digilib.unm.ac.iddigilib.unm.ac.id/files/disk1/10/universitas negeri... · Web viewGREEN EDUCATION...
Click here to load reader
Transcript of digilib.unm.ac.iddigilib.unm.ac.id/files/disk1/10/universitas negeri... · Web viewGREEN EDUCATION...
GREEN EDUCATION BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN DALAM PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
Dr. Ir. Nurlita Pertiwi, MT
Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Permasalahan perkotaan yang semakin kompleks menyebabkan penurunan kualitas hidup masyarakat. Hal ini menuntut adanya upaya perbaikan kualitas lingkungan melalui pelibatan masyarakat salah satunya dalam pengembangan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi ekologis, psikologis dan sosial budaya dapat dioptimalkan dengan adanya peran masyarakat dalam pengelolaannya. Optimalisasi ruang terbuka hijau dengan melibatkan masyarakat diawalai dengan Green Education. Green Education merupakan suatu konsep pendidikan alternatif yang berbasis pada masyarakat dan bertujuan untuk memberikan pengetahuan lingkungan dan pada akhirnya akan melahirkan perilaku positif terhadap lingkungan. Konsep pendidikan ini adalah upaya awal dalam memberikan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ruang terbuka hijau terhadap kualitas lingkungan. Hal ini selanjutnya akan menjadi stimulan pada adanya perilaku atau kegiatan yang mendukung terciptanya ruang terbuka hijau di perkotaan. Konsep pendidikan yang dirancang bagi semua tingkatan masyarakat perkotaan dan dilaksanakan secara formal dan non formal akan menciptakan kota yang nyaman untuk dihuni.
Kata Kunci : Green education, Masyarakat, Ruang terbuka hijau
Latar Belakang
Perkotaan di Indonesia tumbuh dengan pesat sesuai dengan pertumbuhan
jumlah penduduknya serta dinamika dari masyarakatnya. Namun sejalan dengan
pertumbuhannya, perkotaan juga menghadapi masalah degradasi lingkungan
seperti peningkatan suhu udara, kebisingan, polusi baik di udara, tanah dan air,
banjir, sampah, kemacetan dan kekumuhan. Kondisi lingkungan perkotaan
tersebut juga disertai dengan penurunan kualitas hidup masyarakat, yaitu
prosentasi penduduk miskin semakin besar dan menurunnya derajat kesehatan.
Gambaran lingkungan perkotaan menuntut pemerintah untuk dapat menciptakan
kota yang ekologis dan nyaman bagi masyarakat.
1
Salah satu upaya pemerintah adalah dengan adanya kebijakan
pengembangan ruang terbuka hijau. Sebagaimana diungkapkan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau Kawasan Perkotaan diuraikan tujuan penataan ruang terbuka hijau adalah
untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan,
mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di
perkotaan dan c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah,
bersih dan nyaman.
Selanjutnya dalam Undang Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
dijelaskan pada pasal 29 bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, dimana proporsi ruang terbuka hijau
kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi 30 (tiga puluh) persen
merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik
keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis
lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang
diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapa meningkatkan nilai estetika kota.
Luasan ruang terbuka hijau untuk publik berkisar 20% atau dan privat
sebesar 10%. RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-
lahan milik privat atau lahan milik masyarakat yang dapat berfungsi sebagai open
spece dan mendukung tercapainya keseimbangan ekosistem. Di perkotaan, ruang
tersebut pada umumnya bersifat sebagai halaman rumah atau pekarangan dan
taman yang ditempatkan pada atap gedung. Untuk mencapai proporsi yang
disayaratkan pada ruang terbuka hijau privat di perkotaan, maka masyarakat
memiliki peran yang sangat besar. Peran tersebut ditunjukkan dengan kesediaan
mereka dalam melakukan pengelolaan RTH pada kawasan miliknya.
Kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam suatu pengelolaan lingkungan
harus diawali dengan peningkatan pengetahuannya. Dalam teori pendidikan,
kesediaan tersebut diwujudkan sebagai perilaku masyarakat. Dalam teori
perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Ajzen dalam Darnton (2008) bahwa
terdapat lima hal yang berpengaruh penting pada perubahan perilaku yaitu sikap
(attitudes), pengetahuan (knowledge), kemampuan menyeseuaiakn diri (self
2
efficacy), pengendalian diri (locus of control) dan maksud atau tujuan (intent).
Berdasarkan teori tersebut, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan RTH adalah peningkatan
pengetahuannya masyarakat terhadap lingkungan.
Peningkatan pengetahuan masyarakat dilakukan dengan pendekatan
teknologi pendidikan. Miarso (2008) menguraikan bahwa teknologi pendidikan
tidak hanya membantu memecahkan masalah belajar dalam konteks sekolah,
namun dalam dalam seluruh konteks kehidupan masyarakat, dengan
mengembangkan dan/atau menggunakan beraneka sumber. Dalam konteks
sekolah teknologi pendidikan berkembang dari apa yang semula dikenal dengan
istilah didaktik dan metodik. Namun karena belajar tidak hanya dalam konteks
sekolah, tetapi dalam seluruh konteks masyarakat, maka teknologi pendidikan
beroperasi dimana belajar itu diperlukan, baik oleh perorangan, kelompok
maupun organisasi.
Salah satu inovasi dalam teknologi pendidikan yang berbasis pendidikan
alternatif bagi masyarakat adalah green education. Konsep pendidikan ini
adalah upaya awal dalam memberikan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
ruang terbuka hijau terhadap kualitas lingkungan.
Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan
Ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan memberikan manfaat ekologi
yang tinggi. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk mempertahnkan kualitas
lingkungan tetapi juga menjadi kebanggan dan identitas warga kotanya. Ruang
terbuka hijau juga memberikan arti penting dari struktur pembentuk kota. Dengan
adanya ruang tersebut, maka nilai kualitas lingkungan dan budaya suatu kawasan akan
lebih bermakna positif bagi pengembangan sosial ekonomi masyarakat..
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan).
3
Keberadaan RTH perkotaan akan sangat berperan dalam memperbaiki
kualitas hidup masyarakat. RTH dalam jumlah yang ideal akan berfungsi sangat
besar antara lain meyerap polutan, mengontrol iklim mikro, meredam kebisingan
dan lain-lain (Nurul Fatanah, 2008). Jika dipandang dari fungsi sosialnya, maka
ruang terbuka hijau dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik. Ruang publik ini
berkembang sejalan dengan kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan
bersama apakah berkaitan dengan sosial, ekonomi dan budaya. (Darmawan,
2006). Ruang publik yang baik ditandai dengan ketertarikan masyarakat untuk
memanfaatkannya dan juga ditunjukkan dengan kemudahan mengunjunginya.
(Carmona, et al. 2003). Selain itu karakter ruang publik ditandai dengan : 1)
Ruang tempat masyarakat berinteraksi, melakukan beragam kegiatan secara
berbagi dan bersama, meliputi interaksi sosial, ekonomi dan budaya, dengan
penekanan utama pada aktivitas sosial.; 2) Ruang yang diadakan, dikelola dan
dikontrol secara bersama - baik oleh instansi public maupun privat ; 3) Ruang
yang terbuka dan aksesibel secara visual maupun fisik bagi semua tanpa kecuali.;
dan 4) Ruang dimana masyarakat mendapat kebebasan beraktivitas (Sunaryo,
et.al. 2010).
Urgensi ruang terbuka hijau terkait juga dengan nilai-nilai yang
terkandungnya meliputi nilai ekologis dan alam, nilai psikologis, nilai sosial
budaya serta nilai estetika. (Wijanarko, 2006). Nilai ekologis dari RTH adalah
sebagai paru-paru kota yang dapat menyediakan udara segar dan menyerap gas
carbon yang banyak terdapat di udara perkotaan. Dengan demikian udara menjadi
lebih bersih dan lingkungan menjadi lebih baik. Selain itu ruang-ruang terbuka
dapat mengurangi tingkat kebisingan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Selain itu ruang terbuka hijau dapat memperbaiki kualitas air tanah, mencegah
banjir, serta memperbaiki iklim perkotaan.
