NANOPARTIKEL
Transcript of NANOPARTIKEL
TUGAS INDIVIDU
SISTEM PENGHANTARAN OBAT
SISTEM PENGHANTARAN OBAT NANOPARTIKEL
Disusun Oleh :
SEPTARIA
(1001090) /Kelas B
Dosen Pembimbing :
WIRA NOVIANA SUHERY, M.Farm.Apt.
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PROGRAM STUDI S1
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sistem Penghantaran Obat
Nanopartikel”, tak lupa pula salawat beriring salam saya haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan
pengetahuan dan teknologi seperti yang kita rasakan ini.
Makalah ini saya buat dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi kewajiban pada mata
kuliah Sistem Penghantaran Obat. Saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini kedepannya
sangat saya harapkan. Akan tetapi saya berharap makalah yang saya buat ini juga dapat
memberikan tambahan informasi dan pengetahuan bagi pembacanya.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Pekanbaru, Desember 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Teknologi penghantaran obat secara terkendali menggambarkan salah satu ilmu, yang
melibatkan pendekatan multidisiplin sains, dan berkontribusi pada peningkatan kesehatan manusia.
Konsep targeting obat dan penghantaran obat secara terkendali telah digunakan untuk memperbaiki
index terapeutik obat dengan meningkatkan lokalisasinya terhadap organ yang spesifik, sel-sel
jaringan dan dengan menurunkan potensinya untuk menyebabkan toksisitas atau efek samping pada
lokasi normal yang sensitif (Dinauer et al., 2005). Pada terapi kanker, agen kemoterapi memiliki efek
toksik terhadap sel tumor sebagaimana pada sel normail lainnya; penghantaran obat yang terkendali
pada lokasi penyakit memungkinkan dilakukannya penambahan dosis untuk meningkatkan efiaksi
terapeutiknya (Brigger et al., 2002).
Penghantaran obat terkendali melibatkan gabungan antara obat dengan sistem pembawa yang
akan mempengaruhi karakteristik farmakokinetik dan biodistribusinya obat tersebut. Pembawa lain
yang berukuran nano, seperti nanopartikel (Leroux et al., 1995; Couvreur and Vauthier, 1991), misel
polimerik (Kataoka et al., 1993), liposom (Bochot et al., 2002), nanopartikel dengan modifikasi
permukaan (Arujo et al., 1999) dan nanopartikel lipid padat ( Muller et al., 2002), telang
dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun liposom telah telah digunakan sebagai
pembawa dengan segala kelebihannya termasuk dalam melindungi obat dari degradasi, targeting ke
loka aksi dan mereduksi toksisitas/efek samping (Jahanshahi et al., 2007a), aplikasinya terbatas
sehubungan dengan adanya permasalahan tertentu seperti efisiensi enkapsulasi, kebocoran untuk obat
larut air dalam komponen darah dan stabilitas penyimpanan yang buruk. Di sisi lain, nanopartikel
memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan dengan liposom, seperti stabilitasnya yang lebih baik
dalam penyimpanan, stabilitas in vivo setelah pemberian dan kemudahannya dalam merubah skala
produksi selama pembuatan (Kreuter, 1995). Singkatnya, nanopartikel membantu meningkatkan
stabilitas obat/protein dan dapat dimanfaatkan sifat pelepasan terkendalinya.
Oleh karena itu, teknologi nanopartikel yang telah digunakan dewasa ini, menjanjikan adanya
peningkatan efikasi obat (Kreuter, 2001; Vijayanathan et al., 2002). Nanopartikel pertama kali
dikembangkan sekitar tahun 1970. Pada awalnya berupa partikel koloid berukuran sub-mikron (<
1mm) (Kreuter, 1991a), yang digunakan sebagai pembawa untuk vaksin dan obat antikanker
(Couvreur et al., 1982).
Nanpopartikel tersebut terdiri dari bahan makromolekular yang pada prinsipnya mengalami
pelarutan, penjerapan, atau enkapsulasi, ataupun yang pada prinsipnya mengalami absorbs atau
perlekatan (Kreuter, 1983). Distribusi pembawa tersebut dapat dikendalikan melalui pengaturan
ukuran dan sifat permukaannya (Stayton et al., 2000). Sistem partikulat pembawa obat dikarakterisasi
dengan mempertimbangkan banyaknya obat yang terjerap, sehingga efek pelepasan obat secara
terkendali sama baiknya dengan efek perlindungan obat dari degradasi (Li et al., 1997).
Tujuan utama dalam mendisain nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat adalah untuk
mengontrol ukuran partikel, sifat permukaan (Jahanshahi et al. 2005) dan pelepasan zat aktif untuk
memperoleh aksi spesifik obat secara farmakologis pada dosis regimennya (Soppimath et al., 2001).
Keuntungan dalam menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat meliputi (Mohanraj
dan Chen, 2006):
1. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dimanipulasi dengan mudah
untuk memperoleh targeting obat baik aktif maupun pasif setelah pemberian parenteral.
2. Nanopartikel mengontrol dan melepaskan obat secara perlahan-lahan selama distribusi dan
memodifikasi distribusi obat pada organ loka aksi,dan memperlambat klirens obat sehingga
terapi obat dan meminimalkan efek samping.
3. Pelepasan terkendali dan karakteristik degradasi partikel dapat dimodulasi dengan pemilihan
matrix konstituen. Loading obat relatif tinggi dan obat dapat dijerapkan ke dalam sistem tanpa
reaksi kimia; hal ini merupakan faktor penting untuk menjaga aktivitas obat.
4. Targeting pada lokasi spesifik dapat diperoleh dengan melekatkan ligand pada permukaan
partikel atau dengan menggunakan magnetic guidance.
5. Sistem dapat digunakan pada berbagai rute pemberian termasuk oral, nasal, parenteral, intra
okular, dll.
BAB II
ISI
Nano partikel adalah partikel padat koloidal dengan rentang ukuran dari 10 nm
sampai 1000 nm (1 μm). Terdiri dari bahan makromolekul dimana bahan aktif (obat atau
bahan aktif secara biologi) terlarut, dijerat, atau di enkapsulasi, dan di absorbsi (attached)
Berdasarkan sifat fisik, nanopartikel dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
solid nanoparticles (polymeric np, solid lipid np (SLN), nanosuspension, dll) ;
semisolid nanoparticles (liposom, neosome) ;
liquid nanoparticles (microemulsion, nanoemulsion, dll).
1. Solid nanoparticles
Nanopartikel Lemak Padat
Nanopartikel lemak padat merupakan koloid pembawa berukuran submikron (50- 1000 nm).
Nanopartikel lemak padat terdiri dari inti hidrofobik yang memiliki lapisan tunggal
fosfolipid. Inti padat mengandung obat yang terlarut atau terdispersi dalam matriks lemak
padat bertitik leleh tinggi. Rantai hidrofobik dari fosfolipid melekat pada matriks lemak.
