Naskah Akademik perda Desa

187
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur mengenai Desa, telah berhasil menyempurnakan berbagai aturan tentang Desa yang sebelumnya diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam pelaksanaan selama beberapa tahun ini muncul beberapa permasalahan yang perlu segera dicermati. Pertama, UU 32/2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Desa. Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut oleh UU Nomor 32/2004, Pemerintah hanya menjalankan lima kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian konsepsi dasar yang dianut UU 32/2004, otonomi berhenti di kabupaten/kota. Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, dimana 1

description

perda

Transcript of Naskah Akademik perda Desa

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur mengenai Desa, telah berhasil menyempurnakan berbagai aturan tentang Desa yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam pelaksanaan selama beberapa tahun ini muncul beberapa permasalahan yang perlu segera dicermati. Pertama, UU 32/2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Desa. Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut oleh UU Nomor 32/2004, Pemerintah hanya menjalankan lima kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian konsepsi dasar yang dianut UU 32/2004, otonomi berhenti di kabupaten/kota. Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, dimana kewenangan Desa adalah kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa. Semangat UU 32/2004 yang meletakan posisi Desa berada di bawah Kabupaten/Kota tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU 32/2004 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU 32/2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan pada Desa. Adanya dua prinsip/asas dalam pengaturan tentang Desa tentu saja menimbulkan ambivalensi dalam menempatkan kedudukan dan kewenangan Desa. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah Desa memiliki otonomi? Ketidak-jelasan kedudukan dan kewenangan Desa dalam UU 32/2004 membuatUU 32/2004 belum kuat mengarah pada pencapaian cita-cita Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Sejak lahir UU 22/1999 otonomi (kemandirian) Desa selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil di kalangan asosiasi Desa (sebagai representasi Desa), tetapi sampai sekarang belum terumuskan visi bersama apa makna otonomi Desa. apakah yang disebut otonomi Desa adalah otonomi asli sebagaimana menjadi sebuah prinsip dasar yang terkandung dalam UU 32/2004, atau otonomi yang didesentralisasikan seperti halnya otonomi daerah? Ada banyak kalangan bahwa otonomi Desa berdasar otonomi asli, yang berarti Desa mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan tanggungjawab negara. Namun ada banyak pandangan bahwa sekarang otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan pemerintahan sudah menjadi milik negara tidak ada satupun urusan pemerintahan yang luput dari pengaturan negara bagi banyak kalangan yang sudah melampui (beyond) cara pandang otonomi asli menyampaikan dan menuntut pemberian (desentralisasi) otonomi kepada Desa dari negara, yakni pembagian kewenangan dan keuangan yang lebih besar. Pada jaman penjajahan misalnya, dalam Revenue-Instruction Pasal 14 jelas ditegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban yang berkenaan dengan pendataan Desa secara luas. Bahkan dalam Pasal 74 ditegaskan bahwa tanggung jawab mengenai Pajak Desa adalah di tangan Kepala Desa serta berbagai kewenangan lain misalnya dalam bidang penegakan hukum (Soetardjo, 1984: 137-138). Berpangkal dari besarnya kewenangan Kepala Desa pada jaman penjajahan ini, saat ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Desa dapat berdaya menjalankan berbagai kewenangan yang ada seperti dalam pengelolaan hutan Desa, pasar Desa, batas Desa, perbaikan lingkungan, pengairan Desa dan lainnya. Nilai demokrasi Desa juga diperdebatkan oleh banyak kalangan. Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana makna demokrasi substansial dan demokrasi prosedural yang tepat dan relevan dengan konteks lokal Desa? UU 32/2004 mengusung nilai demokrasi substansial yang bersifat universal seperti akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Tentu banyak pihak menerima nilai-nilai universal ini, mengingat Desa sekarang telah menjadi institusi modern. Tetapi tidak sedikit orang yang selalu bertanya: apakah nilai-nilai universal itu cocok dengan kondisi lokal, apakah orang-orang lokal mampu memahami roh akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dengan cara pandang lokal, atau adakah nilai-nilai dan kearifan lokal yang bisa diangkat untuk memberi makna dan simbol akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Sementara perdebatan pada aras demokrasi prosedural terletak pada pilihan: permusyawaratan yang terpimpin atau perwakilan yang populis.Dari sisi kesejahteraan, UU 32/2004 memang telah membawa visi kesejahteraan melalui disain kelembagaan otonomi daerah. Semua pihak mengetahui bahwa tujuan besar desentralisasi dan otonomi daerah adalah membangun kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab besar meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kewenangan besar dan keuangan yang dimilikinya. Tetapi visi kesejahteraan belum tertuang secara jelas dalam pengaturan mengenai Desa. Berbagai pertanyaan selalu muncul terkait dengan visi kesejahteraan Desa. Apakah UU 32/2004 sudah memberi amanat pemulihan dan penguatan Desa sebagai basis penghidupan berkelanjutan (sustanaible livelihood) bagi masyarakat Desa? Bagaimana hak-hak Desa untuk mengelola sumberdaya alam lokal? Bagaimana pelayanan publik dan pembangunan daerah yang memungkinkan keseimbangan pendekatan sektoral dengan pendekatan spasial (Desa)? Bagaimana sebenarnya fungsi Desa bagi kesejahteraan rakyat Desa? Apakah Alokasi Dana Desa (ADD) cukup memadai untuk membangun kesejahteraan rakyat Desa?Perdebatan mengenai otonomi, demokrasi dan kesejahteraan itu paralel dengan pertanyaan fundamental tentang apa esensi (makna, hakekat, fungsi, manfaat) Desa bagi rakyat. Apakah Desa hanya sekadar satuan administrasi pemerintahan, atau hanya sebagai wilayah, atau hanya kampung tempat tinggal atau sebagai organisasi masyarakat lokal? Apakah Desa tidak bisa dikembangkan dan diperkuat sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya? Kedua, disain kelembagaan pemerintahan Desayang tertuang dalam UU 32/2004 juga belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu mengundang pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya. Meskipun UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengedepankan keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa disain yang diambil tetap Desa baku (default village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional village yang sesuai dengan keragaman lokal. Format bakunya adalah Desa administratif (the local state government) atau disebut orang Bali sebagai Desa Dinas, yang tentu bukan Desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing community) dan bukan juga Desa otonom (local self government) seperti daerah otonom. UU 32/2004 tidak menempatkan Desa pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian tanpa kehadiran Desa administratif. Baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/kota.Posisi Desa administratif itu membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan Desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli) susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari kabupaten lebih banyak bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kebupaten/Kota dan mengandung banyak beban karena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya. Misalnya kewenangan Desa untuk memberikan rekomendasi berbagai surat administratif, dimana Desa hanya memberi rekomendasi sedangkan keputusan berada di atasnya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi Desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi Desa untuk mengurus Tata Pemerintahannya sendiri. Demikian juga dalam hal perencanaan pembangunan. Desa hanya menjadi bagian dari perencanaan daerah yang secara normatif-metodologis ditempuh secara partisipatif dan berangkat dari bawah (bottom up). Setiap tahun Desa diwajibkan untuk menyelenggarakan Musrenbangdes untuk mengusulkan rencana kepada kabupaten. Praktik empiriknya proses itu tidak menjadikan perencanaan yang partisipatif, dimana perencanaan Desa yang tertuang dalam Musrenbang, hanya menjadi dokumen kelengkapan pada proses Musrebang ti tingkat Kabupaten/Kota.Ketiga, Desain UU 32 Tahun 2004 tentang Desa terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Kecenderungan ini membuat implementasi kewenangan ke Desa sangat tergantung pada kecepatan dan kapasitas Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membuat pengaturan lebih lanjut tentang Desa. Berdasarkan UU 32/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengamanatkan ada sebanyak 18 buah Peraturan Daerah dan dua Peraturan Bupati/Walikota yang harus dibentuk oleh kabupaten/kota.menyetujui RUU Desa menjadi Undang- Undang dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 18 Desember 2013. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Januari 2014 telah menandatangani pengesahan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut (UU Desa). Dalam proses pembahasan di DPR-RI, perdebatan terhadap materi Undang-Undang Desa itu memakan waktu bertahun-tahun. Undang-Undang Desa dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan.Pertama, Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).Kedua, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur dengan undang-undang tersendiri. Sebelum lahirnya Undang-Undang Desa, pengaturan mengenai desa diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemda).Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Desa tersebut maka ketentuan mengenai desa dalam Undang-Undang Pemda dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang Desa disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7) UUD NRI 1945, dengan konstruksi menggabungkan fungsi self governingcommunity dengan localselfgovernment, sehingga landasan konstitusional ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi masa depan desa di Indonesia. Namun, apakah pengaturan desa dalam Undang-Undang Desa sudah cukup komprehensif sebagai pondasi bagi pembangunan dan pemberdayaan desa? Undang-Undang Desa terdiri dari 16 Bab dan 122 Pasal, antara lain mengatur kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat, keuangan dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, kerjasama desa, serta pembinaan dan pengawasan. Definisi desa atau disebut dengan nama lain dalam Undang-Undang Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Substansi yang cukup penting dalam Undang-Undang Desa adalah mengenai asas dalam konteks pengaturan desa, antara lain asas rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul.B. Arah Kebijakan baru Desa Berdasarkan Undang-Undang 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2014 tentang DesaAsas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.Asas keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri. Asas pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Kewenangan Desa tersebutmeliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul

b. kewenangan lokal berskala desa;

c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Desa mengatur mengenai penyelenggara pemerintahan desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa.

Kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala desa dapat menjabat 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Masa jabatan ini berbeda dengan Undang-Undang Pemerintah daearah yang membatasi hanya dapat dipilih kembali untuk (1) satu kali masa jabatan berikutnya. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Perangkat desa diangkat oleh kepala desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama Bupati/WalikotaKepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota dan ditetapkan dalam APBD Kabupaten/Kota. Selain memperoleh penghasilan tetap tersebut, Kepala desa dan perangkat desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah. Ketentuan mengenai pendapatan dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Undang-Undang Desa mengatur mengenai keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.BPD merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.Pemerintah desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa Musyawarah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara BPD, pemerintah desa dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Salah satu substansi penting yang tertuang dalam UU Desa adalah pengaturan tentang keuangan desa. Undang-Undang Desa menyatakan bahwa desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri dari:a. pendapatan asli desa

b. alokasi anggaran APBN

c. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota

d. alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota

e. bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota

f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, serta

g. lain-lain pendapatan desa yang sah. Khusus point b, alokasi anggaran

yang berasal dari APBN, bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Dalam penjelasan Pasal dijelaskan bahwa besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran tersebut dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa bagi kabupaten/kota yang tidak memberikan alokasi dana desa tersebut, pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkanke desa. Selanjutnya, UU Desa mengatur mengenai Badan Usaha Milik Desa yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Disamping ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan ekonomi desa, terdapat lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat, yang berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah bagi terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat dalam pembangunan masyarakat dan desanya, serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.Sesuai dengan prinsip desa membangun, desa sebagai subjek pembangunan, maka model pembangunan yang digerakkan masyarakat (communitydrivendevelopment) berubah menjadi pembangunan yang digerakkan oleh desa atau desa menggerakkan pembangunan (villagedrivendevelopmentVDD) VDD mempunyai beberapa karakteristik (Sutoro Eko, DesaMembangun Negara 2014) Desa hadir sebagai sebuah kesatuan kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat desa.

Kepentingan dan kegiatan dalam pemerintahan dan pembangunan diikat dan dilembagakan secara utuh dan kolektif dalam sistem desa.Kemandirian desa yang ditopang dengan kewenangan, diskresi dan kapasitas lokal.Kepala desa tidak bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan berdiri dan bertindak sebagai pemimpin masyarakat.Otoritas dan akuntabilitas pemerintah desa yang memperoleh legitimasi dari masyarakat.Desa harusmempunyai pemerintah yang kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah. Demokratisasi desa yang mencakup:

(a) institusionalisasi nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi,

inklusivitas dan keseteraan gender(b) institusi representasi dan deliberalisasi dan

(c) pertautan (engagement) antarpelaku di desa. Karakteristik VDD lainya yaitu Pelembagaan perencanaan dan penganggaran secara inklusif dan partisipatoris serta berbasis pada aset lokal.Pembangunan berbasis pada aset penghidupan lokal.Dana Alokasi Desa dari pemerintah sebagai bentuk redistribusi ekonomi dari negara dan menjamin keadilan ekonomi bagi desa.Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem sosial-budaya yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.Satu desa, satu rencana, satu anggaran.Warga yang kritis, aktif dan terorganisir.Ikatan warga dalam komunitas sangat penting tetapi tidak cukup, namun butuh warga yang aktif, melek dan sadar politik terhadap hak dan kepentingan mereka, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.Pengaturan desa dalam Undang-Undang Desa sudah cukup memadai sebagai landasan bagi pembangunan dan pemberdayaan desa, meskipun perlu peraturan pelaksanaan lebih lanjut yang diperintahkan oleh Undang-Undang Desa. Dengan pengaturan yang ada, tujuan yang ada di Undang-Undang tersebut dapat tercapai yaitu: memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa.Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional.Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan Undang-Undang Desa memberikan harapan yang besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan pemerintahan desa. Undang-Undang Desa diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di desa yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, serta memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan memperkuat desa sebagai entitas masyarakat yang kuat dan mandiri.Desa juga menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanan pembangunan dan kemasyarakatan. Sehingga, Undang-Undang Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan desa dalam merespon proses demoktratisasi, modernisasi, dan globalisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan Undang-Undang, desa iniakan layak sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. (Mendagri Gamawan Fauzi, 2014) Bahkan lebih dari itu, desa akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara dimasa yang akan datang. Lebih lanjut Undang-Undang Desa mengangkat desa pada posisi subjek yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena akan menentukan format desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal, serta merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Membangun dan memberdayakan desa artinya membangun Negara.

