Nuansa Bahasa Citra Sastra

19
Nuansa Bahasa Citra Sastra Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra Editor: I Wayan Pastika Maria Matildis Banda I Made Madia Pustaka Larasan bekerja sama dengan Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 2019

Transcript of Nuansa Bahasa Citra Sastra

Page 1: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa BahasaCitra SastraPendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

Editor:I Wayan PastikaMaria Matildis BandaI Made Madia

Pustaka Larasanbekerja sama denganProgram Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana2019

Page 2: Nuansa Bahasa Citra Sastra

ii

Nuansa Bahasa Citra SastraPendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan SastraCopyright © 2019 Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Udayana

Editor:I Wayan PastikaMaria Matildis BandaI Made Madia

Tata LetakSlamat Trisila

Rancang SampulNova Rabet

IlustratorRabet M.S.(www.rumarabet.com)

PenerbitPustaka LarasanJalan Tunggul Ametung IIIA No. 11BDenpsar, Bali 80116Pos-el: [email protected]: 0817353433

Bekerja sama dengan

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Cetakan pertama: 2019

ISBN 978-602-5401-47-3

Page 3: Nuansa Bahasa Citra Sastra

iii

DAFTAR ISI

Laporan Ketua Panitia ~ viSambutan Kordinator Program Studi Sastra Indonesia ~ ixPengantar Editor ~ xiDaftar Nama Dosen Purnabhakti ~ xx

I Wayan Pastika Kekhasan Sejumlah Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara: Fonetis dan Fonologis ~ 1

Anak Agung Putu PutraKarakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda ~ 17

I Made MadiaBeberapa Fenomena Fonologis pada Tataran Sintaksis di dalam Bahasa Bali ~ 41

I Wayan Simpen Unsur Suprasegmental dalam Kakawin ~ 53

Made Sri Satyawati Struktur Argumen Bahasa Bima ~ 59

I Wayan TeguhTinjauan Singkat Subkategorisasi Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia ~ 69

Ni Putu N. WidarsiniKosakata “Layar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Awal ~ 81

I Nyoman SuparwaDinamika Sapaan dalam Bahasa Melayu Bali ~ 89

Page 4: Nuansa Bahasa Citra Sastra

iv

Ni Wayan Arnati, I Wayan Cika, I Wayan Teguh, dan Ni Putu Widarsini

Penggunaan Bentuk-Bentuk Penolakan Bahasa Balidalam Berkomunikasi Masyarakat Etnis BaliAsal Denpasar dan Badung ~ 99

I Gusti Ngurah Ketut PutrayasaAwal Mula Timbulnya Bahasa: Kajian Linguistik Historis ~ 112

Ni Made Dhanawaty dan Ida Bagus PutrayadnyaSumbangan Dialektologi Bagi Kajian Daya Hidupdan Derajat Keterancambahayaan Bahasa ~ 127

I Ketut Darma LaksanaMenumbuhkan Sikap Bahasa Generasi Muda Pada Era Milenia Melalui Model Pembelajaran Kelas Doktrina ~ 141

I Nyoman Darma PutraLiterary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan Pariwisata ~ 161

Maria Matildis Banda dan Nyoman Weda KusumaMakna Su’i Uwi dalam Perayaan Misa Inkulturasi Reba Ngadha Flores ~ 181

Maria Matildis BandaCatatan tentang Rabet Runtuhnya Jerman TimurNovel Karya Martin Jankowski Karya Sastra bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia ~ 191

Sri JumadiahNilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi ~ 209

Page 5: Nuansa Bahasa Citra Sastra

v

I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani Tindak Kekerasan pada Perempuan dan Anak dalam Karya Sastra Indonesia ~ 217

Ketut SudewaPengembangan Ekonomi Kreatif melalui Penulisan Sastra Bali Modern pada Pesta Kesenian Bali ~ 233

Ida Bagus Jelantik Sutanegara PidadaKidung Séwa Dharma Nyanyian Kegelisahan Batin Sang Kawiswara ~ 245

