Nebis in Idem
-
Upload
imronsangmisteri -
Category
Documents
-
view
888 -
download
11
Transcript of Nebis in Idem
Nebis in idem adalah prinsip hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum
perdata, prinsip ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak
sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Jadi,
jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang
bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk ne bis in idem. Sebuah gugatan yang diajukan
seseorang ke pengadilan yang mengandung ne bis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam
Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak
memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk ne bis in
idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana, juga
melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan
yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi
manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan
kepastian hukum. Dengan dasar ne bis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat
dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan ne bis in idem. Sebuah perkara yang ne bis in
idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak
dapat diterima.
Secara umum, pengertian ne bis in idem menurut Hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili
lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne
bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.
Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang
telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang
telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling)
(lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).
Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak
untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat
ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya
(dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)
Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011
yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diterapkan pula asas ne bis in idem
yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.
Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002
tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Dalam surat edaran tersebut Ketua
Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas
ne bis in idem dengan baik demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.
Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap
sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada waktu dan tempat kejadian yang
sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan bebas (vrijspraak), lepas
(onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) terhadap orang yang dituntut itu. Simak pula artikel
kami sebelumnya mengenai Penerapan Ne Bis In Idem.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ;
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan Dengan
Asas Nebis In Idem
Contoh kasus
seseorang telah melakukan pembakaran terhadap orang lain . Untuk itu dia dikenai pasal 338 dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman,dan dia bebas .kemudian selang beberapa waktu ternyata korban yang 10 tahun yanglalu dia bunuh dengan cara membakar ,tidak mati.dan akhirnya dia membunuh lagi orang yang sama waktu dia membunuh 10 tahun yang lalu. yangmenjadi pertanyaan saya : apakah dia dapat dihukum lagi apalagi kita mengetahui adanya asas nebis in idem yaitu seseorang tidak dapat dituntut atas kesalahan yang sama apabila telah diputuskan hakim sebagai keputusan akhir .
Apa yang ia lakukan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai perkara yang nebis in idem. Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana). Perbuatan yang ia lakukan tersebut bukanlah suatu peristiwa atau perbuatan yang sama dengan perbuatan atau peristiwa yang telah mengakibatkan ia harus mendekam dalam penjara selama 10 tahun. Perisitiwa ini sama sekali peristiwa yang baru atau sama sekali berbeda, bila dilihat dari segi waktu (tempus delicti), dan tempat (locus delicti). Masalah tempus delicti ini menjadi penting dalam sebuah peristiwa pidana karena dalam ps.143 (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") disebutkan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaaan dengan menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu. Dalam ayat (3) nya disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Dalam uraian mengenai tindak pidana tersebut akan terlihat jelas sekali bahwa ini bukanlah sebuah perkara yang sama. Tempus delicti-nya berbeda. Tempat (locus delicti) kemungkinan juga akan berbeda. Dalam uraian tindak pidana ini juga akan diuraikan kronologis perkara yang juga sama sekali berbeda, misalnya dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan, apakah dibantu oleh orang lain atau tidak, apakah direncanakan terlebih dahulu atau tidak dan lain-lain. Jadi asas Nebis in Idem sama sekali tidak dapat dipakai untuk kasus tersebut. Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas, malah ia dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan ps. 486 KUHP ia dapat diancam hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama
tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.
Ne Bis in Idem
Dalam Hukum Pidana
(Rahmat S. Sokonagoro, S.H., LL.M.)
Bag. Hukum Setda Kota Yogyakarta, Arbiter pada IFSC Arbitration Council
PENDAHULUAN
Dalam hukum pidana, asas ne bis in idem seringkali dipergunakan dalam dasar eksepsi
persidangan oleh terdakwa. Hal ini terjadi karena penyidik dan penuntut umum mengajukan lagi
terdakwa dalam perbuatan pidana yang sama dan telah diputus oleh hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada asasnya, semua terdakwa yang diduga dan didakwa sebagai pelaku suatu tindak
pidana harus dituntut di depan persidangan. Namun daripada itu, baik secara umum dan khusus,
Undang-undang telah menentukan adanya suatu pengecualian yaitu peniadaan atau penghapusan
suatu penuntutan terhadap terdakwa dalam hal-hal tertentu.
Adanya suatu penghapusan tuntutan terhadap terdakwa secara umum dilakukan karena:
1. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (de krahct van een rechtelijk
gewijsde) mengenai tindakan (feiten) yang sama (Pasal 76 KUHP);
2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP);
3. Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78 KUHP);
4. Terjadinya penyelesaian diluar persidangan (Pasal 82 KUHP)[1]
Dengan demikian, salah satu penyebab penghapusan atau penidadaan penuntutan terhadap
terdakwa adalah adanya asas ne bis in idem. Selanjutnya dalam pembahasan akan ditelaah lebih
lanjut mengenai penerapan asas tersebut dalam hukum pidana.
