NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

38
NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT ADAT AMARASI DI JEMAAT GMIT PNIEL TEFNENO KORO’OTO (Sebuah Analisis Sosio Teologis) Oleh, Anarki Christian Rihi 712015703 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2019

Transcript of NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

Page 1: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

ADAT AMARASI DI JEMAAT GMIT PNIEL TEFNENO KORO’OTO

(Sebuah Analisis Sosio Teologis)

Oleh,

Anarki Christian Rihi

712015703

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2019

Page 2: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

LEMBAR PENGESAHAI{

Nilai Sosial Budaya Upacara "Subat" Dalam Masyarakat Adat Amtrasi di Jemaat GMITPniel Tefneno Koro'oto ( sebuah analisis sosio teologis)

Oleh

Anarki Christian Rihi

7l20ts7A3

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sain bidangTeologi

S.Si - Teol

, Disetujui oleh

Pemtrimbing III

Diketahui oleh,

m Studi

Disahkan oleh,

Dekan

Ler

Fakultas Teologi

Llniversitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

7819

T

Page 3: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

ffiPERPUSTAKAAN UNIYERSITAS

TINIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANAJl. Diponcgoro 52 - 60 Salatiga 5071 1

Jarva Tengah, hrclortcsia

Tclp. 02911 - 321212, Fax. 0291J l2l-ll3Email: lilrraniir aclrn.uksrv.edu : http://librart.trksrv.cdu

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Anarki Christian fuhi

712015703 Email :[email protected]

Teologi Program Studi : Ilmu Teologi

Nilai Sosial Bndaya Upacara "Subat" Dalam Masyarakat Adat Amarasi di Jetnaat

GMIT Pniel Tefnello Koro'oto (Sebuah Analisis Sosio Teologis)

l. Pclt. Dr. Rama Tulus Pilakoaruru

2. Pdt. Cindy Quafiyamina Koan, MA

NIM

Fakultas

Judul tugas akhir

Pembimbing

Dengan ini menyatakan bahr.va

1-. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belurl pemah cliajukan untr-tk t.ttettdapathatt gelar

kesarjatraan baik di Universitas Kristen Satya Wacana malpllil di institusi pendiclikan laitutl'a.

2. Hasil karya sa.ya ini bukan sacluran/terjemal-ian rnelainkan merupakan sagasan, rlllttltsall. clart hasil

pelaksanaan penelitriiru'inlplcruenta.si saya sencliri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahiilt petrbitttbirt!

akademik dan naLasumber penelitran.

3. Hasil karya saya ini nerupaka,n hasil revisi terakhir setelah dir-rlikan yang tclah cliketahui dan clisetujui oleir

pembinrbiirg.

4. Dalartr kar'1 a sa;a irri ti,llik icrrlapat krryl alau Is11.1x,-.rt -\iur,i tclrh tlirtrlis rrtatt tlrl.l.bliklrsikatt ol'llttg lrilt.

kecuali yang cligtLnakan sebagai acuan dalam naskah clensan llrL-lrvebutkall nanla pengarallg clatl dicatttr,rittkrrt

clalam claltar pustaka.

Pernl,ataan ini saya buat clengan sesunggulnya..\pabila di kemuclian hari ter-bukti acla petr,viultliitg:iit...,r.

ketidakbenaran dalarn pentyataan ini rnaka saya bersedia rlenerirla sanksi akaciemik bcrupa peucabr-lt:,:t J.-ir.i

yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sail;si lait, 1,aug sesuai clengan ketetrtnan -vartu berlrk-u cli

Universitas Klisten Satva Wacana.

Salatiga.

F-LtB-080

Tonda tangan & nana terang mahasiswa

Page 4: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

ffiPERPUSTAKAAN UNIVERSITAS

UNIVERSI'TAS KRISTEN SATYA WACANAJI. Diponegoro 52 - 60 Salatiqa 5071 1

Jat a Tcngah, lndonesia

Tclp. {)298 321212. Fax.0298 121+33

Email : libran (i aclm.uksrv. tcltt ; http : /./ librarv. ttksrv. etlu

PE RNYATAAN PERSETUIUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

NIM

Fakultas

Judr-rl tugas akhir

: Anarki Christian Rihi

: 112015'/03 Email :[email protected]

: Teologi Program Studi : Iimu Teologi

: Nilai Sosial Budaya Upacara ''Subat" Dalam Nlasyarakat Adat An-rarasi di Jen-iaat GMiTPniel Tefneno Koro'oto (Sebuah Analisis Sosio Teologis)

Dengan ini saya menyerahkanhak non-elislilusiJx kepada Perpltstakaan Uuiversitas - Universitas Kristen Satya

Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta nrelakukan penuelolaau tcrhadap karya saya irti clerlgar-r

lnengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagar berik-ut (beri tancla pacla kotak yang sesuai):

M c. Saya mengr.lintrian karya tersebut diunggah ke clalanr aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,

darVatau portal GARUDA

cl. Saya tidak meneijinkan karya tersebut diunggah ke clalar-t-t aplikasr Repositoti Perpustakaatl Utliversitas.

clarvatau portal GAR-TiDA'k *

Dernikiatr pernyataan ir-ri saya buat clettgan sebeltanlya.

Saiatiga,

Christian Rilii

'leildd lQltgQtl (l )rt;)1( tcruttg iltoll(isis)to

\{engetahui,

Dr. Ran-ia Tulr.rs Pilakoamr-r Pdt. Cindy Qr-raltyamina Koan, N{A

2"Y

'i'ttttlo tottgtut cl rartcL lentn-t i. -'trbinhiu.q l

iii

'l'ottrlt ttrtt,gttt cti t)tiitQ lttltltg petnbitnbitg ll

)phv

ttt a ht.s istttrtlort haks0lLt nte nvcru Jt kct n) 0Ilg rto n-e lis I t r si f key, o t I abagi pihok Pengoj ar.saJa. pcne liti.nt asi Jtrit e re kt Itakntentiliki 0t0s tersebtrt.I h i lci'-tl /rr,r' -s,lrrl karyrthasil lia4 o coP):riohtnenguntpttlkanRepcts'i tori PerptLstakaan

tlun d.iketahui

Page 5: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

PERI{YATAAN PERSETUJUAN PUBLIIGSITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

bertanda tangan di bawah:Nama : Anarki Christian RihiN I M :712015703Program Studi : Ilmu TeologiFakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Janis Karya : Tugas Akhir

derni pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk tnetnberikan kepada

UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non erchsive royal4t.fi'ee rigltt) atas kat'ya

ilmiah saya berjudul:

Nilai Sosial Buadaya Upacara o'Subat" Dalam Masyarakat Adat Amarasi diJemaat GMIT Pniel Tefireno Koro'oto (Sebuah Analisis Sosio Teologis)

beserta perangkat 1,ang ada (jika perlu).Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak tneuyimpan,mengalihmedia/rnengalihfbnnatkan, niengeloia clalarn bentuk pangkalan data,

merar\,at, dan mempublikasikan tugas akhir saya. selama tetap ilencalttumkau iiaura

saya sebagai penulis/pencipta.Der-r-iikian pemyataan ini saya buat clengart sebeuarnl,a.

Dibuat di : SalatigaPacla tarrggal : 5 SeProqs;a- TotYYang menyatakan.

Christian Rihi

Mengetahui,

Pembimbing II

Dr. Rama Tulus Pilakoannu Pc1t. Cindy Quartyarnina l(oan. MA

D

Page 6: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

v

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih

karunia dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan

juga penulisan tugas akhir ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Adapun

penulisan tugas akhir ini sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Sain dalam

bidang Teologi (S.Si.Teol).

Penulis menyadari bahwa sepanjang perjalan perkuliahan serta penulisan

tugas akhir ini bukanlah hal yang mudah. Meski demikian dengan hadirnya begitu

banyak pihak yang dipakai Tuhan Yesus secara luar biasa menjadi pendorong dan

sumber motivasi bagi penulis untuk terus berproses sampai pada titik akir ini.

Oleh karena itu, dengan kerendahan hati dan ketuluasan penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Bapa Piter A. Rihi dan Mama Maria M Lino yang

dengan sabar dan penuh kasih mendoakan dan memberikan motivasi bagi

penulis.

2. Istri tercinta Martha Rihi dan kedua buah hati kami, Eriel Rihi dan Samuel

Rihi yang menjadi sumber semangat dalam segala kondisi penulis.

3. Saudari terkasih Tika, Keren, Mbak kiky yang terus mendoakan penulis.

4. Mertua terkasih Mama Veronika yang terus mendoakan penulis.

5. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu dan Pdt. Cindy Quartyamina Koan. MA yang

telah membimbing, mendampingi, serta mengarahkan penulis.

6. K’Iren Ludji, Ibu Retnowati dan K’Izak Lattu, serta seluruh dosen Fakultas

Teologi UKSW yang telah menjadi guru, panutan dan orang tua bagi penulis

selama menjalani masa masa perkuliahan.

7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa yang angkatan 2009 dan 2015 yang telah

bersedia bekerja sama serta menjadi rekan seperjuangan penulis.

8. Seluruh masyarakat desa Nekmese, khususnya warga jemaat Pniel Tefneno

Koro’oto yang membuka diri menjadi tempat penulis melakukan penelitian.

9. Bapa Roni Bani dan keluarga besar yang banyak memberikan ide dan gagasan

mengenai penulisan ini.

Page 7: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

vi

10. Keluarga besar Rihi, Lino, Winata, dan semua yang terkait didalamnya.

11. Sahabat sahabat terbaik Lilly, Prilly, Melky, Teo, Paul, Deddy, Icko, Elton,

serta semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang silih berganti hadir

memberikan motivasi bagi penulis.

