NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

78
BAB II ACUAN TEORETIS A. MENYIMAK 1. Pengeretian Menyimak Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain. Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.” 1 Dibuku yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” 2 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. “Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara; dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar; 2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial; 3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis- tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi; 4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog, 1 Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29 2 Ibid. hlm. 28 7

Transcript of NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

Page 1: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

7

BAB II

ACUAN TEORETIS

A. MENYIMAK

1. Pengeretian Menyimak

Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan

menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya

dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan

informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.

Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna

mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku

yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan

mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,

pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,

menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah

disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.”2

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses

kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,

pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap

isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh

sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.

“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;

dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar; 2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang

diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;

3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;

4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,

1 Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29 2 Ibid. hlm. 28

7

Page 2: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

8

diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk mengapreasi materi simakan;

5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan ide-idenya sendiri;

6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik mendengarkan ujaran pembicara asli;

7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga;

8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif.”3 Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya

“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai

keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.

2. Ragam Menyimak

“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),

bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak

ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)

estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)

konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4

a. Menyimak Ekstensif

“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan

menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap

suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5

menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan

hal-hal yang bersifat umum.

3 Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57 4 Ibid. hlm. 35 5 Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28

Page 3: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

9

1. Menyimak Sekunder

“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis

kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara

ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum

tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan

menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik

sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau

melukis.”6 Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak

suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang

lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan

tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik

yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara

kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-

tarinya.

2. Menyimak Estetik

“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut

menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara

serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan

drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran

televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah

kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan

bagi diri penyimak.

b. Menyimak Intensif

“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari

kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat

memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi

dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,

6 Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38

7 Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29 8 Ibid. hlm. 1.29

Page 4: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

10

penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-

bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan

mendalam.

Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan

untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun

termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur

pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.

Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak

kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak

eksploratif, (5) menyimak interogatif.

Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di

atas, sebagai berikut.

1). Menyimak Kritis

Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan

menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan

juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara,

dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat.”9

Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di

atas.

Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan

tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu

penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau

diinformasikan sampai bermanfaat.

2) Menyimak Konsentratif

“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut

study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.

Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu

adalah :

9 Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42

Page 5: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

11

Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan. Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat,

kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat. Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu. Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam. Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran

maupun pengorganisasiannya. Memahami urutan ide-ide pembicara. Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.”10

Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis

sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagian-

bagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting

saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang

memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan

pusat perhatian.

3). Menyimak Kreatif

“Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan

dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para

penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan

kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang

disimaknya.”11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang

dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang

disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide,

gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai

bahan pengalaman penyimak.

4). Menyimak Eksploratif

“Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah

sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki

10. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45 11 Ibid. hlm. 46

Page 6: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

12

sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.”12 Dalam kegiatan menyimak

seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta

menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan

mengenai suatu topik.

5). Menyimak Interogatif

“Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis

kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan

seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang

pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak

pertanyaan.”13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam

melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butir-

butir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh

karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh.

Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari

penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara

menyampaikan materi pembicaraannya.

B. Cerita Pendek

a. Pengertian Cerita Pendek

“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian

daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di

dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi

mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut

Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan

sekali duduk.”15

Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada

tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari

sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur

12. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47 13 Ibid. hlm. 48 14 Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34 15 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10

Page 7: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

13

perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen

berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui

bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan

perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari

satu mata uang.

“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak; tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat. Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya.”16

Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8

halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah

naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup

memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam

waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya

dengan kebiasaan membaca Koran di WC.

b. Unsur-unsur Cerpen

1. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu

hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,

suasana, sudut pandang dan amanat.17

Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut

di bawah ini.

a. Tema

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi

Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang

16 Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34 17 Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),

hlm. 23

Page 8: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

14

dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan

sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah

kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar

terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide

pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu

pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti

hidup ini lebih baik.

Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya

sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca

yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya

merupakan komentar mengenai kehidupan.18

Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca

mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih

dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema

suatu cerita.

Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.

Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,

tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para

tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk

mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan

tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau

dalam suatu adegan cerita.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita

yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh

bagian cerita itu.

b. Alur/Plot

Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,

pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula

dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu

18 Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:

Angkasa, 1994), hlm. 160

Page 9: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

15

disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan

jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro

menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai

jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur

jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19

Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti

Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah

rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang

menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.

Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.

Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau

bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir

dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak

dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot

jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang

terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik.20

Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak

dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur

sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.

a) Pengenalan.

b) Timbulnya konflik.

c) Konflik memuncak.

d) Klimaks.

e) Pemecahan masalah.

Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah

cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan

antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah

tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah

perbenturan yang membangun cerita.

19 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111 20 Ibid. hlm. 114

Page 10: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

16

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi 2 bagian,

yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot

lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa

pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal,

tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot

balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis,

cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari

tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.

Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot

rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika

hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu

dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan

memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya

peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa

tambahan.21

c. Penokohan

Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk

mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk

mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan

berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.

Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang

yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh

pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan.22

Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di

dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara

21Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159 22 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165

Page 11: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

17

meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan

manusia sebenarnya.

Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi

adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan

tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa

dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon.

2) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.

3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.

4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.

5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan

melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang

mencerminkan wataknya).

6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain

dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu.

7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan

pelakon utama.23

Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian

pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya

lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau

karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang

secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca.

Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan

adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa-

peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter

sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang

dialaminya.

23 Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.

141

Page 12: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

18

d. Latar

Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar

sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24

Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel

bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,

melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam

debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan

sebagainya.

Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita

yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,

sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh

tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat

mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema

novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.

Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan

kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-

olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah

mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan

secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun

dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang

diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan

dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika

latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan

perwatakannya ke dalam novel.

24 Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216 25 Ibid. hlm. 217

Page 13: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

19

e. Sudut Pandang /Point of view

Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya

dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja

yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat.26

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang

bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara

atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk

cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut

pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja

dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu

yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan

hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya

fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.

Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut

pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam

hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab

sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap

kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya

dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut

teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa

diungkapkan sebaik-baiknya.

Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang

mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang

menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang

lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan

teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan

makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan

pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat

menerima dan menghayati gagasan pengarang.

26 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246

Page 14: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

20

f. Amanat

Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan

amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya

disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca

harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.

Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah

karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan

keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang

cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,

peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan

yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir

cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-

sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

G. Gaya/Style

Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam

mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara

bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya

dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita

yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi

oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,

latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya

dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan

bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)

bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,

serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya

intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi

penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,

dialog dan sebagainya.

Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang

diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:

Page 15: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

21

1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.

2. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan

dalam bentuk tulisan dan lisan.

3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya

(ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh

diksi dan struktur kalimat.

Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam

menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang

yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya

bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang

kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti,

gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.

h. Suasana

Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.

Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan

ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif

inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-

unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila

didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan

sebagainya.

Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana

adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,

Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau

kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan

perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”

Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa

dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar

cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.

Page 16: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

22

C. Media

1. Pengertian Media Pembelajaran

“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti

perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari

pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich

dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,

film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan

cetakan adalah media komunikasi.” 28Apabila media itu membawa pesan-pesan

atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud

pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for

Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media

sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan

pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)

mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun

audiovisual serta peralatannya.”29

Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk

menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape

recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik,

televisi dan komputer. “Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan

menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis,

sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. 2) Audio yaitu suara guru, radio, tape,

recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda

nyata, 6). Komputer.”30

Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi

27 Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6 28 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6

29 Loc. Cit. hlm. 6 30 M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement

of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78

Page 17: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

23

(guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media

pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung

dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat

membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan

rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis

terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa

meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,

memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi.

Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam

pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. “Kegiatan

pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan

media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat

membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada

akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang

demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media

pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di

kelas.”31

Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa “media pembelajaran dalam

proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,

membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa

pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.”32 Oleh karena itu fungsi media

pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,

memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta

memudahkan siswa memahami pelajaran.

31 Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam

Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97. 32 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.

Page 18: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

24

2. Manfaat Media Pembelajaran

Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun

telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun

penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran

berjalan lambat. “Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki

manfaat antara lain:

1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat

menimbulkan motivasi belajar.