I Wayan CikaGeguritan Puputan Margarana: Antara Fakta dan Fiksi ~ 257

I Ketut NamaUnsur Magi dan Etiologi dalam Hikayat MaharajaBikrama Sakti ~ 269

Indeks ~ 280Tentang Penulis ~ 283

Page 6: Nuansa Bahasa Citra Sastra

127

SUMBANGAN DIALEKTOLOGI BAGI KAJIAN DAYA HIDUP DAN DERAJAT KETERANCAMBAHAYAAN BAHASA

Ni Made Dhanawaty1

Ida Bagus Putrayadnya2

1Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana2Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

AbstrakGlobalisasi berdampak pada semakin banyaknya bahasa di dunia dalam posisi terancam dengan derajat keterancaman yang bervariasi. Identifikasi vitalitas atau keterancambahayaan sebuah bahasa, yang dilakukan bidang sosiolinguistik, umumnya lebih berfokus pada faktor siapa yang menggunakan bahasa itu, pada ranah apa saja digunakan, dan kurang memperhatikan bagaimana bahasa itu digunakan sehingga terlahir variasi-variasi bahasa. Tulisan ini bertujuan mengetahui peranan dialektologi dalam kajian daya hidup atau derajat keterancambahayaan bahasa. Dengan menelaah paparan kebervariasian bahasa yang dihasilkan oleh bidang ini dapat diketahui adanya variasi-variasi mengindikasikan kebertahanan bahasa, variasi yang mengarah kepada kebergeseran bahasa, dan bahkan kadang-kadang ditemukan pula variasi menujukkan bahwa bahasa itu telah mengalami pergeseran. Dengan melihat proposisi variasi-variasi tersebut dari total variasi yang ada, dapat diketahui situasi perkembangan bahasa bersangkutan; sedang bertahan, berkembang ke arah membaik atau memburuk. Hal ini menunjukkan bahwa dialektologi dapat memberikan sumbangan bagi kajian daya hidup atau derajat keterancambahayaan bahasa.

Kata kunci: sumbangan, dialektologi, variasi, daya hidup, keterancambahayaan

Page 7: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

128

I. Pendahuluan

Era globalisasi dengan segenap kemajuan teknologinya memberikan peluang bagi manusia untuk menjalin komunikasi ke seluruh dunia. Kalau pada zaman dahulu mereka yang dinamika keluar daerah tinggal tinggilah

yang banyak mendapat pengaruh dari luar, termasuk pengaruh bahasa. Itu pula sebabnya dalam penelitian kebahasaan terdahulu, utamanya penelitian yang ingin memperoleh gambaran tentang bahasa atau dialek yang asli, salah satu persyaratan informannya adalah jarang bepergian keluar daerah tinggal. Dewasa ini, tidak menunggu sering bepergian keluar daerah tinggal untuk dapat berkontak dan pengaruh dari luar karena kontak dan pengaruh itu sendiri telah datang ke daerah tinggal, ke rumah, bahkan ke ruang-ruang pribadi dengan kendaraan teknologi.

Kontak dengan jaringan yang luas tentu memerlukan alat komunikasi yang dikuasai secara luas, yakni bahasa-bahasa besar yang dikuasai oleh segenap partisipan dalam komunikasi. Makin tinggi kontak melalui jaringan global, makin tinggi pula frekuensi pakai bahasa-bahasa besar, utamanya bahasa Inggris, yang berdampak pada makin menyusutnya frekuensi pakai bahasa nasional, terlebih lagi bahasa daerah. Derasnya arus komunikasi global berpotensi pada tergilasnya bahasa-bahasa kecil, yang berarti menyusutnya keberagaman linguistik. Krauss (1992), seperti yang disitir oleh Crystal (2000) menyatakan mayoritas bahasa-bahasa di dunia terancam, tidak semata-mata terancam bahaya, melainkan ternacam punah dan lebih dari setengah bahasa-bahasa di dunia sekarat; tidak dapat diwariskan secara efektif kepada generasi berikutnya. Diperkirakan 50% hilang pada 100 tahun mendatang. 50% dari 6.000 (jumlah bahasa yang ada) adalah 3.000 bahasa. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan berbagai kalangan. Seperti yang diketengahkan oleh Crystal (2000: 34) kehilangan manusia akan keberagaman genetik dalam bidang bahasa takdapat disangkal lebih besar daripada kehilangan keberagaman genetik dalam bidang biologis, mengingat struktur bahasa manusia cenderung mereprensentasikan sebuah kesaksian yang kuat terhadap pencapaian intelektual manusia. UNESCO yang memandang keberagaman bahasa sebagai bagian penting dari keberagaman

Page 8: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

129

budaya dunia tiada hentinya mendorong dilakukannya konservasi bahasa untuk mengimbangi konservasi budaya. Salah satu tujuan pertemuan yang ditangani UNESCO pada tahun 2003 adalah memformulasikan definisi dan memantapkan criteria tentang keterancaman bahasa untuk melihat daya hidup dan keterancaman bahasa-bahasa. Dalam pada itu, peranan linguis sangat dibutuhkan (UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Languages).