Kirianya tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan mampu

menjadi inspirasi bagi kita bersama untuk terus menjaga budaya kita sebagai

sebuah identitas dan jati diri bangsa. Uis Neno Nokan Kit

Salatiga,

Penulis

Page 8: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

vii

ABSTRAK

Ritual kematian dipandang sebagai sebuah proses penting dalam

kehidupan manusia khususnya dalam masyarakat adat Amarasi di GMIT Pniel

Tefneno Koro’oto Amarasi Selatan. Subat merupakan sebutan bagi upacara

kematian yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Amarasi khususnya Jemaat

GMIT Pnie Tefneno Koro’oto. Subat masih terus dilaksankan sampai dengan saat

ini, meski tidak terlepas dari benturan budaya dan proses akulturasi yang

membawa ritual ini semakin mengalami pergeseran makna menuju kehilangan

kemurniannya.

Tulisan ini bertujuan untuk menggali serta mengangkat kembali nilai-nilai

sosial budaya yang terkandung didalam upacara subat yang sudah mulai

kehilangan kemurniannya. Penelitian ini membuktikan bahwa subat memiliki

nilai-nilai sosial budaya yang penting dalam hal merawat serta menjaga pola

kehidupan bermasyarakat bagi masyarakat adat Amarasi. Nilai gotong royong dan

penghargaan menjadi dua dasar penting dalam pelaksanaan upacara ini. Bagi

masyarakat adat Amarasi kematian bukan hanya berkaitan dengan masalah sosial

melainkan masalah keparcayaan akan adanya kehidupan setelah kematian dengan

status sosial yang baru. Walupun upacara ini dipandang sebagai sebuah upacara

produk kebudayaan namun peranan pemerintah dan gereja menjadi hal yang tidak

dapat dipisahkan dari upacara ini. Gereja sebagai pranata sosial serta pemerintah

sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat memiliki peranan penting untuk

memposisikan diri dalam hal melestarikan dan melindungi upacara ini dari

pergeseran makna yang membawa subat menuju pada kehilangan kemurniannya.

Dengan demikian subat bukan hanya dipandang sebagai sebuah perilaku budaya

tanpa makna melainkan subat menjadi prinsip hidup masyarakat adat Amarasi

dalam menjaga relasi mereka dengan sesama.

Kata kunci : Kebudayaan, Nilai Sosial Budaya, Subat.

Page 9: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

viii

Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ............................................................................... ii

PERSETUJUAN AKSES ................................................................................................ iii

PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v

ABSTRAK ....................................................................................................................... vii

DAFTAR ISI................................................................................................................... viii

PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1

METODE PENELITIAN ...................................................................................... 5

LANDASAN TEORI ........................................................................................................ 6

TRADISI SUBAT MASYARAKAT ADAT AMARASI .............................................. 14

ANALISIS NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA SUBAT ....................................... 21

KESIMPULAN ............................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 28

WAWANCARA .............................................................................................................. 29

SUMBER LAIN .............................................................................................................. 29

Page 10: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

1

Nilai Sosial Budaya Upacara “Subat” Dalam Masyarakat Adat Amarasi Di

Jemaat GMIT Pniel Tefneno Koro’oto

(Sebuah Analisis Sosio Teologis)

Anarki Christian Rihi

712015703

Pembimbing:

Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu

Pdt. Cindy Quartyamina Koan, MA

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kehidupan dan kematian merupakan siklus hidup manusia yang tidak pernah

luput dan terlepas dari tubuh jasmani manusia. Sebagai makhluk hidup manusia

memilki masa dimana ia harus menanggalkan tubuh jasmaninya dan kembali

kepada Sang Pencipta, dalam hal ini sering disebut sebagai kematian/ meninggal.

Proses yang dilakukan sebagai perwujudan dari penghargaan kepada mereka yang

sudah meninggal adalah upacara pemakaman.

Upacara pemakaman, dalam berbagai golongan agama dan masyarakat adat

dipandang sebagai sebuah tahap penting dalam kehidupan makhluk hidup itu

sendiri. Di seluruh Indonesia sejak zaman purbakala sampai pada masa sekarang

ini upacara sekitar kematian dan adat mengantar jenazah sangat diutamakan.

Meskipun patut diakui bahwa pemaknaan akan upacara-upacara ini semakin

bergeser ke arah yang lebih moderen seiring dengan perkembangan waktu serta

benturan-benturan kebudayaan yang terjadi saat ini. Bakker, juga mengatakan

bahwa upacara kematian, menjadi salah satu proses penting dalam mensyucikan

jenjang peralihan hidup, dimana manusia disatukan dengan alam atas menjadi

mendiang, kemudian menjadi satu dengan Sang Pencipta.1

Masyarakat adat Amarasi juga memiliki kepercayaan bahwa orang yang telah

meninggal dunia rohnya tidaklah mati (in asmanan, smanaf), ia tetap hidup

melainkan hidup di luar tubuhnya yang sudah mati.2 Bagi masyarakat Amarasi

1 J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Yogyakarta: Pradnyawidya,1976), 152. 2 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017

Page 11: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

2

pada umumnya seorang yang telah meninggal atau mati, sesunguhnya masih ada di

sekitar lingkungan mereka dalam wujud roh. Ia masih menanti saat yang tepat

dimana ia dipanggil pulang oleh Sang Penciptanya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan yang terjadi baik dalam

masyarakat maupun ilmu pengetahuan serta teknologi. Membawa pengaruh yang

cukup kuat dalam keberlangsungan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah

upacara pemakaman atau upacara subat. Pengaruh ini baik secara sengaja ataupun

tidak menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan tindakan budaya terhadap

upacara subat secara parsial. Hal ini menyebabkan terjadinya ambivalensi pada

generasi yang mengikuti perkembangan upacara subat itu sendiri. Ambivalensi ini

terjadi pada pemaknaan secara sosiologis, antropologis, serta teologis, khususnya

pada penganut penganut agama Abrahamik.

Pergeseran dalam tindakan budaya ini pada akhirnya menyebabkan adanya

perubahan sikap pada orang-orang yang berada di sekitar peristiwa kematian itu

sendiri. Jika dipandang dari perpektif sikap maka dapat digolongkan menjadi tiga

golongan orang yang terlibat dalam tindakan budaya ini. Golongan pertama dapat

dilihat sebagai golongan yang berusaha mempertahankan subat dalam keasliannya.

Golongan yang kedua adalah mereka yang mengkolaborasikan budaya subat

dengan modernisasi, dan golongan yang ketiga adalah golongan yang sudah

menutup diri terhadap kebudayaan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang kuno

dan tidak mencerminkan keimanan mereka.

Alo Liliweri mengutip pandangan Herbig mendefinisikan kebudayaan

sebagai keseluruhan dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang diharapkan,

keyakinan, nilai-nilai, bahasa dan praktek hidup bersama oleh anggota masyarakat.3

Kebudayaan diharapkan dapat menjadikan manusia yang dipandang sebagai orang

menjadi manusia yang dipandang sebagai pribadi. Kedudukan manusia dalam

kebudayaan adalah sentral.

Nilai merupakan ide tentang apa yang baik, benar, dan adil. Sebagai salah

satu unsur utama dalam pembentukan orientasi budaya nilai melibatkan konsep

budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil

atau tidak adil, berharga atau tidak berharga, cocok atau tidak cocok, dan baik atau

3 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, (Bandung: Nusa Media, 2014) ,11.

Page 12: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

3

kejam.4 Nilai tidak selalu dapat menggambarkan perilaku secara nyata dalam

praktek budaya, namun demikian nilai selalu dapat menjelaskan tujuan dari praktek

kebudayaan tersebut. Hal ini sangat berkaitan erat dengan fungsi nilai sebagai dasar

dan tolak ukur dari keputusan etis dalam budaya serta perilaku budaya itu sendiri.

Nilai-nilai yang diciptakan manusia inilah yang menjadi cikal bakal dari

sebuah kebudayaan. Dalam hal ini nilai diidentifikasikan dan diperkembangkan

hingga sempurna. Nilai-nilai budaya terbentuk berdasarkan beberapa sumber,

antara lain; adaptasi dengan lingkungan, faktor-faktor sejarah, evolusi sosial

ekonomi, kontak dengan budaya lain, pesan-pesan dalam keluarga, cerita rakyat,

pemberian hukum dan ganjaran, pendidikan formal dan agama, serta lahir dari

kelompok itu sendiri.5 Selain beberapa hal faktor di atas nilai juga dapat terbentuk

karena stimuli kebudayaan dari luar yang mencapai kesadaran kita, serta penilaian

kita terhadap orang, obyek dan peristiwa yang ada disekeliling kita.6 Juan Carlos

dan Jimenez membagi nilai dalam beberapa tipe, yaitu; nilai pribadi, nilai keluarga,

nilai sosial budaya, nilai material, nilai spiritual, dan nilai moral.7

Sebagai salah satu tipe nilai dari tipe-tipe nilai menurut Juan Carlos dan

Jimenez nilai sosial dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat. Nilai sosial merupakan rangkaian nilai-nilai yang diwariskan secara

turun temurun dengan mempertimbangkan situasi yang terjadi dalam masyarakat.8

Oleh karena itu nilai sosial selalu mengalami perubahan namun tidak

menanggalkan inti dari nilai itu sendiri. Nilai sosial merupakan inti dari komunikasi

antar personal.

Obyek utama yang mendapat nilai sosial meliputi orang-orang, barang,

ideologi atau pendangan hidup maupun berupa ilmu pengetahuan dan kebudayaan

serta semua cabangnya.9 Dengan demikian ritual memperlakukan orang mati yang

merupakan bagian dari sebuah kebudayaan juga tidak terlepas dari pengaruh nilai

sosial. Alat ukur yang dipakai dalam masyarakat untuk menetukan nilai sosial ialah

4 Liliweri, Pengantar Studi, 55. 5 Liliweri, Pengantar Studi, 56. 6 Liliweri, Pengantar Studi, 56. 7 Liliweri, Pengantar Studi, 57. 8 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 45. 9 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 204.

Page 13: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

4

“daya guna fungsional” yang dirasakan secara nyata dalam masyarakat.10 Nilai

hanya akan dikatakan bernilai jika dirasakan memiliki nilai lebih dalam masyarakat.

