Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten...

131
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama Dengan

Transcript of Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten...

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1 B. Identifikasi Masalah 10 C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik 11 D. Metode Analisis Naskah Akademik 12 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis 13 B. Praktek Empiris 36 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT

39 BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Kajian Filosofis 48 B. Kajian Sosiologis 55 C. Kajian Yuridis 60 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase 65 B. Muatan Materi Peraturan Daerah 68 BAB VI PENUTUP 73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu problem substansial dari masalah kesejahteraan sosial.1 Kemiskinan terjadi antara

lain karena kurang terpadunya pola koordinasi penangananya oleh pemerintah. Penyebab kemiskinan bisa karena faktor dari dalam/internal seperti keterbatasan akses pendidikan, penge-

tahuan dan pendidikan ketrampilan. Sedangkan faktor ekster-nal antara lain karena belum adanya pola penaggulangan

kemiskinan yang komprehensif.2 Fenomena munculnya Penge-mis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) bisa dipicu oleh berlangsungnya krisis ekonomi dan juga terjadinya berba-

gai bencana alam yang melanda di negeri ini.

PGOT merupakan penyandang masalah kesejahteraan

sosial yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab Negara. Hal ini tercermin dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2); “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”. Serta Pasal 34; “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sehingga pada dasarnya pemerintah berkewajiban mutlak terhadap penyele-

saian masalah pengemis, gelandangan dan orang terlantar.3

Krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia menye-

babkan jumlah gelandangan dan pengemis meningkat pesat, tetapi di lain pihak kemampuan pemerintah Indonesia terba-tas. Oleh karena itu, peran aktif dari masyarakat dalam pela-

yanan dan rehabilitasi sosial, gelandangan dan pengemis perlu ditingkatkan.

1 Departemen Sosial RI, Masalah Sosial di Indonesia, (Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Sosial Pusat Penelitan Permasalahan Kesejahte-

raan Sosial, 2005) hal. 2. 2 Departemen Sosial RI, Standar Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Gelandangan dan Pengemis, (2007), hal. 1-2. 3 Zainal Abidin, Sangidun dan Alief Budiyono, “Penanganan Problema-

tika Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) Melalui Bimbingan

dan Konseling Islami di Balai Rehabilitasi Sosial MERTANI Cilacap”, Jurnal

Komunika, Vol. 7 No. 2 Juli-Desember 2013

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

2

Apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan

diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.

Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah

pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapang-an pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Paradigma pembangunan dengan asas develop-

mentalisme dan modernisasi kehidupan serta urbanisasi desa ke kota juga menjadi faktor menjamurnya gelandangan dan pengemis.4 Di samping itu menyempitnya lahan pertanian di

desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemu-kiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong

penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Situasi

seperti ini akan memicu bertambahnya tenaga yang tidak pro-duktif di kota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup,

mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pe-ngeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun

kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain seba-gainya untuk beristirahat, mereka tinggal tanpa memperduli-kan norma sosial.

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dinya-takan tujuan perjuangan bangsa kita ialah terwujudnya ma-

syarakat adil dan makmur atau kesejahteraan umum, dan langkah utama untuk mencapai tujuan itu adalah pelaksanaan keadilan sosial. Keadilan sosial mewajibkan masyarakat ter-

masuk negara demi terwujudnya kesejahteraan untuk memba-gi beban dan manfaat kepada para warga negara secara pro-porsional, sambil membantu anggota masyarakat yang lemah,

dan di lain pihak untuk memberikan kepada masyarakat ter-masuk negara apa yang menjadi haknya.

Dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, menunjukkan betapa tinggi hasrat dan martabat

bangsa Indonesia untuk memajukan bangsanya, demi mewu-judkan kesejahteraan rakyat yang merata di semua lapisan

masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial ditegaskan

4 Maghfur Ahmad, “Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan-Pengemis

(GEPENG)”, Jurnal Penelitian, Volume 7, Nomor 2 , Nopember 2010.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

3

tujuan itu dapat dicapai apabila masyarakat dan negara dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyelu-

ruh dan merata. Kesejahteraan sosial itu sendiri dibatasi sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil

maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusi-laan, dan ketentraman lahir dan batin.

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial, gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Seba-

gai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penye-

lenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantar-

an, kecacatan, keterpencilan, keturunan sosial dan penyim-pangan pelaku, korban bencana, dan atau korban tindak ke-

kerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Dalam lingkup ini gelan-dangan dan pengemis jelas sebagai kelompok masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan penyeleng-

garaan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh ge-landangan dan pengemis.

Batasan konseptual gelandangan dan pengemis dijelas-

kan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 ten-tang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Gelandang-

an adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setem-pat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang

tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang menda-patkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum

dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pida-na). Kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut dikua-

lifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelang-garan (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

4

1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-

lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan

sebagai berikut:

1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana ku-

rungan paling lama tiga bulan; 2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan

pergelandangan dan pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan dan pengemisan yang

dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat menim-bulkan gangguan ketertiban umum. Ini berarti tidak semua gelandangan dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana,

melainkan hanya gelandangan dan pengemis yang terbukti atau tertangkap basah melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan

tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumus-kan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP. Dalam ilmu pengetahu-

an hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pe-langgaran, yaitu pandangan yang bersifat kualitatif dan pan-

dangan yang bersifat kuantitatif5.

Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa:

kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentang-an dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-Undang atau tidak, jika benar-

benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misalnya: pembunuhan, pencurian.

Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena

5 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia,

(Bandung: PT. Eresco, 1986), h. 26.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

5

undang-undang menyebutkan sebagai tindak pidana, jadi ka-rena ada undang-undang mengancamnya dengan hukuman

pidana.

Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya mele-

takkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi krimi-nologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan.

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu

penyakit sosial atau penyakit masyarakat (patologi sosial). Se-gala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang diang-gap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istia-

dat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau

penyakit masyarakat6.

Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterba-tasan, cenderung bergantung pada belas kasihan atau pembe-

rian orang lain, berkeliaran di tempat-tempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan perempatan jalan,

yang mana keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dira-sa sangatlah mengganggu dan meresahkan.

Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang dan

mengemis tersebut tidaklah mudah. Sepanjang hari para gelandangan dan pengemis harus berjalan menelusuri sudut-

sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas sinar mata-hari, kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan ling-kungan yang kotor. Terkadang mereka juga harus memperta-

ruhkan nyawa ketika menggelandang dan mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan meng-

gelandang dan mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai kegiatan yang memalukan dan

tidak memiliki harga diri bagi yang melakukannya.

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiatan menggelandang dan mengemis ini ternyata masih menjadi pri-

madona tersendiri bagi orang-orang yang malas apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu na-sib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan ataupun ke-

mampuan yang cukup.

Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan

mengemis tersebut tidaklah mudah dan memerlukan kemam-puan serta jiwa yang berani untuk menggelandang dan me-

6 Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 4

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

6

ngemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis

merupakan hal yang mudah dan paling enak untuk dijalani.

Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi

atau menyebabkan seseorang menjadi gelandangan dan penge-mis, yaitu:

1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseo-

rang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga se-

cara layak.

2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala sese-

orang untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang ti-dak dapat memenuhi tuntutan pasar kerja.

4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan se-kitar dan para pemberi sedekah.

Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempenga-ruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:

a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibat-

kan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta. b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan

dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis

adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melaku-kan perubahan.

c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka

merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.

Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata di-artikan sebagai kekurangan secara ekonomi saja. Kemiskinan

juga dianggap meliputi aspek-aspek non-ekonomi, seperti ke-sehatan, keamanan/kerentanan, penghargaan diri/identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyarakat, hak suara seca-

ra politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya. Terdapat banyak orang dan organisasi yang memandang

kemiskinan berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia; “Poverty as lack of prosperity that is conspicuous” (terjemahan peneliti: kemiskinan adalah

kekurangan kesejahteraan yang mencolok). Menurut J.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

7

Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat konvensional.

Pandangan konvensional pada dasarnya menghubung-kan kesejahteraan dengan kemampuan untuk memiliki sesua-

tu. Oleh sebab itu, orang miskin diartikan sebagai mereka yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk dapat memiliki sesuatu. Kemiskinan adalah sebagai suatu standar hidup yang

rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang di bandingkan dengan stan-dar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.7

Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab yang me-

munculkan gelandangan dan pengemis di masyarakat seperti faktor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat penting dalam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pe-

ngemis di Indonesia khususnya di kota-kota besar. Pemikiran tersebut sangat sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu

Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari ke-jahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab ter-

jadinya kejahatan ataupun perbuatan yang menyimpang.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan peng-hasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan ber-

bagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Banyak ahli yang menggambarkan bagaimana gelandang-

an dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pembe-rian stigma yang negatif.

Terkait dengan pemberian stigma negatif, banyak juga pakar yang menyatakan bahwa pemberian stigma negatif jus-tru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat pada

umumnya. Gelandangan dan Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori

menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis pada umumnya

tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikem-balikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak

mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempu-nyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering

7 Parsudi Suparlan, Kemiskinan Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1995), hal. XI

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

8

disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock).

Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mere-ka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai

akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.

Gelandangan dan pengemis adalah salah satu kelompok

yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum.

Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perko-taan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat

sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pe-ngemis dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemis

dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti; kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri

kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial ditegaskan tujuan itu dapat dicapai apabila masyarakat dan negara dalam

taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyelu-ruh dan merata. Kesejahteraan sosial itu sendiri dibatasi seba-gai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil

maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusi-laan, dan ketentraman lahir dan batin. Ini memungkinkan se-

tiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya.

Di Kabupaten Cilacap, anggaran yang dialokasikan di

APBD Kabupaten Cilacap di tahun 2016 untuk penertiban dan pendampingan Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) turun dibanding tahun 2015. Pasalnya, pada tahun ini

hanya sebesar Rp 90 juta, sedangkan di tahun 2015, dialokasi-kan sebesar Rp 195 juta. Penyebabnya turunnya anggaran ter-

sebut, menurut Kosasih, karena pihaknya menangani dari ke-sehatan hingga proses rehabilitasi tiap PGOT. “Sisa anggaran di 2015 sendiri sebesar Rp 17 juta yang diklaim ke pihak ru-

mah sakit di Cilacap,” kata Kepala Dinsosnakertrans Cilacap Kosasih. Rumah sakit yang menjadi rujukan kata dia ke RSUD

baik di Cilacap dan Majenang. Dimana sudah disediakan 3 ruangan di tiap RSUD khusus untuk menangani PGOT.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

9

Menurut Kepala Dinas Sosial, jumlah PGOT yang dita-ngani oleh pihak Dinas Sosial ada sekitar 65 orang di Balai

Trauma Center. Pihak Dinsos selalu menekankan bahwa PGOT yang tertangani karena memang benar benar terlantar. “Ba-

nyak juga dijemput oleh keluarga ketika sudah diketahui iden-titasnya,” terangnya. Sedangkan untuk Balai Rehabilitasi Sosi-al (Resos) sendiri, disediakan pula di daerah Kroya. Dimana

ada sekitar 80 PGOT yang tertampung di Balai Resos milik pemerintah provinsi. “Ada sekitar empat PGOT yang masuk daftar tunggu untuk dilakukan rehabilitasi dan diberikan kete-

rampilan,” tandasnya. Empat PGOT tersebut berada di Balai Resos Provinsi yakni di Kendal, Magelang, RSUD, dan Kroya.8

Sementara itu, upaya pendampingan bagi Pengemis, Ge-landangan, dan Orang Terlantar (PGOT) difokuskan tidak ha-nya dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Din-

sosnakertrans) Cilacap. Sehingga, nantinya PGOT tersebut terlebih dahulu akan dirujuk ke rumah sakit di Cilacap. Pe-

nanganan tersebut tujuannya agar ketika PGOT masuk ke Balai Rehab Sosial, sudah dalam kondisi sehat secara medis. Sementara untuk surat keterangan sakit, diterbitkan oleh

pihak Satpol PP dan Polres Cilacap. Kepala Dinsosnakertrans Cilacap Kosasih menyatakan bahwa, tahapan pengecekan medis juga mencakup kondisi kejiwaan tiap PGOT. Sebab

pihaknya akan melakukan proses penanganan PGOT ketika sudah dalam kondisi sehat secara fisik dan kejiwaan.

Menurut kepada Dinas Sosial Kabupaten Cilacap, orang-orang terlantar dan pengemis setelah mereka terkena razia, maka diperlukan penanganan rehabilitasi sosial. Pada tahun

2017 hanya dianggarkan Rp 86 juta, bahkan masih memiliki hutang di tahun 2016 sebanyak Rp 99 juta. Dalam satu tahun kemarin, ada sekitar 56 orang yang harus ditangani oleh

Dinas9. Di Kabupaten Cilacap, wilayah hutan di Kecamatan Wanareja selalu menjadi pintu masuk PGOT dan psikotik dari

daerah lain10.

Penyebab banyaknya gelandangan dan pengemis adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan

lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan perta-

8 http://radarbanyumas.co.id/anggaran-pgot-turun-drastis/ diakses, ,

selasa 16 Januari 2016

9 http://satelitnews.co/berita-cilacap-butuh-rumah-rehabilitasi, diakses

17 Februari 2017. 10 TubasMedia.Com di akses 2/22/2017

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

10

nian di desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan pertokoan. Keadaan ini mendorong penduduk

desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan

pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga kea-daan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja

apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis).

Pada umumnya penyebab munculnya gelandangan dan

pengemis bisa dilihat dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi diri dari sang peminta-

minta, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi di luar yang bersangkutan. Menurut Artijo Alkostar, munculnya kaum gelandangan dan pengemis disebabkan oleh dua faktor,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak

kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan fak-tor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendi-dikan, lingkungan, agama dan letak geografis11.

B. Identifikasi Masalah

Berdasakan uraian latar belakang yang telah dipaparkan

di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Angka pertumbuhan gelandangan dan pengemis mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sementara langkah anti-sipatif dan preventif dari pemerintah daerah Cilacap belum

memadahi dalam menekan angka pertumbuhan gelandang-an dan pengemis.

2. Banyaknya gelandangan dan pengemis yang merupakan

usia produktif sehingga menjadikan meningkatnya angka pengangguran yang tinggi serta lahirnya praktik eksploitasi

kemiskinan untuk motif ekonomi.

3. Terbatasnya infrastruktur, prasarana dan sarana pendu-kung bagi penanganan gelandangan dan pengemis yang

memadahi baik terkait dengan sarana fisik seperti rumah rehabilitasi sosial atau rumah singgah ataupun penyiapan

11 Dyah Ratnasari, Peran Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Dalam

Pembinaan Gelandangan dan Pengemis di Kota Banjar, STISIP Bina Putra

Banjar.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

11

pelatihan life skill dan bimbingan dan konseling untuk penguatan mental.

4. Belum terbangunanya pola kerjasama sinergis peran ma-syarakat dan keterlibatan lintas sektoral dalam menangani

gelandangan dan pengemis menjadi kendala serius dalam penanganan gelandangan dan pengemis secara komprehen-sif dan solutif.

5. Perlunya dibangun pemahaman dan kesadaran baru di te-ngah masyarakat bahwa memberi gelandangan dan penge-

mis di jalan atau di tempat umum sama saja melestarikan mereka dan tidak memberikan pendidikan akan pentingnya kemandirian hidup untuk kehidupan yang bermartabat.

C. Tujuan dan manfaat

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Naskah Akade-

mik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis adalah untuk

melakukan penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajib-an Pemerintah Daerah dalam melakukan Program Penanggu-langan Gelandangan dan Pengemis. Oleh karena itu, tujuan

pokok dari penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Tersedianya regulasi yang dapat dijadikan pedoman / ru-jukan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap dalam upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terstruk-

tur, terencana dan komprehensif.

2. Menekan angka pertumbuhan gelandangan dan pengemis dan menekan angka pengangguran pada usia produktif de-

ngan mengefektifkan upaya preventif, represif dan reha-bilitatif yang terprogram dan terencana.

3. Membangun kesadaran kolektif seluruh komponen masya-rakat untuk tidak memberi bantuan kepada mereka melalui instrumen hukum berupa ancaman hukum pidana bagi

masyarakat yang memberi bantuan kepada mereka atau perbuatan mengkoordinir gelandangan dan pengemis.

4. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pemang-

ku kepentingan (stakeholders), organisasi profesi, akademi-si, swasta dan masyarakat dalam Penanggulangan Gelan-

dangan dan Pengemis di Kabupaten Cilacap.

5. Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan Daerah ini

adalah sebagai landasan hukum bagi Pemerintah Daerah

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

12

dalam upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis menuju masyarakat yang sehat, kuat dan mandiri dan tidak

mengeksploitasi kemiskinan sebagai tameng profesi yang menistakaan martabat kemanusiaan. Dengan demikian,

Naskah Akademik ini diharapkan memiliki kemanfaatan se-bagai landasan, alasan, dan arahan dalam proses Penang-gulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Cilacap.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik

ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tra-

disi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Pe-

nanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang

baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada ka-idah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada ke-nyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu tata nilai

sosial (local wisdom) yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini meli-puti tahapan-tahapan :

1. identifikasi permasalahan terkait Penanggulangan Gelan-

dangan dan Pengemis di Kabupaten Cilacap;

2. inventarisasi bahan hukum yang terkait;

3. sistematisasi bahan hukum;

4. analisis bahan hokum; dan

5. perancangan dan penulisan.

-- --

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

13

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”. Masyarakat Indonesia secara umum su-

dah sangat akrab dengan akronim “gepeng” (gelandangan dan pengemis) tersebut yang tidak hanya menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pembe-

ritaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk pada sekelompok

orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar.

Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis

tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma12. Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena

gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar negeri se-perti Amerika Serikat, maka istilah yang populer digunakan di Amerika Serikat untuk menyebut gelandangan dan pe-

ngemis adalah homeless13.

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31

Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut:

- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mem-

punyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat

umum; - Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan peng-

hasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan

berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

12 Maghfur Ahmad, 2010, “Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan

Pengemis (Gepeng)”, Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan, Vol. 7. No. 2,

(Pekalongan), hal. 2. 13 Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-

Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen

Komunikasi Pengemis”, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya), hal. 88.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

14

Departemen Sosial Republik Indonesia juga memberi-kan rumusan yang sama dengan Peraturan Pemerintah RI

No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis mengenai pengertian gelandangan dan

pengemis tersebut sebagai berikut:

“Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidup-

an yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di

tempat umum. Adapun pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di

muka umum dengan berbagai alasan untuk meng-harapkan belas kasihan dari orang”14.

Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

disebutkan bahwa pengertian gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap, tidak tentu pe-

kerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini tidak tentu tujuannya, bertualang”15. Berikutnya, pengertian pe-ngemis adalah “orang yang meminta-minta”16.

Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-pindah. Supar-

lan juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat gelandangan, yaitu sejumlah

orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang di

luar masyarakat kecil itu yang merupakan suatu ma-syarakat yang lebih luas. Tindakan-tindakan yang dila-kukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang

ada pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh golongan-golongan lain-

nya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu17.

14 Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005,

Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Gelandangan dan Pengemis, (Jakarta : Depsos RI), hal. 2. 15 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta : Balai Pustaka), hal. 281. 16 Ibid, hal. 532. 17 Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat

Gelandangan Yang Sudah Menetap, (Jakarta : FSUI), hal. 1

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

15

Selanjutnya, khusus untuk kata pengemis, lazim digunakan untuk sebutan bagi orang yang membutuhkan

uang, makanan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut

mereka gunakan, seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari

meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pe-kerjaan mereka dengan berbagai macam alasan, seperti ke-miskinan dan ketidakberdayaan mereka karena lapangan

kerja yang sempit18.

Gorris Keeraf mencatat bahwa secara historis asal

usul kata pengemis tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan orang jawa yang memiliki kecenderungan menamakan

sesuatu berdasarkan kejadian atau waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah Kasunanan Surakarta

Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa dahulu pada suatu hari, penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja bernama Pakubuwono X yang

pada masa itu memang dikenal sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum tak mampu terutama dilakukan menjelang hari Jumat khususnya pada

hari Kamis sore.

Pada hari Kamis, Raja Pakubuwono keluar dari

istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan

kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun utara).

Rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di

kanan dan kiri jalan. Mereka memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada

pemimpinnya. Pada saat itu sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan yang dilakukan sang

raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulu-nya yang juga seorang penguasa.

Ternyata kebiasaan tersebut yang dilakukan setiap kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan dalam bahasa Jawa Kamis dibaca kemis, maka lahirlah sebutan

18 Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar

Kehidupan Pengemis, (Jakarta : Titik Media Publisher), hal. 1.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

16

untuk orang yang mengha-rapkan berkah di hari Kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah

di hari Kemis) dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah pada hari

Kemis)19.

Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa-kata bahasa Indonesia yang tentunya memiliki kata dasar

Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan dan diambil kata dasarnya kata

kemis atau emis tidak dikenal dalam kosakata bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe- sehingga

membentuk kata pengemis.

Lain halnya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan

bisa berdiri sendiri.

2. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah

satu penyakit sosial atau penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma

umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diinte-grasikan dalam pola tingkah laku umum dikategorikan

sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat20.

Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterbatasan, cenderung bergantung pada belas kasihan

atau pemberian orang lain, berkeliaran di tempattempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan

perempatan jalan, dan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dirasa sangat mengganggu serta meresahkan.

Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang

dan mengemis tersebut tidaklah mudah. Sepanjang hari pa-ra gelandangan dan pengemis harus berjalan menelusuri sudut-sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas

sinar matahari, kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan lingkungan yang kotor.

19 Ibid, hal. 4. 20 Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1,

Cet. 5, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hal. 4.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

17

Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika menggelandang dan mengemis di jalanan yang

ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan mengge-

landang dan mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri bagi yang melakukannya21.

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiat-an menggelandang dan mengemis ini ternyata masih men-jadi primadona tersendiri bagi orang-orang yang malas

apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu nasib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan

ataupun kemampuan yang cukup.

Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan mengemis tersebut tidaklah mudah dan memerlukan

kemampuan serta jiwa yang berani untuk menggelandang dan mengemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak

memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis merupakan hal yang mudah dan paling enak untuk dijalani.

Secara umum ada beberapa faktor yang mempenga-ruhi atau menyebabkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:

1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan sese-orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal

dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.

2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang

tidak dapat memenuhi tuntutan pasar kerja.

4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan

sekitar dan para pemberi sedekah. Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:

a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, meng-akibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk me-

minta-minta.

21 Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, (Jakarta :

Penerbit Sabil), hal. 9.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

18

b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemis-kinan dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan

pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.

c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup menggelan-

dang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata penca-

harian22.

Uraian diatas menunjukkan adanya beberapa faktor

sosial budaya yang juga menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan menguraikan bahwa

terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi

faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis23.

Berikutnya, menurut Dimas Dwi Irawan ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang melaku-kan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut,

yaitu; merantau dengan modal nekad, malas berusaha, disabilitas fisik/cacat fisik, tidak adanya lapangan kerja, tradisi yang turun temurun, mengemis daripada mengang-

gur, harga kebutuhan pokok yang mahal, kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-ikutan saja,

disuruh orang tua, dan menjadi korban penipuan24.

1. Merantau dengan modal nekad

Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran

dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota-kota

22 Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Op.cit, hal. 7-

8. 23 Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, (Jakarta : Rajawali),

hal. 14. 24 Dimas Dwi Irawan, Op.cit, hal. 6.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

19

besar, banyak dari mereka yang merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan

ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mere-ka mencoba dan berusaha meskipun hanya dengan ke-

nekadan untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas, modal nekad, dan tidak adanya jaminan

tempat tinggal membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih untuk menjadi gelan-dangan dan pengemis;

2. Malas berusaha

Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar men-

dapatkan uang tanpa susah payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu;

3. Disabilitas fisik/cacat fisik

Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga

mendorong seseorang untuk memilih menjadi gelan-dangan dan pengemis dibanding bekerja. Sulitnya la-pangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat

fisik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak mem-buat mereka pasrah dan bertahan hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis;

4. Tidak adanya lapangan kerja

Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak ber-

sekolah atau memiliki keterbatasan kemampuan aka-demis akhirnya membuat langkah mereka seringkali salah yaitu menjadikan meminta-minta sebagai satu-

satunya pekerjaan yang bisa dilakukan;

5. Tradisi yang turun temurun

Mengemis dan menggelandang merupakan sebu-

ah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak

cucunya;

6. Mengemis daripada menganggur

Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan

didukung oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan menbuat beberapa orang mempuyai mental

dan pemikiran daripada menggangur maka lebih baik mengemis dan menggelandang;

7. Harga kebutuhan pokok yang mahal

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

20

Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok dan memenuhi kebutuhannya

adalah dengan giat bekerja tanpa mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih

memutuskan untuk mengemis karena berpikir tidak ada cara lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;

8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut

Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak berdaya dalam meng-hadapi masalah ekonomi yang berkelanjutan. Perma-

salahan ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup dalam krisis ekonomi dihidupnya

sehingga menjadi gelandangan dan pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup;

9. Ikut-ikutan saja

Kehadiran pendatang baru sebagai gelandangan dan pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung

oleh adanya pemberitaan tentang pengemis dan gelan-dangan yang begitu mudahnya mendapatkan uang di kota yang akhirnya membuat mereka yang melihat

fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan pengemis;

10. Disuruh orang tua

Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada

pengemis yang masih anak-anak. Mereka bekerja kare-na diperintahkan oleh orang tuanya dan dalam kasus seperti inilah terjadi eksploitasi anak;

11. Menjadi korban penipuan

Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak tertutup kemungkinan dapat disebab-

kan oleh karena kondisi mereka yang menjadi korban penipuan. Hal ini biasanya dapat terjadi di kota besar

yang memang rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru sampai di kota. Pen-datang baru ini sering mengalami penipuan seperti

yang disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat trauma bagi yang menga-

laminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya mereka pun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang atau bertahan hidup di kota.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

21

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor penyebab tersebut diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa faktor

kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan me-nyebabkan munculnya gelandangan dan pengemis dalam

kehidupan masyarakat Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis ini juga terjadi dan dapat ditemukan di luar ne-

geri. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya permasa-lahan gelandangan dan pengemis tersebut. Sama halnya dengan di Indonesia, faktor kemiskinan ini ternyata juga

menjadi penyebab utama munculnya fenomena gelandang-an dan pengemis di negara-negara maju seperti Amerika

Serikat. Faktor kemiskinan tersebut diatas yang juga di-pengaruhi oleh faktor-faktor politik dan sosial dapat me-nyebabkan munculnya permasalahan gelandangan dan

pengemis di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Seperti yang dikemukakan oleh Judith Goode dan Jeff Maskovsky

sebagai berikut: “People become homeless for a variety of reasons. Homelessness is primarily an economic problem, and is also affected by a number of social and political factors”25.

Disamping itu, faktor kemiskinan yang disebabkan

oleh menurunnya kondisi dunia industri di Amerika Serikat juga dapat mempengaruhi perkembangan gelandangan dan pengemis di Amerika Serikat.

Vincent Lyon-Callo mengemukakan adanya korelasi hal tersebut sebagai berikut “Poverty caused by the bad situation of industry in United States has a high potentiality to increase homelessness in United States”26.

Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan

pengemis secara umum dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa

Gowan yang pada pokoknya menegaskan: “There are many different causes of homelessness. Poverty and the inability to afford adequate housing are central to the causes of homelessness. These circumstances may result from a number of different experiences, including long-term or short-

25 Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty Studies:

The Ethnography of Power, Polities and impoverished People in The

United States, (New York : New York University Press), hal. 210. 26 Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal

Governance: Activist Ethnography in the Homeless Sheltering Industry,

(Ontario-Canada : University of Toronto Press), hal. 2-3.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

22

term unemployment, debt and other financial pressures, and housing market pressures, such as rising rental and house prices and the lack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by other personal or family problems, such as family breakdown, domestic violence, poor physical and mental health, substance and other addictions. The inability to cope with combinations of these problems can push individuals and families even closer to the edge27.

Selanjutnya, Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya sebagai berikut: “Homelessness affects a wide range of people from different regions, of different ages and different cultural backgrounds. Some groups, however, are particularly at risk of becoming homeless”28.

Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua tipe yaitu gelandangan

pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang

tidak mempunyai uang atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.

Berbeda jauh dengan gepeng miskin materi, dalam

hal ini gepeng miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis.

Maksud dari mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah sikap dan

sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempe-ngaruhi mental, karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat seseorang bermental

seperti ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga membagi tipe

atau kategori gelandangan dan pengemis tersebut menjadi dua kelompok utama yaitu primer dan sekunder sebagai-mana dikemukakan oleh P. Lynch sebagai berikut: “The United Nations identifies homeless people under two broad groups:

27 Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In

San Francisco, (Minneapolis : University Minnesota Press), hal. 18. 28 Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, “Displaced and Barely

Visible: Archaeology and Material Culture of Homelessness”, Historical

Archaeologies of Engagement, Representation, and Identity: Vol. 45. No. 1,

New York, hal. 67.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

23

- Primary homelessness (or rooflessness). This category includes persons living in the streets without a shelter that would fall within the scope of living quarters;

- Secondary homelessness. This category may include persons with no place of usual residence who move frequently between various types of accommodations (including dwellings, shelters and institutions for the homeless or other living quarters). This category includes persons living in private dwellings but reporting „no usual

address‟ on their census form29.

Uraian-uraian diatas jelas menunjukkan adanya hu-

bungan erat antara permasalahan gelandangan dan penge-mis dengan faktor kemiskinan karenanya hal tersebut ten-tu harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk

melakukan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat agar dapat menekan laju perkembangan gelan-dangan dan pengemis tersebut di Indonesia.

Kemiskinan di Indonesia telah terjadi sejak dahulu dan terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia sam-

pai dengan sekarang. Secara historis masalah kemiskinan di Indonesia telah berlangsung sejak zaman kerajaan-kerajaan, kemudian berlanjut semakin kompleks pada ma-

sa penjajahan kolonial Belanda dengan politik tanam paksa dan eksploitasi komoditas perkebunan dan pertaniannya telah menimbulkan penurunan kemakmuran / kesejahte-

raan rakyat.

Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat dipeker-

jakan secara paksa (kerja rodi) bahkan penangkapan ma-syarakat yang melawan terhadap kebijakan yang ditetap-kan pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan pekerja.

Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terin-

tegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diikuti kolonialisme dan imperia-lisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan

sekedar manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan

29 P. Lynch, 2004, “Begging for Change: Homelessness and the Law”,

Melbourne University Law Review: Vol 26, Melbourne, hal 694.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

24

penjajah Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas-ganasnya berkembang30.

Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata diartikan sebagai kekurangan secara ekonomi saja. Kemis-

kinan juga dianggap meliputi aspek-aspek non-ekonomi, seperti kesehatan, keamanan/kerentanan, penghargaan di-ri / identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyara-

kat, hak suara secara politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya31.

Terdapat banyak orang dan organisasi yang meman-

dang kemiskinan berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia sebagai berikut;

“Poverty as lack of prosperity that is conspicuous”32.

Menurut J. Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat konvensional, hal itu

dapat dilihat dari pendapat mereka yang menegaskan “Conventional view is essentially connecting welfare with the ability to have something. Therefore, the poor are definied as those who do not have enough income to be in possession of something”33.

Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab muncul-nya gelandangan dan pengemis di masyarakat seperti fak-

tor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat penting da- lam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pengemis di Indonesia khususnya di kota-kota besar.

Pemikiran tersebut sangat sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan

yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan ataupun

perbuatan yang menyimpang.

Menurut Edwin H. Sutherland, “Criminology is the body of knowledge regarding crime and delinquency as social phenomena. It includes within its scope the processes

30 Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum

Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di

Indonesia), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal. 5. 31 Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion,

(Jakarta : Compassion International), hal. 10. 32 The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?, (New

York : Oxford University Press), hal. 32. 33 J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and

Inequality, (Washington, D. C. : The World Bank), hal. 12.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

25

of making laws, breaking laws, and reacting to the breaking of laws”.34

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan menggelandang dan mengemis adalah me-

rupakan tindak pidana atau pelanggaran hukum atau perbuatan yang menyimpang karenanya dengan mengeta-hui apa yang menjadi faktor-faktor penyebab munculnya

gelandangan dan pengemis di masyarakat, maka tentu akan dapat dilakukan upaya-upaya penanggulangan yang

lebih tepat dan terarah.

3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penanggulang-

an Gelandangan dan Pengemis

Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis di Indonesia, terdapat

beberapa aturan hukum yang relevan dan dapat dijadikan pedoman / landasan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967);

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun

2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

No. 5294);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun

1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3177); dan

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kese-jahteraan Sosial

34 Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill,

1992, Principles of Criminology, Eleventh Edition, (Boston, United States of

America : Rowman & Littlefield Publishers), hal. 3.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

26

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial ini gelandangan dan

pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu

penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan

memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, keturunan

sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Pasal 2 dan 5 UU RI No. 11 Tahun

2009). Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok masyarakat yang mengalami

masalah kemiskinan sehingga kegiatan penyelengga-raan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis.

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:

a. Rehabilitasi sosial yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang

mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat;

b. Jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;

c. Pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang

diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya,

sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;

d. Perlindungan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko

dari guncangan dan kerentanan sosial.

Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial tersebut diatas yang relevan dan penting diperhatikan dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial,

apalagi diperuntukkan kepada gelandangan dan pe-ngemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi ter-

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

27

kait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nanti-nya diharapkan dapat memulihkan dan mengembang-

kan kemampuan gelandangan dan pengemis yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan

fungsi sosialnya secara wajar.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan pula

bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluar-ga, masyarakat maupun panti sosial. Kegiatan rehabili-

tasi sosial tersebut diberikan dalam bentuk:

a. Motivasi dan diagnosis psikososial;

b. Perawatan dan pengasuhan;

c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausa-haan;

d. Bimbingan mental spiritual;

e. Bimbingan fisik;

f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;

g. Pelayanan aksesibilitas;

h. Bantuan dan asistensi sosial;

i. Bimbingan resosianlisasi;

j. Bimbingan lanjut; dan atau

k. Rujukan.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang

RI No. 11 Tahun 2009 yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f) Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa terhadap

gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabi-litasi sosial dalam rangka kegiatan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Reha-bilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik, mental, dan sosial, serta

memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi gelandangan pengemis.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

28

Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan pula bahwa

rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat

maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran, dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang

agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan, pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseo-

rang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa

tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial.

Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan

Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan

dalam bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; pe-rawatan dan pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual;

bimbingan fisik; bimbingan sosial dan konseling psiko-sional; pelayanan aksesibilitas; bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan

atau rujukan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 39

Tahun 2012 tersebut diatas, maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya

anjuran maupun ajakan sampai yang sifatnya dipak-sakan agar gelandangan dan pengemis tersebut ber-sedia melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan

rehabilitasi sosial tentu diharapkan gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelan-dang dan mengemis tersebut.

3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Pasal 58 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009

tentang Kesejahteraan Sosial menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

29

Negara Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11 Tahun 2009 masih

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun

2009 ini.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah

gelandangan dan pengemis karena belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang RI No. 11

tahun 2009 tersebut diatas.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tersebut tidak sesuai

dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penang-gulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan rehabilitasi.

Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya

gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan ba-ik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber

timbulnya gelan-dangan dan pengemis, yang berdasarkan pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan bimbingan sosial, latihan, pendidikan,

pemberian bantuan, perluasan ke-sempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan,

pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan perge-landangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :

- Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

- Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandang-an dan pengemisan di dalam

masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umum-nya;

- Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para

gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

30

baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

Upaya represif adalah usaha-usaha yang teror-ganisir yang dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau

meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya re-presif tersebut meliputi: razia, penampungan sementara

untuk diseleksi, dan pelimpahan. Dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 diuraikan bahwa gelandangan dan pengemis yang ter-

kena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk menetap-kan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan

sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:

- Dilepaskan dengan syarat;

- Dimasukkan dalam Panti Sosial;

- Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kam-

pung halamannya;

- Diserahkan ke Pengadilan;

- Diberikan pelayanan kesehatan.

Upaya rehabilitatif adalah usaha-usaha yang ter-organisir meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi,

penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,

kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini

dilaksanakan melalui Panti Sosial.

Usaha penampungan tersebut diatas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan dan pengemis

yang dimasukkan ke dalam Panti Sosial. Seleksi dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi

pelayanan sosial yang akan diberikan.

Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan

pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif. Dalam melaksanakan usaha

penyantunan tersebut diatas para gelandangan dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

31

pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan

kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Berikutnya adalah usaha-usaha tindak lanjut

yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis. Usaha tindak lanjut tersebut diatas dilakukan dengan:

- Meningkatkan kesadaran berswadaya;

- Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemam-puan sosial ekonomi;

- Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Bahwa disamping upaya-upaya penanggulangan sebagaimana ditegaskan UU No. 11 Tahun 2009 ten-tang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No.

39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980

tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tersebut diatas, maka dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis

juga dapat diterapkan upaya-upaya penanggulangan melalui penerapan hukum pidana (upaya penal) yaitu

berupa pemberian sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), tindak pidana dibedakan menjadi tindak pida-na kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua

KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu

pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif35.

Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan

bahwa kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-

35 Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di

Indonesia, (Bandung : PT. Eresco), hal. 26.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

32

Undang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, mi-

salnya: pembunuhan, pencurian.

Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan

yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutkan sebagai tindak pidana, jadi karena ada undang-undang

mengancamnya dengan hukuman pidana.

Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya

meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan.

Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam KUHP (Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana). Kegiatan pergelandangan dan penge-misan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di

bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana).

Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:

1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam,

karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;

2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP mene-gaskan sebagai berikut:

1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian,

diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;

2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam

bulan.

Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dapat

dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat

umum yang dapat menimbulkan gangguan ketertiban

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

33

umum. Ini berarti tidak semua gelandangan dan penge-mis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya

gelandangan dan pengemis yang terbukti atau tertang-kap basah melakukan kegiatan menggelandang dan

mengemis di tempat-tempat umum.

Bertitik tolak dari uraian-uraian mengenai Pera-turan Perundang-undangan terkait penanggulangan ge-

landangan dan pengemis tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa secara garis besar ada 2 (dua) cara/upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi

permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut, yaitu melalui cara penal (hukum pidana) dan cara non-penal (bukan/diluar hukum pidana).

Upaya-upaya penanggulangan melalui cara non-penal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan

Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyeleng-garaan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelan-

dangan dan Pengemis yang menegaskan adanya upaya- upaya penanggulangan berupa preventif, persuasif, dan rehabilitasi.

Berikutnya, cara penal yaitu upaya penanggu-langan yang sifatnya represif berupa penerapan

sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP.

4. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada ma-syarakat dari rasa takut terhadap gangguan tindak pidana atau kejahatan, maka untuk itu sangat diperlukan adanya

upaya-upaya penanggulangan dari pemerintah dan aparat penegak hukum terkait.

Upaya penanggulangan tindak pidana adalah masuk dalam lingkup kebijakan kriminal (penal policy/criminal policy) yaitu suatu usaha untuk menanggulangi tindak

pidana atau kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional.

Secara garis besar, upaya penanggulangan tindak pidana atau kejahatan ataupun pelanggaran hukum di ma-syarakat tersebut dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

34

lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur nonpenal (bukan/diluar hukum pidana)36.

Agar supaya penanggulangan tindak pidana di masyarakat dapat berlangsung dengan lebih efektif dan

maksimal, maka sangat diperlukan adanya keseimbangan penerapan upaya melalui jalur penal maupun non-penal tersebut.

Upaya penanggulangan dengan menggunakan jalur penal ini lebih menitikberatkan pada sifat represif (penin-

dasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan

pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengenda-lian) sebelum kejahatan terjadi37.

Upaya-upaya tersebut diatas tentu dapat diterapkan

pula dalam rangka penanggulangan masalah tindak pidana pergelandangan dan pengemisan di masyarakat Indonesia.

Berikutnya, G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) tersebut sebagai berikut:

a. penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai

kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing view society on crime and punishment by mass media)38.

Ruang lingkup kebijakan kriminal diatas menegaskan bahwa penerapan hukum pidana (criminal law application)

adalah merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana atau kejahatan.

Penerapan hukum pidana ini merupakan bentuk im-plementasi upaya penanggulangan melalui jalur penal (hukum pidana) dan pada proses inilah berlangsung

penegakan hukum pidana in concreto di masyarakat. Upaya penegakan hukum pidana yang dapat berupa pemberian

hukuman atau sanksi pidana terhadap pelaku tindak

36 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), hal. 42. 37 Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan

Kejahatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), hal. 7. 38 Barda Nawawi Arief II, Op.cit, h. 41.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

35

pidana atau kejahatan tersebut diatas ternyata perlu ditunjang atau didukung pula oleh upaya-upaya yang

sifatnya preventif/pencegahan dalam rangka menanggula-ngi tindak pidana atau kejahatan tersebut. Hal ini perlu

dilakukan agar masyarakat dapat terhindar dari merajalela-nya kejahatan atau sekurang-kurangnya dapat membatasi perkembangan kejahatan.

Menurut Sutherland, bahwasanya usaha penanggu-langan kejahatan yang sebaik-baiknya harus meliputi re-formasi bagi perbaikan narapidana dan pencegahan ter-

hadap kejahatan yang pertama kali akan dilakukan seseo-rang (pencegahan adanya penjahat baru)39.

Selanjutnya menurut Kaiser, strategi pencegahan ke-jahatan adalah suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil

lingkup dari kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan

kejahatan, ataupun melalui usahausaha pemberian penga-ruh-pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.