Identifikasi bahasa-bahasa berdasarkan derajat ke teran-cambahayaannya, selama ini indikatornya lebih didasarkan pada jumlah penutur bahasa bersangkutan. Selain berdasarkan jumlah penutur, daya hidup dan derajat keterancaman sebuah bahasa pada dasarnya juga dapat diidentifikasi berdasarkan siapa saja penggunanya (dari segi daerah tinggal, status, usia, gender, etnik, dan lain-lain), dan bagaimana penggunaannya, dalam artian pada ranah apa saja (latar, topik, partisipan, dan lain-lain) bahasa itu bertahan? Untuk menjawab pertanyaan siapa, dukungan dialektologi, yang objek kajiannya adalah variasi dialektal atau variasi bahasa berdasarkan pemakai atau penutu, sangat dibutuhkan, sementara untuk menjawab pertanyaan bagaimana perlu adanya kajian sosiolinguistik, yang objek kajiannya variasi registeral atau variasi bahasa berdasarkan penggunaannya.

Penelitian dialektologi, untuk situasi kebahasaan di Indonesia, utamanya di daerah-daerah Indonesia bagian timur, pertamanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi varietas-varietas kebahasaan secara linguistik, agar jelas statusnya apakah varietas tersebut tergolong bahasa atau sub dari bahasa tertentu. Setelah jelas statusnya, misalnya varietas tersebut adalah sebuah bahasa, kemudian ditelaah daya hidup dan derajat keterancambahayaannya. Tulisan ini difokuskan pada pembahasan sumbangan dialektologi terhadap kajian identifikasi daya hidup dan derajat keterancambahayaan bahasa.

II. Batasan Kajian Dialektologi dan Kaitannya dengan Daya Hidup dan Derajat Keterancaman Bahasa

2. 1. Batasan Kajian DialektologiDialektologi pada perkembangan awalnya membatasi kajian

pada varaiasi bahasa berdasarkan variabel geografis atau dialek

Page 9: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

130

geografi sehingga dikenal sebagai studi geografi dialek atau geografi linguistik (Chambers et al, 1980; Petyt, 1980). Variabel geografis yang dimaksud adalah daerah atau desa-desa yang dijadikan titik pengamatan atau belakangan sering juga disebut dengan istilah daerah pengamatan. Dengan harapan memeroleh dialek yang asli atau varietas yang paling konservatif, tanpa memperhatikan keberagaman budaya, ketidaksesuaian iklim sosial ekonomi, keberbedaan topografi, seleksi informannya pada setiap titik pengamatan mensyaratkan dimilikinya ciri NORM (nonmobile, oleder, rural, males) (Chambers et al., 1980:33—34).

Pada tahun 1950-an, dialektologi dikritik dari para ilmuwan sosial karena penelitiannya dianggap memiliki kelemahan mendasar, yakni reliabilitas dan validitas temuan. Kelemahan dalam reliabilitas temuan terkait dengan masalah kekurangrepresentatifan sumber data, dalam hal ini percontoh penutur, karena percontoh dengan syarat NORM hanya mewakili segmen masyarakat tertentu saja (Chambers et al., 1980:56—57). Kelemahan dalam validitas temuan bersumber dari kekurangrepresentatifan percontoh tuturan yang dikaitkan dengan metode penelitian, model daftar pertanyaan, teknik wawancara, dan lain-lain (Petyt, 1980: 110--115). Penelitian hendaknya mampu menangkap tuturan yang alamiah, cara sebuah tuturan dihasilkan, dan konteks yang melahirkan tuturan. Menganggapi kritik tersebut, beberapa ahli mencoba meneliti variasi dari berbagai variabel sosial untuk membuktikan asumsinya bahwa variasi bahasa berkorelasi dengan struktur sosial. Fondasi studi dialek sosial adalah melihat korelasi antara variasi bahasa dan variabel sosial. Karya Labov (1966), yang berjudul The Sosial Stratification of English in New York City dianggap sebagai studi dialektologi perkotaan, yang dianggap sebagai embrio berkembangnya studi dialektologi sosial, yakni studi variasi bahasa berdasarkan variabel sosial penutur.