Alat ukur ini tidaklah terpelepas dari beberapa tolak ukur dari nilai itu sendiri. Tolak

ukur yang stabil hanya akan tercapai dengan beberapa syarat, yaitu:11 Pertama,

penghargaan harus diberikan oleh masyarakat, dan disetujui oleh sebagian besar

angota masyarakat. Kedua, tolak ukur harus diterima sungguh-sungguh oleh

masyarakat.

Salah satu perwujudan dari nilai sosial ialah kebiasaan (folkways). Kebiasaan

mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara. Kebiasaan diartikan

sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti

bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.12 Dalam hal ini kebiasan-

kebiasaan dalam upacara subat ini sudah mengikat dan menjadi adat atau tradisi

turun-temurun yang sudah lama berlaku pada masyarakat.

Tradisi turun-temurun ini merupakan sebuah tindakan sosial serta

kebudayaan yang terus menerus dilaksanakan dalam suatu masyarakat. Parsons

dalam konsep tindakan yang dikembangkannya, ia berpendapat bahwa konsep

tindakan sebagai sesuatu yang mendasar. Unit tindakan merupakan sesuatu yang

dasariah bagi sistem sosial seperti partikel dalam mekanika klasik, sebuah tindakan

adalah sepenggal tingkah laku yang bisa kita lukiskan dalam arti cara memperoleh

tujuan atau maksud tertentu yang dipilih.13

Berdasarkan latar belakang singkat merujuk pada adanya berbagai pandangan

nilai yang berbeda pada pelaksanaan upacara subat. Hal ini merujuk pada proses

dimana upacara ini mulai kehilangan keaslian nilainya seiring dengan berjalannya

waktu. Kolaborasi budaya dengan modernisasi adalah tuntutan jaman yang tidak

bisa dihindarkan. Oleh karena benturan kebudayan serta akulturasi budaya

menjadikan nilai sebuah kebudayaan mulai mengalami pergeseran yang menuju

pada kehilangan kemurniannya. Oleh karena itu dengan tulisan ini penulis

mengangkat sebuah judul Nilai Sosial Budaya Dalam Upacara “Subat”

10 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 204. 11 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 206-207. 12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu pengatar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 175. 13 Tom Cambel, Tujuh Teori Sosial ”Sketsa, Penilaiam, Perbandingan”. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 223.

Page 14: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

5

Masyarakat Adat Amarasi di jemaat Pniel Tefneno Koro’oto. Dengan rumusan

masalah sebagai berikut: Bagaimana pemahaman tentang nilai sosial budaya

upacara subat dalam jemaat GMIT Pniel Tefneno Koro’oto Klasis Amarasi Timur?

Adapaun tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi nilai sosial budaya upacara

subat dalam ruang lingkup Jemaat GMIT Pniel Tefneno Koro’oto Klasis Amarasi

Timur. Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini antara lain, secara teoritis

penelitian ini dapat bermanfaat bagi Fakultas Teologi yakni dapat menambah

pengetahuan serta mengembangkan wawasan mengenai nilai dari praktek-praktek

kebudayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Amarasi

khususnya dalam hal praktek upacara memperlakukan orang yang sudah

meninggal. Secara praktis penelitian ini dapat memberi pemahaman kepada

masyarakat dan gereja yang ada di Amarasi tentang nilai dari upacara-upacara adat

milik masyarakat adat Amarasi, khususnya upacara subat.

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Penelitian ini memberi pemahaman yang lebih baik dalam proses, pola makna, dan

ciri struktural dalam masyarakat yang dapat dikaji secara mendalam.14 Jenis

penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Jenis ini dipandang sesuai dalam

penelitian ini karena memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada,

khususnya pada saat penelitian yang bersifat aktual, serta menggambarkan fakta-

fakta tentang masalah-masalah yang diteliti.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini mengunakan teknik

wawancara dan teknik dokumentasi. Menurut Esterberg dalam Sugiyono,

wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide

melalui tanya jawab, sehingga dapat direkontruksikan makna dalam suatu topik

tertentu.15 Jenis wawancara yang dipakai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

wawancara semi-struktural (semi-structured/interview). Wawancara semi-

struktural dipakai karena bagi penulis jenis wawancara ini sangat fleksibel untuk

14 Uwe Flick, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke, "What Is Qualitative Research? An Introduction to the Field," in A Companion to Qualitative Research (London: SAGE Publications Ltd, 2004), 3. 15 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 231.

Page 15: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

6

membicarakan, mengembangkan sebuah tema tertentu karena dapat dikembangkan

sesuai dengan statement atau perkataan-perkataan orang yang diwawancarai.

Untuk memperlengkapi hasil dari wawancara yang dilakukan maka penulis

juga mengunakan teknik dokumentasi. Menurut Sugiyono dokumen merupakan

catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau

karya-karya monumental dari seorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari

penggunaan wawancara dalam penelitian kualitatif.16

Teknik pengambilan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah

snowball. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dari sumber data,

yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-kelamaan menjadi besar. Hal ini

dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu

memberikan hasil yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat

digunakan sebagai sumber data.17

Lokasi dalam penelitian ini adalah Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto di Desa

Nekmese Kecamatan Amarasi Selatan Kabupaten Kupang. Jemaat ini dipilih

karena praktek ritual subat yang berlangsung di desa ini masih sering dilaksanakan

setiap kali terjadinya peristiwa kematian yang dialami oleh anggota jemaat atupun

keluarga yang terkait.

LANDASAN TEORI

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan dengan kata dasar budaya yang

berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang

berarti “budi” atau “akal”.18 Koentjaraningrat menerangkan lebih lanjut budaya

sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Cipta dalam hal ini

dipahami sebagai kerinduan manusia untuk mengetahui segala hal yang ada dalam

pengalamannya. Karsa merupakan kerinduan manusia untuk menyadari dari mana

asalnya dan kemana tujuan hidupnya, sedangkan rasa merupakan kerinduan

manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati

keindahan. Dengan demikian menurut Koentjaraningrat kebudayaan atau budaya

16 Sugiyono, Metode Penelitian, 240. 17 Sugiyono, Metode Penelitian, 219. 18 Keontjaranigrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000). 181.

Page 16: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

7

merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

Koentjaraningrat membedakan kebudayaan dalam tiga wujud: (1) Wujud

kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan

dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta

tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. (3) Wujud kebudayaan

sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan tiga wujud kebudayaan ini

dapat dipahami bahwa kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang jadikan

sebagai sebuah gagasan atau pandangan dalam sebuah masyarakat.

Definisi menurut Koentjaraningrat ini menghantar kita pada pemahaman

bahwa kebudayaan merupakan salah satu hasil ciptaan manusia yang diyakini dan

dilaksanakan oleh manusia dalam sebuah masyarakat. Definisi dari

Koentjaraningrat ini belum cukup kuat untuk menjelaskan mengenai kebudayaan

yang dilaksanakan dalam masyarakat. Koentjaraningrat dalam penjelasannya

memfokuskan kebudayaan sebagai produk manusia yang dilaksanakan dan dihayati

oleh manusia itu sendiri.

Untuk mengkaji definisi kebudayaan lebih luas dalam kerangka masyarakat

maka penulis merasa perlu melihat pandangan dari Liliweri mengenai kebudayaan.

Menurut Liliweri kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang

dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima

tanpa sadar serta diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke

generasi berikutnya.19 Mengutip pendapat Taylor, Liliweri menjelaskan lebih jauh

bahwa definisi kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum

yang disebut sebagai adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum estetika, rekreasional, dan kemampuan-

kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai bagian

dari masyarakat.20 Dapat disederhanakan bahwa, kebudayaan mencakup semua

yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat itu

sendiri. Liliweri dalam bukunya yang berbeda juga mengutip pandangan Herbig

dalam mendefinisikan kebudayaan. Kebudayaan menurutnya sebagai keseluruhan

19 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2002), 8. 20 Liliweri, Makna Budaya, 62.

Page 17: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

8

dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang diharapkan, keyakinan, nilai-nilai,

bahasa dan praktek hidup bersama oleh anggota masyarakat.21

Kedua padangan di atas dengan cukup jelas menjelaskan mengenai definisi

kebudayan dalam dua ranah yang berbeda. Koentjaraningrat dengan jelas

menghantar kita pada definisi kebudayaan sebagai sebuah produk manusia yang

dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan Liliweri menghantar kita pada pemahaman

bahwa kebudayaan lahir karena kesepakatan-kesepakatan bersama dalam

masyarakat berdasarkan pandangan hidup anggota masyarakat.

Dari kedua pemahaman di atas kita diantar pada sebuah pemahaman bahwa

kebudayaan lahir dari cipta karsa dan rasa manusia yang dipelajari bersama dalam

masyarakat serta merupakan kesepakatan bersama oleh masyarakat itu sendiri.

Dalam hal ini nilai sosial menjadi salah satu landasan lahirnya sebuah kebudayaan

dalam masyarakat. Nilai sosial juga menjadi tolak ukur untuk menilai sebuah

kebudayaan itu layak untuk dipertahankan ataukah ditinggalkan.

Nilai merupakan esensi yang melekat pada segala sesuatu yang dirasa

memiliki arti dan makna bagi kehidupan manusia. Khususnya dalam mengukur dan

menilai baik atau buruknya perilaku masyarakat. Nilai bersifat abstrak dan ideal.

Sebagai yang abstrak dan ideal nilai memiliki peranan yang penting serta berguna

dalam kehidupan kemanusiaan.

Rokeach mendefinisikan nilai sebagai salah satu unsur pembentukan orientasi

budaya. Nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik

atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor,

berharga atau tidak berharga, cocok atau tidak, dan baik atau kejam.22 Nilai

dipandang sebagai salah satu tolak ukur untuk menjelaskan alasan sebuah

kebudayaan dilaksanakan.

