Neurologi
-
Upload
fytha-nirma-listya -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
description
Transcript of Neurologi
BAB I PENDAHULUAN Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak. Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion). Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan umum. Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA KERN IKTERUS 2.1. Definisi Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6. 2.2. Insidensi Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit2, 7, 9. Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu: - Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. - Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian. - Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka. - Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10. 2.3.
Klasifikasi Stadium 1 Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang. Stadium 2 Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas. Stadium 3 Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu. Stadium 4 Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental1. 2.4. Etiologi Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari
ikterus neonatorum yang disebabkan oleh: Ikterus fisiologis: - Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar. - Defek pengambilan bilirubin plasma. - Defek konjugasi bilirubin. - Ekskresi bilirubin menurun. Ikterus patologis: - Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati. - Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom. - Polisitemia. - Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung. - Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu1,2,3. 2.5. Patogenesis Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak. Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus. Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2. Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10. 2.6.
Kriteria Diagnosis Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan
pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Tanda-tanda
dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup
bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat
menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak
terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan
intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek
dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi
dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan
kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan
tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus
yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang
terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi
pada stadium lanjut2. Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini
meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat
sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun
opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh.
Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur
dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara
teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas
koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi
mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan
gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia
terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai
melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi
otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak
sampai anak masuk sekolah2,4,5, 7. 2.7. Diagnosis Banding 2.7.1.Sepsis Merupakan
sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia. Kriteria diagnosis
meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat, tidak mau
minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf
Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia,
netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive
Protein. 2.7.2. Asfiksia Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia
yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis. 2.7.3. Hipoglikemia Merupakan keadaan
yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar
glukosa darah <> Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor,
apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding. 2.8.
Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan kadar bilirubin. Bertujuan untuk mengetahui tingkat
kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. -
Pemeriksaan fungsi otak: EEG Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak
yang telah terjadi. 2.9. Pengobatan 2.9.1. Transfusi Tukar Jika ada tanda-tanda kern
ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama
evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat
harus dilakukan. Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi
sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di
bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria
ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-
tanda klinis yang memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan
transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan
ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari
25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus
pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap
bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika
kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan
atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa
diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif2. Teknik transfusi tukar: §
Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
§ Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna. § Gunakan darah segar dari donor
darah (<> § Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin. § Transfusi
ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B
(diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan
memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi. § Bayi sakit atasi dulu
penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia) § Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35
style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %.
Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia. § Jika
mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg
BB. § Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan
bisa melakukan resusitasi. § Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena. § Donor darah
harus dihangatkan pada suhu 27-37oC. § Setiap 100 ml darah dikocok. § Alat steril. §
Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan
kateter v.umbilikalis. § Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit. §
Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna. § Kateter
jangan terbuka terhadap udara. § Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk
pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT,
osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur. § Masukkan darah segar 20 ml perlahan,
dilakukan sampai selesai. § Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium
glukonas 10%. § Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca
transfusi. § Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum. Transfusi dihentikan
bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan
pembekuan, dan perforasi pembuluh darah. Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular,
kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
2.9.2. Fisioterapi Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki kekakuan otot dan
gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi intelek (kognitif). Dengan cara ini
diharapkan kemampuan si anak sebisanya mendekati normal. 2.10. Prognosis Tanda-tanda
neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-bayi yang
demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral
dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim
terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2. 2.11. Pencegahan -
Segera menurunkan kadar bilirubin indirek. - Penanganan bayi ikterus; fototerapi,
kemoterapi, transfusi tukar. Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan
fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam
ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern
ikterus, hingga sekarang obat ini masih terus dikembangkan4. Tanpa memandang etiologi,
tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis,
dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang
ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap
bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan
resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai
kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk
mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar
bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila
teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk
septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis harus diobati
juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2. Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari
kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak
berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus,
transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi
atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus
dilakukan2. - Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum
meninggalkan Rumah Sakit. - Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48
jam setelah meninggalkan Rumah Sakit. - Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang
ikterus5. Tabel 1. Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi
preterm. Berat Badan Lahir (gram) Tidak Ada Komplikasi (g/dL) Ada Komplikasi* (g/dL) <>
1000-1250 1251-1499 1500-1999 2000-2500 12-13 12-14 14-16 16-20 20-22 10-12 10-12
12-14 15-17 18-20 *Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia,
hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2. Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan
yang sehat tanpa hemolisis. Umur (Jam) Fototerapi (g/dL) Fototerapi & Persiapan Transfusi
Tukar* (g/dL) Transfusi Tukar Jika Fototerapi Gagal (g/dL) <> 24-48 49-72 > 72 > 2 minggu
** 15-18 18-20 20 *** ** 25 30 30 *** ** 20 25 25 *** * Jika bilirubin awal yang terpresentasi
tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan.
Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom
sebelah kanan, mulailah transfusi tukar. ** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada
bayi sehat. *** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur
2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian
terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin disebabkan
etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis
neonatus. BAB III KESIMPULAN Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak
yang diakibatkan oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak,
ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan
penglihatan, dan mental retardasi. Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang
tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek
secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan
dalam rangka mencegah timbulnya kern ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan fungsi otak yang
bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi manifestasi berupa gangguan, atau
kehilangan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat
episodik. Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering terjadi pada pederita
epilepsy.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan
peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin
mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus
mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.Di Inggris, satu orang diantara 131 orang
mengidap epilepsi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru
lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3%
penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi
(1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani
pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com).
