Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan...

99
0 Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jakarta, January 2018

Transcript of Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan...

Page 1: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

0

Perhutanan Sosial: Dari

Slogan Menjadi Program

Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial

Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jakarta, January 2018

Page 2: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

i

Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program

Naskah Akademik Reformulasi

Kebijakan Perhutanan Sosial

Tim Penulis:

R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator) Asep Yunan Firdaus (Anggota) Didik Suharjito (Anggota) Muayat Ali Muhsi (Anggota) Suwito (Anggota) Roy Salam (Anggota) Tri Candra Aprianto (Anggota) Luluk Uliyah (Anggota)

Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Jakarta, Januari 2018

Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Page 3: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

ii

KATA PENGANTAR

Dokumen ini dengan sengaja disusun karena adanya keprihatinan berbagai pihak dalam

menghadapi kenyataan rendahnya capai program Perhutanan Sosial yang telah dicanangkan

Pemerintah yang dimaksudkan sebagai program prioritas pembangunan di perdesaan dalam kurun

waktu 2014 – 2019. Berbagai eleman yang dianggap menghambat kelancaran program itu telah

diurai satu per satu, lengkap dengan solusinya. Bahkan pihak Pemerintah sendiri mengakui adanya

hambatan-hambatan itu, sebagaimana yang disampaikan dalam beberapa kesempatan, seperti Pekan

Perhutanan Sosial 2017 dan Konferensi Internasional tentang Tenurial Sistem di penghujung

Oktober 2017 lalu.

Dengan maksud membantu Pemerintah membenahi berbagai aspek yang diperlukan untuk

memperlancar pencapaian target program perhutanan sosial, perlu penyatuan berbagai analisis,

gagasan, dan solusi pembenahan program Perhutanan Sosial ke depan. Ide penyatuan gagasan yang

disampaikan oleh Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ini, suatu unit kerja

independen yang dibentuk oleh Kantor Staf Presiden untuk membantu tugas-tugas Kantor Staf

Presiden dalam mengendalikan penyelenggaraan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial,

kemudian mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan dari USAID-BIJAK.

Atas dukungan teknis dan dana dari USAID-BIJAK itu, kemudian sejumlah penulis, yang pada

dasarnya telah menuliskan analisisnya untuk berbagai kesempatan, dikumpulkan dalam sebuah

kegiatan lokatulis selama 3 hari. Berdasarkan diskusi dan penulisan draf yang dihasilkan dari kegiatan

lokatulis itu para penulis itu selanjutnya diminta untuk menuliskan bagian-bagian dari dokumen yang

dibutuhkan secara mandiri.

Dengan kata lain, dokumen ini dapat tersusun atas dasar partisipasi beberapa kontribusi

penulis. Dalam pelaksanaannya, agar berbagai ide-ide cerdas yang berseliweran dalam forum FGD

tidak menguap begitu saja, beberapa orang note taker pun dikerahkan. Hasil kerja mandiri para

penulis ini kemudian disunting oleh Koordinator dan wakil koordinator kegiatan. Dalam proses

lokatulis Koordinator juga bertindak sebagai fasilitator proses diskusi. Hasil akhir proses penulisan

ini adalah sebagaimana yang kemudian tersaji dalam dokumen ini.

Sebagaimana yang dapat terbaca dalam dokumen ini, banyak hal telah dikupas dengan tuntas.

Termasuk rincian sejumlah langkah strategis untuk mempercepat pencapaian target program

Perhutanan Sosial. Meski begitu, tentu saja dokumen ini masih jauh dari sempurna. Misalnya,

dokumen ini belum mengandung argumen manfaat ekonomi dan ekologis yang dapat diperoleh dari

penyelenggaraan program Perhutanan Sosial ini. Padahal publik boleh jadi ingin tahu apa artinya

secara ekonomi dan ekologi jika lahan Perhutanan Sosial yang dicadangkan seluas 12,7 ha itu benar-

benar ‘jadi’. Apa pengaruhnya terhadap masalah struktur agraria yang timpang? Karena 50% juga

harus berisi kayu, apa dampak program ini pada masalah lingkungan cq. deforestasi?

Lebih dari itu, sebagai suatu program yang utuh, Perhutanan Sosial ini boleh jadi

mengandung 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahap penyelenggaraan. Layaknya sebagai suatu program

penataan ulang sistem penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria, tentu saja program

perhutanan sosial tidak saja menyangkut urusan redistribusi akses dan penguasaan lahan, melainkan

Page 4: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

iii

juga meliputi tahap penataan usaha perekonomian rakyat serta implementasi dan pengembangan

usaha. Setiap tahapan tentunya membutuhkan sejumlah persyaratan dan serangkaian kegiatan, dan

karenanya membutuhkan waktu pelembagaan yang boleh jadi membutuhkan waktu sekitar 10 hingga

15 tahun.

Bahasan tentang siklus program perhutanan sosial yang lebih utuh ini juga absen dalam

hiruk-pikuk wacana Perhutanan Sosial dalam tiga tahun terakhir ini. Padahal, pada masing-masing

tahap itu punya aspek technicalities dan tantangan yang berbeda-beda yang perlu mendapatkan

perhatian pula. Ulasan yang lebih lengkap itu diperlukan agar khalayak tidak mengalami misleading,

yang ditandai oleh hadirnya anggapan bahwa program Perhutanan Sosial ini akan ‘jadi’ cukup dalam

waktu 5 tahun saja! Padahal, boleh jadi masing-masing tahap itu butuh waktu 5 tahun, karena

sebagaimana yang telah kita alami dalam tahap percepatan pemberian izin ini, dalam aspek kebijakan

saja ada begitu banyak kebijakan yang perlu dibenahi. Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang

Perhutanan Sosial, yang menjadi payung hukum penyelenggaraan program Perhutanan Sosial saat ini

saja baru muncul pada tahun ketiga setelah program dicanangkan. Padahal, untuk penyelenggaraan

Tahap Penataan Produksi misalnya, kebijakan-kebijakan menyangkut permodalan, baik dari sisi Badan

Layanan Umum di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun perbankan jauh

dari kondusif.

Dengan catatan di atas, akan sangat baik bila ada pihak lain yang mau mengelola inisiatif

untuk mengembangkan dokumen ini menjadi dokumen yang lebih utuh. Dokumen yang lebih utuh

itu, katakanlah semacam Buku Putih Perhutanan Sosial, bisa menjadi benchmark yang dapat

diwariskan kepada rezim siapa pun di masa-masa yang akan datang.

Semoga.***

Koordinator Tim Penyusun

Page 5: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR II

DAFTAR ISI IV

DAFTAR TABEL VI

DAFTAR GAMBAR VII

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. LATAR BELAKANG 1 1.2. ARAH KEBIJAKAN KE DEPAN 4 1.3. OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH, KPH DAN DESA 5 1.4. ISI DOKUMEN 8

BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN HUTAN 9

2.1. DINAMIKA MASA LALU 9 2.2. MASA BARU, TANTANGAN BARU 11 2.3. NAWACITA DAN KETIMPANGAN EKONOMI DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA HUTAN 14 2.4. KETERCAPAIAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KEBUTUHAN REFORMULASI KEBIJAKAN 16 2.5. MEMPERCEPAT REALISASI PERHUTANAN SOSIAL 18

BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL20

3.1. PENGEMBANGAN KONSEP PERHUTANAN SOSIAL 20 3.2. KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL SAAT INI 24 3.3. KENDALA DAN REKOMENDASI PELAKSANAAN KE DEPAN 27

BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT 30

4.1. PENGANTAR 30 4.2. BEBERAPA KENDALA PENGAKUAN HUTAN ADAT 31 4.3. PENGATURAN BEBERAPA HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT 35

4.3.1. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN KAWASAN HUTAN 35

4.3.2. PENGAKUAN PADA KEARIFAN LOKAL 36 4.3.3. PENGAKUAN DESA ADAT 36 4.3.4. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN 37 4.3.5. BEBERAPA PERATURAN KEBIJAKSANAAN 37 4.3.6. MASALAH PERANGKAT HUKUM 38

4.4. MEMPERCEPAT PENGAKUAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS HUTAN ADAT 38 4.4.1 PENGANTAR 38 4.4.2 KEWENANGAN MENETAPKAN HUTAN ADAT 39 4.4.3 MENETAPKAN HUTAN ADAT YANG TELAH DIAKUI PEMERINTAH DAERAH 39 4.4.4. MENETAPKAN HUTAN ADAT DIMANA MHA TELAH DIKUKUHKAN PEMERINTAH DAERAH 41 4.4.5. MENDORONG DITERBITKANNYA KEPUTUSAN KEPALA DAERAH UNTUK PENETAPAN MHA

DAN WILAYAH ADAT 42 5.4.6. MEMFASILITASI PEMERINTAH DAERAH MEMBENTUK PERATURAN DAERAH 42

Page 6: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

v

4.4.7. KOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 42

4.4.8. MENSIASATI KEBIJAKAN YANG ADA 44 4.5. KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 44

BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL 47

5.1. KELEMBAGAAN KPH 47 5.2. SINERGI KPH DAN PS 49 5.3. KPH MEMBANGUN JEJARING 51 5.4. REKOMENDASI 52

BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAL 54

6.1. PENGANTAR 54 6.2. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL 55 6.3. FRAGMENTASI ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KETIMPANGAN ESTIMASI 57 6.4. MENGHITUNG POTENSI KEBUTUHAN RIIL ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 61 6.5. STRATEGI PEMENUHAN ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 62 6.6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 63

BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL 65

7.1. PENGANTAR 65 7.2. MENGAPA DESA MENJADI SUBYEK HUKUM? 67 7.3. BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA? 72 7.4. APA YANG HARUS DILAKUKAN DESA 73

BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL 76

8.1. PERMASALAHAN POKOK 76 8.2. KERANGKA HUKUM PERHUTANAN SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI 77

8.2.1. TERKAIT KEWENANGAN 80 8.2.2. PELAYANAN TERPADU SATU PINTU 86 8.2.2. PROSEDUR PS YANG SEDANG BERJALAN 86

DAFTAR PUSTAKA 89

Page 7: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

vi

DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 2 Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya 21 Tabel 3.2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 26 Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang

Dikelola Masyarakat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017

59

Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan Izin Perhutanan Sosial Oleh LSM

61

Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan 85 Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS 87

Page 8: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pencapaian kumulatif izin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 21

Gambar 2.2. Pencapaian izin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial

21

Gambar 3.1. Birokrasi Perizinan PS 34 Gambar 3.2. Diagram Alur Percepatan Program Perhutanan Sosial 28 Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH 48 Gambar 5.2. Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera 51 Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 2015-

2017 55

Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017

56

Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan TA. 2015-2017

56

Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016 57 Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di

APBN TA 2015-2017 58

Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017

63

Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial 69

Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditas Perhutanan Sosial 71

Page 9: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara

adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian Nasional.1 Lebih lanjut, dalam dokumen yang

berisikan janji-janji politik dalam rangka Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014

yang disebut Nawacita itu, disebutkan pula bahwa lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa,

antara lain, terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial,

kesenjangan antar-wilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumber

daya alam yang berlebihan. Di dalam uraian tentang 9 (sembilan) agenda prioritas yang dijanjikan

antara lain disebutkan pula bahwa Pemerintah akan ‘menjamin kepastian hukum hak kepemilikan

tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah

masyarakat’ (Nawacita 4) serta ‘mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9

juta hektar’ (Nawacita 5).

Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah

legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok

masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah

‘dihak-i’ masyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah

Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin

pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-

skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa

(HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan

aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama

dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik

Jokowi-JK dalam Nawacita. Sedangkan kategori ketiga adalah hutan negara seluas sekitar 12,7

juta hektar, yang belakang disebutkan akan direalisasikan melalui program perhutanan sosial

(PS).2

Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun

2017 pun kemudian dikeluarkan. Di dalamnya ditegaskan kembali bahwa reforma agrarian

menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan pemerintah pusat hingga daerah. Selasa

14/03/17 Presiden dan Wakil Presiden melakukan rapat koordinasi teknis terbatas dengan

pimpinan lembaga tinggi negara. Pada kesempatan itu kembali Presiden dan Wakil Presiden

menegaskan target program reforma agraria itu.

Masalahnya, meski masa pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui tahun ketiga, dengan

menggunakan skenario pelaksanaan yang ada saat ini, capaian target pelaksanaan program

Perhutanan Sosial saja masih di bawah angka 10% dari target. Itu pun sudah memasukan capaian

program sebelum Jokowi – JK memerintah.

1 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi. 2 Sebagaimana termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Page 10: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

2

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)3

No Skema Pra Kabinet Kerja 2007 - 2014

Kabinet Kerja Total (Ha)2015 2016 2017

1 HD 78.072,00 63.587.00 81.129,83 446.730,38 669.519,212 HKm 153.725,15 20.945,06 2.465,46 109.343,31 286.478,98 3 HTR 198.594,87 2.815,42 14.131,00 23.426,61 238.967,90 4 Kemitraan 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,91 5 Hutan Adat - - 13.121,99 3.341,25 16.463,24 Jumlah 449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,361 1.301.070,24

Realisasi program yang rendah itu telah diprediksi Wiratno (2016), Direktur Penyiapan

Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

(PSKL).4 Menurut Wiratno, kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

sebagaimana yang ada saat ini, merujuk data 2010-2014 dan 2015 - Juli 2016, nyatanya

Pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola dan/atau izin seluas 200.000-300.000

hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5 juta hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah

pasti tidak akan tercapai.5

Masalah lain yang juga dirujuk sebagai kendala utama, yang sering dikemukakan oleh

Pemerintah sendiri, adalah adanya hambatan pendanaan program yang relatif terbatas. Namun,

menurut Dr. Mubariq Ahmad, seorang ekonom senior cum praktisi PS, sebenarnya pemerintah

punya banyak sekali dana untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya dana itu dikelola dalam

kapling-kapling kecil dan dikuasai ‘raja-raja kecil’ yang hasilnya kecil juga. Menurutnya, perlu

dilakukan konsolidasi program dan dananya disatukan dalam satu sistem pengendalian.6

Kendala lain dari rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai perizinan, dari

tingkat kelompok tani hutan hingga menteri. Walaupun ada pengecualian pada provinsi yang telah

memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah atau mempunyai

peraturan gubernur tentang PS dan memiliki anggaran dalam APBD.

Padahal, kawasan hutan yang telah dialokasikan Pemerintah untuk program Perhutanan

Sosial ini lebih dari 10% dari seluruh luas kawasan hutan keseluruhan. Dengan kata lain, jika

target yang telah dicanangkan Pemerintah tersebut dapat direalisasikan secara optimal, maka

rencana pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan

penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan

ekonomi rakyat diharapkan dapat tercapai.

3 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, November 2017. 4 Wiratno, 2016. “Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Semiloka  Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian Lingkungan, dan Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta,  1-2 September 2016, Sebagaimana bisa diakses pada http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/09/keberpihakan-kepedulian-kepeloporan.html?m=1 Saat ini Wiratno menjabat Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekologi (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 5 Lihat juga Didik Suharjito, tanpa tahun. “Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial”, makalah yang dipresentasikan/dipersiapkan untuk …… 6 Komunikasi Yando Zakaria dengan Mubariq Ahmad, suatu hari di awal tahun 2017.

Page 11: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

3

Selain beberapa kendala yang sudah disebutkan, rendahnya realisasi pelaksanaan program

reforma agraria itu juga disebabkan oleh (a) data tentang potensi tanah obyek RA masih belum

terkonsolidasi dengan baik, dan (b) juga belum seluruhnya clear and clean; (c) peran Pemerintah

daerah dan desa yang belum terlalu jelas dalam pelaksanaan program reforma agraria; dan (d)

kapasitas masyarakat untuk mengajukan usulan yang relatif rendah.7

Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan juga

masih memiliki sejumlah kendala lain yang membuat penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di perdesaan tidak optimal. Faktanya, kurang dari 5% dari jumlah yang telah

memiliki tata batas desa definitif (BIG, 2017); hampir 50% dari jumlah desa yang ada memiliki

konflik tata batas dengan kawasan hutan (Renstra Kemenhut 2009); Skema Pembagian dan

Penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) belum optimal (Monev KSP (2017),

dll.); dan banyak BUMDes belum menemukan ranah kegiatan yang menguntungkan, sebagaimana

yang banyak dilaporkan dalam media massa akhir-akhir ini.

Sejumlah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di

perdesaan ini harus pula segera diatasi. Salah satu strategi yang dapat diupayakan adalah menjadi

pelaksanaan program reforma agraria sebagai pintu masuk untuk penyelesaian permasalahan

pemerintahan dan pembangunan desa dimaksud.

Berbagai permasalahan berikut solusi yang perlu diambil telah disuarakan berbagai pihak,

sebagaimana yang mengemuka pada Pesona 2017 yang diselenggarakan 6-8 September 2017 dan

Pertemuan Nasional Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang diselenggarakan 20 Oktober 2017.

Misalnya, soal rantai perizinan yang panjang (yang harus diterbitkan oleh Menteri). Jika

dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83 / MENLHK / SETJEN /

KUM.1 / 10/2016 tentang Perhutanan Sosial, perizinan dapat didelegasikan kepada Gubernur,

terutama untuk provinsi-provinsi yang memiliki program perhutanan sosial di dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah baru bersifat pengecuali, ke depan penyerahan kewenangan

kepada daerah ini perlu menjadi kebijakan regular, dengan penguatan kapasitas aparat di tingkat

daerah itu tentunya. Alternatif ini sejalan dengan pembagian wewenang antara tingkat Pusat dan

Daerah sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan / atau lisensi

dapat didelegasikan ke Dinas Kehutanan, misalnya. Sehingga peran Pemerintah Pusat c.q.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berfungsi pada tingkat pembuatan kebijakan dan

pengendalian di lapangan.

7 Beberapa kajian yang dilakukan baru-baru ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Soraya Afif, 2017. ”……………”; “Land and Forest Governance Index/LFGI. Mengukur Kinerja Pemerintah Propinsi dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di 8 (Delapan) Propinsi di Indonesia (ICEL, The Asia Foundation, and UKAID); Usman, 2017. “Percepatan Perhutanan Sosial: Memperkuat Tata Kelola (Forum Transparansi Anggaran/FITRA Riau); serta Heriyanto, et.al., , 2017. “Inovative Finacing for Social Forestry Development (Kerjasama IPB dan UNDP Indonesia), mengkonformasi beberapa persoalan yang telah menghambat pencapaian target program ini. Masalah-masalah ini pun sudah mengemuka pada masa sebelumnya, sebagaimana yang disampaikan para-pihak dalam lokakarya “Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Bogor, 22 – 23 Oktober 2015”, sebagaimana yang dilaporkan Purwanto, ed., 2017. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain, masing-masing kajian ini juga telah disertai dengan sejumlah usulan untuk mengatasi masalah yang ada, yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan alternatif di masa mendatang.

Page 12: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

4

Disisi lain, dalam dekade terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, semua

kawasan hutan di Indonesia telah didistribusikan habis ke dalam sejumlah Unit Pengelolaan Hutan

(KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011). Oleh karena itu, untuk mempercepat proses perizinan,

tidak mungkin mendapat persetujuan atas usulan hak dan perizinan pengelolaan PS yang

diterbitkan oleh kepala KPH. Mengetahui fakta bahwa KPH tidak memiliki kapasitas dan terlibat

dalam beberapa masalah, itu adalah masalah lain. Kondisi ini merupakan hasil kebijakan KPH

selama ini. Artinya bila KPH akan menerima wewenang delegasi tentang persetujuan hak dan /

atau perizinan PS, ada beberapa amandemen kebijakan tentang keberadaan KPH. Ini termasuk

pengembangan kapasitas untuk menerapkan otoritas baru. Pilihan ini masuk akal karena sejak

awal KPH diasumsikan mampu menentukan rencana pengelolaan tata ruang dan untuk

memahami karakteristik masyarakat lokal dan / atau masyarakat adat sebagai kandidat potensial

pengelola PS.

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah keuangan pun telah disuarakan. Oleh sebab itu,

catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan

kekuatan jaringan kerja multipihak untuk ditinjau ulang harus mendapat perhatian yang serius.

1.2. Arah Kebijakan ke Depan

Setidaknya ada 6 arahan kebijakan untuk mempercepat pencapaian target program Perhutanan

Sosial ke depan. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Untuk terselenggaranya program RA perlu dilakukan konsolidasi semua peta terkait

obyek TORA dan PS pada pokja koordinator. Setidaknya peta indikatif TORA, Peta

Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan peta dasar administratif desa yang

dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menjadi dasar konsolidasi peta. Pengaturan

selanjutnya dilakukan oleh satu tim pokja yang telah mendapatkan mandat pelaksana

program ini. Konsolidasi dokumen obyek TORA dan PS ini untuk memudahkan proses

sosialisasi ke daerah-daerah yang wilayahnya masuk dalam peta indikatif baik TORA

maupun PS.

2. Penyelenggaraan program RA yang sudah ada sekarang dilengkapi dengan pendekatan

tambahan yang baru, yakni menjadikan desa sebagai subyek penerima obyek TORA dan

PS. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di desa-

desa yang bersangkutan, terutama kelompok-kelompok marjinal, akan dibahas melalui

mekanisme musyawarah desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU Desa;

3. Pelaksanaan program RA diutamakan di desa-desa yang masuk dalam Peta Indikatif PS;

juga desa-desa yang saat ini memiliki konflik batas dengan kawasan hutan (overlay peta

indikatif obyek TORA dan PS dengan daftar desa yang memiliki konflik tata batas dengan

kawasan hutan); sekaligus mempertimbangkan desa-desa yang merupakan peta usulan

baru dari masyarakat.

Page 13: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

5

4. Dalam hal obyek TORA dan PS di desa (-desa) terpilih itu terkandung klaim masyarakat

adat, melalui musyawarah desa atau musyawarah antar-desa (MAD), obyek TORA dan

PS ditetapkan sebagai hutan adat.

5. Delegasi Kewenangan kepada Gubernur cq. PPS dalam Pemberian Izin PS, tidak

terkecuali pada provinsi yang belum memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka

menengah daerah atau yang belum mempunyai peraturan gubernur tentang PS dan yang

belum memiliki anggaran dalam APBD. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian

kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

6. Terkait dengan upaya redistribusi dan legislasi tanah, kekurangan juru ukur yang saat ini

menjadi salah satu hambatan pelaksanaan program, dapat diatasi dengan kesepakatan

bersama antara Menteri ATR, Menteri LHK, dan Menteri Desa PDTT untuk menjadikan

juru ukur LHK dan para pendamping desa sebagai juru ukur dalam rangka identifikasi

data TORA.

Agar keenam kebijakan pokok untuk mempercepat pencapaian target program reforma itu

tercapai maka diperlukan pula tiga langkah hukum utama. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Diberlakukannya Instruksi Presiden tentang Percepatan Pencapaian Target Program

Reforma Agraria sebagai dasar hukum langkah-langkah percepatan pencapaian target

program reforma agraria ini;

2. Meninjau-ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan

program reforma agraria yang teridentifikasi dapat menghalangi pencapaian target

reforma agraria; dan

3. Diaktifkannya tim pelaksana yang terwujud dalam Pokja dan tim pengendali yang

bekerja untuk pencapaian target pelaksanaan reforma agraria.

1.3. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah, KPH dan Desa

Sebagaimana telah disebutkan, salah satu persoalan yang menghambat kelancaran pencapaian

target program reforma agraria, khususnya program perhutanan sosial, adalah panjangnya rantai

perizinan (yang harus dikeluarkan oleh Menteri). Namun demikian, sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, izin dapat saja didelegasikan

kepada Gubernur, khususnya pada propinsi yang telah memiliki program perhutanan sosial dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah-nya. Adanya pengecualian itu sebenarnya

mengindikasikan adanya kemungkinan pendelegasian kewenangan. Hal ini sebenarnya sesuai

dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang

Perhutanan Sosial menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi

Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Kehutanan

Page 14: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

6

(Pasal 61 ayat 1)”. “Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitasi pada tahap

usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha,

pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa,

rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan,

pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2).

Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan

bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu

Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa

berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara spesifik Pasal 115 UU Desa

menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi

penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan melakukan upaya

percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan

teknis.

Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa jelas

merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui

pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi

ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU

Desa, Pasal 78 ayat 1).

Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya program perhutanan sosial

yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini. Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang

mengarahkan penggunaan sumber daya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi

(satuan kerja pemerintah daerah/SKPD) dan keuangan daerah. Termasuk himbauan pada

pemerintah desa untuk secara sungguh-sungguh memanfaatkan peluang yang terbuka ini.

Oleh sebab itu, alih-alih sekedar sebagai pengecualian, pendelegasian kewenangan kepada

provinsi cq. gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya sebagai pilihan utama untuk

menggantikan posisi Pusat cq. Menteri LHK. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak

pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan kepada Dinas Kehutanan, misalnya. Dengan

demikian peran Pusat cq. Menteri LHK betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan

dan pengendalian kegiatan di tingkat lapangan. Antara lain, kebijakan tentang kawasan hutan yang

dapat dialokasikan.

Demikian pula, dalam satu dasa warsa terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan

hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke dalam sejumlah Kesatuan

Page 15: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

7

Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011).8 Maka, dalam rangka mempercepat

proses perizinan, bukan tidak mungkin persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan

PS dikeluarkan oleh pimpinan KPH.9

Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan masih dililit oleh sejumlah

permasalahan, itu soal yang lain lagi. Kondisi itu tidak lain akibat dari kebijakan tentang KPH

selama ini. Artinya, jika memang KPH yang akan menerima pendelegasian kewenangan

persetujuan hak dan/atau izin PS itu, tentu ada sejumlah perubahan kebijakan tentang keberadaan

KPH yang harus dilakukan. Termasuk pengembangan kapasitas untuk menjalankan kewenangan

yang baru ini.

Pilihan ini menjadi masuk akal karena toh KPH memang sejak dari awal diasumsikan

sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami karakter masyarakat lokal

dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.

Ingin dikatakan di sini, sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru

Besar Institute Pertanian Bogor,10 sejatinya di mana kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu

akan diletakkan bukanlah soal substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan

legitimate. Melainkan merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses

persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente. Peluang ini harus diminimalisir dengan

mengedepankan masalah pengelolaan kawasan hutan yang lebih rasional sebagai interest utama

yang harus dikedepankan di dalam proses perumusan kebijakan.

Untuk mengatasi masalah keterbatasan dana, pada tingkat tapak, ada tiga strategi yang

dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial di tingkat lapangan. Pertama,

mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi

produk yang memiliki nilai jual (seperti kasus buah kepayang (pangium edule), kopi, dan jahe

misalnya). Ketiga, melakukan restorasi lahan.