Definisi di atas merujuk pada pedoman umum perilaku manusia, sehingga

nilai memiliki peranan yang penting dalam hal membimbing perilaku manusia

menuju ke arah yang lebih baik dalam berbagai cara, termasuk dalam praktek

kebudayaan. Salah satu wujud nilai dalam kebudayaan adalah nilai sosial budaya.

21 Liliweri, Pengantar Studi, 11. 22 Liliweri, Pengantar Studi, 55.

Page 18: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

9

Elizabeth K. Nothingham mendefinisikan nilai sosial sebagai nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat. Nilai sosial merupakan rangkaian nilai-nilai yang

diwariskan secara turun temurun dengan mempertimbangkan situasi yang terjadi

dalam masyarakat.23 Nilai sosial merupakan nilai yang dilahirkan dalam masya-

rakat dengan melihat pada konteks-konteks masyarakat yang terjadi pada saat nilai

itu dibentuk.

Hendropuspito menjelaskan bahwa nilai sosial tidak sekedar merupakan

perkara subyektif, yang bergantung pada penilaian seseorang atau individu. Nilai

sosial merupakan fakta sosial yang nyata dan dapat dipelajari secara analitis-ilmiah.

Hendropuspito mendeskripsikan nilai sosial sebagai penghargaan yang diberikan

masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional

bagi perkembangan hidup bersama.24 Dalam hal ini nilai sosial didefinisikan secara

sosiologis atas data-data yang ditemukan dalam masyarakat. Data-data ini diangkat

berdasarkan pengalaman masa lampau maupun masa sekarang.

Nilai sosial budaya menurut Liliweri adalah nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat pada umumnya. Nilai dapat berubah seiring berjalannya waktu,

sehingga seringkali nilai-nilai tersebut bisa sesuai atau tidak sesuai, atau bahkan

saling bertentangan dengan nilai pribadi atau nilai yang sudah diajarkan keluarga

secara turun-temurun.25 Nilai sosial budaya sebagai nilai yang berlaku dalam

masyarakat seharusnya merupakan nilai yang dilahirkan dengan kesepakatan

bersama dalam masyarakat tanpa merugikan salah satu pihak atau yang lainnya.

Oleh karena itu nilai sosial budaya merupakan nilai yang bersifat fleksibel dalam

masyarakat seturut dengan perkembangan masyarakat.

Nilai sosial budaya merupakan nilai yang dilahirkan dari daya guna

fungsional yang diakui serta disepakati oleh masyarakat. Sumber utama nilai sosial

terletak dalam masyarakat itu sendiri, sejauh masyarakat mengetahui dan

mengalami manfaat dari orang atau barang tersebut.26 Dengan kata lain sumber

utama nilai sosial budaya disebut sebagai sumber ekstrinsik.

23 Nottingham, Agama dan, 45. 24 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 203. 25 Liliweri, Pengantar Studi, 70. 26 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 208.

Page 19: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

10

Selain sumber ekstrinsik nilai sosial budaya juga dilahirkan melalui faktor

intrinsik. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan masyarakat dalam menunju-

kan daya guna fungsionalnya di tengah masyarakat. Faktor intrinsik dalam hal ini

adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri.27 Manusia merupakan makhluk

sosial yang bernilai lebih tinggi dari makhluk lainnya. Hal ini dikarenakan manusia

adalah makhluk yang berpribadi. Sebagai makhluk yang berpribadi manusia

memiliki perasaan, pengetahuan, dan dorongan naluri atau unsur unsur bawaan

yang dimilikinya tanpa ada pengetahuan terlebih dahulu. Oleh karena itu meski

manusia tidak memiliki daya guna fungsional keberadaan manusia harus dihormati

sebagai makluk yang berpribadi. Bertolak dari pandangan manusia sebagai tolak

ukur intrinsik maka kita mampu menerangkan nilai sosial budaya dari hal-hal lain

diluar dari manusia, seperti benda-benda kuno. Benda-benda kuno yang dipandang

memiliki nilai sosial budaya yang tinggi tidak terlepas dari nilai manusia yang

melekat pada benda itu. Oleh karena itu manusia menjadi titik pusat dari nilai sosial

budaya.

Faktor lain yang melahirkan nilai sosial budaya adalah perwujudan dari nilai

batin yang dimiliki oleh setiap individu. Nilai batin seperti kebenaran, kebijaksan-

aan dan keindahan dikelola manusia dalam wujud nyata yaitu dalam tata kehidup-

an bermasyarakat. Bakker menjelaskan bahwa wujud imanen dari nilai-nilai batin

diobjektifikasikan, dilaksanakan secara nyata dalam tata lahiriah.28 Nilai-nilai batin

inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya nilai sosial budaya, apabila nilai-nilai batin

ini dapat diterima dalam masyarakat secara menyeluruh dan tidak bertentangan

dengan norma dan etika yang ada dalam masyarakat.

Berbicara tentang jenis-jenis nilai sosial, maka tidak terlepas dari usaha

mengklasifikasikan nilai-nilai sosial. Usaha mengklasifikasikan nilai sosial tidak

terlepas dengan melihat ciri-ciri nilai sosial berdasarkan sudut pandang pengamat.

Oleh karena itu usaha mengklasifikasi nilai sosial memerlukan sebuah konfigurasi

dalam beberapa kelas, yang bergantung pada sudut pandang yang diambil.

Beberapa klasifikasi nilai sosial menurut beberapa sudut pandang pengamat,

27 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 208. 28 J.W.M Bakker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Yogyakarta; Kanisius, 2005), 24.

Page 20: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

11

yaitu:29 (1) klasifikasi menurut tempat, (2) klasifikasi menurut bobot etis, dan (3)

klasifikasi menurut bobot solidaritas, (4) klasifikasi menurut sifat keporosannya.

Salah satu klasifikasi nilai menurut sudut pandang di atas ialah, klasifikasi

menurut bobot solidaritas. Nilai sosial ini merupakan nilai yang mempersatukan

(asosiatif).30 Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu dengan berbagai

nilai-nilai yang dianautnya membutuhkan nilai yang bersifat asosiatif agar

meleburkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam nilai-nilai yang dianutnya. Butir-

butir dari nilai asosiatif ini adalah persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan, dan

kegotongroyongan. Sebagai nilai yang bersifat mempersatukan maka sangat perlu

untuk mengadakan pembinaan nilai-nilai lain yang mendukung nilai ini.

Perwujudan dari pembinaan terhadap nilai ini terletak pada penerapan nilai

yang rasional dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai pelaku atau penganut

nilai tersebut. Weber manjelaskan bahwa rasional kalkulatif muncul hanya dalam

pilihan atas sarana-sarana yang paling efektif untuk tujuan-tujuan yang dinilai, dan

secara khas nilai-nilai menentukan pilihan sarana-sarana dan juga tujuan, sehingga

sebuah tujuan yang secara moral baik mesti dicapai hanya dengan sebuah sarana

yang secara moral baik.31 Sebuah nilai sosial yang asosiatif haruslah merupakan

rangkaian nilai yang dipandang rasional dalam masyarakat. Agar menjadi nilai yang

rasional maka nilai-nilai ini harus mampu diterima oleh masyarakat sesuai dengan

standar moral yang dipandang baik oleh masyarakat itu sendiri.

Nilai sosial merupakan nilai yang dianut bersama dalam masyarakat sehingga

cara berpikir serta bertindak anggota masyarakat diarahkan oleh nilai-nilai sosial.

Sebagai nilai yang mengarahkan tentunya nilai sosial harus merupakan nilai-nilai

yang disepakati secara bersama oleh masyarakat, berdasarkan kebiasaan,

kepercayaan, serta simbol-simbol dengan karakteristik tertentu sebagai acuan

perilaku dan tanggapan atas apa yang sedang terjadi dan akan terjadi. Salah satu

wujud dari perilaku kebudayaan yang dianut oleh masyarakat serta merupakan

kesepakatan bersama berdasarkan kebiasaan, kepercayaan, serta simbol-simbol

ialah upacara kematian.

29 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 210. 30 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 212. 31 Campbell, Tujuh teori, 208-209.

Page 21: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

12

Hertz mendefinisikan upacara kematian adalah upacara yang dilaksanakan

manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang

berwujud gagasan kolektif.32 Upacara kematian mengandung nilai-nilai budaya

yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan dan bekal bagi kehidupan

dikemudian hari. Upacara kematian menjadi masalah sosial karena bukan hanya

melibatkan anggota keluarga melainkan juga masyarakat sekitar. Baik itu

masyarakat adat, bahkan gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Oleh

karena jika terjadi kematian maka partisipasi masyarakat dan lembaga keagamaan

menjadi tidak terpisahkan.

Biasanya dalam upacara kematian terdapat 3 tahapan menurut Hertz yang

dilakukan oleh sebagian besar suku bangsa di Indonesia, yaitu: sepulture provisoire

atau pemakaman sementara dimana jenazah dimakamkan dalam dalam liang kubur

sambil menanti roh orang mati pergi menuju dunia nenek moyang. Periode

intermediaire atau waktu tertentu dimana keluarga harus mentaati beberapa

pantangan yang tidak boleh dilakukan serta menjaga roh orang mati dalam waktu

tertentu, dalam hal ini roh belum dilepaskan dari kedudukan sosialnya. Tahapan

yang terakhir adalah ceremonie finale yaitu upacara untuk mengantar peralihan

dunia menuju dunia nenek moyang. Tiga tahapan menurut Hertz ini merujuk pada

sebuah upacara yang memiliki nilai religius, gotong royong, serta kemanusiaan.

Berkaitan dengan kematian, Bakker mendefinisikan upacara kematian

sebagai salah satu proses penting dalam mensucikan jenjang peralihan hidup,

dimana manusia disatukan dengan alam atas menjadi mendiang, kemudian menjadi

satu dengan Sang Pencipta.33 Upacara kematian memerlukan perlakuan khusus baik

secara budaya untuk menghargai proses peralihan ini. Perlakuan khusus ini dapat

berupa rangkaian upacara yang dilaksanakan dengan penuh penghayatan akan

makna dan nilai dari upacara tersebut.