1.2 Maksud dan Tujuan

Pengkajian ini bermaksud melakukan analisis terhadap kondisi eksisting pemerintahan Desa yang berada Kabupaten Pandeglang dan menyusun desain Naskah akadamik bagi Pemerintah Kabupaten Pandeglang sebagai dasar akan di kelurakanya Rancangan peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa,dan Pemerintahan Desa. Tujuan pengkajian ini adalah :

1. Untuk menyusun Naskah kajian yang di sesuaikan dengan kebutuhan Rancangan Peraturan Daerah khususnya Raperda Tentang Peraturang Desa, Pemilhan Kepala Desa, Keuangan Desa dan Pemerintahan Desa 2. Menganalisis Perbandingan Undang-Undang32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Menganalisi Perbandingan antara Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 mengenai tentang Progarm Peraturan Desa, Pemilihan Kepala Desa, Keuangan Desa, Pemerintahan Desa. 3 Menghasilkan out put dari Perbandingan dan Kedua Undang-Undang dan Peraturan pemerintah Tersebut1.3 Luaran (output) Kegiatan

Evaluasi sistem pemerintahan desa birokrasi Pemerihan desa dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalah dan hambatan kinerja dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan publik di desa dan menggembalikan desa sebagai pemegang otonomi penuh dalam setiap pengambilan kebijakan berdasarkan undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014

1.4 Metode Kegiatan Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan tailor made, yakni berupaya menyusun desain kelembagaan perangkat daerah dengan melakukan analisis terhadap kondisi eksisting yang ada sekarang serta kebutuhan di masa mendatang pengumpulan data yang digunakan meliputi:

1. Studi literatur dan dokumentasi untuk mengumpulkan data dan bahan berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan kelembagaan perangkat daerah. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data dan bahan berupa

2. hasil kajian yang sudah dilakukan sebelumnya sebagai bahan perbandingan dan pengayaan analisis.

3. Focus group discussion (FGD) dengan para pengambil kebijakan, antara lain Asisten Daerah Bidang Administrasi, Kepala Badan Pemberdayaan Pemerinthan Masyarakat Desa Kabupaten Pandeglang Data dan bahan yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan teknik analisis sebagai berikut:

1. Perbandiangan Undang-Undang 32 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah 72 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan peraturan pemerintah Nomor 43 tahun 2014 yang mencakup indikator-indikator sebagai a. Peraturan Desab. Pemilihan Kepala Desac. Keuangan Desad. Pemerinatahan Desa2. Analisis kebutuhan Kabupaten Pandeglang dengan mengacu pada aspek-aspek sebagai berikut:

a. Visi dan Misi

b. Peningkatan pelayanan

c. Reformasi birokrasiBAB II

KAJIAN TOERISTIS DAN PRAKTEK EMPIRISA. Konsep AsasRekognisi DesaSemangat dibentuknya undang-undang desa ini adalah Negara melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.Memperkuat Catur Sakti atau desa bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.Membangun tradisi berdesa, dalam arti desa bukan hanya kampung halaman atau tempat bermukim, tetapi juga menjadi basis sosial serta basis politik pemerintahan, atau menjadi arena bermasyarakat dan bernegara.tujuan pengaturan desa melalui undang-undang ini. Pertama memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.Berikutnya melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa, mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab, meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional, serta memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dan memperkuat Desa sebagai subjek pembangunan. Olehnya dijelaskan pula perspektif baru, asas baru dan posisi baru antara desa dahulu dan saat ini.Dalam undang-undang ini terbentuk relasi baru antara negara, desa dan warga.Negara berperan melakukan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap eksistensi desa, memberikan atau menetapkan mandat urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat kepada desa. Selanjutnya Negara melakukan redistribusi seperti uang dan sebagian aset negara serta melakukan pembinaan, pemberdayaan dan pengawasan terhadap desa. Sementara itu warga Desa menjadi basis sosial bagi warga masyarakat, menjadi arena untuk merajut modal social.Desa menjadi arena politik dan pemerintahan bagi warga, Desa menjadi arena perencanaan dan penganggaran secara kolektif dan partisipatif.Desa memberikan pelayanan dasar kepada warga dan melakukan konsolidasi aset ekonomi local.Arah dari undang-undang (desa) ini yakni rekognisi, penataan desa, mandat kewenangan, redistribusi, institusionalisasi sistem desa, pembangunan desa, pembinaan dan pemberdayaan serta pengawasan.Desa yang maju, kokoh, mandiri dan demokratis yang pada akhirnya menuju kesejahteraan rakyat, azaz rekognisi Desa tidak bisa dipandang dan ditempatkan dengan asas desentralisasi dan residualitas.Artinya desa bukan sekadar organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, atau desa bukan residu (sisanya sisa) kabupaten/kota.Desa lebih tepat dipandang dengan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) dan subsidiaritas. Artinya negara mengakaui dan menghormati desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat).Rekognisi terhadap eksistensi desa, hak-hak tradisional dan prakarsa desa definisi dan makna dari implikasi rekognisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa (baik yang adat maupun desa) merupakan kesatuan dan subyek hukum, sehingga merupakan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat, pemerintahan yang menyatu dengan masyarakat atau pemerintahan milik masyarakat. Atau pemerintahan paling depan, paling bawah dan paling dekat dengan masyarakat.Mengatur berarti membuat keputusan untuk mengalokasikan sumberdaya dan menyelesaikan masalah yang mengikat banyak orang.Mengurus berarti mengelola atau melaksanakan.Urusan pemerintahan merupakan bidang kegiatan atau hajat hidup orang banyak atau kepentingan warga yang telah menjadi domain kewenangan pemerintah supradesa, namun karena berskala lokal dimandatkan menjadi kewenangan desa.Kepentingan masyarakat setempat adalah kebutuhan hidup bersama yang muncul karena prakarsa masyarakat setempat.

Mekanisme penataan desa antara lain penetapan desa dan desa adat melalui Perda Kabupaten/kota. Penyesuaian kelurahan, yaitu kelurahan yang sebenarnya berwajah desa dikembalikan menjadi desa, contohnya kelurahan di ibukota kecamatan.Desa ada sesuai ketentuan umum ialah kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional.Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Desa adat (Self

governing

community)Desa otonom (Local self

government)Desa administratif

(Local state

government)

BentukDesa adat atau

sekadar organisasi

komunitas yang

mempunyai

pemerintahan sendiri.

Punya otonomi asliDesa otonom, atau sering

disebut dengan daerah

otonom tingkat III.Desa administratif,

atau semacam unit

birokrasi sebagai

kepanjangan tangan

negara di tingkat

lokal.

StatusSebagai organisasi

komunitas yang lepas

(di luar) struktur

birokrasi NegaraSebagai unit pemerintahan

lokal otonom yang berada

dalam subsistem

pemerintahan NKRI.Sebagai satuan kerja

perangkat

pemerintah daerah.

AzasRekognisi (pengakuan

dan penghormatan)Desentralisasi

(penyerahan)Delegasi atau tugas

Pembantuan

ContohDesa adat di BaliDesa swapraja atau

DesaprajaKelurahan

Desain

institusionalDesa mempunyai

kewenangan asal- usul

Desa mengelola

urusanurusan

masyarakat yang

berskala lokal.

Mempunyai susunan

asli.

Mempunyai institusi

demokrasi

komunitarian

(musyawarah).

Pemerintah

memberikan

bantuan keuanganStatus desa seperti

daerah otonom.

Pemerintah memberikan

desentralisasi

(penyerahan) urusanurusan

menjadi

kewenangan desa.