Ketiga strategi tersebut pada muaranya adalah menjadikan pemerintah desa dan

masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Termasuk upaya untuk

penyelamatan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan Perhutanan Sosial di Kabupaten

Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan masyarakat desa.

Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan perhutanan sosial juga

dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk ke dalam berbagai dokumen

perencanaan dan penganggaran di tingkat desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).

Strategi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa

Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang

Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam pengembangan ekonomi lokal desa dan

8 Kementerian Kehutanan, 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan. 9 Usul yang sama juga terkandung dalam Soerhardjito, tt., op.cit., dan Hariyanto, et.al., 2017, op.cit. 10 Komunikasi Yando Zakaria dengan Prof Hariadi Kartodihardjo. Januari 2017.

Page 16: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

8

pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa. Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa

pembangunan desa juga meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.

Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas

Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja ditandatangani tanggal 22 September 2017

lalu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan

Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang

menjadi prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan sosial.

Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha yang dapat

dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan

hutan desa dan hutan sosial.

Artinya, Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda terdepan dalam

pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan melalui

program yang disebut perhutanan sosial itu.

1.4. Isi Dokumen

Dokumen ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pendukung yang berisikan argumentasi-

argumentasi akademik atas beberapa solusi yang ditawarkan dalam mempercepat pencapaian

target program Perhutanan Sosial ke depan, sebagaimana secara ringkas telah diuraikan dalam

bagian-bagian terdahulu. Oleh sebab itu, dokumen ini akan berisikan hal-hal berikut ini:

• Bab 1. Pendahuluan

• Bab 2. Perhutanan Sosial Sebagai Jawaban Sejarah Kelam Pengelolaan Hutan

• Bab 3. Dinamika Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial

• Bab 4. Percepatan Penetapan Hutan Adat

• Bab 5. Peran KPH dalam Perhutanan Sosial

• Bab 6. Revitalisasi Kebijakan Anggaran Untuk Percepatan Realisasi Perhutanan Sosial

• Bab 7. Optimalisasi Dana Desa Untuk Perhutanan Sosial

• Bab 8. Kerangka Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Dalam Percepatan Pemenuhan

Target Perhutanan Sosial

Page 17: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

9

BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN HUTAN

2.1. Dinamika masa lalu

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu program strategis pembangunan

kehutanan di Indonesia. Pelibatan, pemberian akses dan hak kepada masyarakat untuk

memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan telah menjadi keniscayaan dan paradigma untuk

mewujudkan pengelolaan hutan lestari, sekaligus menyejahterakan masyarakat yang tinggal di

dalam dan sekitar hutan.

Lalu, keniscayaan dan paradigma ini melahirkan pertanyaan bagi para penggiat kehutanan,

tentang perhutanan sosial, “Apakah masyarakat mampu mengelola hutan? Apakah hutan dapat

lestari apabila pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat? Mampukah masyarakat

merestorasi kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi?”

Gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat—atau kehutanan masyarkat yang saat

ini lebih dikenal dengan perhutanan sosial—lahir dari sebuah proses panjang dan tidak bisa lepas

dari sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Kehutanan masyarakat lahir sebagai respon terhadap

kegagalan kehutanan konvensional dalam menjamin kelestarian hutan. Kehutanan konvensional

telah melahirkan kerusakan hutan dan deforestasi sangat massive dan terjadi hampir di beberapa

negara yang mempunyai hutan tropis luas seperti brazil, filipina, Vietnam, Thailand, India,

Kamerun, dan lain-lain. Kehutanan konvensional yang juga menjadi kebijakan pemerintah,

cenderung menggunakan pendekatan timber management, yang lebih memandang bahwa hutan

adalah sumber ekonomi yang menekankan pada pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam

hutan secara besar-besaran dengan meniadakan eksistensi masyarakat lokal dan masyarakat adat

yang terkait dan bergantung dengan sumber daya alam hutan tersebut. Kebijakan pemerintah

telah memberikan izin kepada perusahaan swasta dan perusahaan negara untuk mengurus

seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara.

Pendekatan kapitalistik dari perusahaan-perusahaan itu, tentu akan lebih berorientasi pada

keuntungan bagi perusahaan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya

nilai-nilai budaya masyarakat terhadap hutan. Pendekatan kapitalistik ini didukung dengan

pendekatan represesi dan polisional untuk mengamankan asset sumber daya hutannya.

Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan sumber daya alam

hutan seperti di Filipina, Malaysia, Indonesia, Brazil, India, Thailand, Cameron dan lain-lain telah

menyebabkan terdesaknya ruang hidup masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hutan.

Antiklimak dari proses ini adalah hilangnya ruang hidup masyarakat (Lebensraum) karena

masuknya industri kehutanan modern yang ekspansif dan ekstensif sifatnya. Pada kasus di

Indonesia, masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan kehidupannya sangat bergantung pada

sumber daya alam hutan dihadapkan pada keadaan sangat sulit ketika harus berhadapan dengan

kebijakan pemerintah yang menyerahkan seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh

perusahaan swasta dan perusahaan negara. Orientasi keuntungan bagi perusahaan lebih

Page 18: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

10

dikedepankan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya nilai-nilai

budaya masyarakat terhadap hutan. Antiklimaks lainnya dari praktik pemanfaatan sumber daya

hutan dengan menggunakan model-model kehutanan modern dan industrial adalah laju

kerusakan hutan (deforestasi) yang tinggi. (Awang, 2005)

Mengacu pada Awang 2005, atau beberapa referensi lain, model penguasaan negara atas

sumber daya hutan dan memandang hutan sebagai sumber ekonomi, sebenarnya sudah

berlangsung sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, yang berlanjut hingga Orde Lama, Orde Baru,

dan Era Reformasi. Bahkan setelah masa reformasi di awal tahun 2000-an, komoditas kayu masih

menjadi andalan sebagai sumber devisa negara.

Pada zaman kolonial Belanda, sumber daya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki masa

eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya sudah dimulai pada

zaman raja-raja. Pada zaman kolonial pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik

Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna

pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri

perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam (Peluso, 1992; Simon, 1999; Awang 2005).

Pembuatan kapal-kapal kayu yang dipergunakan untuk kepentingan perdagangan hasil-hasil bumi

dari Indonesia ke Luar Negari.

Sedang di luar jawa, Kegiatan eksploitasi kayu terjadi sebelum tahun 1967 dimulai dengan

cara-cara sporadis yang dilakukan oleh masyarakat melalui sistem “banjir kap” yaitu hutan

ditebang pada musim kemarau kemudian kayu-kayunya diletakkan dekat sungai, dan pada musim

hujan kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke sungai untuk dipasarkan. Di Kalimantan Timur

sebelum tahun 1967 sebagian hutan alam diusahakan oleh Perhutani dan dicatat sebagai hal yang

tidak berhasil dalam pengelolaannya. Deforestasi di Kalimantan Timur dan di tempat-tempat lain

di Indonesia disebabkan oleh pembukaan wilayah untuk kegiatan pemukiman penduduk

(transmigrasi), migrasi penduduk secara spontan, kegiatan penebangan kayu dan pembukaan

wilayah hutan untuk eksploitasi hutan (Potter 1991; Awang 2005).

Pasca Kemerdekaan, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru, sumber daya hutan

menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah minyak dan gas bumi. Kebijakan

pemerintah Orde Baru terhadap pemanfaatan SDH adalah memanfaatkan semaksimal mungkin

hutan alam primer sehingga kegiatan tersebut mampu membuka isolasi wilayah-wilayah di luar

Jawa, dan sekaligus mendatangkan devisa yang besar bagi kepentingan pembangunan nasional.

Dalam Hidayat (2008) menyebutkan bahwa Pemerintahan Soeharto memperoleh devisa asing

yang besar industry kehutanan, keseluruhannya mencapai 3 miliar US dolar tahun 1990-an, dan

ini merupakan pendapatan nasional terbesar kedua setelah sektor minyak bumi.

Pada era orde baru, hutan-hutan alam dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi

pengusahaan berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dengan menebang kayu gelondongan (log)

dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan adalah sasaran pertama eksploitasi hutan karena

mempunyai stok kayu komersial terbesar, dan paling dekat dengan pusat pasar asia, seperti

Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Dalam hubungan ini, perusahaan

swasta, baik dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan

usahanya di sektor kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di

Page 19: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

11

Departemen Kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint operation

dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasikan konsesi HPH. (Hidayat, 2008).

Menurut Awang (2005), kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin pengusahaan

kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menandai babak baru sistem eksploitasi hutan

alam tropika di luar Jawa yang dimulai secara menyeluruh pada tahun 1968. Sampai tahun 2000

jumlah HPH di Indonesia mencapai sekitar 600 unit HPH dengan total hutan produksi seluas 64

juta ha. Dari kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan

hutan (deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun (World bank, 1988a,

1988b; Scott, 1989). Selanjutnya Holmes menyebutkan bahwa pada periode 1985-1997 tingkat

deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka

diramalkan bahwa pada tahun 2005 hutan dataran rendah non rawa akan hilang di Sumatera, dan

di kalimantan akan hilang pada tahun 2010 (FWI, 2001:9). Deforestasi pada sistem pemerintahan

Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius.

Dan sebaliknya, Hidayat (2008) menyebutkan bahwa keadaan ekonomi masyarakat

sebagai pengguna lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu menjadi lebih buruk,

setelah beroperasinya konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional dan dalam

negeri, sebagaimana temuan lapangan oleh penelitian. Meskipun, pemerintah masih mengakui

hak-hak hutan adat masyarakat lokal, masyarakat lokal hanya diperbolehkan untuk

mengumpulkan produksi sumber daya hutan-non hutan. Dengan demikian, konflik lahan antara

masyarakat lokal dan pemilik konsesi HPH telah dilaporkan terjadi luar di berbagai daerah.

2.2. Masa baru, tantangan baru Dalam Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru.

Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap

mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika

kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan

yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil

yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan (Putu Oka dkk, 2008 dalam Taqwaddin,

2012). Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan

hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang

menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005

angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun. (Setiawan 2007,

dalam Taqwaddin, 2012)

Posisi masyarakat dalam era reformasi lebih kuat dengan menaikkan posisi tawar

masyarakat di hadapan para pengusaha HPH. Banyak masyarakat yang mempunyai keberanian

untuk menyatakan ketidaksukaannya terhadap HPH dengan berbagai aksi perlawanan karena

HPH sudah mengambil kekayaan di atas hutan adat mereka, dan juga HPH tersebut tidak

memberikan kesejahteraan dan bagi hasil kepada masyarakat sekitar hutan. Banyak HPH di

Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, tidak dapat melaksanakan

operasi penebangan kayu karena dilarang oleh masyarakat, alat-alat berat di sita oleh masyarakat

dan portal jalan-jalan desa yang dilewati oleh mobil pengangkut kayu di tutup. Ada komunitas

Page 20: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

12

masyarakat yang menuntut ganti rugi kayu-kayu dalam kawasan hutan adat mereka dengan

kompensasi ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah. Apabila ganti rugi seperti ini sudah

diselesaikan, barulah HPH tersebut dapat beroperasi kembali. (Awang, 2005).

Pada sisi yang lain pihak Departemen Kehutanan paham mengenai banyaknya pemegang

HPH yang tidak serius dan tidak lestari dalam menjalankan pengusahaannya. Oleh Karena itu,

pada masa ini, banyak HPH yang dicabut izinnya karena eksploitasi hutan oleh mereka telah

menyebabkan deforestasi yang meluas. Sayangnya pencabutan izin ini tidak diikuti dengan

percepatan penetapan siapa pengelola berikutnya di areal eks HPH tersebut sehingga menjadi

areal open access yang dibuka dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan dan

pembangunan kebun-kebun rakyat. Kegiatan pembalakan liar (illegal logging) di Jawa dan Luar

Jawa menjadi sangat mengkhawatirkan yang menyebabkan tingkat deforestasi sangat tinggi. Pada

tahun 1980 laju deforestasi di Indonesia rata-rata sebesar 1 juta ha, kemudian meningkat menjadi

1,7 juta ha pada tahun 1990-an, dan sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per

tahunnya (FWI/GFW, 2001, dalam Awang 2005).

Dalam Sese Tolo (2013) menegaskan bahwa melihat sejarah tata kelola kehutanan

Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata

kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal

yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun

domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk

meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di

Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan

kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.

Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh

kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundamental

driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain

(the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors)”. Tendensi seperti ini

menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen

dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara

berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen,

dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010, Dalam Sese Tolo, 2013).

Pendekatan pengelolaan hutan yang eksploitatif, selain telah melahirkan tingkat

kerusakan yang tinggi, juga telah menyebabkan terpinggirkannya masyarakat sekitar hutan. Sese

Tolo, 2013 menjelaskan bahwa laju kerusakan hutan yang terjadi ini tidak diimbangi dengan

pemasukan yang diterima pemerintah. Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun

terakhir, sektor kehutanan hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu,

sumber daya hutan di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan,

pembangunan sosial dan ekonomi, serta keberlanjutan lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso

2010, Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen hasil hutan oleh

elit pemerintahan. (Dalam Sese Tolo, 2013). Konsep trickle down effect atau pertumbuhan dalam

pendekatan state based untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada

Page 21: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

13

kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses

terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang

memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia

(pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses

masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan. Oleh karena itu,

kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumber daya hutan meningkat.

Kondisi ini menjadikan sebuah pemikiran untuk menciptakan pendekatan pengelolaan

hutan yang lebih memberikan keseimbangan pada aspek sosial, kelestarian hutan, dan juga

ekonomi. Pendekatan pengelolaan hutan yang lebih mengedapankan pemberdayaan masyarakat

dan prosperity approach (pendekatan kemakmuran), lalu ke Community Based Forest

Management/CBFM yang pada perkembangannya, saat ini yang kemudian dikenal dengan Social

Forestry/Perhutanan Sosial. Program social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk

mengakomodir keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Pengembangan social forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan paradigma dari

pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau pendekatan partisipatif dan

mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Strategi optimum pengembangan social forestry

untuk masyarakat adalah pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan

ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efisiensi dan keberlanjutan usaha dan

kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan areal hutan pada

masyarakat pelaku ekonomi.

Gerakan-gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia muncul sejak tahun 70-an,

bersamaan dengan munculnya gagasan kehutanan masyarakat di tingkat internasional. Hal ini

ditandai dengan lahirnya berbagai kongres kehutanan internasional sejak 70-an hingga 80-an

berturut-turut mengangkat tema sosial: Forest for Socio Economic Development (Buenos Aires,

1972); Forest for People (Jakarta, 1978), dan Forest Resources in The Integral Development of

Society (Mexico city, 1985). Pergeseran Pengelolaan hutan oleh negara (State Based) ke

community based forest management (CBFM) tak lepas dari berkembangnya pemikiran baru yang

lebih memberikan perhatian pada permasalahan kemiskinan dan pembangunan masyarakat

perdesaan.

Secara nasional, kebijakan CBFM (Community Based Forest Management – Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat) baru dimulai pada era Kabinet Pembangunan VI. Menteri Kehutanan

Djamaluddin Suryohadikusumo menerbitkan dua program sekaligus—yakni Hutan

Kemasyarakatan (1995) dan PMDH – Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (1997). Kedua

program tersebut terus berlanjut dalam tiga kabinet berikutnya—meliputi Kabinet Pembangunan

VII, Kabinet Reformasi Pembangunan, dan Kabinet Persatuan Nasional. M Prakosa—Menteri

Kehutanan Kabinet Gotong-Royong—mencabut Program PMDH pada tahun 2004 dan

meluncurkan Program Social Forestry di tahun yang sama. Perubahan signifikan dalam

perkembangan kehutanan masyarakat terjadi dalam era kepemimpinan MS Kaban. MS Kaban

memperbaharui Program Hutan Kemasyarakatan dengan adanya pemberian izin pengelolaan

kepada masyarakat. Di samping itu, dikeluarkan juga kebijakan Hutan Desa (HD) yang

memungkinkan lembaga Desa mendapatkan hak pengelolaan hutan. (Santoso, 2015).

Page 22: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

14

Program kehutanan masyarakat mengalami kemajuan yang signifikan dengan masuknya

istilah “Perhutanan Sosial” ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

periode 2010-2014, yang sudah menyatakan target seluas 1 juta hektar. Hal ini lebih diperkuat

lagi pada era Presiden Joko Widodo, yang menetapkan RPJMN 2015-2019, ditargetkan alokasi

lahan hutan untuk Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektar, dalam skema Hutan Desa, Hutan

Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Hak, termasuk

Hutan Adat. Momen ini bersamaan dengan lahirnya Eselon I yang secara khusus mendapat

tanggungjawab untuk melaksanakan Perhutanan Sosial, yaitu Direktur Jenderal Perhutanan Sosial

dan Kemitraan Lingkungan hingga sekarang.

2.3. Nawacita dan Ketimpangan Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Dokumen Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan berkepribadian, “Visi, Misi,

dan Program Aksi Joko Widodo – M. Jusuf Kalla” yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan

Umum (KPU) memuat sembilan agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Dengan terpilihnya

Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2014-2019), dokumen itu meningkat statusnya

sebagai Janji Politik dan sekaligus amanat rakyat kepada Presiden terpilih untuk melaksanakannya.

Nawacita yang secara esensial diterjemahkan dari semangat dan ajaran Trisakti, yakni:

berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, melandasi

jiwa dan pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria menjadi landasan yang kokoh

bagi pembangunan ekonomi semesta dan nasional Indonesia yang mengarah pada kemandirian

ekonomi negara. Secara ideologi dan metodologi, Nawacita dijadikan rujukan pembuatan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan diturunkan

menjadi program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga pemerintah pusat melalui

Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Secara esensial, Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun

Indonesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2015-1019 memuat pula komponen-komponen program Reforma Agraria secara

terpisah-pisah.

Program reforma agraria muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap permasalahan

yang paling mendasar dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini, yang dapat

dikelompokkan dalam lima hal yaitu kemiskinan pengangguran, ketimpangan sosial, tanah-tanah

terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan. Data kependudukan, jumlah orang miskin

mencapai 11,22% dari total populasi Indonesia, berada di Pedesaan dan pada umumnya adalah

petani dan ternyata sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan terjadi akibat tidak adanya akses

mereka kepada faktor-faktor Produksi, termasuk tanah. Berdasarkan data terakhir diperoleh

informasi bahwa jumlah Petani Gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5 Hektar) mencapai

56% dari total jumlah petani. Disamping ketersediaan tanah yang dimiliki sangat terbatas, kondisi

tanah yang berada dalam sengketa/konflik/perkara semakin menutup kesempatan bagi

rakyat untuk memanfaatkan tanah secara optimal. Hal ini juga terjadi pada kawasan hutan

yang menyimpan potensi tetapi tidak termanfaatkan. Berdasarkan data luas areal Hutan

Page 23: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

15

Produksi yang dapat di konversi mencapai 13,8 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa potensi

sumber daya tanah yang dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat cukup

tersedia dan patut dikelola secara professional.

Persoalan lain yang dihadapi bangsa yaitu pengangguran. Jumlah pengangguran di

Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan

dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa yang setengahnya berada di pedesaan.

Kedua hal tersebut diatas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial.

Kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang paling mendesak karena

dampak yang ditimbulkan tidak hanya berpengaruh kepada aspek ekonomi semata, namun juga

aspek-aspek lainnya termasuk sosial kemanusiaan, rasa keadilan, keamanan dan lainnya.

Kedua masalah mendesak tersebut berada pada tataran mikro, sehingga langkah

kebijakannya haruslah langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran

atau fokus pada tataran mikro. Kebijakan yang efektif dan fundamental dapat menurunkan

kemiskinan dan pengangguran, yang pada tataran makro sekaligus dapat memperkuat stabilitas

perekonomian. Kebijakan yang dipandang mampu mewujudkan semua itu adalah kebijakan

Reforma Agraria yang sejalan dengan Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau

yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan

pelaksanaan reforma agraria. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh

segelintir penguasa tanah, dengan mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya

tergantung pada tanah, terutama para petani produsen makanan.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi

landasan sektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan kawasan hutan dan pengelolaan

sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial masyarakat memperoleh momentum dengan

Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 dan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Selanjutnya, momentum itu

berada pada babak yang sama ketika komitmen “hutan untuk rakyat” (forest for people) di

Kementerian Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin perhutanan sosial

untuk kelompok masyarakat dan desa

Reforma Agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses,

dan penggunaan lahan. Reforma agraria dilakukan melalui 2 program utama, yaitu alokasi

kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan pemberian legalitas akses

Perhutanan Sosial kepada masyarakat bawah. Kedua program ini sebagai bentuk reformasi

agrarian telah menjadi target nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.

Dalam RPJMN 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015,

disebutkan target yang harus dicapai dalam program TORA dan Perhutanan Sosial. Target yang

ditetapkan untuk program TORA adalah sedikitnya 9 juta ha, yang terdiri dari legalisasi asset 4,5

juta ha dan redistribusi lahan seluas 4,5 juta ha, dimana berasal dari kawasan hutan (hutan

negara) yang akan dilepaskan sedikitnya 4,1 juta ha (sisanya dari HGU dan tanah terlantar seluas

Page 24: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

16

0,4 juta ha). Sedangkan untuk Perhutanan Sosial, dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa

target perhutanan sosial sampai 2019 adalah 12,7 juta ha dalam bentuk HTR (Hutan Tanaman

Rakyat), HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (Hutan Desa), Hutan Adat, dan Hutan Rakyat.

2.4. Ketercapaian Perhutanan Sosial dan Kebutuhan Reformulasi Kebijakan Target pencapaian Perhutanan Sosial seperti yang dimandatkan oleh RPJMN 2015-2017 masih

jauh dari angka 12,7 juta ha. Sampai trimester akhir 2017, capaian pemberian izin Perhutanan

Sosial secara kumulatif mencapai sekitar 1 juta ha melalui skema HKm, HTR, HD, Kemitraan,

dan Hutan Adat. Secara lengkap, pencapaian kumulatif pemberian izin Perhutanan Sosial, dapat

dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Akan tetapi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan

Lingkungan (DG PSKL, 2017), pencapaian izin perhutanan pasca ditetapkannya P.83/2016 tentang

Perhutanan Sosial hanya mencapai 370.128 ha. Apa artinya? Angka ini mengindikasikan bahwa

percepatan yang diharapkan dari proses yang ada di PermenLHK No 83 2016 untuk mencapai

angka 12,7 juta ha, masih jauh dari harapan. Areal alokasi Perhutanan Sosial yang berasal dari

PIAPS (Peta Indikasi Areal Perhutanan Sosial) sebagai lampiran P.83/2016, belum terdistribusi

dengan secara nyata. Bahkan angka 370.128 ha untuk izin perhutanan sosial itu pun, berasal dari

usulan-usulan pengajuan izin yang terbengkalai dari tahun-tahun sebelum 2017. Lambannya

capaian Perhutanan Sosial ini disebabkan masih lemahnya kinerja penyelenggaraan Perhutanan

Sosial. Semua proses pemberian izin perhutanan sosial masih mengikuti manual prosedur yang

memakan waktu proses waktu lama mulai dari pengusulan, penelaahan dokumen, verifikasi,

bahkan sampai ke pemberian izinnya. Hal inilah yang menyebabkan calon areal perhutanan sosial

12,7 dalam PIAPS akan sulit tercapai, sementara tahun kerja efektif sampai 2019 hanya

mempunyai sisa waktu 1 tahun. Berdasarkan fakta inilah diperlukan reformulasi kebijakan untuk

menjamin areal 12,7 juta yang ada dalam PIAPS bisa terdistribusi secara cepat, akurat, dengan

tetapi menjamin kelestarian hutannya.

Page 25: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

17

(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)

(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)

Gambar 1.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya PermenLHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial

Gambar 1.1. Pencapaian kumulative ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017

Page 26: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

18

2.5. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial Satu jalan cepat yang dapat ditempuh adalah peran aktif Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan

pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Langkah pertama, Menteri LHK bersama-sama Mendagri, dan Menteri Desa, PDT dan

Transmigrasi mendeklarasikan bahwa kawasan hutan negara yang berada di dalam wilayah

administrasi desa pengelolaannya didevolusikan kepada desa. Secara teknis operasional, deklarasi

ini ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal, Dinas Kehutanan Provinsi, KPH dan pemerintah desa.

KPH yang sudah aktif baik yang sudah mempunyai dokumen RPHJP maupun belum, dapat diminta

oleh Ditjen PSKL untuk segera mengajukan usulan areal PS yang berada di dalam kawasan hutan

KPHnya. Areal PS yang diusulkan tersebut sudah merupakan hasil identifikasi luas dan batas

kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang

diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara

yang diusulkan oleh pemerintah desa melalui KPH dan Dinas Kehutanan Provinsi untuk PS adalah

kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon

atau pertuanan). Kawasan hutan yang diusulkan tersebut segera disahkan oleh Kementerian LHK.

Gambaran umumnya adalah sebagai berikut: Jika kita menggunakan data PODES BPS

yang sudah di-overlay dangan peta BAPLAN 2006 & 2008, luas hutan negara yang berada di dalam

wilayah administrasi desa adalah 22 juta Ha, hampir dua kali lipat dari luas target PS 12,7 juta Ha.

BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumah tangga desa hutan sekitar 8,6

juta. Jumlah desa sekitar 20.000, jadi rata-rata per desa 1000 ha. Areal hutan 1000 ha itu dapat

dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm (rata-rata 2 ha per rumah tangga), atau

sebagian HD dan sebagian HKm. Jika dibuat rata-rata per rumah tangga mendapatkan 1-2 Ha.

Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan

disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus

pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.

Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan, segera

dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi lahan hutan secara

illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak kasus, lahan-lahan hutan yang

ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak

aktif, segera diokupasi secara illegal. Meskipun ada kemungkinan areal hutan yang sudah

diserahkan kepada masyarakat tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang

memegang hak atas kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi

kawasan hutan secara illegal.

Langkah kedua, KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis.

Langkah kedua ini butuh waktu, komitmen para pihak dengan kompetensi dan perannya, dan

pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM,

atau pelaku bisnis dalam pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama

masyarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber

daya hutan (kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun

kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan

pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan

Page 27: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

19

masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-

aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk

mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumber daya hutan dan

kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.

Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak,

termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas semestinya sudah

mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan SDM dari Dinas Kehutanan

Kabupaten dan UPT-UPT Pusat. Infrastruktur KPH untuk mendukung kegiatan pelayanan oleh

KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan, misalnya kendaraan dan perlengkapan kantor.

Dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian, industri,

pariwisata, pekerjaan umum) disinergikan untuk membangun desa hutan. KPH menjadi

penggerak atau yang memobilisir sumber daya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin

kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. KPH harus diberi

kewenangan yang luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat,

dalam bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level

kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan

internasional, monitoring dan evaluasi kinerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung

anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi dinas-dinas dan

badan-badan di level provinsi dan kabupaten.

Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumber daya hutan: hasil

hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih, mikro hidro) di

pedesaan. Industrialisasi berbasis sumber daya hutan di pedesaan akan meningkatkan kesempatan

kerja dan berusaha di pedesaan, menahan urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi

produktif di pedesaan. Industri yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi

ataupun pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa

pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan industri lebih

produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi primer, sehingga dapat

lebih meningkatkan pendapatan rumah tangga dan masyarakat desa. Oleh karena itu

pengembangan PS tidak berhenti hanya pada pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu

diintegrasikan dengan pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda

pedesaan diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis sumber

daya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa contoh sukses dari

sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan saling ketergantungan para warga

desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan menjaga kelestarian hutan.

Di atas komitmen Kementerian LHK dan pemerintah provinsi, keberhasilan PS tetap

membutuhkan komitmen politik yang kuat dari presiden untuk menggerakan anggaran dan

program-program pembangunan masyarakat desa, kehutanan, pertanian, industri, dan lainnya.

Page 28: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

20

BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL

3.1. Pengembangan Konsep Perhutanan Sosial Sejak zaman pra kemerdekaan, Sumber Daya Hutan (SDH) bagi berbagai komunitas di Indonesia

telah memiliki nilai ekonomi dan ekologi, serta makna sosial, budaya, dan politik. Dengan kata

lain, SDH juga berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia,

sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan

dan pengelolaan sumber daya hutan. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat juga

telah lama dikenal dengan nama lokal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong

di Lampung, talun di Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng di

Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan sebagainya.

Bahkan dari bukti sejarah yang ada, masyarakat Jawa kuno pada abad ke-9 di masa

kerajaan Medang (Mataram Kuno) telah mengenal istilah tuha alas, juru alas, pasuk alas dan tuha

buru yang menunjukkan peran dari masyarakat yang ditunjuk untuk mengawasi hutan dan

mengelola perburuan satwa. Informasi seperti ini antara lain terdapat pada prasasti Jurungan (876

M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830),

Kubukubu (905), Sarsahan (908), dan Kaladi (909).11

Menurut catatan, pada masa itu sebagian besar hutan di Pulau Jawa, terutama Jawa

Tengah dan Jawa Timur, ditumbuhi pohon-pohon jati yang ”keadaannya hampir murni dalam

larikan-larikan teratur”.12 Perdebatan terjadi di kalangan ahli kehutanan Eropa, yaitu antara

kelompok ahli yang menganggap hutan jati sebagai hutan alam namun dipelihara oleh masyarakat

setempat, dengan kelompok ahli yang menganggap bahwa pohon-pohon jati itu ditanam oleh

orang-orang Hindu yang berasal dari Hidustan, India. Pendapat kelompok yang kedua ini

dapatlah disebut sebagai cikal bakal pendapat tentang pengelolaan hutan oleh rakyat yang

berkembang di kemudian hari.13

Pada akhir abad 18 kondisi hutan di Jawa mulai mengalami degradasi yang sangat serius.

Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda menugaskan Gubernur Jendral Herman

Willem Daendels untuk melakukan rehabilitasi dan reforestasi kawasan hutan pada awal abad 19.

Untuk itu Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) serta

mengeluarkan Peraturan Pemangkutan Hutan di Jawa yang selanjutnya dikembangkan menjadi

Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura

1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan

(forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara.14 Dengan berlandaskan pada

rangkaian peraturan tersebut, jawatan kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik

11 Susantio D _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006) 12 Djadjapertjunda 2001, hal 81 13 Siscawati dan Muhshi (2008) 14 Soepardi (1974), Peluso (1992), Simon (2001)

Page 29: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

21

dan administratif terhadap kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati

dengan menerapkan prinsip-prinsip kehutanan ”modern.”15

Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan ”pencurian” kayu dan

menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan masyarakat lokal sebagai

buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu.16 Selain itu, jawatan kolonial juga

memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak

tahun 1873, melalui aktivitas yang dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang

mengembangkan konsep ini adalah Buurman van Vreeden.17 Metode tumpangsari diadopsi dari

konsep taungya yang dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di Myanmar/Burma.

Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan kerakyatan masyarakat adat Karen.18

Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang

pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu pemikiran yang berkembang

adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para

pendatang yang berasal dari Hindustan, India.19 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap

sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial

lainnya mulai meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di

kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu tembawang,

pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara, keberadaan kebun damar

di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang keduanya merupakan kebun campur

yang dikelola dengan meniru pola hutan alam, dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun

1850.20

Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang

parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada masyarakat yang mengelola hutan

untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960,

pemerintah pada tahun 1960-an mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang

tinggal di dalam kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap

Keluarga selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan memperoleh

hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti kepemilikan tanah dari

prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi Personal)21.

Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan konsep

dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan pengurusan Hutan Milik yang

dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan Menteri dan dapat dituntut apabila

bertentangan dengan aturan dan kepentingan umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No.

41/1999, sebagai kebijakan yang menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan

15 Siscawati dan Muhshi (2008) 16 Peluso (1992) 17 Perum Perhutani (1996) 18 Siscawati dan Muhshi (2008) 19 Djadjapertjunda (2001) 20 Brookefield et al, (1995). 21 Siscawati dan Muhshi (2008)

Page 30: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

22

hutan oleh masyarakat lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang

sah, walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.

Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta yang

mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan sosial dunia. Ini

adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara dari sistem pengelolaan hutan

yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap

dan dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan

pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.

Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby seorang

ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai strategi

pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai

tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari

83)22.

Sebenarnya Perhutani telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan (prosperity

approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari Ma-Lu (Mantri Lurah)

dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation pada tahun 1980-an mendukung

Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984-1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan,

Sulawesi, dan Papua). Hasil studi ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan HPH Bina Desa

dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan: 691/1991. Selanjutnya HPH Bina Desa dirubah menjadi

PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK

Menhut.523/1997.

Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan kesempatan kepada

masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela pohon jati. Sementara program HPH

Bina Desa dan PMDH yang dilakukan pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan.

Kegiatannya berupa bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari

masyarakat menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.

Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan

pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut: 622/1995. HKm generasi awal ini berupa

penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Jadi

perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan

sebagai subyek pengelola hutan.

Berangkat dari berbagai hasil penelitian dan investigasi dari peneliti dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat di

berbagai wilayah nusantara, pada tahun 1993 beberapa LSM seperti: Walhi, Latin, LLBT di

Kalbar, Plasma Kaltim dan lain-lain, memperkenalkan konsep pengelolaan hutan oleh rakyat

sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Selanjutnya pada tahun 1997, jaringan LSM pendukung

SHK membentuk Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk tujuan

kampanye dan promosi.

22 Awang (2002)

Page 31: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

23

Saat itu Pemerintah dan LSM termasuk perguruan tinggi berada pada posisi yang saling

berseberangan karena belum adanya dialog yang produktif. Kemudian interaksi melalui

kolaborasi untuk membangun saling percaya antara para pihak mulai berjalan dengan lahirnya

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) pada bulan September 1997. Dialog

kebijakan mulai sering dilaksanakan dan perbaikan kebijakan mulai dilakukan dengan

mempertimbangkan masukan para pihak. Kebijakan HKm diperbaiki dengan menempatkan

masyarakat sebagai subyek pengelola hutan melalui SK Menhut: 677/1998 jo SK Menhut:

865/1999 jo SK Menhut: 31/2001.

Dengan kebijakan HKm yang baru masyarakat mendapatkan izin kegiatan HKm berupa

izin sementara 3-5 (tiga sampai lima) tahun sebelum mendapatkan izin definitif selama 25 tahun.

Menteri Kehutanan menerbitkan 26 Izin sementara kegiatan HKm di 8 (delapan) propinsi dengan

luas 19.073 hektar.23 Namun sampai habis masa izin sementara tersebut tidak ada izin definitif

yang diterbitkan oleh pemerintah. Bahkan pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan Permenhut:

1/2004 tentang Sosial Forestry yang mengaburkan HKm dan tidak memberikan solusi terhadap

izin sementara kegiatan HKm yang tidak berlanjut. Sehingga kegiatan HKm pada waktu itu

berjalan mandeg dan tidak berkembang.

Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut menandai era

baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 1998 yang menetapkan

(daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki

dasar hukum pada tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan

dari Menteri Kehutanan yang cukup progresif ketika itu.24

Peraturan Pemerintah: 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan Rencana

Pengelolalaan dan Pemanfaatan Hutan sebagai revisi terhadap PP 34 tahun 2002 tentang Tata

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan

Kawasan Hutan, telah memberikan dasar hukum yag lebih kuat terhadap perhutanan sosial.

Tidak hanya mengatur HKm, peraturan pemerintah ini juga memperkenalkan Hutan Desa (HD),

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan. Berdasarkan PP 3/2008 kemudian pemerintah

menetapkan peraturan operasional tentang Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan

Tanaman Rakyat. Peraturan operasional ini beberapa kali dirubah dan terakhir adalah:

Permenhut: P.89/2014 tentang Hutan Desa, Permenhut: P.88/2014 tentang Hutan

Kemasyarakatan dan Permenhut: P31/2013 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan

operasional tentang kemitraan yang paling terakhir ditetapkan dengan Permenhut: P 39/2013.

PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting perkembangan

perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memperoleh hak/izin

mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35 tahun. Hal ini ditandai dengan Pencanangan

Penetapan Areal Kerja dan Pemberian Izin Definitif HKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada

tanggal 27 Desember 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta.

23 Direktorat Bina PS, Dirjen RLPS, Kemenhut 24 Lindayati, 2003, op.cit., dan Fay & Sirait, 2003, op.cit.

Page 32: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

24

Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat. Kelompok

masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan HD bisa menunggu

bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal Kerja) dari Menteri serta

menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD dari gubernur dan IUPHKm dari

Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering kali dikaitkan dengan event-event politik, dan

di lapangan masyarakat untuk memperoleh areal kerja sering kali berkompetisi dengan investor.

Capain HD, HKm, maupun HTR sampai tahun 2014 masih sangat rendah. Dari 5 juta ha yang

ditargetkan untuk HD hanya tercapai 67,737 ha HPHD (1%), dari 2 juta ha target untuk HKm

hanya tercapai 94,372 IUPHKm (4,7%), dan dari 5,4 juta ha target HTR hanya tercapai 146,324

IUPHHK-HTR (2,7%).25

3.2. Kebijakan Perhutanan Sosial Saat Ini Salah satu agenda prioritas Pemerintah saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi

dengan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik yang strategis. Pemerintah telah

membuat kebijakan berupa alokasi lahan hutan negara untuk program Perhutanan Sosial (PS)

seluas 12,7 juta ha yang akan direalisasikan selama periode 2015-2019. Upaya ini dicanangkan

sebagai sebuah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan

mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha dan sumber

daya manusia. Perhutanan Sosial juga merupakan legalitas bagi masyarakat di sekitar kawasan

hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.

Melalui diskusi marathon dengan kalangan masyarakat sipil, Kementerian Lingkungan

dan Kehutanan telah menerbitkan perangkat kebijakan sebagai landasan hukum dalam rangka

mendukung pencapain target 12,7 juta hektar perhutanan sosial. Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 tanggal 25 Oktober 2016 tentang Perhutanan Sosial

merupakan regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan prosedur pemberian akses legal bagi

masyarakat dalam mengelola hutan. Akses legal pemanfaatan sumber daya hutan dan pengelolaan

kawasan hutan dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan

negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan

Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk

memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan

tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin

kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di

dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, yang

merupakan kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha

Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri

primer hasil hutan (lebih jelas lihat Tabel 1).

25 Data diolah dari Laporan Satgas IX, KLHK dalam publikasi FKKM & RRI, 2015

Page 33: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

25

Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya

Kategori Perhutanan Sosial

Lokasi Bentuk Hak/Izin Pemberi Hak/Izin

Pemohon

Status dan jangka waktu

Hutan Adat Wilayah Adat, diluar Hutan Negara

Hutan Hak Menteri LHK Masyakat Adat Hak Menguasai/ Hak Milik

Hutan Desa HP & HL HPHD Menteri LHK/Gubernur

Koperasi Desa/BUMDes

35 tahun dan dapat diperpanjang

Hutan Kemasyarakatan

HP dan HL IUPHKm

Menteri LHK/Gubernur

Kelompok Masyarakat/Koperasi

Hutan Tanaman Rakyat

HP IUPHHK-HTR Menteri LHK/Gubernur

Perseorangan/Kelompok/ Koperasi

Kemitraan Kehutanan

HP, HL, HK Kesepakatan - Masyarakat setempat/Kelompok

Prosedur dan persyaratan pengajuan perhutanan sosial lebih sederhana dibanding

prosedur dan persyaratan pada peraturan sebelumnya dan dapat diajukan secara on line/daring

(Perdirjen No.P.15/PSKL/SET/PSL.0/11/2016). Untuk areal kawasan hutan yang bisa diusulkan

perhutanan sosial ditetapkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang direvisi

setiap enam bulan sekali. Revisi pertama PIAPS ditetapkan dengan SK Menteri LHK No.

SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial.

Meskipun areal kawasan hutan di luar PIAPS dapat juga diusulkan untuk perhutanan sosial.

Dengan adanya PIAPS, Penetapan Areal Kerja (PAK) untuk HD dan HKm pada peraturan

sebelumya tidak diperlukan lagi. Disamping itu PIAPS ini mengamankan areal kawasan hutan

untuk akses masyarakat, karena di lapangan sering terjadi kompetisi dengan investor usaha

kehutanan skala besar seperti hutan tanaman industri.

Berdasarkan SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 Tentang Peta Indikatif dan

Areal Perhutanan Sosial (Revisi 1), Pemerintah telah menyiapkan areal seluas 13.887.068,82 Ha.

Dari target alokasi lahan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha, terdapat 1117 Desa yang berada

di dalam areal PIAPS, 3510 Desa berjarak kurang dari 3 km dari PIAPS dan sebanyak 1974 Desa

berjarak antara 3 – 5 km dari lokasi dalam PIAPS. Dengan demikian dapat disimpulkan saat ini

terdapat sedikitnya 6601 Desa berada di dalam dan berjarak di bawak 5 km dari PIAPS. Namun

demikian dari luas target 12, 7 juta ha hanya sekitar 4.3 juta ha yang tercatat terdapat komunitas

dan pendampingnya dan masyarakat berada dalam kawasan tersebut sebanyak 322 komunitas

dan 73 pendamping.

Dalam rangka percepatan pencapaian target perhutanan sosial telah dibentuk Kelompok

Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) melalui SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016 tentang

Pembentukan Pokja PPS. Saat ini telah dibentuk 21 Pokja PPS di Provinsi melalui SK Gubernur ,

diantaranya Sumut, Sumbar, Sumsel, Kalbar, Kalsel, Jambi, Lampung, Kaltara, Kalteng, Kaltim,

Page 34: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

26

Gorontalo, Sulbar, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, NTT, Papua Barat, dan Bengkulu.

Namun demikian keberadaan Pokja PPS juga tidak terlepas dari berbagai kendala permasalahan

diantaranya kurangnya ketersediaan dana serta dukungan yang cukup dari beberapa Pemerintah

Daerah sehingga menyebabkan banyak Pokja yang tidak berfungsi dan tidak berjalan efektif.

Kemudian beberapa Anggota POKJA masih dirasa tidak/kurang memiliki kapasitas untuk

melakukan pendampingan dan kemampuan GIS.

Capaian perhutanan sosial sampai saat ini masih jauh dari target 12,7 juta pada tahun

2019. Hingga bulan November 2017 capain perhutanan sosial baru mencapai 1.301.070,24 ha,

yang merupakan capain komulatif sejak tahun 2007. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) diantaranya menyampaikan bahwa masih menumpuknya

usulan yang belum dapat ditindak-lanjuti karena dokumen permohonan usulan banyak yang

belum memenuhi persyaratan; kemudian terkait dengan keterbatasan SDM, baik di Ditjen PSKL,

Pokja PPS, Pendamping dan penyuluh serta kurangnya tenaga pendamping di tiap lokasi

perhutanan sosial. Selain itu tata laksana pengajuan izin perhutanan sosial juga masih dirasa

kurang disosialisasikan.

Informasi tentang perhutanan sosial dan prosedur pengusulannya tidak sampai kepada

masyarakat pada tingkat akar rumput di desa maupun kepada pemerintah kabupaten/kota.

Meskipun demikian usulan perhutanan sosial banyak yang menumpuk menunggu untuk

ditindaklanjuti di Direktorat Jenderal PSKL. Usulan yang banyak ini pada umumnya berasal dari

daerah dimana Lembaga Donor dan LSM banyak melaksanakan program seperti Sumatera,

Kalimantan dan Sulawesi. Titik kritis dalam proses pengajuan dan penerbitan hak/izin perhutanan

sosial adalah pada: proses penyusunan dokumen dan pengajuaan usulan; proses verifikasi teknis

lapangan, dan proses drafting Surat Keputusan Hak/Izin Perhutanan Sosial.

Tabel 3.2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)26

 

26 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

2015 2016 20171 HD 78.072,00 63.587,00 81.129,83 446.730,38 669.519,212 HKM 153.725,15 20.945,06 2.465,46 109.343,31 286.478,983 HTR 198.594,87 2.815,42 14.131,00 23.426,61 238.967,904 KEMITRAAN 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,915 HUTAN ADAT 13.121,99 3.341,25 16.463,24

449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,36 1.301.070,24JUMLAH

TOTAL (Ha)Pra Kabinet Kerja

2007-2014Kabinet Kerja

NO SKEMA

Page 35: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

27

3.3. Kendala dan Rekomendasi Pelaksanaan ke Depan Proses penyusunan dokumen dan kelengkapan usulan perhutanan sosial tidak dapat dilakukan

oleh masyarakat sendiri. Penyusunan dhokumen dan kelengkapan usulan ini memerlukan

pendampingan. Usulan sering dikembalikan apabila tidak lengkap seperti: tidak ada peta shp,

daftar anggota kelompok tani tidak dilengkapi nomer induk kependudukan (NIK), Perdes

tentang LPHD dan Surat Keputusan Kades tentang Personalia LPHD tidak tepat sesuai Peraturan

Dirjen PSKL dan sebagainya. Dokumen usulan yang sampai di Kementerian LHK, masuk ke Biro

Umum, kemudian dicatat oleh Bagian Tata Usaha Kementerian. Setiap dokumen yang masuk

dibaca oleh Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan hanya membutuhkan waktu baca hanya setengah

atau satu hari lalu langsung didisposisi ke Dirjen PSKL, kecuali jika daerahnya ada masalah. Dirjen

PSKL kemudian mendisposisikan lagi ke Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS)

dan Direktur PKPS mendisposisikan kepada Subdit yang sesuai dengan permohonan masyarakat

(Subdit Penyiapan HD, Subdit Penyiapan HKm, Subdit Penyiapan HTR, dan Subdit Penyiapan

Kemitraan). Apabila dokumen usulan sudah memenuhi persyaratan, Dirjen PSKL akan

memerintahkan kepada Balai PSKL untuk melakukan verifikasi teknis lapangan. Balai PSKL akan

mengembalikan perintah verifikasi ke Ditjen PSKL, apabila tidak memiliki anggaran dan tidak ada

orang.27 Apabila dokumen usulan tidak memenuhi persyaratan atau kurang lengkap, Direktorat

PKPS menghubungi organisasi pendamping untuk memperbaiki dan melengkapai persyaratan.

Gambar 3. 1. Birokrasi Perizinan PS28

Dukumen usulan perhutanan sosial yang sudah diverifikasi akan diproses drafting Surat

Keputusan dan petanya oleh Subdit sesuai skema perhutanan sosial. Draft SK beserta peta

kemudian disampaikan kepada Bagian Hukum PSKL. Pada Bagian Hukum, draft SK dan peta akan

dikoreksi dan diperbaiki dan SK yang sudah diperbaiki dimintakan nomer SK di Bagian Tata

27 Soraya Afif (2017). 28 Soraya Afif (2017).

Page 36: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

28

Usaha Menteri LHK. Permintaan nomer pada Bagian Tata Usaha Menteri karena Dirjen PSKL

akan menandatangani SK tersebut atas nama Menteri LHK. Biasanya prose koreksi dan

perbaikan draft SK serta pemberian nomer SK memerlukan waktu yang cukup lama karena

keterbatasan sumber daya manusia.

Untuk mengatasi kendala-kendala dimaksud, ke depan perlu dilakukan beberapa hal

berikut, sebagaimana yang diringkas dalam diagram berikut.

Gambar 3. 2 Diagram Alur Percepatan Pencapaian Program Perhutan Sosial

1. Bekerja bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Desa dan PDTT,

Sekretariat RAPS, dan para pihak melakukan sosialisasi dan assessment ke desa-desa

yang berada di areal PIAPS dana atau berada di kawasan hutan dalam rangka identifikasi

potensi desa hutan dan skema perhutanan sosial yang tepat untuk desa tersebut.

2. Menyelenggarakan Coaching Clinic di tingkat kabupaten atau provinsi untuk dan

melatih dan membantu desa-desa hasil assessment pada point (1) menyusun dokumen

usulan perhutanan sosial.

3. Kegiatan verifikasi yang diselenggarakan oleh Balai PSKL bekerjasama dengan Dinas

Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota, KPH dan Pokja PPS setempat. Sementara

kegiatan verifikasi yang dilaksanakan oleh Direktorat PKPS bekerjasama dengan

Sekretariat RAPS dan para pihak.

Coaching Clinick Perhutanan Sosial

1. PSKL 2. Kemendes

& PDTT 3. Pemda 4. Para pihak

1. PKPS 2. Sekretariat

RAPS 3. Para Pihak

Verifikasi Perhutanan Sosial

Sosialisasi PS dan Assesmen potensi desa hutan serta pilihan skema PS

1. Balai PSKL 2. Dishut Prov &

Dishut Kab/Kota

Drafting SK PS dan Peta

1.Bagian Hukum PSKL 2. Sekretariat RAPS

Page 37: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

29

4. Kegiatan drafting SK perhutanan sosial dilaksanakan oleh Bagian Hukum PSKL

bekerjasama dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim Legal

Drafting).

5. Kegiatan pembuatan peta sebagai lampiran SK dilaksanakan oleh Direktorat PKPS

berkerjasama dengan dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk

Tim GIS).

6. Perlu dilakukan pertemuan secara ruguler antara Direktorat PKPS dengan Sekretariat

RAPS untuk memantau perkembangan proses legalitas perhutanan sosial dan

mendiskusikan kerjasama dan dukungan yang diperlukan untuk percepatan.

7. Penguatan dan pendampingan KPH dan Pokja PPS dalam rangka fasilitasi perhutanan

sosial paska legalitas.

Page 38: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

30

BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT

4.1. Pengantar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat. Hal itu

tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amandemen) dan makin dipertegas dalam Pasal

18B ayat 2 (setelah amandemen pada tahun 2000). Meski begitu, kecuali yang tercantum pada

UU Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau

pelanggaran terhadapnya. Semakin masif pada masa Orde Baru. Bahkan sebuah Peraturan

Pemerintah pernah membatalkan pengakuan hak masyarakat adat itu! (Zakaria, 2000).29

Angin reformasi yang berhembus sejak pertengahan tahun 1998 lalu membuka peluang

baru. Setidaknya ada 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan Negara atas

hak masyarakat hukum adat. Termasuk atas tanah adat/tanah ulayat. Hal penting dari putusan-

putusan MK ini adalah bahwa Mahkamah Konstitusi itu telah merumuskan kriteria dan

kondisionalitas serta proses pengakuan yang lebih pasti dari masa sebelumnya, yang selama ini

menjadi debat kusir yang bermuara pada pengingkaran hak masyarakat hukum adat (Zakaria,

2015).30

Sebagai lanjutannya, saat ini setidaknya tersedia lima perangkat peraturan perundang-

undangan yang lebih operasional yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak

masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, diurut berdasarkan tahun

pemberlakuannya, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat; (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas

Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;

dan (5) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan

Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.

Pada intinya kelima kebijakan ini menjabarkan lebih jauh Putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi itu, khususnya Putusan MK 35/2012. Sebagaimana diketahui Putusan MK itu telah

menetapkan bahwa tanah adat bukan tanah negara; hutan adat cq. tanah adat berada di wilayah

adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui atas hutan adat cq.

tanah adat itu jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam

peraturan daerah.

Meski begitu, sejak diumumkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012

pada tanggal 16 Mei 2013, hingga memasuki penghujung tahun 2017 ini penetapan hutan adat

29 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 30 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 Novermber 2015.

Page 39: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

31

dalam kawasan hutan baru mencapai 8.746 hektar. Capaian ini sungguh jauh lebih kecil

dibandingkan dengan capaian luasan pemberian Hak Kelola untuk Hutan Desa (490.831 ha), Izin

Hutan Kemasyarakatan/IUPHKm (243.780 ha) dan Izin Hutan Tanaman Rakyat/IUPHK-HTR

(233.385 ha).

Sekedar perbandingan, menurut kalkulasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),

apa yang mereka sebut sebagai hutan adat itu diperkirakan mencapai angka 40 Juta ha, atau

hampir sekitar 25% dari total kawasan hutan di Indonesia.31 Lalu apa yang keliru hingga capaian

itu demikian rendahnya?

Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh dalam bagian-bagian

berikut ada beberapa kendala yang dihadapi. Kendala-kendala ini tentu saja harus diatasi

mengingat, selain terkait dengan optimalisasi Putusan MK 35/2012 itu, momentum lain yang juga

perlu diperhatikan adalah adanya dukungan pengakuan hutan adat sebagaimana tercakup dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Rencana ini

menargetkan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk masyarakat, termasuk masyarakat adat.

Selain itu, keberadaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) juga dianggap dapat

memberikan peluang untuk pengakuan terhadap hutan adat. Di sisi lain, UU Pemerintahan

Daerah No. 23 Tahun 2014 menguatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten untuk

melaksanakan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan desa adat, tanah ulayat

dan kearifan lokal.

Untuk merealisasikan itu semua Kementerian LHK telah memprioritaskan penetapan

hutan adat bagi daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Pengakuan Keberadaan

Masyarakat Hukum Adat dan Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat. Bersama

pemerintah daerah, Kementerian LHK membantu mempersiapkan peta wilayah adat.

Dalam bagian ini akan ditawarkan beberapa jalan keluar untuk mempercepat pengakuan

hutan adat. Antara lain perlu dikembangkan interpretasi hukum yang tepat terhadap norma

peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, pada sisi tertentu perlu dilakukan diskresi.

Tanpa keinginan melakukan diskresi maka sulit bagi Pemerintah untuk dapat segera menetapkan

hutan adat.

