Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim
-
Upload
muhammad-zaini -
Category
Documents
-
view
269 -
download
20
description
Transcript of Negara Kelautan Dan Sejarah Maritim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian negara kelautan dan sejarah maritim?
2. Bagaimana penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan
dan sejarah maritim?
3. Bagaimana perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah
maritim?
4. Apa saja ruang lingkup sejarah maritim?
5. Bagaimana jaringan (masyarakat) maritim?
6. Bagaimana pandangan terhadap laut?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan hal-hal berikut ini.
1. Pengertian tentang negara kelautan dan sejarah maritim.
2. Penjelasan laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah
maritim.
3. Perspektif teoritis tentang negara kelautan dan sejarah maritim.
4. Lingkup sejarah maritim.
5. Jaringan (masyarakat) maritim.
6. Pandangan terhadap laut.
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut ;
1. Mengetahui pengertian tentang negara kelautan dan sejarah maritim.
2. Mengetahui laut sebagai penghubung dalam negara kelautan dan sejarah
maritim.
3. Mengetahui perspektif teoritis.
4. Mengetahui lingkup sejarah maritim.
5. Mengetahui jaringan (masyarakat) maritim.
6. Mengetahui pandangan terhadap laut.
BAB II
NEGARA KELAUTAN DAN SEJARAH MARITIM
A. PENGERTIAN
Istilah negara kepulauan (archipelagic state) sering dilekatkan pada nama
Indonesia. Secara geografi Indonesia merupakan negara laut terbesar di dunia.
Luas wilayah lautnya 3,1 juta km2, dengan panjang garis pantai 81.000 km. Di
tengah laut tersebut ditaburi 17.508 pulau besar dan kecil (Nontji 1987:4; Dahuri
dkk 2004:1). Jadi, laut (air) merupakan unsur utama, kemudian darat (tanah).
Tetapi dalam kenyataannya, kita tidak pernah mengenal istilah “Air Tanah”,
kecuali “Tanah Air”. Pemaduan dua kata (air dan tanah) tersebut menyiratkan
utamanya tanah dan kemudian air.
Dalam Oxford English Dictionary (hlm 109), kata “archipelago” (baca arki-
pe-lago) berasal dari istilah arci (arkhi) yang berarti chief (kepala atau utama),
principal (dasar), dan pelagos (laut), kemudian menjadi archipelagus atau
archipelague. Istilah itu awalnya digunakan untuk menyebut pulau-pulau di Laut
Aegean, antara Greece (Yunani) and Asia Minor (Asia Kecil). Kata itu kemudian
digunakan untuk menunjuk pada beberapa laut, atau kesatuan laut, yang terdiri
dari sejumlah pulau-pulau (numerous islands) dan sebuah kelompok pulau-pulau
(a group of islands). Makna yang sama juga terdapat dalam kamus Bahasa
Belanda van Dale, archipel bermakna zee waarin een groot aantal eilanden en
eilandengroepen niet zeer ver van elkaar verwidderd ligt (laut dimana sejumlah
besar pulau atau kelompok pulau terletak tidak terlalu berjauhan satu dengan
lainnya).
Kata kepulauan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti suatu
gugusan beberapa buah pulau atau kumpulan pulau. Secara etimologi, kata
archipelago berasal dari bahasa Yunani, yakni arkhi, yang berarti utama dan
pelagos artinya laut. Jadi, archipelago bermakna laut (yang) utama. Dalam bahasa
Prancis, dikenal istilah archipel yakni suatu kumpulan pulau yang terletak secara
berkelompok (ensemble diles disoposees en groupe).