Victor Turner mengartikan upacara tidak hanya sebagai tingkah laku resmi

tertentu untuk sejumlah kesempatan yang tidak bersifat rutin, melainkan ada

kaitannya dengan berbagai kepercayaan akan makhluk atau kekuatan-kekuatan

32 Koenjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press,1982), 71. 33 Bakker, Agama Asli, 152.

Page 22: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

13

mistik.34 Merujuk pada fungsi upacara maka dapat disadari bahwa upacara

merupakan sistem makna yang ditampilkan melalui manipulasi dan penetapan

obyek-obyek simbolik. Turner menekankan pada makna obyek-obyek upacara

yang lebih bersifat religius.

Berbeda dengan Turner, Edmun R. Leach mendefinisikan upacara tanpa

membedakan antara yang suci dan yang sekuler. Upacara yang sekuler adalah

upacara yang dipisahkan dari nilai-nilai kerohanian. Leach mengatakan apa yang

diucapkan dan dilakukan pada suatu upacara itu menyatu dalam suatu pengertian,

asalkan si pelaku menjalankan definisi mana yang diikutinya.35 Upacara memang

sering dipraktekan dalam konteks yang religius, karena pelaksanaan upacara selalu

berkaitan dengan berbagai kepercayaan. Meskipun demikian tidak semua upacara

harus berlandaskan pada alasan religius, perlu juga melihat rujukan nasional, etnik,

atau referensi lainnya. Hal ini disebabkan karena fungsi upacara merupakan sistem

makna yang ditampilkan oleh dan untuk para pelaku melalui manipulasi-manipulasi

simbolik. Pandangan upacara dalam hal ini mengacu pada pandangan Leach

sebagai dua golongan upacara yang sekuler dan suci. Upacara yang sekuler dan suci

hanya merupakan tipe-tipe ideal dari sebuah upacara, yang semestinya diperhatikan

unsur-usur utama yang mendasari kedua tipe upacara tersebut.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka usaha untuk menghubungkan diri dari

obyek-obyek yang dianggap sakral serta mempengaruhi dan menentukan masa

depan disebut sebagai upacara. Upacara juga menjadi upaya untuk membuktikan

sebuah keyakinan yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sedangkan kematian

dipandang sebagai proses penting dalam masyarakat karena merupakan tahapan

peralihan dari alam manusiawinya menuju Sang Pencipta.

Sebagai sebuah kebudayaan maka upacara kematian yang dianggap sakral

dan penting tentunya tidak terlepas dari hasil karya manusia yang dipelajari dalam

masyarakat. Sebagai alat tolak ukur dalam meninjau perilaku masyarakat terkait

usaha mempelajari makna sebuah upacara kematian maka diperlukan adanya nilai

sosial yang fleksibel, memiliki daya guna fungsional, serta mampu diterima oleh

34 Victor Turner, The Forest Of Symbols, (Ithaca, 1967) 19, dikutip oleh David Hicks, Roh orang Tetun di Timor-Timor (Jakarta: PT Sinar Harapan,1985), 42. 35 Edmund R Leach, “Ritualization in Man in Relation to Conceptual and Social Development”, (New York: Harper Collins Publishers, 1979). 232-233.

Page 23: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

14

seluruh anggota masyarakat. Nilai sosial budaya yang asosiatif menjadi acuan

penting dalam melihat nilai-nilai yang ada dalam sebuah upacara kematian. Ini

berkaitan erat dengan pelaksanaan upacara kematian yang diselangarakan dalam

rangka adat istiadat dan struktur sosial yang ada di tengah masyarakat. Dengan

demikian penghargaan akan makna dan nilai sebuah upacara kematian akan

berdampak pada penghayatan terhadap upacara kematian itu sendiri.

TRADISI SUBAT MASYARAKAT ADAT AMARASI

Jemaat Peniel Tefneno Koro’oto adalah salah satu jemaat anggota Gereja

Masehi Injili di Timor (GMIT), yang terletak di desa Nekmese, kecamatan Amarasi

Selatan, kabupaten Kupang. Secara administratif wilayah pelayanan jemaat ini

berada di wilayah pemerintah kabupaten Kupang. Tepatnya di kecamatan Amarasi

Selatan.

Kecamatan Amarasi Selatan merupakan salah satu dari 4 kecamatan hasil

pemekaran kecamatan induk yang disebut kecamatan Amarasi. Adapun 4

kecamatan hasil pemekaran yaitu kecamatan Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi

Selatan, dan Amarasi Timur. Walau demikian sebagai besar orang Amarasi tetap

menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yaitu masyarakat Dawan Amarasi

(masyarakat adat Amarasi).36 Hal ini dikarenakan keempat wilayah ini dulunya

merupakan satu kesatuan wilayah dan memiliki persamaan kebudayaan, suku, dan

etnis. Menurut kepala desa ke-8, Krisma J. Baok, Desa Nekmese terbentuk dari 4

temukung besar yaitu temukung Naet, Koro oto, Tuanmese, dan Timo Foasa yang

kemudian bersatu menjadi satu desa sejak Tahun 1971, dengan nama Nekmese yang

dalam kosakata bahasa Timor memiliki arti “Satu Hati”.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa Nekmese adalah petani

ladang, peternak, kuli bangunan, dan buruh. Tingkat pendidikan masyarakat yang

tinggal di kawasan ini sebagai besar hanya sampai pada jenjang SMA. Hal ini

dikarenakan sebagian besar penduduk yang berpendidikan tinggi memilih untuk

keluar dari kampung dan mencari pekerjaan di wilayah lain seperti kota Kupang

dan sekitarnya.

36 Wawancara Mantan Sekretaris Dese Nekmese, tanggal 13 oktober 2018, di Desa Nekmese, 10.45 WITA

Page 24: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

15

Masyarakat adat Amarasi di desa Nekmese percaya bahwa kematian adalah

sebuah hal yang sakral dan tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Menurut Roni

Bani salah seorang tokoh adat sekaligus penatua di Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto,

“masyarakat adat Amarasi percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia,

rohnya (in asmanan, smanaf) tidaklah mati, oleh karena itu yang dikuburkan (suub

atau pafa’) adalah jenazah atau jasad (aof-ta’uf amates, uismina, amates).”37

Subat merupakan upacara penghormatan kepada jenazah yang telah

meninggal dunia oleh masyarakat adat Amarasi. Roni Bani juga mengatakan bahwa

orang Amarasi mempunyai satu istilah penting yang berhubungan dengan

kematian, maets ii prenat, (harafiah: kematian itu perintah).38 Maksudnya, segala

urusan yang berhubungan dengan kematian seseorang diserahkan kepada

pemerintah (desa/kuan). Ketika salah seorang warga meninggal maka, tetangga

sekitar akan berdatangan mempersiapkan segala sesuatu untuk keberlangsungan

upacara subat. Di saat yang sama pemerintah, tokoh masyarakat, serta lembaga-

lembaga masyarakat terdekat dihadirkan dalam kerangka ide maets ii prenat. Dalam

hal ini kematian menjadi urusan bersama antara keluarga, pemerintah, dan

masyarakat. Pemerintah dan tokoh adat mengemban tanggung jawab dari keluarga

untuk melaksanakan upacara subat.

Terdapat beberapa unsur penting dalam pelaksanaan subat yang dirangkum

dari sumber Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret

2017.39 Pertama, tuan duka (nuuk tuaf). Salah seorang anggota dari keluarga inti

(batih) akan diberi tugas untuk menetapkan waktu dan kesiapan material untuk

subat, menyerahkan seluruh pengurusan kepada pemerintah dan tokoh agama,

bertanggung jawab untuk segala urusan yang berkaitan dengan hal-hal intern

(ketersediaan material dan pembiayaan), dan perantara komunikasi antara

pemerintah dengan batih. Kedua, pemerintah (da/ana’prenat). Adapun beberapa

peran penting yang dimainkan oleh da adalah mempersiapkan lubang kubur (nopu

mnanun), mengadakan peti jenazah (noup paran), mengirim pembawa berita (haef)

kepada keluarga yang jauh, menyiapkan perlengkapan tenda beserta isinya,

menyediakan lokasi dan memobilisasi masyarakat untuk mengolah material

37 Wawancara dengan Heronimus Bani, tanggal 13 oktober 2018, di Desa Nekmese, 17.25 WITA 38 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 39 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017

Page 25: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

16

konsumsi selama upacara berlangsung, serta melaporkan dan menyerahkan kembali

segala urusan kepada nuuk tuaf setelah subat selesai. Ketiga, pemangku agama/

tokoh keagamaan. Pemangku agama diistilahkan dalam subat sebagai ana’asmanaf

(yang memegang roh). Seiring perkembangan jaman dan pengaruh kekristenan

yang kuat posisi ini digantikan oleh amepu krei (pekerja gereja). Amepu krei

memiliki peranan untuk mendoakan jenazah sebelum ditangisi/diratapi (nana’at),

mempersiapkan segala hal berhubungan dengan upacara subat yang sesuai dengan

agama dan keyakinan orang yang sudah meninggal, melakukan ibadah penghiburan

pada malam-malam kedukaan (be’et, mete), memimpin upacara puncak dari Subat

dan pengucapan syukur. Keempat, utusan (haef), haef merupakan orang yang

ditunjuk da atas kesepakatan bersama pemerintah setempat. Haef bertugas

membawa kabar duka kepada keluarga yang jauh sesuai daftar nama yang diberikan

oleh da. Pesan duka yang dibawa haef selalu diakhiri dengan beberapa istilah dalam

bahasa daerah yaitu: kaki fuabona, (siram bunga), tarais tain (buat perkara

memang), tuna fuabona (letakan bunga), neik nain in faubona (bawa memang

bunganya). Istilah ini berisikan pesan bahwa keluarga menyediakan konsumsi

selama masa berkabung. Kelima, peratap (akurut-akaet), setelah jenazah didoakan

dan disemayamkan maka akan diikuti dengan tindakan menangis dan meratapi

jenazah oleh anggota keluarga, dalam subat tindakan ini digolongkan dalam dua

sikap, antara lain nkae (menangis dalam kesedihan semata) dan nain (berkisah

dalam tangis). Kisah dalam nain disampaikan dalam bahasa simbol yang

membutuhkan terjemahan makna. Keenam, melek mata (be’et/be’at). Selama masa

berkabung maka kalangan keluarga dan khalayak kampung maupun di luar

kampung berkumpul dimalam hari, untuk menghibur keluarga. Sepanjang be’et

berlangsung selalu diisi dengan berbagai kegiatan baik dengan bernyanyi bersama

dan bercerita. Tidak jarang be’et dibumbui dengan berbagai aktivitas perjudian

seperti kartu remi, bola guling (permaian judi lokal), dan lain sebagainya. Aktivitas

perjudian dalam be’et biasanya dilegalkan oleh pemerintah sampai 3 malam setelah

upacara Subat selesai. Perjudian ini dilegalkan dengan alasan untuk meringankan

beban keluarga dalam menanggung biaya penerangan serta menghibur khalayak

yang ikut dalam be’et.