Nilai psikologis dari ruang terbuka hijau adalah sebagai tempat pertemuan
keluarga, kerabat dan tempat bermain anak-anak. Selain itu, ruang ini dapat pula
dipakai sebagai tempat melepas lelah dan menghirup udara segar yang sulit
diperoleh di tengah padatnya kendaraan bermotor. Nilai sosial budaya dari runga
4
terbuka hijau adalah sebagai ruang interaksi sosial antar warga sehingga modal
sosial dapat tumbuh pada ruang terbuka hiaju.
Nilai estetika RTH dapat dicapai dengan adanya berbagai vegetasi yang
ditata dengan rapih membuat nyaman untuk dipandang. Adanya keanekaragaman
tanaman mulai dari rumput-rumputan, tanaman sedang hingga pohon yang tinggi
memberikan suasana yang nyaman dan indah untuk dipandang. Selain itu, RTH
juga memiliki nilai ekonomis. Lahan yang ditamanu dengan tanaman yang
bernilai ekonomis dapat memberi manfaat bagi masyarakat.
Keseimbangan antara luasan RTH dan ruang terbangun akan
menghasilkan kota yang tertata. Perencanaan RTH yang matang, dapat menjaga
keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terbangun dan ruang terbuka.
Keselerasan antara struktur kota dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi
berbagai dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan menjaga
keseimbangan, kelestarian, kesehatan dan kenyamanan dan peningkatan kualitas
lingkungan hidup kota (Hastuti, 2011).
Ruang terbuka hijau disusun dengan berbagai tumbuhan dan tanaman atau
vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan
rancangan peruntukkannya. Kesesuaian lahan, iklim serta topografinya akan
memberikan pengaruh pada perencanaannnya. Attayaya (2009) menguraikan
bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka
(open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan
vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.
Sebagai pengembangan RTH privat, masyarakat dapat melakukan
penataan pekarangan. Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau Di Kawasan Perkotaan diuraikan definisi pekarangan yaitu Pekarangan
adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas
pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di
5
kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di
masing-masing kota.
Selanjutnya dalam kebijakan tersebut diatur kategori pekarangan rumah
besar, rumah sedang dan rumah kecil. Pada rumah besar dengan luas lahan di atas
500 m2, jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon
pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau
rumput. Pada rumah sedang dengan luas antara 200 m2 sampai dengan 500 m2;
jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung
ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.
Sed ang untuk rumah kecil dengan luas kurang dari 200m2, jumlah pohon
pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah
tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.
Namun hal ini mendapat tantangan berat dengan semakin sempitnya lahan
di perkotaan. Olehnya itu, masyarakat hendaknya mampu memanfaatkan lahan
pekarangan secara optimal. Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan
yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui
penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.
Alternatif lain adalah dengan pembuatan taman atap pada bangunan
bertingkat. Penerapan taman atap di perumahan menghdapi kendala disain
bangunan yang kurang mendukung. Taman dengan segala kelengkapannya dapat
menimbulkan beban mati, beban angin, dan beban air pada atap bangunan. Selain
itu, pengaliran air juga perlu diperhatikan sehingga tidak merusak struktur di
bawahnya.
Green education dan Model Perilaku Lingkungan
Pendidikan merupakan langkah awal dalam pengembangan perilaku atau
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan RTH. Deslanie (2011) menguraikan
bahwa terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses interaksi antar individu
dan lingkungan melalui suatu proses belajar. Adapun faktor yang berpengaruh
terhadap proses pembentukan perilaku adalah : 1) awareness (kesadaran); 2)
Interest (ketertarikan); 3) Evaluation (evaluasi); 4) Trial (mencoba) dan 5)
adoption (menerima). Dari kelima faktor tersebut, proses belajar ditunjukkan
6
Action Skills
Knowledge of Action Strategy
Knowledge of Issuses
Attitudes
Locus of Control
Personal Responsibility
Personality Factors
Intention to Act
Responsible Environmental
Behavior
Situational Factor
dengan peningkatan kesadaran hingga penerimaan akan suatu konsep. Manfaat
proses belajar adalah terdapat transformasi pengetahuan yang akhirnya dapat
menimbulkan stimulus pada suatu aksi atau kegiatan.