Menurut Wolfram and Fasold (1974), dalam studi dialektologi sosial, ada enam variabel utama, yakni variabel daerah, variabel status, ragam (style), usia, jenis kelamin, dan keetnikan. Sebagai sumber data informan dipilih dari tiap-tiap kategori sosial atau sel yang telah ditetapkan. Jumlah sel adalah jumlah kategori atau subvariabel dari tiap-tiap variabel sosial

Page 10: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

131

yang dikalikan satu sama lain. Penetapan informan dari tiap-tiap sel dipandang representatif untuk memeroleh gambaran kebahasaan yang menyeluruh dari daerah penelitian.

2.2. Kaitan Kajian Dialektologi dengan Penentuan Daya Hidup dan Derajat Keterancambayaan Bahasa

Saussure (1989:205--211) menyatakan bahwa fenomena kebahasaan terjadi berdasarkan hukum yang sama dengan tradisi apa pun. Di dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang bergerak bersama-sama tanpa henti ke arah yang berlawanan, yakni ‘kekuatan semangat kedaerahan di satu pihak dan ‘kekuatan pergaulan’ di pihak lainnya. Kekuatan pertama menyebabkan manusia menetap, sedangkan kekuatan kedua memaksa mereka berhubungan secara lebih luas di antara sesamanya. Kedua kekuatan itu, meskipun bertentangan, tetapi sama-sama memberi ciri kepada setiap bahasa, hanya saja intensitasnya berbeda-beda. Kekuatan pertama menumbuhkan sikap loyal kepada bahasa sendiri, sedangkan kekuatan kedua menumbuhkan sikap terbuka terhadap pengaruh dari luar yang bersifat menunjang perkembangan bahasanya. Dalam proporsi yang wajar kedua kekuatan itu menumbuhkan sikap positif penutur kepada bahasanya sehingga bahasanya dapat tumbuh stabil dan sekaligus juga dinamis. Sebaliknya, dalam proporsi yang tidak wajar, kedua kekuatan itu dapat menumbuhkan sikap kebahasaan yang negatif, seperti pergeseran bahasa. Dewasa ini, fenomena terakhir inilah yang dominan sehingga banyak bahasa berada pada posisi terancam.

Beberapa pakar telah mengajukan klasifikasi bahasa berdasarkan derajat keteracambahayaannya. Salah satu di antaranya adalah klasifikasi yang diajukan oleh Wurm (Crystal, 2000) yang mengklasifikasi bahasa sebagai berikut.

1) Bahasa-bahasa berpotensi terancam: kurang menguntungkan secara sosial dan ekonomi, di bawah tekanan berat dari bahasa yang lebih besar, dan mulai kehilangan penutur usia anak

2) Bahasa-bahasa terancam: memiliki hanya sedikit, bahkan tidak memiliki pembelajar usia anak, dan penutur termudanya adalah orang dewasa muda

Page 11: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

132

3) Bahasa-bahasa sangat terancam: penutur yang baik termuda berusia 50 tahun atau lebih

4) Bahasa-bahasa sekarat: memiliki penutur yang baik hanya dalam hitungan jari dan kebanyakan sangat tua

5) Bahasa-bahasa punah atau mati: tidak ada penutur yang tertinggal

Pengklasifikasian di atas terbatas pada klasifikasi ber-dasarkan penutur. Fishman (1991), seperti terlihat pada Bagan berikut ini, selain penutur, juga melibatkan ranah sebagai dasar klasifikasinya.

