Nur Rahmah-Akad Dan Transaksi Murabahah Dan Tijarah

33
AKAD DAN TRANSAKSI MURABAHAH DAN TIJARAH Makalah Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Teori Ekonomi Islam Semester II Tahun Akademik 2013/2014 Oleh: NUR RAHMAH 80100212074 Dosen Pemandu: Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag. Dr. Abdul Wahab, S.E., M.Si. PROGRAM PASCASARJANA

description

ekonomi islam ttg akad

Transcript of Nur Rahmah-Akad Dan Transaksi Murabahah Dan Tijarah

AKAD DAN TRANSAKSI MURABAHAH DAN TIJARAH

Makalah

Dipresentasikan dalam Seminar Mata KuliahTeori Ekonomi Islam

Semester II Tahun Akademik 2013/2014

Oleh:

NUR RAHMAH80100212074

Dosen Pemandu:

Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag.Dr. Abdul Wahab, S.E., M.Si.

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2013

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah dalam perekonomian sangat komprehensif, masalah

sebenarnya simple saja yaitu tidak adanya keadilan di dalamnya.

Sistem ekonomi kapitalis dan sosialis lebih mementingkan

kepentingan kelompok dan individu saja. Bagaimana pandangan

Islam tentang sistem ekonomi yang adil?

Pandangan ilmuwan dan orientalis barat menyebutkan bahwa

Islam adalah agama yang ekstrim, radikal dan hanya berorientasi

pada kehidupan akhirat. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman

terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya berkaitan dengan kegiatan

ritual saja, bukan sebuah sistem yang mengolah kehidupan

masyarakat. Sehingga tercipta kehidupan yang damai, tentram dan

bahagia.1

Kehidupan masyarakat yang sejahtera, damai dan makmur

pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dijelaskan

bahwa pada pemerintahnnya kehidupan masyarakatt waktu itu

sangat makmur dan sejahtera, bahkan hampir semua

masyarakatnya tidak ada yang miskin. Pandangan ini

menyimpulkan bahwa Islam ialah agama yang mempunyai sistem

1Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 205.

2

yang dapat menciptakan kehidupan yang stabil bagi seluruh

pranata sosial dalam masyarakat.2

Salah satu pranata sosial ialah masalah perekonomian.

Kegiatan ekonomi sudah dipraktekkan oleh orang terdahulu

khususnya dalam bidang jual beli (murabahah) dan perdagangan

(tijarah). Namun dalam prakteknya khususnya di Indonesia hampir

tidak sesuai dengan ajaran Islam karena didominasi oleh sistem

ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan dunia

semata. Makalah ini akan menjelaskan akad dan transaksi dalam

ekonomi Islam : murabahah dan tijarah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka untuk memperjelas

uraian dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah yang akan

dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep akad dalam ekonomi Islam?

2. Bagaimana murabahah dan tijarah dalam ekonomi Islam?

2Ibid.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.

Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan

akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua

orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan

kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara yang

dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah

pihak. Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar

Basyir  adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengna cara

yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum. Ijab

adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang

diinginkan, dan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk

menerimanya. Masing-masing pihak haruslah saling menghormati

4

terhadap apa yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad.3 Hal

ini sesuai dengan ketentuan hukum yang hidup dalam Al-Qur’an QS.

Al-Maidah 5:1.

:ل8ى >ت ي م8ا Aال إ A :ع8ام األن 8هAيم8ة> ب >م: 8ك ل >حAلQت: أ Aع>ق>ود: Aال ب و:ف>وا8 أ >وا آم8ن QذAين8 ال [ه8ا ي

8 أ 8ا ي

>رAيد> ي م8ا >م> 8ح:ك ي Qه8 الل QنA إ cم ح>ر> >م: :ت 8ن و8أ Aد: الصQي م>حAلfي :ر8 غ8ي >م: :ك 8ي 4ع8ل

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”

Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan

syarat akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang

membentuk akad, yang harus selalu dipenuhi dalam suatu

transaksi, terdiri dari:  pertama, subjek akad yaitu pihak yang

berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling sedikit dua orang

yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk melakukan

perbuatan hukum sendiri. Kedua, Objek yang diakadkan, yaitu objek

akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad

3Abdullah Amrin, Asuransi Syariah (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), h. 38.