2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh

siswa.

3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan

kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga

aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan

lain-lain.”33

Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya

adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan

pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih

berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif

akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan

apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai

dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3. Jenis Media

1. Media Tape Recorder

“Media berasal dari bahasa latin “medium” yang secara harfiah berarti

perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari

pengirim ke penerima pesan.”34 Sedangkan menurut Ma’mur Saadie “media

adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja

33 Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),

hlm 2. 34Loc. Cit. hlm. 6

Page 19: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

25

yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah

bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan

siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan

baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal

dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber

belajar

“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya

orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat

diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua

macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track

recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan

elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.

Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,

kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-

acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape

recorder tertentu.

1. “Kelebihan media tape recorder a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran. b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan

diganti dengan materi yang baru. c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual. d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui

madia tape recorder. e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat

membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar bahasa permulaan.

2. Kelemahan media audio a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,

bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini kadang-kadang membosankan.

b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa, beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.

c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita waktu.

35 Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3 36Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7

Page 20: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

26

d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang berbeda.

e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi.”37

37Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35

Page 21: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

7

BAB II

ACUAN TEORETIS

A. MENYIMAK

1. Pengeretian Menyimak

Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan

menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya

dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan

informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.

Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna

mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku

yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan

mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,

pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,

menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah

disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.”2

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses

kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,

pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap

isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh

sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.

“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;

dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar; 2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang

diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;

3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;

4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,

1 Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29 2 Ibid. hlm. 28

7

Page 22: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

8

diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk mengapreasi materi simakan;

5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan ide-idenya sendiri;

6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik mendengarkan ujaran pembicara asli;

7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga;

8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif.”3 Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya

“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai

keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.

2. Ragam Menyimak

“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),

bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak

ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)

estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)

konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4

a. Menyimak Ekstensif

“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan

menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap

suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5

menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan

hal-hal yang bersifat umum.

3 Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57 4 Ibid. hlm. 35 5 Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28

Page 23: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

9

1. Menyimak Sekunder

“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis

kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara

ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum

tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan

menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik

sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau

melukis.”6 Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak

suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang

lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan

tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik

yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara

kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-

tarinya.

2. Menyimak Estetik

“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut

menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara

serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan

drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran

televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah

kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan

bagi diri penyimak.

b. Menyimak Intensif

“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari

kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat

memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi

dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,

6 Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38

7 Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29 8 Ibid. hlm. 1.29

Page 24: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

10

penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-

bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan

mendalam.

Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan

untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun

termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur

pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.

Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak

kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak

eksploratif, (5) menyimak interogatif.

Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di

atas, sebagai berikut.

1). Menyimak Kritis

Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan

menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan

juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara,

dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat.”9

Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di

atas.

Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan

tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu

penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau

diinformasikan sampai bermanfaat.

2) Menyimak Konsentratif

“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut

study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.

Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu

adalah :

9 Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42

Page 25: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

11

Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan. Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat,

kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat. Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu. Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam. Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran

maupun pengorganisasiannya. Memahami urutan ide-ide pembicara. Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.”10

Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis

sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagian-

bagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting

saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang

memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan

pusat perhatian.

3). Menyimak Kreatif

“Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan

dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para

penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan

kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang

disimaknya.”11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang

dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang

disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide,

gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai

bahan pengalaman penyimak.

4). Menyimak Eksploratif

“Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah

sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki

10. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45 11 Ibid. hlm. 46

Page 26: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

12

sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.”12 Dalam kegiatan menyimak

seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta

menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan

mengenai suatu topik.

5). Menyimak Interogatif

“Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis

kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan

seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang

pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak

pertanyaan.”13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam

melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butir-

butir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh

karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh.

Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari

penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara

menyampaikan materi pembicaraannya.

B. Cerita Pendek

a. Pengertian Cerita Pendek

“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian

daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di

dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi

mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut

Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan

sekali duduk.”15

Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada

tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari

sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur

12. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47 13 Ibid. hlm. 48 14 Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34 15 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10

Page 27: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

13

perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen

berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui

bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan

perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari

satu mata uang.

“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak; tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat. Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya.”16

Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8

halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah

naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup

memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam

waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya

dengan kebiasaan membaca Koran di WC.

b. Unsur-unsur Cerpen

1. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu

hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,

suasana, sudut pandang dan amanat.17

Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut

di bawah ini.

a. Tema

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi

Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang

16 Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34 17 Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),

hlm. 23

Page 28: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

14

dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan

sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah

kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar

terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide

pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu

pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti

hidup ini lebih baik.

Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya

sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca

yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya

merupakan komentar mengenai kehidupan.18

Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca

mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih

dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema

suatu cerita.

Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.

Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,

tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para

tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk

mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan

tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau

dalam suatu adegan cerita.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita

yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh

bagian cerita itu.

b. Alur/Plot

Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,

pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula

dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu

18 Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:

Angkasa, 1994), hlm. 160

Page 29: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

15

disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan

jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro

menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai

jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur

jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19

Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti

Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah

rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang

menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.

Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.

Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau

bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir

dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak

dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot

jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang

terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik.20

Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak

dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur

sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.

a) Pengenalan.

b) Timbulnya konflik.

c) Konflik memuncak.

d) Klimaks.

e) Pemecahan masalah.

Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah

cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan

antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah

tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah

perbenturan yang membangun cerita.

19 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111 20 Ibid. hlm. 114

Page 30: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

16

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi 2 bagian,

yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot

lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa

pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal,

tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot

balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis,

cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari

tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.

Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot

rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika

hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu

dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan

memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya

peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa

tambahan.21

c. Penokohan

Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk

mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk

mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan

berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.

Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang

yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh

pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan.22

Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di

dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara

21Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159 22 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165

Page 31: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

17

meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan

manusia sebenarnya.

Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi

adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan

tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa

dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon.

2) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.

3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.

4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.

5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan

melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang

mencerminkan wataknya).

6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain

dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu.

7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan

pelakon utama.23

Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian

pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya

lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau

karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang

secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca.

Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan

adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa-

peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter

sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang

dialaminya.

23 Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.

141

Page 32: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

18

d. Latar

Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar

sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24

Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel

bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,

melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam

debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan

sebagainya.

Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita

yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,

sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh

tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat

mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema

novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.

Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan

kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-

olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah

mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan

secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun

dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang

diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan

dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika

latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan

perwatakannya ke dalam novel.

24 Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216 25 Ibid. hlm. 217

Page 33: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

19

e. Sudut Pandang /Point of view

Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya

dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja

yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat.26

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang

bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara

atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk

cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut

pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja

dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu

yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan

hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya

fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.

Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut

pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam

hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab

sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap

kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya

dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut

teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa

diungkapkan sebaik-baiknya.

Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang

mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang

menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang

lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan

teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan

makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan

pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat

menerima dan menghayati gagasan pengarang.

26 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246

Page 34: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

20

f. Amanat

Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan

amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya

disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca

harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.

Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah

karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan

keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang

cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,

peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan

yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir

cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-

sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

G. Gaya/Style

Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam

mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara

bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya

dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita

yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi

oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,

latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya

dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan

bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)

bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,

serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya

intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi

penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,

dialog dan sebagainya.

Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang

diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:

Page 35: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

21

1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.

2. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan

dalam bentuk tulisan dan lisan.

3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya

(ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh

diksi dan struktur kalimat.

Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam

menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang

yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya

bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang

kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti,

gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.

h. Suasana

Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.

Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan

ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif

inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-

unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila

didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan

sebagainya.

Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana

adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,

Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau

kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan

perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”

Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa

dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar

cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.