Degree of Endangerment Grade Speaker PopulationSafe 5 The language is used by all age groups, including children.Unsafe 4 The language is used by some children in alldomains; it is

used by all children in limited domains. D e f i n i t e l y endangered

3 The language is used mostly by the parental generation and upwards.

S e v e r e l y endangered

2 The language is used mostly by the grandparental generation and upwards.

C r i t i c a l l y endangered

1 The language is known to very few speakers, of great-grandparental generation

.Extinct 0 There is no speaker left

Dengan memperhatikan kedua klasifikasi di atas dapat diketahui bahwa faktor penutur sangat menentukan daya hidup dan derajat keterancaman sebuah bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa kajian dialektologi dapat mendukung kajian daya hidup dan derajat keterancaman bahasa. Untuk lebih jelasnya keterkaitan tersebut dapat dilihat pada pembahasan berikut ini.

(1) Dukungan Dialek GeografiPenelitian dialektologi geografi yang menetapkan sejumlah

titik pengamatan sebagai variabel memberikan gambaran tentang sebaran variasi bahasa secara spasial. Penelitian dialektologi sudah bukan masanya lagi hanya menyasar daerah pedesaan sebagai titik pengamatan. Idealnya titik pengamatan dapat mewakili daerah pedesaan, daerah transisi, dan daerah perkotaan.

Melalui penelitian dialektologi dapat diketahui daerah-derah konservatif yang menyimpan bentuk-bentuk relik dan daerah-daerah yang inovatif yang membuka diri terhadap

Page 12: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

133

unsur-unsur baru, baik akibat perkembangan internal bahasa itu sendiri maupun oleh pengaruh eksternal bahasa lain. Jika bahasa tetap terkungkung dalam kekonservatifannya, dalam artian tidak berkembang, maka bahasa itu tidak akan berdaya mewahanai kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan. Ini memberi peluang pada generasi muda untuk meninggalkan bahasanya karena tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan. Sebaliknya jika terlalu inovatif dan terbuka terhadap pengaruh luar, bahasa itu dapat kehilangan keunikan atau jati dirinya sebagai identitas kelompok. Misalnya, pada sebuah bahasa, di daerah pedesaan boleh jadi masih bertahan, tetapi di daerah perkotaan telah terjadi penyusutan penutur usia muda dan kehilangan penutur usia anak.

Dewasa ini di daerah perkotaan bahasa ibu pada kehidupan anak-anak tergeser oleh bahasa nasional, bahkan di kota-kota besar, seperti Jakarta, bahasa Inggris menjadi bahasa pertama anak. Dalam fenomena ini bahasa daerah bukan hanya kehilangan jati diri, tetapi hilang diri dari komunitas tuturnya. Pemetaan keadaan kebahasaan secara spasial dapat memberikan gambaran pada bagian mana bahasa itu bertahan dan pada bagian mana bergeser. Dari informasi ini dapat diketahui dari daerah mana kemungkinan pengaruh yang membahayakan masuk. Juga dapat ditaksir sementara daya hidup dan masa depan bahasa bersangkutan sehingga langkah pembinaan pun dimudahkan. Dikatakan sementara karena pemanfaatan hasil kajian dialektologi geografi ini perlu diperkuat oleh kajian dialektologi sosial.

(2) Dukungan Dialek SosialDari enam variabel sosial utama, yang dikemukakan di

depan, pada kesempatan ini dibahas kaitan tiga variabel status, usia atau generasi, ragam (style). Ketiga variabel ini dianggap paling berpengaruh terhadap penentuan derajat keterancaman bahasa.

(a) Variabel StatusVariabel status dapat dipilah atas kategori atau subvariabel

yang dapat dilihat dari berbagai hal, antara lain pendidikan,

Page 13: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

134

pekerjaan, sosial ekonomi, dan dapat juga dilihat berdasarkan stratifikasi sosial tradisional seperti sistem wangsa yang ada di Bali. Dalam kaitan dengan pendidikan, misalnya, Anton Moeliono menyatakan bahwa penutur bahasa Indonesia yang pendidikannya tinggi umumnya melafalkan fonem-fonem serapan secara tepat, sementara mereka yang pendidikannya rendah umumnya mengadaptasi fonem-fonem tersebut ke dalam fonem bahasa Indonesia atau fonem bahasa daerah yang mereka kuasai. Mereka yang status sosialnya tinggi, yang dari segi pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi lebih tinggi umumnya lebih tinggi kontak sosialnya, baik dengan mereka secara fisik maupun mereka yang terasa dekat karena bantuan teknologi. Dengan demikian pengaruh luar yang masuk pada mereka jalurnya lebih banyak dan lebih kompleks.