4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 106.

5

jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan

harganya.5

Sesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan

syarat sebagai berikut:6

a. Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek akad harus telah

wujud pada waktu akad diadakan. Barang yang belum wujud

tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat kebanyakan

fukaha sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin

bergantung pada sesuatu yang belum berwujud;

b. Dapat menerima hukum akad. Dalam akad jual beli misalnya,

barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai

bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli;

c. Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus dapat

ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan

akad. Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa

kemudian hari sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek

akad. Adanya syarat ini diperlukan agar pihak-pihak

bersangkutan dalam melakukan akad benar-benar atas dasar

kerelaan bersama. Oleh karenanya, adanya syarat ini

disepakati fuqaha;

d. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus

dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak

5Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 41.

6Abdullah Amrin, op.cit., h. 39.

6

berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah

pada saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat

diserahkan karena memang benar-benar ada dibawah

kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.

Empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar

dapat disebutkan bahwa sesuatu dapat menjadi objek akad apabila

dapat menerima hukum akad dan tidak mengandung unsur-unsur

yang mungkin menimbulkan sengketa kemudian hari antara pihak-

pihak yang bersangkutan. Syarat yang disebut terakhir

mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat

diserahkan.7

Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada

terpenuhinya rukun dan syarat akad, syarat sahnya perjanjian

adalah:8

Pertama,  tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati

adanya. Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para

pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum

atau perbuatan yang melawan hukum syariah, sebab perjanjian

yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah, dan

dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak

untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau

dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan

7Ibid.8Ala’eddin Kharota, Transaksi dalam Perundangan Islam (Cet. I; Selangor

Warni Sdn Bhd, 2007), h. 30.

7

perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka perjanjian

yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.

Kedua,  terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada

pilihan, dalam hal ini tidak boleh ada unsur paksaan dalam

membuat perjanjian tersebut.Maksudnya perjanjian yang diadakan

dan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua

belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha atau rela akan isi

perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan

kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak

boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain,

dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai

kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Ketiga,  isi perjanjian harus jelas dan gamblang. Maksudnya

apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa

yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan

terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang

telah mereka perjanjikan dikemudian hari. Dengan demikian pada

saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing pihak

yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam

perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa

yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat

yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan

perjanjian menurut KUH Perdata, menurut hukum Islam perjanjian

8

juga berdasarkan kata sepakat, dengan ayarat objek perjanjian

haruslah berwujud, hak milik dan dapat dikenai hukum akad.

B. Murabahah

1. Pengertian Murabahah

Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), yaitu prinsip

bai’ (jual beli) dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang

ditambah nilai keuntungan (ribhun) yang disepakati. Pada

murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi

sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguh

ataupun dicicil. Pada murabahah, untuk terbentuknya akad

pembiayaan multiguna di dalam Islam, haruslah memenuhi rukun-

rukun dan syarat-syarat murabahah.9

Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan

menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang

disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual

beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang

membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual

harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang

dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.10

9Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 101.

10Ibid.

9

Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit, jika

secara kredit harus dipisahkan antara keuntungan dan harga

perolehan. Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad, kalau

terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau

kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut

akan dianggap sebagai dana kebajikan. Uang muka juga dapat

diterima, tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang.11

Dalam daftar istilah himpunan fatwa DSN (dewan syariah

nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah

adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya

kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang

lebih sebagai laba.12

Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan

prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk

yang ada di semua bank islam. Dalam islam, jual beli sebagai

sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhai

oleh Allah SWT. "Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba"13

Ungkapan yang sering digunakan dalam transaksi murabahah

adalah:14

11Ibid., h. 106. 12Ahmad Ifham Sholihin, op.cit., h. 235.13Ibid.14Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., h. 97.