Penambahan zat pengemulsi dilakukan untuk menjaga kestabilan fisik dari sistem, misalnya
poloxamer 188, polisorbat 80, lesitin, poligliserol, etilglukosa distearat dan sebagainya.
Dalam keadaan padat, komponen lemak dari nanopartikel lemak padat terdegradasi lebih
lambat sebagaimana mobilitas obat pada lemak padat juga lebih rendah jika dibandingkan
dengan mobilitas obat pada lemak cair, sehingga pelepasan obat dapat dikontrol dan tahan
lama.
Nanopartikel lemak padat menawarkan kemungkinan enkapsulasi protein dengan
solubilitas rendah, penyasaran obat dan pengaya vaksin yang efektif untuk memberikan
respon kekebalan maksimum dengan mengopt imalkan si fat -si fat permukaan.
Keuntungan dari sistem nanopartikel lemak padat yang sudah ada antara lain :
Dapat terurai secara alamiah dan memiliki toleransi yang baik
Mudah diproduksi secara massal
Meningkatkan stabilitas obat
Menurunkan biotoksisitas dari pembawa
Bebas dari pelarut organik
Mudah digabungkan dalam obatobatanlipofil maupun hidrofil (Rawat, 2008)
SLN merupakan sistem pembawa berbasis nanoteknologi yang relatif baru
dikembangkan belakangan ini untuk formulasi senyawa aktif termasuk obat yang mempunyai
masalah baik dalam hal kelarutan dan stabilitas. Komponen utama SLN adalah lipid atau
senyawa golongan lipid yang aman secara biologi (biodegradable and biocompatible),
membentuk matrik inti lipid yang distabilisasi oleh suatu surfaktan atau emulgator.
Dibandingkan dengan sistem pembawa berbasis nanoteknologi lain seperti liposom,
mikroemulsi, dan nanopartikel polimeri.
Proses penggabungan obat kedalam nanopartikel lemak padat (Murthy, 2006)
Suspensi minyak merupakan dispersi peptida dan protein dalam minyak untuk pelepasan
protein secara berkelanjutan dengan waktu paroh singkat. Sistem ini menunjukkan viskositas
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan fasa larutan air. Viskositas dari sistem suspensi
minyak ini akan meningkat dengan penambahan zat pembentuk gel seperti aluminium
monostearat yang akan mempengaruhi parameter proses seperti kelarutan obat dan laju
transfer obat atau koefisien distribusi dari senyawasenyawa dalam medium minyak dan
jaringan sekitarnya (Rawat, , 2008). Lilin dan lemak merupakan bahan baku yang ideal untuk
pembuatan mplan karena keduanya menunjukan kompresibilitas.
2. Semisolid nanoparticles
Liposom
Liposom merupakan mono ataupun multilamellar lapis dua, yang terbentuk melalui dispersi
fosolipid dalam air. Liposom dapat meng-enkapsulasi senyawa hidrofilik pada inti
aqueousnya (Nielloud, 2003).
Preparasi Liposom
3. Liquid nanoparticles
Mikroemulsi
Miroemulsi merupakan larutan cair berfasa tunggal, isotropis optis, transparan dan kekentalan
rendah. Mikroemulsi merupakan sistem bi-kontinyu yang secara termodinamika stabil, terdiri
dari air, minyak, surfaktan dan kosurfaktan. Mikroemulsi menunjukkan kapasitas melarutkan
yang lebih besar baik pada obat-obatan hidrofilik dan lipofilik, daripada larutan misellar.
Penggunaan mikroemulsi biasanya untuk aplikasi dermal dan peroral, karena konsentrasi
surfaktan yang tinggi (Hommos,2008).
Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai bahan seperti protein, polisakarida dan
polimer sintetik. Pemilihan bahan matrix bergantung pada faktor-faktor (Kreuter, 1994):
a) ukuran partikel yang dipersyaratkan;
b) sifat inheren obat, kelarutan dan stabilitas;
c) karakteristik permukaan seperti muatan dan permeabilitas;
d) derajat biodegradabilitas, biokompatibilitas dan toksisitas;
e) profil pelepasan obat yang diinginkan; dan
f) antigenisitas produk akhir.
1. NANOPARTIKEL PROTEIN
Keuntungan dalam sistem penghantaran obat koloidal ini adalah kemungkinan drug targeting melalui
modifikasi distribusi obat dan peningkatan pengambilan sel terhadap jumlah obat (Schafer et al.,
1992). Sebagai hasilnya, efek samping toksik dari obat bebas dapat dihindari, contohnya pada
methotrexate (Narayani dan Rao, 1993).
Sistem koloidal tersebut diantaranya berbasis protein. Protein merupakan kelas molekul alami yang
mempunyai fungsionalitas unik dan aplikasi yang berpotensi dalam sistem biologis (Jahanshahi 2004;
Jahanshahi et al., 2004). Nanomaterial yang diperoleh dari protein (nanopartikel protein) bersifat
biodegradable, non-antigenic, dapat dimetabolisme dan dapat dengan mudah mengalami modifikasi
permukaan dan berikatan kovalen antara obat dan ligan. Karena struktur primer dari protein,
nanopartikel berbasis protein memungkinkan adanya modifikasi permukaan dan ikatan kovalen obat
(Weber et al., 2000).
Nanopartikel protein dapat digunakan untuk penghantaran obat yang ditujukan ke paru-paru atau
dapat diinkorporasikan dalam biodegradable polymer microsphere/nanosphere untuk depot pelepasan
terkendali atau per oral. Saat ini, penelitian difokuskan pada pembuatan nanopartikel menggunakan
protein seperti albumin, gelatin, gliadin dan legumin.
Gelatin
Gelatin adalah salah satu bahan protein yang dapat digunakan dalam pembuatan nanopartikel. Gelatin
diperoleh dari hidrolisis fibrosa, protein yang tidak larut, kolagen, yang secara luas ditemukan sebagai
komponen utama dalam kulit, tulang dan jaringan ikat (Coester et al., 2006). Pada masa
nanofarmasetika, gelatin sudah dipertimbangkan sebagai bahan dasar bersifat biodegradable pada
perkembangan partikel (Marty et al., 1978). Hal ini dikarenakan bahwa gelatin bersifat
biodegradable, non-toksik, dapat mudah berikatan silang dan dimodifikasi secara kimia. Oleh karena
itu, gelatin mempunyai potensi sangat besar untuk digunakan dalam pembuatan sistem penyampaian
obat koloidal seperti mikrosfer dan nanopartikel (Jahanshahi et al., 2008 b,c; Babaei et al., 2008).
