Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian negara kelautan dan sejarah maritim? 2. Bagaimana penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah maritim? 3. Bagaimana perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah maritim? 4. Apa saja ruang lingkup sejarah maritim? 5. Bagaimana jaringan (masyarakat) maritim? 6. Bagaimana pandangan terhadap laut? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan hal-hal berikut ini. 1. Pengertian tentang negara kelautan dan sejarah maritim. 2. Penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah maritim. 3. Perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah maritim.

description

materi sejarah maritim

Transcript of Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

Page 1: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian negara kelautan dan sejarah maritim?

2. Bagaimana penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan

dan sejarah maritim?

3. Bagaimana perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah

maritim?

4. Apa saja ruang lingkup sejarah maritim?

5. Bagaimana jaringan (masyarakat) maritim?

6. Bagaimana pandangan terhadap laut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan hal-hal berikut ini.

1. Pengertian tentang negara kelautan dan sejarah maritim.

2. Penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah

maritim.

3. Perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah maritim.

4. Lingkup sejarah maritim.

5. Jaringan (masyarakat) maritim.

6. Pandangan terhadap laut.

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut ;

1. Mengetahui pengertian tentang negara kelautan dan sejarah maritim.

2. Mengetahui laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah

maritim.

3. Mengetahui perspektif teoritis.

4. Mengetahui lingkup sejarah maritim.

Page 2: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

5. Mengetahui jaringan (masyarakat) maritim.

6. Mengetahui pandangan terhadap laut.

Page 3: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

BAB II

NEGARA KELAUTAN DAN SEJARAH MARITIM

A. PENGERTIAN

Istilah negara kepulauan (archipelagic state) sering dilekatkan pada nama

Indonesia. Secara geografi Indonesia merupakan negara laut terbesar di dunia.

Luas wilayah lautnya 3,1 juta km2, dengan panjang garis pantai 81.000 km. Di

tengah laut tersebut ditaburi 17.508 pulau besar dan kecil (Nontji 1987:4; Dahuri

dkk 2004:1). Jadi, laut (air) merupakan unsur utama, kemudian darat (tanah).

Tetapi dalam kenyataannya, kita tidak pernah mengenal istilah “Air Tanah”,

kecuali “Tanah Air”. Pemaduan dua kata (air dan tanah) tersebut menyiratkan

utamanya tanah dan kemudian air.

Dalam Oxford English Dictionary (hlm 109), kata “archipelago” (baca arki-

pe-lago) berasal dari istilah arci (arkhi) yang berarti chief (kepala atau utama),

principal (dasar), dan pelagos (laut), kemudian menjadi archipelagus atau

archipelague. Istilah itu awalnya digunakan untuk menyebut pulau-pulau di Laut

Aegean, antara Greece (Yunani) and Asia Minor (Asia Kecil). Kata itu kemudian

digunakan untuk menunjuk pada beberapa laut, atau kesatuan laut, yang terdiri

dari sejumlah pulau-pulau (numerous islands) dan sebuah kelompok pulau-pulau

(a group of islands). Makna yang sama juga terdapat dalam kamus Bahasa

Belanda van Dale, archipel bermakna zee waarin een groot aantal eilanden en

eilandengroepen niet zeer ver van elkaar verwidderd ligt (laut dimana sejumlah

besar pulau atau kelompok pulau terletak tidak terlalu berjauhan satu dengan

lainnya).

Kata kepulauan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti suatu

gugusan beberapa buah pulau atau kumpulan pulau. Secara etimologi, kata

archipelago berasal dari bahasa Yunani, yakni arkhi, yang berarti utama dan

pelagos artinya laut. Jadi, archipelago bermakna laut (yang) utama. Dalam bahasa

Page 4: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

Prancis, dikenal istilah archipel yakni suatu kumpulan pulau yang terletak secara

berkelompok (ensemble diles disoposees en groupe).

