

konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta, vesikel-

vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka,

kemudian sembuh dengan cepat. Karena lesi kulit terbatas

terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus

membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari

terjadi tanpa meninggalkan jaringan parut, walaupun lesi

hyper-hipo pigmentasi mungkin menetap sampai beberapa

bulan. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi

ditandai dengan demam yang berlanjut dengan suhu badan

yang tinggi dan akan terbentuk jaringan parut.

Varisela yang menyerang wanita hamil sangat

jarang (0,7 tiap 1000 kelamilan). Sekitar 17 % anak yang

dilahirkan dari wanita yang mendapat varisela pada 20

minggu pertama kehamilannya akan menderita kelainan

bawaan berupa bekas luka dikulit (cutaneous scarr),

mikrosefali, berat badan lahir rendah, hipoplasia tungkai,

kelumpuhan, atrofi tungkai, kejang, retardasi mental,

korioretinitis, mikropthalmia, atrofi kortikal, katarak dan

defisit neurologis lainnya. Defisit neurologis yang

mengenai system persarafan autonom dapat menimbulkan

kelainan kontrol sphingter, obstruksi intestinal, Horner

sindrom. Jika wanita hamil mendapatkan varisela dalam

waktu 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25 % dari

neonatus yang dilahirkan akan memperliharkan gejala

varisela kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur

5 hari, biasanya varisela ringan sebab antibodi ibu yang

sempat dihantarkan transplasental dalam bentuk IGg

spesifik masih ada dalam tubuh neonatus sehingga jarang

mengakibatkan kematian. Bila seorang wanita hamil

mendapatkan varisela pada 4-5 hari sebelum ia melahirkan,

maka neonatusnya akan memperliharkan gejala verisela

kongenital pada umur 5-19 hari Disini perjalanan varisela

sering berat dan menyebabkan kematian pada 25-30 %

karena mereka mendapatkan virus dalam jumlah yang

banyak tanpa sempat mendapatkan antibodi yang

dikirimkan transplasental.

Wanita hamil dengan varisela pneumonia dapat menderita

hipoksia dan gagal nafas yang dapat berakibat fatal bagi ibu

maupun fetus3,4,7 . Seorang anak yang ibunya mendapat

varisella selama masa kehamilan, atau bayi yang terkena

varisela selama bulan awal kelahirannya mempunyai

kemungkinan lebih besar untuk menderita herpes zoster

dibawah 2 tahun (Sylvia,2006).

VI. Komplikasi

Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela,

infeksi yang dapat terjadi diantaranya adalah: Infeksi sekunder

dengan bakteri Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat

stafilokokus. Stafilokokus dapat muncul sebagai impetigo,

selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever, atau

sepsis.

1. Varisela Pneumonia Varisela Pneumonia terutama terjadi

pada penderita immunokompromis, dan kehamilan.

Ditandai dengan panas tinggi, Batuk, sesak napas, takipneu,

Ronki basah, sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari

setelah timbulnya ruam. Pada pemeriksaan radiologi

didapatkan gambaran noduler yang radio-opak pada kedua

paru1,7 Gambar 2.4. Gambaran Radiologis Varisela

Pnemonia8 .l Reye sindrom letargi, mual, muntah menetap,

anak tampak bingung dan perubahan sensoris menandakan

terjadinya Reye sindrom atau ensefalitis. Reye sindrom

terutama terjadi pada pasien yang menggunakan salisilat,

sehingga pada varisela penggunaan varisela harus dihindari.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan

SGOT, SGPT serta amonia.

2. Ensefalitis

Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan

imunitas. Dijumpai 1 pada 1000 kasus varisela dan

memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul pada

hari 3-8 setelah timbulnya ruam. Maguire (1985)

melaporkan 1 kasus pada anak berusia 3 tahun dengan

komplikasi ensefalitis menunjukkan gejala susah tidur,

nafsu makan menurun, hiperaktif, iritabel dan sakit kepala.

