NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam...

10

Click here to load reader

Transcript of NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam...

Page 1: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN

(Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)

Oleh: Drs. H.Abdul Mujib AY*

(Wakil Ketua Pengadilan Agama Tanah Grogot Kaltim)

PENDAHULUAN

Adanya kontroversi tentang “Pernikahan Sirri” di kalangan umat baik „umara maupun

zu‟ama serta di dunia pesantren dan selebritis akhir-akhir ini tentang kriminalisasi bagi pelaku

dan bagi yang terlibat dalam pernikahan tersebut berkenaan akan diundangkannya (RUU)

Peradilan Agama (baca: masuk program leglisasi tahun 2010) adalah karena belum adanya

kesamaan persepsi dalam mengidentifikasikan dan mengklirkan apa yang dimaksud dengan

“nikah sirri” dan “nikah di bawah tangan”. Untuk menyamakan persepsi dari kedua istlah

perkawinan tersebut dan sekaligus untuk menghindari kerancuan istilah agar tidak terjadi

kesalahfahaman, mengingat di kalangan masyarakat ada yang menganggap kedua istilah tersebut

sama artinya. Dan sesuai dengan judul tulisan ini pembahasan difokuskan pada status nikah sirri

dan nikah di baah tangan dan implikasinya terhadap anak yang dilahirkannya. Karena itu ,

sistimatika pembahasan tulisan ini adalah mencakup : pendahuluan, pengertian dan status nikah

sirri dan nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan Hukum positif , implikasi terhadap

anak yang dilahirkan, kesimpulan serta saran.

PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH SIRRI

Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya,

“rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah:

Page 2: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau

jama‟ahnya, sekalipun keluarga setempat”

Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua

pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual

antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga

Madzhab Syafi‟I dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut madzhab Hambali, nikah

yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari‟at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan

oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu

riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman

had.

Menurut hemat penulis, nikah sirri menurut terminologi fiqh tersebut adalah tidak sah.

Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah dan buruk sangka, juga

bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, antara lain :

1. Artinya:

“Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR.Bukahri

Muslim dll dari Anas).

2. Artinya:

“Umumkanlah nikah ini, dan laksanakanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan

menabuh terbang.” (HR. al-Tirmidzi dari “Aisyah).

Menurut hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab

tersebut di atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syari‟at Islam sebagaimana

diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang perkawinan.

Menurut pengertian penulis, ada perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri di

kalangan masyarakat Islam Indonesia. Ada 3 (tiga) tife:

Page 3: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan

syari‟at Islam (telah memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi masih bersifat intern keluarga,

belum dilakukan pencatatan oleh PPN, dan belum diadakan upacara menurut Islam dan adat

(walimatul‟urusy/resepsi perkawinan dengan segala bunga rampainya. Pada tife pertama ini,

suami isteri belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena si isteri belum tinggal

dan hidup dewasa. Biasanya si suami sementara menunggu kedewasaan si isteri, ia belajar di

pondok pesantren atau tinggal bersama mertua untuk membantu pekerjaan mertua. Motif

nikahnya adalah untuk ketenangan, persiapan, dan kehalalan bahkan mungkin juga sebagai

“kebanggaan” orang tua si gadis kecil”.

Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam,

dan juga sudah dilangsungkan di hadapan PPN dan telah pula diberikan salinan akta nikah

kepada kedua mempelai karena calon suami isteri sudah memenuhi syarat-syarat sahnya nikah

menurut hukum positif, termasuk telah mencapai minimal usia kawin (vide Pasal 7 UU 1/1974).

Namun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang

sangat terbatas, belum diadakan resepsi pekawinan. Pada tife kedua ini kedua insan yang

berlainan jenis kelaminnya itu belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena

mungkin salah satu atau keduanya masih sedang menyelesaikan studinya atau training

kepegawaian atau perusahaan, atau belum mendapatkan pekerjaan tetap sekalipun sudah

sarjana.Motif nikahnya itu terutama untuk mendapatkan ketenangan, persiapan dan kehalalan.

Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan

syariat Islam, karena terbentur pada PP Nomor 10/1983 jo PP 45/1990 tentang izin perkawinan

dan perceraian bagi PNS. Pada tipe ketiga ini calon suami mengawini calon isteri secara diam-

diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin

berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS (vide: PP

No.10/1983 pasal 4 ayat (1) dan (13). Motif nikhanya itu terutama untuk pemenuhan kebutuhan

biologis yang halal (terhindar dari perbuatan zina menurut hukum Islam). Sayang, nikahnya

tanpa persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta tanpa izin

Pengadilan Agama.

