New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$...

7
121 TIGA KASUS RINITIS ATROFI PRIMER (OZAENA) DALAM SATU KELUARGA (Laporan kasus) Rusina Hayati, Dwi Reno Pawarti Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang khas ditandai dengan atrofi mukosa hidung progresif, krusta, fetor dan perluasan rongga hidung. Rinitis atrofi dibagi 2 tipe yaitu rintis atrofi primer dan rinitis atrofi sekunder. 1-3 Rinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani yang berarti bau busuk). 2 Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman lain sebagai penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. 2 Faktor lain yang diduga sebagai penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin A dan zat besi), endokrin (estrogen) dan herediter. 1,2,4 Defisiensi estrogen didukung dengan kejadian penyakit biasanya mulai sekitar usia pubertas, bertambah parah saat haid dan hamil, serta gejala berkurang pada pemberian terapi estrogen. Faktor herediter diduga sebagai penyebab karena banyak peneliti melaporkan kejadian ozaena dalam satu keluarga. Rinitis atrofi sekunder diakibatkan oleh berbagai kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi. 4 Insiden ozaena di negara- negara Barat menurun dengan meningkatnya pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara tropis dan subtropis masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki 5,6:1. 3,4 Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi bakteri yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur hidung. 3 Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk diagnosis ozaena yaitu pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia, hitung jumlah leukosit bisa didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan didapatkan hipokromik mikrositik yang menggambarkan anemia defisiensi besi. Pasien malnutrisi memerlukan pemeriksaan kadar protein serum dan vitamin plasma. Usap hidung diperlukan untuk pemeriksan pengecatan, kultur dan sensitivitas antibotika. 4 Pemeriksan nasal endoskopi diperlukan untuk menunjukkan adanya krusta kehijauan dan atrofi konka, serta membantu untuk usap hidung. Pemeriksaan CT scan juga diperlukan dengan gambaran khas berupa penebalan mukosa sinus paranasal, hilangnya struktur komplek osteomeatal, hipoplasia sinus maksilaris, perluasan rongga hidung, penyerapan tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan media. 2

Transcript of New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$...

Page 1: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

121

TIGA KASUS RINITIS ATROFI PRIMER (OZAENA) DALAM SATU KELUARGA

(Laporan kasus)

Rusina Hayati, Dwi Reno Pawarti

Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang khas ditandai dengan atrofi mukosa hidung progresif, krusta, fetor dan perluasan rongga hidung. Rinitis atrofi dibagi 2 tipe yaitu rintis atrofi primer dan rinitis atrofi sekunder.1-3 Rinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani yang berarti bau busuk).2

Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman lain sebagai penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.2 Faktor lain yang diduga sebagai penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin A dan zat besi), endokrin (estrogen) dan herediter.1,2,4 Defisiensi estrogen didukung dengan kejadian penyakit biasanya mulai sekitar usia pubertas, bertambah parah saat haid dan hamil, serta gejala berkurang pada pemberian terapi estrogen. Faktor herediter diduga sebagai penyebab karena banyak peneliti melaporkan kejadian ozaena dalam satu keluarga. Rinitis atrofi sekunder diakibatkan oleh berbagai kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi.4

Insiden ozaena di negara-negara Barat menurun dengan meningkatnya pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara

tropis dan subtropis masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki 5,6:1.3,4

Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi bakteri yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur hidung.3

Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk diagnosis ozaena yaitu pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia, hitung jumlah leukosit bisa didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan didapatkan hipokromik mikrositik yang menggambarkan anemia defisiensi besi. Pasien malnutrisi memerlukan pemeriksaan kadar protein serum dan vitamin plasma. Usap hidung diperlukan untuk pemeriksan pengecatan, kultur dan sensitivitas antibotika.4 Pemeriksan nasal endoskopi diperlukan untuk menunjukkan adanya krusta kehijauan dan atrofi konka, serta membantu untuk usap hidung. Pemeriksaan CT scan juga diperlukan dengan gambaran khas berupa penebalan mukosa sinus paranasal, hilangnya struktur komplek osteomeatal, hipoplasia sinus maksilaris, perluasan rongga hidung, penyerapan tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan media.2