Keuntungan lainnya yaitu tidak mahal, dapat disterilisasi, biasanya tidak terkontaminasi dengan
pirogen dan relatif mempunyai antigenisitas rendah (Schwick dan Heide, 1969). Sayangnya, formulasi
yang mengandung gelatin pada lapisan terluar (kapsul gelatin keras dan lunak) cenderung berikatan
silang secara inter dan intramolekular seiring dengan perubahan waktu, suhu dan kelembaban. Karena
kecenderungan ini, penggunaan gelatin pada formulasi farmasetika menjadi dipertanyakan (Saxena et
al., 2005). Namun, bahan ini tetap digunakan secara luas tanpa adanya pertimbangan
menggantikannya dengan bahan lain (Zwiorek et al., 2004). Penambahan crosslinker seperti
glutaraldehid, menghasilkan gelatin yang lebih stabil dan waktu sirkulasinya meningkat secara in vivo
dibandingkan dengan yang tidak termodifikasi (Jameela dan Jayakrishnan, 1995; Jahanshahi et al.,
2008b), dan pelepasan adalah fungsi dari ikatan silang dari nanopartikel ini. Perubahan struktur ini
meningkatkan kinerja, sifat, dan karakteristik gelatin seperti sifat ketidaklarutan pada suhu tinggi,
pengurangan swelling dalam air dan permeabilitas yang kurang pada membran sel (Levy et al., 1982).
Dua jenis gelatin, A dan B dengan titik isoelektrik yang berbeda, dibentuk baik dari hidrolisis
asam ataupun basa (Sawicka, 1990). Gelatin tipe A diperoleh dari kolagen yang diproses secara asam,
sementara tipe B diperoleh dari kolagen yang diperoleh secara basa, yang menghasilkan perbedaan
titik isoelektrik, yaitu 7-9 untuk gelatin tipe A dan 4-5 untuk gelatin tipe B.
Karakteristik dari gelatin adalah kandungan tinggi asam amino glisin dan prolin (terutama
sebagai hidroksipropilin) dan alanin. Molekul gelatin mengandung sekuens berulang dari triplet asam
amino glisin, prolin, dan alanin, yang berperan dalam pembentukan struktur gelatin tripel heliks
(Azarmi et al., 2006). Struktur primer gelatin memberikan banyak kemungkinan untuk modifikasi
kimia dan pengikatan kovalen terhadap obat. Hal ini dapat dilakukan baik dalam matriks partikel atau
hanya pada permukaan partikel (Jahanshahi et al., 2008c). Pada kasus pertama, modifikasi kimia
dilakukan pada makromolekul gelatin sebelum nanopartikel dibentuk, sementara pada kasus lain
modifikasi dilakukan pada permukaan partikelnya (Webber et al., 2005). Sifat ini yang kemudian
dikombinasikan dengan potensi tinggi sistem pembawa berukuran nano, membuat nanopartikel
berbasis gelatin menjadi sistem penghantaran obat yang menjanjikan.
Albumin
Albumin adalah pembawa molekular yang atraktif dan secara luas digunakan untuk pembuatan
nanosfer dan nanokapsul. Hal ini dikarenakan ketersediaannya dalam bentuk murni, sifat
biodegradabilitas, nontoksisitas dan nonimunogenesitasnya (Kratz et al., 1997). Baik Bovine Serum
Albumin (BSA) dan Human Serum Albumin (HSA) telah digunakan. Sebagai protein plasma yang
utama, albumin mempunyai perbedaan dibandingkan bahan lain pada pembuatan nanopartikel.
Dengan kata lain, nanopartikel albumin biodegradable, mudah disiapkan dalam bentuk tertentu, dan
dapat membawa kelompok senyawa reaktif (tiol, amin, dan karboksilat) pada permukaannya yang
dapat digunakan untuk ikatan ligan dan/atau modifikasi permukaan lain. Nanopartikel albumin
memberikan keuntungan yaitu ligan dapat dengan mudah membentuk ikatan kovalen. Obat yang
terjerap dalam nanopartikel albumin dapat dicerna oleh protease dan drug loading dapat dihitung.
Sejumlah studi telah menunjukkan albumin terakumulasi pada tumor (Takakura et al., 1990) yang
membuatnya menjadi pembawa makromolekular yang potensial untuk obat antitumor.
Gliadin dan Legumin
Penggunaan nanopartikel bisa digunakan untuk tujuan bioadhesi karena bentuk sediaan farmasi ini
mempunyai permukaan spesifik yang luas yang dapat berpotensi tinggi berinteraksi dengan
permukaan biologis. Untuk aplikasi biologis, partikel vegetal diperoleh dari protein (Ezpeleta et al.,
1996), seperti gliadin yang diekstraksi dari gluten yang berasal dari gandum dan vicillin atau legumin
yang diekstraksi dari pea seeds (Pisum sativum L).
Gliadin menjadi polimer yang sesuai untuk pembuatan nanopartikel mukoadhesive yang diharapkan
melekat pada lapisan mukus. Gliadin digunakan sebagai bahan nanopartikel. Hal ini dikarenakan
biodegradabilitas, biokompatibilitas dan sifat alaminya. Hidrofobisitas dan kelarutannya menjadi
dasar rancangan nanopartikel yang mampu melindungi loaded drug dan mengontrol
pelepasannya(Ezpeleta et al., 1999). Nanopartikel gliadin (GNP) telah menunjukkan tropisme untuk
daerah saluran cerna bagian atas, dan keberadaannya dalam bagian lain saluran cerna sangat rendah
(Arangoa et al., 2001). Kapasitasnya yang tinggi untuk berinteraksi dengan mukosa dapat dijelaskan
dari komposisi gliadin. Pada kenyataannya, protein ini kaya akan residu netral dan lipofilik. Asam
amino netral dapat menyebabkan interaksi ikatan hidrogen dengan mukosa sementara komponen
lipofiliknya berinteraksi dengan jaringan biologis. Gliadin mempunyai sebuah amin dan disulfida
pada rantai samping, sehingga memungkinkan berikatan dengan mucin gel.
Legumin juga merupakan protein yang berasal dari pea seeds (Pisum Sativum L). Legumin
merupakan kandungan kaya albumin yang berfungsi sebagai sumber sulfur. Molekul dari protein ini
mempunyai kemampuan berikatan membentuk nanopartikel setelah agregasi dan berikatan silang
dengan glutaraldehid (Mirshahi et al., 2002).
METODE PEMBUATAN
Banyak makromolekul yang tersedia dapat digunakan dalam pembuatan nanopartikel, seperti
albumin, gelatin, legumin, vicillin dan polisakarida seperti alginate dan agarose. Senyawa tersebut
memiliki fungsi yang dan digunakan secara luas dalam pembuatan biomaterial bersifat biodegradable
dan biocompatible. Di antara senyawa makromolekul yang telah disebutkan, albumin dan gelatin
merupakan senyawa yang telah umum digunakan. Tabel 1 menunjukkan metode utama pembuatan
nanopartikel dari senyawa alamiahnya.
