Ngorok Dan Obstructive Sleep Apnea - III

download Ngorok Dan Obstructive Sleep Apnea - III

of 48

description

bab 3 OSAS

Transcript of Ngorok Dan Obstructive Sleep Apnea - III

Terjemahan Byron J. Bailey :

SNORING AND OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Oleh :Dinar Rosmala , dr.

Pembimbing :dr. SUTOMO SUDONO, Sp THT KL (K)dr. HADI SUDRAJAT, Sp THT KL Msi Med

BAGIAN / SMF IK. THT-KLFK UNS / RSUD DR MOEWARDISURAKARTA 2010LEMBAR PENGESAHAN

Telah dilakukan pembacaan Terjemahan Byron J. Bailey , dengan judul :

SNORING AND OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Pada hari / Tanggal: Selasa, 2 JUNI 2010.

Pembimbing :

1. dr. SUTOMO SUDONO, Sp THT KL (K) 1. ...

2. dr. HADI SUDRAJAT, Sp THT KL Msi Med2. ...................................

NGOROK DAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Epidemiologi

Ngorok Ngorok ( = mendengkur ) merupakan masalah yang sering menganggu partner tidur. Pada tahun 1970an, penelitian menunjukkan bahwa 40% pria dan 28% wanita ngorok dan prevalensi ngorok meningkat seiring pertambahan usia. Data terbaru dari studi the Wincosin Sleep Cohort menemukan bahwa pada pria dan wanita berusia 30-60 tahun, 28% wanita dan 44% pria dilaporkan mengalami ngorok. Peneliti mempelajari ngorok pada lebih dari 2000 orang Kanada dan menemukan bahwa 42% dari semua penduduknya mengalami ngorok. Laporan ini juga mencatat bahwa prevalensi ngorok meningkat hingga dek ade ke tujuh kehidupan, dengan 84% pria dan 73% wanita dilaporkan mengalami ngorok pada kelompok usia ini.Sayangnya sebagian besar data tentang ngorok berasal dari laporan kuesioner pribadi. Informasi yang diperoleh dari kuesioner ini sering tidak akurat karena pasien biasanya kurang waspada mengenai kebiasaan ngoroknya. Bahkan jika informasi ngorok berasal dari dari partner tidur, juga masih bersifat subyektif. Partner tidur yang baru mulai tidur dapat terganggu oleh ngorok yang kadang-kadang saja, tetapi partner tidur yang lain bisa menyesuaikan dan hanya terganggu oleh ngorok yang bersifat crescendo sangat tinggi.Walaupun tes obyektif penting, saat ini tidak ada standard tentang spectrum karakteristik mengenai suara ngorok. Studi telah dilakukan yaitu tes obyektif ngorok yang dilakukan sebelum dan sesudah uvulopalatopharingoplasty (UPPP). Walaupun hasil obyektif menunjukkan perbaikan minimal setelah pembedahan, penemuan ini tidak berkorelasi dengan perbaikan subyektif yang dilaporkan oleh partner tidur. Dulunya, tes obyektif menghilangkan kemampuan untuk mengidentifikasi komponen bising ngorok yang mana yang paling menganggu telinga manusia. Sekarang ini, peralatan baru telah tersedia yang nampaknya berkorelasi dengan laporan subyektif. Pada satu studi yang membandingkan ngorok sebelum dan setelah laser-assisted uvulopalatoplasty (LAUP), peralatan perekam dipergunakan untuk mengambil data obyektif. Hasil obyektif dari peralatan ini dibandingkan dengan respon subyketif pasien dan partner tidur. Karena prosedur baru telah tersedia untuk pengobatan ngorok, data obyketif yang akurat akan sangat penting untuk menilai outcome dan membandingkan hasil dengan penatalaksanaan ngorok yang standard juga untuk mencatat perbaikan yang signifikan dalam kualitas hidup yang telah dilaporkan oleh pasien maupun partnernya.

Obstructive Sleep Apnea

Dalam laporan the National Commision of Sleep Disorders research tahun 1993, diperkirakan bahwa 20 juta orang Amerika mengalami ngantuk berlebih karena sleep apnea. Tentu saja, kelompok seperti sopir truk mempunyai prevalensi mengalami obstructive sleep apnea (OSA) yang lebih tinggi. Studi Wincosin Sleep Cohort merupakan studi terluas pertama tentang prevalensi OSA di amerika serikat. Setelah melengkapi kuesioner, sampel acak yang terdiri dari 602 pekerja pria dan wanita berusia 30-60 tahun mengikuti polisomnogram lengkap di laboratorium sleep. Studi ini menunjukkan bahwa 24% pria dan 9% wanita memiliki indeks gangguan tidur/respiratory disturbance index (RDI) 5 atau lebih dan 4% pria dan 2% wanita mempunyai gejala klinis seperti halnya penemuan polisomnografi OSA. Hasil ini dikonversikan menjadi kira-kira 12 juta orang Amerika yang mengalami OSA, seperempat yang mengalami penyakit ini pada tingkat moderat atau berat. Data terbaru mengenai prevalensi gangguan napas saat tidur pada wanita dibandingkan pria menunjukkan bahwa pria mempunyai prevalensi 3,9%, pada wanita pre menopause sebesar 0,6%, pada wanita post menopause sebesar 0,5% dan terakhir pada wanita postmenopouse yang menerima HRT prevalensinya sebesar 2,7%. Menopause sepertinya merupakan factor resiko yang signifikan untuk terjadinya gangguan napas saat tidur.

FISIOLOGI TIDUR

Tidur Normal

Mengerti tentang fisiologi tidur yang normal penting bagi ahli bedah yang mengangani ngorok dan gangguan OSA. Tanpa pengetahuan dasar ini, hasil dari prosedur pembedahan tidak dapat dievaluasi. Menurut Carskadon dan Dement tahun 1994, tidur dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan reversibel hilangnya persepsi dari lingkungan dan tidak respon terhadap lingkungan sekitar. Definisi lain dari tidur normal yaitu jumlah dan kualitas tidur yang diperlukan untuk mempertahankan kesiapan sepanjang hari. Kelelahan sepanjang hari mungkin merupakan akibat dari hilangnya kenyamanan tidur, buruknya kualitas tidur, atau kombinasi factor tersebut. Salah satu pengaruh yang paling banyak diperdebatkan dalam pengobatan tidur saat ini adalah apakah masyarakat modern kita secara keseluruhan terganggu tidurnya.Tidur malam yang ideal pada dewasa muda berkiar antara 7,5 dan 8,5 jam. Variasi lamanya tidur bervariasi dari hari ke hari dan orang per orang. Lamanya tidur ditentukan oleh factor genetic, ritme sirkadian dan kontrol sadar. Factor penentu yang paling signifikan dari lamanya tidur adalah masyarakat kita sekarang dan alarm jam. Tidur dibagi menjadi 2 keadaan terpisah : non rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Dua keadaan ini berbeda berdasarkan pada konstelasi parameter fisiologi yang berhubungan dengan tiap keadaan. Tidur NREM ditandai dengan keadaan yang tetap, denyut jantung lambat, frekuensi napas dan tekanan darah juga rendah. NREM merupakan keadaan tidur tenang. Tidur REM sebaliknya, ditandai oleh meledaknya pergerakan konjugasi mata cepat, peningkatan aktivitas otonom, dan bermimpi. Selama tidur REM, ada fluktuasi luas pada tekanan darah, denyut jantung dan frekuensi napas. Keadaan terstimulasi ini dikombinasikan dengan penurunan aktivitas muskuler. REM dapat didefinisikan sebagai : otak yang teraktivasi sangat tinggi pada tubuh yang dilumpuhkan. Pola tidur pada anak muda, dewasa yang sehat masih konstan dari malam ke malam. Hanya ada perbedaan minimal antara tidur pada pria dan wanita pada kelompok usia ini. Onset tidur dimulai dari tahap1 NREM, tahap yang pendek yang berlangsung hanya beberapa menit. Nilai ambang bangun tahap ini sangat rendah; yaitu bising yang kecil saja dapat membangunkan seseorang dari tahap ini. Tahap 2 NREM terjadi selanjutnya. Tahap ini ditandai dengan kelompok tidur atau kompleks K pada elektroenchepalogram (EEG). Tahap ini berlangsung sekitar 10-25 menit dan dianggap sebagai tahap tidur lebih dalam dibandingkan tahap 1. Tidur NREM tahap 3 dimulai dengan aktivitas gelombang voltase tinggi lambat yang dapat terlihat pada EEG. Tahap ini singkat, berlangsung hanya beberapa menit, dan kemudian tidur NREM tahap 4 dimulai dan biasanya berlangsung 20-40 menit. Kombinasi tahap 3 dan 4 tidur NREM, yang memiliki aktivitas EEG yang sama, membuat tidur menjadi dalam atau tidur delta sleep. Akhirnya, tidur mulai jelas, dan memasuki tahap 2, diikuti juga dengan tahap 1 tidur REM. Periode tidur REM inisial berlangsung singkat, sering hanya beberapa menit, tapi seiring dengan berjalannya malam, waktu tidur REM meningkat. Pada dewasa muda, tidur NREM mencakup sekitar 80% malam, dan REM mencakup 20% sisanya (tabel 46.1).

Tabel 46.1Gambaran tidur normal pada dewasa mudaTahapNilai ambang bangunPola EEGDistribusi tidur(%)

Tidur NREM12

34RendahTinggi

Lebih tinggiSangat tinggiGelombang tethaKompleks K atau sleep spindleGelombang deltaGelombang delta2-545-55

3-1010-15

Tidur REMBervariasi Gelombang gigi gergaji20-25

Selama kehidupan, ada evolusi distribusi tahap tidur. Bayi dan anak mempunyai persentase tidur REM dan tahap 4 tidur NREM yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan dewasa. Ketika anak mencapai usia 10 tahun, pola tidur dewasa mulai dapat diamati. Orang yang lebih tua terus mempunyai persentase tidur REM yang sama dengan dewasa muda, tetapi tidur NREM tahap 4 menurun secara drastic. Pada usia 60 tahun, tidur NREM tahap mungkin tidak lagi berlangsung, khususnya pada pria. Dengan proses penuaan, wanita mempertahankan gelombang tidur lambat lebih lama dari pada pria.

Gangguan Napas Saat Tidur

Gangguan tidur meliputi gangguan tidur yang hilang dengan sendirinya, yang menyebabkan kelelahan, sampai OSA, yang dapat menyebabkan komplikasi paru dan kardiovaskuler yang fatal. Pada tahun 1990, gangguan tidur ini diorganisasikan oleh International Classification of Sleep Disorders (ICSD) oleh American Sleep Disorders Association (ASDA). Hal ini menggantikan klasifikasi the Diagnostic Classification of Sleep and Arousal Disorders, yang diterbitkan tahun 1979. Sekarang ini ada 84 gangguan tidur berbeda yang tercatat oleh ICSD manual. Ke 84 gangguan tidur tersebut dibagi menjadi 4 kategori utama gangguan tidur; disomnia, parasomnia, gangguan tidur medis-pikiatri, dan gangguan tidur yang berubah. Ngorok diklasifikasikan dalam parasomnia. Parasomnia merupakan fenomena fisik yang terjadi terutama saat tidur dan dianggap tidak diinginkan. Parasomnia diklasifikasikan lagi menjadi 4 kategori : gangguan bangun, gangguan tidur-bangun transisi, parasomnia berhubungan dengan tidur REM, dan parasomnia lain. Ngorok diklasifikasikan sebagai parasomnia dalam kategori lain.Obatructive sleep apnea syndrome (OSAS) diklasifikasikan dalam disomnia. Disomnia merupakan gangguan tidur yang menghasilkan ngantuk berlebih. Disomnia selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi tiga subkategori : intrinsic, ekstrinsik dan gangguan tidur ritme sirkadian. OSAS diklasifikasikan sebagai disomnia intrinsic.