Dengan demikian, makna sesungguhnya dari istilah archipelago atau archipel
adalah laut yang ditaburi oleh sekumpulan pulau-pulau, bukan kelompok pulau-
pulau yang dikelilingi oleh laut. Karena itulah, menurut Adrian Bernard Lapian,
archipelagic state lebih tepat diterjemahkan sebagai negara laut atau negara
bahari, bukan negara kepulauan, sebab yang utama adalah laut yang ditaburi oleh
pulau-pulau. Berdasarkan pengertian itu, lanjut Lapian, Wawasan Nusantara
seharusnya dipahami sebagai suatu prinsip atau cara pandang bangsa Indonesia
sebagai negara kelautan, bukan negara kepulauan, sesuai makna asli dari kata
archipelago (Lapian 1997:141; 1992).
B. LAUT SEBAGAI PENGHUBUNG
Sejarawan Denys Lombard berpendapat bahwa laut yang tampaknya
memisahkan, sebenarnya mempersatukan. Hubungan ekonomi dan kebudayaan
lebih sering terjalin di antara pantai yang satu dengan pantai yang lain, daripada di
antara suatu daerah dengan daerah lain di pulau yang sama. Dengan pandang
tersebut, Lombard (2005:14-16) selanjutnya mengajukan lima wilayah geografis
sebagai penghubung dari sudut pandang sejarah.
Pertama, Selat Malaka yang menyatukan daerah pantai timur dan pantai barat
Semenanjung. Akibat persaingan antara Inggris dan Belanda pada abad ke-19,
kedua daerah tersebut dipisahkan dengan mengaitkan masing-masing kepada dua
entitas politik yang berbeda yakni Hindia Belanda dan Malaya Inggris. Padahal,
sejak abad ke-7 sampai ke-13, keduanya disatukan dalam kuasa politik maritim
Sriwijaya.
Kedua, Selat Sunda yang menghubungkan daerah Lampung di bagian selatan
Sumatra dan daerah Sunda di bagian barat Jawa. Penyatuan keduanya terjadi pada
masa Kesultanan Banten pada abad ke-16 dan ke-17.
Ketiga, Laut Jawa yang mengaitkan bagian selatan pulau Kalimantan, tepatnya
Lembah Sungai Negara, dengan Jawa. Lembah tersebut adalah satu-satunya di
pulau besar itu yang kepadatan penduduknya relatif lebih tinggi. Sebagian besar
penduduknya adalah pendatang dari Jawa. Daerah itu memiliki hubungan dengan
Jawa sejak zaman Majapahit.
Keempat, laut pulalah yang menyatukan Makassar dan daerah pedalamannya
dengan serangkaian pelabuhan yang berada dibawah kekuasaan Kesultanan
Makassar, antara lain Selayar dan Buton, Samarinda dan Kutai di Kalimantan
timur, dan Sumbawa di Kepulauan Sunda Kecil. Kesultanan Bima, di bagian
paling timur Sumbawa, sejak dulu menjadi bawahan Makassar. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, daerah-daerah itu dimasukkan dalam satu sistem
administrasi yakni Zuid Celebes en onderhorigheden (Sulawesi Selatan dan
negeri-negeri bawahannya).
Kelima, Laut Maluku yang berhadapan dengan Kepulauan Philipina serta
dekat dengan Mindanau dan Kepulauan Sulu, menghubungkan beberapa pulau
rempah-rempah seperti Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, dan Tidore. Sejak
dihapuskannya pelayaran teratur kapal uap KPM, perahu-perahu layar tradisional
melayani sebagian besar perdagangan antarpulau.
Negara Indonesia dibentuk secara bersama-sama oleh tiga laut inti yaitu Laut
Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Ketiga kawasan laut tersebut berperan sebagai
heartsea dalam sejarah Indonesia (Lapian 1992:6). Daya kontrol efektif terhadap
kawasan itu menentukan penguasaan seluruh Indonesia. Pada masa Majapahit,
hegemoninya atas Laut Jawa mempengaruhi jalan kejayaannya. Orientasi
kebijakan ekonomi kelautan VOC, terutama pada penguasaan perairan Maluku,
Laut Jawa dan Selat Malaka, menyebabkan kekuatan dan kerajaan-kerajaan
pribumi di luar kawasan tersebut bertahan di wilayah lautnya masing-masing
seperti Riau, Buton, dan Bima. Singkatnya, upaya penguasaan wilayah oleh
Majapahit dan VOC telah menempatkan Laut Jawa sebagai laut inti (Lapian
1997:142-143).
Pada sejumlah kerajaan Nusantara di masa lampau dikenal simbol-simbol
perahu dalam pemerintahan. Kerajaan Ternate dan Tidore melihat kesatuan
kerajaan masing-masing ibarat perahu bercadik yang harus dijaga
keseimbangannya agar bahtera negara bisa berlayar dengan aman dan sejahtera.
Demikian juga Kerajaan Buton yang kerap diasosiasikan sebagai negara barata
(barata artinya simpul pengikat perahu cadik), dengan tumpuan kekuatan pada
empat sudut yakni Muna dan Tiworo di bagian barat, serta Kolensusu dan
Keledupa di bagian timur, dari pusat kekuasaan, Wolio (Lapian 1999:86; Zuhdi
2010).
Fungsi perahu, yang menjadi simbol di kerajaan-kerajaan tersebut, sangat
penting sebagai sarana penghubung antarpulau, sekaligus medan komunikasi
sosial budaya berbagai suku bangsa, baik antar masyarakat Indonesia maupun
antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat lainnya lewat kegiatan pelayaran
dan perdagangan. Dengan demikian, jalan utama untuk memahami sejarah
masyarakat Indonesia adalah sejarah maritim, mengingat Indonesia adalah negara
kelautan.
C. PERSPEKTIF TEORITIS
Meskipun pada kenyatannya, laut sebagai infrastruktur dalam perjalanan
sejarah umat manusia mempunyai peranan yang sangat penting, namun menurut
Alfred Thayer Mahan (1890:3), sejarawan umumnya tidak mengenal dengan baik
keadaan laut. Mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadap laut. Mereka juga
tidak mempunyai pengetahuan yang khusus ihwal laut. Mereka tidak
mengindahkan pengaruh kekuatan laut yang sangat menentukan jalannya
peristiwa-peristiwa besar di dunia.
Sejarawan Prancis Fernand Braudel (1972:276) memandang laut pada dua sisi
strategis yang berbeda, yakni sebagai peluang dan tantangan bagi sebuah negara.
Laut memungkinkan terjadinya persatuan, pengangkutan, sarana, dan
perhubungan. Sebaliknya, laut dapat menjadi unsur pemisah yang hebat, suatu
halangan yang harus diatasi.
Kedua sarjana tersebut menempatkan laut sebagai unit studi yang sangat
penting yang harus diperhatikan oleh peneliti, juga pemerintah dalam menyusun
kebijakan pembangunan negara maritim. Bagi Lapian (2009), kajian sejarah
maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan sesuatu yang
wajib mendapat prioritas. Menurutnya, melihat sejarah Indonesia dari darat saja
membawa akibat pengetahuan dan pandangan tentang masa lampau, yang
merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini, selalu berat sebelah.
Keduanya harus ditempatkan sesuai konteksnya, sehingga diperoleh sejarah
nasional yang beraspirasi Sejarah Tanah Air.
Pelayaran dan perdagangan maritim dalam pemikiran ekonom Smith dan Mill
dapat mendatangkan dua keuntungan dinamis (Dick 1988; Curtin 1984) bagi para
pelakunya.
Pertama, vent for surplus (peluang untuk surplus). Proses ini membuka
kemungkinan sumber-sumber yang selama ini tidak produktif menjadi produktif,
sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekspor. Rempah-rempah misalnya, yang
menjadi komoditi niaga andalan di masa kurun niaga, awalnya tidak bernilai
ekonomis dan dibiarkan (tumbuh liar dan tidak mendapat perhatian) oleh
penduduk Maluku. Tetapi, setelah hasil bumi itu diperkenalkan dalam
perdagangan maritim oleh pedagang-pedagang China kepada pedagang Eropa,
rempah-rempah kemudian menjadi komoditi yang banyak dicari dan diperebutkan
oleh para pedagang pribumi dan asing. Bahkan, upaya perolehannya juga
mempengaruhi jalannya sejarah Indonesia, mengawali jalan integrasi ekonomi
global serta praktek kolonialisme dan imperialisme. Selain rempah-rempah,
komoditi lainnya adalah teripang. Semula komoditi ini sangat menjijikan bagi
penduduk pribumi karena lendirnya. Tetapi, setelah diperkenalkan dalam
pedagangan maritim, komoditi itu merangsang gairah masyarakat Sulawesi
Selatan untuk mencarinya ke kawasan perairan Indonesia bagian timur sampai
pantai utara Australia. Komoditi terakhir membuka jaringan niaga maritim
Makassar dengan China serta kemudian negara-negara Eropa.
Kedua, higway of learning, yakni efek penyingkapan yang mendidik dalam
proses pengalihan pengetahuan teknologi dan budaya (cross culture).
Perdagangan maritim menjadi jalur utama penyebaran agama Hindu, Budha,
Islam, dan Kristen di Nusantara. Agama tersebut dibawa oleh para saudagar ketika
pusat-pusat pengembangannya terhubung dengan kawasan lain dalam jaringan
maritim. Demikian juga perubahan mendasar dalam sistem navigasi, semula
mengandalkan kekuatan angin, pada abad ke-19 telah diperkenalkan dan
digunakan oleh bangsa Eropa dalam pelayaran samudera, sehingga (1)
mendekatkan jarak dan mempersingkat masa pelayaran, (2) mempengaruhi
perkembangan teknologi perahu dan perkapalan, dan (3) sistem navigasi
pelayaran modern.
D. LINGKUP SEJARAH MARITIM
Secara umum sejarah diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh
umat manusia di masa lalu. Untuk mengetahuinya, sejarawan berupaya
menyingkapnya melalui sumber-sumber sejarah sebagai “duta masa lalu”,
kemudian direkonstruksi secara imajinatif berdasarkan fokus studinya. Istilah
maritim diadopasi dari bahasa asing. Dalam Oxford English Dictionary (hlm
1726), “maritime” (baca maeritaim) berasal dari kata myrytayne, maritayne, dan
maritan, juga maritim-us (bahasa Latin) mari = mare yang artinya laut. Dari entri
tersebut diberoleh 5 pengertian maritime yaitu :
1. Of countries and people; bondering on the sea; living near the sea-cost.
2. Connecticed with the sea in relation to navigation, commerce, etc; relation to
or dealing with matters of commerce or navigation on the sea.
3. Of a fighting force; intended for service at sea.
4. Of, pertaining to, arising from, or exixting in, the sea.
5. Characteristic of seaman; nautical
a. The sea cost
b. A person living near the sea.
Arti kata maritim dalam KBBI (2011:879) adalah (1) segala sesuatu yang
berkenaan dengan laut dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di
laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal yang menyangkut masalah
maritim atau sifat kepulauan Indonesia. Istilah maritifn sering disinonimkan
dengan kata bahari yang bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah; elok sekali,
dan (3) mengenai laut; bahari (KBBI 2011:115). Dengan demikian, sejarah
maritim adalah studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan
dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan.
Meskipun pengertian tersebut bersifat umum, namun penjabarannya dapat
ditilik pada sejumlah studi yang telah dilakukan oleh peneliti dan penulis bidang
ini, seperti yang diperkenalkan oleh Lapian (1997) terhadap karya-karya
sejarawan asing tentang dunia maritim Asia Tenggara. Cakupan studinya meliputi
perdagangan, pelayaran, perkapalan, pelabuhan, dan bajak laut.