Walaupun dari segi kemilikan sebatas kendaraan bermotor, hp, telah dijangkau oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, namun mereka yang statusnya lebih tinggi memiliki hal-hal yang lebih luas aksesnya dan juga memiliki kiat-kiat tertentu untuk menonjolkan diri, yang salah satu medianya adalah bahasa. Mereka sering menjadi agen pembaruan dan mereka pula yang membawa bahasa ke posisi terancam. Contoh sederhana di kampung-kampung, mereka yang statusnya tinggi merasa tidak ada beban anak-anaknya menggunakan sapaan Ibu atau Mama, sementara sejumlah orang yang statusnya lebih rendah merasa tidak layak menggunakan sapaan menggunakan sapaan tersebut.Mereka yang statusnya lebih tinggilah yang cenderung menjadi keluarga multilingual, yang di keluarga digunakan bahasa daerah, bahasa nasional, juga sebagian menggunakan bahasa Inggris.

(b) Variabel Ragam (style)Variabel ragam pada awalnya melahirkan variasi registeral,

namun jika varian yang sama berulang-ulang dalam konteks yang sama, hal itu akan membangun kebiasaan penutur, yang lama kelamaan menjadi permanen. Kepermanenan ini mengubah status variasi registeral menjadi variasi dialektal. Kesadaran dan kespontanan tutur sangat memengaruhi penggunaan bahasa. Hal ini dapat dilihat dari petilan hasil penelitian Dhanawaty dkk.

Page 14: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

135

(2004) berikut ini.

Tabel 2 Variasi Bahasa Berdasarkan Variabel Ragam/style

Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya seorang siswa yang memperoleh nilai sangat baik dan ini terjadi pada ragam membaca daftar kata, ragam yang paling banyak menuntut kesadaran penutur atau daya spontanitasnya rendah. Derajat kespontanan ini juga erat berkaitan dengan ragam dari rentang formal dan informal. Makin formal tuturan, makin rendah spontanitas produksi tuturan sehingga semakin kecil deviasinya dari ragam standar, sebaliknya makin informal makin rendah spontanitas produksi tuturan sehingga semakin besar kecenderungan deviasinya dari ragam standar sehingga lebih longgar terhadap pengaruh luar. Itu sebabnya tuturan ragam formal lebih standar. Karena ragam informal lebih longgar, maka serangan pengaruh luar umumnya masuk dari ragam ini.

Dalam bahasa Indonesia, jika penelitian hanya difokuskan pada penggunaan ragam formal, ada kemungkinan disimpulkan bahwa bahasa Indonesia cukup stabil, tetapi jika dilihat ragam informalnya, apalagi ragam yang digunakan di kalangan genarasi muda, yang mulai masuk ke ranah-ranah akademik, maka tidak mengherankan banyak kalangan yang khawatir, bahkan was-was, akan masa depan bahasa Indonesia. Dalam ragam informal bahasa Bali, misalnya, juga dapat dilihat keterdesakan bahasa Bali. Di Dalamnya banyak ditemukan kalimat-kalimat yang hampir tidak dapat diidentifikasi bahasanya, apakah bahasa Bali atau bahasa Indonesia.

Fonem Ragam

Skor Kurang Sedang Baik sangat baik ≤ ≥ 55--65 66--79 Jml. % Jml. % Jml. % Jml. %

/v/

Pancingan 3 13,04 2 8,70 18 78,26 0 00,00 M

emba

ca Wacana 5 21,74 3 13,04 15 65,22 0 00,00

Kalimat 12 52,17 6 26,09 5 21,74 0 00,00 Daftar Kata 1 4,35 6 26,09 15 65,22 1 4.35

Dikutip dari Dhanawaty, 2004

Page 15: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

136

(c) Variabel UsiaVariasi berdasarkan usia memegang peranan penting dalam

penentuan daya hidup bahasa. Seperti dikatakan Fishman (1991) faktor yang paling umum digunakan melihat daya hidup bahasa adalah apakah bahasa itu ditransmisi dari generasi ke generasi atau tidak? Seperti terlihat pada klasifikasi Wurm di atas gradasi derajat keterancaman dilihat berdasarkan generasi dan/atau usia penutur.