Terdapat pembagian strategi pencegahan kejahatan menurut Kaiser yaitu meliputi:

1. Pencegahan primer, merupakan strategi pencegahan

keja-hatan melalui bidang sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum sebagai usaha

mempengaruhi faktor-faktor kriminogen. Tujuan pencegahan primer yaitu untuk menciptakan kondisi sosial yang baik bagi setiap

anggota masyarakat sehingga masyarakat merasa aman dan tentram;

2. Pencegahan sekunder, hal yang mendasar dari

pencegahan sekunder dapat ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Sasaran dari

kejahatan ini ialah orang-orang yang sangat mungkin melakukan pelanggaran;

3. Pencegahan tersier, yaitu memberikan perhatian pada

pencegahan terhadap residivisme, dengan orientasi pada

39 Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha

Penanggulangan Kedjahatan (Crime Prevention), (Bandung : Alumni), hal.

55.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

36

pembinaan. Sasaran utamanya ialah pada orang-orang yang telah melanggar hukum40.

Soedjono Dirdjosiswono juga mengemukakan penda-patnya mengenai upaya penanggulangan tindak pidana

atau kejahatan tersebut yaitu dapat dilakukan dengan cara:

1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan

yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan;

2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggu-langi kejahatan dengan memberantas sebab musabab-nya. Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan

ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor pe-nyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejahteraan

untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara abolisionistik41.

Kedua cara diatas juga dapat dijadikan acuan dan di-

terapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum se-cara langsung apabila tingkat kriminalitas atau pelanggaran hukum di masyarakat tinggi.

B. Kajian Empiris

Terkait dengan masalah gelandangan dan pengemis, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga kewalahan mengatasi pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) termasuk

pengamen di ruang publik. Buktinya, meskipun sudah kerap diertibkan dan diamankan, mereka tetap saja berkeliaran di

tengah masyarakat. Bahkan papan larangan pun kerap diru-sak42.

Kondisi saat ini, masyarakat mulai resah lantaran be-

berapa pengemis dan pengamen tersebut bersikap agresif dan sudah mengganggu masyarakat. Seperti para pengemis yang beroperasi di sejumlah lampu merah yang beraada di Jalan

Gatot Subroto dan Perintis Kemerderkaan, Cilacap. Mereka tak segan-segan mengumpat dengan kata-kata kasar bila para

pengendara yang berhenti dilampu merah tidak memberikan uang.

40 Mohammad Kemal Dermawan, Op.cit., h. 12. 41 Soedjono Dirdjosiswono, Op.cit, h. 15. 42 http://www.cilacapmedia.com/index.php/seputar-cilacap/, diakses 11

Februari 2017.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

37

Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Cilacap selama ini yakni dengan penertiban dan pembinaan.

Operasi penertiban yang dilakukan Satpol PP secara rutin pun hanya bersifat sementara. Sebab, meski kerap terjaring razia,

tak membuat mereka jera. Karena dua tiga hari pasca operasi, para pengemis kembali turun ke jalan.

“Pembinaan yang dilakukan tidak membuat mereka jera

dan beralih profesi. Bahkan sebagian dari mereka enggan mengikuti pelatihan ketrampilan dan memilih terjun sebagai pengemis,” kata Kepala Dinsosnakertrnas, Kosasih.

Selain razia rutin dan pembinaan, upaya memberantas PGOT juga dilakukan dengan memasang sejumlah papan

larangan memberi uang kepada para pengemis dan pengamen di sejumlah lampu merah di jalan-jalan utama yang kerap digunakan sebagai tempat mangkal. Akan tetapi, tidak berta-

han lama, karena para pengemis merusak papan larangan tersebut dengan menyobek maupun mencabut.

“Kita sudah bekerjasama dengan Kepolisian, dan seka-rang papan larangan memberi uang kepada pengemis dan pe-ngamen sudah dipasang lagi,” ungkap Kosasih.

Menurut Kosasih, kondisi PGOT di wilayah Kabupaten Cilacap sulit dikendalikan. Belum lagi, lanjut dia, kemungkin-an adanya eksodus PGOT dari wilayah Banyumas setelah di-

berlakukannya Perda tentang gelandangan dan pengemis ini di Kabupaten Banyumas.

Selama ini hanya sebatas penertiban dan pembinaan saja. Belum ada payung hukum yang mengatur, sehingga ke-sulitan.

Selain itu, Kabupaten Cilacap juga belum memiliki panti rehabilitasi khusus bagi gelandangan, psikotis, maupun pe-ngemis. Hal ini dikarenakan orang terlantar pengemis dan

lainnya tidak hanya dikumpulkan saja lewat penjaringan. Pasalnya, terakhir hasil razia saat akan dikirimkan ke panti

sosial, kemudian ditolak. Penolakan ini, dikarenakan panti tersebut sudah penuh dan daya tampungnya terbatas. Sehingga harus antre.

Selain itu juga terkait dengan anggaran. Selama ini anggaran yang diberikan kepada dinas belum seimbang

dengan anggaran yang harus dikeluarkan untuk membiayai perawatan gelandangan yang masuk ke panti. Pada tahun 2017 hanya dianggarkan Rp 86 juta, bahkan masih memiliki

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

38

hutang di tahun 2016 sebanyak Rp 99 juta. Dalam satu tahun kemarin, ada sekitar 56 orang yang harus ditangani oleh dinas.

Dengan memiliki tempat penampungan sendiri, maka mereka akan ditampung, sebelum mereka diarahkan tempat

yang lebih spesifik. Misalnya psikotik sendiri, anak nakal sendiri.

Saat ini panti rehabilitasi atau panti sosial yang ada

merupakan milik dari provinsi maupun kementrian sosial. Belum ada tempat yang dimiliki oleh kabupaten sendiri. Nantinya, tempat ini akan dikelola oleh UPT Persinggahan yang

berada di bawah Dinsos. Karena itu, Dinsos akan segera merinci dan merencanakan usulan tempat tersebut.

Sementara itu, Satuan Polisi pamong Praja (Satpol PP) juga seringkali merazia dan membawa para gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di jalan. Dari data Satpol PP, ada

psikotis rumahan dan psikotsis jalanan.

Untuk psikotis rumahan, pada tahun 2012, tercatat

sebanyak 1.643 psikotis. Psikotis rumahan ini mereka yang ada di rumah akan tetapi penangananya belum tuntas. Sedangkan untuk psikotis jalanan, pada tahun 2015 tercatat

sebanyak 175 dan tahun 2016 sebanyak 111 orang.

Penanganan gelandangan dan pengemis ini juga didu-kung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cilacap.

Bahkan, Wakil Ketua MUI Cilacap, HM Mudasir mengusulkan, apabila ada anak-anak gelandangan dan yang mengemis bisa

dibawa ke pondok pesantren dibawah naungan MUI43.

-- --

43 http://satelitnews.co/diakses 16 Februari 2017

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

39

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT

Persoalan mengenai gelandangan dan pengemis nampaknya

tidak lagi menjadi diskursus sosial-ekonomi semata, melainkan sudah berkembang menjadi persoalan hukum di banyak negara, termasuk di Indonesia. Lahirnya banyak regulasi dan peraturan

perundang-undangan mengenai gelandangan dan pengemis menjadi bukti bahwa keberadaan mereka membutuhkan penanganan serius karena seringkali bersinggungan dengan

kepentingan masyarakat lain yang tidak sejalan. Pembiaran secara hukum terhadap keberadaan mereka bisa menimbulkan banyak

gesekan di masyarakat, yang dalam kondisi tertentu, bahkan bisa berujung pada terjadinya, konflik, disharmoni dan ketidaknyamanan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan amanah

konstitusi yang menjamin terselenggaranya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Di beberapa daerah di Indonesia, keberadaan gelandangan dan pengemis sudah diagggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Karena itu, untuk meminimalkan terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan di masyarakat, pemerintah daerah setempat menyusun regulasi yang mengatur agar gelandangan dan pengemis tidak berkembang, dan bahkan menjadi tidak ada sama sekali. Pola

pengaturan yang diterapkan umumnya bersifat preventif, repressif, dan rehabilitativ. Ketiganya dicobalaksanakan secara simultan

dengan harapan persoalan gelandangan dan pengemis bisa tertangani dengan baik di masing-masing daerah.

Kehadiran Raperda Penanggulangan Gelandangan dan

Pengemis di Kabupaten Cilacap adalah salah satu bentuk ikhtiar konstitusi yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Cilacap untuk menekan terjadinya lonjakan angka gelandangan dan pengemis.

Bahkan dalam kondisi yang paling ideal, keberadaan raperda ini nantinya bisa mewujudkan Kabupaten Cilacap yang bebas dari

gelandangan dan pengemis. Sebuah harapan yang lahir tidak hanya dari keinginan masyarakat Cilacap, tetapi memang menjadi bagian dari amanah perundang-undangan di Indonesia yang

menghendaki agar persoalan mengenai gelandangan dan pengemis bisa segara ditanggulangi.

Dari sisi perundang-undangan, keberadaan Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis ini tentu tidak berdiri sendiri. Di Indonesia, ada beberapa regulasi lain yang juga

mengatur masalah gelandangan dan mengemis. Bahkan, keberadaan peraturan-peraturan tersebut menjadi payung hukum

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

40

dan sekaligus pintu masuk lahirnya Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Cilacap. Beberapa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan raperda ini adalah:

1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial ini gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka Undang-Undang ini menekankan kegiatan

pokok yaitu penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, yang diprioritaskan untuk mereka yang memiliki kehidupan tidak layak secara kemanusiaan serta memiliki

permasalahan sosial, seperti: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketimpangan sosial, penyimpangan

perilaku, korban bencana, dan atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) UU RI No. 11 Tahun 2009 yang berbunyi:

2) “Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan

dan memiliki kriteria masalah sosial:

a. kemiskinan;

b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan;

e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.”

Berdasarkan ayat dan pasal ini, gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang

mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis.

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan

sosial meliputi:

a. Rehabilitasi sosial, yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

41

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat;

b. Jaminan sosial, yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan

dasar hidupnya yang layak;

c. Pemberdayaan sosial, yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah

sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;

d. Perlindungan sosial, yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan

kerentanan sosial.

Keempat hal di atas, nampaknya relevan dan terkait erat dengan upaya penenggulangan gelandangan dan pengemis.

Hanya saja perioritas pemerintah untuk saat ini baru pada lingkup rehabilitas sosial terhadap gelandangan dan pengemis. Terlebih bagi para gelandangan dan pengemis yang terjaring

razia oleh petugas/instansi terkait.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat

maupun panti sosial. Kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam bentuk:

a. Motivasi dan diagnosis psikososial;

b. Perawatan dan pengasuhan; c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;

d. Bimbingan mental spiritual; e. Bimbingan fisik; f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;

g. Pelayanan aksesibilitas; h. Bantuan dan asistensi sosial;

i. Bimbingan resosianlisasi; j. Bimbingan lanjut; dan atau k. Rujukan.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang RI No. 11 Tahun

2009. Dalam PP ini, terutama pada Pasal 6 huruf (e) dan (f) ditegaskan bahwa gelandangan dan pengemis harus

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

42

mendapatkan rehabilitasi sosial, sebagai bagian dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat

Indonesia. Rehabilitasi sosial bagi gelandangan dan pengemis dimaksudkan untuk mengembalikan keberfungsian mereka

secara fisik, mental, dan sosial. Tidak hanya itu, rehabilitasi sosial juga diorientasikan pada upaya memberi bekal skill dan ketrampilan bagi gelandangan dan pengemis.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 juga disebutknan bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga,

masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran, dan

bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan, pemberian semangat, pujian, dan

atau penghargaan agar seseorang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah

berupa tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial.

Adapun Pasal 7 PP No. 39 Tahun 2012 menyebutkan

bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; perawatan dan pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan

kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan fisik; bimbingan sosial dan konseling psikosional; pelayanan

aksesibilitas; bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan atau rujukan.

Berdasarkan beberapa pasal dalam PP No. 39 Tahun

2012 tersebut di atas, maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya anjuran maupun ajakan sampai yang

sifatnya dipaksakan agar gelandangan dan pengemis tersebut bersedia melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan

rehabilitasi sosial tentu diharapkan gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelandang dan mengemis

tersebut.

3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Pasal 58 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

43

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11 Tahun 2009 masih

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 ini.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan dasar atau

pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis. Hal ini karena keberlakuan PP No 31 tahun 1980 belum ada pembatalan serta

tidak adanya pertentangan dengan Undang-Undang RI No. 11 tahun 2009.

Berdasarkan PP No. 31 Tahun 1980, perilaku menggelandang dan/ atau mengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar ini pula, Pemerintah, melalui PP No 31 tahun 1980 mengeluarkan

regulasi yang berupaya menanggulangi keberadaan gelandangan dan pengemii di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut meliputi: upaya preventif, represif dan

rehabilitasi.

a. Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang

dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang

diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

Berdasarkan Pasal 6 PP No. 31 tahun 1980,

disebutkan bahwa upaya preventif yang bisa dilakukan meliputi: penyuluhan dan bimbingan sosial, latihan,

pendidikan, pemberian bantuan, perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak

yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

1) Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau

keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

2) Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada

umumnya;

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

44

3) Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan

telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

b. Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada

seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Upaya represif

ini meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan pelimpahan.

Pada pasal 11 PP No. 31 Tahun 1980 disebutkan

bahwa gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk menetapkan kualifikasi para

gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:

1) Dilepaskan dengan syarat; 2) Dimasukkan dalam Panti Sosial; 3) Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung

halamannya; 4) Diserahkan ke Pengadilan;

5) Diberikan pelayanan kesehatan.

c. Upaya rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,

penyaluran dan tindak lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki

kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan melalui Panti

Sosial.

Usaha penampungan tersebut di atas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan dan pengemis yang

dimaksukkan dalam Panti Sosial. Seleksi dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial

yang akan diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi keadaan

yang produktif. Dalam melaksanakan usaha penyantunan tersebut di atas para gelandangan dan pengemis diberikan

bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

45

tindak lanjut yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis. Usaha tindak lanjut

tersebut di atas dilakukan dengan:

1) Meningkatkan kesadaran berswadaya;

2) Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;

3) Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Selain upaya-upaya penanggulangan dengan mengadopsi aturan dan petunjuk, baik dalam UU No. 11 Tahun 2009

tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial,

maupun Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis sebagaimana disebutkan di atas, upaya penanggulangan atau penanganan

masalah gelandangan dan pengemis juga bisa dilakukan dengan upaya penal, yaitu dengan menerapkan atau

menjatuhkan sanksi pidana bagi gelandangan dan pengemis sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dijelaskan bahwa tindak pidana bisa dibedakan menjadi: tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.

Berdasarkan teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, terdapat dua pandangan

mengenai kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu pandangan yang bersifat

kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.

a. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa: Kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang

bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undangundang atau tidak,

jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misalnya: pembunuhan, pencurian.

Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana,

karena undang-undang menyebutkan sebagai tindak pidana, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan hukuman pidana.

b. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

46

kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan. Larangan untuk mengemis atau menggelandang

diatur secara jelas dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:

1) Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan

selama-lamanya enam minggu;

2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam

dengan kurungan paling lama tiga bulan.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan

sebagai berikut:

1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan

pidana kurungan paling lama tiga bulan;

2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau

lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Ketentuan KUHP tersebut di atas menegaskan kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan dan

pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum. Ini

berarti tidak semua gelandangan dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya gelandangan dan pengemis yang terbukti atau tertangkap basah

melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 26 Tahun 2003

tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan

Peraturan Daerah (Perda) ini sebenarnya tidak mengatur

masalah gelandangan dan pengemis secara langsung. Hanya saja dalam salah satu pasal, yaitu pasal (8), disebutkan bahwa “setiap orang dilarang menggunakan tepi-tepi jalan umum,

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

47

trotoar, emperan (depan) toko, pasar atau bangunan umum, kolong jembatan, taman-taman dan areal penghijauan sebagai

tempat menginap.” Berdasarkan ketentuan ini, maka keberadaan gelandangan dan pengemis yang umumnya

menempati tempat-tempat sebagaimana dimaksud oleh pasal 8 tersebut bisa diteribkan atau dikenakan sanksi.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 tahun 2016

tentang Penyelenggaraan perlindungan anak

Dalam praktiknya, gelandangan dan pengemis tidak jarang memanfaatkan anak sebagai media menarik simpati dari

para pemberi sedekah. Hal ini tentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan perlindungan anak, pasal 13, disebutkan bahwa “setiap anak selama dalam pengasuhan

orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan;

f. perlakuan salah lainnya.”

Berdasarkan pasal ini, praktik menggelandang dan

mengemis yang memanfaatkan anak sebagai media menarik simpati bisa dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak. Bahkan anak-anak yang diajak serta menggelandang dan

mengemis wangat rawan terhadap perilaku kekerasan dan penganiayaan. Hal ini jelas dilarang berdasarkan ketentuan Perda tersebut.

-- --

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

48

BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. KAJIAN FILOSOFIS

Dalam kehidupan bernegara, bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yaitu sistem demokrasi Pancasila. M. Budiarjo mengatakan bahwa istilah demokrasi menurut

asal katanya berarti “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people” Kata pemerintah daerah dari perkataan Inggris government dan Perancis gouverment, yang kedua-duanya

berasal dari perkataan Latin gubernaculums yang artinya kemudi. Pemerintah merupakan nama subyek yang berdiri

sendiri. Sebagai subyek pemerintah melakukan tugas dan kegiatan. Untuk menunjukkan adanya subyek tertentu maka di belakang kata pemerintah ada kata sambungannya misalnya

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sebagainya. Bertolak dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa pemerintah daerah adalah pemegang kemudi dalam pelaksaanaan kegiatan pemerintahan di daerah. Penerapan desentralisasi yang telah melahirkan daerah-daerah otonom

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri 44.

Peraturan daerah sebagai suatu bentuk kebijakan publik akan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat jika

memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis yang baik. Landasan filosofis setiap peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini merujuk pada recht idée yang tercantum

dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945 (Perubahan ke-1, 2, 3 dan 4), Alinea ke-4. Inti landasan filosofis adalah jika landasan peraturan yang digunakan

memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar (logis), baik dan adil. Menemukan nilai filosofis berarti melakukan

pengkajian secara mendalam dalam rangka mencari hakekat sesuatu hal dengan menggunakan nalar sehat.

Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik

tidaklah berisi cetusan pikiran atau pendapat dari pejabat negara yang mewaikli rakyat, akan tetapi pendapat atau opini

publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk

44

Disadur dari Naskah Akademik Perlindungan Terumbu Karang di Kabupaten Belitung.

23 September 2010.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

49

tercermin (terwujud) di dalam kebijakan-kebijakan publik. Setiap kebijakan publik harus selalu berorientasi kepada

kepentingan publik (public interest). Menurut M. Oosting sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono 45, dalam suatu

negara demokrasi, negara dapat dipandang sebagai penyalur gagasan sosial mengenai keadilan kepada para warganya dan mengungkapkan hasil gagasan semacam itu dalam undang-

undangnya, atau dengan perkataaan lain, proses kegiatan negara harus juga merupakan suautu proses dimana semua warganya dapat mengambil bagian dan memberikan

sumbangannya dengan leluasa.

Dasan filosofis Raperda tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Raperda ini mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita

hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pancasila dan Alinea kedua Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut sejalan

dengan nilai-nilai umum dan komitmen dari Raperda tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, yang bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial.

Negara melalui Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah,

dan berkelanjutan. Praktik Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis didasari oleh kerangka nilai yaitu nilai-nilai,

asas-asas, prinsip-prinsip, standar-standar perilaku yang diangkat dari nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan pandangan hidup serta nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya bangsa

Indonesia dimana peraturan penanggulangan ini dilaksanakan.

45

Bambang Sunggono.1994.Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Grafika.

Hal. 89

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

50

Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut, yang relevan dan penting

diperhatikan dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial, diperuntukkan kepada

gelandangan dan pengemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi terkait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nantinya diharapkan dapat memulihkan dan

mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

Bagi Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Pancasila adalah sumber nilai yang menjadi

falsafah hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam Raperda ini mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima

kehendak yakni untuk melaksanakan kelima sila dari Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu

sangat kuat dan tidak tergoyahkan lagi, sehingga disepakati dan dicantuman didalam setiap peraturan perundangan-undangan yang dibuat. Pancasila adalah dasar dari semua

urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan dan menjadi pedoman, penuntun sikap dan tingkah laku manusia Indonesia didalam urusan-urusan

tersebut.

Pada sila Ketuhahan Yang Maha Esa diwujudkan dalam

kehidupan beragama, memberikan landasan yang penting untuk membentuk kehidupan beragama dan Keyakinan bernegara melaksanakan. Ajaran-ajaran agama yang sangat

luhur merupakan factor kunci kesuksesan dalam membentuk system adalah kenegaraan di Indonesia. Sebagai contoh ajaran agama tentang Pengemis dan Gelandangan bahwa mengemis

itu akan menjatuhkan wibawa, harkat kemanusiaannya. Manusia yang dilandasi akal pikiran harus mengembangkan

potensi yang ada dalam dirinya untuk berkarya, menghasilkan barang baru, meskipun hasil dari usaha tersebut belum tentu untuk memenuhi kebutuhannya.