1. Perdagangan
Sejarawan Jacob Cornells van Leur (1934) menfokuskan kajiannya pada
perdagangan awal di Asia Tenggara sampai datangnya VOC. Menurutnya,
pedagangan masa itu lebih bersifat perdagangan barang-barang lux (mewah dan
mahal). Volumennya kecil, tetapi bernilai tinggi. Beberapa jenis barang itu antara
lain emas, perak, mutiara, rempah-rempah (pala dan cengkih), dan kayu-kayu
wangi. Kapal-kapal yang digunakan berukuran kecil, karena memang tidak
memerlukan tempat yang luas dan besar dalam pengangkutannya.
Berbeda dengan Leur, hasil studi sejarawan Meilink-Roelofs (1962)
mengungkapkan bahwa perdagangan masa itu sudah bersifat besar-besaran, yang
ditandai adanya pedagangan lada yang memerlukan kapal bermuatan besar.
Simpulan itu didukung oleh Manguin (1980) bahwa kapal-kapal Asia Tenggara
pada masa itu sudah menggunakan kapal-kapal berukuran besar, yang panjangnya
sampai 30 meter.
Masih dalam ranah yang sama, O.W. Welters (1967) mengatakan bahwa
munculnya kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara merupakan akibat dari reaksi
penduduk setempat yang diberikan kesempatan oleh pedagang asing ketika
menjalin kontak dagang di sana semakin ramai. Wolters (1970) menghubungkan
keruntuhan kemaharajaan Sriwijaya dengan kemunculan kerajaan Melayu.
Menurutnya, masyarakat Asia Tenggara hidup dalam dunia maritim yang sama.
Mereka memiliki bersama lautan yang mempersatukan wilayahnya.
Terakhir, karya Kenneth R. Hall (1985) mengaitkan kemunculan negara-
negara awal di Asia Tenggara dengan perkembangan perdagangan maritim. Dari
hasil studinya terungkap bahwa raja-raja Majapahit telah mengubah pola kerajaan
pada akhir abad ke-13 dengan suatu sistem yang lebih terintegrasi, yang masih
tampak pada masa kerajan-kerajaan Islam abad ke-17. Dalam kaitan ini, zona
maritim Laut Jawa berada dalam hegemoni Majapahit. Kerajaan ini mampu
memanfatkan peluang perdagangan di kawasan laut inti Nusantara itu untuk
membangun kerajaannya.
2. Pelayaran dan Perkapalan
Kegiatan pelayaran dipandang sebagai medium komunikasi masyarakat di
suatu daerah dengan daerah lain. Untuk melakukan itu, diperlukan alat
transportasi laut (kapal dan perahu). Sebelum diperkenalkan alat navigasi modern,
pelaut tradisional mengandalkan kemampuan dan pengalamannya untuk
menyeberangi laut, dengan memanfaatkan tanda-tanda alam baik di laut maupun
di langit (bintang-bintang). Karena itulah, rekonstruksi pelayaran masyarakat
tradisonal harus mengacu pada ingatan mereka, yang hampir tidak diabadikan
dalam tulisan (dokumen), sehingga aktivitas yang mereka lakukan lebih pada
pengulangan pengalaman atau pengasahan ketajaman emosional dalam membaca
tanda-tanda alam.
Deskripsi jenis-jenis perahu tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh
Adrian Horridge (1985; 1986), juga aktivitas pelayarannya oleh Howard W. Dick
(1975; 1987). Kedua karya tersebut cukup memberikan gambaran bagi upaya
penelitian lanjut. Beberapa karya diantaranya ditulis antropolog Amerika Serikat,
Gene Ammarell, tentang sistem navigasi Bugis di pulau Balo-baloang Sulawesi
Selatan. Karya serupa juga ditulis oleh Michel Southon (1995) mengenai
pelayaran tradisional orang Buton, khususnya di pulau Lande dan sekitarnya, di
Sulawesi Tenggara. Dua karya terakhir telah menginspirasi kajian serupa oleh La
Malihu (1995) di Buton Timur dan Abd Rahman Hamid (2011) di Kepulauan
Wakatobi. Kajian tentang perahu Phinisi antara lain ditulis oleh Darmawan
Salman (2006). Dari sejumlah studi tentang perahu tradisional, fokus kajian
mengenai sentuhan motorisasi belum mendapat perhatian serius, berikut
eksistensinya, yang menjadi tugas peneliti sejarah maritim.