Dengan demikian, makna sesungguhnya dari istilah archipelago atau archipel

adalah laut yang ditaburi oleh sekumpulan pulau-pulau, bukan kelompok pulau-

pulau yang dikelilingi oleh laut. Karena itulah, menurut Adrian Bernard Lapian,

archipelagic state lebih tepat diterjemahkan sebagai negara laut atau negara

bahari, bukan negara kepulauan, sebab yang utama adalah laut yang ditaburi oleh

pulau-pulau. Berdasarkan pengertian itu, lanjut Lapian, Wawasan Nusantara

seharusnya dipahami sebagai suatu prinsip atau cara pandang bangsa Indonesia

sebagai negara kelautan, bukan negara kepulauan, sesuai makna asli dari kata

archipelago (Lapian 1997:141; 1992).

B. LAUT SEBAGAI PENGHUBUNG

Sejarawan Denys Lombard berpendapat bahwa laut yang tampaknya

memisahkan, sebenarnya mempersatukan. Hubungan ekonomi dan kebudayaan

lebih sering terjalin di antara pantai yang satu dengan pantai yang lain, daripada di

antara suatu daerah dengan daerah lain di pulau yang sama. Dengan pandang

tersebut, Lombard (2005:14-16) selanjutnya mengajukan lima wilayah geografis

sebagai penghubung dari sudut pandang sejarah.

Pertama, Selat Malaka yang menyatukan daerah pantai timur dan pantai barat

Semenanjung. Akibat persaingan antara Inggris dan Belanda pada abad ke-19,

kedua daerah tersebut dipisahkan dengan mengaitkan masing-masing kepada dua

entitas politik yang berbeda yakni Hindia Belanda dan Malaya Inggris. Padahal,

sejak abad ke-7 sampai ke-13, keduanya disatukan dalam kuasa politik maritim

Sriwijaya.

Kedua, Selat Sunda yang menghubungkan daerah Lampung di bagian selatan

Sumatra dan daerah Sunda di bagian barat Jawa. Penyatuan keduanya terjadi pada

masa Kesultanan Banten pada abad ke-16 dan ke-17.

Ketiga, Laut Jawa yang mengaitkan bagian selatan pulau Kalimantan, tepatnya

Lembah Sungai Negara, dengan Jawa. Lembah tersebut adalah satu-satunya di

pulau besar itu yang kepadatan penduduknya relatif lebih tinggi. Sebagian besar

Page 5: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

penduduknya adalah pendatang dari Jawa. Daerah itu memiliki hubungan dengan

Jawa sejak zaman Majapahit.

Keempat, laut pulalah yang menyatukan Makassar dan daerah pedalamannya

dengan serangkaian pelabuhan yang berada dibawah kekuasaan Kesultanan

Makassar, antara lain Selayar dan Buton, Samarinda dan Kutai di Kalimantan

timur, dan Sumbawa di Kepulauan Sunda Kecil. Kesultanan Bima, di bagian

paling timur Sumbawa, sejak dulu menjadi bawahan Makassar. Pada masa

pemerintahan kolonial Belanda, daerah-daerah itu dimasukkan dalam satu sistem

administrasi yakni Zuid Celebes en onderhorigheden (Sulawesi Selatan dan

negeri-negeri bawahannya).

Kelima, Laut Maluku yang berhadapan dengan Kepulauan Philipina serta

dekat dengan Mindanau dan Kepulauan Sulu, menghubungkan beberapa pulau

rempah-rempah seperti Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, dan Tidore. Sejak

dihapuskannya pelayaran teratur kapal uap KPM, perahu-perahu layar tradisional

melayani sebagian besar perdagangan antarpulau.

Negara Indonesia dibentuk secara bersama-sama oleh tiga laut inti yaitu Laut

Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Ketiga kawasan laut tersebut berperan sebagai

heartsea dalam sejarah Indonesia (Lapian 1992:6). Daya kontrol efektif terhadap

kawasan itu menentukan penguasaan seluruh Indonesia. Pada masa Majapahit,

hegemoninya atas Laut Jawa mempengaruhi jalan kejayaannya. Orientasi

kebijakan ekonomi kelautan VOC, terutama pada penguasaan perairan Maluku,

Laut Jawa dan Selat Malaka, menyebabkan kekuatan dan kerajaan-kerajaan

pribumi di luar kawasan tersebut bertahan di wilayah lautnya masing-masing

seperti Riau, Buton, dan Bima. Singkatnya, upaya penguasaan wilayah oleh

Majapahit dan VOC telah menempatkan Laut Jawa sebagai laut inti (Lapian

1997:142-143).