Page 2: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

122

Penatalaksanaan ozaena dapat dengan cara konservatif dan pembedahan.5 Terapi konservatif berupa cuci hidung, antibiotika seperti rifampisin dan ciprofloksasin serta pemberian suplemen.4-7 Sebagai terapi bedah antara lain pemasangan implant, menutup nostril, blok ganglion Stellatus dan flap mukosa maksilaris.4

Ozaena bila tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan komplikasi dan sekuele berupa rinosinusitis, faringitis dan laringitis atrofi, dakriosistitis kronik, deformitas hidung, perforasi septum, miasis hidung dan perluasan infeksi lokal maupun sistemik.4

Pada laporan kasus ini dipaparkan satu keluarga dengan tiga anggota keluarga menderita ozaena. LAPORAN KASUS 1. Riwayat Keluarga dan

Lingkungan Keluarga ini terdiri dari ayah,

ibu dan 4 orang anak (2 pria dan 2 wanita). Ayah lahir di Benowo, kota Surabaya dan ibu lahir di Menganti, Kabupaten Gresik. Ayah dan ibu bekerja sebagai pedagang makanan di stasiun Benowo. Keempat anaknya dilahirkan di Benowo Kecamatan Pakal Kota Surabaya. Tidak ada riwayat perkawinan antar saudara. Ozaena diderita oleh 3 dari 6 anggota keluarga yaitu ibu dan 2 anak perempuannya.

2. Kasus Pertama

Ny. M, anak kelima dari 7 bersaudara (3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan), umur 52 tahun, dari riwayat penyakit dahulu didapatkan sejak umur 12 tahun pilek terus menerus dengan ingus kental. Tiga tahun kemudian sering keluar kerak berwarna kehijauan dari hidung. Ingus atau kerak tidak dirasakan berbau. Setiap hari bersin dengan frekuensi 2 kali setiap bersin. Kedua hidung tersumbat tetapi penciuman tidak

terganggu. Penderita mulai berobat ke RSUD Dr. Soetomo 3 tahun sejak sakit. Pengobatan lokal berupa cuci hidung dan salep, disertai beberapa macam obat yang diminum. Sejak umur 28 tahun (setelah melahirkan anak yang ketiga) sampai sekarang penderita sudah tidak merasakan lagi keluhan-keluhan tersebut diatas .

Gambar 1. Foto Ny. M

Pemeriksaan rinoskopi anterior

yang dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2009, didapatkan konka normal, warna normal, tidak ada sekret atau krusta. Pemeriksaan nasal endoskopi juga didapatkan gambaran yang sama dengan rinoskopi anterior. Pada penderita tidak dilakukan pemeriksaan pengecatan Gram usap hidung.

Gambar 2. Nasal endoskopi Ny. M, tampak konka dan rongga hidung

normal

Page 3: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

123

3. Kasus Kedua

Ny. LI anak ketiga dari 4 bersaudara, umur 30 tahun, lahir tanggal 12 Nopember 1979, datang ke poli THT RSU Dr. Soetomo sekitar tahun 1997 dengan keluhan sejak 7 tahun yang lalu (umur 13 tahun) sampai sekarang pilek terus dengan ingus kental kehijauan, sering keluar kerak dari kedua hidung, hidung kadang buntu, tidak berbau tetapi kadang suami mengeluhkan bau dari hidung. Lima tahun terakhir hidung terasa berbau, tetapi penciuman tidak ada gangguan, sejak 2 tahun terakhir penciuman terganggu. Setiap pagi sering bersin sampai lebih dari 7 kali setiap bersin, tidak ada riwayat alergi kulit, asma, alergi obat atau makanan. Tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tuanya. Tenggorok dan telinga tidak ada keluhan. Pernah dilakukan irigasi sinus 2 kali (4 tahun yang lalu).

Gambar 3. Foto Ny. LI

Pada pemeriksaan didapatkan telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pada rinoskopi anterior didapatkan kedua rongga hidung lapang, konka atrofi, krusta kehijauan. Pemeriksaan nasal endoskopi menyokong rinoskopi anterior. Pemeriksaan pengecatan Gram usap hidung didapatkan kokus Gram positif.

Gambar 4. Nasal endoskopi Ny. LI, a.

rongga hidung luas, b. & c. krusta kehijauan

Penanganan penderita ini secara konservatif dengan pemberian cuci hidung, antibiotika (klindamisin 300 mg dan INH 100 mg), sulfas ferosus, vitamin A dan vitamin E. Namun penderita tidak rutin kontrol dan melakukan pencucian hidung.