19 hari setelah ruam timbul, gerakan korea atetoid lengan

dan tungkai. Penderita meninggal setelah 35 hari

perawatan1 . Hemorrargis varisela terutama disebabkan

oleh autoimun trombositopenia, tetapi hemorrargis varisela

dapat menyebabkan idiopatik koagulasi intravaskuler

diseminata (purpura fulminan).

3. Hepatitis

Komplikasi lain Komplikasi yang dapat ditemukan namun

jarang terjadi diantaranya adalah neuritis optic, myelitis

tranversa, orkitis dan arthritis (Sylvia,2006).

B. Herpes Zoster

Herpes Zoster adalah penyakit rekuren yang terjadi karena

terjadinya reaktivasi VZV yang tadinya laten di ganglion sensoris

dorsalis kemudian bereplikasi dan menyebar melalui persyarafan ke

kulit.

I. Epidemiologi

Herpes Zoster Peningkatan insidensi terjadinya zoster

berhubungan dengan umur. Reaktivasi ini dipercaya akibat

imunitas tubuh individu yang menurun terhadap VZV yang

laten. Perbedaan ras juga mempengaruhi, insidensi Zoster pada

ras Afrika-Amerika hanya setengah dari yang dilaporkan

terjadi pada ras kulit putih. Anak-anak dengan degenerasi

maligna (limfoma, akut limfositik leukemia) dan AIDS

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan zoster

(Sylvia,2006).

II. Patogenesis

Herpes Zoster Jika virus tidak sepenuhnya dapat

dihilangkan saat viremia selesai, selanjutnya virus menjadi

laten dan diam untuk beberapa waktu di ganglion sensoris

dorsalis. Antigen spesifik Limfosit T dipercaya sebagai

penyebab utama virus sehingga menjadi laten. Immunosupresi

atau penurunan kekebalan alami sel T limfosit menyebabkan

terjadinya mekanisme yang memungkinkan reaktivasi virus dan

rekurensi sehingga virus bermanifestasi sebagai penyakit yang

disebut zoster (Sylvia,2006).

III. Manifestasi Klinis

Herpes Zoster Zoster tampak sebagai proses unilateral

melibatkan satu sampai tiga dermatom yang berdekatan.

Beberapa lesi yang mungkin terdapat agak jauh dari dermaton

yang terkena dapat juga terlihat. Dermatom torakal adalah yang

paling sering terkena, disusul oleh nervus cranial dan daerah

lombosakral. Lesi pertama kali muncul sebagai eritema, yang

kemudian berubah menjadi sekumpulan vesikel. Nyeri dan

parestesi pada dermatom yang terkena mendahului timbulnya

vesikel. Erupsi terjadi sekitar 3-5 hari kemudian mengering dan

menjadi krusta dalam 2 minggu.

Nyeri preerupsi torakal dapat disalah artikan sebagai angina

pectoris. Penyebaran Lesi pada Herpes Zoster Secara

Dermatomal (Sylvia,2006).

IV. Komplikasi

Herpes Zoster Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya

adalah infeksi sekunder oleh bakteri biasanya disebabkan oleh

kokus gram positif, paralysis nervus motorik atau kranialis,

ensefalitis biasanya menyebabkan kejang dan gejala kelainan

serebelar, keratitis, disseminata pada pasien

immunokompromis, dan post herpetik neuralgia. Post herpetik

neuralgia ini menyebabkan nyeri berat persisten pada

dermatom yang terkena setelah lesi kulit menghilang

(Sylvia,2006).

C. Variola

PENDAHULUAN

Cacar merupakan penyakit infeksi menularan sudah dikenal sejak

berabad-abad sebelumnya. Penyakit ini dahulu pada daerah-daerah

tertentu dapat endemi atau epidemi (Handoko, Ronny P.2015)

DEFINISI

Variola ialah penyakit virus yang disertai keadaan umum yang buruk,

dapat menyebabkan kematian, efloresensinya bersifat monomorf

terutama terdapat di perifer tubuh (Handoko, Ronny P.2015).

