NA-ruu-kesos-20080109

84
Teks 9 Januari 2008 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL RI

Transcript of NA-ruu-kesos-20080109

Page 1: NA-ruu-kesos-20080109

Teks 9 Januari 2008

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPARTEMEN SOSIAL RI

Page 2: NA-ruu-kesos-20080109

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di Indonesia, pembangunan ekonomi seringkali mengalami distorsi yang cukup serius, sehingga pertumbuhan yang dicapai tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas dan merata. Pembangunan yang terdistorsi telah menyebabkan timbulnya masalah sosial yang demikian serius, seperti kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial ekonomi, kriminalitas, disharmoni keluarga, tindak kekerasan, ketidakadilan terhadap perempuan, perlakuan salah terhadap anak, penelantaran orang lanjut usia, perdagangan manusia dan seterusnya. Masalah-masalah sosial tersebut telah melahirkan dehumanisasi dan melemahkan nilai-nilai serta hubungan antar manusia. Lebih lanjut, semua masalah sosial tersebut menjadi hambatan utama bagi pembangunan manusia Indonesia yang dicita-citakan dan diamanatkan oleh undang-undang. Perubahan tatanan dunia dan perkembangan komitmen global dalam berbagai konvensi internasional memberi pesan yang sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi sangat perlu bagi peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Namun, pembangunan ekonomi hendaknya dilakukan secara berkeadilan. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan dapat dicapai dan dirasakan secara merata dan berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat dan segenap anak bangsa. Oleh karena itu, visi pembangunan nasional dewasa ini semakin dituntut untuk untuk menempatkan manusia sebagai pusat perhatian. Pembangunan ekonomi harus dilaksanakan sejalan dengan pembangunan kesejahteraan sosial. Sehingga pertumbuhan ekonomi dapat menyumbang langsung terhadap peningkatan kualitas hidup manusia; dan sebaliknya, pembangunan manusia dapat mendorong laju pembangunan ekonomi. Pembangunan nasional yang terpadu ini dijalankan tanpa memarjinalkan penduduk miskin, rentan dan telantar. Melainkan mampu meningkatkan keterpaduan sosial dan ekonomi yang didasari oleh prinsip hak asasi manusia dan perlindungan sosial terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Undang–undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kesejahteraan Sosial selama ini telah menjadi landasan yuridis formal dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dalam era otonomi daerah dan memperhatikan perkembangan masalah sosial serta perkembangan komitmen global, keberadaan undang-undang tersebut dipandang sudah kurang sesuai dengan keadaan dan arah kecenderungan perubahan sosial. UU tersebut dirasa tidak lagi memadai untuk menjawab permasalahan sosial yang ada saat ini maupun di masa depan. Selain itu, UU tersebut juga semakin kurang sejalan dengan produk hukum lainnya yang sesuai dengan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 3: NA-ruu-kesos-20080109

2

perkembangan paradigma pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan adanya Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang secara jelas merinci kewajiban negara (state obligation) dan tanggung jawab sosial masyarakat (social responsibility) dalam pembangunan kesejahteraan sosial. UU ini akan dapat memberikan kepastian hukum dalam menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial, termasuk di dalamnya penyelenggaraan perlindungan sosial dan pelayanan sosial bagi warga negara yang mengalami masalah sosial.

B. TUJUAN Pembuatan Naskah Akademik (NA) ini ditujukan untuk memberikan justifikasi logis bagi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang dilandasi oleh argumen dan landasan berpikir baik yang bersifat kontekstual-konseptual, maupun yuridis-formal. C. METODA PENDEKATAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah pendekatan sosio yuridis, dengan melakukan pengkajian teoritis dan empiris, dengar pendapat, konsultasi publik dan observasi lapangan yang berkaitan dengan masalah dan kebutuhan pelayanan kesejahteraan sosial.

Langkah-langkah strategis yang dilakukan meliputi:

1. Menganalisa dan mengkaji sistem dan mekanisme pembangunan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh daerah;

2. Analisis sandingan dari berbagai peraturan perundang-undangan (tinjauan legislasi) yang berkaitan dengan pembangunan kesejahteraan sosial;

3. Analisis informasi dan aspirasi yang berkembang dari berbagai instansi/lembaga terkait dan tokoh-tokoh masyarakat (tinjauan tehnis), yang meliputi Pemerintah Daerah dan instansi/dinas terkait, Lembaga Legislatif (Komisi E DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota), sejumlah LSM, Orsos, tokoh-tokoh masyarakat dan para penerima pelayanan kesejahteraan sosial

4. Melakukan tinjauan akademis melalui diskusi dengan anggota Tim, Tim Pakar dan melaksanakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan masukan.

5. Merumuskan dan menyusun dalam bentuk deskriptif analisis serta menuangkannya dalam Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial.

6. Melakukan sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perlunya pengaturan mengenai usaha Kesejahteraan Sosial bagi masyarakat.

7. Melakukan pembahasan interdepartemen untuk menyempurnakan isi RUU sesuai dengan tugas dan wewenang lintas sektor.

8. Melakukan wokshop nasional dengan berbagai elemen masyarakat sebagai bagian dari fasilitasi partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademis dan RUU Kesejahteraan Sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 4: NA-ruu-kesos-20080109

3

9. Mengajukan NA dan RUU Kesejahteraan Sosial agar menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional di DPR.

10. Mengajukan kepada DPR agar menjadi inisiatif DPR dan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan bersama pemerintah.

D. PENGORGANISASIAN PENYUSUNAN

Penyusunan Naskah Akademis dan RUU Kesejahteraan Sosial dilaksanakan oleh :

1. Tim adhoc yang terdiri dari unsur Biro Kepegawaian dan Hukum, pegawai direktorat atau biro lain yang terkait di lingkungan Departemen Sosial RI.

2. Nara sumber yang berasal dari Departemen Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial dan perguruan tinggi lainnya

3. Forum Komunikasi Staf Ahli Menteri sebagai Nara Sumber 4. Pembahas dari berbagai Direktorat Jenderal dan Badan Pelatihan dan

Pengembangan Sosial di lingkungan Departemen Sosial 5. Pembahas dari beberapa instansi terkait seperti Departemen Kehakiman dan HAM,

BPHN, Depnakertrans, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan kementrian lainnya yang terkait

6. Pembahas pakar dari perguruan tinggi dan asosiasi profesi. 7. Pembahas dari LSM/ Orsos 8. Pembahas dari Lembaga-lembaga perwakilan PBB dan NGO’s International

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 5: NA-ruu-kesos-20080109

4

BAB II

ANALISIS SITUASI DAN LANDASAN KONSEPTUAL-YURIDIS FORMAL

A. SITUASI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat intemasional (Suharto, 2006b). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhankebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Definisi ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat. Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society untuk menanggulangi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia melalui pendekatan pekerjaan sosial. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk manifestasinya. Dalam konteks pembangunan daerah, maka pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan untuk menanggulangi masalah sosial sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi dan budaya lokal. Dalam hal ini telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 yang mengamanatkan bahwa kewajiban pemerintah daerah di bidang kesejahteraan sosial adalah penanggulangan masalah sosial. Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah para penyandang masalah sosial, yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan kesejahteraan sosial. Orang miskin, anak-anak telantar, anak jalanan, anak atau wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lanjut usia telantar, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja sektor informal, pekerja industri yang tidak mendapatkan jaminan sosial, adalah beberapa contoh penyandang masalah sosial. Situasi pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia dapat dilihat dari diterapkannya berbagai kebijakan dan program peningkatan kualtas hidup dan aksesibilitas Penyandang

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 6: NA-ruu-kesos-20080109

5

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui pemberian pelayanan sosial dasar baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat sangat miskin (fakir miskin dan komunitas adat terpencil), anak telantar, penyandang cacat, korban bencana (pengungsi), dan kelompok rentan lainnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin diwujudkan dengan peningkatan penyediaan sarana prasarana pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan sosial, pemberdayaan sosial ekonomi, pemberian jaminan sosial dan peningkatan kualitas manajemen kelembagaan sosial masyarakat. Secara umum pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial telah dapat menangani berbagai masalah kemiskinan dan permasalahan kesejahteraan sosial dengan hasil yang dapat dicapai selama tahun 2005 dan 2006 sebanyak 762.985 keluarga miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (fakir miskin, keluarga rawan sosial ekonomi, komunitas adat terpencil, dan keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni). Selain itu telah dapat diakses sebanyak 372.563 jiwa PMKS (anak telantar termasuk anak jalanan, korban napza, tuna sosial, penyandang cacat ganda, lanjut usia telantar, korban bencana alam/sosial).

Jumlah sasaran yang diberikan pelayanan kesejahteraan sosial mengalami peningkatan. Keluarga fakir miskin yang dibantu usahanya tahun 2005 sebanyak 175.000 KK meningkat menjadi 200.000 KK pada tahun 2006. Adapun Komunitas Adat Terpencil yang diberikan bantuan sosial tahun 2005 sebanyak 12.743 KK meningkat menjadi 13.327 KK pada tahun 2006. Anak telantar yang diberikan pelayanan kesejahteraan sosial baik melalui panti sosial maupun pelayanan berbasis keluarga dan komunitas tahun 2005 sebanyak 64.894 anak meningkat menjadi 65.394 anak tahun 2006. Lanjut usia telantar yang diberikan pelayanan kesejahteraan sosial melalui panti sosial tahun 2005 sebanyak 15.920 orang meningkat menjadi 15.930 orang pada tahun 2006. penyandang cacat telantar yang diberikan pelayanan rehabilitasi sosial tahun 2005 sebanyak 6.065 orang meningkat menjadi sebanyak 28.670 orang pada tahun 2006.

Program bantuan sosial, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS lainnya telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian kelompok fakir miskin, KAT dan PMKS lainnya yang mendapatkan bantuan sarana ekonomi, modal usaha, pelatihan keterampilan dan pendampingan sosial, serta pelayanan konseling keluarga. Hal ini nampak dari adanya perubahan sikap dan perilaku mereka dalam meningkatkan produktivitas usaha ekonomis, mengatasi masalah sosial psikologis, memajukan pendidikan dasar anak-anaknya, menata rumah yang sehat lingkungan dan memelihara kesehatan dan gizi keluarga dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan diwilayahnya.

Pada saat diputuskan kebijakan Pengurangan Subsidi BBM, untuk melindungi masyarakat miskin agar tidak terkena dampak negatif, maka pemerintah melaksanakan program Subsidi Langsung Tunai kepada 19,1 Juta RTM dengan total nilai bantuan tunai sebesar Rp. 23 Trilyun. Dampak yang dapat dipantau adalah dapat dipertahankan daya beli masyarakat

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 7: NA-ruu-kesos-20080109

6

miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, pemerintah akhirnya berhasil memiliki data tentang Rumah Tangga Miskin by name by adress termasuk karakteristik sosial ekonomi RTM sebagai dasar perencanaan penanggulangan kemiskinan.

Upaya pemberdayaan keluarga sangat miskin tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun didorong peran aktif masyarakat melalui pelibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM), atau relawan sosial sebanyak 17.896 orang, fasilitasi kegiatan bagi 4.077 Orsos/ LSM, pemberdayaan 5.786 Karang Taruna dan 564 Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat, pengembangan 96 unit LKM BMT KUBE Sejahtera, serta kerjasama dengan 234 perusahaan swasta dan BUMN dalam kerangka tanggungjawab sosial dunia usaha (corporate sosial responsibility) dalam penanggulangan kemiskinan.

Selain itu, bagi masyarakat yang rentan miskin seperti pekerja mandiri dan sektor informal diikutsertakan dalam Program Jaminan Kesejahteraan Ssoial melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial bagi 35.600 orang dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP) bagi 2.640 orang yang dikelola oleh 3.760 orsos. Bagi penyandang cacat ganda dan lanjut usia telantar yang hidupnya sangat tergantung pada orang lain diberikan jaminan kesejahteraan sosial bagi 3.750 orang penyandang cacat ganda dan sebanyak 2.500 orang lanjut usia telantar.

Dalam hal penanggulangan bencana alam alam yang terjadi pada berbagai wilayah, termasuk bagi korban bencana Tsunami dan Gempoa Bumi di Nangroe Aceh Daroslam dan Nias telah diberikan bantuan bahan bangunan rumah untuk rehabilitasi rumah penduduk sebanyak 26.567 KK. Sementara itu untuk penanganan pengungsi akibat konflik sosial telah diberikan bantuan tanggap darurat sebanyak 2.667.531 jiwa dan bantuan pemulangan/terminasi sebanyak 88.426 KK atau 371.535 jiwa, serta bantuan sosial bagi Pekerja Migran telantar sebanyak 8.363 jiwa.

Adapun untuk menangani warga yang mengalami masalah sosial psikologis dilakukan rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi penyandang cacat sebanyak 486.448 orang dan 12.538 anak cacat; anak nakal sebanyak 13.410 anak, pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia telantar sebanyak 75.557 orang. dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA sebanyak 12.438 orang; tuna sosial (wanita tuna susila, gelandangan, pengemis dan bekas narapidana) sebanyak 13.990 orang.

Pemerintah menyadari bahwa tantangan untuk menangani kemiskinan dan masalah-masalah sosial cenderung semakin meningkat disebabkan semakin lemahnya nilai-nilai kesetiakawanan sosial, nilai-nilai kejuangan, nasionalisme dan kearifan budaya lokal sebagai modal sosial bangsa yang paling mendasar. Untuk itu pemerintah berupaya melembagakan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial, kejuangan dan nasionalisme bangsa melalui pencanangan Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial, rehabilitasi 60 unit Taman Makam Pahlawan memberikan perhatian dan bantuan kepada 435 orang perintis kemerdekaan dan 70 keluarga pahlawan nasional, serta jaminan kesehatan bagi janda perintis kemerdekaan sebanyak 1.384 orang.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 8: NA-ruu-kesos-20080109

7

Akses masyarakat miskin, rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap pelayanan sosial dasar semakin meningkat dan telah memberikan manfaat dalam pemenuhan kebutuhan dasar serta dapat mencegah terjadinya kondisi sosial ekonomi yang lebih buruk. B. TANTANGAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial telah dilaksanakan di Indonesia, dilihat dari gelagat dan perkembangannya, pembangunan kesejahteraan sosial masih menghadapi berbagai tantangan yang terlihat dari potret di bawah ini (Suharto, 2007b). Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun sebesar US$3,609 dan tingkat melek hurup sebesar 90,4%; serta tingkat harapan hidup 67,2 tahun dari total penduduk negeri ini. Dengan utang luar negeri sebesar US$ 176,5 milyar atau US$ 821 per capita menunjukkan bahwa setiap orang punya utang sekitar Rp.8 juta. Jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2006 adalah sangat mencemaskan, yakni sekitar 39,05 juta jiwa atau sekitar 18% dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (14 juta). Meski kadang tumpang tindih, potret buram pembangunan ini akan lebih kelam lagi jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau yang oleh Depsos diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang di dalamnya berbaris jutaan gelandangan, pengemis, Wanita Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), Komunitas Adat Terpencil (KAT), anak jalanan, pekerja anak, jompo telantar dan seterusnya. Buramnya potret ini juga dipertegas oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di kawasan ASEAN. Peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2006 berada di urutan 108 dari 177 negara menunjukkan bahwa standar hidup orang Indonesia masih berada di atas Vietnam (peringkat 109), Kamboja (129), Myanmar (130), dan Laos (133). Namun, semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84) (UNDP, 2006). Rendahnya IPM ini selain memperlihatkan kegagalan pembangunan, juga mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Data tahun 2002 memperlihatkan bahwa ternyata dari 94 juta angkatan kerja, sebagian besar pendidikannya hanya tamat SD (36,2%), tidak tamat SD (17%), tidak sekolah (7,4%). Tenaga kerja yang tamat SLTP (14,9%), tamat SLTA (19,1), tamat Diploma ke atas (14,9). Selain itu, pengangguran sarjana (DIII/S1) di Indonesia juga sangat tinggi yang mencapai 600.738 jiwa pada tahun 2005 (Suharto, 2007a; 2007b). Melihat kusamnya wajah pembangunan seperti ini, pertanyaannya adalah: apakah ini berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun lalu pembangunan Indonesia tidak

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 9: NA-ruu-kesos-20080109

8

mengalami kemajuan? Jawaban yang tepat adalah: Tidak. Karena ada beberapa indikator sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang menunjukkan kemajuan. Hanya masalahnya, negara lain maju lebih cepat. Dalam satu dekade terakhir ini, liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik di Indonesia mencatat kemajuan yang mengesankan (lihat Husodo, 2006:1-2). Dalam sistem ekonomi, kini tengah terjadi pergeseran dari ekonomi serba pengaturan (overregulated) ke ekonomi pasar; sistem politik juga tengah berubah dari sentralistik ke desentralistik. Bank Indonesia yang semakin independen, perijinan usaha yang semakin transparan, penerapan sistem Bikameral, pemilihan Presiden langsung oleh rakyat, DPR/DPRD yang semakin kuat, pengelolaan pemerintahan yang semakin akuntabel, otonomi daerah yang semakin meningkat (sampai ada daerah yang memiliki sistem berbeda dari sistem nasional) adalah beberapa contoh adanya kemajuan ini. Namun demikian, di tengah capaian kemajuan yang sedang berlangsung, tingkat kemajuan negara lain ternyata lebih pesat daripada Indonesia (Husodo, 2006; Suharto, 2007b). Ekonom AS penasihat Sekjen PBB Koffi Anan, Professor Jeffry Sach memberikan perbandingan indikator ekonomi yang menarik. Pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia adalah 4 miliar dollar AS, sementara ekspor China baru mencapai 3 miliar dollar AS. Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor China telah mencapai 700 miliar dollar AS, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar 70 miliar dollar AS. World Investment Report 2006 memperlihatkan bahwa Foreign Direct Investment ke China tahun 2004 mencapai 60,6 miliar dollar AS. Sedangkan yang masuk Indonesia menunjukkan angka negatif 597 juta dollar AS. Artinya, investasi asing lebih banyak yang ditarik keluar daripada yang masuk ke Indonesia. Beberapa investor pindah ke beberapa negara yang dipandang lebih menarik. Bahkan investor Indonesia sendiri sepanjang tahun 2004 menanamkan dananya di luar negeri sebesar 107 juta dollar AS. Ketidakpastian hukum, rawannya keamanan, kebijakan fiskal yang tidak kondusif membuat Indonesia dipandang tidak menarik untuk investasi. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini. Buku Globalization and its Disontents karya pemenang Nobel Ekonomi, Joseph E. Stiglitz (2003) dan Confessions of an Economic Hit Man tulisan John Perkins (2004) sangat jelas memberi bukti tentang gagalnya pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri dan ideologi neoliberalisme. Setelah dipraktikkan selama 30 tahun lebih di Tanah Air, pendekatan ini tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini ternyata hanya efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet” (bubble gum economic) sambil

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 10: NA-ruu-kesos-20080109

9

menyuburkan konglomerasi rapuh, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), ketimpangan dan ketidakadilan sosial maha hebat yang menghasilkan sekitar 25 persen orang kaya Indonesia yang melebihi rata-rata orang kaya Malaysia, bahkan diantaranya melahirkan orang-orang kaya kaliber jetset dunia dengan kekayaan triliunan rupiah (Husodo, 2006; Suharto, 2007b). Melihat wajah Indonesia seperti digambarkan di atas, sudah semestinya jika para pemimpin, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia untuk menengok kembali dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan bernegara yang digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu sistem pembangunan kesejahteraan sosial yang berporos pada model negara kesejahteraan atau welfare state (Suharto, 2006a; Husodo, 2006). Meskipun model negara kesejahteraan lahir dalam tradisi pemikiran dan masyarakat Barat, seperti Jeremy Bentham (1748-1832), Otto von Bismarck (1850), Sir William beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963), ide dasar sistem ini sesungguhnya telah bersemi dan dikembangkan oleh para pejuang dan pendiri yang sudah sejak muda berjuang melawan penjajahan dan penderitaan bangsa Indonesia. Dalam sidang-sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mereka memilih bentuk negara kesejahteraan sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat mengenaskan (Husodo, 2006; Suharto, 2007a). Menurut Husodo (2006:3), Pembukaan UUD 1945 menunjukkan niat dan tujuan membentuk negara kesejahteraan yang berbunyi “… Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.” Juga tercermin dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 31 yang menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33 dengan tegas mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial yang bersifat nasional. Secara sosiopolitik, Indonesia sudah memiliki syarat-syarat minimal untuk membangun negara kesejahteraan. Yang masih perlu diperbaiki adalah kemauan dan komitmen politik yang lebih tegas untuk mewujudkannya; perbaikan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel (good governance); serta penetapan standar-standar kebijakan perlindungan sosial dan model kelembagaannya. Sambil terus menyusun dan mengembangkan sistem yang lebih kuat untuk menghadirkan negara kesejahteraan itu, fokus utama kita saat ini bisa diletakan pada pembangunan kesejahteraan sosial dan kebijakan perlindungan sosial yang kuat dan melembaga yang terintegrasi dengan kebijakan makro ekonomi yang berkembang, berkemerataan dan berkelanjutan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 11: NA-ruu-kesos-20080109

10

C. LANDASAN FILOSOFI Secara filosofis, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UUD 45. Didalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi bangsa, karenanya setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh keadilan sosial yang sebaik-baiknya.

Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang berkeadilan sosial maka urusan kepemerintahan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 45 dalam alinea IV Pembukaaan UUD 45 yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Agar keadilan dan kesejahteraan umum ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara Indonesia memiliki hak dan tanggung jawab sesuai kemampuannya masing-masing untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam memajukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu diperlukan adanya kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang. Gagasan tentang kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam UUD 1945 merupakan salah satu alasan paling penting bagi kelahiran sebuah negara. Negara-bangsa Indonesia didirikan dengan perjuangan para pahlawan yang sangat berat, penuh darah dan air mata. Tujuan utama pendirian negara ini adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik, lebih manusiawi dan bermartabat. Maka penciptaan kesejahteraan sosial merupakan alasan paling mendasar bagi kelahiran bangsa ini. Itulah sebabnya, gagasan kesejahteraan sosial tersebut sudah disebut pada bagian pembukaan UUD 1945. Tetapi gagasan yang tertuang dalam UUD 1945 tersebut tidak lahir di dalam konteks sendiri. Ia lahir sejalan dengan perkembangan umum masyarakat dunia, terutama para pemenang Perang Dunia II (PD II) yang mulai berefleksi tentang masalah perbenturan ideologi yang menjadi penyebab pertikaian. Beberapa negara Eropa, khususnya Inggris, dan Amerika Serikat memandang penting melakukan ”kompromi ideologis” antara “sosialis” (kiri) dan ”kapitalis” (liberal, kanan): sosial demokratik. Kompromi ideologis memperkuat model ”Welfare State” (pajak tinggi, pelayanan sosial diperbaiki, asuransi sosial dan pensiun dipenuhi, pendidikan dijamin pemerintah, layanan kesehatan tersedia). Sebelumnya sudah ada asuransi sosial (von Bismarck, 1880-an); sosial security act untuk mengurangi pengangguran (New Deal dari Roosevelt, 1935); Beveridge (the Beveridge Report tahun 1942) yang menjadi cikal-bakal ”sosial administration” yang menyediakan layanan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan mencakup seluruh masyarakat).