Page 26: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

17

Rangkaian panjang upacara subat sendiri tidak terlepas dari berbagai istilah

yang ada di dalamnya. Istilah-istilah ini sering dimunculkan dalam upacara subat

sebagai ungkapan yang sarat makna dan nilai. Istilah-istilah tersebut ialah: Ka nsae

naan fa se’et atau ka nsae naan fa see’t ee goen. Menurut Sem Saebesi (tokoh adat

serta majelis jemaat Peniel Koro’oto) jauh sebelum orang Amarasi mengenal

agama-agama, orang Amarasi sudah memiliki dogma dan ajaran tentang

kematiannya sendiri.40 Kesadaran akan kematian diistilahkan dalam bahasa simbol

yang sarat makna. Roni Bani juga menjelaskan lebih lanjut ka nsae naan fa se’et

atau ka nsae naan fa see’t ee goen, merupakan istilah yang diberlakukan kepada

orang tua yang sudah berada pada masa-masa akhir hayatnya.41 Pada masa tersebut

persiapan mengenai upacara subat sudah mulai dibicarakan oleh pihak keluarga,

disaat itulah istilah ini dimunculkan sebagai tanda bahwa orang tua tersebut sudah

tiba pada saat saat menyongsong kematian.

Subat memiliki lima istilah yang dipakai dalam penyebutan jenazah, masing

masing istilah memiliki kandungan makna yang berbeda-beda.42 Pertama, amates

artinya yang mati atau yang meninggal, yang napasnya sudah tidak ada lagi. Istilah

amates disematkan pada seluruh makhluk hidup yang mati. Kedua, Uismina, kata

ini merupakan bentukan dari kata usif dan mina, secara harafiah berarti tuan

minyak. Jauh sebelum orang Amarasi mengenal agama-agama Abrahamik, mereka

percaya bahwa orang yang mati harus dijagai, ditangisi, dan diratapi. Menjagai

dalam pemahaman orang Amarasi adalah bagaimana mengawetkan jasad orang

sudah meninggal dengan ramuan tertentu agar tidak rusak sebelum dimakamkan.

Uismina yang dijagai juga harus ditangisi dan diratapi sebagai wujud dari rasa

kehilangan. Ketiga, Atupas (secara harafiah di artikan sebagai sedang tidur). Istilah

ini berkaitan dengan pemahaman orang Amarasi mengenai kehidupan setelah

kematian. Atupas dimaknai sebagai saat dimana orang yang meninggal dianggap

sedang tidur untuk sementara, dan roh mereka diyakini pergi ke tempat lain untuk

berkumpul bersama para leluhur sembari mengamati kehidupan di dunia. Keempat,

asernenot (secara harafiah artinya sedang naik ke langit). Pengunaan istilah ini

40 Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 Oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 41 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 42 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017

Page 27: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

18

dipakai untuk menyebutkan para pembesar ke-usif-an (keturunan raja) atau kaum

bangsawan. Bagi orang Amarasi angota ke-usif-an yang telah meninggal akan naik

ke langit, tempat yang dianggap mulia. Kelima, Nitu, pada kepercayaan lama orang

Amarasi, orang yang mati maka rohnya akan berpindah dari tubuh dan tinggal di

balik bebatuan besar, atau di balik pepohonan besar (fatu bian hau bian).

Masyarakat adat Amarasi percaya bahwa ada dua jenis nitu, jenis yang pertama

adalah nitu yang baik yang suka menolong keluarganya yang masih hidup. Jenis

yang kedua adalah nitu jahat, yang sifatnya mengganggu.

Pemberian kepada jenazah disebut sofi.43 Pada masa lalu dalam sistem

kepercayaan suku, orang yang memberikan sofi percaya bahwa pemberian itu

diketahui oleh yang sudah meninggal. Rohnya akan mengunjungi orang-orang itu

pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika ada yang membutuhkan. Praktik

memberikan sofi mencerminkan keyakinan masyarakat atoin’ meto’ mengenai

adanya kehidupan sesudah kematian. Sofi juga dimaksudkan sebagai cara yang

tepat untuk menghormati jenazah. Pada masa lampau para leluhur menyiapkan satu

motif yang disebut panbuat.44 Motif (‘kaif) ini dipakai oleh yang hidup pada waktu

melayat dan diberikan pula kepada yang meninggal. Motif panbuat yang diserahkan

kepada jenazah orang dewasa disebut panbua-ko’u, sedangkan kepada jenazah

anak-anak disebut panbua-ana’.45 Panbuat dipakaikan kepada jenasah sebagai

bentuk penghormatan terhadap jenazah. Dalam istilah lama orang Amarasi Panbuat

adalah nama lain dari peti jenazah.46 Sejalan dengan perkembangan jaman maka

motif panbuat sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan pakaian yang modern.

Sofi mulai kurang mendapat perhatian pada masyarakat adat Amarasi. Adanya

perubahan keyakinan bahwa dengan memberikan sofi akan membebani roh ke alam

lain. Roh orang yang sudah meninggal akan membawa beban berat berupa sofi yang

diberikan keluarganya yang masih hidup sepanjang perjalannya menuju alam lain.47

Paradigma dari pemberi sofi pun mulai bergeser sejalan dengan berkembangnya

pemikiran dan keyakinan akan agama-agama Abrahamik yang dianutnya. Sofi

43Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 44 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 45 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 46 Wawancara dengan Roni Bani, 15 oktober 2018 di desa Nekmese, 13.00 WITA 47 Wawancara dengan Osten Bani, 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 15.20 WITA

Page 28: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

19

dipandang sebagai pemberian terakhir yang memiliki makna cinta kasih kepada

orang yang sudah meninggal. Sofi ditempatkan di samping tubuh yang kaku dalam

peti jenazah. Bentuk sofi pun semakin beragam sesuai dengan keinginan orang yang

memberi.

Nuu adalah wujud dari air mata para pelayat ketika mereka tiba di rumah

duka. Nuu biasanya diberikan dalam wujud pemberian berupa materi. Nuu juga

disebut sebagai manekat oleh orang Amarasi.48 Dewasa ini dalam setiap tenda duka

disediakan sebuah kotak di samping jenazah khusus untuk diisi dengan bingkisan

berupa uang sebagai wujud dari Nuu.

Tiis raru (tuang laru), sisa’en too mfaun (membubarkan orang banyak), kaki’

fuabona’ (siram bunga), dan tarais tain (berperkara memang).49 Keempat istilah ini

hendak membungkus maksud sebenarnya yaitu persiapan konsumsi/ makanan

untuk semua orang yang melayat dalam upacara subat, termasuk mereka yang

menyiapkannya. Masyarakat desa Nekmese, meyakini bahwa memberi makan pada

orang banyak yang melayat (pesta duka), akan berdampak pada roh orang yang

meninggal.50 Diyakini bahwa ketika ia tiba di dunia roh orang mati, mereka yang

telah meninggal terlebih dahulu membuat pengelompokan. Ada kelompok roh dari

orang yang telah dibuatkan pesta duka, dan orang yang belum dibuatkan pesta duka.

Pandangan inilah yag mendorong orang Amarasi membungkus pesta duka dengan

perbaikan kuburan, do’a tiga hari, empat puluh hari, dan lain-lain.

Lampu api padam (paku-ai nmaet). Istilah ini dipakai untuk menunjukkan

bahwa pada peristiwa duka yang dialami, tuan duka tidak mengadakan “pesta

duka”.51 Istilah ini sudah mulai usang dan ditinggalkan seiring berjalan majunya

waktu. Sering pula digunakan istilah lain yaitu suub aah ok (baca: subahok) artinya,

kubur diri begitu saja.52 Maknanya adalah tidak ada urusan konsumsi pada upacara

subat.

Kematian sebagai sebuah tahapan penting dalam kehidupan manusia. Di

Indonesia sendiri kematian selalu diidentikan dengan ritual-ritual khusus atau

48 Wawancara dengan Heronimus Bani , 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 49 Wawancara dengan Roni Bani, 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 50 Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 51 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 52 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017

Page 29: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

20

upacara-upacara khusus. Masyarakat adat Amarasi, khususnya yang berada di desa

Nekmese kecamatan Amarasi Selatan memiliki cara tersendiri untuk mensucikan

upacara kematian. Subat sebagai sebuah upacara yang dianggap sakral, tidak

terlepas dari berbagai elemen-elemen penting yang sarat akan makna dan nilai bagi

masyarakat Amarasi. Nilai-nilai yang tertanam dalam subat menjadi dasar hidup

dalam masyarakat khususnya dalam memaknai kehidupan bersama di dunia

manusia serta dunia orang mati yang dipercayai oleh masyarakat adat Amarasi.

Kematian adalah urusan bersama antara pemerintah, oleh karena itu hampir

seluruh urusan yang berkaitan mengenai kematian diserahkan kepada pemerintah

sebagai pemimpin tertinggi dalam desa atau kuan.53 Ketika ada orang yang

meninggal maka seluruh warga akan datang berkumpul untuk mempersiapkan

upacara kematian ini disebut sebagai roitan neu noup paran.