Manusia harus yakin bahwa besar kecilnya rizki yang diperoleh merupakan ketentuan Tuhan yang maha esa, dan

disitulah letak keadilan Tuhan. Jika semua orang kaya raya siapa yang mau bekerja, dan jika semua orang miskin lantas pada lapangan kerja mana atau berapa produktifitas dan

kemampuan untuk menghasilkan yang memberikan kehidupan yang layak. Manusia harus berusaha agar menghindarkan diri dari rasa pasrah menyerah dan kemudian

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

51

mengharapkan belas kasihan orang lain dengan jalan mengemis maupun gelandangan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah sifat yang dimiliki setiap manusia.

Manusia pada dasarnya adalah sama dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Segala perbedaan yang Nampak tidak boleh dijadikan alas an untuk

bertentangan dengan nilai- nilai kemanusiaan tersebut, termasuk perbedaan secara ekonomi maupun kemampuan lainnya. Pada dasarnya Raperda Peanggulangan Gelandangan

dan Pengemis ini menjunjung tinggi persamaan derajat manusia.

Salah satu faktor utama peri kemanusiaan adalah sikap peduli dan tanggungjawab terhadap keadaan sebagian masyarakat yang kurang mampu, untuk ditanggulangi dari

mulai cara-cara prefentif sampai represif, Cara-cara kepedulian dan tanggung jawab terhadap para gelandangan

dan pengemis ini akan berdampak positip akan menyuburkan sikap berperikemanusiaan seperti menjunjung tinggi persamaan kewajiban asasi setiap manusia tanpa melihat

apapun perbedaannya.

Tidak ada satu manusiapun yang mau diperlakukan dengan tidak adil. Didalam hubungan antar manusia sering

terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan permasalahan. Dan nilai keadilan merupakan poin utama yang digunakan

dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dengan memegang prinsip adil tersebut maka hubungan antar manusia akan harmonis sesuai dengan yang seharusnya.

Dengan prinsip keadilan maka dapat dikembangkan prinsip-prinsip lain antara lain tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, menghargai hak orang lain, menjaga

keseimbangan antara hak dan kewajiban, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, tidak menggunakan fasilitas

Negara untuk kepentingan pribadi, dan lain-lain.

Beradab menunjuk kepada tingkatan kemajuan kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun secara

individual. Beradab erat kaitannya dengan aturan-aturan hidup, budi pekerti, tata karma, sopan santun, adat istiadat,

kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Semua aturan tersebut untuk menjaga agar manusia tetap beradab dan menghindari kezaliman. Adab diperlukan agar

manusia bisa meletakkan diri pada tempatb yang sesuai. Sesuatu tidak pada tempatnya akan cenderung menyebabkan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

52

ketidaksadaran, kebodohan, dan kerusakan pada system kemasyarakatan.

Persatuan yang semakin kuat akan memberikan efek sinergi yang semakin besar, sehingga sebesar apapun

permasalahan yang dihadapi akan jauh lebih mudah untuk diselesaikan. Hal ini telah disadari bangsa Indonesia sejak dahulu kala, dan diwujudkan dalam bentuk gotong royong.

Dengan kata lain, gotong royong adalah bentuk kesadaran bersinergi dari bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika adalah hakikat dari bangsa Indoensia, sehingga tidak perlu dipecah

kembali, karena perpecahan akan menimbulkan mudharat yang lebihy besar dibandingkan manfaat. Persatuan Indonesia

adalah proses yang terus menerus dilakukan di Indonesia.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah

identik dengan demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kerakyatan atau demokrasi diwarnai oleh watak

asli bangsa Indonesia yakni kekeluargaan, gotong royong, tenggang rasa, tepa selira, santun, penuh kerukunan, tolong menolong dalam kebaikan, dan lain-lain. Dipimpin

menyiratkan adanya pemimpin, yang berarti dua, pertama, bersifat semangat, kedua, berupa manusia pemimpin. Semangat dimaksud adalah hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Sedangkan manusia pemimpin adalah orang yang diliputi semangat dan mampu menjadi yang

terdepan didalam pelaksanaannya. Seorang pemimpin sebaiknya adalah yang peduli terhadap nasib rakyatnya, baik rakyat yang berada maupun yang tidak berada. Pembentukan

Raperda ini merupakan perhatian yang sangat besar dari Pemimpin untuk seluruh masyarakatnya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan

harus menjadi syarat dan tolok ukur keberhasilan dari seluruh produk kenegaraan. Sosial bukan berate faham sosialisme

melainkan berarti rakyat banyak. Keadilan sosial berarti suatu hirarkhi, bahwa keadilan untuk rakyat banyak dan lebih penting dibandingkan kedilan untuk kelompok tertentu.

Seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa keadilan sosial berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dimanapun tanpa terkecuali.

Tidak boleh ada diskriminasi keadilan terhadap siapapun, terhadap kelompok manapun, juga terhadap minoritas. Diskriminasi akan memicu perpecahan dalam masyarakat,

yang bisa menggerus nilai-nilai luhur yang dimiliki rakyat Indonesia sejak dahulu.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

53

Keyakinan bangsa Indonesia terhadap Pancasila dalam sejarahnya telah menjadi dasar dari penyelenggara Negara

untuk merumuskan Ekaprasetya Pancakarsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengandung

petunjuk-petunjuk nyata dan jelas tentang pengamalan kelima sila Pancasila, yang tersurat dalam 45 butir-butirnya. Ekaprasetya Pancakarsa adalah pedoman, penuntun sikap dan

tingkah laku manusia Indonesia didalam menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Pedoman tersebut bersifat manusiawi serta merupakan

pedoman yang mungkin dilaksanakan oleh manusia biasa. Dalam kaitan ini manusia ditempatkan didalam batas

kemampuan dan kelayakan manusia. Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik

tolak usaha untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, serta manusia dengan lingkungan

hidupnya. Adapun manusia yang dipahami disini bukanlah manusia yang luar biasa, tetapi manusia yang memiliki kekuatan yang disertai dengan kelemahannya, manusia yang

memiliki kemampuan yang disertai dengan kelemahannya, manusia yang memiliki kemampuan yang disertai dengan keterbatasannya, manusia yang mempunyai sifat yang baik

dan sifat yang kurang baik.

Ekaprasetya Pancakarsa memandang manusia sesuai

dengan kodratnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk pribadi dan mahluk sosial. Manusia dilahirkan dengan susunan tubuh yang dilengkapi dengan daya pikir dan kesadarannya, yang

dalam perkembangannya hanya akan mempunyai arti sebaik-baiknya apabila ia hidup bersama manusia lainnya didalam masyarakat. Dalam kaitan ini relasi kemanusiaan menjadi titik

sentral bagi perkembangan manusia. Relasi yang timbal balik dan seimbang antara manusia dan masyarakat merupakan

landasan falsafah yang memberi corak dan warna dasar kehidupan masyarakat serta diyakini oleh pekerja sosial Indonesia.

Pancasila yang bulat dan utuh memberi keyakinan kepada pekerja sosial dan seluruh bangsa Indonesia bahwa

kebahagiaan manusia akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam kehidupan manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia

dengan Tuhannya, dengan manusia lain, dengan masyarakat, dengan lingkungan alam dan dan dalam hubungan dengan seluruh bangsa. Dalam berbagai hubungan ini, manusia

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

54

dibentuk menjadi manusia yang berkepribadian, yang mampu menempatkan diri secara tepat dan benar. Dengan kata lain

mampu mengendalikan diri.

Berkaitan dengan HAM dapat dikatakan bahwa

Pancasila telah mengandung pengakuan dan penghargaan terhadap HAM, bahkan kelahirannya 3 tahun lebih cepat daripada kelahiran DUHAM. Hak-hak asasi pribadi

atau personal rights terkandung dalam sila pertama dan kedua dari Pancasila, yang lebih lanjut dijabarkan didalam pasal-

pasal UUD’45. Pengakuan dan penghargaan hak-hak asasi pribadi terlihat pula didalam butir-butir P4 yang merupakan penjabaran dari sila Ketuhanan yang Maha Esa, seperti agama

dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan YME yang dipercayai dan diyakininya (butir 5); mengembangkan

sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing

(butir 6); tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME kepada orang lain (butir 7).

Dalam penjabaran sila kemanusiaan yang adil dan

beradab, pengakuan dan penghargaan hak-hak asasi pribadi terlihat dalam butir-butir P4, seperti mengakui dan

memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME (butir 1); mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira (butir 4);

dan mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain (butir 5).

Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, terdapat

dalam sila kelima Pancasila. Pengakuan dan penghargaan hak asasi tersebut penjabarannya terlihat didalam butir-butir P4

berikut ini : mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekekluargaan dan kegotongroyongan (butir 1), ini merupakan nilai dasar dalam

sistem perekonomian Indonesia; tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang

lain (butir 6); tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah (butir 7); tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan

dengan atau merugikan kepentingan umum (butir 8); dan suka bekerja keras (butir 9).

Hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau right legal equality, terdapat dalam sila kedua Pancasila. Pengakuan dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

55

penghargaan hak asasi tersebut tercermin dalam butir-butir P4 sebagai berikut : mengakui persamaan derajat, persamaan hak

dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,

kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya (butir 2); dan berani membela kebenaran dan keadilan (butir 8).

Hak-hak asasi politik atau political rights, terdapat

dalam sila keempat Pancasila. Cerminan pengakuan dan penghargaan terdahap hak asasi tersebut dapat dilihat pada

butir-butir P4 berikut ini : setiap warga negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama (butir 1);

mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama (butir 3); menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil

musyawarah (butir 5); dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan

musyawarah (butir 6); memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan (butir 10).

Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and cultural rights, terdapat dalam sila kedua dan ketiga Pancasila.

Cerminan pengakuan dan penghargaan terhadap hak tersebut yang terkandung dalam butir-butir P4 sebagai penjabaran sila kedua Pancasila adalah : mengembangkan sikap saling

mencintai sesama manusia (butir 3); mengembangkan sikap tenggangrasa dan tepa selira (butir 4); menjunjung tinggi nilai-

nilai kemanusiaan (butir 6); gemar melakukan kegiatan kemanusiaan (butir 7).

Penjabaran butir-butir P4 dari sila persatuan Insonesia

yang mencerminkan hak sosial dan kebudayaan diantaranya : mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa

(butir 3); mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia (butir 4); memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial (butir 5); mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika (butir 6); dan memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa (butir 7).

Uraian tersebut diatas berarti bahwa Pancasila seharusnya menjadi pedoman sikap serta perilaku dalam

pembentukan dan pelaksanaan Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

56

mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan

kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Kajian Sosiologis

Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

disusun dengan memperhatikan landasan sosiologis yang merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan adanya berbagai aspek kebutuhan masyarakat yang

menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Berdasarkan Permensos No.08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandan Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang dimaksud dengan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-

minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Mengemis/meminta-minta adalah suatu kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang karena membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal atau hal lainnya, bahkan

jabatan atau pekerjaan dari orang yang mereka temui atau dariorang yang memiliki pengaruh. Kegiatan ini dilakukan karena mereka tidak dapat memenuhi apa yang mereka

butuhkan, entah itu karena keterbatasan pengetahuan, fisik, keterampilan, informasi, atau

pun hal lainnya. Tetapi, yang dimaksud dengan mengemis/meminta-minta adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengharapkan sedikit belas kasihan orang ditempat-

tempat umum, baik itu uang recehan ataupun sedikit makanan untuk mengganjal perut mereka.

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam

keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat

tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-

minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Gelandangan

berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana).

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

57

Muthalib dan Sudjarwo memberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau

dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola

hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Selain itu, gelandangan juga dapat digambarkan dari mata pencahariannya, seperti; pemulung, peminta-minta,

tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan pengamen.

Dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah,

pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, beberapa ahli mengusulkan agar dibedakan tiga

kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil

dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin

yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis.

Sementara itu Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan

dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak

kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi,

pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.

Selanjutnya Hall dan Midgley mengemukakan tentang kemiskinan yang sering melekat terhadap Gelandangan dan

Pengemis, menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau

kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat.

Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial.

Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan

seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan materialnya. Dalam proses dinamikanya,

budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab

dan sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

58

penyebab sekaligus dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler.

Sementara itu, Harris mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis

(daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung),

teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers mengemukakan bahwa

sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah

pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu

rantai kemiskinan.

Faktor Penyebab Gelandangan dan Pengemis dari

beberapa hasil pengamatan terhadap gelandangan, dapat disebutkan bahwa penyebab munculnya gelandangan di kota kota besar dibedakan kedalam faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern meliputi; faktor malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik, dan adanya cacat psikis (jiwa). Sedangkan faktor ekstern terdiri dari; faktor ekonomi,

geografi, sosial, pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama.

Faktor ekstern ini adalah faktor yang utama dan rentan untuk melahirkan gelandangan, selanjutnya dapat dijelaskan dibawah ini: a) Faktor ekonomi; kurangnya lapangan

pekerjaan, kemiskinan dan akibat rendahnya pendapatan perkapita serta tidak tercukupinya kebutuhan hidup, b) Faktor geografi; daerah asal yang minus dan tandus sehingga

tidak memungkinkan pengolahan tanahny, c) Faktor sosial; arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya

partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan social, d) Faktor pendidikan; relative rendahnya pendidikan meyebabkan kurangnya bekal dan keterampilan untuk hidup

layak, kurangnya pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat, e) Faktor psikologis; adanya perpecahan atau

keretakan dalam keluarga dan keinginan melupakan pengalaman atau kejadian masa lampau yang meyedihkan serta kurangnya gairah kerja, f) Faktor lingkungan; pada

gelandangan yang telah berkeluarga atau mempunyai anak, secara tidak langsung sudah Nampak adanya pembibitan gelandanagn, g) Faktor agama; kurangnya dasar dasar

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

59

ajaran agama sehingga meyebabkan tipisnya iman, mebuat mereka tidak tahan mengahadapi cobaan dan tidak mau

berusaha untuk keluar dari cobaan itu.

Sedangkan menurut Buku Standar Pelayanan Minimal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, ada pula beberapa hal yang mempengaruhi seseorang menjadi Gelandangan dan Pengemis, yaitu: a). Tingginya Tingkat

Kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan

kehidupan pribadi maupun kehidupan keluarga secara layak. b). Rendahnya Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan yang

rendah dapat menjadi kendala seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang layak. c). Kurangnya keterampilan Kerja Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak

dapat memenuhi tuntutan pasar kerja.

Ada beberapa Faktor Sosial Budaya yang mempengaruhi

seseorang menjadi pengemis, yaitu:1. Rendahnya Harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta. 2. Sikap pasrah pada nasib.

Mereka menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan. 3. Kebebasan dan kesenangan

hidup mengemis.

Ada suatu kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar

gelandangan dan pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis

menjadi salah satu mata pencaharian (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI, 2005:7-8).

Ada pula beberapa penyimpangan prilaku yang

ditimbulkan oleh fenomena gelandangan dibawah ini adalah a) Melakukan perbuatan miras, misalnya alkoholisme dan

narkoba serta sering mabuk, b) Melakukan tindakan kriminal, misalnya penodongan, penjambretan, pencurian, pencopetan, pemalakan dan perkelahian, c) Melakukan

tindakan asusia, misalnya pemerkosaan, pencabukan dan bahkan bagi yang wanita terjerumus menjadi WTS,

d) Melakukan perbuatan mengemis dan pemulung.

Adapun usaha yang perlu dilakukan adalah: a) Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

60

pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya: a).

pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit

penghidupannya, b). meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada

umumnya, c). pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun

telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir,

baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha

rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan

lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga negara

Republik Indonesia

Usaha penanggulangan di atas termasuk ke dalam

strategi-strategi yang dikemukakan oleh Midgley dalam ide pembangunan sosial yang membagi ideologi pembangunan sosial ke dalam tiga jenis, yaitu; 1. Strategi individualis,

berfokus kepada aktualisasi diri dan perbaikan diri sendiri 2. Strategi collectivist, berfokus pada pendekatan perkembangan dalam organisasi dan pendekatan institusional

3. Strategi populasi perencanaan berfokus kepada aktivitas skala kecil di dalam masyarakat local. Usaha- usaha yang

digunakan untuk menanggulangi pengemis harus saling mendukung satu sama lainnya. Dengan demikian, hasil yang dicapai akan lebih maksimal.

C. Kajian Yuridis

Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis harus memperhatikan landasan yuridis yakni pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Raperda ini disusun

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

61

telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur. Beberapa

persoalan hukum yang paling menonjol dalam Raperda ini adalah bagaimana mengharmoniskan larangan mengemis dan gelandangan di satu sisi, dan tindakan rehabilitasi dan

kesejahteraan sosial di sisi yang lain.

Penanggulangan masalah Gelandangan dan Pengemis menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana disebutkan

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Sementara itu pasal 34 ayat 2

menegaskan “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan”. Berdasarkan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pada bagian pertimbangan

menyatakan:

a. Bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.

b. Bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada

gelandangan dan pengemis agar mampu mencapai taraf hidup kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai Warga Negara Republik Indonesia.

Berkaitan dengan larangan Mengemis, Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Tindak Pidana

dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana pelanggaran

dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ini terdapat dua

pandangan mengenai kriteria pembedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat

kuantitatif.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

62

Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa : Kejahatan adalah “rechtsdelict” yaitu perbuatan yang

bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak, jika

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misalnya : pembunuhan, pencurian.

Pelanggaran adalah “wetsdelict” yaitu perbuatan yang

oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena Undang-undang menyebutkan sebagai delik, jadi karena ada Undang-undang mengancamnya dengan pidana, misalnya:

memparkir mobil disebelah kanan jalan.

Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu “hanya

meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan”. Larangan untuk mengemis atau menggelandang

diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Buku ke-3 tentang Tindak Pidana

Pelanggaran.

Pasal 504 KUHP :

1. Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena

melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.

2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pasal 505 KUHP :

1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana

kurungan paling lama tiga bulan. 2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan

pidana kurungan paling lama enam bulan.

Telah dijelaskan pada kitab Undang-Undang Hukum

Pidana pasal 504 dan pasal 505 diatas bahwa pengemis dan gelandang dilarang beroperasi, bahkan dalam pasal-pasal tersebut menyatakan adanya sanksi bagi pelaku pengemis dan

gelandangan.

Demikian juga dalam peraturan pemerintah Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 disebutkan tentang penanganan gelandangan dan pengemis sebagai berikut :

Pasal 3 :

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

63

1. Kebijaksanaan dibidang penanggulangan gelandangan dan pengemis ditetapkan oleh Menteri berdasarkan

kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah. 2. Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh

sebuah badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.

Selanjutnya dalam Pasal 4 :

1. Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan

petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan diatas ini, maka dalam Raperda ini, Pemerintah daerah Cilacap berusaha

untuk menanggulangi Gelandangan dan Pengemis dengan dua cara yaitu dengan melarang aktifitas mengemis dan

gelandangan dan menawarkan upaya dan solusinya. Dalam Raperda Gelandangan dan Pengemis ada banyak program- program yang diberikan pemerintah dalam menangani permasa-

lahan Gelandangan dan Pengemis ini. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam membatasi Gelandangan dan Pengemis untuk berada di tempat-tempat umum juga merupakan salah satu

programnya.

Namun pada umumnya program ini tidak dapat

membuat efek jera terhadap para Gelandangan dan pengemis. Masyarakat menginginkan satu program yang benar-benar pro dengan rakyat dalam mengentaskan masalah ini, juga bagaimana untuk

dapatmengembangkan masyarakat miskin untuk dapat hidup sejahtera agar masalah Gelandangan dan Pengemis ini tidak berulang.

Berikut adalah beberapa program yang telah ada, antara

lain :

1. Panti, merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis

dengan menyediakan sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh beberapa keluarga.

2. Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) merupakan bentuk

penanganan Gelandangan dan Pengemis yang lebih mengedepankan sistim hidup bersama didalam lingkungan sosial

sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya. 3. Transit home, merupakan bentuk penanganan gelandangan dan

pengemis yang bersifat sementara sebelum mendapatkan

pemukiman tetap di tempat yang telah disediakan.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

64

4. Pemukiman, merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan tempat tinggal yang permanen di

lokasi tertentu. 5. Transmigrasi merupakan bentuk penanganan gelandangan dan

pengemis dengan menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar pulau Jawa. Dan beberapa program kebijakan pemerintah seperti larangan mengemis di

tempat umum, operasi Yustisi bagi orang-orang yang tidak memiliki KTP yang berpotensi menjadi Gelandangan dan Pengemis, dan program-program lainnya. Program lain adalah dalam

bentuk penguatan ekonomi keluarga dan peningkatan pendidikan.

-- --

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

65

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah Kunci Dalam Peraturan Daerah

Istilah-istilah yang terkait dengan peraturan ini menjadi penting untuk dirumuskan guna memberikan pengertian yang pasti dari berbagai istilah tersebut. Istilah-istilah yang berhu-

bungan dengan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis ini meliputi diantaranya: Daerah,

Bupati, Pemerintah Daerah, Petugas, Penanggulangan, Gelan-dangan, Gelandangan Psikotik, Pengemis, Pergelandangan, Pe-ngemisan, Tempat Umum, Permukiman, Pemeriksaan, Satuan

Polisi Pamong Praja, Usaha Preventif, Usaha Rehabilitatif, Usa-ha Represif, Tindakan Lanjutan, Larangan, Penyidik, Penyidik

Pegawai Negeri Sipil, Penyidikan, Pelayanan Sosial, dan Hak Asasi Manusia.