Pada sejumlah kerajaan Nusantara di masa lampau dikenal simbol-simbol

perahu dalam pemerintahan. Kerajaan Ternate dan Tidore melihat kesatuan

kerajaan masing-masing ibarat perahu bercadik yang harus dijaga

keseimbangannya agar bahtera negara bisa berlayar dengan aman dan sejahtera.

Demikian juga Kerajaan Buton yang kerap diasosiasikan sebagai negara barata

Page 6: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

(barata artinya simpul pengikat perahu cadik), dengan tumpuan kekuatan pada

empat sudut yakni Muna dan Tiworo di bagian barat, serta Kolensusu dan

Keledupa di bagian timur, dari pusat kekuasaan, Wolio (Lapian 1999:86; Zuhdi

2010).

Fungsi perahu, yang menjadi simbol di kerajaan-kerajaan tersebut, sangat

penting sebagai sarana penghubung antarpulau, sekaligus medan komunikasi

sosial budaya berbagai suku bangsa, baik antar masyarakat Indonesia maupun

antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat lainnya lewat kegiatan pelayaran

dan perdagangan. Dengan demikian, jalan utama untuk memahami sejarah

masyarakat Indonesia adalah sejarah maritim, mengingat Indonesia adalah negara

kelautan.

C. PERSPEKTIF TEORITIS

Meskipun pada kenyatannya, laut sebagai infrastruktur dalam perjalanan

sejarah umat manusia mempunyai peranan yang sangat penting, namun menurut

Alfred Thayer Mahan (1890:3), sejarawan umumnya tidak mengenal dengan baik

keadaan laut. Mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadap laut. Mereka juga

tidak mempunyai pengetahuan yang khusus ihwal laut. Mereka tidak

mengindahkan pengaruh kekuatan laut yang sangat menentukan jalannya

peristiwa-peristiwa besar di dunia.

Sejarawan Prancis Fernand Braudel (1972:276) memandang laut pada dua sisi

strategis yang berbeda, yakni sebagai peluang dan tantangan bagi sebuah negara.

Laut memungkinkan terjadinya persatuan, pengangkutan, sarana, dan

perhubungan. Sebaliknya, laut dapat menjadi unsur pemisah yang hebat, suatu

halangan yang harus diatasi.

Kedua sarjana tersebut menempatkan laut sebagai unit studi yang sangat

penting yang harus diperhatikan oleh peneliti, juga pemerintah dalam menyusun

kebijakan pembangunan negara maritim. Bagi Lapian (2009), kajian sejarah

maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan sesuatu yang

wajib mendapat prioritas. Menurutnya, melihat sejarah Indonesia dari darat saja

membawa akibat pengetahuan dan pandangan tentang masa lampau, yang

Page 7: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini, selalu berat sebelah.

Keduanya harus ditempatkan sesuai konteksnya, sehingga diperoleh sejarah

nasional yang beraspirasi Sejarah Tanah Air.

Pelayaran dan perdagangan maritim dalam pemikiran ekonom Smith dan Mill

dapat mendatangkan dua keuntungan dinamis (Dick 1988; Curtin 1984) bagi para

pelakunya.

