Nabi Musa as Dan Nabi Khidir As
-
Upload
muhammad-achyar-axyour -
Category
Documents
-
view
29 -
download
6
Transcript of Nabi Musa as Dan Nabi Khidir As
NABI MUSA AS DAN NABI KHIDIR AS
A. KISAH
Allah Swt. tidak menurunkan al-Quran kecuali agar ia menjadi petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa serta obat penyakit hati mereka. Dalam upaya
mencapai petunjuk tersebut, ada beberapa cara yang ditempuh oleh al-Quran. Ada
kalanya melalui hukum, melalui akhlak, melalui keajaiban dan bahkan ada
kalanya melalui cerita.
Harus kita yakini bersama, bahwa kisah yang dituangkan dalam al-Quran
bukanlah kisah biasa. Ia adalah kisah terbaik yang di dalamnya mengandung
pelajaran, bagi orang-orang yang berfikir dan mempergunakan hatinya untuk
mencapai hidayah Allah. Salah satu kisah yang terdapat dalam al-Quran adalah
kisah “pertemuan antara nabi Musa As dengan Nabi Khidir As”.
Kisah ini berawal ketika Nabi Musa As. berkhutbah di atas mimbar
mengajarkan berbagai ilmu kepada Bani Israil dimana mereka sangat kagum
dengan keluasan ilmunya. Saat itu ada yang bertanya kepadanya: “Wahai Nabi
Allah, adakah di dunia ini seseorang yang lebih berilmu daripada engkau?” Nabi
Musa menjawab: “Tidak.”
Sebenarnya jawaban ini tidak salah, karena ia didasari pengetahuan yang
ada pada beliau, sekaligus sebagai dorongan agar mereka semakin senang
menimba ilmu darinya. Akan tetapi Allah segera menegur beliau dan
mengabarkannya bahwa masih ada seorang hamba-Nya yang ilmunya lebih
banyak dari nabi Musa As. Ia tinggal di daerah pertemuan dua laut.
Mari kita simak cerita tersebut secara rinci sebagaimana dituturkan oleh al-
Quran surat Al-Kahfi(18) ayat: 60-82.
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya): “Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut
itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:
“Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena
perjalanan kita ini.”
Muridnya menjawab: “Tahukah anda tatkala kita mencari tempat berlindung
di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan
itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu.”
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.”
Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang
yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.”
Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu
Khidhir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah
berbuat kesalahan yang besar.”
Dia (Khidhir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.
Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu
bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain Sesungguhnya
kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”
Khidhir berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku.”
Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali)
ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya
kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.”
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk
negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding
itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”
Khidhir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya.”
Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min,
dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada
kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak
itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).”
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku
sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya.”(QS. al-Kahfi/18:60-82).
B. Pelajaran Yang dapat diambil dari Kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir
As.
Dari kisah di atas, sangat banyak pelajaran yang bisa dipetik dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Adapun dibawah ini akan penulis rincikan beberapa
pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut, yang di dalamnya meliputi :
tuntunan, anjuran, dorongan semangat, motifasi, ancaman, larangan, dll.
1. Meskipun berpredikat sebagai Nabi dan Rasul yang telah diberikan mukjizat,
juga Kitab Taurat namun tidak menutup diri untuk tetap mencari ilmu
pengetahuan
2. Pengetahuan Allah swt sangat luas dan tidak terbatas
3. Manusia tidak boleh tertipu atau tergesa-gesa dalam melakukan tanggapan
atau reaksi, sebaliknya ia harus mengembalikan pengetahuannya kepada Allah
swt dengan mengatakan “Allah Maha tau”
4. Kita harus menghormati guru atau pengajar dan mau menempuh berbagai
kesulitan dalam menuntut ilmu
5. Kita harus bersabar dalam menuntut ilmu, sehingga kita bisa meraih apa yang
kita harapkan
6. Tidak boleh tergesa-gesa atau terburu-buru dalam mengambil keputusan
7. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam dalam mengerjakan sesuatu
8. Menilai sesutu harus dilihat dari sudut/kaca mata yang banyak, tidak hanya
dari satu sisi saja
9. Sikap Musa yang kritis melihat kondisi sosial perlu untuk dicontoh
10. Pelajaran untuk mengikuti instruksi guru atau orang yang lebih paham
11. Sepintar apapun orang, tetap memiliki kekurangan
12. Tidak boleh sombong dengan kedudukan/ilmu yg dimilik, seperti halnya Musa
ketika ditanya oleh Bani Israil apakah ada yg alim lagi selain Nabi Musa
namun Musa menjawab tidak ada
13. Banyak musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang
besar
14. Nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana
terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di
balik itu terdapat keburukan.