Perilaku masyarakat untuk terlibat dalam peningkatan kualitas lingkungan
merupakan bagian dari rasa tanggung jawab. Hal ini diungkapkan oleh Hines
dalam Hungerford dan Volk (1990) bahwa terdapat lima variabel yang
berpengaruh untuk membentuk faktor kepribadian yaitu keterampilan,
pengetahuan strategi, locus of control, kebiasaan (attitudes) dan tanggapan
personal sebagaimana diuraikan pada gambar 1.
Gambar 1. Model Pengembangan Perilaku Lingkungan (Hines dalam Hungerford dan Volk, 1990).
Berdasarakan gambar 1 nampak bahwa perilaku lingkungan tumbuh dari
adanyak pengetahuan, sikap dan keterampilan. Model di atas menggambarkan
bahwa minat untuk melakukan aksi atau kegiatan muncul akibat adanya
pengetahuan, keterampilan dan rasa tanggung jawab. Ketiga hal ini merupakan
hasil dari suatu proses belajar. Sebagaimana diungkapkan dalam taxonomi Bloom
yang terdiri atas tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Depdikbud
(1989) menguraikan ketiga domain tersebut sebagai berikut :
- Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia atau
hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indra yang dimilikinya.
7
- Sikap (attitude) merupakan respons tertutup seseorang terhadap
stimulus atau obyek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat
atau emosi bersangkutan.
- Tindakan (praktik) yang merujuk pada perilaku yang diekspresikan
dalam bentuk tindakan yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan
dan sikap yang telah dimiliki.
Teori ini menjelaskan bagaimana perilaku terjadi yang dimulai dari
proses belajar untuk memperoleh pengetahuan (knowledge). Dari pengetahuan
yang diperolehnya, maka akan timbul sikap dalam diri seseorang untuk
melakukan tindakan yang benar. Sikap tersebut ditunjukkan dengan adanya minat
dan motivasi dalam diri seseorang. Hasil dari dorongan sikap tersebut, maka akan
lahir tindakan atau perilaku yang bersifat praktikal.
Sebagai bagian deri pendidikan lingkungan hidup, green eduucation
sangat mendorong timbulnya tanggung jawab moral masyarakat dalam
pemeliharaan lingkungan. Muntasib (2009) menguraikan bahwa Pendidikan
Lingkungan Hidup dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
degradasi lingkungan dengan mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas
yang memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Sumber
daya manusia yang dimaksud adalah seluruh elemen masyarakat baik dari usia
kanak-kanak hingga usia dewasa.
Kementerian Lingkungan Hidup (2004) menguraikan bahwa Pendidikan
Lingkungan Hidup sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan
oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai
lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat
menggerakkan masyarakat untukberperan aktif dalam upaya pelestarian dan
keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang.
Konsep Green Education bagi Masyarakat Perkotaan
Istilah Green merujuk kepada hasil karya yang besifat ekologis
mendukung keberlanjutan lingkungan. Dalam upaya peningkatan peran
8
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, maka istilah green
education mengandung makna pemerian pengetahuan pada masyarakat akan cara-
cara serta teknik yang mendukung keberlanjutan ekosistem perkotaan.
Education mengandung arti pembelajaran. Istilah education tidak terlepas
dari makna kata pendidikan. Pemberian pengetahuan bagi masyarakat merupakan
tindakan pendidikan alternatif. Pengertian “pendidikan alternatif” meliputi
sejumlah besar cara pemberdayaan peserta didik/warga belajar yang dilakukan
berbeda dengan cara yang konvensional Meskipun caranya berbeda, namun semua
pola pendidikan alternatif mempunyai tiga kesamaan yaitu : 1) pendekatannya
yang lebih bersifat individual; 2) memberikan perhatian lebih besar kepada
peserta didik/warga belajar, orangtua/keluarga mereka, dan para pendidik; dan 3)
dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kondisilingkungan. (Miarso, 2008).