Gangguan Tidur Obstruktif (Obstuctive Sleep Disorders)

Pengertian kami tentang obstruksi saluran napas atas telah mengubah anggapan selama kurun waktu 3 dekade terakhir dan selama periode klinis ini penelitian tentang tidur telah berkembang dengan pesat. Pada tahun 1960an, hanya sindrom penutupan salran napas atas yang dijelaskan oleh OSA, selain gangguan tidur ngorok. Sekarang telah dijelaskan dua sindrom berbeda : (a) upper airway resistance syndrome (UARS)/sindrom resistensi saluran napas atas dan (b) OSAS. Masing-masing sindrom ini memiliki definisi yang berbeda, keduanya memiliki gejala ngantuk lama seharian akibat dari berulangnya obstruksi saluran napas atas. Gangguan ini termasuk dalam proses penyakit yang berlangsung terus menerus yang berdasarkan pada beratnya obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas parsial awalnya muncul sebagai ngorok, yang kemudian berlanjut menjadi UARS dan akhirnya OSAS. Pada pasien sendiri mungkin secara tetap mengalami keadaan ini, yaitu pasien dapat ngorok selama bertahun-tahun dan kemudian terus mengalami OSAS, tergantung pada beratnya obstruksi jalan napas atas. Masing-masing gangguan ini memerlukan polisomnogram untuk membuat diagnosis.Definisi dasar harus ditinjau kembali sebelum dijelaskan tentang tiap sindrom penutupan jalan napas. Kejadian apneu didefinisikan sebagai penghentian ventilasi selama 10 detik atau lebih lama, yang menyebabkan terbangun. Definisi kejadian hipoapnea bervariasi antar laboratorium, tetapi biasanya didefinisikan sebagai menurunnya aliran udara dalam hubungannya dengan desaturasi oksihemoglobin, yang menyebabkan bangun dari tidur. Respiratori effort-related arousal (RERA) merupakan kejadian relatif baru yang terekam selama polisomnografi. RERA didefinisikan sebagai hilangnya apnea/hipopnea dengan durasi tekanan esophageal negatif progresif selama 10 detik atau lebih lama (Pes), menyebabkan bangun atau hampir bangun. Ada tiga pola apnea : (a) obatruktif, (b) sentral dan (c) campuran. Apnea obstruktif didefinisikan sebagai hilangnya usaha ventilasi. Akhirnya, apnea campuran yaitu sebagian sentral dan sebagian obstruktif. Apnea campuran biasanya dimulai sebagai apnea sentral dan diakhiri sebagai peristiwa obatruktif (gambar 46.1).\Ngorok

Ngorok, suara yang tidak diinginkan yang terjadi terutama selama tidur, diklasifikasikan sebagai parasomnia dalam manual ICSD. Ngorok merupakan gangguan sendiri, tapi juga merupakan tanda obatruksi pharingeal tidak lengkap. Ngorok disebabkan oleh perubahan konfigurasi jalan napas atas selama tidur. Suara ngorok dipercaya berasal dari bagian yang kolaps dari jalan napas atas. Meskipun uvula sering ditandai sebagai penjahat oleh partner tidur orang yang ngorok, ngorok dapat berasal dari vibrasi palatum lunak, penyangga tonsila atau bahkan basis lidah. Pasien yang melakukan uvulektomi dapat masih mengalami ngorok. Ngorok, biasanya dideskripsikan sebagai bising frekuensi rendah yang berasal dari beberapa tempat pada saluran napas atas, fluktuatif volumenya sepanjang malam juga dari malam ke malam. Tempat timbulnya suara ngorok juga bervariasi tidak hanya antar pasien tetapi juga pada pasien yang sama. Heterogenitas jalan napas membuat penatalaksanaan ngorok menjadi kompleks.Woodson dkk tahun 1991 meneliti spesimen palatum pada apnea berat, orang yang ngorok, dan tidak ngorok dan tercatat adanya perubahan histopatologis yang sama pada pasien ngorok dan pasien apnea. Keduanya, pasien ngorok dan apnea mempunyai mukosa kelenjar yang hipertropi, kerusakan serabut otot, atrofi otot dan edema lamina propia dengan dilatasi vaskuler. Perubahan ini menyebabkan spekulasi bahwa trauma vibrasi pada jaringan pharingeal merupakan faktor etiologi pada apnea maupun ngorok.

Sindrom Resistensi Jalan Napas Atas

Pada orang yang sedang tidur, terdapat konsensus bahwa ada proses patofisiologis yang terus berlangsung pada waktu tidur yang berkaitan dengan sindrom penutupan jalan napas atas. Yang sering adalah sindrom resistensi jalan napas atas, yang dideskripsikan oleh Guilleminault dkk tahun 1993. Kelompok pasien yang dilaporkan mengalami somolen karena kebanyakan tidur tetapi tidurnya normal, dilakukan penelitian. Awalnya, kelompok pasien ini didiagnosis dengan hipersomnolen idiopatik. Setelah evaluasi selanjutnya, peneliti mencatat bahwa pasien ini memiliki gelombang EEG alpha berulang, yang menyebabkan fragmentasi tidur. Pengawaan tekanan esophagus juga dilakukan pada pasien ini. Pengawasan ini menunjukkan bahwa pasien dengan UARS mempunyai kelainan pada tekanan intratorakal yang terlalu negatif. Menurut definisi, pasien UARS mempunyai RERA 15 atau lebih per jam. RERA dideteksi dengan nokturnal PES manometri. Pada pasien dengan UARS, diperlukan usaha yang lebih besar untuk menimbulkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga terjadi peningkatan usaha bernapas dan gangguan tidur. Bangun tidur berulang, dengan etiologi independen, merupakan penyebab kelelahan seharian bahkan jika pasien tidak mengalami gangguan tidur. UARS berhubungan dengan ngorok crescendo walaupun ngorok tidak terjadi pada semua pasien. Sebaliknya pasien dengan OSAS, UARS terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pria, pada pasien non obese dan lebih sering pada dewasa muda daripada orang yang lebih tua.

Obstructive Sleep Apnea Syndrome

Obstructive Sleep Apnea Syndrome/sindrom sleep apnea obstruktif merupakan gangguan tidur dimana terjadi kejadian berulang penghentian aliran udara atau penurunan aliran udara disertai dengan berbagai gejala termasuk kelelahan berlebih. Meskipun tidak ada definisi yang diterima secara universal tentang OSAS, biaanya didenisikan sebagai indeks apnea-hipopnea (AHI) sebesar 5 atau lebih. Kriteria ini berdaarkan pada populasi dewasa muda, dan akhir tahun ini diakui bahwa orang tua yang sehat dapat mengalami lebih dari lima kali kejadian per jam tanpa konsekuesi klinis apapun. Sehingga, waktu tidur normal berakhir dan tidur OSAS dimulai bervariasi tergantung pada usia pasien dan definisi tidur individual.Sleep apnea obstruktif dibagi menjadi tiga tingkat keparahan berdasarkan pada AHI. Selain AHI, level hipoksemia berhubungan dengan ganguan napas saat tidur juga dibagi menjadi tiga level terpisah (tabel 46.2). Jumlah desaturasi yang menyertai gangguan napas spesifik saat tidur karena kapasitas residual fungsional pasien, oksigen yang tersimpan, lamanya gangguan napas saat tidur dan level saturasi baseline saat bangun. Tabel 46.2 Klasifikasi Beratnya Sleep Apnea Klasifikasi AHI

Ringan Sedang Berat 5-1415-2930

Fisiologi Obstruksi Jalan Napas Atas

Patogenesis sindrom sleep apnea obstruktif dan hipopnea mendapat perhatian khusus. Meskipun demikian, hanya pengetahuan dasar tentang abnormalitas yang mendasari penutupan jalan napas atas yang tersedia. Ada tiga bentuk fundamental yang diterima sevara luas : (a) obstruksi jalan napas atas terjadi pada pharing; (b) ukuran lumen pharing ditentukan oleh keseimbangan gaya antara gaya konstriksi tekanan negative intratorak yang dibuat oleh diafragma dan gaya dilatasi oleh otot dilatasi pharing; dan (c) abnormalitas anatomi yang menyebabkan penyempitan pharing terjadi pada banyak pasien dengan OSAS. Pada 64 pasien OSAS yang diteliti selama tidur, 81% mengalami kolaps pada level nasopharing, dengan 75% mempunyai obstruksi pada lebih dari satu tempat di jalan napas. Penemuan kolaps pada multilevel ini signifikan dan membantu menjelaskan mengapa koreksi obatruksi pada satu level biasanya tidak cukup adekuat untuk penatalaksanaan apnea.Kontrol neuromuskuler abnormal dari otot dilatator pharing dipikirkan merupakan penyebab kolapsnya jalan napas. Muskulus pterigiod medial, tensor veli palatini, genioglosus, geniohioid, dan sternohioid semuanya merupakan otot dilatator pharing. Aktivasi reflek dari otot dilatator ini dalam merespon obstruksi jalan napas sering gagal pada pasein dengan OSAS. Kegagalan aktivasi reflek ini memberikan defek pada kontrol ventilasi pada pasien apnea, keterlambatan aktivasi reflekdan defek pada mekanisme bangun. Sehingga, nampaknya ada kegagalan untuk dilatasi jalan napas pada pasien dengan OSAS selama tidur, yang menyebabkan instabilitas dan kolapsnya jalan napas atas. Penyempitan jalan napas pharing pada semua level mengakibatkan kolapsnya jalan napas. Karena lebih besar tekanan inspirasi yang diperlukan untuk membuat aliran udara, diperlukan diameter jalan napas yang lebih kecil, penyempitan anatomis pharing lebih sering kolaps dari pada pharing melebar. Abnormalitas sering terlihat pada pemeriksaan fisik pasien dengan OSAS termasuk elongasi soft palatum, retrognatia, hipertrofi tonsil atau adenoid, makroglossi dan mikrognatia (gambar 46.2). data cephalometri dan studi akustik terkait menunjukkan bukti objektif penyempitan skeletal dan soft tissue jalan napas pada pasien dengan OSAS.

Evaluasi Klinis Pasien dengan Suspek Sleep Apnea

Anamnesis

Evaluasi awal pasien yang diduga mengalami sleep apnea sebaiknya meliputi data input dari partner tidur atau keluarga. Pasien sering tidak sadar dengan gejala nokturnal apneanya dan biasanya membuat masalah dengan partner tidurnya oleh karena gejalanya mulai mengganggu aktivitas hariannya. Gangguan fungsional harian bisanya manifes sendiri selama waktu yang lama, sehingga pasien menyesuaikan gaya hidupnya untuk mengakomodasi kelelahannya. Sering keluarga atau teman kerja yang pertama memberi komentar tentang adanya ngantuk seharian pada seseorang. Sebenarnya, pada beberapa kasus, partner tidur lah yang sering meminta perawatan kesehatan terhadap pasien meskipun sering diprotes oleh pasien tersebut. Proses evaluasi awal sebaiknya meliputi anamnesis riwayat tidur yang rinci, pemeriksaan fisik secara langsung, dan edukasi pada pasien dan keluarganya. Pada kunjungan awal, video edukasi pasien atau pamflet sebaiknya diberikan sebelum pasien dievaluasi oleh dokter. Hal ini membuat pasien dan keluarganya melihat kembali pada proses penyakitnya dan membandingkannya dengan pasien sampel yang dipakai untuk tujuan edukasi. Setelah proses edukasi, kuesioner tidur dilengkapi. Anamnesis tidur sebaiknya mencakup (a) waktu tidur (b) waktu bangun (c) waktu terbangun (d) posisi badan saat tidur (e) tidur gelisah (f) pemakaian alkohol atau sedatif (g) intake cafein (h) suara napas mulut saat tidur dan (i) status menopouse/terapi pengganti hormon.Gejala dan tanda yang sering muncul pada sleep apnea adalah ngorok dan ngantuk seharian. Ngantuk merupakan keluhan subyektif dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ngantuk dapat dievaluasi lebih obyektif dengan skala Epworth Sleepiness Scale atau Standford Sleepines Scale. Kedua skala ini sering digunakan untuk meminta pasien menilai tingkat kelelahannya dalam berbagai situasi dan kemudian memberikan skor total ngantuk. Skala ini dapat dimasukkan dalam kuesioner awal. Gejala dan tanda lain dapat dibagi menjadi gejala siang hari dan malam hari. Selain gejala dan tanda tersebut, ada karakteristik pasien yang berhubungan dengan sleep apnea. Karakteristik yang sering yaitu laki-laki, usia menengah ke atas, obesitas trunkus, lingkar leher luas, dan hipertensi (gambar 46.3). Meskipun semua karakteritik ini berhubungan dengan sleep apnea, nilai prediktif dari tiap karakteristik individu atau kelompok masih bersifat usulan. (tabel 46.3).