Pertama, vent for surplus (peluang untuk surplus). Proses ini membuka

kemungkinan sumber-sumber yang selama ini tidak produktif menjadi produktif,

sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekspor. Rempah-rempah misalnya, yang

menjadi komoditi niaga andalan di masa kurun niaga, awalnya tidak bernilai

ekonomis dan dibiarkan (tumbuh liar dan tidak mendapat perhatian) oleh

penduduk Maluku. Tetapi, setelah hasil bumi itu diperkenalkan dalam

perdagangan maritim oleh pedagang-pedagang China kepada pedagang Eropa,

rempah-rempah kemudian menjadi komoditi yang banyak dicari dan diperebutkan

oleh para pedagang pribumi dan asing. Bahkan, upaya perolehannya juga

mempengaruhi jalannya sejarah Indonesia, mengawali jalan integrasi ekonomi

global serta praktek kolonialisme dan imperialisme. Selain rempah-rempah,

komoditi lainnya adalah teripang. Semula komoditi ini sangat menjijikan bagi

penduduk pribumi karena lendirnya. Tetapi, setelah diperkenalkan dalam

pedagangan maritim, komoditi itu merangsang gairah masyarakat Sulawesi

Selatan untuk mencarinya ke kawasan perairan Indonesia bagian timur sampai

pantai utara Australia. Komoditi terakhir membuka jaringan niaga maritim

Makassar dengan China serta kemudian negara-negara Eropa.

Kedua, higway of learning, yakni efek penyingkapan yang mendidik dalam

proses pengalihan pengetahuan teknologi dan budaya (cross culture).

Perdagangan maritim menjadi jalur utama penyebaran agama Hindu, Budha,

Islam, dan Kristen di Nusantara. Agama tersebut dibawa oleh para saudagar ketika

pusat-pusat pengembangannya terhubung dengan kawasan lain dalam jaringan

maritim. Demikian juga perubahan mendasar dalam sistem navigasi, semula

mengandalkan kekuatan angin, pada abad ke-19 telah diperkenalkan dan

digunakan oleh bangsa Eropa dalam pelayaran samudera, sehingga (1)

Page 8: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

mendekatkan jarak dan mempersingkat masa pelayaran, (2) mempengaruhi

perkembangan teknologi perahu dan perkapalan, dan (3) sistem navigasi

pelayaran modern.

D. LINGKUP SEJARAH MARITIM

Secara umum sejarah diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh

umat manusia di masa lalu. Untuk mengetahuinya, sejarawan berupaya

menyingkapnya melalui sumber-sumber sejarah sebagai “duta masa lalu”,

kemudian direkonstruksi secara imajinatif berdasarkan fokus studinya. Istilah

maritim diadopasi dari bahasa asing. Dalam Oxford English Dictionary (hlm

1726), “maritime” (baca maeritaim) berasal dari kata myrytayne, maritayne, dan

maritan, juga maritim-us (bahasa Latin) mari = mare yang artinya laut. Dari entri

tersebut diberoleh 5 pengertian maritime yaitu :

1. Of countries and people; bondering on the sea; living near the sea-cost.

2. Connecticed with the sea in relation to navigation, commerce, etc; relation to

or dealing with matters of commerce or navigation on the sea.

3. Of a fighting force; intended for service at sea.

4. Of, pertaining to, arising from, or exixting in, the sea.

5. Characteristic of seaman; nautical

a. The sea cost

b. A person living near the sea.

Arti kata maritim dalam KBBI (2011:879) adalah (1) segala sesuatu yang

berkenaan dengan laut dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di

laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal yang menyangkut masalah

maritim atau sifat kepulauan Indonesia. Istilah maritifn sering disinonimkan

dengan kata bahari yang bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah; elok sekali,

dan (3) mengenai laut; bahari (KBBI 2011:115). Dengan demikian, sejarah

maritim adalah studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan

dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan.

Meskipun pengertian tersebut bersifat umum, namun penjabarannya dapat

ditilik pada sejumlah studi yang telah dilakukan oleh peneliti dan penulis bidang

Page 9: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

ini, seperti yang diperkenalkan oleh Lapian (1997) terhadap karya-karya

sejarawan asing tentang dunia maritim Asia Tenggara. Cakupan studinya meliputi

perdagangan, pelayaran, perkapalan, pelabuhan, dan bajak laut.