Metode penerapan green education yang dilakukan untuk masyarakat
perkotaan dapat dibagi secar formal dan non formal. Secara formal pengenalan
akan teknik teknik yang tepat dalam mendukung terciptanya ruang terbuka hijau
sebagai bagian manajemen sekolah atau dengan pendekatan School based
Management. Hal ini diawali dengan menyisipkan pengenalan teori lingkungan
pada beberapa mata pelajaran untuk melahirkan sikap peduli dan rasa tanggung
jawab. Sebagai ukuran psikomotorik, maka siswa harus dapat membuktikan
perilakunya dengan ikut serta dalam penyediaan RTH. Tindakan tersebut dapat
dinilai sebagai bagian ekstra kurikuler.
Secara non formal, green education dapat diterapkan dengan berbasis pada
kelembagaan masyarakat. Lembaga – lembaga sosial yang tumbuh di masyarakat
dijadikan media untuk memberikan pengembangan pengetahuan dan sikap
lingkungan bagi masyarakat. Pemerintah kota dapat memberikan stimulan
finansial dalam hal penyediaan bibit tanaman dan wadah konsultansi.
Green Education yang dilakukan secara selaras baik secara formal dan non
formal akan melahirkan pola pengembangan perilaku yang holistik. Semua
tingkatan usia baik tingkat anak-anak, remaja hingga masa dewasa akan memiliki
paradigma yang baru tentang keterlibatan dalam pengembangan runag terbuka
9
hijau di perkotaan. Paradigma tersebut akan menjadi modal sosial yang
mendukung pembangunan perkotaan.
Modal sosial akan melahirkan sistem nilai yang akan nampak pada
masyarakat perkotaan. Sunaryo, et al (2010) mengurakan bahwa bagaimana
ruang-ruang kota (publik dan privat) diorganisasikan adalah manifestasi dari
sistem nilai yang dianut masyarakatnya. Pada konteks ini kita bisa melihat dimana
proses-proses pembelajaran hidup berkota dimulai, pada saat masyarakat kota
melakukan konsensus atau kesepakatan-kesepakatan dalam mengatur penggunaan
ruang komunalnya, dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa melalui ruang
publik kita dapat meneropong sejauh mana taraf masyarakat kota kita telah
menemukan konsepsi urbanitasnya, konsepsi mengenai hidup bersama dalam satu
wilayah.
Proses belajar dengan Green Education juga merupakan bagian dari
reformasi pendidikan. Reformasi atau perubahan paradigma dalam pendidikan
pada dasarnya adalah melakukan tindakan lain yang berbeda berdasarkan pola
pikir yang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Masalah yang kita hadapi
sekarang tidak mungkin kita selesaikan dengan cara lama yang telah
menimbulkan masalah yang kita hadapi. (Miarso, 2008).
Reformasi pendidikan tersebut menggabungkan antara pola pendekatan top
down dengan pendekatan bottom up, Pendekatan top down dilakukan dengan
pembuatan kebijakan dan regulasi lain tentang pengembangan ruang terbuka
hijau. Beberapa kebijakan tersebut adalah :
- Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan.
- Standar Nasional Indonesia yaitu SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di perkotaan, yang menetapkan
luasan minimum taman lingkungan berdasarkan jumlah penduduk
10
pendukung, kebutuhan luasan hijau per orang dan radius
pencapaiannya
- Peraturan Daerah Propinsi dan Kota tentang Rencana Tata Ruang dan
Wilayah.
Secara bottom up, masyarakat dapat mengembangkan metode belajar yang
sesuai dengan usia dan karakteristik kelompok. Media belajar dapat bervariasi
seperti ruang belajarnya di taman, tempat ibadah, ataupun ruang kelas yang
representatif.
Hal ini sesuai dengan uraian Miarso (2008) bahwa : Berbagai bentuk
pendidikan alternatif adalah :
1. Pendidikan di rumah (home schooling) yang diselenggarakan oleh
orangtua/keluarga
2. Pendidikan di tempat ibadah, termasuk pendidikan pesantren
3. Pendidikan bagi peserta didik/warga belajar yang bermasalah (mereka
yang menjadi korban kemiskinan, kriminalitas, pertikaian dsb.) seperti
pendidikan bagi anak jalanan.