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 12: NA-ruu-kesos-20080109

11

Di awal tahun 1950-an PBB mensponsori penyebaran sistem kesejahteraan sosial di negara-negara baru merdeka. Model yang diperkenalkan sangat sempit, yakni yang bersifat remedial (koreksional dan rehabilitatif). Fokus: anak-anak, keluarga, remaja, lansia. Indonesia tentu saja tidak luput dari pengaruh ini. Kelahiran Departemen Sosial dan pendirian lembaga pendidikan kesejahteraan sosial pertama di Bandung (yang menjadi cikal-bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial/STKS) merupakan dampak dari program PBB di tahun 1950-an tersebut. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial di Indonesia diterjemahkan dalam kerangka pendekatan administrasi sosial (sosial administration) yang lebih diarahkan pada penyediaan layanan bagi kelompok-kelompok paling rentan di masyarakat seperti orang-orang cacat, lanjut usia, anak telantar, dan lain-lain. Tetapi di akhir tahun 1960-an PBB mulai mengoreksi kebijakannya dan mulai mensosialisasikan ide-ide pembangunan sosial yang lebih luas. UU No. 6 tahun 1974 tampaknya mencerminkan semangat gerakan kesejahteraan sosial PBB tahun 1950-an. Ia merupakan usaha mengadopsi sebagian dari konsep negara kesejahteraan yang bentuknya sudah mulai mapan di negara-negara Eropa dan Amerika. Tetapi gagasan dasarnya masih mencerminkan model ”remedial”, ”koreksional” melalui mekanisme administrasi sosial. Tetapi untuk indikator kesejahteraan makronya pemerintah sudah mulai mengadopsi pendekatan ”basic needs” sejak awal tahun 1980-an. Sistem kesejahteraan sosial Indonesia kurang appresiatif terhadap sistem dan praktik kesejahteraan sosial lokal Indonesia (misalnya yang berbasis agama, berbasis adat-kelompok suku dan kearifan budaya lokal). Sistem kesejahteraan dan pelayanan sosial yang ada masih bias perkotaan, remedial dan terarah pada kelompok-kelompok yang terbatas. Itulah sebabnya, diperlukan sebuah dasar hukum atau undang-undang yang memungkinkan negara berbagi peran dengan komponen-komponen sosial lain, seperti dunia usaha dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial universal di Indonesia. Keberadaan dasar baru tersebut memiliki beberapa nilai strategis yang sangat penting dan tetap sejalan dengan semangat dan prinsip-prinsip kesejahteraan sosial yang terkandung di dalam sila kelima Pancasila, yakni mewujudkan ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 . Pertama, dasar hukum tersebut akan memberi landasan hukum, perlindungan dan jaminan bagi kerjasama produktif antara negara dan pemerintah dengan pihak swasta dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam pengembangan, penyediaan layanan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan kapabilitas kalangan penyandang masalah sosial agar mampu mengembangkan dirinya. Kedua, Dasar hukum tersebut akan menjamin interkoneksi dan integrasi pelbagai komponen perundang-undangan bidang kesejahteraan sosial yang lebih spesifik mengangkut beberapa masalah khusus. Integrasi ini akan memastikan bahwa pelaksanaan pelbagai undang-undang khusus, seperti perlindungan anak, kekerasan terhadap perempuan dan lain-lain, terarah pada satu tujuan dan muara yang sama.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 13: NA-ruu-kesos-20080109

12

Ketiga, dasar hukum baru tersebut akan memberi orientasi baru program pembangunan kesejahteraan sosial yang sejalan dengan perkembangan global saat ini dan sekaligus mengantisipasi kecenderungan masalah-masalah sosial yang akan ditimbulkannya. Keempat, dasar hukum baru ini akan memberi kerangka baru pembangunan sosial yang tidak semata-mata memberikan pelayanan yang bersifat pasif kepada orang-orang, keluarga dan kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial; melainkan sekaligus bersifat aktif dan bernuansa investasi sosial. Undang-undang ini memastikan bahwa pembangunan sosial merupakan sebuah investasi produktif dalam rangka pengembangan potensi dan kapabilitas manusia sehingga pada gilirannya mereka dapat berkontribusi terhadap kemajuan masyarakatnya. Secara garis besar, landasan hukum bidang kesejahteraan sosial, diarahkan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesejahteraan dan investasi sosial yang berkualita dan produktif sehingga dapat meningkatkan kapabilitas, harkat, martabat dan kualitas hidup manusia, mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat, mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial, mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan kesejahteraan sosial, serta memperkuat ketahanan sosial bagi setiap warga negara D. LANDASAN SOSIOPOLITIS Ketidaksesuaian produk hukum yang ada dengan pelaksanaan peran negara yang selayaknya dilakukan bagi PMKS akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dalam pemenuhan hak atas peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Secara sosiologis, hal ini akan menimbulkan kemiskinan struktural, ketelantaran, perilaku anti sosial, kondisi disharmoni, kerawanan sosial dan tindak kejahatan yang akan menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial. Pada akhirnya akan menjadi beban sosial masyarakat dan pemerintah yang membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar. Hal ini, secara potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Dampak psikologis yang ditimbulkan karena belum adanya undang-undang yang mengatur tentang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, yaitu terganggunya rasa keadlian (sense of equity), munculnya kecemburuan sosial, ketidakberdayaan, sikap fatalistik dan agresivitas, serta perilaku menyimpang lainnya.

Untuk menjamin terpenuhinya hak sosial, dan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan sosial pada tingkat lokal, nasional, dan global, maka perlu dilakukan pembaruan Kesejahteraan Sosial secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dengan adanya pengaturan tentang pembangunan kesejahteraan sosial dalam bentuk undang-undang berarti negara telah memberikan perlindungan sosial dan layanan yang berpihak kepada rakyat miskin, sehingga keadilan sosial dirasakan oleh semua warga tanpa terkecuali sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perubahan paradigma pembangunan kesejahteraan sosial antara lain ditandai dengan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 14: NA-ruu-kesos-20080109

13

adanya menguatnya penanganan sosial berdasarkan pendekatan hak (right-based approach) menggantikan pendekatan berbasis masalah (problem-based approach) yang seringkali bersifat represif. Evaluasi kebijakan dan kelembagaan penanggulangan masalah sosial selama ini menunjukkan bahwa pendekatan penaganan masalah sosial seringkali masih mengedepankan tindakan represif keamanan dan ketertiban, bersifat sektoral dan proyek, serta cenderung menyalahkan kaum miskin, rentan dan PMKS lainnya dan memposisikan masyarakat itu sebagai obyek yang tidak berdaya. Sementara iru, pendekatan yang berbasis hak lebih mengedepankan prinsip partisipatif dan pemberdayaan yang tetap menjamin pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam penanggulangan masalah sosial yang dapat dipertanggungjawabkan berdasar hukum, serta mampu memfasilitasi peningkatan kapasitas tindakan penanggulangan masalah sosial yang secara langsung berkontribusi pada penghapusan atau pengendalian PMKS. Sebagai sebuah piranti kebijakan publik, UU Kesejahteraan Sosial sejatinya menekankan pada peran negara yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan kinerjanya sehingga mampu menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan ssoial dalam tingkat tertentu bagi warganya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya UU Kesejahteraan Sosial juga menggarisbawahi pentingnya kerjasama antara pelbagai pilar usaha kesejahteraan sosial, yang mencakup negara (pemerintah daerah), masyarakat madani (civil society), sektor swasta, dan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional (Hall dan Midgley, 2004). Perspektif ini sejalan dengan ide tentang “negara kesejahteraan” (welfare state) model pluralisme yang meniscayakan pembagian peran proporsional antara sektor negara-bangsa dan pihak masyarakat madani. 1. Negara Negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, memiliki peran sentral dalam usaha kesejahteraan sosial terutama karena selain negara memiliki kewajiban memenuhi hak-hak dasar publik sebagai konstituennya, negara juga memiliki peran utama dalam sebagai regulator (pembuat kebijakan publik) dan fasilitator (penyediaan dan pengelolaan anggaran publik) bagi usaha kesejahteraan sosial. Sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman dan praktik kenegaraan di seluruh dunia, peran negara dalam menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial tidak boleh direduksi dan apalagi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat dan sektor swasta. Selain melanggar konstitusi, mereduksi peran negara dalam usaha kesejahteraan sosial sama artinya dengan pengingkaran kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan dasan warganya. Warga negara pada hakekatnya adalah konstituen yang menyerahkan mandatnya kepada pemerintah dan karenanya merupakan faktor penentu eksistensi negara itu sendiri. Dalam menjalankan misinya, Pemerintah pusat perlu bekerjasama dengan PEMDA sehingga pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial tidak tumpang tindih yang dapat mengakibatkan inefisiensi dan tidak akan mencapai tujuannya secara maksimal.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 15: NA-ruu-kesos-20080109

14

2. Masyarakat madani (civil society) Masyarakat madani yang mencakup organisasi non-pemerintah (orsos dan LSM), organisasi profesi dan warga sipil memiliki peran penting terutama dalam pengembangan dan evaluasi kebijakan publik, serta dalam menerapkan kebijakan publik tersebut dalam berbagai program kesejahteraan sosial. Masyarakat madani juga bisa berperan sebagai mitra pelaksana (eksekutor) pelayanan publik, fasilitator dan penggerak masyarakat. 3. Sektor swasta Perusahaan-perusahaan bisnis kini semakin menyadari bahwa peranan mereka bukan sekadar pencari keuntungan finansial semata, melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan (Suharto, 2007a). Semangat ini dikenal dengan istilah “tanggungjawab sosial perusahaan" atau corporate sosial responsibility (CSR). Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan publik. Di negara yang tidak menerapkan kebijakan sosial (sosial policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua. 4. Lembaga kemanusiaan internasional Lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan merupakan komponen penting dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Apalagi dalam era globalisasi dewasa ini, tidak ada sudut dunia di belahan bumi manapun yang tidak tersentuh oleh masyarakat internasional, terutama mereka yang berkomitmen dan menghimpun kekuatan bersama untuk memberikan kontribusi pada usaha kesejahteraan sosial di negara dan wilayah tertentu. Lembaga-lembaga seperti ini ada yang bemaung di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), lembaga keagamaan, maupun lembaga naungan independen. Mereka merupakan partner kerjasama dalam usaha kesejahteraan sosial dan karenanya perlu juga diatur oleh Undang-Undang. E. LANDASAN YURIDIS

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri karena kondisinya yang mengalami hambatan fungsi sosial, dan akibatnya mereka mengalami kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar serta tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 16: NA-ruu-kesos-20080109

15

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Negara memelihara fakir miskin dan anak-anak yang telantar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesejahteraan sosial yang layak yang diatur dengan undang-undang

Bagi fakir miskin dan anak telantar seperti yang dimaksud dalam UUD 45 diperlukan langkah-langkah perlindungan sosial (protection measures) sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinya hak dasar dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal. Dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenan dengan kekhususannya”.

Sementara itu, komitmen dunia tentang pembangunan sosial/kesejahteraan sosial, telah disepakati oleh berbagai negara termasuk Indonesia, membawa konsekuensi bahwa permasalahan sosial dan penanganannya di setiap negara dipantau sekaligus didukung oleh masyarakat internasional. Sebagai perwujudan dari komitmen dimaksud, setiap negara diharapkan melaporkan hasil yang telah dicapai.

Komitmen global dan regional dalam pembangunan kesejahteraan sosial harus diupayakan pencapaiannya meliputi antara lain konvensi-konvensi tentang HAM, hak anak, hak wanita, hak penyadang cacat/ orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, pelayanan sosial bagi korban NAPZA, dan berbagai protokol tambahan yang terkait, antara lain : Single Convention on Drugs Tahun 1961 beserta Protokol 1972 (Dasar Hukum Narkotika Internasional); Convention on Psychotropic Substances 1971; Deklarasi Menlu ASEAN tentang Narkotika di Manila tahun 1976; Resolusi PBB No. 44/1982 tanggal 20 Desember 1989, Penetapan Tahun 1994 sebagai Tahun Keluarga Internasional; UN-World Programme of Action Concerning Disabled Persons, 1980; Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak), 1990; Resolusi PBB No. 047/237 tanggal 8 Desember 1993, Penetapan tanggal 15 Mei 1993 sebagai Hari Keluarga Internasional; Konferensi Dunia tentang Hak Azasi Manusia (HAM), Wina 1993, (Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Adalah Pelanggaran HAM); KTT Dunia Pembangunan Sosial (WSSD) 1995; Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan, di Beijing 1995; Sidang Khusus ke 24 Majelis Umum PBB mengenai hasil KTT Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Copenhagen + 5 di Jeneva) Tahun 2000; Asia Pacific Decade of Disabled Persons : 1993-2002; Deklarasi Majelis Umum PBB tentang Hari Internasional Penyandang Cacat; Konvensi PBB tentang Hak Asasi Penyandang Cacat (Piagam Millenium III).

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 17: NA-ruu-kesos-20080109

16

Berdasarkan landasan yuridis formal dan konvensi-konvensi international yang telah menjadi komitment nasional, maka dalam pelaksanan Pembangunan Kesejahteraan Sosial harus didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai: (1) landasan/dasar hukum bagi pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial; (2) pemberi arah kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan tugas

umum pemerintahan dan tugas pembangunan di bidang kesejahteraan sosial; (3) alat kontrol/kendali pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial.

Didalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofis pembangunan bangsa, karenanya setiap warga Negara Indonesia berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. Agar keadilan dan kesejahteraan sosial ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesuai kemampuannya masing-masing untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial merupakan amanat dan perintah UUD 1945, yang dicantumkan dalam judul Bab XIV yaitu ” Kesejahteraan Sosial”. Dalam Amandemen UUD 1945 kini judul Bab XIV UUD 1945 itu adalah ” Per-ekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Didalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 huruf H ayat (3), Pasal 34 ayat (1) dan (2) mengatur mengenai hak-hak warga Negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu :

a. Pasal 27 ayat (2) menyatakan : “ Tiap-tiap warga Negara Indonesia berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. b. Pasal 28 huruf C ayat (1) menyatakan :” Setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”

c. Pasal 28 huruf H ayat (2) menyatakan : ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”

d. Pasal 28 huruf H ayat (3) menyatakan : “ Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat “.

e. Pasal 34 ayat (1) menyatakan : “ Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara “.

f. Pasal 34 ayat (2) menyatakan : “ Negara mengembangkan sistem jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan “.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 18: NA-ruu-kesos-20080109

17

Pasal-pasal dalam amanat konstitusi tersebut memberi penegasan bahwa setiap warga Negara berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan pemerintah wajib melindungi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia dan berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga Negara Indonesia. Dengan demikian Kesejahteraan Sosial berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial selama ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039). Sejak tahun 1974 sampai sekarang telah diundangkan sejumlah undang-undang yang seharusnya cukup diatur dalam peraturan pemerintah. Ada kecenderungan undang-undang yang ada tidak lagi mengindahkan lagi UU 6/ 1974, sebagai akibat lemahnya undang-undang tersebut.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang dimaksud yang telah melandasi berbagai kegiatan di bidang kesejahteraan sosial, yaitu : UU 9/1961 tentang Undian, UU 5/ 1964 tentang Penetapan Penghargaan / Tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/ Kemerdekaan, UU 33/1964 tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan Terhadap Pahlawan, UU 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU 4/1972 tentang Perumahan dan Pemukiman, UU 10/1972 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU 4/1997 tentang Penyandang Cacat, UU 13/97 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak, UU 5/1997 tentang Psikotropika, UU 22/97 tentang Narkotika, UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU39/1999 tentang HAM, UU 1/2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, UU23 /2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun berbagai produk undang-undang tersebut telah digunakan, namun materi yang diatur dalam undang-undang tersebut secara substansial akan merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial. Selain Undang-Undang di bidang Kesejahteraan Sosial, maka dalam perkembangnya sistem peraturan perundang-undangan nasional telah diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan :

Pasal 5 ayat (3) : Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perbandingan lebih berkenan dengan kekhususannya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 19: NA-ruu-kesos-20080109

18

Pasal 8 : Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak azasi manusia merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.

Pasal 41 ayat (1) : Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak, serta perkembangan pribadinya secara utuh.

Penjelasannya : Yang dimaksud dengan “Berhak atas Jaminan Sosial” adalah bahwa setiap warga Negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan Negara.

Selain itu bagi masyarakat yang tergolong tidak mampu berhak memperoleh perhatian yang lebih, dan ini merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat yang akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dibuat pada era sentralisasi dan peran pemerintah pusat sangat besar dan dominan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka sistem pemerintahan telah berubah ke arah desentralisasi, sehingga semua kebijakan perlu disesuaikan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 substansinya sangat sumir, hanya terdiri dari 5 (lima) Bab dan 12 Pasal, dan hanya memuat ketetentuan-ketentuan pokok saja, sehingga untuk saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang terutama penanganan permasalahan sosial yang semakin meningkat dan kompleks. Demikian halnya dalam hal tugas-tugas pemerintah belum mengakomodir tugas pemerintah dalam pencegahan terjadinya masalah sosial, pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan kearifan sosial, serta perlindungan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. Sasaran, jenis-jenis pelayanan kesejahteraan sosial dan potensi dan sumber dana kesejahteraan sosial sedemikian rupa belum diuraikan dalam Undang-Undang tersebut, sehingga skema kebijakan nasional di bidang kesejahteraan sosial menjadi belum terarah. Selain itu belum ada pengaturan tentang tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah sosial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 13 dan Pasal 14. Undang-undang tersebut dibuat pada tahun 1974 sehingga telah berumur 33 tahun, tentunya banyak pasal-pasal yang perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan keadaan saat ini, termasuk banyaknya konvensi international yang telah diratifikasi yang membuat Undang-undang tersebut menjadi kurang relevan lagi dengan paradigma pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Konvensi international tersebut berbasiskan pada perhatian, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tentunya harus menyesuaikan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 20: NA-ruu-kesos-20080109

19

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial merupakan komponen dalam hak-hak asasi manusia yang berlaku universal bagi seluruh warga Negara, dan diarahkan untuk memberikan perlindungan sosial terhadap upaya pemenuhan hak atas kebutuhan dasar. Kaidah ini menekankan bahwa, pelayanan kesejahteraan sosial mengandung muatan normatif yang mengatur hak dari setiap warga Negara untuk memperoleh taraf kesejahteraan sosial yang layak bagi kemanusiaan. Hal terbut secara substantif belum dimuat pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974. Oleh karena itu, dalam perubahan atau pembaharuan Undang-Undang tersebut, pelayanan kesejahteraan sosial dapat diformulasikan secara kontekstual dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai refleksi dari pelaksanaan kewajiban Negara terhadap warganya yang mengalami resiko sosial (sosial hazards).

Eksistensi pelayanan kesejahteraan sosial semakin relevan karena dalam kehidupan masyarakat, baik perorangan, kelompok, keluarga maupun komunitas tertentu, seringkali terjadi ketidak pastian yang mengganggu atau menghambat pelaksanaan fungsi sosialnya. Dalam kondisi seperti ini, pelayanan kesejahteraan sosial menjadi sangat penting karena merupakan mekanisme yang dapat diakses oleh masyarakat, khususnya penyandang masalah kesejahteraan sosial ketika mengalami disfungsi sosial atau dalam keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka (kehilangan penghasilan ketika tidak bekerja, resiko kerja, pendidikan dasar untuk anak, pelayanan kesehatan dasar, dan kebutuhan dasar lainnya). Untuk itulah, Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang mempertegas komitmen Negara terhadap pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial (Pasal 34).

Mengingat pelayanan kesejahteraan sosial merupakan salah satu faktor yang berfungsi sebagai sistem perlindungan sosial dasar bagi warga masyarakat beserta keluarganya, maka jaminan kesejahteraan sosial pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan makro pembangunan kesejahteraan sosial dan dilaksanakan berlandaskan komponen hak asasi manusia yang berdimensi luas bagi hak dan martabat manusia. Dengan demikian, pelayanan kesejahteraan sosial erat kaitannya dengan kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB tanggal 10 Desember 1948. Sampai saat ini deklarasi tersebut masih dijadikan sebagai referensi bagi setiap Negara anggota PBB untuk menaruh komitmennya dalam pelaksanaan HAM melalui jaminan sosial. Negara yang tidak menyelenggarakan jaminan sosial, dapat dipandang sebagai Negara yang melanggar pelaksanaan HAM.