10

a. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan harga beli

saya atau dengan harga perolehan saya disertai dengan

keuntungan sekian”.

b. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan biaya-

biaya yang telah saya keluarkan disertai dengan keuntungan

sekian”

c. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan ra’sul

maal (harga pokok) disertai dengan keuntungan sekian”

Menurut As-Shawy, ungkapan tersebut tergantung pada

al-‘urf (kebiasaan suatu tempat), bila kebiasaan dalam

perdagangan ditempat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud

dengan harga pokok adalah harga beli saja dan tidak termasuk

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut

maka ungkapan ketiga ini masuk kategori ungkapan yang pertama.

Adapun bila kebiasaan menunjukkan bahwa harga pokok adalah

harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk

memperolehnya maka ia masuk kategori ungkapan yang kedua.15

Transaksi jual beli murabahah sebagaimana yang disebutkan

oleh Ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang

menyebutkan harga beli barang tersebut, kemudian ia mengambil

keuntungan dari pembeli baik secara sekaligus dengan

mengatakan, saya membelinya dengan harga sepuluh dinar dan

anda berikan keuntungan kepadaku sebesar satu dinar atau dua

15Ala’eddin Kharota, op.cit., h. 116.

11

dinar", atau merincinya dengan mengatakan, anda berikan

keuntungan sebesar satu dirham per satu dinarnya. Atau bisa juga

ditentukan dengan ukuran tertentu maupun dengan menggunakan

porsentase.16

Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan mengatakan,

pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga

awal disertai tambahan keuntungan.17

Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hambaliah, murabahah

adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual

ditambah keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar atau

semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi

mengetahui harga pokok.18

2. Transaksi Murabahah

Menurut mayoritas (jumhur) ahli-ahli hukum Islam, rukun

yang membentuk akad murabahah ada lima yaitu: Adanya penjual

(ba’i), Adanya pembeli (musytari), Objek atau barang (mabi’) yang

diperjualbelikan, Harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan

mata uang, Ijab qabul (shigat) atau formula akad, suatu pernyataan

kehendak oleh masing-masing pihak yang disebut Ijab dan Kabul.19

16Ibid., h. 113.17Abdul Jalil, Teologi Buruh (Cet. I; Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara,

2008), h. 132.18Ibid.19Abdullah Amrin, op.cit., h. 33.

12

Sementara itu, syarat murabahah adalah; Penjual

memberitahu biaya modal kepada nasabah, Kontrak pertama harus

sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, Kontrak harus bebas

riba, Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat

atas barang sesudah pembelian, Penjual harus menyampaikan

semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika

pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur

keterbukaan.20

Pada pembiayaan murabahah, nasabah yang mengajukan

permohonan harus memenuhi syarat sah perjanjian yaitu, unsur

yaitu syarat subjektif harus berumur  tahun atau telah/pernah

menikah, sehat jasmani dan rohani. Objek murabahah tersebut juga

harus tertentu dan jelas dan merupakan milik yang penuh dari

pihak bank. Dalam pelaksanaannya, pembelian objek murabahah

tersebut dapat dilakukan oleh pembeli murabahah tersebut sebagai

wakil dari pihak bank dengan akad wakalah atau perwakilan.

Setelah akad wakalah dimana pembeli murabahah tersebut

bertindak untuk dan atas nama bank untuk melakukan pembelian

objek murabahah tersebut. Setelah akad wakalah selesai dan objek

murabahah tersebut secara prinsip telah menjadi hak milik bank

maka terjadi akad kedua antara bank dengan pembeli murabahah

yaitu akad murabahah. Hal ini dimungkinkan dan tidak menyalahi

syariah Islam karena dalam dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/

20Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Cet. I; Jakarta: Azkia Publisher, 2009), h. 28.