Sepanjang acara duka dilaksanakan maka seluruh masyarakat akan

berkumpul di malam hari dengan tujuan untuk menghibur keluarga yang berduka.

Aktifitas ini diistilahkan sebagai mete dalam bahasa melayu Kupang, sedangkan

bagi orang Amarasi sendiri istilah mete ini di sebut sebagai abe’et atau abe’at.

Sepanjang abe’at berlangsung warga sekitar, keluarga, kerabat, maupun tentangga

seputaran desa akan berkumpul bersama sepanjang malam di tenda duka. Menurut

salah seorang narasumber “baik atau tidaknya pergaulan orang yang meninggal

akan ditentukan dari banyak atau tidaknya orang yang datang berpartisipasi dalam

abe’et”.54

Kebiasaan lain yang ada dalam upacara subat ialah memberikan benda-benda

pemberian kepada jenazah sebagai tanda cinta kasih terhadap orang yang sudah

meninggal. Pemberian ini disebut sebagai sofi seperti yang sudah dijelaskan di

bagian III pemberian lain yang serupa dengan sofi disebut sebagai manekat. Meski

memiliki bentuk yang sama namun manekat biasanya ditujukan bagi keluarga dari

jenazah sebagai wujud air mata dari pelayat atas kedukaan yang dialami oleh

keluaraga.

Jenazah dalam upacara subat memiliki beragam penyebutan dengan berbagai

makna tertentu seperti yang sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Penyebutan

53 Wawancara dengan Heronimus Bani , 15 Oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 54 Wawancara dengan Sifyon Ora , 15 Oktober 2018 di Desa Nekmese, 20.10 WITA.

Page 30: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

21

jenazah yang beragam ini diyakini oleh orang Amarasi sebagai bukti bahwa status

sosial serta cara meninggal seseorang merupakan salah satu syarat penting untuk

memperoleh kehidupan yang baik di alam nenek moyang. Makna lain dalam

penyebutan jenazah bagi orang amarasi juga tidak terlepas dari pandangan orang

amarasi mengenai harkat dan martabat manusia. Bagi orang uismina dipakai

sebagai kata untuk menyebut jenazah karena mereka percaya orang sudah

meninggal harus di perlakukan layaknya tuan yang harus dijaga, di tangisi, dan

diratapi. Hal ini dilakaukan tanpa memandang apapun jabatan yang sematkan pada

jenzah semasa dia hidup. Baik itu kaya atau miskin, mereka akan diperlakukan dan

dinamai dengan penyebutan yang sama.

Sebagai bentuk lain dalam penghargaan atas perjalanan hidup orang yang

sudah meninggal orang Amarasi memiliki kebiasaan untuk melakukan nkae

(menangis dalam kesedihan) dan nain (berkisah dalam tangis). Kebiasaan ini

dilakukan oleh orang yang disebut sebagai akurut-akaet (peratap). Isi dari

kebiasaan ini adalah menceritakan perbuatan perbuatan baik dari jenazah semasa ia

hidup.

ANALISIS NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA SUBAT

Upacara subat merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan oleh

masyarakat adat Amarasi sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah

meninggal. Dengan kata lain upacara ini dapat dikategorikan sebagai upacara

kematian. Hertz, mendefiniskan upacara kematian sebagai upacara yang

dilaksanakan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari

masyarakat yang berwujud gagasan kolektif.55 Dengan demikan upacara subat

dapat dikatakan sebagai sebuah masalah sosial yang muncul dalam kerangka

kebudayaan.

Sebagai sebuah masalah sosial subat bukan hanya melibatkan keluarga

melainkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini pemerintah, masyarakat adat, dan

gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Berdasarkan sumber data yang

ditemukan di atas bahwa ketiga elemen sosial di atas memiliki peranan penting

dalam keberlangsungan upacara subat. Berdasarkan pemahaman bahwa mates ii

55 Koentjaraningrat, Sejarah Teori, 71.

Page 31: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

22

prenat (kematian itu perintah) maka secara tidak langsung pemerintah sebagai

pemimpin tertinggi dalam masyarakat memiliki peranan sentral dalam

keberlangsungan upacara subat. Selain pemerintah masyarakat adat juga tidak

terlepas dari keberlangsungan upacara subat itu sendiri. Secara umum masyarakat

memiliki peranan penting dalam proses persiapan sampai keberlangsungan upacara

subat, dengan sikap gotong royong dan berbela rasa yang ditunjukan oleh

masyarakat melalui segala sumbangsi baik itu tenaga, materi, dan dukungan moril

bagi keluarga yang disebut sebagai roitan neu noup paran. Fungsi lainnya juga

diperankan secara baik oleh Gereja sebagai sebuah pranatra sosial dimana gereja

memberikan pendampingan serta penguatan secara spritual bagi keluarga yang

mengalami kedukaan. Menurut pandangan Hertz peranan yang dimainkan oleh

ketiga elemen ini dalam upacara subat merujuk pada sebuah upacara yang bernilai

kemanusiaan, gotong royong, serta religius yang dirangkum dalam sebuah model

kebudayaan asli milik masyarakat adat Amarasi.

Kebudayaan merupakan pandangan hidup bagi suatu masyarakat,

kebudayaan mencakup pola perilaku, nilai-nilai serta simbol yang diyakini suatu

golongan masyarakat serta diwariskan melalui proses komunikasi dari generasi

kegenerasi berikutnya. Bagi masyarakat adat Amarasi, kebudayaan adalah suatu

perilaku yang dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka yang

harus dipertahankan serta menjadi acuan dalam melaksanakan kehidupan. Salah

satu bentuk kebudayaan yang masih dipertahankan adalah upacara subat.

Masyarakat adat Amarasi percaya bahwa bentuk penghormatan terhadap orang

yang sudah meninggal harus dilaksanakan dengan sebuah upacara yang dinamakan

sebagai upacara subat.

Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisis lebih jelas tentang nilai

sosial budaya upacara subat dalam masyarakat adat Amarasi agar hasil penelitian

ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap penulisan tugas akhir ini, antara

lain :

Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa “kebudayaan berasal dari bahasa

Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan

Page 32: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

23

akal”.56 Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan

adalah segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan

manusia, dalam rangka kepribadiannya. Dapat dikatakan bahwa manusia yang

melahirkan kebudayaan dan kebudayaan dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan

kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat terarah.57

Alo Liliweri juga menegaskan bahwa “kebudayaan merupakan pandangan

hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbo-

simbol yang mereka terima tanpa sadar serta diwariskan melalui proses komunikasi

dari satu generasi ke generasi berikutnya”.58 Lanjutnya, “Kebudayaan juga

dipandang sebagai keseluruhan dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang

diharapkan, keyakinan, nilai-nilai, behasa dan praktek hidup bersama oleh angota

masyarakat”.59

Sebagai pandangan hidup masyarakat adat Amarasi kebudayaan tidak

terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya. Nilai dalam kebudayaan dengan jelas

diungkapkan oleh beberapa ahli berikut: Rokeach mendefinisikan “nilai sebagai

salah satu unsur pembentukan orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya

yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau

tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor, berharga atau tidak berharga, cocok

atau tidak, dan baik atau kejam”.60 Secara tidak langsung nilai-nilai yang

terkandung dalam upacara subat memegang peranan penting untuk meninjau

kembali penting atau tidaknya subat dipertahankan oleh masyarakat adat Amarasi.

Jika dihubungkan dengan kebudayaan yang adalah kesepakatan bersama

dalam suatu masyarakat maka nilai-nilai yang terkandung dalam upacara subat

merupakan nilai sosial budaya. Elizabeth K. Nothingham mendefinisikan “nilai

sosial sebagai nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai sosial merupakan

rangkaian nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun dengan

mempertimbangkan situasi yang terjadi dalam masyarakat”.61 Definisi ini diperkuat

oleh pandangan Hendropuspito yang “mendeskripsikan nilai sosial sebagai

56 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 181. 57 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201. 58 Liliweri, Makna Budaya, 8. 59 Liliweri, Pengantar Studi, 11. 60 Liliweri, Pengantar Studi, 55. 61 Nottingham, Agama dan, 45.

Page 33: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

24

penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti

mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama”.62 Selain

kedua tokoh tersebut Liliweri juga menekankan bahwa “nilai sosial budaya

merupakan nilai yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya, nilai ini dapat

berubah seiring berjalanya waktu, sehingga seringkali nilai-nilai ini bisa sesuai atau

tidak, bahkan saling bertentangan dengan nilai pribadi atau nilai yang sudah

diajarkan keluarga secara turun temurun”.63 Berdasarkan pandangan-pandangan ini

nilai sosial budaya dapat dimaknai sebagai komunikasi antar personal dalam sebuah

masyarakat. Upacara subat sendiri yang merupakan sebuah kesepakatan bersama

dalam masyarakat juga tidak luput dari dayaguna fungsional dalam masyarakat

serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Sebagai sebuah nilai yang dilahirkan oleh dayaguna fungsional upacara subat

dipandang penting apabila upacara ini memiliki manfaat manfaat bagi masyarakat

itu sendiri. Berdasarkan pemaparan bagian 3 dalam tulisan ini. Subat memegang

perananan penting dalam hal melahirkan sikap gotong royong, toleransi, dan

penghormatan antara sesama masyarakat adat Amarasi. Sikap ini dimunculkan

melalui berbagai prosesi serta tahapan yang dilaksanakan dalam upacara ini.