Berdasarkan landasan yuridis yang ada, maka pelayanan kesejahteraan sosial merupakan hak normatif warga masyarakat yang mengalami resiko sosial sehingga tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar yang dititik beratkan pada prinsip keadilan, pemerataan dan standar minimum, yang mengemban misi sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial juga merupakan bentuk perlindungan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warga yang miskin, tidak mampu atau mengalami

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 21: NA-ruu-kesos-20080109

20

hambatan fungsi sosial seperti PMKS. Usaha kesejahteraan sosial yang khusus diberikan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial selanjutnya disebut Pelayanan Kesejahteraan Sosial.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sudah tidak tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat sehingga perlu ditinjau kembali. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial tidak memadai lagi dan perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 22: NA-ruu-kesos-20080109

21

BAB III RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIS

A. KESEJAHTERAAN SOSIAL

Telah banyak dipahami bahwa istilah Kesejahteraan Sosial dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Pengertian Kesejahteraan Sosial serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya menurut Romanyshyn (1971:3), kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi yang memiliki tujuan utama mendorong peningkatan kesejahteraan individu dan masyarkat secara keseluruhan. Dia menyamakan kesejahteraan sosial sebagai aktivitas pelayanan yang mencakup penyembuhan dan pencegahan masalah-masalah sosial. Dengan kata lain, kesejahteraan sosial sebagai sistem pelayanan sosial untuk mengatasi dan mencegah gejala masalah sosial. Adapun Compton (1980:34) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai representasi tugas kelembagaan negara yang bertanggungjawab untuk membantu individu dan lembaga-lembaga sosial lain untuk mendorong tingkat kesejahteraan baik individu maupun keluarga. Lembaga-lembaga pelayanan sosial diciptakan untuk memelihara tingkat keberfungsian sosial individu dan keluarga sehingga mereka memiliki kapasitas untuk mengatasi masalahnya sendiri. Definisi ini secara khusus, menekankan aspek ”institusional” (kelembagaan) negara sebagai pemain utama kesejahteraan sosial. Definisi seperti ini pada umumnya digunakan oleh penganut sistem negara kesejahteraan di Eropa. Kedua definisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan definisi kesejahteraan sosial yang dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat (1). Menurut UU ini, kesejahteraan sosial adaloah "Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rokhaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Di Indonesia, pengertian yang luas dinyatakan juga dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, yang berbunyi : "Lapangan kesejahteraan sosial adalah sangat luas dan kompleks, mencakup antara lain aspek-aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan sosial (dalam arti sempit), dan lain-lain". Untuk Indonesia, agama - suatu unsur penting dalam

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 23: NA-ruu-kesos-20080109

22

kehidupan manusia - ditangani oleh pemerintah, dan menjadi salah satu komponen atau subsystem kesejahteraan sosial.

Jika diteliti dengan seksama, istilah kesejahteraan sosial dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 mengandung tiga macam pengertian, yaitu selain kesejahteraan sosial secara luas dan sempit, kesejahteraan sosial juga diartikan sebagai suatu kondisi. Hal ini terlihat dari pasal 1 yang berbunyi: "setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya... ". Jika diartikan sebagai tata kehidupan dan penghidupan sosial seperti dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, kesejahteraan sosial merupakan barang kolektif, sehingga tidak mungkin seseorang akan mempunyai atau mengalami taraf kesejahteraan sosial yang berbeda dari orang lain, setidak-tidaknya dalam lingkungan suatu wilayah tertentu. Jadi dalam pengertian yang ketiga ini, lebih tepat kalau hanya digunakan istilah "kesejahteraan" saja, dalam arti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.

Rumusan-rumusan tersebut mengandung makna yang luas, tetapi yang kurang difahami atau setidak-tidaknya jarang atau tidak pernah ditegaskan, adalah komponen atau subsistem apa saja yang terkandung di dalam pengertian Kesejahteraan Sosial secara luas tersebut. Kamerman & Kahn (1979) menjelaskan enam komponen atau subsistem dari Kesejahteraan Sosial, yaitu : (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) pemeliharaan penghasilan (income maintenance), (4) pelayanan kerja, (5) perumahan dan (6) pelayanan sosial personal (personal sosial services). Berikut penjelasan tentang masing-masing subsistem tersebut dalam konteks di Indonesia :

• Pendidikan dan kesehatan, masing-masing merupakan sistem yang jelas dan

telah terlembagakan dengan baik, sehingga seolah-olah terpisah dari sistem Kesejahteraan Sosial. Di Indonesia, kesehatan dan pendidikan masing-masing merupakan jurisdiksi Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejalan dengan ini, ilmu kesehatan dan ilmu pendidikan juga sudah merupakan ilmu yang mapan dan mandiri, tetapi pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dan pelayanan kesehatan, khususnya bagi mereka yang tidak dapat memperolehnya secara langsung dengan kemampuan sendiri, merupakan perhatian Kesejahteraan Sosial.

• Pemeliharaan penghasilan, yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam

dunia modern merupakan salah satu bidang utama Kesejahteraan Sosial. Pemeliharan penghasilan ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu asuransi sosial dan asistensi (bantuan) sosial. Jaminan sosial di Indonesia, khususnya dalam bentuk pensiun, baru mencakup pegawai negeri sipil dan ABRI. Di luar kelompok ini, jaminan sosial hari tua baru mencakup karyawan-karyawan perusahan-perusahan swasta, tetapi bentuk jaminan sosial ini belum berupa pensiun, suatu cara pemeliharaan penghasilan untuk hari tua yang penting.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 24: NA-ruu-kesos-20080109

23

Adapun asistensi sosial telah dilaksanakan dan merupakan salah satu tanggung jawab Departemen Sosial.

• Penyediaan perumahan, dalam arti fisik, tentu saja merupakan bidang profesi

atau ilmu lain yaitu arsitektur. tetapi pemenuhan kebutuhan manusia akan perumahan untuk meningkatkan "the well-being of individual and the society as a whole" (Romansnyshyn, 1971 :3) jelas merupakan bidang Kesejahteraan Sosial. Di Indonesia, penyediaan perumahan, khususnya melalui Perumnas, dilaksanakan oleh Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, tetapi untuk golongan masyarakat yang kurang mampu, Departemen Sosial juga telah ikut berperan serta dalam pemugaran perumahan mereka.

• Pelayanan kerja, mungkin dapat merupakan bagian ilmu pendidikan. tetapi

kalau pelayanan kerja terutama dimaksudkan untuk memberikan latihan kerja dengan tujuan agar orang dapat memperoleh, atau memperoleh kembali, pekerjaan agar kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi, maka pelayanan kerja lebih tepat menjadi bagian dari sistem Kesejahteraan Sosial. Di Indonesia, pelayanan kerja merupakan tanggung jawab utama Departemen Tenaga Kerja, tetapi seperti halnya dalam pelayanan perumahan, untuk beberapa golongan masyarakat yang kurang beruntung, Departemen Sosial juga telah memberikan sumbangannya dengan menyelenggarakan latihan-latihan keterampilan.

• Pelayanan sosial personal, adalah pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan

kebutuhan-kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang menghambat keberfungsisosialan individu secara maksimum, serta menghambat kebebasannya untuk mengembangkan kepribadiannya dan untuk mencapai aspirasinya melalui hubungan dengan orang lain; kebutuhan-kebutuhan yang secara tradisional ditangani oleh tindakan perorangan atau keluarga; kebutuhan-kebutuhan yang biasanya diserahkan pada tanggung jawab individual; dan kebutuhan-kebutuhan yang memerlukan tingkat penyesuaian proses pertolongan yang tinggi ketimbang keseragaman pertolongan (Sainsbury, 1977). Walaupun tidak selalu harus dilaksanakan oleh Pekerja Sosial sendiri, pelayanan sosial personal merupakan bidang utama profesi Pekerjaan Sosial. dengan kata lain, Pekerjaan Sosial merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab utama dalam pemberian pelayanan sosial personal. Di Indonesia, Personal Sosial Services, atau yang secara bebas diterjemahkan sebagai pelayanan sosial antar pribadi, merupakan tanggung jawab utama Departemen Sosial. Kebutuhan akan pelayanan sosial personal ini tidak hanya terbatas pada golongan miskin saja, melainkan terdapat juga pada golongan kaya, seperti : kebutuhan akan kelompok bermain, tempat penitipan anak, 'day care center' untuk para lanjut usia, dan sebagainya.

Pelbagai gagasan dan teori tentang kesejahteraan sosial pada dasarnya adalah refleksi dari suatu kondisi yang diidealkan atau diimajinasikan oleh para pemikir

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 25: NA-ruu-kesos-20080109

24

dan pemegang kebijakan sosial. Gagasan-gagasan yang tertuang setidaknya, menurut pandangan Midgley, mencerminkan tiga kelompok besar besar perspektif kebijakan sosial, yakni perspektif institusional, residual dan pembangunan sosial. Ketiganya mempertimbangkan peran negara, sektor swasta dan masyarakat dalam menyediakan dukungan kelembagaan, anggaran dan tenaga profesional untuk membantu penciptaan kesejahteraan sosial. Menurut James Midgley (Midgley, 2005) Kondisi kesejahteraan mencerminkan tiga elemen dasar, yakni 1) ketika masyarakat dapat mengontrol dan mengatasi masalahnya; 2) jika masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya untuk hidup layak; 3) jika masyarakat memiliki kesempatan untuk mengembangkan taraf hidup dan potensi yang dimilikinya. Peran pelbagai lembaga kesejahteraan sosial, baik pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan swasta adalah memastikan bahwa baik individu, keluarga, maupun masyarakat dapat memenuhi ketiga elemen dasar kesejahteraan sosial tersebut. Dengan demikian, maka pelayanan sosial dan program-program pengembangan masyarakat akan berorientasi pada peningkatan kapabilitas individu dan masyarakat untuk ”mampu mengatasi masalahnya”; mampu dan sanggup ”memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya” dan memiliki kesempatan dan mampu ”memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya”. Dengan demikian, perspektif kesejahteraan sosial yang ingin di bangun di Indonesia tidaklah murni seperti konsep ”negara kesejahteraan” yang sudah berkembang di negara-negara lain, melainkan menyesuaikan dengan konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang ada. Untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut diperlukan ketentuan-ketentuan untuk mengaturnya. Prinsip-prinsip yang mengatur berbagai macam program sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut disebut sebagai kebijakan sosial (sosial policy). Para ahli mencatat beberapa perbedaan pengertian mengenai istilah kebijakan sosial (sosial policy). Hall dan Midgley (2004) misalnya menyebut tiga pengertian.

a. Sebagai sinonim dari intervensi pemerintah dalam penyediaan pelayanan sosial

bagi kalangan miskin dan fakir miskin. Gagasan tentang negara kesejahteraan di Eropa pasca PD II berasal dari keyakinan bahwa negara memiliki tanggungjawab paling besar dalam penyediaan pelayanan sosial. Model ini selanjutnya disebut sebagai ”institutional welfare state” dan jika skala intervensi pemerintah lebih kecil dan targeted disebut sebagai ”residual welfare state”.

b. Sebagai jaring pengaman sosial. Gagasan tentang hal ini merupakan jawaban atas

dampak sosial dari perubahan-perubahan kebijakan ekonomi. Program diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu (targeted) untuk mengatasi masalah-masalah paling mendesak.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 26: NA-ruu-kesos-20080109

25

c. Sebagai ”livelihood”, yakni sebuah kebijakan terencana ke arah perbaikan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Livelihood mencakup aktivitas, asset dan akses terhadap pelbagai sumber daya yang secara keseluruhan menentukan kualitas hidup baik individu maupun keluarga.

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dalam kesatuan sistem pembangunan nasional yang dilaksanakan searah, saling menunjang, saling melengkapi dan saling menopang dengan pembangunan bidang-bidang lainnya. Ruang lingkup pembangunan bidang kesejahteraan sosial adalah bergerak dalam upaya yang mengarah kepada semakin meningkatnya taraf kesejahteraan sosial masyarakat secara lebih adil dan merata. Apabila pembangunan nasional secara menyeluruh berupaya untuk meningkatkan kemajuan, kemampuan, kesejhateraan dan keadlian sosial, maka melaksanakan pembangunan bidang kesejahteraan sosial diupayakan agar setiap orang bagaimanapun kondisi objektifnya berkesempatan dan berkemampuan untuk menikmati pelayanan pembangunan dan berperan serta dalam proses pelaksanaan pembangunan. Kelompok masyarakat yang cenderung berada pada titik yang paling jauh untuk dapat menikmati pelayanan pembangunan dan berkesempatan berperan serta dalam proses pelaksanaan pembangunan adalah para penyandang permasalahan kesejahteraan sosial. Dengan demikian pada dasarnya pembangunan bidang kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya bagi mereka yang dikategorikan penyandang permasalahan kesejahteraan sosial, agar mereka tidak tertinggal oleh warga masyarakat lainnya. Oleh karena itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang mengupayakan peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan keadilan sosial merupakan salah satu aspek pembangunan kesejahteraan rakyat. Upaya meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan dan keadilan sosial, terutama bagi para penyandang permasalahan kesejahteraan sosial, pada dasarnya menyangkut peningkatan berbagai aspek kehidupan manusia seperti : pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pemeliharan penghasilan, pelayanan kerja, pelayanan sosial personal.dan lain sebagainya. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial harus melibatkan pembangunan bidang-bidang lainnya yang terkait, agar dapat mencapai tujuan seoptimal mungkin. dengan kata lain pembangunan bidang kesejahteraan sosial tidak akan terlaksana dengan baik tanpa keterlibatan dari pembangunan bidang-bidang lainnya sebagai suatu kesatuan Kesejahteraan Sosial. Usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan hukum atau perundang-undangan, kebijakan serta program-program dan kegiatan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 27: NA-ruu-kesos-20080109

26

pelayanan dan /atau pelayanan sosial atau intervensi sosial serta pengadaan atau provisi yang mengindikasikan adanya organisasi formal yang mendapat dukungan sosial. Dalam pengertian sistem tersebut tercermin adanya interaksi dan keterkaitan antara berbagai bidang di dalam sistem dan antara sistem usaha kesejahteraan sosial dengan lingkungannya. Sehingga antara aspek-aspek hukum dan perundang-undangan, kebijakan dan program-program serta kegiatan-kegiatan di bidang usaha kesejahateraan sosial dan antara usaha kesejahteraan sosial dengan sistem eknomi, politik, sosial, serta segenap aspek kehidupan masyarakat lainnya terjadi saling berkaitan. Pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan melalui organisasi-organisasi formal, baik pemerintah maupun swasta. Selain itu pelayanan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan merupakan bagian dari sistem nilai masyarakat. Oleh sebab itu usaha kesejahteraan sosial merupakan institusi dan kegiatan yang berkembang di dalam, diterima, atau mendapat dukungan dari masyarakat. PERGESERAN PARADIGMA Paradigma pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang harus merespon perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang dinamis dan semakin kompleks. Oleh karen itu, pada masa yang akan datang akan mengalami pergeseran paradigma yang lebih bertumpu pada hak asasi manusia, demokratisasi dan peningkatan peran masyarakat sipil dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih adil. Pergeseran paradigma tersebut sebagai berikut: 1. Pembangunan menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Paradigma

pembangunan pada masa lalu lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan fisik material, serta menempatkan manusia sebagai obyek sehingga beresiko terjadinya dehumanisasi dalam pelaku pembangunan. Keberadaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial sebagai objek pembangunan kesejahteraan sosial, memposisikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial sebagai penerima bantuan sosial yang pasif dan diberikan atas dasar bersifat belas kasihan (charity). Paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan akan memposisikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial sebagai pelaku aktif dalam setiap langkah kegiatan yang ditujukan pada dirinya dan memberikan apresiasi yang layak terhadap potensi dan sumber yang dimilikinya.

2. Hasil pembangunan selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Paradigma

pembangunan pada masa lalu, hasil-hasil pembangunan lebih dinikmati oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang mampu sehingga beresiko terjadinya

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 28: NA-ruu-kesos-20080109

27

kesenjangan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan reformasi proses pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat miskin melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial untuk dapat akses terhadap sumber daya pembangunan, termasuk kemudahan dalam memperoleh modal usaha, jaminan kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial secara berkelanjutan.

3. Pembangunan mengaktualisasikan potensi dan budaya lokal. Paradigma

pembangunan pada masa lalu cenderung menyeragamkan model pembangunan dan mengabaikan potensi dan budaya lokal, sehingga beresiko ketergantungan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial terhadap bantuan-bantuan yang datang dari luar dan pengabaian potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Oleh karena itu pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial selayaknya diimplementasikan dengan menggali, mempertahankan dan mengembangkan modal sosial, termasuk kearifan lokal. Nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong, dioptimalkan sebagai modal dasar dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial diwujudkan dalam kerangka peningkatan tanggung jawab sosial masyarakat melalui peningkatan peran aktif, kepedulian dan kemampuan masyarakat secara melembaga dan berkelanjutan sesuai dengan potensi dan budaya lokal yang dimilikinya.

4. Pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga negara. Paradigma

pembangunan pada masa lalu, pelayanan sosial dasar relatif hanya bisa dijangkau oleh masyarakat yang mampu atau masyarakat miskin yang terseleksi (narrow targeting approach). Pada masa yang akan datang, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar seharusnya terbuka bagi semua pihak (universal approach), termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang selama ini termarginalkan.

5. Pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial menjadi komitmen

bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Paradigma pembangunan pada masa lalu, terutama pada masa sentralistik, penanganan kemiskinan menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah cenderung sebagai pelaksana. Pada masa yang akan datang, seiring dengan desentralisasi pembangunan dalam kerangka kebijakan otonomi daerah, maka kebijakan, strategi dan program pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial menjadi kewenangan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta adanya pembagian peran yang jelas. Hubungan pusat dengan daerah yang semula berdasarkan hubungan struktural akan bergeser menjadi hubungan fungsional.

6. Pendekatan pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

dilakukan secara individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 29: NA-ruu-kesos-20080109

28

terpadu. Paradigma pembangunan pada masa lalu, penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial lebih ditekankan pada pendekatan kelompok. Jenis bantuannya seragam dan berwujud barang/ peralatan. Pada masa yang datang, pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial tidak hanya dilakukan dengan pendekatan kelompok, melainkan juga melalui pendekatan individu, keluarga, kelompok dan komunitas secara terpadu. Demikian juga fasilitasi yang diberikan selayaknya lebih bervariasi sesuai dengan potensi dan kebutuhan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, termasuk memberikan akses pada sumber modal usaha dalam wujud uang.

Kelima prinsip pembangunan kesejahteraan sosial yang ingin dikembangkan tersebut sesungguhnya mencerminkan “sebuah proses perubahan sosial terencana untuk mendorong peningkatan kesejahteraan (well being) dari populasi penduduk secara keseluruhan bersamaan dengan proses-proses dinamik pembangunan ekonomi”. Ia dibedakan dari “pendekatan administrasi pelayanan sosial”. Administrasi pelayanan sosial berupaya memecahakan masalah sosial melalui penyediaan fasilitas layanan sosial, intervensi profesional, dan penyediaan bantuan dan asuransi sosial. Lebih dari itu, pembangunan sosial berusaha mendorong peningkatan kesejahteraan sosial sejalan dengan dinamika proses ekonomi yang berkelanjutan. Ia berusaha mengintegrasikan pembangunan kesejahteraan sosial dengan pembangunan ekonomi melalui beberapa pendekatan (Midgley, 2003):

Oleh karena itu fungsi kesejahteraan sosial adalah pencegahan, rehabilitasi, pemberdayaan dan perlindungan sosial, serta pemberian bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial, sehingga pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan kepada PMKS diharapkan dapat meningkatkan fungsi sosial anak, keluarga dan komunitas agar aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dapat diperoleh atau ditingkatkan. Pada akhirnya dapat dicapai kondisi diman kualitas hidup dan taraf kesejahteraannya dapat semakin meningkat dan dapat mencegah depresiasi kualitas sumber daya manusia pada generasi selanjutnya

Dalam kerangka fungsi kesejahteraan seperti itu, maka kebijakan sosial diupayakan dapat membentu terciptanya tatanan organisasi pada tingkat nasional yang mengharmonisasikan kebijakan ekonomi dan sosial di dalam komitmen yang komprehensif untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berpusat pada masyarakat (people-centered). Selain itu, kebijakan sosial diharapkan dapat mengadopsi kebijakan ekonomi makro yang mendorong penciptaan lapangan kerja dan pencapaian hasil-hasil pembangunan ekonomi berbasis masyarakat. Dlebih dari itu, kebijakan sosial juga memastikan bahwa program-program sosial bersifat ”productivist” melalui pelbagai bentuk investasi yang diarahkan pada pengembangan partisipasi masyarakat dalam ekonomi. Dengan kata lain, program-program sosial hendaknya terkait langsung dengan proses pembangunan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 30: NA-ruu-kesos-20080109

29

Berdasarkan kerangka konseptual kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial, maka tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang akan dicapai adalah: a. meningkatkan aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dan fasilitas

pelayanan publik; b. memulihkan kembali fungsi sosial;. c. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan kelangsungan hidup; d. meningkatkan kemampuan, tanggung jawab dan kepedulian masyarakat dalam

usaha kesejahteraan sosial; e. meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan masyarakat; f. mencegah dan mengendalikan perkembangan masalah kemiskinan, masalah

sosial dan kerawanan sosial ekonomi; g. memberikan perlindungan kepada anak-anak, perempuan, lanjut usia, dan

kelompok rentan lainnya dari situasi lingkungan yang buruk; h. meningkatkan koordinasi dan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan

sosial; dan i. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, adalah individu, keluarga dan komunitas memungkinkan untuk melakukan tindakan/ aksi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemaslahatannya (quality of life and wellbeing). Oleh karena itu, penggunaan strategi pemberdayaan masyarakat dalam program pembangunan kesejahteraan sosial mempunyai implikasi agar setiap kegiatan yang diciptakan bertumpu pada proses yang sifatnya partisipatif (terakomodasinya aspirasi, terbuka pilihan-pilihan dan terlibatnya semua komponen masyarakat/stakeholders).

Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia masih dihadapkan kepada upaya peningkatan fungsi-fungsi sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial melalui pendekatan dan intervensi profesi pekerjaan sosial, sehingga PMKS yang ada ditingkatkan fungsi sosialnya agar mampu akses terhadap pelayanan sosial dasar. Dalam hal ini, bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, persoalannya tidak terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan dasar bagi PMKS membutuhkan pengelolaan tersendiri, karena jangkauan dan populasi sasaran yang luas dan membutuhkan koordinasi dan kemitraan dalam pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar.

Departemen Sosial mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan melalui pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, rentan dan miskin. Selain itu adanya komunitas yang menjadi objek pengaturan, baik komunitas penyandang masalah kesejahteraan sosial, maupun komunitas sebagai potensi dan sumber kesejahteraan sosial untuk terlibat aktif dalam penanganan masalah sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 31: NA-ruu-kesos-20080109

30

Kebutuhan pengembangan potensi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, seperti kesetiakawanan sosial, kegotong royongan, keswadayaan masyarakat dan kelembagan-kelembagaan sosial / organisasi sosial, perlu diperkuat dan difasilitasi oleh pemerintah melalui Departemen Sosial dan instansi sosial di daerah, agar ketahanan sosial masyarakat tetap terpelihara. Pada sisi lain keberadaan institusi sosial, dinas sosial/ dinas kesejahteraan sosial, Orsos/ LSM di bidang kesejahteraan sosial, panti-panti sosial yang berada dalam kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swasta membutuhkan peningkatan kapasitas, standarisasi dan suatu saat nanti perlu diakreditasi, sehingga profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dapat ditingkatkan. Walaupun demikian, pemenuhan seluruh kebutuhan masyarakat untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dasar (terutama pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesejahteraan sosial) selayaknya merupakan kewajiban pemerintah; karena masyarakat juga telah dibebankan membayar pajak baik secara individu maupun melalui korporasi tempat bekerja. Pada kenyataannya, pada masyarakat mana pun, selalu ada yang individu keluarga, kelompok atau komunitas yang miskin, rentan atau mengalami masalah sosial karena memiliki hambatan fungsi sosial (disfungsi fisik, mental, sosial budaya, psikologis, ekonomi, geografis), yang pada akhirnya harus diatasi melalui program-program pembangunan yang ditujukan kepada warga masyarakat yang dikategorikan kurang beruntung tersebut, termasuk PMKS yang sudah dikenal selama ini.