Page 36: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

22

C. Media

1. Pengertian Media Pembelajaran

“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti

perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari

pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich

dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,

film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan

cetakan adalah media komunikasi.” 28Apabila media itu membawa pesan-pesan

atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud

pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for

Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media

sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan

pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)

mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun

audiovisual serta peralatannya.”29

Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk

menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape

recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik,

televisi dan komputer. “Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan

menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis,

sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. 2) Audio yaitu suara guru, radio, tape,

recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda

nyata, 6). Komputer.”30

Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi

27 Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6 28 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6

29 Loc. Cit. hlm. 6 30 M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement

of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78

Page 37: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

23

(guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media

pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung

dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat

membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan

rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis

terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa

meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,

memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi.

Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam

pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. “Kegiatan

pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan

media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat

membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada

akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang

demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media

pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di

kelas.”31

Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa “media pembelajaran dalam

proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,

membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa

pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.”32 Oleh karena itu fungsi media

pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,

memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta

memudahkan siswa memahami pelajaran.

31 Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam

Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97. 32 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.

Page 38: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

24

2. Manfaat Media Pembelajaran

Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun

telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun

penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran

berjalan lambat. “Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki

manfaat antara lain:

1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat

menimbulkan motivasi belajar.

2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh

siswa.

3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan

kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga

aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan

lain-lain.”33

Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya

adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan

pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih

berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif

akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan

apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai

dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3. Jenis Media

1. Media Tape Recorder

“Media berasal dari bahasa latin “medium” yang secara harfiah berarti

perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari

pengirim ke penerima pesan.”34 Sedangkan menurut Ma’mur Saadie “media

adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja

33 Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),

hlm 2. 34Loc. Cit. hlm. 6

Page 39: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

25

yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah

bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan

siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan

baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal

dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber

belajar

“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya

orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat

diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua

macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track

recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan

elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.

Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,

kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-

acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape

recorder tertentu.

1. “Kelebihan media tape recorder a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran. b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan

diganti dengan materi yang baru. c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual. d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui

madia tape recorder. e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat

membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar bahasa permulaan.

2. Kelemahan media audio a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,

bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini kadang-kadang membosankan.

b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa, beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.

c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita waktu.

35 Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3 36Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7

Page 40: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

26

d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang berbeda.

e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi.”37

37Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35

Page 41: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang. Pada

Bulan November di kelas X Tahun Ajaran 2010/2011.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Tape Recorder dalam

Pembelajaran Menyimak Cerita Pendek Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji

Tangerang Tahun Pembelajaran 2010/2011” ini merupakan penelitian lapangan

seperti“pendapat Bogdan dan Biklen (1982) tentang makna catatan lapangan di at

as, ia memahaminya sebagai hasil observasi dan wawancara yang bermakna lebih

kolektif, karena terdiri dari catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti sendiri, dan

ditambahkan dengan hasil karya orang lain yang berupa transkrip wawancara

(transkip wawancara ini mungkin saja merupakan hasil karya orang lain, karena si

peneliti sendiri menyerahkan hasil rekamannya kepada seorang ahli yang telah

terbiasa menulis transkripnya), dokumen resmi yang, statistic resmi, gambar, foto,

rekaman, video, ataupun catatan resmi lainnya yang dikeluarkan pihak yang

terkait dengan situasi fokus penelitian.”1

Adapun pendekatan penelitian yang penulis lakukan adalah menggunakan

pendekatan kuantitatif. ” Berbeda dengan penelitian kualitatif berupaya

membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia

sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000), penelitian kuantitatif yang bertujuan

memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general

1http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradigma-penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)

29

Page 42: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

30

yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang

dilakukan pada penelitian ilmu alam,.”2

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen

(eksperimen semu). “Quasi eksperimen adalah suatu eksperimen semu dimana

penelitian menggunakan rancangan penelitian yang tidak dapat mengontrol secara

penuh terhadap ciri-ciri dan karakteristik sampel yang diteliti, tetapi cenderung

menggunakan rancangan yang memungkinkan pada pengontrolan yang sesuai

dengan kondisi yang ada (situasional).”3

D. Desain Penelitian

“Pada penelitian ini desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah

Control Group Pretest – Postest dimana di dalam desain ini observasi dilakukan 2

kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan

sebelum eksperimen disebut pretest, dan observasi sesudah eksperimen disebut

postest yang dibandingkan dengan kelompok yang lain yang disebut kelompok

kontrol yang tidak mendapat perlakuan. Dalam hal ini dilihat perbedaan

pencapaian antara kelompok eksperimen dengan pencapaian kelompok kontrol.”4

Adapun desain penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Tes Awal

(Pretest)

Variabel Bebas Tes akhir

(Postest)

E T1 XE T2

K T1 XK T2

2 http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html. Moleong,

Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010) 3 Nana Sudjana dan Ibrohim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, ( Bandung : Sinar baru

Algensindo), 2007, hlm. 43-44 4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta)

2002, hlm. 79-80

Page 43: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

31

Keterangan :

E : Kelas Eksperimen

K : Kelas Kontrol

XE : Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen yaitu dengan

menggunakan media tape recorder

XK : Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol yaitu dengan tidak

menggunakan media tape recorder

T1 : Tes awal (pretest) yang diberikan sebelum proses belajar mengajar di

mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)

T2 : Tes akhir (postest) yang diberikan sesudah proses belajar mengajar di

mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)

E. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

“Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan sampel adalah

sebagian/wakil populasi yang diteliti yang dianggap mewakili populasi dan

diambil dengan menggunakan teknik sampling.”5 Dalam hal ini populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

“Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan penelitian.”6

Yaitu melihat pengaruh penggunaan media Tape Recorder terhadap hasil belajar

siswa di SMA Negeri 1 Pakuhaji kelas X.1 sebagai kelas eksperimen dan kelas

X.2 sebagai kelas kontrol, kelas ini dipilih sebagai sampel penelitian karena kelas

ini dinilai lebih baik dan kondusif di antara kelas-kelas lainnya.

F. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap

persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir penelitian.

1. Tahap Persiapan

5 Ibid. hlm. 108-109 6 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif dan R dan D

(Bandung : ALFABETA, 2005), hlm. 120

Page 44: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

32

Langkah awal pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian

adalah pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah survei tempat untuk uji coba

instrumen dan penelitian. Setelah melaksanakan survei tempat, langkah

selanjutnya adalah membuat instrumen penelitian berdasarkan kisi-kisi soal

yang telah dibuat dengan bimbingan dosen pembimbing. Setelah penelitian

selesai dibuat dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran.

Setelah instrumen penelitian dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan pihak

sekolah dalam hal ini guru bidang studi yang bersangkutan untuk

melaksanakan uji coba instrumen. Setelah uji coba instrumen selesai

dilaksanakan, dilakukan analisis data hasil uji coba instrumen untuk

menentukan soal-soal yang akan digunakan dalam penelitian (pretest dan

postest). Analisis data hasil uji coba instrumen merupakan langkah terakhir

pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Langkah awal tahap pelaksanaan penelitian adalah menentukan dua

kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok control.

Selanjutnya diadakan tes awal (pretest) bagi kedua kelompok penelitian

dengan menggunakan soal-soal hasil analisis data uji coba instrumen

penelitian. Setelah tes awal (pretest) dilaksanakan pada kedua kelompok

penelitian, kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan kelompok

eksperimen diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder yang

berisi materi Bahasa Indonesia dalam pembahasan unsur-unsur intrinsik.

Sedangkan kelompok kontrol dengan perlakuan berupa pembelajaran dengan

menggunakan metode konvensional di kelas. Setelah perlakuan tersebut

diadakan tes akhir (postes) untuk kedua kelompok penelitian dengan

menggunakan soal-soal yang sama ketika dilakukan tes awal (pretest).

Page 45: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

33

3. Tahap Akhir Penelitian

Setelah kedua kelompok penelitian melaksanakan tes akhir (postest),

langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data hasil tes awal (pretest)

dan tes akhir (posttest). Kedua kelompok penelitian dengan menggunakan

analisis uji statistik dengan memanfaatkan hasil analisis statistik yang telah

dilakukan. Penarikan kesimpulan merupakan langkah paling akhir dalam

prosedur penelitian.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian diartikan sebagai alat yang dapat menunjang sejumlah

data yang diasumsikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menguji

hipotesis penelitian. Sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, penelitian ini

menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu:

1. Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur sejauh

mana siswa menguasai materi yang diberikan. Tes yang diberikan merupakan

tes tertulis berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan (option) pada pokok

bahasan unsur-unsur intrinsik yang meliputi jenjang pengetahuan (C1),

pemahaman (C2), aplikasi (C3) dan analisis (C4). Sebelum tes ini diujikan

kepada siswa kelas X, tes ini terlebih dahulu diujicobakan di kelas XI untuk

diketahui validitas dan reliabilitasnya.