4.2. Beberapa kendala pengakuan hutan adat Menurut Arizona (2015)32 mengemukakan bahwa rendahnya kinerja capaian pembaruan hukum

pengakuan hak-hak masyarakat adat, jika dapat dikatakan begitu, salah satu penyebabnya adalah

karena, di satu sisi, agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak

pada kerumitan keragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum yang tersedia; dan di sisi

lain, seringkali produk hukum daerah itu hanya bersifat deklaratif semata.

31 Pernyataan Sekretaris Jenderal AMAN pada suatu seminar dalam rangka menyambut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (dilihat http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1 ) di pertengahan tahun 2013 lalu. 32 Yance Arzona, 2015. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.

Page 40: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

32

Sementara itu Safitri, Berliani, dan Suwito (2015)33 menyatakan bahwa ketidaksinkronan

norma hukum nasional ditengarahi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya. Terdapat

perbedaan pengaturan mengenai bentuk produk hukum daerah yang valid untuk pengakuan

masyarakat hukum adat. Peraturan kebijaksanaan yang telah diterbitkan Pemerintah melalui

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2015

tentang Penetapan Hutan Hak, termasuk di dalamnya Penetapan Hutan Adat. Selain itu, terdapat

distorsi antara janji politik pemerintah untuk mengakui masyarakat hukum adat dan wilayah

adatnya dengan program pembangunan nasional yang dicanangkan untuk lima tahun ke depan.

Kewenangan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat ada pada pemerintah daerah.

Namun, hal ini tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan

materi muatan produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh

Kementerian LHK menjadi penyebab utama. Selain itu pemerintah daerah menganggap tidak

memiliki kewenangan mengatur masyarakat hukum adat dan wilayah adat, terutama ketika

wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Ada pula keengganan pemerintah daerah

memberikan pengakuan itu karena khawatir menghambat investasi di daerahnya. Pokok

argumentasinya adalah bahwa ketidaksempurnaan norma hukum di tingkat nasional atau daerah

dapat diatasi dengan interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan

teleologikal/sosiologikal. Atas dasar itu maka kewenangan penetapan hutan adat yang ada pada

Kementerian LHK seyogianya menjadi arena diskresi yang efektif.34

Dalam pada itu Zakaria (2016)35 berpandangan bahwa lemahnya daya ungkit yang dapat

digerakkan oleh kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat

itu terjadi tidak bisa dilepaskan dari karena logika hukum yang keliru yang terkandung dalam

berbagai kebijakan sebagaimana telah dijelaskan di atas.36 Di samping tidak cocok dengan realitas

politik sebagaimana yang dijelaskan Arizona (2015) dan Safitri, Berliani, dan Suwito (2015)

terdahulu, logika hukum yang digunakan dan dikukuhkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012 itu

sama sekali tidak cocok dengan realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan. Selain itu, para

pelaksana maupun pengguna kebijakan itu juga masih gagal melepaskan diri dari gejala

generalisasi, sebagaimana dengan mudah dapat dilihat dalam konteks kebijakan turunan di tingkat

daerah.37

Perdefenisi masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun

temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada

asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata

pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya, yang keberadaannya ditetapkan

33 Myrna A. Safitri, Hasbi Berliani, dan Suwito, 2015. Penetapan Hutan Adat. Interpretasi Hukum dan Diskresi. Partnership Policy Paper, No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan 34 Lebih lajut lihat Safitri, Berliani, dan Suwito, 2015, ibid. 35 R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, in Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016, sebagaimana dapat dikakss pada tautan berikut: https://www.academia.edu/30778953/Strategi_Pengakuan_dan_Perlindungan_Hak-hak_Masyarakat_Hukum_Adat_Sebuah_pendekatan_sosiologi-antropologis_-_Jurnal_Bhumi_Vol_2_No_2_Nov_2016.pdf 36 Zakaria, 2016, ibid. 37 Zakaria, 2016, ibid.

Page 41: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

33

melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, wilayah adat dan/atau tanah

ulayat didefinisikan sebagai suatu wilayah tertentu yang penguasaannya diatur oleh suatu hak

persekutuan yang dipunyai oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang menjadikan wilayah

adat dan/atau tanah adanya itu sebagai lingkungan hidup warganya, yang meliputi hak untuk

memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.38

Pertanyaannya kemudian adalah, dalam konteks masyarakat (adat) Batak Toba dan atau

Minangkabau misalnya, susunan masyarakat seperti saja yang dapat disebut sebagai suatu susunan

dan/atau kesatuan masyarakat hukum adat itu? Dan bentang alam yang mana pula yang dapat

disebut sebagai wilayah adat dan/atau tanah adat itu?

Di Ranah Minang susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang disebut

kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu); suku (keluarga luas

berdasarkan garis keturunan nenek moyang tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan

pemukiman/desa teritorial sekaligus bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang

berasal dari 4 suku yang ada (urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah

ulayat yang disebut sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu andiko yang

berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu memiliki kewenangan yang penuh atas

sako/pusako, dan tidak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain Franz von

Benda-Beckmann, 1979;39 dan Keebet von Benda-Beckmann, 2000;40 Franz and Keebet von

Benda-Beckman, 2012;41 Warman, 2010).42

Sementara itu, hasil kajian etnografi yang dilakukan oleh Sjahrir-Pandjaitan dan Zakaria

(2017)43 menemukan bahwa entitas sosial di dalam masyarakat Batak Toba yang dapat disebut

kesatuan masyarakat hukum adat adalah bius, partolian, golat, dan huta atau penyebutan lain yang

disetarakan dengan sebutan ini. Marga raja dan marga boru (atau penyebutan lain yang setara

dengan sebutan ini) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan marga raja itu

sendiri adalah pemangku hak utamanya. Dengan demikian, kesatuan wilayah di mana bius,

partolian, golat, dan huta itu berada dapat pula disebut sebagai wilayah adat dan/atau (tanah)

ulayat dari masing-masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek hak dari masing-masing hak-

hak pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta,

baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja

38 Disarikan dari definisi yang dimuat dalam berbagai UU dan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Setidaknya ada … peraturan perundang-undangan yang telah mengatur pengakuan hak masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; (4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang 39 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff. 40 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications. 41 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press. 42 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV – Jakarta. 43 Kartni Sjahrir – Pandjaitan dan R. Yando Zakaria. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan Penelitian. Jakarta: Yayasan Sjarir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat (PUSAKA), tidak diterbitkan.

Page 42: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

34

dan/atau marga boru dimaksud) dapat berupa (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba

dan harangan; hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan

itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan

sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang

disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak

pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun.

Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago berupa biasanya batu besar atau pohon besar, atau

penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah disebut saoa

atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah

ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman,

disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih

lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau

penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah

padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau

penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing,

atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan

tujuan yang berbeda-beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan

sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk

menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk

kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan.

Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni

huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali.

Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh

dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba

parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut

partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika

kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan

individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan

ini. Saluran tanah tempat orang melakukan sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit

dengan meditasi disebut tano langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan

dengan sebutan ini.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap

kaum/buah gadang, suku, atau pun nagari, atau pun bius, partolian, golat, huta, marga raja dan

marga boru perlu ditetapka dulu dengan peraturan daerah agar agar masing-masing pusako (baca:

harta kekayaan bersama yang berupa tanah ulayat) di Ranah Minang ataupun yang disebut tano

rimba dan harangan; parhutaan; saoa atau hauma dan lain penggunaan secara tradisional dikenal

dalam masyarakat Batak Toba itu, dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh

Putusan MK 35/2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayangkan betapa sibuknya

masyarakat hukum adat dan Pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi.44

44 Sebagai gambaran, saat ini terdapat sekitar 700 nagari di Sumatera Barat. Secara teoritik terdapat pula sekitar 3200 suku, karena suatu nagari baru bisa dibentuk jika sudah ada apa yang disebut sebagai urang apek jinih (orang-orang dari empat suku yang berebeda). Dengan asumsi terdapat sekurang-kurangnya 10 kaum dalam setiap suku agar dapat

Page 43: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

35

Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi Putusan 35/2012,

Zakaria (2016)45 menyarankan pelaksanaan kebijakan ini perlu dilengkapi dan/atau didekati

dengan perspektif sosio-antropologis. Hal ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud

justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat

adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan MK 35/2012

itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan yang

telah memberatkan masyarakat adat.

4.3. Pengaturan Beberapa Hak Masyarakat Hukum Adat

4.3.1. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan

Setelah beberapa pengujian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi46 pengakuan UU 41 terhadap

MHA dan hutan adat dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Hutan adat adalah bagian dari hutan hak, bukan hutan negara

b. Masyarakat hukum adat dikukuhkan melalui Peraturan Daerah

c. Masyarakat hukum adat dapat mengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus

d. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat harus sesuai dengan fungsinya.

e. Pemanfaatan hutan adat dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan

konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Hal yang acap mengganjal dari UU 41 ini adalah ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67

ayat (2) yang menyatakan bahwa pengakuan hutan adat hanya dapat dilakukan jika MHA masih

hidup dan diakui. Pengakuan MHA dikukuhkan melalui Peraturan Daerah.

Logika yang ada dalam kedua pasal ini terkait dengan rumusan Pasal 1 angka 6 dan Pasal

5 ayat (2) UU 41 sebelum Putusan MK 35. Kedua pasal tersebut memandang bahwa hutan adat

adalah bagian dari hutan negara. Atas dasar itulah maka jika negara ingin ‘memberikan’ hutan

kepada MHA maka masyarakat itu harus membuktikan keabsahan dirinya sebagai subjek hukum

yang layak memangku hutan adat.

Semestinya, Putusan MK 35 memberikan koreksi terhadap makna Pasal 5 ayat (3) dan

Pasal 67 ayat (2) ini. Putusan MK 35 dengan tegas mengatakan bahwa hutan adat adalah salah

satu bentuk hutan hak. Ia bukan lagi hutan negara. Konsisten dengan UU 41, hutan hak diartikan

sebagai hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani dengan hak atas tanah. Dengan demikian,

yang menjadi syarat utama penentuan hutan hak adalah bukti penguasaan objek tanah, bukan

terhadap subjek haknya. Namun, kenyataannya tidak demikian. MK lebih menyoroti keberadaan

ketentuan pengukuhan MHA melalui Peraturan Daerah itu sebagai upaya mengatasi kekosongan

hukum karena belum adanya Undang-undang mengenai MHA. Putusan MK 35 sama sekali tidak

diperhitungkan sebagai suku pembentuk suatu nagari, maka saat ini terdapat sekitar 32.000 kaum. Perhitungan matematis yang tidak jauh berbeda juga berlaku dalam kasus masyarakat Batak Toba 45 Zakaria, 2016, op.cit. 46 Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.

Page 44: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

36

membahas bagaimana konsekuensi penetapan hutan adat sebagai hutan hak terhadap keberadaan

Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41.

Keterbatasan dalam Putusan MK 35 ini menuntut kita mengembangkan interpretasi

hukum yang tepat dalam memaknai Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41. Penetapan

terhadap hutan adat dapat dilakukan atas dasar keabsahan subjek hukum, dalam hal ini adalah

pengakuan terhadap keberadaan MHA, dan keabsahan penguasaan atas objek hutan adat. Khusus

mengenai keabsahan subjek hukum MHA, UU 41 dalam Pasal 67 ayat (2) menyatakan harus

berbentuk Peraturan Daerah. Namun, untuk keabsahan penguasan atas objek hutan hak, UU 41

tidak mengatur dengan rinci dan menyerahkannya kepada pengaturan dalam bidang hukum

pertanahan.

4.3.2. Pengakuan pada Kearifan Lokal

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

menempatkan pengakuan MHA dan kearifan lokal dalam posisi sentral. Salah satu prinsip PPLH

adalah kearifan lokal yang diartikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.47 Selain itu Rencana

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) harus bersandar pada kearifan lokal.

Pemerintah dan pemerintah provinsi menetapkan kebijakan pengakuan MHA, kearifan

lokal dan hak-hak MHA terkait PPLH. Sementara itu pemerintah kabupaten melaksanakannya.

Saat ini sedang dirancang peraturan di tingkat nasional untuk pengakuan kearifan lokal tersebut.

Pengakuan terhadap kearifan lokal ini berdimensi luas. Tidak sekedar yang ada di kawasan

hutan namun juga di luar kawasan hutan, di wilayah daratan ataupun di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil. Bagaimana mengaitkan pengakuan terhadap wilayah kearifan lokal dengan hutan adat

yang ada di dalam dan luar kawasan hutan adalah isu hukum yang harus diselesaikan.

4.3.3. Pengakuan Desa Adat

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui keberadaan desa adat sebagai subjek

hukum. Dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam tabel 1, MHA dapat

ditetapkan sebagai desa adat. Desa adat mempunyai kewenangan mengatur masyarakat dan

wilayah adatnya berdasarkan hukum adat. Desa adat mempunyai harta kekayaan. Salah satunya

adalah tanah ulayat dan hutan milik desa.

UU Desa menyebutkan bahwa kekayaan desa yang berupa tanah disertipikatkan atas nama

pemerintah desa.48 Tidak dijelaskan oleh Undang-Undang ini mengenai bentuk hak atas tanah

yang dapat diberikan kepada pemerintah desa. Di lihat dari subjek hukumnya, maka hak yang

mungkin dipegang oleh pemerintah desa adalah hak pakai. Meskipun demikian, hak pakai berarti

sebagai hak memanfaatkan tanah negara. Bagaimana tanah negara dapat dipersamakan dengan

aset desa? Bagaimana pula halnya jika aset desa berupa tanah ulayat? Apa bentuk pengakuan hak

47 Pasal 1 angka 30 UUPPLH. 48 Pasal 76 ayat (4) UU No. 6 Tahun 2014.

Page 45: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

37

yang akan diberikan? Lalu, hak atas tanah apa yang seharusnya ada pada hutan milik desa?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari UU Desa.

4.3.4. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengukuhan Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P. 44/Menhut-II/2012 jo Peraturan Menteri

Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan mengatur mengenai

penanganan terhadap hak MHA dalam proses pengukuhan hutan. Salah satu hal penting dari

peraturan menteri ini adalah klausul mengenai bentuk pengakuan keberadaan MHA. Permenhut

No. P. 62/Menhut-II/2013 yang menyebutkan Putusan MK 35 dalam konsiderans menimbangnya

menyatakan bahwa pengakuan tersebut harus dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.49

Untuk memperjelas apa yang sudah disebutkan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41, Permenhut

ini menambahkan bahwa Peraturan Daerah itu harus dilengkapi dengan peta wilayah adat.

Menariknya, Permenhut ini juga menyatakan bahwa setelah wilayah adat diakui, maka wilayah itu

dikeluarkan dari kawasan hutan. Di sini tampak pertentangan antara Permenhut ini dengan UU

41 dan dengan Putusan MK 35 yang menyatakan bahwa kawasan hutan terdiri dari hutan negara

dan hutan hak. Di dalam hutan hak itu terdapat hutan adat dan hutan hak perorangan serta

badan hukum. Dengan demikian maka pengakuan terhadap hutan adat tidak serta merta

mengeluarkannya dari kawasan hutan.

4.3.5. Beberapa Peraturan Kebijaksanaan

Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga dapat melakukan tindakan

berbasis kepada peraturan kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule). Tujuannya adalah untuk

efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam kaitan dengan hutan adat, dapat disebutkan

dua peraturan kebijaksanaan yang telah dibuat Pemerintah. Yang pertama adalah Surat Edaran

Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 dan yang lain adalah Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013.

Surat Edaran Menteri Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai

perubahan UU 41 setelah Putusan MK 35. Dalam Surat tersebut, Menteri menegaskan bahwa

penetapan hutan adat dilakukan oleh Menteri setelah ada penetapan keberadaan MHA melalui

Peraturan Daerah.

Adapun Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang disebutkan di atas adalah untuk

melakukan pemetaan sosial terhadap MHA. Dalam Surat ini, Menteri Dalam Negeri meminta

para kepala daerah untuk memetakan keberadaan MHA di wilayahnya serta permasalahan sosial

yang mereka hadapi.

49 Pasal 24 A Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2013.

Page 46: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

38

4.3.6. Masalah Perangkat Hukum

Dar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat distorsi antara janji politik pemerintah untuk

MHA dengan program pembangunan nasional. RPJMN 2015-2019 harus diakui memuat program-

program yang sangat jauh semangatnya dari Nawacita dalam hal pengakuan MHA.

Pemetaan dan analisis pada sejumlah peraturan perundang-undangan menunjukkan

bahwa hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan.

Jika pengakuan diawali dengan pengukuhan MHA oleh pemerintah daerah maka produk hukum

daerah apakah yang seharusnya digunakan. Saat ini, terdapat dua model yakni melalui Peraturan

Daerah dan dengan Keputusan Kepala Daerah. Manakah yang harus diacu? Pemerintah Pusat

belum menunjukkan arahan yang jelas. Jika misalnya atas dasar hirarki peraturan perundang-

undangan maka UU 41 dan UU Desa harus menjadi rujukan, dengan kata lain bahwa pengakuan

MHA harus dengan Peraturan Daerah, mengapa Permendagri No. 52/2014 tetap diberlakukan?

Namun, jika Permendagri tersebut diubah atau dicabut sehingga tidak mungkin lagi pengakuan

melalui Keputusan Kepala Daerah maka Pemerintah harus menyediakan solusi bagi pengakuan-

pengakuan yang sudah dilakukan sejumlah pemerintah daerah dengan Keputusan Kepala Daerah

(pelaksanaan Permendagri 52/2014).

Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan tidak mampu diatasi oleh instrumen

peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat edaran Menteri. Peraturan kebijaksanaan merupakan

modal pemerintah untuk mengefektifkan tugas pemerintahan. Termasuk di dalam tugas ini adalah

pengakuan MHA dan hutan adat yang merupakan mandat konstitusional Pemerintah. Namun, hal

ini tidak terjadi ketika Pemerintah mengeluarkan surat-surat edaran yang terkait dengan MHA

dan hutan adat. Peraturan kebijaksanaan ini belum memberikan solusi hukum apapun untuk

mengatasi sumbatan pengakuan hutan adat.

4.4. Mempercepat Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Hutan Adat

4.4.1 Pengantar

Setelah melihat persoalan-persoalan yang terdapat pada hukum nasional (bab 2), kemudian

dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dinamika kebijakan di daerah (bab 3), maka pada bab ini

kita sampai pada pertanyaan: Apa yang semestinya dilakukan Pemerintah untuk mempercepat

penetapan hutan adat? Perangkat hukum untuk penetapan hutan adat sejatinya telah tersedia. Di

sana-sini ada kelemahan-kelemahan. Namun, hal tersebut sebaiknya tidak menjadi alasan untuk

menunda penetapan hutan adat. Bagaimana membangun interpretasi hukum yang tepat terhadap

peraturan perundang-undangan yang ada adalah tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah.

Selain itu, dalam situasi ketidakjelasan peraturan, termasuk ketidaksinkronan yang menyebabkan

hambatan dalam penetapan hutan adat, diskresi menjadi pilihan yang penting dipertimbangkan.

Pembahasan pada bab ini difokuskan pada berbagai bentuk interpretasi hukum dan dasar-dasar

melakukan diskresi untuk penetapan hutan adat.

Page 47: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

39

4.4.2 Kewenangan Menetapkan Hutan Adat

Menurut Putusan MK 35, hutan adat adalah salah satu bentuk hutan hak. Dengan demikian maka

pembahasan mengenai kewenangan terhadap hutan adat juga harus dikaitkan dengan hutan hak.

UU 41 menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan status hutan.50 Dengan demikian maka

Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan menetapkan hutan hak ataupun hutan negara.

Penetapan status hutan merupakan bagian dari pengukuhan kawasan hutan. Hal ini jelas tertera

dalam Pasal 15 ayat (1) UU 41. Dengan demikian, hutan hak yang di dalamnya terdapat hutan

adat itu juga perlu dikukuhkan. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan ada pada

Pemerintah Pusat. Karenanya maka pengukuhan kawasan hutan hak semestinya juga menjadi

bagian dari kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini KLHK.

Selama ini beredar pandangan bahwa urusan hutan hak adalah urusan pemerintah daerah. Oleh

sebab itu dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman

Pemanfaatan Hutan Hak, kewenangan penunjukan hutan hak dibebankan kepada pemerintah

daerah. Peraturan ini bertentangan dengan UU 41. Koreksi terhadapnya baru dilakukan sepuluh

tahun kemudian, tepatnya tanggal 7 Juli 2015. Permen LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015

tentang Hutan Hak mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005. Permen

LHK mengenai hutan hak menyebutkan bahwa hutan hak ditetapkan oleh Menteri yang

kemudian mendelegasikannya kepada Direktur Jenderal yang membidangi urusan Perhutanan

Sosial dan Kemitraan Lingkungan (lihat kembali bagian 2.3.16 mengenai pokok-pokok pengaturan

hutan hak dalam Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015).

4.4.3 Menetapkan Hutan Adat yang telah diakui Pemerintah Daerah

Langkah pertama yang dapat dilakukan Pemerintah, dalam hal ini KLHK, adalah mengakui

Keputusan-keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat yang telah ada, untuk menjadi dasar

penetapan hutan adat. Dasar hukum untuk ini adalah ketentuan Pasal 15 Permen LHK No. P.

32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Pasal tersebut menyatakan bahwa hutan adat yang

sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap

berlaku dan ditetapkan sebagai hutan hak sesuai dengan Peraturan Menteri No. P. 32/Menlhk-

Setjen/2015.

Apakah penetapan hutan adat dengan dasar Keputusan Kepala Daerah itu tidak

bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41? Pasal 5 ayat (3)

menyebutkan bahwa hutan adat diakui sepanjang MHA masih ada dan diakui keberadaannya.

Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA

ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Kami mempunyai dua pilihan argumentasi hukum mengenai hal ini. Pertama, sesuai dengan

Pasal 1 angka 5 UU 41, hutan hak adalah hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani hak atas

tanah. Oleh karena itu maka pembuktian yang utama adalah terkait dengan penguasaan atas

objek hak. Sementara itu, Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) lebih menekankan pembuktian

50 Pasal 5 ayat (3) UU 41.

Page 48: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

40

subjek hak. Alih-alih menyatakan Pasal 1 angka 5 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal

67 ayat (2), kami berpendapat lebih baik kita menyimpulkan bahwa dengan Putusan MK 35

terbuka dua jalur penetapan hutan adat. Yang pertama adalah sejalan dengan Pasal 5 (3) dan Pasal

67 (2) yaitu penetapan berbasis pengakuan pada subjek MHA. Yang kedua, adalah penetapan

berbasis pada pengakuan atas objek hutan adat.

Keputusan-keputusan kepala daerah terkait dengan hutan adat adalah pengakuan berbasis

objek. Karena UU 41 tidak menyebutkan bahwa pengakuan berbasis objek ini harus berdasarkan

Peraturan Daerah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengakuan objek hutan adat dengan

Keputusan Kepala Daerah dapat diterima.

Argumentasi kedua terkait dengan keberadaan Pasal 15 Permen Hutan Hak. Pasal ini

diletakkan pada bagian ketentuan peralihan. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya kita perlu

mengetahui fungsi ketentuan peralihan dalam peraturan perundang-undangan.

Lampiran I UU No. 12 Tahun 201151 menyebutkan bahwa “Ketentuan Peralihan memuat

penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru”.

Tujuannya adalah untuk: (i) menghindari terjadinya kekosongan hukum; (ii) menjamin kepastian

hukum; (iii) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan (iv) mengatur hal-hal yang bersifat transisional

atau bersifat sementara.”

Dengan mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat maka

Permen Hutan Hak sedang menjalankan upaya menjamin kepastian hukum dan memberikan

perlindungan hukum pada masyarakat yang hutan adatnya telah mendapat pengakuan dari Kepala

Daerah.

Penetapan hutan adat berbasis pada pengakuan yang telah dilakukan oleh Kepala Daerah

juga merupakan kebijakan transisional. Oleh sebab itu maka pengakuan dengan model ini hanya

dapat diberikan sekali untuk semua Keputusan Kepala Daerah yang menetapkan hutan adat

sebelum adanya Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak.

Untuk selanjutnya, penetapan hutan adat dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh

Peraturan Menteri ini.

KLHK dapat memilih diantara dua argumentasi ini. Keduanya telah memberikan alasan

hukum yang kuat untuk mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat sebagai dasar

penetapan hutan adat oleh Menteri.

51 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lampiran I-nya membahas Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengenai fungsi ketentuan peralihan lihat angka 127 dari Lampiran ini.

Page 49: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

41

4.4.4. Menetapkan Hutan Adat dimana MHA telah dikukuhkan Pemerintah Daerah

Saat ini di sejumlah daerah terdapat Peraturan Daerah ataupun Keputusan Kepala Daerah yang

telah menetapkan MHA. Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah di Morowali, Keputusan

Bupati di Jayapura dan Halmahera Utara.

Peraturan Daerah di Morowali yang telah menetapkan masyarakat Suku Wana sebagai

MHA, misalnya, memberikan dasar yang kuat bagi penetapan hutan adat. Ketiadaan peta wilayah

adat dapat disiapkan selanjutnya. Untuk ini diperlukan Keputusan Bupati yang menetapkan

wilayah MHA itu dengan lampiran petanya. Setelah terbitnya Keputusan Bupati tersebut maka

Masyarakat mengajukan permohonan penetapan hutan adat kepada Menteri LHK, sesuai dengan

Permen Hutan Hak. Keputusan Menteri ini menandai perubahan status kawasan hutan dari hutan

negara menjadi hutan hak, tanpa mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan.

Bagaimana halnya dengan penetapan MHA berdasarkan Keputusan Kepala Daerah?

Penyelesaian terhadap hal ini harus dibedakan antara Keputusan Kepala Daerah yang merupakan

pelaksanaan dari Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang tidak berdasarkan

Peraturan Daerah. Keputusan Kepala Daerah yang dibuat berdasarkan Peraturan Daerah

mempunyai kekuatan hukum yang lebih daripada Keputusan Kepala Daerah yang tidak

berdasarkan Peraturan Daerah.

Dengan pendapat di atas maka untuk Kabupaten Jayapura dimana terdapat Keputusan

Bupati baik untuk mengakui wilayah MHA (Keputusan No. 319 Tahun 2014) atau Keputusan

yang mengakui kampung adat (Keputusan No. 320 Tahun 2014), dapat dijadikan dasar untuk

penetapan hutan adat.

Keputusan No. 319 Tahun 2014 didasarkan atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua

tentang Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum

Adat52. Selain itu juga dirujuk Peraturan Daerah Khusus Papua tentang Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan.53 Adapun Keputusan Bupati No. 320 Tahun 2014 tentang Kampung Adat

didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 8 Tahun 2014 tentang Kampung.