Tabel 46.3Diagnosis Obstructive sleep apneaAnamnesisGejala dan tanda malam Ngorok keras Gangguan tidur Terengah-engah atau Apnea Gejala dan tanda siang Ngantuk berlebihan Gangguan kognitif Nyeri kepala pagi hari Impotensi

Pemeriksaan fisik Tanda vital dan BMI Pemeriksaan kepala dan leher lengkap

Laboratorium Polisombografi Rontgen kepala Oksimetri Studi fungsi tiroid, evaluasi jantung

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien ngorok atau sleep apnea sebaiknya mencakup pemeriksaan lengkap kepala dan leher, yang paling sering, pemeriksaan endoskopik juga diperlukan. Pemeriksaan tersebut mencari kemungkinan sekule medis dari apnea, seperti hipertensi dan gagal jantung kongestif. Semua pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan tanda vital lengkap, dihitung indeks massa tubuhnya (berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter) dan lingkar leher (diukur pada membran cricotirois) atau ukuran kerah leher yang dicatat saat kunjungan awal. Jika ada obesitas, pola obesitas dicatat. Obesitas trunkus atau sentral diketahui berhubungan dengan gangguan napas saat malam hari. Tanda vital dan berat badan diperiksa tiap kali kunjungan. Pasien yang diduga mengalami apnea berat bisa mengalami edema kaki. Pemeriksaan kepala dan leher lengkap juga dilakukan. Jalan napas harus diperiksa terutama untuk daerah obstruksi atau yang anatominya disproporsi. Pemeriksaan jalan napas dapat dibagi menjadi pemeriksaan otot skeletal dan abnormalitas soft tissue. Kebanyakan pasien dengan sleep apnea, salah satu fokus patologi anatomi spesifik jarang diidentifikasi. Seringnya, penyempitan otot skelet dikombinasikan dengan kelebihan soft tissue pharing atau neuromuskuler menyebabkan disfungsi jalan napas pada waktu malam. Penting untuk menyadari bahwa tidak ada jalur fisik yang khas yang menjamin terjadinya kolaps jalan napas. Umumnya, seorang laki-laki berat badan berlebih usia 50 tahun lebih mungkin mengelami sleep apnea dari pada wanita kurus berusia 20 tahun. Pemeriksaan fisik jalan napas dari tiap pasien penting dilakukan sebelum meminta polisomnogram. Wanita muda yang retrognatik dan mengalami hipertrofi tonsil lebih sering mengalami sleep apnea dari pada laki-laki dengan kelainan struktural craniofacial normal dan tidak memiliki tonsil. Pemeriksaan kepala leher dapat dilakukan dengan berbagai tujuan, tapi direkomendasikan rutin. Awalnya, cavitas nasal dapat diperiksa dari anterior dengan spekulum, diikuti dengan pemeriksaan lengkap dengan endoskopi fleksibel. Pemeriksaan nasal sebaiknya dilakukan dengan dan tanpa dekongestan. Deviasi septum nasi, polips nasi, hipertropi konka dan kolaps katup nasal merupakan penyebab tersering obstruksi nasal. Cavitas oral sebaiknya diperiksa dengan menggunakan tongue spatel dan dilihat keseluruhan ukuran, bentuk dan kedalaman palatum keras dan palatum lunak, mengevaluasi posisi dan ukuran lidah, dan mencatat ukuran tonsil, jika ada. Ukuran lidah, ukuran tonsil dan indeks massa tubuh (BMI) merupakan prediktor yang signifikan dari OSA. Leher sebaiknya diperiksa ukurannya dan bentuknya, limfadenopati dan abnormalitas tiroid. Seringnya leher obese pada pasien dengan sleep apnea dan oleh karena itu palpasi kadang menutupi adanya kelainan. Imaging diagnostik seperti ultrasonografi atau CT scan bermanfaat pada pasien dengan leher obese ini. Pemeriksaan keseluruhan jalan napas sebaiknya dilakukan pada setiap pasien. Tumor laring, nasopharing dan basis lidah dapat menyebabkan onset baru ngorok pada pasien yang sebelumnya tidak ngorok. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sementara pasien duduk atau dalam posisi supinasi. Pertama, pemeriksaan umum laring, hipofaring, oropharing, nasopharing dan cavitas nasal posterior dilakukan. Kemudian, valvula velopharingeal sebaiknya diperiksa mengenai pola penutupannya. Dua pola penutupan berbeda bisa terlihat : pola coronal, dimana ada pergerakan anteroposterior velum, kebalikan dengan pola sirkular, dimana ada pergerakan medial dinding pharing. Manuver Muller kemudian dilakukan pada level basis lidah dan diatas valvula velopharing dengan meminta pasien menghirup napas dengan menutup mulut dan cavum nasi sementara scope fleksibel diletakkan. Pola dan derajat kolaps dievaluasi pada tiap level. Karena manuver Muller tergantung pada usaha tiap pasien, sebaiknya pemeriksaan ini diulang beberapa kali pada tiap level. Banyak sistem tahapan yang memberikan skor atau kategori untuk menjelaskan derajat kolapsnya jalan napas. Tidak ada nilai standard untuk sistem tahapan ini; sehingga dapat lebih sederhana untuk menjelaskan jumlah kolaps paa tiap level pharing.

Evaluasi Radiografi

Berbagai macam teknik imaging telah digunakan untuk mengevaluasi komponen struktural dan fungsional jalan napas atas pada pasien dengan suspek atau terkena sleep apnea. Teknik utama yaitu rontgen kepala. CT scan, MRI, manometri, refleksi akustik dan somnofluoroskopi merupakan modalitas lain yang digunakan terutama sebagai peralatan investigasi untuk meingkatkan pengertian kita tentang fisiologi jalan napas atas juga untuk memberikan informasi klinis tentang pasien sendiri.

Rontgen Kepala

Rontgen kepala tidak mahal, siap tersedia, gambaran statik dua dimensional jalan napas yang diambil dengan pasien sadar dan dalam posisi tegak. Apakah rontgen kepala sebaiknya dilakukan rutin preoperatif masih diperdebatkan. Penanda spesifik diidentifikasi dan digunakan untuk mengukur ruang jalan napas tertentu dan hubungan struktur skeletal. Anatomi soft tissue juga diperiksa, walaupun gambaran kepala digunakan terutama untuk mengevaluasi anatomi tulang. Banyak peneliti menunjukkan bahwa pola craniofacial tertentu sering terlihat berhubungan dengan OSAS. Abnormalitas yang sering terlihat pada pasien dengan OSAS yaitu (a) retrognatia (b) penyempitan runag jalan napas posterior (c) meingkatnya jarak mandibular plane sampai os hioid (d) pemendekan basis cranii anterior dan (e) perluasan palatum lunak. Analisis struktur tulang jalan napas atas telah menumbuhkan teori bahwa orang tertentu mempunyai struktur craniofacial menguntungkan dan toleransi obesitas tanpa berkembangnya sleep apnea, sedangkan pasien dengan struktur craniofacial tidak menguntungkan dapat mengalami sleep apnea dengan tidak adanya obesitas. Pasien dengan oklusi gigi normal dapat mentoleransi obesitas lebih besar dari pada pasien dengan retrognatia atau ruang jalan napas posterior yang sempit.

Studi Diagnostik

Berbagai skala tidur menilai jumlah ngantuk seharian dan digunakan untuk menentukan pasien mana yang sebaiknya dilakukan polisomnografi. Dua Skala yang paling sering digunakan yaitu skala Epworth Sleepiness Scale dan skala Standford Sleepiness Scale. Keduanya bermanfaat menyesuaikan evaluasi awal pasien dan dapat digunakan untuk memonitor gejala pasien sementara mereka sedang menerima pengobatan, tapi tidak ada yang dapat memprediksi apnea dengan kepastian besar. Kombinasi gejala dan karakteristik pasien yang dapat memprediksi siapa yang memerlukan polisomnografi telah dievaluasi oleh banyak peneliti. Kombinasi ngantuk seharian, kebiasaan ngorok, apnea, dan terengah-engah malam hari merupakan prediktor kuat sleep apnea secara klinis yang signifikan. Pada kelompok pasien dengan LAUP, 850 pasien dievaluasi untuk menentukan apakah gejala dan tanda klinis dapat memprediksi apnea, sehingga memudahkan dokter untuk menurunkan jumlah pasien yang direncanakan polisomnografi sebelum prosedur outpasien ini. Hasil dari dua model analisis regresi, peningkatan BMI, apnea, tertidur waktu nyetir, jenis kelamin laki-laki, dan peningkatan usia merupakan prediktor signifikan dari sleep apnea. Meskipun semua faktor ini berhubungan dengan OSAS, belum ada kelompok gejala atau karakteristik pasien yang dapat memastikan atau menolak sleep apnea dengan kepastian. Uji diagnostik untuk jangkauan OSAS dari gold standard polisomnografi pada laboratorium tidur menjadi rekaman tape bernapas saat malam dilakukan sendiri di rumah oleh pasien. Polisomnografi merupakan studi komprehensif yang digunakan untuk mendiagnosis spektrum luas gangguan tidur. Keduanya variabel tidur dan kardiopulmoner dievaluasi secara ekstensif selama polisomnografi. Karena alasan ekonomi yang tidak membolehkan, alternatif yang lebih kurang biaya tapi banyak efikasi dilakukan. Beberapa alternatif ini digunakan sebagai peralatan screening untuk mentarget pasien yang memerlukan evaluasi lebih lanjut; yang lainnya digunakan untuk menggantikan uji laboratorium tidur konvensional.

Peralatan Monitoring Portable

Gold standard diagnosis OSAS saat ini adalah in-laboratorium, adanya teknisi, polisomnografi (PSG). Portable Monitoring (PM) telah diusulkan sebagai alternatif dari polisomnogram standard. Keuntungan potensial dari PM adalah menyenangkan bagi praktisi dan pasien, ketersediaan peralatannya, biayanya yang lebih murah dan kelhlian yang lebih mudah yang diperlukan untuk studi ini. Peralatan portable monitoring berkiar dari peralatan yang mencatat satu sinyal, seperti oksimetri, sampai peralatan yang mencatat banyak sinyal seperti polisomnografi. Peninjauan berdasar bukti yang ekstensif tentang status PM saat ini untuk memdiagnosis OSAS baru dipublikasikan. Selain itu, berdasarkan pada tinjauan ini, pedoman praktek klinis update dikembangkan dan dipublikasikan dalam jurnal Sleep tahun 2003. Portabel monitor dibagi menjadi tiga kategori (1) jenis 2-memiliki minimal 7 saluran termasuk EEG; (2) jenis 3-memiliki minimal 4 saluran dengan sedikitnya dua saluran pergerakan respirasi; dan (3) jenis 4-biasanya mengukur satu atau dua parameter. Bukti dari dua publikasi ini berdaarkan pada 49 artikel dalam literatur. Sorotan dari artikel ini adalah bahwa ada tidak cukup bukti yang tersedia untuk merekomendasikan PM saat itu. PM dapat digunakan pada lingkungan tertentu.Tetapi, oksimetri (peralatan monitor jenis 4) dapat berperan dalam kombinasi dengan uji lain untuk menilai pasien bedah untuk meminimalkan prosedur invasif palatum. Beberapa studi telah meneliti peranan oksimetri malam hari sebagai peralatan screening untuk OSA. Tergantung pada parameter yang dipilih, oksimetri dapat mempunyai sensitivitas setinggi 100% dan spesifisitas setinggi 98%. Gyulay dkk tahun 1993 mengatakan bahwa jika persentase waktu yang dihabiskan dengan level saturasi oksigen di bawah 90% kurang dari 1% waktu tidur, secara klinis signifikan apnea praktis dapat disingkirkan. Pada populasi anak, PSG tidak rutin dilakukan. Orang tua pasien dengan hipertropi tonsil atau adenoid sering meminta merekam suara pernapasan anaknya saat tidur. Rekaman itu dibawa ke dokter, yang mendengarkan selama beberapa menit, dan penentuan dibuat apakah pernapasan mengalami obstruksi. Akurasi rekaman ini masih dipertanyakan. Biaya dan kesulitan meminta PSG formal sebaiknya diseimbangkan dengan biaya, morbiditas, dan keberhasilan dari tonsilektomi dan adeniodektomi pada populasi ini.