2. Angket

“Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain

yang bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan

pengguna.”7 Dalam penelitian ini angket digunakan untuk mendapatkan

informasi mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan

media tape recorder.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen

penelitian ini adalah sebagai berikut :

7 Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pamulang, (Bandung:

Alfabeta, 2005), hlm. 71

Page 46: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

34

1. Menentukan konsep dan sub konsep berdasarkan kurikulum tingkat satuan

pendidikan untuk tingkat SMA/MAN

2. Membuat kisi-kisi instrumen penelitian

3. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi

4. Instrumen yang telah dibuat kemudian dikonsultasikan ke dosen

pembimbing

5. Melaksanakan uji coba instrumen

H. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu pengaruh

pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder

sebagai variabel bebas (variabel X) dan hasil belajar siswa sebagai variabel

terikat (variabel Y).

I. Teknik Analisis Data

Setelah melakukan uji coba instrumen, selanjutnya dilakukan penelitian.

Data yang diperoleh melalui instrumen penelitian selanjutnya diolah dan

dianalisis dengan maksud agar hasilnya dapat menjawab pertanyaan penelitian

dan menguji hipotesis. Dalam pengolahan dan penganalisisan data tersebut dalam

statistik. Dalam penggunaan statistik untuk pengolahan data tersebut adalah:

1. Uji Hipotesis

“Hipotesis kognitif diuji dengan menggunakan uji “t” jika hasil uji

normalitas normal. Kemudian diuji dengan rumus.”8

(dk = n1+ n2-2)

8 Sudjana, Metode Statistik , (Bandung: Tarsito, 2006), hlm 239

2

11

11

21

2

22

2

11

21

21

nn

SnSnS

nnS

xxt

Page 47: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

35

Keterangan:

X1 : rerata skor kelompok eksperimen

X2 : rerata skor kelompok kontrol

n1 : jumlah anggota sampel kelompok eksperimen

n2 : jumlah anggota sampel kelompok kontrol

S12 : varians kelompok eksperimen

S22 : varians kelompok kontrol

S : nilai varians gabungan

Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :

a. Mengajukan hipotesis, yaitu

1) Uji kesamaan dua rata-rata hasil pretes

Ho : X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor

pretes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol

Ha : X ≠ Y

Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol

2) Uji kesamaan dua rata-rata hasil postes

Ho : X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor

postes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol

Ha : X ≠ Y

Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol

b. Menghitung nilai thitung dengan rumus uji-t

c. Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus : dk = n1+ n2-2

d. Menentukan nilai ttabel dengan α = 0.05

e. Menguji hipotesis

Jika : -ttabel < thitung < ttabel maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan

0.95

Jika : thitung ≤ -ttabel atau ttabel ≤ thitung maka Ha diterima pada tingkat

kepercayaan 0.95

Page 48: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

36

Page 49: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

87

BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Peneliti telah melakukan uji coba instrumen pada kelas XI SMA Negeri 1

Pakuhaji Tangerang dengan jumlah sampel penelitian 40 siswa dan 40 soal

instrumen penelitian. Dari 40 soal instrumen penelitian diambil 20 soal instrumen

penelitian berdasarkan analisis butir soal. Instrumen yang telah valid dijadikan

sebagai instrumen dalam penelitian ini. Instrumen digunakan pada saat pretes dan

postest.

Penelitian yang diperoleh meliputi data nilai pretest dann posttest dari 60

siswa yang terdiri dari kelompok eksperimen sebanyak 30 siswa dan kelompok

kontrol sebanyak 30 siswa. Data tersebut dianalisis dan dibahas sebagai upaya

untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pokok bahasan unsur-unsur intrinsik

dengan menggunakan media tape recorder. Pengumpulan data hasil penelitian

dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data berupa tes objektif pilihan

ganda yang terdiri dari 20 soal.

Adapun deskripsi data dari hasil pretest dan posttest kelompok kontrol

yakni kelompok siswa yang tidak mendapat perlakuan dan kelompok eksperimen

(kelompok siswa yang diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder)

adalah sebagai berikut :

1. Deskripsi Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil

belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample

penelitian diperoleh nilai tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata

sebesar 41,4; standar deviasi 8,69; dan varian sebesar 75,68.

Sedangkan deskripsi hasil pretes pada kelompok eksperimen, dapat

dilihat berdasarkan hasil pengolahan data pretes mengenai tes hasil belajar

Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai

tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata sebesar 55,73; standar deviasi

10,52; dan varian sebesar 110,6. Untuk lebih jelasnya, deskripsi dari hasil

87

Page 50: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

88

belajar pretes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan

histogren di bawah.

Gambar 4.1. Histogram Distribusi Frekuensi Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik histogram di

atas, terlihat bahwa skor pada interval 35-50 merupakan skor paling banyak

diperoleh siswa kelompok kontrol, yaitu sebanyak 26,7%. Skor rata-rata

diperoleh kelompok kontrol yaitu 42. Siswa yang mendapat skor di atas rata-

rata sebanyak 66,6% yaitu siswa pada kelas interval nomor 3, 4, 5 dan 6.

Siswa yang mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 6,7% yaitu siswa pada

kelas interval nomor 1.

a. Data skor pretes siswa kelas kontrol

25 30 35 35 35 35 35 35 35 35

40 40 40 40 40 40 40 45 45 45

45 45 45 50 50 50 50 55 60 60

Distribusi Frekuensi

a. Menentukan skor besar dan kecil

Skor terbesar = 60

Skor terkecil = 25

Page 51: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

89

b. Menentukan Rentangan (R)

R = Skor terbesar – skor terkecil

R = 60 – 25 = 35

c. Menentukan banyaknya kelas (BK)

BK = 1 + 3,3 log n

= 1 + 3,3 log 30

= 1 + 3,3 ( 1,477)

= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6

d. Menentukan panjang kelas (i)

I = 6

35

BK

R= 5,8 dibulatkan menjadi 6

Tabel Distribusi Frekuensi

No Kelas

Interval f

Nilai Tengah

(xi) xi2 fxi fxi2

1. 25 – 30 2 27,5 756,25 55 1512,5

2. 31 – 36 8 33,5 1122,25 268 8978

3. 37 – 42 7 39,5 1560,25 276,5 10921,75

4. 43 – 48 6 45,5 2070,25 273 12421,75

5. 49 – 54 4 51,5 2652,25 206 10609

6. 55 - 60 3 57,5 3306,25 172,5 9918,75

Jumlah 30 1251 54361,5

e. Menentukan harga mean (X)

X = n

fXi =

30

1251 = 41,7

f. Simpangan Baku (standar Deviasi)

S = )1.(

)(. 22

nn

fXfXin

= )130(30

)1251(5,5436130 2

x

x =

870

65844 = 68,75 = 8,69

Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :

Page 52: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

90

a. Menentukan batas kelas, yaitu :

24,5 30,5 36,5 42,5 48,5 54,5 60,5

b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus

Z = S

XBataskelas Z4 =

69,8

7,415,42 = 0,09

Z1 = 69,8

7,415,24 = -1,98 Z5 =

69,8

7,415,48 = 0,78

Z2 = 69,8

7,415,30 = -1,29 Z6 =

69,8

7,415,54 = 1,47

Z3 = 69,8

7,415,36 = - 0,59 Z7 =

69,8

7,415,60 = 2,16

c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:

0,4761 0,4015 0,2224 0,0359 0,2823 0,4292 0,4846

d. Mencari luas tiap kelas interval:

0,4761 – 0,4015 = 0,0746

0,4015 - 0,2224 = 0,1791

0,2224 - 0,0359 = 0,1865

0,0359 + 0,2823 = 0,3182

0,2823 - 0,4292 = -0,1469

0,4292 – 0,4846 =-0,0554

e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)