Page 4: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

Menurut hemat penulis, nikah tipe pertama sebenarnya bukan nikah sirri, karena tidak

ada unsur “sirri”. Yang terjadi adalah kawin anak-anak, yang menurut fiqh sunni tidak dilarang

(sah), berdasarkan sunnah Nabi SAW yang menikahi „Aisyah ra yang belum baligh; sedangkan

menurut Ibnu Syubrumah al-Dzahiri, nikah anak-anak tidak boleh dan tidak sah5), karena

banyak mudlaratnya. Dan berhubung keadaan masyarakat kini telah jauh berubah ketimbang

masyarakat di zaman Rasulullah SAW sebagai akibat kemajuan IPTEK, data statistik

menunjukkan kawin anak-anak banyak membawa broken home, maka negara-negara Islam

termasuk Indonesia melarang kawin anak-anak, dan menetapkan batas minimal usia perkawian

(karena alasan maslahah murslah).Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No..1/1974 tentang

perkawinan menetapkan minimal usia kawin untuk pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun.

Tetapi Pengadilan bisa diminta memberi dispensasi , jika ada alasan yang cukup.

Nikah tipe kedua, tampaknya juga tidak tepat disebut nikah sirri, karena tidak ada unsur

“sirri” dan motif/niat nikahnya baik. Maka sahlah nikahnya menurut hukum Islam dan juga

menurut hukum positif, karena nikahnya telah dilangsungkan menurut syariat Islam da juga

sudah dicatat oleh PPN, sekalipun belum /tidak diramaikan dengan walimatul „urusy dan tabuhan

terbang/gamelan dan sebagainya karena bukan rukun dan bukan syaat nikah, melainkan perintah

sunnah (recomanded).

Adapun nikah tipe ketiga itulah yang benar-benar bisa disebut “nikah sirri”, yang

dilarang oleh Islam, karena niat nikahnya dan prakteknya jelek, sebab bisa merusak rumah

tangga orang dan bisa merusak moral suami, serta dapat mendorong suami berbuat kolusi dan

korupsi, karena punya isteri simpanan alias WIL yang bermasalah itu. Demikian pula , hukum

positif melarang nikah tipe ketiga, karena melanggar PP Nomor 10/1983 jo.PP 45/1990 tentang

izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.

PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH DI BAWAH TANGAN

Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan

berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya adalah

kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah menurut hukum adalah yang

diatur dalam UU perkawinan. Dengan demikian,dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah

Page 5: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

tangan, ialah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak

menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa

pengakuan dan perlindungan hukum.

UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan

pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa dalam bidang perkawinan, hukum agama,

termasuk hukum Islam telah mendapat kekuatan yuridis dan materiil. Hal tersebut sesuai dengan

maksud pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dimana digariskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agama dan kepercayaannya itu. Dan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan

lain dalam undang-undang ini. Kemudian pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal 2

ayat (1) menerangkan, “pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan nenurut agama

Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah ,Talak dan Rujuk”.

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini

kalangan teoritisi dan praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis

sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini:

Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi pasal 2

ayat (1) UU perkawinan tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan

syari‟at Islam secara sempurna (memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yan mumnya

dianggap standar oleh dunia Islam. Mengenai pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan

syarat sahnya nikah, tetapi hanyan kewajiban adminstratif saja.

Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan UU Perkawinan

pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh PPN

Page 6: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat

kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syari‟at

Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah. Dan

perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tanggal 1

Oktober 1975 terkenal dengan sebutan “nikah di bawah tangan”.

Menurut hemat penulis, pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam masalah ini ,

baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad

nikah itu apabila, telah dilangsungkan menurut ketentuan syari‟at Islam, di hadapan PPN dan

dicatat oleh PPN.

Adapun dalil syarinya yang dapat memperkuat pendapat penulis tersebut,ialah :

1. Mentaati perintah agama dan mentatati perintah negara /pemerintah, adalah wajib

sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat 58:

Perintah Al-Quran ini sangat positif , karena mendidik manusia untuk menciptakan

masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya

kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.

2. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, adalah sangat

bermanfaat dan masalahah bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk

menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya

dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak

kewarisannya), dan juga untuk melindunginya dari firtnah, tuhmah/qadzaf zina

(tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah itu

sangat penting untuk saddud dari‟ah (preventive action) dan juga maslahah mursalah

(good interest)”.

Adapun alasan yuridis dari segi hukum positif yang memperkuat pendapat penulis

ialah:

Page 7: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu telah dirumuskan secara organik oleh

pasal 2 ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Dan

tatacara pencatatan perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 3 sampai

dengan pasal 9 PP tersebut. Kemudian disusul dengan tatacara perkawinannya

sampai mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10 sampai dengan pasal 13 PP

tersebut.

2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991 dan Keputusan Menteri Agama

Nomor 154 /1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan bahwa unsur pencatatan

nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya suatu akad nikah.

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18

Desember 1991, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan “Perkawinan” menurut Undang-undang No.1/1974, PP

No.9/1975, adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh

petugas KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut didaftarkan menurut

tatacara perundang-undangan yang berlaku; karena itu perkawinan yang tidak

memenuhi persyaratan tersebut dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak

dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana (kurungan

penjara 5 tahun).

4. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang petunjuk Pelaksanaan PP

Nomor 45/1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10/1983 tentang izin

perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan ,

bahwa isteri pertama/kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil yang

dinikahi sah, yaitu yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)

UU Perkawinan Nomor 1/1974 diberikan Kartu Isteri.