Mempunyai institusi

politik demokrasi

modern (elektoral dan

perwakilan)

Pemerintah wajib

mengalokasikan (alokasi)

anggaran untuk

membiayai pelaksanaan

kewenangan/urusan.Desa menjalankan

tugastugas

administratif dan

pelayanan yang

ditugaskan

pemerintah.

Tidak mempunyai

institusi demokrasi

dan tidak ada

otonomi.

Menerima dana

belanja aparatur

dari pemerintah

Tabel 2

Kelebihan dan Kekurangan

Otonomi Asli DesaDesa Otonom

Keunggulan Sesuai dengan konteks sejarah desa yang mempunyai asalusuljauh sebelum lahir NKRI.

Relevan dengan konsep

pengakuan dan penghormatanyang tertuang dalam konstitusi

Relevan dengan keragaman desa desadi Indonesia Kedudukan dan formatnya

lebih mudah, simpel dan

konkruen dengan

pemerintahan daerah.

Memperjelas pembagian

urusan dari pemerintah

kepada desa.

Memungkinkan terjadinya

penyebaran sumberdaya pada rakyat di level grass roots(desa).

Mengakhiri dualisme dan

benturan antaramodernisme

vs tradisionalisme atau antara

desa dinas/administratif dan

desa adat.

Desa menjadi lebih modern

dan dinamis.

Kelemahan

(termasuk

tantangan, risiko

dan keterbatasan) Mengalami kerumitan/kesulitan

dalam merumuskan disain

kelembagaan pengakuan (apa

yang diakui, siapa yang mengakui,

dan bagaimana mengakui).

Rumit/sulit dalam merumuskan

format keragaman lokal.

Lokal cenderung prasmanandalam mengatur dan mengurusdesa.

Pemerintah sulitmenentukan

standar nasional dalam

pengaturan dan pelayanan publik

pada masyarakat desa.

Bahkan sulit membangun

kesatuan dalam keragaman. Yangmenonjol adalah keragamandalam kesatuan.

Desa terus terjebak dalam

tradisionalismeromantisme dansulit berkembang secara dinamis Konstitusi tidak secara

eksplisit memberi

desentralisasi kepada desa.

Menambah beban dan cakupan

desentralisasiotonomi daerah.

Cenderung tunggal (jika tidak

bisa dikatakan seragam).

Membutuhkan proses transisidan adaptasi yang lebih

panjang (10 tahun).

Membutuhkan proses

menyakinkan yang lebih

panjang kepada masyarakat

adat.

Risikonya, pemerintah harus

mengalokasikan dana yang

lebih besar kepada desa.

Biasanya ini dianggap sebagai

beban yang berat.

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAITA. Cara Pandang Kedudukan DesaSejauh ini ada tiga perspektif untuk menempatkan kedudukan desa di Indonesia dan di banyak negara, sebagaimana terlihat dalam Pilihan kedudukan desa sebaiknya konsisten pada satu kedudukan agar lebih jelas dan tidak menimbulkan tarikmenarik kekuasaan dan tanggungjawab. Filipina misalnya, menempatkan desa (barangay) sebagai desa otonom (local self government).Negaranegara Eropa menempatkan commune atau Inggris Raya menempatkan parish sebagai organisasi komunitas lokal atau self governing community. Dalam tabel itu terlihat ada tiga bentuk kedudukan desa: desa adat atau desa sebagai kesatuan masyarakat (selfgoverning community), desa otonom (local self government) dan desa administratif (local state government). Dalam konteks Indonesia, perdebatan yang menonjol sebenarnya antara pandangan desa adat atau otonomi asli dengan desa otonom atau daerah otonom tingkat III. Bentuk desa administratif merupakan tambahan yang mulai diperkenalkan sejak Orde Baru hingga sekarang.juga menunjukkan kelebihan dan kekurangan antara otonomi asli desa dengan desa otonom. Kalau ditimbangtimbang kedudukan desa otonom merupakan pilihan yang lebih tepat untuk memperkuat desa, tetapi pilihan akan kedudukan ini mengandung tantangan yang besar.Pengalaman Sebelumnya

Pembicaraan tentang kedudukan daerah dan desa selalu mengacu pada Pasal 18 UUD 1945. Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan

mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hakhak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa.

Dalam bagian penjelasan dinyatakan:Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.Daerahdaerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.Selanjutnya dinyatakan juga:

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebutdan segala peraturan negara yang mengenai daerah daerah itu akan mengingati hak-hak asalusul daerah tersebut.Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Zelfbesturende berjumlah sekitar 250 yang tersebar di seluruh Indonesia.Zelfbesturende Landschappen adalah daerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah jajahan Belanda melalui perjanjian politik.Secara teoretis, Zelfbesturende Landschappen itu disebut dengan daerah otonom (local self government) yang dibentuk dengan azas desentralisasi, sedangkanVolksgemeenschappen bisa disebut dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau self governing community yang eksis karena azas pengakuan (rekognisi). Penjelasan itu tampaknya mengisyaratkan bahwa desadesa (atau nama lainnya) yang berjumlah 250 itu ada yang berstatus daerah otonom (local self government) ada pula yang berstatus self governing community.Tetapi identfikasi yang jelas belum pernah dilakukan sehingga mengalami kesulitan dalam pengaturan desa.Untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2.yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undangundang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan desa, sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri.Namun desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat II.Karena isinya terlalu sederhana, Undangundang No. 1/1945 ini dianggap kurang memuaskan.Maka dirasa perlu membuat undangundang baru yang lebih sesuai dengan pasal 18 UUD 1945.Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, RUU ini akhirnya disetujui BP KNIP, yang pada tanggal 10 Juli 1948 lahir UU No. 22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3 angka 1 UU No.22/1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa.Daerahdaerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, desa/kota kecil.Sebuah skema tentang pembagian daerahdaerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang-undang.Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asalusul yang di zaman sebelun RI mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. UU No. 22/1948 menegaskan pula bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. UU No. 22/1948 secara tegas dan jelas menempatkan desa sebagai daerah otonom tingkat III atau daerah otonom yang terbawah. Berikut ini penjelasan III butir ke18: Menurut Undangundang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah adalah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau.Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti bahwa desa itu sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segalagalanya diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan.Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya).Pemberian hak otonomi menurut ini.Gemeenteordonanntie adalah tidak berarti apaapa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apaapa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu diikat pada adatadat, yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi.Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya, adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya karena kepentingan penjajah menghendaki itu.Desa tetap tinggal terbekalang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah.Tetapi Pemerintahan Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya.Untuk memenuhi pasal 33 UUD, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur.Untuk mendapatkan kemakmuran itu harus dimulai dari bawah, dari desa.Oleh karena itu, desa harus dibikin di dalam keadaan senantiasa bergerak maju (dinamis). Maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan di dalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan supaya bimbingan terhadap daerahdaerah yang mendapat pemerintahan menurut Undangundang pokok ini lebih diutamakan diadakan di desa. Tetapi UU No. 22/1948, terutama dalam hal desa, tidak berjalan karena munculnya Konstitusi RIS dan Undangundang Dasar Sementara 1950.Di bawah UUDS 1950 itu lahirlah UU No. 1/1957.UU yang lahir di era demokrasi parlementerliberal inimemandang desa secara berbeda dengan pandangan UU No. 22/1948.Meskipun UU No. 1/1957 membagi daerah menjadi tiga tingkatan, tetapi tidak cukup jelasmenyebut desa sebagai daerah otonom tingkat III.Bahkan penjelasan politik UU ini tentang desa berbeda secara kontras dengan pandangan UU No. 22/1948: Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempattempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikinbikinan wilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikinbikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuankesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktorfaktor pengikut kesatuannya. Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan halhal adanya atau tidak adanya kesatuankesatuan masyarakat hukumadat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukumadat, sehingga manakala sesuatu kesatuanmasyarakat hukumadat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugastugas kepalakepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segisegi hukumadat yang bercorak ketatanegaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukumadat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketatanegaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.Undang-Undang ini penuh keraguan memandang dan menempatkan posisi desa. Toh Undang-Undang itu tidak berjalan juga karena dua tahun berikutnya, 1959, ada Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945.Produk Undangundang dibawah UUDS dibubarkan.Untuk menyesuaikannya dengan prinsipprinsip demokrasi terpimpin dan kegotongroyongan, maka pada tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat ditarik kesimpulan pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi pemusatan kekuasaan ke dalam satu garis birokrasi yang bersifat sentralistis. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penpres No. 12/1959, yang antara lain menetapkan Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1960 tentang GarisGaris Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuanketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masingmasing adalah:

(a) Paragraf 392 mengenai pembagian Daerah dan jumlah tingkatan;

(b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi;

(c) Paragraf 395 mengenai pemerintahan daerah

(d) Paragraf 396 mengenai pemerintahan desa.Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam UU No. 1/1957; dan menyusun Rancangan UndangUndang PokokPokok Pemerintahan Desa, yang dinyatakan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masa kolonial dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang mengatur tentang kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan pemerintahan desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah desa; keuangan pemerintah desa: serta kemungkinankemungkinan badanbadan kesatuan pemerintahan desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom (Yando Zakaria, 2000).Karena tuntutan itu pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso, atas dasar keputusan presiden No.514 tahun 1960. Tugastugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah:

1. Menyusun Rencana Undangundang Organik tentang Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan citacita Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokokpokok (unsurunsur)Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961.

2. Menyusun Rencana Undangundang tentang pokokpokok Pemerintahan desa, ang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan mengatur halhal pokok tentang:

a. Kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan

b. Bentuk dan susunan pemerintahan desa

c. Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan desa

d. Keuangan pemerintahan desa

e. Pengawasan pemerintahan desa

f. Kemungkinan pembangunan badanbadan kesatuan ppemerintah desa yang ada sekarang ini menjadi satu pemerintahan desa yang otonom

g.Dan lainlain.

3. Mengajukan usul usul penjelasan mengenai:

a. Penyerahan urusanurusan pemerintahan pusat yang menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957 diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi.b. Tuntutantuntutan tentang pembagian daerah (pemecahan, pemisahan,

penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batasbatas wilayah kotapraja, pemindahan ibu kota daerah.

c.Penertiban organisasiorganisasi masyarakat rukun kampung dan rukun tetangga setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil menyelesaikan 2 rancanganundangundang: RUU tentang Pokokpokok pemerintahan daerah dan rancanganundangundang tentang desa praja. Menteri dalam negeri dan otonomi daerah, IpikGandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua RUU itu kepada DewanPerwakilan Rakyat Gotong Royong.Sebelumnya pada bulan Januari 1963 keduarancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur.Pembahasan kedua RUU di DPRGR cukup lama dan alot.Setelah mengalami berbagaipenyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada tanggal 1 September 1965,DPRGR menetapkannya sebagai undangundang.Masingmasing menjadi UU No.18/1965 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965Tentang Desa Praja.Menurut pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan desapraja adalah kesatuanmasyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri.Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuankesatuan yang tercakup dalampenjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali,Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukanbekas swapraja adalah desapraja menurut undangundang ini. Dengan demikian,persekutuanpersekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerahswapraja tidak berhak atas status sebagai desa praja.Dengan memggunakan nama desapraja, UU No.19 /1965 memberikan istilah barudengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakathukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuanmasyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yangberagam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukumyang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya danberhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki hartabenda sendiri.Dalam penjelasan umum tentang desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakanbahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru desapraja, melainkan mengakuikesatuankesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia denganberbagai macam nama menjadi desapraja. Kesatuankesatuan masyarakat hukum lainyang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat diberbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan desa praja, melainkan dapatlangsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan jugamenyatakan bahwa desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkanhanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat IIIdalam rangka Undang-Undang No.18/1965 tentang Pokokpokok Pemerintahan daerah.Suatu saatbila tiba waktunya semua desa praja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat IIIdengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desaprajayang bersangkutan.Dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku dinegara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturanperaturan pelaksanaannyatidak berlaku lagi.Tetapi, UU No.19/1965 tidak sempat pula dilaksanakan dibanyakdaerah.Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undangundang dan peraturan pemerintah Pengganti Undang- undang1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif setelah adanyaundangundang baru yang menggantikannya.Namun, anehnya, Undang-Undang No.19/1965sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui intruksi MenteriDalam Negeri No.29/1966.Karena itu, sejak Undang-Undang No.18/1965 dan UU No.19/1965 berlaku,praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III dan desapraja itutidak terwujud. Secara informal pemerintahan desa kembali diatur berdasarkan IGOdan IGOB.Di masa Orde Baru, UU No. 5/1979 merupakan instrumen kontrol negara kepadamasyarakat lokal, dengan cara menciptakan keseragaman desa di seluruh Indonesia,sekaligus hendak menciptakan modernisasi desa. Perspektif desa administratif (thelocal state government) sangat menonjol dalam UU No. 1979, sebagaimana terlihatdalam definisinya:Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagaikesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukumyang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camatdan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NegaraKesatuan Republik IndonesiaSudah banyak pengalaman pahit dan kritik yang ditujukan kepada UU No. 5/1979.Orang Jawa merasakn bahwa UU No. 5/1979 menempatkan desa sebagai obyekpemerintah, bahkan sebagai gedidal (pekerja kasar yang tidak dihargai secaramanusiawi) yang dikendalikan oleh Camat.Orang Luar Jawa merasakan UU No.5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, yang menyeragamkan satuansatuan masyarkatadat seperti model desa di Jawa, sekaligus menghancurkan nilai dan adatistiadatlokal.UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 sangat peka terhadap persoalan penyeragamanitu, dan karenanya memasukkan dimensi keragaman dalam pengaturan desa,termasuk memberikan keragaman dalam penggunaan nomenklatur dan kewenangan asalusul.Tetapi sayangnya posisi desa ditempatkan dalam subsistem pemerintahankabupaten/kota. Dalam pasal 200 ayat (1), misalnya, disebutkan sama dengan UU No.32/2004:Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desayang melaksanakan kewenangan berdasarkan otonomi asli yang tumbuh danberkembang di dalam masyarakat desa yang bersangkutan.Klausul ini menegaskanpemberian cek kosong kepada bupati/walikota untuk mengatur atau membuatkeputusan politik tentang desa, termasuk menyerahkan kewenangan/urusan kepadadesa.Skema desa dalam daerah atau otonomi dalam otonomi itu mengandung beberapamasalah yang berlapis:

1. Skema itu tidak mengikuti azas yang jelas, kecuali hanya menggunakan alasanpraktismudah. Hukum tatanegara dan teori desentralisasi tidakmembenarkan adanya penyerahan kewenangan dari daerah otonom ke unityang lebih rendah seperti desa.