Polisomnografi

Rekaman polisomnogram standard (a) EEG, (b) elektrooculogram, (c) elektrokardiogram (ECG), (d) elektromiogram (EMG), keduanya submental dan tibialis anterior; (e) saturasi oksihemoglobin; (f) aliran udara nasal dan oral (g) pergerakan toraks/abdomen; (h) posisi tidur, dan (i) tekanan darah. Beberapa laboratorium juga mencatat tekanan esofageal untuk menilai usaha pernapasan. Samua informasi ini ditinjau dan dilaporkan dalam laporan studi tidur. Laporan sebaiknya memuat (a) latensi tidur (lamanya waktu untuk terbangun); (b) efisiensi tidur (total waktu tidur/tidur di bed); (c) RDI; (d) jenis gangguan pernapasn juga rata-rata dan lamanya maksimal tiap jenis kejadian; (e) arsitektur tidur; (f) volume dan adanya ngorok; (g) efek posisi pada gangguan pernapasan; (h) apakah gangguan pernapasan terjadi lebih sering pada tahap tidur tertentu dan (i) jumlah dan beratnya desaturasi oksigen juga jumlah total waktu dengan kadar saturasi oksigen abnormal.Seringnya, sulit untuk menentukan informasi apa yang penting ketika mengevaluasi pasien untuk prosedur pembedahan. Faktor yang paling penting yang sering pada publikasi bedah adalah RDI, semakin rendahnya SaO2 pada malam hari juga waktu dengan saturasi oksigen dibawah 88% dan penemuan ECG. Ketiga parameter ini memberikan gambaran pada dokter bedah tentang beratnya apnea ketika menentukan pilihan pengobatan.Penting juga untuk diperhatikan bahwa dua jenis studi dapat dilakukan : full-night dengan split-night. Studi full night berdasarkan data rekaman selama satu malam penuh; tidak ada pengobatan yang dimasukkan. Sering disebut sebagai keuntungan studi full night sebagai kebalikan dari studi split night, lamanya rekaman tanpa intervensi pada studi full night membuat refleksi lebih akurat mengenai beratnya apnea. Sleep apnea sering memburuk selama setengah akhir malam. Sehingga, studi split night mungkin tidak akurat menilai beratnya apnea karena hanya 1 atau 2 jam pada permulaan malam yang direkam sebelum dimulai continuous positive airway pressure (CPAP) nasal. Selain itu, selama studi full night semua posisi dapat dinilai dengan adekuat. Data mendukung studi split night menunjukkan bahwa RDI pada bagian pertama malam merupakan prediktif dari setengah kedua malam pada banyak pasien dan bahwa kebanyakan pasien tidak dapat secara adekuat terukur pada malam pertama. Data yang melawan studi split night menunjukkan bahwa permintaan CPAP nasal kurang dan sebanyak seperempat pasien meminta pembacaan yang tepat nilai CPAP nasalnya setelah studi split night.

Tes Latensi Tidur Multipel

Tes latensi tidur multipel/Multiple sleep latency test (MSLT), juga termasuk studi tentang tidur siang, digunakan untuk mengukur ngantuk seharian secara obyektif. Pasien diberikan empat atau lebih kesempatan untuk tidur siang selama 1 hari selama interval 2 jam, dan latensi dari onset tidur dan tidur REM dievaluasi. MSLT tidak diperlukan untuk mendiagnosis OSAS. Tes ini lebih sering digunakan untuk mencatat ngantuk pada pasien dengan polisomnogram normal. Tes ini juga digunakan oleh industri tertentu seperti oleh industri truk atau penerbangan untuk mencatat ngantuk pada pekerjanya.

Evaluasi Medis Preoperatif pada Pasien dengan Sindrom Sleep Apnea Obstruktif

Setelah diagnosis OSAS dibuat, evaluasi medis pasien diperlukan sebelum merencanakan intervensi pembedahan. Semua faktor yang dapat mempredisposisi atau mengeksaserbasi obstruksi jalan napas atas yang dapat dikoreksi sebaiknya dilakukan pada saat preoperatif. Misalnya bisa terjadi pernurunan berat badan; bahkan sampai 10-15 pond yang dapat meningkatkan beratnya apnea yang signifikan. Sehingga, faktor komorbid termasuk aritmia jantung, gagal jantung kongestif, hipertensi sistemik, hipotiroidisme, obesitas dan refluks esofageal memerlukan perhatian apakah penanganan pembedahan atau penanganan obat-obatan yang dipilih.

Penyakit Kardiovaskuler

Penyakit kardiovaskuler/cardiovaskuler disease (CVD) dapat disebabkan karena OSAS, dieksaserbasi karena OSAS dan dapat diperbaiki jika diberikan penanganan pada OSAS. Dimulai pada tahun 1995 sampai 1998, studi cohort dari 6.424 individu separuh baya dan usia tua, studi dasar tentang CVD dilakukan untuk mengevaluasi konsekuensi kardiovaskuler dari sleep apnea. Studi crosssectional multi senter ini diketahui sebagai studi Sleep Heart Helath study (SHHS). Berdasarkan pada studi komprehensif ini, ada efek ringan hingga berat dari gangguan napas saat tidur pada CVD. Pada studi lain, Young dkk menganalisis sunkelompok partisipan SHHS dan memfokuskan pada hubungan hipertensi dan SDB. Setelah mengontrol faktor lain (usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, pengukuran lain terhadap lemak, intake alkohol dan merokok), AHI dihubungkan dengan hambatan yang lebih besar terhadap hipertensi dengan hubungan respon. Penyakit kardiovaskuler sering terjada pada pasien dengan SDB ringan-berat yang sering memerlukan evaluasi jantung lengkap, khususnya jika intervensi pembedahan direncanakan. Hipertensi sistemik ditemukan pada sekitar 50% pasien OSAS, hipertensi pulmoner ditemukan pada 10%-20% dan aritmia jantung juga sering didapati pada populasi ini. Penjelasan pre operatif juga follow up post operatif juga direkomendasikan. Penanganan bedah berkelanjutan, dengan tekanan jalan napas positif atau intervensi pembedahan, dapat menurunkan tekanan darah dan obat antihipertensi dapat dihentikan.Hipotiroidisme dan Akromegali

Semua diagnosis terbaru pasien sebaiknya rutin dievaluasi mengenai hipotiroidisme. Meskipun insidensi hipotiroidisme pada pasien dengan sleep apnea tidak sering dijumpai, screening untuk hormon tiroid (TSH) sendiri juga tidak mahal. Beberapa studi mengindikasikan bahwa pengganti tiroksin melawan frekuensi apnea tidak tergantung perubahan berat badan dan fungsi paru. Pengganti hormon tiroid harus diberikan secara bertahap dalam kombinasi dengan pengobatan apnea untuk menghindari komplikasi kardiovaskuler. Gangguan endokrin lain yang berhubungan dengan sleep apnea adalah akromegali. Akromegali lebih jarang dari pada hipotiroidisme, sehingga screening rutin tidak direkomendasikan. Jika pasien diketahui mengalami peningkatan ukuran tangan atau kakinya, perubahan penampakan mukanya, atau tanda dan gejala lain akromegali, maka diperlukan evaluasi. Setelah mengobati akromegali, beratnya OSA sering membaik. Sehingga, banyak pasien dengan akromegali sebaiknya dimulai dengan melakukan CPAP nasal. Setelah akromegali diterapi, diperlukan polisomnogram ulang.

Obesitas

Obesitas bukan merupakan prasyarat OSAS, tapi ada prevalensi tinggi obesitas pada populasi pasien ini. Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (BMI) 30 kg/m2 atau lebih. BMI dihitung dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Kurva yang tepat tersedia untuk menghitung BMI; sebaiknya hal ini dicatat setiap kunjungan pasien. Pasien yang sering obesitas yaitu laki-laki, obesitas trunkus, berhubungan dengan penyakit pernapasan. Penambahan berat badan terlihat pada wanita, dimana penambahan berat badan terlihat pada ekstremitas bawah, tidak dipengaruhi oleh pernapasan seperti pada obesitas trunkus. Pepatah lama apel atau obesitas trunkus melawan peer atau obesitas badan bawah penting ketika menilai kemungkinan pengaruh obesitas pada pasien dengan gangguan napas saat tidur. Obesitas merupakan masalah kesehatan utama di amerika serikat. Data dari survey pada 4.115 laki-laki dan wanita dewasa sebagai bagian dari survey pemeriksaan kesehatan nasional dan nutrisi (NHANES : 1999-2000) menunjukkan bahwa prevalensi obesitas, BMI 30 kg/m2 sebesar 30,5%. Prevalensi overweight, BMI 25 kg/m2 selama periode ini sebesar 64,5%. Ada peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan data yang diperoleh pada NHANES III periode 1988-1994. Penambahan dan penurunan berat badan pada pasien dengan gangguan napas saat tidur dievaluasi pada pasien yang mengikuti studi Wisconsin sleep Cohort Study, studi prospektif berlanjut dari anamnesis SDB pada dewada usia menengah. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan 10% berat badan dapat diprediksi pada sekitar 32% peningkatan pada AHI dan pengurangan 10% berat badan diprediksi 26% penurunan AHI. Hal ini merupakan informasi penting untuk dibagikan pada pasien SDB yang perlu menurunkan berat badan. Banyak pasien tidak menyadari bahwa peruabahan berat badan ringan dapat mengubah secara signifikan pengaruh pada beratnya SDBnya. Faktor pencetus merupakan konsep penting ketika melakukan konseling dengan pasien overweight. Misalnya, laki-laki tinggi 6 kaki yang beratnya 200 lbs dan ngorok tapi tidak apnea atau lelah seharian. Jika dia mengalami kenaikan 20 lbs, dia akan mengalami apnea simptomatik. 10% peningkatan berat badan ini dapat menjadi faktor pencetus apnea. Pasien ini kemudian dikonselingkan untuk mempertahankan berat badannya pada 200 lbs atau dibawahnya. Berdasarkan pada struktur skeletal dan soft tissue dari jalan napas atas, pasien dengan jalan napas sempit akan mengalami SDB dengan peningkatan berat badan sedang, sedangkan pasien dengan jalan napas atas lebih luas dapat meningkatkan berat badan secara signifikan sebelum mereka mengalami obstruksi napas.