4. Kasus ketiga

Nn. LPL anak keempat dari 4 bersaudara, umur 18 tahun, lahir tanggal 3 Mei 1991, datang ke poli THT-KL RSU Dr. Soetomo tanggal 12 Oktober 2009 dengan keluhan sejak 10 tahun yang lalu pilek terus menerus dengan ingus kental kehijauan, tidak berbau dan tidak ada keluhan hidung berbau dari orang sekitar. Bila pagi ingus encer dan bersin 4 kali setiap bersin. Hidung buntu. Penciuman tidak terganggu. Tidak ada riwayat alergi kulit, asma, alergi obat atau makanan. Tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tua. Tidak ada keluhan telinga dan tenggorok.

a b

c

Page 4: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

124

Gambar 5. Foto Nn. LPL

Pada pemeriksaan telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pada rinoskopi anterior didapatkan rongga hidung longgar, konka atrofi, sekret dan krusta kehijauan. Pemeriksaan nasal endoskopi juga menyokong pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan pengecatan Gram usap hidung didapatkan kokus Gram positif dan batang Gram negatif. Penderita diberikan terapi cuci hidung, INH 1x100 mg, vitamin A 1x1 tablet dan vitamin E 1x1 tablet.

Gambar 6. Nasal endoskopi Nn. LPL, a. tampak krusta kehijauan, b. rongga

hidung sampai nasofaring tampak lapang

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menemukan faktor lingkungan bermakna dalam perkembangan penyakit ozaena, yaitu 69,6% penderita tinggal didaerah pinggiran kota dengan lingkungan yang panas, kering dan berdebu dan

43,5 % terjadi pada pekerja industri.4,8

Paparan kronik dari bahan toksik atau iritan seperti debu industri juga diduga sebagai penyebab.7 Tiga penderita kasus ini merupakan keluarga berasal dari Benowo yang merupakan daerah pinggiran kota yang panas dan berdebu, serta merupakan daerah industri yang cukup padat di Surabaya.

Pada kasus ini, ozaena diderita oleh 3 orang perempuan dalam satu keluarga yaitu ibu, anak ketiga dan keempat. Onset penyakit pada kasus ini terjadi sekitar usia pubertas, yaitu usia 12, 13 dan 10 tahun. Faktor herediter kemungkinan berperan dalam ketiga kasus ini, sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang menemukan kejadian penyakit dalam satu keluarga.4 Faktor endokrin pada ketiga kasus ini kurang terbukti, karena tidak didapatkan keluhan gejala memberat saat haid atau hamil, hanya didapatkan onset ketiga kasus ini pada usia pubertas, serta pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar estrogen.

Gejala atau keluhan penderita ozaena antara lain hidung berbau busuk, ingus/sekret kental, krusta hijau dan berbau, penciuman menurun, hidung tersumbat dan sakit kepala.9 Hasil penelitian Moore & Kern (1982-1999)2 pada 242 kasus ozaena didapatkan gejala buntu hidung sebanyak 100%, pembentukan krusta 100%, nyeri fasial 48%, epistaksis 33%, depresi 52%, anosmia 15% dan sinusitis 52%. Menurut penelitian Tawde (1984)9 pada 30 kasus ozaena didapatkan gejala penumpukan krusta 100%, fetor 100%, epistaksis 60%, anosmia 70% dan buntu hidung 70%. Hidung berbau bisa subyektif atau obyektif.9 Gangguan penciuman biasanya terjadi secara progresif dari hiposmia sampai anosmia.2

Pada kasus pertama didapatkan riwayat keluhan hidung buntu tanpa anosmia dan pembentukan krusta yang tidak berbau. Kasus pertama kemungkinan mengalami proses

a b

Page 5: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

125

penyembuhan karena penderita teratur melakukan pengobatan konservatif atau bisa juga terjadi resolusi spontan, sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan hal ini bisa terjadi meskipun pada kasus ini usia < 40 tahun.7

Pada kasus kedua didapatkan keluhan hidung buntu kadang-kadang, pembentukan krusta yang berbau dan anosmia. Pada kasus ini didapatkan perkembangan penyakit berlanjut dan gejala semakin jelas. Hal ini terjadi kemungkinan karena penderita kasus kedua tidak rutin menjalani pengobatan medikamentosa. Sehingga pada kasus ini ada komplikasi rinosinusitis dan pernah irigasi 2 kali. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa ozaena mengakibatkan komplikasi rinosinusitis.4