Fenomena kebahasaan di Kampung Dalem Rahayu, Tulang bawang, Lampung, anak-anak Bali baik dengan teman bermain Bali maupun Jawa, di lingkungan rumah sendiri menggunakan bahasa Jawa, dengan ayah dan ibunya juga berbahasa Jawa, dengan kakek dan nenek menggunakan bahasa Bali campur Jawa. Bagi anak-anak kecil yang di keluarganya tidak ada dua generasi di atasnya, kakek atau nenek, kecenderungan berbahasa Jawanya lebih tinggi. Anak muda sesama teman sebaya dari Bali juga berbahasa Jawa, sementera generasi tua dengan teman sebayanya menggunakan bahasa Bali (Malini, 2010; Putrayadnya dkk. (2010). Di Lampung Tengah, misalnya, sejumlah anak muda dalam situasi informal dengan teman sebayanya menggunakan ragam yang berbeda dibandingkan dengan jika dia berbicara dengan generasi di atasnya. Hal ini salah satunya ditandai oleh wujud dan tanmawujudnya fonem /h/ pada posisi awal berikut ini. sementara pada leksem lainnya tidak wujud, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kuantifikasi Variasi Distribusi Fonem /h/ Frekuentif

pada Posisi AwalTB Realisasi (%)

Usia TP [h] [Ø] [kh] [h,Ø] ll ---

t

1 80,00 20,002 20,00 40,00 30,00 10,003 50,00 20,00 10,00 20,006 50,00 30,00 20,00

Page 16: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

137

d

1 90,00 10,002 10,00 80,00 10,003 10,00 40,00 40,00 10,006 10,00 50,00 30,00 10,00

m

1 40,00 30,00 20,00 10,002 80,00 20,003 50,00 40,00 10,006 20,00 60,00 10,00 10,00

Dikutip dari Dhanawaty, 2002

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa fonem /h/ pada posisi awal dalam lek Nusa Penida pada kelompok usia tua di TP 1, 3, 6, dan pada kelompok usia dewasa di TP 1 masih bertahan. Pada kelompok usia tua di TP 2; kelompok usia dewasa di TP 3, 6, dan pada kelompok usia muda di TP 3 terjadi keadaan transisi. Di sini dapat dilihat wujud dan tanmaujudnya /h/ sering terdapat pada kata yang sama sehingga banyak munculnya doublet. Pada kelompok usia muda di TP 6, terjadi penyusutan yang cukup berarti, yang dapat dikategorikan sebagai gejala keterdesakan; keadaan pada kelompok usia muda di TP 2 sudah menunjukkan tidak frekuentifnya fonem /h/ pada posisi awal. yang dapat dikategorikan sebagai keterdesakan (Dhanawaty, 2002). Dari data di atas terlihat bahwa melalui penelitian dialektologi, pergeseran-pergeseran parsial yang minimum pun terditeksi.

Penelitian lain lebih banyak berfokus pada apakah bahasa itu digunakan atau tidak, oleh siapa, pada ranah apa. Boleh jadi seseorang berkata menggunakan bahasa X, namun tuturannya berlimpah dengan unsur bahasa P atau Q. Pada saat berbicara dalam bahasa Indonesia dengan orang yang posisinya lebih tinggi, baik berdasarkan status tradisional maupun modern, penutur bahasa Bali sering menyusupkan kata-kata bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bali, dalam tuturannya dan juga tidak jarang menyusupkan unsur bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal itu dapat dilihat pada petilan tuturan berikut ini.

(1) Ampura ‘maaf’ (BB) Ratu (BB)… titiang ‘saya’ (BB) tidak bisa ikut meeting ‘rapat’ (BIng) ari ini.

Page 17: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

138

Kalimat di atas berbahasa Indonesia, namun hampir sebagian unsurnya menggunakan bahasa lain, dalam hal ini bahasa Bali dan bahasa Inggris. Kalimat di atas hanya salah satu dari contoh senada yang berlimpah. Selain penyusupan unsur leksikal pada kalimat di atas juga terdapat interferensi fonologis, yakni fonem /h/ pada posisi awal lesap. Ini terjadi karena penutur bahasa Bali tidak terbiasa melafalkan /h/ pada posisi awal. Kalimat di atas seyogya “Maaf Pak, saya tidak bisa ikut rapat hari ini.”