Oleh karena itu, diberbagai negara telah dikenal skema/ kebijakan publik formal (formal public schemes) yang dikelola oleh pemerintah yang mencakup Kebijakan Subsidi Konsumen (consumers subsidies) dan Jaminan Sosial (sosial security). Kebijakan subsidi saat ini yang sedang berjalan dalam bentuk program kompensasi BBM.

Adapun sistem jaminan sosial mencakup program asuransi sosial (sosial insurance) dan bantuan sosial (sosial assistance). Kegiatan ‘bantuan sosial’ ini sudah banyak dilakukan oleh Departemen Sosial, walaupun ‘bantuan sosial’ yang dimaksud masih sifatnya charity.

Diantara proses pemberdayaan dan sistem jaminan sosial, terdapat strategi peningkatan inklusi sosial, yang dapat diartikan kemampuan untuk aksesibilitas terhadap sumber pelayanan sosial. Dalam pekerjaan sosial, peran pekerja sosial menjadi pembuka akses/ pemberi peluang (enabler) ditujukan dalam rangka peningkatan inklusi sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 32: NA-ruu-kesos-20080109

31

Pemberdayaan sosial, inklusi sosial dan jaminan sosial, merupakan dimensi-dimensi pembangunan sosial (dalam pengertian terbatas menjadi dimensi pembangunan kesejahteraan sosial) dalam rangka membantu masyarakat secara lebih adil, efisien dan berkelanjutan (help make societies more equitable, efficient and sustainable).

Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara proporsional dan jelas posisinya, akan menghasilkan sistem perlindungan sosial (sosial protection) sebagai basis dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Untuk membuat agar pembangunan kesejahteraan sosial dapat berkelanjutan, maka 3 (tiga) persyaratan utama, yaitu : 1. Pembangunan kesejahteraan sosial harus responsif (sosial responsive) terhadap

kebutuhan dan aspirasi masyarakat miskin dan kelompok rentan

Tindakan: - Tidak masa bodoh terhadap permasalahan yang dialami penduduk miskin - Reaksi cepat terhadap gejala degradasi, habisnya sumber daya dan bencana

sosial, karena penduduk miskin paling menderita - Deteksi dini terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat - Membangun kelembagaan yang efektif dalam pemberdayaan, jaminan dan

inklusi sosial. 2. Pembangunan kesejahteraan sosial harus dapat diandalkan (sosial reliable)

yang ditunjukkan oleh penyelenggaraan yang efisien dari apa yang diharapkan dengan dibangunnya modal sosial. Tindakan: - Community-driven development - Akuntabilitas sosial dan lingkungan - Pendekatan terpadu untuk analisis sosial dan lingkungan - Kelembagaan yang efektif dan bertanggungjawab (akuntabilitas publik)

3. Pembangunan kesejahteraan sosial harus melahirkan masyarakat yang

mempunyai ketahanan sosial (sosial resilient) terhadap situasi yang berisiko, goncangan (schocks), darurat, krisis, tekanan sosial budaya, ekonomi dan politik. Tindakan: - Pendekatan terpadu untuk analisis sosial, ekonomi, lingkungan dan

pemecahan masalah (termasuk pengembangan indikator sosial). - Manajemen resiko sosial (termasuk manajemen konflik)

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 33: NA-ruu-kesos-20080109

32

Seiring dengan semakin intensifnya kerjasama antar negara, baik melalui lembaga PBB maupun yang bersifat langsung antar negara, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan sosial, telah disepakati berbagai komitmen global dan regional dalam upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan setiap warga dunia. Pada saat bersamaan berkembang pula berbagai issu global seperti HAM, kependudukan, desentralisasi, debirokratisasi, civil society, kesetaraan gender, pelestarian lingkungan hidup dsb. Dinamika sosial dimaksud berdampak sangat mendasar dalam kehidupan sosial masyarakat dan menimbulkan perubahan sosial yang cepat, yang dalam banyak hal belum mampu diimbangi oleh sebagian warga masyarakat. Kondisi demikian merupakan potensi kearah tumbuh kembangnya permasalahan sosial baru ditanah air seperti semakin maraknya peredaran obat terlarang / Napza, tindak kekerasan dan berbagai tindak eksploitasi, keretakan keluarga dsb disamping permasalahan sosial lainnya seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan dsb. Semua itu perlu direspon secara profesional dan memperlakukan korban dari tindakan kejahatan atau penyimpangan perilaku secara adil atau non diskriminatif Disamping itu secara bersamaan dan proposional perlu juga diberikan perhatian khusus terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif terhadap upaya untuk menjaga keutuhan NKRI. Pada sisi lainnya upaya untuk meningkatkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan melalui upaya pemberdayaan infra struktur kesejahteraan sosial sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial akan terus dikembangkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Kesejahteraan Sosial dilaksanakan berdasarkan prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, kesetiakawanan sosial, keterpaduan, responsif, inklusif, non diskriminatif dan menumbuhkan ketahanan sosial. Sejalan dengan itu, semangat pembangunan sosial akan diturunkan kedalam program-program yang sejalan dengan karakter pembangunan sosial yang bernuansa investasi sosial. Dengan kata lain, program-program sosial dipahami sesungguhnya sebagai sebuah investasi sosial.

a. Investasi pada modal manusia (human capital)

Investasi mada modal sumberdaya manusia memiliki positif kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada pembangunan ekonomi. Investasi pada pengembangan SDM melalui pelbagai program pendidikan dengan demikian perlu diprioritaskan. Model ini sebanarnya sudah dilaksanakan dalam model ”pelayanan sosial”, misalnya lewat program-program rehabilitasi sosial, tetapi perlu lebih dikembangkan.

b. Investasi dalam program-program penciptaan lapangan kerja

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 34: NA-ruu-kesos-20080109

33

Para penerima (beneficiary) pelayanan sosial yang ada saat ini sesungguhnya membutuhkan untuk terlibat dalam progarm-program ekonomi secara langsung. Mereka sebagian masih memiliki kemampuan untuk bekerja baik kepada orang lain maupun membuka usaha mikro yang dikelolanya sendiri. Itulah sebabnya, program-program semacam KUBE dan lainnya perlu lebih diberdayakan dengan menyediakan program-program dukungan, baik pelatihan, magang kerja maupun bantuan permodalan. Investasi pada program-program seperti ini akan mendorong ”self-sufficiency” ekonomi dan sekaligus memfasilitasi PMKS untuk berkontribusi kepada ekonomi.

c. Investasi dalam pembentukan modal sosial (sosial capital)

Modal sosial adalah jaringan sosial yang terlembagakan yang mendorong integrasi komunitas. Ia merupakan suatu jalinan yang saling membantu dan saling peduli (caring community) antar sesamanya baik pada dimensi sosial maupun ekonomi. Investasi pada penguatan modal sosial akan memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Pengembangan program-program pengorganisasian masyarakat, pengembangan masyarakat, dan koperasi mikro. Model program ekonomi mikro melalui pendekatan kelompok pada saat yang sama akan memperkuat dan memberdayakan modal sosial ini.

d. Investasi dalam pengembangan asset (asset development)

Kemiskinan bukanlah sekedar masalah kurangnya pendapatan dan terbatasnya akses pada pelbagai fasilitas yang terkait dengan kebutuhan minimum kesejahteraan (basic need). Lebih dari itu kesejahteraan berkaitan dengan tingkat kepemilikan individu dan keluarga atas asset nyata (tangible asset), seperti tabungan (dan bentuk-bentuk asset finansial lain), rumah, kendaraan, tempat dan modal usaha. Sebab ”kekayaan” sebagai lawan dari ”kemiskinan” bukanlah diukur dari tingkat konsumsi dan pendapatan saja, melainkan dari seberapa besar asset yang dimilikinya. Pemerintah perlu menyediakan investasi khusus dalam bentuk insentif kepada kalangan miskin untuk membantu mereka mengumpulkan asset melalui tabungan. Penggunaan tabungan yang ada hanya diperbolehkan untuk tujuan-tujuan pengembangan kesejahteraannya.

e. Menghilangkan hambatan bagi partisipasi ekonomi

Pemerintah perlu menyiapkan serangkaian program untuk menyingkirkan hambatan-hambatan bagi kalangan PMKS untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Beberapa penghambat tersebut berbentuk prasangka dan diskriminasi berdasarkan etnis, gender, usia, difabilitas, dan ras. Program-program anti-diskriminasi dan affirmative action dapat mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Sebab, beberapa kelompok PMKS, seperti yang mengalami kecacatan fisik, tunawisma, mengalami penyakit mental, pasti akan membutuhkan perlakuan dan bantuan khusus agar mereka bisa mengembangkan potensi dirinya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 35: NA-ruu-kesos-20080109

34

f. Investasi dalam program-program sosial yang efektif secara biaya Program-program yang berwatak ”productivist” hendaknya dapat memanfaatkan

anggaraan biaya secara efektif. Penting dipahami bahwa progaram-program tersebut adalah investasi sosial sehingga harus dikelola secara efisien. Program-program yang kurang dikelola dengan baik akan menjauhkannya dari usaha pengembangan partisipasi PMKS di dalam pembangunan ekonomi.

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia (Suharto, 2006b). Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham “Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.

Dengan demikian, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama (Suharto, 2007b). Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup empat konsepsi, yaitu:

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada

istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “...a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan

sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial services).

3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan

kepada orang miskin. Karena sebagian besan penenima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “sosial il/fare” ketimbang “sosial welfare”.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 36: NA-ruu-kesos-20080109

35

4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan,

lembagalembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) dan menyelenggarakan pelayanan sosial (pengertian ke dua dan ketiga).

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini menempatkan kesejahtenaan sosial sebagai tujuan (end) dari suatu kegiatan pembangunan. Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didefinisikan sebagai arena atau domain utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah arena tempat dokter berperan atau pendidikan adalah wilayah dimana guru melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atau wahana atau alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan (Suharto, 2006b).

Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) (Suharto, 2006b). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (sosial protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial yang bersifat formal adalah berbagai skema jaminan sosial (sosial security) yang diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (sosial assisslance) dan asuransi sosial (sosial insurance), semisal tunjangan bagi orang cacat atau miskin (sosial benefits atau doll), tunjangan pengangguran (unemployment benefits), tunjangan keluarga (family assisstance yang di Amerika dikenal dengan nama TANF atau Temporary Assisstance for Needy Families. Beberapa skema yang dapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan, dan berbagai skema jaring pengaman sosial (sosial safety nets) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dalam RUU ini, Kesejahteraan Sosial diartikan sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) dan menyelenggarakan pelayanan sosial (pengertian ke dua dan ketiga), terutama bagi masyarakat yang mengalami masalah sosial. Oleh karena itu, istilah yang digunakan untuk nama RUU menjadi Kesejahteraan Sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 37: NA-ruu-kesos-20080109

36

B. USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial pada umumnya diartikan hanya sebatas sebuah kondisi sejahtera (definisi pertama). Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa makna kesejahteraan sosial juga bisa diartikan sebagai sebuah proses atau sistem kegiatan di bidang pelayanan sosial, asistensi sosial dan tunjangan sosial (definisi kedua, ketiga dan keempat), maka diperkenalkanlah istilah usaha kesejahteraan sosial.

Usaha kesejahteraan sosial adalah serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan masyarakat. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah “kesejahteraan” sejatinya tidak perlu pakai kata “sosial” lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sektor “pendidikan” dan “kesehatan” juga termasuk dalam wilayah pembangunan sosial dan tidak memakai embel-embel “sosial” atau “manusia” (Gambar 1). Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah “welfare” (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang tidak beruntung (Suharto, 2006b).

Gambar 1: Pembangunan Kesejahteraan Sosial sebagai Bagian Pembangunan Sosial

Pertanyaannya: mengapa di Indonesia mesti menggunakan istilah kesejahteraan sosial? Penggunaan kata “sosial” pada pembangunan kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 38: NA-ruu-kesos-20080109

37

memberi penegasan bahwa pengertian “kesejahteraan” bukanlah semata-mata menunjuk pada kemakmuran yang bersifat fisik atau ekonomi saja. Selain itu, kata “sosial” juga digunakan untuk mempertegas bahwa kegiatan itu difokuskan untuk mensejahterakan “orang banyak”, khususnya masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti warga masyarakat yang mengalami ketelantaran, kecacatan, korban tindak kekerasan, korban bencana, dan sebagainya.

C. FUNGSI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Usaha kesejahteraan sosial memiliki arti strategis dalam penanggulangan masalah sosial. Sedikitnya ada empat fungsi usaha kesejahteraan sosial dalam penanggulangan masalah sosial. 1. Mempertegas peran penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat

‘kewajiban negara’ (state obligation) untuk melindungi warganya dalam menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (sakit, bencana alam, krisis) dan memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas.

2. Mewujudkan cita-cita keadilan sosial secara nyata. Pembangunan di bidang

usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan suatu daerah dari kelompok berpenghasilan kuat (pengusaha, penguasa, pekerja mandiri) kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah mengatur dan menyalurkan sebagian PAD-nya untuk menjamin tidak adanya warga masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan oleh derap pembangunan.

3. Mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan di bidang usaha kesejahteraan

sosial memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas sosial, ketahanan masyarakat, dan ketertiban sosial yang pada hakekatnya merupakan prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, program perlindungan anak atau pelatihan remaja putus sekolah memperkuat persediaan dan kapasitas angkatan kerja dalam memasuki dunia kerja. Stabilitas sosial merupakan fondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat yang menghadapi konflik sosial sulit menjalankan kegiatan pembangunan.

4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human

Development Index). Fokus pembanguna di bidang usaha kesejahteraan sosial adalah pada pembangunan manusia dan kualitas SDM melalui perlunya pendidikan dan kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin.

Merujuk pada struktur pemerintahan, instansi pemerintah yang berperan menjalankan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 39: NA-ruu-kesos-20080109

38

pembangunan kesehatan adalah Departemen Kesehatan, pembangunan pendidikan adalah Departemen Pendidikan, pembangunan kesejahteraan sosial adalah Departemen Sosial karena fungsinya lebih terfokus pada usaha-usaha peningkatan kesejahteraan sosial sebagai bagian dari pembangunan sosial.

Di negara-negara maju, terutama yang menganut ideologi ‘negara kesejahteraan (welfare state), pembangunan di bidang usaha kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin hak-hak dasar warga negara. Secara harafiah, terjemahan bebas welfare state adalah ‘negara kesejahteraan’. Karena sistem ini substansinya menunjuk pada pentingnya peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial, maka welfare state bisa pula diterjemahkan ‘kesejahteraan negara’, dalam arti negara berperan aktif dalam mengembangkan kebijakan sosial yang terutama difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya yang lemah dan kurang beruntung. Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem negara kesejahteraan, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak telantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan beragam tantangan. Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan yang mengedepankan keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia. Sebagai contoh, menguatnya desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi pada aras intemasional dan reformasi pada aras nasional, pada umumnya semakin memperlemah pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda) lebih tertarik pada pembangunan ekonomi melalui penggenjotan Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, kewajiban Pemda untuk memperhatikan perlindungan sosial terhadap kelompok lemah cenderung semakin melemah. Ini antara lain terlihat dari dipangkasnya anggaran pemerintah untuk bidang sosial, penggabungan dan bahkan pengahapusan dinas-dinas sosial/kesejahteraan sosial, pengalihfungsian panti-panti sosial, atau penempatan pejabat-pejabat inti pada lembaga-lembaga sosial tanpa memperhatikan kompetensinya di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial.

D. PENDEKATAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Sosial Work and Sosial Welfare, ada tiga pendekatan dalam UKS, yaitu perspektif residual, institusional, dan pengembangan (Suharto, 2006b). Ketiga perspektif tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk model welfare state (negara kesejahteraan) yang merupakan basis pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya pemberantasan kemiskinan di negara--

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 40: NA-ruu-kesos-20080109

39

negara demokratis. Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective sosial care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system ofproduction” (Spicker, 1988:77). Meski dengan model yang berbeda, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru serta negaranegara di Eropa Barat termasuk penganut welfare state. Negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis (Spicker, 1978; 1995).

1. Pendekatan Residual

Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan sosial baru perlu diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga dan ekonomi pasar. Bantuan finansial dan sosial sebaiknya dibenikan dalam jangka pendek, pada masa kedaruratan, dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali. Di Amerika Serikat, program-program Bantuan Publik (public assistance), seperti Supplemental Security Income (SSI), General Assistance, Medicaid, Food Stamps, Housing Assistance, dan Aid to Families with Dependent Children (AFDC) - kini menjadi Temporary Assistance for Needy Families (TANF) (Chambers, 2000), adalah beberapa contoh program residual dalam penanggulangan kemiskinan.

Perspektif residual sangat dipengaruhi ideologi konservatif (berasal dari kata kerja “to conserve”, “memelihara” atau “mempertahankan”) yang cenderung menolak perubahan (Parsons et al, 1994; Zastrow, 2000). Menurut ideologi ini tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negatif, ketimbang positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap bekerjanya pasar. Daripada mengatur bisnis dan industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan individu. Welfare state yang berwajah rudimentary, selektivitas dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian diyakini oleh para residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam sistem kesejahteraan sosial suatu negara (lihat Spicker, 1995; Suharto, 2005c).

Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan korban” atau blaming the victim approach. Masalah sosial, termasuk kemiskinan, disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggungjawab dirinya, bukan sistem sosial. Metoda pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah sosial melibatkan pendekatan klinis dan pelayanan langsung yang ditujukan untuk membantu orang menyesuaikan din dengan lingkungannya. Program-program pengentasan kemiskinan yang bergaya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah “anak kandung” faham residual. Penenima

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 41: NA-ruu-kesos-20080109

40

pelayanan sosial dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu menyesuaikan din atau bahkan penyimpang (deviant) (Parsons et al, 1994).

2. Pendekatan Institusional

Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan usaha kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Program pengentasan kemiskinan di AS yang berbentuk Asuransi Sosial (sosial insurance), semisal Old Age, Survivors, Disability, and Health Insurance (OASDHI); Medicare; Unemployment Insurance; dan Workers’ Compensation Insurance adalah manifestasi dari pembangunan kesejahteraan sosial yang berbasis pendekatan insitusional.

Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang percaya bahwa perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parsons et al, 1994; Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang adil dan setara diantara berbagai kepentingan. Karena negara dipandang merefleksikan kepentingan-kepentingan warganya melalui perwakilan-perwakilan kelompok, maka pemerintah dibenarkan untuk mengatur dan memberikan pelayanan sosial. Perspektif ini sangat mendukung model welfare state yang bersifat universal. Program-program pemerintah, termasuk program kesejahteraan sosial dipandang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan secara luas dan berkelanjutan. Seperti dinyatakan Zastrow (2000:14), para penganut faham liberal meyakini bahwa “…….government regulation and intervention are often required to safeguard human rights, to control the excess of capitalism, and to provide equal chances for success. They emphasize egalitarianism and the rights of minorities.” Menariknya, sikap seperti ini justru berbeda dengan faham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung mendukung pasar bebas, globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut para politisi dari kalangan konservatis.

Selain dipengaruhi ideologi liberal, perspektif institusional juga dekat dengan ideologi radikal. Dalam konteks in perspektif institusional termasuk dalam gugus pendekatan “yang menyalahkan sistem” (blaming the system approach) (Parsons, et al, 1994). Individu dan kelompok dipandang sebagai warga negara yang sehat, aktif dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu. Melainkan, produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas, sexist dan rasis yang kemudian membentuk sistem kapitalis. Metoda pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-program pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan struktur-struktur kesempatan. Tiga bentuk program pemerintah yang umum ditekankan oleh pendekatan institusional meliputi: penciptaan distribusi pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta; dan penyediaan “barang-barang publik” tertentu

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 42: NA-ruu-kesos-20080109

41

(pendidikan, kesehatan, perumahan sosial, rekreasi), yang tidak dapat disediakan oleh pasar secara efisien (Parsons et al, 1994).

3. Pendekatan Pengembangan

Selama bertahun-tahun, kaum liberal mengkritik pendekatan residual sebagai perspektif kesejahteraan sosial yang tidak sejalan dengan prinsip kewajiban negara (state obligation). Negara wajib menyediakan bantuan jangka panjang dan terstruktur kepada konstituen mereka, terutama kelompok lemah, miskin dan kurang beruntung (disadvantegd groups) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasannya secara mandiri dan adekwat. Skema bantuan sosial residual yang mensyaratkan test penghasilan (means-tested approach) dikritik sebagai sistem kesejahteran sosial yang melahirkan stigma dan poverty trap kepada para penerimanya. Skema pelayanan sosial means-tested umumnya hanya diberikan kepada orang miskin yang memiliki pendapatan tertentu atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan. Misalkan garis kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp. 100.000 per bulan. Maka hanya orang yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan itulah yang berhak menerima pelayanan sosial. Akibatnya, skema ini menimbulkan stigma, karena penerima pelayanan sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak mampu. Apabila orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah, katakanlah Rp. 110.000 per bulan, secara otomatis dia harus melepaskan bantuan sosial yang diterimanya. Kondisi ini sering memaksa para penerima pelayanan untuk tetap tidak bekerja, terutama jika upahnya hanya lebih sedikit dari standar kemiskinan. Situasi seperti inilah yang kemudian disebut sebagai “jebakan kemiskinan”, karena orang miskin tenpaksa atau dipaksa untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya, kelompok konservatif juga tidak henti-hentinya mengkritik pendekatan institusional. Pendekatan ini dipandang telah melahirkan model welfare state yang boros, tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan kepada pemerintah yang berkuasa. Para penerima pelayanan sosial menjadi malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyanakat. Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam buku Sosial Development: The Developmental Perspective in Sosial Welfare (1995) menawarkan pendekatan alternatif, yakni perspektif pengembangan (developmental perspective) yang memadukan aspek-aspek positif dari pendekatan residual maupun institusional (Zastrow, 2000). Penspektif pengembangan ini sering disebut juga sebagai pendekatan pembangunan sosial yang o!eh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai “a process of planned sosial change designed to promote the well-being of population as a whole in conjunction with a dynamic process of economic development.” Perspektif pengembangan seja!an dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia mendukung pengembangan program-program kesejahteraan sosial, peran aktif pemerintah, serta pelibatan tenaga-tenaga profesiona! dalam perencanaan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 43: NA-ruu-kesos-20080109

42

Menurut Midgley (20055 : 205), selain memfasilitasi dan mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah juga seharusnya memberikan kontribusi langsung pada pembangunan sosial lewat bermacam kebijakan dan program sektor publik. Perspektif institusional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggungjawab untuk mengatur usaha pembangunan sosial dan mengharmoniskan implementasi dari berbagai pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi seperti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap hams dikoordinasikan pada tingkat nasional. Mereka juga mempekenjakan tenaga spesialis yang telah terlatih dan terampil untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial.