2. Meski UUD hanya melakukan desentralisasi teritorial ke provinsi dankabupaten/kota, atau tidak sampai ke desa, tetapi pada saat yang sama,konstitusi tidak memberi amanat kepada UU untuk menempatkan desa dalamdaerah. Yang ditegaskan dalam konstitusi adalah pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa atau nama lain) yang masih ada.

3. Skema desa dalam daerah menganggap bahwa desa hanya menjadi masalahkecil dan karena itu diserahkan kepada daerah. Desa hanya menjadi sisanyasisa penyelenggaraan pemerintahan daerah.

4. Secara empirik otonomi desa dalam otonomi daerah itu tidak berjalan.Secara hukum desa menjadi insider kabupaten/kota, tetapi secara politikempirikdesa sebenarnya dianggap outsider oleh pejabat daerah.UU No.32/2004 dan PP No. 72/2005 beserta aturan pelaksanaannya tidak berjalansecara optimal karena sebagian besar pemerintah kabupaten/kota engganberbagi sumberdaya kepada kepada desa.Bahkan kebanyakan bupatimelakukan politisi terhadap desa untuk kepentingan jangka pendek. Masalah-masalahyang terkait desa tidak bisa selesai di level kabupaten tetapi selaludibawa naik ke pusat, termasuk melempar aksi kolektif orang desa darikabupaten ke provinsi dan dari provinsi ke pusat.

Kesulitan Pilihan

Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten pada salah satu kedudukan desamengalami kesulitan yang serius.Mengapa?Pertama, ada kesulitan menafsirkanmakna Pasal 18 UUD 1945.Apalagi substansi Pasal 18 versi asli mengalamiperubahan dalam UUD 1945 Amandemen Kedua.UUD amandemen menghilangkanistilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: Negara Kesatuan Republik Indonesiadibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dankota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerahyang diatur dengan undangundang. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negaramengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat besertahakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamundangundang. Dalam konteks ini sering muncul pertanyaan apakah desa satusatunyakesatuan masyarakat hukum adat?

Sejauh ini ada beberapa tafsir yang muncul:

1. Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III: Desa merupakan bentukdaerah kecil yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa. Karena itunegara sebaiknya melakukan desentralisasi teritorial, yang membagi wilayahNKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa.Desa sebagai daerah kecilmenjadi desa otonom (local self government) atau daerah otonom tingkat III, yangmengharuskan negara memberikan desentralisasi kepada desa.Penganutperspektif desa otonom (local self government), UU No. 22/1948 dan UU No.19/1965 termasuk yang mengikuti tafsir ini.

2. Tafsir otonomi asli: Batang tubuh Pasal 18 UUD 1945 sama sekali tidak, mengenaldesa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah NKRI menjadi provinsi,kabupaten/kota dan desa. Konstitusi hanya membagi NKRI menjadi daerah besar(provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Menurut tafsir ini, desa (atau namalainnya yang berjumlah 250) merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yangharus diakui (rekognisi) oleh negara. Dengan demikian, negara tidak memberikandesentralisasi pada desa untuk membentuk desa sebagai unit pemerintahan lokalyang otonom.Posisi desa yang tepat menurut tafsir ini sebagai organisasimasyarakat adat atau desa adat (self governing community) yang mempunyai danmengelola hak asalusul.Konsep otonomi asli berpijak pada tafsir ini.

3. Tafsir pragmatis: Tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD 1945 amanden kedua.

Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini mengatakan bahwa NKRI hanya dibagimenjadi wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi hanya berhentipada kabupaten/kota, tidak sampai ke desa.Tetapi tafsir ini berbeda dengan tafsirkedua karena tidak menempatkan kedudukan desa sebagai desa adat (selfgoverning community), melainkan menempatkan desa sebagai unit pemerintahandi bawah dan di dalam subsistem pemerintah kabupaten.UU No. 22/1999 dan UUNo. 32/2004, dengan alasan praktis (meninjam istilah Prof. Sadu Wasistiono),mengikuti tafsir ini.Padahal UUD 1945 tidak secara eksplisit mengamanatkanpenempatan kedudukan desa dalam subsistem pemerintah kabupaten/kota.Kedua, masingmasing tipe kedudukan mempunyai kelebihan dan kelemahan, sepertiterlihat dalam tabel 2.Keduanya tampak menempati posisi yang biner dan berbedasecara kontras.Kelemahan dalam desa rekognisi (adat) justru bisa menjadi kelebihandalam desa otonom, sebaliknya kelemahan desa otonom menjadi kelebihan desa adat.Tetapi kalau ditimbangtimbang posisi desa otonom jelas lebih unggul daripada desarekognisi (adat), yakni akan membuat desa lebih kuat, maju, modern dan dinamis.Pertanyaannya, apakah kita mempunyai visi politik untuk membawa desa desa lebihkuat, maju, modern dan dinamis, atau sebaliknya akan menempatkan desa padaposisi yang status quo?Ketiga, secara historis, semua desa di Indonesia berbentuk self governing community.Konstitusi UUD 1945 secara implisit juga menempatkan desa sebagai kesatuanmasyarakat hukum adat atau disebut dengan self governing community tersebut.Tetapi secara lambat laun sejak kolonial dan puncaknya pada masa Orde Baru, negaramemaksakan bentuk the local state government pada desa, yang menempatkan desasebagai kepanjangan tangan negara.Di masa Orde Baru, desa dibuat secara seragamsebagai desa administratif, sehingga spirit dan bentuk self governing communitymengalami kerusakan.UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mulai memasukkandimensi local self government secara inkremental, tetapi belum sempurna.Saat iniposisi desa dibuat default, yang mengandung campuran antara self governingcommunity (sebagaimana ditegaskan dalam kewenangan asalusul, mempunyai tanahbengkok atau ulayat, dan perangkat desa yang dikelola secara tradisional), local selfgovernment (desa berwenang menyusun organisasi desa dan perencanaan desa,mengelola kewenangan berskala lokal, memperoleh ADD, ada pilkades langsung, adaBPD, dll) yang belum sempurna, dan juga ada local state government (ada begitubanyak tugas pembantuan atau permintaan tolong kepada desa). Tetapi posisi daninstitusi yang inti tidak ditonjolkan.Keempat, karena pengaruh adat, kondisi geografis dan kemajuan pembangunan yangberbeda, kondisi desadesa di Indonesia sangat beragam.Bentuk desa otonom tentusangat cocok diterapkan di Jawa, sebagian Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagianSulawesi.Sebaliknya format desa adat (rekognisi) tidak tepat diterapkan di Jawakarena di Jawa pengaruh adat semakin hilang.BAB IV

LANDASAN HISTORIS FILOSOFIS,SOSIOLOGIS,YURIDIS, PSIKOPOLITIK1. Argumen historis

Pertama, Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).

Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai republik kecil, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).

Kedua, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Diantara kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangandan keberlanjutanhubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan. 2. Argumen filosofis-konseptual

Pertama, Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan di atasnya ada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus menjadi landasan dan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa yang memiliki tata pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.Kedua, mengikuti pendapatProf. Mr J de Louter, seorang ahli tata negara Belanda dan F. Laceulle dalam suatu laporannya yang menyatakan bahwa bangunan hukum Desa merupakan fundamen bagi tatanegara Indonesia (Sutardjo, 1984: 39). Artinya bahwa bangsa dan negara sebenarnya terletak di Desa, maka pengaturan Desa dalam Undang-Undang adalah sangat mendesak karena jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ini akan menentukan luasnya jangkauan pengaturan mengenai Desa. Artinya pengaturan dalam Undang-Undang ini akan menentukan pula maju mundurnya Desa yang berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya.

Otonomi dan demokrasi Desa yang akan dibingkai dengan undang-undang tentang Desa bukan sekadar perkara kelembagaan semata, melainkan mempunyai dasar filosofis yang dalam. Kita membutuhkan bangsa yang mandiri-bermartabat, butuh negara (pemerintah) yang kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demokratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan otonomi Desa menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat dan sempurna, yang melampui (beyond) sentralisme dan lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang menghargai lokal dan lokal yang menghormati pusat. Kemandirian Desa akan menjadi fondasi dan kekuatan NKRI dan imajinasi Indonesia itu. Jika Desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI. Kedepan kita membutuhkan Desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Ketiga, Undang-Undang tentang pemerintahan Desa merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera apa maknanya? Pertama, kemandirian Desa bukanlah kesendirian Desa dalam menghidupi dirinya sendiri. Kemandirian Desa tentu tidak berdiri di ruang yang hampa politik, tetapi juga terkait dengan dimensi keadilan yang berada dalam konteks relasi antara Desa (sebagai entitas lokal) dengan kekuatan supraDesa (pusat dan daerah) yang lebih besar. Secara lokal-internal, kemandirian Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak dan kemauan entitas Desa yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan, jaringan dan solidaritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal yang kuat merupakan fondasi lokal bagi kemandirian Desa.Tetapi inisiatif lokal ini tidak bakal tumbuh dengan baik jika tidak ada ruang yang memungkinkan (enabling) untuk tumbuh. Regulasi yang mengandung banyak instruksi dan intervensi tentu akan menumpulkan inisiatif lokal. Karena itu kemandirian Desa membutuhkan kombinasi dua hal:Pertama inisiatif lokal dari bawah dan respons kebijakan dari atas dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap keberadaan entitas Desa dan termasuk organisasi masyarakat adat, yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan hak, kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada Desa. Kewenangan memungkinkan Desa mempunyai kesempatan dan tanggungjawab mengatur rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat, yang sekaligus akan menjadi bingkai bagi Desa untuk membuat perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa.

Kemandirian itu sama dengan otonomi Desa. Gagasan otonomi Desa sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:

Memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI.

Memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan;

Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat;

Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;

Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal;

Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa;

Memberikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi Desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;

Menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;

Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa, lembaga-lembaga Desa dan masyarakat.

Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.

Kedua, demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip dasar: representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi, yang semua prinsip ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan, perencanaan Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul penguasa tunggal yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan Desa akan berjalan apa adanya secara rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat Desa. Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah Desa. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi, Demokrasi juga menjadi arena untuk mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat dari perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.

Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni penyediaan layanan dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi Desa yang berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan demokrasi Desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi rakyat Desa. Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat bermanfaat untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin mampu dicakup oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga kebijakan pemerintah yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada perbaikan pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal. 3. Argumen yuridis

Pertama, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal 18b adanya kesatuan masyarakat hukum adat. Kemudian dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan ...., maka otonomi Desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari Desa itu sendiri... Hal ini berarti bahwa Desa sebagai susunan pemerintahan terendah di Indonesia mempunyai identitas dan entitas yang berbeda dan perlu di atur tersendiri dalam bentuk Undang-Undang. Selain itu, usulan mengenai pentingnya Undang-undang mengenai Desa ini dikemukakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.

Sejumlah isu yang terkandung UUD 1945 tentu membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-undang. Termasuk pasal 18 yang mengatur keberadaan daerah besar dan kecil. Pasal 18 itu berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan: Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Ini berarti bahwa daerah yang lebih kecil mencakup kabupaten/kota dan Desa, atau setidaknya undang-undang juga harus memberi kedudukan yang tepat keberadaan Desa yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir, dan Desa pada masa kolonial juga telah diatur tersendiri (Yando Zakaria, 2002).

Kedua, pengakuan dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi sebenarnya nampak jelas (Yando Zakaria, 2002). Dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa: Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa NKRI harus mengakui keberadaan Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam. Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa otonom (local self government) atau disebut Desa Praja yang kemudian dikenal dalam UU Nomor 19 Tahun 1965, yakni Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau menurut orang Bali disebut dengan Desa adat atau self governing community. Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan volksgetneenschappen akan mengikutiazas rekognisi/pengakuan (meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).

Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang, apalagi di zaman Orde Baru UU 5/1979 melakukan penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi, UUD 1945 Amandemen Kedua malah menghilangkan istilah Desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Meskipun istilah Desa hilang dalam UUD 1945 amandemen ke-2, tetapi klausul Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya berarti mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya. UU 22/1999 dan UU 32/2004 telah memberikan pengakuan itu dan secara nasional melakukan penyebutan Desa (atau dengan nama lainnya). Pengakuan diberikan kepada eksistensi Desa (atau nama lain) beserta hak-hak tradisionalnya hak asal-usul. Kebijakan yang sama juga terlihat misalnya dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakui kembali keberadaan mukim (berada di tengah kecamatan dan Desa/Gampong), yang selama Orde Baru mukim dihilangkan dari struktur hirarkhis dan hanya menempatkan gampong sebagai Desa.

Ketiga, penyerahan urusan/kewenangan dari kabupaten/kota kepada Desa sebenarnya tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Karena itu dengan di lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Desa dan peraturan pemerintah Nomor 43 tahun 2014di susun terpisah dari Undang-Undang Pemda, hal ini akan semakin mempertegas amanat dan makna Pasal 18 UUD 1945, sekaligus akan semakin memperjelas posisi (kedudukan) dan kewenangan Desa atau memperjelas makna otonomi Des4. Argumen Sosiologis

Pertama, secara sosiologis, jelas bahwa untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia harus memulai paradigma pembangunan dari bawah (Desa) karena sebagian besar penduduk Indonesia beserta segala permasalahannya tinggal di Desa. Tetapi selama ini, pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan bias kota. Sumberdaya ekonomi yang tumbuh di kawasan Desa diambil oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga Desa kehabisan sumberdaya dan menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota. Kondisi ini yang menciptakan ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.

Kedua, ide dan pengaturan otonomi Desa kedepan dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan sosial, budaya ekonomi dan politik Desa. Otonomi Desa hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa, dan secara sosiologis hendak memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri, mengingat transformasi Desa dari patembayan menjadi paguyuban tidak berjalan secara alamiah sering dengan perubahan zaman, akibat dari interupsi negara (struktur kekuasaan yang lebih besar).