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PENYAKIT EPILEPSI
Epilepsi terkadang disebut ayan atau sawan, berasal dari bahasa yunani (epilepsia)
yang berarti serangan.
Epilepsi merupakan gejala-kompleks dari banyak gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan yaitu modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak yang bersifat spontan, singkron,
berirama dan berkala serta dikarakteristikkan oleh kejang berulang atau kehilangan kesadaran
dan gangguan perilaku.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominant dari pada proses
inhibisi. Epilepsi yang sukar untuk mengendalikan secara medis, sebab mayoritas pasien dengan
epilepsi adalah bersifat menentang, kebanyakan yang sering terserang terlebih dahulu yaitu
bagian kepala. Sakit kepala sukar sekali untuk diperlakukan secara pharmakologis, walaupun
obat antiepileptic sudah secara optimal diberikan sekitar 30-40% penderita biasanya melakukan
operasi pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit untuk sementara, tetapi gejala akan timbul
sesekali.
ETIOLOGI (PENYEBAB PENYAKIT)
Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan
atau tidak terhadap munculnya bangkitan. Pada penderita epilepsi, aktivitas tubuh yang
dikoordinasi oleh otak tidak beraktivitas sebagaimana mestinya. Penyebabnya cukup beragam
yaitu : trauma kepala, alcohol, cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor
otak, masalah-masalah sirkulasi, demam, gangguan metabolisme dan nutrisi/ gizi dan intoksikasi
obaobatan. Kadang epilepsy mungkin juga karena genetic (meski relative kecil antara 5-10 %),
tapi epilepsi bukanlah penyakit keturunan.
Penyebab utam ialah epilepsi idiopatik, remote symptomatic epilepsi (RSE), epilepsisimtomatik
akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saatperi-atau antenatal.
Klasifikasi epilepsi yang menonjol ada 2 jenis yaitu :
> Epilepsy idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
> Remote symptomatic epilepsi (RSE dan penyebab diketahui)
Epilepsi simptomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau
perinatal dengan deficit neurologik yang jelas.
• Apabila pada saat lahir telah terjadi deficit neurologikmaka dalam waktu bulan pertama seluruh
kasus akan mengalami bangkitan ulang
• Pada saat pasca lahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada bulan pertama
dan 85% dalam 36 bulan pertama, kecuali bangkitan pertama terjadi pada saat terkena gangguan
otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 buln pertama dan 36 bulan pertama untuk
bangkitan ulang.
Epilepsi dapat dibagi antara lain :
• Epilepsi grand mal
Ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron di seluruh area otak
di korteks, di bagian dalam serebrum dan bahkan di batang otak dan thalamus. Kejang
berlangsung selama 3-4 menit
• Epilepsi petit mal
Ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan kasadaran selama 3-30 detik, di
man selama waktu serangan ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan,
biasanya daerah kepala, terutama pengedipan mata.
• Epilepsi fokal
Melibatkan hamper setiap bagian otak, baik regoi setempat pada korteks serebri atau struktur-
struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Disebabkan oleh resi organic setempat
atau adanya kelainai fungsional.
• Epilepsi atonik
• Epilepsi mioklonik
MANIFESTASI KLINIK
a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan.
b. Kelainan gambaran EEG
c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptoge.
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuru,
mengecap sesuatu, sakit kepala, dan sebagainya)
e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
f. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti : mengalami sinar, bunyi, bau, atau rasa yang tidak normal seperti pada
keadaan normal.
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak
ingat kejadian tersebut setelah episode epilektikus tersebut lewat.
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba-tiba.
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-menendang.
k. Gigi geliginya terkancing.
l. Hitam bola matanya berputar-putar.
m. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan di ikuti dengan buang air kecil.
PATOFISIOLOGI (PERJALANAN PENYAKIT)
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan
sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron.
Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari
semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini
kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah
disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik,
walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang
otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan,
namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat
ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk
melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).
Secara Patologi :
Fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi :
1. Ketidakstabilan membran sel saraf.
2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3. Polarisasi abnormal.
4. Ketidakseimbangan ion.
PENATALAKSANAAN
Medik :
a. Pengobatan Kausal :
Perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya tumor serebri,
hematome sub dural kronik. Bila ya, perlu diobati dahulu.
b. Pengobatan Rumat :
Pasien epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Di klinik saraf anak FKUI-RSCM
Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas serangan, kemudian obat
dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan. Pada umumnya lama
pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas serangan. Selama pengobatan harus diperiksa gejala
intoksikasi dan pemeriksaan laboratorium secara berkala.
Obat yang dipakai untuk epilepsi yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang:
- Fenobarbital, dosis 3-8 mg/kg BB/hari.
- Diazepam, dosis 0,2 -0,5 mg/Kg BB/hari.
- Diamox (asetazolamid); 10-90 mg/Kg BB/hari.
- Dilantin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/hari.
- Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg /Kg BB/hari.
Bila menderita spasme infantil diberikan:
- Prednison dosisnya 2-3 mg/Kg BB/hari.
- Dexametasone, dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/hari.
- Adrenokortikotropin, dosis 2-4 mg/Kg BB/hari