Kasus pertama dan ketiga tidak didapatkan keluhan anosmia. Sesuai dengan kepustakaan bahwa tidak semua penderita ozaena mengalami anosmia.2 Pada kasus pertama kemungkinan belum terjadi anosmia, hal ini bisa karena penderita cukup teratur melakukan pencucian hidung. Selain itu penderita juga sudah agak kesulitan mengingat dengan lengkap gejala yang dialami yang terjadi 24 tahun lalu. Pada kasus ketiga mungkin belum terjadi atrofi regio olfaktoria di atap kavum nasi dimana gangguan penciuman bisa terjadi secara progresif.2

Gejala seperti rinitis alergi didapatkan pada kasus kedua dan ketiga. Kasus kedua mengeluh bersin setiap pagi sampai lebih 7 kali tanpa gejala alergi lain. Kasus ketiga didapatkan keluhan pilek setiap pagi dengan ingus encer. Hasil penelitian pada penderita ozaena di Thailand(1999)4 menunjukkan kejadian rinitis alergi tipe I pada 85% kasus, sehingga pada kasus ketiga dilakukan pemeriksaan tes alergi (Prick tes), namun hasilnya negatif,

sedangkan pada kasus kedua tidak dilakukan tes alergi karena penderita menolak.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan rongga hidung lapang, konka media dan inferior mengalami atrofi, sekret purulen dan krusta berwarna hijau.5 Diagnosis ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya 3 gejala khas yaitu atrofi konka, sekret mukopulen dan terbentuknya krusta yang berbau busuk.1,10 Derajat penumpukan bervariasi dari ringan sampai berat yang dapat menyebabkan buntu hidung parsial atau total. Durasi waktu penumpukan krusta juga bervariasi dari 1 bulan sampai 25 tahun.9 Menurut penelitian Moore & Kern2 pada pemeriksaan fisik didapatkan penyerapan sebagian (62%) atau total (37%) konka inferior, penyerapan konka media (37%), atrofi mukosa sebagian atau total (32%), perforasi septum (10%), krusta kuning, coklat atau hijau pada dinding lateral atau dasar rongga hidung (100%) dan drainase mukopurulen dari sinus maksilaris dan etmoidalis (52%).

Pada kasus pertama dengan rinoskopi anterior dan nasal endoskopi didapatkan konka normal, tidak ada sekret dan krusta. Kasus ini sudah mengalami penyembuhan sehingga tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pada pemeriksaan kasus kedua (rinoskopi anterior dan nasal endoskopi), didapatkan konka atrofi dan sekret kental serta krusta kehijauan. Rinoskopi anterior dan nasal endoskopi pada kasus ketiga tampak konka atrofi dan krusta kehijauan. Hasil rinoskopi anterior dan nasal endoskopi pada kasus kedua dan ketiga didapatkan sesuai dengan kepustakaan yaitu konka atrofi dan krusta kehijauan yang merupakan gejala khas ozaena.1,10

Pada kasus kedua dan ketiga hanya dilakukan pemeriksaan pengecatan Gram dari usap hidung,

Page 6: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

126

pada kasus kedua didapatkan hasil kokus Gram positif, sedangkan pada kasus ketiga didapatkan kokus Gram positif dan batang Gram negatif. Hal ini kemungkinan bisa disebabkan kasus kedua sudah mendapatkan terapi antibiotika (klindamisin 300 mg dan INH 100 mg), sehingga sudah tidak didapatkan lagi adanya kuman Gram negatif. Kuman kokus Gram positif sesuai dengan gambaran kuman Staphylococcus aureus yang juga diduga sebagai penyebab ozaena, sedangkan batang Gram negatif sesuai dengan beberapa kuman yang diduga kuat penyebab ozaena yaitu Klebsiella ozaenae, Proteus mirabilis dan Escherichia coli. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan kultur karena menurut penelitian Moore & Kern2 dari hasil kultur hanya didapatkan 44% positif dengan pertumbuhan kuman patogen. Pemeriksaan penunjang lain tidak dilakukan karena sesuai dengan teori diagnosis penyakit ini sudah dapat ditegakkan secara klinis dengan adanya gejala khas ozaena.