Ketiga, pengaturan tentang otonomi Desa dimaksudkan untuk merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-pemain ekonomi dalam skala global. Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak mungkin dihadapi oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai. Tantangan ini memerlukan institusi yang lebih kuat (dalam hal ini negara) untuk menghadapinya. Oleh karena diperlukan pembagian tugas dan kewenangan secara rasional di negara dan masyarakat agar dapat masing-masing bisa menjalankan fungsinya. Prinsip dasar yang harus dipegang erat dalam pembagian tugas dan kewenangan tersebut adalah Daerah dan Desa dapat dibayangkan sebagai kompartemen-kompartemen fleksibel dalam entitas negara. Berikutnya, ketiganya memiliki misi yang sama yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan yang lebih mendasar adalah survival ability bangsa. Otonomi Desa adalah instrumen untuk menjalankan misi tersebut. Oleh karena itu, tidak tepat kalau dalam otonomi daerah atau Desa justru melemahkan bangunan NKRI atau survival ability bangsa. Ini mungkin terjadi kalau tidak ada pengaturan tepat antara peran negara, daerah dan Desa. Perlu diingat bahwa negara tidaklah sekedar agregasi daerah-daerah atau Desa-Desa yang otonom. (Hastu, 2007). Spirit Desa bertenaga sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebenarnya menjadi cita-cita dan fondasi lokal-bawah yang memperkauat negara-bangsa (Sutoro Eko, 2007; AMAN, 2006). 5. Argumen Psikopolitik

Pertama, sejak kemerdekaan sebenarnya Indonesia telah berupaya untuk menentukan posisi dan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokalPerdebatan terus berlangsung mengawali penyusunan Undang-Undang, tetapi sulit membangun kesepakatan politik. Undang-Undang 19/1965 tentang Desa Praja sebenarnya merupakan puncak komitmen dan kesepakatan politik yang mendudukkan Desa sebagai daerah otonom tingkat III. Tetapi karena perubahan paradigma politik dari Orde Lama ke Orde Baru, UU tersebut tidak berlaku. Selama puluhan tahun pencarian tentang posisi dan format Desa betul-betul mengalami kesulitan yang serius. Mendiang Prof. Selo Soemardjan (1992) selalu menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi dan format Desa. Demikian tuturnya: Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya tidak dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum maupun politis. Sebaliknya menghadapi Desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui sebagai daerah istimewa tampaknya ada berbagai pendapat yang berbeda-beda yang sampai sekarang belum dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan pendapat itu mengakibatkan keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi tingkat I dan tingkat II saja dan sistem tiga tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah tingkat III.Kedua, secara psikopolitik, Desa tetap akan marginal dan menjadi isu yang diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada posisi subordinat dan subsistem pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah, sosiologis, politik dan hukum yang berbeda dengan daerah. Karena itu penyusunan UU Desa tersendiri sebenarnya hendak mengeluarkan Desa dari posisi subordinat, subsistem dan marginal dalam pemerintahan daerah, sekaligus hendak mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

Ketiga, secara politik penguatan otonomi Desa melalui Undang-Undang Desa tersendiri sebenarnya juga menjadi aspirasi Desa yang disuarakan oleh asosiasi pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Mereka senantiasa menuntut perhatian pemerintah pada Desa, kesejahteraan yang lebih baik, kedudukan dan kewenangan Desa yang lebih besar, penempatan Desa sebagai subyek pemerintahan dan pembangunan, alokasi dana Desa yang lebih memadai, serta pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom up). Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) senantiasa menuntut pengakuan negara terhadap adat. Aspirasi dari bawah tersebut tentu memperoleh dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAHTENTANG PEMERINTAHAN DESA

A. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Keuangan DesaSelama ini keuangan Desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli Desa (pungutan, hasil kekayaan Desa, gotong-royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara empirik, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan Desa. Pertama, besaran anggaran Desa sangat terbatas. PADes sangat minim, antara lain karena Desa tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan Desa. Karena terbatas, anggaran Desa tidak mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan perangkat Desa, pelayanan publik, pembangunan Desa apalagi kesejahteraan masyarakat Desa. Anggaran Desa sangat tidak mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan pemerintah supraDesa dengan pemerintah Desa. Kedua, ada kesenjangan antara tanggung-jawab dan responsivitas dengan partisipasi masyarakat dalam anggaran Desa partisipasi masyarakat dalam anggaran pembangunan Desa sangat besar, sementara tanggungjawab dan responsivitas sangat kecil. Sebagian besar anggaran pembangunan Desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh gotong-royong atau swadaya masyarakat. Sementara besaran dana dari pemerintah sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi) dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.

Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada Desa kurang mendorong pemberdayaan. Dulu ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes) selama 30 tahun yang dibagi secara merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999), yang sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga Desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan anggaran. Lagipula alokasi dana yang sama-merata kepada seluruh Desa hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak mencerminkan aspek keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi Desa) dan keadilan. Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan memperoleh alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas Desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa.Selain Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema bantuan proyek masuk Desa, mulai dari IDT, P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Proyek-proyek (yang silih berganti) yang bersifat bagi-bagi uang selalu menimbulkan masalah, sehingga dana menjadi sia-sia. Selain itu, skema bantuan proyek selalu mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks perencanaan lokal (Desa dan daerah) dan kebutuhan lokal. Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (Desa). Baik APBN maupun APBD umumnya kurang perhatian pada Desa. Sebesar 60% - 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin). Sisanya, sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut, jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa pfalon: 20% plafon politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial Desa melalui ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap Desa dan orang miskin di Desa sangat lemahKeterbatasan keuangan Desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan pemerintah Desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan sektor ketiga (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang Desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang positif. Pada masa Undang-undang lama maupun UU No. 22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan Desa, meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Konsep bantuan ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa Desa tidak mempunyai hak atas uang negara.Meski UU 22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada Desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana Desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep bantuan menjadi bagian, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan Desa adalah bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana Desa. Klausul regulasi inilah yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD. ADD tentu memberikan suntikan darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu (integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal dari utang seperti PPK. Pengalaman, tujuan dan manfaat ADD di berbagai daerah sejak 2001 memang sangat beragam. Lebih banyak banyak kabupaten yang enggan membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana Desa (ADD), dengan cara mereplikasi formula perimbangan keuangan. Sampai tahun 2004, akhir baru sekitar 40 kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi dana Desa dengan merujuk pada UU No. 25/1999, yang kemudian disusul oleh kabupaten-kabupaten lain sejak keluar PP No. 72/2005. Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi Desa. Sejak 2005/2006, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan ADD karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kebupatan yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.

Tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah salah satu masalah yang muncul adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan perencanaan Desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena visi jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian kapling. Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena Desa telah memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif pada kebutuhan Desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di Desa, terutama masalah lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa dalam mengelola ADD. Karena itu beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap akuntabilitas keuangan Desa, sehingga memaksa mereka membuat rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block grant. Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa. Pertama, pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supraDesa ke Desa. Kedua, ADD telah mendorong efisiensi penyelenggaraan layanan publik, kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal. Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan Desa lebih bermakna dan dinami