Contoh lain dapat dilihat pada kalimat (2) berikut.

(2) Suara u bagus bngt.merdu.pkkna is the best.q leh gak mnta numbr hp u.please.

Dalam kalimat di atas terdapat campur kode, singkatan, bentuk, atau leksikon takbaku. Di sini kata “kamu” diganti dengan bahasa Inggris you, yang secara ortografis ditulis u, yang pelafalannya sama dengan you. Kata “aku” disingkat dalam ragam prokem dilafalkan dengan akyu, kemudian dipendekkan menjadi kyu yang secara ortografis sama dengan pelafalan huruf q.

Jika sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, maka kalimat di atas seyogyanya sebagai berikut.

(2a) Suaramu bagus banget, merdu, pokoknya paling bagus. Aku boleh tidak minta nomor hp-mu. tolong!

Dari beberapa contoh variasi dialektal yang diuraikan di atas dapat diketahui bahwa kendati bahasa Indonesia tetap menjadi pilihan bahasa masyarakat Indonesia, termasuk kelompok usia mudanya, namun variasi dalam berbagai variabel seperti yang digambarkan di atas mengindikasikan adanya gejala keterancam bahasa Indonesia. Jadi, tidak selalu sebuah bahasa terancam karena ditinggalkan oleh penuturnya, tetapi dapat juga terancam karena penuturnyalah yang “menjerumuskannya” lewat peng-gunaannya yang mengacaukan sistem bahasa termaksud sehingga mengalami apa yang oleh Ayatrohaedi (1983) disebut sebagai perkembangan memburuk. Pastika (2008) memandang kekacauan penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini sebagai pidginasasi yang dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia ragam umum.

Page 18: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

139

III. SimpulanIdentifikasi daya hidup dan derajat keterancaman bahasa-

bahasa sangat perlu karena informasi atasnya dapat menjadi pijakan ke arah penyelamatan dan pemertahanan bahasa-bahasa. Hasil penelitian pilihan bahasa boleh jadi menujukkan kebertahanan sebuah bahasa, namun variasi-variasi di dalam penggunaannya dapat menimbulkan keprihatianan. Hasil kajian dialektelogi, utamanya lagi variabel usia amat mendukung penentuan derajat kebertahanan bahasa. Di samping itu, dialektologi juga bermanfaat untuk mengidentifikasi varietas-varietas linguistik yang belum jelas apakah sebuah bahasa atau sub dari bahasa tertentu. Untuk meningkatkan keakuratan penentuan daya hidup derajat kebertahanan/keterancaman bahasa informasi kajian sosiolinguistik juga sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Crystal, David. (2000). Language Death. Grat Britain: Cambridge Unversity Press.

Dhanawaty, Ni Made. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah. Disertasi S3. Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Dhanawaty, Ni Made dan Ni Wayan Arnati. 2004. “Variasi Lafal Serapan pada Sekolah Dasar di Kota Madya Denpasar”. Laporan Hasil Penelitian dengan Dik’s Universitas Udayana.

Fishman, J. A. Reversing Language Shift: Theoretical and Empirical Foundations of As-sistance to Threatened Languages. Clevedon, Multilingual Matters, 1991.

Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2010. “Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi di Provinsi Lampung”. Disertasi S3. Universitas Udayana Denpasar.

Pastika, I Wayan. 2008. Bahasa “Pijin dan Bahasa Kasar dalam Acara TV Indonesia” dalam Jurnal e-Utama Jilid I. Jurnal Elektronik Jabatan Bahasa & Kebudayaan Melayu

Page 19: Nuansa Bahasa Citra Sastra

Nuansa Bahasa Citra Sastra

140

Putrayadnya dkk, Ida Bagus. 2010. “Akomodasi Linguistik dan Sosial Antaretnis Daerah Transmigrasi di Provinsi Lampung: Menuju Pola Penanggulangan Disharmonisasi Sosial”. Laporan Penelitian Stranas.Universitas Udayana Denpasar.

Saussure, F. de. 1989. Pengantar Linguistik Umum (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Languages. 2003. Language Vitality and Endangerment. Document submitted to the International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of Endangered Languages. Paris, 10–12 March 2003

Wolfram, Walt and Raplh W. Fasold. 1974. The Study of Social Dialects in American English. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.