Pada ketiga kasus ini hanya diberikan terapi konservatif. Cuci hidung yang dipakai pada ketiga kasus ini adalah campuran natrium bikarbonas, natrium klorida, ammonium klorida aaa 5 dan aqua 200 cc, 1 sendok campuran tersebut + 9 sendok air hangat dimasukkan dalam cawan disedot melalui hidung dan dibuang melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Pada kasus pertama rutin melakukan pencucian hidung saat keluhan penyakit masih ada ditambah dengan terapi konservatif lain. Pada kasus kedua diberikan pengobatan dengan cuci hidung, pernah diberikan antibiotika INH 100 mg dan klidamisin 300 mg, serta suplemen sulfas ferosus, vitamin A dan E, namun penderita

tidak rutin kontrol, sehingga pada evaluasi gejala penyakit memberat dari hiposmia menjadi anosmia dan terjadi komplikasi rinosinusitis. Pada kasus ketiga diberikan pengobatan dengan cuci hidung, INH 100 mg 1x sehari, vitamin A dan E.

Hasil pengobatan pada kasus pertama sembuh kemungkinan karena penderita teratur menjalani penanganan konservatif dan terjadi kesembuhan spontan sesuai dengan kepustakaan, sebaliknya pada kasus kedua tidak rutin melakukan pencucian hidung dan pengobatan lainnya, sehingga keluhan cenderung memberat. Kasus ketiga belum bisa dievaluasi karena penderita belum datang untuk kontrol. KESIMPULAN

Dilaporkan tiga kasus ozaena dalam satu keluarga, dengan gejala ingus kental, krusta kehijauan, buntu hidung dan hiposmia/anosmia. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan konka atrofi dan krusta kehijauan.

Faktor penyebab yang ada pada keluarga ini kemungkinan adalah faktor genetik, lingkungan dan infeksi, sedangkan faktor hormonal belum dapat disingkirkan Penyebab infeksi oleh kuman Klebsiella ozaena atau Staphylococcus aureus pada kasus ini dapat diketahui dari hasil pemeriksaan pengecatan Gram usap hidung dengan didapatkan kokus Gram positif dan batang Gram negatif.

Ketiga kasus ditangani secara konservatif berupa cuci hidung, antibiotik dan suplemen. Hasil pengobatan kasus pertama sembuh spontan, kasus kedua memberat dan pada kasus ketiga belum bisa dievaluasi.

Page 7: New 7,*$ .$686 5,1,7,6 $752), 35,0(5 2=$(1$ '$/$0 6$78 .(/8$5*$ …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklc210d90b592... · 2018. 2. 28. · .dvxv .hgxd 1\ /, dqdn nhwljd gdul

127

DAFTAR PUSTAKA 1. Myers EN. Plastipore implants in

the surgical treatment of atrophic rhinitis: The technique and results. Otolaryngol Head & Neck Surg 2000;122(6): 794-7.

2. Moore EJ, Kern EB. Atrophic rhinitis: A review of 242 cases. Am J Rhinol 2001; 15(6): 355-61.

3. Yucel A, Aktepe O, Aktepe F, Derekoy FS. Atrophic rhinitis : A case report. Turk J Med Sci 2003; 33: 405-7.

4. Dutt SN, Kameswaran M. Review article the aetiology and management of atrophic rhinitis. J Laryngol Otol 2005; 119 : 843-52.

5. Al-Fatih M. Rinitis atrofi (ozaena). Available from www.klinik Indonesia.com. Accessed December 10, 2009.

6. Mangunkusumo E, Rifki N. Rinoroe, infeksi hidung dan sinus. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta FKUI, 2001: 110-4.

7. Anonym. Atrophic rhinitis. Available from http/www.yasser-nour.com/atrophic-rhinitis.pd/. Accessed December 10, 2009.

8. Hilger PA. Penyakit Hidung. Dalam : Adams GL, Boies LR & Hilger PA. Boies F, ed. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta EGC, 1994 : 221-2.

9. Tawde UJ, Tawde N. Study of Geriforte in atrophic rhinitis. Available from http://www.Himalayahealthcare.com/pdf_files/geriforte053.pdf. Accessed October 21, 2009.

10. Botelho-Nevers E, Gourier F, Lepidi H, et al. Chronic nasal infection caused by Klebsiella rhinoscleromatis or Klebsiella ozaenae : two forgotten infectious disease. Int J Inf Diseases 2007; 11: 423-29

11.