Penyakit Refluks Asam

Penyakit refluk asam sering menyertai gangguan obstruksi napas saat tidur. Obesitas menjadi predisposisi pasien untuk mengalami penyakit refluks asam juga mempercepat perubahan tekanan intratoraks yang terlihat selama obstruksi napas. Sangat beralasan untuk menganggap bahwa semua pasien dengan SDB mengalami penyakit refluks asam, sampai dibuktikan tidak. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit refluks sangat kritis karena bukti bahwa penyakit ini dapat memperburuk beratnya SDB. Refluks berhubungan dengan peningkatan jumlah gangguan bangun saat tidur, yang meningkatkan ngantuk siang hari. Selain itu, edema pharing eingan karena refluks selanjutnya dapat mengkontribusi terjadinya obstruksi jalan napas. Steward meneliti penggunaan terapi proton pump inhibitor dan pencegahan refluks pada pasien dengan gangguan napas saat tidur yang ringan-sedang. Setelah 3 bulan pengobatan, perbaikan yang signifikan secara statistik ditemukan pada ngantuk seharian tadi, gejala reflusk, terbangun dan ngorok (berdaarkan pada penilaian partner tidur). Tidak ada perbaikan signifikan ditemukan pada indeks apnea, AHI, indeks ngorok, atau suara ngorok relatif. Modifikasi gaya hidup untuk menurunkan refluks asam seperti menurunkan atau membatasi cafein, tembakau, dan alkohol, merupakan anjuran yang beralasan untuk semua pasien dengan gangguan napas saat tidur. PenatalaksanaanIndikasiMeskipun para klinisi pada umumnya sepakat dengan definisi OSAS, pilihan penatalaksanaannya sesungguhnya harus disendirikan. Faktor-faktor yang perlu diperhitungkan termasuk beratnya tanda dan gejala, fungsi kardiopulmoner pasien, dan hasil polysomnography. Pasien yang menunjukkan gejala asimtomatik seringkali tampak kurang antusias daripada pasien yang menunjukkan adanya keluhan tiap hari. Apakah pasien yang menunjukkan gejala asimtomatik dengan derajat apneu ringan harus diterapi masih diperdebatkan. Menurut data yang dihasilkan, score AI lebih besar dari 20 berhubungan dengan adanya peningkatan mortalitas. Jadi, sebagian besar dokter merekomendasikan bahwa sekalipun pasien dengan gejala asimtomatik dengan penemuan seperti itu harus diterapi. Sebagai tambahan, kehadiran faktor resiko terhadap penyakit jantung, seperti merokok, hipertensi, atau kadar kolesterol yang meningkat, pasien dengan derajat apneu ringan dapat memperoleh manfaat dari penatalaksanaan tersebut. Jadi, keputusan untuk menangani apneu ringan harus berdasarkan efek OSAS terhadap fungsi kehidupan sehari-hari dan berdasarkan fungsi cardiopulmonary daripada jumlah kejadian respirasi abnormal sebenarnya yang ditemukan pada polysomnography. Semu pasien dengan derajat apneu sedang atau berat harus diterapi tanpa memperhatikan adanya gejala yang mereka tunjukkan.Tentu saja, keputusan untuk memberi terapi juga harus memperhitungkan pilihan-pilihan yang ada dan resiko yang berkaitan dengan terapi. Jika pilihan terapi berkaitan dengan tingkat komplikasi minimal, layak digunakan pada pasien yang memiliki kebiasaan mendengkur dengan derajat apneu ringan atau tanpa apneu/nonapneic, contohnya pada pasien yang sedang menjalani terapi kebiasaan mendengkur dan pada evaluasi memiliki OSA ringan. Pasien tersebut menunjukkan gejala asimtomatik dengan memperlihatkan apnea. Pada pasien ini, tidak ada terapi atau hanya ada terapi untuk kebiasaan mendengkur yang layak, yang mungkin dapat atau tidak mengubah gejala apnea. Jika keluhan pasien adalah kelelahan setiap hari atau jika dia memiliki faktor resiko terhadap penyakit jantung, penatalaksanaan terhadap apneu diperlukan.

Penatalaksanaan non operasiTerapi tingkah lakuPilihan terapi tingkah laku pada pasien dengan kebiasaan mendengkur dan OSAS layak dijalani oleh sebagian besar pasien. Penurunan berat badan, menghindari alkohol dan obat-obatan yang menyebabkan sedasi, dan menghindari tembakau dan kafein dari rutinitas harian diketahui bermanfaat sebagai terapi terhadap gangguan ini. Meskipun adanya efikasi efek jangka pendek penurunan berat badan, biasanya disadari akan rendahnya efek jangka panjang penurunan berat badan. Karena alasan tersebut, terapi tingkah laku sebaiknya diberikan sebagai terapi adjuvan sementara pilihan terapi yang efektif segera dilakukan. Banyak pasien mendapat manfaat selama 1-3 bulan dari terapi CPAP nasal yang dikombinasikan dengan penurunan berat badan atau mengurangi kebiasaan yang memicu atau keduanya dalam persiapan untuk prosedur pembedahan. Uraian ini memberikan pasien sebuah kesempatan untuk memulai perubahan kebiasaan sementara diterapi. Sebagai tambahan, pasien seringkali benar-benar dimotivasi selama masa preoperative, untuk segera menggunakan masker CPAP nasal.Positive Airway Pressure DevicesPenatalaksanaan non operative untuk pasien SDB dimulai dengan percobaan alat positive airway pressure (PAP) (gambar 46.4). Saat ragu-ragu, akan memberi tekanan pada hidung adalah komentar kocak yang menandai filosofi para dokter yang mnggunakan alat tersebut untuk pasien dengan SDB. Alat PAP ini bermanfaat; yaitu, jika pasien menggunakan alat PAPnya pada malam hari, alat tersebut mengurangi atau menghilangkan gangguan pernafasan. Ada berbagai tipe yang berbeda dari alat, masker, dan humidifier (alat pelembab udara) yang tersedia saat ini. Biasanya CPAP adalah alat yang banyak digunakan. Jika pasien tidak dapat terbiasa dengan CPAP, Bilevel Position Airway Pressure (BiPAP) merupakan alternatif alat lain yang sering direkomendasikan. BiPAP memberikan tekanan positif pada dua perbedaan tekanan tertentu; tekanan inspirasi yang lebih tinggi dan tekanan ekspirasi yang lebih rendah. Alat baru lainnya adalah Auto-titrating PAP (APAP), yang mengatur tekanan secara kontinyu, sesuai kebutuhan, untuk menjaga keutuhan jalan nafas.Alat ini sangat membantu tapi tidak selalu efektif dalam penatalaksanaan SDB. Hanya efektif jika dipakai oleh pasien pada basis regular selama sepanjang malam untuk seterusnya. Pada pasien muda, pasien dengan penyakit ringan, pasien dengan gejala yang asimtomatik, dan pasien dengan obstruksi nasal yang signifikan biasanya menggunakan alat PAP. Pasien-pasien tersebut seringkali menjalani evaluasi pembedahan.

Oral appliancesOral appliances merupakan suatu istilah umum untuk berbagai macam alat yang dimasukkan dalam cavum oris pada malam hari dengan tujuan mengubah posisi mandibula atau lidah untuk mengurangi kebiasaan mendengkur atau sleep apnea. Terdapat dua kategori oral appliances. pertama didesain untuk memajukan posisi mandibula, disebut sebagai mandible (atau jaw) advancement device (MAD). Alat lainnya menjaga lidah pada posisi anterior selama tidur yang berarti memberi tekanan negatif pada ujung plastik (plastik bulb) dan disebut sebagai tongue-retaining devices (TRD). Pada artikel dan makalah parameter praktis yang dikeluarkan ISDA mengenai dental appliances, kebiasaan mendengkur diketahui membaik pada sebagian besar pasien dan dihilangkan pada sebanyak 50% pasien yang menggunakan oral appliances. Meskipun sebagian besar penelitian menghasilkan data subjektif dari pasien atau partner tidur, sebuah penelitian secara objektif mencatat perbaikan kebiasaanmendengkur dengan MAD. Data mengenai perbaikan secara penuh jangka panjang terbatas, tapi pada tiga makalah dimana hal tersebut dijelaskan, dijelaskan berkisar pada 100%-52%, dan beberapa pasien telah difollow up selama lebih dari 3 tahun. Berdasarkan uraian tersebut, ISDA menyimpulkan bahwa Oral appliances merupakan pilihan penatalaksanaan yang sangat bermanfaat pada pasien dengan kebiasaan mendengkur. Mandibular advancement devices terutama sekali berguna pada pasien lemah yang retrognathic yang tidak tertarik pada pembedahan skeletal.

Positioning devicesPilihan penatalaksanaan non operative terhadap kebiasaan mendengkur dan OSAS dapat termasuk positioning devices. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan mendengkur seringkali berkurang jika pasien tidur dalam posisi selain telentang (supine). Terdapat berbagai tipe berbeda dari positioning devices; yang paling popular adalah T-shirt dengan bola-bola tenis yang dijahit pada saku belakang, yang menjaga pasien tidur dengan posisi telentang.

Penatalaksanan bedahPenatalaksanan bedah untuk pasien dengan kebiasaan mendengkur masih terus dikembangkan untuk memenuhi persyaratan prosedur yang lebih sederhana, tidak invasif, tidak nyeri, dan lebih singkat. Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan prosedur palatal pertama mengenai penatalaksanaan mendengkur. Dr. Ikematsu menunjukkan prosedur pertama kali tahun 1950an pada seorang wanita muda, yang memiliki masalah kebiasaan mendengkur yang mengganggu. Sampai akhir tahun 1980an, prosedur tersebut satu-satnya pilihan yang tersedia untuk menangani masalah mendengkur oleh karena kelainan palatum. UPPP memerlukan prosedur general anestesi, menyebabkan rasa nyeri saat pemulihan, dan memiliki komplikasi kecil tapi signifikan (gambar 46.5). Hanya sedikit pasiendengan diagnosis benign snoring yang menjalani UPPP. Pada tahun 1987, LAUP dilakukan oleh dr.Kamami, Paris, Perancis, sebagai prosedur alternatif pertama selain UPPP. Kelebihan LAUP dibanding UPPP adalah 1) LAUP dapat dilakukan dengan prosedur anestesi lokal dalam ruang praktek dokter, 2) Laup lebih murah, 3) LAUP memiliki tingkat insiden dan derajat beratnya kesakitan akibat komplikasi yang lebih rendah. LAUP pertama di United Stated pada tahun 1993 dan secara cepat menjadi sangat populer. LAUP dikerjakan oleh sebagian besar otolaryngologis, sebelum ada guideline klinis yang ditetapkan. Karena American Academy of Sleep Medicine (AASM) merasa parameter praktis sangat diperlukan, laporan mengenai parameter praktis pertama dipublikasikan pada tahun 1994 dan diperbarui pada tahun 2000.Bagaimanapun juga, nyeri postoperative yang signifikan oleh karena LAUP membuat membuat banyak pasien tidak melengkapi program-program terapi yang ada untuk mendapat keberhasilan terapi. Prosedur berikutnya yang tersedia adalah Radiofrequency Tissue Ablation (RFTA) palatum. RFTA dikenalkan pada tahun 1997 oleh Dr. Powell sebagai prosedur yang kurang invasif dan lebih mudah untuk terapi terhadap kebiasaan mendengkur (17). RFTA palatum juga merupakan prosedur bertahap yang dapat dikerjakan di bawah pengaruh anestesi lokal dalam ruang praktek dokter. Pada penelitian prospektif nonrandom, penelitian multicenter terhadap 113 pasien yang menjalni terapi mendengkur, protokol multipel lesi dianggap lebih berhasil.Bagaimanapun juga, penelitian setelahnya mencatat bahwa derajat kekambuhan setelah 14 bulan adalah 29% (19). Kemudian, Brietzke dan Marr (20) memperkenalkan prosedur yang lebih sederhana dan murah disebut snoreplasty. Prosedur tersebut secara khas terdiri atas dua sesi, tidak mahal, dan dijalani dengan mudah. Kerugiannya adalah agen sclerosing yang sulit untuk didapat dan indikasinya tidak disetujui FDA. Kemajuan paling cepat pada terapi ini adalah pengembangan implant palatum mole. Prosedur ini yang pertama reversibel, merupakan pembedahan nondestruktif yang digunakan untuk terapi kebiasaan mendengkur. Penelitian baru-baru ini telah mengindikasikan bahwa ini merupakan prosedur yang menjanjikan. Penjelasan singkat terhadap aspek teknik tiap prosedur akan dikemukakan.

LAUPLAUP biasanya dikerjakan di ruang praktek dokter dengan prosedur anestesi lokal. Lidocaine dengan epinephrine disuntikkan di atas pangkal uvula dan 1 cm lateral dari midline pada bagian interior palatum mole. Insisi vertical bilateral dibuat pada palatum, diikuti partial vaporization uvula dengan laser CO2 (gambar 46.6). Terdapat berbagai teknik dan modifikasi dari prosedur tersebut. Setiap pasien memerlukan antara 1-5 prosedur laser, kira-kira berjarak sebulan, untuk kelengkapan terapi.