SINONIM

Cacar, small pox.

EPIDEMIOLOGI

Penyebaran penyakit ini kosmopolit, tetapi pada daerah tertentu

memberi insidens yang tinggi, misalnya di Amerika Tengah dan

Selatan, Hindia Barat, dan Timur Jauh. Dengan vaksinasi yang teratur

dan terorganisasi baik, maka insidens akan jauh menurun, sehingga di

daerah yang sebelumnya terdapat endemi tidak lagi dijumpai kasus

variola dan daerah ini dapat disebut se- bagai bebas variola seperti di

Indonesia. Sejak tahun 1984, WHO menyatakan seluruh dunia telah

bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian kita harus waspada

terhadap munculnya kembali penyakit ini (Handoko, Ronny P.2015).

Etiologi

Penyebab variola ialah virus poks(pox virus variolae). Dikenal 2 tipe

virus yang hampir identik, tetapi menyebabkan 2 tipe variola, yaitu

variola mayor dan variola minor (alastrim). Perbedaan kedua tipe

virus tersebut adalah bahwa virus yang menyebabkan variola mayor

bila diinokulasikan pada membran korioalantoik tubuh pada suhu 38°-

38,5°C, sedangkan yang menyebabkan variola minor tumbuh di

bawah suhu 38°C. Virus ini sangat stabil pada suhu ruangan, Sehingga

dapat hidup di luar tubuh selama berbulan-bulan (Handoko, Ronny

P.2015).

PATOGENESIS

Transmisi terjadi secara aerogen karena virus ini terdapat dalam

jumlah yang sangat banyak di saluran napas bagian atas dan juga

terdapat/terbawa di pakaian penderita. Setelah masuk ke dalam tubuh,

virus akan mengalami muitiplikasi dalam sistem retikuloendoteiiai,

kemudian masuk ke dalam darah (viremia) dan melepaskan diri

melaiui kapiler dermis menuju sel epidermis (epidermotropik) dan

membentuk badan inklusi intra sitoplasma yang terletak di inti sel

(badan Guarneri). Tipe variola yang timbul bergantung pada imunitas,

tipe virus dan gizi penderita (Handoko, Ronny P.2015).

GEJALA KLINIS

lnkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium:

Stadium inkubasi erupsi (prodromal)

Terdapat nyeri kepala, nyeri tulang dan Sendi disertai demam tinggi,

mengigil,lemas, dan muntah-muntah, yang berlangsung selama 3-4

hari.

Stadium makulo-papular

Timbul banyak makula eritematosa yang cepat menjadi papul,

terutama di wajah dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan

telapak kaki. Pada stadium ini tubuh normal kembali, penderita

merasa sehat dan tidak timbul lesi baru

Stadium vesikulo-pustulosa

Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel yang kemudian menjadi pustul

dan pada saat ini suhu tubuh meningkat lagi. Pada kelaman tersebut

timbul umbilikasi.

Stadium resolusi

Stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu,timbul krusta dan

suhu tubuh mulai menurun. Kemudian, krusta terlepas dan

meninggalkan sikatriks yang atrofi. Kadang kadang dapat timbul

perdarahan yang disebabkan depresi hematopoetik dan disebut sebagai

black variola yang sering fatal. Mortilitas variola bervariasi diantara 1-

50%.

(Handoko, Ronny P.2015)

VARIOLA MINOR (alastrim)

Masa inkubasinya lebih singkat dan prodromal tampak ringan,

sedangkan lesi yang timbul tidak banyak. kurang dari 1%.

VARIOLOID

Bentuk ini timbul pada individu yang sudah mendapat vaksinasi

sehingga didapati imunitas parsial, walaupun mendapat serangan virus

yang cukup virulen. Gejala prodromalnya sedikit sekali atau tidak ada,

begitu pula gejala kulit. Biasanya lesi di dahi, lengan atas dan tangan,

demam kedua seperti pada stadium vesikopustulosa tidak dijumpai

(Handoko, Ronny P.2015).