Tabel 1. Metode utama pembuatan nanopartikel dari makromolekul (Jahanshahi, 2007).
Makromolekul Prinsip Produksi
Albumin Emulsi a/m
Pemisahan fase dalam medium air, dengan penambahan agen desolvasi
Dengan memodifikasi pH
Gelatin Emulsi a/m
Pemisahan fase dalam medium air, dengan penambahan agen desolvasi
Dengan memodifikasi suhu
Vicillin,
legumin
Pemisahan fase dalam medium air, dengan memodifikasi pH
Terdapat dua metode dasar pembuatan nanopartikel:
1. Metode Emulsifikasi
Pada awalnya, metode ini disusun oleh Scheffel dan rekan-rekannya (1972) dalam
pembuatan globul albumin nanopartikel dan kemudian dioptimasi oleh Gao dan rekan-
rekannya (1995).
Pada proses ini, larutan aqueous dari albumin dibuat menjadi bentuk emulsi dengan
minyak nabati (cotton seed oil) pada suhu kamar. Kemudian dengan menggunakan
homogenizer pada kecepatan tinggi, akan diperoleh emulsi yang homogen. Banyak partikel
yang dapat terdispersi melalui metode ini. Emulsi yang diperoleh kemudian ditambahkan ke
dalam pre-heated oil (lebih dari 120 oC) setetes demi setetes. Proses ini akan menguapkan air
dengan cepat dan destruksi albumin secara ireversibel. Proses ini juga akan menghasilkan
pembentukan nanopartikel. Tahap tersebut dijelaskan dalam Gambar 1. Kemudian suspensi
yang diperoleh diletakkan dalam penangas es.
Gambar 1. Pembuatan albumin nanopartikel dengan metode emulsifikasi (Jahanshahi, 2007)
2. Metode Desolvasi
Kerugian metode emulsi dalam pembuatan partikel adalah karena dibutuhkannya
penggunaan pelarut organik , baik untuk mengangkat residu berminyak selama proses
pembuatan maupun untuk menstabilkan emulsi (sebagai surfaktan). Oleh karena itu, sebagai
metode alternatif dalam pembuatan nanopartikel protein, dikembangkanlah metode desolvasi
yang merupakan kelanjutan dari metode koaservasi pada mikroenkapsulasi. Pada metode ini,
partikel di dalam cairan aqueous akan dibentuk melalui proses koaservasi dan selanjutnya
distabilkan dengan cross linking agent seperti glutaraldehid.
Sebuah metode baru dikembangkan oleh Marty dan rekan-rekannya (1978). Dasar
metode ini adalah penggunaan faktor desolvasi seperti garam atau alkohol yang ditambahkan
secara perlahan-lahan pada larutan protein. Dengan penambahan faktor tersebut, struktur
tersier protein akan berubah. Apabila telah tercapai tingkat desolvasi tertentu, akan terbentuk
gumpalan protein. Pada tahap selanjutnya akan terbentuk nanopartikel melalui proses
polimerisasi sambungsilang (cross lingkage) dengan faktor glutaraldehid (Coester et al.,
2000). Agar tidak diperoleh nanopartikel dalam bentuk massa, sistem harus dihentikan
sebelum partikel mulai terakumulasi. Turbiditas sistem akan meningkat sesuai dengan faktor
desolvasi tesebut. Akumulasi partikel akan terbentuk dengan sendrinya dengan adanya
peningkatan turbiditas sistem. Untuk mengatasi permasalahan akumulasi dan menghasilkan
nanodispersi yang ideal, dapat digunakan agen resolvasi. Gambar 2 menunjukkan pembuatan
albumin nanopartikel dengan menggunakan agen desolvasi.
Gambar 2. Pembuatan albumin nanopartikel dengan agen desolvasi
KARAKTERISASI NANOPARTIKEL PROTEIN
Ukuran Partikel
Telah diketahui bahwasanya ukuran partikel dan distribusi ukuran merupakan
karakteristik sistem nanopatrikel yang paling utama (Jahanshahi et al., 2007). Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa nanopartikel dengan ukuran sub-mikron memberikan
lebih banyak keuntungan daripada mikropartikel pada delivery system (Panyam and
Labhasetwar, 2003). Pada umumnya, nanopartikel mengalami uptake intraseluler yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan mikropartikel dan memiliki rentang availabilitas yang lebih
besar dalam target biologis sehubungan dengan ukurannya yang kecil dan relatif lebih mudah
terdistribusi. Sebagai contoh, sebuah penelitian mengenai distribusi obat dalam tubuh
menunjukkan bahwa nanopartikel yang lebih besar dari 230 nm akan terakumulasi dalam
limpa sehubungan dengan ukuran kapiler organ tersebut (Kreuter, 1991b). Pada penelitian in
vitro lainnya mengindikasikan bahwa ukuran partikel juga berpengaruh pada uptake
(ambilan) seluler nanopartikel tersebut (Desai et al., 1997; Zauner et al., 2001). Dilaporkan
juga bahwasanya nanopartikel dapat melintasi sawar-darah-otak melalui tight junction
menggunakan hiperosmotik manitol, yang dapat menciptakan efek lepas lambat senyawa
terapeutik yang digunakan untuk terapi penyakit yang sulit diobati seperti tumor otak.
Nanopartikel yang tersalut tween 80 dapat menembus sawar-darah-otak (Kreuter et al., 2003).
Pada beberapa membran sel, hanya partikel berukuran sub-mikron yang dapat mengalami
ambilan secara efisien.
Pelepasan obat dipengaruhi pula oleh ukuran partikel. Partikel yang lebih kecil
memiliki luas permukaan total yang lebih besar. Oleh karena itu, sebagian besar obat akan
berada pada sekitar permukaan partikel yang menyebabkan pelepasan obat yang lebih cepat.
Sementara itu, partikel yang lebih besar memiliki inti yang luas sehingga menyebabkan obat
ter-enkapsulasi dan dilepaskan secara perlahan-lahan (Redhead et al., 2001). Akan tetapi,
partikel yang lebih kecil juga memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami agregasi
selama penyimpanan dan transportasi dispersi nanopartikel. Oleh karena itu, merupakan suatu
tantangan tersendiri untuk memformulasikan nanopartikel dengan ukuran partikel sekecil
mungkin namun dengan stabilitas maksimum (Babaei et al., 2008). Degradasi polimer juga
dapat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Singkatnya, secara in vitro, laju degradasi polimer
PLGA akan meningkat seiring dengan peningkatan ukuran partikel (dunne et al., 2000).