Pendekatan pengembangan juga tidak menentang ideologi konservatif dan pendekatan residual, karena menyatakan bahwa pengembangan program-program kesejahteraan sosial tertentu akan memiliki dampak positif terhadap ekonomi (Di AS, politisi aliran konservatif umumnya menolak program-program kesejahteraan sosial karena dipandang akan membawa dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi) (Zastrow, 2000:15). Ini sejalan dengan ide Tittmus (1974), “embahnya” kebijakan sosial dan pekerjaan sosial Inggris, yang berpendapat bahwa kesejahteraan sosial adalah “the handmaiden of the process of production.” Agar tems hidup dan berjaya, masyarakat hams memiliki beberapa piranti untuk memelihara keteraturan, mempertahankan perubahan, menciptakan angkatan kerja yang kuat dan terampil, serta mereproduksi dirinya sendiri untuk masa depan. Sistem kesejahteraan sosial memiliki fungsi untuk mempromosikan investasi sosial semacam ini (Spicker, 1988; 1995). Menumt Gosta Esping-Andersen, kebijakan sosial di Swedia telah mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja dan tidak hanya sekedar merespon kebutuhan sosial (Midgley, 1995). Dalam buku sebelumnya, The Sosial Dimensions of Development: Sosial Policy and Planning in the Third World, Hardiman dan Midgley (1982) berpendapat bahwa penanganan masalah sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih difokuskan kepada kemiskinan, karena merupakan masalah dominan dan mempengaruhi permasalahan sosial lainnya. Namun, mengingat kemiskinan di negara berkembang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara industri maju, maka strategi yang digunakan di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh karena itu, selain menyatukan dua perspektif dan ideologi kesejahteraan sosial yang tadinya berlawanan, perspektif pengembangan juga muncul sebagai reaksi terhadap tiga strategi peningkatan kesejahteraan sosial, yakni filantropi sosial, pekerjaan sosial dan administrasi sosial, yang dianggap Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan residual dan program-program sosial yang bersifat remedial dan kuratif.

Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis, yang seringkali digunakan para pekerja sosial di negara-negara maju, dipandang Midgley kurang tepat jika digunakan dalam menangani kemiskinan. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat individual, seperti kesehatan yang buruk, kecacatan fisik, kecacatan mental, masalah emosional, alkoholisme, penyalahgunaan narkoba (Zastrow,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 44: NA-ruu-kesos-20080109

43

2000) dan karenanya cocok jika ditangani dengan metode casework atau terapi individu dan konseling. Sedangkan kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural, semisal KKN atau sistem pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial yang kurang memadai. Midgley mengusulkan bahwa selain memerlukan program-program penguatan sosial dan ekonomi dalam skala masyarakat, penanggulangan kemiskinan perlu pula didukung oleh kebijakan ekonomi dan sosial pada skala nasional (Hardiman dan Midgley, 1982; Midgley, 1995; lihat Suharto, 2005b).

E. PEMBANGUNAN DI BIDANG USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pada tahun 2002, Institute of Development Studies, University of Sussex di Inggiris melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara berkembang di seluruh dunia (Suharto, 2007b). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu dasawarsa belakangan ini sedikitnya ada 63 negara berkembang yang sedang mengalami gelombang pembahan formasi kekuasaan dari pemerintahan sentralistik menuju pada sistem yang lebih dekat dengan warganya (Thamrin, 2005). Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami transformasi kekuasaan seperti itu. Sejak runtulmya Orde Baru, gelombang reformasi telah mengubah format politik dan sistem pemerintahan di Tanah Air. Kewenangan pemerintahan yang tadinya sangat terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi. Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.

Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, ‘mendaerahkan KKN (Kompsi, Kolusi dan Nepotisme)’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’. Bahkan argumentasi yang lebih psimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa.

Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005: 12), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi. Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan “...belum ada bukti tentang elite lokal yang lebih bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya.”

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 45: NA-ruu-kesos-20080109

44

Bukti empiris ini menunjukkan bahwa semakin banyak perhatian harus diberikan pada cara-cara meningkatkan akuntabilitas dan daya responsif institusi-institusi pemerintahan melalui pembahan desain kelembagaan dan pemberdayaan struktur-struktur pemerintahan yang baik (good governance). Menguatnya embusan desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Tanpa good governance (tata pemerintahan yang baik), desentralisasi akan lebih meminggirkan pembangunan kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan investasi ekonomi secepatnya daripada melakukan investasi sosial jangka panjang.

Tanpa sikap dan komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi pada aras intemasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah. Tanpa good governance, maka desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat pembangunan, khususnya di bidang kesejahteraan sosial. Ada tiga isu utama yang mendasari aksioma ini (Suharto, 2007b).

1. Money follows function atau function follows money?

Idealnya, UU Pemerintahan Daerah yang baru berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewenangan. Artinya, otonomi daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Ash Daerahnya (PAD), melainkan oleh kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam praktiknya, prinsip function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang memiliki prosentase PAD yang besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki PAD yang rendah memiliki otonomi yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5 atau 10 persen saja dari APBD, Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban membebani pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.

2. Pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan

sosial.

Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan sosial hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 46: NA-ruu-kesos-20080109

45

bahkan meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan sosial dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linier berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2006a). Dilihat dari kemampuan ekonomi (GDP) dan prosentase pengeluaran sosial pemerintah terhadap GDP, misalnya, hubungan antara keduanya melahirkan empat model negara:

a. Negara Sejahtera: kelompok negara yang memiliki GDP dan pengeluaran

sosial yang tinggi. Negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat adalah contoh Negara Sejahtera.

b. Negara Baik Hati: negara-negara yang memiliki GDP relatif rendah, namun pengeluaran sosialnya tinggi. Yunani, Portugis dan Sri Lanka termasuk kategori ini.

c. Negara Pelit: kelompok negara yang memiliki GDP tinggi namun pengeluaran sosialnya rendah. Amerika, Inggris dan Jepang memiliki GDP yang lebih tinggi dari Yunani dan Portugis. Namun prosentase pengeluanan sosial terhadap GDP di ketiga negara ini lebih rendah daripada Yunani dan Portugis.

d. Negara Lemah: negara-negara yang memiliki GDP dan pengeluaran sosial yang rendah. Indonesia, Myanmar dan Kamboja adalah beberapa negara di ASEAN yang masuk dalam kategori Negana Lemah.

3. Godaan lokalisme dan primondialisme

Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah, institusi-institusi kesejahteraan sosial digabung, dirampingkan atau dihapus dengan alasan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan konsepsi dan substansi kesejahteraan sosial yang benan, ada suatu daerah yang menggabungkan bidang kesejahteraan sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau pemakaman. Di daerah yang lain lagi, primordialisme yang terlalu dominan tidak jarang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan kompetensi sumberdaya kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh siapa saja dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan sekalipun.

Berdasarkan analisis situasi di atas, diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal paradigma, kebijakan, strategi dan program-program pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang. Hasil analisis retrospektif dan prospektif disajikan dalam tabel berikut ini:

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 47: NA-ruu-kesos-20080109

46

Tabel 1. Analisis Retrospektif dan Prospektif

Retrospektif Prospektif - Orientasi kebijakan nasional

bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan keamanan yang bersifat represif

- penyusunan kebijakan dan program/

proyek didasarkan pada immediate causes

- penyusunan kebijakan dilaksanakan

secara top-down dan sentralistik - pelayanan diberikan atas dasar

karikatif, charity, residual dan bantuan sosial

- pemberian pelayanan didasarkan atas

prinsip selektivisme (sesuai dengan inputs APBN yang tersedia)

- keberhasilan program/ proyek dilihat

dari pencapaian target administratif/ fisik (outputs)

- tenaga pelaksana berbasiskan

voluntarism - pelayanan kesejahteraan sosial

dilaksanakan parsial terhadap pelayanan sosial dasar

- - struktur organsisasi kelembagaan

pemerintah didasarkan pada pendekatan fungsi kesejahteraan sosial (bantuan sosial, rehabilitasi, pembinaan)

- Orientasi kebijakan nasional bertumpu pada pembangunan sosial dan kesejahteraan (prosperity)

- penyusunan kebijakan dan program/ proyek harus

didasarkan pada underlying causes dan basic factors, sehingga masalah struktural dapat diketahui dan dijadikan dasar utama dalam menentukan kebijakan nasional

- penyusunan kebijakan dilaksanakan secara

partisipatif/ indikatif melalui mekanisme bottom up dan desentralistik

- pelayanan yang dikembangkan pemerintah lebih

memperkuat upaya pencegahan, perlindungan HAM, pengembangan dan pemberian peluang agar masyarakat dan pemerintah daerah dapat menyampaikan aspirasinya dan menentukan pilihan-pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya

- prinsip pelayanan harus didasarkan pada prinsip

universalisme, sesuai dengan konvensi-konsvensi international tentang perlindungan HAM kelompok rentan, miskin dan marginal

- keberhasilan program/ proyek dilihat dari pencapaian

target fungsional (outcomes dan impact) - tenaga pelaksana berbasiskan pada pekerja sosial

(sosial worker) dan tenaga kesejahteraan (welfare worker)

- pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara

terintegrasi dengan sektor yang memberikan pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan, air bersih, lapangan kerja, dan pelayanan spesifik dasar lainnya)

- struktur organisasi kelembagaan pemerintah harus

didasarkan pada ‘field of sosial welfare’ sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan pemertintah daerah serta dapat melaksanakan fungsi-fungsi kesejahteraan sosial secara terintegrasi.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 48: NA-ruu-kesos-20080109

47

F. RUANG LINGKUP BIDANG USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Masalah sosial di Indonesia, berkembang sangat dinamis mulai dari anak sampai keluarga yang tidak sesuai norma agama, norma moral, norma hukum, norma keluarga, dan/atau norma lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut saling mempengaruhi penanganan semakin kompleks.

Berbagai masalah sosial yang terjadi disebabkan antara lain derasnya migrasi, pengaruh globalisasi, melemahnya norma-norma kehidupan masyarakat, sehingga menurunnya kualitas mental masyarakat dan kesetia-kawanan sosial, yang berimplikasi pada kemiskinan, kerawanan sosial, keter-lantaran, kecacatan, ketunaan sosial, tindak kekerasan, bencana sosial, dan berkembang berbagai penyakit sosial dalam kehidupan masyarakat. Sehubu-ngan hal tersebut, usaha kesejahteraan sosial menjadi penting dalam upaya mencegah dan penanggulanan masalah sosial, memulihkan fungsi sosial, mengembangkan potensi sosial, memberdayakan sumber daya sosial, dan melindungan dari kerawanan sosial.

Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, pencegahan dan/atau penanggulangan masalah sosial menjadi urusan wajib pemerintahan daerah sebagai-mana diatur dalam undang-undang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, penyele-nggaraan usaha kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk meningkatkan kesejah-teraan sosial masyarakat, dan meningkatkan pelayanan sosial yang juga merupa-kan bagian dari tujuan pembangunan nasional. Usaha kesejahteraan sosial tersebut ditujukan kepada :

1. Kesejahteraan Keluarga

Tujuan diselenggaraan usaha kesejahteraan keluarga adalah (1) membangun ketahanan sosial keluarga untuk mampu meningkatkan dan memelihara keharmonisan dan kualitas sumber daya keluarga; (2) meningkatkan akses keluarga terhadap pelayanan kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan fasilitas pelayanan publik serta sistem jaminan sosial; dan (3) meningkatkan kepedulian masyarakat, potensi dan sumber sosial serta sumber daya ekonomi untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif dan budaya kewirausahaan bagi keluarga, terutama keluarga miskin.

Sasaran penyelenggaraan usaha kesejahteraan keluarga miskin termasuk keluarga yang mengalami masalah sosial psikologis, keluarga muda, dan calon keluarga muda yang rawan sosial ekonomi serta keluarga yang ber-mukim di daerah kumuh. Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui bantuan sosial, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, partisipasi, kemitraan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 49: NA-ruu-kesos-20080109

48

dan kerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/LSM, dunia usaha dan lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan sosial keluarga, pengembangan budaya kewirausahaan, desentralisasi pelaksanaan program dan integrasi pelayanan dalam perlindungan hak-hak anak dan perempuan. Usaha-usaha kesejahteraan sosial mencakup : (1) penyuluhan sosial keluarga sejahtera dan bimbingan sosial pengasuhan anak; (2) manajemen kasus, konsultasi keluarga dan bimbingan mental-psikologis dalam ‘family peservation program’; (3) penjangkauan (outreach program) atau pelayanan kunjungan ke rumah (home visiting services) (4) bimbingan keterampilan usaha/ kerja dan kewirausahaan, serta bantuan stimulan usaha ekonomis produktif dalam kelompok usaha bersama (KUBE) terutama bagi keluarga fakir miskin dan keluarga muda rawan sosial ekonomi; (4) pengembangan teknologi tepat guna dalam kegiatan usaha ekonomi produktif; (5) akses kredit usaha dan sistem perbankan, (6) pemasaran sosial (social marketing) dan pengembangan sistem rujukan; (7) pengembangan ‘community centre’; dan (8) untuk memelihara taraf kesejahteraan keluarga, juga dilakukan kegiatan peningkatan akses terhadap sistem jaminan sosial dan bantuan sosial untuk kelangsungan pendidikan anak, serta peningkatan kesehatan dan gizi keluarga

2. Kesejahteraan anak Tujuan diselenggarakan usaha kesejahteraan anak adalah (1) meningkatkan kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan anak agar hak-hak anak terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial dapat terjamin sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif serta mencegah timbulnya gizi buruk; (2) mencegah dan menghindarkan anak dari tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan perlakuan diskriminatif yang mengakibatkan hak-hak anak menjadi tidak ter-penuhi; dan (3) meningkatkan kepedulian masyarakat dalam menangani anak yang mengalami masalah sosial di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Sasaran penyelenggaraan usaha kesejahteraan anak adalah anak terlantar termasuk anak jalanan, serta teratasinya kasus-kasus anak yang terkena tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, pelecehan seksual, dan perlakuan diskriminatif, serta penyalahgunaan narkotika khususnya bagi remaja.

Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut yaitu melalui pemberdayaan anak, keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama, peningkatan kapasitas pelayanan sosial, standardisasi pelayanan sosial dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan program, respek terhadap prinsip umum Konvensi Hak Anak, yang meliputi non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, perhatian terhadap perspektif anak dan integrasi pelayanan sosial dalam perlindungan hak-hak anak.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 50: NA-ruu-kesos-20080109

49

Peningkatan kesejahteraan sosial anak dan remaja dilaksanakan melalui kegiatan : (1) pelayanan alternatif dan penguatan lingkungan keluarga, antara lain pendidikan dan pengasuhan anak, foster care, reunifikasi keluarga, adopsi, day care centre/ TPA atau Kelompok Bermain; (2) rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial dan recovery fisik dan psikologis bagi anak-anak korban perlakuan salah dan tindak kekerasan serta perlindungan khusus bagi anak-anak pengidap HIV dan penderita AIDS; (3) standardisasi pelayanan dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, gizi, makanan, pakaian, rekreasi) melalui pusat kesejahteraan sosial anak, melalui revitalisasi Panti Sosial Asuhan Anak, Panti Sosial Petirahan Anak, Taman Penitipan Anak dan kelompok bermain atau lembaga-lembaga pelayanan yang sejenis untuk memberikan pelayanan secara terpadu dan komprehensif; (4) penyuluhan, aksi sosial dan pelembagaan budaya melindungi hak-hak anak; (5) perlindungan khusus termasuk reintegrasi sosial dan recovery fisik dan psikososial bagi anak-anak yang berada dalam situasi krisis, seperti berada dalam situasi konflik perang dan anak-anak pengungsi, serta anak-anak yang sedang mengikuti lembaga peradilan anak; (6) perlindungan sosial bagi anak yang diekploitasi, termasuk anak yang dieksploitasi secara ekonomi, drug abuse, eksploitasi seksual, diperdagangkan, trafficking dan abduction; (7) pelayanan bagi anak-anak dari masyarakat adat dan terpencil atau kelompok minoritas; (8) penjangkauan (outreach program), manajemen kasus, advokasi dan pengembangan sistem rujukan melalui Lembaga Perlindungan Anak (LPA) atau lembaga-lembaga perlindungan yang sejenis di tingkat nasional maupun di daerah bekerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan / LSM. (9) kerjasama international dalam pengembangan sistem perlindungan sosial bagi anak. Khusus bagi para remaja dilakukan juga bimbingan keterampilan kerja/ usaha untuk dapat hidup mandiri melalui pemberian bantuan stimulans usaha ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) melalui pusat kesejahteraan sosial remaja atau pelayanan terpadu melalui Panti Sosial Bina Remaja (PSBR), lembaga-lembaga keterampilan, dan sanggar belajar.

3. Kesejahteraan Perempuan

Kesejahteraan perempuan bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pelayanan dan usaha kesejahteraan sosial, sehingga kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud. Sasaran usaha kesejahteraan perempuan adalah meningkatnya kemampuan, peranan dan kedudukan perempuan pada umumnya, termasuk ibu rumah tangga, perempuan rawan sosial ekonomi, tuna sosial, agar menjadi perem-puan yang potensial menjadi penggerak dan pimpinan usaha kesejahteraan sosial baik untuk diri sendiri maupun dalam keluarga dan masyarakat.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 51: NA-ruu-kesos-20080109

50

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu pelembagaan sensitivitas gender dalam setiap aktivitas pembangunan, pemberdayaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/LSM. Setiap perempuan berhak memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pelatihan, pekerjaan, perlindungan terhadap keselamatan dan/atau kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan sesuai norma kehidupan dan penghidupan yang layak dalam masyarakat. Setiap perempuan berkewajiban menjaga harkat dan martabat dirinya dan keluarga serta kodratnya sebagai perempuan dengan memperhatikan fungsi dan perannya dalam kehidupan keluarga dan/atau masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Untuk mewujudkan hak dan kewajiban perempuan diselenggarakan usaha kesejahteraan sosial kepada perempuan yang tidak mampu, terlantar, dieksploitasi, dan diperdagangkan. Komponen pelayanan usaha kesejahteraan perempuan baik yang diselenggarakan Masyarakat maupun Pemerintah Daerah, melalui : (1) bimbingan sosial dan keterampilan kerja/usaha; (2) pemberian bantuan modal ekonomis usaha produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) dan pengembangan budaya kewirausahaan; (3) bimbingan sosial motivasi dan bimbingan keterampilan sosial dan kepemimpinan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial; (4) peningkatan status kepemilikan aset; (5) penyediaan sarana perawatan anak di tempat kerja dan pemberian fasilitas dan kemudahan aksesibilitas terhadap sarana pelayanan publik bagi ibu hamil maupun yang mengalami hambatan fungsi sosial, serta (6) advokasi tentang hak-hak perempuan untuk menyelaraskan pemenuhan kebutuhan reproduksi, produksi dan peranan perempuan dalam pembangunan. Setiap institusi baik pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan umum atau mempekerjakan perempuan wajib menyediakan fasilitas yang memadai bagi kepentingan perempuan.

4. Kesejahteraan Lanjut Usia Tujuan diselenggarakan usaha kesejahteraan lanjut usia adalah : (1) mem-bangun apresiasi terhadap lanjut usia untuk menjaga harkat dan martabatnya serta memanfaatkan pengalaman dan keahliannya yang didukung oleh pengembangan budaya yang menjungjung tinggi serta menghormati lanjut usia secara melembaga dan berkesinambungan bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya; (2) melindungi hak-hak lanjut usia dalam meng-akses fasilitas pelayanan publik melalui pemberian kemudahan dan jaminan sosial.

Sasaran usaha kesejahteraan lanjut usia adalah tertanam, terpelihara dan diamalkannya nilai-nilai kearifan, pengalaman dan keahlian penduduk lanjut usia secara melembaga dan berkesinambungan pada generasi muda dan masyarakat pada umumnya. Sasaran lain ditujukan kepada lanjut usia yang mengalami masalah sosial

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 52: NA-ruu-kesos-20080109

51

psikologis, lanjut usia yang rawan sosial ekonomi, erta lanjut usia yang bermukim di daerah kumuh. Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat, kemitraan dan kerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/ LSM, desentralisasi pelaksanaan program dan integrasi pelayanan dalam perlindungan sosial bagi lansia.