15. Tidak selamyanya guru yang tidak mengesankan itu tidak baik dan sedikit
ilmunya
16. Mempelajari ilmuyang baik adalah dekat bersama guru.
17. Tida selamanya perkara lahir dapat menafsirkan perkara batin
18. Nabi Khidir a.s dikenal diseluruh wilayah Islam. Beliau merupakan
personifikasi sebuah fungsi intelek metafisis, “ruh (semangat) kenabian”,
sebuah proyeksi kepada pusat wujud
19. Mempertanyakan hal-hal yang di luar rasio/akal manusia adalah benar.
20. Ini merupakan kisah kasuistik
21. Penegakkan hukum berlaku secara lahiriah. Hal ini terlihat dalam tindakan
nabi Musa As. yang memprotes Nabi Khidir, karena dalam pandnagan Nabi
Musa, bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan.
22. Ayat yang bebunyi: “Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai seorang
yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun.”
Mengajarkan kepada kita agar selalu berhati-hati dan teliti serta tidak terburu-
buru menghukumi suatu permasalahan sampai yang diinginkan atau yang
dimaksud benar-benar jelas. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa jika
seorang pendidik melihat adanya kebaikan dengan menerangkan kepada
muridnya agar tidak bertanya tentang suatu permasalahan hingga dia (pendidik
itu) sendiri yang menerangkan masalah itu kepadanya (maka hendaknya dia
lakukan). Dan sesungguhnya kemaslahatan itu senantiasa mengikuti.
Sebagaimana halnya bila seorang murid mempunyai pemahaman kurang
sempurna, hendaknya guru melarang muridnya memberatkan diri untuk
meneliti suatu permasalahan sedemikian rupa dan bertanya tentang persoalan
yang tidak ada kaitannya dengan topik yang diajarkan.
23. Ayat: “Dan bagaimana kamu dapat bersabar terhadap sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Mengajarkan
kepada kita, bahwa seseorang yang tidak sanggup bersabar dalam menyertai
guru atau pendidiknya, atau tidak memiliki kekuatan untuk tetap teguh dalam
menempuh jalan mencari ilmu, maka dia bukanlah termasuk orang yang
dikatakan pantas untuk menerima ilmu.
24. Ayat yang berbunyi: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” menunjukkan cara
mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau
pendidik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa dimana beliau
menggunakan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta
pendapat. Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa ilmu yang
bermanfaat adalah yang dapat membawa pemiliknya kepada kebaikan.
Sedangkan ilmu yang tidak seperti itu, boleh jadi hanya akan menimbulkan
madharat atau tidak membawa kebaikan. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat
tadi: “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu.”
25. Firman Allah yang bebrunyi: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami,”
menjelaskan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua
jenis: Pertama, ilmu yang diperoleh dengan usaha insani (kasbi) secara
bersungguh-sungguh. Kedua, ilmu yang dihasilkan secara langsung oleh Allah
tanpa proses insani terlalu panjang. Ia disebut dengan ilham/laduni atau
wahyu. Ia dianugerahkan Allah hanya kepada orang-orang saleh
yangdikehendaki-Nya.
26. Kata-kata nabi Musa As: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai
ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.”
Memiliki pelajaran: Keteguhan Nabi Musa untuk menambah ilmu demi
keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang dapat
mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa
orang yang ingfin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan
mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi
Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan
merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar
nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat
mencari tambahan ilmu.
27. Kisah itu hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yahudi bahwa seorang
Musa yang mereka banggakan itu ternyata tidak lebih berilmu dari seorang
hamba Allah lainnya.
28. Kisah Musa dengan orang yang disebut-sebut kemudian sebagai nabi Khidhir
oleh para mufassir itu tentu tidak mengajarkan bolehnya seseorang membunuh
bayi, dengan alasan dia punya ilmu ghaib atau ilmu terawang. Sebab hamba
Allah SWT yang seperti itu tidak ada di tengah umat Muhammad SAW.
Demikian juga kisah itu tidak mengajarkan kita menerima konsep adalah
dengan sosok immortal yang tidak mati-mati, sebagaimana kepercayaan
sebagian kalangan.