Beberapa di antaranya adalah roitan neu noup paran, sofi, be’et, serta beberapa hal

lainnya. Pada roitan neu noup paran masyarakat Amarasi menunjukan sikap gotong

royong yang sangat tinggi dalam hal berpartisipasi mempersiapkan kelangsungan

upacara subat. Sikap gotong royong ini dimunculkan melalui sikap seluruh warga

yang berpartisipasi secara aktif di bawah koordinasi pemerintah setempat untuk

mempersiapkan lokasi, konsumsi, serta kuburan untuk keberlangsungan upacara

subat. Sikap toleransi ini juga dimunculkan pada saat masyarakat melaksanakan

be’et atau ba’at, saat setiap upacara subat berlangsung maka akan selalu disertai

dengan kegiatan ini. Kegiatan ba’at menjadi penting ketika seluruh masyarakat

akan berkumpul bersama dalam tenda duka untuk menghibur keluarga yang

berduka pada saat upacara ini berlangsung, meskipun tidak jarang kegiatan ini diisi

dengan kegiatan perjudian, meski demikian kegiatan perjudian dalam kegiatan

ba’at/be’et ini bertujuan untuk menghibur para pelayat yang datang serta sebagai

62 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 203. 63 Alo Liliweri, Pengantar Studi, 70.

Page 34: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

25

salah satu sarana untuk meringankan keluarga duka dalam hal biaya-biaya yang

harus dikeluarkan selama upacara ini berlangsung.

Selain nilai sosial budaya upacara subat ini berasal dari faktor ekstrinsik yaitu

dayaguna fungsional upacara ini juga tidak terlepas dari faktor intrinsik itu sendiri.

Hendropuspito menjelaskan bahwa “faktor intrinsik dalam nilai sosial budaya

adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri”.64 Manusia sebagai makhluk yang

memiliki harkat dan martabat yang tinggi sudah sepatutnya dihargai dan dihormati

oleh sesama manusia lainnya. Dalam hal ini praktek pelaksanaan upacara subat

sebagai salah satu cara memperlakukan orang mati dengan baik adalah perwujudan

dari penghormatan terhadap manusia itu sendiri. Selain dalam praktek

memperlakukan orang mati, dalam subat sendiri terdapat beberapa bentuk

penghargaan terhadap jenazah yang sudah meninggal sebagai seorang manusia

yang berharkat dan bermartabat, seperti dalam hal penamaan jenazah dalam upacara

ini, pemberian tanda cinta seperti sofi dan manekat, serta meratapi jenazah yang

sudah meninggal dengan ratapan-ratapan yang menceritakan perjalanan hidup sang

jenazah semasa ia masih hidup.

Penyebutan jenazah sebagai uismina tidak terlepas dari pemaknaan bahwa

jenazah dianggap sebagai usif mina yang dalam bahasa Indonesia di artikan

sebagai “tuan minyak”. Uismina dipakai karena bagi masyarakat Amarasi jenazah

harus dijaga, diratapi, dan ditangisi sepanjang jenazah disemayamkan. Perlakuan

ini tidak terlepas dari bentuk penghargaan kepada jenazah yang dipandang sebagai

makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang setara dalam masyarakat tanpa

memandang status sosial yang dimiliki jenazah selama ia hidup.

Nilai-nilai yang terdapat dalam upacara subat ini merujuk pada betapa

pentingnya upacara Subat bagi masyarakat Amarasi. Hal ini tidak terlepas dari

pandangan orang Amarasi sendri mengenai mates ii prenat (kematian itu perintah).

Kematian dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam masyarakat karena bukan

hanya berhubungan dengan perilaku sosial melainkan kepercayaan yang dianut oleh

leluhur orang Amarasi. Sikap gotong royong dan penghargaan menjadi sesuatu

yang penting ketika konsep kematian dikaitkan dengan kehidupan yang akan terjadi

setelah kematian itu sendiri. Kepercayaan akan adanya dunia lain dengan status

64 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 208.

Page 35: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

26

sosial yang baru menjadi acuan utama akan cara memperlakukan jenazah dalam

upacara subat.

KESIMPULAN

Sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan pandangan hidup bersama suatu

masyarakat, upacara kematian tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya. Salah satu nilai tercermin dalam upacara kematian adalah nilai sosial

budaya. Nilai sosial budaya ini memiliki peranan penting dalam masyarakat karena

selain memiliki daya guna fungsional nilai ini juga hadir karena adanya harkat dan

martabat manusia itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi dalam upacara subat,

upacara kematian memainkan peranan penting dalam hal membangun nilai gotong

royong serta penghargaan akan manusia sebagai makluk sosial yang memiliki

harkat dan martabat. Upacara subat juga menuntun orang Amarasi pada kesetaraan

akan status sosial yang ada dalam masyarakat yang dibingkai dalam sebuah tenda

kedukaan.

Sebagai saran dalam tulisan ini penulis melihat bahwa masih banyak nilai-

nilai yang dapat digali lebih jauh dari upacara-upacara kematian yang ada dalam

berbagai suku bangsa di Indonesia. Subat menjadi salah satu contoh betapa

berharganya sebuah upacara kematian dalam masyarakat adat khususnya yang ada

di Indonesia. Dengan tulisan ini penulis menaruh harapan penuh agar kelestarian

dari upacara subat dan upacara-upacara sejenis lainnya terus dipertahankan dengan

nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat tentunya harus mengambil

peranan penting. Kontekstualisasi yang dilakukan gereja menjadi cara terbaik

menurut penulis untuk menjaga kelestarian budaya ini. Usaha kontekstual ini dapat

dilakukan dengan melihat nilai penghargaan serta nilai gotong royong yang

terkandung dalam subat. Nilai penghargaan ini tidak terlepas dari pandangan

Kekristenan yang tersirat dalam berbagai kisah Alkitab antara lain: ketika Yusuf

Arimatea dan Nikodemus memperlakukan jenazah Yesus, sebagai bentuk

penghargaan mereka kepada Yesus (Yohanes 19:38-42). Perlakuan ini merujuk

pada penghargaan yang tetap diberikan kepada Yesus sebagai manusia walaupun

Dia menjadi jenazah. Kekristenan tidak terlepas dari upaya memanusiakan

manusia, sehingga titik temu antara kekristenan dengan subat terletak pada aktivasi

Page 36: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

27

nilai kemanuisan. Subat menegaskan bagaimana manusia tetap dihargai sampai

pada akhir hayatnya sebagai jenazah, demikian halnya dengan kekristenan. Nilai

lain juga yang terkandung dalam upacara kematian adalah nilai gotong royong.

Nilai gotong royong ini tidak terlepas dari usaha manusia untuk membangun

kebersamaan dalam fungsi sosialnya demi mencapai sebuah tujuan bersama.

Kekristenan juga tidak terlepas dari nilai-nilai gotong royong. Salah satu kisah

Alkitab yang mencerminkan nilai gotong royong ialah kisah hidup jemaat mula-

mula (Kisah Para Rasul 2:41-47). Nilai gotong royong dimunculkan dalam

kehidupan bersama jemaat mula-mula sebagai wujud nyata rasa persaudaraan dan

kekeluargaan dalam ikatan iman mereka sebagai orang percaya. Gotong royong

dalam upacara subat yang didasarkan pada rasa kekeluargaan dan persaudaraan

dalam satu ikatan masyarakat tentunya bermakna sama dengan pola hidup jemaat

mula-mula. Dengan demikian, ketika kekristenan berbicara perihal pentingnya

kesatuan, kebersamaan, dan kekeluargaan dalam kehidupan yang terdiri dari ragam

peran manusia, maka esensi yang serupa juga terkandung dalam pelaksanaan subat.

Beberapa saran kontekstualisasi di atas selain bermanfaat bagi pengembangan

teologi dalam jemaat, juga menjadi sarana strategis untuk menjaga dan melindungi

budaya dari pergeseran makna yang menuju pada kehilangan kemurniannya.

Selain gereja, pemerintah juga merupakan pionir penting dalam menjaga

budaya ini. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah harusnya juga tidak

luput dalam memperhatikan keberlangsungan budaya-budaya lokal seperti subat.

Oleh karena itu pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah, harus

merancang PERDES mengenai subat untuk mengatur keberlangsungan upacara

subat. Keberlangsungan yang dimaksudkan yaitu upaya pelestarian subat dengan

menjadikannya sebagai salah satu kegiatan khas dari kecamatan Amarasi. Hal ini

tidak terlepas dari fungsi dan peranan pemerintah dalam upacara subat. PERDES

sendiri selain untuk mengatur keberlangsungan upacara juga merupakan sarana

untuk menjaga ketertiban peserta selama upacara berlangsung.

Page 37: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

28

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, J.W.M. Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Pradnyawidya, 1976.

Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius,

2005.

Cambel, Tom. Tujuh Teori Sosial ”Sketsa, Penilaiam, Perbandingan”,

Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Flick, Uwe, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke. "What Is Qualitative Research?

An Introduction to the Field," in A Companion to Qualitative Research,

London: SAGE Publications Ltd, 2004.

Hicks, David. Roh Orang Tetun di Timor-Timor, Jakarta: Sinar Harapan,1985.

Hendropuspito. Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Koenjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press,1982.

Keontjaranigrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000.

Leach, Edmund R. “Ritualization in Man in Relation to Conceptual and Social

Development”, New York: Harper Collins Publishers, 1979.

Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: LkiS

Pelangi Aksara, 2002.

Liliweri, Alo. Pengantar Studi Kebudayaan, Bandung: Nusa Media, 2014

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1994.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengatar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2013.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,

2013.

Page 38: NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT

29

WAWANCARA

Mantan Sekretaris Desa Nekmese, 13 Oktober 2018, 10.45 WITA, di Desa

Nekmese.

Heronimus Bani, 13 Oktober 2018, 17.25 WITA, di Desa Nekmese.

Sem Saebesi, 15 Oktober 2018, 11.15 WITA, di Gedung Gereja Jemaat Pniel

Tefneno Koro’oto.

Heronimus Bani, 15 Oktober 2018, 13.00 WITA, di Desa Nekmese.

Osten Bani, 15 Oktober 2018, 15.20 WITA, di Desa Nekmese.

Sifyaon Ora, 15 Oktober 2018, 20.10 WITA, di Desa Nekmese.

SUMBER LAIN

Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28

Maret 2017.