Adapun penjelasan istilah tehnis hukum di atas dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.

2. Bupati adalah Bupati Cilacap.

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah seba-gai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

4. Petugas yang berwenang yang selanjutnya disebut petugas adalah petugas yang berwenang menangani usaha-usaha pe-nanggulangan yang ditunjuk sesuai dengan peraturan

per-undang-undangan yang berlaku.

5. Penanggulangan adalah suatu proses tindakan untuk mengu-rangi dampak keberadaan gelandangan dan

pengemis serta aktifitas-aktifitasnya melalui usaha preventif, represif, rehabili-tatif, dan tindakan lanjutan.

6. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam ma-syarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengem-bara di tempat

umum.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

66

7. Gelandangan Psikotik adalah penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang di jalan-jalan umum,

mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau menggang-gu ketertiban dan/atau keamanan

umum.

8. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum

dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

9. Pergelandangan adalah suatu tindakan pengembaraan

yang dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan

tetap di wilayah tertentu, serta hidupnya berpindah-pindah di tempat umum.

10. Pengemisan adalah tindakan meminta-minta yang

dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang dengan berbagai alasan, cara dan alat untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

11. Tempat umum adalah suatu tempat yang umumnya terdapat banyak orang yang berkumpul untuk melakukan

suatu kegiat-an baik secara sementara maupun secara terus menerus dan baik membayar maupun tidak membayar.

12. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar ka-wasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan

maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan.

13. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang

dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pe-meriksaan untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.

14. Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disebut Satpol PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan

Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketente-raman masyarakat.

15. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang

meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan,

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

67

pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan

pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau kelu-arga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat meng-ganggu ketertiban dan kesejahteraan

pada umumnya;

c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para

gelan-dangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah permukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah

masyarakat.

16. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir

me-liputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pen-didikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah permukiman baru melalui

transmigrasi ma-upun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembi-naan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali

memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik

Indonesia.

17. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik me-lalui lembaga maupun bukan dengan maksud

menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

18. Tindakan lanjutan adalah proses pengembalian

gelandangan dan pengemis kepada keluarga, dan/atau masyarakat sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi

sosialnya dengan baik seba-gaimana masyarakat pada umumnya.

19. Larangan adalah segala upaya untuk tidak

memperbolehkan, menghalau, menghilangkan, menangkap, dan merazia pelaku tindakan melanggar

ketentuan dan norma umum di wilayah tertentu.

20. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pe-jabat atau Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

68

wewe-nang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyi-dikan.

21. Penyidik Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di

Ling-kungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pe-langgaran Peraturan Daerah.

22. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

23. Pelayanan sosial adalah proses terencana dan terstruktur yang bertujuan untuk memecahkan masalah serta meningkatkan keberfungsian sosial bagi individu,

keluarga, kelompok atau masyarakat yang dilakukan oleh Tenaga Profesional berdasar-kan ilmu pengetahuan,

metode, teknik dan nilai-nilai tertentu.

24. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Peme-rintah dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

B. Muatan Materi Peraturan Daerah

Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai landasan

hukum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan respon, tindakan, dan kebi-jakan dalam rangka menanggulangi gelandangan dan pengemis.

Peraturan daerah ini bertujuan: a. mencegah munculnya gelandangan dan pengemis;

b. melindungi masyarakat dari gangguan sosial dan keamanan dari pelaku dan aktifitas gelandangan dan pengemis;

c. memberdayakan gelandangan dan pengemis untuk mampu menjalani kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya secara

nor-mal. d. menciptakan ketertiban umum;

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

69

e. memberi mandat dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah melakukan tindakan dalam rangka menciptakan

suasana yang nyaman, aman, dan tertib di masyarakat; f. mendukung penegakan hukum secara maksimal

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan dan/atau perbuatan pergelandangan dan pengemisan; dan

g. menciptakan kehidupan masyarakat yang produktif, integratif, dan beradab.

Suatu peraturan dibentuk, termasuk Peraturan Daerah,

untuk memberikan pedoman bagi pengguna dalam melaksanakan suatu kegiatan tertentu, termasuk kegiatan

penanggulangan gelandangan dan pengemis. Dengan disahkanya Perda ini, maka Pemerintah Kabupaten Cilacap memiliki landasan yuridis dalam hal penanggulangan

gelandangan dan pengemis.

Peraturan Daerah ini memuat hal-hal pokok tentang

penanggulangan gelandangan dan pengemis

Oleh karena itu, secara substansi, ruang lingkup Peraturan daerah ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum

Bab II : Asas, Maksud, dan Tujuan

Bab III : Kriteria Gelandangan dan Pengemis

Bab IV : Usaha dan Sasaran Penanggulangan Gelanda-

ngan dan Pengemis

Bab V : Larangan

Bab VI : Pembinaan dan Pengawasan

Bab VII : Peranserta Masyarakat

Bab VIII : Sanksi Administrasi

Bab IX : Ketentuan Penyidikan

Bab X : Ketentuan Pidana

Bab XI : Pembiayaan

Bab XII : Ketentuan Lain

Bab XIII : Ketentuan Peralihan

Bab XIV : Ketentuan Penutup

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

70

Penanggulangan gelandangan dan pengemis berasaskan; kemanusiaan, keadilan, pemberdayaan, ketertiban umum,

perlindungan sosial, dan penegakkan hukum.

Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai landasan

hukum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan respon, tindakan, dan kebijakan dalam rangka menanggulangi gelandangan dan pengemis.

Peraturan Daerah ini bertujuan:

a. mencegah munculnya gelandangan dan pengemis;

b. melindungi masyarakat dari gangguan sosial dan

keamanan dari pelaku dan aktifitas gelandangan dan pengemis;

c. memberdayakan gelandangan dan pengemis untuk mampu menjalani kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya secara normal.

d. menciptakan ketertiban umum;

e. memberi mandat dan kewenangan kepada Pemerintah

Daerah melakukan tindakan dalam rangka menciptakan suasana yang nyaman, aman, dan tertib di masyarakat;

f. mendukung penegakan hukum secara maksimal

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan dan/atau perbuatan pergelandangan dan pengemisan; dan

g. menciptakan kehidupan masyarakat yang produktif, integratif, dan beradab.

Gelandangan terdiri dari gelandangan, yaitu mereka yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak memiliki

rumah dan/atau tempat tinggal yang pasti, tidak memiliki penghasilan yang tetap, penampilan fisik lusuh dan kotor, tidak memiliki keluarga dan/atau kerabat yang bertang-

gungjawab, dan tidak memiliki rencana hidup untuk dirinya dan keluarganya.

Selain itu, termasuk juga gelandangan adalah gelandangan psikotik, yaitu mereka yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), mengidap penyakit dan/atau

gangguan jiwa, bertempat tinggal di tempat umum dan berpindah-pindah, dan penampilan fisik lusuh dan kotor.

Sementara itu, pengemis adalah individu yang mata pencahariaannya bergantung belas kasihan orang lain,

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

71

berpakaian kumuh, kotor, dan/atau berbau tidak sedap, meminta-minta di tempat umum dan permukiman penduduk,

mengeksploitasi diri dan/atau sesama untuk menimbulkan rasa belas kasihan dari orang lain, dan penampilan fisik lusuh

dan kotor.

Usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis dilakukan dengan usaha preventif, represif, rehabilitatif, dan

tindakan lanjutan, dengan sasaran pelaku perseorangan dan/atau kelompok, keluarga, masyarakat, dan kelompok lain yang berkontribusi dan/atau mengorganisasi gelandangan dan

pengemis.

Usaha preventif dilakukan untuk mencegah munculnya

pelaku gelandangan dan pengemis baru dan/atau mencegah pelaku lama mengulang perbuatannya. Usaha preventif tersebut berupa pelayanan sosial yang dilakukan dalam

bentuk; pelatihan keterampilan, magang, dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan kualitas kesehatan,

peningkatan pendidikan, penyuluhan dan edukasi masyarakat, pemberian informasi di tempat umum, bimbingan social, pejangkauan, bantuan sosial, dan koordinasi antarpemerintah

daerah. Usaha preventif tersebut dilaksanakan oleh Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi.

Adapun peserta program usaha preventif diprioritaskan

kepada masyarakat atau keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dimana pelaksanaannya diatur

lebih lanjut melalui Peraturan Bupati.

Berikutnya, usaha represif dilakukan untuk mengurangi, menghalau, dan menghilangkan pelaku dan dampak

keberadaan gelandangan dan pengemis. Usaha represif tersebut dilaksanakan dengan cara; penertiban, razia, dan penampungan sementara. Pelaksanaan usaha represif tersebut

ditujukan kepada; gelandangan, pengemis, pelaku penggelandangan, dan pelaku pengemisan yang tinggal di

tempat-tempat umum, orang dengan gangguan jiwa yang berada di tempat umum, dan orang yang meminta-minta di tempat-tempat umum dan permukiman. Pelaksanaan usaha

represif tersebut dikoordinasikan oleh Satpol PP.

Adapun tata cara dan prosedur penertiban dan razia

gelandangan dan pengemis diatur oleh Peraturan Bupati.

Gelandangan, pengemis, pelaku penggelandangan dan pengemisan yang terjaring razia ditampung di tempat tinggal

sementara untuk diseleksi dan mengikuti assesmen bagi tindakan selanjutnya. Terkait dengan hal itu, Satpol PP dapat

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

72

melakukan penjangkauan kepada wilayah-wilayah pusat gelandangan dan pengemis untuk mengevakuasi dan

menyelamatkan gelandangan dan pengemis dari ancaman fisik dan mental.

Berikutnya usaha rehabilitatif dilakukan untuk mengembalikan gelandangan dan pengemis kepada fungsi sosial, dimana usaha ini terdiri dari rehabilitasi fisik dan

rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi fisik dilakukan melalui bentuk; layanan medis, layanan kesehatan, perawatan fisik, dan bimbingan

fisik, dan dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Daerah. Sementara itu, rehabilitasi sosial dilakukan dalam bentuk;

assesmen dan diagnosa sosial, bimbingan mental spiritual, bimbingan sosial dan konseling psikososial, dan pelatihan kerja dan kewirausahaan, yang kesemuanya dikoordinasikan

oleh Dinas Sosial.

Dalam hal gelandangan psikotik, dilakukan rehabilitasi

kejiwaan di rumah sakit jiwa atau pihak lain yang ditunjuk dan/atau bermitra dengan Pemerintah Daerah. Rehabilitasi kejiwaan tersebut dapat disertai rehabilitasi fisik. Setelah

mendapatkan rehabilitasi kejiwaan dan rehabilitasi fisik dilanjutkan rehabilitasi sosial.

Adapun tindakan lanjutan dilakukan untuk;

menghilangkan kemungkinan gelandangan dan pengemis mengulangi tindakan menggelandang dan mengemis, dan

mengantisipasi kegiatan pergelandangan dan pengemisan. Tidakan lanjutan tersebut diprioritaskan pada upaya resosialisasi, reintegrasi sosial, dan koordinasi antar

pemerintah daerah.

Tindakan lanjutan dilakukan melalui; pemulangan kepada keluarga; magang kerja; penyaluran kerja; fasilitasi

pendidikan; fasilitasi permodalan; dan koordinasi antar pemerintah daerah. Tindakan lanjutan bagi gelandangan dan

pengemis psikotik dilakukan setelah dipertemukan dengan keluarga sebagai pengampu.

Dalam hal gelandangan dan pengemis psikotik tidak

memiliki keluarga, Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan perlindungan sosial yang berkelanjutan.

-- --

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

73

BAB VI PENUTUP

Gelandangan dan pengemis adalah salah satu kelompok

yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perko-

taan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pe-

ngemis dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan

ketertiban umum seperti; kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah

masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial ditegaskan tujuan itu dapat dicapai apabila masyarakat dan negara dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyelu-

ruh dan merata. Kesejahteraan sosial itu sendiri dibatasi seba-gai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusi-

laan, dan ketentraman lahir dan batin. Ini memungkinkan se-tiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan

jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya.

Untuk itulah Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis disusun, yaitu untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajiban Pemerintah Daerah dalam melakukan Program Penanggu-

langan Gelandangan dan Pengemis. Secara lebih detail, penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah ini

diharapkan dapat memenuhi harapan:

1. Tersedianya regulasi yang dapat dijadikan pedoman / ru-jukan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap dalam upaya

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terstruk-tur, terencana dan komprehensif.

2. Menekan angka pertumbuhan gelandangan dan pengemis dan menekan angka pengangguran pada usia produktif de-ngan mengefektifkan upaya preventif, represif dan reha-

bilitatif yang terprogram dan terencana.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

74

3. Membangun kesadaran kolektif seluruh komponen masya-rakat untuk tidak memberi bantuan kepada mereka melalui

instrumen hukum berupa ancaman hukum pidana bagi masyarakat yang memberi bantuan kepada mereka atau

perbuatan mengkoordinir gelandangan dan pengemis.

4. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pemang-ku kepentingan (stakeholders), organisasi profesi, akademi-

si, swasta dan masyarakat dalam Penanggulangan Gelan-dangan dan Pengemis di Kabupaten Cilacap.

Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi Pemerintah Daerah dalam upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis menuju

masyarakat yang sehat, kuat dan mandiri dan tidak mengeksploitasi kemiskinan sebagai tameng profesi yang menistakaan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, Naskah

Akademik ini diharapkan memiliki kemanfaatan sebagai landasan, alasan, dan arahan dalam proses Penanggulangan Gelandangan

dan Pengemis di Kabupaten Cilacap.

-- --

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

75

DAFTAR PUSTAKA

Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, (Jakarta :

Rajawali)

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti)

Departemen Sosial RI, Masalah Sosial di Indonesia, (Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Pusat Penelitan Permasalahan Kesejahteraan Sosial, 2005)

Departemen Sosial RI, Standar Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial Gelandangan dan Pengemis, (2007)

Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia

Seputar Kehidupan Pengemis, (Jakarta : Titik Media

Publisher)

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, (Jakarta : Depsos RI)

Dyah Ratnasari, Peran Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Dalam Pembinaan Gelandangan dan Pengemis di Kota Banjar, STISIP Bina Putra Banjar.

Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill, 1992, Principles of Criminology, Eleventh

Edition, (Boston, United States of America : Rowman &

Littlefield Publishers)

Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi

Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, (Bandung :

PT Remaja Rosdakarya)

Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis,

(Jakarta : Penerbit Sabil)

J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and

Inequality, (Washington, D. C. : The World Bank)

Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty

Studies: The Ethnography of Power, Polities and impoverished People in The United States, (New York :

New York University Press)

Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja,

Ed. 1, Cet. 5, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

76

Maghfur Ahmad, “Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan-Pengemis (GEPENG)”, Jurnal Penelitian, Volume 7, Nomor

2 , Nopember 2010.

Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan

Kejahatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti)

P. Lynch, 2004, “Begging for Change: Homelessness and the Law”, Melbourne University Law Review: Vol 26, Melbourne.

Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap, (Jakarta : FSUI)

Parsudi Suparlan, Kemiskinan Perkotaan, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1995)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta : Balai

Pustaka)

Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan

Compassion, (Jakarta : Compassion International)

Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam

Usaha Penanggulangan Kedjahatan (Crime Prevention),

(Bandung : Alumni)

Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke

Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), (Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada)

Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco, (Minneapolis : University

Minnesota Press)

The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?,

(New York : Oxford University Press)

Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: Activist Ethnography in the Homeless Sheltering Industry, (Ontario-Canada : University of

Toronto Press)

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di

Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1986)

Zainal Abidin, Sangidun dan Alief Budiyono, “Penanganan Problema-tika Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar

(PGOT) Melalui Bimbingan dan Konseling Islami di Balai Rehabilitasi Sosial MERTANI Cilacap”, Jurnal Komunika,

Vol. 7 No. 2 Juli-Desember 2013

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

77

LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

78

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR ……. TAHUN 2017

TENTANG

PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP

Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan Kabupaten Cila-cap yang tertib, disiplin, dan berbudaya perlu meningkatkan suasana yang nyaman, tera-

tur, dan aman melalui regulasi yang menga-tur tentang pelaku dan kegiatan-kegiatan

yang dapat menimbulkan keresahan serta keluhan masyarakat;

b. bahwa perkembangan ekonomi, sosial, dan

budaya Kabupaten Cilacap memberi dampak laten berupa kegiatan ekonomi yang menda-sarkan pada faktor non ekonomi dan ber-

potensi merendahkan martabat kemanusiaan karena mengeksploitasi kemiskinan, kecacat-

an fisik, dan mental; c. bahwa dalam rangka menanggulangi dan

membatasi pelaku dan kegiatan-kegiatan

ekonomi yang mengeksploitasi kemiskinan, kecacatan fisik, dan mental, Kabupaten Cila-cap belum memiliki dasar hukum yang men-

jadi landasan pelaksanaannya; d. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana

dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Ne-gara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 ten-tang Pembentukan Daerah-daerah Kabupa-ten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ten-tang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

79

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-

nesia Nomor 3886); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ten-

tang Pemberantasan Tindak Pidana Perda-gangan Orang (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 ten-

tang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 12,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 4967);

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ten-

tang Pembentukan Peraturan Perundang-un-dangan (Lembaran Negara Republik Indone-

sia Tahun 2011 Nomor 53, Tambahan Lem-baran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

7. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ten-tang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Nega-

ra Republik Indonesia Nomor 5606); 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 5587), sebagaimana telah bebe-

rapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peru-

bahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indo-

nesia Tahun 1980 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3177);

10. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

80

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Un-dang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-

bentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 199); 11. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Cila-

cap Nomor 13 Tahun 1989 tentang Pembe-

rantasan Pelacuran, sebagaimana telah diu-bah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 23 Tahun 2003 tentang Peru-

bahan Pertama atas Peraturan Daerah Kabu-paten Tingkat II Cilacap Nomor 13 Tahun

1989 tentang Pemberantasan Pelacuran (Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 48 tanggal 1 Agustus 2003 Seri C Nomor 5);

12. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 26 Tahun 2003 tentang Ketertiban, Kebersih-

an, dan Keindahan (Lembaran Daerah Kabu-paten Cilacap Nomor 51 tanggal 1 Agustus 2003 Seri C Nomor 6);

13. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Per-lindungan Anak (Lembaran Daerah Kabupa-

ten Cilacap Tahun 2016 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor

132).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

BAB I

KETENTUAN UMUM

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

81

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.

2. Bupati adalah Bupati Cilacap. 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah seba-

gai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

4. Petugas yang berwenang yang selanjutnya disebut petugas adalah petugas yang berwenang menangani usaha-usaha pe-nanggulangan yang ditunjuk sesuai dengan peraturan per-

undang-undangan yang berlaku. 5. Penanggulangan adalah suatu proses tindakan untuk mengu-

rangi dampak keberadaan gelandangan dan pengemis serta aktifitas-aktifitasnya melalui usaha preventif, represif, rehabili-tatif, dan tindakan lanjutan.

6. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam ma-

syarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengem-bara di tempat umum.

7. Gelandangan Psikotik adalah penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang di jalan-jalan umum, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau menggang-

gu ketertiban dan/atau keamanan umum. 8. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan

dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

9. Pergelandangan adalah suatu tindakan pengembaraan yang dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap di

wilayah tertentu, serta hidupnya berpindah-pindah di tempat umum.

10. Pengemisan adalah tindakan meminta-minta yang dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang dengan berbagai alasan, cara dan alat untuk mengharapkan belas kasihan dari

orang lain. 11. Tempat umum adalah suatu tempat yang umumnya terdapat

banyak orang yang berkumpul untuk melakukan suatu kegiat-an baik secara sementara maupun secara terus menerus dan baik membayar maupun tidak membayar.

12. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar ka-wasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

82

atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

13. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan

secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pe-meriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang-undangan. 14. Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disebut Satpol PP

adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan

Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketente-raman masyarakat.

15. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai

pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau kelu-arga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat meng-ganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelan-dangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah

ditransmigrasikan ke daerah permukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

16. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir me-

liputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pen-didikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah permukiman baru melalui transmigrasi ma-

upun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembi-naan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan

pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia.

17. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik me-lalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan

pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

18. Tindakan lanjutan adalah proses pengembalian gelandangan

dan pengemis kepada keluarga, dan/atau masyarakat sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya dengan baik seba-gaimana masyarakat pada umumnya.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

83

19. Larangan adalah segala upaya untuk tidak memperbolehkan, menghalau, menghilangkan, menangkap, dan merazia pelaku

tindakan melanggar ketentuan dan norma umum di wilayah tertentu.

20. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pe-jabat atau Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas dan wewe-nang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyi-

dikan. 21. Penyidik Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disingkat PPNS

adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di Ling-

kungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pe-

langgaran Peraturan Daerah. 22. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan

tersangkanya. 23. Pelayanan sosial adalah proses terencana dan terstruktur yang

bertujuan untuk memecahkan masalah serta meningkatkan

keberfungsian sosial bagi individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang dilakukan oleh Tenaga Profesional berdasar-kan ilmu pengetahuan, metode, teknik dan nilai-nilai tertentu.

24. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Peme-rintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia.

BAB II ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pelarangan gelandangan dan pengemis berasaskan: a. kemanusiaan;

b. keadilan; c. pemberdayaan; d. ketertiban umum;

e. perlindungan sosial; dan f. penegakkan hukum.

Pasal 3

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

84

Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi

Pemerintah Daerah untuk melakukan respon, tindakan, dan kebi-jakan dalam rangka menanggulangi gelandangan dan pengemis.

Pasal 4

Peraturan daerah ini bertujuan: a. mencegah munculnya gelandangan dan pengemis; b. melindungi masyarakat dari gangguan sosial dan keamanan

dari pelaku dan aktifitas gelandangan dan pengemis; c. memberdayakan gelandangan dan pengemis untuk mampu

menjalani kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya secara nor-mal.

d. menciptakan ketertiban umum;

e. memberi mandat dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah melakukan tindakan dalam rangka menciptakan suasana yang

nyaman, aman, dan tertib di masyarakat; f. mendukung penegakan hukum secara maksimal berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan kegiatan dan/atau perbuatan pergelandangan dan pengemisan; dan

g. menciptakan kehidupan masyarakat yang produktif, integratif,

dan beradab.

BAB III

KRITERIA GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Pasal 5

Gelandangan terdiri dari: a. gelandangan; dan

b. gelandangan psikotik.

Pasal 6

(1) Gelandangan sebagaimana dimaksud Pasal 5 adalah individu

dengan kriteria sebagai berikut: a. tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP); b. tidak memiliki rumah dan/atau tempat tinggal yang pasti;

c. tidak memiliki penghasilan yang tetap; d. penampilan fisik lusuh dan kotor; e. tidak memiliki keluarga dan/atau kerabat yang bertang-

gungjawab; dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

85

f. tidak memiliki rencana hidup untuk dirinya dan keluar-ganya.

(2) Gelandangan Psikotik sebagaimana dimaksud Pasal 5 adalah individu dengan kriteria sebagai berikut:

a. tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP); b. mengidap penyakit dan/atau gangguan jiwa; c. bertempat tinggal di tempat umum dan berpindah-pindah;

dan d. penampilan fisik lusuh dan kotor.

Pasal 7

Pengemis adalah individu dengan kriteria sebagai berikut: a. mata pencahariaannya bergantung belas kasihan orang lain; b. berpakaian kumuh, kotor, dan/atau berbau tidak sedap;

c. meminta-minta di tempat umum dan permukiman penduduk; d. mengeksploitasi diri dan/atau sesama untuk menimbulkan

rasa belas kasihan dari orang lain; dan e. penampilan fisik lusuh dan kotor.

BAB IV

USAHA DAN SASARAN

PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Bagian Kesatu Usaha dan Sasaran Penanggulangan

Pasal 8

Usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis dilakukan de-

ngan usaha sebagai berikut: a. preventif;

b. represif; c. rehabilitatif; dan d. tindakan lanjutan.

Pasal 9

Sasaran usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis ditu-jukan kepada:

a. pelaku perseorangan dan/atau kelompok; b. keluarga; c. masyarakat; dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

86

d. kelompok lain yang berkontribusi dan/atau mengorganisasi ge-landangan dan pengemis.

Bagian Kedua

Usaha Preventif

Pasal 10

(1) Usaha preventif dilakukan untuk mencegah munculnya pelaku

gelandangan dan pengemis baru dan/atau mencegah pelaku

lama mengulang perbuatannya. (2) Usaha preventif sebagaimana dimaksud pasal 10 ayat (1) ada-

lah pelayanan sosial yang dilakukan dalam bentuk: a. pelatihan keterampilan, magang, dan perluasan kesempat-

an kerja;

b. peningkatan kualitas kesehatan; c. peningkatan pendidikan;

d. penyuluhan dan edukasi masyarakat; e. pemberian informasi di tempat umum; f. bimbingan sosial;

g. pejangkauan; h. bantuan sosial; dan i. koordinasi antarpemerintah daerah.

(3) Usaha preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,

dan huruf i dilaksanakan oleh Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi.

(4) Peserta program usaha preventif sebagaimana dimaksud ayat

(1) diprioritaskan kepada masyarakat atau keluarga penyan-dang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

(5) Pelaksanaan usaha preventif sebagaimana dimaksud ayat (3)

diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga Usaha Represif

Pasal 11

(1) Usaha represif dilakukan untuk mengurangi, menghalau, dan menghilangkan pelaku dan dampak keberadaan gelandangan dan pengemis.

(2) Usaha represif sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. penertiban;

b. razia; dan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

87

c. penampungan sementara. (3) Pelaksanaan usaha represif sebagaimana dimaksud ayat (2) di-

tujukan kepada: a. gelandangan, pengemis, pelaku penggelandangan, dan pela-

ku pengemisan yang tinggal di tempat-tempat umum; b. orang dengan gangguan jiwa yang berada di tempat umum;

dan

c. orang yang meminta-minta di tempat-tempat umum dan permukiman.

(4) Pelaksanaan usaha represif sebagaimana dimaksud ayat (3) di-

koordinasikan oleh Satpol PP. (5) Tata cara dan prosedur penertiban dan razia gelandangan dan

pengemis diatur oleh Peraturan Bupati.

Pasal 12

(1) Gelandangan, pengemis, pelaku penggelandangan dan penge-

misan yang terjaring razia ditampung di tempat tinggal se-mentara.

(2) Tempat tinggal sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) un-

tuk menyeleksi dan melakukan assesmen bagi tindakan se-lanjutnya.

(3) Satpol PP dapat melakukan penjangkauan kepada wilayah-

wilayah pusat gelandangan dan pengemis. (4) Penjangkauan sebagaimana ayat (3) untuk mengevakuasi dan

menyelamatkan gelandangan dan pengemis dari ancaman fisik dan mental.

Bagian Keempat Usaha Rehabilitatif

Pasal 13

(1) Usaha rehabilitatif dilakukan untuk mengembalikan gelandang-an dan pengemis kepada fungsi sosial.

(2) Usaha rehabilitatif terdiri dari rehabilitasi fisik dan rehabilitasi

sosial. (3) Rehabilitasi fisik sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan me-

lalui bentuk: a. layanan medis; b. layanan kesehatan;

c. perawatan fisik; dan d. bimbingan fisik.

(4) Rehabilitasi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaku-

kan oleh Rumah Sakit Umum Daerah.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

88

(5) Rehabilitasi sosial dilakukan dalam bentuk: a. assesmen dan diagnosa sosial;

b. bimbingan mental spiritual; c. bimbingan sosial dan konseling psikososial; dan

d. pelatihan kerja dan kewirausahaan. (6) Pelaksanaan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud ayat (5)

dikoordinasikan oleh Dinas Sosial.

(7) Dalam hal gelandangan psikotik, dilakukan rehabilitasi kejiwa-an di: a. rumah sakit jiwa; atau

b. pihak lain yang ditunjuk dan/atau bermitra dengan Peme-rintah Daerah.

Pasal 14

(1) Rehabilitasi kejiwaan sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (5) dapat disertai rehabilitasi fisik.

(2) Gelandangan psikotik setelah mendapatkan rehabilitasi kejiwa-an dan rehabilitasi fisik dilanjutkan rehabilitasi sosial.

Bagian Kelima Tindakan Lanjutan

Pasal 15

(1) Tindakan lanjutan dilakukan untuk: a. menghilangkan kemungkinan gelandangan dan pengemis

mengulangi tindakan menggelandang dan mengemis; dan

b. mengantisipasi kegiatan pergelandangan dan pengemisan. (2) Tidakan lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (1) diprioritaskan

pada upaya resosialisasi, reintegrasi sosial, dan koordinasi an-

tar pemerintah daerah. (3) Tindakan lanjutan dilakukan melalui:

a. pemulangan kepada keluarga; b. magang kerja; c. penyaluran kerja;

d. fasilitasi pendidikan; e. fasilitasi permodalan; dan

f. koordinasi antarpemerintah daerah. (4) Tindakan lanjutan bagi gelandangan dan pengemis psikotik di-

lakukan setelah dipertemukan dengan keluarga sebagai peng-

ampu. (5) Dalam hal gelandangan dan pengemis psikotik tidak memiliki

keluarga, Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan perlin-

dungan sosial yang berkelanjutan.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

89

Bagian Keenam

Prosedur Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Pasal 16

(1) Prosedur penanggulangan gelandangan dan pengemis didasar-

kan pada Standard Operating Procedure (SOP). (2) SOP sebagaimana dimaksud ayat (1) berisi pembagian dan

tanggungjawab pihak-pihak yang terkait serta alur pelaksanaan pekerjaan.

(3) SOP penanggulangan gelandangan dan pengemis ditetapkan

melalui Peraturan Bupati.

BAB V LARANGAN

Pasal 17

Setiap orang dilarang: a. Menggelandang dan/atau mengemis di tempat-tempat umum

dan permukiman; b. melakukan pergelandangan dan/atau pengemisan baik pero-

rangan atau berkelompok dengan alasan, cara dan alat apapun

untuk menimbulkan belas kasihan orang lain; c. memperalat orang lain dengan mendatangkan seseorang /

beberapa orang baik dari dalam daerah ataupun dari luar

daerah untuk maksud melakukan pergelandangan dan / atau pengemisan; dan

d. mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sehingga menyebabkan terjadinya pergelandangan dan/atau

pengemisan.

Pasal 18

Setiap orang/lembaga/badan hukum dilarang memberi uang dan

/ atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum.

Pasal 19

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

90

Setiap orang/lembaga/badan hukum dilarang membuang dan / atau memindahkan gelandangan dan pengemis ke wilayah Kabu-

paten Cilacap.

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 20

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penanggulangan gelan-dangan dan pengemis dilakukan oleh Bupati.

(2) Pembinaan penanggulangan gelandangan dan pengemis seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat; dan

b. sosialisasi dan bimbingan teknis penanggulangan kepada aparat.

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan, patroli, pelaporan, dan evaluasi secara berkala.

(4) Kewenangan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) secara operasional dilaksanakan oleh Organi-sasi Perangkat Daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi-

nya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan

pengawasan diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 21

(1) Peran serta masyarakat dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis dapat dilakukan melalui: a. mencegah terjadinya tindakan pergelandangan dan penge-

misan di lingkungannya; b. melaporkan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa,

dan/atau RT/RW apabila mengetahui keberadaan gelan-dangan dan pengemis di tempat umum dan permukiman;

c. melaksanakan dan memberikan dukungan dalam penye-

lenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial; d. melaksanakan upaya penjangkauan bersama-sama dengan

Organisasi Perangkat Daerah di bidang sosial; dan

e. menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

91

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara perorangan, kelompok dan/atau organisasi.

(3) Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS).

(4) Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dibentuk oleh masyarakat harus mendapat ijin operasional dari Organisasi Perangkat Daerah yang mena-

ngani bidang perizinan.

Pasal 22

(1) Perguruan Tinggi dapat berpartisipasi dalam penanggulangan

gelandangan dan pengemis melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;

(2) Dunia usaha berpartisipasi dalam penanggulangan gelandang-

an dan pengemis melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan/coorporate social responsilbility (CSR)

BAB VIII

SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 23

(1) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan sebagai-

mana dimaksud pada Pasal 19 Peraturan Daerah ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa: a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis; atau c. denda administrasi.

(2) Besarnya denda administasi sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan paling banyak sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)

(3) Tata cara penerapan sanksi administrasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB IX

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 24

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah

Daerah dapat melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah ini.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

92

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah

yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang, kelom-

pok, dan/atau organisasi atau lembaga tentang adanya tin-

dak pidana dan melakukan tindakan pertama di tempat ke-jadian perkara dan melakukan pemeriksaan;

b. mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau la-

poran berkenaan tindak pidana dimaksud agar keterangan atau laporan menjadi lengkap dan jelas;

c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana tersebut;

d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana;

e. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-do-kumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana serta me-lakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;

f. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen penyitaan terhadap barang bukti tersebut;

g. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;

h. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang mening-galkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau doku-

men yang dibawa; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan dipe-

riksa sebagai saksi atau tersangka;

j. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Kepolisian Republik Indonesia karena tidak ter-

dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupa-kan tindak pidana, selanjutnya melalui Penyidik Kepolisian Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada

Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; k. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat diper-

tanggungjawabkan yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan, harus patut dan

masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan me-maksa, dan menghormati hak asasi manusia.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

93

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya

kepada Penuntut Umum melalui pejabat Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 25

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pergelandangan dan / atau pengemisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a dan huruf b diancam dengan hukuman pidana kurungan

paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp 7.500.000,00 (tujuh juta limaratus ribu).

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan memperalat orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c diancam de-ngan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang

lain secara perorangan atau berkelompok sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 17 huruf d diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling

banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) (4) Setiap orang yang melanggar ketentuan memberi uang

dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan

dan pengemis di tempat umum dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diancam dengan hukuman pidana

kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

BAB XI

PEMBIAYAAN

Pasal 26

(1) Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan pembiayaan penang-

gulangan gelandangan dan pengemis dalam Anggaran Penda-

patan Belanja Daerah.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

94

(2) Alokasi APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegra-sikan dengan anggaran biaya kegiatan dan program Organisasi

Perangkat Daerah yang terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis.

Pasal 27

(1) Pembiayaan penanggulangan gelandangan dan pengemis dapat berasal dari: a. Coorporate Social Responsibility (CSR) Badan Usaha Milik

Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan perusahaan swasta di Kabupaten Cilacap;

b. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Cilacap; dan

c. swadaya masyarakat.

(2) Peruntukkan pembiayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) di-tentukan berdasar kesepakatan antara Pemerintah Daerah de-

ngan pihak-pihak penyedia dana.

BAB XII KETENTUAN LAIN

Pasal 28

(1) Penanganan dan penyelesaian pelanggaran pasal 19 Peraturan Daerah ini dilakukan dengan koordinasi lintas Kabupaten/Kota melalui kerjasama.

(2) Bentuk dan teknis kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur melalui Peraturan Bupati.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

(1) Larangan mengemis di pemukinan diberlakukan 2 (dua) tahun

setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dimaksudkan untuk

memberi waktu yang cukup bagi Pemerintah Daerah melaku-

kan sosialisasi.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

95

Pasal 30

Peraturan Bupati tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) se-

bagaimana dimaksud dalam Pasal 16, ditetapkan paling lama 6 (enam ) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal 31 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengun-

dangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lem-baran Daerah Kabupaten Cilacap.

Ditetapkan di : Cilacap Pada tanggal :

BUPATI CILACAP,

( _____________________________ )

(Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Tahun ........ Nomor .......... )

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

96

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP

NOMOR ……. TAHUN 2017

TENTANG

PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

UMUM

Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan fasilitas umum bagi publik yang representatif dan mendukung bagi penca-

paian kebutuhan masyarakat. Fasilitas umum bersifat memediasi masyarakat sebagai pelaku sosial sehingga harus akomodatif ter-hadap berbagai kepentingan baik dalam bidang ekonomi, sosial,

maupun budaya. Oleh karena itu maka fasilitas umum tidak bisa dimanfaatkan secara privat untuk kepentingan satu atau dua

orang/kelompok untuk mencapai kepentingan-kepentingan ekono-mi.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun

1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis menje-laskan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam

masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara

di tempat umum. Sementara pengemis didefiniskan sebagai orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap-

kan belas kasihan dari orang lain. Dengan demikian gelandangan dan pengemis dianggap tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945. Penggunaan fasilitas umum oleh gelandangan dan pengemis

untuk tujuan-tujuan tertentu terutama ekonomi dan tempat ting-gal berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, ketidaktertiban, dan ketidakamanan bagi pelaku dan masyarakat umum. Oleh ka-

rena itu, dibutuhkan penanganan komprehensif yang berorientasi pada 2 (dua) tujuan utama, yaitu revitalisasi fasilitas umum dan

refungsionalisasi gelandangan dan pengemis pada fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan.

Revitalisasi dimaksud untuk mengembalikan fungsi fasilitas

umum sebagai ruang publik yang bisa dimanfaatkan dan me-mediasi masyarakat mencapai kebutuhan sosial, ekonomi, dan bu-daya. Oleh karena itu maka fasilitas umum harus bebas dari akti-

fitas ekonomi dan sebagai tempat tinggal bagi kelompok-kelompok

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

97

tertentu. Dengan demikian, masyaraat dapat memanfaatkan fasili-tas umum untuk kepentingan sosialnya secara aman, nyaman,

dan kondusif. Sementara refungsionalisasi gelandangan dan pengemis dia-

rahkan untuk mengembalikan fungsi-fungsi sosial mereka kepada masyarakat. Refungsionalisasi bisa berlangsung apabila gelan-dangan dan pengemis mampu memerankan fungsi-fungsi sosial

secara normal sebagaimana masyarakat umumnya. Refungsiona-lisasi ini dilakukan terutama melalui pendekatan rehabilitasi dan tindakan lanjut. Harapannya agar gelandangan dan pengemis ti-

dak kembali ke jalan dan tempat-tempat fasilitas umum untuk melakukan aktifitas ekonomi dan bertempat tinggal.

Selain menyasar gelandangan dan pengemis, Peraturan Da-erah ini juga ditujukan kepada masyarakat umum. Sasaran uta-manya adalah mengurangi kontribusi masyarakat bagi lahir dan

menjamurnya gelandangan dan pengemis. Dukungan ini seringkali tidak disengaja misalnya melalui pemberian di jalan dan tempat-

tempat umum lainnya. Namun karena perilaku ini, gelandangan dan pengemis menjadi memiliki kesimpulan bahwa aktifitas perge-landangan dan pengemisan prospektif dan mampu memberi ja-

minan sosial dan ekonomi. Dengan memutus dukungan dari ma-syarakat diharapkan gelandangan dan pengemis tereduksi. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan penerapan sanksi

administratif dan pidana.

PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Huruf a

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

98

Cukup jelas

Huruf b Yang dimaksud tempat tinggal yang pasti adalah

rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal seseorang beserta keluarganya baik berstatus hak milik, sewa, atau menumpang saudara atau

orang lain yang bertanggungjawab. Huruf c

Yang dimaksud penghasilan yang tetap adalah pendapatan ekonomi yang diperoleh melalui pe-

kerjaan yang jelas atau yang lazim di masyara-kat.

Huruf d Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Ayat (1)

Cukup jelas Pasal 7

Huruf a Belas kasihan timbul akibat eksploitasi gelandangan atau pengemis atas kemiskinan, kecacatan fisik /

mental, menakut-nakuti, atau memaksa kepada peng-guna fasilitas umum dan tempat-tempat peribadatan.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Yang dimaksud tempat umum adalah ruang atau wi-layah yang digunakan oleh masyarakat untuk berak-tifitas dan memediasi pemenuhan kebutuhan-kebu-

tuhan sosialnya seperti pasar, traffic light, tempat iba-dah, taman dan ruang terbuka publik, pertokoan,

tempat wisata, angkutan umum, sekolah, dan lemba-ga pemerintahan.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

99

Huruf d

Yang dimaksud mengeksploitasi diri dan/atau orang lain adalah menunjukkan secara sengaja kepada

orang lain penderitaan atau kondisi dirinya dan/atau orang lain dengan maksud mendapat belas kasihan misalnya membawa orang tua, orang buta, dan anak

kecil.

Huruf e

Cukup jelas

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9 Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas Huruf e

Cukup jelas

Huruf f Cukup jelas

Huruf g Yang dimaksud penjangkauan adalah tindakan proaktif yang dilakukan oleh petugas penjang-

kauan ke wilayah-wilayah yang dijadikan tempat

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

100

tinggal gelandangan dan pengemis. Penjangkau-an adalah kontak awal dan proses membina hu-

bungan sosial serta membangun kepercayaan dengan gelandangan dan pengemis. Petugas

penjangkau dapat melakukan penyelamatan dan evakuasi yang dimaksudkan sebagai upaya per-lindungan terhadap gelandangan dan pengemis

dari situasi dan kondisi kehidupan di jalanan yang membahayakan keselamatan mereka, baik dari aspek fisik, kesehatan maupun psiko sosi-

alnya.

Huruf h Cukup jelas

Huruf i Koordinasi antar pemerintah daerah dilakukan

terutama untuk permasalahan terkait pembu-angan atau pemindahan orang dengan gang-guan jiwa dari satu daerah ke daerah lain.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5)

Cukup jelas Pasal 11

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud penertiban adalah salah satu cara yang dilakukan untuk mengatur dan mene-

gakkan aturan hukum dalam upaya mewujud-kan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Huruf b Yang dimaksud razia adalah operasi untuk me-lokalisasi dan memindahkan gelandangan dan

pengamen ke penampungan sementara.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

101

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3) Huruf a

Yang dimaksud menetap di tempat umum ada-

lah gelandangan dan pengemis yang menetap dan melakukan aktivitas dalam waktu yang cukup lama di suatu tempat seperti di jalan,

trotoar, emperan toko, terminal, stasiun, ba-ngunan pasar, bangunan cagar budaya, sarana

dan fasilitas pariwisata di pinggir rel kereta api, bawah jembatan.