Komponen kegiatan berupa pelayanan sosial yang diarahkan pada usaha mewujudkan pelembagaan sistem perlindungan sosial bagi lanjut usia dalam kehidupan bangsa melalui : (1) penyuluhan sosial melalui berbagai media dan forum untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian keluarga, masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan / LSM, dunia usaha dalam kegiatan berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, keagamaan, ketenagakerjaan, pembinaan antar generasi, pemukiman lanjut usia, pelembagaan hospitium, pelembagaan pelayanan dan perawatan di panti sosial, pelembagaan peristirahatan dan rehabilitasi serta penyelenggaraan hari lanjut usia nasional dan pengembangan peraturan perundang-undangan kesejahteraan lanjut usia; (2) peningkatan fungsi panti sosial tresna werdha menjadi pusat pelayanan dan perawatan lanjut usia untuk lingkungan sekitarnya melalui pengembangan berbasiskan masyarakat; (3) peningkatan kegiatan-kegiatan usaha ekonomi produktif dan kegiatan amal sosial keagamaan secara terarah pada pemantapan kemandirian sosial ekonomi dan disesuaikan dengan kemampuan, keahlian lanjut usia; (4) peningkatan kegiatan pendidikan, kesenian, kebudayaan, pengisian waktu luang serta rekreasi dan wisata bagi lanjut usia; (5) penyelenggaraan dan pengembangan akomodasi ‘hostel type’; (6) perlindungan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan melalui sistem jaminan sosial dan Lembaga kesejahteraan lanjut usia (LKL) atau lembaga perlindungan yang sejenis di tingkat nasional maupun di daerah; (7) peningkatan upaya kesehatan jiwa (psikogeriatri) dan perbaikan gizi, kesehatan mata, eksehatan gigi dan perawatan kesehatan lanjut usia dalam keluarga; (8) pengembangan lembaga hospitium terutama untuk perawatan lanjut usia yang menderita penyakit kronik yang berprognosis dan atau yang menderita penyakit terminal: (9) peningkatan sarana dan fasilitas khusus bagi lanjut usia meliputi keringanan pengobatan, pemberian pelayanan dan sarana transportasi, sarana rekreasi dan olah raga, pemberian kemudahan wisata, pemberian KTP seumur hidup.

4. Kesejahteraan Penyandang Cacat Tujuan usaha kesejahteraan penyandang cacat dalam merehabilitasi sosial penyandang cacat adalah: (1) meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial penyandang cacat; (2) meningkatkan kepedulian masyarakat, potensi dan sumber sosial serta sumber daya ekonomi untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif dan budaya kewirausahaan bagi penyandang cacat; (3) memelihara penghasilan dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 53: NA-ruu-kesos-20080109

52

kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui sistem jaminan sosial; (4) meningkatkan aksesibilitas fisik penyan-dang cacat tubuh, cacat mental dan cacat akibat penyakit kronis terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, fasilitas pelayanan kesejahteraan sosial dan sumber daya ekonomi untuk kualitas hidup dan kesejahteraannya; dan (5) meningkatkan aksesibilitas non fisik penyandang cacat tubuh, cacat mental dan cacat akibat penyakit kronis dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik dan pelayanan sosial sesuai dengan perspektif penyandang cacat.

Sasaran usaha kesejahteraan penyandang cacat adalah pulihnya fungsi sosial penyandang cacat dan terbukanya kesempatan berusaha dan bekerja bagi penyandang cacat produktif untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya termasuk cacat veteran, yang meliputi penyandang cacat tubuh, cacat mental (retardasi, cacat mental psychotik), tuna netra, tuna rungu wicara dan cacat eks penderita penyakit kronis.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan penyandang cacat, keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan serta integrasi pelayanan dalam perlindungan hak-hak penyandang cacat. Komponen kegiatan yang dilaksanakan meliputi (1) pelayanan sosial di rumah (home care services) untuk konseling perlakuan dalam situasi di rumah, terapi fisik, diagnosis dan perantara untuk penempatan dalam institusi sekolah, rujukan pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat bantu khusus bagi penyandang cacat dan aktivitas waktu luang; (2) pelayanan rehabilitasi dan dukungan untuk melaksanakan kehidupan secara mandiri, meliputi usaha bimbingan fisik, mental dan sosial, pelayanan protesa, refungsionalisasi motorik dan mobilitas, terapi sikap dan perilaku; (3) jaminan perlindungan dan aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dan fasilitas pelayanan publik; (4) bimbingan keterampilan kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan budaya kewirausahaan; (5) standardisasi pelayanan rehabilitasi sosial; (6) pengembangan sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta bimbingan resosialisasi dan penyaluran dengan mendayagunakan mekanisme Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), dan Pusat Pelatihan Keterampilan Kerja Penyandang Cacat serta lembaga pelayanan sosial lainnya. Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang cacat dilakukan penyuluhan dan peningkatan sensitivitas masyarakat kehidupan penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan latihan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 54: NA-ruu-kesos-20080109

53

5. Kesejahteraan tuna sosial

Tujuan utama usaha kesejahteraan tuna sosial adalah rehabilitasi tuna sosial melalui : (1) meningkatkan fungsi sosial para tuna sosial agar menjadi warga masyarakat berkualitas, produktif dan mandiri; (2) membangun mekanisme penanganan masalah tuna sosial berbasiskan masyarakat untuk mencegah tumbuh berkembangnya tuna sosial; (3) meningkatkan pemahaman per-orangan, keluarga, kelompok sosial dan masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial yang rawan dan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS, agar memiliki keamanan dan kemampuan ketahanan dan daya tangkal mencegah dan menghindarkan diri dari HIV/AIDS. (4) memberikan perlindungan tertular HIV/AIDS agar tidak dikucilkan keluarga dan/atau masyarakat. Selain itu juga dilakukan penyuluhan penanggulangan HIV dan AIDS kepada generasi muda dan para penyandang masalah sosial yang rawan dan beresiko tertular HIV/AIDS maupun mereka yang sudah tertular HIV/AIDS dan keluarganya. Disamping itu dilakukan pencegahan dan terhindarnya kelompok masyarakat terutama yang rawan dari ketunaan sosial tersebut. Sasaran kesejahteraan tuna sosial adalah gelandangan dan pengemis, eks narapidana dan eks anak negara serta penyandang perilaku menyimpang lainnya dari kondisi ketunaan. Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, peningkatan kontrol sosial masyarakat dan penanaman nilai-nilai agama, perlindungan sosial dari, oleh dan untuk keluarga dan masyarakat, desentralisasi pelaksanaan program, serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial. Komponen kegiatan yang dilaksanakan meliputi (1) usaha pencegahan berbasiskan masyarakat dan pelayanan sosial melalui pusat rehabilitasi tuna sosial berbasiskan masyarakat, antara lain melalui ‘open house, ‘drop in centre’, pelayanan temporer oleh masyarakat, pelayanan kunjungan ke rumah atau ‘outreach program’; (2) pelayanan berbasiskan institusional atau sistem panti dengan menyelenggarakan bimbingan fisik, mental, sosial, terapi sikap dan perilaku, dan bimbingan keterampilan kerja/usaha praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) dan pengembangan budaya kewirausahaan, resosialisasi dan bimbingan lanjutan; (3) manajemen kasus, ‘perservation program’ dan pengembangan sistem rujukan; (4) perlindungan sosial; (5) standardisasi dan teknologi pelayanan rehabilitasi sosial; (6) peningkatan akses sistem jaminan sosial dan bantuan sosial untuk kelangsungan pendidikan dan kesehatan anak serta peningkatan gizi keluarga.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 55: NA-ruu-kesos-20080109

54

Untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS akan dilakukan (1) penyuluhan atau kampanye penanggulangan HIV/AIDS; (2) bimbingan sosial dan kegiatan penjangkauan (outreach program); (3) peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam mencegah penyimpangan perilaku sosial pada anggota masyarakat; (4) peningkatan kemampuan petugas konseling serta petugas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); (6) pembentukan lembaga konseling; (7) peningkatan sarana dan fasuilitas pelayanan sosial; (8) pengembangan “hotline services”, dan (9) perlindungan kesejahteraan sosial bagi penderita HIV/AIDS.

Selain masalah ketunaan sosial tersebut, maka penyalah guna narkotika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif di Jakarta menjadi priorotas ditangani. Tujuan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkotika adalah: (1) memulihkan fungsi sosial korban penyalahgunaan, kecanduan, ketergantungan, pemakai narkotika, obat-obat terlarang dan zat adiktif, termasuk obat-obatan psikoaktif (stimulans, depresants, hallucinogens dan marijuana); (2) meningkatkan ketahanan dan daya tangkal masyarakat terhadap perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, obat-obat terlarang dan zat adiktif Sasaran yang akan dicapai adalah terhindar dan terbebasnya penyalahguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya termasuk minuman keras, yang sudah bebas/disembuhkan dari ketergantungan fisik ataupun yang masih dalam tahap coba-coba dari kondisi kenakalan dan penyalahgunaan narkotika dan minuman keras. Sasaran kegiatan pencegahan adalah seluruh remaja, keluarga dan masyarakat terutama melalui mekanisme karang taruna dan lembaga sosial lainnya. Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha, kepolisian dan perangkat hukum dan perundang-undangan, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan program serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial. Komponen kegiatan meliputi (1) pengembangan rehabilitasi sosial melalui ‘therapeutic communities dan halway house’; (2) pelayanan ‘out patient treatment’ dengan pendekatan pekerjaan sosial medis, pelatihan dan penempatan kerja; (3) pelayanan sistem pemeliharaan fungsi sosial melalui klinik ‘methadone’ bagi penyalah guna narkotika dan obat-obatan terlarang dan pelayanan melalui sistem ‘alcoholik anonymous’ untuk alkoholik, serta bimbingan mental keagamaan; (4) pelayanan pemberian ‘antagonist drugs’; (5) pengembangan sistem peraturan dan perundang-undangan yang ditujukan untuk pengawasan distribusi, lisensi dan pengawasan terhadap usia pengguna dan sistem promosi; (6) pengembangan sistem rujukan, resosialisasi dan bimbingan lanjut.; (7) standardisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif lainnya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 56: NA-ruu-kesos-20080109

55

6. Kesejahteraan bagi korban bencana dan musibah sosial

Tujuan usaha kesejahteraan sosial bagi korban bencana dan musibah sosial adalah (1) meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam penanggulangan bencana dan muisbah sosial serta terhindarnya masyarakat dan hasil-hasil pembangunan dari ancaman bencana dan musibah sosial; (2) meningkatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar untuk penyelamatan korban akibat bencana alam dan korban akibat bencana yang ditimbulkan ulah manusia atau korban kerusuhan sosial, serta warga masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana dan musibah sosial; (3) melindungi anak-anak, perempuan dan masyarakat rentan dari situasi krisis yang diakibatkan bencana dan musibah sosial. Sasaran yang akan dicapai adalah terlayaninya individu, keluarga dan kelompok masyarakat yang terkena dampak dari terjadinya bencana, baik karena alam maupun ulah manusia. Strategi untuk mencapai tujuan yaitu partisipasi, kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan dan LSM dalam penanggulangan bencana, serta tranparansi dan akuntabilitas publik. Kegiatan program ini meliputi (1) tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi; (2) manajemen kasus dan konsultasi masalah psikososial (3) rekonstruksi, kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penyediaan data dan informasi; (4) peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat; (5) peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas Penanggulangan Bencana, (6) penyiapan perangkat keras dan lunak, (7) pengembangan sistem rujukan dan pola pelayanan terpadu; serta (8) perlindungan sosial bagi anak-anak, perempuan, dan masyarakat rentan lainnya.

7. Pengembangan sistem jaminan sosial bagi penyandang masalah sosial

Kegiatan ini bertujuan mengembangkan dan melembagakan sistem jaminan sosial untuk memelihara, menjamin dan melindungi taraf kesejahteraan sosial masyarakat khususnya kelompok masyarakat rentan dan masyarakat yang kurang beruntung serta meningkatkan pengamalan nilai-nilai kesetiakawanan sosial. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya akses warga masyarakat terhadap sistem jaminan sosial terutama mereka yang kurang mampu, mereka yang rentan, penyandang cacat, lanjut usia terlantar, serta anak, perempuan dan lanjut usia terlantar.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu advokasi, keterpaduan pelayanan dengan sistem jaminan sosial pada umumnya, dan peningkatan akses semua individu,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 57: NA-ruu-kesos-20080109

56

keluarga dan masyarakat rentan atau yang tidak beruntung terhadap sistem jaminan sosial. Kegiatan pokok meliputi pengembangan kapasitas dan jangkauan pelayanan Sistem Asuransi Sosial, termasuk Asuransi Kesejahteraan Sosial; Sistem Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong, dan Sistem Perlindungan Kesejahteraan Sosial secara subsidi silang dari kelompok mampu membantu kelompok yang tidak mampu.

Usaha kesejahteraan sosial dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan ber-kesinambungan dengan mendayagunakan potensi sumber kesejahteraan sosial secara optimal, dalam rangka penanggulangan masalah sosial. Oleh sebab itu, penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab Keluarga, Organisasi Sosial, Masyarakat, dan Dunia Usaha. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan usaha kesejahteraan sosial untuk mewujudkan kepastian hukum bagi Pemerintah dan Masyarakat dalam penyelenggaran usaha kesejahteraan sosial.

G. HAK, TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN

Hambatan fungsi sosial dan hambatan struktural yang dialami PMKS mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh akses terhadap sistem pelayanan sosial dasar atau pelayanan publik lainnya, sehingga tidak dapat mencapai taraf kualitas hidup dan kesejahteraan yang memadai. Dengan demikian lahirnya PMKS pada hakikatnya ada warga negara yang tidak terpenuhi hak dasarnya. Perlu dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar sebagai berikut :

(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial yang memungkinkan pengembangan potensi dirinya secara utuh untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya.

(2) Setiap warga negara berhak untuk dilindungi dari tindak kekerasan, fisik,

mental seksual, eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi, dan perlakuan buruk lainnya yang dapat merendahkan derajat martabat kemanusiaannya.

(3) Warga negara yang tergolong miskin berhak memperoleh bantuan

pengembangan sosial ekonomi sehingga memiliki kemampuan untuk memperbaiki taraf kesejahteraannya secara mandiri.

(4) Warga negara yang menjadi korban bencana alam, sosial, penelantaran serta

berada dalam situasi buruk lainnya berhak memperoleh bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 58: NA-ruu-kesos-20080109

57

(5) Warga negara yang memiliki hambatan fisik, mental, sosial dan ekonomi

berhak mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(6) Warga negara yang berada di daerah terpencil dan terisolir berhak

memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial khusus.

(7) Warga negara asing yang mempunyai masalah kemanusiaan yang berada dalam wilayah Republik Indonesia, berhak mendapatkan pelayanan sosial khusus dari pemerintah.

(8) Setiap warga negara yang termasuk anak-anak, perempuan, penyandang cacat

dan orang-orang usia lanjut, berhak menerima perlindungan dan bantuan yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka, serta berhak menerima perlakuan yang memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka.

Pengabaian hak-hak warga negara akan menciptakan permasalaha kesejahteraan sosial. Oleh karena itu tanggung jawab setiap warga negara a. menciptakan dan memelihara situasi yang kondusif bagi terselenggaranya

usaha kesejahteraan sosial; b. memberikan perlindungan sosial bagi anak-anak, perempuan, penyandang

cacat dan orang-orang dengan lanjut usia; c. mendukung terhadap kelancaran pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial;

dan d. memberikan pelayanan terhadap orang-orang yang mengalami masalah

kemiskinan, masalah sosial dan membutuhkan perlindungan sosial di lingkungannya sesuai dengan kemampuannya.

Mitra kerja pemerintah dalam usaha kesejahteraan sosial adalah Organisasi Sosial dan Masyarakat, yang juga mempunyai tanggung jawab : (1) Pengurus Organisasi Sosial bertanggung jawab membina dan mengembangkan

fungsi organisasi sesuai dengan fungsi dan wewenangnya. (2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Pengurus Organisasi Sosial berkewajiban melaksanakan usaha kesejahteraan sosial dan mengembangkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial

(3) Peran serta masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

(4) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan uaha kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 59: NA-ruu-kesos-20080109

58

(5) Dunia usaha dapat berperan dalam pelayanan kesejahteraan sosial dengan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk menangani masalah kemiskinan, masalah sosial dan memberikan perlindungan sosial.di wilayahnya.

(6) Tanggung jawab sosial pengusaha dilaksanakan dan dikembangkan secara sinergis dan terpadu dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dikelola pemerintah dan organisasi sosial.

Adapun tugas pemerintah dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial meliputi:

a. penjaminan tersedianya akses pelayanan sosial yang merata untuk semua warga negara ;

b. perlindungan, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial; c. fasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab

sosialnya; d. peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber pelayanan kesejahteraan

sosial; e. pelaksanaan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas

pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial; g. pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan

kesejahteraan sosial; dan h. pengalokasian anggaran pembangunan bidang penanggulangan kemiskinan,

perlindungan dan kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;

i. pengembangan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku tingkat nasional dan internasional dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial meliputi: a. penetapan kebijakan dan perencanaan bidang penanggulangan kemiskinan,

perlindungan dan kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;

b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi, akreditasi dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;

c. penetapan kebijakan kerjasama dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial dengan negara-negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional;

d. penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan sosial dalam bentuk pendampingan, bantuan kompensasi, asistensi dan jaminan kesejahteraan sosial; dan

e. pengendalian pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial masyarakat.

Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial pada tingkat

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 60: NA-ruu-kesos-20080109

59

nasional dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan yang dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam melaksanakan tugas tersebut Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Pemerintah Daerah mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dan mengordinasikan pembinaan dan pengembangan pelayanan sosial dasar, serta melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di wilayahnya. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial di wilayahnya .

H. PELAKU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kita meyakini bahwa bahwa kerjasama antara pelbagai komponen sosial akan menentukan sukses pembangunan kesejahteraan sosial. Perspektif ini mendukung gagasan ”pluralisme kesejahteraan” yang memberi ruang sangat luas bagi kontribusi beberapa entitas sosial dalam penciptaan kesejahteraan sosial. Mereka mencakup negara, masyarakat sipil, sektor swasta dan lembaga-lembaga pembangunan international (Hall & Midgley, 2004).

1. Negara

Negara tetap memiliki peran sentral dalam perumusan regulasi, kebijakan, penyediaan anggaran dan memfasilitasi pengembangan program kesejahteraan sosial. Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu membagi tugas dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan dan program. Pendekatan pembangunan sosial tidak setuju dengan usaha reduksi peran negara dalam kesejahteraan sosial.

2. Masyarakat sipil

Masyarakat sipil juga memiliki peran sangat penting dalam pengembangan dan perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraan sosial. Ia mencakup Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga-lembaga dan organisasi massa (ormas), dan organisasi-organisasi profesi. Ia dapat berberan sebagai lembaga’relief’, pelksana pelayan publik, pengembangan masyarakat dan pengorganisasi masyarakat.

3. Sektor Swasta

Sektor swasta belakangan semakin menunjukkan komitmen sosialnya untuk membantu mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal itu telah menjadi semacam komitmen tanggungjawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility). Mereka menyediakan dana, keahlian dan sumber daya yang dapat digunakan untuk pelbagai program pengembangan kesejahteraan sosial. Hal ini sejalan dengan keinginan untuk menciptakan suatu pembangunan ekonomi yang sensitif pada lingkungan dan keberlanjutannya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 61: NA-ruu-kesos-20080109

60

4. Lembaga-lembaga filantropi dan pembangunan internasional

Lembaga-lembaga filantropi dan pembangunan international perlu juga dihitung sebagai salah satu komponen pelaku atau sumber daya kesejahteraan sosial. Mereka bekerja lintas negara dan mengembangkan suatu model program pengembangan dan pelayanan kesejahteraan sosial yang relatif baik. Lembaga-lembaga tersebut bisa berbentuk lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) maupun berbentuk lembaga khusus yang dibentuk dalam kerangka bantuan resmi pembangunan dari negara-negara maju (official development assistance). Mereka dapat menjadi rekan kerjasama yang baik bagi pemerintah, kalangan masyarakat sipil, dan swasta.

I. SASARAN DAN SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL

Lingkup cakupan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial ke depan akan tetap mencakup permasalahan sosial dan sumber kesejahteraan sosial:

a. Permasalahan sosial

(1) Kemiskinan, meliputi kelompok warga yang menyandang ketidakmampuan sosial ekonomi seperti keluarga fakir miskin atau warga yang rentan menjadi miskin seperti keluarga rawan sosial ekonomi dan warga masyarakat yang berdomisili di lingkungan kumuh.

(2) Ketelantaran, meliputi warga masyarakat yang karena sesuatu hal mengalami ketelantaran fisik, mental dan sosial, seperti: (1) balita telantar, (2) anak dan remaja telantar, termasuk anak jalanan dan pekerja anak, (3) orang dewasa telantar, (4) keluarga bermasalah sosial psikologis, dan (5) lansia telantar.

(3) Kecacatan, meliputi warga masyarakat yang mengalami kecacatan fisik dan mental sehingga terganggu fungsi sosialnya, seperti: (1) cacat veteran, (2) cacat tubuh, (3) cacat mental (retardasi, cacat mental psychotik), (3) tuna netra, (4) tuna rungu wicara dan (5) cacat bekas penderita penyakit kronis.

(4) Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, meliputi warga masyarakat yang mengalami gangguan fungsi-fungsi sosialnya akibat ketidakmampuannya mengadakan penyesuaian (sosial adjusment) secara normatif, seperti: (1) tuna susila, (2) anak konflik dengan hukum/ nakal, (3) bekas narapidana, (4) korban narkotika, (5) gelandangan; (6) pengemis dan (7) korban HIV/AIDS dan (8) eks penyakit kronis telantar.

(5) Keterasingan/ keterpencilan dan atau berada dalam lingkungan yang buruk, meliputi warga masyarakat yang berdomisili di daerah yang sulit terjangkau, atau terpencar-pencar, atau berpindah-pindah, yang lazim disebut Komunitas Adat Terpencil.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 62: NA-ruu-kesos-20080109

61

(6) Korban Bencana Alam dan Sosial, meliputi warga masyarakat yang mengalami musibah atau bencana, seperti: (1) korban bencana alam, dan (2) korban bencana sosial yang disebabkan oleh konflik sosial dan kemajemukan latar belakang sosial budaya.

(7) Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi dan Diskriminasi, meliputi warga masyarakat yang mengalami tindak kekerasan, seperti: (1) anak yang dilacurkan, diperdagangkan dan bekerja dalam situasi terburuk (2) wanita korban tindak kekerasan, (3) Lanjut Usia korban tindak kekerasan; (4) pekerja migran korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminatif.