1. Perdagangan

Sejarawan Jacob Cornells van Leur (1934) menfokuskan kajiannya pada

perdagangan awal di Asia Tenggara sampai datangnya VOC. Menurutnya,

pedagangan masa itu lebih bersifat perdagangan barang-barang lux (mewah dan

mahal). Volumennya kecil, tetapi bernilai tinggi. Beberapa jenis barang itu antara

lain emas, perak, mutiara, rempah-rempah (pala dan cengkih), dan kayu-kayu

wangi. Kapal-kapal yang digunakan berukuran kecil, karena memang tidak

memerlukan tempat yang luas dan besar dalam pengangkutannya.

Berbeda dengan Leur, hasil studi sejarawan Meilink-Roelofs (1962)

mengungkapkan bahwa perdagangan masa itu sudah bersifat besar-besaran, yang

ditandai adanya pedagangan lada yang memerlukan kapal bermuatan besar.

Simpulan itu didukung oleh Manguin (1980) bahwa kapal-kapal Asia Tenggara

pada masa itu sudah menggunakan kapal-kapal berukuran besar, yang panjangnya

sampai 30 meter.

Masih dalam ranah yang sama, O.W. Welters (1967) mengatakan bahwa

munculnya kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara merupakan akibat dari reaksi

penduduk setempat yang diberikan kesempatan oleh pedagang asing ketika

menjalin kontak dagang di sana semakin ramai. Wolters (1970) menghubungkan

keruntuhan kemaharajaan Sriwijaya dengan kemunculan kerajaan Melayu.

Menurutnya, masyarakat Asia Tenggara hidup dalam dunia maritim yang sama.

Mereka memiliki bersama lautan yang mempersatukan wilayahnya.

Terakhir, karya Kenneth R. Hall (1985) mengaitkan kemunculan negara-

negara awal di Asia Tenggara dengan perkembangan perdagangan maritim. Dari

hasil studinya terungkap bahwa raja-raja Majapahit telah mengubah pola kerajaan

pada akhir abad ke-13 dengan suatu sistem yang lebih terintegrasi, yang masih

tampak pada masa kerajan-kerajaan Islam abad ke-17. Dalam kaitan ini, zona

maritim Laut Jawa berada dalam hegemoni Majapahit. Kerajaan ini mampu

Page 10: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

memanfatkan peluang perdagangan di kawasan laut inti Nusantara itu untuk

membangun kerajaannya.

2. Pelayaran dan Perkapalan

Kegiatan pelayaran dipandang sebagai medium komunikasi masyarakat di

suatu daerah dengan daerah lain. Untuk melakukan itu, diperlukan alat

transportasi laut (kapal dan perahu). Sebelum diperkenalkan alat navigasi modern,

pelaut tradisional mengandalkan kemampuan dan pengalamannya untuk

menyeberangi laut, dengan memanfaatkan tanda-tanda alam baik di laut maupun

di langit (bintang-bintang). Karena itulah, rekonstruksi pelayaran masyarakat

tradisonal harus mengacu pada ingatan mereka, yang hampir tidak diabadikan

dalam tulisan (dokumen), sehingga aktivitas yang mereka lakukan lebih pada

pengulangan pengalaman atau pengasahan ketajaman emosional dalam membaca

tanda-tanda alam.

Deskripsi jenis-jenis perahu tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh

Adrian Horridge (1985; 1986), juga aktivitas pelayarannya oleh Howard W. Dick

(1975; 1987). Kedua karya tersebut cukup memberikan gambaran bagi upaya

penelitian lanjut. Beberapa karya diantaranya ditulis antropolog Amerika Serikat,

Gene Ammarell, tentang sistem navigasi Bugis di pulau Balo-baloang Sulawesi

Selatan. Karya serupa juga ditulis oleh Michel Southon (1995) mengenai

pelayaran tradisional orang Buton, khususnya di pulau Lande dan sekitarnya, di

Sulawesi Tenggara. Dua karya terakhir telah menginspirasi kajian serupa oleh La

Malihu (1995) di Buton Timur dan Abd Rahman Hamid (2011) di Kepulauan

Wakatobi. Kajian tentang perahu Phinisi antara lain ditulis oleh Darmawan

Salman (2006). Dari sejumlah studi tentang perahu tradisional, fokus kajian

mengenai sentuhan motorisasi belum mendapat perhatian serius, berikut

eksistensinya, yang menjadi tugas peneliti sejarah maritim.