RFTA palatum moleRFTA palatum mole merupakan prosedur bertahap yang dilakukan di ruang prakter dokter dengan prosedur anestesi lokal. Ketika anestesi lokal bekerja, energi RF diberikan pada palatum mole dengan jarum elestrode RF22-gauge. Secara otomatis generator memicu tenaga yang diberikan pada target dengan temperatur 80-90 C (Somnus Medical Technologies Ltd). Sebagian besar pasien segera diterapi dengan 3 dosis energi, satu midline dan dua paramedian, pada setiap tahap terapi. Jarum disisipkan dalam otot palatum mole dengan lokasi yang berdekatan pada pertemuan dengan palatum durum. Bagian aktif elektrode sebaiknya tidak diperpanjang sampai pangkal uvula atau sampai tepi bebas palatum mole. Sebagian besar pasien memerlukan 3-5 tahap terapi. Terris dkk mempublikasikan percobaan prospektif random LAUP vs RFTA. Kesimpulan dari penelitian tersebut pada 20 pasien yang didiagnosis SDB ringan adalah bahwa pasien yang menerima terapi LAUP mendapat kepuasan pemecahan masalah mendengkur sebanyak 86% dan pasien RFTA sebanyak 60%. (21)

SnoreplastySnoreplasty dilakukan dalam ruang praktek dokter menggunakan prosedur anestesi lokal. Pertama, 2.0 mL sodium tetradecyl sulfate 1% atau 3% disuntikkan pada pertengahan palatum mole. Agen sclerosing lainnya juga dapat digunakan. Lokasi injeksi adalah submukosa, membuat gelembung cairan jernih pada pertengahan palatum mole. Jika pengulangan injeksi diperlukan, area lateral palatum mole diterapi selama 6 minggu atau lebih setelah prosedur permulaan.

Pilar Soft Palate ImplantsImplant pada palatum mole ini dikerjakan dengan prosedur anestesi lokal dalam ruang praktek dokter. Antibiotik preoperatif sangat direkomendasikan, karena implant merupakan benda asing bagi tubuh. Teknik ini merupakan prosedur tunggal dimana 3 anyaman implant pillar polyester sepanjang 18 mm disisipkan dalam otot palatum mole. Pertama, kira-kira 2.0 mL anestesi lokal disuntikkan ke palatum mole, mulai pada perbatasan dengan palatum durum dan memanjang ke bawah/menuruni palatum sampai 2.0 cm, selanjutnya, implant midline diletakkan dengan menyisipkan suatu alat penghantar di bawah perbatasan dengan palatum durum sampi implant terlokasi dengan benar dan kemudin implant dilepaskan dan alat penghantar tersebut diambil kembali. Kedua implant lateral diletakkan 2.0 mm di kedua sisi impolant midline. Alat penghantar yang digunakan adalah sekali pakai dan tidak ada peralatan khusus yang diperlukan untuk melakukan prosedur ini.

Nasal surgeryOperasi hidung, septoplasty, atau turbinate reduction dilakukan pada pasien dengan obstruksi nasal dan seringkali untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan mengorok. Sepertiga dari pasien yang menjalani koreksi pembedahan obstruksi nasal melaporkan adanya perbaikan dari kebiasaan mendengkur mereka. Pengembangan baru dari tatalaksana obstruksi nasal adalah RFTA inferior turbinates. Prosedur ini dapat dikerjakan dengan enestesi lokal dalam ruang praktek dokter, mengingat septoplasty merupakan prosedur yang lebih invasif. Keuntungan dari RFTA turbinate inferior vs bentuk lain dari turbinate reduction adalah pengerasan/pengerakan kulit yang minimal terjadi akibat teknologi ini (22).Tingkat respon, biaya, struktur anatomi, tingkat pemulihan, dan komplikasi merupakan faktor-faktor yang penting sebagai penilaian utama untuk merekomendasikan suatu prosedur perbaikan kebiasaan mendengkur (tabel 46.4). Angka keberhasilan jangka pendek antara 70%-90%. Bagimanapun juga efikasi jangka panjang seringkali menurun secara signifikan. Pada publikasi landmark, Levin dan Becker di tahun 1994 mendemonstrasikan bahwa sekalipun jika hasil awal dari UPPP adalah 87% dalam tahap terapinya dengan memperhitungkan keberhasilan snoring reduction, setelah 12 bulan angka keberhasilan menurun sampai 46%.

Penatalaksanaan bedah terhadap OSASPenatalaksanaan bedah merupakan pilihan penting, dan dalam beberapa kasus merupakan pilihan terbaik, untuk pasien dengan OSAS. Tentu saja, CPAP nasal atau BiPAP juga efektif, namun, masalah yang ada bahwa perbaikan total jangka panjang tidak berlaku pada 75% pasien yang menggunakan alat ini. Perbaikan total bukanlah pokok persoalan pada pasien bedah. Pasien-pasien muda dan pasien dengan apneu ringan atau sedang lebih menyukai untuk menolak CPAP nasal atau BiPAP dan memilih terapi bedah.Ketika mempertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk pasien OSAS, penting untuk diingat bahwa sejumlah pasien tersebut memiliki massa spesifik yang menempati ruang/space-occupying mass. Pada kejadian tersebut, pasien akan memperlihatkan hanya satu tonsilar hipertrophy masif dan akan diterapi dengan tonsilektomi. Yang lebih sering, pasien dengan OSAS memiliki disproporsi anatomi. Jadi, pembedahan dilakukan untuk mengubah struktur anatomi menjadi bentuk yang diinginkan. Pada umumnya, pembesaran retropalatal, retrolingual, atu kedua rongga jalan nafas akan memperbaiki aliran udara. Prosedur-prosedur tertentu memodifikasi struktur jaringan lunak, dan yang lain mengubah anatomi skeletal. Prosedur-prosedur tersebut dapat dilakukan sendiri, berkesinambungan, atau sekuensial, tergantung berbagai faktor. Sekarang ini 5 kategori prosedur dapat dilakukan untuk menangani jalan nafas atas pada pasien apneic; a) operasi hidung, b) operasi palatum durum dengan atau tanpa tonsilektomi, c) operasi reduksi pangkal lidah, d) operasi maxillomandibullar, e) tracheotomy. Setiap kategori prosedur operasi tersebut dapat digunakan, tergantung penemuan anatomi tiap pasien, untuk mengurangi sebagian atau seluruh jalan udara. Perbaikan kecil dapat memberikan manfaat kesehatan segnifikan pada pasien. Sebagai contohnya, septoplasty atau nasal polipectomy menjadikan pasien terbiasa dengan CPAP nasal atau menurunkan level apneu sampai pada poin dimana dental device atau positional device mungkin diperlukan untuk menghilangkannya pada pasien apneu (tabel 46.5)

Manajemen anestesiPasien dengan OSAS memperlihatkan tantangan signifikan bagi pada anestesiologist. Manajemen terhadap pasien tersebut dimulai ketika prosedur operasi dipilih. Berbagai pasien apneic dengan derajat apneu sedang atau berat memerlukan evaluasi cardiac preoperasi. Pasien sebaiknya diedukasi untuk mengenakan CPAP nasal sampai waktu operasi. Jika pasien menderita apneu berat dan menolak menggunakan CPAP nasal sebelumnya, yakinkan bahwa pasien akan mendapat manfaat besar dengan mengunakan alat tersebut selama satu bulan sebelum operasi. Pasien dnegan apneu berat yang tidak menggunakan CPAP akan meningkatkan terjadinya resiko edema jalan nafas, dapat menderita gagal jantung congestive ringan dengan retensi cairan, dan memiliki kecenderungan lebih besar meningkatnya resiko edema pulmonary post obstruktif karena timbulnya obstruksi akut. Pasien juga sebaiknya diminta untuk berhenti merokok dan mencoba menurunkan berat badan pada bulan saat atau 2 bulan sebelum operasi.Pasien OSAS dianggap merupakan kasus jalan nafas yang sulit karena sebagian besar masalah mereka merupakan akibat dari macroglossia relatif oleh karena cavum oris yang kecil; ditandai dengan jaringan lunak paryngeal berlebihan, dan obesitas. Ketika jalan nafas pasien dianggap sulit dan diantisipasi dengan intubasi, menerangkan prosedur ini kepada pasien secara jelas membantu persiapan mental pasien. Akhirnya, sebelum operasi, setiap orang, termasuk pasien, harus hati-hati bahwa tidak boleh ada sedativa pre operasi yang diberikan. Pasien harus berada di ruang operasi, yang dipersiapkan jika terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, baik anastesiolog dan ahli bedah hendaknya sudah berada di kamar operasi sebelum sedasi dilakukan. Jet ventilation, plat trakeostomi, jalan nafas hidung/mulut semuanya harus siap dipergunakan dalam ruang operasi.

Tabel 46.4 Penatalaksanaan nonapneic snoringSnoringSemua pasien dinasehatkan untuk:1. Menurunkan berat badan jika memungkinkan1. Mengurangi alkohol, tembakau, dan sedatif1. Posisi saat tidur; elevasi kepala atau tempat tidur; tidur miring1. Penatalaksanaan medis terhadap esophagal reflux, sinusitis, nasal polyps

Jika kebiasaan mendengkur/snoring menetapDental appliance

Snoring menetap

Elongated palate/jalan udara pada hidung normalNormal palate/obstruksi nasalElongated palate/obstruksi nasal

pembedahanPalatal proceduresaSeptoplasty/turbinate reductionDecongestant nasal spray test(-) (+)Palatal procedureSeptoplasty/ turbinate reduction

Snoring menetap/membaikRevisi Palatal proceduresAtau Palatal procedures yang berbedaAtau dental applianceSnoring menetap/membaikPalatal procedures

Snoring menetap/membaikSeptoplasty/ turbinate reductionPalatal procedure

Snoring menetap/membaikRevisi Palatal proceduresAtau dental appliance atau menaksir obstruksi nasal

Snoring menetap/membaikDental appliance/ Revisi Palatal procedures atau menaksir obstruksi nasal