Saat ini, metode tercepat dan yang paling umum digunakan untuk menentukan ukuran
partikel adalah dengan photon-correlation spectroscopy (PCS) dan dynamic ligt scattering
(DLS). PCS merupakan metode terpilih pada industri dalam menganalisis partikel berukuran
sub-mikron. Sampel yang dianalisis dalam alat PCS harus merupakan partikel yang
terdispersi dengan baik dalam medium cair. Pada kondisi tersebut, partikel akan mengalami
gerak acak yang konstan, yang dikenal sebagai gerak Brown dan PCS akan mengukur
kecepatan dengan melewatkan suatu laser. PCS akan menentukan ukuran partikel rata-rata
dan Polydispersity Index (PI) yang merupakan rentang pengukuran partikel. Dengan
pengukuran yang akurat partikel harus berukuran di bawah 0,7 (70%) (Jahanshahi et al.,
2008a).
Dynamic light scattering (DLS) merupakan teknik yang telah lebih lama digunakan
untuk menentukan ukuran partikel dari beberapa nanometer sampai beberapa mikron. Konsep
yang digunakan adalah bahwa partikel kecil dalam suspennsi begerak dalam pola acak.
Pengamatan partikel yang lebih besar kemudian dibandingkan dengan partikel yang lebih
kecil dan akan menunjukkan bahwa partikel yang lebih besar bergerak lebih lambat
dibandingkan dengan yang lebih kecil dalam suhu pengamatan yang sama.
Morfologi Partikel
Manipulasi karakteristik fisikokimia bahan berukuran nano telah merevolusi aplikasi
di bidang elektronik, diagnostik dan terapeutik. Sehubungan dengan penggunaan nanopartikel
dalam skala besar, maka sangatlah penting untuk menentukan apakah terdapat sifat toksik
bahan nanopartikel dibandingkan dengan bentuk bulk-nya. Perlu juga dilakukan interpretasi
hasil pada kultur sel dan hewan percobaan bahwa nanomaterial terkarakterisasi secara
sistematis dan dibuat hubungan antara respon toksik yang teramati dengan karakteristik
fisikokima bahan. Morfologi nanopartikel dapat diuji dengan dua teknik yaitu atomic force
microscopy (AFM) dan scanning electron microscopy (SEM) (Rahimnejad et al., 2006a;
Rahimnejad et al., 2006). Baik AFM maupun SEM merupakan scanning probe microscope
yang beresolusi tinggi, dengan menghasilkan resolusi fraksi nanopatikel hingga 1000 kali
lebih baik dibandingkan difraksi optik yang terbatas.
SEM merupakan suatu jenis mikrospkop elektron yang mencitrakan permukaan
sampel dengan men-scan-nya menggunakan sinar elektron berenergi tinggi dengan pola scan
raster. SEM dilengkapi dengan resolusi nanometer yang dipersyaratkan untuk pengukuran
rentang partikel sub-mikron dan tidak dapat digunakan untuk menentukan morfologi partikel.
Interaksi elektron dengan atom menjadikan partikel menghasilkan sinyal yang mengandung
infromasi mengenai topografi permukaan sampel, komposisi dan karakteristik lain seperti
konduktivitas elektrik.
Muatan Permukaan
Ketika nanopartikel diberikan secara intravena, partikel tersebut akan dengan mudah
dikenali oleh sistem imun tubuh dan kemudian dibersihkan dari sirkulasi oleh fagosit (Muller
and Wallis, 1993). Selain ukuran nanopartikel, hidrofobisitas permukaan juga akan
menentukan jumlah komponen darah yang terabsorbsi, terutama protein (opsonin).
Beberapa teknik telah dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari modifikasi
permukaan naopartikel. Efisiensi modifikasi permukaan dapat diukur baik dengan
memperkirakan muatan permukaan, kerapatan (densitas) gugus fungsional, maupun dengan
peningkatan hidrofilisitas. Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur modifikasi
permukaan adalah dengan menentukan zeta potensial susensi aqueous yang mengandung
nanopartikel. Hasilnya akan merefleksikan potensial elektrik partikel dan dipengaruhi oleh
komposisi partikel dan medium pendispersinya. Interaksi antar partikel memainkan peranan
penting terhadap kestabilan koloid. Alasan utama dilakukannya pengukuran zeta potensial
adalah untuk memprediksi stabilitas koloidal yang merupakan cara untuk mengukur interaksi
tersebut. Zeta potensial merupakan ukuran repulsive force di antara partikel. Dan karena
kebanyakan sistem koloid aqueous distabilkan oleh gaya repulsi elektrostatik, maka semakin
besar repulsive force antar partikel kecenderungan untuk saling mendekat dan membentuk
agregat akan semakin kecil. Nanopartikel dengan zeta potensial di atas ± 30 mV lebih stabil
dalam suspensi, karena muatan pada permukaan nanopatrikel mencegah terjadinya agregasi
antar partikel. Zeta potensial juga dapat digunakan untuk menentukan muatan zat aktif yang
dienkapsulasi baik yang berada di tengah nanokapsul maupun yang terabsorbsi pada
permukaan (Mohanraj and Chen, 2006).
DRUG LOADING DAN PELEPASAN OBAT
Drug Loading
Obat berikatan dengan nanopartikel baik melalui:
a. polimerisasi dengan adanya obat- pada kebanyakan kasus dalam bentuk terlarut
(metode inkorporasi), atau
b. dengan mengadsorbsi obat setelah pembentukan nanopartikel dengan cara
menginkubasinya dalam larutan obat.
Tergantung pada afinitas obat dengan polimer, obat akan teradsorbsi pada bagian
permukaan, terdispersi pada matriks polimer partikel dalam pembentukan larutan padat
(Harmin et al., 1986), atau dispersi padat, atau pada beberapa kasus, obat akan terikat secara
kovalen pada polimer. Oleh karena itu, jumlah obat yang besar dapat dijerap melalui metode
inkorporasi dibandingkan dengan cara adsorpsi (Breitenbach et al., 1999). Makromolekul
atau protein menunjukkan efisiensi loading yang paling baik pada atau dekat titik isoelektrik
yang kelarutannya rendah dan adsorpsinya maksimal. Drug loading dari nanopartikel secara
umum ditentukan sebagai jumlah obat terikat per massa polimer (biasanya dalam mol obat
per mg polimer atau mg obat per mg polimer), dapat juga berupa persentase basis
berdasarkan polimer.
Determinasi dari penjerapan obat
Ikatan obat dengan nanopartikel protein diukur dengan sentrifugasi suspensi partikel.Untuk
determinasi penjerapan obat, sejumlah obat yang berada dalam supernatant jernih setelah
dilakukan sentrifugasi, kemudian ditentukan (w) dengan spektrofotometri UV,
spektrofotometer fluoresens atau dengan metode HPLC tervalidasi. Kurva kalibrasi standard
dari berbagai konsentrasi versus serapan diplot untuk perhitungan. Jumlah obat dalam
supernatant kemudian dikurangi dengan total jumlah obat yang ditambahkan pada formulasi
(W). Secara efektif, (W-w) akan memberikan jumlah obat yang terjerap dalam pellet.