3. Pelabuhan

Sejauh perahu berlayar, ia akan kembali juga ke dermaga. Dalam konteks

itulah pelabuhan memainkan peran penting sebagai tempat berlabuhnya perahu.

Fungsi utama pelabuhan, tidak sekadar tempat berlabuh, tetapi juga tempat

Page 11: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

berkumpul untuk berdagang. Kata bandar dalam bahasa Inggris (harbor) mengacu

pada fungsinya sebagai tempat berlindung dan berteduh. Selain itu, istilah lain

yang berdekatan maknanya dengan bandar adalah port yang melihat pelabuhan

sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar masuk. Dengan demikian,

kata Lapian (1997), pelabuhan merupakan penghubung antara seberang laut

dengan daerah pedalaman dalam suatu interaksi, khususnya perdagangan maritim.

Perkembangan pelabuhan sering diikuti munculnya kota-kota pelabuhan di

kawasan pesisir, juga menambah intensitas komunikasi para saudagar di

pelabuhan.

Menurut Anthony Reid (1999), kedudukan pelabuhan sangat penting dalam

perdagangan maritim Asia Tenggara, terutama pada pola pelayaran tradisonal

yang memanfaatkan angin muson yang bertiup teratur sepanjang tahun. Dari

bulan April sampai Agustus, angin bertiup ke utara menuju daratan Asia.

Sebaliknya, dari bulan Desember sampai Maret angin bertiup ke arah selatan,

yakni dari daratan Asia ke Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Pergantian

muson ini secara langsung mempengaruhi route pelayaran. Pada kondisi ini,

terutama saat menunggu pergantian arah angin, pelabuhan sangat penting sebagai

tempat untuk berlabuh, memperbaiki, dan memastikan sistem nagivasi dapat

dijalankan dalam pelayaran. Pola muson dan route pelayaran juga berpengaruh

terhadap perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara, dimana para

pedagang menunggu pergantian muson atau kadatangan rekan dagangnya. Selama

masa menunggu, para awak kapal dan penumpang memenuhi perkampungan kota,

meramaikan pasar, dan ikut dalam upaya-upacara ritual.

4. Bajak Laut

Kegiatan bajak laut berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan

perdagangan maritim. Menurut Fernand Braudel (1976) dan Lapian (2009),

kegiatan ini berkorelasi dengan kemakmuran di suatu perairan. Semakin banyak

volume yang diperdagangkan, semakin besar peluang terjadinya tindak

perompakan. Sebaliknya, jika perdagangan lesu, barang dagangan yang potensial

dirompak berkurang, dan keinginan mengadakan ekspedisi bajak laut pun

Page 12: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

berkurang. Menurut Lapian, korelasi antara kegiatan bajak laut dengan

perdagangan merupakan bentuk awal dari perdagangan maritim. Dalam hal itu,

kebutuhan akan perdagangan yang semula berupa tukar-menukar barang timbul

karena kekurangan suatu barang tertentu di suatu tempat, sedangkan tempat lain

mempunyai surplus.

Lapian telah mengoreksi cara pandang yang keliru mengenai bajak laut.

Selama ini, bajak laut dipandang sebagai semua tindak kekerasan di laut. Padahal,

tindakan itu harus dilihat dalam konteks status dan kewenangan pelakunya,

apakah tindakannya merupakan pelanggaran atau tidak. Hanya negara yang

memiliki monopoli atas kekerasan. Dengan demikian jika tindakan kekerasan

dilakukan oleh orang lain, maka tindakannya dilihat sebagai kriminal. Meski

demikian, pengungkapan masalah itu harus ditempatkan sesuai konteksnya, yakni

batas-batas kedaulatan yang belum jelas pada periode tertentu, sehingga kadang

sulit dilihat secara jelas arah tindakannya sebagai bajak laut. Istilah bajak laut

kerap dipakai oleh pemerintahan yang telah mapan. Padahal, pada masa itu

masing-masing melihat saingannya, termasuk kekuatan kolonial, sebagai pihak

yang melanggar haknya. Karena itu, Lapian mengajukan tiga tipologi yang harus

ditempatkan secara tepat, orang laut, bajak laut, dan raja laut dalam sejarah

kawasan laut Sulawesi abad ke-19.