3. Pelabuhan
Sejauh perahu berlayar, ia akan kembali juga ke dermaga. Dalam konteks
itulah pelabuhan memainkan peran penting sebagai tempat berlabuhnya perahu.
Fungsi utama pelabuhan, tidak sekadar tempat berlabuh, tetapi juga tempat
berkumpul untuk berdagang. Kata bandar dalam bahasa Inggris (harbor) mengacu
pada fungsinya sebagai tempat berlindung dan berteduh. Selain itu, istilah lain
yang berdekatan maknanya dengan bandar adalah port yang melihat pelabuhan
sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar masuk. Dengan demikian,
kata Lapian (1997), pelabuhan merupakan penghubung antara seberang laut
dengan daerah pedalaman dalam suatu interaksi, khususnya perdagangan maritim.
Perkembangan pelabuhan sering diikuti munculnya kota-kota pelabuhan di
kawasan pesisir, juga menambah intensitas komunikasi para saudagar di
pelabuhan.
Menurut Anthony Reid (1999), kedudukan pelabuhan sangat penting dalam
perdagangan maritim Asia Tenggara, terutama pada pola pelayaran tradisonal
yang memanfaatkan angin muson yang bertiup teratur sepanjang tahun. Dari
bulan April sampai Agustus, angin bertiup ke utara menuju daratan Asia.
Sebaliknya, dari bulan Desember sampai Maret angin bertiup ke arah selatan,
yakni dari daratan Asia ke Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Pergantian
muson ini secara langsung mempengaruhi route pelayaran. Pada kondisi ini,
terutama saat menunggu pergantian arah angin, pelabuhan sangat penting sebagai
tempat untuk berlabuh, memperbaiki, dan memastikan sistem nagivasi dapat
dijalankan dalam pelayaran. Pola muson dan route pelayaran juga berpengaruh
terhadap perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara, dimana para
pedagang menunggu pergantian muson atau kadatangan rekan dagangnya. Selama
masa menunggu, para awak kapal dan penumpang memenuhi perkampungan kota,
meramaikan pasar, dan ikut dalam upaya-upacara ritual.
4. Bajak Laut
Kegiatan bajak laut berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan
perdagangan maritim. Menurut Fernand Braudel (1976) dan Lapian (2009),
kegiatan ini berkorelasi dengan kemakmuran di suatu perairan. Semakin banyak
volume yang diperdagangkan, semakin besar peluang terjadinya tindak
perompakan. Sebaliknya, jika perdagangan lesu, barang dagangan yang potensial
dirompak berkurang, dan keinginan mengadakan ekspedisi bajak laut pun
berkurang. Menurut Lapian, korelasi antara kegiatan bajak laut dengan
perdagangan merupakan bentuk awal dari perdagangan maritim. Dalam hal itu,
kebutuhan akan perdagangan yang semula berupa tukar-menukar barang timbul
karena kekurangan suatu barang tertentu di suatu tempat, sedangkan tempat lain
mempunyai surplus.
Lapian telah mengoreksi cara pandang yang keliru mengenai bajak laut.
Selama ini, bajak laut dipandang sebagai semua tindak kekerasan di laut. Padahal,
tindakan itu harus dilihat dalam konteks status dan kewenangan pelakunya,
apakah tindakannya merupakan pelanggaran atau tidak. Hanya negara yang
memiliki monopoli atas kekerasan. Dengan demikian jika tindakan kekerasan
dilakukan oleh orang lain, maka tindakannya dilihat sebagai kriminal. Meski
demikian, pengungkapan masalah itu harus ditempatkan sesuai konteksnya, yakni
batas-batas kedaulatan yang belum jelas pada periode tertentu, sehingga kadang
sulit dilihat secara jelas arah tindakannya sebagai bajak laut. Istilah bajak laut
kerap dipakai oleh pemerintahan yang telah mapan. Padahal, pada masa itu
masing-masing melihat saingannya, termasuk kekuatan kolonial, sebagai pihak
yang melanggar haknya. Karena itu, Lapian mengajukan tiga tipologi yang harus
ditempatkan secara tepat, orang laut, bajak laut, dan raja laut dalam sejarah
kawasan laut Sulawesi abad ke-19.
E. JARINGAN (MASYARAKAT) MARITIM
Komunikasi masyarakat antarpulau, sudah terjalin sebelum jaringan
internasional, dilakukan antarkampung dan antarpulau untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Joel Bonnemaison (1984) membagi jaringan komunikasi itu
dalam tiga kategori dan tujuan.
1. Initiation journey atau pelayaran inisiasi yang khusus dilakukan oleh para
remaja yang baru belajar berlayar dan sekaligus untuk mengenal kampung-
kampung dalamannya.
2. Exchange journey yakni pelayaran ritual untuk mengadakan tukar-menukar
barang dengan kampung kerabat atau kampung sekutu yang terikat dalam
suatu pertukaran.
3. Refuge journey ialah pelayaran yang dilakukan untuk melarikan diri karena
seseorang terlibat dalam suatu perkara yang membawa aib, sehingga ia harus
keluar atau dikeluarkan oleh masyarakat kampungnya (Lapian 1999:98).
Jaringan pelayaran tersebut menciptakan saluran komunikasi yang
mempersatukan suatu masyarakat dengan masyarakat lain di kawasan perairan
tertentu yang terlibat didalamnya. Dalam konteks lebih luas, Philip D. Curtin
(1984) dan Edward L Poelinggomang (2006), dikenal dua jenis jaringan maritim
dengan fokus yang berbeda.
Pertama, trade network adalah jaringan maritim yang terbangun dari suatu
wilayah ke wilayah lain, cenderung bersifat ke luar.
Kedua, trade diaspora ialah jaringan niaga yang diciptakan untuk menarik
perhatian khalayak untuk datang di suatu pelabuhan, dengan jalan memberikan
banyak kemudahan dan keamanan, sehingga pendatang tertarik untuk membina
hubungan dagang.
Dua istilah tersebut menurut Poelinggomang sering ditempatkan tidak sesuai.
Istilah trade diaspora kerap dipahami sebagai upaya membangun jaringan keluar,
padahal sesungguhnya bersifat ke dalam, yakni menarik perhatian pihak luar
untuk datang ke (dalam) suatu tempat atau pelabuhan.
Berkaitan dengan daya tarik perdagangan maritim, menurut Howard W. Dick
(1988:402-403) bahwa salah satu ciri perdagangan awal Asia Tenggara sebelum
masa kolonial adalah sifat internasionalnya. Dalam hal ini, para saudagar dari
berbagai bangsa dan agama disambut dengan ramah, selama mereka bersedia
membayar pajak kepada raja dan tunduk pada hukum negeri (kata pepatah:
dimana bumi di pijak, di situ langit dijunjung). Di bandar niaga itu, para pedagang
diberikan hak-hak istimewa. Umumnya hukum yang berlaku menyerupai
perdagangan bebas. Dasar kabijakannya adalah apabila rajanya terlampau
membatasi keluasan kaum saudagar, mereka akan mencari tempat lain untuk
berniaga. Itulah sebabnya, penguasa tidak dapat menasionalisasi atau memonopoli
perdagangan, sekalipun sewaktu-waktu memang terjadi peperangan antara raja-
raja yang bersaing dengan tujuan mengalihkan arus perdagangan. Kebijakan itulah
yang menarik perhatian pedagang, sehingga tergerak hatinya untuk berdagang di
dareahnya. Cara pandang inilah yang disebut trade diaspora.
F. PANDANGAN TERHADAP LAUT
Masyarakat maritim Asia Tenggara memiliki keragaman pandangan terhadap
laut. Sikap mereka berbeda terhadap laut, mulai dari yang sangat akrab sampai
dengan yang sangat menakutkan. Sebagian melihat laut sebagai bentangan air dari
bagian hidupnya yang memberi ruang nafkah bagi penduduk setempat,
mempersatukan masyarakat di seberang, dan tempat rekreasi di kala senggang.
Tetapi, ada pula yang memandang sebaliknya, bahwa laut merupakan penghalang
atau pemisah dari tanah seberang, saluran komunikasi, bahkan tempat
pembuangan sampah (Trisulistiyono 2003).
K. N. Chauduri (1989) menyebut “the sea and its mistery”, sehingga orang
takut melakukan pelayaran ke seberang lautan. Dalam pandangan masyarakat di
Sulawesi Selatan, kata Poelinggomang (2006), hukuman yang paling berat
terhadap orang yang berbuat pelanggaran adalah ketika dibuang ke laut. Hal itu
dilandasi oleh pandangan bahwa mereka yang menyeberangi lautan tidak akan
selamat (hidup). Karena itu, ketika seseorang telah dibuang ke laut, maka terbebas
segala hukumannya.
Cara pandang misterius terhadap laut berkembang di Eropa pada Abad
Pertengahan. Mereka yang mencoba melakukan pelayaran ke seberang lautan,
akan jatuh ke tepian. Bumi pada saat itu diyakini ibarat bidang datar (seperti
meja). Jika seseorang meninggalkan titik sentral maka akan jatuh. Tidak ada
keselamatan bagi mereka. Pandangan itu mendominasi cara berpikir dan perilaku
masyarakat Eropa, sehingga usaha-usaha untuk berlayar ke seberang lautan
pantang dilakukan.
Kendati demikian, pandangan tersebut secara perlahan diuji melalui
penjelajahan samudera oleh bangsa Eropa sendiri. Dua negara berkekuatan
maritim yang melakukan itu, dan mendapat restu dari Gereja Katolik Roma,
adalah Portugis dan Spanyol. Wilayah jelajah mereka dibagi dua, pada lintasan
yang berbeda. Portugis ke timur, dan Spanyol melalui barat. Kedua negara itu
menyusuri routenya sesuai perjanjian Tordesillas (1498). Tetapi akhirnya mereka
bertemu di perairan Maluku. Pertemuan tersebut meruntuhkan mitos bahwa bumi
ini datar, melainkan buat. Di sana mereka saling curiga, sehingga timbul
perselisihan antara keduanya. Masalah itu diajukan ke Roma. Walhasil, dibuatlah
perjanjian damai yang disebut Traktat Saragosa (1592). Sejak saat itu berkembang
pandangan bahwa laut hanya milik kelompok tertentu (mare clausum).
Meskipun demikian, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan sistem
navigasi, pandangan tersebut mulai bergeser. Laut sudah tidak lagi dipandang
sebagai milik bangsa tertentu, tetapi juga dapat diakses oleh bangsa lain.
Pandangan itu berkembang seirama dengan timbulnya harapan untuk
memanfaatkan potensi laut oleh semua bangsa. Berkembangan cara pandang
bahwa laut merupakan milik semua. Setiap orang bebas berlayar ke mana pun
sesuai kehendak dan harapannya. Pandangan inilah yang disebut mare liberum.
Pemikiran ini telah dianut oleh penguasa di Sulawesi Selatan dalam abad ke-16
sampai ke-17, bahwa laut diciptakan Tuhan untuk semua orang. Tidak boleh
orang yang menguasainya, apalagi melakukan monopoli. Jika ada yang mencoba
melakukannya, raja tidak akan menolerir tindakannya. Kebijakan itu merupakan
daya pikat kuat bagi para saudagar untuk berdagang di Makassar, yang
mengantarkannya pada kejayaan maritim kemajuan paling cepat dan spektakuler
dalam sejarah Indonesia (Reid 2004:132). Kebijakan inilah yang disebut trade
diaspora.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA