NATA DE COCO_Hana Melinda_12.70.0114_E2
-
Upload
james-gomez -
Category
Documents
-
view
17 -
download
5
description
Transcript of NATA DE COCO_Hana Melinda_12.70.0114_E2
-
Acara I
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR:
FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh :
Nama : Hana Melinda
NIM : 12.70.0114
Kelompok E2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan Praktikum Nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Ketebalan nata de coco
Kel Tinggi media
awal (cm)
Ketebalan Presentase Lapisan (%)
H0 H7 H14 H0 H7 H14
E1 2,8 0 0,4 0,4 0 14,29 14,29
E2 2,6 0 0,5 0,4 0 19,23 15,38
E3 1,3 0 0,5 0,8 0 38,46 61,54
E4 3 0 0,4 0,6 0 13,33 20
E5 2,5 0 0,3 0,3 0 12 12
Dari tabel 1 diatas dapat diketahui ketebalan nata de coco selama fermentasi
berlangsung. Dapat dilihat pada hari ke 7, nata dari kelompok E1 dan E4 terbentuk
setinggi 0,4 cm sedangkan nata kelompok E2 dan E3 terbentuk 0,5 cm dan pada
kelompok E5 terbentuk hanya 0,3 cm. Sehingga diketahui pada hari ke 7 presentase
lapisan nata tertinggi (yang ditinjau dari tinggi media awal dan nata yang terbentuk
pada hari ke 7) adalah pada nata kelompok E3 sebesar 38,46% dan yang terendah ada
pada kelompok E5 sebesar 12%. Pada hari ke 14, lapisan nata kelompok E3 bertambah
tebal menjadi 0,8 cm dan kelompok E4 menjadi 0,6 cm. namun pada kelompok E2
lapisan nata berkurang ketebalannya menjadi 0,4 sedangkan pada kelompok E1 dan E5
tebal lapisan nata tetap. Sehingga, dapat dilihat presentasi lapisan nata tertinggi pada
hari ke 14 ada pada nata E3 sebesar 61,54, sedangkan yang terkecil ada pada E5 yaitu,
sama seperti sebelumnya, 12%.
Tabel 2. Hasil Pengamatan uji sensori Nata de coco
Kelompok Aroma Warna Tesktur Rasa
E1 + + - -
E2 + + - -
E3 ++++ + + -
E4 + + - -
E5 + + - - Keterangan :
Aroma Warna Tekstur Rasa
++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++:sangat manis
+++ : agak asam +++ : putih agak kuning +++ : kenyal +++ : manis
++ : asam ++ : putih bening ++ : agak kenyal ++ : agak manis
+ : sangat asam + : kuning + : tidak kenyal + : tidak manis
-
2
Dari tabel uji sensoris nata de coco, dapat dilihat bahwa pada kelompok E1, E2, E4 dan
E5 menghasilkan nata yang beraroma sangat asam sedangkan nata yang dihasilkan
kelompokm E3 beraroma tidak asam. Namun, warna yang nata yang dihasilkan semua
kelompok sama yaitu kuning. Tekstur nata yang dihasilkan kelompok E3 adalah tidak
kenyal. Sedangkan pada kelompok lainnya nata yang terbentuk adalah cair. Parameter
rasa tidak ditinjau pada uji sensoris nata de coco kali ini.
-
3
2. PEMBAHASAN
Nata de coco merupakan makanan pencuci mulut atau penutup di Filipina dengan
bentuk kotak (1 cm x 1 cm). Nata de coco dihasilkan dengan cara memfermentasikan
air kelapa dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Selama fermentasi, dibutuhkan
glukosa yang berperan sebagai sumber karbon. Beberapa tipe Acetobacter bahkan dapat
mengoksidasdi asam astetat menjadi CO2 (Halib et al., 2012). Menurut Palungkur
(1996) menjelaskan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan membentuk gel pada
permukaan air kelapa yang mengandung gula. Hal tersebut didukung oleh Rahman
(1992) yang mengatakan bahwa nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa
oleh Acetobacter xylinum yang merupakan bakteri asam asetat. Acetobacter xylinum
yang tergolog bakteri gram negatif dan bersifat aerob diketahui memiliki kemampuan
untuk mengoksidasi alkohol dan gula yang berbeda menjadi asam asetat.
Mekanisme pembentukan nata de coco menurut Palungkur (1996), adalah:
Proses pengambilan glukosa dari larutan gula atau gula dalam air kelapa oleh
sel-sel Acetobacter xylinum.
Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk
prekusor (penciri nata) pada membrane sel.
Prekusor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim
mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel.
Selulosa yang terbentuk akan memiliki konsistensi menyerupai jelly, yang sering
disebut nata de coco.
Menurut Palungkur (1996), sebenarnya nata de coco tidak memiliki nilai gizi yang
berarti bagi manusia. Oleh karena itu, produk ini dapat digunakan sebagai sumber
makanan rendah energi dalam keperluan diet. Santosa et al. (2012) menambahkan
bahwa nata de coco kaya akan serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Serat pada nata de
coco dapat meningkatkan kesehatan pencernaan dan mencegah terjadinya penyakit
kanker usus besar (kolon).
-
4
Proses fermentasi substrat cair nata de coco yang dilakukan pada praktikum ini
memiliki 2 tahapan utama. Thapan pertama adalah pembuatan media. Pembuatan media
berbahan dasar air kelapa dan dengan penambahan beberapa bahan lainnya.
Selanjutnya, dilakukan tahapan proses fermentasi. Pada proses fermentasi ini akan
dilakukan pengulturan starter/mikroorganisme yang memiliki peran untuk
menghasilkan nata de coco yaitu Acetobacter xyilinum.
2.1. Pembuatan Media
Pada praktikum kali ini, media dalam pembuatan nata dibuat dengan bahan dasar air
kelapa. Menurut Widayati et al. (2002), air kelapa dapat digunakan sebagai salah satu
sumber isolat bakteri dan sumber substrat selama fermentasi nata berlangsung.
Terkandung gula, asam amino, serta berbagai macam vitamin dan mineral yang
berfungsi sebagai substrat untuk proses fermentasi dalam air kelapa. Beberapa
kelebihan penggunaan air kelapa sebagai substrat pembuatan nata antara lain:
Harganya yang cukup murah
Mempunyai potensi kontaminasi yang rendah.
Ketersediaan yang berlimpah, sehingga terjamin kontinuitas ketersediaannya.
Almeida et al. (2012) menambahkan bahwa dalam memproduksi selulosa (nata) dengan
strain Acetobacter, media kultur harus memenuhi beberapa syarat seperti: kaya akan
makronutrien (karbohidrat dan protein) serta vitamin, garam anorganik, dan minral-
mineral. Penggunaan air kelapa sebagai sumber substrat bagi A. xylinum telah
memenuhi syarat kandungan nutrisi untuk media nata, dimana kandungan nutrisi air
kelapa dapat dilihat pada tabel 3. Selain itu air kelapa juga mengandung nutrisi
pendukung lainnya seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan beberapa vitamin B
kompleks yang mendukung pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum.
Tabel 3. Kandungan nutrisi pada air kelapa
Nutrien Kandungan (%)
Air 91,23
Protein 0,29
Lemak 0,15
Karbohidrat 7,27
Abu 1,06
-
5
Dalam pembuatan media, pertama-tama 1,2 liter air kelapa disaring menggunakan kain
saring (Gambar 1). Menurut Astawan & Astawan (1991), penyaringan ini memiliki
tujuan untuk memisahkan air kelapa dari pengotor yang ada. Kemudian, air kelapa yang
telah tersaring bersih dimasukan ke dalam panci dan dimasak (Gambar 2) hingga
mendidih. Menurut Tortora et al. (1995), tahap pemasakan diperlukan untuk
mengeliminasi mikroba kontaminan dalam air kelapa. Astawan & Astawan (1991)
menambahkan bahwa pemasakan air kelapa bertujuan untuk menghilangkan mikroba
patogen yang berpotensi mencemari nata yang akan dihasilkan nantinya. Jika
pemanasan tidak dilakukan, maka mikroorganisme lain dapat tumbuh. Pertumbuhan
mikroba yang tidak diharapkan secara langsung atau tidak dapat mengganggu
pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang diinginkan atau diharapkan tumbuh dalam
proses pembuatan nata de coco.
Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa
Gambar 2. Pemasakan Air Kelapa
Setelah mendidih, api dikecilkan dan ke dalam air kelapa ditambahkan gula (Gambar 3)
sebanyak 10% dari berat awal (120 gram). Penambahan gula pada media menurut
Awang (1991) dikarenakan gula merupakan sumber karbon organik yang dibutuhkan
oleh bakteri untuk berkembang biak. Penggunaan gula menurut Pambayun (2002)
paling umum digunakan dalam pembuatan nata de coco sebagai penyuplai karbon
karena mudah didapatkan dan harga yang terjangkau. Disisi lain, penggunaan gula
dalam pemasakan media menurut Hayati (2003) bertujuan untuk memberikan tekstur,
kenampakan, dan flavor nata de coco yang khas, serta berperan sebagai pengawet.
Selain itu menurut Sunarso (1982) penambahan gula sebesar 10% dari berat awal media
-
6
dalam pembuatan nata de coco merupakan konsentrasi optimum. Karena pada
konsentrasi tersebut bakteri A. xylinum akan menghasilkan nata yang tebal.
Penambahan gula yang berlebih akan membuat bakteri A. xylinum tidak mampu
memanfaatkan gula tersebut secara optimal. Setelah gula ditambahkan, air kelapa
diaduk hingga gula pasir larut sambil tetap dipanaskan dengan api kecil.
Gambar 3. Penambahan Gula
Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa pemanasan saat penambahan gula
perlu dilakukan. Hal tersebut bertujuan untuk melarutkan gula pasir yang ditambahkan.
Karena bila gula tidak larut dengan sempurna, maka gula tersebut akan menjadi sulit
untuk digunakan oleh bakteri A. xylinum selama proses fermentasi. Sehingga gula yang
tidak larut dapat menghambat aktivitas bakteri, dimana hal tersebut dapat
mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan lapisan nata.
Setelah gula larut, ammonium sulfat ditambahkan (Gambar 4) sebanyak 0,5% dari
volume total air kelapa awal atau sebanyak 6 gram. Menurut Awang (1991),
penambahan ammonium sulfat pada media berfungsi agar media memenuhi syarat
minimal yaitu mengandung unsur karbon (yang sudah didapatkan dari gula) dan
nitrogen. Oleh karena itu, ammonium sulfat yang ditambahkan pada praktikum kali ini
berperan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri
fermentasi pembentuk nata. Ammonium sulfat merupakan bahan yang paling sering
digunakan, karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti (kompetitor bagi
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum) (Pambayun, 2002).
-
7
Gambar 4. Penambahan Ammonium Sulfat
Setelah itu, air kelapa ditunggu agak dingin kemudian diukur pH nya (Gambar 5).
Untuk menurunkan pH media, ditambahkan asam asetat glasial (Gambar 6) ke dalam air
kelapa. Penambahan asam asetat ini dilakukan setetes demi setetes hingga pH media
mencapai 4-5. Penambahan asam asetat glasial ini dilakukan dengan monitor pH meter.
Menurut Anastasia & Afrianto (2008), asam asetat disini berfungsi untuk menjadikan
pH medium sesuai dengan kebutuhan A.xylinum, dimana menurut Pambayun (2002), A.
xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 namun memiliki pH optimum pada kisaran pH
4,3 (suasana asam). Sehingga penambahan asam asetat hingga pH 4-5 sesuai dengan
teori yang ada. Setelah mencapai pH 4-5, air kelapa kemudian dipanaskan kembali
(Gambar 7) hingga semua bahan larut (hampir mendidih).
Gambar 5. Pengukuran pH pada pH meter
-
8
Gambar 6. Penambahan Asam Asetat Glasial
(pada ruang asam)
Gambar 7. Pemanasan Media
Akhir
Setelah dilakukan pemasakan kembali, media disaring kembali menggunakan kain
saring yang telah di sterilisasi. Pato & Dwiloted (1994) menjelaskan bahwa pada
tahapan akhir pembuatan media, perlu dilakukan pemasakan media kembali dan
penyaringan media. Pemasakan akhir ini bertujuan untuk pasteurisasi media, sehingga
mikroba yang tidak diharapkan dapat tereliminasi. Sedangkan proses penyaringan
sendiri bertujuan agar mendapatkan media yang bersih, jernih dan bebas dari pengotor.
Jagannath et al. (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang penting dalam pembuatan
media nata adalah:
penambahan gula sebanyak 10%
penambahan ammonium sulfat sebesar 0,5%
Kondisi pH 4,0
Faktor-faktor tersebut akan menghasilkan nata yang optimum (tebal) karena A. xylinum
secara efektif dapat tumbuh dengan menggunakan gula sebagai sumber karbon dalam
air kelapa. Sedangkan produksi selulosa (lapisan nata) dipengaruhi oleh tingkat
keasaman atau pH dan sukrosa serta konsentrasi ammonium sulfat.
2.2. Proses Fermentasi
Pada tahap fermentasi, media yang sudah dipersiapkan sebelumnya dibagi ke dalam
wadah plastik, dimana pada masing-masing wadah per kelompok media yang digunakan
sebanyak 200 ml. Kemudian,tinggi media pada wadah diukur dan dicatat sebagai tinggi
awal media. Setelah suhu media menurun (hingga hangat), starter ditambahkan ke
-
9
dalam wadah berisi media. Starter berisi bakteri Acetobacter xylinum ditambahkan
sebanyak 10% dari media awal atau sebanyak 20 ml. Jumlah starter yang ditambahkan
sesuai dengan pendapat dari Pato & Dwiloted (1994) yaitu dibutuhkan starter sebanyak
4-10% dari jumlah media dalam fermentasi nata.
Penambahan starter dilakukan pada Laminar Air Flow (LAF) secara aseptis (Gambar 8)
agar menghindari kontaminasi pada nata. Menurut Hadioetomo (1993), dalam
pengkulturan harus dalam keadaan aseptis agar terhindar dari kontaminasi oleh
mikroorganisme yang tidak diharapkan keberadaannya dalam produk, serta mencegah
adanya infeksi oleh bakteri yang merugikan. Kondisi aseptis ini diperoleh dengan cara
semua alat harus disterilisasi terlebih dahulu, serta ruang LAF telah disinari dengan
sinar UV selama kurang lebih 45 menit. Sebelum dilakukan pengambilan dan
pemindahan starter, tangan dan meja LAF harus disemprotkan dengan alkohol dan
dikeringkan dengan tissue. Selama pengambilan dan pemindahan starter harus
menggunakan masker serta dilakukan di dekat bunsen yang menyala.
Gambar 8. Penambahan starter pada media nata
Penggunaan starter Acetobacter xylinum menurut Palungkun (1996) sesuai, karena
bakteri Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang dapat membentuk selaput tebal
pada permukaan media cairan fermentasi yang disebut nata. Swissa et al. (1980)
berpendapat, sebenarnya terdapat beberapa spesies yang merupakan bakteri asam asetat
dan mampu membentuk selulosa. Namun bakteri asam asetat yang umum digunakan
secara komersial adalah Acetobacter xylinum. Castaneda et al. (2007) menjelaskan
bahwa A. xylinum penghasil nata de coco ini bersifat aerob obligat, chemotropic,
-
10
berbentuk ellipsoidal, berbentuk basil sedikit melengkung yang tergolong dalam family
Acetobacteraceae. A. xylinum juga tergolong dalam bakteri gram negatif.