E. JARINGAN (MASYARAKAT) MARITIM

Komunikasi masyarakat antarpulau, sudah terjalin sebelum jaringan

internasional, dilakukan antarkampung dan antarpulau untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Joel Bonnemaison (1984) membagi jaringan komunikasi itu

dalam tiga kategori dan tujuan.

1. Initiation journey atau pelayaran inisiasi yang khusus dilakukan oleh para

remaja yang baru belajar berlayar dan sekaligus untuk mengenal kampung-

kampung dalamannya.

2. Exchange journey yakni pelayaran ritual untuk mengadakan tukar-menukar

barang dengan kampung kerabat atau kampung sekutu yang terikat dalam

suatu pertukaran.

Page 13: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

3. Refuge journey ialah pelayaran yang dilakukan untuk melarikan diri karena

seseorang terlibat dalam suatu perkara yang membawa aib, sehingga ia harus

keluar atau dikeluarkan oleh masyarakat kampungnya (Lapian 1999:98).

Jaringan pelayaran tersebut menciptakan saluran komunikasi yang

mempersatukan suatu masyarakat dengan masyarakat lain di kawasan perairan

tertentu yang terlibat didalamnya. Dalam konteks lebih luas, Philip D. Curtin

(1984) dan Edward L Poelinggomang (2006), dikenal dua jenis jaringan maritim

dengan fokus yang berbeda.

Pertama, trade network adalah jaringan maritim yang terbangun dari suatu

wilayah ke wilayah lain, cenderung bersifat ke luar.

Kedua, trade diaspora ialah jaringan niaga yang diciptakan untuk menarik

perhatian khalayak untuk datang di suatu pelabuhan, dengan jalan memberikan

banyak kemudahan dan keamanan, sehingga pendatang tertarik untuk membina

hubungan dagang.

Dua istilah tersebut menurut Poelinggomang sering ditempatkan tidak sesuai.

Istilah trade diaspora kerap dipahami sebagai upaya membangun jaringan keluar,

padahal sesungguhnya bersifat ke dalam, yakni menarik perhatian pihak luar

untuk datang ke (dalam) suatu tempat atau pelabuhan.

Berkaitan dengan daya tarik perdagangan maritim, menurut Howard W. Dick

(1988:402-403) bahwa salah satu ciri perdagangan awal Asia Tenggara sebelum

masa kolonial adalah sifat internasionalnya. Dalam hal ini, para saudagar dari

berbagai bangsa dan agama disambut dengan ramah, selama mereka bersedia

membayar pajak kepada raja dan tunduk pada hukum negeri (kata pepatah:

dimana bumi di pijak, di situ langit dijunjung). Di bandar niaga itu, para pedagang

diberikan hak-hak istimewa. Umumnya hukum yang berlaku menyerupai

perdagangan bebas. Dasar kabijakannya adalah apabila rajanya terlampau

membatasi keluasan kaum saudagar, mereka akan mencari tempat lain untuk

berniaga. Itulah sebabnya, penguasa tidak dapat menasionalisasi atau memonopoli

perdagangan, sekalipun sewaktu-waktu memang terjadi peperangan antara raja-

raja yang bersaing dengan tujuan mengalihkan arus perdagangan. Kebijakan itulah

Page 14: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

yang menarik perhatian pedagang, sehingga tergerak hatinya untuk berdagang di

dareahnya. Cara pandang inilah yang disebut trade diaspora.