Persoalan yang masih tersisa adalah ketiadaan peta wilayah adat/kampung adat yang

disahkan oleh Bupati. Untuk menjawab masalah ini maka Bupati dapat segera menetapkan

Keputusan untuk mengesahkan peta-peta tersebut. Setelah itu Menteri dapat menetapkan hutan

adat setelah proses validasi dan verifikasi. Dalam kaitan ini, Peraturan Menteri LHK No. P.

32/Menlhk-Setjen/2015 menyebutkan bahwa Menteri dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi

MHA untuk memetakan wilayah adatnya, sekiranya produk hukum daerah yang ada belum

dilampiri dengan peta.54

Sementara itu bagi daerah dimana Keputusan Bupati yang menetapkan MHA belum

didasarkan pada Peraturan Daerah (lihat contohnya Kabupaten Lebak untuk MHA Kasepuhan

dan Kabupaten Halmahera Utara untuk MHA Hibualomo), KLHK perlu mendorong Pemerintah

52 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008. 53 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008. 54 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015.

Page 50: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

42

Daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah sebagai payung hukum bagi Keputusan-keputusan

Bupati itu.

4.4.5. Mendorong diterbitkannya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan MHA dan Wilayah Adat

Di daerah-daerah tertentu, Peraturan Daerah mengenai MHA bersifat umum. Untuk

menjadikannya efektif mendorong penetapan hutan adat, para Kepala Daerah perlu segera

menerbitkan keputusan untuk menetapkan MHA tertentu dan wilayah adatnya. Penetapan ini

disertai dengan peta wilayah adat sebagai lampiran.

Keberadaan Keputusan Kepala Daerah ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah

yang ada. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk menetapkan tanah ulayat. Dengan bahasa yang

lain maka Bupati/Walikota berwenang menetapkan subjek MHA maupun objek wilayah adatnya.

Peraturan Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 adalah dasar hukum bagi penerbitan Keputusan

tersebut.

Dengan pertimbangan di atas maka di daerah-daerah dimana Peraturan Daerah telah

tersedia, seperti halnya di Kabupaten Malinau atau di Kabupaten Sigi, Bupati dapat menerbitkan

keputusan penetapan MHA dan wilayah adat. Keputusan ini bersama dengan Peraturan Daerah-

nya menjadi dasar permohonan penetapan hutan adat.

5.4.6. Memfasilitasi Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah

Dalam hal daerah belum memiliki Peraturan Daerah untuk mengakui dan menetapkan MHA dan

wilayah adatnya, KLHK perlu memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan

Daerah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri LHK mengenai hutan hak (Pasal 12). KLHK

juga dapat memfasilitasi MHA memetakan wilayah adat.

Tindakan proaktif KLHK bertujuan agar penetapan hutan adat dapat dilakukan segera

dengan prosedur yang sesuai dengan hukum. Untuk menjalankan tugas ini maka bimbingan teknis

kepada pemerintah daerah diperlukan.

4.4.7. Koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tata cara sebagaimana yang diatur oleh Permendagri No. 52 Tahun 2014 berbeda dengan tata

cara yang diatur oleh UU 41 terkait dengan bentuk produk hukum daerah untuk penetapan

MHA. Permendagri mensyaratkan Keputusan Kepala Daerah, sedangkan UU 41 meminta

Peraturan Daerah. Analisis legistik akan dengan mudah menyatakan bahwa Permendagri No. 52

Tahun 2014 bertentangan dengan UU 41. Namun, ketika pertimbangan keadilan dikemukakan

maka simpulan demikian tidak dapat serta-merta diterima. KLHK dan Kementerian Dalam

Negeri perlu membahas masalah ini dengan seksama. Untuk mengatasi masalah ini perlu dibuat

Surat Edaran Bersama antara Menteri LHK dan Menteri Dalam Negeri yang memuat:

Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan hutan

adat, dalam hal ini dapat dipertimbangkan pilihan-pilihan berikut:

Page 51: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

43

Keputusan Kepala Daerah dapat diterima sepanjang telah ada Peraturan

Daerah;

Keputusan Kepala Daerah dapat diterima jika Peraturan Daerah sedang

diproses; dan/atau

Keputusan Kepala Daerah dapat dijadikan dasar untuk pencadangan hutan

adat, sementara penetapan definitif menunggu disahkannya Peraturan

Daerah

Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang tepat

dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat

Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah

Selain itu, koordinasi antara KLHK dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional diperlukan untuk memperjelas status pengakuan hak komunal bagi MHA

di dalam kawasan hutan. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa pengakuan hak komunal tersebut

mensyaratkan pelepasan kawasan hutan (Pasal 10 ayat 1). Jika hal tersebut dijalankan maka luas

kawasan hutan akan berkurang dan pengakuan hutan adat akan kontraproduktif pada tujuan

melestarikan hutan. Oleh sebab itu maka perlu disepakati agar penetapan hak komunal di

dalam kawasan hutan tidak selalu berujung pada pelepasan kawasan hutan. Untuk ini ada tiga

cara yang dapat dilakukan:

Memasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan revisi Peraturan

Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah55 perihal ketentuan

pendaftaran tanah ulayat. Dalam PP No. 24 Tahun 2007, tanah ulayat tidak menjadi

objek pendaftaran tanah.

Menegaskan dalam revisi PP No. 24 Tahun 2007 bahwa pendaftaran tanah di dalam

kawasan hutan dapat dilakukan dengan tidak mengubah peruntukan kawasan. Dengan

demikian maka akan terdapat dasar hukum yang lebih kuat untuk hutan hak.

Setelah ada revisi PP No. 24 Tahun 2007, ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11

Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa pemberian hak atas

tanah dikecualikan untuk kawasan hutan, harus diubah dengan makna baru bahwa

pengecualian pemberian hak atas tanah hanya berlaku pada kawasan hutan negara

saja, bukan pada kawasan hutan hak.

Penyempurnaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007

55 Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2015, PP 24 Tahun 2007 adalah salah satu peraturan yang akan diubah.

Page 52: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

44

4.4.8. Mensiasati Kebijakan yang ada

Dari uraian di atas terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada halangan secara hukum bagi KLHK

untuk segera menetapkan hutan adat. Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian

ini. Sementara itu, ketidaksempurnaan produk hukum daerah yang menjadi landasan bagi

pengukuhan subjek ataupun objek hutan adat dapat diatasi dengan mengembangkan sejumlah

interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Ruang-ruang

penemuan hukum terbuka dengan kemampuan kita melakukan interpretasi tersebut. Dengan

demikian maka norma-norma hukum yang ada akan efektif mencapai tujuannya. Bagaimanapun

norma hukum memerlukan validitas atau daya berlaku dan efektifitas atau daya guna.56

Keputusan untuk penetapan hutan adat juga dapat menjadi ranah diskresi bagi Menteri

LHK. Dalam hal ini, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan

jaminan hukum yang kuat bagi diskresi dimaksud (lihat tabel 3). Peraturan perundang-undangan

nasional yang tidak sinkron dan produk hukum daerah yang tidak sempurna sebaiknya tidak

menyebabkan penundaan penetapan hutan adat.

Argumentasi dan pilihan-pilihan hukum untuk memberikan dasar yang kuat bagi

penetapan hutan adat telah dibahas secara mendalam dalam bab ini. Setidaknya ada lima upaya

yang dapat dilakukan KLHK. Pertama adalah memprioritaskan penetapan hutan adat untuk

daerah yang telah mempunyai Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat. Yang

kedua adalah membantu mempersiapkan peta wilayah adat dan pengakuannya oleh Kepala

Daerah. Hal ini berlaku bagi daerah yang sudah mempunyai Peraturan Daerah yang bersifat

spesifik namun belum dilengkapi dengan peta wilayah adat. Yang ketiga adalah mendorong

terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA dan wilayah adat di

daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum. Keempat adalah memfasilitasi

proses pembentukan Peraturan Daerah dan yang terakhir adalah melakukan koordinasi antar

kementerian untuk menyelesaikan ketidaksinkronan kebijakan. Dengan upaya-upaya ini maka

penetapan hutan adat akan semakin mudah dilakukan.

4.5. Kesimpulan Umum dan Rekomendasi Kebijakan Hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan di tingkat

nasional. Pemerintah Pusat belum menunjukkan arahan yang jelas manakah yang harus diikuti:

Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Ketidaksinkronan peraturan perundang-

undangan juga tidak mampu diatasi oleh instrumen peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat

edaran Menteri.

Ketika kewenangan pengakuan MHA dan wilayah adat diberikan kepada daerah, hal ini

tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan materi muatan

produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh KLHK menjadi penyebab

utama. Hal lain terkait dengan ketidaktahuan pemerintah daerah. Banyak pemerintah daerah

menganggap mereka tidak punya kewenangan mengatur MHA dan wilayah adat, terlebih ketika

56 Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta: Kanisius, hlm.19.

Page 53: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

45

wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Faktor lain adalah keengganan pemerintah daerah

mengakui MHA dan wilayah adat karena khawatir menghambat investasi di daerah.

Ketidaksempurnaan produk hukum daerah dapat diatasi dengan mengembangkan

sejumlah interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal.

Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kementerian ini perlu menjalankan diskresi untuk penetapan hutan adat.

Dengan seluruh temuan dan analisis yang telah dibahas pada bagian-bagian terdahulu

maka direkomendasikan hal-hal sebagaiberikut:

Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk:

Memprioritaskan penetapan hutan adat untuk daerah yang telah mempunyai Keputusan

Kepala Daerah mengenai hutan adat

Bersama pemerintah daerah membantu mempersiapkan peta wilayah adat, bagi daerah

yang sudah mempunyai Peraturan Daerah namun belum dilengkapi dengan peta wilayah

adat

Mendorong terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA

dan wilayah adat di daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum

Bersama Kementerian Dalam Negeri memfasilitasi proses pembentukan Peraturan

Daerah

Melakukan pembahasan kembali Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan hutan adat

Bersama Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama untuk percepatan

penetapan hutan adat. Surat edaran itu hendaknya menegaskan:

o Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan

hutan adat;

o Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang

tepat dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat;

o Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah.

Kepada Kementerian Dalam Negeri untuk:

Bersama KLHK memfasilitasi pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

untuk membentuk Peraturan Daerah guna penetapan MHA dan wilayah adat;

Memfasilitasi pemerintah daerah melakukan pemetaan sosial untuk inventarisasi dan

verifikasi MHA.

Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional:

Memasukkan ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007 tentang

Pendaftaran Tanah ketentuan tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah;

Page 54: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

46

Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2004 tentang Penatagunaan

Tanah yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah dikecualikan untuk kawasan

hutan;

Menyempurnakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk:

Mempercepat pembahasan Peraturan Presiden untuk mengatur penanganan klaim

penguasaan tanah di dalam kawasan hutan, dengan melibatkan Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagai bagian dari pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya

Alam.

Dewan Perwakilan Rakyat R.I. untuk:

Memasukkan pengaturan hak ulayat sebagai sumber hak atas tanah, pendaftaran tanah

ulayat dan kesatuan administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan serta

penyelesaian konflik secara menyeluruh dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan;

Membahas kembali dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Presiden R.I. untuk:

Memastikan terlaksananya janji-janji dalam Nawa Cita dalam kebijakan dan program

pembangunan nasional;

Membentuk Satuan Tugas terkait dengan percepatan pengakuan MHA

Di samping beberapa langkah stretegis di atas, dalam jangka panjang, sebagaimana

direkomendasaikan dalam Konferensi Internasional tentang Sistem Tenurial yang baru-baru ini

berlangsung di Jakarta, perlu dipikirkan suatu terobosan untuk melakukan perombakan logika

hukum yang akan digunakan dalam proses pengakuan hak-hak masyarakat adat ini.57 Terobosan

itu berupa pengakuan atas masyarakat hukum adat yang sejatinya di tingkat lapangan begitu

beragam (Zakaria 2016 dan 2017) sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni,

2016),58 di mana pengakuan hak-hak yang melekat padanya, terutama ha katas tanah, cukup

dilakukan dengan model registrasi adminitrasi biasa saja, tanpa harus melalui proses-proses

politik seperti keharusan penetapan melalui peraturan daerah ataupun Surat Keputusan Bupati

itu.

57 Lebih lanjut lihat HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, "Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017. 58 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik. Jakarta: Samdhana Institute & Pustaka Sempu.

Page 55: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

47

BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL

5.1. Kelembagaan KPH Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 dan perubahannya pada PP No. 3 Tahun 2008, KPH

mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

(1) Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi (a) tata hutan dan penyusunan

rencana pengelolaan hutan; (b) pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d)

rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan (e) perlindungan hutan dan konservasi alam;

(2) Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang

kehutanan untuk diimplementasikan;

(3) Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;

(4) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di

wilayahnya;

(5) Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

KPH diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan

rencana pengelolaan hutan jangka pendek. Rencana pengelolaan hutan disusun dengan mengacu

pada (1) rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dan (2) memperhatikan

aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan

jangka panjang (RPHJP) memuat (1) tujuan yang akan dicapai KPH, (2) kondisi yang dihadapi; dan

(3) strategi dan kelayakan pengembangan pengelolaan hutan. Sedangkan rencana pengelolaan

hutan jangka pendek disusun berdasarkan RPHJP. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek

memuat (1) tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala KPH yang bersangkutan; (2) evaluasi

hasil rencana jangka pendek sebelumnya; (3) target yang akan dicapai; (4) basis data dan

informasi; (5) kegiatan yang akan dilaksanakan; (6) status neraca sumber daya hutan; (7)

pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan (8) partisipasi para pihak.

Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tersebut

dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa peraturan menteri, antara lain Permenhut No. P.6 Tahun

2009 tentang pembentukan wilayah KPH, Permenhut No. P.6 Tahun 2010 tentang norma,

standar, prosedur dan kriteria pengelolaan hutan pada KPHL KPHP, dan P.42 Tahun 2011

tentang standar kompetensi bidang teknis kehutanan pada KPHL dan KPHP.

Kebijakan pembangunan KPH sebagai organisasi pengelola hutan di tingkat tapak sudah

mulai diimplementasikan, dan sebagian KPH sudah operasional. KPH yang wilayahnya berada di

dalam satu wilayah administratif kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda

kabupaten, sedangkan KPH yang wilayahnya berada di lebih dari satu wilayah administratif

kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda provinsi. Sebagian KPH sudah

menyusun RPHJP dan sudah disahkan oleh kementerian, sebagian lain belum.

Page 56: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

48

Struktur organisasi KPH mengacu pada Permendagri No. 61 Tahun 2010 tentang

pedoman organisasi dan tata kerja KPHL dan KPHP di daerah. Sebagian KPH berbentuk UPTD

(Unit Pelaksana Teknis Daerah), sebagian lain berbentuk SKPD.

Struktur tata kelola pemerintahan di bidang kehutanan selama tiga tahun terakhir sedang

dalam proses perubahan untuk menyesuaikan kepada amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Dinas yang mengurusi bidang kehutanan (selain urusan TAHURA) di

pemda kabupaten dihapus dan dialihkan kepada dinas bidang kehutanan di pemda provinsi.

Kedudukan KPH pun pindah dari di bawah dinas bidang kehutanan di pemda kabupaten menjadi

di bawah dinas bidang kehutanan di pemda provinsi.

Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang pedoman pembentukan dan klasifikasi Cabang

Dinas (CD) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagai operasionalisasi Peraturan

Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 memberikan batasan bahwa Cabang Dinas adalah bagian

dari Perangkat Daerah penyelenggara urusan pemerintahan, salah satunya bidang kehutanan yang

dibentuk sebagai unit kerja dinas dengan wilayah kerja tertentu. Klasifikasi cabang dinas yang

melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan di luar kawasan hutan ditentukan salah

satunya berdasarkan kriteria jumlah desa sekitar hutan, yaitu Cabang Dinas kelas A apabila

jumlah desa sekitar hutan lebih dari 60 (enam puluh); dan Cabang Dinas kelas B apabila jumlah

desa sekitar hutan kurang dari atau sama dengan 60 (enam puluh) desa.

UPTD adalah organisasi yang melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau

kegiatan teknis penunjang tertentu pada Dinas atau Badan Daerah. Tugas UPTD Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) adalah melaksanakan kegiatan operasional dan/atau kegiatan teknis

penunjang Dinas di bidang pengelolaan hutan dalam wilayah kerja KPH yang telah ditetapkan.

Fugsi KPH, antara lain pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian di wilayah KPH;

pengembangan investasi, kerja sama, dan kemitraan dalam pengelolaan hutan; pelaksanaan

penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan. KPH di beberapa provinsi sudah

ditetapkan (atau sedang diusulkan) sebagai UPTD, misalnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat,

Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Papua Barat.

Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH

KELAS A KELAS

B

Struktur Organisasi KPH

Page 57: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

49

Proses mutasi SDM dari unit kerja kehutanan di pemda kabupaten ke provinsi belum

berlangsung dengan baik, sehingga SDM yang sudah pindah dari pemda kabupaten ke pemda

provinsi belum menjalankan perannya sebagaimana yang dibutuhkan. Peraturan Kepala Badan

Kepegawaian Negara No. 2 Tahun 2016 mengatur bahwa pelaksanaan pengalihan Pegawai

Negeri Sipil (PNS) daerah kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang

kehutanan selain yang melaksanakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) kabupaten/kota

menjadi PNS daerah provinsi dan ditempatkan pada unit kerja yang melaksanakan urusan

pemerintahan bidang kehutanan provinsi terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2016. PNS yang

dimaksud adalah PNS yang menduduki jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan, fungsional Polisi

Kehutanan, fungsional Pengendali Ekosistem Hutan; PNS yang telah mengikuti dan lulus

pendidikan dan pelatihan fungsional Penyuluh Kehutanan, Polisi Kehutanan, dan Pengendali

Ekosistem Hutan dan berada pada unit kerja yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang

kehutanan; dan PNS yang menduduki jabatan: Administrator, Pengawas, dan Pelaksana, yang

melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan pada unit kerja/dinas yang melaksanakan

urusan kehutanan, KPH, atau badan yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan.

5.2. Sinergi KPH dan PS KPH dapat mengoperasionalkan program PS lebih efektif dan efisien. Sinergi KPH dan PS

merealisasikan pembangunan masyarakat dari pinggiran (desa hutan) dan pemerintah hadir di

tingkat tapak. KPH adalah unit kerja yang mengenal dari sangat dekat kondisi biofisik hutan,

kondisi sosial budaya masyarakatnya, potensi dan persoalannya termasuk konflik atas hutannya,

sejarah penguasaan lahan, siapa yang menguasai lahan dalam arti realitas menduduki, menggarap,

mengusahakan lahan; struktur penguasaan lahan hutan.

Peran KPH penting untuk lebih diinklusifkan kedalam kerangka tata kerja PS yang

berjalan hingga saat ini untuk meningkatkan efektivitas dan percepatan program PS ke depan.

Efektivitas program PS ditunjukkan oleh ketepatan subyek (pelaku PS) dan obyek (kawasan

hutan), dan keadilan antar pelaku. Bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga

seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH; pendampingan masyarakat lanjutan untuk

pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa

lingkungan) dijalankan oleh KPH.

Dalam tahap proses perizinan, KPH mengidentifikasi penguasaan lahan hutan di tingkat

tapak, mengidentifikasi kelompok masyarakat yang akan menjadi pelaku program PS,

mengidentifikasi lahan yang akan dialokasikan untuk PS, dan memfasilitasi penguatan kelembagaan

masyarakat. PIAPS dapat digunakan oleh KPH sebagai acuan. Kawasan hutan yang dialokasikan

untuk PS merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara yang diusulkan oleh masyarakat desa atau pemerintah desa kepada KPH untuk PS adalah

kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon atau pertuanan). Jika terdapat sengketa lahan hutan, KPH berperan aktif untuk

melakukan resolusi konflik.

Page 58: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

50

BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumahtangga desa hutan

sekitar 8,6 juta dengan jumlah desa sekitar 21.000. Jika rata-rata per desa dialokasikan areal PS 1000 ha, maka total luas kawasan hutan untuk PS 21 juta ha (hampir dua kali lipat target 12,7 jta hektar). Areal hutan 1000 ha itu dapat dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm. Jika rata-rata 2 ha per rumahtangga, maka memerlukan kawasan

hutan 17 juta hektar. Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.

Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan, segera dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi lahan hutan secara illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak kasus, lahan-lahan hutan yang ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak aktif, segera diokupasi secara illegal. Meskipun ada

kemungkinan areal hutan yang sudah diserahkan kepada masyarakat tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang memegang hak atas kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi kawasan hutan secara illegal.

KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis.

Pendampingan masyarakat membutuhkan waktu, komitmen para pihak dengan kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dalam pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber daya hutan (kayu, bukan

kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumber daya hutan dan kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.

Selain melakukan pendampingan terhadap para pelaku PS yang telah definitif izinnya, KPH

juga dapat membangun kemitraan bersama masyarakat atau PS skema kemitraan pada kawasan

hutan yang belum diberikan izin pemanfaatannya kepada pihak lain, sebagaimana dijelaskan dalam

Permen LHK No. 49 Tahun 2017. Permen tersebut diharmonisasikan dengan Permen LHK No.

83 Tahun 2016.

Peran KPH dalam kerangka kerja PS adalah memastikan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan hutan lestari melalui pelayanan yang sebaik mungkin di tingkat tapak oleh KPH

dengan prinsip inklusif dan kepastian hak, menjaga KPH tetap berorientasi pada kesejahteraan

masyarakat; dan tetap menyinergikan dengan UPT pusat dan para pihak. Kesejahteraan

Page 59: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

51

masyarakat dicapai melalui pengelolaan hutan lestari, dan sebaliknya pengelolaan hutan lestari

melalui partisipasi masyarakat. Pemerintah pusat (KLHK) memantau, mengendalikan dan

mengevaluasi program PS dengan berpegang pada RPHJP, karena program PS menjadi bagian dari

keseluruhan program KPH yang diintegrasikan dalam RPHJP.

Gambar 5.2 Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera

5.3. KPH membangun jejaring

Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas, semestinya sudah mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan SDM dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT-UPT Pusat, termasuk penyuluh kehutanan. Infrastruktur KPH untuk mendukung kegiatan pelayanan oleh KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan.

Kelembagaan masyarakat lokal yang berperan dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan

masih sangat lemah. Program PS yang sudah operasional dijalankan oleh individu-individu yang

terlepas dari komunitas masyarakat pedesaan sebagai kolektivitas. Hanya dalam jumlah yang

sangat terbatas ditemukan kelembagaan lokal yang cukup kuat. Kelembagaan HKm, HD, dan

HTR yang kuat diperlukan untuk dapat menjalankan aturan-aturan pengelolaan hutan baik teknis

kehutanan, membangun jejaring sosial ekonomi, maupun mengembangkan produk dan

pemasarannya; memiliki posisi tawar yang kuat dalam berkolaborasi dengan pihak luar, menjamin

distribusi manfaat yang adil di antara warga masyarakat. Penguatan dan pengembangan kapasitas

masyarakat pengelola PS harus dilakukan oleh KPH.

Konflik atau sengketa atas hutan di wilayah KPH harus segera ditangani untuk menjamin

kepastian hak atas PS. BPS (2014) mencatat terdapat sekitar 700 ribu rumahtangga yang

menggunakan kawasan hutan secara tidak legal. Selain membuka akses masyarakat terhadap

kawasan hutan, program PS perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang

batas-batas kawasan hutan. BPS (2015) melaporkan bahwa 35,2 % rumahtangga desa hutan

Page 60: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

52

belum mengetahui keberadaan kawasan hutan. Diantara mereka yang mengetahui keberadaan

kawasan hutan hanya 75 % yang mengetahui ada tanda batas kawasan hutan.

Berbagai persoalan atau tantangan dalam penyelenggaraan PS membutuhkan komitmen

dan kompetensi pelayan masyarakat. KPH perlu membangun jejaring dengan unit-unit kerja lain

di pemerintahan maupun dengan LSM, akademisi dan lembaga bisnis (BUMN/BUMS). Di tingkat

desa, KPH perlu membangun kerjasama dengan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). KPH dapat menjadi motor penggerak

sinergitas dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian,

industri, pariwisata, pekerjaan umum) untuk membangun desa hutan. KPH menjadi penggerak atau yang memobilisir sumber daya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam bentuk

dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi

dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten.

5.4. Rekomendasi Efektivitas dan percepatan implementasi PS membutuhkan dukungan organisasi

pemerintah di tingkat daerah dan tapak. Menggantungkan implementasi PS kepada jumlah UPT

bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan. Peran pemerintah daerah sangat penting.

Kemauan politik dan dukungan finansial dari pemda, kapasitas SDM bidang teknis dan sosial

ekonomi, maupun infrastruktur dibawah kewenangan dan kekuasaan pemda harus diperkuat.

Dinas-dinas di lingkungan PEMDA harus melakukan sinkronisasi program pembangunan

masyarakat pedesaan di mana program PS dapat menjadi sentralnya. KPH sebagai organisasi

pemerintah di tingkat tapak memegang peran yang strategis untuk implementasi program PS

lebih efektif dan cepat. Oleh karena itu, KPH harus diberi peran lebih besar, bahkan kewenangan

KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH, dan

pendampingan masyarakat lanjutan untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang

berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Penguatan

kelembagaan KPH seharusnya dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dengan dukung kuat

oleh KLHK.

PS harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu mewujudkan

pengelolaan hutan lestari, meningkatkan keadilan manfaat atas sumber daya hutan, dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, masyarakat desa hutan. Program PS harus dapat

menjadi pintu masuk penataan distribusi manfaat atas hutan. Okupasi masyarakat atas lahan

hutan negara yang selama ini terjadi harus dapat ditata sehingga tidak terjadi ketimpangan

penguasaan lahan hutan negara. Proses penataan distribusi penguasaan lahan hutan

membutuhkan keterampilan resolusi konflik.

Page 61: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

53

Komitmen Kementerian LHK untuk percepatan PS telah ditunjukkan dengan kebijakan

menteri dan dirjen, kerjasama-kerjasama yang dibangun baik dengan kementerian lain maupun

para pihak non-pemerintah, dan alokasi anggaran. Dukungan dari kementerian terkait, antara lain

Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian

Peridustrian. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengeluarkan Surat

Keputusan No. 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria pada tanggal 4 Mei 2017. Kebijakan

tersebut dapat memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar kementerian khususnya dalam

menangani PS dan reformasi agraria. Gerakan setingkat Menteri Koordinator mungkin belum

cukup kuat untuk mempercepat implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar pada

tahun 2019. Oleh karena itu perlu dorongan lebih kuat, yaitu instruksi presiden dengan

menggerakan organisasi non-kementerian setingkat kementerian, semacam Badan Koordinasi

yang dapat menggerakan kementerian-kementerian sekaligus menggerakan pemda.