Selanjutnya air kelapa yang sudah ditambahkan starter digoyang perlahan agar starter
tercampur merata. Kemudian toples ditutup dengan kertas coklat hingga seluruh bagian
toples terselubung. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa A. xylinum sebenarnya
membutuhkan oksigen untuk tumbuh, namun oksigen tidak boleh bersentuhan langsung
dengan permukaan substrat, sehingga penutupan wadah ini dilakukan dengan
menggunakan kertas agar oksigen tetap dapat masuk ke dalam wadah. Penutupan juga
dilakukan untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar. Setelah itu
dilakukan inkubasi selama 2 minggu dengan suhu ruang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Pambayun (2002) bahwa bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada
suhu ruang, dimana suhu di atas dan di bawah 28C dapat menyebabkan pertumbuhan
bakteri terhambat, sedangkan suhu diatas 40C dapat membunuh bakteri tersebut.
Kemudian dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan 14
inkubasi. Lama inkubasi nata pada suhu ruang selama 2 minggu yang dilakukan pada
praktikum ini telah sesuai dengan pernyataan Santosa et al. (2012) bahwa pada tahap
pembuatan nata de coco dilakukan fermentasi selama 2 minggu. Hal ini diperkuat pula
oleh teori Rahman (1992) bahwa untuk mendapatkan pembentukan ketebalan nata yang
optimal dibutuhkan waktu dalam melakukan proses fermentasi berkisar antara 1014
hari. Setelah dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan
14, maka dapat dilakukan perhitungan persentase lapisan nata dengan rumus :
-
11
2.3. Hasil Pengamatan
Berikut merupakan hasil jadi nata pada percobaan kali ini
Gambar 8. Penampakan Nata Gambar 9. Nata kelompok E3
2.3.1. Ketebalan Nata
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat pada hari ke 7, nata dari kelompok E1 dan
E4 terbentuk setinggi 0,4 cm sedangkan nata kelompok E2 dan E3 terbentuk 0,5 cm dan
pada kelompok E5 terbentuk hanya 0,3 cm. Sehingga diketahui pada hari ke 7
presentase lapisan nata tertinggi (yang ditinjau dari tinggi media awal dan nata yang
terbentuk pada hari ke 7) adalah pada nata kelompok E3 sebesar 38,46% dan yang
terendah ada pada kelompok E5 sebesar 12%. Perbedaan presentase nata yang
dihasilkan jika menurut Rachman (1989) disebabkan oleh faktor-faktor pembentukan
nata, yaitu meliputi tingkat keasaman, temperatur atau suhu penyimpanan, sumber
karbon, sumber nitrogen, dan umur kelapa sangat mendukung pertumbuhan dari bakteri
A. xylinum. Lapuz et al. (1967) menjelaskan bahwa tinggi ketebalan nata dipengaruhi
oleh lamanya waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang
terbentuk akan semakin tebal.
Jika dilihat pada hari ke 14, lapisan nata kelompok E3 bertambah tebal menjadi 0,8 cm
dan kelompok E4 menjadi 0,6 cm. Walaupun terjadi peningkatan ketebalan nata, namun
jika dilihat secara fisik, tidak terdapat lapisan nata yang kokoh terbentuk. Lapisan nata
hanya berupa lapisan-lapisan dan tidak berada di atas cairan. Hal ini tidak sesuai dengan
teori Palungkun (1996) bahwa pada fermentasi nata de coco, Acetobacter xylinum
-
12
memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan tebal pada permukaan medium.