F. PANDANGAN TERHADAP LAUT

Masyarakat maritim Asia Tenggara memiliki keragaman pandangan terhadap

laut. Sikap mereka berbeda terhadap laut, mulai dari yang sangat akrab sampai

dengan yang sangat menakutkan. Sebagian melihat laut sebagai bentangan air dari

bagian hidupnya yang memberi ruang nafkah bagi penduduk setempat,

mempersatukan masyarakat di seberang, dan tempat rekreasi di kala senggang.

Tetapi, ada pula yang memandang sebaliknya, bahwa laut merupakan penghalang

atau pemisah dari tanah seberang, saluran komunikasi, bahkan tempat

pembuangan sampah (Trisulistiyono 2003).

K. N. Chauduri (1989) menyebut “the sea and its mistery”, sehingga orang

takut melakukan pelayaran ke seberang lautan. Dalam pandangan masyarakat di

Sulawesi Selatan, kata Poelinggomang (2006), hukuman yang paling berat

terhadap orang yang berbuat pelanggaran adalah ketika dibuang ke laut. Hal itu

dilandasi oleh pandangan bahwa mereka yang menyeberangi lautan tidak akan

selamat (hidup). Karena itu, ketika seseorang telah dibuang ke laut, maka terbebas

segala hukumannya.

Cara pandang misterius terhadap laut berkembang di Eropa pada Abad

Pertengahan. Mereka yang mencoba melakukan pelayaran ke seberang lautan,

akan jatuh ke tepian. Bumi pada saat itu diyakini ibarat bidang datar (seperti

meja). Jika seseorang meninggalkan titik sentral maka akan jatuh. Tidak ada

keselamatan bagi mereka. Pandangan itu mendominasi cara berpikir dan perilaku

masyarakat Eropa, sehingga usaha-usaha untuk berlayar ke seberang lautan

pantang dilakukan.

Kendati demikian, pandangan tersebut secara perlahan diuji melalui

penjelajahan samudera oleh bangsa Eropa sendiri. Dua negara berkekuatan

maritim yang melakukan itu, dan mendapat restu dari Gereja Katolik Roma,

adalah Portugis dan Spanyol. Wilayah jelajah mereka dibagi dua, pada lintasan

yang berbeda. Portugis ke timur, dan Spanyol melalui barat. Kedua negara itu

Page 15: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

menyusuri routenya sesuai perjanjian Tordesillas (1498). Tetapi akhirnya mereka

bertemu di perairan Maluku. Pertemuan tersebut meruntuhkan mitos bahwa bumi

ini datar, melainkan buat. Di sana mereka saling curiga, sehingga timbul

perselisihan antara keduanya. Masalah itu diajukan ke Roma. Walhasil, dibuatlah

perjanjian damai yang disebut Traktat Saragosa (1592). Sejak saat itu berkembang

pandangan bahwa laut hanya milik kelompok tertentu (mare clausum).

Meskipun demikian, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan sistem

navigasi, pandangan tersebut mulai bergeser. Laut sudah tidak lagi dipandang

sebagai milik bangsa tertentu, tetapi juga dapat diakses oleh bangsa lain.

Pandangan itu berkembang seirama dengan timbulnya harapan untuk

memanfaatkan potensi laut oleh semua bangsa. Berkembangan cara pandang

bahwa laut merupakan milik semua. Setiap orang bebas berlayar ke mana pun

sesuai kehendak dan harapannya. Pandangan inilah yang disebut mare liberum.

Pemikiran ini telah dianut oleh penguasa di Sulawesi Selatan dalam abad ke-16

sampai ke-17, bahwa laut diciptakan Tuhan untuk semua orang. Tidak boleh

orang yang menguasainya, apalagi melakukan monopoli. Jika ada yang mencoba

melakukannya, raja tidak akan menolerir tindakannya. Kebijakan itu merupakan

daya pikat kuat bagi para saudagar untuk berdagang di Makassar, yang

mengantarkannya pada kejayaan maritim kemajuan paling cepat dan spektakuler

dalam sejarah Indonesia (Reid 2004:132). Kebijakan inilah yang disebut trade

diaspora.

Page 16: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Page 17: Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim

DAFTAR PUSTAKA