aPalatal procedure: LAUP, palatal implants atau RFTA palatum

Tabel 46.5 penatalaksanaan Obstruktif Sleep ApneaPenatalaksanaan non bedah

Penurunan berat badan

Menghindari alkohol, sedatif, dan tembakau

CPAP nasal atau BiPAP

Oral atau nasal appliances

Positional devices

Penatalaksanaan bedah

Nasal procedures

Palatal procedures, tonsillectomy

Tongue base reduction procedures

Maxillofacial procedures

tracheotomy

Adanya penemuan laringoskop fiberoptik, secara dramatis telah membantu meningkatkan manajemen jalan nafas pada pasien OSAS. Jika diperlukan, Jet ventilasi transtrakheal frekuensi-tinggi merupakan pilihan lain yang dapat digunakan dalam mengatur jalan nafas. Tapi tentu saja, faktor yang paling penting adalah keterampilan anastesiolog yang berkerja bersama tim ahli bedah tersebut. Sama halnya dengan anastesiolog, ahli bedah juga diharuskan telah mengetahui tindakan-tindakan yang harus dilakukan jika pasien mengalami apnea, tehnik intubasi fiberoptik yang ditempatkan di transtrakheal dengan anastesi lokal, seperti tahapan kegawatdaruratan pada anastesi maka pasien jangan terlalu cepat di ekstubasi. Kebanyakan pasien yang apnea menderita obesitas dan mengalami keterlambatan pengosongan lambung seperti refluk; dengan demikian, sebaiknya perut dalam kondisi kosong sebelum dilakukan ekstubasi. Akhirnya, jika jalan nafas gagal, perlu dilakukan tindakan krikotirotomi atau trakeotomi darurat. Pada pasien tanpa cadangan paru-paru dengan leher yang obese, maka tindakan ini amat sulit. Segala tindakan dilakukan berdasarkan keselamatan, sehingga menghasilkan intubasi yang aman. Kebanyakan kagawatdaruratan jalan nafas terjadi pada postoperatif dan berakibat fatal. Menghindari pemberian opiat intraoperatif, penggunaan steroid dosis tinggi perioperatif, melakukan tindakan ekstubasi saat pasien benar-benar sadar dengan tonus otot yang baik, dan melakukan tindakan trakeotomi temporer sebelum ekstubasi jika dipastikan bahwa jalan nafas tidak stabil atau jika ada kesulitan melakukan intubasi adalah beberapa metode yang dapat digunakan untuk membantu agar ekstubasi dapat lebih aman.Akhirnya, pasien harus dirawat intensif di ruang pemulihan minimal 1 sampai 2 jam. Kepala pasien diposisikan elevasi dengan sudut 600 atau lebih serta pemantauan dengan pulse oximetry secara terus-menerus; jalan nafas lewat hidung merupakan yang terbaik setelah tindakan pembedahan. Opiat dan oksigen konsentrasi tinggi harus dipertahankan pada kadar minimum untuk menghindari reduksi aliran respiratori. Pasien juga harus diawasi dengan seksama terhadap kemungkinan oedem pulmo postoperatif pada beberapa jam pertama setelah pembedahan. Kebanyakan pasien perlu pengawasan cermat dalam ruang intensive care unit atau pengawasan di tempat tidur paling tidak selama 24 jam. Tingkat pengawasan tergantung kondisi medis preoperative pasien dan beratnya derajat apnea, tindakan pembedahan yang dilakukan, dan tingkat kecakapan perawat di tempat pasien mengalami pemulihan (Tabel 46.6). Setelah postoperative, nasal CPAP amat membantu jika nasal packing tidak diperlukan. Penggunaan nasal CPAP postoperative sesegera mungkin membantu mengurangi odem jalan nafas atas, tapi dapat menimbulkan iritasi; dengan begitu penggunaannya bersifat individualisasi.Pembedahan NasalHubungan antara obstruksi nasal dan gangguan bernafas saat tidur masih belum jelas. Prinsipnya adalah, peningkatan resistensi nasal diketahui dapat meningkatkan kolapsibilitas pharing. Banyak studi mencatat bahwa nasal packing dihubungkan dengan terjadinya hipoksemia. Terbukti adanya laporan kematian pada beberapa pasien yang menggunakan nasal packing. Tema umum publikasi ini adalah adanya beragam variabilitas respon terhadap oklusi nasal. Dengan demikian, kemunculannya dapat menginduksi obstruksi nasal sering dihubungkan dengan sleep fragmentation, sleep deprivation, peningkatan beban respiratori, dan hipoapnea obstruktif serta apnea pada beberapa pasien tertentu (Tabel 46.7). Tindakan pembedahan nasal kurang berhasil dalam mengurangi kejadian SDB. Series dan kawan-kawan pada tahun 1992 meneliti 14 pasien ASAS selama preoperatif dan postoperatif PSGs setelah mendapatkan tindakan pembedahan untuk memperbaiki obstruksi nasal. Hasil studi ini menunjukkan bahwa walaupun resistensi nasal secara signifikan berkurang setelah pembedahan dan REM waktu tidur meningkat, tapi kenyataannya tidak ada perubahan yang signifikan pada AHI, waktu total apnea atau beratnya derajad desaturasi. Hasil serial pembedahan nasal kali ini adalah setengah pasien yang sebelum pembedahan intoleran terhadap CPAP menjadi pengguna yang berhasil setelah dilakukan perbaikan obstruksi nasal yang mereka derita.Pembedahan PalatumTiga tipe pembedahan palatal yang dapat dilakukan pada OSAS: UPP, uvulopalatoplasti dan transpalatal advancement pharyngoplasty. UPP merupakan tindakan yang paling sering dilakukan untuk OSAS. Kandidat UPPP ideal adalah retropalatal kolaps yang terisolasi, dan pasien yang lebih sedikit mengalami respon apnea berat dapat dilakukan tindakan UPPP dengan baik dibandingkan pasien yang apnea berat. Sher dan kawaan-kawan mempublikasikan tinjuan komprehensif UPPP yang diambil dari berbagai literatur. Banyak kesimpulan yang dihasilkan dari tinjauan ini, yang paling utama adalah bahwa tingkat keberhasilan UPPP sebanyak 41%. Angka keberhasilan ini di ambil dari seluruh pasien tetapi jika pasien tersebut telah mangalami tonsilektomi, retropalatal kolaps atau mendekati berat badan normal, maka angka keberhasilan UPPP akan lebih tinggi.Kontraindikasi tindakan UPPP adalah insufisiensi velopharingeal, pembelahan submukosa langit-langit mulut, dan pasien yang bersuara special atau kebutuhan menelan. Komplikasi UPPP yang dapat terjadi adalah perdarahan, insufisiensi velopharingeal, perubahan suara, sensasi aneh pada faring dan kematian. Akhirnya, karena UPP dilakukan di ruang operasi dan pasien membutuhkan perawatan di rumah sakit, biaya yang diperlukan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan prosedur uvulopalatoplasi, UPPP masih lebih baik dan lebih dibutuhkan bagi kebanyakan pasien. Prosedur uvuloplasti dapat dilakukan jika kadar oksigen pasien mendekati normal yang di ukur dengan pulsomnografi. Dengan demikian, kebanyakan pasien dapat diekslusi dari prosedur rawat jalan uvuloplasti. Demikian juga, pasien dengan hipertropi tonsil atau penonjolan rugae vertikal pada dinding pharing posterior harus dilakukan tindakan UPPP. Akhirnya, pasien dengan reflek muntah yang kuat biasanya memerlukan UPPP.Uvuloplasti pada prosedur rawat jalan biasanya dilakukan dengan laser (LAUP). Metode lain yang biasa digunakan adalah elektrokauter, atau cold-knife. LAUP biasanya terdiri dari beberapa sesi, mengingat prosedur uvuloplasti lainnya dapat dilakukan dengan satu kali sesi. Uvuloplasti dilakukan hanya jika didapatkan jaringan berlebih pada soft palate dan uvula, UPPP yang dilakukan terhadap struktur ini sama seperti dinding pharing lateral dan tonsil. Biasanya, uvuloplatoplasti dilakukan pada penatalaksanaan snoring dan saat ini mulai dipergunakan untuk pasien OSAS. Mickelson (23) melaporkan sebanyak 13 pasien OSAS diterapi dengan LAUP; didapatkan respon sebanyak 53,8%. Walker dan teman-teman (24) telah mengeveluasi 38 pasien OSAS yang diterapi dengan LAUP dan angka respon yang didapatkan sebanyak 47,4%. Respon yang didapatkan lebih baik dibandingkan 50% dari reduksi RDI postoperative dari ke tiga studi tersebut. Jika makna keberhasilan pembedahan adalah RDI atau kurang dari 20 kali pengukuran per jam, maka pada studi Walker angka respon yang didapatkan sebanyak 65,8%. Kebanyakan pasien yang mendapat tindakan LAUP akan mengalami apnea ringan; dengan demikian, RDI pretreatment mereka biasanya kurang dari 20 kali pengukuran per jam, angka yang sama juga digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan. Kriteria yang menunjukkan keberhasilan amat ketat, pada studi Walker, harus di bawah 20 kali pengukran dan lebih besar 50% dari reduksi RDI postoperative, angka respon pasien OSAS yang diterapi dengan LAUP sebanyak 44,7% RDI postoperative. Hasil data LAUP yang dilaporkan oleh Walker akan lebih baik jika dibandingkan dengan data UPPP (angka respon LAUP sebanyak 44,7% dibandingkan angka respon UPPP yang sebanyak 40,7%). Laporan terbaru mengindikasikan bahwa respon UPPP terhadap OSA secara progresif menurun selama beberapa tahun belakangan. Pada pengamatan juga telah ditemukan hasil yang lebih efektif jika dikombinasikan dengan tonsilektomi dibandingkan hanya dengan tindakan UPPP saja (25).Evaluasi dan seleksi pasien merupakan hal yang penting bagi keberhasilan dan keamanan pasien yang akan mendapat tindakan LAUP. The LAUP Practice Parameters menyarankan semua pasien melakukan pemeriksaan objektif sebelum dilakukan terapi; studi postoperative juga diperlukan. LAUP dapat ditawarkan sebagai alternative jika pada tindakan UPPP hasil polysomnographynya menunjukkan RDI kurang dari 20 kali pengukuran per jam saat tidur dan jika saturasi oksigen terendah tidak beranjak kurang dari 85%. Jika apnea lebih berat dan pasien lebih memilih terapi LAUP dibandingkan UPPP, maka pasien harus menggunakan nasal CPAP secara regular dengan menghitung titrasi polysomnographic terbaru. LAUP dikontraindikasikan pada pasien dengan respon muntah yang hiperaktif, mandibular retrognathia dengan makroglosia relative, insufisiensi veloparingeal, gangguan perdarahan, atau submukosa palate teriris. Komplikasi yang dapat terjadi seperti perdarahan minor, kandidiasis oral, dan insufisiensi velopharingeal temporer. Angka kejadian perdarahan amat rendah (1-3%), dan tidak ada kasus dengan insufisiensi velopharingeal permanen, stenosis nasopharyngeal, airway compromise, atau kematian yang telah dilaporkan sampai sekarang ini (26).Transpalatal advancement pharyngoplasty merupakan prosedur tindakan perluasan palatum yang dapat dilakukan jika UPPP mengalami kegagalan atau dapat dilakukan bersamaan dengan UPPP. Pendekatan kombinasi antara UPPP konservatif dengan cara memperluas soft palate pada pertemuan soft dan hard palate. perluasan ini dilakukan dengan cara memindahkan sebagian posterior hard palate dan hanya meninggalkan soft palate anterior yang menggantung. Woodson dan Toohil pada tahun 1993 melaporkan dari total 11 pasien, hanya 6 diantaranya yang pernah menjalani transpalatal advancement. Angka respon, dinyatakan jika RDI lebih sedikit dari 20 kali percobaan per jam, dan didapatkan hanya 67% pasien yang menjalani prosedur ini. Komplikasi yang dapat terjadi adalah fistul oronasal, nekrosis flap, dehisenasi luka. Para peneliti mencatat bahwa pasien yang hendak mendapatkan tindakan bimaxilarry advancement seharusnya menjalani prosedur ini karena perlunya perhatian tentang ketersediaan suplai darah ke palatum. Prosedur ini digunakan untuk menjaga pasien OSAS jika dibutuhkan untuk studi selanjutnya.Pembedahan LidahBerbagai variasi prosedur telah dikembangkan untuk mengatasi obstruksi pangkal lidah (ruang retrolingual); lingual tonsilektomi, lasser midine glossectomy (LMG), lingualplasti, RFTA lidah, dan jahitan menggantung pada dasar lidah. Laser midline glossectomy dan lingualplasti, modifikasi LMG, amat jarang dilakukan di masa sekarang karena angka morbiditasnya yang amat tinggi. Belakangan, RFTA lidah atau jahitan menggantung pada dasar lidah merupakan dua tindakan yang sering digunakan.Radiofrekuensi untuk menghasilkan ablasi jaringan lidah merupakan tindakan yang kurang invasif sehingga dapat dilakukan baik di ruang operasi atau dalam ruangan praktik. Jarum elektrose diletakkan di dalam otot lidah pada berbagai lokasi dengan penggunaan energi. Kebanyakan pasien memerlukan berbagai tahapan sesi terapi. Li dan kawam-kawan (27) melaporkan data tentang hasil jangka panjang dari 18 pasien yang lidahnya di terapi dengan RFTA. Mean yang didapat dari