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial mengalami hambatan fungsi sosial (disfungsi sosial), seperti:

hambatan fisik (misal : kecacatan fisik, kecacatan mental), hambatan ilmu pengetahuan (misal kebodohan, kekurangtahuan informasi), hambatan keterampilan (misal tidak mempunyai keahlian yang sesuai

dengan permintaan lapangan kerja modern), hambatan mental/ sosial psikologis (misal kurang motivasi, kurang percaya

diri, depresi/ stres), hambatan budaya (misal mempertahankan tradisi yang kurang mendukung

kemajuan sosial/ modernisasi), hambatan geografis (misal keterpencilan terhadap fasilitas pelayanan sosial

dasar)

Selain faktor-faktor internal yang menunjukkan hambatan fungsi sosial, berkembangnya PMKS juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang bersifat struktural seperti kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin, dampak sosial negatif dari pembangunan ekonomi dan ketidakadilan sosial.

b. Potensi dan sumber kesejahteraan sosial

Dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial dilakukan dengan mendayagunakan sumber kesejahteraan sosial : (1) nilai kepahlawanan, kejuangan, dan keperintisan; (2) nilai kesetiakawanan sosial dan kearifan lokal; (3) tanggung jawab organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat; (4) kepedulian sosial karang taruna dan organisasi kepemudaan sejenis lainnya; (5) kesukarelawanan sosial/ tenaga kesejahteraan sosial masyarakat; (6) tanggung jawab sosial dunia usaha / korporasi; (7) penggalangan dana sosial; (8) ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 63: NA-ruu-kesos-20080109

62

(9) sumbangan dan bantuan masyarakat; dan . (10) potensi kesejahteraan sosial lainnya.

J. PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Dalam menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial, pemerintah dan/ atau masyarakat dan mengupayakan :

a. pencegahan terjadinya permasalahan sosial melalui penyuluhan dan bimbingan

sosial; b. peningkatan akses sumberdaya ekonomi, pelayanan sosial dasar, dan jaminan

kesejahteraan sosial; c. pemberian bantuan sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar,

mengembangkan usaha dan mendapat kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha;

d. pelayanan rehabilitasi sosial untuk memulihkan kemampuan realisasi diri, fungsi fisik, relasi sosial, keterampilan sosial ekonomi dan peran-peran sosialnya berdasarkan potensi diri dan sumber-sumber kesejahteraan sosial;

e. pemberdayaan sosial berdasarkan potensi budaya, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kearifan lokal dan keterampilan yang dimiliki;

f. perlindungan sosial terhadap pemenuhan hak-hak dasar warga negara, termasuk anak-anak dan perempuan untuk mendapatkan akses pelayanan sosial dasar dan jaminan kesejahteraan sosial untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosialnya;

g. peningkatan prakarsa dan peran aktif warga masyarakat, terutama warga masyarakat mampu dan dunia usaha dalam mencegah dan menanggulangi masalah sosial;

h. mengkoordinasikan berbagai pelayanan sosial dasar agar mencapai sasaran secara efektif dan efisien; dan

i. peningkatan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam mendayagunakan potensi dan sumber pelayanan kesejahteraan sosial.

Untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial, pemerintah dan/ atau masyarakat mengembangkan usaha-usaha kesejahteraan sosial melalui:

a. investasi pada pengembangan sumber daya manusia; b. investasi pada usaha mikro, kecil dan menengah; c. investasi terhadap lembaga keuangan mikro; d. fasilitasi pengembangan aset keluarga miskin;. e. mendorong pengembangan modal sosial; f. menghilangkan hambatan bagi partisipasi ekonomi masyarakat yang tidak

mampu; dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 64: NA-ruu-kesos-20080109

63

g. mengembangkan program-program sosial yang mendorong partisipasi ekonomi.

Setiap jenis usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan dengan : a. menggunakan metode pekerjaan sosial dan/ atau metode lainnya yang relevan; b. memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna; c. dilaksanakan oleh pekerja sosial bersama profesi lain; d. dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan; dan e. dilaksanakan dalam wahana kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan.

Kelembagaan usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan dalam bentuk: a. perawatan dan pengasuhan dalam keluarga; c. kelembagaan temporer; d. panti sosial atau pusat pelayanan kesejahteraan sosial yang sejenis; dan e. pusat pengembangan masyarakat.

K. PEKERJAAN SOSIAL DAN SUMBER DAYA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pembangunan kesejahteraan sosial adalah domain utama para pekerja sosial. Sebagai ilustrasi, domain utama pembangunan kesehatan adalah dokter, pembangunan pendidikan adalah guru, pembangunan hukum adalah hakim (Suhanto, 2007b). Tentu saja, ilustrasi ini tidak berarti bahwa hanya profesi-profesi itu saja yang berkiprah di domain pembangunan sosial yang disebutkan. Karena kalau dipertajam dan dispesialisasikan lagi, setiap domain pembangunan pada kenyataannya melibatkan banyak profesi. Sebagai contoh, dalam pembangunan kesehatan, selain dokter telibat juga perawat, bidan, psikiater dan bahkan pekerja sosial medis (medical sosial worker). Pembangunan kesejahtenaan sosial juga melibatkan tidak hanya pekerja sosial, melainkan pula psikolog, dokter dan psikiater. Namun, secara akademis sering dinyatakan bahwa setiap profesi memiliki domain utama (primary setting) dan domain kedua (secondary setting). Misalnya, kesehatan adalah primary setting bagi dokter, bidan dan perawat; dan merupakan secondary setting bagi pekerja sosial. Sebaliknya, kesejahteraan sosial adalah primary setting bagi pekerja sosial dan secondary setting bagi dokter, guru atau polisi. Bila dipetakan, maka Gambar 2 memberi ilustrasi.

Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1999). Sebagai suatu aktivitas profesional, pekerjaan sosial didasari oleh kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian (body of skills) dan kerangka nilai (body of values) yang secara integratif membentuk profil dan pendekatan pekerjaan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 65: NA-ruu-kesos-20080109

64

Gambar 2 : Domain Utama dan Kedua bagi Dokter dan Pekerja Sosial

Ketiga komponen tersebut dibentuk dan dikembangkan secara eklektik dari beberapa ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, politik dan ekonomi. Nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan pekerjaan sosial dapat dilihat dan definisi pekerjaan sosial terbanu. Dalam Konferensi Dunia di Montreal Kanada, Juli tahun 2000, International Federation of Sosial Workers (IFSW) (Tan dan Envall, 2000:5) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut.

The sosial work profession promotes problem solving in human relationships, sosial change, empowerment and liberation of people, and the enhancement of society. Utilizing theories of human behavior and sosial systems, sosial work intervenes at the points where people interact with their environments. Principles of human rights and sosial justice are fundamental to sosial work.

Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori penilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.

Sebagai sebuah profesi kemanusiaan, pekerja sosial memiliki seperangkat ilmu-pengetahuan (body of knowledge), keterampilan (body of skills) dan nilai (body of values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman profesional. Ketiga perangkat tersebut membentuk pendekatan pekerjaan sosial dalam membantu kliennya. Secara konvensional, tugas utama pekerja sosial adalah melaksanakan pelayanan kemanusiaan baik pada setting lembaga (seperti lembaga rehabilitasi penyandang cacat, lembaga perlindungan anak, panti sosial bagi manusia lanjut usia), maupun masyarakat (misalnya menjadi pengembang masyarakat atau community

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 66: NA-ruu-kesos-20080109

65

developer yang menyelenggarakan program-program pemberdayaan komunitas lokal) (Suharto, 2007b)

Dalam proses pertolongannya, peranan pekerja sosial sangat beragam tergantung pada konteksnya. Secara umum pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator, fasilitator atau pendamping, pembimbing, perencana, dan pemecah masalah. Dalam garis besar, ada empat tugas profesi pekerjaan sosial (lihat Suharto, 2006a dan 2006b; DuBois dan Miley, 2005:12):

1. Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien.

Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi hambatanhambatan klien dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja sosial juga menggali kekuatan-kekuatan yang ada pada din klien guna mengembangkan solusi dan rencana pertolongan.

2. Menggali dan menghubungkan sumber-sumber yang tersedia di sekitar klien. Beberapa tugas pekerja sosial yang terkait dengan peran ini antara lain: (a) membantu klien menjangkau sumber-sumber yang diperlukannya; (b) mengembangkan program pelayanan sosial yang mampu memberikan manfaat optimal bagai klien; (c) meningkatkan komunikasi diantara para petugas kemanusiaan; dan (d) mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial bagi klien

3. Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari peran ini adalah untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan sosial berjalan secara manusiawi, sensitif terhadap kebutuhan warga setempat dan efektif dalam memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat.

4. Mempromosikan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi isu-isu sosial dan implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian, pekerja sosial membuat naskah kebijakan (policy paper) yang memuat rekomendasi-rekomendasi bagi pengembangan kebijakan-kebijakan barn maupun perbaikan atau pergantian kebijakan-kebijakan lama yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam melaksanakan peran ini, pekerja sosial juga bisa menterjemahkan kebijakan-kebijakan publik kedalam program dan pelayanan sosial yang dibutuhkan klien.

Guna mengenal lebih jauh fungsi dan peranan pekerjaan sosial, di bawah ini disajikan beberapa contoh bidang kesejahteraan sosial yang seringkali menjadi tempat berkiprah para pekerja sosial. • Keluarga dan pelayanan anak: penguatan keluarga, konseling keluarga,

pemeliharaan anak dan adopsi, perawatan harian, pencegahan penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga

• Kesehatan dan rehabilitasi: pendampingan pasien di rumah sakit, pengembangan kesehatan masyarakat, kesehatan mental, rehabilitasi vokasional,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 67: NA-ruu-kesos-20080109

66

rehabilitasi pecandu obat dan alkohol, pendampingan ODHA, harm reduction programmes.

• Pengembangan masyarakat: perencanaan sosial, pengorganisasian masyarakat, revitalisasi ketetanggaan, perawatan lingkungan hidup, kehutanan sosial, penguatan modal sosial, penguatan ekonomi kecil.

• Jaminan sosial: skema asuransi sosial, bantuan sosial, sosial fund, JKSM, jaring pengaman sosial.

• Pelayanan kedaruratan: pengorganisasian bantuan, manajemen krisis, informasi dan rujukan, integrasi pengungsi, pengembangan peringatan diri masyarakat.

• Pekerjaan sosial sekolah: konseling penyesuaian sekolah, manajemen perilaku pelajar, manajemen tunjangan biaya pendidikan, pengorganisasian makan siang murid, peningkatan partisipasi keluanga dan masyarakat dalam pendidikan.

• Pekerjaan sosial industri : program bantuan pegawai, penanganan stress dan burn-out, penempatan dan relokasi kerja, perencanaan pensiun, tanggungjawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility).

Fokus atau objek formal Kesejahteraan Sosial adalah orang yang memerlukan pemenuhan berbagai macam kebutuhan serta usaha untuk memenuhinya. Kesejahteraan Sosial mencakup pengetahuan yang sistematis tentang orang dengan berbagai macam kebutuhannya dalam hal pendidikan, kesehatan, pemeliharan penghasilan, perumahan, pelayanan kerja, dan pelayanan sosial personal. Di samping itu dalam Kesejahteraan Sosial tercakup pula kebijakan sosial yang mengatur program-program Kesejahteraan Sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Dalam melaksanakan program program-program Kesejahteraan Sosial ini diperlukan profesi Pekerjaan Sosial. Pekerjaan Sosial sebagai profesi utama yang bertanggung jawab atas pelayanan sosial, merupakan suatu keahlian yang didasari oleh berbagai macam ilmu pengetahuan, sikap, falsafah dan nilai-nilai, serta keterampilan-keterampilan tertentu. Ilmu pengetahuan yang mendasari Pekerjaan Sosial tersebut banyak dipinjam dari ilmu-ilmu lain. Di samping itu juga telah dikembangkan konsep-konsep yang khas bagi Pekerjaan Sosial sendiri. Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasaan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial (Friedlander, 1961). Adapun hubungannya dengan Usaha Kesejahteraan Sosial di Indonesia, dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dinyatakan bahwa Pekerjaan Sosial adalah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan Usaha Kesejahteraan Sosial. Pekerjaan Sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi-interaksi diantara orang

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 68: NA-ruu-kesos-20080109

67

dengan lingkungan sosial sehingga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka. Adapun tujuan Pekerjaan Sosial yaitu untuk : a. meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupannya

dan kemampuannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. b. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem yang dapat menyediakan sumber-

sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya.

c. Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem-sistem tersebut secara efektif dan berperikemanusiaan.

d. Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan dan perkembangan kebijakan serta perundang-undangan sosial.

Pekerjaan Sosial berusaha menolong individu, kelompok dan masyarakat agar mereka memahami secara tepat kondisi atau kenyataan yang mereka hadapi dan mencoba meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada saat yang sama, Pekerjaan Sosial berusaha untuk memobilisir sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan sosial, baik untuk mengatasi gangguan mental psikis dan tingkah laku maupun mendorong meningkatkan kondisi sosial yang menguntungkan bagi pertumbuhan individu, kelompok dan masyarakat. Dalam usaha pencapaian tujuan-tujuan pekerjaan sosial, fungsi-fungsi pekerjaan sosial sebagai berikut : a. Mengembangkan, memelihara dan memperkuat sistem kesejahteraan sosial,

sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, b. Untuk menjamin standar subsistensi kesehatan, dan kesejahteraan yang

memadai bagi semua warga masyarakat, c. Membantu orang agar dapat berfungsi secara optimal di dalam institutsi-

institusi sosial maupun statusnya, d. Menopang dan memperbaiki tertib sosial dan struktur kelembagaan

masyarakat.

Berdasarkan fungsi-fungsi pekerjaan sosial tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi-fungsi pekerjaan sosial adalah membangunan sistem kesejahteraan sosial atau kesatuan-kesatuan masyarakat agar segenap lembaga-lembaga kesejahteraan sosial dapat berfungsi secara optimal. Oleh karena itu Pekerja Sosial dituntut kemampuannya untuk mempertemukan kapasitas-kapasitas orang dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan dengan lingkungan yang mendukungnya, sehingga daripadanya dihasilkan sumbangan yang maksimal baik bagi pengembangan potensi-potensi kemanusiaannya maupun bagi pengembangan lingkungan masyarakat. Dengan demikian Pekerja Sosial memiliki tugas yang tidak ringan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 69: NA-ruu-kesos-20080109

68

dalam melakukan pekerjaan sosial. Dalam hal ini, National Association of Sosial Workers (NASW) merumuskan tugas Pekerja Sosial sebagai berikut : a. Mengidentifikasi, menganalisis, dan menginterprestasikan kebutuhan-

kebutuhan spesifik yang belum terpenuhi diantara individu-individu dan kelompok-kelompok;

b. Memperbaiki dan meningkatkan hubungan tanggung jawab sosial antara masyarakat dengan individu-individu anggotanya agar kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi tersebut dapat terpenuhi dan lingkungan yang lebih memuaskan dapat tercapai.

c. Menerapkan pengetahuan-pengetahuan spesifik, pengalaman-pengalaman, serta penemuan-penemuan terhadap permasalahan-permasalahan yang dapat dan perlu dipecahkan melalui program-program kesejahteraan sosial.

Berdasarkan kebijakan Departemen Sosial, maka pegawai yang telah memiliki profesi pekerjaan sosial, diarahkan untuk menduduki Jabatan Fungsional pekerjaan Sosial. Sebagai konsekuensinya telah diterbitkan Surat Edaran bersama menteri Sosial RI dengan Kepala Badan Administrasi kepegawaian negara Nomor B/C-01-VII-88/MS dan Nomor 17/SE/1988 tanggal 9 Agustus 1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial. Dalam pengertian tentang Pekerja Sosial yang berhak memperoleh jabatan fungsional tidak termasuk pekerja sosial yang bergerak pada lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang diselenggarakan swasta atau organisasi non pemerintah (NGO), karena yang dimaksud pekerja sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada lingkungan Departemen Sosial dan unit pelayanan kesejahteraan sosial pada instansi lainnya. Pekerjaan Sosial di Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan metodologis untuk mengantisipasi permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu cepat. Metodologi praktik Pekerjaan Sosial dengan memanfaatkan paradigma-pradigma yang ada dapat tetap dipakai, namun dengan adanya fokus intervensi Pekerjaan Sosial yang berubah (tidak hanya perseorangan penyandang masalah, kelompok, komunitas, organisasi, tetapi sistem sosial ekonomi dan politik yang lebih luas) dituntut untuk selalu diadakan pengkajian ulang terutama pada kerangka konseptual dasar (Common Base). Pekerjaan Sosial (tidak pernah) sempat memantapkan kerangka konseptual dasar yang umum (Common Base) bagi praktik Pekerjaan Sosial pada berbagai okupasi, kecuali dalam satu hal mungkin Pekerjaan Sosial pernah dipandang mapan, yaitu dalam hal Case Work, yang ditopang oleh disiplin Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikoanalisis (Holil,1994:1). Tanda adanya pengkajian ulang dari substansi kerangka praktik Pekerjaan Sosial, khususnya di Indonesia, maka praktik Pekerjaan Sosial akan selalu tertinggal dalam memecahkan permasalahan sosial, yang akhirnya sebagai suatu profesi hanya

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 70: NA-ruu-kesos-20080109

69

berfungsi sebagai profesi yang hanya melaksanakan praktik yang bersifat rehabilitasi pada penyandang masalah sosial yang bersumber dari kekurangberhasilan atau kegagalan bidang pembangunan yang lain. Jika profesi pekerjaan Sosial mampu melaksanakan praktik yang bersifat pencegahan (antisipasi) munculnya permasalahan sosial dan bahkan mampu melaksanakan praktik pengembangan sosial (sosial development), maka Pekerjaan Sosial akan dapat berdiri sejajar dengan porfesi yang lain, bahkan dalam setiap aktivitas (perencanaan, perumusan, kebijaksanaan, dan pelaksanaan) bidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial sudah sewajarnya Pekerja Sosial sebagai pemegang ide, pembuat inovasi dan pemimpin kegiatan. Konsep "bekerja bersama" dengan profesi lain dalam aktivitas pembangunan kesejahteraan sosial belum sepenuhnya tercapai di Indonesia. Apalagi masa pasca APEC, Indonesia akan dihadapkan permasalahan pertambahan penduduk yang semakin meningkat, industrialisasi yang semakin pesat, pemanfaatan teknologi yang tinggi untuk aktivitas ekonomi, pembagian kerja dan kelas sosial yang semakin heterogen, semakin banyaknya tenaga kerja asing, pengaruh globalisasi dari negara-negara maju, sistem informasi yang menembus ruang dan waktu, akan merubah wajah Indonesia di masa yang akan datang. Ciri-ciri tersebut akan nampak pada pesatnya pembangunan area indutsri baru, sentralisasi aktivitas ekonomi oleh kalangan elit tertentu, globalisasi informasi yang telah mempengaruhi perilaku masyarakat, kapitalisme modern yang mengabaikan masyarakat miskin dan semakin kuatnya politisi dalam menentukan perencanaan dan kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan dibandingkan dengan ilmuwan, sehingga produk kebijaksanaan sering berbenturan dengan kebutuhan masyarakat. Pasca Isue kerusakan lingkungan global, seiring dengan berlangsungnya liberalisasi APEC, maka masalah kesejahteraan sosial masyarakat akan menjadi isue sentral bagi dunia, seperti : masalah kemiskinan pada negara-negara berkembang, masalah gerakan radikal dari kaum buruh, masalah narkotika, masalah kriminalitas yang semakin canggih, masalah legitimasi abortus, masalah eksistensi homoseksual, dampak perilaku sosial dari masyarakat anomi, masalah hak azasi manusia, masalah perilaku seksual remaja yang bebas, pergeseran nilai yang berdampak pada krisis keluarga, dan sudah tentu masalah epidemi penyakit menular (terutama HIV/AIDS) sebagai dampak kumulatif dari permasalahan sosial yang lain. Berdasarkan hal tersebut, maka Pekerja Sosial profesional pada masa yang akan datang dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan pesatnya secara kuantitas dan kualitas dari permasalahan kesejahteraan sosial, sehingga dituntut untuk menerapkan strategi yang bersifat sistemik. Hal ini dapat dilaksanakan, jika cara pandang yang holistik dan memiliki kemampuan analisis yang komprehensif. Namun demikian, profil Pekerja Sosial profesional, tergantung pada penguasaan kerangka keilmuan (Body of Knowledge), Kerangka Nilai (Body of Value), dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 71: NA-ruu-kesos-20080109

70

kerangka Praktik (Body of Skill). Pekerjaan Sosial di Indonesia telah dituntut untuk menunjukkan keandalan, intelektual, serta kejelasaan tentang terminologi. konsep, asas, fakta, nilai-nilai dan norma (Holil, 1994:3) Berdasarkan analisis tersebut ketetentuan dengan pekerjaan sosial dan sumber daya kesejahteraan sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang sebagai berikut : Sumber daya manusia di bidang usaha kesejahteraan sosial terdiri dari : a. pegawai pemerintah; b. tenaga kesejahteraan sosial; c. tenaga pekerja sosial; dan d. tenaga profesi lainnya;

Sumber daya manusia di bidang usaha kesejahteraan sosial harus memiliki : a. pengetahuan, nilai dan keterampilan pekerjaan sosial dan profesi lainnya yang

diperoleh dari pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan;

b. kompetensi dalam melaksanakan proses pelayanan kesejahteraan sosial, pengkajian kebijakan sosial, pengembangan model pelayanan, perencanaan dan evaluasi program pelayanan kesejahteraan sosial, serta kegiatan penunjang lainnya.

Pengembangan sumber daya manusia meliputi : a. Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pekerja sosial dan tenaga

kesejahteraan sosial yang diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan pelayanan kesejahteraan sosial.

b. Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi lembaga kesejahteraan sosial dan sumber daya manusia kesejahteraan sosial yang diperlukan untuk menjamin mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

c. Pengembangan kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan pembinaan.

Setiap pelaku usaha kesejahteraan sosial, baik perorangan, organisasi kesejahteraan sosial, lembaga pemerintah/swasta yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan usaha kesejahteraan sosial diberi penghargaan.. Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah. Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 72: NA-ruu-kesos-20080109

71

Pekerja sosial dapat memperoleh promosi berupa penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. enaga kesejahteraan sosial masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang diberikan promosi berupa insentif dan penghargaan dari pemerintah dan/ atau masyarakat.

Dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial diperlukan sarana prasarana yang memadai. Ketentuan yang diusulkan dalam RUU Kesejahteraan Sosial sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial sesuai dengan standar dan kebutuhan Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Jumlah dan jenis prasarana pelayanan kesejahteraan sosial yang dibangun harus memperhatikan potensi pelayanan kesejahteraan sosialan yang berkembang di daerah setempat.

(4) Prasarana pelayanan kesejahteraan sosial yang dibangun di daerah wajib memenuhi jumlah dan standar minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(5) Badan usaha yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan dan permukiman berkewajiban menyediakan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial sebagai fasilitas umum dengan standar dan kebutuhan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai aset/milik pemerintah daerah setempat.