Dengan demikain, jelaslah bahwa menurut hukum positif, perkawinan adalah

sah , jika dilaksankan menurt hukum syari‟at Islam di hadapan PPN dan dicatata

oleh PPN.

Page 8: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

IMPLIKASI TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN

Akad nikah dan implikasinya (akibat hukumnya). Menurut Jumhur ulama , akad nikah

ada 2 (dua) macam, masing-masing adalah:

1. Akad yang sah sempurna

Ialah akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad

nikah sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib

memberi mahar, nafkah lahir (makan, pakaian dan tempat tinggal) dan nafkah batin ,

isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami

isteri dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya.

2. Akad yang rusak atau batal/fasid

Ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak terpenuhi, misalnya

antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram, atau wanitanya masih

terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa wali atau saksi.

Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas putusan hakim segera

setelah diketahui cacat rukun atau syarat sah nikahnya. Dan nikahnya tidak

membawa akibat hukum apa pun, jika belum terjadi hubungan seksual anatara

keduanya. Dengan demikian , tidak ada mahar , nafkah dan iddah dan tidak ada pula

hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi hubungan seksual antara

keduanya, maka wajib difasakh nikahnya, sekalipun telah cukup lama hidup sebagai

suami isteri . Dan dalam hal ini , “isteri berhak mendapat mahar dan ada iddahnya,

serta si anak punya hubungan nasab dengan bapaknya.

Mengenai status anak yang lahir dari nikah sirri, maka apabila nikah sirri itu diartikan

menurut terminologi fiqh (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka menurut

hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, anak yang lahir dari

hubungan syibhah saja ditetapkan nasabnya kepada bapak, apalagi nikah sirri yang termasuk

nikah yang diperselisihkan”boleh dan sahnya”oleh para ulama. Karena itu, nikah sirri itu

dianggap cacat /fasad yang ringan. Sedangkan menurut pandangan hukum posiistif, anaknya

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Page 9: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

Adapun status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi

pasal 2 ayat (1) saja dari UU Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya sah dan

mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum posiitf, anaknya

tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU

Perkawinan. Karena itu, si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya (vide UU Perkawinan Pasal 43 dan Kompialsi Hukum Islam pasal 100).

KESIMPULAN

1. Ada perbedaan antara nikah sirri dan nikah di bawah tangan dari segi terminologi,

historis dan yuridis,

2. Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut

hukum Islam, kaena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan

ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat mendatangkan

madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Naikah sirri juga tidak sah menurut

hukum positif , karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku dan

benar, dan tidak pula diadakan pencatatan nikahnya oleh PPN.

3. Istilah nikah di bawah tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif

tahun 1975. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak motifv “sirri”, karena

telah memenuhi ketentuan syari‟ah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak sah

menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam bidang hukum perkawinan

4. Status anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum Islam, adalah anaknya mempunyai

hubungan nasab dengan bapaknya, karena cacat hukumnya ringan. Sedangkan menurut

hukum positif, anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memnuhi pasal

2 ayat (1) ayat (2) UU Perkawinan.

5. Status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan menurut hukum Islam, adalah sah dan

dengan sendirinya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut

hukum positif,anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal

2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.

6. Pelanggaran terhadap perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif

Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak mempunyai alasan menurut hukum sebagai delict

Page 10: NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang ... .Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

aduan untuk dapat dikriminalisasikan/dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279

KUHPidana.

SARAN-SARAN

1. Sesuai dengan kaidah hukum Islam : “Al-Khuruj minal khilaf mustahabbun”, yakni

“Menghindari perbedaan pendapat itu dianjurkan”, maka ummat Islam Indonesia

hendaknya dalam melakukan perkawinan, mematuhi ketentuan hukum munakahat yang

baku dan benar serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

bidang hukum perkawinan.

2. Agar terealisasinya tujuan hukum, yakni adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di

dalam masyarakat, hendaknya lembaga legislatif tidak ragu lagi untuk mensahkan

Rancaangan Undang-Undang yang Mengkriminalisaikan/Mempidanakan bagi pelaku dan

siapa saja yang terlibat di dalam perkawinan Sirri tersebut, karena perkawinan yang tidak

memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan

tidak dianggap ada perkawinan menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan delict

aduan untuk dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279 KUHPidana.

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. Bakri A. Rahman, Drs. Ahmad Sukardja, S.H., Hukum Perkawinan Menurut Islam,

Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Penerbit PT.Hidakarya Agung,

1981.

2. Drs. Damsyi Hanan, Pengertian Yuridis Sahnya Suatu Perkawinan (catatan terhadap

Dua Putusan Kasasi Yang Bertentangan), Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.

3. Hartono Marjono, S.H., Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perkawinan, Mimbar

Hukum No.23 Thn. VI 1995.

4. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di bawah tangan, dan status anaknya

menurut hukum Islam dan Hukum Positif,”Mimbar Hukum No.28 Thn VII 1996.

5. Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat,Himpunan Peraturan Perundang-

Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Juli 2004.

6. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu, vol. VII, Dar al-Fikr, halaman 688.