Lapisan yang terbentuk di atas medium tersebut merupakan komponen selulosa yang
terbentuk dari glukosa dan disebut sebagai nata. Komponen selulosa ini akan
membentuk myofibril yang panjang dalam cairan fermentasi, sehingga lapisan tersebut
dapat melayang diatas medium. Selain itu, proses fermentasi juga akan menghasilkan
gelembung-gelembung karbondioksida yang melekat pada selulosa, sehingga
menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke cairan dan nata de coco dapat terlihat
melayang di atas medium. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Hakimi & Daddy
(2006) bahwa nata de coco termasuk produk fermentasi dari substrat cair oleh bakteri
Acetobacter xylinum yang berbentuk gel dan mengandung gula serta asam yang
terapung pada permukaan mediumnya. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan
terjadi gangguan berupa goyangan saat inkubasi karena menurut Palungkun (1996),
nata dapat tidak terbentuk di permukaan cairan apabila terjadi gangguan selama
fermentasi, misalnya goyangan. Goyangan juga dapat memungkinkan pecahnya nata
yang terbentuk.
Namun pada kelompok E2 lapisan nata berkurang ketebalannya menjadi 0,4 sedangkan
pada kelompok E1 dan E5 tebal lapisan nata tetap. Menurut Wijayanti et al. (2010), hal
ini dapat disebabkan kandungan oksigen yang kurang dalam nata, sehingga
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat karena ketersediaan oksigen
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan nata. Anastasia & Afrianto
(2008) mengungkapkan bahwa pada ketebalan nata yang menyusut, dapat dikarenakan
terjadi goyangan pada wadah sehingga pembentukan lapisan tidak sempurna dan lapisan
nata tenggelam. Sedangkan jika tinggi nata yang tetap walau sudah melewati waktu
fermentasi yang cukup panjang, dapat dikarenakan kondisi pH media sudah tidak sesuai
dengan pertumbuhan Acetobacter xylinum akan menyebabkan bakteri tersebut tidak
tumbuh. Perubahan pH dapat terjadi karena adanya kontaminasi saat proses pembuatan
ataupun pada saat fermentasi berlangsung.
Jika dilihat, lapisan nata yang terbentuk pada percobaan kali ini memiliki tinggi
dibawah 1 cm. Berdasarkan pendapat Seumahu et al. (2007), seharusnya ketinggian
nata yang optimal adalah 1,5-2 cm dengan lapisan yang kokoh. Selain itu, adanya
-
13
mikroba pengganggu dan pemindahan starter yang dilakukan secara tidak aseptis dapat
menyebabkan kontaminasi yang mengganggu pertumbuhan bakteri Acetobacter
xylinum, sehingga nata tidak dapat terbentuk. Hal ini sesuai jurnal yang ditulis oleh
Jagannath et al. (2008) bahwa kondisi aseptis perlu diciptakan pada saat pembuatan
nata de coco karena penggunaan sukrosa (gula pasir) rentan terkontaminasi dengan
yeast. Budiyanto (2002) menambahkan bahwa selain pH fermentasi, kebersihan alat
juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata. Jika alat
yang digunakan dalam proses pembuatan nata de coco tidak steril dan bersih maka
dapat menyebabkan kontaminasi dan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter
xylinum.
Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan lapisan nata yang terbentuk antar
kelompok dapat dikarenakan wadah yang digunakan pada masing-masing kelompok
berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Mashudi (1993) bahwa ketinggian media pada
wadah dalam proses pembentukan nata dapat mempengaruhi ketebalan lapisan nata
yang terbentuk. Semakin dangkal dan luas permukaan wadah, maka akan menghasilkan
ketebalan nata yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan adanya oksigen yang cukup
dan rata pada lapisan nata. Menurut Tranggono & Sutardi (1990), hal lain yang dapat
mempengaruhi ketebalan nata adalah keaseptisan selama penambahan starter nata. Hal
ini disebabkan karena keberadaan mikroorganisme yang bersifat perusak / patogen
berpotensi untuk mengurangi konsentrasi glukosa pada substrat, sehingga berdampak
pada pembentukan nata.