Pembangunan masyarakat pedesaaan tidak cukup hanya melalui distribusi lahan hutan

dan usaha produksi hutan, melainkan harus juga diintegrasikan dengan usaha pengolahan hasil

hutan atau industri kehutanan skala kecil, skala rumahtangga, yang beroperasi di pedesaan.

Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumber daya hutan: hasil

hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih, mikro hidro) di

pedesaan. Industrialisasi berbasis sumber daya hutan di pedesaan akan meningkatkan kesempatan

kerja dan berusaha di pedesaan, menahan urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi

produktif di pedesaan. Industri yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi

ataupun pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa

pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan industri lebih

produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi primer, sehingga dapat

lebih meningkatkan pendapatan rumahtangga dan masyarakat desa. Oleh karena itu

pengembangan PS tidak berhenti hanya pada pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu

diintegrasikan dengan pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda

pedesaan diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis sumber

daya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa contoh sukses dari

sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan saling ketergantungan para warga

desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan menjaga kelestarian hutan.

Page 62: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

54

BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAl

6.1. Pengantar Perhutanan sosial memiliki arti penting dalam mencegah degradasi hutan dari berbagai konflik

kehutanan, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menopang perekonomian negara.

Perhutanan sosial telah sejak lama di kenal dan diadopsi dalam pengelolaan hutan berbasis

masyarakat di Indonesia. Beberapa praktik baik (best practice) kegiatan perhutanan sosial telah

mampu menggerakan usaha perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta

menjaga hutan tetap lestari.

Sejak tahun 2007 pemerintah telah memasukan perhutanan sosial sebagai salah satu

program kerja. Tetapi baru mendapatkan momentumnya kembali di era Pemerintahan Joko

Widodo dan Jusuf Kalla. Momentum tersebut ditandai oleh 4 hal: Pertama, adanya kebijakan

penambahan luas hutan social yang diberikan hak kelola/izin kepada masyarakat miskin baik

berlahan sempit maupun tidak berlahan seluas 12,7 juta hektar di akhir tahun 2019 (RPJMN

2015-2019). Kedua, perhutanan sosial hadir sebagai agenda kerja Presiden dalam Nawacita.

Ketiga, adanya re-organisasi kelembagaan ditubuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(KLHK) yang khusus menangani perhutanan sosial setingkat Direktorat Jenderal (sebelumnya

hanya setingkat Direktorat). Dan keempat, terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang di ikuti dengan surat

keputusan penetapan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), di pandang sebagai

sebuah terobosan untuk mengakselerasi percepatan realisasi perhutanan social sehingga tidak

mengulangi kemandekan realisasi perhutanan sosial pada era Presiden sebelumnya.

Meskipun target yang ditetapkan belum ideal dari potensinya, namun berbagai pihak

menyambut positif gebrakan pemerintahan saat ini dalam mewujudkan pembangunan kehutanan

melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Target seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan

akan didistribusikan hak kelolanya kepada masyarakat melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan

Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan (KK) dan Hutan

Adat (HA).

Untuk merealisasikan seluruh target kinerja perhutanan sosial selama 5 tahun, tugas

pemerintahan Jokowi tidaklah mudah, karena pemerintah harus mampu memfasilitasi

penyelesaian pemberian izin seluas rata-rata 2,53 juta hektar atau setara dengan 1.392 hektar

per/hari dan 58 hektar per/jam. Tanpa disertai dengan dukungan kebijakan, kelembagaan dan

politik anggaran yang kuat, maka target tersebut mustahil dapat diwujudkan dalam waktu 5 tahun

mengingat waktu kerja efektif jabatan Presiden rata-rata hanya 3,5 – 4 tahun dalam satu periode

kepemimpinan.

Sejauh ini, dukungan politik anggaran belum terlihat signifikan dan menjadikan program

perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional sehingga belanja APBN terbilang kurang

dari kebutuhan. Selain itu, perhutanan sosial masih dipandang sebagai urusan pemerintah pusat.

Belum banyak daerah yang menjadikan perhutanan sosial sebagai prioritas daerah sehingga

Page 63: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

55

belanja APBD tidak memberikan porsi yang cukup untuk mendukung kegiatan perhutanan sosial.

Lalu bagaimana mengatasi masalah kekurangan anggaran tersebut?

Paper ini bertujuan mengukur komitmen politik anggaran pemerintah terhadap realisasi

program perhutanan sosial, menghitung satuan biaya (unit cost) yang dibutuhkan per/hektar,

serta menawarkan sumber pendanaan alternatif untuk mengatasi kurangnya anggaran setiap

tahun.

6.2. Gambaran Umum Kebijakan Anggaran Perhutanan Sosial Komitmen politik pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran

perhutanan sosial relative sangat rendah. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk mendukung

penyelenggaraan perhutanan sosial oleh pemerintah pusat melalui kementerian LHK dan

pemerintah daerah khususnya pada 12 provinsi tahun 2015-2016 hanya sebesar Rp246,56 miliar.

Nilai tersebut diperoleh dari hasil penjumlahan anggaran Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial

dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) – Kementerian LHK sebesar Rp240,9 miliar atau setara

98 persen, dan anggaran 12 Dinas Kehutanan provinsi sebesar Rp5,6 miliar atau sama dengan 2

persen. Adapun 12 daerah provinsi yang dimaksud yaitu Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel,

Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel, Papua, dan Papua Barat.

Sumber: Data APBN dan APBD 12 Provinsi, diolah

Di sisi lain rasio belanja urusan kehutanan di 12 Provinsi pada tahun 2015 dan 2016

masing-masing hanya sebesar 0,59% dan 0,68% terhadap total belanja daerah. Sedangkan rerata

rasio anggaran yang diorentasikan secara khusus untuk percepatan perhutanan sosial di tingkat

pusat dalam tiga tahun hanya mencapai 0,01 persen dari total belanja negara.

Hal itu dapat dilihat dari besaran alokasi anggaran yang dikelola oleh Ditjen PSKL –

Kementerian LHK dari tahun ke-tahun yaitu sebesar Rp283 miliar (2015), Rp242 miliar (2016),

dan Rp194 miliar (2017). Tidak memadainya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah tersebut merupakan faktor penyebab utama atas lambatnya pencapaian

target perhutanan sosial selama tiga tahun terakhir yang telah ditetapkan mencapai 7,62 juta

hektar.

Tren pertumbuhan anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan perhutanan sosial

mengalami penurunan signifikan setiap tahun. Diukur dari rasionya, jumlah anggaran program

APBN, 240,971,401,667

APBD, 5,593,101,808

Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 2015-2017

Page 64: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

56

perhutanan sosial di APBN selalu menurun dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Penurunan

cukup tajam tersebut berkisar pada angka 14 persen – 32 persen setiap tahun. Menurunnya ratio

anggaran perhutanan sosial berpengaruh siginifikan terhadap capaian kinerja program secara

keseluruhan. Terlebih lagi, pengurangan jumlah anggaran tidak sertai pengurangan angka target

areal kelola hutan yang ditetapkan. Fakta tersebut membutktikan bahwa pemerintah secara

umum masih kurang fokus untuk mengurus perhutanan sosial sebagaimana tercermin pada

inkonsistensi perencanaan dan penganggaran dengan arah kebijakan RPJMN, bahkan kerap

berubah-ubah di tengah perjalanan.

Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016

Distribusi anggaran program perhutanan sosial lebih banyak digunakan untuk mendukung

kegiatan manajemen kelembagaan. Dari lima kegiatan yang dikelola Ditjen PSKL setiap tahun,

rata-rata alokasi anggaran paling besar adalah untuk mendanai kegiatan dukungan manajemen

mencapai 39,8 persen per tahun. Kemudian disusul untuk kegiatan bina usaha perhutanan sosial

dan hutan adat sebesar 32,4 persen, kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial sebesar 17,9

persen, kegiatan penanganan konflik tenurial dan hutan adat sebesar 5,3 persen, dan kegiatan

kemitraan lingkungan dan peran serta masyarakat sebesar 4,7 persen.

Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016

283.26 242.27 165.17

-

(14)

(32)

(40.00)

(30.00)

(20.00)

(10.00)

-

-

50

100

150

200

250

300

2015 2016 2017

Per

sen

(%)

Mil

iar

Rup

iah

Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017

Anggaran Ratio Pertumbuhan

14.6

2.5

4.0

64.3

14.6

65.8

5.6

5.3

9.9

13.4

39.0

5.9

6.5

23.0

25.6

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%100%

Dukungan Manajemen

Kemitraan Lingkungan

Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan…

Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial…

Penyiapan Areal Perhutanan Sosial

Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan

TA. 2015-2017

2015 2016 2017

Page 65: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

57

Rata-rata tingkat serapan anggaran perhutanan sosial yang dikelola oleh Kementerian

LHK hanya mencapai 78 Persen. Penataan kelembagaan di lingkungan Ditjen PSKL hingga tahun

2016 pasca re-organisasi tahun 2015 belum berjalan optimal sehingga mempengaruhi pelaksanan

program anggaran perhutanan yang masih dibawah target. Pada dua tahun anggaran yang lalu

(2015-2016), kemampuan Ditjen PSKL dalam merealisasikan anggaran perhutanan sosial untuk

lima pokok kegiatan rata-rata hanya 78 persen. Realisasi anggaran pada tahun 2015 sebesar Rp.

243,71 miliar atau sama dengan 86 persen dari pagu anggaran. Sedangkan realisasi anggaran pada

tahun 2016 hanya sebesar Rp. 169,88 miliar atau sekitar 70 persen dari jumlah pagu sebesar Rp.

242,27 miliar. Namun bila menggunakan pagu 2016 setelah terjadinya penghematan anggaran

sebesar Rp. 179,43 miliar, maka rasio realisasi kegiatan perhutanan sosial mencapai 95 persen.

Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah

6.3. Fragmentasi Anggaran Perhutanan Sosial dan Ketimpangan Estimasi Belanja penyiapan kawasan hanya sebesar 18 persen dari total anggaran perhutanan sosial pada

tahun 2015-2017. Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial dialokasikan melalui pos satuan

kerja (Satker) Direktorat PKPS dan UPT/Balai Perhutanan Sosial. Pada tahun anggaran 2015-

2017 jumlah pagu anggaran untuk membiayai kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial tidak

pasti dengan rata-rata berkisar pada angka Rp38,76 miliar per/tahun atau setara 18 persen dari

anggaran perhutanan social. Secara terperinci alokasi anggaran untuk kegiatan penyiapan kawasan

pada tahun 2015 adalah sebesar Rp41,49 miliar, yang mengalami penurunan pada tahun 2016

menjadi Rp32,56 miliar, lalu kembali meningkat menjadi sebesar Rp42,24 miliar pada tahun

anggaran 2017.

283.26 243.71

242.27

169.88

-

100

200

300

Pagu Anggaran Realisasi

Mil

iar

(Rp)

Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016

2015 2016

Page 66: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

58

Sebesar 63 persen anggaran PKPS dikelola oleh Satker Balai/UPT Perhutanan Sosial dan

37 persen lainnya diatur penggunaannya oleh Direktorat PKPS. Pada tahun 2015 distribusi

anggaran ke UPT masih menggunakan balai pengelola daerah aliran sungai (BP DAS), karena balai

perhutanan sosial sendiri baru terbentuk tahun 2016 dan mulai aktif dilakukan penyesuaian

dipertengahan tahun yang sama.

Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah

Penggunaan anggaran kegiatan penyiapan kawasan juga dipergunakan untuk kegiatan yang

tidak sepenuhnya relevan. Berdasarkan perencanaan, anggaran penyiapan areal kawasan

perhutanan sosial tidak seluruhnya dibelanjakan yang terkait langsung aktivitas pemberian akses

izin perhutanan sosial. Namun masih terbagi lagi untuk anggaran kegiatan pembuatan regulasi,

anggaran pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry pada areal HD, HKm,

HTR, HR melalui pemberdayaan masyarakat serta untuk mendanai biaya operasional

perkantoran. Padahal dibutuhkan anggaran yang besar untuk tahapan penyiapan areal perhutanan

sosial.

Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial yang dikelola oleh Direktorat PKPS dan 5

(lima) Balai PSKL (Balai Sumatera, Balai Jawa, Bali dab Nusra, Balai Kalimantan, Balai Sulawesi dan

Balai Maluku-Papua) juga mencakup tiga output yaitu: (1) luas hutan yang dikelola masyarakat

menjadi 12,7 juta Ha dalam bentuk HKm, HD, HTR, HR, Hutan Adat dan Kemitraan; (2)

tersedianya regulasi hak dan akses masyarakat atas hutan; dan (3) luas pemanfaatan di bawah

tegakan hutan dalam bentuk agroforestry. Sehingga anggaran yang tersedia tetap harus dibagi

untuk mencapai tiga output tersebut dan juga untuk memenuhi kebutuhan rutin operasional

perkantoran.

Seluruh anggaran proses bisnis penyiapan areal perhutanan sosial pada Direktorat PKPS

dan Balai PSKL, 42% dibelanjakan untuk kegiatan sosialisasi, koordinasi pelaksanaan dan updating

41.49

32.56

42.24

(22)

30

(30)

(20)

(10)

-

10

20

30

40

- 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2015 2016 2017

Per

sen

(%)

Mil

iar

(Rp)

Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di APBN TA 2015-2017

Anggaran Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Ratio Pertumbuhan

Page 67: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

59

PIAPS. Sedangkan kegiatan fasilitasi usulan HD, HKm, HTR dan Kemitraan dialokasikan 22%,

kegiatan verifikasi dan legalisasi usulan sebesar 19% dan kegiatan monitoring dan evaluasi sebesar

5% serta kegiatan pelaksanaan ketatausahaan dan umum administrasi sebesar 9%.

Ketimpangan satuan biaya untuk merealisasikan perhutanan sosial disebabkan oleh tidak adanya ketegasan untuk menetapkan benchmark secara nasional. Selain terbatasnya dukungan

APBN setiap tahun, masalah lain yang penting menjadi perhatian pemerintah adalah masih

timpangnya antara jumlah anggaran yang dialokasikan dengan target kinerja yang dibebankan

kepada Direktorat PKPS dan Balai PSKL di lima wilayah untuk menghasilkan izin kelola HD,

HKm, HTR dan Kemitraan Kehutanan setiap tahun. Gambaran ketimpangan anggaran setiap

tahun terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017.

Uraian Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017

Jumlah belanja untuk output luas hutan yang dikelola masyarakat (Rp)

38.808.288.000 23.912.400.000 32.667.438.000

Target kinerja (ha) 200.000 2.500.000 330.000

Jumlah anggaran per hektarnya (Rp/ha)

194.000 9,600 99.000

Sumber: Data Kementerian Keuangan dan Ditjen PSKL, diolah

Dari table 6.1 diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan penganggaran per hektar

ditahun 2016 dan 2017 dibandingkan dengan tahun 2015. Pada tahun anggaran 2015, untuk

menghasilkan target kinerja areal kerja HD, HKm, HTR dan Kemitraan seluas 200 ribu ha,

mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 194 ribu/ha. Sementara tahun anggaran 2016 dengan

target kinerja seluas 2,5 juta ha, hanya memperoleh anggaran sebesar Rp 9.600/ha. Sedangkan

tahun 2017 dengan target kinerja seluas 330 ribu ha, hanya mendapat anggaran sebesar Rp 99

ribu/ha.

Tampak jelas bahwa pemerintah tidak konsisten menghitung satuan biaya per/hektar

sebagai dasar menetapkan kebutuhan anggaran, sehingga target kinerja yang dibebankan setiap

tahunnya tidak berimbang dengan ketersediaan anggaran. Di samping itu, pemerintah juga belum

memiliki standar biaya untuk menghasilkan izin areal kerja perhutanan sosial (berdasarkan

hitungan per/hektar) berdasarkan baseline tahun-tahun sebelumnya, sehingga anggaran

ditetapkan tidak mampu menopang capaian target kinerja setiap tahun.

Apabila menggunakan baseline realisasi belanja dan hasil kinerja di tahun 2015 sebesar

Rp217 ribu/ha, maka seharusnya jumlah anggaran yang realistis untuk tahun 2016 adalah sebesar

Rp542,5 miliar dan jumlah anggaran untuk tahun 2017 adalah sebesar Rp. 71,60 miliar.

Meskipun nilai dari keseluruhan anggaran ini cukup signifikan, tetapi belum dianggap proporsional

sebab belum didukung alokasi untuk biaya pendampingan masyarakat.

Page 68: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

60

Pendampingan masyarakat melalui kelembagaan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial

belum mendapatkan dukungan anggaran secara memadai dari pemerintah. Pendampingan

merupakan salah satu kunci keberhasilan perhutanan sosial. Kegiatan pendampingan diperlukan

untuk melakukan sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi permohonan izin dan bimbingan teknis pasca

izin perhutanan sosial. Sejak Mei 2016 Ditjen PSKL mulai menginisiasi kegiatan pendampingan

melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial atau yang disingkat sebagai

Pokja PPS melalui Keputusan Ditjen PSKL No: SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016, dan telah diubah

terakhir kali dengan Keputusan Ditjen PSKL No. SK.7/PSKL/SET/PSL.0/4/2017.

Sumber: Data Rincian Kertas Kerja Dit. PKPS dan Balai PSK Tahun 2017, diolah.

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa anggaran yang disediakan oleh pemerintah

untuk menunjang kinerja Pokja PPS dalam menyelenggarakan pendampingan masih sangat kecil

yaitu hanya sebesar 3 persen dari total belanja penyiapan areal perhutanan sosial. Di sisi lain

Pokja PPS tingkat daerah yang terbentuk melalui keputusan Gubernur baru berjumlah 13 yang

tersebar di provinsi Sumut, Lampung, Jambi, Bengkulu, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kaltara,

Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar. Pokja PPS provinsi tersebut sebagian besar juga belum

mendapatkan alokasi anggaran secara memadai oleh pemerintah daerah.

Minimnya anggaran dari pemerintah memicu inisatif pendampingan masyarakat

kebanyakan dilakukan oleh LSM yang didukung oleh lembaga donor. Biaya pendampingan yang

dilakukan LSM jumlahnya bervariasi di setiap wilayah kerja dampingan umumnya dipengaruhi oleh

faktor keterjangkauan wilayah dan kondisi tumpang tindih lahan/hutan yang akan diusulkan.

Berdasarkan praktik pendampingan pengusulan areal kerja/izin HD, HKm dan Kemitraan oleh

Karsa Sulteng dan KBCF Kaltim, serta pengusulan areal kerja/izin HKm oleh LSM KpSHK, rata-

rata biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendampingan sekitar Rp110 ribu/ha.

Sosialisasi, Koordinasi dan Updating PIAPS

42%

Pembentukan dan Operasional Pokja

PPS3%

Fasilitasi Usulan HD, HKm, HTR dan Kemitraan

22%

Verifikasi dan Legalisasi HD,

HKm, HTR dan Kemitraan

19%

Monitoring dan Evaluasi

5%

Administrasi Umum

9%

Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017

Page 69: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

61

Biaya tersebut digunakan untuk biaya tenaga pendamping lokal dan tenaga pendamping

terlatih serta biaya tahapan fasilitasi pengusulan izin HD, HKm, HTR dan Kemitraan kepada

menteri, meliputi tahap: (1) sosialisasi; (2) pembentukan kelompok dan kelembagaan; (3) survey

dan pemetaan; (4) penyusunan draft usulan; (5) pendampingan proses verifikasi; dan (6)

pengawalan untuk penerbitan keputusan izin oleh Menteri.

Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan Izin Perhutanan Sosial Oleh LSM.

Wilayah Kerja Kegiatan Pendampingan Biaya per Hektar

LSM Karsa di Propinsi Sulawesi Tengah

Pengusulan areal kerja (PAK) Hutan Desa seluas 866 Ha di Desa Lonca, Kabupaten Sigi tahun 2013 kepada Menteri Kehutanan.

Rp.86.000,-

LSM Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) Provinsi Kalimantan Timur

Pendampingan pengusulan izin skema HD, HKm dan Kemitraan sebelum dan sesudah P.83 dengan total luas 12.190 Ha di tahun 2015.

Rp.107.000,-

LSM KpSHK di Provinsi NTB dan Sultra

Pendampingan pengusulan izin HKm (tidak termasuk inventory hutan dan tataguna hutan/lahan)

Rp.140.000,-

Sumber: hasil wawancara dalam riset IBC

6.4. Menghitung Potensi Kebutuhan Riil Anggaran Percepatan Perhutanan Sosial

Isu keterbatasan anggaran membutuhkan perhatian serius dari pemerintah untuk

merumuskan kebijakan yang lebih responsif dan berpihak pada perhutanan sosial. Pemerintah

perlu merumuskan porsi anggaran percepatan perhutanan sosial dengan jumlah yang lebih

realistis berdasarkan beban target kinerja yang ditetapkan. Dengan menggunakan ukuran baseline

realisasi tahun 2015 dan rata-rata biaya pendampingan berdasarkan praktik baik organisasi

masyarakat sipil, maka IBC mencoba merumuskan standar biaya per/hektar untuk kegiatan

pendampingan masyarakat hingga proses perizinan perhutanan sosial.

Standar biaya perhutanan sosial yang proporsional adalah sebesar Rp 327 ribu/ha/tahun.

Standar biaya ini mencakup keseluruhan biaya yang diperlukan untuk kegiatan pendampingan

masyarakat di lapangan sebesar Rp 110 ribu/ha dan kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi

usulan penerbitan izin perhutanan sosial sebesar Rp 217 ribu/ha. Sehingga untuk merealisasikan

perhutanan sosial sesuai target RPJMN 2015-2019 seluas 12,7 juta ha dibutuhkan anggaran

sekitar Rp 4,15 triliun, dimana setiap tahun pemerintah menganggarkan dalam APBN sebesar Rp

830,58 miliar. Jumlah ini setara dengan 26 kali lipat lebih besar dari yang dianggarkan dalam

APBN selama tiga tahun terakhir hanya berkisar sebesar Rp31,8 miliar/tahun.

Kebutuhan anggaran dalam rangka percepatan realisasi sisa target perhutanan sosial

hingga 2019 sebesar Rp3,98 triliun. Secara kumulatif target RPJMN 2015-2019 seharusnya

ditahun 2017 mampu direalisasikan seluas 7,62 juta ha. Namun dari data Ditjen PSKL, realisasi

Page 70: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

62

izin HD, HKm, HTR dan Kemitraan sejak 2015 s.d juni 2017 baru mencapai 523.774 hektar atau

sekitar 4,1 Persen terhadap total target 12,7 juta ha.

Dengan perkiraan capaian tersebut, masih ada sisa target yang belum terealisasi sekitar

12,17 ha hingga 2019. Dengan biaya sebesar Rp 327 ribu/ha, pemerintah harus menyediakan

anggaran yang cukup besar setiap tahun untuk percepatan target perhutanan sosial sampai tahun

2019. Besarnya jumlah anggaran yang dibutuhkan terkait perhutanan sosial ini, memaksa

pemerintah harus membuat formula kebijakan baru untuk mendukung percepatan perhutanan

sosial tersebut, jika tidak ingin program ini gagal dicapai hingga berakhirnya masa jabatan kabinet

kerja.

6.5. Strategi Pemenuhan Anggaran Percepatan Perhutanan Sosial Terhadap berbagai permasalahan yang diuraikan diatas, pemerintah tentu tidak bisa

hanya mengandalkan anggaran yang berada di Direktorat PKPS dan Balai PSKL, termasuk

bergantung pada pendanaan donor secara terus menerus untuk memenuhi target kinerja

pemberian izin perhutanan sosial 12,7 juta ha tersebut. Adanya kebutuhan anggaran setiap tahun

yang mencapai rata-rata Rp 830,58 miliar, pemerintah perlu mempersiapkan beberapa

terobosan kebijakan anggaran sebagai berikut:

(1) Pemerintah perlu membuat instrument kebijakan perencanaan dan penganggaran

percepatan perhutanan sosial yang dianggarkan melalui APBD Provinsi. Hal ini sejalan

dengan mandate pemerintah provinsi dalam UU 23/2014 untuk melakukan kegiatan

pemberdayaan kehutanan. Namun perhatian pemerintah daerah terhadap perhutanan

sosial masih rendah untuk memfasilitasi perhutanan sosial. Meskipun secara khusus

P.83/2016 mengatur ketentuan kewenangan Gubernur untuk melakukan penerbitan

perizinan perhutanan sosial dengan syarat program dan kegiatan perhutanan sosial

dimasukan ke dalam RPJMD, atau memiliki alokasi anggaran perhutanan sosial dalam

APBD, tetapi P.83 ini tidak serta merta dilaksanakan oleh Gubernur. Sehingga diperlukan

payung hukum yang lebih tinggi berupa Perpres/Inpres untuk menugaskan pemerintah

provinsi untuk melaksanakan program perhutanan sosial dan menganggarkannya di APBD.

Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mendorong Kemendagri untuk merevisi

ketentuan Permendagri No. 13 tahun 2006 yang terakhir kali di ubah menjadi Permendagri

No. 21 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan mencantumkan

program perhutanan sosial ke dalam format RKA-SKPD.

(2) Sejalan dengan strategi point 1, perlu ada dorongan instrument fiscal daerah sebagai

sumber pendanaan bagi pemerintah provinsi untuk melaksanakan kegiatan perhutanan

sosial yang dilaksanakan pemerintah provinsi hingga ke daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan terobosan UU APBN yang mengatur perluasan penggunana DBH DR, maka

kedepan diperlukan tambahan pengaturan yang memperjelas penggunaan DBH DR untuk

mendukung kegiatan perhutanan sosial.

(3) Memperluas cakupan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sub bidang kehutanan

untuk penyediaan fasilitas kegiatan pendampingan dan pengembangan perhutanan sosial

minimal 10% dari total alokasi DAK sub bidang kehutanan sebesar Rp. 721,85 miliar/tahun.

Page 71: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

63

Tahun 2015-2016, DAK sub bidang kehutanan lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan

rehabilitasi hutan dan lahan, penyediaan sarana dan prasarana KPH serta penataan areal

kerja KPHP/ KPHL, penyediaan sarana prasarana pengendalian karhutla dan pengamanan

hutan serta penyuluhan kehutanan. Untuk mengoptimalkan peran KPH dalam percepatan

perluasan akses HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR di wilayah kerja KPH, sebagai

anggota tim verifikasi, dan melakukan monitoring terhadap kegiatan HPHD, IUPHKm,

IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat sesuai ketentuan P.83/2016.