Persentase penjerapan dapat dilihat dari persamaan berikut:
Penjerapan obat (%) = (W-w) x 100 W
Pada akhirnya, efisiensi enkapsulasi mengacu pada rasio jumlah obat
terenkapsulasi/terabsorbsi dengan total (teoritis) jumlah obat yang digunakan, dengan
mempertimbangkan sistem penghantaran obat dari dispersi nanopartikel.
Pelepasan Obat
Profil pelepasan obat dari nanopartikel tergantung dari sistem pembawanya. Pada nanosfer,
obat secara seragam didistribusikan/ dilarutkan dalam matriks. Jika difusi obat berlangsung
lebih cepat dibandingkan degadasi matriks, mekanisme pelepasan obat utamanya terjadi
melalui difusi. Namun jika tidak bergantung pada difusi, maka pelepasan obat bergantung
pada degradasi matriks.
Banyak mekanisme teoritis yang dapat dipertimbangkan untuk pelepasan obat dari
nanopartikel protein:
a. pelepasan disebabkan karena erosi polimer atau degradasi,
b. self-diffusion melalui pori-pori,
c. pelepasan obat melalui permukaan polimer,
d. pembawa diinisiasi melalui aplikasi oscillating magnetic atau sonic field (Couvreur
dan Puisieux, 1993).
Dalam banyak kasus, beberapa dari proses ini dapat terjadi, jadi perbedaan antar
mekanisme ini tidak terlalu penting. Ketika pelepasan obat terjadi karena proses self-
diffusional, drug loading minimum penting sebelum pelepasan obat dapat diamati. Hal ini
dapat dijelaskan karena proses melibatkan difusi melalui aqueous channel dibentuk dari
pemisahan fase dan berdasarkan disolusi obat itu sendiri. Mekanisme ini jarang terjadi pada
drug loaded nanoparticles karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, efisiensi
enkapsulasi dari obat terlalu rendah. Sehingga, pelepasan dari permukaan dan erosi atau
degradasi bulk polimer biasanya menjadi proses yang sangat penting yang mempengaruhi
pelepasan obat dari nanopartikel.
Metode untuk penjumlahan pelepasan obat secara in vitro yaitu:
a. difusi sel dengan membran buatan atau biologis;
b. teknik dialisis ekuilibrium;
c. teknik reverse dialysis sac;
d. ultrasentrifugasi;
e. ultrafiltrasi; atau
f. teknik ultrafiltrasi sentrifugasi (Soppimath et al., 2001).
APLIKASI POTENSIAL DARI PENGHANTARAN OBAT NANOPARTIKEL
PROTEIN
Aplikasi yang menjanjikan dari nanopartikel protein yaitu sebagai pembawa sediaan
parenteral dari berbagai obat. Nanopartikel protein telah menunjukkan kemungkinan
transport dari sejumlah obat melewati sawar darah otak yang normalnya tidak dapat dilalui
setelah injeksi IV. Nanopartikel protein mengikat obat meliputi peptida, seperti hexapeptide
endorphin dalargin dan dipeptide kyotorphin, dan obat-obat lain seperti loperamide,
tubokurarin, doxorubicin. Sejumlah ahli telah menunjukkan kecenderungan yang dapat
dijadikan pertimbangan terhadap akumulasi nanopartikel protein pada tumor tertentu.
Ikatannya dengan berbagai macam obat sitostatik seperti 5-fluorourasil, paclitaxel (Lu et al.,
2004) dan doxorubicin (Morimoto et al., 1981; Leo et al., 1997) terhadap nanopartikel
albumin atau gelatin secara signifikan dapat meningkatkan efektivitas melawan tumor
eksperimental atau tumor manusia yang ditransplantasikan pada tikus, daripada dalam bentuk
bebasnya. Selain itu juga, toksisitas dari doxorubicin berkurang ketika penyampaian obatnya
dilakukan melalui nanopartikel. Inkorporasi partikel magnetik dalam nanopartikel merupakan
cara meningkatkan efektivitas ikatan nanopartikel dan obat antitumor. Pengurangan total
tumor sarcoma Yoshida pada ekor mencit diperoleh dari pemberian dosis tunggal
doxorubicin yang berikatan dengan nanopartikel albumin magnetik yang ditargetkan pada
tumor (Widder et al., 1983).
Antibiotik adalah contoh obat lain yang menunjukkan peningkatan efektivitas atau
penurunan toksisitas setelah berikatan dengan nanopartikel protein. Amoksisilin dan ikatan
amoksisilin-nanopartikel gliadin (AGNP), keduanya menunjukkan anti-Helicobacter pylori,
namun dosis AGNP yang dibutuhkan untuk eradikasi lengkap jauh lebih sedikit dibanding
amoksisilin. AGNP mengeliminasi H. pylori dari saluran cerna lebih efektif dibandingkan
amoksisilin karena perpanjangan waktu tinggal pada saluran cerna yang disebabkan
kemampuan mukoadhesif dari AGNP. Bentuk sediaan antibiotik dengan teknologi
nanopartikel mukoadhesif dapat digunakan untuk eradikasi H. pylori (Umamaheswari et al.,
2004). Wilayah terapetik lainnya untuk nanopartikel protein adalah penggunaannya terhadap
pembawa obat mata. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, nanopartikel menunjukkan
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan obat tetes mata. Ikatan pilokarpin pada
nanopartikel gelatin memperpanjang reduksi tekanan intraokular pada kelinci dengan
glaucoma eksperimental dibandingkan dengan larutan tetes mata pilokarpin. Karena
nanopartikel protein juga melekat pada jaringan okular yang mengalami inflamasi lebih
tinggi 4 kali dibandingkan pada jaringan sehat, maka partikel ini dapat dimanfaatkan melalui
ikatannya dengan obat antiinflamasi untuk mengobati peradangan pada mata (Das et al.,
2005).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Nanopartikel protein menjanjikan sebagai sistem penghantaran obat untuk sediaan parenteral,
per oral dan ocular dan sebagai adjuvant pada vaksin. Karena stabilitasnya yang tinggi dan
pembuatannya yang mudah, nanopartikel menawarkan keuntungan dibandingkan pembawa
koloidal lainnya seperti liposom dan cell ghosts. Sifat fisikokimia obat memainkan peran
penting pada pemilihan bahan nanopartikel yang akan digunakan. Hal lain dibutuhkan untuk
mengubah konsep teknologi nanopartikel menjadi aplikasi praktis yang dapat diterapkan
sehingga berfungsi sebagai sistem pembawa generasi baru. Aplikasi dari sistem penghantaran
obat dalam Nanobioteknologi akan berkontribusi pada manufaktur biofarmasetika.