sesi terapi sebanyak 5,5 per pasien yang kira-kira 8.500 J. Mereka berkesimpulan bahwa kesuksesan terapi pada awalnya akan berkurang seiring dengan waktu, tetapi munculnya relaps jangka panjang akan secara jelas dapat dilihat pada index hipoapnea, jadi bukan index apnea atau skala kualitas hidup. Komplikasi yang dapat terjadi adalah terbentuknya abses yang memerlukan drainase akut dan tindakan trakeostomi, selulitis, hematoma, paralisis nervus hipoglosus dan ulserasi mukosa.Jahitan yang menggantung pada dasar lidah merupakan tehnik tindakan invasif minimal yang ternyata setelah diteliti merupakan jenis metode lain yang dapat digunakan pada obstruksi ringga retrolingual. The Repose System (InfluENT Inc. Herzalia, Israel)menggunakan sekrup titanium yang diletakkan pada bagian dalam kortek mandibula dan kemudian dibuat jahitan permanen yang menukik melalui pangkal lidah posterior dan dikunci kearah anterior mengelilingi sekrup. Keuntungan tehnik ini adalah tindakan ini merupakan tindakan nonexcisional, reversible, dan merupakan prosedur tindakan yang kurang invasive. Pada laporan pendahuluan timbul dugaan bahwa sebagian dari prosedeur ini dapat mengurangi beratnya gangguan bernafas saat tidur (28). Komplikasi yang dapat terjadi adalah sialadenitis, disfagia, disartria, sensasi globus, dan ekstrusi atau lepasnya jahitan.Prosedur Maxillomandibular Hal yang paling utama dalam pembedahan maxilomandibular pada OSAS adalah usaha untuk mamajukan posisi tulang penyokong jaringan lunak yang kolaps selama tidur. Kurangnya keberhasilan pada tindakan UPPP biasanya dihubungkan dengan obstruksi pesisten pada pangkal lidah. Untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi di beberapa lokasi pada jalan nafas, Riley dan kawan-kawan pada tahun 1985 mengeksploarasi kegunaan pembedahan maxillomandibular dan kombinasinya dengan UPPP yang selanjutnya diusulkan menjadi protokol pembedahan dua fase dalam merekonstruksi jalan nafas atas pada pasien OSAS. Angka keberhasilan pasien yang menyelesaikan protokol ini sebanyak 98%, lebih tinggi dari angka keberhasilan dengan nasal CPAP. Bukti tertulis ini, dipublikasikan pada tahun 1992, dan menyajikan tentang keberhasilan jangka panjang penggunaan logis protokol terapi pembedahan terhadap pasien OSAS.Pembedahan maxilomandibular terdiri dari berbagai macam metode dalam usaha memajukan posisi tulang yang menyokong lidah dan pharing. Prosedur ini paling sering dilakukan jika berbagai terapi konservatif gagal. Pada pasien OSAS yang berat dan defesiensi maxilomandibular, maka tindakan pembedahan maksilomandibular akan dikombinasikan dengan prosedur jaringan lunak sebagai terapi awal. Pembedahan maksilomandibular merupakan tindakan untuk memajukan posisi mandibula bersama dengan usaha memajukan posisi genioglosus, miotomi hyoid dan penggantung, dan Maxillomandibular oesteotomy and advancement (MMO). Kombinasi prosedur genioglossal advancement with hyoid myotomy and suspension (GAHM) dengan atau tanpa UPPP telah dikategorikan sebagai pembedahan fase I. Jika fase ini gagal, akan dilanjutkkan dengan pembedahan fase ke II yang jaraknya 6 bulan atau lebih dari pembedahan fase I. Pembedahan fase II terdiri dari MMO yang juga dikenal sebagai pemindahan bimaxillary.Osteotomi mandibula dengan usaha memajukan posisi genioglosusBerbagai tekhnik usaha untuk memajukan posisi mandibula telah dijelaskan sebelumnya. Tujuan prosedur ini adalah untuk memperluas dan menstabilisasi jalan nafas retrolingual dengan cara menaikkan insersi otot genioglosus dan geniohyoid tanpa memindahkan seluruh mandubula dan gigi.Ostetotomi mandibula terbatas dengan hanya memajukan posisi genioglosus terbukti efektif dan angka morbiditasnya minimal. Tekhnik yang dikerjakan adalah dengan menciptakan oesteotomi rectangular bicortical pada geniotuberkel mandibula. Bagian rectangular tulang, termasuk geniotuberkel, akan dimajukan posisinya ke arah anterior dan dirotasikan 90 derajat. Prosedur memajukan posisi insersi otot genioglosus sepanjang 10 sampai 14 mm sampai didapatkan peningkatan tekanan pada lidah. Tindakan anterior mandibular oesteotomy (AMO) akan lebih menyajikan prosedur usaha memajukan posisi genioglosus. Tehnik lainnya diabaikan, karena kebanyakan hasilnya akan menyebabkan kelemahan mandibula anterior sehingga dapat terjadi fraktur mandibula yang memerlukan perhatian karena secara kosmetika hasilnya jelek akibat penonjolan dagu.Myotomy Hyoid dan penggantungMyotomy Hyoid dan penggantung sering digunakan dalam usaha menyambung mandibula pada tehnik memajukan posisi untuk memperluas ruang jalan nafas posterior. Prosedur ini akan memajukan tulang hyoid anterior, yang akan memajukan epiglottis maupun pangkal lidah. Awalnya, tindakan ini dilakukan dengan menggantung hyoid ke atas dan anterior menuju aspek inferior mandibula. Berbagai tehnik telah digunakan untuk menstabilisasi tulang hyoid, seperti jahitan permanen, fascia lata, atau dengan stainless-stell wire. Tahun 1992, modifikasi penggantungan hyoid pada tulang kartilago telah diadaptasi, dan hasilnya amat menjanjikan.Riley dan kawan-kawan melaporkan hasil penelitian terhadap 55 pasien yang menjalani osteotomi sagital mandibular inferior dan GAHM. Dari 55 pasien ini, 49 menjalani UPPP dan GAHM dan 6 lainnya hanya didapatkan obstruksi pada tingkat retrolingual dan hanya menjalani GAHM saja. Studi ini menyatakan bahwa 65,3% pasien memberikan respon terhadap intervensi pembedahan. Maksud dari memberikan respon adalah RDI di bawah 20, 50% atau berkurang dari RDI preoperatif, dan dengan desaturasi oksigen minimal. Kurangnya respon terhadap prosedur ini diduga berhubungan dengan baik itu derajat obesitas dan defesiensi amndibular. Komplikasi yang didapatkan adalah satu kasus fraktur mandibula akibat infeksi yang berasal dari luka, transient anastesia atau dua kasus dengan luka permanen yang dilakukan oleh incisor.Oesteotomi dan usaha memajukan posisi Maxillomandibular Maxillomandibular oesteotomy and advancement (MMO), juga dikenal sebagai pembedahan bimaxilaris, merupakan alternatif lain dari tindakan trakeostomi permanen jika pasien gagal dengan pembedahan konservatif. Umumnya, pasien yang menjalani prosedur ini menderita OSAS berat, obesitas morbid, dan masalah kesehatan lainnya(29). Tujuan dari prosedur ini adalah memposisikan maxilla dan mandibula sejauh mungkin ke arah anterior. Prosedur ini terbatas oleh kemampuan untuk menstabilisasi segmen dan perubahan estetika wajah akibat prosedur ini. Prosedur ini merupakan protokol pembedahan fase II yang diperkenalkan Riley dan kawan-kawan untuk meperbaiki OSAS.Dalam serial 306 operasi, 91 pasien menjalan MMO secara primer setelah mendapatkan kegagalan dari terapi fase I. Secara keseluruhan respon menunjukkan angka 97,8% pada prosedur MMO dengan Mean saat pemantauan selama 9 bulan; Mean RDI menurun dari 68,3 menjadi 8,5. Saturasi okesigen terendah akan mengalami kenaikan, dan prasentase mean tingkat 3 dan tingkat 5 tidur maupun REM saat tidur juga mengalami peningkatan. Laporan lainnya meyakinkan bahwa MMO, dapat dilakukan setelah prosedur pembedahan lainnya gagal atau dapat dikombinasikan dengan UPPP, hasil prosedur ini pada pasien OSAS berat ternyata sangat memuaskan. Efek transien anastesi pada wajah dan kardiak aritmia pernah dilaporkan muncul sebagai komplikasi atas tindakan prosedur ini. TrakeotomiTrakeotomi permanen sering dilakukan pada pasien OSAS berat yang tidak dapat ditoleransi lagi dengan nasal CPAP dan mengalami kegagalan prosedur pembedahan. Trakeotomi temporer dilakukan untuk menjamin kelancaran jalan nafas selama masa postoperatif, biasanya setelah resiko perdarahan postoperatif tidak muncul lagi dan oedema telah mengalami perbaikan. Trakeotomi temporer biasanya dilakukan dengan tehnik standar, dimana trekeotomi permanen selalu dilakukan dengan cervical skin flap yang dijahit sampai ke fenestrasi trakea. Akhir dari jenis trakeotomi ini membutuhkan prosedur pembedahan. Terkadang pada kasus lainnya, trakeotomi pasien OSAS cukup menantang karena pasien-pasien ini bisanya memiliki obesisitas servical yang signifikan, leher pendek, dan laring dan trakea yang pendek.Indikasi trakeotomi permanen adalah obesitas morbid, kardiak aritmia yang signifikan karena berhubungan dengan kejadian apnea, apnea berat dengan desaturasi oksigen dibawah 40% sampai 50% yang diukur dengan polysomnigraphy, kor pulmonale, untuk menghilangkan kondisi samnolen. Biasanya kegagalan nasal CPAP merupakan syarat yang diperlukan bagi semua pasien untuk mendapatkan prosedur ini. Trakotomi mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat OSAS. Pada tiga seri tinjauan didapatkan total pasien yang menjalani trakeotomi sebanyak 99 pasein (30). Kebanyakan pasien hampir atau sepenuhnya telah terbebas dari kondisi samnolen, kardiak aritmia, dan kor pulmonale. Perbaikan hipertensi terjadi pada kebanyakan pasien ini, kontruksi tidur juga mengalami perbaikan bahkan kembali normal, dan kebanyakan pasien mampu kembali bekerja. Kebanyakan usaha untuk mengakhiri trakeostomi dikarenakan adanya rekurensi OSAS. Komplikasi yang dapat terjadi adalah granulsi jaringan stomal, infeksi, dan masalah psikososial yang sering dikaitkan dengan trakeotomi permanen. Usaha terbaru dalam menaikkan posisi sebagai pilihan trakeotomi kanul pada pasien dengan trakeostomi permanen dapat dilakukan sehingga memungkinkan pasien merasa lebih nyaman dan menurunkan standar perawatan yang tinggi pada pasien dengan trakeotomi. Trakeotomi merupakan prosedur live saving dan penting bagi pasien tertentu yang mengalami apnea berat.PersembahanTulisan ini didedikasikan kepada ibu penulis Geraldin PaloyanHighlihts1. Obstructive sleep apnea syndrome merupakan diagnosis laboratorium yang didapat dari angka obstruktif apnea dan hyoapnea minimum per jam saat tidur dan dikombinasikan dengan bukti klinis berupa gejala dan tanda yang ada1. Angka kejadian OSAS di Amerika adalah 4% diderita pria pada usia dewasa pertengahan dan 2% wanita. Angka kejadian lebih tinggi pada populasi yang lebih tua. Di Amerika Serikat, diprediksi terdapat sekitar 7 sampai 18 juta penderita.1. Obstructive sleep apnea syndrome sering dihubungkan dengan berbagai penyakit seperti (a) hipertensi (b) penyakit jantung kongestif (c)infark miokard (d) penyakit cerebrovaskuler (e) depresi (f) dan cidera yang didapat akibat mudah ngantuk yang berlebihan sepanjang hari1. Diagnosis OSAS dibuat berdasar nocturnal polysomnograph yang merupakan pemeriksaan laboratorium saat tidur. Aturan penegakan diagnosus OSAS telah berkembang pesat.1. Obstruktif sleep apnea syndrome adalah gangguan yang karakteristiknya ditandai dengan kolapsnya jalan nafas pharing saat tidur secara rekuren. Kebanyakan pasien OSAS tidak memiliki masa yang menenempati suatu ruang spesifik; biasanya hanya terdapat disproposional anatomi.1. Terapi non pembedahan OSAS yaitu mengurangi berat badan, menghentikan kebiasaan minum alkohol, alat-alat oral dan nasal, penggunaan alat yang posisional, dan nasal CPAP.1. Nasal CPAP merupakan first line therapy OSAS. Nasal CPAP memperbaiki obstruksi respiratori dan memperbaiki angka morbiditas akibat OSAS. Tapi penggunaan nasal CPAP juga dapat menimbulkan komplikasi.1. Prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan untuk OSAS adalah UPPP. Penggunaan laser untuk membantu uvuloplasti dan prosedur palatal pada pasien rawat jalan terbukti efektif dalam menterapi snoring dan beberapa pasien OSAS tertentu.1. Intubasi fiberoptik saat kondisi sadar, penggunaan golongan narkotik saat preoperative, pengawasan postoperative dengan pulse oximetri dan penggunaan steroid saat postoperatif atau penggunaan nasal CPAP memberikan kontribusi dalam peningkatan managemen perioperatif pada pasien OSAS.1. Selama prosedur pembedahan, jika perlu pasien OSAS dapat dipantau dengan untuk dapat memperkirakan hasil pembedahan.

2