4. Pendidikan terprogram yang direkayasa melalui berbagai bentuk sarana
seperti teks terprogram, pembelajaran berbasis komputer (computer based
instruction) dll.
5. Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education), termasuk
berbagai macam kursus dan kegiatan belajar tidak terstruktur.
6. Pendidikan terbuka yang memberikan kesempatan kepada siapa saja,
untuk belajar apa saja yang diperlukan, kapan saja, dan dimana saja.
7. Pendidikan berjaringan yang menekankan terjadinya interaksi beragam
dengan semua pihak yang dapat memberikan kontribusi dalam
pembentukan kompetensi yang diinginkan oleh masing-masing peserta
didik/pembelajar.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dapat merencanakan metode
pembelajaran green education yang sesuai dengan kondisi lingkungan serta
kebutuhan warga belajar. Berdasarkan uraian di atas, dengan perkotaan akan lebih
nyaman dan indah dengan ketersediaan ruang terbuka hijau. Seluruh masyarakat
11
kota dapat berpartisipasi secara aktif dalam menciptakan kota dengan kualitas
lingkungan yang baik.
PENUTUP
Green Education merupakan suatu konsep pendidikan alternatif yang
berbasis pada masyarakat dan bertujuan untuk memberikan pengetahuan
lingkungan dan pada akhirnya akan melahirkan perilaku positif terhadap
lingkungan. Konsep pendidikan ini bertujuan menciptakan paradigma pada
masyarakat akan pentingnya menjaga kualitas perkotaan dengan
pengembangan RTH. Konsep pendidikan yang dirancang bagi semua
tingkatan masyarakat perkotaan dan dilaksanakan secara formal dan non
formal akan menciptakan kota yang nyaman untuk dihuni.
DAFTAR PUSTAKA
Attayaya, 2009. Ruang Terbuka Hijau. Artikel. http://www.attayaya.net/2009/07/ruang-terbukahijau-rth.html. [18/Ogos/2010
Carmona M, Heath T, Oc T and Tiesdell S. Public Spaces – Urban Places. The dimension of Urban Design. Elsevier. Oxford
Darmawan E. 2006. Teori dan Kajian Ruang Publik Kota. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Darnton, A. 2008. Behaviour Change Knowledge Review. Social Scences in Government
Deslanie, N.K. 2011. Teori Perilaku Psikologi, Peace Zone. Lonies Kingdom. Blogsport.com
Hastuti, 2011. Kajian Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perumahan Sebagai Bahan Revisi SNI 03-1733-2004. Jurnal Standardisasi Vol. 13, No. 1 Tahun 2011: 35 – 44
Hungerford, H dan Volk, T.L. 1990. Changing Learner Behaviour Through Environmental Education. Journal of Environmental Education. Vo; 21 (3) Sprung. Pp 8 – 21 Illinous USA.
.
12
.
Muntasib, dkk. 2009. Penerapan Pendidikan Hutan dan Lingkungan Bagi Sekolah-sekolah di Sekitar Kawasan Hutan. Prosiding Seminar Hasil=hasil Penelitian IPB, 2009.
Miarso, 2008, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan Dan PembelajaranDi Perguruan Tinggi. Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Nurul Fatanah, 2008. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Makassar. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU
Presiden RI. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Presiden RI
Sunaryo, R.G.; Soewarno, N; Ikaputra; Setiawan, B. 2010. Posisi Ruang Publik Dalam Transformasi Konsepsi Urbanitas Kota Indonesia. Paper Kumpulan Makalah pada Seminar Nasional Riset Arsitektur & Perencanaan 1, IAP DIY – APRF – JUTAP UGM, Yogyakarta, 16 Januari.
Wijanarko, 2006. Kemungkinan Penerapan Co-Management Alam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Pantai Utara Kota Surabaya. Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota. Semarang
13