Kedepannya diperlukan pengaturan arah kebijakan penggunaan DAK sub bidang kehutanan

juga diarahkan untuk meningkatkan percepatan penyiapan dan pengembangan perhutanan

sosial melalui penugasan KPH dengan disertai target kinerja terukur.

(4) Mensinergikan program dan kegiatan pemerintahan desa yang di danai melalui Dana Desa

(DD) untuk kebutuhan memfasilitasi penyiapan areal dan pengembangan hutan desa.

Mengingat realisasi hutan desa berdasarkan data Direktorat PKPS s.d juni 2017, baru

mencakup 9% dari potensi hutan desa sekitar 5,07 juta ha yang dicadangkan dalam peta

PIAPS. HPHD yang direalisasikan baru seluas 469.069 ha di 228 desa. Belanja APBN

berupa transfer dana desa jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Dalam 2 tahun (2015-

2016), secara kumulatif jumlah dana desa yang direalisakan sebesar Rp. 67,45 triliun

dengan rata-rata alokasi per desa sebesar Rp. 454 juta/tahun. Penggunaan dana desa lebih

banyak diprioritaskan untuk bidang pembangunan infrastruktur desa. Bidang

pemberdayaan desa porsinya sangat kecil. Menurut data kementerian desa, belanja dana

desa tahun 2016 yang digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar 7% (Rp.

2,58 triliun) dan kegiatan pengembangan potensi ekonomi lokal desa hanya sekitar 1,7%

atau sebesar 0,61 triliun rupiah.

(5) Anggaran dana desa tahun 2017 bertambah menjadi sebesar Rp. 800 juta/desa dan mulai

tahun ini, Kementerian Desa telah mengarahkan prioritas penggunaan dana desa sub

bidang pemberdayaan masyarakat desa untuk mendukung pengelolaan HD dan HKm serta

peningkatan kapasitas kelompok masyarakat. Hanya saja perlu ada kejelasan berapa

minimal alokasinya. Berangkat dari inisiatif awal ini, maka kebijakan dana desa ditahun 2018

perlu dibuat pengaturan yang lebih menjamin ketersediaan dana desa minimal 10% untuk

memfasilitasi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan desa sehingga potensi

hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan

masyarakat desa.

6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Faktor keterbatasan anggaran menjadi pemicu utama rendahnya pencapaian target perhutanan

sosial, karena penyiapan pendampingan, verifikasi lapangan dan penunjang kebutuhan operasional

Pokja PPS sangat membutuhkan dukungan anggaran yang memadai setiap tahun. Hasil analisis

Indonesia Budget Center (IBC) menunjukkan bahwa rata-rata rasio anggaran sektor kehutanan

yang dialokasikan oleh 12 pemerintah daerah provinsi hanya sebesar 0,59 persen pada tahun

2015 dan sebesar 0,68 persen pada tahun 2016. Di tingkat nasional anggaran yang diperuntukkan

secara khusus dalam upaya mendukung percepatan perhutanan sosial juga hanya setara dengan

Page 72: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

64

0,01 persen dari total belanja negara yaitu sebesar Rp283 miliar (2015), Rp242 miliar (2016), dan

Rp194 miliar (2017).

Ketidaktepatan pilihan atas pendekatan money follows function yang telah dikritik oleh

Presiden, dan dorongan untuk segera melakukan perubahan pendekatan menjadi money follows

program dalam penyusunan APBN seharusnya menjadi jembatan untuk menambah alokasi

anggaran percepatan perhutanan social, sehingga masyarakat dapat merasakan langusng

manfaatnya setiap tahun.

Untuk itu IBC bermaksud menyampaikan beberapa alternatif pilihan kebijakan yang dapat

ditempuh pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan dukungan anggaran yang memadai

untuk mempercepat realisasi perhutanan sosial hingga tahun 2019, yaitu sebagai berikut:

Pertama, reposisi kegiatan-kegiatan perhutanan sosial dari level proyek

kementerian/lembaga menjadi kegiatan atau proyek prioritas nasional sehingga menjadi urusan

bersama lintas kementerian/lembaga serta pemerintah daerah, secara kolektif dan terintegrasi.

Kedua, menggunakan standar biaya minimal sebesar Rp327 ribu/ha yang mencakup

kebutuhan untuk pendampingan, fasilitasi dan verifikasi usulan sebagai basis pemerintah dalam

menghitung dan menetapan jumlah alokasi anggaran perhutanan sosial dalam APBN dan APBD.

Ketiga, pemerintah memanfaatkan peluang untuk menggunakan Dana Reboisasi baik yang berada

di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sebagai sumber anggaran pengembangan

perhutanan sosial dengan cara memperluas cakupan penggunaannya, khususnya untuk

mendukung pendanaan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi PIAPS.

Keempat, memperluas cakupan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sub bidang

kehutanan untuk mendukung pendanaan fasilitasi kegiatan pendampingan penyiapan areal dan

pengembangan perhutanan sosial minimal 10% dari total alokasi DAK sub bidang kehutanan

setiap tahun.

Kelima, mendorong pengaturan penggunaan dana desa minimal 10% untuk mendukung

pendanaan bagi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan desa sehingga potensi

hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat

desa.

Keenam, mendorong payung hukum yang lebih tinggi berupa Perpres/Inpres sebagai

landasan penugasan pemerintah provinsi untuk menyusun program dan pendanaan perhutanan

sosial di APBD. Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mendorong Kemendagri untuk merevisi

ketentuan Permendagri No. 13 tahun 2006 yang terakhir kali di ubah menjadi Permendagri No.

21 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan mencantumkan program

perhutanan sosial ke dalam format RKA-SKPD.

Pilihan rekomendasi diatas diharapkan menjadi rujukan bagi pemerintah pusat, DPR dan

pemerintahan daerah dalam merumuskan kebijakan anggaran yang responsif terhadap upaya

percepatan realisasi perhutanan sosial di dalam RAPBN dan RAPBD tahun 2018 dan tahun-tahun

berikutnya. Adapun penggunaan anggaran perhutanan sosial yang berpotensi meningkat setiap

tahun tersebut harus tetap memperhatikan prinsip efektifitas dan efisiensi.

Page 73: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

65

BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL

7.1. Pengantar Penataan ulang atas keberadaan sumber-sumber agraria di Indonesia sudah merupakan

keharusan. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah membuat satu kebijakan untuk

melakukan penataan tersebut. Ada dua skema yang sedang dijalankan untuk penataan ulang

tersebut. Skema pertama adalah legalisasi dan redistribusi asset (tanah-tanah yang tidak digarap

dengan baik) dalam bentuk pemberian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada rakyat

miskin seluas 9 juta hektar. Sedangkan skema kedua adalah penglolaan akses hutan oleh

masyarakat miskin di sekitarnya, berupa pemberian izin-izin Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7

juta hektar.

Alasan untuk dilaksanakan program ini adalah: (i) ketimpangan kepemilikan tanah; (ii)

ketidakpastian asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iii) ketidakpastian usaha dalam penataan

dan pengelolaan asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iv) konflik agraria yang terus

berkelanjutan.

Selama setahun terakhir skema pengelolaan akses atas hutan oleh masyarakat paling

menonjol dibicarakan pelaksanaannya dalam bentuk perhutanan sosial. Sementara itu, untuk

skema distribusi dalam bentuk distribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum terlihat

menonjol gerakannya.

Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Peta

Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS). Menurut dokumen peta indikatif tersebut terdapat 11,2

juta hektar untuk skema perhutanan sosial, 6,5 juta hektar untuk skema Tanah Objek Reforma

Agraria (TORA). Keberadaan tanah tersebut di seluruh Indonesia dan mencakup 17.448 Desa.

Untuk mempercepat pelaksanaan kedua skema tersebut setidaknya selama ini ada dua

langkah utama yang telah diambil. Untuk skema yang pertama, melalui Kantor Staf Presiden (KSP)

mendorong hadirnya tim percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dibentuk

melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017, salah satunya

adalah Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa

PDTT).

Kemendesa PDTT ini merupakan pokja III yang bertugas untuk pelaksanaan

pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca redistribusi (pokja I, yakni KLHK), dan mendapat

legalitas dari pokja II, yakni Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN). Adapun tugas dari Kemenko Perekonomian adalah untuk mengoordinasi,

mensinkronisasi dan mengendalikan pelaksanaan secara terpusat di K/L pemerintah pusat, dan

mengatur secara serentak pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten berperan aktif dan

efektif memastikan penetapan areal PS dan lokasi TORA di desa-desa melalui pengecekan dan

penyesuaiannya dengan keadaan lapangan.

Sementara itu untuk skema kedua adalah menjadikan desa sebagai subyek hukum

penerima TORA dan sebagai pemegang perizinan untuk perhutanan sosial. Ini merupakan

Page 74: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

66

strategi baru dengan jalan menurunkan informasi pembangunan langsung pada desa. Pemerintah

pusat tidak boleh lagi pasif menunggu kehadiran pemerintah daerah untuk aktif meneliti

pembangunan daerahnya oleh pusat. Pemerintah pusat aktif mendorong pemerintah daerah

dengan cara memberikan informasi pembangunan seluas-luasnya, khususnya pemanfaat TORA

dan PS.

Pertanyaannya adalah “mengapa desa menjadi subyek hukum dari penerima TORA dan

pemegang perizinan PS? Selanjutnya, bagaimana implementasi dari desa menjadi subyek hukum?

Terakhir apa yang harus dilakukan oleh desa?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu mengapa

hutan perlu membuka akses untuk masyarakat miskin baik yang berlahan sempit/tidak berlahan

di desa di pinggir/dalam hutan. Pada dasarnya ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat sebagai

pelaku utamanya sudah lama berlaku, terlebih lagi untuk masyarakat adat. Semua bentuk

perlindungan hutan sebagai penyangga kehidupan oleh masyarakat setempat.

Selama ini skema yang dikembangkan oleh pemerintah tidak mengakomodasi inisiatif dari

bawah tersebut. Skema yang mengemuka selama ini adalah pemberian izin hak atas penguasaan

hutan pada modal swasta. Model skema tersebut menyebabkan degradasi fungsi hutan dan

memperbanyak kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian perlulah adanya skema

perizinan kepada masyarakat dalam bentuk Perhutanan Sosial baik melalui skema Hutan

Kemasyarakatan (IUPHK), Hutan Tanaman Rakyat (IUPKKH-HTR), Kemitraan Kehutanan (Kulin

KK, IPHPS), Hutan Adat (Kulin HA) dan Hutan Desa (HPHD). Basis dari skema perizinan

perhutanan sosial ini dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan

sektor-sektor strategis ekonomi domestik (salah satu nawacita).

Hutan Desa suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan Desa dengan

pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama

untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara

optimal dan proporsional.

Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan

lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang

dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,

keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.

Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan

jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu

dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga

kelestariannya.

Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha

dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman,

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi

air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan

karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan

lindung dan hutan produksi Merujuk pada P.39/2017.

Page 75: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

67

7.2. Mengapa Desa Menjadi Subyek Hukum? Pada dasarnya desa merupakan instrumen bernegara level yang paling rendah di Republik

Indonesia. Negara Indonesia adalah kumpulan dari warga negara yang tinggal di desa. Oleh sebab

itu pelaksana dari penyelenggaraan negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah

pemerintahan desa. Berdasar UU No. 6 tahun 2014, desa adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Desa juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan adanya keterlibatan

masyarakat dalam proses pembangunan desa (Permendagri 114/2014).

Kendati dalam konteks pengelolaan sumber-sumber agraria sangat minim dilekatkan

dalam UU No. 6 Tahun 2014 (Shohibuddin, 2016), namun permasalah desa dan agraria

merupakan dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Secara terminologi dasar saja, desa

itu terdiri dari warga desa, pemerintah desa, aturan desa dan teritori (pengusaan sumber-sumber

agraria). Dengan demikian, membicarakan desa pada dasarnya membicarakan kesemuanya tanpa

terkecuali.

Tantangan terberat dalam desa membangun (tema utama pemerintahan Jokowi-JK dalam

pembangunan desa) adalah memajukan perekonomian pedesaan, mengingat ketimpangan

pendapatan dan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin lebar terjadi di desa. Menurut

data BPS (2016) kondisi perekonomian pedesaan bergerak ke arah yang mengkuatirkan, karena

lebih dari separuh penduduk miskin tinggal di desa. Sementara kondisi di desa sudah semakin

berkurang ketersediaan lapangan pekerjaan, karena sektor pertanian sudah dinilai tidak lagi

memberikan harapan bagi penduduknya. Akibatnya, pada satu sisi semakin menurunnya

sumbangan sektor pertanian pedesaan terhadap pendapatan nasional. Sementara, pada sisi yang

lain masyarakat desa lebih tersedot energi kerjanya ke luar desa, baik itu yang secara sementara

maupun permanen.

Ditambah lagi dalam peta besar penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia, potret

pedesaan di Indonesia berada pada situasi krisis agraria dan krisis pedesaan itu sendiri. Pertama,

berlangsung ketimpangan struktur agraria baik itu kepemilikan, penguasaan, distribusi dan

pemanfaatannya, serta minimnya akses atas sumber-sumber agraria. Kedua, konflik agraria

struktural akibat perebutan klaim atas satu wilayah penguasaan sumber agraria. Selama ini negara

lebih memberikan izin dan konsesi pada pemilik modal dalam rangka ekstraksi, eksploitasi dan

industrialisasi sumber dalam agraria. Ketiga, kerusakan ekologis akibat dari perilaku ekstraksi

tanah oleh kapital besar.

Penjelasan sekilas di atas inilah yang menjadi alasan utama desa sebagai subyek hukum

pengelola sumber-sumber agraria di wilayahnya. UU Desa adalah sarana mengembalikan

keseluruhan otoritas, fungsi dan peran kelembagaan, serta pengelolaan wilayahnya. Lebih dari itu

desa di Indonesia memiliki warna kembali karena keragaman sejarahnya, kekhasan karakter

budayanya, spesifikasi tipologi ekolologis, serta lokal wisdom yang menyertainya merupakan

kekayaan yang hilang. Setidaknya secara jumlah saja, menurut data BPS Indonesia memiliki 72

ribu desa, yang akan bertambah pada tahun-tahun berikutnya akibat pemekaran desa.

Page 76: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

68

Penjelasan lain yang memperkuat posisi desa sebagai sebagai subyek hukum atas

pengelolaan sumber-sumber agraria adalah adanya 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan

hutan (Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial 21September 2016). Angka tersebut

menunjukkan peningkatan, mengingat sebelumnya menurut data potensi desa dari tahun 2011 ke

tahun 2014 terdapat peningkatan jumlah desa hutan di Indonesia, dari 9.937 desa menjadi 21.284

desa. Setidaknya terdapat peningkatan jumlah desa berkisar angka 11.347 desa hanya dalam

durasi tiga tahun.

Selain itu masih menurut hasil Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

(21September 2016) terdapat angka 71.06% masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari

sumber daya hutan. Ada 48 juta jiwa penduduk tinggal di pinggir/dalam kawasan hutan. Ada 10,2

juta orang miskin di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum

terhadap milik dan aksesnya pada sumber daya hutan. Sampai dengan tahun 2014, (hanya)

terdapat 1 juta jiwa yang sudah masuk dalam program Perhutanan Sosial. Selain itu selama tahun

2015-2019 terdapat sebanyak 9.800 desa masuk PIAPS, yang tersebar mulai dari ekosistem

pegunungan tinggi, dataran rendah, rawa gambut dan bakau. Sehingga nantinya dibutuhkan proses

identifikasi tipologi Perhutanan Sosial.

Kendati telah mendapatkan argumentasi yang layak, akan tetapi tetap perlu diperiksa

terlebih dahulu pemaknaan desa sebagai subyek hukum dalam proses pembangunan pedesaan,

khususnya dalam konteks penguasaan sumber-sumber agraria. Mengingat dalam perjalanan politik

UU Desa dibarengi dengan adanya perdebatan pemikiran antara membangun desa dan desa

membangun. Secara aspek struktural membangun desa dalam praktek kewenangan

pembangunannya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota, meskipun dalam

prakteknya masih harus melibatkan partisipasi masyarakat desa. Sementara itu untuk desa

membangun, berdasar pada asas rekognisi dan subsidiaritas telah meletakan masyarakat desa

sebagai subyek utama dalam partisipasi pembangunan. Pengaturan lebih lanjut tentang

keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk

kelompok-kelompok perempuan, masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah

desa, atau musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014

tentang Desa.

Akan tetapi dalam konteks pengelolaan akses terhadap program perhutanan sosial

keberadaan pemangku hutan tidak bisa ditinggalkan. Desa merupakan subyek hukumnya, namun

keberadaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai pemangku hutan merupakan wakil dari

negara untuk tetap memastikan keberlangsungan konservasi hutan. Keberadaan KPH hanya

memastikan keberlangsungan konservasi ekosistem hutan, bukan kepemilikan tanah seperti

selama ini terjadi.

Hal lain yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan adalah keberadaan

Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang selama ini telah mengakses hutan. Setidaknya terdapat

peningkatan jumlah MDH dari tahun ke tahun berdasar kenaikan jumlah desa hutan yang telah

disebutkkkan di atas. Peningkatan tersebut tidak hanya sebagai penanda bagi keberadaan desa

hutan di Indonesia, akan tetapi juga pesatnya perkembangan masyarakat di lingkungan hutan.

Dengan demikian keberadaan MDH perlu mendapat porsi tersendiri dalam skema pengelolaan

Page 77: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

69

Perhutanan sosial ke depan. MDH adalah subyek pelaksana atas pengelolaan akses sumber-

sumber agraria.

Praktek yang berlangsung selama ini MDH berjalan sendiri dengan pihak kehutanan tanpa

bersinggungan dengan desa. Dengan adanya UU No 6 tahun 2014 tentang desa memberi peluang

MDH menjadi salah institusi resmi di desa dengan menjadi Lembaga Kemasyarakatan Desa

(LKD). LKD adalah satu organ resmi yang bisa melibatkan diri dalam proses Musyawarah Desa

yang merupakan amanat UU Desa dalam proses perencanaan pembangunan. Sehingga

masyarakat yang selama ini mengakses hutan bisa terlibat dalam musyawarah desa. MDH bisa

terlibat dalam proses perencanaan dan penentuan arah pembangunan desa berbasis Perhutanan

Sosial dalam musyawarah desa. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok

masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk kelompok-kelompok perempuan,

masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, atau musyawarah antar desa,

sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Dengan demikian berdasar alur penjelasan di atas, perlunya proses kerja sama diantara

ketiga kelompok dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat dibutuhkan: (i) pemerintah desa; (ii)

masyarakat desa hutan; dan (iii) pemangku hutan. Ketiga kelompok ini merupakan kesatuan yang

tidak bisa dipisahkan dalam proses pengelolan perhutanan sosial. Setidaknya gambar di bawah ini

menunjukkan saling keterkaitan satu sama lain dalam pengelolaan perhutanan sosial.

Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial

Ketiganya dapat melakukan fungsi koordinasi dan konsolidasi kegiatan pengelolaan hutan.

Setidaknya berdasar atas fungsi kerja masing-masing mereka melakukan perencanaan bersama

dalam rangka penentuan dan pembuatan peta definitif areal hutan desa yang disusun secara

partisipatif dengan melakukan penetapan dan penegasan Batas Desa (sesuai Permendagri

45/2016). Kegitan tersebut secara praktis melibatkan para pihak dan disahkan oleh Kepala Dinas

Kehutanan Propinsi atas nama Gubernur. Dinamika lapangan ini merupakan tantangan kongrit

atas praktek demokrasi langsung yang berbasis pada penataan ulang atas sumber-sumber agraria

yang lebih adil.

Begitu juga dengan perencanaan pengelolaan hutan desa yang disusun bersama-sama,

mengenai rencana-rencana (i) detail tata kelola hutan; (ii) pemanfaatan dan pelestarian; (iii)

pengalaman dan perlindungan; dan (iv) rehabilitasi. Ini merupakan satu keniscayaan kerja-kerja

yang membutuhkan kerangka metodologi yang jelas. Di sinilah kerja-kerja praktek menemukan

relevansinya. Hadirnya dokumen perencanaan, pun regulasi-regulasi di atasnya harusnya berbasis

Pemerintah Desa

Pemangku Hutan

Masyarakat Desa Hutan

Page 78: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

70

pada kerangka penelitian yang jelas. Sehingga keberadaan dokumen dan kebijakan yang dihasilkan

mampu menjawab persoalan dengan tepat. Semua pemangku kepentingan duduk bersama

merumuskan tentang perencanaan dan kebijakan yang akan dilahirkan. Sehingga dapat dipastikan

hadir satu rumusan baru dan cara baru dalam mengelolaan sumber-sumber agraria di masa

mendatang.

Hadirnya satu metodologi riset bersama itu sekaligus merupakan satu sarana untuk

melakukan verifikasi berbagai pemikiran yang berkembang tentang pengelolaan ekonomi desa.

Basis dari argumentasinya adalah mempertimbangkan upaya untuk meminimalisasi permasalahan

ketimpangan ekonomi di desa. Program reforma agraria dan perhutanan sosial secara teori salah

satunya adalah menjawab permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi di desa. Dengan

demikian metodologi riset lapangannya juga pada level tertentu harus mampu menjadi sarana

verifikasi tentang debat untuk mewujudkan pengelolaan atas sumber-sumber agraria pasca

redistribusi (peningkatan usaha tani) semata-mata diletakkan pada industri pertanian atau industri

pedesaan.

Pentingnya verifikasi ini untuk melihat dimana kewenangan peningkatan usaha tani

diletakkan. Konsepsi industri pertanian mengarah pada kebutuan industri untuk mendukung

peningkatan usaha tani di wilayah desa hutan oleh pihak swasta. Dukungan akan peralatan,

pembibitan serta dukungan pupuk dan pestisida menjadi basis konsepsi industri pertanian ini.

Sementara industri pedesaan menyerahkan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat desa

untuk pengelolaan dan penataannya. Sehingga partisipasi masyarakat dalam pengembangan

perekonomiannya berlangsung proses transformasi sosial, tanpa menafikan berkembangan

industri.

Dengan demikian dalam membicarakan tema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial jika

diletakkan di desa sebagai subyek hukumnya tidak bisa hanya berhenti pada proses redistribusi

asset dan aksesnya, serta legalisasi asset dan aksesnya dengan subyek penerimanya. Lebih jauh

dari itu, pembicaraannya sudah harus menyertakan konsepsi proses produksi, distribusi dan

konsumsi.

Artinya harus hadir pula dalam bentuk struktur administrasi pemerintahan, yaitu harus

diikuti dengan program-program lanjutan untuk memperkuat kemampuan warga di sekitar

kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan,

akses pada informasi pasar, teknologi, akses pembiayaan dan penyiapan pasca panen. Hingga

akhirnya terdapat pengembangan aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agro-forestry,

tapi juga bisa dikembangkan ke bisnis eko wisata, bisnis agro silvo-pasture, bisnis bio energi,

bisnis hasil hutan bukan kayu, serta bisnis industri kayu.

Page 79: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

71

Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditi Perhutanan Sosial

Pada level yang lain metodologi riset bersama tersebut juga sekaligus dapat menjadi sarana verifikasi atas pentingnya lembaga ekonomi bersama sebagai perantara dari produsen ke konsumen. Kelembagaan ekonomi ini dalam rangka memangkas mata rantai ekonomi yang dianggap memperkecil keuntungan masyarakat desa sebagai produsen. Sehingga dibutuhkan satu proses menuju penguatan ekonomi lokal yang

bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa. Konsepsi tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi atau usaha bersama lainnya harus diarahkan pada penguatan ekonomi lokal dan transformasi sosial di pedesaan.

Setidaknya prinsip dari BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian

besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015. Dalam peraturan tersebut mengatur kehadiran kelembagaan Bumdes melalui mekanisme musyawarah desa, sekaligus penentuan jenis usaha dan langkah-langkahnya. Berdasar Peraturan Menteri Desa PDTT No. 19 tahun 2017, pengembangan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk

unggulan kawasan perdesaan, antara lain: untuk huruf (a) pengelolaan hutan Desa, huruf (b) pengelolaan hutan Adat. Bahkan juga difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: huruf (a) hutan kemasyarakatan, (b) hutan tanaman rakyat, sementara untuk

huruf (c) kemitraan kehutanan. Artinya keberadaan kelembagaan ekonomi perantara ini juga sudah diarahkan pada pemanfaat hasil-hasil kehutanan pasca redistribusi kepada masyarakat. Artinya berdasar atas peraturan tersebut bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas untuk dibiayai oleh dana desa

sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes.

Kendati keberadaan BUMDes sudah menjadi program prioritas Kementerian Desa PDTT, namun perjalanan sejarah studi tentang desa telah mencatat keberadan kelembagaan ekonomi perantara ini. Pada tahun 1971 pemerintah telah melahirkan

Kesejahteraan Masyarakat

Desa

Kayu

Non Kayu

Jasa Lingkungan

Page 80: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

72

lembaga ekonomi perantara dalam bentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Mengingat strategi pembangunan pedesaan pemerintah adalah peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dianggap tidak memerlukan perubahan yang bermakna dalam struktur sosial dan sistem kepemilikan tanah (land tenure system). Persepsi pemerintahan di masa lalu (Orde Baru) bahwa

kemiskinan masyarakat desa disebabkan karena kelangkaan penguasaan teknologi sehingga produktifitas menurun, di samping karena adalnya kebodohan masyarakat desa (Winarno, 2003:12). Sehingga untuk mendukung kegiatan program pedesaan lebih terkoordinasi alam penyediaan input-input pertanian belaka (Mohoney, 1981: 191-2).

Akibatnya meskipun terjadi peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, program tersebut malah mendongkrak jumlah masyarakat miskin dan memperbanyak petani guram dan tidak bertanah (landless). Adanya kerangka metodologi yang memverifikasi setiap kehadiran konsepsi dan kebijakan di desa sehingga semua yang

berlangsung di desa dapat diukur perkembangan dan arahnya.

7.3. Bagaimana Implementasinya?

Pembangunan pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru melahirkan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan itu merugikan petani kecil. Selama proses pembangunan pertanian, praktek usaha tani hanya ditekankan pada aspek produksi

semata. Akibatnya posisi tawar petani berada pada titik terendah dalam proses keseluruhan praktek usaha tani. Energi masyarakat pertanian desa dihabiskan pada proses berproduksi, sementara proses distribusi dan pengelolaan konsumsi berada di tangan orang lain. Terdapat beberapa permasalahan kompleks yang merugikan petani

kecil yang itu pada dasarnya bisa diurai melalui program desa membangun.

Pertama, permasalahan kepastian hak asset ataupun akses. Program redistribusi dan legalisasi tanah merupakan upaya untuk menjawab permasalahan ketidakpastian yang selama ini menyelimuti petani kecil. Melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial sebagaimana dijelaskan di atas merupakan jawaban atas kebutuhan lahan masyarakat desa yang miskin.