2.3.2. Uji Sensois
Dari tabel uji sensoris nata de coco, dapat dilihat bahwa pada kelompok E1, E2, E4 dan
E5 menghasilkan nata yang beraroma sangat asam sedangkan nata yang dihasilkan
kelompokm E3 beraroma tidak asam. Menurut Halib et al. (2012), aroma pada nata de
coco didapatkan dari hasil oksidasi gula menjadi asam asetat yang dilakukan oleh
Acetobacter xylinum. Aroma nata yang asam biasanya akan hilang bila telah dilakukan
pencucian dan perebusan dengan air gula. Tetapi proses pencucian dan perebusan
dengan air gula tidak dapat dilakukan karena nata yang dihasilkan cair Walaupun pada
E3 terbentuk padat, tapi tidak kokoh dan serat yang terbentuk tipis.
-
14
Warna nata yang dihasilkan semua kelompok sama yaitu kuning. Hal tersebut tidak
sesuai dengan teori yang ada. Karena, Rahman (1992) mengungkapkan bahwa nata
merupakan makanan berbentuk padat, kokoh, kuat, putih, transparan dan kenyal. Warna
kuning pada nata menunjukan bahwa nata yang dihasilkan tercemar atau
terkontaminasi. Sedangkan tekstur nata yang dihasilkan kelompok E3 adalah tidak
kenyal dan pada kelompok lainnya nata yang terbentuk adalah cair. Hal ini dipengaruhi
oleh jumlah serat (selulosa) yang ada pada lapisan nata apakah banyak atau sedikit
(Herman, 1979). Dapat diartikan bahwa serat selulosa tidak terbentuk. Hal tersebut
dapat dikarenakan faktor-faktor penyebab kegagalan yang ada.
Menurut Tranggono & Sutardi (1990), hal lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan
terbentuknya nata adalah keaseptisan selama penambahan starter nata. Hal ini
disebabkan karena keberadaan mikroorganisme yang bersifat perusak / patogen
berpotensi untuk mengurangi konsentrasi glukosa pada substrat, sehingga berdampak
pada pembentukan nata. Menurut Rachman (1989), faktor-faktor lainnya yang sangat
penting dalam pembuatan nata adalah pH media atau tingkat keasaman, temperatur atau
suhu penyimpanan, sumber karbon, sumber nitrogen, dan umur kelapa sangat
mendukung pertumbuhan dari bakteri A. xylinum. Proses persiapan media nata juga
sangat mempengaruhi produk nata yang terbentuk. Penambahan bahan-bahan harus
sesuai sehingga media yang dihasilkan benar-benar dapat dipergunakan sebagai substrat
oleh bakteri asam asetat dalam pembentukan nata.
-
15
3. KESIMPULAN
Nata de coco merupakan produk fermentasi yang terbuat dari air kelapa yang
memanfaatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum.
Nata de coco berbentuk padat, kokoh, kuat, memiliki warna transparan, dan
bertekstur kenyal.
Acetobacter xylinum mengubah komponen gula menjadi selulosa, dimana selulosa
yang terbentuk disebut sebagai nata de coco.
Proses pembuatan nata de coco meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media
dan proses fermentasi.
Air kelapa optimal sebagai media untuk memproduksi bakteri Acetobacter.
Gula berperan sebagai sumber karbon organik yang digunakan oleh bakteri,
pengawet, dan pemberi tekstur, penampakan, serta flavor nata de coco.
Konsentrasi optimum gula untuk membuat nata de coco adalah sebesar 10%
Ammonium sulfat sebanyak 0,5% berperan sebagai sumber nitrogen untuk
mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri pembentuk nata.
Bakteri Acetobacter xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 dan tumbuh
optimum pada pH 4,3.
Asam asetat glasial berperan sebagai zat asidulan untuk menciptakan pH medium
yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum.
Penambahan starter sebanyak 4-10% dilakukan secara aseptis untuk menghindari
kontaminan dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang merugikan.
Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.
Ketinggian nata yang optimal adalah 1,5-2 cm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata oleh
pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pH, ketersediaan oksigen, suhu
inkubasi, sumber karbon dan nitrogen, umur kelapa, serta kondisi aseptis.
Semarang, 7 Juli 2015 Asisten Dosen,
- Wulan Apriliana - Nies Mayangsari
Hana Melinda
12.70.0114
-
16
4. DAFTAR PUSTAKA
Almeida, D. M.; R. A. Prestes; A. F. da Fonseca; A. L.Woiciechowski & G. Wosiacki
(2012). Minerals Consumption by Acetobacter xylinum on Cultivation Medium
on Coconut Water. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 44 (1) : 197-206.
Brazil.
Anastasia, N. & Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai
Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi
II, Universitas Lampung. Lampung
Astawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi
Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Budiyanto, M. A. K. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Gizi. UMM Press. Malang.
Castaneda, L.; F. G. Pineda & Joselito D. G. (2007). Evaluation of Different Acidifying
Agents for Acetobacter xylinum Pellicle (Nata de Coco) Production. Journal of
Tropical Biology, Vol. 5 (6) : 32-34.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Hakimi, R & Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada
Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin, Vol. 3 (2) : 89-98.
Halib, N; M. C. I. M. Amin & I. Ahmad (2012). Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of
Cellulose. Sains Malaysiana, Vol. 41 (2) : 205-211.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi
Pangan Indonesia 4(1):9 17.
-
17
Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. (2008). The
Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The
Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-Coco) by Acetobacter xylinum.
World J. Microbiol Biotechnol, Vol. 24 : 2593-2599. India.
Lapuz, M. M.; Gallardo, E. G. & Palo, M. A. (1967). The Nata Organism Cultural.
Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science,
Vol. 96.
Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu
Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel
Nata de Coco. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta, IPB.
Bogor.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan
Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70-77.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi IPB. Bogor.
Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentrations and Carboxy
Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata
de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol.
1 (1) : 6-11. Malang.
Seumahu, C. A.; A. Suwanto; D. Hadisusanto & M. T. Suhartono. (2007). The
Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco
Fermentation. Microbiology Indonesia, pp. 65-68.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel
pada Pembuatan Nata de Coco. [Skripsi]. UGM. Yogyakarta.
-
18
Swissa, M.; Aloni, Y.; Weinhouse, H. & Benziman, M. (1980). Intermediary Step in
Acetobacter xylinum Cellulose Synthesis Studies with Whole Cells and Cell Free
Preparation of the Wild Type and A Celluloses Mutant. J. Bacteriol., Vol. 143 :
1142-1150.
Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin /
Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi
UGM. Yogyakarta.
Widayati, E.; Sutarno & R. Setyaningsih. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk
Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L.
var. rubescent). Biosmart, Vol. 4 (2) : 32-35.
Wijayanti, F.; Sri K. & Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa.
Jurnal Industria, Vol. 1 (2) : 86-93.
-
19
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata = 100%x Awal Media Tinggi
NataKetebalan Tinggi
Kelompok E1
Hari ke-7
% Lapisan nata =
x 100% = 14,29 %
Hari ke-14
% Lapisan nata =
x 100% = 14,29 %
Kelompok E2
Hari ke-7
% Lapisan nata =
x 100% = 19,23 %
Hari ke-14
% Lapisan nata =
x 100% = 15,38 %
Kelompok E3
Hari ke-7
% Lapisan nata =
x 100% = 38,46%
Hari ke-14
% Lapisan nata =
x 100% = 61,54 %
Kelompok E4
Hari ke-7
% Lapisan nata =
x 100% = 13,33 %
Hari ke-14
% Lapisan nata =
x 100% = 20 %
Kelompok E5
Hari ke-7
% Lapisan nata =
x 100% = 12 %
Hari ke-14
% Lapisan nata =
x 100% = 12%
5.2. Laporan Sementara