0,0746 x 30 = 2,238

0,1791 x 30 = 5,373

0,1865 x 30 = 5,595

0,3182 x 30 = 9,546

0,1469 x 30 = 4,407

0,0554 x 30 = 2,662

No. Batas

Kelas Z Luas 0 – Z

Luas Tiap

Kelas Interval fe f0

1. 34,5 -2,02 0,4783 0,0668 2,238 2

Page 53: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

91

2. 41,5 -1,35 0,4115 0,1598 5,373 8

3. 48,5 -0,68 0,2517 0,2437 5,595 7

4. 55,5 -0,02 0,0080 0,2502 9,546 6

5. 62,5 0,65 0,2422 -0,1627 4,407 4

6. 69,5 1,31 0,4049 0,0712 1,662 3

76,5 1,98 0,4767

∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)

(X2) =

k

i fe

fefo

1

2)(

X2 = 238,2

)238,22( 2 +

373,5

)373,58( 2+

595,5

)595,57( 2+

546,9

)546,96( 2+

407,4

)407,44( 2+

662,1

)662,13( 2

= 0,025 + 1,284 + 0,353 + 1,317 + 0,037 + 1,077

= 4,093

Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada

tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal

Jika X2 hitung ≤ X2 tabel

berarti Distribusi Data normal

Dari perhitungan didapat:

X2 hitung = 4,093 dan X2 tabel = 11,070

Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

b. Data skor pretest siswa kelas eksperimen

25 30 30 35 35 35 35 40 40 40

40 40 40 40 40 40 45 45 45 45

45 50 50 50 50 50 50 55 60 60

Distribusi Frekuensi

a. Menentukan skor besar dan kecil

Page 54: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

92

Skor terbesar = 60

Skor terkecil = 25

b. Menentukan Rentangan (R)

R = Skor terbesar – skor terkecil

R = 60 – 25 = 35

c. Menentukan banyaknya kelas (BK)

BK = 1 + 3,3 log n

= 1 + 3,3 log 30

= 1 + 3,3 ( 1,477)

= 1 + 4.87 = 5,87 = 6

d. Menentukan panjang kelas (i)

I = 6

35

BK

R= 5.8 dibulatkan menjadi 6

Tabel Distribusi Frekuensi

No Kelas

Interval f

Nilai Tengah

(xi) xi2 fxi fxi2

1. 25 – 30 3 27,5 756,25 82,5 2268,75

2. 31 – 36 4 33,5 1122,25 134 4489

3. 37 – 42 9 39,5 1560,25 355,5 14042,25

4. 43 – 48 5 45,5 2070,25 227,5 10351,25

5. 49 – 54 6 51,5 2652,25 309 15913,5

6. 55 - 60 3 57,5 3306,25 172,5 9918,75

Jumlah 30 1281 56983,5

e. Menentukan harga mean (X)

X = n

fXi =

30

1281 = 42,7

f. Simpangan Baku (standar Deviasi)

S = )1.(

)(. 22

nn

fXfXin

Page 55: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

93

= )130(30

)1281(5.5698330 2

x

x =

870

68544 = 78,78 = 8,87

Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :

a. Menentukan batas kelas, yaitu :

24,5 30,5 36,5 42,5 48,5 54,5 60,5

b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus

Z = S

XBataskelas Z4 =

87.8

7.425.42 = -0,02

Z1 = 87.8

7.425.24 = -2,05 Z5 =

87.8

7.425.48 = 0,65

Z2 = 87.8

7.425.30 = -1,38 Z6 =

87.8

7.425.54 = 1,33

Z3 = 87.8

7.425.36 = - 0,69 Z7 =

87.8

7.425.60 = 2,01

c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:

0,4798 0,4162 0,2549 0,0080 0,2422 0,4082 0,4778

d. Mencari luas tiap kelas interval:

0,4798 - 0,4162 = 0,0636

0,4162 – 0,2549 = 0,1613

0,2549 – 0,0080 = 0,2469

0,0080 + 0,2422 = 0,2502

0,2422 - 0,4082 = 0,166

0,4082 – 0,4778 = 0,0696

e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)

0,0636 x 30 = 1,908

0,1613 x 30 = 4.839

0,2469 x 30 = 7,407

0,2502 x 30 = 7,506

0,166 x 30 = 4,98

0,0696 x 30 = 2,088

Page 56: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

94

No. Batas

Kelas Z Luas 0 – Z

Luas Tiap Kelas

Interval fe f0

1. 24,5 -2,05 0,4798 0,0636 1,908 3

2. 30,5 -1,38 0,4162 0,1613 4,839 4

3. 36,5 - 0,69 0,2549 0,2469 7,407 9

4. 42,5 -0,02 0,0080 0,2502 7,506 5

5. 48,5 0,65 0,2422 0,166 4,98 6

6. 54,5 1,33 0,4082 0,0696 2,088 3

60,5 2,01 0,4778

∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)

(X2) =

k

i fe

fefo

1

2)(

X2 = 908.1

)908.13( 2 +

839.4

)839.44( 2+

407.7

)407.79( 2+

506.7

)506.75( 2+

98.4

)98.46( 2+

088.2

)088.23( 2

= 0,62 + 0,15 + 0,34 + 0,84 + 0,21 + 0,39

= 2,55

Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada

tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal

Jika X2 hitung ≤ X2 tabel

berarti Distribusi Data normal

Dari perhitungan didapat:

X2 hitung = 2,55 dan X2 tabel = 11,070

Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

2. Deskipsi Data Posttest Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil

belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample

Page 57: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

95

penelitian diperoleh nilai tinggi 70 dan nilai terendah 30, nilai rata-rata sebesar

51,9; standar deviasi 9,26; dan varian sebesar 858,575.

Sedangkan deskripsi hasi postes pada kelompok eksperimen, dapat

dilihat berdasarkan hasil pengolahan data postes mengenai tes hasil belajar

Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai

tertinggi 90 dan nilai terendah 45 nilai rata-rata sebesar 62,6; standar deviasi

11,44; dan varian sebesar 130,89. Untuk lebih jelasnya, deksripsikan hasil

belajar postes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan

histogram di bawah.

Gambar 4.2 Histrogram Distribusi Frekuensi Postest Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik di atas, terlihat

bahwa skor pada interval 50-56 merupakan skor paling banyak diperoleh

siswa kelompok kontrol yaitu sebanyak 43%. Skor rata-rata diperoleh

kelompok eksperimen yaitu 52. Siswa yang mendapat skor diatas rata-rata

sebanyak 26,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 5 dan 6. Siswa yang

mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 30,1% yaitu siswa pada kelas

interval nomor 1, 2, dan 3.

Page 58: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

96

Sedangkan deskripsi hasil postes pada kelompok eksperimen, terlihat

bahwa skor pada interval 53-60 merupakan skor paling banyak diperoleh

siswa kelompok kontrol yaitu sebanyak 36,7%. Skor rata-rata diperoleh

kelompok eksperimenn yaitu 63. Siswa yang mendapat skor di atas rata-rata

sebanyak 46,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 3, 4, 5 dan 6. Siswa

yang mendapatkan skor di bawah rata-rata sebanyak 16,7% yaitu siswa pada

kelas interval nomor 1.

Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Belajar Konsep Unsur-Unsur Intrinsik

Pretest Postest Data

Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol

Skor Max 60 60 90 70

Skor Min 25 25 45 30

Rata-rata 41,7 41,7 62,6 51,9

Keseluruhan KKM 6,67% 6,67% 70% 26,67%

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil belajar pretest kelompok eksperimen

memiliki skor rata-rata sebesar 42,7, dan presentase siswa yang lulus KKM

sebanyak 6,67%. Hasil belajar pretest kelompok kontrol memiliki skor

maksimum 60, skor minimum 25, skor rata-rata sebesar 41,7, dan presentase

siswa yang lulus KKM sebanyak 6,67%. Hasil belajar postest kelompok

eksperimen memiliki skor maksimum 90, skor minimum 45, skor rata-rata

sebesar 62,6, dan presentase siswa yang lulus KKM sebanyak 70%. Hasil

belajar postest kelompok kontrol memiliki skor maksimum 70, skor minimum

30, skor rata-rata sebesar 51,9, dan persentase siswa yang lulus KKM

sebanyak 26,67%. Dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok mengalami

peningkatan hasil belajar. Tetapi kelompok eksperimen mengalami

peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

a. Data skor postest siswa kelas eksperimen

45 45 50 50 50 55 55 55 60 60

60 60 60 60 60 60 65 65 65 65

65 70 70 70 75 75 75 80 90 90

Page 59: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

97

Distribusi Frekuensi

a. Menentukan skor besar dan kecil

Skor terbesar = 90

Skor terkecil = 45

b. Menentukan Rentangan (R)