Huruf b Yang dimaksud orang dengan gangguan jiwa di

tempat umum adalah orang yang mengidap sa-kit jiwa yang berada di suatu tempat seperti di jalan, trotoar, emperan toko, terminal, stasiun,

bangunan pasar, bangunan cagar budaya, sara-na dan fasilitas pariwisata di pinggir rel kereta api, bawah jembatan, TPU, tempat pendidikan,

pos ronda, dan fasilitas umum lainnya.

Huruf c Orang yang meminta-minta di suatu tempat se-perti di jalan, trotoar, emperan toko, terminal,

tempat ibadah, stasiun, pasar, bangunan cagar budaya, sarana dan fasilitas pariwisata.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas. Pasal 13

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2)

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

102

Cukup jelas.

Ayat (3) Huruf a

Yang dimaksud layanan medis adalah pelayanan yang diterima seseorang dalam hubungannya dengan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan

suatu gangguan kesehatan tertentu.

Huruf b

Yang dimaksud pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, men-cegah dan menyembuhkan penyakit serta me-

mulihkan kesehatan perorangan, keluarga, ke-lompok dan ataupun masyarakat.

Huruf c

Yang dimaksud perawatan fisik adalah perlaku-

an kesehatan dan medis secara khusus oleh pe-tugas terhadap seseorang yang sedang menja-lani proses penyembuhan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan bimbingan fisik adalah kegiatan bimbingan/tuntunan untuk pengenal-an dan pembiasaan praktek cara-cara hidup

sehat, secara teratur dan disiplin agar kondisi badan/fisik maupun lingkungan dalam keadaan selalu sehat. Bimbingan fisik dimaksudkan un-

tuk melatih, membina dan memupuk kemampu-an dan kemauan klien agar memelihara kese-

hatan fisik dan lingkungannya.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5) Huruf a

Assesmen sosial adalah proses pengumpulan,

analisa dan sintesa data atau informasi dalam sebuah formula penanganan yang menekankan pada sifat permasalahan klien, keberfungsian

klien, motivasi klien, lingkungan, dan faktor-

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

103

faktor yang dapat berkontribusi terhadap pe-nanggulangan masalah klien.

Diagnosa sosial adalah suatu proses mengiden-tifikasi dan menganalisis masalah klien dari

hasil asesmen untuk menemukan dan meru-muskan rencana penanganan masalah.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Yang dimaksud dengan bimbingan sosial adalah

kegiatan yang diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta me-ningkatkan ketrampilan sosial klien. Kegiatan

ini dapat dilaksanakan melalui pelatihan kete-rampilan berkomunikasi dan berinteraksi de-

ngan orang lain, dan berorganisasi. Bimbingan sosial berupaya mendorong klien gelandangan dan pengemis dapat kembali dalam kehidupan

masyarakat secara inklusif. Konseling psikososi-al adalah kegiatan yang ditujukan bagi klien ge-landangan dan pengemis untuk membantu

mengatasi masalah-masalah dalam interaksi so-sial seperti emosi, minder, takut, malu, dan

lain-lain. Huruf d

Yang dimaksud dengan pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan adalah serang-kaian usaha yang diarahkan kepada klien

gelandangan dan pengemis untuk mengetahui, mendalami dan menguasai suatu bidang kete-

rampilan kerja tertentu yang memungkinkan mereka memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas. Pasal 14

Cukup jelas.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

104

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 Cukup jelas.

Pasal 17 Huruf a

Yang dimaksud dengan tempat umum adalah pusat

keramaian seperti jalan, trotoar, emperan toko, termi-nal, stasiun, pasar, bangunan cagar budaya, sarana

dan fasilitas pariwisata, permukiman, dan tempat ibadah.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22 Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

105

Pasal 25 Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas. Pasal 27

Cukup jelas. Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NOMOR .....

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

106

Notulen

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap Tentang

Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

107

Notulen 1

Agenda : Pembahasan Naskah Akademik Raperda Pelarangan Gelandangan dan Pengemis

Hari, Tanggal

: Jum’at, 20 Januari 2017

Waktu : 13.00 – 14.30 WIB

Tempat : IAIN Purwokerto Pembukaan (Drs. Amat Nuri, M.Pd.I / Ketua LPPM IAIN

Purwokerto) Salam ....

Terima kasih kami sampaikan kepada bapak/ibu Balegda dan tim. Sudah agak lama kita tidak bertemua, mudah-mudahan semangat kita tidak pernah menurun.

Didi R (Ketua Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Salam .... - Terima kasih kepada bapak/ibu semua, kita masih bisa

bekerjasama untuk melakukan penyusunan Raperda. Kita

sangat berharap bisa berlanjut ke depan. Mudah-mudahan semakin produktif. Untuk tahun 2017 ada nuansa baru, kita akan garap bareng dengan IAIN dan Unsoed. Kita pasti akan

melihat dari sisi tema, apakah ini banyak di IAIN atau di Unsoed. Harapan kita bisa memberika hasil yang optimal.

- Kita dari DPRD sudah mencoba beerja maksimal, tetapi kadang penangkapan dari masyrakat berbeda seolah-olah kita belum memberikan kerja maksimal. Baik, saya tidak perlu panjang

lebar, kita persilahkan kepada narasumber untuk memberikan pandangan awal tentang raperda yang dimaksud.

Sony Susandra (LPPM IAIN Purwokerto) Presentasi

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Dasar kita adalah bahwa realitas di masarakat bahwa calon

penyakit masyarakat bisa tertib. Ini menjadi tanggungjawab negara untuk melakukan pembinaan. Apalagi yang muncul

karena desain, ada organisasinya dan asosiasinya. Banyak sekali yang melibatkan anak. Saya tidak mau kalau di Cilacap tidak ada perhatian terhadap gelandang dan pengemis.

- Harapannya dalam perda ada penanganan, pembinaan, rehabilitasi yang mendorong agar mereka lebih terhormat. Terkait dengan judul, kelihatannya perda tentang larangan

saya pernah membaca. Ada zona-zona tertentu kita perlu

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

108

mengatur. Dalam hal ini saya masih sepakat dengan nama larangan. Saya tertarik dengan konsideran yang tahunnya

cukup lama. Memang membuat undang-undang membutuhkan curahan pikir saya kira memang wajar. Tapi kita jangan

terkooptasi dengan larangan sebagaimana PP yang tahunnya sudah cukup lama. Saya masih berpendapat tetap menggunakan yang lama. Larangan gelandangan dan

pengemis. Ismangil (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Apa tidak lucu kalau namanya larangan, tidak ada isi yang mengatur bagaimana mengelola gelandangan.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) - Secara teoretis memang istilah larangan jauh lebih sempit

cakupan maknanya. Oleh karenanya kami mengusulkan agar raperda ini diganti judulnya menjadi “penanggulangan

gelandangan dan pengemis”. Kata penanggulangan akan lebih komprehensif dalam mengatasi problem gelandangan dan pengemis dari pada kata larangan.

Ridwan (IAIN Purwokerto) - Mengemis sebagai perbuatan dapat diancam melalui KUHAP.

Kaya dan miskin itu sunatullah, kita tidak bisa mencegah kemiskinan. Secara undang-undang fakir dan miskin menjadi

tanggungjawab negara. Menurut saya dari sisi nomenklatur tidak persoalan.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Orang miskin dan gelandangan atau pengemis berbeda.

Kemiskinan itu realitas, tetapi gelandangan bentuk perilaku.

Yang terpenting kita nanti memiliki batasan empirik definisi tentang kemiskinan dan gelandangan/pengemis.

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Yang dilarang kemiskinan atau gelandangan ? saya sepakat

bahwa yang dilarang adalah kesengajaan untuk menggelandang dan mengemis. Kemiskinan yang harus dikelola.

Ridwan (IAIN Purwokerto) - Orang miskin koq tidak bisa mengemis. Lalu instrumen apa

yang memberikan jaminan bagi orang miskin untuk bisa memperoleh kesejahteraan? Nah ini nanti bisa dijawab dengan perda tentang kesejahteraan sosial. Teman-teman DPRD nanti

bisa menjawab ketika ditanya orang miskin.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

109

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Memang perlu harus dipikirkan alat untuk memberikan kesejahteraan sosial.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

110

Notulen 2

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Hari, Tgl : Jum’at, 27 Januari 2017 Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 13.00 -15.00 WIB

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

- Berdasarkan pertemuan sebelumnya, ada beberapa pekerjaan rumah buat Tim ahli untuk penyempurnaan draft raperda

larangan gelandangan dan pengemis, yaitu: a) mengenai regulasi setingkat UU atau PP, b) apakah tidak cukup dengan judul larangan, c), penting untuk memasukkan Perda di Kab.

Cilacap yang memiliki korelasi dengan raperda Gelandangan dan Pengemis. Berdasarkan beberapa persoalan tersebut, Tim

ahli telah mengkaji beberapa referensi dan regulasi, yang akhirnya sampai pada kesimpulan: 1) Jika mengacu pada regulasi yang lebih tinggi, terdapat PP

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Di sini, kata “penanggulangan” nampaknya lebih komprehensif dibanding kata “larangan” dari segi makna dan ruang lingkupnya.

2) Berdasarkan PP No. 31 tahun 1980, ruang lingkup penanggulangan gelandangan dan pengemis mencakup:

usaha preventif, represif, dan rehabilitatif. 3) Sesuai hasil pertemuan sebelumnya, dalam perda ini kami

telah masukkan beberapa Perda di Kabupaten Cilacap yang

relevan sebagai konsideran. Romlan (Anggota Balegda)

- Apa dasar Tim Ahli membuat definisi larangan? Kalo menurut saya, point 16 sudah mengakomodir.

Agus Sunaryo (Tim Ahli) - Definisi usaha represif pada point 16 memang memiliki korelsi

dengan definisi larangan. Hanya saja, dalam konteks usaha represif seharusnya dilengkapi dengan usaha preventif dan

rehabilitatif. Padahal perda ini tidak berbicara hal tersebut. - Jika mau bertahan dengan usaha represif, saran saya judul

raperda diganti menjadi penanggulangan, bukan larangan.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

111

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda) - Judul sepertinya tidak perlu diganti, sebab dalam kata

larangan seharusnya secara otomatis terkandung makna preventif dan rehabilitative.

Heri (Anggota Balegda) - Biasanya untuk merubah judul raperda itu bukan perkara

mudah, meskipun bukan mustahil. Tetapi dalam hal ini, saya lebih cocok dan sepakat dengan pendapat tim ahli karena redaksi yang digunakan dalam PP penanggulangan, bukan

larangan.

Harun (Anggota Balegda) - Bagi saya, baik kata larangan maupun penanggulangan itu

tidak menjadi masalah. Point penting dari inisiasi raperda ini

adalah bagaimana gelandangan dan pengemis di Kab. Cilacap bisa diminimalisir, bahkan dikemudian hari Cilacap bisa

menjadi kawasan zero gelandangan dan pengemis. Agus Sunaryo (Tim Ahli)

- Jika tujuan dari raperda ini adalah seperti yang disampaikan oleh Bp. Harun dan Bp. Didi, maka yang paling tepat menurut

kami adalah penanggulangan. Bp. Didi sepertinya terbalik dalam memahami tingkat komprehensitas antara larangan dan penanggulangan. Jika mengacu pada PP dan KBBI, kata

penanggulangan jelas lebih luas dan lengkap daya cakupnya dari pada kata larangan. Bahkan, larangan hanyalah menjadi salah satu bagian dari upaya penanggulangan, disamping

upaya pencegahan dan rehabilitasi.

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda) - Kalau memang demikian, saya tidak masalah judul diganti dari

larangan menjadi penanggulangan. Yang penting Tim ahli

harus menyiapkan alas an akademis penggantian tersebut. David (Anggota Sekwan)

- Judul raperda bisa dirubah selama ada alas an akademis yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena itu jika

peserta rapat sepakat, paka kata larangan bisa diganti menjadi penanggulangan.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

112

Notulen 3

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Larangan Gelandangan dan Pengemis

Hari, Tgl : Jum’at, 31 Januari 2017 Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 13.00 -15.00 WIB

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

Salam… - Kalimat Pembuka

“terimakasih atas kehadiran Bapak/ Ibu dari Balegda Kab. Cilacap. Pada sore hari ini kita sudah memasuki tehap pembahasan yang ke-3. Mudah-mudahan pada tahap ini

pembahasan sudah bisa memasuki fase akhir draft sebelum nantinya akan di perdengarkan kepada public dalam acara

public hearing di kantor DPRD Kab. Cilacap.” - Sesuai dengan kesepakatan pada pertemuan sebelumnya

mengenai penggantian redaksi judul, maka draft yang akan kita

bahas pada hari ini sudah memakai judul baru, yaitu “penanggulangan gelandangan dan pengemis”.

- Mengacu pada judul raperda ini, maka kami mencoba melakukan pembatasan hanya pada gelandangan dan pengemis. Sehingga, anak jalanan, pengamen, dan orang

terlantar tidak diatur dalam ketentuan raperda ini. - Penanggulanan pengamen dan yang lain di atas, untuk

sementara pengaturannya memakai perda ketertiban umum di

Kab. Cilacap. - Alasan mengapa pengamen dan yang lain tidak dimasukkan,

sebab secara hukum pengertiannya berbeda dengan gelandangan dan pegemis. Sehingga, ketika menyebut gelandangan dan pengemis, maka pengamen dan yang lain

harus dikesampingkan. - Selanjutnya, mari kita bahas satu persatu draft yang ada di

tangan bapak/ ibu sekalian.

Romlan (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Sebenarnya, apa kata dasar pengemis? Apakah ada hubungannya dengan kemis, sebagai salah satu nama hari dalam bahasa jawa?

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

113

- Berdasarkan KBBI kata dasar pengemis adalag “emis”, bukan “kemis” sebagaimana ditanyakan oleh Bp. Romlan. Namun

demikian, dalam sejarah jawa antara pengemis dengan hari kemis memang memiliki keterkaitan semantik. Untuk hal ini,

Dr. Ridwan bisa menjelaskan lebih jauh. Dr. Ridwan

- Dalam sejarah, kata pengemis memang memiliki relasi dengan hari kamis, dimana sultan mataram pada waktu itu setiap hari kamis membuka diri untuk para peminta-minta. Karenanya

para peminta dalam perkembangannya disebut pengemis. - Sejarah di atas tidak serta merta menjadikan kata kemis

sebagai kata dasar dari kata pengemis. Sehingga yang dipakai acuan adalah di KBBI.

Heri (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Penataan BAB urutannya kurang tepat, mohon diperbaiki.

Termasuk kesalahan-kesalahan ketik masih saya jumpai di beberapa pasal dan ayat.

- Apakah tiga upaya penanggulangan (preventif, represif, dan

rehabilitatif) sudah baku istilahnya? Jika memungkinkan bisa dirubah dengan istilah yang lebih familiar.

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Ketiga upaya penanggulangan ini sudah baku dan kita adopsi

dari PP tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis. Persoalan familiar tidaknya, sangat tergantung pada upaya sosialisasi yang nantinya akan dilakukan oleh pemerintah.

Dalam perda-perda yang lain, saya kira juga sering kita menjumpai kata-kata baru yang kurang familiar. Namun dengan seiring berjalannya waktu dan upaya sosialisasi terus

menerus akhirnya kita juga akrab dengan kata-kata tersebut.

Heri (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Kalau menurut saya, usaha represif masih belum

menunjukkan gregetnya untuk menanggulangi gelandangan

dan pengemis. Sebab, selama ini SKPD sudah melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud dalam raperda ini,

tetapi faktanya, gelandangan dan pengemis tetap banyak berkerliaran.

Dr. Ridwan (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Kalau menurut saya, apa yang dimaksud oleh draft ini sudah

memenuhi unsure represif. Sebab yang disasar pasti bersifat

umum, bahkan bukan gelandangan atau pengemis. Istilah

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

114

represif mengandung makna agar sebuah perbuatan tidak terjadi/ dilaksanakan. Sehingga, jelas sasarannya bukan

gelandangan atau pengemis.

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Jika memang upaya represif harus dikhususkan kepada upaya

penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka menurut

saya bisa diupayakan dengan menambah pasal yang menekankan agar SKPD memprioritaskan kepada masyarakat potensial menggelandang dan mengemis.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

115

Notulen 4

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Hari, Tanggal : Selasa, 7 Pebruari 2017

Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 13.30-15.00

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) Salam…

- Kalimat Pembuka:

“terimakasih atas kehadiran Bapak/ Ibu pada rapat lanjutan penyusunan Naskah Akademik Raperda Kab. Cilacap tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Mudah-mudahan pertemuan kita kali bisa semakin mematangkan draft raperda sehingga nantinya benar-benar mampu memberikan manfaat

bagi masyarakat Kab. Cilacap. Selanjutnya, mari kita lanjutkan pembahasan raperda yang pada pertemuan sebelumnya telah menyelesaikan Bab III.

- Sebelum kita membahas bab IV terlebih dahulu akan saya

sampaikan hasil diskusi kami yang berpandangan bahwa

raperda ini nantinya akan membutuhkan banyak sekali biasa

dan peran serta dari seluruh elemen masyarakat demi

pemberlakuannya yang maksimal. Terlebih untuk usaha

rehabilitatif yang jelas memerlukan sarana dan prasarana

memadai. Dalam kondisi seperti ini awalnya kami ragu akan

kesanggupan pemerintah daerah memenuhi kebutuhan sarpras

tersebut. Karenanya, melalui pertemuan ini kami berharap bisa

mendapatkan informasi mengenai kesanggupan pemerintah

melalui Bapak/ Ibu anggota Dewan.

Harun (Anggota Balegda) - Setelah saya membaca draft ini, ada beberapa redaksi yang

menurut saya janggal penulisannya. Karenanya saya mohon

kepada tim ahli untuk bisa memberikan penjelasan, khususnya

pada ayat 1 pasal mengenai rehabilitas.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

- Maksud dari ayat yang dianggap janggal oleh Bp. Harun adalah

bahwa usaha rehablitasi berfungsi untuk mengembalikan

gelandangan dan pengemis menjadi manusia yang seutuhnya

kembali. Maksudnya, mereka tidak lagi menjadi seorang

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

116

gelandangan atau pengemis. Bahkan mereka bisa mendapatkan

kehidupan yang layak dan terjamin.

H. Ismangil (Anggota Balegda) - Jika demikian, bagaimana kalau ayat 1 tentang usaha

rehabilitatif dirubah redaksinya menjadi: “usaha rehabilitatif

dilakukan untuk mengembalikan gelandangan dan pengemis

kepada fungsi sosialnya”.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

- Maksud dari ayat tersebut juga sama dengan yang diusulkan

oleh Bp ismangil. Problemnya adalah, apakah Kab. Cilacap

sudah memiliki Rumah Sakit Jiwa apa belum? Hal ini sangat

mendasar dan urgen, sebab, dalam kategori gelandangan

dikenal istilah gelandangan psikotik. Keberadaan RSJ tentu

menjadi sangat penting mengingat jumlah gelandangan psikotik

di Cilacap juga tidak sedikit.

Yusuf Rojabi (Anggota Balegda)

- Sampai saaai ini Kabupaten Cilacap belum memiliki RSJ.

Namun demikian, pada tahap awal mungkin bisa dilakukan

kerjasama dengan RSJ di daerah lain sambil menunggu

tersedianya RSJ di kabupaten Cilacap.

Harun (Anggota Balegda) - Sebelum lebih jauh membahas mengenai urgensitas RSJ di

kab. Cilacap saya mohon kepada tim ahli untuk menjelaskan

secara detail mengenai definisi dari gelandangan psikotik dan

tahapan rehabilitasinya.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli) - Gelandangan psikotik adalah gelandangan yang mengalami

gangguan kejiwaan.

- Untuk penyembuhan gelandangan psikotik bisa dilakukan

secara medic dan non medic.

- Sebagai tahap awal dilakukan rehabilitasi kejiwaan, kemudian

dilanjutkan dengan fisik, dan dilanjutkan dengan rehabilitasi

sosial.

Harun (Anggota Balegda)

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

117

- Mohon penjelasan kepada tim ahli tentang status gelandangan

atau pengemis yang berasal dari luar Kab. Cilacap tetapi

menggelandang dan mengemis di Cilacap. Apakah raperda ini

mengatur hal tersebut?

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

- Raperda ini sudah mengatur ketentuan mengenai gelandangan

dan pengemis dari luar Cilacap. Silahkan dicek pada draft

raperda yang sudah kami bagikan.

- Terkait dengan gelandangan atau pengemis psikotik yang tidak

memiliki keluarga, pemda wajib memberikan perlindungan

sosial.

Romelan (Anggota Balegda)

- Bagaimana status gelandangan dan pengemis yang sedang

tidak menjalankan profesinya, apakah begi mereka tetap bisa

diberlakukan raperda ini? Misalnya, saya memiliki tetangga

yang biasa menggelandang atau mengemis. Tetapi dalam

kondisi dia di rumah dan tidak sedang menggelanda apakah

saya bisa melaporkannya, atau Satpol PP bisa merazia yang

bersangkutan?

Mawi Husni Albar (Tim Ahli) - Mereka tidak disebut sebagai gelandangan, karena tidak berada

di tempat umum

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

- Dalam kasus seperti yang disampaikan Bp. Romlan, tentu yang

bersangkutan tidak bisa dikenai sanksi atau tindakan sesuai

aturan dalam raperda ini. Raperda ini hanya diberlakukan

kepada orang yang sedang melakukan aksi menggelandang

atau pengemis. Jadi orientasinya lebih pada perilaku, bukan

pada pelaku.

H. Ismangil (Anggota Balegda)

- Bagaimana dengan gelandangan atau pengemis yang

menggelandang/ mengemis di pemukiman penduduk?

Agus Sunaryo (Tim Ahli)

- Gelandangan dan pengemis yang dilarang sesuai raperda ini

adalah di tempat umum, tempat tinggal, atau pemukiman. Hal

ini tentu menyesuaikan dengan semangat inisiasi raperda ini

yaitu mewujudkan Cilacap zero gelandangan dan pengemis.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

118

Romelan (Anggota Balegda) - Apa tidak terlalu ekstrim jika mereka tidak diperbolehkan

beroperasi sama sekali?

Agus Sunaryo (Tim Ahli)

- Jika aksi mereka dilarang di tempat umum dan diperbolehkan

di tempat private (pemukiman), maka ini justeru akan

menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Bisa jadi para

gelandangan dan pengemis akan menyerbu pemukiman

penduduk, karena raperda tidak melarangnya.

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda) - Saya setuju dengan pendapat tim ahli bahwa gelandangan dan

pengemis harus ditanggulangi secara maksimal. Tidak boleh

ada tebang pilih mengenai tempat-tempat di mana mereka

boleh melakukan aksi menggelandang atau mengemis dan

melarang di tempat lain.

Romelan (Anggota Balegda) - Pemberlakukan perda ini saya kira step by step dan tidak

langsung secara penuh. Hal ini biar tidak terkesan

mengagetkan dan sekaligus memberi kesempatan kepada

Pemda untuk mempersiapkan segalanya.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

- Saya sepakat dengan ide Bp Romlan bahwa pemberlakuan

perda ini nantinya secara bertahap. Di pasal peralihan nanti

akan kami cantumkan waktu pelaksanaan penuh selama dua

tahun setelah perda disahkan.

H. Ismangil (Anggota Balegda) - Dalam pasal 18, ada kalimat “membuang dan/memindahkan

gelandangan dan pengemis dari luar daerah ke wilayah

Cilacap”. Menurut saya kalimat “luar daerah” lebih baik

dihapus saja.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

119

Notulen 5

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Larangan

Gelandangan dan Pengemis Hari, Tgl : Selasa, 14 Febrruari 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.00 -15.00 WIB

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) Salam…

- Sebelum pembahasan kita lanjutkan, terlebih dahulu mari bersama kita review draft raperda yang sudah kita bahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Barang kali ada Pekerjaan

Rumah yang terlewatkan oleh kami, bisa segera kita selesaikan.

Romlan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Kembali pada persoalan pemukiman, apakah yang maksud

dengan pemukiman itu termasuk rumah per rumah penduduk,

atau rumah sebagai sebuah kompleks? Bagaimana rumah-rumah penduduk yang tidak berada dikompleks, seperti rumah-rumah penduduk di perkampungan misalnya?

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

- Sebenarnya pemukiman yang dimaksud dalam raperda ini sudah mencakup rumah per rumah penduduk. Namun jika memang membutuhkan penegasan, maka kita bisa

memasukkan pasal atau ayat tambahan di ketentuan umum yang menjeaskan tempat umum dan pemukiman.

Ismail (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Apakah pengamen termasuk kategori pengemis? Kalo bukan,

bisa tidak keberadaan pengamen di larang? Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

- Mengamen berbeda dengan mengemis. Perda ini tidak mengatur tentang mengemis. Adapun mengamen yang tidak

menggunakan alat music, seperti mengamen hanya dengan bertepuk tangan, maka itu termasuk kategori mengemis.

Heri (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Bagaimana dengan pengemis yang membawa anak kecil?

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

120

- Kebetulan dalam raperda ini kita memasukkan Perda Kab. Cilacap tentang perlindungan anak. Jika mengacu pada

ketentuan perda tersebut, maka mengemis atau apapun itu dengan memanfaat anak kecil di dalamnya, termasuk dalam

kategori eksploitasi anak. Ini jelas dilarang dan ada ketentuan pidanya. Apalagi dalam konteks mengemis dengan menjadikan anak kecil sebagian media menarik belas kasihan, itu tidak saja

merupakan eksploitasi, tatapi membuat anak rawan terhadap perilaku kekerasan dan penganiayaan.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Sebenarnya, perda ini membatasi hanya pada gelandangan dan

pengemis, bukan berarti pengamen dan perbuatan-perbuatan lain yang termasuk penyakit masyarakat tidak diatur. Di Cilacap sudah ada perda tentang miras dan ketertiban umum.

Karenanya, meski pengamen tidak diatur dalam raperda ini, ia bisa ditertibkan dengan menggunakan perangkat perda

lainnya.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

121

Notulen 6

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Hari, Tanggal : Jumat, 17 Pebruari 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.30-15.00

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) Salam…

- Kalimat pembuka:

“Terimakasih atas kehadiran Bapak/ Ibu anggota Balegda DPRD Kab. Cilacap. Pertemuan kita kali ini adalah yang

terakhir dalam rangkaian penyusunan NA Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis”. Karenanya kami berharap masukan dan koreksi atas draft ini, terutama

barangkali ada hal-hal yang muncul di public heraning dan belum tercover dalam draft ini.”

- Menindaklanjuti hasil public hearing kemarin di degung DPRD

Cilacap, kami melakukan beberapa perubahan dan

penambahan sesuai dengan aspirasi yang muncul.

- Untuk masukan tambahan sebagaimana ditawarkan pada

akhir acara public hearing, kami belum menerima adanya

kiriman email dari pada peserta public hearing.

- Salah satu masukan dari peserta public hearing yang kami

tindak lanjuti adalah permintaan untuk menambah penjelasan

mengenai definisi dari tempat umum dan permukiman yang

disesuaikan dengan UU No. 12 tahun 2009.

- Pada pasal 6 ayat 2 kita juga menambahkan kriteria mengenai

gelandangan psikotik karena dianggap kurang proporsional

dengan gelandangan yang lain.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Dalam draft ini disebutkan adanya istilah Dinas Sosial, Dinas

Kesehatan dan yang lain. Menurut saya, kalau berbicara dinas

secara spesifik saya rasa kurang tepat, karena peraturan yang

selalu berubah-rubah menyebabkan penggunaan numenklatur

kedinasan juga berubah. Padahal, harapan kita perda ini tidak

berlaku setahun atau dua tahun saja, namun bisa berlaku

untuk kurun waktu yang lama. Karenanya, menurut saya

sebaiknya istilah “dinas” diganti dengan OPD yang menangani.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

122

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Saya rasa pendapat pak romlan benar, namun khusus Dinas

Sosial kita sebutkan spesifik saja. Hal ini, selain karena

tuntutan ketegasan kewenangan pihak dinas social pada waktu

acara public hearing, juga adanya fakta kewenangan yang

serupa yang dimiliki oleh bappeda misalnya.

Ridwan (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Menurut saya, ini adalah persoalan mandat, resikonya adalah

jika numenklaturnya berubah-ubah nantinya, maka bagaimana

nasib perda ini?

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Saya sepakat dengan Bp. Ridwan, hanya saja redaksinya

menurut saya kurang tepat. Silahkan kepada tim ahli untuk

mendiskusikan kembali redaksi yang tepat untuk konteks ini.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Sebagai jalan keluar, saya kira pasal ini perlu memasukkan

peraturan Bupati sebagai petunjuk praktis operasionalnya.

Namun untuk menghindari peraturan yang selalu berubah-

ubah tersebut kita sepakat untuk mengganti kata dinas dengan

Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi.

Didi Yudi Cahyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Di dalam draft ini saya menemukan istulah “tempat tinggal

sementara”. Apakah yang dimaksud oleh tim ahli adalah rumah

singgah?

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Tempat tinggal sementara itu berbeda dengan rumah singgah.

Tempat tinggal sementara berfungsi untuk menempatkan

pengemis dan gelandangan yang digaruk.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Apakah istilah asesmen itu sudah baku atau lazim dalam

konteks penanggulangan gelandangan dan pengemis?

Sony Susandra (Tim Ahli IAIN Purwokerto)

- Terkait kata “assesment”, sebenarnya sudah baku dan lazim,

namun, seperti Bp. Romlan, salah seorang peserta public

hearing juga telah mengajukan pertanyaan serupa. Karenanya

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

123

kami akan member pasal penjelas terkait dengan arti kata

assessment tersebut.

Ahmad Mutaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Seperti yang dikatakan oleh Bp. Sony, kami sudah

memasukkan pasal penjelas mengenai kata assessment. Ini

jauh lebih baik dari pada harus membuang kata tertersebut

hanya karena alas an kurang familiar.

- Selanjutnya, masukan lain dari peserta public hearing adalah

kemungkinan penggalian dana di luar APBD. Karenanya kami

menawarkan dana tersebut bisa digali dari CSR, BAZNAS

Kabupaten, dan donasi daari masyarakat umum yang tidak

mengikat.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Gagasan itu saya kira cukup bagus dan masuk akal. Apalagi

Cilacap sudah memiliki raperda tentang pengelolaan zakat.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

124

Notulen Public Hearing

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

Hari, Tanggal : Kamis, 16 Pebruari 2017

Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 09.00-15.00

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Salam… - Kalimat Pembuka

“Yth. Kepala Dinas Sosial, Kabag. Hukum Setda, Camat se-

Kotip Cilacap, Bapak–bapak anggota DPRD KAB. Cilacap, Bapak dan ibu sekwan, dan bapak-bapak tim ahli dari IAIN Purwokerto.

Pada pagi hari ini kami sengaja mengundang bapak ibu semua untuk mendengarkan public hearing perda tentang Penanggulangan gelandangan dan pengemis dari LPPM IAIN

Purwokerto sebagai Tim Ahli.” Karenanya, kepada Tim Ahli dari IAIN Purwokerto kami persilahkan untuk memaparkan hasil

kajiannya mengenai Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) Salam…

- Kalimat Pembuka:

“Terima kasih atas kesempatannya. Ijinkan kami untuk menyampaikan hasil kajian akademik mengenai Raperda Kab.

Cilacap tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis”. - Judul awal raperda ini adalah larangan gelandangan dan

pengemis, namun setelah dikaji ulang berkali-laki kemudian

berubah menjadi “penanggulangan gelandangan dan

pengemis”.

- Masyarakat mempunyai hak hidup secara nyaman, aman dan

kondusif sehingga membutuhkan fasilitas publik dan tempat

umum. Tempat umum dan ruang publik sebagai media untuk

masyarakat sebagai pemenuhan kebutuhan.

- Fasilitas dan tempat umum didesain sebagai ruang publik

untuk dimanfaatkan secara bersama. Dari fasilitas umum itu

masyarakat dapat menikmati kontestasi dan meanfaatkan

fasilitas tersebut dengan bersama-sama.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

125

- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat

setempat, serta tidak mempunyai tempat dan pekerjaan yang

tetap.

- Gelandangan psikotik penderita gangguan jiwa yang terlantar,

menggelandang di jalan, mengancam keselamatan jiwa.

- Pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan

alasan untuk mengaharapkan belas kasihan,

- Pergelandangan adalah suatu tindakan pengembaraan yang

dilakukan oleh individu/kelompok yang tidak memeiliki tempat

tinggal.

- Pengemisan adalah tindakan meminta-minta yang dilakukan

oleh individu atau sekelompok orang dengan berbagai alasan,

cara dan alat untuk mengharapkan belas kasihan dari orang

lain.

- Preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluuhan, bimbingan, latihn dll sehingga tercegah terjadi

gelandangan dan pengemis

- Represif adalah usaha terorganisir baik melalui lembaga

maupun non lembaga dimaksudkan untuk menghilangkan

pergelandangan dan pengemisan

- Rehabilitatif adalah usaha yang meliputi pendidikan, pelatihan

dll untuk mengembalikan fungsi sosialnya.

- Tindakan lanjutan adalah proses pengembalian gelandangan

dan pengemis kepada keluarga atau masyarakat sehingga

dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.

- Larangan yang ada dalam raperda ini adalah:

1. Menggelandang dan mengemis di tempat umum dan

pemukiman

2. Melakukan pergelandangan dan pengemisan dengan

menggunakan alat.

3. Memperalat otang lain dalam mendatangkan seseorang atau

beberapa orang

4. Mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa dan

mengkoordinir secara perorangan atau kelompok sehingga

menyebabkan terjadinya kerusuhan.

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Dari penjelasan tim ahli tadi, nampaknya masih ada yang perlu

ditambahkan, yaitu mengenai kewenangan, pendanaan APBD,

tugas dan fungsi masing-masing OPD/ SKPD.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

126

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Terkait dengan dinas/SKPD kita tidak menyebutkan secara

spesifik, dinas apa? Atau SKPD apa? Sebab, keberadaan

masing-masing SKPD sangatlah terkait dan terintegrasi.

Misalkan ada gelandangan yang sakit, maka kita perlu

menggandeng beberapa dinas misal kesehatan.

- Peran serta masyarakat dalam menangani hal ini adalah, peran

serta RT/RW untuk bisa mendeteksi sejak dini adanya

gelandangan dan pengemis.

- Bisa juga menggandeng mitra masyarakat seperti pondok atau

pesantren.

Didi Yudi Cahyadi (Ketua Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Selanjutnya, saya minta masukan dari bagian Hukum, silahkan

yang mewakili…

Supriyadi (Bagian Hukum) - Saya kira beberapa kalimat dalam draft ini perlu disesuaikan

dengan kaidah bahasa undang-undang.

- SKPD, sebagaimana ditulis dalam draft ini saya kira perlu

diganti dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah)

- UU Perlindungan anak masih mencantumkan yang lama,

padahal sudah ada UU yang baru.

- Keputusan presiden seharusnya tidak dimasukkan dalam

konsideran, sebab itu tidak sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan kita.

- Ada beberapa Penunjukkan pasal yang masih keliru.

- Pada pasal 12 ada kata asesmen, menurut saya kata ini perlu

dijelaskan.

- Pasal 15 UU 12 Tahun 2015, sebuah perda idealnya membuat

sanksi maksimal 6 bulan dan denda 50 juta.

- Kalo melihat pada raperda ini ancamannya sangat bervariasi,

memang tidak salah tetapi untuk penegakkan kalo lebih dari 6

bulan ini dengan acara biasa. Denda-denda yang masuk juga

bukan ke kas daerah tapi ke kas Negara.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

127

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Draf yang diterima bapak/ ibu sekalian adalah draf yang belum

masuk pembahasan ke-5. Kebetulan setelah draft ini diminta

oleh pihak sekwan, kita ada pembahasan 1 kali lagi dan

mengadakan beberapa perubahan di dalamnya.

- Terkait dengan apakah Keputusan Presiden bisa dijadikan

konsideran atau tidak, saya kira bagian hukum perlu melihat

pasal 100 UU tersebut, jangan berhenti di pasal 7. Sesuai

ketentuan pasal tersebut, Kepres bisa dijadikan konsideran

asalkan ia disahkan sebelum tahun 2011.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Mengenai penggunaan kata asesmen, sebenarnya lazim dan

umum dipakai dalam konteks rehabilitasi. Tetapi jika ini

dianggap asing maka bisa saja kita tambahkan dalam pasal

penjelas mengenai apa itu assessment.

Kadin Sosial

- Sebenarnya, dalam upaya penanggulangan gelandangan dan

pengemis, peran Dinas Sosial sangat urgent, terutama ketika

menyangkut masalah rebahibilasi. Hanya saja, setelah kami

telaah draft raperda ini, kami belum menemukan kewenangan

yang signifikan dari Dinas social. Barang kali Tim Ahli bisa

menjelaskan.

- Yang harus menjadi PR bagi kita semua adalah bahwa Kab.

Cilacap belum memiliki balai rehabilitasi sosial.

- Dalam upaya preventif, sepertinya harus diperjelas dinas-dinasi

yang terlibat. Sehingga, tidak muncul kesan bahwa upaya

penanggulangan gelandangan dan pengemis hanya menjadi

ranahnya Satpol PP.

- Masalah sumber dana juga harus disebutkan dalam peraturan

ini.

- Melihat kebutuhan kita akan adanya RSJ, raperda ini

seharusnya juga bisa melibatkan Dinas Keehatan atau RSUD

dalam upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis.

Kabid. Rehabilitasi sosial dinsos Kab. Cilacap - Di konsideran kami masih menemukan adanya UU yang out of

date, sehingga perlu diganti dengan yang baru.

- Ada perbedaan antara “rehabilitasi sosial” dan “usaha

rehabilitasi sosial”. Karenanya kami meminta dalam ketentuan

umum di cantumkan pengerian dari keduanya.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

128

- Di lihat dari tujuannya, raperda ini nampak mengarah pada

penanggulangan munculnya gelandangan dan pengemis. Upaya

kongkrit mengatasi gelandangan dan pengemis yang sudah ada

justeru kurang muncul.

- Pada pasal 5 belum ada penjelasan mengenai psikotik.

- Kata orang gila pada huruf c menurut kami lebih baik diganti

dengan penyandang psikotik.

- Mohon dijelaskan maksud dari kalimat “fasilitasi tempat

tinggal” dalam pasal 10 ayat 4

- Istilah “Penjangkauan“ menurut kami harus diberi penjelasan.

- Sumber dana serta sarana dan prasarana harap dimasukkan

dalam raperda ini, seperti misalnya pnati rehabilitasi sosial

atau rumah singgah.

Agus Sunaryo (Tim Ahli IAIN Purwokerto) - Persoalan dana sebenarnya kita memang nunggu respons dari

masyarakat yang hadir dalam acara public hearing ini. Bahkan

di awal-awal rapat pembahasan dengan Balegda, muncul

kekhawatiran dari kami tentang alokasi APBD ke

Penanggulangan gelandangan dan pengemis. Namun melihat

tuntutan dan respon positif dari bapak/ ibu sekalian, kami

menjadi optimis bahwa Pemda mampu memenuhi kebutuhan

itu. Tentu dengan melibatkan masyarakat lain.

Indiarto (Kasaptpol PP) - Menurut kami, gelandangan dan pengemis tidak perlu diberi

kisaran umur 20-30 tahun. Kenyataan di lapangan justru

malah kebanyakan usia mereka lebih dari 30 tahun.

Karenanya, menurut saya lebih baik dibuat kategori umum

saja.

- Perda ini belum memuat keterlibatan RSUD. Padahal

keberadaan RSUD sangat penting, terutama untuk penanganan

gelandangan psikotik.

- Dalam proses persidangan, perlu diatur juga mengenai

pendamping gelandangan atau pengemis.

Rohwanto (Anggota Satpol PP)

- Jika memungkinkan, seharusnya raperda ini juga mengatur

mengenai pengamen.

- Terkait pelayanan kesehatan untuk psikotik tahun 2016 kami

masih punya hutang 99 juta dan untuk tahun 2017 86 juta.

Maka ini perlu solusi juga.

Naskah Akademik Raperda Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

129

- Terkait data, jumlah psikotik rumahan di 2012 ada 1643

psikotik . sementara dalam 1 tahun kami menemukan adanya

lebih dari 100 tahun jumlah gelandangan psikotik.

- Sanksi pidana kami menyarankan untuk semua sanksi pidana

di bawah 6 bulan semua atau jenis tipiring semua.

MUI Kabupaten Cilacap

- Menurut kami raperda ini sangat bagus sekali. Fenomana

gelandangan dan pengemis di Kab. Cilacap masih menjadi

problem seriu. Padahal, jika mau studi ke daerah lain, di Bali

umpamanya, fenomena itu sudah bisa tertangani dengan baik.

- Mengenai tempat rehabilitasi, menurut kami penting bagi

pemerintah untuk menggandeng pesantren.

DPD Muhammadiyah Cilacap

- Kami menyambut baik tentang Raperda ini.

- Masukan kami, mohon kepada Dinsos buat anggaran lebih

banyak terkait dengan upaya preventif, tidak hanya pada upaya

penaggulangan.

- Masalah Rehabilitasi harus maksimal, sehingga para

gelandangan dan pengemis tidak kembali lagi kejalanan.

Kesra

- Salah satu yang diupayakan adalah prioritas apabila pengemis

dan gelandangan sudah direhabilitasi maka mereka akan

dikemanakan? Artinya seandainya pendanaan ini mau

dilaksanakan maka perlu ditambahkan dengan pihak ketiga.