(a) tipe monolitik (b) tipe kapsul
METODE PREPARASI A. Polimerisasi emulsi Cara polimerisasi emulsi ini merupakan cara paling banyak digunakan untuk menghasilkan nano partikel Terminologi “polimerisasi emulsi” ini tidak selalu tepat/benar, karena kadang-kadang proses berlangsung tanpa zat pengemulsiTerminologi ini digunakan karena monomer di emulsifikasikan dalam suatu non solven dengan bantuan pengemulsifikasi. Sesudah polimerisasi akan diperoleh suspensi polimer halus
Awalnya diduga bahwa partikel polimer ini dihasilkan melalui polimerisasi dari tetesan emulsi monomer. Belakangan diketahui bahwa partikel polimer yang dihasilkan lebih halus dari tetesan emulsi awal
B. Polimerisasi pada/dalam fasa kontinu air C. Polimerisasi emulsi pada/dalam fasa kontinu organic D. Polimerisasi antarmuka E. Deposisi pelarut F. Evaporasi pelarut G. Preparasi nano partikel poliakrilat dengan desolvasi dari larutan organic polimer H. Produksi nanopartikel albumin dalam emulsi minyak I. Produksi nanopartikel gelatin dalam emulsi minyak J. Nano partikel dihasilkan melalui desolvasi makro molekul K. Nano partikel karbohidrat.
Teknologi partikel nano merupakan sistem penghantaran obat koloidal dengan rentang ukuran partikel 10 nm sampai 1000 nm (1 μm) telah mulai dirintis dan dikembangkan sejak 40 tahun lalu oleh Speiser dan kawan-kawan.
Efikasi banyak obat sering dibatasi oleh potensialnya mencapai lokasi kerja terapeutik. Dalam sebagian besar kasus, hanya sejumlah kecil dari obat yang diberikan mampu mencapai lokasi kerja, sebagian besar akan didistribusikan keseluruh tubuh tergantung dari sifat fisiko kimia dan biokimia obat.
Sebaliknya sistem penghantaran obat yang bersifat spesifik lokasi, tidak hanya akan meningkatkan jumlah obat yang mencapai lokasi kerja akan tetapi juga akan menurunkan jumlah obat yang terdistribusi ke bagian lain tubuh, yang berarti juga akan mengurangi efek samping yang tidak diinginkan.
Obat yang bekerja pada lokasi spesifik atau sistem penghantaran bersasaran (targeted) dapat menurunkan dosis obat yang diberikan. Dengan penurunan efek samping, hal ini juga akan meningkatkan indek terapi obat.
Nanopartikel merupakan “material makromolekular”, dapat digunakan sebagai bahan pembantu dalam vaksin atau pembawa obat; pada mana bahan aktif (obat atas bahan biologi aktif) terlarut, dijerat, atau dienkapsulasi, atau bahan aktif di adsorbsi atau melekat.
Ukuran partikel yang kecil ini (1 μm) menyebabkan nanopartikel dapat diberikan secara intravena. Diameter kapiler darah terkecil berukuran 4 μm, sehingga nanopartikel dapat melewati semua kapiler. Hal ini juga dibutuhkan pada pemberian obat secara intra maskular atau subkutan, karena ukuran partikel halus ini akan mengurangi iritasi pada lokasi penyuntikan.
Aplikasi nanopartikel meliputi, obat sitostatik, antiinfeksi, peptida dan lain sebagainya; yang dapat diberikan secara oral, oftalmik, disasarkan pada daerah inflamasi dalam tubuh disamping pemberian berbagai bentuk injeksi
http://pharmaedu.wordpress.com/2009/10/24/nano-partikel/
Nanopartikel Lipid Padat Sebagai Sistem Pembawa Senyawa Aktif yang Handal
http://pharmaedu.wordpress.com/2009/10/24/nanopartikel-lipid-padat-sebagai-sistem-pembawa-senyawa-aktif-yang-handal/
sist penghataran nanopartikel
Sistem Penghantaran Obat Nanopartikel
I. DEFINISI
Nanopartikel adalah partikel koloid dengan ukuran lebih kecil dari 1 mm (10 nm -1000 nm). Senyawa aktif tersebut dapat di hadapkan dalam bermacam-macam keadaan keadaan fisik.
Dapat dilarutkan dalam matrik polimer, dapat dienkapsulasi, atau dapat diabsorbsi atau dilekatkan pada permukaan permbawa koloid.
Ada dua definisi dalam persyaratan ikatan obat. Nanocapsule mempunyai struktur kulit-inti (sebuah system penyimpanan), sementara Nanosphere mewakili sebuah matrix-system.
Sebagian besar didesain untuk pembawa parenteral.
Macam-macam tipe nanopartikel:
a. Nanocapsuleb. Nanospherec. Coated nanosphere
Manfaat:
Memungkinkan pengendalian pelepasan obat dan targetting obat. Meningkatkan stabilitas obat. Kemungkinan untuk memasukkan obat lipofilik dan hidrofilik. Pembawa tidak biotoksis. Menghindarkan pelarut organic. Tidak bermasalah mengenai produksi dan sterilisasi skala besar.
II. PREPARASI/PEMBUATAN
Teknik yang digunakan untuk pembuatan nanopartikel pada umumnya diklasifikasikan dalam dua grup.
Didalam grup pertama nanopartikel dibentuk dari pembentukan polimer awal. Polimer tersebut melingkupi kedua polimer sintetik tidak larut-air dan larut-air, semisintetik, atau alami.
Alternative lainnya, nanopartikel dibuat melalui bermacam-macam reaksi polimerisasi monomer lipofilik atau hidrofilik.
Group I
High Shear Homogenization and Ultrasound.-> untuk memproduksi nanodispersi lipid padat.
High Pressure Homogenization (HPH)-> untuk produksi nanoemulsi pada nutrisi parenteral.
Hot Homogenization-> untuk menurunkan ukuran partikel dan meningkatkan laju degradasi obat dan pembawa.
Cold Homogenization->untuk mengatasi masalah hot homogenization yaitu:
(1)temperature menginduksi degradasi obat.
(2)distribusi obat ke dalam fase air selama homogenisasi.
(3)Komplesksitas dari tahapan kristalisasi dari nanoemulsi membawa beberapa modifikasi dan supercooled melts.
Emulsifikasi/evaporasi pelarut.->lipid padat dilarutkan dalam sebuah pelarut organic water-immiscible (contoh sikloheksan/kloroform) yangdiemulsifikasi dalam fase cair.
Metode Salting-Out->larutan tersaturasi elektrolit mengandung hidrokoloid (polivinil alcohol) ditambahkan pada larutan aseton dari polimer ke bentuk emulsi O/W.