R = Skor terbesar – skor terkecil

R = 90 – 45 = 45

c. Menentukan banyaknya kelas (BK)

BK = 1 + 3,3 log n

= 1 + 3,3 log 30

= 1 + 3,3 ( 1,477)

= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6

d. Menentukan panjang kelas (i)

I = 6

45

BK

R= 7,5 dibulatkan menjadi 8

Tabel Distribusi Frekuensi

No Kelas

Interval f

Nilai Tengah

(xi) xi2 fxi fxi2

1. 45 – 52 5 48,5 2352,25 242,5 11761,25

2. 53 – 60 11 56,5 3203,56 621,5 35239,16

3. 61 – 68 5 64,5 4160,25 322,5 20801,25

4. 69 – 76 6 72,5 5256,25 435 31537,5

5. 77 – 84 1 80,5 6480,25 80,5 6480,25

6. 85 - 92 2 88,5 7832,25 177 15664,5

Jumlah 30 1879 121483,91

e. Menentukan harga mean (X)

X = n

fXi =

30

1879 = 62,6

f. Simpangan Baku (standar Deviasi)

Page 60: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

98

S = )1.(

)(. 22

nn

fXfXin

= )130(30

)1879(91,12148330 2

x

x =

870

3,113876 = 89,130 = 11,44

Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :

a. Menentukan batas kelas, yaitu :

44,5 52,5 60,5 68,5 76,5 84,5 92,5

b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus

Z = S

XBataskelas Z4 =

44,11

6,625,68 = 0,52

Z1 = 44,11

6,625,44 = -1,58 Z5 =

44,11

6,625,76 = 1,22

Z2 = 44,11

6,625,52 = -0,88 Z6 =

44,11

6,625,84 = 1,91

Z3 = 44,11

6,625,60 = - 0,18 Z7 =

44,11

6,625,92 = 2,61

c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:

0,4429 0,3106 0,0714 0,1985 0,3888 0,4719 0,4955

d. Mencari luas tiap kelas interval:

0,4429 – 0,3106 = 0,1323

0,3106 - 0,0714 = 0,2392

0,0714 + 0,1985 = 0,2699

0,1985 - 0,3888 = 0,1903

0,3888 - 0,4719 = 0,0831

0,4719 – 0,4955 = 0,0236

e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)

0,1323 x 30 = 3,969

0,2392 x 30 = 7,176

0,2699 x 30 = 8,097

0,1903 x 30 = 5,709

Page 61: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

99

0,0831 x 30 = 2,493

0,0236 x 30 = 0,708

No. Batas

Kelas Z Luas 0 – Z

Luas Tiap

Kelas Interval fe f0

1. 44,5 -1,58 0,4429 0,1323 3,969 5

2. 52,5 -0,88 0,3106 0,2392 7,176 11

3. 60,5 -0,18 0,0714 0,2699 8,097 5

4. 68,5 0,52 0,1985 0,1903 5,709 6

5. 76,5 1,22 0,3888 0,0831 2,493 1

6. 84,5 1,91 0,4719 0,0236 0,708 2

92,5 2,61 0,4955

∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)

(X2) =

k

i fe

fefo

1

2)(

X2 = 969,3

)969,35( 2 +

176,7

)176,711( 2+

097,8

)097,85( 2+

709,5

)709,56( 2+

493,2

)493,21( 2+

708,0

)708,02( 2

= 0,267 + 2,037 + 1,185 + 0,015 + 0,894 + 2,357

= 6,755

Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada

tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal

Jika X2 hitung ≤ X2 tabel

berarti Distribusi Data normal

Dari perhitungan didapat:

X2 hitung = 6,755 dan X2 tabel = 11,070

Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

Page 62: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

100

b. Data skor postes siswa kelas kontrol

30 35 40 40 45 45 45 45 45 50

50 50 50 50 50 50 55 55 55 55

55 55 60 60 60 65 65 70 70 70

Distribusi Frekuensi

g. Menentukan skor besar dan kecil

Skor terbesar = 70

Skor terkecil = 30

h. Menentukan Rentangan (R)

R = Skor terbesar – skor terkecil

R = 70 – 30 = 40

i. Menentukan banyaknya kelas (BK)

BK = 1 + 3,3 log n

= 1 + 3,3 log 30

= 1 + 3,3 ( 1,477)

= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6

j. Menentukan panjang kelas (i)

I = 6

40

BK

R= 6,6 dibulatkan menjadi 7

Tabel Distribusi Frekuensi

No Kelas

Interval f

Nilai Tengah

(xi) xi2 fxi fxi2

No Kelas

Interval f

Nilai Tengah

(xi) xi2 fxi fxi2

1 29 – 35 2 32 1.024 64 2.048

2. 36 – 42 2 39 1.521 78 3.042

3. 43 – 49 5 46 2.116 230 10.580

4. 50 – 56 13 52 2.704 676 35.152

5. 57 – 63 3 60 3.600 180 10.800

Page 63: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

101

6. 64 - 70 5 66 4.356 330 21.780

Jumlah 30 1.558 83.402

k. Menentukan harga mean (X)

X = n

fXi =

30

1558 = 51,9 ≈ 52

l. Simpangan Baku (standar Deviasi)

S = )1.(

)(. 22

nn

fXfXin

= 870

)558.1()402.83(30 2

= 870

364.427.2060.502.2

= 870

696.74= 575.858 = 9,26

Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :

a. Menentukan batas kelas, yaitu :

28,5 35,5 42,5 49,5 56,5 63,5 70,5

b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus

Z = S

XBataskelas Z4 =

26,9

525,49 = - 0,27

Z1 = 26,9

525,28 = -2,54 Z5 =

26,9

525,56 = 0,48

Z2 = 26,9

525,35 = -1,78 Z6 =

26,9

525,63 = 1,24

Z3 = 26,9

525,42 = - 1,03 Z7 =

26,9

525,70 = 1,99

c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:

0,4945 0,4625 0,3485 0,1064 0,1844 0,3925 0,4767

d. Mencari luas tiap kelas interval:

0,4945 – 0,4625 = 0,032

Page 64: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

102

0,4625 - 0,3485 = 0,114

0,3485 - 0,1064 = 0,2421

0,1064 + 0,1844 = 0,2908

0,1844 - 0,3925 = -0,2081

0,3925 – 0,4767 =-0,0842

e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)

0,032 x 30 = 0,96

0,114 x 30 = 3,42

0,2421 x 30 = 7,263

0,2908 x 30 = 8,724

0,2081 x 30 = 6,243

0,0842 x 30 = 2,526

No. Batas

Kelas Z Luas 0 – Z

Luas Tiap

Kelas Interval fe f0

1. 28,5 2,54 0,4945 0,032 0,96 2

2. 35,5 1,78 0,4625 0,114 3,42 2

3. 42,5 1,03 0,3485 0,2421 7,263 5

4. 49,5 0,27 0,1064 0,2908 8,724 13

5. 56,5 0,48 0,1844 0,2081 6,243 3

6. 63,5 1,24 0,3925 0,0842 2,526 5

70,5 1,99 0,4767

∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)

(X2) =

k

i fe

fefo

1

2)(

Page 65: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

103

X2 = 96,0

)96,02( 2 +

42,3

)42,32( 2+

263,7

)263,75( 2+

724,8

)724,813( 2+

243,6

)243,63( 2+

526,2

)526,25( 2

= 1,127 + 0,589 + 0,705 + 2,095 + 1,685 + 2,423

= 8,624

Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada

tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi data tidak normal

Jika X2 hitung ≤ X2 tabel

berarti Distribusi data normal

Dari perhitungan didapat:

X2 hitung = 8,624 dan X2 tabel = 11,070

Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

3. Data Hasil Angket Berdasarkan angket mengenai tanggapan atau respon siswa terhadap

pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder

yang diberikan kepada siswa setelah akhir pembelajaran dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

Tabel 4.2. respon siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia yang

menggunakan media tape recorder untuk kelompok eksperimen:

Penilaian No Pertanyaan ya tidak

1. Apakah kamu menyukai pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder?

99,33%

6,67%

2. Apakah pembelajaran Bahasa Indonesia ini sesuai dengan materi unsur-unsur intrinsik cerpen?

90%

10%

3. Apakah kamu merasa kesulitan dalam memahami materi unsur-unsur intrinsik cerpen dengan pembelajaran yang menggunakan media tape recorder?