KOMPLIKASI

Kompiikasinya ialah bronkopneumonia, infeksi kulit sekunder

(furunkel, impetigo dan sebagainya), ulkus kornea, ensefalitis,

efluvium, dan telogen dalam waktu 3-4 bulan.

PENUNJANG DIAGNOSIS

Penunjang diagnosis terdiri atas inokulasi pada korioalantoik,

pemeriksaan virus dengan mikroskop elektron, dan deteksi antigen

virus pada agar-sel. Kecuali itu juga pemeriksaan histo- patologik dan

tes seroiogik (tes ikatan komplemen) (Handoko, Ronny P.2015).

PROFILAKSIS

Vaksinasi dengan virus vaksinia yang di berikan dengan metode

multiple puncture, meru pakan teknik yang dianggap terbaik. Pada

waktu pemberian vaksinasi tempat tersebut tidak diber sihkan dengan

alkohol tetapi cukup dengan eter atau aseton agar alkohol tidak

menginaktifkan virus vaksinia tersebut. Kontraindikasi vaksinasi

ialah: atopi, penderita yang sedang mendapat kortikosteroid dan

dengan defisiensi imunologik (Handoko, Ronny P.2015).

PENGOBATAN

Penderita harus dikarantinakan. Sistemik dapat diberikan obat

antiviral (asiklovir atau valasiklovir) misalnya isoprinosin, dan

interferon, dapat pula diberikan globulin gama. Kecuali itu obat yang

bersifat simtomatik, misalnya analgetik/antipiretik. Diawasi pula

kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, maupun infeksi

nosokomial, serta cairan tubuh dan elektrolit. Jika di mulut masih

terdapat lesi, diberikan makanan lunak. Pengobatan topikal bersifat

penunjang, misalnya kompres dengan antiseptik atau salap antibiotik

(Handoko, Ronny P.2015).

PROGNOSE

Prognosis sangat bergantung pada penatalaksanaan pertama dan

fasilitas perawatan yang tersedia, maka mortalitas sangat bervariasi di

antara 1-50%. Jaringan parut yang timbul dapat diperbaiki dengan

tindakan dermabrasi atau pemberian collagen implant (Handoko,

Ronny P.2015).

D. Patomekanisme gatal

Akan berhubungan dengan pengeluaran histamin sebagai mediator

inflamasi yang menyebabkan pruritus atau gatal.

I. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan basofil. Pelepasannya

dirangsang oleh antigen antibodi (IgE), alergi tipe I, pengaktifan

komplemen (C3a,C5a), inflamasi.

II. Histamin melalui reseptor H1 dan peningkatan konsentrasi Ca2+

seluler diendotel akan menyebabkan endotel melepaskan NO. Yang

merupakan dilator arteri dan vena.

III. Melalui reseptor H2, histamin menyebabkan pelebaran pembuluh

darah kecil yang tidak tergantung pada NO. Histamin akan

meningkatkan permeabilitas protein di kapiler darah.

IV. Ketika sel mast menghasilkan histamin, maka akan mensensitisasi

ujung serabut C yang berada di superficial kulit.

V. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskn pada serabut

radiks dorsalis, kemudian akan diteruskan menuju medula spinalis.

VI. Pada komisura anterior medula spinalis, impuls menghilang ke

kolumna alba anterolateral sisi berlawanan, naik ke batang otak/

thalamus untuk di interpretasikan sebagai sensasi gatal.

VII. Sensasi ini kemudian merangsang ferleks menggaruk untuk

memberikan sensasi nyeri yang cukup untuk kemudian menekan

sinyal gatal pada medulla spinalis (Sudoyo, 2006)

Dapus

Handoko, Ronny P.2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi KeTujuh .

Jakarta ; FK UI

Price, Shylvia. 2006. Patofisiologi Konesp Klinis Proses-proses Penyakit.Edisi 6.Volume I.

Jakarta.EGC.

Sudoyo W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Internal Publishing