->sejumlah air atau larutan PEG secukupnya ditambahkan untuk membiarkan difusi sempurna dari aseton kedalam fase ammmmmir, kemudian menginduksikan penyusunan dari nanosphere.
Metode Emulsi-Difusi->cairan gel dari hidrokoloid (gelatin) ditambahkan pada larutan polimer yang dilarutkan dalam benzyl alcohol ke bentuk emulsi W/O.
->sejumlah besar air kemudian ditambahkan ke emulsi dalam perintah untuk membiarkan difusi sempurna dari pelarut organic kedalam air, membawa presipitasidari polimer sebagai nanosfer.
Metode Presipitasi/pengendapan->polimer dilarutkan dalam pelarut water-miscible (aseton) dan dicampur ke nonpelarut (air yg mengandung surfaktan) yang membawa pengendapan dari nanosphere.
Injeksi Pelarut->nanopartikel hanya diproduksi dengan pelarut yang diditribusi dengan cepat ke dalam fase cair (contoh: etanol, aseton, DMSO) sementara partikel besar diporel dengan lebih banyak pelarut lipofilik.
->terbatas untuk lipid yang dilarutkan dalam pelarut organic polar. Manfaat metode ini adalah menghindari kenaikan suhu dan tekanan tinggi.
Grup II
Mekanisme Polimerisasi Emulsi:
Monomer diemulsifikasi dalam sebuah immiscible fase eksternal yang mengadung surfaktan. Diatas konsentrasi kritis misel, bentuk misel mampu melarutkan molekul monomer. Surfaktan juga diadsorpsi pada monomer droplet emulsi dan membuat stabil emulsi serta
polimer nanopartikel. Reaksi polimerisasi dapat diinisiasi/dimulai dengan misel atau fase kontinu. Setelah mencapai berat molekul kritis, molekul menjadi tidak larut, dan terjadi pemisahan
fase dan penyusunan nanopartikel. Sebuah nanopartikel mengandung sejumlah besar molekul polimer individu.
III. PURIFICATION/PEMURNIAN
Berdasarkan pada metode preparasi, kemungkinan banyaknya racun dan preparasi tambahan yang tidak diinginkan dapat di beri suspense mentah, yang mencakup pelarut organic, surfaktan, penstabil, elektrolit dan agregat polimer.
Jadi langkah pemurnian diperlukan untuk memisahkan komponen-komponen tersebut dari nanopartikel.
Permurnian dapat juga memisahkan obat bebas dari ikatan obat pada partikel.
Macam-macam Pemurnian:
1. Ultrasentrifugasi -> pembuangan supernatant dan suspense kembali partikel di dalam air. Untuk membuangan preparasi tambahan.
2. Ultrafiltrasi sentrifugal ->ultrafiltrasi membrane untuk memisahkan nanopartikel dari medium disperse.
3. Cross-flow filtration ->Cairan dimurnikan secara langsung secara tangensial pada permukaan membrane untuk mencegah penymbatan saringan, dan nanosphere dipertahankan di dalam suspense dengan penambahan air dari tampungan pada laju yang sama sebagai laju filtrasi.
4. Permeasi gel -> penggunaan material berbentuk gel untuk memisahkan obat bebas dari ikatan partikel obat.
5. Dialisis -> suspense nanopartikulat didialisis bersama dengan larutan poloxamer melalui membrane selopase.
IV. KARAKTERISASI
Formulasi nanopartikel -> Karakterisasi Fisikokimia –> Interaksi dengan protein darah –> Pengambilan kembali oleh sel secara invitro -> Evaluasi secara in vivo.
Parameter Karakterisasi Fisikokimia:
Ukuran partikel, Morfologi, Karateristik permukaan, Ikatan obat, Pelepasan obat, Keadaan fisik obat dan polimer, Berat molekuler.
V. APLIKASI
Solubilitas (sumbu x) dan Permeabilitas (sumbu y):
1. Kelas I -> High, High2. Kelas II -> Low, High3. Kelas III -> High, Low4. Kelas IV -> Low, Low
METODE PENINGKATAN KELARUTAN
1. Kompleksasi 2. Kosolven3. Pharmaceutical Salts4. Micellization5. Pengurangan ukuran partikel6. Dispersi padat -> disperse satu atau lebih bahan aktif dalam sabuah eksipien inert atau matrik,
dimana bahan aktif dapat berada dalam kristal secara halus, terlarut, atau keadaan amorf. 7. Prodrugs
Perbedaan Dispersi padat dan physical mixture:
- Physical mixture -> campuran sederhana dua komponen yang diperoleh dengan teknik pencampuran tradisional.
- Dispersi padat -> Campuran fisik, salah satu bagian atau seluruhnya, yang mengalami pencampuran tingkat molekuler selama penyusunan.
- Pengadukan molekuler menghasilkan peningkatan luas permukaan obat dan sebagai akibat peningkatan laju disolusi.
Tahapan inti yang diikutsertakan dalam penyusunan disperse padat:
1. Mengubah bentuk obat dan polimer dari keadaan padat ke cairan atau keadaan seperti cairan melalui proses seperti melting (pencairan), pelarutan dalam pelarut atau kosolven.
2. Mencampur komponen dalam keadaan cair.3. Mengubah bentuk campuran cairan kedalam fase adat melalui proses seperti pengentalan,
eliminasi pelarut.
Manfaat Pra Formulasi dalam pengembangan obat baru:
Untuk memperoleh informasi yang berguna dengan berbagai investigasi suatu bahan obat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk membuat formulasi sediaan secara fisikokimia stabil dan secara biofarmasi sesuai dengan tujuan dan bentuk sediaan.
METODE PEMBUATAN nanopartikel protein:
Metode Emulsifikasi
Larutan aqueous dari albumin dibuat menjadi bentuk emulsi dengan minyak nabati (cotton seed oil) pada suhu kamar.
Kemudian dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan tinggi, akan diperoleh emulsi yang homogen.
Emulsi yang diperoleh kemudian ditambahkan ke dalam pre-heated oil (lebih dari 120 oC) setetes demi setetes hingga terbentuk nanopartikel.
Kemudian suspensi yang diperoleh diletakkan dalam penangas es.
Metode Desolvasi
Faktor desolvasi seperti garam atau alkohol yang ditambahkan secara perlahan-lahan pada larutan protein.
Akumulasi partikel protein akan terbentuk dengan sendirinya dengan adanya peningkatan turbiditas sistem.
Tahap selanjutnya akan terbentuk nanopartikel melalui proses polimerisasi sambungsilang (cross lingkage) dengan faktor glutaraldehid.
http://ifhaa-jasmin.blogspot.com/2012/05/sist-penghataran-nanopartikel.html