16,7% 83,33%

Page 66: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

104

4. Apakah pembelajaran dengan menggunakan media tape recorder membuat kamu semangat belajar Bahasa Indonesia?

80%

20%

5. Apakah kamu merasa jenuh dengan pembelajaran ini?

13,3% 86,7%

6. Apakah kamu mendengarkan saat guru menjelaskan materi pembelajaran

56,7% 43,3%

7. Apakah kamu memahami pembelajaran Bahasa Indonesia dengan baik setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media tape recorder?

89,7%

13,3%

8. Apakah kamu membuat catatan selama pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung?

33,3% 66,7%

9. Apakah kamu aktif dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder?

80%

20%

10. Apakah masih ada materi yang belum dipahami setelah guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan media tape recorder?

50%

50%

Dari tabel 4.2 di atas diketahui bahwa respon siswa terhadap penggunaan

media tape recorder dalam menyampaikan materi tentang unsur-unsur intrinsik

cerpen sekitar 93,33% siswa menyukai pembelajaran ini 90% siswa berpendapat

bahwa menggunakan media tape recorder sesuai untuk menyampaikan materi

unsur-unsur intrisik cerpen 83,33% siswa tidak merasa kesulitan belajar dengan

menggunakan media tape recorder.

Tidak merasa kesulitan belajar dengan menggunakan media tape recorder,

bahkan sebaliknya 80% siswa merasa semangat mempelajari materi pelajaran

dengan menggunkan media tape recorder. Kemampuan siswa untuk memahami

materi pelajaran dengan menggunakan media tape recorder adalah 50% siswa

mampuh memahami dengan baik dan 50% lainnya tidak mampu memahami

materi pelajaran dengan baik. Hal ini dikarenakan media tape recorder kurang

mudah dipahami oleh sebagian siswa karena bahasa yang digunakan kurang

dimengerti dan terlalu bias dalam menyampaikan kata-katanya. 56,7% siswa

menyatakan bahwa bahwa mereka memperhatikan saat guru menjelaskan materi

pelajaran. Hanya 66,7% siswa yang membuat catatan saat pembelajaran

berlangsung. 80% siswa aktif mengikuti pembelajaran dengan menggunakan

Page 67: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

105

media tape recorder, dan 50% siswa merasa ada materi pelajaran yang belum

dipahami setelah guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan

media tape recorder.

B. Pengujian Persyaratan Analisis Data

Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data berdasarkan hipotesis

yang telah diajukan sebagai berikut.

1. Uji Hipotesis

a. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest

Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

yang signifikan antara skor pretest kelompok eksperimen dengan skor

pretest kelompok kontrol. Untuk pengujian tersebut diajukan hipotesis

berikut :

Ho: X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor

pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Ha: X ≠ Y

Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretest

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Pengujian hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan

rumus uji-t, dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika maka Ho diterima pada tingkat

kepercayaan 0,95.

Jika atau maka Ha

diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.

Page 68: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

106

Tabel 4.7

Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest

Keterangan Kelompok

Eksperimen Kelompok Kontrol

Jumlah sampel 30 30

42,7 41,7

SD 8,87 8,69

S2 78,78 75,68

t-hitung 0,46

t-tabel 2,00

Kesimpulan Tidak Berbeda

Dari perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 0,46 dan ttabel 2,00

hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di daerah

penerimaan Ho, yaitu atau -2,00 < 0,46 < 2,00.

Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95

hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat perbedaan yang signifikan antara

rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor pretest

kelompok kontrol. Penghitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil

pretest dapat dilihat pada lampiran.

Kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika – ttabel ≤ thitung ≤ ttabel, maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan 0,95

Jika thitung < – ttabel atau ttabel < thitung, maka Ha diterima pada tingkat kepercayaan

0,95.

N1 = 30

X1 = 43

S12 = 78,78

N2 = 30

X2 = 42

S22 = 75,68

Page 69: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

43

Untuk pengujian hipotesis menggunakan rumus :

21

21

11

nnS

xxt

g

dan

2

11

21

2

22

2

11

nn

SnSnSg

Dimana :

2

11

21

2

22

2

11

nn

SnSnSg

23030

68,7513078,78130

gS

58

72,219462,2284 gS

78,823,7758

34,4479gS

Sehingga :

21

21

11

nnS

xxt

g

46,01511,2

1

251,078,8

1

30

1

30

178,8

4243

xt

Menentukan harga tabel

ttabel untuk (dk) = (n-1) = 58 dengan α = 0,05 di dapat ttabel = 2,00.

Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa thitung di daerah penerimaan Ho,

yaitu -ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < 0,46 < 2,00. dengan demikian Ho diterima

dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95. hal ini menunjukkan bahwa Tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes awal (pretest)

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Page 70: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

44

b. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Posttest

Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah skor pretest

kelompok eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Bahasa

Indonesia menggunakan media tape recorder lebih besar secara signifikan

dibandingkan dengan skor posttest kelompok kontrol yang tidak

menggunakan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media tape

recorder. Untuk pengujian tersebut diajukan hipotesis yaitu:

Ho: X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor

posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Ha: X ≠ Y

Terdapat perbedaan yang signifiakan antara rata-rata skor posttest

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Pengujian hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan

rumus uji-t, dengan kriteria pengujiann sebagai berikut :

Jika maka Ho diterima pada tingkat

kepercayaan 0,95.

Jika atau maka Ha

diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.

Tabel 4.8

Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Postest

Keterangan Kelompok

Eksperimen Kelompok Kontrol

Jumlah sampel 30 30

62,6 51,9 SD 11,44 9,26 S2 130,89 85,88

t-hitung 3,88 t-tabel 2,00

Kesimpulan Berbeda

Page 71: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

45

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 3,88 dan ttabel

2,00 hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di

daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel < thitung atau 2,00 < 3,88. Dengan

demikian Ho di tolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 0,95 hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata

skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest

kelompok kontrol. Perhitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil

posttest dapat dilihat pada lampiran.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan :

N1 = 30

X1 = 62,6

S12 = 130,89

N2 = 30

X2 = 51,9

S22 = 85,85

Untuk pengujian hipotesis menggunakan rumus :

21

21

11

nnS

xxt

g

dan

2

11

21

2

22

2

11

nn

SnSnSg

Dimana :

2

11

21

2

22

2

11

nn

SnSnSg

23030

85,8513089,130130

gS

58

65,248981,3795 gS

41,1037,10858

46,6285gS

Sehingga :

Page 72: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

46

21

21

11

nnS

xxt

g

88,375598,2

7,10

251,041,10

7,10

30

1

30

141,10

9,516,62

xt

Menentukan harga tabel

ttabel untuk (dk) = (n-1) = 58 dengan α = 0,05 di dapat ttabel = 2,000.

Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa thitung di daerah penerimaan

Ha,yaitu ttabel < thitung atau 2,00 < 3,88. dengan demikian Ho ditolak dan Ha

diterima pada taraf kepercayaan 0,95, hal ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes akhir (posttest) kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol.

2. Analisis Data Hasil Angket

Berdasarkan hasil angket mengenai respon siswa terhadap pembelajaran

dengan menggunakan media tape recorder, maka dapat dianalisis bahwa

siswa sangat menyukai pembelajaran ini dan menjadi mudah dalam

memahami materi pelajaran, atau tidak merasa kesulitan. Siswa semangat

dalam mengikuti kegiatan belajar, aktif dan dapat memahami materi pelajaran

dengan baik. Siswa mendengarkan dan meneliti media tape recorder dan

dijelaskan oleh guru. Hanya sebagian siswa yang merasa masih ada materi

yang belum dipahami setelah pembelajaran ini dilakukan, dan 43,3% siswa

cenderung malas untuk mendengarkan media tape recorder pada materi

pelajaran selama kegiatan berlangsung.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan media tape

recorder pada siswa sangat efektif, karena membuat siswa semangat belajar,

aktif dan merasa mudah memahami materi pelajaran.