Kedua, masalah permodalan. Selama ini saluran permodalan atau kredit usaha tani hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses terhadap institusi kredit dan

perbankan. Prakteknya melalui rekayasa sedemikian rupa, sehingga dengan mudah mendapatkan akses kredit. Sementara masyarakat petani gurem dan tuna kisma mengalami kesulitan untuk mengakses kelembagaan permodalan tersebut. Lemahnya hasil feasibility studi dan persyaratan agunan tidak mampu disediakan oleh masyarakat

petani gurem dan tidak bertanah. Hingga saat ini belum ada kelembagaan permodalan yang bekerja memberi keringanan pada masyarakat petani gurem dan tidak bertanah.

Ketiga, permasalahan saprodi (sarana usaha produksi) pertanian selalu

Page 81: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

73

“menghantui” petani gurem dan petani tidak bertanah. Biaya produksi tidak sesuai dengan nilai hasil panenan. Hal ini merupakan ketidakpastian bagi proses produksi petani (off farm). Setidaknya ada tiga permasalahan dalam saprodi ini: (i) pupuk yang harganya sering tidak terjangkau oleh masyarakat petani di pedesaan; (ii) benih selalu bermasalah pada produktifitas yang rendah dan tidak tahan terhadap hama penyakit dan iklim. Selain

itu juga ketersediaan bibit tidak merata mulai dari pabrik, kemudian pada pedagang sementas, hingga perantara. Hal itu akibat adanya monopoli pihak tertentu. Begitu juga dengan obat-obatan mengalami hal yang sema. (iii) harga pestisidah selalu melonjak sehingga menyebabkan petani mengalami kesulitan untuk proses produksinya.

Keempat, aspek terhadap IPTEK selama ini tidak terjangkau dan sangat terbatas. Sehingga petani penggarap memiliki ketidakmampuan untuk menjangkah. Seringkali hasil panen masyakarat masih sering untuk membimbing petani tak bertanah dan gurem.

Kelima, mental petani yang selama ini kuat untuk proses produksi petani untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi sehari-hari. Tidak berani mengambil usaha tani secara komersial untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa. Dengan demikian peningkatan mental petani sendiri membutuhkan dukungan dari luar dirinya. Dengan mental usaha bertani yang baik akan mempermudah pemasukan.

Keenam, memperpedek pemasaran dan distribusi, seligus mata rantai selama ini. Salah satu caya untuk memperpendak pemasaran dan distribusi yang menyabkan kerugian pada setiap sektornya.

Ketujuh, mitra usaha. Proses kemitraan usaha selama ini lebih menguntungkan

pada pengusaha besar, ketimbang petani tidak bertanah. Sementara usaha petani guram dan tidak bertanah sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari mitra usaha.

7.4. Apa yang harus dilakukan desa

Penataan ulang atas sumber-sumber agraria saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan pembangunan desa. Terlebih lagi dalam upaya untuk penataan ulang sumber-

sumber agraria secara lebih adil. Tidak saja mementingkan satu pendekatan, namun membutuhkan multidimensional approach dalam proses dan prakteknya.

Setidaknya terdapat dua pendekatan klasik yang saling bertentangan antara pendekatan kesejahteraan dari atas dan partisipasi dari bawah. Pendekatan pertama,

dahulu sangat kental dijalankan oleh rezim politik orde baru bahwa masyarakat desa dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan organisasi yang berguna untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi rakyat dan desa. Sehingga corak yang negara dahulu terhadap desa adalah dominan, menguasai dan memaksa. Pembangunan desa harus mendapat sponsor dan digerakkan oleh negara pusat. Pola pembangunan dari energi negara pusat sebagai suatu strategi yang tepat untuk peningkatan kesejahteraan

Page 82: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

74

rakyat dan desa. Sementara pendekatan yang kedua adalah partisipasi menyatakan bahwa masyarakat desa pada dasarnya mampu untuk terlibat dalam proses perubahan, tidak pasif. Masyarakat desa bisa memperbaiki diri tanpa adanya intervensi dari negara pusat.

Model yang berhadap-hadapan itu sekarang sudah tidak menemukan jalan lagi untuk dilanjutkan. Menemukan jalan buntunya. Model yang sekarang bermuka dua (hybrid

model) sekilas seperti campuran dari model yang berhadap-hadapan tersebut. Pada satu sisi masyarakat desa berpemerinatahan (self government community) dan pada sisi lain pemerintahan lokal (local self government) (lihat pada Zamroni, 2017). Model hibrida ini mepersilahkan desa untuk mengatur dan mengurus lokalitasnya sendiri, namun tetap

berada dalam konsepsi Negara Republik Indonesia. Model ini dianggap memberi ruang bagi terbukanya struktur dan aktor desa untuk mengembangkan diri.

Dalam konteks pelaksanaan percepatan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia memungkinkan semua pendekatan digunakan. Pertama-

tama perlunya pendekatan grass roots participation melalui berbagai organisasi masyarakat desa sebagai penunjang utama dari pelaksanaan program tersebut. Anggapan bahwa masyarakat desalah yang paling mengetahui kondisi-kondisi hidup mereka, jika birokrasi dan politik tidak melakukan intervensi.

Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya membutuhkan pendekatan

kedua yang bersifat mempercayakan pada bureaucracy reliant strategy. Pendekatan ini dibutuhkan untuk praktek pengurusan administrasi pemerintahan desa dan interaksi antar struktur pemerintahan lainnya. Birokrasi tetap memiliki peran besar dalam

pelaksanaan program pembangunan masyarakat dan desa. Setidaknya birokrasi merupakan salran formal dan berfungsi sebagai kelanjutan instrument dari negara pusat dalam urusan daerah dan lokal (Hansen, 1979: 22).

Sedangkan pendekatan ketiga adalah strategi memusatkan pada tujuan mencapai stabilitas dalam pelaksanaan program (Winarno, 2003: 28-9). Pendekatan terakhir ini memberi peluang bagi negara pusat sebagai supradesa bertanggung jawab secara otoritatif untuk menjaga stabilitas hubungan dan keseimbangan antara institusi desa (Zamroni, 2017) dan struktur administrasi pemerintahan yang lain. Dengan demikian

peranan pemerintah negara pusat tidak bisa netral sebagaimana diasumsikan oleh pendukung ekonomi neoliberal. Sehingga mau tidak mau ketiga pendekatan harus berkelindan satu sama lain untuk terwujudnya pembangunan desa.

Dalam rangka memperbesar peluang berusaha di wilayah pedesaan, dan program

reforma agraria dan perhutanan sosial adalah pilihannya. Pemerintah negara pusat justru perlu mendorong hadirnya cara baru satu kelembagaan dalam usaha tani pedesaan yang diarahkan tidak saja sekedar guna peningkatan produksi pertanian, lebih jauh dari itu berupa peningkatan skala usaha tani itu sendiri. Program reforma agraria dan perhutanan

Page 83: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

75

sosial menemukan jalannya di desa. Dengan demikian pemerintah bisa mendorong terjadinya transformasi agraria di desa. Pada akhirnya dapat menghantarkan satu proses evolusi usaha tani keluarga desa ke usaha tani badan usaha bersama desa yang memenuhi skala ekonomi yang lebih luas dan manajerial yang lebih baik. Tentu saja aktifitas ini haruslah ditujukan pada kelompok masyarakat desa yang berapa dalam lapisan paling

tidak diuntungkan oleh sistem dan struktur sosial (Luthfi dan Shohibuddin, 2012: 361-2).

Dengan demikian dukungan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial diletakkan di desa merupakan keniscayaan. Penggunaan dana desa untuk percepatan pelaksanaan, proses pelaksanaan dan perencanaan daya dukungnya tidak saja berhenti

pada proses redistribusi dan legalisasi saja. Hal ini jika masih membutuhkan keberlanjutan antara peningkatan produktifitas, daya dukung lingkungan serta jaminan kesejahteraan rakyat dan desa, maka dana desa bisa berperan lebih jauh dan diletakkan hingga diujung program.

Page 84: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

76

BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL

8.1. Permasalahan Pokok

Merujuk pada kerangka acuan ringkas mengenai penyusunan naskah akademik, permasalahan yang akan dibahas akan bermula dari pertanyaan apakah kerangka kebijakan dan kewenangan terkait perhutanan sosial belum sistematis? Permasalahan yang diangkat berangkat dari asumsi bahwa kerangka kebijakan dan kewenangan yang ada

belum systematis, untuk mendorong percepatan implementasi perhutanan sosial.

Pembahasan pokok permasalahan

Berangkat dari permasalahan pokok yang disebut diatas, sebelum menyampaikan jawaban-jawaban atau pendapat-pendapat dari aspek hukum, perlu disampaikan beberapa

pengertian mengenai peraturan perundang-undangan (wetgeving), peraturan kebijakan (beleidsregel) dan keputusan (beshickking), agar ada kesamaan pemahaman terlebih dahulu.

1. Peraturan perundang-undangan (wetgeving) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU 12 Tahun 2011).

2. Peraturan Kebijakan (Beleidsregel/policy rules) adalah produk dari perbuatan Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang

menciptakan peraturan kebijakan tersebut (Hadjon, dkk, 2008). Ciri-ciri peraturan kebijakan adalah ia bukan peraturan perundang-undangan (wet), badan/lembaga yang menerbitkan bukan pembentuk peraturan, dan tidak mengikat secara hukum namun memiliki relevansi hukum. Bagir menyebut sejumlah ciri peraturan kebijakan, yaitu: 1) Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan; 2) Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan; 3) Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena

memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan kebijakan tersebut; 4) Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan; 5) Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih

Page 85: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

77

diserahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak; 6) Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan (Bagir Manan, 1987).

3. Keputusan (Tata Usaha Negara-TUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009).

Pengertian ketiga istilah hukum diatas perlu disajikan mengingat tema bahasan paper ini adalah kerangka kebijakan. Kebijakan yang dimaksud barangkali bersifat umum yang menyangkut baik peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan maupun keputusan (TUN). Oleh karena itu, dalam pembahasan dan diskusi atas paper ini tidak terjadi percampuran pengertian. Dalam hal ini, saya akan menggunakan istilah kerangka hukum dibandingkan kerangka kebijakan, agar rujukannya utamanya jelas kepada

peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan ataupun keputusan. Selanjutnya, dalam kajian ini, nanti akan direkomendasikan bentuk hukum yang mana yang perlu perbaikan.

8.2. Kerangka hukum perhutanan sosial yang berlaku saat ini

Beralih ke pokok permasalahan, sebelum membuat diagnosis apakah kerangka

hukum perhutanan sosial belum sistematis, maka mula-mula perlu mendeskripsikan peraturan-perundang-undangan, peraturan kebijakan ataupun keputusan yang eksisting terkait perhutanan sosial. Berikut beberapa contohnya:

Kerangka Hukum Perhutanan Sosial

Peraturan Per-UU-an

UU Kehutanan No.41 Tahun 1999

UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem No.5 Tahun 1990

UU PPLH No.32 Tahun 2009

PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan

Page 86: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

78

Permen LHK Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Pedoman

Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi.

Permen LHK Nomor 29 Tahun 2015 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat

Permen LHK Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Pedoman

Pemberian Bantuan Peralatan Pengembangan Usha Ekonomi Produktif Ramah Lingkungan

Permen LHK Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Hutan

Hak

Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial

Permen LHK Nomor 84 Tahun 2016

Tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan

Peraturan Kebijakan

Perdirjen PSKL Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Verifikasi dan Validasi Hutan Hak

Perdirjen PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman

Pembinaan, Pengendalian dan Evaluasi Perhutanan Sosial 

Perdirjen PSKL Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial

Perdirjen PSKL Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman

Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan

Perdirjen PSKL Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan

Perdirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Akses Kelola Perhutanan Sosial

Perdirjen PSKL Nomor 8 Tahun 2016  Tentang Standar

Pengukuran Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) dan Indikator Kinerja Program (IKP) Dtrjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

Page 87: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

79

Perdirjen PSKL Nomor 9 Tahun 2016

Tentang Perubahan Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial

dan Kemitraan Lingkungan Nomor P.3/PSKL/SET/KUM.1/4/2016 tentang Pedoman

Pengembangan Usaha Pertanian Sosial

Perdirjen PSKL Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Hak Pengelolaan Hutan Desa

Perdirjen PSKL Nomor 12 Tahun 2016

Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan

Perdirjen PSKL Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

Perdirjen PSKL Nomor 14 Tahun

2016  Tentang Pedoman Fasilitasi Pembentukan dan Tata

Cara Kerja Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial

Perdirjen PSKL Nomor 15 Tahun 2016

Tentang Pelayanan Online/Daring Perhutanan Sosial

Perdirjen PSKL Nomor 16 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, Rencana Kerja Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat

Perdirjen PSKL Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat

Perdirjen PSKL Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama

Perdirjen PSKL Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Kanal Komunikasi Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan

Peraturan Direktur Jenderal PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman, pembinaan, pengendalian dan Evaluasi

Page 88: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

80

Keputusan SK MenLHK Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial

SK Dirjen PSKL Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan

Sosial

SK Dirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Perubahan lampiran POKJA PS

Kerangka hukum perhutanan sosial yang bersifat peraturan pelaksana pada tingkat

praktis yang berlaku saat ini, tentu perlu diperiksa hormani dan disharmoni nya dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melakukannya perlu waktu yang lebih

memadai. Peraturan perundang-undangan apa yang perlu dirujuk antara lain:

a. UU Kehutanan No.41/1999

b. UU KSDAHE No.5/1990

c. UU PPHA No.18/2013

d. UU PPLH No.32/2009

e. PP Tata Hutan No.6/2007

8.2.1. Terkait Kewenangan

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 (UU 23/2014) telah mengubah

politik desentralisasi kewenangan kepada resentralisasi kewenangan. Pembagian urusan

pemerintah berdasarkan UU 23/2014 adalah seperti pada gambar dibawah ini:

Page 89: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

81

Page 90: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

82

Wujud politik resentralisasi terlihat pada beberapa kewenangan pemda kabupaten yang

ditarik ke pusat/provinsi khususnya terkait urusan dibidang kehutanan. Lihat gambar dibawah ini:

Praktis dengan pembagian kewenangan berdasarkan urusan pemerintah, khususnya

terkait perhutanan sosial berada pemerintah pusat dan provinsi. KECUALI, urusan yang

menyangkut pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berada di

tingkat kabupaten. Hal ini memiliki sangkut paut yang kuat dengan proses pengukuhan hutan adat

yang menjadi kewenangan Menteri LHK.

Untuk lebih jelas, mari kita lihat pembagian urusan pemerintahan antara Pusat, Provinsi

dan Kabupaten/Kota, dibawah ini:

Page 91: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

83

Page 92: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

84

Untuk urusan pemerintahan terkait masyarakat hukum adat yang ada kaitan erat dengan

hutan adat, kita perlu melihat urusan pemerintahan pada bidang lingkungan hidup dan bidang

pemberdayaan masyarakat dan desa.

Page 93: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

85

Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah No.23 Tahun

2014 diatas harus menjadi rujukan, termasuk bagaimana mengharmonikan UU sektoral seperti

UU Kehutanan dan UU PPLH terhadap UU Pemerintahan Daerah. Prinsipnya, pembagian urusan

pemerintahan harus merujuk kepada UU Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kewenangan

dilakukan dengan 3 cara yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Ada dua hal kunci yang umumnya menjadi faktor efektifnya pelaksanaan kewenangan dan

tugas dari pemerintahan, yaitu adanya dasar kewenangan dan dukungan anggaran. Asas

desentralisasi didasari oleh sejumlah kewenangan yang telah ditetapkan di dalam UU 23/2014

khsusunya bersumber dari pembagian urusan bersifat konkuren. Kewenangan berdasar asas

desentralisasi didanai oleh APBD masing-masing daerah. Kewenangan berdasar asas

dekonsentrasi didasarkan pada pelimpahan sebagian kewenangan (kepada Gubernur atau Instansi

Vertikal) dan diberikan anggaran dari yang melimpahkan. Sementara tugas pembantuan dijalankan

secara bertingkat dari Pusat kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dari Gubernur kepada

Kabupaten/Kota/Desa dan dari Bupati kepada Desa.

Dalam rangka percepatan PS, dengan komposisi kewenangan dan peluang pelimpahan/

pendelegasian kewenangan berdasar asas desentralisasi, dekonsetrasi dan tugas pembantuan

tersebut, peluangnya dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UPT (BPSKL), KPH sebagai

UPTD Provinsi, Bupati dan Desa.

Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan

Unit Pemerintahan

Asas Pembagian Kewenangan Keterangan Desentraslisasi Dekonsentrasi Tugas

Pembantuan UPT Sudah

dijalankan melalui pembentukan BPSKL di 5 wilayah

Dari sisi anggaran perlu dinaikkan

UPTD (cq. KPH) atau CDK)

KPH atau CDK

KPH dan CDK yang berada di bawah Gubernur, dapat diberikan kewenangan oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur. Gubernur berhak menetapkan kebijakan terkait pelimpahan kewenangan, yang disesuaikan per-uu-an. Oleh krn itu, pada kebijakan tingkat pusat, perlu ada perubahan mengenai kewenangan KPH yang mana memungkinkan KPH memiliki kewenangan untuk pemberian Izin PS. Misal revisi PP.6/2007 dan peraturan pelaksanaanya misal PermenLHK mengenai KPH.

BUPATI / WALIKOTA

Bupati/wali kota

Bupati / walikota

Dalam urusan Pengakuan MHA sudah jelas kewenangan Pemda Kabupaten untuk pengesahan legalnya. Hal ini untuk mendukung percepatan Hutan Adat.

Page 94: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

86

Untuk Percepatan skema PS lainnya, bisa digunakan penugasan oleh Gubernur kepada Bupati untuk percepatan skema PS dengan penerbitan Pergub. Penugasan ini harus diikuti oleh pemberian anggaran dari APBD provinsi kepada pemda Kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, Bupati dalam menugaskan OPD nya misalnya Dinas LH atau Dinas Pertanian atau Dinas PMD. Atau jika mau dibentuk khusus, maka dapat membentuk tim Percepatan PS di tingkat kabupaten yang di SK kan oleh Bupati.

DESA desa Gubernur dan Bupati dapat menugasi Desa dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Penugasan ini diberikan dengan penerbitan pergub atau perbup. Anggaran dibebankan kepada APBD provinsi atau kabupaten/kota

8.2.2. Pelayanan terpadu satu pintu

Referensi hukum lain terkait dengan pelaksanaan kewenangan adalah dengan melihat sejumlah

peraturan perundangan yang terkait dengan perizinan terpadu. Pemerintah Pusat telah

menerbitkan peraturan yang mendorong terwujudnya dan terlaksananya pelayanan terpadu satu

pintu (PTSP) yaitu melalui Peraturan Presiden No.97 Tahun 2014. Pelaksanaan Perpres 97/2014

tersebut ditindaklanjuti oleh kementerian/Lembaga dengan menerbitkan peraturan Menteri yang

mendelegasikan kewenangan kepada BKPM-PTSP. Misalnya Kementerian LHK telah menerbitkan

PermenLHK No.P.97/2014 sebagaimana telah diubah dengan PermenLHK No.P.1/2015 tentang

Pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non perizinan dibidang lingkungan hidup dan

kehutanan dalam rangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada kepala BKPM.

Pelaksanaan pendelegasian wewenang perizinan dan non perizinan juga dilakukan pada tingkat

provinsi dan kebupaten/kota. Gubernur dan Bupati/Walikota mendelegasikan wewenang kepada

Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) melalui Peraturan

Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

8.2.2. Prosedur PS yang sedang berjalan

Peraturan mengenai prosedur pengajuan PS diatur dalam PermenLHK No.83 Tahun 2016 dan

sejumlah Perdirjen PSKL. Pengaturan yang bisa kita baca salah satunya adalah mengenai masa

waktu pengajuan dan proses permohonan seluruh skema PS. Berikut pengaturannya: (lihat

lampiran bagan alir 5 skema PS).

KATEGORI BENTUK HAK/IZINWaktu Proses Permohonan Via Menteri LHK Via Gubernur

Hutan Desa HPHD 24 hari 37 hariHutan Kemasyarakatan

IUPHKm 24 hari 37 hari

Page 95: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

87

Hutan Tanaman Rakyat

IUPHHK-HTR 24 hari 37 hari

Kemitraan Kehutanan

Kesepakatan - -

Hutan Adat Hutan hak/hutan adat 18 Hari -

Di dalam PermenLHK 83/2016 tersebut dinyatakan waktu maksimal dalam setiap tahap

proses perizinan. Namun demikian, tidak ada ketegasan berupa sanksi apabila jangka waktu

tersebut dilewati atau tidak terpenuhi.

Bisa jadi, penentuan batas waktu tersebut sudah tidak relevan lagi jika dibandingkan

dengan pengalaman prakteknya. Oleh karena itu batas waktu tersebut perlu diperiksa lagi sesuai

dengan kemampuan organisasi LHK yang menangani permohonan PS. Jika pengalaman saat ini,

waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada penerbitan izin PS misalnya 3-6 bulan, maka

pengaturan batas waktu yang ada di PermenLHK 83/2016 perlu disesuaikan, dengan diberikan

sanksi. Sanksi yang dimaksud dapat menggunakan analogi hukum administrative yaitu, jika dalam

waktu 90 hari tidak ada kejelasan proses penerbitan izin yang dimohonkan maka permohonan

tersebut dianggap telah diterima.

Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS.

Pihak Kewenangan / Tugas Status Peran Utama Pendukung

Menteri Menerbitkan Izin PS Utama Gubernur Menerbitkan Izin PS setelah

mendapat pendelegasian Utama

Bupati Dalam skema PS (selain Hutan Adat), hanya mendapat tembusan.

Pendukung

DPRD Prov / Kab / Kota

Mengesahkan Perda (dalam skema Hutan Adat)

Utama

Kepala Dinas Prov

Menjalankan verifikasi dan penyiapan konsep izin

Pendukung

UPTD Prov Menjalankan verifikasi Pendukung KPH Mendapat tembusan Pendukung Pokja PPS Membantu pemohon dalam

menyiapan syarat-syarat permohonan

pendukung

Perubahan status peran dari dari pendukung menjadi peran utama, dapat dilakukan jika

ada pelimpahan kewenangan baik berdasar asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas

pembantuan. Misalnya KPH menjadi memiliki peran utama, Pokja PPS dibentuk di Kabupaten

sebagai tim percepatan PS melalui SK Bupati.

Page 96: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

88

Page 97: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

89

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, tanpa tahun. http://digilib.unila.ac.id/8518/11/BAB%20I.pdf

Anonim, tanpa tahun. http://www.forda-mof.org/files/Social%20Forestry.pdf

Anonim, 2017. Mempercepat Reforma Agraria Dalam Rangka Kebijakan Pemerataan Ekonomi.

Kantor Staf Presiden. Bahan Presentasi, Tidak di publikasikan. Jakarta

Anonim, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Kantor Staf Presiden.

Jakarta

Awang, Sanafri. 2002. Perkembangan Kehutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.

Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Metodologi

Partisipasi dalam PSDABM, Ciwidey, Bandung. FKKM, CIFOR dan WN.

Awang, Sanafri, 2005. Negara, Masyarakat Dan Deforestasi (Konstruksi Sosial Atas Pengetahuan

Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah). Disertasi. Gadjah Mada

University. Yogyakarta.

Carig E.T. 2012. Benefits and Constraints of Community-Based Forest Management in the

Philippines. International Journal of Humanities and Applied Sciences 1 (2): 73-77.

Djadjapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan and Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor: IPB

Press.

Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A. 2011. Enabling Diverse Governance Structures for

Community Forest Management.

Hadjon, P.M., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Harsono, B., 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi

dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan pada masa Orde Baru dan

Reformasi. Yayasan Obor. Jakarta

Hakim, Ismatul dkk, 2010. Social Forestry, Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan

Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,

Kementerian Kehutanan. Bogor

Holleman, J.F. (ed.), 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Selections from Het Adatrecht van

Nederlandsch-Indië Vol. I and Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff.

Page 98: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

90

Malik, Arizona, Y., dan Muhajir, M., 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai

Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.

Nguyen T.Q. and Sikor T. 2011. Forest Land Allocation: An Overview of Policy Framework and

Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights in Vietnam: Addressing

Issues in Community Forest Management. RECOFTC – The Center for People and

Forests, Bangkok, Thailand.

Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java.

Berkeley: University of California Press.

Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th. 2007. Three decades of community-based forest

management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and equitable forest

management. International Forestry Review 9(4): 865–883.

Pulhin J.M. and Inoue M. 2008. Dynamics of Devolution Process in the Management of the

Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): 1–26.

Rofi’i Ikhwanun, 2015. https://www.kompasiana.com/ikhwan.parkonar/hutan-indonesia-bagian-1-

lahirnya-sebuah-kebijakan-phbm_54f432087455137f2b6c88cf

RECOFTC. 2014. Community forestry adaptation roadmap to 2020 for Vietnam. RECOFTC The

Center for People and Forests. Bangkok, Thailand.

Safitri, M.A. dan Uliyah, L. 2014. Adat di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan Penyusunan Produk

Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta:

Epistema Institute.

Santoso, Hery, dkk, 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Proses Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat. Partnership Policy Paper. Kemitraan. Jakarta

Simon, Hasanu. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Manageemnt): Teori

dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Siscawati, Mia dan Muayat Ali Muhshi. 2008. Perjalanan Konsep, Kebijakan dan Praktek

Kehutanan Masyarakat di Indonesia. FKKM. Tidak dipublikasikan.

Soepardi, R. 1974. Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Zaman Vols 1-3. Jakarta: Perum

Perhutani.

Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta:

Kanisius.

Suh J. 2012. The Past and Future of Community-Based Forest Management in the Philippines.

Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints 60 (4): 489–511.

Page 99: Naskah Akademik - bijak-indonesia.org€¦ · Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)

91

Suraya, Affif. 2017. Percepatan, Penguatan dan Pengembangan Perhutanan Sosial di Masa Depan.

Power Point Presentasi dalam Panel 1 Percepatan Perhutanan Sosial. Tunure

Conference 2017.Jakarta.

Tangketasik, Jansen. 2010. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130313-D%2000628-

Antara%20negara-Pendahuluan.pdfTaqwaddin, 2012. Sejarah Ringkas Pengaturan

Kehutanan Indonesia.

http://kph.menlhk.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=985:sejar

ahringkaskehutananindonesia-olehtaqwaddinhusein&Itemid=199

Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia.

https://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-

indonesia/

Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial

di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Yogyakarta.

Wibowo, A. dkk., 2015. Kertas Kebijakan Perkumpulan HuMa. “Penetapan Hutan Adat menuju

Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Jakarta: HuMa.