PEMBAHASAN
Dalam KUHP, setiap perkara pidana hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu kali
saja atau dengan kata lain, suatu perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat
diperiksa dan disidangkan kembali untuk yang kedua kalinya. Ketentuan tersebut secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, BAB VIII tentang Gugurnya Hak Menuntut
Hukuman Dan Gugurnya Hukuman. Pasal tersebut menyatakan bahwa (1) Kecuali dalam
keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran
perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan keputusan yang
tidak boleh diubah lagi (in kracht van gewijsde). Dalam ayat (2) menyatakan: jika putusan itu
berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab
perbuatan itu juga dalam hal:
a. Pembebasan atau pelepasan dari penuntutan hukum;
b. Putusan hukuman dan hukumannya habis dijalankannya, atau mendapat ampun atau
hukuman tersebut gugur (karena daluwarsa penuntutan);
Ketentuan hukum diatas dalam hukum pidana disebut dengan asas Ne bis in Idem, yang
artinya orang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan (peristiwa) yang baginya telah
diputuskan oleh hakim.[2] Berlakunya asas hukum ne bis in idem tersebut dikarenakan, terhadap
seseorang itu terkait suatu perbuatan pidana tertentu telah diambil putusan oleh hakim dengan
vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diubah lagi, baik itu putusan yang
bersifat penjatuhan hukuman (veroordering), putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtsvervolging).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dalam pasal 18 (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua
kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Pasal ini mengatur tentang Hak Memperoleh
Keadilan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asas ne bis in idem adalah asas yang mengatur
tentang bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan atau peristiwa yang
baginya telah diputuskan oleh hakim. Asas ini merupakan salah satu bentuk penegakan hukum
bagi terdakwa dalam menciptakan kepastian hukum. Pentingnya perlindungan terdakwa dari
kepastian hukum dikaitkan terhadap asas ne bis in idem mendapat perhatian yang serius, yakni
bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya di tujukan pada terdakwa
dalam proses persidangan, apalagi terdakwa dituntut untuk yang kedua kalinya dalam peristiwa
yang sama, sehingga perlu juga perlindungan terhadap terdakwa akibat penyalahgunaan
kekuasaan di pengadilan.
Tujuan Ne Bis In Idem
Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap diri terdakwa baik putusan yang
meruupakan pemidanaan ataupun putusan yang lainnya adalah sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang diberikan oleh undang-undang terhadap terdakwa yang telah terbukti
secara sah dan berdasarkan bukti yang kuat telah melakukan atau tidak melakukan suatu tindak
pidana. Setiap terdakwa yang telah terbukti melakukan satu tindak pidana hanyalah dapat
dipertanggungjawabkan terhadap peristiwa atau tindak pidana yang telah dilakukannya, dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya, dan juga
hanya berhak menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas peristiwa dan tindak pidana
yang dilakukannya.
KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, menyatakan secara tegas
dalam Pasal 76, terhadap diri terdakwa hanya diperbolehkan diperiksa dalam persidangan, sekali
saja terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan secara tegas KUHP melarang terdakwa untuk
diperiksa dan disidangkan kembali yang kedua kalinya dengan peristiwa dan tindak pidana yang
sama. Penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah mempunyai suatu tujuan
tertentu. Tujuannya antara lain:
1. Jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang peristiwa pidana
yang sama, sehingga dalam suatu peristiwa pidana ada beberapa putusan-putusan yang
kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya;
2. Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati, janganlah orang dibiarkan
terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam
peristiwa yang sekali telah diputus.[3]
Dengan demikian jelas bahwa tujuan penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana
adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut
dan disidangkan kembali dalam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya
telah pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang
memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan
beberapa putusan berbeda-beda.
Syarat-syarat Ne bis In Idem
Suatu perkara pidana yang dituntut dan disidangkan kembali baru dapat dinyatakan sebagai
perkara yang ne bis in idem apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut M. Yahya
Harahap dalam bukunya menyatakan unsur ne bis in idem baru dapat dianggap melekat pada
suatu perkara mesti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 76 KUHP yakni:
1. Perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan positif, yakni tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang pengadilan,
kemudian atas hasil pemeriksaan hakim telah dijatuhkan putusan;
2. Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur ne bis in idem merti terdapat kedua (2) syarat
tersebut.[4]
Dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang bersifat positif
terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan didakwakan dapat berupa:
1. Pemidanaan (sentencing);
2. Putusan pembebasan (vrisjpraak);
3. Putusan Lepas dari segala tuntutan (ontslaag van rechts vervolging)
Meskipun salah satu syarat agar suatu putusan perkara pidana dapat dinyatakan telah ne bis
in idem adalah putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi tidak
semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan kemudian terhadap
terdakwa dan perkara pidana yang sama tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali atau
dinyatakan sebagai perkara pidana yang telah ne bis in idem.
Oleh karena itu sekiranya putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana itu bukan
berdasarkan putusan yang positif atas peristiwa pidana yang didakwakan kepada terdakwa, akan
tetapi berada diluar peristiwa pidananya yakni berupa putusan yang dijatuhkan dari segi formal
atau putusan yang dijatuhkan bersifat negatif. Putusan tersebut adalah:
1. Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan Batal demi Hukum;
2. Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan tidak dapat diterima;
3. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.
KESIMPULAN
Jadi suatu perkara tidak dapat diajukan kembali untuk yang kedua kalinya atau dapat dikatakan
sebagai ne bis in idem jika perkara sebelumnya sudah pernah diperiksa, diadili dan telah diputus
di Pengadilan yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),
dan yang tetap bertalian dengan tindak pidana yang sama, terhadap orang yang sama dalam hal
ini pelapor, pengadu, saksi dan terhadap terdakwa yang sama pula. Begitu pula terhadap waktu
(tempus delicti), dan tempat kejadian (locus delicti) yang sama pula, atau peristiwa pidana
maupun delik-delik yang disangkakan tetap bertalian dengan tindak pidana yang terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA:
1. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2003;
2. R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980.
_____________________________
______________________
[1] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1996, Hlm. 418;
[2] R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980, Hlm. 90;
[3] R. Soesilo, Ibid.;
[4] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, Hlm. 450;