Page 73: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

47

C. Intrerpretasi Data

Dilihat dari hasil tes yang dilakukan sebelum pembelajaran (pretest)

diketahui nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 42,7 dan kelompok kontrol

sebesar 41,7. Adapun hasil tes setelah pembelajaran (postest) diketahui nilai rata-

rata kelompok eksperimen sebesar 62,6 dan nilai rata-rata kelompok kontrol

sebesar 51,9. Dari hasil analisis tampak ada pengaruh penggunaan media tape

recorder dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Bahasa

Indonesia pada sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik. Siswa dari kelompok

kontrol atau kelompok yang tidak menggunakan media tape recorder juga

mengalami peningkatan hasil belajar siswa pada materi unsur-unsur intrinsik.

Meskipun siswa dari kelompok kontrol ini mengalami peningkatan, namun

peningkatan hasil belajar yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan kelompok

eksperimen yang dalam pembelajarannya dengan menggunakan media tape

recorder.

Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini keduanya berada pada

distribusi normal, baik hasil uji pretest dan posttestnya. Hal tersebut terbukti pada

hasil uji persyaratan analisis yang menyatakan bahwa x2hitung < x2

tabel pada taraf

kepercayaan 95% sebesar 11,070. Selain itu kedua kelompok ini juga bersifat

homogen, terbukti berdasarkan hasil uji pretest dan posttest yang menyatakan

bahwa pada x2hitung < x2

tabel taraf kepercayaan 95% sebesar 3,841.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, pada taraf

kepercayaan 95%. Hasil uji kesamaan dua rata-rata pretest, dilakukan untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest

kelompok eksperimen dengan skor pretest kelompok kontrol, diperoleh nilai thitung

sebesar 0,46 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan

bahwa nilai thitung berbeda di daerah penerimaan Ho, yaitu –ttabel < thitung < ttabel atau

-2,00 < 0,46 < 2,00. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf

kepercayaan 95% hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor

pretest kelompok kontrol. Sedangkan berdasarkan hasil uji kesamaan dua rata-rata

posttest, dilakukan untuk mengetahui apakah skor posttest kelompok eksperimen

Page 74: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

48

yang menggunakan model pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media

tape recorder lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan skor posttest

kelompok kontrol yang tidak menggunakan model pembelajaran Bahasa

Indonesia menggunakan media tape recorder, diperoleh menunjukkan bahwa

thitung sebesar 3,88 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh

menunjukkan bahwa thitung ada di daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel < thitung atau

2,00 < 3,88. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan

95% hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-

rata skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest kelompok

kontrol.

D. Pembahasan

Media tape recorder merupakan alat audio yang penting dan mudah didapat.

Media tape recorder sangat penting digunakan dalam usaha memperjelas

pengertian pada siswa. Siswa dapat menangkap ide atau informasi yang

terkandung di dalamnya dengan jelas. Karena dengan menggunakan media tape

recorder materi yang diajarkan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa

sehingga sesuatu yang abstrak bagi siswa menjadi lebih konkrit dengan bantuan

media tape recorder telah lama digunakan sebagai media untuk pembelajaran serta

dapat di gunakan media tape recorder dalam sub pokok bahasan unsur-unsur

intrinsik pada kelompok eksperimen ada pengaruhnya dalam meningkatkan hasil

belajar siswa disbanding kelompok kontrol yang dalam pembelajaran tidak

menggunakan media tape recorder.

Dalam pembelajaran menggunakan media Tape recorder dalam sub pokok

bahasan unsur-unsur intrisik pada kelompok eksperimen, siswa menjadi lebih

termotivasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat “Hamalik (1986) yang

mengemukakan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat

membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan

Page 75: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

49

rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi

terhadap siswa.”1

Hal ini menunjukan bahwa kelompok eksperimen yang selama proses

pembelajaran menggunakan media tape recorder menjadikan mereka menguasai

konsep dan memahami dalam menjawab soal-soal, sehingga mengakibatkan

pengalaman yang mereka dapat bersifat tahan lama dalam ingatan mereka, selain

pembelajaran menjadi lebih menarik. Berbeda dengan kelompok kontrol yang

selama proses pembelajaran hanya berjalan seperti biasa, yaitu tanpa

menggunakan media tape recorder sehingga dari data yang diperoleh terlihat

berbeda, walaupun terdapat beberapa siswa yang memahami konsep yang

diajarkan.

Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa perlakuan yang berbeda

menyebabkan terjadinya hasil akhir yang berbeda antara kelompok eksperimen

yang diajarkan menggunakan media tape recorder dengan kelompok kontrol yang

tidak menggunakan media tape recorder. Walaupun kedua kelompok tersebut

mengalami peningkatkan hasil belajarnya, namun kelompok eksperimen

mengalami peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi.

Dengan demikian, ternyata terbukti bahwa menggunakan media tape

recorder, khususnya sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik dapat meningkatkan

hasil belajar siswa sehingga hasil belajar siswa kelompok kontrol yang dalam

pembelajaran Bahasa Indonesia sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik tanpa

media tape recorder.

Adapun respon siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan media tape

recorder sangat positif. Hal ini didukung oleh keadaan psikologis siswa yang

memiliki kecenderungan menyukai pembelajaran dengan menitipberatkan

terhadap kemampuan indra audionya, sehingga sebagian besar siswa menyukai

pembelajaran tersebut. Siswa merasa mudah memahami pelajaran, aktif dalam

kegiatan pembelajaran dan memiliki semangat belajar yang tinggi ketika kegiatan

berlangsung.

1 Azhar Arsyad. Media Pendidikan. (Jakarta: Gramedia, 2009), Cet. ke-12, hlm. 15

Page 76: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian, maka dapat disimpulkan secara umum

bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder

berpengaruh secara signifikansi terhadap hasil belajar Bahasa Indonesia siswa.

Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada kelas Kontrol dan Eksperimen

pada materi unsur-unsur intrinsik cerpen, yaitu:

1. Hasil penelitian pembelajaran menggunakan tape recorder berpengaruh positif

terhadap hasil belajar siswa.

2. Hasil yang diperoleh siswa yang diajarkan menggunakan media tape recorder

lebih baik dibandingkan yang tidak menggunakan media tape recorder.

3. Siswa memberikan respons positif terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia

dengan menggunakan media tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik

dengan presentase sebesar 93,33%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan

media tape recorder pada siswa sangat efektif, karena membuat siswa

semangat belajar, aktif dan merasa mudah memahami materi pelajaran.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada hal yang disarankan

kepada peneliti selanjutnya, yaitu:

1. Dapat mengembangkan dan memodifikasi kembali pembuatan cerpen

menggunakan tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik sehingga lebih

menarik minat siswa dan meningkatkan daya imajinasi siswa.

2. Dalam pembuatan media tape recorder gunakanlah Bahasa Indonesia yang

sederhana agar lebih mudah dipahami.

Page 77: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

59

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jauharoti, dkk, Bahasa Indonesia I, Surabaya: Lapis-PGMI, 2008

Arifin, Bustanul, Menyimak, Jakarta: Gramedia, 2004

Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Asyad, Azhar, Media Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 2009

Iskandar dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: IKAPI, 2008

Mahayaman, Maman S, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing,

2005 Makmun, Abin Syamsudin, Psikologi Pendidikan, Bandung: Rosda, 2009 Munadi, Yudhi, Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru, Jakarta: Gaung

Persada Press, 2008 Nugiyantoro, Burhan, Teori Pengajian Fiksi, Yogyakarta: UGM, 2005

Resmini, Novi dan Dadang Juanda, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Di Kelas Tinggi, Bandung: UPI Press, 2007

Saadie, Ma’mur, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: UT, 2008

Sadirman, Arief, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005

Semi, Atar, Atonomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988

Sudjana, Metode Statistik, Bandung: Tarsito, 2006

Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, Bandung: ALFABETA, 2006

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif dan R dan D, Bandung: ALFABETA, 2005

Syamsidun dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,

Bandung: Rosda, 2007

Page 78: NURHASANAH-FITK_Bab 2.pdf

60

Tarigan, Henry Guntur, Menyimak, Bandung: Angkasa, 1987

Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1994

Teeuw, A, Sastera dan Ilmu Sastera, Bandung: Pustaka Jaya, 2003

http://something2283.blogspot.com/2009/05/menyimak.html, Tarigan, Menyimak, (Selasa, 28-11-2010)

http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradig

ma-penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)