13

2000 Tanggal 1 April 2000 tentang murabahah, sebagai landasan

syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: pada bagian

pertama angka 9 disebutkan bahwa jika bank bendak mewakilkan

kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual

beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip,

menjadi milik bank.21

Disimpulkan di sini bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam

akad murabahah sudah sesuai dengan fatwa MUI, walaupun harga

jual objek akad yang merupakan harga beli ditambah keuntungan

(ribhun) biasanya lebih mahal dari pemberian kredit kepemilikan

pada bank konvensional tetapi pada murabahah nasabah

diuntungkan dalam hal tidak dikenakannya bunga dalam

murabahah ini sehingga nasabah tidak akan rugi apabila ada

kenaikan dan penurunan suku bunga pasar. Sementara pada

murabahah yan dipergunakan adalah harga jual yang tidak akan

berubah selama masa akad. Dengan demikian, nasabah sejak awal

sudah mengetahui jumlah cicilan yang akan dibayarkan selama

masa akad dan tidak akan mengalami kenaikan ataupun

penurunan.22

Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian yang tercantum

dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Praktik muamalah dalam Islam

pada prinsipnya harus sesuaidan tidak bertentangan dengan

21Ahmad Ifham Sholihin, op.cit., h. 302.22Ibid.

14

norma-norma syariah. Para ahli fiqh sepakat bahwa dalam kegiatan

bisnis (muamalah) Islam haruslah menghindari unsur-unsur yang

dilarang oleh syara’ yakni, maisir (perjudian), gharar

(ketidakjelasan), riba (tambahan) dan bathil (ketidakadilan).23

Hal ini berlaku juga untuk kegiatan perbankan, khususnya

perbankan syariah. Unsur Maisir (untung-untungan) dan unsur

bathil (ketidakadilan) dalam murabahah dapat dihilangkan dengan

adanya kepastian proyek dan tingkat. pengembalian yang jelas,

sesuai dengan akad yang telah disepakati pada awal kerjasama.

Dalam hal ini nasabah tidak diberatkan dengan fluktuasi tingkat

suku bunga bank. Unsur gharar (ketidakpastian) dalam penerapan

murabahah dapat dihindari dengan adanya kepastian angsuran

pembayaran. Dengan demikian, sudah pasti dapat diprediksikan

jumlah angsuran perbulan sesuai dengan jangka waktu

pembiayaan, karena dalam hal ini bank syariah tidak mengenal

sistem bunga. Unsur riba dalam murabahah dapat dihilangkan

dengan konsep jual beli, karena pada dasarnya Islam menghalalkan

jual beli dan mengharamkan riba. Pada unsur teknisnya nasabah

tidak merasa dirugikan oleh bank adanya kejelasan mengenai harga

objek yang akan dibeli oleh nasabah dan keuntungan yang diambil

oleh bank. Begitu pula dengan objek yang diperjualbelikan harus

sudah ada pada saat penandatanganan akad. Dengan demikian,

dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan produk murabahah

23K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 51.

15

sudah sesuai dengan prinsip pembiayaan berdasarkan prinsip-

prinsip Islam yaitu tidak mengandung maisir (spekulatif), gharar

(ketidakpastian), riba (tambahan) dan bathil (ketidakadilan).24

C. Tijarah

1. Pengertian Tijarah

Tijarah sebagaimana yang telah didefinisikan oleh pada

fuqaha ialah pengusahaan harta benda dengan penggantian harta

benda yang lain. Akad tijarah digunakan dalam transaksi yang

sifatnya komersial/profit motif, sehingga boleh mengambil

keuntungan.25 Contoh transaksi seperti ini adalah jual beli, sewa-

menyewa, upah-mengupah kerjasama usaha atau bagi hasil. Akad

tijarah terbagi lagi menjadi dua yaitu:26

a. Natural certainty contract yang terdiri dari bai’ ( jual beli ) dan

ijarah.

b. Natural Uncertainty Contract yang terdiri dari musyarakah,

muzara’ah (benih dari pemilik lahan), mukhabarah (benih dari

penggarap) dan musaqah (tanaman tahunan).

Barang tijarah ialah apa yang disiapkan untuk usaha dengan 

jalan jual beli. Suatu barang milik dikatagorikan sebagai tijarah jika

24Zainul Arifin, op.cit., h. 29.25Abdullah Amrin, op.cit.,h. 163.26Abdullah Siddik al-Hajj, Hukum Dagang Islam (Cet. I; Jakarta: Balai

Pustaka, 1993), h. 32.

16

terdapat dua unsur yang tidak terpisah yaitu terjadi transaksi jual

beli dan niat untuk mendapatkan keuntungan.27

Ada beberapa prinsip jual beli dalam akad tijarah yaitu:28

a. Cara pengambilan keuntungan ada  empat yaitu:

musawwamah dimana penjual tidak memberitahukan harga

pokok dan keuntungan yang didapatkannya, murabahah yang

merupakan kebalikan dari musawwamah, muwadhaah yaitu

dengan prinsip diskon, tauli’ah yaitu dengan pemberian komisi

kepada pembeli.

b. Jenis barang pengganti yaitu: muqayyadah adalah kewenangan

terbatas atas pembeli untuk menentukan jenis barang

pengganti, mutlaqah yaitu kewenangan penuh atas pembeli

untuk menentukan jenis barang pengganti, yang terakhir

adalah sharf.

c. Cara pembayaran/waktu penyerahan yaitu naqdan dan ghoiru

naqdan.Untuk ghairu naqdan ada tiga yaitu muajjal dimana

barang diserahkan secara bertahap, salam dimana uang

dibayarkan lebih dahulu baru kemudian barang diserahkan,

istishna dimana uang dibayar lebih dahulu secara bertahap

baru kemudian barang diserahkan.

2. Hukum Perdagangan dalam Perundang-undangan Islam pada

zaman Rasulullah

27Abdullah Amrin, op.cit.,h. 164.28Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing (Cet.

III; Bandung: Mizan Media Utama, 2006), h. 127.

17

Hukum dagang dalam fiqh Islam termasuk dalam mu’amalah

maliyah atau hukum yang mengatur hubungan manusia dalam

masalah harta dan kekayaan. Hukum dagang dalam perundang-

undangan umum modern adalah bagian dari hukum privat, atau

merupakan jenis khusus dari hukum perdata.29

Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin diantaranya

Khalifah Umar Bin Khattab,  Undang-undang perniagaan diatur

berdasarkan syari’at Islam dan para qadhi yang diangkat di setiap

daerah mempunyai kewenangan menerapkan dan mengawasi

jalannya undang-undang perniagaan tersebut. Khalifah Umar

disamping menjadi kepala Negara juga bertanggung jawab penuh

atas terlaksananya syari’at Islam pada tataran masyarakat bawah

diantaranya dengan selalu memantau pola kehidupan masyarakat

termasuk dalam masalah perniagaan. Kisah yang paling popular

ialah ketika beliau berkeliling ke pelosok negeri dan bertemu

dengan gadis penjual susu yang jujur dan tidak mau

mencampurnya dengan air agar mendapat keuntungan lebih

dengan cara yang bertentangan dengan syari’at Islam.30

Sebuah hadits pun disebutkan; Dari Jiyad bin Hudair ra

berkata:“Umar mempekerjakanku atas sepersepuluh Dan

memerintahkanku agar aku mengambil dari pedagang-pedagang

29Abdullah Siddik al-Hajj, op.cit., h. 45.30Mohd Nahar Mohd Arshad, Hidup Kaya tanpa RIba (Cet. I; Selangor: Zafar

Sdn Bhd, 2007), h. 153.

18

muslim dua sete-ngah persen.” (HR. Abu Ubaid al-Qasimy Ibnu

Salam).31

Rasulullah SAW pernah mengirim petugas pemungut zakat

kepada Khalid Bin Walid yang pernah berdagang perkakas perang.

Khalid tidak mengeluarkan zakatnya, sehingga pemungut zakat tadi

mengadu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “…

Adapun Khalid, kalian telah menganiayanya. Sesungguhnya ia telah

mewaqafkan baju-baju besinya dan peralatan perangnya di jalan

Allah.” (HR. Muslim).32

Hadits ini menunjukkan bahwa masalah peniagaan dan segala

hal yang berhubungan dengan ibadah mu’amalah termasuk juga

masalah pengelolaan zakat ditangani oleh Negara dan institusi

kenegaraan. Namun tidak berarti ketika Negara tidak menangani

perzakatan ini, kewajiban zakat tijarah terhapus dan tidak

dilaksanakan. Karena sebagaimana sebelumnya disinggung bahwa

hukum perdagangan termasuk hukum perdata yang setingkat

dengan hukum waris, nikah dan sejenisnya, maka selayaknya umat

Islam tetap memperhatikan hukum perdagangan sesuai dengan

syari’at Islam sambil tetap mengupayakan agar hukum Islam

menyangkut perdagangan dan perzakatan masuk pada perundang-

undangan Negara. Karena hanya dengan syari’at Islam, harta umat

Islam.

31Ibid.32Ibid., h. 155.

19

3. Karakteristik Perdagangan Syari’ah

Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai

perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari kejujuran,

kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan nilai timbangan

dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus

diperhatikan.33 Seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al

Muthoffifin ayat 2-7 :

( ون� ت�و�ف� ي�س� الن�اس� ع�ل�ى اك�ت�ال�وا �ذ�ا إ و� ٢ال�ذ�ين�أ� ك�ال�وه�م� �ذ�ا و�إ

( ر�ون� ي�خ�س� ن�وه�م� )٣و�ز� م�ب�ع�وث�ون�( ن�ه�م� أ� ول�ئ�ك� أ� ي�ظ�ن9 =(٤أ�ال ل�ي�و�م

( = ال�ع�ال�م�ين�( )٥ع�ظ�يم Bل�ر�ب الن�اس� وم� ي�ق� ار�( ٦ي�و�م� �ج ال�ف� ك�ت�اب� ��ن إ ك�ال

جBين= ) س� 34(٧ل�ف�ي

Terjemahnya:“Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”

Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan

timbangan dan ukuran yang penuh, tetapi juga dalam menimbulkan

itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil beberapa pengamatan yang

dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang timbul dalam

bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan

kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina

33Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 27.34Departemen Agama RI, op.cit., h. 587.

20

hubungan baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan

secara tertulis dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena

“yang demikian itu lebih adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan

persaksian, dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.” 35

Di samping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan

perdagangan syariah, yaitu:36

a. Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada

konsumen, sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja

sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak membeli barang

sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.

b. Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas

barang yang dijual sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak

dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.

c. Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai

mekanisme pasar, namun status kehalalan barang yang dijual

adalah lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah,

konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan

merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak

sengaja yang mengandung unsur haram yang terkandung di

dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan

syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum

35Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 29.36Ibid.

21

diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan

sebagian lagi memiliki label halal.

d. Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah

berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah

mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian

secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil

keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar

dan harga yang berlaku.

4. Perdagangan Yang Dilarang

a. Talqi – Jalab

Talqi-jalab adalah suatu kegiatan yang umum dilakukan oleh

orang-orang Madinah, yaitu manakala para petani membawa hasil

ke kota, lalu menjualnya kepada orang-orang di kota kemudian

orang kota tersebut menjual hasil panen tersebut, dengan harga

yang mereka tetapkan sendiri. Rasulullah tidak menyukai cara

perdagangan seperti ini, karena beliau menganggap perbuatan

tersebut mencurangi seseorang.37

b. Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad

Ada beberapa orang bekerja sebagai agen-agen penjualan

hasil panen dan semua hasil panen dijual melalui mereka. Mereka

memperoleh keuntungan baik dari penjual maupun dari pembeli

dan seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang harus

37Ahmad bin ‘Abdurrazzaq ad-Duwairy, Fatwa-fatwa Jual Beli (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005), h. 120.

22

diterima petani dan kepada para pembeli tidak diberi harga yang

benar dan wajar. Rasulullah melarang bentuk perdagangan dengan

menarik keuntungan dari penjual dan pembeli.38

c. Perdagangan dengan cara Munabadzah

Dalam perdagangan secara munabadzah, seseorang

menjajakan pakaian yang dia miliki untuk dijual kepada orang lain

dan penjualan tersebut menjadi sah, meskipun orang tersebut tidak

memegang atau melihat barang tersebut. Berarti bahwa penjual

langsung melemparkan barang kepada pembeli dan penjualan itu

sah. Pembeli tidak ada kesempatan untuk memeriksa pakaian

tersebut atau harganya. Ada kemungkinan penipuan atau

kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam bentuk

perdagangan seperti ini, sehingga Rasulullah melarang

perdagangan dengan cara munabadzah.39

d. Perdagangan dengan cara Mulamasah

Dalam perdangangan secara mulamasah, seseorang menjual

sebuah pakaian dengan boleh memegang tapi tanpa perlu

membuka atau memeriksanya. Hal ini juga dilarang Rasulullah

karena keburukannya sama seperti munabazah.40

e. Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habalah

38Rudi Susanto, Perdagangan Syariah (http.artikel.staff.uns.ac.id/2009/01/31/perdagangan- syariah)

39M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 587.

40Ibid.

23

Bentuk perdagangan ini sangat umum di negara Arab pada

waktu itu. Dalam perdagangan ini, seseorang menjual seekor unta

betina dengan berjanji membayar apabila unta itu melahirkan

seekor anak unta jantan atau betina. Cara perdagangan seperti

inipun dilarang oleh Rasulullah karena mengandung unsur perkiraan

atau spekulasi.41

f. Perdagangan dengan cara Al-Hasat

Dalam bentuk perdagangan seperti ini, penjual akan

menyampaikan kepada pembeli bahwa apabila pembeli

melemparkan pecahan-pecahan batu kepada penjual, maka

penjualan akan dianggap sah. Cara seperti ini juga diharamkan oleh

Rasulullah karena sama buruknya dengan perdagangan secara

munabazah dan mulamasah.42

g. Perdagangan dengan cara muzabanah

Dalam bentuk perdagangan ini, buah-buahan ketika masih di

atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk

memeperoleh kurma dan anggur kering, atas sederhananya

menjual buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan

kering. Rasulullah melarang cara seperti ini karena didasari atas

perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan ternyata

salah.43

h. Perdagangan dengan cara Muhaqolah

41Ala’eddin Kharota, op.cit., h. 64.42M. Nashiruddin al-Albani, op.cit., h. 589.43Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 49.

24

Dalam sistem muhaqolah ini, panen yang belum ditunai dijual

untuk memperoleh hasil panen yang kering. Rasulullah melarang

cara perdagangan seperti ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh

Abdullah Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan Said Ibn Mussayyib.

Bentuk ini sama dengan bentuk muzabanah dengan semua

kemudharatannya.44

i. Perdagangan tanpa hak pemilikian

Perdagangan barang-barang khususnya yang tidak tahan

lama, tanpa perolehan hak milik juga dilarang oleh Rasulullah

karena mengandung unsur keraguan dan penipuan. Diriwayatkan

oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Siapapun yang

membeli gandum tidak berhak menjualnya sebelum memperoleh

hak miliknya.”45

j. Perdagangan dengan cara Sarf

Perdagangan dengan cara sarf berarti menggunakan

transaksi di mana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk

memperoleh emas dan perak. Rasulullah bersabda bahwa

pertukaran emas dengan emas merupakan riba kecuali dari tangan

ke tangan, kurma dengan kurma adalah riba kecuali dari tangan ke

tangan, dan garam dengan garam adalah riba kecuali dari tangan

ke tangan.46

k. Perdagangan dengan cara Al-Gharar

44Ibid.45Ibid. h. 51.46Ahmad bin ‘Abdurrazzaq ad-Duwairy, op.cit., h. 123.

25

Perdagangan dengan cara Al-Gharar, Perdagangan yang

dilakukan dengan cara melakukan penipuan terhadap pihak lan.

l. Misrot

Misrot adalah hewan yang mempunyai susu, tapi susunya

tidak diperas. Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual

binatang ini terlebih dahulu diperah selama beberapa hari untuk

menipu pembeli. Ini adalah salah satu cara dimana pembeli

binatang merasa ditipu dan diminta untuk membayar dengan harga

yang lebih mahal.47

a. Najsh, terjadinya sesuatu kenaikan harga karena seseorang

telah mendengar bahwa harga barang tersebut telah naik, lalu

membelinya tetapi tidak karena ingin membelinya melainkan

karena ingin menjualnya kembali dengan menetapkan harga

yang lebih tinggi, atau berminat terhadap barang yang dijual

dengan tujuan untuk menipu orang lain.

b. Penjualan dengan sumpah, Penjual menjual barangnya (dalam

harga tinggi) dengan melakukan sumpah tentang tingginya

kualitas barang tersebut.

c. Pemalsuan

d. Perdagangan dengan cara menyembunyikan

e. Monopoli

47Ibid.

26

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada uraian makalah ini, penulis dapat mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh

dua orang atau lebih berdasarkan pada persetujuan masing-

masing dalam jual beli. Objek akad ialah barang yang

diperjual belikan dan harganya. Sesuatu yang dapat menjadi

objek akad apabila dapat menerima hukum akad dan tidak

mengandung unsur-unsur yang mungkin menimbulkan

sengketa kemudian hari antara pihak-pihak yang

bersangkutan. Sahnya suatu akad tergantung pada

terpenuhinya rukun dan syarat akad. Syarat akad

27

diantaranya; tidak menyalahi hukum syariah, saling ridho

(tidak ada paksaan), isi perjanjian jelas dan gambling.

2. Murabahah ialah transaksi penjualan barang dengan

menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang

disepakati oleh penjual dan pembeli. Pada murabahah yan

dipergunakan adalah harga jual yang tidak akan berubah

selama masa akad. Dengan demikian, nasabah sejak awal

sudah mengetahui jumlah cicilan yang akan dibayarkan

selama masa akad dan tidak akan mengalami kenaikan

ataupun penurunan.

Akad tijarah digunakan dalam transaksi yang sifatnya

komersial/profit motif, sehingga boleh mengambil

keuntungan. Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam

mengenai perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari

kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan

nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-

benar harus diperhatikan. Beberapa hal yang terkait dengan

perdagangan syariah, diantaranya; Penjual berusaha

memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen,

Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas

barang yang dijual sesuai dengan harganya, Hal yang paling

baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme

pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah

lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah, konsumen

28

yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa

terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang

mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya.

Barang-barang yang dijual dengan perdagangan syariah juga

diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya

bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi

memiliki label halal. Barang dan komoditi yang dijual haruslah

berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah

mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian

secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan

mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan

keadaan pasar dan harga yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Duwairy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. Fatwa-fatwa Jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005.

al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhari. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2008.

29

Al-Hajj, Abdullah Siddik. Hukum Dagang Islam. Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Amrin, Abdullah. Asuransi Syariah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006.

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Cet. I; Jakarta: Azkia Publisher, 2009.

Arshad, Mohd Nahar Mohd. Hidup Kaya tanpa RIba. Cet. I; Selangor: Zafar Sdn Bhd, 2007.

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya .Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009.

Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Cet. I; Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008.

Kartajaya, Hermawan dan Muhammad Syakir Sula. Syariah Marketing. Cet. III; Bandung: Mizan Media Utama, 2006.

Kharota, Ala’eddin. Transaksi dalam Perundangan Islam. Cet. I; Selangor Warni Sdn Bhd, 2007.

Sholihin, Ahmad Ifham. Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

30

Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Susanto, Rudi. Perdagangan Syariah (http.artikel.staff.uns.ac.id/2009/01/31/perdagangan- syariah)