(6) Pemerintah membina dan mendorong pendirian sarana pelayanan kesejahteraan sosial dalam negeri dan di luar negeri sesuai dengan kebutuhan.

(7) Setiap orang atau badan usaha yang mendirikan sarana pelayanan kesejahteraan sosial wajib memperhatikan standar pelayanan minimum dari bidang pelayanan kesejahteraan sosial yang bersangkutan.

Dalam hal pendanaan, substansi yang diusulkan dalam RUU Kesejahteraan Sosial adalah: (1) Pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab bersama

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran pelayanan

kesejahteraan sosial melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Sumber pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan.

(4) Untuk kepentingan pelayanan kesejahteraan sosial, Menteri dapat mengusahakan pengumpulan dana kesejahteraan sosial yang berasal dari

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 73: NA-ruu-kesos-20080109

72

masyarakat dan dana kesejahteraan sosial lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Dana kesejahteraan sosial yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6) Pengelolaan dana pelayanan kesejahteraan sosial berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Dalam RUU Kesejahteraan Sosial diharapkan diatur juga ketentuan tentang organisasi profesi dalam rangka meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial. Organisasi profesi terdiri dari ikatan pekerja sosial, ikatan lembaga pendidikan pekerjaan sosial, ikatan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial dan organisasi profesi lainnya di bidang kesejahteraan sosial. Organisasi profesi berkewajiban menetapkan kode etik yang disepakati anggota.

L. PENGELOLAAN PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pada masa setelah diberlakukan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, sedang terjadi perubahan pada lingkungan strategis pembangunan kesejahteraan sosial seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, baik yang berkaitan dengan struktur maupun fungsi kelembagaan pada tingkat pusat dan daerah. Karena itu, reposisi sektor kesejahteraan sosial dan reformasi paradigma serta strategi pembangunan kesejahteraan sosial harus menjadi komitmen bersama antara pusat dan daerah. Pemahaman yang beragam antara pusat dan daerah tentang kebijakan, strategi penanganan, penggalian sumber, penetapan kelembagaan, penjabaran program, pengembangan jaringan kerja, pengembangan SDM, dan dimensi-dimensi strategis lainnya; menunjukkan perlunya penataan kembali Kesejahteraan Sosial. Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan program pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal atau regional menjadi fokus pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang, dengan tetap berada pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan analisis tersebut ketentuan dengan pengelolaan pelayanan kesejahteraan sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang sebagai berikut : 1. pengelolaan Kesejahteraan Sosial merupakan tanggung jawab menteri; 2. pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pelayanan

kesejahteraan sosial untuk menjamin mutu pelayanan kesejahteraan sosial;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 74: NA-ruu-kesos-20080109

73

3. pemerintah dan / atau pemerintah daerah wajib mendirikan instansi yang menangani masalah sosial dan dilengkapi dengan unit pelaksana teknis pelayanan kesejahteraan sosial;

4. pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial lintas daerah kabupaten/ kota;

5. pemerintah kabupaten/kota mengelola pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai dengan karakteristik permasalahan sosial lokal;

6. pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan kesejahteraan sosial;

M. PERAN SERTA MASYARAKAT

Dengan memperhatikan kondisi sosial-kultural masyarakat Indonesia, maka komponen Kesejahteraan Sosial harus seiring pula dengan kenyataan faktual yang ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yakni komponen “civic involvement” (kepedulian sesama warga).

Wujud keaktifan warga yang terpancar dalam berbagai kegiatan kepedulian terhadap sesama warga menyandang masalah sosial, telah berkembang sebagai bagian integral dari khasanah kultur bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penerapan sistem jaminan sosial nasional hendaknya dipadukan secara`terstruktur dalam perpaduan antara`konsep yang dikembangkan di negara barat/maju (Eropa, Amerika dan negara-negara maju lainnya) dengan komponen sistem yang juga berkembang di Asia pada umumnya, khususnya yang berkembang dalam kultur bangsa Indonesia.

Bentuk pelayanan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang telah dilaksanakan dalam tradisi Indonesia, antara lain arisan, pengumpulan beras perelak/jimpitan, pembuatan lumbung desa, usaha simpan pinjam sampai mekanisme rotasi kerja secara gotong royong di tegalan dan sawah warga desa. Berbagai bentuk ini merupakan mekanisme pertahanan hidup secara informal dan tradisional, yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Indonesia dan warga masyarakat Asia pada umumnya, sebagai wujud kepedulian terhadap sesama warga. Pendekatan yang menggunakan mekanisme tradisi lokal tersebut, ternyata telah dipakai sebagai cara yang cukup handal oleh kelompok-kelompok miskin dan marjinal sehingga membuktikan bahwa mereka mempunyai kemampuan dasar untuk membangun dan mempertahankan dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pelayanan kesejhateraan sosial tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi juga tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan.

Memperhatikan perspektif jangkauan pelayanan kesejahteraan sosial di masa mendatang, maka peran Pemerintah harus diletakkan secara strategis untuk mendorong inisiatif warga masyarakat agar dapat mengembangkan berbagai potensi

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 75: NA-ruu-kesos-20080109

74

kemandirian mereka dalam rangka membantu sesama warganya. Fokus perhatian harus ditujukan untuk mengangkat berbagai elemen potensial yang terdapat dalam tradisi lokal masyarakat Indonesia. Nilai-nilai budaya lokal telah memperkuat kemampuan masyarakat untuk memelihara taraf kesejahteraannya, dikala sesama warga menghadapi risiko sosial yang berat.

Dukungan kepedulian sosial yang dikembangkan secara tradisional, ternyata telah tumbuh menjadi “modal sosial” yakni kerja sama secara gotong royoong antar warga masyarakat untuk menghasilkan tindakan kolektif guna mengatasi masalah yang dihadapi oleh sesama warga masyarakat. Pilar modal sosial inilah yang kemudian sebagai kelengkapan elemen dalam sistem jaminan sosial nasional. Di dalam modal sosial, terdapat tiga unsur penting yaitu: semangat karitas (charity), kepedulian sosial (volunteerism) dan kepedulian sesama warga (civic involvement) dan kepedulian warga (civic involvement). Sehubungan dengan itu, maka fokus pengembangan SKSN hendaknya juga dikaitkan secara komprehensif dengan kepedulian sosial yang secara khusus berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagai tardisi lokal.

Kepedulian sosial akan dapat dijadikan sebagai gerakan nasional yang mendampingi pelaksanaan komponen bantuan sosial dan asuransi sosial. Dalam pelaksanaan kepedulian, kita akan menemukan bahwa aktivitas yang dilaksanakan masyarakat ternyata mengandung potensi sosial yang dahsyat. Melalui kepedulian sosial dapat terhimpun dana masyarakat (community fund) dalam jumlah besar dan secara serentak terjadi redistribusi penghasilan melalui mekanisme kegotong-royongan. Berdasarkan uraian diatas maka undang-undang tentang Kesejahteraan Sosial harus memuat aturan yang melibatkan peran serta masyarakat, baik dalam pengumpulan dana untuk pelaksanaan jaminan kesejahteraan sosial maupun penanganan dalam pengelolaan kelembagaan yang berbasis masyarakat seperti organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, dll. Pokok-pokok pikiran yang selayaknya di masukan dalam substansi undang-undang adalah: (1) Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk

berperan dalam pelaksanaan sistim jaminan kesejahteraan sosial nasional. (2) Peran masyarakat dapat dilakukan secara perorangan, keluarga, kelompok,

komunias/masyarakat, organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. (3) peran serta masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran

serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi sosial, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

(4) masyarakat dapat berperan serta sebagai perencana, penyedia, pelaksana, pengawas pelayanan kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 76: NA-ruu-kesos-20080109

75

N. EVALUASI, AKREDITASI, SERTIFIKASI DAN PERIJINAN

Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan sosial secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pelayanan kesejahteraan sosial, sedangkan akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan pelayanan kesejahteraan sosial. Adapun sertifikasi dilakukan untuk memastikan kualifikasi dan kompentensi yang sesuai di bidang pelayanan kesejahteraan sosial. Untuk pendirian lembaga kesejahteraan sosial wajib memperoleh ijin pemerintah atau pemerintah daerah; Tercapainya kondisi masyarakat yang berkesejahteraan sosial akan diwujudkan melalui kebijaksanaan sosial yang dilaksanakan oleh badan-badan atau lembaga-lembaga sosial. Badan-badan sosial (Sosial Agency) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial (Sosial Welfare State) adalah suatu bentuk organisasi yang memberikan pelayanan sosial atau menyelenggarakan Pelayanan Kesejahteraan Sosial baik yang didirikan pemerintah atau swasta. Badan/Lembaga Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan program-program pelayanan kesejahteraan sosial, tidak terlepas dari profesi pokok yaitu Profesi Pekerjaan Sosial. Lembaga Kesejahteraan Sosial di Indonesia memiliki status reguler (diatur berdasarkan perundangan-undangan) atau institusional (melembaga) di dalam masyarakat. Lembaga Kesejahteraan Sosial yang bergerak dalam pelayanan kesejahteraan sosial bersumber pada tanggung jawab untuk memberikan jaminan kepada warganya untuk memperoleh sumber pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang mereka perlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, menghilangkan ketelantaran serta untuk mewujudkan aspirasinya. Dengan demikian fungsi Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah wujud dari tanggung jawab sosial dan partisipasi sosial yang teratur, efisien dan efektif serta memenuhi syarat sebagai usaha kesejahteraan sosial. Selain itu fungsi lembaga sosial merupakan saluran dari pekerjaan sosial dalam praktik. Dengan demikian pada hakekatnya karena proses pekerjaan sosial itulah yang menggerakan secara dinamis usaha-usaha kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial. Klasifikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial dapat ditinjau dari aspek sumber sponsor, pelindung atau pimpinan, sehingga dapat dikategorikan menjadi Lembaga Sosial Pemerintah dan Organisasi Sosial / Lembaga Swadaya Masyarakat. Jika didasarkan atas jenis masalah yang ditangani, dapat meliputi lembaga-lembaga sosial yang menangani kesejahteraan anak dan keluarga, kesehatan, kecacatan, kesehatan jiwa, tindak pidana, pendidikan informal dan perencanaan/koordinasi/pengembangan program. Adapun atas dasar geografis, menjadi tingkat lokal, propinsi, nasional, regional dan international. Ada juga diklasifikasikan menjadi pemberi pelayanan langsung atau "consumer service agencies" dan pemberi pelayanan tidak langsung atau "non consumer service agencies." Kesemua itu akan diatur dalam ketentuan-ketentuan tentang akreditasi dan sertifikasi dalam substansi undang-undang.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 77: NA-ruu-kesos-20080109

76

Ketentuan tentang evaluasi pengawasan dan evaluasi yang diusulkan dalam substansi undang-undang :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat melakukan

pengawasan terhadap aktivitas usaha kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan sosial secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara usaha kesejahteraan sosial

(2) Evaluasi dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan penerima pelayanan serta organisasi profesi.

Ketentuan tentang akreditasi dan sertfikasi yang diusulkan dalam substansi undang-undang : (1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan pelayanan

kesejahteraan sosial (2) Sasaran akreditasi adalah aktivitas dan pelaku usaha kesejahteraan sosial . (3) Akreditasi terhadap kelayakan pelayanan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau

lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (4) Akreditasi dilakukan atas dasar standar pelayanan minimum dengan kriteria

yang telah ditentukan. (5) Sertifikasi dilakukan untuk memastikan kualifikasi dan kompentensi yang sesuai

di bidang pelayanan kesejahteraan sosial; (6) Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat kompetensi. (7) Ijasah diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial

masyarakat yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan pelatihan, yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan yang terakreditasi.

(8) Sertifikat kompetensi diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat oleh pemerintah atas rekomendasi organisasi profesi sebagai pengakuan terhadap kompetensi melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.

(9) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Ketentuan tentang pendaftaran dan perijinan lembaga kesejahteraan sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang : (1) Setiap lembaga kesejahteraan sosial yang telah memperoleh status badan

hukum wajib mendaftarkan kepada kementerian sosial atau instansi sosial; (2) Untuk meningkatkan keterpaduan usaha kesejahteraan sosial, lembaga-

lembaga kesejahteraan sosial asing yang melakukan kegiatan pelayanan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 78: NA-ruu-kesos-20080109

77

kesejahteraan sosial harus melaporkan kegiatannya kepada kementrian atau instansi sosial.

O. PENEGAKAN HUKUM

Suatu undang-undang hanya dapat berlaku efektif apabila memenuhi persyaratan, yaitu dibutuhkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Perlu penegasan bahwa UU ini harus memuat sanksi yang tegas dan jelas sehingga masyarakat akan mentaati dan mematuhi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Sanksi tersebut berupa sanksi pidana dan administrasi. Sanksi pidana dapat berupa penjara/kurungan atau denda yang setinggi-tingginya. Sementara penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam RUU yang dimaksud akan dikenakan ancaman sanksi pidana, perlu adanya pembedaan berat ringannya hukuman. Sedangkan untuk sanksi administrasi dapat berupa pencabutan ijin operasional bagi Orsos / Yayasan penyelenggara.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 79: NA-ruu-kesos-20080109

78

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sudah selayaknya untuk ditinjau kembali dan disempurnakan mengingat adanya perkembangan sistem ketatanegaraan, amandemen UUD tahun 1945 dan pemberlakuan Otonomi Daerah. Perubahan tersebut berkaitan dengan struktur maupun fungsi kelembagaan pada tingkat Pusat dan Daerah, oleh karena itu Reposisi Sektor Kesejahteraan Sosial dan reformasi paradigma dan strategi pembangunan kesejahteraan sosial harus menjadi komitmen bersama antara pemerintah Pusat dan Daerah. Pemahaman yang beragam antara Pusat dan Derah mengenai kebijakan, strategi penanganan, penjabaran program dan dimensi strategis lainnya menunjukkan perlunya penataan kembali usaha Kesejahteraan Sosial yang diatur dalam suatu Undang-undang. Lingkup materi yang diatur dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial memuat tentang prinsip-prinsip kesejahteraan sosial, hak warga negara, tanggung jawab warga negara, keluarga dan masyarakat, kewenangana pemerintah, sasaran dan sumber pelayanan kesejahteraan sosial, pelayanan kesejahteraan sosial, pengelolaan pelayanan kesejahteraan sosial, peranserta masyarakat, evaluasi, akreditasi dan sertifikasi, lembaga kesejahteraan sosial, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

B. SARAN-SARAN Dalam pengaturannya materi Naskah Akademis ini akan diatur dalam suatu Undang-undang dan sebagian akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya baik berbentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri terkait. Diharapkan Naskah Akademis Undang-undang tentang Kesejahteraan Sosial menjadi prioritas utama dan pembahasan Program Legislasi Nasional tahun 2008 mengingat kompleksitas permasalahan sosial saat ini dan peningkatan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial yang semakin meningkat. Selain itu diharapkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Kesejahteraan Sosial ini dapat segera disusun paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini, agar Undang-undang ini dapat berlaku operasional di masyarakat.

Biro Kepegawaian dan Hukum 2007

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 80: NA-ruu-kesos-20080109

79

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku Adimihardja, Kusnaka dan Harry Hikmat (2003). Partisipatory Research Appraisal

dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada masyarakat . Bandung : Penerbit Humaniora

Ashman, Kirst Karen dan Braftton H. Hull.Jr (1993) Understanding Generalist

Practice.USA : Nelson Hall inc. Aipassa. (1988). Pendidikan profesional dalam Pekerjaan Sosial. Bandung : Jurnal

BPLTS (ed.1) Atherton & C.R., & Klemmack, D.L. (1982). Research methods in sosial work : An

introduction. Lexington, Ma : D.C. Heath. Budiarto dan Wantjik Saleh (1979) KUHP Jakarta : Ghalia Indonesia Cary, Lee J. (1970). Community Development as a Process. Columbia : University of

Missouri Press. Cummings, Thomas G. (ed.) 1980. Systems Theory For Organization

Development. John Wiley & Sons, New York. College, Muhlenberg dan Arthur B. Ghostak (1978) Modern Sosial Problems.USA:

Library of Congress Cataloging in Publication Data Compton, B.R. (1980). Introduction to sosial welfare & sosial work: Structure,

fuction & process. Homewood, Ill. : The Dorsey Press. Dubois, Brenda dan Karla Kroggrud Miley (1997) Sosial Work an Empowering

Profession. Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore: allyn and Bacon Edi Suharto (2007b). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Jakarta: Refika

Aditama. Farid (ed.). (2003). Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta: UNICEF. Gilbert, N., & Specht, H. (1986). Dimensions of sosial welfare policy (ed. 2).

Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall. Elkin R. dan Cornick, D.L. (1970). Utilizing Cost and Efficiency Studies in the

Decision-Making Progress in Health and Wefare. Dalam Sosial Work

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 81: NA-ruu-kesos-20080109

80

Administration: A Resource Book. Ed. Schatz, Harry A. The Council on Sosial Work Education, Inc., New York.

Friedlander, Walter A. (1958). Concepts and Methods of Sosial Work. New York :

Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. Harry Hikmat (2002). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora

Utama Press. Hasenfeld, Y. & English, Richard A.. 1967. Human Service Organizations. Vol. II.

Ann Arbor The University of Michigan Press. New York. Hage, Jerald. 1980. Theories of Organizations Form, Process, & Transformation.

John Wiley & Sons, Inc., Canada. Holil Soelaiman. (1993). Beberapa gelagat akbar dan implikasinya terhadap

kesejahteraan sosial dan tantangan pembangunan kesejahteraan sosial dalam PJP II. (jurnal Pembangunan Kesejahteraan Sosial) Jakarta : DNIKS.

Holil Soelaiman. (1993). Kerangka Nilai (Body Of Value) dan Asas Etik

Pekerjaan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI. Holil Soelaiman. (1993). Tantangan dan kebutuhan akan pendidikan Pekerjaan

Sosial (makalah). Jakarta : Departemen Sosial RI. Irawan Soehartono. (1991). Kesejahteraan Sosial sebagai ilmu. (makalah) Bandung

: STKS. Jusman Iskandar 1994. Pengaruh Kinerja Tenaga Sukarela terhadap Sikap

Partisipasi, dan Solidaritas Sosial Warga Masyarakat dalam Kegiatan pelayanan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat Desa. (Disertasi). Bandung : Universitas Paadjadjaran.

Kahn, A.J., (1979). Sosial policy and sosial services (ed.2). New York : Random

House. Kamerman, S.B., & Kahn, A.J. (1976). Sosial services in the United States :

Policies and Programs. Philadelphia : Temple University Press. Klenk, Robert M and Ryan, Robert M. (1974). The Practice of Sosial Work. (ed.2).

Belmont, California : Wadworth Publishing Co. Inc.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 82: NA-ruu-kesos-20080109

81

Lewis, Harold. (1985). Management in the Non Profit Sosial Service Organization. dalam An Introduction Human Services Management. Ed. Slavin, S. The Haworth Press, New York, London.

Macht, Mary and Quam, Jean. (1986). Sosial Work An Introduction. Colombus,

Ohio : Chares E. Merrill Publishing Company. Migley, J. (1986). Industrialization and Welfare : The case of the four little tigers,

Sosial Polycy & Administration, 20 (3), 225-238. Mishra, R. (1977). Society and sosial policy : Theoretical Operspectives on

welfare. London : The MCMillan Press. Morris, Robert, dan John B. Turner, Ed. (1981). Encyclopedia of Sosial Work.

Sixteenth Issue. Volume II. New York : NASW. Naylor, Harriet H. (1967). Volunteers Today : Finding, Trainning, and Working

With Them. New York : Associated Press. Netting,Ellen. Peter M. Kettner Steven L Mc Murtry (1993) Sosial Work Macro

Practice. New York : Longman Pincus, Allen and Minahan, Anne. (1973). Sosial Work Practice, Model and

Method. Itasca Illionis : F.E. Peacock Publisher Inc. Romanyshyn, J.M. (1971). Sosial welfare : Charity to justice. New York : random

House. Rukminto Adi, Isbandi (2002) Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan

Kesejahteraan Sosial, Jakarta : LPFEUI Rukminto Adi, Isbandi (2003) Intervensi Komunitas. Edisi Revisi. Jakarta : LPFEUI Sainsbury, E. (1977). The personal sosial services. London : Pitman. Saleebey Dennis (1991) The Strenghts Perspective in Sosial Work Practice. New

York : longman Segal, Elizabeth dan Stephani Brzuzy (1998) Sosial Welfare Policy, Program and

Practice. Illionis : Peacoch Publisheus.inc Sheafer, Bradford, Charles`R.Horesjs, Gloria A. Horegsi (2000) Techniques and

guidelines for sosial work practice. Boston : Allyn and Bacon

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 83: NA-ruu-kesos-20080109

82

Siporin, Max. (1975). Introduction to Sosial Work Practice. New York : Macmillan Publishing Co. Inc.

Slavin, Simon (ed.). (1985). An Introduction Human Services Management. The

Haworth Press, New York, London. Training for Sosial Work. (1992). Austria : United Nations Office at Vienna. Zastrow, Charles, and Karen Kirst - Ashman. (1989). Understanding Human

Behavior and The Sosial Environment. Nelson-Hall Publishers, Chicago.

Lain-lain ------- (1996 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan …… (1974) Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan-

ketentuan Pokok Kesos jakarta: Depsos RI …… (1998) Panduan Pekerja Sosial di lingkungan Departemen Sosial RI Jakarta :

Depsos ..........(1996) Kepmensos 25/HUK/96 tentang Pola Pengembangan Profesi Pekerjaan

Sosial Jakarta : Depsos RI …… .(2001) Buku Pegangan Kedaruratan Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia Geneva

: United nations High Commisioner For Refuqees …… (2002) Himpunan Peraturan dan perundang-undangan tentang Perlindungan

Anak jakarta : Depsos RI …… (2003) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Jakarta : Biro Kepegawaian dan Hukum Depsos RI .…… (2003) Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesejahteraan Sosial

Buku I jakarta : Biro Kepegawaian dan Hukum Depsos RI …… (2004) UUD 45 dan Amandemennya. Jakarta : Fokusmedia ......... .(2004 ) Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 2004. Jakarta : CV.Tamita

Utama .......... (2007) Panduan Untuk Fasilitator: Pengembangan Analisa Situasi Ibu dan Anak

(ASIA) Berbasis Hak Asasi Manusia. Jakarta : UNICEF.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Page 84: NA-ruu-kesos-20080109

83

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial