muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani...

168
MULANYA KAMI BERSEMBILAN. Kami pergi saat masih muda, nyaris terlalu muda untuk mengingat. Nyaris. Katanya, saat itu tanah berguncang dan langit dipenuhi cahaya serta ledakan. Peristiwa itu terjadi kala kedua bulan saling berhadapan di cakrawala selama dua minggu. Itu adalah musim perayaan, dan awalnya ledakan itu disangka kembang api. Padahal bukan. Angin sepoi-sepoi yang hangat bertiup dari arah perairan. Aku selalu diberitahu bahwa waktu itu cuacanya hangat. Ada angin sepoi-sepoi. Aku tidak pernah mengerti kenapa itu penting. Yang aku ingat jelas pada hari itu hanyalah wajah nenekku. Dia kalut dan sedih. Dia menangis. Kakekku berdiri tepat di samping nenekku. Aku ingat bagaimana kacamatanya memantulkan cahaya dari langit. Ada pelukan. Ada kata-kata yang mereka ucapkan. Aku tidak ingat apa yang mereka katakan. Dan kenangan itu benar-benar menghantuiku. Perlu waktu satu tahun untuk sampai di sini. Aku berumur lima tahun saat kami tiba. Kami beradaptasi dengan tempat ini. Dan kelak, saat Lorien sudah bisa ditinggali lagi, kami akan kembali. Kami bersembilan harus berpencar dan menjalani hidup kami masing- masing. Entah berapa lama. Sampai sekarang kami masih tidak tahu. Mereka semua tidak tahu di mana aku berada. Aku juga tidak tahu di mana mereka, atau seperti apa tampang mereka sekarang. Ini cara kami melindungi diri. Semua sesuai dengan mantra pelindung yang diberikan saat kami pergi. Mantra pelindung itu menjamin bahwa kami hanya bisa dibunuh sesuai dengan nomor urut kami, asalkan kami tetap terpisah. Jika kami bertemu, mantra pelindung itu terpatahkan. Jika salah satu dari kami ditemukan dan dibunuh, akan muncul bekas luka berbentuk goresan di sekeliling pergelangan kanan kami yang masih hidup. Dan di pergelangan kaki kiri terdapat tanda melingkar kecil yang serupa dengan jimat yang kami semua kenakan. Tanda yang terbentuk saat kami dikenai mantra Loric. Goresan melingkar itu adalah bagian lain dari mantra pelindung. Suatu sistem peringatan sehingga kami tahu keadaan masing-masing, dan agar kami tahu kapan mereka akan memburu kami. Goresan luka pertama muncul saat aku masih sembilan tahun. Goresan itu membuatku terbangun, membakar dagingku. Saat itu kami tinggal di Arizona, sebuah kota kecil di perbatasan dekat Meksiko. Aku terbangun menjerit di tengah malam, kesakitan, ketakutan saat goresan itu membakar dagingku. Itu tanda pertama bahwa kaum Mogadorian telah menemukan kami di Bumi ini. Itu tanda pertama bahwa kami dalam bahaya. Sebelum goresan itu muncul, aku hampir meyakinkan diriku sendiri bahwa ingatanku salah, dan bahwa apa yang Henri katakan kepadaku hanyalah kebohongan. Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal. Kami pindah ke Minnesota keesokan harinya. Goresan kedua muncul saat aku berusia dua belas tahun. Saat itu aku berada di sekolah, di Colorado, menjadi salah satu peserta kompetisi mengeja. Begitu merasakan sakitnya, aku langsung tahu apa yang terjadi pada Nomor Dua. Sakitnya sangat menyiksa, tapi saat itu aku bisa menahannya. Aku ingin tetap berdiri di panggung, tapi panasnya membuat kaus kakiku terbakar. Guru yang memimpin acara itu menyemprotku dengan pemadam api dan membawaku ke rumah sakit. Dokter di UGD menemukan goresan pertama dan memanggil polisi. Saat Henri tiba, mereka mengancam untuk menahannya atas tuduhan penganiayaan anak. Tapi karena Henri tidak ada di dekatku saat goresan kedua muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk

Transcript of muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani...

Page 1: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

MULANYA KAMI BERSEMBILAN. Kami pergi saat masihmuda, nyaris terlalu muda untuk mengingat.Nyaris.Katanya, saat itu tanah berguncang dan langitdipenuhi cahaya serta ledakan. Peristiwa itu terjadikala kedua bulan saling berhadapan di cakrawalaselama dua minggu. Itu adalah musim perayaan, danawalnya ledakan itu disangka kembang api. Padahalbukan. Angin sepoi-sepoi yang hangat bertiup dariarah perairan. Aku selalu diberitahu bahwa waktu itucuacanya hangat. Ada angin sepoi-sepoi. Aku tidakpernah mengerti kenapa itu penting.Yang aku ingat jelas pada hari itu hanyalah wajahnenekku. Dia kalut dan sedih. Dia menangis. Kakekkuberdiri tepat di samping nenekku. Aku ingatbagaimana kacamatanya memantulkan cahaya darilangit. Ada pelukan. Ada kata-kata yang merekaucapkan. Aku tidak ingat apa yang mereka katakan.Dan kenangan itu benar-benar menghantuiku.Perlu waktu satu tahun untuk sampai di sini. Akuberumur lima tahun saat kami tiba. Kami beradaptasidengan tempat ini. Dan kelak, saat Lorien sudah bisaditinggali lagi, kami akan kembali. Kami bersembilanharus berpencar dan menjalani hidup kami masing-masing. Entah berapa lama. Sampai sekarang kamimasih tidak tahu. Mereka semua tidak tahu di manaaku berada. Aku juga tidak tahu di mana mereka,atau seperti apa tampang mereka sekarang. Ini carakami melindungi diri. Semua sesuai dengan mantrapelindung yang diberikan saat kami pergi. Mantrapelindung itu menjamin bahwa kami hanya bisadibunuh sesuai dengan nomor urut kami, asalkankami tetap terpisah. Jika kami bertemu, mantrapelindung itu terpatahkan.Jika salah satu dari kami ditemukan dan dibunuh,akan muncul bekas luka berbentuk goresan disekeliling pergelangan kanan kami yang masih hidup.Dan di pergelangan kaki kiri terdapat tanda melingkarkecil yang serupa dengan jimat yang kami semuakenakan. Tanda yang terbentuk saat kami dikenaimantra Loric. Goresan melingkar itu adalah bagian laindari mantra pelindung. Suatu sistem peringatansehingga kami tahu keadaan masing-masing, danagar kami tahu kapan mereka akan memburu kami.Goresan luka pertama muncul saat aku masihsembilan tahun. Goresan itu membuatku terbangun,membakar dagingku. Saat itu kami tinggal di Arizona,sebuah kota kecil di perbatasan dekat Meksiko. Akuterbangun menjerit di tengah malam, kesakitan,ketakutan saat goresan itu membakar dagingku. Itutanda pertama bahwa kaum Mogadorian telahmenemukan kami di Bumi ini. Itu tanda pertamabahwa kami dalam bahaya. Sebelum goresan itumuncul, aku hampir meyakinkan diriku sendiri bahwaingatanku salah, dan bahwa apa yang Henri katakankepadaku hanyalah kebohongan. Aku ingin menjadianak normal yang menjalani kehidupan normal.Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi,bahwa aku tidak normal. Kami pindah ke Minnesotakeesokan harinya.Goresan kedua muncul saat aku berusia dua belastahun. Saat itu aku berada di sekolah, di Colorado,menjadi salah satu peserta kompetisi mengeja. Begitumerasakan sakitnya, aku langsung tahu apa yangterjadi pada Nomor Dua. Sakitnya sangat menyiksa,tapi saat itu aku bisa menahannya. Aku ingin tetapberdiri di panggung, tapi panasnya membuat kauskakiku terbakar. Guru yang memimpin acara itumenyemprotku dengan pemadam api danmembawaku ke rumah sakit. Dokter di UGDmenemukan goresan pertama dan memanggil polisi.Saat Henri tiba, mereka mengancam untukmenahannya atas tuduhan penganiayaan anak. Tapikarena Henri tidak ada di dekatku saat goresan keduamuncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk

Page 2: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

ke mobil dan pergi, kali ini ke Maine. Kamimeninggalkan semua benda yang kami miliki kecualiPeti Loric yang selalu Henri bawa saat pindah. Sudahdua puluh satu kali hingga kini.Goresan ketiga muncul sejam yang lalu. Aku sedangduduk di perahu ponton, milik orangtua anakterpopuler di sekolahku yang dia gunakan untukberpesta tanpa sepengetahuan orangtuanya. Akubelum pernah diundang ke pesta apa pun. Aku selalusendirian, karena aku tahu kami bisa pergi kapan pun.Tapi selama dua tahun ini tidak ada kejadian apa-apa.Henri tidak melihat apa pun di berita yang dapatmengarahkan para Mogadorian ke salah satu darikami, atau peristiwa apa pun yang patut membuatkami waspada. Jadi aku memiliki beberapa teman.Salah satu temanku memperkenalkanku kepada anakyang berpesta ini. Semua orang bertemu di dermaga.Ada tiga kotak pendingin berisi minuman, musik,gadis-gadis yang kutaksir dari kejauhan tapi belumpernah kuajak bicara walaupun sebenarnya aku mau.Kami bertolak dari dermaga dan berlayar sejauhdelapan ratus meter ke Teluk Meksiko. Saat itu akusedang duduk di tepi perahu ponton dengan kaki diair, bicara dengan seorang gadis manis bernama Tarayang berambut gelap dan bermata biru. Kemudianaku merasakannya. Air di sekitar kakiku mulaimenggelegak. Kakiku mulai berpijar saat goresan itumuncul. Simbol Lorien ketiga. Peringatan ketiga. Taramenjerit dan orang-orang mulai berkerumun disekitarku. Aku tahu aku tidak bisa menjelaskannya.Dan aku tahu kami harus pergi secepatnya.Keadaan semakin gawat. Mereka telah menemukanNomor Tiga, entah di mana dia berada. Dan NomorTiga sudah mati. Jadi aku menenangkan Tara,mencium pipinya, mengatakan bahwa aku senangbertemu dengannya, serta mendoakan agar iaberumur panjang dan hidup bahagia. Akumenceburkan diri di samping perahu dan mulaiberenang secepat yang aku bisa, di bawah air—kecuali satu kali saat mengambil napas—hinggamencapai pantai. Aku berlari di tepi jalan besar, ditrotoar, dengan kecepatan yang sama dengan mobil.Saat tiba di rumah, Henri berada di antara berbagaipemindai dan monitor yang dia gunakan untukmemeriksa berita di seluruh dunia serta aktivitas polisidi lingkungan kami. Tanpa perlu kujelaskan, dialangsung tahu. Namun dia tetap menyingkap kakicelanaku yang basah untuk melihat bekas luka itu.Mulanya kami bersembilan.Tiga hilang, mati.Tinggallah kami berenam.Mereka memburu kami. Mereka tak akan berhentihingga selesai membunuh kami semua.Aku Nomor Empat.Berikutnya adalah giliranku.

AKU BERDIRI DI HALAMAN DAN MENATAP KE ARAHrumah. Rumah panggung dari kayu, berdiri sekitar tigameter dari tanah, dengan cat warna merah mudacerah mirip hiasan kue. Sebuah pohon palemmelambai di depannya. Di bagian belakang terdapatsebuah dermaga sepanjang delapan belas metermengarah ke arah Teluk Meksiko. Jika rumah ituberdiri sekitar dua kilometer ke sebelah selatan,dermaga itu pasti ada di Samudra Atlantik.Henri berjalan keluar rumah sambil membawakardus-kardus terakhir, sebagian tidak pernah dibukasejak terakhir kali kami pindah. Ia mengunci pintu,lalu meninggalkan kuncinya di dalam lubang pos disamping pintu. Saat ini pukul dua pagi. Henri memakaicelana pendek cokelat muda dan kaus polo hitam.Kulitnya sangat kecokelatan, dengan wajah yangbelum dicukur dan tampak muram. Dia juga merasasedih karena harus pergi. Henri memasukkan kardusterakhir ke belakang truk, bersama dengan barang-

Page 3: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

barang kami yang lain.“Yang terakhir,” katanya.Aku mengangguk. Kami berdiri dan menatap rumahitu sambil mendengar angin berdesir melewati daun-daun palem. Aku memegang sekantong seledri ditangan.“Aku akan merindukan tempat ini,” kataku. “Lebih daritempat lainnya.”“Aku juga.”“Saatnya membakar?”“Ya. Kau mau melakukannya, atau kau mau aku yangmelakukannya?”“Biar aku saja.”Henri mengeluarkan dompet dan melemparkannya ketanah. Aku mengeluarkan dompetku dan melakukanhal yang sama. Henri berjalan ke truk kami dankembali dengan paspor, akta kelahiran, kartu jaminansosial, buku cek, kartu kredit dan kartu bank, danmelemparkannya ke tanah. Semua dokumen dan hal-hal yang berkaitan dengan identitas kami ada di sini.Semuanya palsu. Aku mengambil kaleng bensin kecilyang kami simpan sebagai cadangan dari truk. Akumenyiramkan bensin ke tumpukan kecil itu. Namakusaat ini adalah Daniel Jones. Ceritanya aku besar diCalifornia dan pindah ke sini karena pekerjaanayahku, seorang pemrogram komputer. Sebentar lagiDaniel Jones hilang. Aku menyalakan korek api danmelemparkannya. Tumpukan itu mulai menyala.Sekali lagi, salah satu kehidupanku hilang. Sepertiyang biasa kami lakukan, Henri dan aku berdirimemandangi api itu. Dah, Daniel, pikirku, senangmengenalmu. Saat api padam, Henri menatapku.“Kita harus pergi.”“Aku tahu.”“Kepulauan ini tidak aman. Sulit untuk pergi daritempat ini dengan cepat, sangat sulit untuk melarikandiri. Kita bodoh sekali datang kemari.”Aku mengangguk. Dia benar, dan aku tahu itu. Tapiaku masih enggan pergi. Kami datang kemari karenakeinginanku. Dan untuk pertama kalinya, Henrimembiarkanku memilih tujuan kami. Kami tinggal disini selama sembilan bulan. Tempat yang paling lamakami tinggali sejak meninggalkan Lorien. Aku akanmerindukan matahari dan kehangatan tempat ini. Akuakan merindukan cecak yang menatap dari dindingsetiap pagi saat aku sarapan. Walaupun sebenarnyaada jutaan cecak di Florida selatan, aku beranibersumpah bahwa cecak yang satu ini mengikutikuke sekolah dan tampaknya selalu ada di mana punaku berada. Aku akan merindukan hujan badai yangseolah datang dari antah berantah. Aku akanmerindukan keheningan dan kedamaian di pagi harisebelum burung-burung laut tiba. Aku akanmerindukan lumba-lumba yang terkadang mencarimakan saat matahari tenggelam. Aku bahkan akanmerindukan bau belerang dari rumput laut yangmembusuk di tepi pantai, serta bagaimana bau itumemenuhi rumah dan menembus mimpi saat kamitidur.“Singkirkan seledri itu. Aku tunggu di truk,” kata Henri.“Sudah waktunya.”Aku masuk ke rerimbunan pohon di sebelah kanantruk. Di sana ada tiga ekor rusa Key, jenis rusa langkayang ad adi Florida, sedang menanti. Akumengeluarkan isi kantong seledri itu di kaki mereka,lalu berjongkok dan membelai rusa-rusa itu. Merekamembiarkanku karena sudah tidak gugup dengankehadiranku. Salah satu rusa mengangkat kepala danmemandangku. Mata hitam yang kosong menatapku.Rasanya rusa itu seperti menyampaikan sesuatukepadaku. Bulu kudukku meremang. Rusa itumenunduk dan melanjutkan makan.“Selamat tinggal, teman-teman kecil,” kataku.Kemudian aku berjalan ke arah truk dan naik.Melalui kaca spion, kami memandang rumah itu

Page 4: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mengecil. Akhirnya Henri berbelok ke jalan utama danrumah itu pun hilang. Ini hari Sabtu. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi di pesta itu tanpa kehadiranku.Apa yang mereka katakan mengenai caraku pergi.Apa yang akan mereka katakan pada hari Senin saataku tidak ada di sekolah. Andai aku bisamengucapkan kata-kata perpisahan. Aku tidak akanpernah bertemu lagi dengan orang-orang yangkukenal di sini. Aku tidak akan pernah lagi berbicaradengan salah satu dari mereka. Dan mereka tidakakan pernah tahu apa aku ini atau mengapa akupergi. Setelah beberapa bulan, atau mungkinbeberapa minggu, mungkin tidak akan ada lagi yangmemikirkanku.Sebelum mencapai jalan raya, Henri menepi untukmengisi bensin. Saat ia mengisi bensin, aku melihatatlas yang Henri simpan di antara bangku pengemudidan bangku penumpang. Sejak tiba di planet ini, kamimemiliki atlas. Atlas itu sudah digambari dengan garisdari dan ke semua tempat yang pernah kami tinggali.Saat ini, ada banyak garis yang menyilangi seluruhAmerika Serikat. Kami tahu seharusnya kamimenyingkirkan atlas itu, tapi atlas ini adalah satu-satunya benda yang berisi sejarah hidup kami. Orangbiasa memiliki foto, video, dan jurnal atau bukuharian. Kami memiliki atlas. Aku mengambil atlas danmemandangnya. Henri telah membuat garis baru dariFlorida menuju Ohio. Ketika berpikir mengenai Ohio,aku memikirkan sapi dan jagung serta orang-orangyang baik. Aku tahu bahwa plat mobil Ohio yangbertuliskan THE HEART OF IT ALL ― PUSATSEGALANYA. Aku tidak tahu apa yang dimaksuddengan “Segalanya”, tapi kurasa sebentar lagi akuakan mengetahuinya.Henri kembali ke truk. Dia membeli beberapa kalengsoda dan sebungkus keripik. Dia keluar dari tempat itudan mengarahkan truk ke jalan U.S.1, yang akanmembawa kami ke arah utara. Ia meraih atlas.“Kau pikir ada orang di Ohio?” aku bercanda.Dia terkekeh. “Kurasa ada beberapa. Dan mungkinnanti kita beruntung dan menemukan mobil serta TVjuga di sana.”Aku mengangguk. Mungkin ini tidak seburuk yangkupikir.“Menurutmu nama ‘John Smith’ bagus nggak?”tanyaku.“Kau mau nama itu?”“Kurasa,” jawabku. Aku belum pernah menggunakannama John, atau Smith.“Tak ada nama yang lebih biasa daripada itu. Akuakan berkata senang bertemu denganmu, Mr. Smith.”Aku tersenyum. “Yeah, kurasa aku suka ‘John Smith.’”Satu setengah kilometer kemudian kamimeninggalkan pulau dan menyeberang melintasijembatan. Air mengalir di bawah kami. Air tampaktenang. Sinar bulan memantul di atas gelombang airsehingga puncaknya tampak putih. Di sebelah kanansamudra. Di sebelah kiri teluk. Pada dasarnya ini airyang sama, tapi dengan dua nama berbeda. Akumerasa ingin menangis, tapi aku tidak menangis. Akubukan sedih karena meninggalkan Florida, tapi akubosan melarikan diri. Aku bosan memikirkan namabaru setiap enam bulan. Aku bosan dengan rumahbaru, sekolah baru. Aku bertanya-tanya kapanakhirnya kami bisa berhenti lari.

KAMI BERHENTI UNTUK MEMBELI MAKANAN, bensin,dan ponsel baru. Kami berhenti di tempatpemberhentian truk. Di sana kami makan meatloaf,juga macaroni and cheese, salah satu dari sedikit halyang menurut Henri jauh lebih baik daripada apayang kami makan di Lorien. Saat kami makan, Henrimembuat dokumen-dokumen baru di laptopnya,menggunakan nama baru kami. Ia akan mencetakdokumen-dokumen itu begitu kami tiba. Lalu tiba-tiba

Page 5: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

saja kami akan menjadi orang yang kami ciptakanitu.“Kau yakin dengan John Smith?” tanyanya.“Yeah.”“Kau lahir di Tuscaloosa, Alabama.”Aku tertawa. “Kau dapat ide itu dari mana?”Henri tersenyum dan member isyarat ke arah duaorang perempuan yang duduk beberapa meja darikami. Keduanya tampak seksi. Salah satunyamengenakan kaus bertuliskan WE DO IT BETTER INTUSCALOOSA.“Dan itu tujuan kita berikutnya,” kata Henri.“Mungkin kedengaran aneh, tapi kuharap kita tinggaldi Ohio untuk waktu yang lama.”“Oh, ya? Kau suka Ohio?”“Aku suka dengan gagasan memiliki teman, pergi kesekolah yang sama selama lebih dari beberapa bulan,dan mungkin memiliki kehidupan yang sesungguhnya.Aku mulai melakukan itu di Florida. Rasanya hebat.Dan untuk pertama kalinya sejak kita tiba di Bumi,aku merasa hampir normal. Aku ingin menemukansatu tempat dan tinggal di tempat itu seterusnya.”Henri tampak merenung. “Apa kau sudah melihatgoresanmu hari ini?”“Belum, kenapa?”“Karena ini bukan tentang kau. Ini tentangkeselamatan hidup bangsa kita, yang hampirsepenuhnya lenyap. Dan ini tentang menjagamu agartetap hidup. Setiap kali salah satu dari kitamati―setiap kali salah satu dari kalian, para Garde,mati―kesempatan kita berkurang. Kau Nomor Empat.Kau yang berikutnya. Kau diburu oleh seluruh bangsapembunuh kejam. Kita pergi begitu ada pertandabahaya, tanpa banyak tanya.”Henri menyetir sepanjang waktu. Selain saat istirahatdan membuat dokumen-dokumen baru, perjalanan itumemakan waktu tiga puluh jam. Aku menghabiskansebagian besar waktu dengan tidur atau bermainvideo game. Karena refleksku, aku bisa menguasaisebagian besar permainan itu dengan cepat. Palinglama, satu permainan kutaklukan dalam waktu satuhari. Aku paling suka permainan di ruang angkasa danperang melawan alien. Aku berpura-pura berada diLorien, melawan para Mogadorian, memotong-motongmereka, dan membuat mereka menjadi abu. Henripikir itu aneh dan dia selalu berusaha mengecilkanhatiku. Dia bilang kita seharusnya hidup di dunianyata, tempat perang dan kematian itu nyata, bukanpura-pura. Setelah menamatkan game terakhirku, akumenengadah. Aku bosan duduk di truk. Jam di dasbormenunjukkan 7:58. Aku menguap, menggosok mata.“Masih jauh?”“Hampir sampai,” kata Henri.Di luar gelap, tapi ada cahaya pucat di barat. Kamimelewati pertanian dengan kuda dan ternak, lalupadang tandus, dan setelah itu, hanya pepohonansejauh mata memandang. Ini tepat seperti yang Henriinginkan. Tempat yang sepi sehingga kami tidakmenarik perhatian. Seminggu sekali Henri menjelajahiInternet selama enam, tujuh, atau delapan jam untukmemperbaharui daftar rumah sewaan di negara iniyang memenuhi kriterianya: terasing, di pedesaan,dapat langsung ditempati. Katanya ia harusmenelepon empat kali―satu ke South Dakota, satu keNew Mexico, satu ke Arkansas―hingga akhirnyaberhasil mendapatkan rumah kontrakan di tempatyang kami tuju.Beberapa menit kemudian kami melihat sekumpulancahaya. Itu kota yang kami tuju. Kami melewatipapan tanda yang bertuliskan:SELAMAT DATANG DI PARADISE, OHIOJUMLAH PENDUDUK 5.234“Wow,” kataku. “Tempat ini lebih kecil daripadatempat tinggal kita di Montana.”Henri tersenyum. “Menurutmu ini paradise ‒

Page 6: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

surga―bagi siapa?”“Sapi, mungkin? Orang-orangan sawah?”Kami melewati satu pom bensin tua, satu tempat cucimobil, dan satu tempat pemakaman. Lalu rumah-rumah mulai terlihat. Rumah-rumah terbuat dari kayudan berjarak sekitar sepuluh meter antara satudengan lainnya. Dekorasi Halloween tergantung dijendela sebagian besar dari rumah-rumah itu. Trotoarmembentang di depan pekarangan yang mengarahke pintu depan. Bundaran lalu lintas berada di tengahkota. Di bagian tengahnya berdiri sebuah patungorang yang sedang duduk di atas kuda sambilmemegang pedang. Henri berhenti. Kami memandangpatung itu dan tertawa. Kami tertawa karena kamiharap tidak ada orang lain dengan pedang yang akanmuncul di tempat ini. Henri kemudian menjalankanmobil mengitari bundaran itu. Saat kami melewatinya,sistem navigasi GPS di dasbor member tahu kamiuntuk berbelok. Kami mengarah ke barat, ke luarkota.Kami berkendara sejauh enam setengah kilometerlalu belok kiri memasuki jalan berkerikil. Kemudiankami melewati lading yang baru dipanen―yangmungkin penuh dengan jagung pada musimpanas―dan melintasi hutan lebat sejauh kira-kira satusetengah kilometer. Lalu kami menemukannya, dibalik tumbuhan lebat, sebuah kotak surat berwarnaperak yang sudah berkarat dengan huruf-huruf hitamdi salah satu sisinya dan berbunyi 17 OLD MILL RD.“Rumah terdekat jaraknya 3 kilometer,” kata Henrisambil berbelok masuk. Rumput liar tumbuh disepanjang jalan berkerikil, yang dipenuhi kubanganair berwarna kuning kecokelatan. Henri menghentikantruk dan mematikannya.“Mobil siapa itu?” tanyaku, menganggukkan kepala kearah SUV hitam di depan kami.“Mungkin milik si agen properti.”Rumah itu dinaungi pepohonan. Dalam kegelapan,rumah itu tampak mengerikan, seolah siapa pun yangdulu tinggal di sana ketakutan hingga pergi, ataudiusir, atau melarikan diri. Aku keluar dari truk. Mesinmasih berdetak dan aku bisa merasakan panasnya.Aku mengambil tas dari truk dan berdiri sambilmemegangnya.“Bagaimana menurutmu?” tanya Henri.Rumah itu hanya satu lantai. Terbuat dari kayu.Sebagian besar cat putihnya sudah mengelupas. Salahsatu jendela depan rusak. Atapnya ditutupi oleh siraphitam yang tampak bengkok dan rapuh. Kursi-kursireyot bergelimpangan di atas tiga anak tangga yangmengarah ke beranda kecil. Halaman depannyasendiri panjang dan tampak berantakan. Pasti sudahlama sejak terakhir kali rumput dipotong.“Tampak seperti Paradise,” kataku.Kami berjalan bersama. Lalu seorang wanita pirangseusia Henri dan berpakaian rapi keluar dari pintu. Diamengenakan setelan bisnis dan memegang papankecil serta map. Blackberry digantungkan di bagianpinggang roknya. Perempuan itu tersenyum.“Mr. Smith?”“Ya,” jawab Henri.“Nama saya Annie Hart, agen dari Paradise Realty.Kita sudah bicara di telepon. Saya mencobamenghubungi Anda tadi, tapi tampaknya telepongenggam Anda dimatikan.”“Oh, benar. Baterainya habis dalam perjalanankemari.”“Ah, saya benci jika itu terjadi,” kata perempuan itu.Dia berjalan ke arah kami dan menjabat tanganHenri. Perempuan itu menanyakan namaku dan akumemberitahunya, walaupun seperti biasanyasebenarnya aku tergoda untuk menjawab “Empat.”Saat Henri menandatangani kontrak, perempuan itubertanya berapa usiaku. Lalu dia mengatakan bahwadia memiliki seorang anak perempuan seusiaku yang

Page 7: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

bersekolah di SMA di tempat itu. Perempuan itusangat ramah, bersahabat, dan jelas sangat sukamengobrol. Henri menyerahkan kontrak itu kembali.Kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah.Di dalam, sebagian besar perabotan ditutupi kainputih. Perabotan yang tidak ditutupi kain diselimutilapisan debu tebal dan serangga mati. Kain kasa dijendela tampak rapuh jika disentuh dan tembokrumah itu ditutupi oleh papan tripleks murah. Ada duakamar tidur, satu dapur berukuran sedang denganlantai keramik berwarna hijau limau, serta satu kamarmandi. Ruang tamunya besar dan berbentuk persegi,terletak di bagian depan rumah. Ada perapian diujung sana. Aku masuk dan melemparkan tasku keatas tempat tidur di kamar yang kecil. Di kamar ituada sebuah poster besar yang sudah pudar. Dalamposter itu tampak seorang pemain American footballdengan seragam oranye cerah. Ia sedangmelemparkan bola, dan tampaknya akan diremukkanoleh seorang lelaki raksasa berseragam hitam danemas. Tulisannya BERNIE KOSAR, QUARTERBACK,CLEVELAND BROWNS.“Kemari dan ucapkan selamat jalan kepada Mrs. Hart,”teriak Henri dari ruang tamu.Mrs. Hart berdiri di pintu bersama Henri. Dia berkatabahwa aku harus menemui anaknya di sekolah,mungkin kami bisa berteman. Aku tersenyum danberkata ya, itu pasti menyenangkan. Setelah Mrs. Hartpergi, kami langsung mengosongkan truk. Tergantungseberapa cepat kami meninggalkan suatu tempat,kami biasanya bepergian dengan tanpa membawabanyak barang―maksudnya hanya baju di badan,laptop Henri, dan Peti Loric berukir rumit yang selalukami bawa ke mana pun kami pergi―atau denganmembawa sejumlah barang―biasanya komputercadangan dan peralatan Henri, yang dia gunakanuntuk membuat garis pertahanan dan mencari beritaserta peristiwa yang mungkin berkaitan dengan kamidi web. Kali ini kami membawa Peti Loric, duakomputer bertenaga besar, empat TV monitor, danempat kamera. Kami juga membawa sejumlahpakaian, walaupun pakaian kami di Florida hanyasedikit yang sesuai dengan kehidupan di Ohio. Henrimembawa Peti Loric ke kamarnya. Lalu kamimengangkut semua peralatan ke ruang bawah tanah.Henri akan memasangnya di sana sehingga tidakterlihat tamu. Setelah semua barang dimasukkan,Henri mulai memasang kamera dan menyalakanmonitor.“Tidak ada saluran Internet sampai besok pagi. Tapijika kau mau pergi ke sekolah besok, aku bisamencetak semua dokumen barumu.”“Jika aku tinggal apakah itu artinya aku harusmembantumu membersihkan dan merapikan tempatini?”“Ya.”“Kalau begitu aku ke sekolah,” kataku.“Kalau begitu sebaiknya malam ini kau tidur yangnyenyak.”IDENTITAS BARU LAGI, SEKOLAH BARU LAGI. Aku takingat sudah berapa banyak selama bertahun-tahun ini.Lima belas? Dua puluh? Selalu kota kecil, sekolahkecil, rutinitas yang sama. Anak baru menarikperhatian. Kadang aku mempertanyakan strategi kamidalam memilih kota kecil karena sulit, untuk tidakmenarik perhatian. Tapi aku tahu alasan Henri:mereka juga tidak mungkin tidak menarik perhatian.Sekolah baruku berjarak lima kilometer dari rumah.Henri mengantarku pada pagi hari. Sekolah itu lebihkecil daripada sekolah-sekolah lain yang pernahkumasuki. Penampilannya juga tidak mengesankan,hanya satu lantai, panjang, dan beratap rendah.Lukisan dinding berupa sosok seorang bajak lautsedang menggigit pisau menutupi tembok luar disamping pintu depan.

Page 8: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Jadi sekarang kau bajak laut?” kata Henri darisampingku.“Sepertinya,” jawabku.“Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” katanya.“Ini bukan pertama kalinya aku jadi murid baru.”“Jangan tunjukkan bahwa kau pintar. Itu akanmembuat mereka membencimu.”“Tak akan.”“Jangan terlihat menonjol atau terlalu menarikperhatian.”“Sip, aku cuma seekor lalat di dinding.”“Dan jangan sakiti siapa pun. Kau jauh lebih kuatdaripada mereka.”“Aku tahu.”“Yang terpenting, selalu siap sedia. Siap untuk pergikapan saja. Apa isi ranselmu?”“Buah dan kacang keringan, cukup untuk lima hari.Kaus kaki ganti dan pakaian dalam hangat. Jas hujan.GPS genggam. Pisau berbentuk pena.”“Semua itu harus selalu kau bawa.” Henri menariknapas panjang. “Dan waspada terhadap segala tanda-tanda. Kekuatan Pusakamu bisa muncul kapan saja.Pokoknya kau harus menyembunyikannya danlangsung telepon aku.”“Aku tahu, Henri.”“Kapan saja, John,” ulangnya. “Jika jarimu mulaimenghilang, atau jika kau mulai melayang, atau jikabadanmu bergetar keras, atau jika kau kehilangankendali terhadap otot-ototmu atau mulai mendengarsuara-suara walaupun tidak ada orang yang berbicara.Apa pun itu, kau harus menelepon.”Aku menepuk ransel. “Ponselku di sini.”“Aku di sini saat sekolah bubar. Hati-hati, Nak,”katanya.Aku tersenyum ke Henri. Henri berusia lima puluhtahun. Itu berarti dia empat puluh tahun saat kamitiba. Orang seusianya lebih sulit beradaptasi. Diamasih berbicara dengan aksen Loric yang kental dankarenanya sering disangka sebagai orang Prancis. Itualibi yang bagus. Jadi ia menamakan dirinya Henri,dan selalu menggunakan nama itu. Ia hanyamengganti nama belakangnya agar sama dengannama belakangku.“Kupergi ‘tuk taklukan sekolah,” kataku.“Baik-baik, ya.”Aku berjalan menuju gedung sekolah. Sepertikebanyakan SMA, banyak anak yang nongkrong danberkerumun di luar. Mereka berkerumun sesuaidengan kelompok masing-masing. Para olahragawandan pemandu sorak, anak marching band dengan alatmusiknya, anak pintar berkacamata dengan bukupelajaran dan BlackBerry, serta para pecandu yangberkerumun di pinggiran, tak memedulikan sekitarnya.Seorang anak ceking berkacamata tebal berdirisendiri. Ia mengenakan kaus NASA hitam dan jins.Berat badannya pastilah tidak lebih dari lima puluhkilogram. Ia memiliki teleskop genggam dan sedangmengamati langit yang tertutup awan. Aku melihatseorang gadis yang sedang memotret, berjalan darisatu kelompok ke kelompok lain. Ia tampak sangatcantik dengan rambut pirang lurus panjang, kulitgading, tulang pipi tinggi, dan mata biru muda.Tampaknya semua orang mengenal gadis itu danmenyapanya. Tidak ada yang keberatan dipotretnya.Gadis itu melihatku, tersenyum, dan melambai. Akubertanya-tanya mengapa lalu menengok ke belakanguntuk melihat apa ada orang di belakangku. Ada. Duaorang anak yang sedang membahas PR matematika,tidak ada yang lain. Aku menoleh kembali. Gadis ituberjalan ke arahku, tersenyum. Aku belum pernahmelihat seorang gadis yang sangat cantik, apalagiberbicara dengan gadis seperti itu. Selain itu, belumpernah ada gadis cantik yang melambai dantersenyum kepadaku seolah kami berteman. Akulangsung merasa gugup. Mukaku memerah. Tapi aku

Page 9: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

juga waspada, karena memang dilatih untukwaspada. Saat gadis itu berada di dekatku, diamengangkat kamera dan mulai memotret. Akumengangkat tangan menutupi wajah. Diamenurunkan kameranya dan tersenyum.“Jangan malu, dong.”“Nggak. Cuma berusaha melindungi lensa kameramu.Wajahku bisa membuatnya pecah.”Gadis itu tertawa. “Bisa saja kalau kau cemberutseperti itu. Ayo senyum.”Aku tersenyum, tipis. Aku sangat gugup sehinggamerasa seolah akan meledak. Aku bisa merasakanleherku panas dan tanganku menghangat.“Itu bukan senyum betulan,” goda gadis itu. “Senyumitu harusnya memperlihatkan gigi.”Aku tersenyum lebar dan dia memotret. Aku biasanyatidak mengizinkan siapa pun memotretku. Jika foto itumuncul di Internet, atau di surat kabar, aku akanmudah ditemukan. Hal seperti itu pernah terjadi duakali. Henri sangat marah, mengambil foto itu, danmenghancurkannya. Jika Henri tahu saat ini akudipotret, aku akan mendapat masalah besar. Tapi akutidak bisa apa-apa―gadis itu sangat cantik danmenawan. Saat si gadis memotret, seekor anjingberlari menghampiriku. Anjing jenis beagle dengantelinga terkulai berwarna kecokelatan, tungkai dandada berwarna putih, dan tubuh langsing berwarnahitam. Anjing itu kurus dan kotor. Tampaknya selamaini dia hidup sebatang kara. Si anjing menggosokkanbadannya di kakiku, mendengking, berusaha menarikperhatian. Si gadis merasa bahwa tingkahnya manisdan menyuruhku berlutut agar bisa memotretkubersama si anjing. Saat gadis itu mulai memotret,anjing itu mundur. Saat si gadis mencoba memotretlagi, anjing itu menjauh. Akhirnya si gadis menyerahdan memotretku lagi. Anjing itu duduk sekitar sepuluhmeter dari kami dan memandangi kami.“Kau kenal anjing itu?” tanya si gadis.“Seumur-umur belum pernah melihatnya.”“Tampaknya anjing itu menyukaimu. Kau John, kan?”Si gadis mengulurkan tangannya.“Yeah,” kataku. “Kok tahu?”“Aku Sarah Hart. Ibuku agen properti. Dia bilangmungkin kau mulai bersekolah hari ini, dan aku harusbertemu denganmu. Kau satu-satunya anak baru yangmuncul hari ini.”Aku tertawa. “Yeah, aku sudah bertemu ibumu. Diabaik.”“Apa kau tak mau bersalaman denganku?”Sarah masih mengulurkan tangannya. Aku tersenyumdan menjabat tangannya. Ini benar-benar perasaanterbaik yang pernah kurasakan.“Wow,” katanya.“Apa?”“Tanganmu panas. Panas banget, sepertinya kau inidemam atau semacamnya.”“Kurasa tidak.”Sarah melepaskan tanganku.“Mungkin darahmu panas.”“Yeah, mungkin.”Bel berdering di kejauhan. Sarah memberitahukubahwa itu bel peringatan. Kami memiliki waktu limamenit untuk masuk kelas. Kami berpisah dan akumenatapnya pergi. Sesaat kemudian, sesuatumengenai siku belakangku. Aku berbalik. Sekelompokpemain football, semuanya mengenakan jaket tim,berjalan ke arahku. Salah satu dari merekamemelototi dan memukulku dengan ranselnya saatlewat. Aku yakin dia sengaja maka kuikuti mereka.Aku tahu aku tidak akan melakukan apa pun,walaupun sebenarnya aku bisa. Aku hanya tidak sukapenindas. Lalu si anak berkaus NASA berjalanmenjajariku.“Aku tahu kau anak baru, jadi aku kasih tahu, deh,”katanya.

Page 10: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Apa?” tanyaku.“Itu Mark James. Bintang di sini. Ayahnya sheriff kota.Mark sendiri bintang tim football. Dulu dia mengencaniSarah, saat Sarah masih jadi cheerleader. Tapikemudian Sarah berhenti dari cheerleader danmencampakkan Mark. Mark belum bisamerelakannya. Jadi, sebaiknya kau jangan terlibat.”“Makasih.”Anak itu bergegas pergi. Aku berjalan ke kantorkepala sekolah untuk mendaftar kelas dan mulaibelajar. Aku berbalik dan melihat si anjing masih disitu. Dia, masih duduk di tempat yang sama,menatapku.* * *Kepala sekolahku bernama Mr. Harris. Ia gemuk dankepalanya hampir botak, hanya ada sedikit rambutpanjang di bagian belakang dan samping kepalanya.Perutnya buncit. Matanya kecil dan bulat, hampirberdempetan. Dia menyeringai ke arahku dariseberang meja sehingga matanya tampak semakinkecil.“Jadi di Santa Fe kamu itu kelas dua?” tanyanya.Aku mengangguk dan menjawab ya, padahal kamibelum pernah ke Santa Fe, atau New Mexico.Kebohongan sederhana agar tetap tidak terlacak.“Itu sebabnya kulitmu cokelat. Dan kenapa kau keOhio?”“Karena pekerjaan ayahku.”Henri bukan ayahku, tapi aku selalu berkata begituagar tidak mencurigakan. Sebenarnya Henri ituPenjagaku, atau bahasa Buminya waliku. Di Lorienada dua jenis warga. Yang pertama adalah wargayang memiliki Pusaka, atau kekuatan―yang banyaksekali macamnya, mulai dari kemampuan untukmenjadi tidak terlihat hingga kemampuan membacapikiran, atau kemampuan untuk terbang, hinggakemampuan mengendalikan kekuatan alam sepertiapi, angin, atau petir. Warga yang memiliki Pusakadisebut Garde. Yang kedua adalah warga yang tidakmemiliki kekuatan, mereka disebut Cêpan atauPenjaga. Aku itu Garde. Henri itu Cêpan. Cêpanmembantu kami memahami sejarah planet dan jugabagaimana mengembangkan kekuatan kami. Cêpandan Garde―yang satu bertugas menjalankan planet,sedangkan yang lain bertugas mempertahankanplanet.Mr. Harris mengangguk. “Apa pekerjaan ayahmu?”“Ayahku penulis. Dia ingin tinggal di kota kecil yangsunyi untuk menyelesaikan tulisannya,” jawabku, inicerita standar kami.Mr. Harris mengangguk dan mengedipkan mata.“Tampaknya kau pemuda yang kuat. Apa kau inginikut tim olahraga di sini?”“Andai saja aku bisa. Aku punya asma, Pak,”jawabku, ini alasan standarku agar terhindar darisituasi yang dapat mengungkapkan kekuatan dankecepatanku.“Sayang sekali. Kami selalu mencari atlet untuk timfootball,” kata Mr. Harris sambil melemparkanpandangan ke arah rak dinding. Di atas rak ituterdapat piala football yang bertuliskan tanggal padatahun lalu. “Kami memenangi kejuaraan olahragaPioneer Conference,” katanya dengan berseri-serikarena bangga.Dia meraih dan menarik dua lembar kertas dari lemariarsip di samping meja kerjanya lalu memberikankertas-kertas itu kepadaku. Kertas pertama berisidaftar pelajaranku dengan beberapa tempat kosong.Kertas kedua berisi daftar mata pelajaran pilihan yangbisa kupilih. Aku memilih sejumlah kelas danmemasukkannya ke dalam daftar pelajaranku.Kemudian aku mengembalikan kedua kertas itu. Mr.Harris memberikan semacam orientasi. Dia berbicarasangat panjang, membahas setiap halaman bukupanduan siswa hingga rincian terkecil. Bel berbunyi

Page 11: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

satu kali, lalu satu kali lagi. Saat akhirnya selesai, Mr.Harris bertanya apakah aku memiliki pertanyaan. Akujawab tidak.“Bagus. Masih ada setengah jam di jam pelajarankedua, dan kau sudah memilih kelas astronomidengan Mrs. Burton. Beliau guru yang hebat, salahsatu guru terbaik kami. Mrs. Burton pernahmemenangi penghargaan negara bagian,ditandatangani oleh gubernur sendiri.”“Hebat,” kataku.Setelah Mr. Harris berjuang membebaskan diri darikursinya, kami meninggalkan kantor dan berjalanmenyusuri lorong. Sepatunya berbunyi di atas lantaiyang baru digosok. Udara dipenuhi bau cat segar danproduk pembersih. Loker-loker berjejer di dinding.Sebagian besar loker dihiasi spanduk dukungan bagitim football. Di seluruh bangunan sekolah ini pastihanya ada dua puluh ruang kelas atau malah kurang.Aku menghitungnya saat kami berjalan.”“Nah, kita sampai,” kata Mr. Harris. Dia mengulurkantangan. Aku menjabat tangannya. “Kami senangmenerimamu. Aku biasanya beranggapan kita semuaini keluarga dekat. Selamat datang.”“Terima kasih,” kataku.Mr. Harris membuka pintu dan melongok ke dalamkelas. Saat itu aku merasa agak gugup dan ada rasapusing yang merayapiku. Kaki kananku gemetar. Didalam perutku seolah ada kupu-kupu. Aku tidakmengerti kenapa. Pastinya ini bukan karena sebentarlagi aku memasuki kelas pertamaku di sini. Aku sudahsangat sering melakukannya sehingga tidak merasagugup lagi. Aku menarik napas dalam dan mencobamenyingkirkan perasaan itu.“Mrs. Burton, maaf mengganggu. Murid baru Anda adadi sini.”“Oh, bagus sekali! Silakan masuk,” jawab Mrs. Burtonantusias.Mr. Harris membuka pintu dan aku masuk ke dalam.Kelas itu berbentuk persegi, kurang lebih berisi duapuluh lima orang yang duduk di meja persegiseukuran meja dapur, masing-masing tiga murid disetiap meja. Semua mata memandangku. Aku balasmemandang mereka sebelum menatap Mrs. Burton.Mrs. Burton berusia sekitar enam puluh tahun,mengenakan sweater wol merah muda dankacamata plastik berwarna merah rantai mengelilingilehernya. Dia tersenyum lebar. Rambut keritingnyamulai beruban. Telapak tanganku berkeringat danwajahku terasa panas. Kuharap wajahku tidak merah.Mr. Harris menutup pintu.“Siapa namamu?” tanya Mrs. Burton.Karena gugup aku hampir menjawab “Daniel Jones.”Aku menarik napas dalam dan berkata, “John Smith.”“Bagus! Dan dari mana asalmu?”“Fl―,” aku mulai menjawab, tapi langsung berhenti.“Santa Fe.”“Anak-anak, mari beri sambutan hangat untuknya.”Semua orang bertepuk tangan. Mrs. Burtonmempersilakanku duduk di bangku kosong di tengahruangan di antara dua orang murid lain. Aku legakarena ia tidak bertanya lebih lanjut. Mrs. Burtonkembali ke mejanya. Aku berjalan menuju bangkuku,tepat ke arah Mark James yang duduk di sebuahmeja bersama Sarah Hart. Saat aku lewat, Markmenjulurkan kaki untuk menjegalku. Aku kehilangankeseimbangan, tapi tetap tegak. Ruangan dipenuhitawa terkekeh. Mrs. Burton berbalik.“Ada apa?” tanyanya.Aku tidak menjawab dan memelototi Mark. Setiapsekolah memiliki satu, si jagoan, si penindas, apa punsebutannya, tapi tidak ada yang menampakkanaslinya secepat ini. Rambut Mark hitam, penuh denganminyak rambut, dan ditata sedemikian rupa sehinggamencuat tegak ke segala penjuru. Dia juga memilikicambang yang dipangkas rapi di wajahnya. Alis tebal

Page 12: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

di atas sepasang mata hitam. Dari jaket football-nyaaku tahu bahwa dia murid kelas tiga dan namanyatertera, di atas tulisan tahun, dengan huruf sambungyang disulam dengan benang emas. Kami salingmelotot. Seluruh kelas menyuarakan eranganmencemooh.Aku melihat tempat dudukku, tiga meja dari sana, lalumenatap Mark kembali. Aku benar-benar bisamematahkannya menjadi dua jika mau. Aku bisamelemparkannya ke negara bagian tetangga. Jika diamencoba kabur dengan naik mobil, aku bisa menyusulmobilnya dan melemparkannya ke atas pohon.Namun di samping keinginan berlebihan itu, kata-kataHenri bergema di benakku: “Jangan terlihat menonjolatau terlalu menarik perhatian.” Aku tahu bahwa akuharus mengikuti nasihat Henri dan mengabaikan apayang baru terjadi, seperti yang biasa kulakukan dimasa lalu. Kami pintar melakukan itu, berbaur denganlingkungan dan hidup di bawah baying-bayang. Tapiaku merasa agak kurang waspada dan gelisah.Sebelum sempat berpikir dua kali, aku sudahmelontarkan pertanyaan itu.“Apa kau menginginkan sesuatu?”Mark memalingkan muka dan memandang sekelilingruangan, beringsut di kursinya, lalu balas menatapku.“Maksudmu?” tanyanya.“Kau menjulurkan kaki saat aku lewat. Dan kaumenubrukku di luar. Aku pikir kau mungkinmenginginkan sesuatu.”“Ada apa?” tanya Mrs. Burton di belakangku. Akumenoleh ke belakang melihatnya.“Tidak ada,” kataku. Aku kembali menatap Mark.“Jadi?”Mark mencengkeram meja dengan kuat tapi tetapdiam. Mata kami saling terkunci sampai akhirnya diamendesah dan memalingkan muka.“Sudah kuduga,” kataku mengejek lalu berjalan kebangkuku. Murid-murid lain tidak tahu harus bereaksibagaimana. Sebagian besar dari mereka masihmenatapku saat aku duduk di antara gadis berambutmerah dengan wajah berbintik-bintik dan pemudakegemukan yang ternganga memandangku.Mrs. Burton berdiri di depan kelas. Dia tampak agakbingung, tapi langsung mengabaikannya. Setelah itudia menjelaskan mengapa ada cincin yangmengelilingi Saturnus dan bahwa cincin itu sebagianbesar terdiri atas debu dan partikel es. Setelahbeberapa saat, aku berhenti mendengarkan Mrs.Burton dan memandang murid-murid lain. Sekelompokorang baru. Seperti biasa, aku akan menjaga jarakdengan mereka. Aku hanya perlu berinteraksisecukupnya dengan mereka agar tetap misteriustanpa membuat diriku tampak aneh dan menonjol.Hari ini aku melakukannya dengan sangat buruk.Aku menarik napas dalam dan mengembuskannyapelan-pelan. Perutku masih terasa berdenyar-denyarseakan ada kupu-kupu beterbangan di dalam, dankakiku masih gemetaran mengganggu. Tangankuterasa lebih hangat. Mark James duduk tiga meja didepanku. Ia menoleh ke belakang sekali danmelihatku lalu membisikkan sesuatu ke telinga Sarah.Sarah menoleh ke belakang. Ia tampak tenang.Namun kenyataan bahwa Sarah pernah berkencandengan Mark dan sekarang duduk dengannyamembuatku bertanya-tanya. Sarah tersenyum hangatke arahku. Aku ingin balas tersenyum tapi yangkulakukan hanya diam. Mark berbisik sekali lagikepada Sarah, tapi Sarah menggelengkan kepalanyadan mendorong Mark menjauh. Pendengaranku jauhlebih baik daripada pendengaran manusia jika akumemusatkan perhatian. Namun aku begitu bingungmelihat senyuman Sarah sehingga tidak berusahamendengarkan kata-kata Mark. Andai tadi akumendengar apa yang Mark katakan.

Page 13: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku membuka dan menutup tanganku. Telapaktanganku berkeringat dan mulai memanas. Akumenarik napas dalam sekali lagi. Pandangankumengabur. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh. Mrs.Burton masih berbicara tapi aku tidak mendengar apayang dia katakan. Aku mengepalkan tangan, lalumembukanya kembali. Lalu napasku tercekat. Adasinar yang keluar dari telapak tanganku. Akumemandangnya, heran, takjub. Setelah beberapasaat, sinar itu tampak semakin terang.Aku mengepalkan tangan. Awalnya aku takut adasesuatu yang terjadi pada salah satu dari kami. Tapiapa yang mungkin terjadi? Kami tidak bisa dibunuhsecara acak. Itu akibat mantra pelindung. Tapi apakahitu berarti mereka bisa disakiti dengan cara lain?Apakah tangan kanan seseorang dipotong? Aku tidakbisa mengetahuinya. Tapi jika sesuatu terjadi, akupasti merasakannya pada goresan di pergelangankakiku. Lalu aku sadar. Pasti ini kemunculan Pusakapertamaku.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimkanpesan berbunyi KESINN, padahal aku ingin mengetikKE SINI. Aku terlalu pusing untuk mengetikkan kata-kata lain. Aku mengepalkan tangan danmeletakkannya di pangkuan. Tanganku sangat panasdan gemetar. Aku membuka tanganku. Telapak kirikuberwarna merah terang, tangan kananku masihbersinar. Aku melirik jam di dinding. Sebentar lagikelas berakhir. Jika aku bisa keluar dari sini, aku bisamencari ruangan kosong dan menelepon Henri lalubertanya apa yang terjadi. Aku mulai menghitungdetik demi detik: enam puluh, lima sembilan, limadelapan. Rasanya seolah sesuatu akan meledak ditanganku. Aku berkonsentrasi menghitung. Empatpuluh, tiga sembilan. Sekarang tanganku terasa geliseolah jarum-jarum kecil ditusukkan ke dalam telapaktanganku. Dua delapan, dua tujuh. Aku membukamata dan menatap ke depan, memandangi Sarahsambil berharap itu akan membuat pikirankuteralihkan. Lima belas, empat belas. MemandangSarah malah membuatnya semakin parah. Sekarangjarum-jarum itu terasa seperti paku. Paku yangdiletakkan di atas kompor dan dipanaskan hinggaberpijar. Delapan, tujuh.Bel berbunyi. Aku langsung berdiri dan keluar kelas,bergegas melewati murid-murid lain. Aku merasapusing, kakiku goyah. Aku terus berjalan di lorong dantidak tahu harus ke mana. Aku bisa merasakanseseorang mengikutiku. Aku mengeluarkan jadwalpelajaran dari saku belakang dan mengecek nomorlokerku. Beruntung sekali, lokerku ada di kananku.Aku berhenti dan menyandarkan kepala di pintulogam lokerku. Aku menggelengkan kepala saat sadarbahwa tas dan ponselku tertinggal di kelas karenaterburu-buru keluar. Lalu seseorang mendorongku.“Ada apa, Jagoan?”Aku terdorong beberapa langkah lalu menatap balik.Mark berdiri di sana, tersenyum ke arahku.“Ada masalah?” tanyanya.“Nggak,” jawabku.Kepalaku berputar. Aku merasa seperti akan pingsan.Dan tanganku seakan terbakar. Apa pun yangkualami sekarang justru terjadi pada saat yang salah.Mark mendorongku lagi.“Nggak begitu jago tanpa guru, ya?”Kakiku terlalu goyah. Aku tersandung kakiku sendiridan jatuh. Sarah melangkah ke depan Mark.“Jangan ganggu dia,” katanya.“Ini nggak ada hubungannya denganmu,” kata Mark.“Yang benar saja. Kau melihat anak baru bicaradenganku dan kau langsung berantem dengannya. Inisalah satu alasan kenapa kita putus.”Aku berusaha berdiri. Sarah menunduk untukmembantuku. Begitu ia menyentuhku, tangankuterasa terbakar dan kepalaku seolah disambar petir.

Page 14: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku berbalik dan mulai berlari ke arah yangberlawanan dari kelas astronomi. Aku tahu semuaorang akan berpikir bahwa aku pengecut karenamelarikan diri, tapi aku merasa seperti akan pingsan.Aku akan berterima kasih kepada Sarah, danmengurus Mark, nanti. Sekarang aku hanya perlumencari ruangan dengan kunci di pintu.Aku tiba di ujung lorong, yang berpotongan denganpintu masuk utama sekolah. Aku mengingat orientasiMr. Harris, yang termasuk lokasi berbagai ruangan disekolah. Jika aku tidak salah ingat, auditorium,ruangan marching band, dan ruangan seni ada diujung lorong ini. Aku berlari menuju ruangan itusecepat yang kubisa. Di belakangku terdengar Markberteriak kepadaku, dan Sarah berteriak kepada Mark.Aku membuka pintu pertama yang kutemukan danmenutupnya. Untung ada kuncinya, yang langsungaku putar.Aku berada di kamar gelap. Pita negatif filmbergantungan. Aku jatuh ke lantai. Kepalaku berputardan tanganku terbakar. Sejak pertama kali melihatcahayanya, tanganku selalu kukepalkan. Akumemandang kedua tanganku. Tangan kananku masihberpijar dan berdenyut. Aku mulai panik.Aku duduk di lantai, keringat membakar mataku.Kedua tanganku terasa sakit luar biasa. Aku tahubahwa Pusakaku akan muncul. Namun aku tidak tahubahwa aku harus mengalami ini. Aku membukatanganku. Telapak kananku bersinar terang,cahayanya mulai mengumpul. Telapak kiriku berkelap-kelip redup dan panasnya tak tertahankan. Aku harapHenri di sini. Kuharap dia sedang ke sini.Aku menutup mata dan memeluk diriku. Aku berayunke depan dan ke belakang di lantai, seluruh tubuhkusakit. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Satumenit? Sepuluh menit? Bel bordering, menandakanjam pelajaran berikut dimulai. Aku bisa mendengarorang berbicara di luar. Pintu bergetar beberapa kali.Namun pintu itu dikunci dan tidak ada yang bisamasuk ke dalam. Aku terus berayun dengan matadipejamkan rapat-rapat. Pintu terus diketuk. Suara-suara teredam yang tidak bisa kupahami. Akumembuka mata dan melihat pijaran di tangankumenyebabkan seluruh ruangan terang benderang. Akumengepalkan tangan, mencoba menghalangicahayanya, namun cahaya terus memancar dari sela-sela jariku. Lalu pintu itu mulai berguncang. Apa yangakan mereka pikirkan mengenai cahaya di tanganku?Tidak mungkin disembunyikan. Bagaimana akumenjelaskannya?“John? Buka pintunya―ini aku,” terdengar sebuahsuara.Aku dibanjiri rasa lega. Suara Henri. Satu-satunyasuara di muka bumi yang ingin kudengar.AKUMERANGKAK KE PINTU DAN MEMBUKA KUNCINYA.Pintu berayun terbuka. Henri mengenakan pakaianberkebun dan berlumuran kotoran, tampaknya tadi iamembereskan bagian luar rumah. Aku begitu senangmelihatnya sehingga ingin meloncat dan memeluknya.Aku memang mencoba melakukan itu, tapi terlalupusing sehingga terjatuh kembali ke lantai.“Semua baik-baik saja?” tanya Mr. Harris yang berdiridi belakang Henri.“Segalanya baik-baik saja. Tolong tinggalkan kamisebentar,” jawab Henri.“Apa perlu kupanggilkan ambulans?”“Tidak!”Henri masuk ke kamar gelap dan menutup pintu. Iamenunduk memandang tanganku. Cahaya di tangankananku begitu terang sedangkan yang di tangankiriku berkelap-kelip redup seolah sedangmengumpulkan keberanian. Henri tersenyum lebar.Wajahnya bersinar bagai mercusuar.“Ahh, terpujilah Lorien,” desahnya. Lalu Henrimengeluarkan sarung tangan kulit untuk berkebun

Page 15: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dari saku belakangnya. “Beruntung sekali aku tadisedang sibuk bekerja di halaman. Pakai ini.”Aku memakai sarung tangan yang langsungmenyembunyikan cahaya dari tanganku. Mr. Harrismembuka pintu dan menjulurkan kepala ke dalam.“Mr. Smith? Apa keadaan baik-baik saja?”“Ya, segalanya baik-baik saja. Beri kami waktu tigapuluh detik,” jawab Henri, lalu kembali menatapku.“Kepala sekolahmu suka ikut campur.”Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.“Aku paham apa yang terjadi, tapi kenapa ini?”“Pusaka pertamamu.”“Iya, aku tahu. Tapi kenapa pakai cahaya?”“Nanti kita bahas di truk. Kau bisa jalan?”“Kurasa bisa.”Henri membantuku berdiri. Aku goyah, masihgemetar. Aku mencengkeram lengannya untukbersandar.“Aku harus mengambil tas sebelum kita pergi,”kataku.“Di mana?”“Kutinggalkan di kelas.”“Nomor berapa?”“Tujuh belas.”“Kita ke truk, setelah itu aku akan mengambilnya.”Aku mengalungkan lengan kananku di atas bahuHenri. Henri menyokongku dengan mengalungkanlengan kirinya di pinggangku. Walaupun bel keduasudah berbunyi, aku masih bisa mendengar suaraorang-orang di lorong.“Kau harus berjalan tegak dan senormal mungkin.”Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mencobamengumpulkan sisa kekuatanku untuk mengatasiperjalanan panjang keluar sekolah.“Ayo,” kataku.Aku menyeka keringat dari kening dan mengikutiHenri keluar dari kamar gelap. Mr. Harris masih berdiridi lorong.“Asmanya kambuh, parah,” kata Henri kepada Mr.Harris sambil berjalan melewatinya.Sekitar dua puluh orang masih berkerumun di lorong.Sebagian besar membawa kamera di leher, menantiagar bisa masuk ke dalam kamar gelap untuk kelasfotografi. Untungnya Sarah tidak ada di antaramereka. Aku berjalan semantap yang kubisa, satulangkah demi satu langkah. Pintu keluar sekolahmasih tiga puluh meter lagi. Berarti banyak sekalilangkah. Orang-orang berbisik.“Dasar orang aneh.”“Apa dia sekolah di sini?”“Kuharap begitu, dia imut.”“Menurutmu ngapain dia di kamar gelap sampaimukanya merah begitu?” celetuk seseorang dansemua tertawa. Seperti kami bisa menajamkanpendengaran, kami juga bisa menulikan diri, yangcukup membantu jika ingin berkonsentrasi saatkeadaan di sekeliling ribut dan kacau. Jadi akumenulikan diri dan berjalan pelan di belakang Henri.Satu langkah terasa bagai sepuluh langkah, tapiakhirnya kami sampai di pintu. Henri menahan pintuitu agar terbuka untukku. Aku berusaha berjalansendiri ke truknya, yang diparkir di depan. Selama duapuluh langkah terakhir, aku mengalungkan lengankudi bahu Henri lagi. Henri membuka pintu truk dan akuberingsut naik ke dalam.“Kau bilang tujuh belas?”“Ya.”“Seharusnya kau terus membawanya. Kekeliruan kecilbisa berakhir pada kesalahan besar. Kita tidak bolehmelakukan kekeliruan sedikit pun.”“Aku tahu. Maaf.”Henri menutup pintu dan berjalan kembali ke gedungsekolah. Aku duduk membungkuk dan mencobamemelankan napasku. Aku masih bisa merasakankeringat di keningku. Aku duduk tegak dan

Page 16: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

menurunkan pelindung matahari agar bisa bercermin.Wajahku lebih merah daripada yang kukira, matakuagar berair. Tapi walaupun merasa sakit dan lelah,aku tersenyum. Akhirnya, pikirku. Setelah bertahun-tahun menanti, setelah bertahun-tahun hanyamengandalkan kepintaran dan bersembunyi sebagaipertahanan melawan Mogadorian, akhirnya Pusakapertamaku muncul. Henri keluar dari sekolah sambilmembawa tasku. Dia berjalan mengelilingi truk,membuka pintu, dan melemparkan tasku ke kursi.“Terima kasih,” kataku.“Sama-sama.”Setelah kami keluar dari halaman sekolah, akumelepaskan sarung tangan dan mengamati tanganku.Cahaya di tangan kananku mulai berkumpulmembentuk sorotan seperti senter, hanya saja lebihterang. Rasa panasnya mulai berkurang. Tangan kirikumasih berkelap-kelip redup.“Sebaiknya pakai sarung tangan itu sampai kita tibadi rumah,” kata Henri.Aku memasang sarung tangan kembali dan menatapHenri. Ia tersenyum bangga.“Penantian yang lama,” katanya.“Ha?” tanyaku.Henri balas menatapku. “Benar-benar penantian yanglama banget,” katanya lagi. “Menunggu kemunculanPusakamu.”Aku tertawa. Dari segala hal yang Henri pelajari dankuasai selama ini di Bumi, kata-kata semacam itubukan salah satunya.“Penantian yang sangat lama,” aku membetulkannya.“Yeah, tadi aku bilang itu.”Henri berbelok ke jalan yang menuju rumah kami.“Jadi, selanjutnya apa? Apa ini berarti aku bisamenembakkan laser dari tanganku atau apa?”Henri menyeringai. “Pasti bagus sekali kalau begitu,tapi bukan itu.”“Lalu apa yang harus kulakukan dengan cahaya?Kalau aku dikejar, apakah aku harus berbalik danmenyorotkan cahaya ke mata mereka? Memangnyaitu bakal bikin mereka takut padaku atausemacamnya?”“Sabar,” kata Henri. “Kau belum bisa memahaminya.Tunggu sampai kita di rumah.”Lalu aku teringat sesuatu yang hampir membuatkuterlonjak dari tempat duduk.“Apa ini berarti kita akhirnya bisa membuka Peti itu?”Henri mengangguk dan tersenyum. “Segera.”“Keren!” kataku. Peti kayu dengan ukiran rumit itumenghantuiku seumur hidup. Peti itu adalah sebuahkotak yang tampak rapuh, dengan simbol Loric di sisi-sisinya. Dan Henri selalu merahasiakannya. Dia tidakpernah memberitahuku apa yang ada di dalam petiitu. Peti itu juga tidak mungkin dibuka, aku tahukarena sudah berkali-kali mencoba, tentunya tanpahasil. Peti itu dikunci menggunakan gembok yangtidak memiliki lubang kunci.Saat kami tiba di rumah, aku langsung tahu bahwatadi Henri sibuk bekerja. Tiga kursi di beranda depansudah disingkirkan dan semua jendela sudah dibuka.Di dalam, kain penutup perabotan sudah disingkirkandan sebagian perabotan malah sudah dibersihkan.Aku meletakkan tas di atas meja di ruang tamu danmembukanya. Gelombang frustrasi menyapuku.“Sialan,” kataku.“Apa?”“Ponselku hilang.”“Di mana?”“Pagi ini aku cekcok sedikit dengan anak bernamaMark James. Mungkin dia yang ambil.”“John, kau baru satu setengah jam di sekolah. Kokbisa-bisanya kau sudah cekcok dengan orang?Harusnya kau tahu apa yang kau lakukan.”“Namanya juga SMA. Aku anak baru. Gampang.”Henri mengeluarkan telepon genggamnya dari saku

Page 17: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dan memutar nomorku. Lalu ia menutup telepongenggamnya.“Dimatikan,” katanya.“Pastinya.”Henri memelototiku. “Apa yang terjadi?” tanyanyadengan nada yang kukenal. Henri biasa menggunakannada seperti itu saat merenungkan langkahselanjutnya.“Tak ada. Hanya perselisihan kecil. Mungkin ponselkuterjatuh saat aku memasukkannya ke tas,” kataku,walaupun aku tahu kejadiannya bukan begitu. “Akusedang tidak bisa berpikir jernih. Mungkin aku bisamenemukannya di bagian barang hilang.”Henri memandang berkeliling rumah dan mendesah.“Apa ada yang melihat tanganmu?”Aku menatap Henri. Matanya merah, lebih merahdaripada saat mengantarku ke sekolah tadi pagi.Rambutnya berantakan. Dia juga tampak loyo seolahbakal pingsan kapan saja karena lelah. Terakhir kaliHenri tidur saat di Florida, dua hari lalu. Aku tidak tahumengapa dia masih bisa berdiri.“Tak ada.”“Kau di sekolah selama satu setengah jam. Pusakapertamamu muncul, kau hampir berkelahi, dan kaumeninggalkan tas di kelas. Itu nggak bisa disebut‘berbaur.’”“Bukan apa-apa. Jelas bukan masalah yang cukupbesar sehingga kita harus pindah ke Idaho, atauKansas, atau ke mana pun.”Henri menyipitkan mata dan merenungkan apa yangbaru dia saksikan. Dia berusaha memutuskan apakahkesalahan itu cukup besar sehingga kami harus pergi.“Ini bukan saatnya bertindak ceroboh,” katanya.“Tiap hari perbedaan pendapat selalu terjadi disekolah mana pun. Aku jamin mereka tidak akanmelacak kita hanya karena seorang murid sok jagomenindas murid baru.”“Tangan si murid baru tidak menyala di setiapsekolah.”Aku mendesah. “Henri, kau tampak lelah setengahmati. Tidurlah. Kita putuskan nanti setelah kaubangun.”“Banyak yang harus kita bicarakan.”“Aku belum pernah melihat kau selelah ini. Tidurlahbeberapa jam. Nanti kita bicara.”Henri mengangguk. “Tidur mungkin bagus bagiku.”* * *Henri pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Akuberjalan keluar dan mondar-mandir di halamansebentar. Matahari ada di balik pepohonan dan anginsegar bertiup pelan. Tanganku masih ditutupi sarungtangan. Aku melepaskan sarung tangan danmemasukkannya ke saku belakangku. Tangankumasih sama seperti sebelumnya. Sebenarnya, hanyasebagian diriku yang senang karena Pusakapertamaku akhirnya muncul setelah bertahun-tahunmenanti dengan tidak sabar. Sebagian diriku yang lainmerasa hancur. Kepindahan kami yang terlalu seringmembuatku lelah. Dan sekarang tidak mungkin untukberbaur atau tinggal di satu tempat selama beberapawaktu. Aku tidak mungkin memiliki teman atausetidaknya merasa berhasil menyesuaikan diri. Akumuak dengan nama-nama palsu dan berbagaikebohongan. Aku muak selalu menengok ke belakanguntuk melihat apakah aku dibuntuti.Aku meraih ke bawah dan merasakan tiga goresan dipergelangan kaki kananku. Tiga lingkaran mewakilitiga yang mati. Kami terikat satu sama lain bukanhanya karena kami satu bangsa, tapi lebih dari itu.Saat meraba goresan di pergelangan kakiku, akumencoba membayangkan siapa mereka, lelaki atauperempuan, di mana mereka tinggal, berapa usiamereka saat mereka meninggal. Aku mencobamengingat anak-anak lain yang saat itu satu pesawatdenganku, dan memberi mereka nomor. Aku berpikir

Page 18: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

seperti apa rasanya bertemu dan bergaul denganmereka. Seperti apa rasanya jika kami semua masihdi Lorien. Seperti apa rasanya jika nasib seluruhbangsa kami tidak digantungkan pada keselamatankami yang hanya sedikit ini. Seperti apa rasanya jikakami semua tidak menghadapi musuh yang berniatmenghabisi kami.Mengerikan rasanya mengetahui bahwa akulah yangberikut. Tapi kami selalu berada di depan merekakarena kami selalu pindah, melarikan diri. Walaupunaku muak dengan pelarian ini, tapi aku tahu bahwaitulah alasan mengapa kami masih tetap hidup. Jikakami berhenti, mereka akan menemukan kami. Dankarena berikutnya giliranku, pasti merekamempercepat pencarian. Mereka pasti tahu bahwakami semakin kuat, bahwa Pusaka kami telahmuncul.Dan di pergelangan kaki satunya ada bekas luka lain.Bekas luka penanda saat kami dimantrai denganmantra pelindung Loric secara tergesa-gesa sebelummeninggalkan Lorien. Cap yang mengikat kamisemua.

AKU MASUK LALU BERBARING DI ATAS KASUR dikamarku. Peristiwa pagi tadi membuatku lelah. Akumembiarkan mataku menutup. Saat aku membukamata kembali, matahari sudah pindah ke ataspepohonan. Aku keluar dari kamar. Henri duduk dimeja dapur dengan laptop terbuka. Aku tahu diasedang memeriksa berita-berita, seperti biasanya,mencari informasi atau cerita yang bisa memberipetunjuk mengenai keberadaan yang lain.“Bisa tidur?” tanyaku.“Hanya sebentar. Internet sudah bisa digunakan danaku belum memeriksa berita sejak di Florida. Itumenggangguku.”“Ada yang penting?” tanyaku.Henri mengangkat bahu. “Seorang bocah empat belastahun di Afrika jatuh dari jendela lantai empat dantak terluka sedikit pun. Ada bocah lima belas tahun diBangladesh yang mengaku sebagai sang Messiah.”Aku tertawa. “Aku yakin yang lima belas tahun itubukan orang kita. Ada yang lain?”“Tak ada. Selamat setelah jatuh dari lantai empatbukan hal luar biasa. Lagi pula, jika itu salah satu darikita, pasti mereka tidak seceroboh itu,” katanyasambil mengedipkan mata.Aku tersenyum dan duduk di depan Henri. Ia menutupkomputernya dan meletakkan tangan di meja. Jamtangannya menunjukkan pukul 11:36. Kami di Ohiobaru setengah hari dan sudah begitu banyak yangterjadi. Aku mengangkat telapak tanganku. Keduanyalebih redup dibandingkan terakhir kali aku melihatnya.“Kau tahu apa yang kau miliki?” tanya Henri.“Sinar di tanganku.”Henri terkekeh. “Namanya Lumen. Kau pasti bisamengontrol cahaya itu sebentar lagi.”“Kuharap begitu, karena penyamaran kita akanterbongkar jika cahaya ini tidak segera padam. Tapiaku masih tak tahu apa gunanya.”“Lumen itu lebih daripada sekadar cahaya. Dijamin.”“Jadi yang lain apa?”Henri berjalan ke kamarnya dan kembali sambilmembawa pemantik.“Kau ingat kakek dan nenekmu?” tanyanya. Kakekdan nenek adalah orang yang membesarkan kami.Kami jarang sekali bertemu orangtua kami hinggaberusia dua puluh lima tahun, saat kami telahmemiliki anak sendiri. Angka harapan hidup para Loricadalah sekitar dua ratus tahun, jauh lebih lamadaripada manusia. Lalu saat anak-anak lahir, biasanyasaat orangtua mereka berusia dua puluh lima dan tigapuluh lima, para sepuh atau kakek neneklah yangmembesarkan anak-anak itu. Sementara itu, paraorangtua terus mengasah Pusaka mereka.

Page 19: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Sedikit. Kenapa?”“Karena kakekmu memiliki Pusaka yang sama.”“Aku tidak ingat tangannya pernah bersinar,” kataku.Henri mengangkat bahu. “Mungkin tidak ada alasanuntuk menggunakannya.”“Luar biasa,” kataku sinis. “Kedengarannya ini Pusakayang luar biasa untuk dimiliki. Pusaka yang tidak akanpernah kugunakan.”Henri menggelengkan kepalanya. “Kemarikantanganmu.”Aku memberikan tangan kananku. Henri menyalakanpemantik dan menggerakkannya hingga apimenyentuh jariku. Aku langsung menarik tanganku.“Apa yang kau lakukan?”“Percayalah kepadaku,” katanya.Aku memberikan tanganku kembali kepada Henri.Henri menahan tanganku dan menyalakan pemantiklagi. Ia menatap mataku. Lalu ia tersenyum. Akumemandang ke bawah dan melihat lidah api di ujungjari tengahku. Aku tidak merasakan apa pun. Namunnaluriku menyebabkan aku menyentakkan tangandan menariknya. Aku menggosok jariku. Rasanyatidak berbeda.“Kau merasakannya?” tanya Henri.“Nggak.”“Kemarikan tanganmu,” kata Henri. “Dan beritahu akujika kau merasakan sesuatu.”Dia mulai dari ujung jariku lagi lalu menggerakkan apidengan sangat pelan ke punggung tanganku. Akumerasa agak geli di tempat lidah api itu menyentuhkulitku, hanya itu. Namun saat api itu mencapaipergelangan tangan, aku mulai merasa terbakar. Akumenarik tanganku.“Aw!”“Lumen,” kata Henri. “Kau akan menjadi tahan apidan panas. Tanganmu sudah tahan api secara alami,tapi kita harus melatih bagian tubuhmu yang lain.”Senyum melebar di wajahku. “Tahan api dan panas,”kataku. “Jadi aku nggak akan bisa terbakar?”“Nantinya, ya.”“Keren!”“Bukan Pusaka yang buruk, kan?”“Jelas,” aku setuju. “Lalu bagaimana dengan sinar ini?Apa sinar ini bakal padam?”“Pasti. Mungkin setelah tidur malam yang nyenyak,saat kau lupa bahwa tanganmu bersinar,” jawabHenri. “Tapi sementara waktu kau harus hati-hati agartidak terlalu emosi. Ketidakseimbangan emosi akanmenyebabkan tanganmu bersinar lagi, misalnya jikakau terlalu gugup, marah, atau sedih.”“Berapa lama?”“Sampai kau belajar mengendalikannya.” Henrimenutup mata dan menggosok wajah dengan keduatangan. “Ngomong-ngomong, aku mau coba tidur lagi.Kita akan membahas latihanmu beberapa jam lagi.”Setelah Henri pergi aku tinggal di meja dapur,membuka dan menutup tangan, menarik napasdalam-dalam dan mencoba menenangkan semuaperasaanku agar cahaya itu meredup. Tentu saja tidakberhasil.Seisi rumah masih berantakan, kecuali di beberapabagian yang Henri bereskan saat aku di sekolah. Akutahu bahwa Henri lebih suka untuk pergi, tapi diamasih bisa dibujuk untuk tinggal. Mungkin jika diabangun dan mendapati rumah bersih dan rapi, diasetuju jika kami tinggal.Aku mulai membereskan kamarku. Akumembersihkan debu, mengelap jendela, menyapulantai. Saat semuanya bersih, aku memasang seprailalu meletakkan bantal dan selimut di tempat tidur.Setelah itu aku menggantung dan melipat pakaianku.Lemari pakaianku tua dan rapuh, tapi aku tetapmemasukkan barang ke dalamnya. Setelah itu, akumeletakkan beberapa buku milikku di atasnya. Danbereslah. Kamar sudah bersih. Semua barang yang

Page 20: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kumiliki sudah disimpan rapi.Aku pergi ke dapur, menyingkirkan piring danmengelap konter. Setidaknya ada yang kulakukansehingga bisa melupakan tanganku, walaupun saatbersih-bersih itu aku memikirkan Mark James. Untukpertama kalinya aku berani melawan orang. Akuselalu ingin melakukan itu. Namun aku tidak pernahmelakukannya karena ingin menuruti nasihat Henriuntuk tidak menarik perhatian. Aku selalu mencobamenunda tindakan lain sebisa mungkin. Tapi hari inibeda. Ada rasa puas saat balas mendorong ketika adaorang yang mendorong kita. Lalu ada masalah denganponselku, yang dicuri. Tentu saja kami bisamendapatkan yang baru dengan mudah, tapi di manaletak keadilan kalau aku membiarkan ponselkudiambil begitu saja?AKU BANGUN SEBELUM ALARMBERBUNYI. RUMAH terasa dingin dan sepi. Akumengeluarkan tangan dari bawah selimut. Keduanyatampak normal, tidak ada sinar, tidak ada cahaya.Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruangtamu. Henri ada di meja dapur, membaca surat kabarlokal sambil minum kopi.“Pagi,” katanya. “Bagaimana perasaanmu?”“Luar biasa,” jawabku.Aku menyiapkan semangkuk sereal dan duduk didepannya.“Apa rencanamu hari ini?” tanyaku.“Mengurus rumah. Uang kita menipis. Aku berniatuntuk mengambil uang dari bank.”Lorien adalah (atau dulunya, tergantung bagaimanakau memandangnya) sebuah planet yang kaya akansumber daya alam. Salah satu sumber daya alamnyaadalah permata dan logam berharga. Saat kami pergi,setiap Cêpan mendapatkan satu karung penuh intan,zamrud, dan batu mirah delima untuk dijual saat tibadi Bumi. Henri menjual permata-permata itu danmenyimpan uangnya dalam sebuah rekening bank diluar negeri. Aku tidak tahu berapa jumlahnya danjuga tidak pernah bertanya. Tapi aku tahu jumlahnyacukup untuk menyokong hidup kami paling tidaksampai sepuluh turunan. Henri mengambil uang daribank setidak-tidaknya setahun sekali.“Tapi entahlah,” lanjutnya. “Aku tak ingin beradaterlalu jauh kalau-kalau terjadi sesuatu hari ini.”Karena tidak ingin memperbesar masalah kemarin,aku menepis keraguannya. “Aku akan baik-baik saja.Pergilah.”Aku memandang ke luar jendela. Fajar merekah,menyirami segala hal dengan cahaya pucat. Truk kamidiselimuti embun. Sudah lama kami tidak mengalamimusim dingin. Aku bahkan tidak memiliki jaket dansebagian besar sweater-ku sudah kekecilan.“Sepertinya dingin,” kataku. “Mungkin kita bisa pergimembeli pakaian dalam waktu dekat.”Henri mengangguk. “Aku berpikir tentang itusemalam. Itu sebabnya mengapa aku perlu ke bank.”“Pergilah,” kataku. “Hari ini tidak akan terjadi apa-apa.”Aku menghabiskan serealku, memasukkan mangkukke bak cuci piring, lalu mandi. Sepuluh menitkemudian aku sudah berpakaian, celana jins dan kaushangat hitam dengan lengan digulung hingga siku.Aku menatap cermin lalu menunduk memandangtanganku. Aku merasa tenang. Sebaiknya tetapbegitu.Dalam perjalanan ke sekolah, Henri memberikansepasang sarung tangan kepadaku.“Pastikan kau menyimpan ini sepanjang waktu. Kitatak pernah tahu.”Aku memasukkan sarung tangan itu ke sakubelakang.“Rasanya aku tak memerlukan sarung tangan. Akumerasa cukup baik.”Saat tiba di sekolah, ada barisan bus di depan kami.Henri menepi di samping gedung sekolah.

Page 21: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Aku tak suka kau tak punya ponsel,” katanya.“Banyak hal buruk yang bisa terjadi.”“Jangan khawatir. Ponselku bakal kembali.”Henri mendesah dan menggelengkan kepala. “Janganmelakukan hal bodoh. Aku tunggu di sini seusaisekolah.”“Tak akan,” jawabku. Lalu aku keluar dari truk. Henripergi.Di dalam, lorong dipenuhi berbagai kegiatan. Paramurid mondar-mandir di dekat loker, mengobrol,tertawa. Sebagian kecil melihatku dan berbisik. Akutidak tahu apakah itu karena hampir berkelahi ataukarena kejadian di kamar gelap. Tampaknya merekaberbisik-bisik mengenai keduanya. Ini sekolah kecil. Disekolah kecil semua orang tahu segalanya.Saat tiba di pintu masuk utama, aku berbelok danmembuka lokerku. Kosong. Aku punya waktu limabelas menit sebelum pelajaran musik untuk kelas duadimulai. Aku berjalan ke kelas itu, untuk memastikanletaknya, lalu pergi ke kantor sekolah. Sang sekretaristersenyum saat aku masuk.“Hai,” kataku. “Aku kehilangan ponsel kemarin.Apakah ada yang melapor ke penitipan baranghilang?”Ia menggelengkan kepala. “Maaf, tapi rasanya takada ponsel yang diserahkan kemari.”“Terima kasih,” kataku.Saat kembali ke lorong, aku tidak melihat Mark. Akumemilih satu arah lalu berjalan ke arah itu. Orang-orang masih memandang dan berbisik, tapi aku tidakpeduli. Aku melihat Mark lima belas meter di depanku.Aku merasakan adrenalin menyerbu. Aku menundukmemandang tanganku. Normal. Aku khawatirtanganku menyala, dan rasa khawatir itu mungkinbisa membuat tanganku menyala.Mark sedang bersandar di sebuah loker dengantangan bersilang di dada, di tengah sekelompok anak,lima laki-laki dan dua perempuan. Mereka semuamengobrol dan tertawa. Sarah duduk di ambangjendela sekitar lima meter dari situ. Sarah tampakberbinar hari itu, dengan rambut pirang diekor kudaserta rok dan sweater abu-abu. Ia sedang membacabuku. Namun Sarah menengadah saat aku berjalanke arah Mark dan teman-temannya.Aku berhenti tepat di luar kerumunan itu, menatapMark, dan menunggu. Dia baru menyadarikehadiranku setelah lima detik.“Mau apa kau?” tanyanya.“Kau tahu aku mau apa.”Mata kami saling terkunci. Kerumunan di sekitar kamimembengkak menjadi sepuluh orang, lalu dua puluh.Sarah berdiri dan berjalan ke tepi kerumunan. Markmengenakan jaket football-nya. Rambut hitamnyaditata dengan saksama sehingga ia tampak sepertilangsung berpakaian begitu bangun tidur.Mark menjauhi loker dan berjalan ke arahku. Saatjarak kami tinggal beberapa senti lagi, dia berhenti.Dada kami hampir bersentuhan dan aroma cologne-nya yang tajam memenuhi rongga hidungku.Tingginya mungkin sekitar 185 sentimeter, beberapasenti lebih tinggi dariku. Besar tubuh kami sama. Tapidia tidak tahu bahwa kemampuanku berbeda dengankemampuannya. Aku lebih cepat dan juga jauh lebihkuat daripada Mark. Pikiran itu menyebabkan seringaipercaya diri muncul di wajahku.“Menurutmu hari ini kau bisa tinggal di sekolah sedikitlebih lama? Atau kau bakal kabur lagi seperti seorangpengecut?”Kerumunan itu terkekeh.“Kita lihat saja nanti.”“Yeah, kita lihat saja nanti,” katanya sambil bergeraksemakin mendekatiku.“Kembalikan ponselku,” kataku.“Aku tidak menyimpan ponselmu.”Aku menggelengkan kepala. “Ada dua orang yang

Page 22: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melihat kau mengambilnya,” aku berbohong.Dari caranya mengerutkan dahi, aku tahu bahwatebakanku benar.“Yeah, dan kalau memang iya? Kau mau apa?”Sekarang mungkin ada tiga puluh orang yangmengelilingi kami. Aku yakin dalam sepuluh menitjam pelajaran pertama seluruh sekolah akan tahu apayang terjadi.“Ini peringatan buatmu,” kataku. “Waktumu hanyahingga akhir hari ini.”Aku berbalik dan pergi.“Atau apa?” teriak Mark di belakangku. Aku tidakmenanggapinya. Biarkan ia memikirkan jawabannya.Tanganku terkepal dan aku sadar bahwa sebenarnyaaku gugup, bukan marah. Kenapa aku begitu gugup?Karena situasi yang tidak dapat diramalkan?Kenyataan bahwa ini pertama kalinya akumengonfrontasi orang lain? Takut tangankubercahaya? Mungkin ketiganya.Aku pergi ke kamar mandi, masuk ke toilet kosong,dan mengunci pintu di belakangku. Kubuka telapaktanganku. Tangan kananku sedikit bersinar. Akumenutup mata dan mendesah, memusatkan perhatianuntuk bernapas dengan pelan. Semenit kemudiansinar itu masih ada di sana. Aku menggelengkankepala. Tidak kusangka Pusaka bisa begitu sensitif.Aku diam di dalam toilet. Keningku berkeringat. Keduatanganku hangat, tapi untungnya tangan kiriku masihnormal. Orang-orang berseliweran di kamar mandi.Aku tetap di dalam toilet, menunggu. Tangan kanankumasih bersinar. Akhirnya bel pelajaran pertamaberbunyi dan kamar mandi itu kosong.Aku menggelengkan kepala muak dan menerimanasib. Aku tidak memiliki ponsel dan Henri ke bank.Aku sendirian dengan kebodohanku dan tidakmemiliki orang lain untuk disalahkan kecuali dirikusendiri. Aku mengeluarkan sarung tangan dari sakubelakang lalu mengenakannya. Sarung tanganberkebun dari kulit. Aku tampak bodoh sekali sepertijika aku memakai sepatu badut dan celana kuning.Percuma berusaha berbaur. Aku sadar bahwa akuharus berhenti mengurusi Mark. Dia menang. Diaboleh memiliki ponselku. Henri dan aku akan membeliyang baru malam ini.Aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusurilorong kosong menuju kelasku. Semua orangmenatapku saat aku masuk, lalu ke arah sarungtanganku. Tak ada gunanya menyembunyikan sarungtangan itu. Aku tampak seperti orang bodoh. Aku inialien. Aku memiliki kekuatan super dan masih banyaklagi yang akan muncul. Aku bisa melakukan hal-halyang hanya bisa manusia impikan. Tapi aku tetaptampak seperti orang bodoh.* * *Aku duduk di tengah ruangan. Tidak ada yangberbicara denganku. Aku terlalu gugup dan tidakmendengar apa yang guru katakan. Saat bel berbunyi,aku mengumpulkan barang-barangku,memasukkannya ke tas, dan memanggul tas dibahuku. Aku masih memakai sarung tangan. Saatkeluar dari kelas itu, aku mengangkat tepi sarungtangan kanan dan mengintip telapak tanganku. Masihbersinar.Aku berjalan di lorong tanpa terburu-buru. Bernapaspelan. Aku mencoba mengosongkan pikiran tapi tidakberhasil. Saat masuk ke kelas berikut, Mark duduk ditempat yang sama seperti hari sebelumnya dan Sarahduduk di samping Mark. Mark menyeringaimencemooh ke arahku. Karena berusaha tampakkeren, ia tidak memperhatikan sarung tanganku.“Apa kabar, Jagoan? Aku dengar tim lari lintas alamsedang cari anggota baru.”“Jangan bersikap berengsek,” kata Sarah kepadanya.Aku memandang Sarah saat lewat, menatap matabirunya yang membuatku merasa malu dan canggung

Page 23: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

serta menyebabkan pipiku menghangat. Kursi yangkududuki kemarin sudah terisi, jadi aku berjalan kekursi paling belakang. Semua murid masuk ke dalamkelas. Anak yang memperingatkanku soal Markkemarin duduk di sampingku. Ia mengenakan kaushitam lain dengan logo NASA di tengah, celanatentara, dan sepasang sepatu tenis Nike. Dia memilikirambut berwarna pirang seperti pasir dan berantakan,dengan mata berwarna merah kecokelatan yangtampak semakin besar akibat kacamatanya. Anak itumengeluarkan buku catatan yang penuh diagram rasibintang dan planet. Dia melihatku dan tidak mencobamenyembunyikan kenyataan bahwa diamemandangiku.“Pa kabar?” tanyaku.Ia mengangkat bahu. “Kenapa kau memakai sarungtangan?”Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi Mrs.Burton sudah mulai mengajar. Hampir sepanjangpelajaran anak di sampingku membuat gambar yangtampaknya merupakan penafsirannya mengenaiseperti apa makhluk Mars itu. Tubuh kecil dengankepala, tangan, dan mata besar. Sama dengan yangada di film-film. Di bagian bawah setiap gambar, diamenulis namanya dengan huruf-huruf kecil: SAMGOODE. Dia menyadari bahwa akumemperhatikannya, lalu aku memalingkan muka.Saat Mrs. Burton menjelaskan mengenai 61 satelityang mengelilingi Saturnus, aku melihat belakangkepala Mark. Ia duduk membungkuk di kursinya,menulis. Lalu dia menegakkan tubuh danmelemparkan kertas kecil ke Sarah. Sarahmenjentikkan kertas itu kembali tanpa membacanya.Itu membuatku tersenyum. Mrs. Burton mematikanlampu dan menyalakan video. Gambaran planet-planet yang berotasi di layar di depan kelasmengingatkanku kepada Lorien. Lorien adalah salahsatu dari delapan belas planet di jagat raya yangdapat dihuni. Bumi termasuk salah satunya. Dan,sayangnya, Mogadore juga termasuk.

Lorien. Aku menutup mata dan membiarkan dirikumengingat. Lorien adalah sebuah planet tua, seratuskali lebih tua daripada Bumi. Setiap masalah yangBumi hadapi saat ini―polusi, overpopulasi, pemanasanglobal, kekurangan pangan―juga pernah Lorienhadapi. Pada suatu ketika, dua puluh lima ribu tahunyang lalu, Lorien mulai sekarat. Ini terjadi jauhsebelum kami memiliki kemampuan untukmenjelajahi jagat raya. Karena itu penghuni Lorienharus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup.Perlahan namun pasti mereka berkomitmen agarPlanet Lorien dapat terus dihuni, yaitu dengan caramengubah cara hidup mereka. Mereka tidakmenggunakan benda-benda berbahaya sepertisenjata api dan bom, zat kimia beracun, atau polutan.Pada akhirnya Planet Lorien mulai pulih kembali.Dengan adanya evolusi, setelah ribuan tahun,penghuni Lorien tertentu―para Garde―mulai memilikikekuatan untuk melindungi planet itu, danmenolongnya. Lorien tampaknya menghadiahi paraleluhurku atas tindakan mereka, atas penghormatanmereka terhadap planet itu.Mrs. Burton menyalakan lampu kembali. Akumembuka mata dan memandang jam. Pelajaranhampir selesai. Aku merasa tenang kembali, benar-benar lupa dengan tanganku. Aku menarik napasdalam dan menyingkap bagian pergelangan sarungtangan kanan. Sinarnya padam! Aku tersenyum danmelepas kedua sarung tangan itu. Kembali normal.Aku punya enam jam pelajaran lagi pada hari itu. Akuharus tetap tenang sampai semua selesai.* * *Setengah hari pertama lewat tanpa insiden. Aku tetaptenang, dan tidak berurusan lebih jauh dengan Mark.

Page 24: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Saat makan siang aku mengisi nampanku denganmakanan biasa, lalu duduk di meja kosong di ujungruangan. Saat sedang menyantap sepotong pizza,Sam Goode, anak dari kelas astronomi, duduk didepanku.“Apa benar kau akan berkelahi dengan Mark sepulangsekolah?” tanyanya.Aku menggeleng. “Tidak.”“Tapi orang-orang bilang begitu.”“Mereka salah.”Dia mengangkat bahu dan melanjutkan makan.Semenit kemudian dia bertanya, “Sarung tanganmuke mana?”“Aku lepas. Tanganku sudah nggak dingin lagi.”Dia membuka mulut untuk menjawab, tapi tiba-tibasebuah bakso besar―yang aku yakin diarahkankepadaku―muncul begitu saja dan menghantamkepala Sam. Rambut dan bahunya berlumuranpotongan daging dan saus spageti. Sebagianmemercikiku. Saat aku membersihkan diri, baksokedua terbang dan mengenaiku tepat di pipi. SuaraOooh terdengar di seluruh kantin.Aku berdiri dan mengelap pipi dengan serbet, amarahmenguasaiku. Saat itu aku tidak peduli dengantanganku. Tanganku boleh saja bersinar seterangmatahari, lalu Henri dan aku bisa pergi sore ini jika ituyang harus terjadi. Tapi tidak mungkin akumembiarkan ini begitu saja. Masalah tadi pagi sudahselesai … yang ini belum.“Jangan,” kata Sam. “Jika kau melawan, mereka tidakakan pernah membiarkanmu.”Aku mulai berjalan. Seluruh kantin hening. Seratuspasang mata menatapku. Wajahku memberengut.Tujuh orang duduk di meja Mark James, semuanyalaki-laki. Ketujuh-tujuhnya berdiri saat aku mendekat.“Ada masalah?” tanya salah satu dari mereka. Diaberbadan besar dengan perawakan sepertipenyerang. Ada kumpulan-kumpulan rambutkemerahan yang tumbuh di pipi dan dagunya,tampaknya dia ingin menumbuhkan janggut.Membuat wajahnya tampak kotor. Seperti yang lain,dia juga mengenakan jaket football. Cowok itumenyilangkan lengan dan menghalangi jalanku.“Bukan masalahmu,” kataku.“Hadapi aku dulu sebelum kau menghadapinya.”“Pasti, kalau kau tidak mau menyingkir.”“Memangnya kau bisa?” katanya.Aku menyentakkan lututku tepat keselangkangannya. Napasnya tercekat lalu diaterguling. Seluruh kantin terkesiap.“Sudah kuperingatkan,” kataku, lalu akumenginjaknya dan berjalan ke arah Mark. Saatmencapai Mark, seseorang menarikku dari belakang.Aku berbalik dengan tangan dikepal, siap untukdiayunkan, tapi pada detik terakhir aku sadar orangitu ternyata si pelayan kantin.“Cukup, Anak-anak.”“Lihat apa yang dia lakukan pada Kevin, Mr. Johnson,”kata Mark. Kevin masih meringkuk di lantaimemegangi sela pahanya. Mukanya merah sekali.“Kirim dia ke kepala sekolah!”“Diam, James. Kalian berempat harus pergi. Jangankira aku tidak melihatmu melempar bakso itu,”katanya, lalu memandang Kevin yang masih di lantai.“Bangun.”Sam muncul entah dari mana. Dia mencobamembersihkan rambut dan bahunya. Potongan-potongan daging yang besar sudah hilang, tapi sisasausnya masih ada. Aku tidak tahu mengapa dia adadi situ. Aku menunduk menatap tanganku, siap larijika melihat cahaya setitik, tapi anehnya tangankutidak bersinar. Apa ini karena situasi yang mendesak,sehingga aku bisa mendekati Mark sebelum sempatmerasa gugup? Aku tak tahu.Kevin berdiri dan memandangku, gemetar dan masih

Page 25: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sulit bernapas. Dia mencengkeram bahu anak lelaki disampingnya agar bisa berdiri.“Akan kubalas,” katanya.“Yang benar saja,” kataku. Aku masih merengut,masih dilumuri makanan. Aku tak mau repot-repotmembersihkannya.Kami berempat berjalan ke kantor kepala sekolah. Mr.Harris duduk di mejanya, menikmati makan siangyang dipanaskan dengan microwave dengan serbetdiselipkan ke kerah kemeja.“Maaf mengganggu. Ada kekacauan kecil saat makansiang. Aku yakin anak-anak ini mau menjelaskan,”kata si penjaga kantin.Mr. Harris mendesah, menarik serbet dari kemeja lalumelemparkannya ke dalam keranjang sampah. Diamendorong makan siangnya ke tepi meja denganpunggung tangan.“Terima kasih, Mr. Johnson.”Mr. Johnson pergi, menutup pintu kantor, danmeninggalkan kami berempat di dalam.“Jadi siapa yang mau mulai?” tanya sang KepalaSekolah, terdengar jengkel.Aku diam. Otot-otot rahang Mr. Harris menegang. Akumenunduk memandang tanganku. Masih padam. Akumemasukkan tangan ke celana jinsku, untuk jaga-jaga. Setelah keheningan selama sepuluh detik, Markbicara. “Seseorang menimpuknya dengan bakso. Diapikir aku pelakunya, jadi dia menendang Kevin dianunya.”“Hati-hati dengan bahasamu,” kata Mr. Harris, laluberpaling ke Kevin. “Kau baik-baik saja?”Kevin, yang wajahnya masih merah, mengangguk.“Jadi siapa yang melempar bakso?” tanya Mr. Harriskepadaku.Aku tidak mengatakan apa pun, masih mendidih,kesal dengan seluruh kejadian itu. Aku menarik napasdalam untuk menenangkan diri.“Aku tidak tahu,” kataku. Kemarahanku sudah takterkira. Aku tidak ingin berurusan dengan Markmelalui Mr. Harris. Aku lebih suka mengurus masalahitu sendiri, jauh dari kantor kepala sekolah.Sam memandangku heran. Mr. Harris mengangkattangan frustrasi. “Jadi, kenapa kalian semua ada disini?”“Itu pertanyaan bagus,” kata Mark. “Kami hanyamakan siang.”Sam berbicara. “Mark yang melemparnya. Akumelihatnya, begitu juga dengan Mr. Johnson.”Aku memandang Sam. Aku tahu Sam tidakmelihatnya karena dia memunggungi Mark waktubakso pertama dilempar. Lalu saat bakso keduadilempar, dia sibuk membersihkan diri. Tapi akukagum karena dia berani berkata begitu, karenamemihakku walaupun tahu itu bisa menimbulkanmasalah antara dirinya dan Mark serta teman-temannya. Mark memberengut memandang Sam.“Ayolah, Mr. Harris,” Mark memohon. “Besok aku adawawancara dengan Gazette, dan hari Jumat adapertandingan. Aku tidak ada waktu untuk mengurusiomong kosong macam ini. Aku dituduh melakukansesuatu yang tidak aku lakukan. Sulit berkonsentrasidengan situasi sialan macam begini.”“Jaga mulutmu!” bentak Mr. Harris.“Tapi itu benar.”“Aku percaya kepadamu,” kata Kepala Sekolah, lalumenghela napas berat. Dia memandang Kevin, yangmasih berusaha bernapas dengan benar. “Apa kauperlu ke perawat?”“Aku akan baik-baik saja,” kata Kevin.Mr. Harris mengangguk. “Kalian berdua, lupakanlahsoal insiden di kantin tadi. Mark, konsentrasi. Kitasudah lama berusaha mendapatkan kesempatanwawancara ini. Mereka mungkin akan menempatkankita di halaman utama. Bayangkan, halaman utamaGazette,” katanya tersenyum.

Page 26: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Terima kasih,” kata Mark. “Aku tak sabarmenantinya.”“Bagus. Nah, kalian berdua boleh pergi.”Mereka pergi. Lalu Mr. Harris menatap Sam tajam.Sam balas menatap tanpa mengalihkanpandangannya.“Katakan, Sam. Aku ingin kebenaran. Apa benar kaumelihat Mark melempar bakso itu?”Mata Sam menyipit. Dia tidak mengalihkanpandangan.“Ya.”Kepala Sekolah menggeleng. “Aku tidak percayakepadamu, Sam. Dan karena itu, ini yang akan kitalakukan.” Mr. Harris memandangku. “Jadi sebuahbakso dilempar―”“Dua,” sela Sam.“Apa?!” tanya Mr. Harris, sekali lagi menatap Samtajam.“Ada dua bakso yang dilempar, bukan satu.”Mr. Harris menghantamkan tinjunya ke meja. “Siapayang peduli seberapa banyak! John, kau menyerangKevin. Mata dibalas mata. Kita bisa melupakanmasalah itu. Paham?”Wajah Mr. Harris merah dan aku tahu tak adagunanya berdebat.“Ya,” jawabku.“Aku tak mau lagi melihat kalian berdua di sini,”katanya. “Kalian boleh pergi.”Kami meninggalkan kantor kepala sekolah.“Kenapa kau tidak mengatakan soal ponselmukepadanya?” tanya Sam.“Karena dia tidak peduli. Dia cuma ingin bisa makansiang secepatnya,” jawabku. “Dan hati-hati,” katakukepada Sam. “Mulai sekarang Mark akanmengawasimu.”* * *Pelajaran tata boga berlangsung setelah makansiang―bukan karena aku suka memasak, tapi karenapilihannya hanya ini atau paduan suara. Lagi pula,walaupun aku memiliki banyak kekuatan dankemampuan yang dianggap luar biasa di Bumi,menyanyi bukanlah salah satunya. Jadi aku masuk kekelas tata boga dan duduk. Ruangan itu kecil. Tepatsebelum bel berbunyi, Sarah masuk dan duduk disampingku.“Hai,” katanya.“Hai.”Darah mengalir ke wajahku dan bahuku menjadikaku. Aku mengambil pensil dan memutar-mutarnyadengan tangan kanan sementara tangan kirikumencengkeram bagian tepi buku catatanku.Jantungku berdebar. Tolong jangan biarkan tangankubersinar. Aku mengintip telapak tanganku danbernapas lega saat melihatnya masih normal. Tenang,pikirku. Dia cuma anak cewek.Sarah memandangku. Seluruh bagian dalam tubuhkuterasa seolah menjadi bubur. Dia mungkin gadistercantik yang pernah kulihat.“Maaf karena Mark bersikap berengsek terhadapmu,”katanya.Aku mengangkat bahu. “Bukan salahmu.”“Kalian berdua nggak akan benar-benar berkelahi,kan?”“Mauku sih nggak,” kataku.Sarah mengangguk. “Mark kadang memangmenyebalkan. Dia selalu berusaha menunjukkanbahwa dirinya jagoan.”“Tanda-tanda orang tak percaya diri,” kataku.“Dia bukannya tak percaya diri. Hanya berengsek.”Pastinya. Tapi aku tidak ingin berdebat dengan Sarah.Lagi pula, dia berbicara dengan begitu yakin sehinggaaku hampir meragukan diriku.Sarah melihat noda saus spageti yang sudahmengering di bajuku, lalu mengulurkan tangan danmenarik saus yang mengering dari rambutku.

Page 27: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Makasih,” kataku.Sarah mendesah. “Aku minta maaf atas apa yangterjadi.” Dia menatap mataku. “Kami nggak pacaranlho.”“Masa?”Sarah menggelengkan kepala. Minatku bangkit karenadia merasa perlu menjelaskan itu kepadaku. Setelahsepuluh menit mendengarkan cara membuatpancake―aku tidak mendengar apa pun―sang guru,Mrs. Benshoff, memasangkan Sarah dan aku. Kamimelewati pintu di bagian belakang ruangan itu yangmengarah ke dapur. Dapur itu tiga kali lebih besardaripada ruang kelas tadi. Ada sepuluh bagian dapuryang berbeda, lengkap dengan lemari es, lemarimakan, tempat cuci piring, dan oven. Sarah berjalanke salah satunya, mengambil celemek dari laci, danmengenakannya.“Bisa tolong ikatkan ini?” tanyanya.Aku salah mengikatnya dan harus mengikat ulang.Aku bisa merasakan bentuk pinggangnya dengan jari-jariku. Setelah celemek Sarah terikat, akumengenakan celemekku dan mulai mengikatnyasendiri.“Sini,” katanya sambil menarik tali dan mengikatcelemekku.“Makasih.”Aku mencoba memecahkan telur pertama, namunaku melakukannya terlalu keras dan tidak ada yangmasuk ke dalam mangkuk. Sarah tertawa. Diameletakkan telur baru di tanganku, memegangtanganku dan menunjukkan bagaimana caramemecahkan telur menggunakan pinggiran mangkuk.Dia memegang tanganku sedetik lebih lama daripadaseharusnya. Sarah memandangku dan tersenyum.“Seperti itu.”Dia mengaduk adonan. Beberapa helai rambut turunke wajahnya. Aku sangat ingin mengulurkan tangandan menyampirkan helaian rambut itu ke belakangtelinganya, tapi aku tidak melakukannya. Mrs.Benshoff berjalan ke dapur kami untuk memeriksapekerjaan kami. Sejauh ini cukup bagus. Tentu sajasemua itu berkat Sarah karena aku sendiri tidak tahuapa yang kulakukan.“Menurutmu gimana Ohio?” tanya Sarah.“Lumayan. Seharusnya hari pertamaku di sekolahlebih baik daripada kemarin.”Sarah tersenyum. “Sebenarnya apa yang terjadi? Akukhawatir.”“Apa kau percaya jika kubilang bahwa aku ini alien?”“Yang benar saja,” katanya sambil tertawa. “Apayang sebenarnya terjadi?”Aku tertawa. “Aku punya penyakit asma yang sangatparah. Lalu entah kenapa, kemarin aku terserangasma,” kataku, merasa menyesal karena harusberbohong. Aku tidak ingin Sarah melihat kelemahandalam diriku, terutama kelemahan yang tidak benar.“Yah, aku senang kau sudah sehat.”Kami membuat empat pancake. Sarah menumpuksemuanya di atas satu piring. Ia menuangkan banyaksekali sirup maple di atasnya dan memberikan garpukepadaku. Aku melihat murid-murid lain. Sebagianbesar makan dengan dua piring. Aku mengulurkantangan dan memotong setusuk pancake.“Nggak buruk,” kataku sambil mengunyah.Aku sama sekali tidak lapar, tapi aku membantuSarah menghabiskan semua. Kami gantian memakanhingga piring itu kosong. Aku jadi sakit perut karenakekenyangan. Lalu Sarah mencuci piring dan akumengeringkannya. Saat bel berbunyi, kami keluar dariruangan itu bersama-sama.“Kau tahu, kau nggak jelek untuk seorang murid kelasdua,” katanya sambil menyikutku. “Aku nggak peduliapa kata orang.”“Makasih, dan kau sendiri juga nggak jelek untukseorang―apa pun kau itu.”

Page 28: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Aku kelas tiga.”Kami berjalan tanpa berbicara selama beberapalangkah.“Kau nggak bakal berkelahi betulan dengan Markseusai sekolah nanti, kan?”“Aku ingin ponselku kembali. Lagi pula, lihat aku,”kataku sambil menunjuk bajuku.Sarah mengangkat bahu. Aku berhenti di lokerku.Sarah memperhatikan nomornya.“Yah, sebaiknya kau nggak berkelahi,” katanya.“Maunya sih nggak.”Sarah memutar matanya. “Anak laki-laki danperkelahian mereka. Yah. Sampai besok.”“Semoga sisa harimu menyenangkan,” kataku.* * *Setelah pelajaran kesembilan, sejarah Amerika, akuberjalan pelan ke lokerku. Aku berpikir untuk pergidari sekolah diam-diam, tanpa mencari Mark. Tapikemudian aku sadar bahwa aku akan dicap pengecutuntuk selamanya.Aku pergi ke lokerku dan mengeluarkan buku-bukuyang tidak kuperlukan dari tas. Lalu aku berdiri disana dan merasakan rasa gugup mulai merayapiku.Tanganku masih normal. Aku berpikir untukmengenakan sarung tangan untuk jaga-jaga, tapi akutidak melakukannya. Aku menarik napas panjang danmenutup pintu loker.“Hai,” terdengar suara, membuatku terkejut. Sarah.Dia melirik ke belakang lalu memandangku kembali.“Aku ada sesuatu untukmu.”“Bukan pancake lagi kan? Aku masih merasa bakalmeledak.”Sarah tertawa gugup.“Bukan pancake. Tapi kalau aku memberikan inikepadamu, kau harus janji tidak akan berkelahi.”“Oke,” jawabku.Sarah melirik ke belakang lagi lalu merogoh kantongdepan tasnya dengan cepat. Dia mengeluarkanponselku lalu memberikannya kepadaku.“Bagaimana caramu mendapatkan ini?”Sarah mengangkat bahu.“Mark tahu?”“Nggak. Jadi, apa kau masih mau bertingkah sokjago?” tanyanya.“Kurasa nggak.”“Bagus.”“Terima kasih,” kataku. Aku tidak percaya Sarah maumelakukan sejauh itu untuk membantuku. Dia kantidak kenal aku. Tapi aku tidak protes.“Sama-sama,” kata Sarah, lalu dia berbalik danbergegas pergi. Aku memandanginya sepanjanglorong itu, tidak bisa berhenti tersenyum. Saat akukeluar, Mark James dan delapan temannyamenghadangku di lobi.“Nah,” kata Mark. “Berhasil melalui hari ini, he?”“Pastinya. Dan lihat apa yang kutemukan,” katakusambil mengangkat ponselku. Dia ternganga. Akuberjalan melewatinya, menyusuri lorong, dan keluardari gedung sekolah.

HENRI MEMARKIRKAN MOBIL TEPAT DI TEMPAT yangdia janjikan tadi. Aku melompat masuk ke dalamtruk, masih tersenyum.“Hari yang indah?” tanyanya.“Nggak jelek. Ponselku kembali.”“Tidak berkelahi?”“Nggak juga sih.”Henri menatapku curiga. “Apa aku perlu tahu apamaksudnya?”“Mungkin tidak.”“Apa tanganmu menyala hari ini?”“Nggak,” aku berbohong. “Bagaimana harimu?”Henri mengemudi menyusuri jalan untuk mobil yangmengelilingi sekolah. “Bagus. Aku mengemudi sekitarsatu setengah jam ke Columbus setelah

Page 29: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mengantarmu.”“Kenapa Columbus?”“Di sana banyak bank besar. Aku tak maumenimbulkan kecurigaan karena mengambil uangyang jumlahnya lebih besar daripada jumlah seluruhuang di kota ini.”Aku mengangguk. “Cerdas.”Henri berbelok ke jalan raya.“Jadi siapa nama gadis itu?”“Hm?” tanyaku.“Pasti ada yang menyebabkanmu tersenyum-senyumseperti orang sinting. Biasanya alasannya cewek.”“Kok tahu?”“John, temanku, dulu di Lorien, Cêpan tua ini punyabanyak pacar, lho.”“Yang benar saja,” kataku. “Di Lorien nggak ada yangpunya banyak pacar.”Henri mengangguk setuju. “Kau memperhatikanrupanya.”Kaum Loric menganut monogami. Bila kami jatuhcinta, itu untuk selamanya. Pernikahan biasanyaberlangsung pada usia dua puluh lima, kurang lebih,dan tidak ada hubungannya dengan hukum.Pernikahan biasanya lebih didasarkan pada janji dankomitmen, dan bukan karena alasan lain. Henri sudahmenikah selama dua puluh tahun sebelum akhirnyapergi denganku. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi akutahu ia masih merindukan istrinya setiap hari.“Jadi siapa dia?” tanya Henri.“Namanya Sarah Hart. Dia anak agen properti yangmenyewakan rumah kepadamu. Dia ada di dua kelasyang kuikuti. Kakak kelas.”Henri mengangguk. “Cantik?”“Jelas. Cerdas pula.”“Yeah,” kata Henri pelan. “Aku sudah lama menantihal seperti ini. Tapi ingat, kita mungkin terpaksa pergimendadak.”“Aku tahu,” kataku. Lalu kami diam sepanjangperjalanan ke rumah.* * *Saat tiba di rumah, Peti Loric bertengger di mejadapur. Ukurannya sebesar oven microwave, hampirpersegi, 45 senti kali 45 senti. Kegembiraanmerasukiku. Aku berjalan ke arah Peti dan meraihgemboknya.“Kurasa aku lebih ingin membuka peti ini daripadamengetahui apa yang ada di dalamnya,” kataku.“Oh, ya? Yah, aku bisa menunjukkan bagaimana caramembuka Peti itu, lalu kita bisa menguncinya lagi danmelupakan apa yang ada di dalam.”Aku tersenyum ke arah Henri. “Jangan begitu. Ayolah.Apa isinya?”“Warisanmu.”“Apa maksudmu, Warisanku?”“Warisan itu adalah sesuatu yang diberikan kepadaGarde ketika mereka dilahirkan untuk digunakan olehPenjaganya saat Pusaka Garde itu muncul.”Aku mengangguk senang. “Jadi apa isinya?”“Warisanmu.”Jawaban main-mainnya membuatku frustrasi. Akumemegang gembok dan mencoba membukanyasecara paksa seperti yang dulu sering kulakukan.Tentu saja tidak ada hasilnya.“Kau tidak bisa membukanya tanpaku, dan aku tidakbisa membukanya tanpamu,” kata Henri.“Jadi, bagaimana kita membukanya? Nggak adalubang kunci.”“Mudah.”“Ayolah, Henri. Jangan main rahasia-rahasiaan lagi.”Henri melepaskan gembok itu dari tanganku.“Gembok ini hanya terbuka saat kita bersama, danhanya setelah Pusaka pertamamu muncul.”Henri berjalan ke pintu depan, menjulurkan kepala keluar, lalu menutup dan mengunci pintu, kemudiankembali ke dapur. “Tekankan telapak tanganmu di

Page 30: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

samping gembok itu,” katanya. Aku menurut.“Hangat,” kataku.“Bagus. Itu artinya kau siap.”“Lalu apa?”Henri menekankan telapak tangannya di sisi laingembok dan menyambungkan jarinya dengan jariku.Satu detik berlalu. Tiba-tiba gembok itu terbuka.“Keren!” kataku.“Peti ini dilindungi oleh mantra Loric, seperti kau. Tidakbisa dirusak. Kau bisa melindasnya dengan mesin gilasdan peti ini tidak akan penyok. Hanya kita berduayang bisa membukanya, bersama-sama. Kecuali jikaaku mati. Saat itu, kau bisa membukanya sendiri.”“Yah,” kataku, “kuharap itu tak terjadi.”Aku mencoba mengangkat bagian atas peti itu, tapiHenri mengulurkan tangan menghentikanku.“Belum,” katanya. “Masih ada hal-hal yang belumboleh kau lihat karena kau belum siap. Duduklah disofa.”“Ayolah, Henri.”“Percayalah padaku,” katanya.Aku menggelengkan kepala dan duduk. Henrimembuka peti dan mengambil sebuah batu yangpanjangnya kira-kira 15 senti dan tebalnya kira-kira 5senti. Ia mengunci peti lagi dan membawa batu itukepadaku. Batu itu berbentuk persegi panjang dansangat halus, bagian luarnya bening, tapi bagiantengahnya seperti berkabut.“Apa ini?” tanyaku.“Kristal Loric.”“Gunanya?”“Pegang,” kata Henri sambil menyerahkan Kristal itukepadaku. Begitu tanganku menyentuh kristal itu,kedua telapak tanganku bersinar. Sinarnya lebihterang daripada kemarin. Batu itu menghangat. Akumengangkatnya untuk melihat lebih jelas. Kabut dibagian tengah berputar, berpusar ke arah dalamseperti sebuah gelombang. Aku juga bisa merasakanliontin di leherku memanas. Aku bergairah dengansemua perkembangan baru ini. Seumur hidup akumenanti kemunculan kekuatanku dengan tidak sabar.Memang, ada saat-saat ketika aku berharapkekuatanku tidak akan pernah muncul, terutama agarkami bisa tinggal di satu tempat dan hidup normal.Namun saat ini―memegang kristal berisi sesuatu yangtampak seperti bola asap di bagian tengah, dan tahubahwa tanganku tahan panas dan api, dan masihbanyak Pusaka lain yang akan muncul diikuti dengankekuatan utamaku (kekuatan yang memungkinkankubertarung)―yah, rasanya luar biasa keren danmenggairahkan. Aku tidak bisa menghapus senyumdari wajahku.“Apa yang terjadi dengan benda ini?”“Kristal itu terikat dengan Pusakamu. Sentuhanmumengaktifkannya. Jika Pusakamu bukan Lumen,kristal itulah yang akan bersinar. Tapi karenaPusakamu itu Lumen, yang terjadi justru sebaliknya.”Aku menatap kristal itu, memandangi asap yangberputar dan bersinar.“Bisa kita mulai?” tanya Henri.Aku menganggukkan kepala dengan cepat. “Pasti.”* * *Hari semakin dingin. Rumah begitu sunyi, hanyasesekali terdengar jendela berderak ditiup angin. Akuberbaring telentang di atas meja kopi dari kayu.Tanganku menjuntai di kedua sisinya. Henri akanmenyalakan api di bawah kedua tanganku. Napaskupelan dan mantap, seperti yang diperintahkan Henri.“Kau harus terus menutup matamu,” katanya.“Dengarkan angin. Mungkin akan ada rasa terbakar dilenganmu saat aku membawa kristal ke atasnya.Abaikan sebisa mungkin.”Aku mendengarkan suara angin bertiup melewatipepohonan di luar. Entah bagaimana, aku bisamerasakan pohon-pohon itu bergoyang dan

Page 31: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melengkung.Henri mulai dengan tangan kananku. Dia menekankankristal di bagian belakang tanganku, lalumengusapkannya naik ke pergelangan tangan lalu kelenganku. Ada rasa terbakar seperti yang Henriperkirakan, tapi tidak cukup panas untuk membuatkumenarik tangan.“Biarkan pikiranmu berkelana, John. Pergilah ke manakau perlu pergi.”Aku tidak mengerti apa maksud Henri, tapi akumencoba mengosongkan pikiran dan bernapas pelan.Pikiranku langsung berkelana. Entah bagaimana akubisa merasakan kehangatan sinar matahari diwajahku dan angin yang jauh lebih hangat daripadaangin yang bertiup di luar rumah kami. Saatmembuka mata, aku sudah tidak berada di Ohio.Aku berada di atas suatu area luas berisi pucukpepohonan, sejauh mata memandang aku hanyamelihat hutan. Langit biru, matahari mulai tenggelam.Matahari itu dua kali lebih besar daripada matahariBumi. Angin hangat bertiup lembut membelairambutku. Di bawah sana, sungai-sungai membentukjurang dalam yang membelah hutan. Aku melayangdi atas salah satunya. Hewan-hewan dengan berbagaibentuk dan ukuran―ada yang panjang dan langsing,ada yang memiliki lengan pendek dan tubuh gemuk,ada yang berbulu, ada yang berkulit gelap dantampak kasar jika disentuh―sedang minum air segardi tepi sungai. Di kejauhan terlihat kaki langit yangmelengkung. Aku langsung tahu bahwa aku berada diLorien. Planet ini sepuluh kali lebih kecil daripadaBumi. Karena itu, kita bisa melihat permukaan planetyang melengkung saat memandang dari jarak yangcukup jauh.Entah bagaimana, aku bisa terbang. Aku terbang keatas dan berputar di udara, lalu menukik tajam danterbang cepat menyusuri permukaan sungai. Hewan-hewan mendongak dan memandang ingin tahu, tanparasa takut. Lorien pada masa keemasannya, diselimutitetumbuhan dan dihuni para hewan. Dalambayanganku, Bumi jutaan tahun lalu tampak sepertiini, ketika planet mengendalikan kehidupan makhluk-makhluknya, sebelum manusia datang dan mulaimengendalikan planet. Lorien pada masa keemasan.Aku tahu Planet Lorien tidaklah terlihat seperti inipada saat ini. Aku mungkin melihat ingatan. Pastinyabukan ingatanku?Lalu hari berganti malam dengan cepat. Di kejauhan,pesta kembang api dimulai. Kembang api meroket kelangit lalu meledak dalam berbagai bentuk hewandan pepohonan dengan langit malam dan bulan sertajutaan bintang sebagai latar belakang yang indah.“Aku bisa merasakan keputusasaan mereka,”kudengar suara entah dari mana. Aku berbalik danmemandang berkeliling. Tidak ada orang. “Merekatahu di mana salah satu dari kalian, tapi mantra itumasih berfungsi. Mereka tidak bisa menyentuh gadisitu sebelum membunuhmu. Tapi mereka terusmembuntutinya.”Aku terbang ke atas lalu ke bawah, mencari sumbersuara itu. Dari mana asalnya?“Mulai sekarang kita harus lebih waspada. Mulaisekarang kita harus berada di depan mereka.”Aku terbang ke depan menuju kembang api. Suara itumembuatku gugup. Mungkin bunyi ledakan yangkeras bisa menghilangkannya.“Dulu mereka berharap bisa membunuh kita semuasebelum Pusakamu muncul. Tapi kita tetaptersembunyi. Kita harus tetap tenang. Tiga yangpertama panik. Tiga yang pertama mati. Kita harustetap cerdik dan waspada. Saat kita panik, kesalahanpun terjadi. Mereka tahu akan lebih sulit bagi merekajika kekuatan kalian yang tersisa semakinberkembang. Lalu saat kekuatan kalian semuamencapai puncaknya, perang akan pecah. Kita akan

Page 32: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melawan dan membalas dendam, dan mereka tahuitu.”Aku melihat bom berjatuhan di permukaan Lorien.Ledakan-ledakan mengguncang daratan dan udara,jeritan terbawa angin, ledakan api menyapu daratandan pepohonan. Hutan terbakar. Pastilah ada seribupesawat udara berbeda, semuanya turun dari langitdan mendarat di Lorien. Prajurit Mogadorianmembanjir keluar, membawa senapan dan granatdengan kekuatan yang jauh lebih besar daripadayang digunakan dalam perang di Bumi. Mereka lebihtinggi daripada kami, dan tampak serupa dengankami kecuali di bagian wajah. Mereka tidak punyapupil. Selaput pelangi mereka berwarna merah ungugelap, sebagian lagi hitam. Lingkaran tebal dan gelapmembingkai mata mereka. Ada bagian pucat di kulitmereka―hampir tak berwarna dan seperti memar. Gigimereka berkilat di antara bibir yang tampaknya takbisa ditutup. Gigi-gigi itu seakan dikikir sehinggabentuknya tidak wajar.Hewan buas dari Planet Mogadore keluar daripesawat di belakang dengan tatapan dingin mereka.Sebagian dari mereka sebesar rumah, dengan gigiruncing, meraung begitu keras sehingga telingakusakit.“Kita ceroboh, John. Itulah sebabnya mengapa kitabisa dikalahkan dengan mudah,” katanya. Sekarangaku tahu itu suara Henri. Tapi Henri tidak tampak dimana pun. Aku juga tidak bisa melepaskanpandangan dari pembantaian dan penghancuran dibawahku demi mencari Henri. Kaum Loric berlarian,melawan. Jumlah Mogadorian yang mati samabanyaknya dengan jumlah Loric yang terbunuh. Tapikaum Loric kalah dalam pertempuran melawanhewan buas, yang membantai lusinan bangsa kami:dengan napas api, gigi yang meremukkan, lengan danekor yang diayunkan dengan ganas. Waktudipercepat, lebih cepat daripada normal. Berapa lamayang telah berlalu? Satu jam? Dua jam?Para Garde memimpin pertarungan, mengerahkanPusaka mereka. Sebagian terbang, sebagian berlaribegitu cepat sehingga tampak kabur, dan sebagianlagi benar-benar tak tampak. Laser ditembakkan daritangan, tubuh dibalut api, awan badai bergolak dandiikuti dengan angin kencang di atas mereka yangmampu mengontrol cuaca. Tapi mereka masih kalah.Mereka kalah jumlah. Lima ratus banding satu.Kekuatan mereka tidak cukup.“Kita lengah. Para Mogadorian merencanakan denganbaik. Mereka memilih saat yang tepat, yaitu ketikakita berada dalam keadaan paling lemah, ketika paraTetua planet pergi. Pittacus Lore―Tetua terkuat,pemimpin para Tetua planet―telah mengumpulkanmereka sebelum serangan itu terjadi. Tidak ada yangtahu apa yang terjadi dengan para Tetua planet, kemana mereka pergi, atau apakah mereka masihhidup. Mungkin kaum Mogadorian telah membereskanmereka dulu. Begitu para Tetua tidak ada, mereka punmenyerang. Yang kita tahu hanya ada lajur cahayaputih menyorot tinggi ke langit saat para Tetua planetberkumpul. Cahaya itu bertahan sepanjang hari, lalumenghilang. Kita, sebagai kaum Loric, harusnya sadarbahwa itu pertanda ada sesuatu yang salah, tapitidak. Tak ada yang bisa disalahkan selain diri kitasendiri atas apa yang terjadi. Kita beruntung karenabisa mengungsikan sebagian Loric keluar dari planet,terutama sembilan Garde muda yang suatu saat nantimungkin akan melanjutkan pertarungan, danmenjaga kelangsungan hidup bangsa kita.

Di kejauhan, sebuah pesawat lepas landas dengancepat ke udara dengan garis biru mengekor dibelakangnya. Aku memandangnya dari tempatku dilangit hingga lenyap. Aku sesuatu yang akrabdengannya. Lalu aku pun sadar: Aku ada di pesawat

Page 33: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

itu. Henri juga. Itu pesawat yang membawa kami keBumi. Kaum Loric pasti tahu bahwa mereka kalah.Alasan apa lagi yang membuat merekamengungsikan kami?Pembantaian sia-sia. Itu pendapatku mengenai semuaini. Aku mendarat di tanah dan berjalan melewatibola api. Amarah menggelegak di dadaku. Laki-lakidan perempuan mati, Garde dan Cêpan, bersama-sama dengan anak-anak yang tak berdaya.Bagaimana mungkin ini bisa dimaklumi? Bagaimanamungkin hati para Mogadorian begitu keras sehinggabisa melakukan ini semua? Dan mengapa akudiungsikan?Aku menerjang seorang prajurit Mogadorian didekatku, namun aku menembusnya dan jatuh. Semuayang kusaksikan di sini telah terjadi. Aku hanyalahsaksi dari kematian kami semua dan tak ada yangbisa kulakukan.Aku berbalik dan menghadapi seekor hewan buasyang tingginya pastilah dua belas meter, dengan bahulebar, dan mata merah serta tanduk sepanjang enammeter. Liur menetes dari giginya yang panjang dantajam. Hewan itu meraung lalu menerjang.Hewan itu menembusku dan menghabisi lusinan Loricdi sekitarku. Begitu saja, dan semua Loric itu tewas.Hewan itu terus membantai, menghabisi lebih banyakkaum kami.Menembus adegan kehancuran itu, terdengar suaragarukan, sesuatu yang terpisah dari pembantaian diLorien. Aku terhanyut pergi ke tempat diriku berada.Dua buah tangan menekan bahuku. Mataku langsungmembuka dan aku kembali di rumah kami di Ohio.Lenganku menjuntai di meja kopi. Beberapa senti dibawahnya ada dua ketel berisi api. Kedua tangankuhingga pergelangan terbenam dalam api yangmenyala-nyala. Aku tidak merasakan apa pun. Henriberdiri di dekatku. Bunyi garukan yang tadi kudengarberasal dari beranda depan.“Apa itu?” bisikku sambil duduk.“Aku tak tahu,” jawab Henri.Kami berdua diam, berusaha mendengar. Tiga bunyigarukan lagi di pintu. Henri menunduk memandangku.“Ada orang di luar,” katanya.Aku memandang jam di dinding. Hampir satu jamberlalu. Aku berkeringat, kehabisan napas, terguncangoleh adegan pembantaian yang baru kusaksikan.Untuk pertama kalinya, aku benar-benar paham apayang terjadi di Lorien. Sebelumnya, peristiwa ituhanyalah bagian dari cerita, seperti cerita yang kubacadi buku-buku. Tapi sekarang aku telah melihat darah,air mata, dan kematian. Aku telah menyaksikankehancuran. Itu bagian dari diriku.Di luar sudah gelap. Tiga bunyi garukan lagi di pintu,diikuti geraman pelan. Kami berdua terlompat. Akulangsung teringat geraman pelan hewan buas yangtadi kudengar.Henri bergegas ke dapur dan mengambil pisau darilaci di samping bak cuci piring. “Sembunyi di belakangsofa.”“Apa? Kenapa?”“Karena kusuruh.”“Kau pikir pisau kecil itu bisa mengalahkanMogadorian?”“Jika kutusukkan tepat di jantungnya, bisa. Sekarang,menunduk.”Aku turun dari meja kopi dan berjongkok di belakangsofa. Dua ketel berisi api masih menyala, gambaransamar Lorien masih terbayang di benakku. Bunyigeraman tak sabar datang dari luar pintu depan. Jelasada seseorang, atau sesuatu, di luar sana. Jantungkuberdegup kencang.“Tetap menunduk,” kata Henri.Aku mengangkat kepala agar bisa memandang daribalik sofa. Pembantaian dan darah di mana-mana,kenangku. Pastilah kaum Loric tahu mereka bisa

Page 34: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dikalahkan dengan mudah. Tapi mereka bertarungsampai akhir, mati untuk saling menyelamatkan, matiuntuk membela Lorien. Henri mencengkeram pisaudengan kuat. Ia meraih kenop pintu perlahan-lahan.Amarah menggelegak di dadaku. Kuharap itu salahsatu dari mereka. Biarkan Mogadorian melewati pintuini. Dia akan bertemu tandingannya.Aku tidak mungkin tinggal diam di balik sofa ini. Akumengulurkan tangan dan meraih salah satu ketel,memasukkan tangan ke dalam dan mengeluarkankayu berujung runcing yang masih terbakar. Rasanyadingin, tapi api terus menyala, membalut tanganku.Aku memegang kayu itu seperti memegang belati.Biarkan mereka datang, pikirku. Tidak ada melarikandiri lagi. Henri memandangku, menarik napas dalam,dan membuka pintu depan dengan cepat.SEMUAOTOT DI TUBUHKU MENEGANG, BERSIAP untuk yangterburuk. Henri melompat melewati ambang pintu danaku siap untuk mengikutinya. Aku dapat merasakandug-dug-dug di dadaku. Buku jari-jariku memutih disekeliling kayu yang masih terbakar. Angin bertiupmasuk melalui pintu. Api di tanganku menari-nari danmerayap ke pergelangan tanganku. Tidak ada seorangpun di sana. Tubuh Henri langsung santai dan diaterkekeh, menatap ke bawah. Di sana, mendongakmemandang Henri, anjing beagle yang kemarinkulihat di sekolah. Anjing itu mengibas-ngibaskan ekordan menggaruk lantai. Henri menunduk dan membelaianjing itu. Lalu si anjing bergegas masuk ke dalamrumah dengan lidah terjulur.“Apa yang dia lakukan di sini?” tanyaku.“Kau tahu anjing ini?”“Aku melihatnya di sekolah. Dia membuntutiku kemana-mana kemarin setelah kau menurunkanku.”Aku mengembalikan batang kayu ke tempatnya lalumengelap tanganku ke celana jins, meninggalkannoda abu hitam di bagian depan. Anjing itu duduk dibawah, di kakiku dan mendongak penuh harap,ekornya mengetuk-ngetuk lantai kayu. Aku duduk disofa dan menatap kedua api dalam ketel terbakar.Sekarang karena ketegangan sudah berakhir,pikiranku kembali ke citra yang tadi kulihat. Akumasih bisa mendengar jeritan di telingaku. Aku jugamasih melihat darah di rumput berkilau terkenacahaya bulan. Aku masih melihat tubuh-tubuh danpepohonan roboh, dan juga mata hewan buas PlanetMogadore yang merah menyala dan mata kaum Loricyang disaput kengerian.Aku menatap Henri. “Aku melihat apa yang terjadi.Setidaknya awalnya.”Henri mengangguk. “Sudah kuduga.”“Aku bisa mendengar suaramu. Apa kau tadi bicaradenganku?”“Ya.”“Aku tak mengerti,” kataku. “Itu pembantaian. Adabegitu banyak kebencian di hati mereka. Merekabukan hanya sekadar tertarik dengan sumber dayakita. Ada yang lebih daripada itu.”Henri mendesah dan duduk di atas meja kopi didepanku. Si anjing melompat ke pangkuanku. Akumembelainya. Anjing itu kotor. Bulunya terasa kakudan berminyak di tanganku. Ada tanda pengenalberbentuk bola football di bagian depan kalungnya.Tanda pengenal itu sudah lama, sebagian besar catcokelatnya sudah aus. Aku mengambilnya, nomor 19di salah satu sisi, nama BERNIE KOSAR di sisi yanglain.“Bernie Kosar,” kataku. Anjing itu mengibas-ngibaskanekor. “Kurasa namanya Bernie Kosar, sama sepertiorang yang ada di poster di dindingku. Pasti orangbeken di sini.” Aku membelai punggung si anjing.“Tampaknya dia tidak memiliki rumah,” kataku. “Danlapar.” Entah bagaimana aku tahu itu.Henri mengangguk. Dia menunduk menatap BernieKosar. Anjing itu meregangkan tubuh, meletakkan

Page 35: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dagu di atas kaki depannya, lalu menutup mata. Akumenyalakan pemantik dan meletakkan apinya ditanganku, lalu telapak tanganku, kemudian ke bagiandalam lenganku. Aku baru merasa terbakar saat apiitu berjarak dua atau lima senti dari siku. Apa punyang Henri lakukan tadi berhasil. Ketahanankuterhadap api sudah menyebar. Aku bertanya-tanyaperlu berapa lama hingga akhirnya seluruh tubuhkutahan api.“Jadi apa yang terjadi?” tanyaku.Henri menarik napas dalam. “Aku juga melihat citraitu. Begitu nyata seolah ada di sana.”“Aku tidak tahu kalau kejadiannya seburuk itu.Maksudku, aku tahu dari apa yang kau ceritakankepadaku, tapi aku tidak benar-benar memahaminyasampai melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”“Para Mogadorian berbeda dari kita. Mereka pintarmenjaga rahasia dan manipulatif, tidak memercayaihampir semua hal. Mereka memiliki kekuatantertentu, tapi bukan kekuatan seperti kita. Merekahidup berkelompok dan maju pesat di kota-kotapadat. Semakin padat populasinya, semakin bagus. Inisebabnya mengapa kau dan aku menghindari kota-kota besar, walaupun hidup di kota besar mungkinbisa membuat kita lebih mudah berbaur. Mereka jugabisa berbaur dengan jauh lebih mudah.“Sekitar seratus tahun lalu, Planet Mogadore mulaimati, seperti yang terjadi pada Planet Lorien duapuluh lima ribu tahun sebelumnya. Namun, merekatidak bertindak seperti kita. Mereka tidakmemahaminya dengan cara yang sama seperti apayang saat ini mulai manusia lakukan. Merekamengabaikannya. Mereka membunuh lautan. Merekajuga membanjiri sungai dan danau dengan sampahdan limbah demi memperkaya kota-kota mereka.Vegetasi mulai punah. Tentu saja itu menyebabkanherbivora mulai punah, dan disusul dengan karnivora.Mereka tahu mereka harus melakukan suatu tindakandrastis.”Henri menutup mata dan diam selama satu menitpenuh.“Apa kau tahu planet apa yang dapat ditinggali danterletak paling dekat dengan Mogadore?”“Ya. Lorien. Setidaknya dulu, kurasa.”Henri mengangguk. “Ya, memang Lorien. Dan akuyakin sekarang kau tahu bahwa mereka memangmengincar sumber daya kita.”Aku mengangguk. Bernie Kosar mengangkat kepaladan menguap lebar. Henri memanaskan dada ayam dimicrowave, memotong-motongnya, lalu kembali kesofa sambil membawa piring dan meletakkannya didepan si anjing. Bernie Kosar makan dengan lahap,tampaknya dia belum makan selama berhari-hari.“Ada banyak Mogadorian di Bumi,” lanjut Henri. “Akutidak tahu berapa banyak, tapi aku bisa merasakanmereka saat aku tidur. Terkadang aku bisa melihatmereka dalam mimpi-mimpiku. Aku tidak bisamengetahui di mana mereka, atau apa yang merekakatakan. Tapi aku melihat mereka. Dan kurasa alasankeberadaan mereka di sini bukan hanya karena kalianberenam.”“Apa maksudmu? Memangnya kenapa lagi merekaada di sini?”Henri menatap mataku. “Kau tahu planet lain apayang dapat ditinggali dan terletak dekat Mogadore?”Aku mengangguk. “Bumi, kan?”“Ukuran Planet Mogadore dua kali lipat Lorien, tapiBumi berukuran lima kali lipat dari Mogadore. Dalamhal pertahanan, Bumi lebih mampu menahanserangan karena ukurannya. Kaum Mogadorian perlumemahami planet ini dengan lebih baik sebelum bisamenyerang. Aku tidak bisa mengatakan mengapa kitadapat dikalahkan dengan mudah karena masihbanyak yang tidak kupahami. Tapi aku bisamengatakan dengan pasti bahwa sebagiannya

Page 36: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

diakibatkan kombinasi dari pengetahuan merekamengenai planet kita dan juga warganya, dan jugakenyataan bahwa kita tidak memiliki pertahanan lainselain kecerdasan kita dan Pusaka para Garde. Kaubisa mengatakan apa pun mengenai Mogadorian, tapimereka itu ahli strategi yang brilian jika menyangkutperang.”Kami duduk diam lagi. Angin masih meraung di luar.“Kupikir mereka tidak tertarik untuk mengambilsumber daya Bumi,” kata Henri.Aku mendesah dan menatapnya. “Mengapa tidak?”“Mogadore masih sekarat. Walaupun telah berusahauntuk mengatasinya, kematian planet itu tidakterhindarkan. Dan mereka tahu itu. Aku rasa merekaberencana untuk membunuh manusia. Kurasa merekaingin menjadikan Bumi sebagai tempat tinggalmereka untuk selamanya.”* * *Setelah makan malam, aku memandikan Bernie Kosarmenggunakan sampo dan kondisioner. Akumenyikatnya dengan sisir tua yang tertinggal di salahsatu laci, milik penyewa sebelumnya. Penampilan danbau Bernie Kosar jauh lebih baik dibandingkan tadi,tapi kalung anjingnya masih bau. Aku membuangkalung itu. Sebelum tidur, aku membukakan pintudepan untuknya, tapi dia tidak berminat pergi ke luar.Dia justru berbaring di lantai dan meletakkan dagu dikaki depannya. Aku bisa merasakan keinginannyauntuk tinggal di rumah bersama kami. Aku bertanya-tanya apakah dia bisa merasakan keinginanku yangjuga sama sepertinya.“Kurasa kita punya hewan peliharaan baru,” kataHenri.Aku tersenyum. Begitu melihat Bernie Kosar tadi, akuberharap Henri akan mengizinkanku memeliharanya.“Sepertinya begitu,” kataku.Setengah jam kemudian aku naik ke tempat tidur.Bernie Kosar melompat ke tempat tidur dan bergelungseperti bola di kakiku. Sejurus kemudian dia sudahmendengkur. Aku berbaring telentang selamabeberapa saat, menatap kegelapan, jutaan pikiranberputar-putar di kepalaku. Citra perang: tampangpara Mogadorian yang rakus dan lapar, wajah hewanbuas yang marah dan keras, kematian dan darah. Akumemikirkan keindahan Lorien. Apakah planet itudapat dihuni kembali. Ataukah Henri dan aku akanmenanti selamanya di Bumi?Aku mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran dan citra-citra itu dari benakku, tapi hanya sejenak dansemuanya kembali. Aku bangun dan berjalan mondar-mandir sebentar. Bernie Kosar mengangkat kepaladan menatapku, tapi kemudian dia meletakkankepalanya kembali dan jatuh tertidur. Aku mendesah,meraih ponsel dari meja samping tempat tidur danmengecek untuk memastikan Mark James tidakmengacaukannya. Nomor Henri masih ada, tapi itubukan satu-satunya nomor yang ada di telepongenggamku. Ada tambahan nomor lain, dengan nama“Sarah Hart”. Setelah bel terakhir berbunyi, dansebelum datang ke lokerku, Sarah menambahkannomornya ke telepon genggamku.Aku menutup telepon genggam itu, meletakkannyakembali di atas meja samping tempat tidur, dantersenyum. Dua menit kemudian aku mengecektelepon genggamku lagi untuk memastikan bahwaaku tidak berkhayal. Memang tidak. Aku menutuptelepon genggamku dan meletakkannya. Lima menitkemudian aku mengangkatnya lagi untuk melihatnomor Sarah. Entah berapa kali aku melakukan itusebelum akhirnya tertidur, tapi pada akhirnya akutidur. Saat aku terbangun di pagi hari, telepongenggam itu masih ada di tanganku, di atas dadaku.

BERNIE KOSAR MENGGARUK-GARUK PINTU KAMARtidur saat aku bangun. Aku mengeluarkannya. Dia

Page 37: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berpatroli di halaman, berkeliling cepat dengan hidungmenempel ke tanah. Setelah memeriksa keempatsudut halaman, dia melesat melintasi halaman danmenghilang di hutan. Aku menutup pintu dan mandi.Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandidan ternyata Bernie Kosar sudah ada di dalamkembali, duduk di sofa, mengibas-ngibaskan ekor saatmelihatku.“Kau yang memasukkannya?” tanyaku kepada Henri,yang duduk di meja dapur dengan laptop terbuka danempat surat kabar menumpuk di depannya.“Ya.”Setelah sarapan singkat, kami keluar. Bernie Kosarberlari mendahului kami, lalu berhenti dan dudukmendongak memandang pintu penumpang di truk.“Aneh, ya?” kataku.Henri mengangkat bahu. “Tampaknya dia biasa naikmobil. Biarkan dia masuk.”Aku membuka pintu dan Bernie Kosar pun melompatke dalam, langsung duduk di kursi tengah denganlidah terjulur. Saat kami keluar dari halaman, dia naikke pangkuanku dan meletakkan kaki depannya dijendela. Aku menurunkan jendela mobil lalu BernieKosar menjulurkan setengah badannya keluar, denganmulut masih terbuka. Angin membuat telinganyaberkibar-kibar. Lima kilometer kemudian Henri sampaidi sekolah. Aku membuka pintu dan Bernie Kosarmelompat turun di depanku. Aku mengangkat danmemasukkannya kembali ke dalam truk, namun diamelompat ke luar lagi. Aku mengangkat danmemasukkannya lagi ke dalam truk. Aku menutuppintu truk sambil menghalangi agar Bernie Kosar tidakmelompat keluar. Dia berdiri dengan kaki belakang,kaki depannya diletakkan di tepi pintu. Jendela mobilmasih terbuka. Aku menepuk-nepuk kepalanya.“Sarung tanganmu kau bawa?” tanya Henri.“Ya.”“Ponsel?”“Ya.”“Bagaimana perasaanmu?”“Baik,” kataku.“Oke. Telepon aku jika ada masalah.”Henri pergi. Bernie Kosar memandangiku dari jendelabelakang hingga truk itu menghilang di belokan.Aku merasa gugup seperti kemarin, tapi denganalasan berbeda. Sebagian dari diriku ingin langsungbertemu Sarah, namun sebagian diriku yang lainberharap aku tidak bertemu dengannya sama sekali.Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya.Bagaimana jika pikiranku kosong sehingga aku berdiridi sana seperti orang bodoh? Bagaimana jika diabersama Mark saat aku menemuinya? Apakahsebaiknya aku menyapa Sarah walaupun mungkinbakal ada percekcokan lagi? Atau apakah sebaiknyaaku melewatinya dan berpura-pura tidak melihatmereka berdua? Paling tidak aku akan melihatmereka di pelajaran kedua. Itu pasti.Aku berjalan menuju lokerku. Tasku dipenuhi bukuyang seharusnya kubaca semalam, tapi aku tidakmembukanya sama sekali. Terlalu banyak pikiran danbayangan yang berputar-putar di benakku. Semuanyabelum hilang. Dan sulit membayangkan pikiran danbayangan itu akan menghilang. Lagi pula semuanyajuga berbeda dari apa yang kuduga. Kematiantidaklah seperti apa yang diperlihatkan di film-film.Suaranya, gambarannya, baunya. Sangat jauhberbeda.Saat tiba di lokerku, aku segera menyadari ada yangtidak beres. Pegangannya berlumur tanah, atausesuatu yang tampak seperti tanah. Aku tidak yakinapakah sebaiknya aku membukanya. Namunkemudian aku menarik napas panjang dan menarikpegangan itu.Lokerku dipenuhi pupuk kandang. Saat aku membukapintunya, sebagian besar pupuk kandang itu

Page 38: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berhamburan ke lantai, menutupi sepatuku. Baunyaluar biasa. Aku membanting pintu loker hinggatertutup. Sam Goode berdiri di belakang pintu dankemunculannya yang tiba-tiba membuatku kaget. Diatampak muram, mengenakan kaus NASA putih yangagak berbeda dari kaus yang dikenakannya kemarin.“Hai, Sam,” kataku.Dia menunduk menatap tumpukan pupuk kandang dilantai, lalu kembali menatapku.“Kau juga?” tanyaku.Sam mengangguk.“Aku mau ke kantor kepala sekolah. Kau mau ikut?”Sam menggeleng kepala, lalu berbalik dan pergi tanpamengatakan sepatah kata pun. Aku berjalan kekantor Mr. Harris, mengetuk pintu, lalu masuk tanpamenunggu jawaban. Mr. Harris duduk di belakangmeja, mengenakan dasi kotak-kotak bergambarmaskot sekolah, ada dua puluh kepala bajak laut kecilyang tersebar di bagian depan dasi itu. Dia tersenyumbangga kepadaku.“Ini hari besar, John,” katanya. Aku tidak tahu apayang dia bicarakan. “Satu jam lagi reporter dariGazette tiba di sini. Halaman utama!”Lalu aku ingat, wawancara besar Mark James dengansurat kabar lokal.“Anda pasti sangat bangga,” kataku.“Aku bangga terhadap setiap murid di Paradise.”Senyum itu tetap melekat di wajahnya. Dia bersandarkembali di kursi, menautkan jari-jemari, danmeletakkan tangannya di perut. “Ada yang bisakubantu?”“Aku hanya ingin Anda tahu bahwa lokerku diisipupuk kandang pagi ini.”“Apa maksudmu ‘diisi’?”“Maksudku lokerku penuh dengan pupuk kandang.”“Dengan pupuk kandang?” tanyanya bingung.“Ya.”Dia tertawa. Aku terkejut melihatnya memandangremeh masalah itu, dan kepalaku mulai panas.Wajahku hangat.“Aku memberitahu Anda sehingga loker itu bisadibersihkan. Loker Sam Goode juga penuh denganpupuk kandang.”Mr. Harris mendesah dan menggeleng. “Aku akanmengirim, pesuruh sekolah, Mr. Hobbs, agar menguruslokermu secepatnya. Setelah itu kami akanmenyelidikinya hingga tuntas.”“Kita berdua tahu siapa pelakunya, Mr. Harris.”Mr. Harris menyeringai meremehkan kepadaku. “Akuakan mengurus penyelidikan itu, Mr. Smith.”Tak ada gunanya berdebat, jadi aku keluar darikantornya dan berjalan ke kamar mandi untukmembasuh muka dan tangan. Aku harus tenang. Akutidak mau terpaksa mengenakan sarung tangan lagihari ini. Mungkin seharusnya aku tidak melakukan apapun, dan membiarkan ini berlalu. Apa itu akanmembuat semua ini berhenti? Lagi pula, apa adapilihan lain? Aku bukan tandingan Mark. Lagi pulasatu-satunya sekutuku adalah seorang murid kelasdua dengan berat badan 45 kilo dan ketertarikanterhadap alien. Tapi mungkin itu tidak benar. Mungkinaku punya sekutu lain. Sarah Hart.Aku menunduk. Tanganku baik-baik saja, tidakbersinar. Aku keluar dari kamar mandi. Pesuruhsekolah sedang membersihkan pupuk kandang darilokerku, mengeluarkan buku dan memasukkannya ketempat sampah. Aku berjalan melewatinya, masuk kedalam kelas, lalu menanti pelajaran dimulai. Kali inikami membahas grammar. Topik utamanya adalahperbedaan antara gerund - kata kerja yangdibendakan dengan menambahkan akhiran –ing danverb - kata kerja biasa. Selain itu kami jugamembahas mengapa gerund tidak bisa disebut verb.Aku memperhatikan pelajaran kali itu dengan lebihbaik dibandingkan hari sebelumnya. Namun saat jam

Page 39: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

pelajaran hampir berakhir, aku mulai gelisah denganpelajaran berikutnya. Bukan karena aku mungkin akubertemu Mark … melainkan karena aku mungkinbertemu Sarah. Apa dia akan tersenyum kepadakulagi hari ini? Sebaiknya aku masuk kelas sebelumSarah sehingga bisa mendapatkan tempat duduk danmelihatnya berjalan masuk. Dengan begitu aku bisamelihat jika dia menyapaku duluan.Saat bel berbunyi, aku melesat keluar kelas danberjalan cepat menyusuri lorong. Aku orang pertamayang tiba di kelas astronomi. Kelas mulai terisi danSam duduk di sampingku lagi. Tepat sebelum belberbunyi, Sarah dan Mark masuk bersama. Sarahmengenakan kemeja putih berkancing dan celanahitam. Dia tersenyum ke arahku sebelum duduk. Akubalas tersenyum. Mark tidak melihat ke arahku samasekali. Aku masih bisa membaui pupuk kandang disepatuku, atau mungkin bau itu berasal dari Sam.Sam mengeluarkan majalah dengan sampul berjudulThey Walk Among Us―Mereka Ada di Antara Kita―daritasnya. Majalah itu tampaknya dicetak di ruangbawah tanah seseorang. Sam membalik majalah ituhingga ke bagian tengah dan membaca artikel di sanadengan tekun.Aku memandang Sarah yang berada empat meja didepanku, ke arah rambutnya yang diikat ekor kuda.Aku bisa melihat tengkuk dari lehernya yang jenjang.Sarah menyilangkan kaki dan duduk tegak dikursinya. Aku berpikir seandainya akulah yang dudukdi samping Sarah, seandainya aku bisa mengulurkantangan dan memegang tangannya. Seandainya inijam pelajaran kedelapan. Aku bertanya-tanya apakahaku jadi pasangannya di pelajaran tata boga nanti.Mrs. Burton mulai mengajar. Dia masih membahasmengenai Saturnus. Sam mengeluarkan selembarkertas dan menulis dengan tergesa-gesa, sesekaliberhenti untuk mengecek artikel dari majalah yangterbuka di sampingnya. Aku mengulurkan kepala danmembaca judul artikel itu: “Seluruh Kota MontanaDiculik Alien.”Hingga tadi malam aku tidak pernah merenungkancerita semacam itu. Tapi Henri yakin kaumMogadorian berencana untuk menguasai Bumi. Lagipula aku harus mengakui bahwa walaupun ceritadalam artikel Sam itu menggelikan, tapi padadasarnya mungkin ada sesuatu di sana. Aku tahubahwa pada kenyataannya kaum Loric seringmengunjungi Bumi. Kami menyaksikan Bumiberkembang. Kami menyaksikan saat Bumi tumbuhdan berkelimpahan serta segalanya bergerak. Kamijuga menyaksikan ketika Bumi diselimuti es dan saljuserta tidak ada yang bergerak. Kami membantu paramanusia. Kami mengajari mereka cara memakai api.Kami juga memberikan peralatan untukmengembangkan kemampuan berbicara danberbahasa, itu sebabnya mengapa bahasa kamibegitu mirip dengan bahasa-bahasa di Bumi. Danwalaupun kami tidak pernah menculik manusia,bukan berarti penculikan tidak pernah dilakukan. Akumemandang Sam. Aku belum pernah bertemu denganorang yang sangat tertarik dengan alien hingga maumembaca dan mencatat berbagai teori konspirasi.Lalu pintu dibuka dan Mr. Harris mengulurkan wajahcerianya ke dalam.“Maaf mengganggu, Mrs. Burton. Aku ingin meminjamMark. Para reporter Gazette ada di sini dan inginmewawancarai Mark untuk surat kabar itu,” Mr. Harrismengatakannya dengan keras sehingga semua orangdi kelas dapat mendengar.Mark berdiri, mengambil tas, dan berjalan ke luarkelas dengan santai. Melalui pintu, aku bisa melihatMr. Harris menepuk punggung Mark. Lalu aku kembalimelihat Sarah, berharap bisa duduk di kursi kosong disampingnya.* * *

Page 40: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Pelajaran keempat adalah pelajaran olahraga. Samjuga mengikuti kelas ini. Setelah berganti pakaian,kami duduk berdampingan di lantai gedung olahraga.Dia mengenakan sepatu tenis, celana pendek, dankaus yang satu atau dua ukuran terlalu besar. Samtampak seperti burung bangau, lutut dan sikunyaruncing. Dia tampak tinggi walaupun sebenarnyapendek.Guru pelajaran olahraga, Mr. Wallace, berdiri kaku didepan kami dengan kaki terentang dan berkacakpinggang.“Dengar, Anak-anak. Mungkin ini terakhir kalinya kitaberolahraga di luar ruangan, jadi manfaatkan sebaik-baiknya. Lari 1,5 kilometer, secepat mungkin. Waktukalian akan dihitung dan dicatat untuk dibandingkannanti ketika kita lari 1,5 kilometer lagi di musim semi.Jadi lari yang cepat!”Lintasan lari di luar terbuat dari karet sintetis. Lintasanitu mengelilingi lapangan football. Di sebelah luarnyaterdapat hutan yang mungkin mengarah ke rumahkami, tapi aku tidak yakin. Angin terasa dingin.Rambut-rambut di lengan Sam berdiri dan iamenggosok-gosok lengannya mencari kehangatan.“Kau pernah lari di sini?” tanyaku.Sam mengangguk. “Kami lari di minggu kedua.”“Berapa catatan waktumu?”“Sembilan menit empat puluh detik.”Aku memandang Sam. “Kukira orang kurus bisa larilebih cepat.”“Omong kosong,” katanya.Aku berlari di samping Sam di belakang murid-muridlain. Empat keliling. Aku harus berlari empat kelilinguntuk mendapatkan jarak 1,5 kilometer. Setengahkeliling kemudian aku mulai berlari di depan Sam. Akupenasaran perlu waktu berapa lama bagiku untukberlari 1,5 kilometer jika berusaha sekuat tenaga. Duamenit? Satu menit? Atau malah kurang dari itu?Olahraga itu terasa menyenangkan. Tanpa sadar akusudah melewati pelari paling depan. Lalu akumelambatkan lariku dan pura-pura kelelahan. Tiba-tibaaku melihat sesuatu berwarna cokelat dan putihmelesat dari semak-semak di dekat pintu masuktribun dan berlari ke arahku. Pikiranku mengelabuiku,pikirku. Aku memalingkan muka dan tetap berlari.Aku melewati Mr. Wallace. Dia memegang stopwatch,meneriakkan kata-kata penyemangat, tapi dia melihatke belakangku, jauh dari trek lari. Aku mengikutipandangannya. Mr. Wallace memandang warnacokelat dan putih itu. Sesuatu itu masih berlari kearahku. Aku langsung teringat dengan citra yangkulihat kemarin. Hewan buas Mogadorian. Ada hewanbuas yang kecil juga. Gigi mereka seperti silet yangberkilau jika terkena cahaya. Mereka hewan buasyang cepat dan berkeinginan untuk membunuh. Akumulai berlari cepat.Aku lari lintang pukang di setengah kelilingberikutnya. Lalu aku membalikkan badan. Sesuatu itutidak ada di belakangku. Aku berhasil kabur darinya.Dua puluh detik berlalu. Lalu aku membalikkan badanke depan. Tahu-tahu makhluk itu sudah ada didepanku. Pastilah makhluk itu menyeberang melintasilapangan. Aku diam di lintasan lariku danmemperhatikannya. Bernie Kosar! Ia duduk di tengah-tengah lintasan dengan lidah terjulur dan ekor dikibas-kibaskan.“Bernie Kosar!” teriakku. “Kau bikin aku takut!”Aku melanjutkan berlari dengan pelan. Bernie Kosarberlari di sampingku. Kuharap tidak ada yangmemperhatikan seberapa cepat aku berlari. Lalu akuberhenti dan membungkuk seolah-olah kram dankehabisan napas. Aku berjalan sebentar. Lalu akuberlari pelan sebentar. Sebelum menyelesaikankeliling yang kedua, dua murid melewatiku.“Smith! Ada apa? Tadi kau melaju di depan yang lain!”teriak Mr. Wallace saat aku berlari melewatinya.

Page 41: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku pura-pura bernapas dengan susah payah.“Saya―punya―asma,” jawabku.Dia menggelengkan kepala kecewa. “Kupikir akumenemukan juara lari Ohio tahun ini di kelasku.”Aku mengangkat bahu dan berlari, sering kali berhentidan berjalan. Bernie Kosar mengikutiku, kadangberjalan, kadang berlari. Saat aku memulai kelilingyang terakhir, Sam menyusulku dan kami berlaribersama. Wajahnya merah.“Jadi apa yang kau baca di kelas astronomi hari ini?”tanyaku. “Seluruh Kota Montana diculik alien?”Sam meringis ke arahku. “Yah, begitu teorinya,”jawabnya malu-malu seakan merasa malu.“Kenapa seluruh kota diculik?”Sam mengangkat bahu, tidak menjawab.“Aku serius,” kataku.“Kau benar-benar ingin tahu?”“Iya.”“Yah, teorinya pemerintah mengizinkan alienmelakukan penculikan demi teknologi.”“Oh, ya? Teknologi macam apa?” tanyaku.“Seperti chip untuk komputer super, formula untukbom, dan teknologi hijau. Semacam itu.”“Teknologi hijau ditukar spesimen hidup? Aneh.Kenapa alien mau menculik manusia?”“Agar mereka dapat mempelajari kita.”“Tapi kenapa? Maksudku, alasan apa yang mungkinmereka miliki?”“Agar ketika Kiamat tiba, mereka sudah tahukelemahan kita dan bisa mengalahkan kita denganmudah dengan menggunakan kelemahan itu.”Aku agak terkejut mendengar jawaban Sam, tapi ituhanya akibat adegan semalam yang masih terbayangdi benakku, ingatan mengenai senjata-senjata yangkulihat digunakan oleh kaum Mogadorian, dan hewanbuas mereka.“Bukankah mereka bisa mengalahkan kita denganmudah jika mereka sudah memiliki bom danteknologi yang jauh lebih hebat daripada yang kitamiliki?”“Yah, ada orang-orang yang berpikir bahwa merekaberharap kita bunuh diri dulu.”Aku memandang Sam. Dia tersenyum kepadaku,mencoba memutuskan apakah aku menanggapipercakapan itu dengan serius.“Kenapa mereka ingin kita bunuh diri? Apa untungnyabagi mereka?”“Karena iri.”“Iri kepada kita? Kenapa? Karena tampang kita yangganteng?”Sam tertawa. “Semacam itulah.”Aku mengangguk. Kami berlari tanpa berkata-kataselama semenit dan aku tahu Sam kesusahan, diaterengah-engah. “Kenapa kau tertarik dengan itusemua?”Sam mengangkat bahu. “Sekadar hobi,” katanya,walaupun aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.Kami menyelesaikan lari 1,5 kilometer itu denganwaktu delapan menit lima puluh Sembilan detik, lebihbaik daripada catatan waktu terakhir Sam. BernieKosar mengikuti murid-murid kembali ke sekolah.Murid-murid lain mengelusnya. Saat kami masuk kesekolah, Bernie Kosar berusaha untuk masuk bersamakami. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa tahu dimana aku berada. Apa mungkin anjing ini mengingatjalan ke sekolah pagi tadi saat di mobil? Sepertinyatak mungkin.Bernie Kosar diam di pintu. Aku berjalan ke ruangloker dengan Sam. Begitu bisa bernapas dengannormal kembali, dia membeberkan beribu-ribu teorikonspirasi lain, satu demi satu, yang sebagian besarmenggelikan. Aku menyukai Sam dan merasa dialucu, tapi kadang-kadang aku berharap dia berhentibicara.* * *

Page 42: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Saat kelas tata boga dimulai, Sarah tidak ada di kelas.Mrs. Benshoff memberikan instruksi selama sepuluhmenit pertama, lalu kami pindah ke dapur. Aku masukke dapurku sendirian. Menerima nasib bahwa hari iniaku akan memasak sendiri. Saat sedang memikirkanitu, Sarah masuk.“Apa aku melewatkan sesuatu yang asyik?”tanyanya.“Hanya sekitar sepuluh menit waktu berkualitasdenganku,” kataku sambil tersenyum.Sarah tertawa. “Aku sudah dengar tentang lokermutadi pagi. Maaf.”“Kau yang memasukkan pupuk kandang ke sana?”tanyaku.Sarah tertawa lagi. “Tentu saja bukan. Tapi aku tahumereka mengerjaimu karena aku.”“Mereka beruntung aku tidak menggunakan kekuatansuperku dan melemparkan mereka ke negara bagiantetangga.”Sarah mencengkeram bisepku menggoda. “Benar, iniotot yang besar. Kekuatan supermu. Wah, merekaberuntung.”Proyek kami hari itu adalah membuat cupcakeblueberry. Saat kami mengaduk adonan, Sarah mulaibercerita mengenai masa lalunya dengan Mark.Mereka berkencan selama dua tahun. Namun semakinlama mereka bersama, semakin jauh Sarah dariorangtua dan teman-temannya. Dia hanya menjadipacar Mark, hanya itu. Sarah sadar dia berubah. Diameniru sikap Mark terhadap orang-orang: menjadikasar dan suka mengecam, merasa lebih baikdaripada mereka. Ia juga terseret ke pergaulan yangsalah dan nilai-nilainya turun. Pada akhir tahun ajaranyang lalu, orangtuanya mengirim Sarah ke rumahbibinya di Colorado untuk menghabiskan musimpanas di sana. Saat di sana, dia sering hiking digunung, memotret pemandangan menggunakankamera bibinya. Sarah jatuh cinta dengan fotografi.Itu liburan musim panas terbaiknya. Dia sadar bahwahidup lebih berharga daripada sekadar menjadicheerleader atau pemandu sorak dan berpacarandengan quarterback tim football. Begitu tiba di rumah,Sarah memutuskan Mark dan berhenti daricheerleader. Dia juga berjanji akan menjadi orangyang baik dan ramah terhadap semua orang. Markbelum bisa menerima kenyataan itu. Sarah berkatabahwa Mark masih menganggap Sarah itu pacarnya,dan yakin Sarah akan kembali kepadanya. Sarahbilang satu-satunya hal yang dia rindukan dari Markadalah anjing-anjing Mark, yang selalu bermaindengannya saat Sarah main ke rumah Mark.Kemudian aku bercerita mengenai Bernie Kosar, danbagaimana anjing itu muncul di depan pintu rumahkami tanpa diduga setelah pagi pertama di sekolah.Kami bekerja sambil mengobrol. Sekali akumengulurkan tangan ke oven untuk mengambilloyang cupcake tanpa menggunakan sarung tangan.Sarah melihatnya dan bertanya apakah aku baik-baiksaja. Aku berpura-pura kesakitan, mengibas-ngibaskan tangan seolah terbakar, padahalsebenarnya aku tidak merasakan apa pun. Kami pergike bak cuci piring dan Sarah mengalirkan air hangatuntuk membantu mengobati luka bakar yang tidakada di sana. Ketika dia heran melihat tanganku, akuhanya mengangkat bahu. Saat menghias cupcake,Sarah bertanya mengenai ponselku dan berkatabahwa dia tahu hanya ada satu nomor di dalamnya.Aku memberitahunya bahwa itu nomor Henri danbahwa ponsel lamaku beserta semua nomor teleponteman-temanku hilang. Sarah bertanya apakah adapacar yang kutinggalkan saat pindah. Aku jawabtidak ada. Sarah tersenyum, senyuman yangmeluluhkan hatiku. Sebelum kelas berakhir, diamemberitahuku mengenai festival Halloween yangakan diadakan di kota, dan berkata bahwa dia

Page 43: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berharap bisa berjumpa denganku di sana. Mungkinkami bisa menghabiskan waktu berdua. Aku jawabya, pasti asyik, dan bersikap tenang, walaupunsebenarnya hatiku melambung.

CITRA-CITRA BERMUNCULAN, PADA WAKTU-WAKTUyang tak tentu, biasanya pada saat yang tidakkuduga. Terkadang citra itu kecil dan berlalu dengancepat―nenekku memegang segelas air dan membukamulut untuk mengucapkan sesuatu―tapi aku tidakpernah tahu apa yang dia katakan karena citra itulenyap secepat kemunculannya. Terkadang citra itutampak lama, seakan nyata: kakekku mendorongayunan yang kunaiki. Aku bisa merasakan kekuatantangannya saat dia mendorong ayunan, dan gejolakgeli di perutku saat ayunan turun. Suara tawakuterbawa angin. Lalu citra itu hilang. Terkadang akumengingat citra dari masa laluku dengan jelas, ingatbahwa aku menjadi bagian dari peristiwa itu. Tapikadang-kadang citra itu tampak baru seakan belumpernah terjadi.Saat berada di ruang tamu, ketika Henrimengusapkan kristal Loric di masing-masing lengankudan tanganku dijilati api, aku melihat ini: Aku masihkecil, mungkin tiga atau empat tahun. Aku berlari diatas rumput yang baru dipangkas di halaman depanrumah kami. Di sampingku ada binatang dengantubuh seperti anjing, tapi dengan bulu seperti harimau.Kepalanya bulat, dadanya kokoh, dan kakinyapendek. Tidak seperti hewan mana pun yang pernahkulihat. Binatang itu merunduk, bersiap melompat kearahku. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Hewan itumelompat. Aku mencoba menangkapnya, tapi akuterlalu kecil, lalu kami berdua jatuh ke rumput. Kamibergulat. Dia lebih kuat daripadaku. Lalu dia melompatke udara. Alih-alih jatuh ke tanah seperti yangkuduga, hewan itu malah berubah menjadi burungdan terbang ke atas sambil mengelilingiku, melayangdi luar jangkauanku. Dia berputar, lalu turun, melesatdi antara kakiku, dan mendarat sekitar enam meterdariku, lalu berubah wujud menjadi hewan sepertimonyet tanpa ekor. Dia merunduk rendah untukmenerjangku.Kemudian seorang laki-laki berjalan memasukihalaman. Dia masih muda, mengenakan pakaiankaret ketat berwarna perak dan biru. Seperti pakaianyang dikenakan penyelam. Dia berbicara kepadakudengan bahasa yang tidak kupahami. Dia menyebutnama “Hadley” dan mengangguk ke arah hewan itu.Hadley berlari ke arahnya, berubah wujud darimonyet menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatuyang mirip beruang dengan surai singa. Tinggi merekasama. Lalu laki-laki itu menggaruk bagian bawahdagu Hadley. Kemudian kakekku keluar dari rumah.Kakek tampak muda, tapi aku tahu usianya pastilahlima puluh tahun.Kakek bersalaman dengan lelaki itu. Mereka berbicara,tapi aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.Lalu lelaki itu memandangku dan tersenyum. Diamengangkat tangan. Tiba-tiba saja aku terangkat daritanah dan terbang di udara. Hadley mengikuti, dalamwujud burung lagi. Aku bebas mengendalikantubuhku. Tetapi lelaki itulah yang mengatur ke arahmana aku terbang, dengan menggerakkan tangannyake kiri atau ke kanan. Aku dan Hadley bermain diudara. Hadley menggelitikiku dengan paruhnya,sedangkan aku berusaha menangkapnya. Lalumataku mendadak terbuka dan citra itu hilang.“Kakekmu bisa membuat dirinya tak terlihat jika diamau,” kata Henri, lalu aku menutup mata kembali.Kristal itu bergerak ke atas lenganku, menyebarkanpenahan api ke seluruh tubuh. “Itu salah satu Pusakapaling langka. Kemampuan untuk menjadi tak terlihathanya dimiliki oleh satu persen dari bangsa kita, dankakekmu adalah salah satunya. Dia bisa membuat

Page 44: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dirinya dan apa pun yang dia sentuh menjadisepenuhnya tak kasat mata.“Suatu ketika dia mempermainkanku. Waktu itu akubelum tahu apa Pusaka yang dia miliki. Saat itu kauberumur tiga tahun dan aku baru mulai bekerjadengan keluargamu. Aku datang ke rumahmu padahari pertama. Tapi ketika aku menaiki bukit pada harikedua, keesokan harinya, rumah kalian tidak ada ditempatnya. Halaman, mobil, dan pohonnya ada, tapirumahnya tidak. Kupikir aku sudah gila. Aku punberjalan melewatinya. Saat sadar telah berjalanterlalu jauh, aku pun berbalik. Sekonyong-konyong,dari kejauhan, aku melihat rumah itu padahal akuberani sumpah rumah itu tadinya tidak ada di sana.Jadi aku berjalan kembali ke arah rumah itu. Tapi saatsudah dekat, rumah itu hilang lagi. Aku pun berhentidan berdiri memandangi tempat di mana rumah ituseharusnya berada, tapi aku hanya melihatpepohonan di belakang rumah. Jadi aku terusberjalan. Baru pada kali ketiga kakekmu membiarkanrumah itu terlihat. Dia tidak bisa berhenti tertawa.Kami selalu tertawa mengingat peristiwa hari itu.Bahkan selama satu setengah tahun berikutnya.Selalu.”Saat membuka mata, aku kembali berada di medanpertempuran. Ada lebih banyak ledakan, kebakaran,kematian.“Kakekmu orang yang baik,” kata Henri. “Dia sukamembuat orang tertawa. Dia senang menceritakanlelucon. Rasanya tak pernah aku meninggalkanrumahmu tanpa sakit perut akibat tertawa terpingkal-pingkal.”Langit berubah merah. Sebuah pohon membelahudara, dilemparkan oleh seorang lelaki berpakaianperak dan biru, yang tadi kulihat di rumah. Pohon itumenghantam dua Mogadorian. Aku ingin bersorak-sorai. Tapi apa gunanya menyoraki itu? Berapa punjumlah Mogadorian yang terbunuh, akhir dariperistiwa hari itu tidak akan berubah. Bangsa Lorictetap kalah, semuanya mati. Aku tetap dikirim keBumi.“Aku tidak pernah melihat kakekmu marah. Saatsemua orang kehilangan kesabaran, saat merekadilanda stres, kakekmu tetap tenang. Biasanyakemudian kakekmu akan menceritakan leluconterbaiknya, dan semua orang akan tertawa lagi.”Hewan buas Mogadorian yang berukuran kecilmenyasar anak-anak. Anak-anak itu tak berdaya,berdiri ketakutan sembari memegang kembang apidari pesta perayaan. Itu sebabnya mengapa kamikalah. Hanya ada sedikit Loric yang bertempurmelawan hewan-hewan buas, yang lainnya berusahamenyelamatkan anak-anak.“Nenekmu berbeda dari kakekmu. Nenekmu orangyang tenang dan pendiam, serta sangat cerdas. Kakekdan nenekmu saling melengkapi satu sama lain.Kakekmu orang yang periang. Nenekmu bekerja dibalik layar agar segala sesuatunya berjalan sesuairencana.”Tinggi di langit sana, aku masih bisa melihat jejakasap biru dari pesawat yang membawa kami keBumi, membawa kami bersembilan beserta paraPenjaga kami. Kemunculan pesawat itu membuatpara Mogadorian bingung.“Lalu ada Julianne, istriku.”Di kejauhan terdengar bunyi ledakan. Bunyinya miripdengan bunyi roket Bumi yang sedang lepas landas.Pesawat lain meroket ke udara, ada berkas api dibelakangnya. Awalnya pelan, namun kemudiankecepatannya bertambah. Aku bingung. Pesawatkami tidak menggunakan api untuk lepas landas,karena tidak menggunakan minyak atau bensin.Pesawat Loric mengeluarkan sedikit jejak asap biruyang berasal dari kristal yang digunakan sebagaisumber tenaga pesawat, bukan api seperti di pesawat

Page 45: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kedua. Jika dibandingkan dengan pesawat pertama,pesawat kedua tampak lambat dan kikuk. Namunpesawat itu berhasil lepas landas, meroket ke udara,menambah kecepatan. Henri tidak pernah berceritamengenai pesawat kedua. Siapa yang ada di pesawatkedua itu? Ke mana perginya? Para Mogadorianberteriak dan menunjuk ke pesawat itu. ParaMogadorian kembali bingung dan cemas, dan untuksesaat para Loric di atas angin.“Dia memiliki mata paling hijau yang pernah kulihat,hijau terang seperti zamrud, dan hari sebesar PlanetLorien itu sendiri. Selalu membantu orang lain, seringmembawa hewan dan memeliharanya. Aku tidakpernah tahu apa yang dia sukai dari diriku.”Hewan buas yang besar telah kembali, bermatamerah dan tanduk raksasa. Liur bercampur darahmenetes dari gigi-gigi setajam silet yang begitu besarsehingga tidak dapat ditampung dalam mulutnya.Lelaki dengan pakaian berwarna perak dan biruberdiri tepat di depan hewan itu. Dia mencobamengangkat hewan itu dengan kekuatannya. Diaberhasil mengangkatnya beberapa puluh sentimeterdari tanah, namun dia kepayahan dan tidak bisamengangkat lebih tinggi. Hewan itu meraung,meronta, dan jatuh kembali ke tanah. Hewan ituberusaha melawan kekuatan si lelaki, tapi tidakberhasil mematahkannya. Si lelaki mengangkathewan itu lagi. Keringat dan darah di wajahnyatampak berkilau di bawah sinar bulan. Lalu lelaki itumenghantamkan tangan ke samping dan hewan itujatuh ke samping. Tanah berguncang. Guntur dan kilatmemenuhi langit, namun hujan tidak turun.“Julianne biasa tidur larut malam, dan aku selalubangun sebelum dirinya. Biasanya setelah bangun akududuk di ruang baca dan membaca koran, lalumenyiapkan sarapan, kemudian pergi jalan pagi.Biasanya saat aku kembali, dia masih tidur. Akubukan orang yang sabar, tidak bisa menunggu untukmengawali hari bersama-sama. Aku langsung merasanyaman begitu berada di dekat Julianne. Kemudianbiasanya aku masuk dan mencobamembangunkannya. Lalu biasanya dia menarikselimut ke atas kepalanya dan menggerutu. Setiappagi selalu begitu.”Hewan itu memukul tapi si lelaki masih memegangkendali. Garde lain bergabung dalam pertarungan itu.Masing-masing dari mereka menggunakankekuatannya melawan hewan raksasa itu, api danpetir menghujaninya, rentetan laser menghantamnyadari segala penjuru. Sebagian Garde melawan dengankekuatan yang tak terlihat. Mereka berdiri jauh darihewan itu dan mengangkat tangan sambilberkonsentrasi. Lalu di atas sana, di langit yang takberawan, badai terbentuk. Sebuah awan raksasamenjadi semakin besar dan bersinar sertamengumpulkan energi. Semua Garde bersatu padumembantu membuat badai besar ini. Lalu akhirnya,sebuah petir raksasa menyambar hewan itu. Hewanitu pun mati.“Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa siapa punlakukan? Yang ada di pesawat itu hanya sembilanbelas Loric. Satu pilot yang membawa kita ke sini, lalukita berdelapan belas―sembilan anak dan sembilanCêpan yang dipilih hanya karena kita kebetulanberada di sana malam itu. Kami, para Cêpan, tidakdapat bertempur. Lagi pula jika kami bisa bertempur,apa yang dapat kami lakukan? Para Cêpan adalahbirokrat, bertugas untuk menjaga agar planet tetapberjalan, bertugas untuk mengajar, bertugas untukmelatih Garde baru memahami dan mengendalikankekuatan mereka. Kami bukan petarung. Kami tidakberguna sebagai petarung. Kami akan mati sepertiyang lain. Yang bisa kami lakukan hanyalah pergi.Pergi denganmu untuk tetap hidup dan agar suatuhari nanti dapat mengembalikan kejayaan planet

Page 46: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

terindah di seluruh jagat raya.”Aku menutup mata. Saat kembali kubuka mataku,pertempuran telah berakhir. Asap membubung diantara yang mati dan yang sekarat. Pohon-pohonpatah, hutan terbakar. Tidak ada yang berdiri kecualibeberapa Mogadorian yang hidup dan akanmenceritakan kisah mengenai pertempuran ini.Matahari terbit di selatan dan cahaya pucat mulaimenerangi tanah tandus bersimbah warna merah.Tumpukan-tumpukan tubuh, tidak semuanya utuh,tidak semuanya lengkap. Di atas salah satu tumpukanitu terlihat si lelaki berbaju perak dan biru, matiseperti yang lain. Tubuhnya tampak seperti takterluka, tapi dia mati seperti yang lain.Mataku mendadak terbuka. Aku tidak bisa bernapas.Mulutku kering dan panas.“Sini,” kata Henri. Dia membantuku turun dari mejakopi, membimbingku ke dapur dan menarik kursiuntukku. Air mata merebak di mataku walaupun akuberkedip untuk menghilangkannya. Henrimembawakan segelas air dan aku menenggak setiaptetesnya tanpa henti. Aku mengembalikan gelas itudan Henri mengisinya kembali. Aku menundukkankepala, masih berusaha bernapas. Kuminum habis airdi gelas kedua, lalu menatap Henri.“Mengapa kau tidak pernah bercerita mengenaipesawat kedua?” tanyaku.“Kau bicara apa?”“Ada pesawat kedua,” kataku.“Di mana ada pesawat kedua?”“Di Lorien. Saat kita pergi. Pesawat kedua. Yang lepaslandas setelah pesawat kita.”“Tak mungkin,” katanya.“Kenapa tak mungkin?”“Karena pesawat yang lain hancur. Aku melihatnyadengan mataku sendiri. Saat para Mogadorianmendarat, mereka menyerang pangkalan udara kita.Kita pergi dengan satu-satunya pesawat yang selamatdari serangan mereka. Suatu keajaiban kita berhasilpergi.”“Aku melihat pesawat kedua. Sumpah. Tapibentuknya nggak seperti pesawat yang lain. Pesawatitu menggunakan bahan bakar minyak, ada bola apidi belakangnya.”Henri menatapku lekat-lekat. Dia berpikir keras,dahinya berkerut.“Kau yakin, John?”“Ya.”Henri bersandar di kursi, memandang ke luar jendela.Bernie Kosar ada di luar, menatap kami berdua.“Pesawat itu berhasil meninggalkan Lorien,” kataku.“Aku menyaksikannya hingga pesawat itu hilang.”“Tak masuk akal,” kata Henri. “Aku tak mengertibagaimana itu bisa terjadi. Tak ada pesawat yangtersisa.”“Ada pesawat kedua,” kataku.Kami duduk diam untuk waktu yang lama.“Henri?”“Ya?”“Apa yang ada di pesawat itu?”Henri menatapku.“Aku tak tahu,” katanya. “Aku benar-benar tidaktahu.”* * *Kami duduk di ruang tamu, api menyala di perapian,Bernie Kosar di pangkuanku. Bunyi letupan yangsesekali terdengar memecah keheningan.“Menyala!” kataku sambil menjentikkan jari. Tangankananku bersinar, tidak seterang sebelumnya, tapimendekati. Dalam waktu singkat sejak Henri mulaimelatihku, aku belajar mengontrol sinar di tanganku.Aku bisa membuat sinar itu berkumpul. Aku juga bisamembuatnya melebar, seperti lampu rumah. Aku punbisa membuatnya mengecil dan menyorot, sepertisenter. Aku bisa mengendalikan kekuatanku lebih

Page 47: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

cepat daripada yang kuduga. Cahaya di tangan kirikusudah mulai terang, tapi masih tetap lebih redupdibandingkan tangan kanan. Aku menjentikkan jaridan berkata “menyala” hanya untuk pamer.Sebenarnya aku tidak perlu melakukan itu semuauntuk mengendalikan cahayanya, atau untukmenyalakannya. Aku bisa melakukannya denganmudah, semudah menggerakkan jari ataumengedipkan mata.“Menurutmu kapan Pusaka lain akan muncul?”tanyaku.Henri mendongak dari surat kabar yang dia baca.“Segera,” katanya. “Harusnya Pusaka berikut mulaimuncul bulan ini, apa pun jenisnya. Kau hanya perlumemperhatikan dengan saksama. Tidak semuakekuatan akan menampakkan tanda yang jelasseperti tanganmu.”“Berapa lama hingga semuanya muncul?”Henri mengangkat bahu. “Terkadang perlu satu bulanhingga semua kekuatan itu muncul, terkadang perlusatu tahun. Setiap Garde berbeda-beda. Tapi berapalama pun itu, Pusaka utamamu tetap yang terakhirmuncul.”Aku menutup mata dan bersandar di sofa. Akumemikirkan Pusaka utamaku, kekuatan yangmemungkinkanku bertarung. Aku tidak tahu kekuatanapa yang kuinginkan. Laser? Kemampuanmengendalikan pikiran? Kemampuan mengendalikancuaca seperti yang kulihat dilakukan oleh orangberpakaian perak dan biru itu? Atau apakah akumenginginkan kekuatan yang lebih gelap, lebihmengerikan, seperti kemampuan untuk membunuhtanpa menyentuh?Aku membelai punggung Bernie Kosar dan menatapHenri. Dia mengenakan topi tidur dengan kacamata diujung hidungnya, mirip tikus di buku cerita.“Mengapa pada hari itu kita berada di lapanganterbang?” tanyaku.“Kita di sana untuk melihat pertunjukan udara.Setelah pertunjukan itu selesai, kita berjalan-jalan kebeberapa pesawat.”“Apa hanya itu alasannya?”Henri menatapku dan mengangguk. Henri menelanludah, membuatku berpikir bahwa diamenyembunyikan sesuatu.“Lalu, bagaimana cara menentukan bahwa kita yangpergi?” tanyaku. “Maksudku, pastinya rencana sepertiitu memerlukan lebih banyak waktu, kan?”“Kita tidak lepas landas hingga tiga jam setelahserbuan dimulai. Kau tidak ingat sedikit pun tentangitu?”“Hanya sedikit sekali.”“Kita bertemu kakekmu di patung Pittacus. Diamenyerahkanmu kepadaku. Lalu dia memberitahukuuntuk membawamu ke lapangan terbang, dan bahwaitu kesempatan kita satu-satunya. Di bawah lapanganterbang ada sebuah bangunan bawah tanah.Kakekmu bilang selalu ada rencana cadangan kalau-kalau terjadi sesuatu, tapi rencana itu tidak pernahdianggap serius karena ancaman akan adanyaserangan tampaknya begitu menggelikan. Seperti disini, di Bumi. Jika sekarang kau memberi tahumanusia mana pun bahwa ada ancaman seranganalien, yah, mereka akan menertawakanmu. Sepertiitulah di Lorien. Aku bertanya bagaimana dia bisa tahumengenai rencana itu. Tapi kakekmu tidak menjawab,dia hanya tersenyum dan mengucapkan selamatjalan. Pasti tak ada Loric yang benar-benar tahumengenai rencana itu, atau mungkin hanya sedikityang tahu.”Aku mengangguk. “Jadi begitu saja, kalian memilikirencana untuk datang ke Bumi?”“Tentu tidak. Salah satu Tetua Lorien menemui kita dilapangan terbang. Dialah yang memantrai kaliandengan mantra pelindung Loric, yang membentuk cap

Page 48: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

di mata kakimu dan mengikat kalian semua, danmemberi jimat kepada masing-masing dari kalian. Diabilang kalian anak-anak istimewa, anak-anak yangdiberkahi, kurasa maksudnya karena kalianmendapatkan kesempatan melarikan diri. Awalnyakami berencana untuk lepas landas dan menungguserbuan itu berakhir, menunggu bangsa Loricmelawan dan menang. Tapi itu tidak pernah terjadi…,”katanya, dengan suara yang semakin lirih. Lalu Henrimendesah. “Kita berada di orbit selama satu minggu.Itu waktu yang diperlukan oleh para Mogadorianuntuk mengambil segalanya dari Lorien. Setelah jelasbahwa kita tidak bisa kembali, kita pergi ke Bumi.”“Kenapa Tetua itu tidak memantrai kami agar kamitidak bisa dibunuh, daripada menggunakan mantrayang memungkinkan kami dibunuh sesuai urutan?”“Hanya itu yang bisa dilakukan, John. Kalau kaumaksudkan kemampuan yang tak terkalahkan, itutidak mungkin.”Aku mengangguk. Mantra pelindung hanya bisamelindungi kami hingga sejauh itu. Jika salah satuMogadorian mencoba membunuh kami tidak sesuaiurutan, apa pun yang ingin dia lakukan terhadap kamiakan berbalik dan mengenainya. Jika dia mencobamenembak kepalaku, pelurunya justru akanmenembus kepalanya. Tapi sekarang tidak lagi.Sekarang jika mereka menangkapku, aku mati.Aku duduk diam selama beberapa lama memikirkanitu semua. Lapangan terbang. Satu-satunya TetuaLorien yang tersisa, yang memantrai kami, Loridas,sudah mati. Para Tetua adalah penghuni pertamaLorien, yang menjadikan Planet Lorien seperti yangkami kenal. Awalnya ada sepuluh Tetua, dan merekamemiliki semua Pusaka. Begitu tua, begitu lamasehingga mereka lebih seperti legenda daripadakenyataan. Selain Loridas, tidak ada yang tahu apayang terjadi dengan para Tetua yang lain, apakahmereka mati atau belum.Aku mencoba mengingat seperti apa rasanyamengitari Planet Lorien dan menanti apakah kami bisakembali, tapi aku tidak ingat apa pun. Aku bisamengingat beberapa hal dari perjalanan ke Bumi.Bagian dalam pesawat yang kami gunakan berbentukbundar dan terbuka. Hanya dua buah kamar mandisaja yang memiliki pintu. Ada tempat tidur lipat yangdirapatkan ke salah satu sisi. Sisi yang lain digunakanuntuk berolahraga dan bermain agar kami tidakterlalu gelisah. Aku tidak ingat wajah yang lainnya.Aku tidak ingat permainan apa yang kami mainkan.Aku ingat waktu itu aku merasa bosan, sepanjangtahun berada di dalam pesawat dengan tujuh belasLoric lainnya. Ada boneka binatang yang menemanikutidur pada malam hari. Walaupun yakin ingatankusalah, aku sepertinya ingat bahwa boneka itu jugabermain.“Henri?”“Ya?”“Aku selalu melihat citra seorang lelaki denganpakaian berwarna perak dan biru. Aku melihatnya dirumah kami, dan juga di medan perang. Dia bisamengendalikan cuaca. Lalu aku melihatnya mati.”Henri mengangguk. “Setiap kali kembali, kau hanyabisa melihat peristiwa-peristiwa yang ada kaitannyadenganmu.”“Laki-laki itu ayahku, kan?”“Ya,” jawab Henri. “Seharusnya dia tidak seringberkunjung, tapi dia tetap melakukannya. Dia seringmengunjungimu.”Aku mendesah. Ayahku telah berjuang dengan gagahberani, membunuh hewan buas dan banyak prajurit.Tapi pada akhirnya tetap kalah.“Apa kita benar-benar bisa menang?”“Apa maksudmu?”“Dulu kita dikalahkan dengan begitu mudah. Jika kitaditemukan, apa mungkin hasilnya bakal berbeda?

Page 49: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Bahkan jika kami telah memiliki semua Pusaka, saatkami akhirnya berkumpul dan siap untuk bertempur,apa kami punya harapan dalam melawan makhlukseperti itu?”“Harapan?” kata Henri. “Selalu ada harapan, John. Kitabelum melihat perkembangan terbaru. Kita belummendapatkan semua informasi. Tidak. Jangan putusasa. Jangan pernah berputus asa. Saat kau kehilanganharapan, segalanya pun musnah. Saat kau pikirsemua telah berakhir, ketika segala sesuatu tampakburuk dan sia-sia, harapan itu selalu ada.”

DUA MINGGU SETELAH KAMI TIBA DI PARADISE. Dihari Sabtu, aku dan Henri pergi menyaksikanHalloween. Kurasa keterpencilan merasuki kamiberdua. Bukannya kami tidak terbiasa denganketerpencilan, kami justru terbiasa. Tapi keterpencilandi Ohio berbeda dari tempat-tempat lain. Ada suatukeheningan yang berbeda di sini, rasa sepi yang khas.Hari itu dingin, matahari sesekali mengintip malu-maludari balik awan putih tebal yang berarak di ataskepala. Kota sangat sibuk. Semua anak mengenakankostum. Kami membeli tali anjing untuk Bernie Kosar,yang mengenakan mantel Superman di punggung danhuruf “S” besar di dada. Anjing itu tampak tidakterkesan. Bernie Kosar bukan satu-satunya anjingyang mengenakan kostum pahlawan super.Henri dan aku berdiri di trotoar di depan Hungry Bear,kedai yang ada di dekat bundaran pusat kota, untukmenonton pawai. Kliping artikel Gazette mengenaiMark James tergantung di jendela depannya. Dalamfoto itu Mark memakai jaket football dan berdiri digaris 50 yard di tengah lapangan football. Dia berposedengan tangan disilangkan di depan dada, kaki kananmenginjak bola football, serta seringai percaya diri diwajahnya. Bahkan aku pun harus mengakui bahwaMark tampak mengesankan.Henri melihatku menatap kertas itu.“Itu temanmu, kan?” tanyanya sambil tersenyum.Sekarang Henri sudah tahu kejadiannya, mulai darisaat aku hampir berkelahi, hingga pupuk kandang,dan juga bahwa aku naksir mantan pacar Mark. Sejakmengetahui semua itu, Henri menyebut Mark sebagai“teman”ku.“Teman terbaikku,” aku membetulkan Henri.Lalu marching band mulai bermain. Mereka memimpinpawai, diikuti berbagai kendaraan hias bertemaHalloween, salah satunya membawa Mark dansejumlah pemain football. Ada yang dari kelasku, adayang tidak kukenal. Mereka melemparkan segenggampermen kepada anak-anak. Lalu Mark melihatku danmenyenggol anak di sampingnya―Kevin, anak yangselangkangannya kutendang di kantin. Markmenunjuk ke arahku dan mengatakan sesuatu.Mereka tertawa.“Itu anaknya?” tanya Henri.“Ya.”“Tampak berengsek.”“Sudah kubilang.”Di belakangnya berjalan pemandu sorak, memakaiseragam dengan rambut diikat ke belakang. Merekasemua tersenyum dan melambai ke arah penonton.Sarah berjalan di samping mereka, memotret. Diamemotret mereka saat beraksi, saat melompat, dansaat bersorak. Walaupun Sarah hanya mengenakanjins dan tidak berdandan, dia jauh lebih cantikdaripada mereka. Kami semakin sering mengobrol disekolah, dan aku tak bisa berhenti memikirkannya.Henri melihatku memandangi Sarah.Lalu dia kembali menonton pawai. “Itu Sarah, ya?”“Ya, itu dia.”Sarah melihatku dan melambai, lalu menunjukkamera. Dia akan ke tempatku tapi masih inginmemotret. Aku tersenyum dan mengangguk.“Yah,” kata Henri. “Aku bisa melihat daya tariknya.”

Page 50: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Kami menonton pawai itu. Wali kota Paradise lewat,duduk di kursi belakang sebuah mobil merah denganatap terbuka. Dia melemparkan permen ke arahanak-anak. Pasti hari ini banyak anak yang senangluar biasa, pikirku.Aku merasakan seseorang menepuk bahuku. Akuberbalik.“Sam Goode. Lagi apa?”Sam mengangkat bahu. “Nggak ada. Kalau kamu?”“Nonton pawai. Ini ayahku, Henri.”Sam dan Henri berjabat tangan. Henri berkata, “Johnbanyak bercerita tentang dirimu.”“Oh, ya?” kata Sam meringis.“Betul,” jawab Henri. Dia diam sebentar lalutersenyum. “Kau tahu, aku banyak membaca.Mungkin kau juga sudah pernah mendengarnya. Kautahu bahwa alienlah yang menyebabkan badaiberpetir? Mereka membuat badai agar bisa memasukiplanet kita tanpa ketahuan. Badai itu pengalihperhatian. Lalu petir yang terlihat itu sebenarnyaberasal dari pesawat ruang angkasa yang memasukiatmosfer Bumi.”Sam tersenyum dan menggaruk-garuk kepala. “Ah,masa?” katanya.Henri mengangkat bahu. “Begitulah yang kudengar.”“Oke,” kata Sam, sangat ingin menyaingi Henri. “Andatahu bahwa dinosaurus sebenarnya tidak punah? Paraalien begitu terpesona dengan dinosaurus sehinggamereka memutuskan untuk mengumpulkan danmembawa semua dinosaurus ke planet mereka.”Henri menggelengkan kepala. “Aku tak tahu itu,”katanya. “Kau tahu bahwa monster Loch Ness itusebenarnya hewan dari Planet Trafalgra? Merekamembawanya ke sini sebagai eksperimen. Merekaingin melihat apakah hewan itu bisa bertahan hidup,dan ternyata memang bisa. Tapi saat manusia melihatLoch Ness, para alien itu membawanya pulang. Itulahsebabnya mengapa orang tak pernah melihat monsterLoch Ness lagi.”Aku tertawa. Bukan menertawakan teori itu, tapinama Trafalgra. Tidak ada planet bernama Trafalgra.Aku penasaran apakah Henri baru sajamengarangnya.“Apa Anda tahu bahwa piramid Mesir dibangun olehpara alien?”“Aku sudah mendengar yang itu,” kata Henri,tersenyum. Baginya itu lucu karena sebenarnya alientidak membangun piramid. Piramid dibangun denganpengetahuan dan bantuan dari Lorien. “Kau tahubahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 21 Desember2012?”Sam mengangguk dan meringis. “Ya, saya sudahdengar yang itu. Tanggal kedaluwarsa Bumi, akhir darikalender Maya.”“Tanggal kedaluwarsa?” Aku ikut nimbrung. “Seperti,tanggal ‘sebaiknya digunakan sebelum’ yang dicetakdi kotak susu? Memangnya Bumi bakal basi?”Aku menertawakan leluconku, tapi Sam dan Henritidak peduli.Lalu Sam berkata, “Apakah Anda tahu bahwa cropcircle―bentuk lingkaran, geometri, atau citra makhlukhidup yang berukuran besar dan biasanya ditemukandi lading pertanian, khususnya gandum―dulunyadigunakan sebagai alat navigasi oleh ras alienAgharia? Tapi itu ribuan tahun lalu. Sekarang cropcircle hanya dibuat oleh para petani yang bosan.”Aku tertawa lagi. Aku sangat ingin bertanya orangmacam apa yang membuat teori konspirasi alien jikasebenarnya petani yang bosanlah yang membuat cropcircle, namun aku tidak melakukannya.“Bagaimana dengan Centuri?” tanya Henri. “Kau tahutentang mereka?”Sam menggelengkan kepala.“Mereka itu ras alien yang tinggal di pusat Bumi.Mereka suka bertengkar dan selalu berselisih. Saat

Page 51: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mereka mengalami perang saudara, pengaruhnyaterasa hingga ke permukaan bumi. Itulah sebabnyamengapa terjadi gempa bumi dan gunung meletus.Tsunami tahun 2004? Itu karena putri raja Centurihilang.”“Apakah mereka berhasil menemukan putri itu?”tanyaku.Henri menggelengkan kepala dan memandangku. Laludia kembali memandang Sam, yang masih tersenyumkarena permainan menarik ini. “Tidak pernah. Paraahli teori yakin putri itu bisa berubah wujud dansekarang hidup di suatu tempat di Amerika Selatan.”Teori Henri sangat bagus. Kurasa tidak mungkin Henrimengarangnya secepat itu. Aku berdiri dan benar-benar merenungkannya. Padahal aku tahu bahwapada kenyataannya tidak ada makhluk yang hidup dipusat bumi, dan belum pernah mendengar ras alienbernama Centuri.“Anda tahu…” Sam berhenti. Kupikir Henri telahmengungguli Sam. Namun saat aku berpikir sepertiitu, Sam mengatakan sesuatu yang begitumengerikan sehingga teror merasuki benakku.“Apa Anda tahu bahwa para Mogadorian memilikimisi untuk menaklukkan seluruh jagat raya? Merekasudah menghabisi sebuah planet dan selanjutnyaberencana untuk menghabisi Bumi. Mereka di siniuntuk mencari kelemahan manusia sehingga bisamengalahkan kita saat perang dimulai.”Aku melongo. Henri tercengang menatap Sam. Diamenahan napas. Tangannya mencengkeram cangkirkopi hingga aku takut cangkir itu remuk jikacengkeramannya menguat. Sam melihat sekilas kearah Henri, lalu aku.“Kalian berdua seperti baru melihat hantu. Apa iniartinya aku menang?”“Darimana kau dengar kabar itu?” tanyaku. Henrimenatapku begitu tajam sehingga aku berpikirseharusnya tadi aku tetap diam.“Dari They Walk Among Us.”Henri masih tidak bisa bereaksi. Dia membuka mulutuntuk berbicara tapi tidak bisa. Lalu seorang wanitamungil berdiri di belakang Sam, memotongpercakapan.“Sam,” katanya. Sam berbalik dan memandangwanita itu. “Dari mana saja kau?”Sam mengangkat bahu. “Aku dari tadi di sini.”Wanita itu mendesah. Kemudian dia menyapa Henri,“Hai, saya ibunya Sam.”“Henri,” kata Henri, dan menjabat tangan ibu Sam.“Senang berkenalan dengan Anda.”Wanita itu membelalak terkejut. Sepertinya logatbicara Henri membuat wanita itu senang.“Ah bon! Vous parlez français? C’est super! J’aipersonne avec qui je peux parler français depuis long-temps.”Henri tersenyum. “Maaf. Saya sebenarnya tidak bisaberbahasa Prancis. Saya tahu logat bicara sayaterdengar seperti itu.”“Tidak?” Wanita itu kecewa. “Sayang. Padahal sayapikir akhirnya ada sesuatu yang berkelas di kota ini.”Sam memandangku dan memutar matanya.“Ayo, Sam, kita pergi,” kata wanita itu.Sam mengangkat bahu. “Apa nanti kalian akan ketaman dan naik gerobak jerami?”Aku menatap Henri, lalu Sam. “Ya, tentu,” kataku.“Kau?”Sam mengangkat bahu.“Mungkin nanti kita bisa bertemu di sana,” kataku.Sam tersenyum dan mengangguk. “Oke.”“Ayo, Sam. Dan mungkin kau tak bisa ikut naikgerobak jerami. Aku perlu bantuanmu di rumah,” kataibunya. Sam mengatakan sesuatu tapi ibunya berjalanpergi. Sam mengikutinya.“Wanita yang sangat ramah,” kata Henri sarkastis.* * *

Page 52: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Kok kau bisa mengarang semua itu?” tanyaku.Orang-orang mulai bergerak ke Jalan Utama,menjauhi bundaran. Henri dan aku mengikuti ketaman, di sana disediakan sari buah apel danmakanan.“Kalau kau sering berbohong, kau akan terbiasa.”Aku mengangguk. “Jadi bagaimana menurutmu?”Henri menarik napas panjang danmengembuskannya. Udara cukup dingin sehingga akubisa melihat uap napasnya. “Entahlah. Aku tak tahuharus berpikir apa. Dia membuatku kaget.”“Dia membuat kita kaget.”“Kita akan menyelidiki majalah tempat Sammendapatkan infromasi, mencari tahu siapa yangmenulisnya dan di mana ditulisnya.”Henri menatapku penuh harap.“Apa?”“Kau harus mendapatkan satu eksemplar,” katanya.“Oke,” jawabku. “Tapi ini tetap tak masuk akal.Bagaimana bisa ada orang yang tahu tentang itu?”“Pasti diberitahu entah dari mana.”“Menurutmu salah satu dari kita?”“Bukan.”“Kau pikir mungkin mereka?”“Bisa jadi. Aku tak pernah berpikir untuk mengecekteori-teori konspirasi omong kosong itu. Mungkinmereka pikir kita membaca teori semacam itu danbisa menemukan kita dengan membocorkan informasiseperti itu. Maksudku…” Henri berhenti, berpikirsebentar. “Entahlah, John. Aku tak tahu. Tapi kitatetap harus mengeceknya. Ini bukan kebetulan. Pasti.”Kami berjalan tanpa berbicara, masih agak terkejut,sambil memikirkan berbagai penjelasan yangmungkin. Bernie Kosar berlari di antara kami, lidahterjulur, mantelnya merosot ke salah satu sisi dandiseret sepanjang trotoar. Anak-anak menyukainyadan banyak yang menghentikan kami untukmembelai Bernie Kosar.Taman itu terletak di ujung selatan kota. Di pagarsebelah sana ada dua buah danau yang terletakberdampingan dan dipisahkan oleh segaris tanah yangmengarah ke hutan di kejauhan. Taman itu sendiriterdiri atas tiga lapangan bisbol, sebuah tamanbermain, dan sebuah paviliun besar tempat pararelawan menyajikan sari buah apel dan pie labu. Tigagerobak jerami diparkir di tepi jalan kerikil, denganpapan besar bertuliskan:UJI KEBERANIAN!GEROBAK JERAMI HALLOWEEN BERHANTUMULAI SAAT MATAHARI TERBENAM5 DOLAR PER ORANGJalur jalan kerikil berubah menjadi jalan tanahsebelum mencapai hutan. Pintu masuk ke hutandihiasi dengan potongan gambar karikatur hantu danmonster. Tampaknya gerobak jerami berhantu ituakan melintasi hutan. Aku mencari Sarah tapi tidakmelihatnya di mana pun. Aku penasaran apakah diabakal naik gerobak jerami.Henri dan aku memasuki paviliun. Para pemandusorak berkumpul di satu sisi, sebagian melukis wajahanak-anak dengan tema Halloween, yang lainnyamenjual tiket undian yang akan diundi pada pukulenam sore.“Hai, John,” terdengar suara dari belakangku. Akuberbalik dan mendapati Sarah di sana, memegangkameranya. “Bagaimana pawainya?”Aku tersenyum dan menyelipkan tangan ke dalamsaku celanaku. Ada hantu putih kecil yang dilukis dipipinya.“Hei, kamu,” kataku. “Bagus. Kurasa aku mulaiterbiasa dengan daya tarik kota kecil Ohio ini.”“Daya tarik? Maksudmu membosankan, ya?”Aku mengangkat bahu. “Entah. Kota ini nggak burukkok.”“Hei, anjing kecil dari sekolah. Aku ingat kamu,” kata

Page 53: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Sarah, membungkuk membelai Bernie Kosar. BernieKosar mengibas-ngibaskan ekor dengan cepat,melompat-lompat, dan mencoba menjilat wajahSarah. Sarah tertawa. Aku menoleh ke belakang.Henri sekitar enam meter dariku, berbicara dengan ibuSarah di salah satu meja piknik. Aku ingin tahu apayang mereka bicarakan.“Kurasa dia menyukaimu. Namanya Bernie Kosar.”“Bernie Kosar? Itu nggak cocok buat anjing selucu ini.Lihat mantelnya. Imut banget.”“Tahu nggak? Kalau kau terus begitu bisa-bisa akucemburu kepada anjingku sendiri,” kataku.Sarah tersenyum dan berdiri.“Jadi apa kau mau membeli tiket undian dariku? Iniuntuk membangun kembali tempat penampunganbinatang non-komersial di Colorado yang bulan laluhancur akibat kebakaran.”“Oh, ya? Lalu bagaimana bisa seorang gadis dariParadise, Ohio, tahu tentang penampungan binatangdi Colorado?”“Dari bibiku. Aku berhasil meyakinkan semua gadis ditim cheerleader untuk berpartisipasi. Kami akan pergike sana dan membantu pembangunannya. Kami akanmembantu hewan-hewan dan meninggalkan sekolahserta Ohio selama satu minggu. Ini situasi yangmenguntungkan bagi siapa pun.”Aku membayangkan Sarah mengenakan helmbangunan dan memegang palu. Pikiran itumembuatku meringis. “Jadi maksudmu aku haruskerja di dapur sendirian selama satu minggu?” Akuberpura-pura mendesah kesal dan menggelengkankepala. “Aku nggak yakin mau mendukungperjalanan seperti itu, bahkan jika itu untuk parabinatang.”Sarah tertawa dan meninju lenganku. Akumengeluarkan dompet dan memberinya lima dolaruntuk enam tiket.“Ini tiket keberuntungan,” katanya.“Masa?”“Jelas, dong. Kau kan membelinya dariku.”Lalu, melalui bahu Sarah, aku bisa melihat Mark danteman-teman laki-lakinya berjalan menuju paviliun.“Apa kau mau naik gerobak jerami berhantu malamini?” tanya Sarah.“Yeah, aku sedang mempertimbangkannya.”“Kau harus naik. Asyik, lho. Semua orang naik. Lagipula, memang benar-benar mengerikan.”Mark melihat Sarah dan aku mengobrol, dancemberut. Dia berjalan ke arah kami. Tetapmengenakan pakaian yang sama―jaket football,celana jins biru, rambut penuh minyak rambut.“Kau ikut?” tanyaku.Sebelum Sarah menjawab, Mark menyela. “Kau sukapawainya, Johnny?” tanyanya. Sarah berbalik cepatdan memelototi Mark.“Sangat suka,” jawabku.“Apa kau ikut naik gerobak jerami berhantu malamini, atau apa kau terlalu takut?”Aku tersenyum. “Sebenarnya, aku ikut.”“Apa nanti kau akan ketakutan seperti waktu disekolah dan lari di hutan serta menangis seperti bayi?”“Jangan berengsek, Mark,” jawab Sarah.Mark memandangku, dongkol. Dengan banyaknyaorang di tempat itu, dia tidak bisa melakukan apa puntanpa membuat keributan―dan kupikir dia tidak akanmelakukan apa pun.“Semua ada waktunya,” kata Mark.“Begitu?”“Waktumu akan tiba,” katanya.“Mungkin benar,” kataku. “Tapi bukan darimu.”“Hentikan!” bentak Sarah. Sarah menyela di antarakami dan mendorong kami saling menjauh. Orang-orang menonton. Dia melirik berkeliling seolah malukarena menjadi pusat perhatian. Lalu dia merengut kearah Mark dank e arahku.

Page 54: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Ya, sudah. Kalian bisa berkelahi kalau itu yang kalianmau. Semoga sukses,” kata Sarah, lalu berbalik danberjalan pergi. Aku menatapnya pergi. Mark tidak.“Sarah,” aku memanggil. Namun Sarah tetap berjalandan menghilang di balik paviliun.“Segera,” kata Mark.Aku balik menatapnya. “Aku nggak yakin.”Mark mundur dan kembali ke teman-temannya. Henriberjalan ke arahku.“Kurasa dia bukan bertanya mengenai PR Matematikabuat besok?”“Sama sekali tidak,” kataku.“Aku tak akan memedulikannya,” kata Henri.“Sepertinya dia cuma besar mulut.”“Aku tidak,” kataku, lalu melirik ke tempat Sarahmenghilang. “Haruskah aku mengejarnya?” tanyaku,lalu memandang Henri, memohon kepada bagiandirinya yang pernah menikah dan jatuh cinta, bagiandirinya dirinya yang masih merindukan istrinya hinggahari ini, dan bukan bagian diri Henri yang ingin akuselamat dan bersembunyi.Henri mengangguk. “Yeah,” katanya sambilmendesah. “Walaupun aku tak suka mengatakan ini,mungkin sebaiknya kau pergi menyusulnya.”

ANAK-ANAK BERLARI, BERTERIAK, MAIN seluncur danmain panjat-panjatan. Setiap anak memegangsekantong permen dan mulut mereka sibukmengulum permen. Mereka semua berpakaian sepertitokoh kartun, monster, setan kuburan, dan hantu. Saatini pastilah setiap penduduk Paradise berada di taman.Dan di tengah keributan itu, aku melihat Sarah, duduksendiri, berayun-ayun di ayunan.Aku bergerak menembus teriakan dan jeritan senanganak-anak. Saat Sarah melihatku, dia tersenyum danmata birunya bersinar.“Mau didorong?” tanyaku.Dia memberi isyarat ke arah ayunan kosong disampingnya dan aku pun duduk di sana.“Baik-baik saja?” tanyaku.“Yeah, aku baik-baik saja. Mark membuatku lelah. Diaselalu harus bertingkah seperti jagoan dan kasar saatberada di antara teman-temannya.”Sarah memutar ayunan hingga talinya tegang, lalumengangkat kaki. Ayunan itu berputar, awalnyaperlahan, namun makin lama makin cepat. Sarahtertawa, rambut pirangnya berkibar di belakangnya.Aku juga melakukan yang sama. Saat ayunan ituberhenti, dunia masih tetap berputar.“Di mana Bernie Kosar?”“Kutinggalkan bersama Henri,” kataku.“Ayahmu?”“Ya, ayahku.” Aku selalu begitu, memanggil Henridengan namanya padahal seharusnya akumemanggilnya “Ayah.”Udara semakin dingin. Buku-buku jariku yangmemegang rantai ayunan memutih karena dingin.Kami memandang anak-anak berlarian di sekitarkami. Sarah memandangku dan matanya tampaklebih biru saat hari semakin senja. Mata kami salingbertaut, kami saling bertatapan. Kami tidakmengatakan apa pun namun saling memahami satusama lain. Anak-anak seolah menghilang. Lalu Sarahtersenyum malu dan mengalihkan pandangan.“Jadi apa yang akan kau lakukan?” tanyaku.“Tentang apa?”“Mark.”Sarah mengangkat bahu. “Apa yang bisa kulakukan?Aku sudah putus dengannya. Aku selalu bilang akutidak berminat untuk berpacaran lagi.”Aku mengangguk. Aku tak tahu harus bereaksi sepertiapa.“Tapi, ngomong-ngomong, sebaiknya aku mencobamenjual sisa tiket ini. Tinggal satu jam lagi sebelumpenarikan undian.”

Page 55: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Perlu bantuan?”“Oh, tak apa. Kau seharusnya bersenang-senang.Mungkin saat ini Bernie Kosar merindukanmu. Tapi kauharus tetap di sini supaya bisa ikut naik gerobakjerami. Kita naik sama-sama ya nanti?”“Tentu,” kataku. Hatiku serasa terbang, tapi akumenyembunyikannya.“Kalau begitu, sampai ketemu nanti.”“Sukses dengan tiketnya.”Sarah mengulurkan tangan, meraih tanganku, danmemegangnya selama tiga detik. Lalu dia melepaskanpegangannya, melompat berdiri dari ayunan danbergegas pergi. Aku tetap duduk di sana, berayunpelan, menikmati angin dingin yang sudah lama tidakkurasakan karena kami menghabiskan musim dinginyang lalu di Florida, dan musim dingin sebelumnya diTexas selatan. Saat kembali ke paviliun, Henri dudukdi meja piknik sambil memakan sepotong pie denganBernie Kosar berbaring di kakinya.“Bagaimana?”“Bagus,” kataku sambil tersenyum.Dari suatu tempat, kembang api oranye dan biruditembakkan ke atas dan meledak di langit. Akuteringat Lorien dan kembang api yang kulihat padahari penyerbuan.“Apa kau sudah memikirkan mengenai pesawatkedua yang kulihat?”Henri memandang berkeliling untuk memastikan tidakada yang bisa mendengar. Kami hanya berdua dimeja piknik itu, lagi pula letaknya di ujung dan jauhdari kerumunan orang.“Sedikit. Tapi aku tak tahu apa artinya.”“Menurutmu apakah pesawat itu ke sini?”“Tidak. Itu tak mungkin. Jika pesawat itumenggunakan bahan bakar minyak, seperti yang kaubilang, pasti pesawat itu tak bisa bepergian jauhtanpa mengisi bahan bakar.”Aku duduk sebentar.“Kuharap pesawat itu bisa.”“Bisa apa?”“Ke sini, bersama kita.”“Itu pikiran bagus,” kata Henri.* * *Sekitar satu jam lewat dan aku melihat semuapemain football, Mark di depan, berjalan melintasirumput. Mereka mengenakan kostum mumi, zombieatau mayat hidup, dan hantu. Dua puluh lima orang.Mereka duduk di bangku stadion di dekat lapanganbisbol. Para pemandu sorak, yang sebelumnyamelukis wajah anak-anak, mulai merias Mark danteman-temannya agar kostum mereka lengkap. Barukusadari bahwa para pemain football itulah yangakan menakut-nakuti penumpang dalam perjalanandengan gerobak jerami berhantu. Merekalah yangmenanti kami di hutan.“Lihat itu?” aku bertanya kepada Henri.Henri memandang mereka semua dan mengangguk.Kemudian dia mengangkat cangkir kopi dan minumperlahan-lahan.“Masih menimbang-nimbang apakah sebaiknya kaunaik gerobak itu?” tanya Henri.“Nggak,” kataku. “Aku memang akan naik gerobakitu.”“Sudah kuduga.”Tampaknya Mark menjadi zombie atau semacamnya.Dia mengenakan pakaian berwarna gelap yangcompang-camping, dengan riasan wajah hitam danabu-abu, serta bercak merah serupa darah di berbagaitempat. Saat kostumnya sudah lengkap, Sarahberjalan ke arahnya dan mengatakan sesuatu. SuaraMark meninggi, tapi aku tidak bisa mendengar apayang dia katakan. Mark menggerak-gerakkan tangandan berbicara dengan sangat cepat sehingga kata-katanya tidak jelas. Sarah menyilangkan lengan danmenggelengkan kepala ke arah Mark. Badan Mark

Page 56: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

menegang. Aku berdiri, tapi Henri meraih tanganku.“Jangan,” katanya. “Mark justru membuat Sarahsemakin menjauh.”Aku memandang dan berharap bisa mendengar apayang mereka katakan, tapi terlalu banyak anak-anakyang menjerit dan berteriak di sekitarku. Saat merekaberhenti berteriak, Mark dan Sarah berdiri salingpandang. Mark cemberut kesal dan Sarah meringis takpercaya. Lalu Sarah menggeleng dan berjalan pergi.Aku memandang Henri. “Apa yang harus kulakukansekarang?”“Tak ada,” katanya. “Tak ada.”Mark berjalan kembali ke teman-temannya, dengankepala menunduk dan muka cemberut. Beberapa darimereka memandang ke arahku. Seringai muncul diwajah mereka. Lalu mereka berjalan ke hutan. Arak-arakan pelan dua puluh lima remaja laki-lakiberkostum menghilang di kejauhan.* * *Untuk menghabiskan waktu, aku kembali ke pusatkota bersama Henri dan makan malam di HungryBear. Saat kami kembali, matahari telah terbenamdan rangkaian gerobak berisi jerami pertama yangditarik traktor hijau sudah pergi ke hutan. Kerumunanorang semakin kecil. Yang tersisa hanyalah para muridSMA dan orang dewasa yang berjiwa muda.Jumlahnya sekitar seratus orang atau lebih. Akumencari Sarah tapi tidak melihatnya. Rangkaiangerobak selanjutnya akan berangkat sepuluh menitlagi. Menurut brosur, perjalanan itu memakan waktusetengah jam. Traktor akan membawa kamimenembus hutan perlahan-lahan, sehinggaketegangan memuncak. Setelah itu, traktor berhentilalu para penumpang turun dan kembali pulangdengan berjalan kaki. Saat itulah kengerian dimulai.Henri dan aku berdiri di paviliun. Aku kembalimemeriksa antrean orang-orang yang menunggugiliran mereka. Aku tetap tidak melihat Sarah. Laluponsel di sakuku bergetar. Aku tidak ingat kapanterakhir kali ponselku berbunyi dan peneleponnyabukan Henri. Yang tertera adalah SARAH HART. Akumerasa gembira. Pasti Sarah sudah memasukkannomorku ke ponselnya pada hari ketika diamemasukkan nomornya ke ponselku.“Halo?” kataku.“John?”“Yeah.”“Hai. Ini Sarah. Kau masih di taman?” katanya. Diaterdengar seperti sudah biasa meneleponku. Jadi, akuseharusnya tidak terkejut karena dia sudah memilikinomorku walaupun aku tak pernah memberikannya.“Ya.”“Bagus! Aku sampai di sana lima menit lagi. Apagerobaknya sudah mulai jalan?”“Ya, beberapa menit yang lalu.”“Kau belum pergi, kan?”“Belum.”“Oh, baguslah! Tunggu aku supaya kita bisa pergisama-sama.”“Yeah, tentu,” kataku. “Sebentar lagi yang keduaberangkat.”“Bagus. Berarti kita bisa naik yang ketiga.”“Sampai nanti.”Aku menutup ponsel, senyum lebar menghiasiwajahku.“Hati-hati di sana,” kata Henri.“Pasti.” Lalu aku berhenti dan berusaha agar suarakuterdengar biasa saja. “Kau tidak perlu menunggu disini. Aku yakin pasti bisa menemukan orang yangmau mengantarku pulang.”“Aku bersedia tinggal dan hidup di kota ini, John.Walaupun, mengingat berbagai peristiwa yang sudahterjadi, sebenarnya mungkin lebih baik jika kita pergi.Tapi aku bertanggung jawab untuk menjagamu dariberbagai hal. Dan ini salah satunya. Aku tak suka cara

Page 57: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

teman-temanmu tadi menatapmu.”Aku mengangguk. “Aku akan baik-baik saja,” kataku.“Aku yakin begitu. Tapi sekadar jaga-jaga, aku tunggudi sini.”Aku mendesah. “Baiklah.”Sarah datang lima menit kemudian bersama seorangtemannya yang cantik. Aku pernah melihatnya tapikami belum pernah berkenalan. Sarah sudah gantibaju. Sekarang dia mengenakan jins, sweater wol,dan jaket hitam. Lukisan hantu di pipi kanannyasudah dihapus. Rambutnya digerai, jatuh melewatibahunya.“Hei, kamu,” katanya.“Hai.”Sarah memeluk lenganku sebentar. Aku bisamenghirup wangi parfum dari lehernya. Lalu diamelepaskan pelukannya.“Hai, ayahnya John,” katanya kepada Henri. “IniEmily.”“Senang bertemu kalian berdua,” kata Henri. “Jadikalian akan menyongsong teror itu?”“Pastinya,” kata Sarah. “Apa dia akan baik-baik sajadi sana? Aku nggak mau dia terlalu ketakutan nanti,”kata Sarah kepada Henri, menggerakkan kepala kearahku sambil tersenyum.Henri meringis dan aku tahu dia menyukai Sarah.“Sebaiknya kau tetap di dekatnya, sekadar jaga-jaga.”Sarah menoleh ke belakang. Rangkaian gerobakketiga sudah terisi seperempatnya. “Saya akanmenjaganya,” kata Sarah. “Sebaiknya kami pergi.”“Selamat bersenang-senang,” kata Henri.Sarah menggandengku, membuatku terkejut. Kamibertiga bergegas menuju gerobak jerami yangberjarak sekitar 100 meter dari paviliun. Ada antreansepanjang tiga puluh orang. Kami berbaris dibelakangnya dan mulai mengobrol, walaupun akumerasa agak malu dan lebih banyak mendengarkedua gadis itu berbicara. Saat kami menunggu, akumelihat Sam menanti di samping kami seolahmenimbang apakah sebaiknya menyapa kami atautidak.“Sam!” Aku berteriak lebih ceria daripada yangkuinginkan. Sam berhenti. “Kau mau ikut kami?”Sam mengangkat bahu. “Boleh?”“Ayo,” kata Sarah sambil memberi isyarat agar Samikut. Sam berdiri di samping Emily, yang tersenyumkepadanya. Wajah Sam langsung memerah. Akusenang Sam ikut. Tiba-tiba seorang anak yangmemegang walkie-talkie menghampiri. Akumengenalinya. Dia anak dari tim football.“Hai, Tommy,” sapa Sarah.“Hei,” katanya. “Tinggal empat tempat lagi di gerobakini. Kalian mau?”“Beneran?”“Yeah.”Kami memotong antrean dan melompat masuk kedalam gerobak lalu duduk di atas jerami. Aku merasaaneh karena Tommy tidak meminta tiket. Aku curigamengapa dia membolehkan kami memotong antrean.Sebagian orang yang mengantre memandang kamidengan kesal. Aku tak bisa menyalahkan mereka.“Selamat menikmati perjalanan,” kata Tommy sambilmenyeringai, seringai yang biasa muncul di wajahorang yang tahu bahwa sesuatu yang buruk akanmenimpa orang mereka benci.“Aneh,” kataku.Sarah mengangkat bahu. “Mungkin dia naksir Emily.”“Oh, Tuhan. Semoga tidak,” kata Emily sambil pura-pura muntah.Aku memperhatikan Tommy dari tumpukan jerami.Rangkaian gerobak ini hanya terisi setengahnya.Menurutku ini juga aneh karena ada banyak sekaliorang yang mengantre.Traktor berangkat, melonjak-lonjak sepanjang jalan,

Page 58: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dan bergerak di jalan masuk hutan. Suara-suaramengerikan terdengar dari pengeras suaratersembunyi. Hutan ini cukup lebat. Selain lampudepan traktor, tidak ada cahaya lain. Begitu lampu itumati, pikirku, pasti keadaan langsung gelap gulita.Sarah memegang tanganku lagi. Tangannya dingin,tapi aku merasakan kehangatan mengalir melaluidiriku. Dia merapatkan badannya dan berbisik, “Akuagak takut.”Gambar-gambar hantu bergelantungan dari dahan-dahan rendah di atas kepala kami. Di pinggir jalan,para mayat hidup menyeringai sambil bersandar dipepohonan. Traktor berhenti. Lampu depan dimatikan.Lalu terlihat kilauan cahaya yang berkelap-kelipselama sepuluh detik. Itu tidak menakutkan. Setelahcahaya itu berhenti, barulah aku mengerti apapengaruhnya: mata kami memerlukan waktubeberapa detik untuk menyesuaikan diri dan kamitidak bisa melihat apa pun. Lalu terdengar jeritanmembelah malam. Sarah menegang di dekatku saatberbagai sosok mengelilingi kami. Aku menyipitkanmata untuk melihat. Aku bisa melihat Emily sudahpindah ke samping Sam dan Sam tersenyum lebar.Sebenarnya aku sendiri juga agak takut. Akumemeluk Sarah dengan hati-hati. Sebuah tanganmenyentuh punggung kami dan Sarah mencengkeramkakiku dengan kuat. Sebagian penumpang menjerit.Dengan satu sentakan, traktor kembali menyala danbergerak ke depan. Tidak tampak apa pun kecualipepohonan yang tertimpa cahaya lampu traktor.Kami berkendara selama tiga atau empat menit.Ketegangan bertambah akibat rasa takut karenaharus berjalan kembali ke tempat yang kami lewatibarusan. Lalu traktor masuk ke suatu tempat terbukayang berbentuk bundar dan berhenti.“Semua turun,” teriak si pengemudi.Saat orang terakhir turun, traktor itu pergi. Cahayadari lampu traktor meredup lalu hilang di kejauhan,meninggalkan kami sendiri dalam kegelapan malamtanpa suara apa pun selain suara kami sendiri.“Sial,” kata seseorang, dan kami semua tertawa.Kami semua bersebelas. Rangkaian lampu menyala,menunjukkan arah kepada kami, lalu padam. Akumenutup mata untuk merasakan jari-jari Sarah yangbertautan dengan jari-jariku.“Entah kenapa aku melakukan ini tiap tahun,” kataEmily gugup sambil memeluk dirinya sendiri.Penumpang lain mulai menyusuri jalan dan kamimengekor. Rangkaian lampu menyala sesekali untukmenjaga agar kami tidak tersesat. Lampu-lampu lainterletak jauh di depan sehingga kami tidak bisamelihatnya. Aku sulit melihat tanah yang kuinjak.Tiba-tiba di depan kami terdengar tiga atau empatjeritan.“Oh, tidak,” kata Sarah sambil meremas tanganku.“Sepertinya di depan ada masalah.”Lalu ada sesuatu yang berat jatuh menimpa kami.Kedua gadis itu menjerit, begitu pula dengan Sam.Aku tersandung dan terjatuh, lututku luka,terperangkap dalam benda apa pun itu. Lalu akusadar itu jaring!“Apa-apaan?” kata Sam.Aku merobek jalinan tali-temali itu. Namun begituberhasil membebaskan diri, ada yang menubrukkudengan keras dari belakang. Seseorang menangkapdan menyeretku menjauhi kedua gadis dan Sam. Akumelepaskan diri dan berdiri, tapi kemudian dipukuldari belakang lagi. Ini bukan bagian dari acara.“Lepaskan aku!” teriak salah satu gadis. Terdengartawa laki-laki sebagai jawabannya. Aku tidak bisamelihat apa pun. Suara gadis itu menjauhiku.“John?” panggil Sarah.“Di mana kau, John?” teriak Sam.Aku berdiri untuk mengejar mereka, tapi aku dipukullagi. Tidak, itu tidak tepat. Aku dijegal. Aku tersedak

Page 59: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

saat roboh ke tanah. Aku bergegas berdiri sambilberusaha bernapas, memegang pohon sebagaisandaran. Mulutku penuh tanah dan daun.Aku berdiri di sana selama beberapa detik. Tidakterdengar apa pun kecuali napasku yang berat. Saatkupikir aku ditinggalkan sendiri, seseorangmenghantamku dengan bahunya dan membuatkuterlontar ke pohon lain di dekat situ. Kepalakumenghantam batangnya. Mataku berkunang-kunang.Aku kaget dengan kekuatan orang itu. Aku meraih keatas, menyentuh dahiku dan merasakan darah. Akukembali memandang berkeliling tapi tidak bisamelihat apa pun kecuali siluet pepohonan.Aku mendengar jeritan salah satu gadis, yang diikutidengan bunyi orang bergumul. Aku menggertakkangigi. Aku gemetar. Apa ada orang di antarapepohonan di sekitarku? Aku tidak tahu. Tapi akumerasa ada yang menatapku, entah dari mana.“Lepaskan!” teriak Sarah. Dia ditarik menjauh, akutahu itu.“Oke,” kataku ke kegelapan, ke arah pepohonan.Darahku mendidih. “Kalian mau cari gara-gara ya?”kataku, kali ini dengan keras. Seseorang tertawa didekatku.Aku melangkah ke arah sumber suara itu. Akudidorong dari belakang tapi berhasil menyeimbangkandiri sebelum terjatuh. Kuayunkan tinju dan punggungtanganku menggores kulit pohon. Tidak ada lagi yangbisa kulakukan. Apa gunanya memiliki Pusaka jikakekuatan itu tidak digunakan saat diperlukan?Walaupun jika itu berarti Henri dan aku harusmemasukkan barang-barang ke dalam truk malam inidan pergi ke kota lain, setidaknya aku sudahmelakukan apa yang seharusnya kulakukan.“Kalian cari gara-gara?” teriakku lagi. “Aku juga bisacari gara-gara!”Darah mengalir di samping wajahku. Oke, pikirku, ayokita lakukan. Mereka bisa melakukan apa pun yangmereka mau terhadapku, tapi mereka tidak bolehmenyakiti Sarah seujung rambut pun.Aku menarik napas dalam dan merasakan adrenalinmengalir. Aku tersenyum kejam dan tubuhku terasaseolah menjadi lebih besar dan lebih kuat. Tangankumenyala dan bersinar terang menerangi malam yanggelap. Sekonyong-konyong dunia pun terangbenderang.Aku mengangkat kepala. Kusorotkan tanganku kearah pepohonan dan berlari di kegelapanmalam.KEVIN KELUAR DARI ANTARA PEPOHONAN,berpakaian seperti mumi. Dialah yang tadimenjegalku. Sinar dari tanganku membutakannya. Diatampak heran, berusaha mengetahui darimana asalsinar itu. Kevin mengenakan night-vision goggle ataukacamata untuk melihat dalam gelap. Jadi begitu caramereka melihat kami, kupikir. Dari mana merekamendapatkannya?

Kevin berlari menyerbu ke arahku. Pada detik terakhiraku bergeser dan menjegalnya.“Lepaskan!” Terdengar jeritan di kejauhan. Akumendongak dan menyorotkan cahayaku ke arahpepohonan tapi tak ada yang bergerak. Aku tidaktahu itu suara Emily atau Sarah. Jeritan itu diikutisuara tawa laki-laki.Kevin berusaha berdiri tapi aku menendangnyasebelum dia bisa berdiri. Dia kembali jatuh sambilmengerang. Aku merenggut kacamata itu dari wajahKevin dan melemparkannya sejauh mungkin. Akutahu kacamata itu akan terlempar sejauh duakilometer, atau mungkin tiga atau lima kilo karenaaku begitu marah sehingga kekuatanku takterkendali. Lalu aku berlari menembus hutan sebelumKevin bisa duduk.Jalan itu berbelok ke kiri, kemudian ke kanan.Tanganku bersinar hanya ketika aku memerlukan

Page 60: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

cahaya untuk melihat. Aku bisa merasakan bahwaaku sudah dekat. Lalu aku melihat Sam di depan,berdiri dipegangi dua anak yang berpakaian sepertimayat hidup. Tiga anak berkostum mayat hidup lainada di dekatnya.Mayat hidup itu melepaskan Sam. “Tenang, kamicuma bercanda. Kalau kau nggak melawan, kaminggak akan menyakitimu,” katanya kepada Sam.“Kau duduk saja.”Aku menyalakan tanganku dan menyorotkancahayanya ke mata mereka agar silau. Orangterdekat berjalan ke arahku. Aku berputar danmemukul pelipisnya. Dia jatuh tak bergerak ke tanah.Kacamatanya terlempar ke semak-semak berduri danhilang. Orang kedua mencoba membelengguku, tapiaku melepaskan diri dan mengangkatnya.“Apa-apaan?” katanya, bingung.Aku melemparnya dan dia membentur pohon yangberjarak enam meter dari situ. Orang ketiga melihatkejadian itu dan melarikan diri. Berarti yang tersisahanyalah orang keempat, yang memegang Sam. Diamengangkat tangan di depan dada seolah akumembidikkan senjata ke dadanya.“Ini bukan ideku,” katanya.“Apa yang dia rencanakan?”“Nggak ada. Kami cuma ingin mempermainkan kalian,menakut-nakutimu sedikit.”“Di mana mereka?”“Mereka membiarkan Emily pergi. Sarah di atas.”“Kemarikan kacamatamu,” kataku.“Nggak bisa. Ini kami pinjam dari polisi. Aku bisa kenamasalah.”Aku mendekatinya.“Oke … oke,” katanya. Dia melepaskan kacamatanyadan memberikannya kepadaku. Aku melemparkankacamata itu dengan lebih kuat daripada sebelumnya.Kuharap kacamata ini mendarat di kota tetangga. Biarmereka menjelaskan apa yang terjadi kepada polisi.Aku menarik kaus Sam dengan tangan kanan. Akutidak bisa melihat apa pun tanpa menyalakan sinarku.Baru kemudian kusadari bahwa seharusnya akumenyimpan kedua kacamata itu untuk kami. Tapitidak. Jadi aku menarik napas dalam dan membiarkantangan kiriku bersinar lalu mulai mendaki. Jika Sammerasa itu aneh, dia tidak mengatakannya.Aku berhenti dan berusaha mendengarkan. Takterdengar apa pun. Kami terus berjalan menembuspepohonan. Aku memadamkan sinar di tanganku.“Sarah!” aku berteriak.Aku diam untuk mendengarkan. Tidak terdengar apapun kecuali suara angin bertiup melalui dahan pohondan napas Sam yang terengah-engah.“Ada berapa orang bersama Mark?” tanyaku.“Lima atau lebih.”“Kau tahu ke mana mereka pergi?”“Nggak lihat.”Kami terus berjalan. Aku tidak tahu ke mana kamimenuju. Di kejauhan aku mendengar raungan mesintraktor. Perjalanan keempat dimulai. Aku merasakalut dan ingin berlari, tapi aku tahu Sam tidak akanbisa mengejar. Dia sudah terengah-engah. Aku punsudah berkeringat walaupun suhu udara hanya tujuhderajat. Atau mungkin aku keliru mengira darahsebagai keringat. Entahlah.Saat kami melewati sebuah pohon besar dengandahan bengkok, aku diserang dari belakang. Samberteriak saat sebuah tinju menghantam belakangkepalaku. Aku kaget dan diam sebentar, tapikemudian aku berputar, mencengkeram leher anaklelaki yang memukulku, dan menyorotkan sinar kewajahnya. Dia mencoba melepaskan cengkeramanjari-jariku tapi percuma.“Apa yang Mark rencanakan?”“Tak ada,” katanya.“Jawaban yang salah.”

Page 61: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku melemparkannya ke pohon satu setengah meterjauhnya. Lalu aku memegang lehernya danmengangkatnya dari tanah. Kakinya menendang-nendang liar, mengenaiku, namun akumengencangkan otot-ototku sehingga tendangannyatidak menyakitiku.“Apa yang Mark rencanakan?”Aku menurunkannya hingga kakinya menyentuhtanah dan melonggarkan cengkeramanku agar diabisa berbicara. Aku merasa Sam memandangi,mengamati semua ini, tapi tak ada yang bisakulakukan tentang itu.“Kami cuma ingin menakut-nakuti kalian,” diaterengah.“Aku bersumpah akan mematahkanmu jadi dua jikakau tidak mengatakan yang sebenarnya.”“Mark pikir yang lain akan membawa kalian berduake Shepherd Falls. Dia membawa Sarah ke sana. Markingin Sarah melihatnya menghajar kalian berdua,kemudian melepaskan kalian.”“Antarkan aku ke sana,” kataku.Dia berjalan dengan kaki terseret. Aku memadamkansinar di tanganku. Sam memegang kausku danmengikuti. Saat kami berjalan di tempat terbuka yangditerangi sinar bulan, aku bisa melihat Sammemandangi tanganku.“Sarung tangan,” kataku. “Tadi Kevin Millermenggunakannya. Semacam properti Halloween.”Sam mengangguk tapi aku tahu dia takut. Kamiberjalan sekitar satu menit hingga akhirnyamendengar bunyi air mengalir di atas kami.“Berikan kacamatamu,” kataku kepada anak lelakiyang mengantar kami.Dia ragu-ragu. Aku memelintir tangannya. Diamenggeliat kesakitan dan langsung melepaskankacamata itu dari kepalanya.“Ambil, ambil,” teriaknya.Saat aku mengenakan kacamata itu, dunia berubahmenjadi kehijauan. Aku mendorongnya dengan kerashingga jatuh ke tanah.“Ayo,” kataku kepada Sam. Kami berjalanmeninggalkan anak lelaki itu.Aku bisa melihat sekelompok orang di atas. Akumenghitung. Delapan anak laki-laki, ditambah Sarah.“Aku bisa melihat mereka. Kau mau menunggu di siniatau ikut denganku? Mungkin bakal buruk.”“Aku ikut,” kata Sam. Aku tahu Sam takut, walaupunaku tidak tahu apakah itu karena melihat apa yangkulakukan atau karena melihat para pemain footballdi depan kami.Aku berjalan ke atas sepelan mungkin. Sammengendap-ngendap di belakangku. Saat tinggalbeberapa meter lagi, ranting di bawah kaki Sampatah.“John?” Sarah bertanya. Dia duduk di sebuah batubesar sambil memeluk lutut. Dia tidak mengenakankacamata dan menyipitkan mata ke arah kami.“Ya,” kataku. “Dan Sam.”Sarah tersenyum. “Sudah kubilang,” katanya, mungkinkepada Mark.Suara air yang tadi kudengar ternyata hanyalahsungai kecil. Mark melangkah ke depan.“Wah, wah, wah,” katanya.“Diam, Mark,” kataku. “Pupuk kandang di lokerku itumasalah lain, tapi kali ini kamu sudah kelewatan.”“Oh, ya? Delapan lawan dua.”“Sam tidak ada hubungannya dengan ini. Kau takutmenghadapiku sendiri?” tanyaku. “Kau pikir apa yangakan terjadi? Kau sudah menculik dua orang. Apamenurutmu mereka akan diam saja?”“Yeah, kupikir begitu. Saat mereka melihatkumenghajarmu.”“Kau berkhayal,” kataku, lalu memandang yanglainnya. “Kalau tidak mau diceburkan ke dalam air,kusarankan kalian pergi sekarang. Mark sudah pasti

Page 62: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

akan kuceburkan. Tak bisa ditawar-tawar lagi.”Mereka semua terkekeh. Salah satu dari merekabertanya apa maksudnya “ditawar-tawar”.“Ini kesempatan terakhir kalian,” kataku.Mereka semua tetap berdiri tegak.“Oke,” kataku.Dadaku berdebar-debar karena tegang. Saat akumaju satu langkah, Mark mundur dan tersandungkakinya sendiri lalu jatuh ke tanah. Dua orangmendekatiku, keduanya lebih besar dariku. Salah satumengayunkan tinju. Aku merunduk danmenyarangkan tinjuku di perutnya. Dia mundurdengan tangan memegangi perut. Aku mendoronglelaki kedua. Dia terlontar lalu mendarat denganbergedebuk sekitar dua meter dari sana. Momentummenyebabkannya jatuh ke air. Dia tercebur. Yang lain-lain berdiri diam, kaget. Aku merasa Sam bergerakmenuju Sarah. Aku mencengkeram anak laki-lakipertama dan menyeretnya. Dia menendang-nendangliar namun tidak mengenai apa pun. Saat tiba di tepisungai, aku mengangkatnya dengan memegangbagian pinggang celana jinsnya lalu melemparkannyake air. Satu anak lain menerjang ke arahku. Akuhanya bergeser sedikit dan dia pun masuk ke sungai,dengan wajah terlebih dahulu. Sudah tiga. Empat lagi.Aku bertanya-tanya seberapa banyak yang bisa Sarahdan Sam lihat tanpa kacamata.“Ini terlalu mudah,” kataku. “Siapa berikutnya?”Laki-laki paling besar di kelompok itu mengayunkantinju yang tidak mengenaiku. Walaupun begitu, akuterlalu cepat membalas sehingga sikunya mengenaiwajahku dan tali karet kacamata yang kupakai putus.Kacamata itu jatuh. Sekarang aku hanya bisa melihatbayangan saja. Aku mengayunkan tinju danmengenai rahangnya. Dia jatuh seperti karungkentang, diam, bagaikan tak bernyawa. Jangan-jangan aku terlalu keras meninjunya. Kurampaskacamata night-visionnya dan kukenakan.“Ada lagi?”Dua dari mereka mengangkat tangan di dada sebagaitanda menyerah. Yang ketiga berdiri dengan mulutternganga seperti orang tolol.“Itu berarti tinggal kau, Mark.”Mark berbalik berusaha melarikan diri. Tapi akumengejar dan meraihnya sebelum dia kabur, lalumemitingnya. Dia merintih kesakitan.“Ini berakhir di sini, kau mengerti?”Aku mempererat cengkeramanku dan dia mengerangkesakitan. “Apa pun yang membuatmu membenciku,lupakan sekarang. Itu juga termasuk Sam dan Sarah.Paham?”Cengkeramanku semakin kencang. Aku khawatirbahu Mark lepas jika kupererat cengkeramanku.“Aku bilang, kau paham?”“Ya!”Aku menyeretnya ke Sarah. Sam duduk di batu disamping Sarah.“Minta maaf.”“Ayolah. Aku sudah paham.”Aku meremasnya.“Maaf!” teriak Mark.“Katakan dengan sungguh-sungguh.”Mark menarik napas dalam. “Aku minta maaf,”katanya.“Kau berengsek, Mark!” kata Sarah, lalu dia menamparwajah Mark dengan keras. Mark menegang, tapi akumemegangnya dengan kuat dan tidak ada yang bisadia lakukan.Aku menyeret Mark ke sungai. Teman-temannyahanya bisa berdiri tertegun memandang. Anak laki-laki yang tadi kubuat pingsan sedang duduk sambilmengusap-ngusap kepala seolah mencoba memahamiapa yang terjadi. Aku mendesah lega karena dia tidakluka parah.“Kau tidak akan mengatakan apa pun tentang ini

Page 63: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kepada siapa pun, paham?” kataku, suaraku begiturendah sehingga hanya Mark yang bisamendengarnya. “Semua yang terjadi malam iniberakhir di sini. Aku bersumpah, jika aku mendengarsatu patah kata pun tentang ini di sekolah minggudepan, yang terjadi saat ini tidak ada apa-apanyadibanding apa yang akan menimpamu nanti. Paham?Tidak sepatah kata pun.”“Kau pikir aku akan mengatakan sesuatu?” tanyaMark.“Pastikan teman-temanmu juga tidak mengatakanapa pun. Jika mereka memberi tahu satu orang saja,aku akan mendatangimu.”“Kami tidak akan mengatakan apa pun,” kata Mark.Kulepaskan peganganku, kutempelkan kakiku dipantatnya, dan kudorong Mark ke dalam air, denganwajah terlebih dahulu. Sarah berdiri di dekat batudengan Sam di sampingnya. Dia memelukku erat saataku tiba di tempatnya.“Kau belajar kung fu atau apa?” tanyanya.Aku tertawa gugup. “Seberapa banyak yang kaulihat?”“Nggak banyak, tapi aku bisa tahu apa yang terjadi.Maksudku, pasti kau berlatih di gunung seumur hidupatau apalah. Aku tidak mengerti bagaimana kau bisamelakukan itu.”“Kurasa aku cuma takut ada sesuatu yangmenimpamu. Dan ya, itu tadi hasil belajar seni beladiri selama dua belas tahun di Himalaya.”“Kau hebat,” Sarah tertawa. “Ayo pergi dari sini.”Mark dan teman-temannya tidak mengatakan apapun kepada kami. Setelah sekitar tiga meter, akusadar aku tak tahu harus berjalan ke arah mana jadiaku memberikan kacamata itu kepada Sarah agar diabisa memimpin jalan.“Aku benar-benar tak percaya,” kata Sarah.“Maksudku, dasar berengsek. Tunggu sampai merekaterpaksa menjelaskannya kepada polisi. Aku tak akanmembiarkan mereka lolos begitu saja.”“Apa kau benar-benar akan melapor ke polisi? AyahMark kan sheriff,” kataku.“Setelah apa yang terjadi, kenapa nggak? Pekerjaanayah Mark itu untuk menegakkan hukum, walaupunanaknya sendiri melanggar hukum.”Aku mengangkat bahu di kegelapan. “Kupikir merekasudah mendapatkan balasan yang setimpal.”Aku menggigit bibir, takut jika polisi terlibat. Jikasampai polisi terlibat, tidak ada pilihan lain, aku haruspergi. Begitu Henri tahu, kami akan mengepak barangdan pergi ke luar kota. Aku mendesah.“Menurutmu bagaimana?” tanyaku. “Maksudku,mereka sudah kehilangan beberapa night-visiongoggle. Mereka kan harus menjelaskan soal itu. Belumlagi air sedingin es itu.”Sarah tidak mengatakan apa pun. Kami berjalantanpa berbicara dan aku berdoa agar Sarahmempertimbangkan untuk membiarkan masalah iniberlalu.Akhirnya tepi hutan terlihat. Kami bisa melihat cahayadari taman. Saat aku berhenti, baik Sarah maupunSam memandangku. Sam diam sepanjang waktu danaku berharap semoga dia tidak bisa melihat apa yangterjadi dengan jelas, sekali ini kegelapan menjadisekutu tak terduga, dan semoga dia agak terguncangdengan segala sesuatu yang terjadi.“Terserah kalian,” kataku, “tapi aku akan melupakanmasalah ini. Aku tak mau terpaksa bicara denganpolisi mengenai apa yang terjadi.”Cahaya menyinari wajah Sarah yang ragu-ragu. Diamenggelengkan kepala.“Dia benar,” kata Sam. “Aku nggak mau terpaksaduduk dan menulis surat pernyataan selama setengahjam berikut. Aku bakal kena masalah. Ibuku pikir akutidur satu jam yang lalu.”“Rumahmu di dekat sini?” tanyaku.

Page 64: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Sam mengangguk. “Yeah, dan aku harus pulangsebelum ibuku mengecek kamar. Sampai bertemulagi.”Tanpa mengatakan apa pun lagi, Sam bergegas pergi.Tampak jelas bahwa dia gemetar. Mungkin Sambelum pernah terlibat dalam perkelahian, apalagisampai diculik dan diserang di hutan segala. Aku akanmencoba berbicara dengannya besok. Jika dia melihatsesuatu yang seharusnya tidak lihat, aku akanmeyakinkan Sam bahwa penglihatannya menipunya.Sarah memegang wajahku menghadapnya. Diameraba lukaku dengan ibu jari, mengelus dahikulembut. Lalu dia menyusuri kedua alisku dan menatapke dalam mataku.“Terima kasih untuk malam ini. Aku tahu kau pastidatang.”Aku mengangkat bahu. “Aku tak akan membiarkanMark menakutimu.”Sarah tersenyum dan aku bisa melihat matanyaberkilau di bawah sinar bulan. Dia mendekatkan dirikepadaku. Begitu sadar apa yang akan terjadi, akutercekat. Ciuman pertamaku. Lalu Sarah mundur danmenatapku. Aku tidak tahu harus berkata apa.Berbagai pikiran berkelebat di benakku. Kakiku terasagoyah dan aku hampir tidak bisa berdiri tegak.“Sejak pertama kali melihatmu aku tahu kauistimewa,” katanya.“Aku juga merasakan yang sama terhadapmu.”Sarah mendekat dan menciumku lagi, tangannyaditekankan dengan lembut ke pipiku. Selamabeberapa detik pertama, aku terbuai oleh ciumankami dan pikiran bahwa aku bersama gadis cantik ini.Sarah mundur. Kamu berdua saling tersenyum, tidakmengatakan apa pun, hanya saling tatap.“Yah, kurasa lebih baik kita pergi dan melihat apakahEmily masih di sini,” kata Sarah sekitar sepuluh detikkemudian. “Kalau tidak ada, aku bakal terdampar disini.”“Pasti Emily masih ada di sini,” kataku.Kami berjalan sambil bergandengan tangan kepaviliun. Aku tidak bisa berhenti memikirkan ciumankami. Traktor kelima bergerak. Rangkaian gerobaknyapenuh dan masih ada antrian dengan sepuluh orangatau lebih menunggu giliran mereka. Setelah segalasesuatu yang terjadi di hutan, dengan tangan Sarahyang hangat di genggamanku,Aku tak bisa berhentitersenyum.

SALJU PERTAMA TURUN DUA MINGGU KEMUDIAN.Tipis, hanya cukup untuk menutupi truk denganserbuk halus. Sejak Halloween berakhir, setelah kristalLoric menyebarkan kekuatan Lumen ke seluruhtubuhku, Henri memulai latihanku yangsesungguhnya. Kami berlatih setiap hari, tanpa henti,tak peduli cuaca dingin, hujan, ataupun salju.Walaupun Henri tidak mengatakan apa pun, akuyakin dia tak sabar menantiku siap. Awalnya Henritampak tak puas. Dia menggigit bibir bawah dengandahi berkerut. Selain itu, dia juga sering menghelanapas panjang dan susah tidur―aku sering mendengarbunyi lantai kayu kamar Henri berderak di bawahkakinya saat aku berbaring dalam keadaan terjaga dikamarku. Lalu sekarang, nada putus asa terdengardalam suara Henri yang tegas.Kami berdiri berhadapan di halaman belakang denganjarak tiga meter.“Aku nggak mood hari ini,” kataku.“Aku tahu, tapi kita harus melakukan ini.”Aku mendesah dan memandang jam tanganku. Pukulempat.“Sarah tiba di sini pukul enam,” kataku.“Aku tahu,” kata Henri. “Makanya kita harus cepat.”Henri memegang bola tenis di kedua tangannya.“Siap?” tanya Henri.“Siap.”

Page 65: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Henri melemparkan bola pertama tinggi ke udara.Saat bola itu mencapai puncaknya, aku mencobamengerahkan kekuatan, jauh dari dalam diriku, untukmenjaga agar bola itu tidak jatuh. Aku tidak tahubagaimana cara melakukannya. Aku hanya tahu akupasti bisa melakukannya, seiring dengan waktu danseringnya latihan, seperti kata Henri. Setiap Gardememiliki kemampuan untuk menggerakkan objekdengan pikiran mereka. Telekinesis. Alih-alihmembiarkan kekuatan itu muncul sendiri―sepertitanganku―Henri tampaknya memutuskan untukmembangunkan kekuatan itu dari tidurnya entah digua mana.Bola jatuh itu seperti ribuan bola sebelumnya―begitusaja, tanpa gangguan sedikit pun―memantul dua kali,lalu diam di atas rumput yang tertutupi salju.Aku menghela napas dalam. “Aku nggak mood hariini.”“Lagi,” kata Henri.Dia melemparkan bola kedua. Aku mencobamenggerakkan bola itu, menghentikannya. Segenapsel di tubuhku berkonsentrasi hanya untuk membuatbenda sialan itu bergerak satu senti ke kanan atau kekiri. Tak berhasil. Bola itu juga jatuh ke tanah. BernieKosar, yang dari tadi mengamati kami, berjalan kearah bola itu, memungutnya, dan pergi.“Kekuatan itu akan muncul dengan sendirinya,”kataku.Henri menggelengkan kepala. Otot-otot rahangnyamenegang. Suasana hati dan ketidaksabarannyamulai memengaruhiku. Henri memandang BernieKosar berlari pergi membawa bola, kemudianmendesah.“Apa?” tanyaku.Henri menggelengkan kepala lagi. “Coba lagi.”Henri berjalan dan mengambil bola lain. Lalu diamelemparkan bola itu tinggi ke udara. Aku mencobamenghentikan bola itu, tapi tentu saja bola itu tetapjatuh.“Mungkin besok,” kataku.Henri mengangguk dan menunduk. “Mungkin besok.”* * *Setelah latihan itu, tubuhku berlumuran keringat,lumpur, dan lelehan salju. Hari ini Henri melatihkulebih keras daripada biasanya dan dengan agresifsehingga membuatku panik. Di samping latihantelekinesis, kami juga berlatih teknik bela diri sepertiperkelahian tangan kosong, gulat, dan berbagai senibela diri lainnya. Selain itu, kami juga berlatihpengendalian emosi―tetap tenang di bawah tekanan,pengendalian pikiran, bagaimana mengenali rasatakut di mata lawan, dan juga bagaimana caraterbaik untuk memanfaatkannya. Yang membuatkupanik bukanlah pelatihan Henri yang keras, melainkantatapan matanya. Dia terlihat kesal, dan juga takut,putus asa, serta kecewa. Aku tidak tahu apakah Henrihanya khawatir dengan kemajuanku, atau mungkinada yang lebih dari itu. Tapi sesi-sesi latihan kamisemakin lama semakin melelahkan―baik secara emosimaupun fisik.* * *Sarah tiba tepat waktu. Aku berjalan ke luar danmenciumnya saat dia tiba di beranda depan. Begitusampai di dalam, aku mengambil jaket Sarah danmenggantungkannya. Ujian tengah semesterpelajaran tata boga kami tinggal seminggu lagi. Sarahmengusulkan agar kami berlatih memasak sebelummemasak di kelas. Begitu kami mulai memasak, Henrimengambil jaketnya dan pergi jalan-jalan. Diamembawa Bernie Kosar. Aku bersyukur karena kamidibiarkan berdua. Kami memasak dada ayampanggang dengan kentang dan sayur kukus. Masakanitu terasa lebih enak daripada yang kuduga. Setelahsemua selesai, kami bertiga duduk dan makanbersama. Henri diam sepanjang waktu. Sarah dan aku

Page 66: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

memecahkan keheningan yang canggung denganobrolan ringan, mengenai sekolah dan mengenairencana kami nonton film hari Sabtu mendatang.Henri terus menunduk menatap piringnya dan jarangmenengadahkan kepala kecuali untuk mengatakanbetapa enaknya masakan kami.Saat makan malam selesai, Sarah dan aku mencucipiring lalu duduk di sofa. Sarah membawa film dankami menontonnya di TV kami yang kecil, tapi Henrilebih sering menatap ke luar jendela. Saat film baruberjalan setengahnya, Henri berdiri sambil mendesahdan berjalan ke luar. Sarah dan aku memandanginyapergi. Kami berpegangan tangan dan Sarahmenyandarkan kepalanya di bahuku. Bernie Kosarduduk di sampingnya dengan kepala di pangkuanSarah, sebuah selimut menyelimuti mereka berdua. Diluar mungkin dingin dan berangin, tapi ruang tamukami hangat dan nyaman.“Ayahmu baik-baik saja?” tanya Sarah.“Entahlah. Tingkahnya aneh.”“Dia diam sekali saat makan malam tadi.”“Yeah, aku akan mengeceknya. Aku segera kembali,”kataku. Lalu aku mengikuti Henri ke luar. Henri berdiridi beranda―memandang ke kegelapan.“Ada apa?” tanyaku.Dia menengadah memandangi bintang sambilmerenung.“Rasanya ada yang tidak beres,” katanya.“Maksudmu?”“Kau tak akan menyukainya.”“Oke. Katakan saja.”“Aku tak tahu berapa lama lagi kita bisa tinggal disini. Aku merasa tidak aman.”Hatiku mencelos. Aku diam.“Mereka kalut, dan kupikir mereka semakin dekat.Aku bisa merasakannya. Aku pikir kita tidak aman disini.”“Aku nggak mau pergi.”“Sudah kuduga.”“Kita selalu bersembunyi.”Henri memandangku sambil mengangkat alis. “Maaf,John, tapi kupikir kau tidak selalu bersembunyi.”“Iya, kalau memang kurasa perlu.”Henri mengangguk. “Yah, kita lihat saja nanti.”Dia berjalan ke tepi beranda dan meletakkan tangandi susuran tangga. Aku berdiri di sampingnya. Butiransalju baru mulai turun, jatuh, tampak seperti bercakputih berkilau dengan latar belakang malam kelam.“Bukan itu saja,” kata Henri.“Sudah kuduga.”Henri mendesah. “Seharusnya kau sudah memilikikemampuan telekinesis. Kemampuan itu biasanyadatang bersamaan dengan Pusaka pertamamu. Jarangsekali jika kemampuan itu datang setelahnya. Danjika itu terjadi, biasanya jaraknya hanya satuminggu.”Aku menatap Henri. Matanya penuh rasa khawatir,dan dahinya dihiasi garis kekhawatiran.“Pusakamu datang dari Lorien. Selalu begitu.”“Jadi apa yang ingin kau katakan?”“Aku tak tahu seberapa banyak yang bisa kitaharapkan,” katanya, lalu berhenti. “Karena kita tidaklagi berada di Planet Lorien, aku tak tahu apakahPusakamu yang lain akan muncul. Dan jika Pusakamutidak muncul, kita tak memiliki harapan untukmelawan para Mogadorian, apalagi mengalahkanmereka. Dan jika kita tidak mengalahkan mereka,kita tak akan bisa pulang.”Aku memandang salju yang jatuh. Aku tidak bisamemutuskan apakah sebaiknya merasa khawatiratau lega, lega karena mungkin kami tidak perlu lagiberpindah-pindah dan bisa tinggal di satu tempat.Henri menunjuk ke arah bintang-bintang.“Di sana,” katanya. “Lorien ada di sana.”Tentu saja aku tahu di mana Lorien berada tanpa

Page 67: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

perlu diberitahu. Ada semacam magnet yangmembuat mataku selalu tertarik ke titik tempat Lorienberada, walaupun jaraknya jutaan kilometer. Akumencoba menangkap serpihan salju dengan ujunglidah. Lalu aku menutup mata dan menghirup udaradingin. Saat membuka mata, aku berbalik dan melihatSarah melalui jendela. Dia duduk bersila, kepalaBernie Kosar masih di pangkuannya.“Apa kau pernah berpikir untuk tinggal di sini,melupakan Lorien, dan membangun kehidupan diBumi?” aku bertanya kepada Henri.“Kita pergi saat kau masih sangat kecil. Kurasa kautak ingat terlalu banyak, ya?”“Nggak juga,” kataku. “Ada potongan-potongankejadian yang kuingat dari waktu ke waktu. Tapi akutak bisa mengatakan apakah potongan-potongankejadian itu adalah hal-hal yang kuingat atau hal-halyang kulihat saat latihan kita.”“Kurasa kau tak akan merasa seperti itu jika bisamengingat.”“Tapi aku nggak ingat. Itu intinya, kan?”“Mungkin,” kata Henri. “Tapi baik kau ingin kembaliataupun tidak, bukan berarti para Mogadorian akanberhenti mencarimu. Dan jika kita ceroboh dantinggal, pastilah mereka akan menemukan kita. Danbegitu mereka menemukan kita, mereka akanmembunuh kita berdua. Tak ada apa pun yang bisamengubah itu. Tak ada.”Aku tahu Henri benar. Entah bagaimana aku juga bisamerasakan sebanyak itu, seperti Henri. Aku bisamerasakannya di malam hari saat tiba-tiba bulukudukku berdiri seakan ada yang memperhatikan,atau saat aku bergidik walaupun tidak kedinginan.“Apa kau pernah menyesal karena tetap bersamakuselama ini?”“Menyesal? Kenapa kau berpikir begitu?”“Karena tak ada yang akan menyambut kepulangankita. Keluargamu sudah mati. Begitu juga keluargaku.Di Lorien, hanya ada tugas untuk membangunkembali planet itu. Jika bukan karena aku, kau pastibisa membuat identitas baru di sini dan menghabiskansisa hidupmu dengan menjadi bagian dari suatutempat. Kau bisa berteman, atau mungkin jatuh cintalagi.”Henri tertawa. “Aku sudah jatuh cinta. Dan aku akantetap begitu sampai mati. Aku tidak berharap kau bisamemahami itu. Lorien berbeda dari Bumi.”Aku mendesah jengkel. “Tapi tetap saja kau bisa jadibagian masyarakat di suatu tempat.”“Aku sudah menjadi bagian masyarakat. Akumasyarakat Paradise, Ohio, saat ini, bersamamu.”Aku menggelengkan kepala. “Kau tahu maksudku,Henri.”“Menurutmu apa yang tidak kumiliki?”“Kehidupan.”“Kau adalah hidupku, Nak. Kau dan ingatanku adalahsatu-satunya pengikatku dengan masa lalu. Tanpakau, aku tak memiliki apa-apa. Itu yang sebenarnya.”Tiba-tiba pintu di belakang kami dibuka. Bernie Kosarberlari keluar bersama Sarah, yang berdiri di ambangpintu.“Apa kalian berdua akan membiarkanku nonton filmini sendirian?” tanya Sarah.Henri tersenyum. “Tak akan,” jawabnya.* * *Setelah film usai, Henri dan aku mengantar Sarahpulang. Saat tiba di rumah Sarah, aku mengantarnyahingga pintu depan rumah dan kami berdiri di serambisaling tersenyum. Aku menciumnya lama sambilmemegang kedua tangannya lembut.“Sampai besok,” kata Sarah sambil meremastanganku.“Mimpi indah.”Aku berjalan kembali ke truk. Henri mundur darihalaman rumah Sarah dan menyetir ke rumah. Aku

Page 68: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

tak bisa mencegah perasaan takut ketika teringat apayang Henri ucapkan saat menjemputku di sekolahpada hari pertama aku bersekolah hingga bel pulang:“Ingat kita mungkin terpaksa pergi mendadak.” Henribenar, dan aku tahu itu. Tapi aku tidak pernah merasaseperti ini kepada siapa pun sebelumnya. Aku merasaseolah melayang di udara saat bersama Sarah. Akumerasa terpuruk saat kami berpisah, seperti saat ini,padahal aku baru saja menghabiskan waktubeberapa jam dengan Sarah. Sarah memberiku tujuanatas pelarian kami, dan juga tujuan ataspersembunyian kami, alasan yang lebih daripadasekadar bertahan hidup. Alasan untuk menang. Danmengetahui bahwa aku bisa membahayakan nyawaSarah dengan bersamanya―yah, itu membuatku takut.Saat kami kembali, Henri masuk ke kamarnya dankeluar membawa Peti Loric. Dia meletakkan peti itu dimeja dapur.“Serius nih?” tanyaku.Henri mengangguk. “Ada sesuatu yang sudahbertahun-tahun ingin kutunjukkan kepadamu.”Aku tidak sabar untuk melihat apa lagi yang ada didalam peti itu. Kami membuka kuncinya bersama.Lalu Henri mengangkat tutupnya dengan cara tertentusehingga aku tidak bisa mengintip. Dia mengeluarkansebuah kantong beledu, lalu menutup Peti danmenguncinya kembali.“Ini bukan bagian dari Pusakamu. Tapi saat terakhirkali kita membuka Peti ini, aku menyelipkannya kedalam karena mendapat firasat buruk. Jika paraMogadorian menangkap kita, mereka tak akan bisamembukanya,” kata Henri sambil memberi isyarat kearah Peti.“Apa isi tas itu?”“Sistem tata surya,” kata Henri.“Jika itu bukan bagian dari Pusakaku, kenapa kau takpernah menunjukkannya kepadaku?”“Karena kau perlu memiliki satu Pusaka untukmengaktifkannya.”Henri mengosongkan meja dapur dan duduk didepanku dengan kantong beledu di pangkuan. Diatersenyum memandangku, merasakan antusiasmeku.Lalu dia meraih dan mengeluarkan tujuh bola kacadengan berbagai ukuran dari dalam kantong itu. Diamemegang bola-bola kaca itu dengan tangan terkatupdi depan wajahnya lalu meniupnya. Kerlipan cahayamuncul dari dalam bola-bola itu. Kemudian Henrimelemparkan bola-bola itu ke udara dan bola-bola itumenyala, melayang di atas meja dapur. Bola-bolakaca itu merupakan replika dari sistem tata suryakami. Bola paling besar berukuran sebesar jeruk danmelayang di tengah, memancarkan cahaya seterangbola lampu dan tampak seperti bola kaca berisi lava.Matahari Lorien. Bola-bola lain mengorbitmengelilinginya. Bola terdekat dengan mataharibergerak dengan kecepatan tinggi, sementara bolapaling jauh tampak seolah merayap. Bola-bola ituberputar, berotasi, hari-hari berganti dengan cepat.Bola keempat dari matahari adalah Lorien. Kamimemandang bola itu bergerak, memandangpermukaan yang mulai terbentuk. Ukurannya sebesarbola racquetball atau berdiameter 57 milimeter.Replika itu pastilah tidak sesuai dengan skalasesungguhnya karena sebenarnya Lorien jauh lebihkecil daripada matahari kami.“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.“Bola ini menunjukkan seperti apa Lorien saat ini.”“Kok bisa?”“Lorien tempat yang istimewa, John. Ilmu sihir kunoterdapat di intinya. Dari sanalah Pusakamu datang.Itulah yang menyebabkan benda-benda yang adadalam Warisanmu hidup dan nyata.”“Tapi tadi kau bilang ini bukan bagian dari Pusakaku.”“Bukan, tapi benda-benda ini berasal dari tempat yangsama.”

Page 69: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Lekukan-lekukan terbentuk, gunung-gunung tumbuh,tampak lekukan dalam membelah permukaan―akutahu dulu itu adalah sungai. Lalu berhenti. Aku melihatapakah ada warna, gerakan, atau angin yangmungkin bertiup di daratan. Tidak ada. Semuanyahanyalah bidang-bidang berwarna abu-abu dan hitam.Aku tidak tahu apa yang ingin kulihat, apa yangkuharapkan. Suatu gerakan, petunjuk adanya tanahsubur. Hatiku mencelos. Lalu permukaan itu meredupsehingga kami bisa melihat menembusnya. Di bagiantengah bola, cahaya redup mulai terlihat. Cahaya itubersinar, meredup, lalu bersinar lagi, seperti denyutjantung hewan tertidur.“Apa itu?” tanyaku.“Planet Lorien masih hidup dan bernapas. Dia menarikkekuatannya ke dalam, menunggu waktu. Sampaiberhibernasi. Tapi suatu saat planet ini akan bangun.”“Kenapa kau bisa yakin?”“Sinar kecil di sini,” katanya. “Itu harapan, John.”Aku memandanginya. Aku merasa senang melihatnyabersinar. Mereka mencoba menghapuskan peradabankami. Mereka mencoba menghancurkan Planet Lorien,namun planet itu masih bernapas. Ya, kupikir, harapanselalu ada, seperti yang selalu Henri katakan.“Bukan itu saja.”Henri berdiri dan menjentikkan jarinya. Gerakanplanet-planet itu berhenti. Dia meletakkan wajahnyabeberapa senti dari Lorien, lalu mengatupkan tangandi mulutnya dan meniupkan udara. Warna hijau danbiru menyapu bola itu dan langsung memudar begituuap napas Henri hilang.“Apa yang kau lakukan?”“Sorotkan tanganmu ke planet itu,” kata Henri.Aku menyalakan tanganku. Saat aku menyorotkantanganku di atas bola itu, warna hijau dan biru taditerlihat kembali, hanya saja kali ini warna-warna itutetap di sana selama tanganku menyinarinya.“Seperti inilah Lorien sehari sebelum penyerbuan.Lihatlah betapa indahnya. Kadang-kadang aku punlupa.”Planet Lorien memang indah. Semuanya tampak hijaudan biru, subur dan permai. Pepohonan tampakmelambai ditiup angin yang entah bagaimana bisakurasakan. Air tampak beriak. Planet itu benar-benarhidup, segar bugar. Tapi kemudian aku mematikancahayaku dan semua pun pudar, kembali abu-abu.Henri menunjuk satu titik di permukaan globe.“Di sini,” katanya, “tempat kita lepas landas pada haripenyerbuan.” Lalu dia menggeserkan jarinya satusenti dari tempat itu. “Dan di sini MuseumPenjelajahan Loric.”Aku mengangguk dan melihat titik yang Henri tunjuk.Abu-abu lagi.“Apa kaitan museum itu dengan semuanya?” tanyaku.Aku kembali duduk di kursi. Sulit melihat Lorien tanpamerasa sedih.Henri menatapku. “Aku sering berpikir tentang apayang kau lihat.”“Ya?” kataku, memaksanya melanjutkan.“Museum itu besar, seluruhnya dicurahkan untukpenjelajahan antariksa dari zaman ke zaman. Di salahsatu sayap bangunan itu ada roket-roket lama yangberusia ribuan tahun. Roket-roket yang menggunakansemacam bahan bakar minyak yang hanya ada diLorien,” kata Henri, lalu berhenti, memandang kembalike bola kaca kecil yang melayang enam puluh senti diatas meja dapur kami. “Nah, jika apa yang kau lihatbenar-benar terjadi, jika sebuah pesawat keduaberhasil lepas landas dan keluar dari Lorien pada saatperang terjadi, pasti pesawat itu disimpan di museumantariksa. Tak ada penjelasan lain. Aku masih sulituntuk percaya bahwa pesawat itu masih bisadigunakan. Dan kalau pun memang bisa, pastipesawat itu tak bisa pergi terlalu jauh.”“Kalau pesawat itu tak bisa pergi terlalu jauh, kenapa

Page 70: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kau masih memikirkannya?”Henri menggelengkan kepala. “Aku sendiri tak yakin.Mungkin karena aku pernah salah sebelumnya.Mungkin karena aku harap saat ini aku salah. Dan,yah, jika pesawat itu memang bisa sampai entah kemana, pasti pesawat itu sudah tiba di sini, planetterdekat yang bisa dihuni selain Mogadore. Dan itujuga dengan asumsi bahwa pesawat itu berisimakhluk hidup, bukannya dipenuhi dengan artefak-artefak atau kosong dan hanya untuk membuat paraMogadorian bingung. Tapi aku pikir pasti setidaknyaada satu Loric yang mengemudikan pesawat itukarena, yah, aku yakin kau sudah tahu, pesawatsemacam itu tidak bisa menyetir sendiri.”* * *Insomnia lagi. Aku berdiri telanjang dada di depancermin, menatap ke dalamnya dengan kedua tanganmenyala. “Aku tak tahu seberapa banyak yang bisakita harapkan,” kata Henri hari ini. Cahaya di pusatLorien masih menyala. Benda-benda yang kami bawadari Lorien masih berfungsi. Jadi kenapa sihirnyahanya sampai segini? Lalu bagaimana dengan yanglain: apa mereka mengalami masalah yang sama?Apakah Pusaka mereka tidak muncul?Aku menegangkan otot-ototku di cermin, lalu meninjuudara, berharap cermin itu pecah, atau ada bunyigedebuk di pintu. Tapi tidak ada. Hanya ada aku, yangtampak seperti orang tolol, berdiri telanjang dada,meninju bayangan sendiri, sementara Bernie Kosarmemandangi bayanganku. Aku tersenyum ke arahnyadan dia mengibas-ngibaskan ekor.“Kalau kamu bagaimana?” aku bertanya kepadaBernie Kosar. “Apa kau punya kekuatan istimewa?Apakah kau itu anjing super? Apa aku harusmemasangkan mantelmu supaya kau bisa terbang diudara?”Bernie Kosar tetap mengibas-ngibaskan ekornya. Diamengetuk lantai dengan cakarnya sambilmemandangku dari ujung atas matanya. Akumengangkat Bernie Kosar ke atas kepala danmenerbangkannya mengelilingi kamar.“Lihat! Bernie Kosar, si anjing super yang hebat!”Bernie Kosar menggeliat sehingga akumenurunkannya. Dia jatuh miring dengan ekordikibas-kibaskan memukul kasur.“Yah, teman, salah satu dari kita harus punyakekuatan super. Dan tampaknya itu bukan aku.Kecuali kalau kita kembali ke Masa Kegelapansehingga aku bisa menerangi dunia dengan cahayaku.Kalau tidak, berarti aku tak berguna.”Bernie Kosar berguling telentang dan menatapkudengan mata besarnya, memintaku menggarukperutnya.

SAM MENGHINDARIKU. DI SEKOLAH, DIA langsungmenghilang saat melihatku, atau selalu memastikankami bersama orang lain. Atas desakan Henri―yangtelah menyisir Internet namun tidak menemukanberita seperti dalam majalah Sam sehingga sangatingin mendapatkan majalah itu―aku memutuskanuntuk langsung mengunjungi Sam. Henrimenurunkanku setelah latihan hari itu selesai. Samtinggal di rumah kecil sederhana di pinggiran KotaParadise. Tidak ada jawaban saat aku mengetukpintu, jadi aku mencoba membuka pintunya. Ternyatatidak dikunci. Aku membuka pintu dan lalu masuk.Karpet tebal berwarna cokelat menutupi lantai. Foto-foto keluarga sejak Sam kecil tergantung di dindingkayu. Dalam foto itu terlihat Sam, ibunya, dan seoranglelaki, kuduga ayahnya, yang memakai kacamatasetebal kacamata Sam. Aku mengamati lebih dekat.Kacamata itu persis sama.Aku berjalan pelan di lorong hingga menemukan pintuyang pastilah pintu kamar tidur Sam―ada papanbertuliskan MASUK DAN TERIMA AKIBATNYA digantung

Page 71: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dengan paku payung. Pintu itu terbuka sedikit. Akumengintip ke dalam. Kamar itu sangat bersih, semuabenda diletakkan di tempatnya. Tempat tidurnya rapi.Ada selimut hitam dengan hiasan gambar-gambarPlanet Saturnus serta sarung bantal dengan hiasanyang sama. Dinding-dindingnya ditutupi poster. Adadua poster NASA, poster film Alien, poster film StarWars, dan satu poster yang menyala di bawah sinarultraviolet bergambar kepala alien hijau dikelilingibeledu hitam. Di tengah ruangan, digantung dengantali bening, terdapat sistem tata surya, lengkapdengan sembilan planet dan matahari. Aku teringatbenda yang Henri tunjukkan awal minggu ini. KurasaSam bisa kebakaran jenggot jika melihat benda itu.Lalu aku melihat Sam, membungkuk di atas mejakayu es kecil, dengan headphone di telinga. Akumendorong pintu hingga terbuka. Sam menengok kebelakang. Dia tidak mengenakan kacamata sehinggamatanya tampak sangat kecil dan hitam, mirip tokohkartun.“Apa kabar?” tanyaku santai, seperti yang sudah biasaberada di rumahnya.Sam tampak terkejut dan takut. Dengan kalut diamenarik headphone-nya hingga lepas sambil merogohke salah satu laci. Aku memandang mejanya danmelihat bahwa Sam sedang membaca satu eksemplarThey Walk Among Us. Saat melihat Sam kembali,ternyata dia menodongkan pistol ke arahku.“Wah,” kataku sambil mengangkat tangan secaranaluriah. “Ada apa?”Sam berdiri. Tangannya gemetar. Pistol ituditodongkan ke dadaku. Aku rasa dia sudah sinting.“Katakan apa kau sebenarnya,” katanya.“Kamu ngomong apa?”“Aku lihat apa yang kau lakukan di hutan. Kau bukanmanusia.” Aku sudah khawatir ini akan terjadi, Sammelihat lebih banyak daripada yang kuduga.“Gila kamu, Sam! Aku berkelahi. Aku sudah belajarbela diri selama bertahun-tahun.”“Tanganmu menyala seperti senter. Kau bisamelemparkan orang dengan begitu gampang. Itunggak normal.”“Jangan konyol,” kataku, tanganku masih di depandada. “Lihat tanganku. Kau melihat cahaya? Akusudah bilang, itu sarung tangan Kevin.”“Aku sudah tanya Kevin! Dia bilang dia nggak pakaisarung tangan!”“Kau pikir dia bakal memberitahumu yang sebenarnyasetelah semua yang terjadi? Turunkan pistol itu.”“Katakan! Kau ini apa?”Aku memutar mata. “Ya, aku ini alien, Sam. Akuberasal dari planet yang berjarak ratusan jutakilometer dari sini. Aku punya kekuatan super. Ituyang mau kau dengar?”Sam menatapku, tangannya masih bergetar.“Kau sadar betapa konyolnya itu? Berhenti bertingkahseperti orang gila dan turunkan pistol itu.”“Apa yang kau bilang tadi itu benar?”“Bahwa kau konyol? Ya, itu benar. Kau terlaluterobsesi dengan hal-hal semacam ini. Kau melihatalien dan konspirasi alien di setiap bagian hidupmu,termasuk temanmu satu-satunya. Sekarang turunkanpistol sialan itu.”Sam menatapku. Aku tahu dia sedang memikirkanapa yang baru saja kukatakan. Aku menurunkantangan. Lalu Sam mendesah dan menurunkan pistolitu. “Sorry,” katanya.Aku menarik napas dalam dengan gugup. “Sudahseharusnya. Kau mikir apa sih?”“Sebenarnya pistol ini nggak ada isinya.”“Harusnya kau bilang dari tadi,” kataku. “Kenapa kausangat ingin memercayai hal macam itu?”Sam menggelengkan kepala dan memasukkan pistolitu kembali ke dalam laci. Aku menenangkan dirisebentar dan mencoba bersikap santai, seolah apa

Page 72: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar.“Lagi baca apa?” tanyaku.Sam mengangkat bahu. “Cuma tulisan tentang alien.Mungkin sebaiknya aku nggak baca ini untuksementara.”“Atau membacanya hanya sebagai fiksi dan bukanfakta,” kataku. “Tapi tulisannya pasti sangatmeyakinkan. Boleh kulihat?”Sam memberikan majalah They Walk Among Usterbaru, dan aku duduk dengan hati-hati di tepitempat tidurnya. Kurasa Sam sudah cukup tenang dantidak akan menodongkan pistol lagi kepadaku. Hasilfotokopi They Walk Among Us ini tetap buruk,cetakannya miring. Majalahnya juga tidak terlalutebal―hanya delapan halaman, atau paling banyakdua belas, dicetak di kertas berukuran folio. Di bagianatas tertera DESEMBER. Ini pasti terbitan paling baru.“Ini barang aneh, Sam Goode,” kataku.Dia tersenyum. “Orang aneh suka barang aneh.”“Kau dapat ini dari mana?” tanyaku.“Langganan.”“Aku tahu, tapi gimana?”Sam mengangkat bahu. “Entahlah. Majalah itu datangbegitu saja.”“Apa kau berlangganan majalah lain? Mungkinmereka mendapatkan alamatmu dari sana.”“Aku pernah pergi ke suatu rapat. Mungkin waktu ituaku mendaftarkan diri untuk kontes atausemacamnya. Aku nggak ingat. Aku selalu mendugadari situlah mereka mendapatkan alamatku.”Aku mengamati sampul majalah itu. Tidak ada alamatsitus web di sana. Lagi pula aku juga tidak berharapmenemukan alamat situs web mengingat Henri sudahmengobrak-abrik Internet. Aku membaca judul ceritautama:APAKAH TETANGGAMU ALIEN?SEPULUH CARA AMPUH UNTUK MEMASTIKANNYA!Di tengah-tengah artikel itu ada foto seorang priamemegang sekantong sampah di tangan yang satudan tutup tempat sampah di tangan yang lain. Pria ituberdiri di ujung halaman rumah. Kita bisa langsungtahu bahwa dia sedang memasukkan kantong itu ketempat sampah. Walaupun seluruh majalah itudicetak hitam putih, mata lelaki itu berkilau. Fotonyajelek―seolah ada orang yang memotret tetangganyalalu menggambar sekeliling matanya dengan krayon.Itu membuatku tertawa.“Apa?” tanya Sam.“Fotonya jelek banget. Kayak sesuatu dari Godzilla.”Sam memandangnya. Lalu dia mengangkat bahu.“Entahlah,” katanya. “Mungkin saja ini nyata. Sepertikau bilang, aku melihat alien di mana pun dan dalamapa pun.”“Tapi kupikir alien itu bentuknya seperti itu,” katakusambil mengangguk ke arah poster alien hijau didinding kamar.“Kupikir nggak semua alien seperti itu,” kata Sam.“Seperti yang tadi kau bilang, kau ini alien dengankekuatan super dan kau tidak tampak seperti itu.”Kami berdua tertawa, dan aku bertanya-tanyabagaimana meloloskan diri dari yang satu itu. SemogaSam tidak pernah tahu bahwa aku mengatakan yangsebenarnya. Tapi sebagian diriku inginmemberitahunya―mengenai diriku, mengenai Henri,mengenai Lorien―dan aku penasaran seperti apareaksinya. Apa Sam akan percaya kepadaku?Aku membuka majalah itu untuk melihat halamanpenerbit yang selalu ada dalam surat kabar danmajalah. Tidak ada. Hanya ada cerita dan teori.“Nggak ada halaman info penerbit.”“Maksudmu?”“Kau tahu kan majalah dan surat kabar selalu punyahalaman yang isinya nama-nama staf, editor, penulis,tempat percetakan, dan sebagainya? Kau tahu, ‘Jikaada pertanyaan, hubungi ini dan itu.’ Semua media

Page 73: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

masa cetak punya, tapi yang ini nggak.”“Mereka harus melindungi identitas mereka,” kataSam.“Dari apa?”“Para alien,” jawab Sam, lalu tersenyum sepertimenyadari betapa anehnya itu.“Kau punya edisi bulan lalu?”Sam mengambil majalah itu dari lemarinya. Akumembalik-balikkan majalah itu dengan cepat,berharap artikel tentang Mogadorian ada di majalahitu dan bukan di edisi-edisi awal. Lalu akumenemukannya di halaman 4.RAS MOGADORIAN INGINMENGAMBIL ALIH BUMIRas alien Mogadorian, dari Planet Mogadore di Galaksikesembilan, saat ini sudah berada di Bumi selamalebih dari sepuluh tahun. Mereka adalah ras alienjahat dengan misi menguasai jagat raya. Diisukanbahwa mereka telah menghabisi sebuah planet lainyang mirip dengan Bumi, dan selanjutnya berencanamengungkapkan kelemahan Bumi demi memenuhimisi mereka untuk mendiami planet kita. (berita lebihlanjut ada di edisi selanjutnya)Aku membaca artikel itu tiga kali. Kuharap ada lebihbanyak informasi daripada yang sudah Sam katakan,tapi ternyata tidak ada. Lagi pula tidak ada yangnamanya Galaksi Kesembilan. Aku penasaran darimana mereka mendapatkan informasi itu. Akumembalik-balik edisi terbaru dua kali. Tidak adatulisan mengenai Mogadorian. Dugaanku yangpertama adalah tidak ada lagi yang perlu dilaporkan,tidak ada informasi baru yang muncul. Tapi aku tidakyakin itu yang terjadi. Dugaanku yang kedua adalahpara Mogadorian membaca edisi tersebut danmembereskan masalah itu, apa pun masalahnya.“Boleh aku pinjam ini?” tanyaku, memegang edisibulan lalu.Sam mengangguk. “Jangan sampai rusak.”* * *Tiga jam kemudian, pada pukul delapan, ibu Sammasih belum pulang. Aku bertanya kepada Sam dimana ibunya berada. Sam mengangkat bahu,sepertinya dia tidak tahu dan itu sudah biasa terjadi.Bisa dibilang kami hanya bermain video game danmenonton TV. Untuk makan malam, kami makanmakanan yang bisa dipanaskan menggunakanmicrowave. Selama aku berada di rumahnya, Samtidak pernah mengenakan kacamata. Aku merasaaneh karena belum pernah melihat Sam tanpakacamata. Bahkan saat kami lari waktu pelajaranolahraga, Sam tetap mengenakan kacamatanya. Akumeraih kacamata itu dari atas lemari danmengenakannya. Dunia langsung buram dan aku sakitkepala.Aku memandang Sam. Dua duduk bersila di lantai,dengan punggung bersandar di tempat tidur, dansebuah buku tentang alien di pangkuannya.“Ya, ampun. Penglihatanmu benar-benar seburuk ini?”tanyaku.Sam mendongak memandangku. “Itu kacamataayahku.”Aku melepaskan kacamata itu.“Apa kau perlu pakai kacamata, Sam?”Sam mengangkat bahu. “Nggak juga.”“Jadi kenapa kau pakai kacamata?”“Itu kacamata ayahku.”Aku memakai kacamata itu lagi. “Wow, aku nggakngerti gimana caramu berjalan lurus saat memakaiini.”“Mataku sudah terbiasa.”“Kau tahu kan penglihatanmu bisa rusak kalau terus-terusan memakai ini?”“Maka aku akan bisa melihat apa yang dulu ayahkulihat.”Aku melepaskan kacamata dan mengembalikan

Page 74: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

benda itu ke tempatnya. Aku tidak benar-benarmengerti mengapa Sam memakainya. Alasansentimental? Apa dia benar-benar berpikir itusetimpal?“Ayahmu di mana, Sam?”Sam mendongak memandangku.“Aku nggak tahu,” jawabnya.“Maksudmu?”“Ayahku hilang waktu aku tujuh tahun.”“Kau tak tahu ke mana perginya?”Sam mendesah, menundukkan kepala, danmelanjutkan membaca. Jelas dia tidak maumembicarakan itu.“Kau percaya hal-hal macam ini?” tanya Sam setelahbeberapa menit diam.“Alien?”“Yeah.”“Ya, aku percaya.”“Apa kau pikir mereka benar-benar menculik orang?”“Entahlah. Kurasa kita nggak bisa mengabaikankemungkinan itu. Kau sendiri percaya?”Sam mengangguk. “Setiap hari. Tapi kadang-kadanggagasan itu terdengar konyol.”“Aku bisa mengerti.”Sam mendongak memandangku. “Kupikir ayahkudiculik,” katanya.Sam menegang begitu kata-kata itu keluar darimulutnya dan wajahnya tampak terluka. Aku yakindia pernah menceritakan teorinya, kepada seseorangyang menanggapinya dengan tidak ramah.“Kenapa kau berpikir begitu?”“Karena dia hilang begitu saja. Ayahku pergi ke tokountuk membeli susu dan roti, dan dia tak pernahkembali. Truknya diparkir di luar toko, tapi tak adayang melihatnya. Dia lenyap begitu saja, dankacamatanya ditemukan di trotoar di sampingtruknya.” Sam berhenti sebentar. “Aku khawatir kaudi sini untuk menculikku.”

Itu teori yang sulit dipercaya. Bagaimana mungkintidak ada yang melihat ayah Sam diculik jika insidenitu terjadi di tengah kota? Mungkin ayahnya memilikialasan untuk pergi dan berencana untuk membuatdirinya sendiri menghilang. Tidak sulit membuat dirimumenghilang. Henri dan aku sudah melakukannyaselama sepuluh tahun. Tapi tiba-tiba ketertarikan Samterhadap alien bisa dipahami. Mungkin Sam hanyaingin melihat dunia dengan cara yang sama sepertiayahnya melihat dunia. Mungkin juga ada bagian daridiri Sam yang benar-benar percaya bahwa apa yangterakhir kali ayahnya lihat terekam di kacamata itu,entah bagaimana terpatri di lensa kacamata. MungkinSam berpikir bahwa kalau dia terus berusaha, diapasti akan bisa melihatnya. Apa yang terakhir kaliayahnya lihat akan menegaskan dugaan Sam. Ataumungkin Sam yakin bahwa jika dia terus mencari,pada akhirnya dia akan menemukan artikel yangmembuktikan bahwa ayahnya diculik, dan berharapayahnya bisa diselamatkan.Dan apa kuasaku sehingga bisa mengatakan bahwaSam tidak mungkin menemukan bukti itu?“Aku percaya kepadamu,” kataku. “Aku pikirpenculikan oleh alien itu sangat mungkin terjadi.”***KEESOKAN HARINYA AKU BANGUN LEBIH CEPATdaripada biasa. Aku turun dari tempat tidur. Saatkeluar dari kamar, aku mendapati Henri sedang dudukdi meja sambil memindai kertas-kertas dengan laptopterbuka. Matahari masih bersembunyi. Rumah itugelap, hanya diterangi cahaya dari monitor komputer.“Dapat sesuatu?”“Nggak.”Aku menyalakan lampu dapur. Bernie Kosarmenggaruk-garuk pintu depan. Aku membuka pintu.Bernie Kosar melesat keluar ke halaman dan

Page 75: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berpatroli seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi.Dia berjalan dengan tegap, berlari mengelilingihalaman sambil mencari sesuatu yang mencurigakan.Mengendus-endus di berbagai tempat. Setelah yakinbahwa segala sesuatunya seperti yang seharusnya,dia melesat ke hutan dan hilang.Dua edisi They Walk Among Us tergeletak di atasmeja dapur, edisi asli dan fotokopi yang Henri buatuntuk disimpan. Kaca pembesar tergeletak di antarakedua majalah itu.“Ada yang aneh di yang asli?”“Nggak.”“Jadi sekarang apa?” tanyaku.“Yah, aku beruntung. Aku mengecek silang artikel-artikel di edisi ini dan mendapatkan beberapa hal,salah satunya ke situs web pribadi seseorang. Akumengiriminya email.”Aku memelototi Henri.“Nggak usah khawatir,” katanya. “Mereka tak bisamelacak email. Setidaknya mereka tak bisa melacakemail yang kukirim.”“Bagaimana caramu mengirim email?”“Aku mengubah rute pengiriman email melaluiberbagai server di berbagai kota di seluruh dunia, jaditak ada yang bisa melacak lokasi awalnya.”“Mengesankan.”Bernie Kosar menggaruk-garuk pintu dan akumembiarkannya masuk. Jam di microwavemenunjukkan pukul 5:59. Masih ada dua jam lagisebelum sekolah.“Apa kau pikir kita perlu menggali semua ini?”tanyaku. “Maksudku, bagaimana jika ini semuaternyata jebakan? Bagaimana jika mereka hanyaingin menemukan tempat persembunyian kita?”Henri mengangguk. “Kau tahu, jika artikel itumenyebutkan sesuatu tentang kita, pasti aku akanberpikir ulang. Tapi tidak. Artikel itu berisi mengenairencana para Mogadorian untuk menyerbu Bumi,seperti yang sudah mereka lakukan terhadap Lorien.Ada banyak hal yang tidak kita pahami. Dua mingguyang lalu kau bilang kita terlalu mudah dikalahkan. Itutak masuk akal. Segala situasi yang berkaitan denganhilangnya para Tetua juga tak masuk akal. Bahkanmengungsikanmu dan anak-anak lain dari Lorien,yang selama ini tidak pernah kupertanyakan, jugaterasa janggal. Dan walaupun kau sudah melihat apayang terjadi―aku juga melihat citra yang sama―masihada sesuatu yang janggal. Jika suatu hari nanti kitaberhasil kembali, kurasa kita harus memahami apayang telah terjadi untuk mencegah agar hal yangsama tidak terulang kembali. Kau tahu kata-katabijaknya: dia yang tidak memahami sejarah akanmengulang sejarah itu. Dan jika sejarah itu berulang,kerugiannya akan berlipat ganda.”“Oke,” kataku. “Tapi berdasarkan apa yang kaukatakan malam Minggu kemarin, semakin harikemungkinan kita untuk pulang semakin kecil. Jadi,apa kau pikir semua ini setimpal?”Henri mengangkat bahu. “Masih ada lima lagi di luarsana. Mungkin Pusaka mereka sudah muncul. MungkinPusakamu hanya tertunda. Kurasa kita lebih baikmembuat rencana untuk menghadapi segalakemungkinan yang ada.”“Jadi, apa rencanamu?”“Menelepon. Aku ingin mendengar apa yang orang iniketahui. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan orangini tidak menulis berita lanjutannya. Hanya ada duakemungkinan: entah itu dia tidak berhasil menemukaninformasi lain sehingga tidak tertarik lagi terhadapcerita itu, atau seseorang menghubunginya setelahcerita itu dicetak.”Aku mendesah. “Hati-hati,” kataku.* * *Aku mengenakan celana dan kaus olahraga di atasdua kaus biasa, mengikat sepatu tenisku, lalu berdiri

Page 76: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dan meregangkan badan. Kumasukkan pakaian yangakan kukenakan di sekolah, beserta handuk, sebatangsabun, dan sebotol kecil sampo ke dalam ransel agarbisa mandi begitu tiba di sana. Sekarang aku berlarike sekolah setiap pagi. Henri tampaknya yakin bahwaolahraga tambahan akan membantu latihanku.Padahal alasan sebenarnya adalah Henri berharapolahraga tambahan ini akan memperkuat tubuhkudan membangunkan Pusakaku yang tidur, jikamemang benar Pusakaku itu tidur.Aku menunduk memandang Bernie Kosar. “Siap lari?Mau ikut lari?”Bernie Kosar mengibas-ngibaskan ekor dan berputar-putar.“Sampai nanti.”“Selamat lari,” kata Henri. “Hati-hati di jalan.”Kami berjalan keluar menyapa udara dingin dansegar. Bernie Kosar menyalak senang beberapa kali.Aku mulai berlari pelan, menuruni jalan masuk mobil,ke jalan berkerikil. Bernie Kosar berlari di sampingkuseperti yang kuduga. Setengah kilometer untukpemanasan.“Siap lari kencang?”Bernie Kosar tidak memperhatikanku. Dia terus berlaridi sampingku dengan lidah terjulur, tampak begitusenang.“Oke, ini dia.”Aku menambah kecepatan, berlari cepat, lalu berlarisangat kencang, secepat yang kubisa. Akumeninggalkan Bernie Kosar di balik kepulan debu. Akumemandang ke belakang dan melihatnya berlarisecepat mungkin, tapi aku berada jauh di depannya.Angin kencang di rambutku, pepohonan tampakkabur. Rasanya luar biasa. Lalu Bernie Kosar melesatmasuk ke hutan dan hilang. Aku tidak yakin apakahsebaiknya aku berhenti dan menunggunya. Saat akukembali menghadap ke depan, tiba-tiba Bernie Kosarmelompat keluar dari hutan, tiga meter di depanku.Aku menunduk memandangnya. Dia mendongak,balas menatapku dengan lidah terjulur di salah satusisi, matanya tampak senang.“Kau itu anjing aneh, tahu?”Setelah lima menit, sekolah mulai tampak. Aku berlarikencang sepanjang delapan ratus meter berikut. Akumemaksakan diri berlari secepat yang kubisamumpung hari masih terlalu pagi sehingga tidak adaorang yang akan melihatku. Lalu aku berdiri denganjari-jari dikaitkan di belakang kepala, terengah-engah.Bernie Kosar tiba tiga puluh detik kemudian, dudukdan memandangiku. Aku berlutut dan membelainya.“Hebat, Teman. Aku rasa kita sekarang punya ritualpagi baru.”Aku menurunkan tas, membukanya, mengambilbungkusan berisi beberapa lembar daging asap, danmemberikannya kepada Bernie Kosar. Dia langsungmelahap habis daging itu.“Oke. Aku mau masuk. Pulang ke rumah. Henrimenunggu.”Bernie Kosar menatapku sedetik, lalu berlari ke rumah.Aku heran karena dia bisa mengerti. Lalu aku berbalik,berjalan memasuki gedung sekolah, dan pergi kekamar mandi.* * *Aku orang kedua yang masuk kelas astronomi. Samorang yang pertama. Dia sudah duduk di bangkunyayang biasa di belakang kelas.“Wah,” kataku. “Tanpa kacamata. Kenapa, nih?”Sam mengangkat bahu. “Aku memikirkan apa yangkau katakan. Mungkin konyol jika aku terusmemakainya.”Aku duduk di sampingnya dan tersenyum. Sulit untukmembayangkan diriku akan terbiasa dengan matanyayang tampak begitu bulat. Aku mengembalikan TheyWalk Among Us yang kupinjam. Sam memasukkanmajalah itu ke dalam tas. Aku menodongkan jariku

Page 77: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

seperti menodongkan pistol dan menembaknya.“Dor!” kataku.Sam mulai tertawa. Lalu aku tertawa. Kami berduatidak bisa berhenti. Setiap kali salah satu dari kamihampir berhenti tertawa, yang lain mulai tertawa lagi,dan akhirnya kami berdua tertawa. Murid-murid lainmemandangi kami saat mereka masuk. Lalu Sarahmasuk. Dia sendirian. Sarah berjalan ke arah Sam danaku dengan pandangan bingung, lalu duduk di kursi disebelahku.“Kalian menertawakan apa?”“Aku juga nggak tahu,” kataku, lalu tertawa lagisebentar.Mark murid terakhir yang masuk. Dia duduk dikursinya yang biasa, kali ini yang duduk disampingnya bukan Sarah melainkan gadis lain. Akupikir gadis itu anak kelas tiga. Sarah mengulurkantangan di bawah meja dan memegang tanganku.“Ada yang ingin kukatakan,” katanya.“Apa?”“Aku tahu ini mendadak, tapi orangtuaku inginmengundangmu dan juga ayahmu untuk makanmalam Thanksgiving besok.”“Wah. Pasti bakal asyik. Aku harus tanya Henri, tapiaku tahu kami nggak punya rencana apa pun, jadiaku rasa jawabannya ya.”Sarah tersenyum. “Bagus.”“Karena kami cuma berdua dan nggak bisamerayakan Thanksgiving.”“Yah, semua keluargaku berkumpul. Abang-abangkuyang sudah kuliah akan pulang. Mereka ingin ketemukamu.”“Kok mereka bisa tahu tentang aku?”“Menurutmu?”Guru masuk. Sarah mengedipkan mata. Lalu kamimulai mencatat.* * *Henri menungguku seperti biasa. Bernie Kosarmemunculkan kepalanya dari tempat dudukpenumpang dengan ekor dikibas-kibaskan begitumelihatku. Aku masuk.“Athens,” kata Henri.“Athens?”“Athens, Ohio.”“Kenapa?”“They Walk Among Us ditulis dan dicetak di sana.Majalah itu juga dikirim dari sana.”“Bagaimana kau bisa tahu?”“Aku punya cara.”Aku memandang Henri.“Oke, oke. Perlu tiga email dan lima kali menelepon,tapi sekarang aku punya nomornya.” Henrimemandangku. “Yang jelas, tak terlalu sulit untukmenemukannya, hanya perlu sedikit usaha.”Aku mengangguk. Aku mengerti apa maksud Henri.Para Mogadorian pasti juga menemukannya denganbegitu mudah seperti Henri. Yang artinya, tentu saja,kemungkinan kedua lebih mungkin terjadi―adaseseorang yang pergi ke penerbitan itu sebelumkisahnya berkembang.“Athens itu berapa jauh jaraknya?”“Dua jam dengan mobil.”“Kau bakal pergi?”“Maunya sih nggak. Aku mau telepon dulu.”Saat tiba di rumah, Henri langsung mengangkattelepon dan duduk di meja dapur. Aku duduk didepannya dan mendengarkan.“Ya, saya menelepon untuk menanyakan mengenaisalah satu artikel They Walk Among Us edisi bulanlalu.”Suara berat menjawab di ujung seberang. Aku tidakbisa mendengar jawabannya.Henri tersenyum. “Ya,” katanya, lalu diam.“Bukan, saya bukan pelanggan. Tapi teman sayaberlangganan.”

Page 78: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Diam lagi. “Tidak, terima kasih.”Henri menganggukkan kepala.“Yah, saya penasaran dengan artikel mengenai paraMogadorian. Tidak ada lanjutan beritanya di edisibulan ini.”Aku mencondongkan tubuh dan berusaha mendengar,tubuhku tegang dan kaku. Orang itu menjawabdengan suara gemetar, gelisah. Lalu telepon itu mati.“Halo?”Henri menjauhkan telepon dari telinga, memandangtelepon itu, lalu mendekatkannya lagi.“Halo?” katanya lagi.Lalu Henri menutup telepon dan meletakkannya dimeja. Dia memandangku.“Dia bilang, ‘Jangan telepon ke sini lagi,’ lalu menutuptelepon.”SETELAH KAMI BERDEBAT SELAMA BEBERAPA JAMmengenai keinginan Henri menemui penerbit TheyWalk Among Us, keesokan paginya Henri bangun danmencetak rincian petunjuk arah dari sini ke Athens,Ohio. Henri bilang dia akan pulang secepatnyasehingga kami bisa pergi ke jamuan Thanksgiving dirumah Sarah. Dia juga memberikan kertas berisialamat dan nomor telepon tempat tujuannya.“Kau yakin ini perlu?” tanyaku.“Kita harus tahu apa yang terjadi.”Aku mendesah. “Kurasa kita berdua tahu apa yangterjadi.”“Mungkin,” jawab Henri, dengan nada tegad bukandengan nada ragu seperti yang biasa menyertai kataitu.“Kau sadar apa yang akan kau katakan kepadakujika peran kita terbalik, kan?”Henri tersenyum. “Ya, John. Aku tahu apa yang akankukatakan. Tapi kupikir ini akan membantu kita. Akuingin tahu apa yang telah mereka lakukan sehinggaorang ini sangat ketakutan. Aku ingin tahu apakahmereka menyebut-nyebut kita ataukah merekamencari kita dengan cara yang belum pernah kitapikirkan. Itu akan membantu kita tetap tersembunyidan selalu berada di depan mereka. Dan jika orang inisudah melihat mereka, kita bisa tahu seperti apatampang mereka.”“Kita kan sudah tahu seperti apa mereka.”“Kita tahu seperti apa mereka saat merekamenyerang Lorien, lebih dari sepuluh tahun lalu, tapimereka mungkin sudah berubah. Mereka sudah lamatinggal di Bumi. Aku ingin tahu bagaimana merekaberbaur.”“Bahkan kalaupun kita tahu seperti apa tampangmereka, jika kita melihat mereka di jalan mungkinsudah terlambat.”“Mungkin, mungkin juga nggak. Jika aku melihat satu,aku akan mencoba membunuhnya. Belum tentu diabisa membunuhku,” kata Henri, kali ini dengan nadaragu.Aku menyerah. Aku tidak suka jika Henri menyetirsendirian ke Athens sementara aku duduk-duduk dirumah. Tapi aku tahu Henri tidak akan mendengarkankeberatanku.“Kau yakin bisa pulang tepat waktu?” tanyaku.“Aku pergi sekarang. Berarti sekitar pukul sembilanaku sampai di Athens. Kurasa aku di sana tak lebihdari satu jam, paling lama dua jam. Aku pasti sudahdi rumah pukul satu.”“Jadi kenapa aku memegang ini?” tanyaku sambilmengacungkan kertas berisi alamat dan nomortelepon.Henri mengangkat bahu. “Jaga-jaga.”“Ini yang bikin aku berpikir sebaiknya kau nggakpergi.”“Apa pun katamu,” katanya, mengakhiri perdebatankami. Henri mengumpulkan kertas-kertas, bangkitberdiri, dan mendorong kursi ke meja.“Sampai ketemu sore nanti.”

Page 79: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Oke,” kataku.Henri berjalan keluar menuju truk lalu naik kedalamnya. Bernie Kosar dan aku berjalan ke berandadepan dan memandangi Henri pergi. Aku tidak tahukenapa, tapi aku punya firasat buruk. Kuharap Henricepat kembali.* * *Hari itu terasa panjang. Waktu berjalan denganlambat, satu menit bagaikan sepuluh menit, satu jambagaikan dua puluh jam. Aku bermain video gamedan berselancar di internet. Lalu aku mencari beritayang mungkin berkaitan dengan salah satu anak lain.Aku tidak menemukan apa pun, dan merasa senangkarenanya. Itu artinya kami masih tidak terlacak.Menghindari musuh kami.Aku mengecek ponselku berkali-kali. Pada siang hariaku mengirim SMS ke Henri. Dia tidak membalas. Akumakan siang dan memberi makan Bernie. Setelah ituaku mengirim SMS lagi. Tak ada jawaban. Perasaangelisah dan tidak tenang merayapiku. Henri selalumembalas SMS secepatnya. Mungkin ponselnya mati.Mungkin baterainya habis. Aku mencobamenenangkan diri dengan kemungkinan-kemungkinanitu, walaupun aku tahu itu tidak mungkin.Pada pukul dua aku mulai cemas. Benar-benar cemas.Seharusnya kami sampai di rumah keluarga Hart satujam lagi. Henri tahu makan malam itu penting bagiku.Dan dia tidak mungkin mengecewakanku. Aku mandidengan harapan saat selesai nanti Henri sudah dudukdi meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Akumembuka keran air panas besar-besar tanpa repot-repot membuka keran air dingin. Aku tidakmerasakan apa pun. Sekarang seluruh tubuhku tahanpanas. Kulitku terasa seolah disiram air hangat-hangatkuku. Sebenarnya aku merindukan rasa panas. Akusuka mandi air panas. Berdiri di bawah guyuran airpanas selama mungkin. Menutup mata dan menikmatiair jatuh di kepalaku dan mengalir ke bawah.Membuatku lupa akan hidupku. Membuatku lupasiapa dan apa diriku untuk sementara waktu.Saat keluar dari kamar mandi, aku membuka lemaridan mencari pakaian terbagus yang kumiliki. Tidakada yang istimewa: celana khaki, kemeja berkancing,sweater. Karena kami selalu melarikan diri, aku hanyamemiliki sepatu lari, yang tampak sangat konyolsehingga aku tertawa―pertama kalinya hari ini. Akupergi ke kamar Henri dan melihat lemarinya. Diamemiliki sepasang sepatu tanpa tali yang cocok dikakiku. Melihat pakaian Henri di lemarinyamembuatku semakin cemas, semakin gelisah. Akuberusaha berpikir bahwa Henri memerlukan waktulebih lama, tapi kalau begitu seharusnya dia sudahmenghubungiku. Pasti ada yang tidak beres.Aku berjalan ke pintu depan. Bernie duduk di sanamemandang ke luar jendela. Dia mendongakmemandangku dan mendengking. Aku menepukkepalanya dan kembali ke kamar. Aku melihat jam.Jam tiga lewat. Kucek ponselku. Tak ada pesan, takada SMS. Aku memutuskan untuk pergi ke rumahSarah. Jika pukul lima nanti tidak ada kabar dari Henri,aku akan membuat rencana lain. Mungkin aku akanmengatakan bahwa Henri sakit dan aku juga tidakenak badan. Mungkin aku akan mengatakan bahwatruk Henri rusak dan aku harus menolongnya. SemogaHenri muncul dan kami semua bisa menikmatijamuan Thanksgiving. Ini mungkin jamuan pertamayang pernah kami datangi. Jika Henri tidak muncul,aku akan mencari alasan. Terpaksa.Karena tidak ada truk, aku memutuskan untuk lari.Mungkin aku bahkan tidak akan berkeringat dan tibadi sana lebih cepat daripada jika naik truk. Lagi pulakarena ini hari libur, jalanan pasti kosong. Akumengucapkan selamat tinggal kepada Bernie,mengatakan bahwa aku akan pulang nanti malam,dan pergi. Aku berlari di pinggir tanah lapang,

Page 80: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melewati hutan. Rasanya enak membakar energiseperti itu. Setidaknya kecemasanku berkurang.Beberapa kali aku berlari dengan kecepatan penuh,mungkin sekitar seratus atau seratus sepuluhkilometer per jam. Udara dingin mengenai wajahkudan rasanya luar biasa. Dengung angin di telingakujuga luar biasa, suaranya sama seperti ketika akumenjulurkan kepala keluar jendela truk saat kamimelaju di jalan bebas hambatan. Aku ingin tahuberapa kecepatan lariku saat usiaku 20 atau 25 tahunnanti.Sekitar 100 meter dari rumah Sarah, aku berhentiberlari. Aku tidak kehabisan napas sama sekali. Ketikaberjalan di halaman rumahnya, aku melihat Sarahmengintip dari balik jendela. Dia tersenyum danmelambai, membuka pintu depan saat aku menginjakteras rumahnya.“Halo, Tampan,” katanya.Aku berputar dan menoleh ke belakang, pura-puramenduga Sarah berbicara dengan orang lain. Lalu akukembali memandangnya dan bertanya apa dia bicaradenganku. Sarah tertawa.“Kau konyol,” katanya, dan meninju lenganku. Lalu diamenarik dan menciumku. Aku menarik napas dalamdan mencium bau makanan: kalkun dan isinya, ubi,brussels sprout, pie labu.“Baunya sedap,” kataku.“Ibuku memasak sepanjang hari.”“Tak sabar ingin cepat-cepat makan.”“Ayahmu mana?”“Ada urusan. Sebentar lagi dia pasti tiba di sini.”“Ayahmu baik-baik saja?”“Yeah, bukan masalah besar.”Kami masuk dan Sarah mengajakku berkeliling.Rumahnya bagus. Rumah keluarga dengan modelklasik, kamar-kamar tidur ada di lantai dua, dan saturuangan di loteng menjadi kamar salah satuabangnya. Ruangan-ruangan lainnya―ruang tamu,ruang makan, dapur, ruang keluarga―ada di lantaisatu. Saat kami tiba di kamar Sarah, dia menutuppintu dan menciumku. Aku terkejut, tapi senang.“Sepanjang hari ini aku ingin melakukan itu,” katanyalembut sambil bergerak meninggalkanku. Saat Sarahberjalan ke pintu, aku menariknya lalu menciumnyalagi.“Dan aku juga ingin menciummu lagi nanti,” bisikku.Sarah tersenyum dan meninju lenganku lagi.Kami turun ke bawah. Sarah membawaku ke ruangkeluarga. Di sana ada dua abangnya, yang pulang kerumah selama akhir minggu, sedang menontonfootball dengan ayahnya. Aku duduk bersamamereka. Sarah kembali ke dapur untuk membantu ibudan adik perempuannya mengurus makan malam.Aku belum pernah menyaksikan pertandingan footballdengan sungguh-sungguh. Kurasa, karena carahidupku dan Henri, aku tidak pernah memperhatikanapa pun selain kehidupan kami dengan sungguh-sungguh. Perhatian utamaku adalah bagaimanaberbaur dengan lingkungan tempat kami tinggal, danbersiap-siap untuk pergi ke tempat lain. Abang-abangSarah, dan ayahnya, main football di sekolah. Merekamencintai football. Dan pada pertandingan hari ini,satu abang Sarah dan ayahnya mendukung salah satutim, sedangkan abangnya yang satu lagi mendukungtim lain. Mereka saling berdebat, saling mengejek,bersorak dan menggerutu sepanjang jalannyapertandingan. Jelas mereka sudah melakukan iniselama bertahun-tahun, mungkin malah seumur hidup.Dan jelas mereka bersenang-senang. Melihat merekaseperti itu membuatku berharap seandainya aku danHenri melakukan sesuatu yang bisa kami nikmatibersama, selain latihanku dan berlari sertabersembunyi setiap saat. Itu membuatku berpikirseandainya aku memilik ayah dan saudara laki-lakisebenarnya dan menghabiskan waktu bersama

Page 81: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mereka.Saat pertandingan dihentikan karena istirahat, ibuSarah memanggil kami untuk makan malam. Akumengecek ponselku. Masih tidak ada kabar. Sebelumkami duduk, aku pergi ke kamar mandi dan mencobamenelepon Henri. Masuk ke voicemail. Hampir pukullima. Aku mulai panik.Aku kembali ke meja, semua orang sudah duduk.Meja itu terlihat luar biasa. Di tengah-tengahnya adabunga. Alas piring dan perlengkapan makan ditatarapi di depan setiap kursi. Piring-piring saji berisimakanan ditata di bagian tengah meja. Piring sajiberisi kalkun berada di depan kursi Mr. Hart. Begituaku duduk, Mrs. Hart masuk ke ruang makan.Celemeknya sudah dilepaskan. Dia memakai sweaterdan rok yang indah.“Ada kabar dari ayahmu?” tanyanya.“Saya baru meneleponnya. Dia, emm, terlambat danmeminta agar jangan menunggunya. Dia sangatmenyesal,” kataku.Mr. Hart mulai memotong kalkun. Sarah tersenyum kearahku dari seberang meja, yang membuatku merasalebih baik selama setengah detik. Makanan mulaidiedarkan, dan aku mengambil semua makanandalam porsi kecil. Rasanya aku tidak akan bisa makanbanyak. Aku meletakkan ponsel di pangkuan, dansudah mengesetnya ke nada getar agar tahu jika adatelepon atau SMS. Namun, seiring berlalunya waktu,aku semakin ragu akan ada telepon atau SMS yangdatang, atau apakah aku akan bertemu Henri lagi.Membayangkan aku tinggal sendirian―denganPusakaku yang sedang berkembang, tanpa seseoranguntuk menjelaskan mengenai Pusakaku ataumelatihku, berlari sendiri, bersembunyi sendiri, mencarijalan sendiri, bertempur melawan para Mogadorian,melawan mereka hingga mereka kalah atau akumati―membuatku takut.Makan malam itu seakan berlangsung seumur hidup.Waktu berjalan dengan sangat lambat. Seluruhkeluarga Sarah bertanya macam-macam kepadaku.Aku belum pernah ditanyai begitu banyak hal olehbegitu banyak orang secara bergantian. Merekabertanya mengenai masa laluku, tempat yang pernahkutinggali, mengenai Henri, mengenai ibuku―yang,seperti yang selalu kukatakan, meninggal saat akumasih kecil. Itu satu-satunya jawaban yang benar-benar jujur. Aku tidak tahu apakah jawaban-jawabanku masuk akal. Ponsel di pangkuanku terasaseolah seberat ribuan kilo. Ponselku tidak bergetar.Hanya diam di sana.Setelah makan malam selesai, sebelum menyantaphidangan penutup, Sarah mengajak semua orang kehalaman belakang sehingga dia bisa memotret. Saatkami di luar, Sarah bertanya apakah ada masalah.Aku bilang aku mengkhawatirkan Henri. Sarahmencoba menenangkanku dan berkata bahwasegalanya baik-baik saja. Namun upayanya sia-sia.Aku justru semakin cemas. Aku mencobamembayangkan di mana Henri berada dan apa yangdia lakukan. Namun satu-satunya bayangan yangmuncul hanyalah Henri berdiri di depan Mogadorian,tampak takut, dan tahu bahwa dia akan mati.Saat kami berkumpul untuk berfoto, aku mulai panik.Bagaimana caraku pergi ke Athens? Aku bisa lari, tapipasti sulit menemukan jalan, terutama karena akuharus menghindari lalu lintas dan juga jalan besar.Aku bisa naik bus, tapi itu makan waktu terlalu lama.Aku bisa meminta tolong kepada Sarah. Tapi ituberarti aku harus menjelaskan banyak hal, termasukmemberitahunya bahwa aku adalah alien dan bahwaaku yakin Henri ditangkap atau diculik oleh alien jahatyang sekarang sedang mencariku agar bisamembunuhku. Bukan ide yang bagus.Saat kami berpose, aku merasa sangat ingin pergi,tapi aku harus memikirkan cara agar Sarah atau

Page 82: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

keluarganya tidak marah kepadaku. Aku menatapkamera, menatap lensanya sambil mencobamemikirkan alasan yang tidak akan menimbulkanbanyak pertanyaan. Aku merasa sangat panik.Tanganku mulai bergetar. Terasa panas. Akumenunduk dan menatap tangan untuk memastikankeduanya tidak bersinar. Tidak. Tapi saatmenengadah, aku melihat kamera di tangan Sarahbergetar. Entah bagaimana aku tahu bahwa akulahyang menyebabkannya. Namun aku tidak tahubagaimana atau apa yang harus kulakukan untukmenghentikannya. Rasa dingin menjalari punggungku.Aku tercekat. Saat itu juga lensa kamera retak danpecah. Sarah menjerit, lalu menurunkan kamera danmenatapnya bingung. Mulutnya terbuka dan air matamenggenang di matanya.Orangtua Sarah bergegas menghampiri untukmemastikan Sarah baik-baik saja. Aku hanya berdiriterkejut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Akumenghancurkan kamera Sarah. Sarah sedih karenakameranya rusak. Namun aku senang karenaakhirnya kemampuan telekinesisku muncul. Apa akubisa mengendalikannya? Henri pasti senang jika tahuini terjadi. Henri. Aku kembali panik. Akumengepalkan tinju. Aku harus pergi dari sini. Akuharus menemukan Henri. Jika para Mogadorianmenahan Henri, kuharap tidak, aku akan membunuhmereka satu demi satu untuk mendapatkan Henrikembali.Berpikir cepat, aku berjalan ke arah Sarah danmenariknya dari orangtuanya, yang sedangmemeriksa kamera untuk mencari tahu apa yangterjadi.“Aku baru saja dapat SMS dari Henri. Aku benar-benarminta maaf, tapi aku harus pergi.”Pikiran Sarah teralihkan, dia mengalihkan pandangandariku ke orangtuanya.“Apa Henri baik-baik saja?”“Ya, tapi aku harus pergi―dia membutuhkanku.” Sarahmengangguk dan kami berciuman lembut. Kuharap inibukan ciuman terakhir.Aku mengucapkan terima kasih kepada orangtuaSarah, abang, dan adiknya, lalu pergi sebelum merekaterlalu banyak bertanya. Aku berjalan ke dalamrumah. Begitu keluar dari pintu depan, aku mulaiberlari. Aku berlari pulang melalui jalan yang tadikulalui saat ke rumah Sarah. Aku menghindari jalanutama, berlari menembus hutan dan tiba di rumahdalam waktu beberapa menit. Kudengar Bernie Kosarmenggaruk-garuk pintu saat aku berlari di halaman.Bernie Kosar gelisah, seolah dia juga merasa ada yangsalah.Aku langsung masuk ke kamar, mengambil kertasberisi alamat dan nomor telepon yang tadi Henriberikan. Kuputar nomor itu. Terdengar suara rekaman.“Maaf, nomor yang Anda tuju tidak terdaftar atautidak aktif.” Aku memandang kertas dan memutarnomor itu lagi. Rekaman yang sama.“Sial!” teriakku. Kutendang kursi yang langsungterbang melintasi dapur dan mendarat di ruang tamu.Aku berjalan masuk ke kamar. Keluar. Masuk lagi.Kutatap cermin. Mataku merah, air mata merebak tapitidak ada yang jatuh. Tanganku gemetar. Marah,gusar, dan ketakutan jika Henri mati menggerogotiku.Kupejamkan mata kuat-kuat dan menekan semuakemarahan itu ke perutku. Tiba-tiba aku berteriak,membuka mata, dan mengacungkan tanganku kearah cermin. Cermin itu pecah walaupun jaraknya tigameter di depanku. Aku berdiri memandangi cermin itu.Sebagian besar serpihannya masih menempel didinding. Apa yang terjadi di rumah Sarah bukankebetulan belaka.Kupandangi pecahan cermin di lantai. Kuulurkantangan ke depan, memusatkan perhatian pada satupecahan cermin dan mencoba menggerakkannya.

Page 83: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Napasku teratur, tapi semua rasa takut dan marahtetap ada di dadaku. Takut itu kata yang terlalusederhana. Ngeri. Itu yang kurasakan.Awalnya pecahan cermin itu tidak bergerak. Namunsetelah lima belas detik, pecahan cermin itu mulaibergetar. Mulanya pelan, lalu cepat. Kemudian akuingat. Henri pernah berkata bahwa biasanya emosilahyang memicu Pusaka. Pasti itu yang terjadi sekarang.Aku berusaha mengangkat pecahan cermin itu. Butir-butir keringat muncul di dahiku. Aku berkonsentrasidengan segenap jiwa dan raga. Bernapas pun terasasulit. Perlahan-lahan pecahan cermin itu mulaiterangkat. Satu senti. Dua senti. Pecahan cermin itumelayang tiga puluh senti dari lantai, terus naik keatas, tangan kananku terulur dan bergerakbersamanya hingga pecahan cermin itu setinggi mata.Aku menahan pecahan cermin di sana. SeandainyaHenri bisa melihat ini, pikirku. Dan tiba-tiba, panik dantakut menembus rasa senang atas temuan baruku.Aku memandang pecahan cermin itu. Kuperhatikanpantulan dinding kayu yang tampak tua dan rapuh dicermin. Kayu. Tua dan rapuh. Lalu mataku terbukalebar, seumur-umur belum pernah mataku selebar itu.Peti Loric!Henri pernah berkata: “Hanya kita berdua yang bisamembukanya, bersama-sama. Kecuali jika aku mati.Saat itu kau bisa membukanya sendiri.”Aku menjatuhkan pecahan cermin itu dan berlari kekamar Henri. Peti itu ada di lantai di samping tempattidurnya. Aku mengambil Peti, berlari ke dapur, danmelemparkannya ke meja. Gembok berbentuklambing Loric memandangi wajahku.Aku duduk di meja dan memelototi gembok itu.Bibirku bergetar. Aku mencoba memelankan napasku,tapi percuma. Dadaku naik turun seolah aku baru sajaberlari kencang sejauh 15 kilometer. Aku takutmerasakan bunyi ‘klik’ dalam genggamanku. Akumenarik napas dalam dan menutup mata.“Kumohon jangan terbuka,” kataku.Aku meraih gembok itu. Aku meremas gemboksekuat mungkin, menahan napas, pandangankukabur, otot-otot lenganku menegang dan mengeras.Menunggu bunyi ‘klik’. Memegang gembok danmenunggu bunyi ‘klik’.Tapi tidak ada ‘klik’.Aku melepaskan gembok, merosot di kursi, danmemegang kepala dengan kedua tangan. Secercahharapan. Aku mengusap rambut dan berdiri. Di ataskonter, satu meter dariku, ada sebuah sendok kotor.Aku memusatkan perhatian pada sendok itu dankusapukan tangan ke samping dan sendok itu punterbang. Henri pasti senang. Henri, pikirku, di manakau? Di suatu tempat, dan masih hidup. Dan aku akanmenjemputmu.Aku memutar nomor Sam, satu-satunya teman yangkumiliki di Paradise, selain Sarah. Dia mengangkattelepon pada dering kedua.“Halo?”Aku menutup mata dan menekan batang hidungku.Aku menarik napas dalam dan gemetaran.“Halo?” tanyanya lagi.“Sam.”“Hei,” katanya, lalu, “Kau terdengar parah. Apa kaubaik-baik saja?”“Nggak. Aku butuh bantuanmu.”“Oh? Ada apa?”“Apa ibumu bisa mengantarmu ke sini?”“Ibuku nggak di rumah. Dia sedang kerja shift dirumah sakit karena bayarannya dua kali lipat padahari libur. Ada apa?”“Keadaannya buruk, Sam. Dan aku perlu bantuan.”Hening lagi, lalu, “Aku ke sana secepatnya.”“Kau yakin?”“Sampai ketemu.”Aku menutup telepon dan menjatuhkan kepala ke

Page 84: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

meja. Athens, Ohio. Henri ada di sana. Entahmengapa, entah bagaimana caranya, aku harus kesana.Dan aku harus ke sana secepatnya.

SEMENTARA MENUNGGU SAM, AKU MONDAR-MANDIRdi rumah, mengangkati benda-benda ke udara tanpamenyentuh: apel dari konter dapur, garpu di bak cucipiring, pot tanaman kecil yang bertengger di sampingjendela depan. Aku hanya bisa mengangkat benda-benda kecil, dan semuanya terbang di udara denganagak goyah. Saat aku mencoba mengangkat bendayang lebih berat―kursi, meja―tidak ada yang terjadi.Tiga bola tenis yang aku dan Henri gunakan untuklatihan ada dalam keranjang di samping ruang tamu.Aku membawa salah satunya ke arahku. Saat bola itumelewati pandangan Bernie Kosar, anjing itu dudukmemperhatikan. Lalu, tanpa memegang, akumelempar bola itu. Bernie Kosar mengejarnya.Sebelum Bernie berhasil menangkap bola itu, akumenariknya. Saat Bernie Kosar berhasil menangkapbola itu, aku menariknya dari mulut Bernie. Semua itukulakukan sambil duduk di kursi ruang tamu.Setidaknya ini mengalihkan pikiranku dari Henri, darihal-hal buruk yang mungkin menimpanya, danmelupakan rasa bersalah karena berbohong kepadaSam.Perlu waktu 25 menit dengan sepeda bagi Sam untuktiba di rumahku yang jaraknya lima kilometer. Akumendengar sepeda Sam memasuki halaman. Sammelompat turun, menjatuhkan sepedanya, dan berlarimasuk dari pintu depan tanpa mengetuk. Diakehabisan napas. Wajahnya berkeringat. Sammemandang berkeliling dan memperhatikan keadaanrumahku.“Apa yang terjadi?” tanyanya.“Ini pasti terdengar tak masuk akal,” kataku. “Tapikau harus berjanji untuk menanggapiku denganserius.”“Kau ini bicara apa?”Aku bicara apa? Aku bicara tentang Henri. Henri hilangkarena bertindak ceroboh, padahal dia seringmenceramahiku agar tidak bertindak seperti itu. Akubicara mengenai kenyataan bahwa aku mengatakankebenaran saat kau menodongkan pistol ke arahkuwaktu itu. Aku ini alien. Henri dan aku datang keBumi sepuluh tahun lalu. Kami diburu oleh ras alienyang kejam. Aku bicara mengenai Henri yang berpikirbahwa dia bisa menghindari mereka jika memahamimereka secara lebih baik. Sekarang dia hilang. Ituyang aku bicarakan, Sam. Mengerti? Tapi tidak, akutidak bisa mengatakan itu semua kepada Sam.“Ayahku ditangkap, Sam. Aku nggak yakin siapa yangmelakukannya, atau apa yang mereka lakukanterhadapnya. Tapi pasti terjadi sesuatu. Kurasa ayahkuditahan. Atau mungkin lebih gawat lagi.”Sam meringis. “Kau bercanda,” katanya.Aku menggelengkan kepala dan menutup mata.Situasi yang berat ini membuatku sulit bernapas lagi.Aku berbalik dan memandang Sam dengan tatapanmemohon. Air mata menggenang di mataku.“Aku nggak bercanda.”Wajah Sam menegang. “Apa maksudmu? Siapa yangmenangkapnya? Di mana dia?”“Henri melacak penulis salah satu artikel dimajalahmu hingga ke Athens, Ohio, dan pergi ke sanahari ini. Dia pergi dan sampai sekarang belumkembali. Ponselnya mati. Pasti terjadi apa-apa.Sesuatu yang buruk.”Sam semakin bingung. “Apa? Kenapa ayahmu repot-repot begitu? Aku nggak ngerti. Itu kan cuma majalahkonyol.”“Aku tak tahu, Sam. Ayahku itu seperti kamu. Diasuka alien dan teori-teori konspirasi dan hal-halsemacam itu,” kataku, berpikir cepat. “Itu hobi

Page 85: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

konyolnya. Salah satu artikel itu membangkitkan rasaingin tahunya. Aku rasa Henri ingin tahu lebih banyak,jadi dia pergi ke sana.”“Artikel yang tentang Mogadorian?”Aku mengangguk. “Kok tahu?”“Karena dia tampak seperti baru melihat hantu saataku menyebutkan tentang itu Halloween kemarin,”kata Sam. Lalu dia geleng-geleng kepala. “Tapikenapa juga ada yang peduli jika dia bertanya-tanyatentang artikel konyol itu?”“Entahlah. Maksudku, aku selalu membayangkanbahwa orang-orang itu bukan orang paling waras didunia. Mungkin mereka paranoid dan suka berkhayal.Mungkin mereka pikir ayahku itu alien, sama sepertikenapa kau menodongkan pistol ke arahku. Henriharusnya sudah pulang pukul satu tadi. Ponselnyamati. Cuma itu yang aku tahu.”Aku berdiri dan berjalan ke meja dapur. Akumengambil kertas berisi alamat dan nomor telepontempat yang Henri tuju.“Dia pergi ke sini hari ini,” kataku. “Kau tahu di manaini?”Sam memandang kertas itu, lalu ganti memandangku.“Kau mau ke sana?”“Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.”“Kenapa kau nggak telepon polisi dan memberi tahumereka apa yang terjadi?”Aku duduk di sofa, memikirkan jawaban terbaik. Akuberharap bisa memberi tahu yang sebenarnya kepadaSam. Jika polisi terlibat, kemungkinan terbaiknyaadalah aku dan Henri pergi. Kemungkinanterburuknya, Henri akan ditanyai, diambil sidik jarinya,dipaksa mengikuti birokrasi yang berbelit-belit,sehingga para Mogadorian mendapat kesempatanuntuk bertindak. Dan begitu mereka menemukankami, sudah pasti kami mati.“Telepon polisi yang mana? Polisi Paradise?Menurutmu apa yang akan mereka lakukan jika akumengatakan yang sebenarnya? Pasti perlu berhari-harisampai akhirnya mereka menanggapiku denganserius. Aku nggak bisa menunggu berhari-hari.”Sam mengangkat bahu. “Mungkin mereka akanmenanggapimu dengan serius. Lagi pula, bagaimanajika Henri cuma ada urusan lain, atau ponselnyarusak? Saat ini dia mungkin sedang dalam perjalananpulang.”“Mungkin, tapi aku rasa nggak. Rasanya ada yangnggak beres. Aku harus ke sana secepatnya. Henriseharusnya sudah pulang berjam-jam yang lalu.”“Mungkin dia mengalami kecelakaan.”Aku menggelengkan kepala. “Mungkin kau benar, tapikurasa kau salah. Jika Henri memang dalam masalah,sekarang ini kita buang-buang waktu.”Sam memandang kertas itu. Dia menggigit bibir dandiam selama lima belas detik.“Yah, aku agak tahu cara ke Athens. Tapi aku nggaktahu cara mencari alamat ini begitu tiba di sana.”“Aku bisa mencetak petunjuk arahnya dari internet.Aku nggak khawatir soal itu. Yang aku khawatirkanadalah transportasi. Aku punya 120 dolar di kamar.Aku bisa membayar seseorang untuk mengantar kita,tapi aku nggak tahu siapa yang bisa kumintai tolong.Nggak banyak taksi di Paradise, Ohio.”“Kita bisa naik truk.”“Truk apa?”“Maksudku truk ayahku. Kami masih menyimpannya.Truk itu ada di garasi. Dan sejak ayahku hilang, trukitu nggak pernah disentuh.”Aku memandang Sam. “Serius?”Sam mengangguk.“Sudah berapa lama itu? Apa masih bisa jalan?”“Delapan tahun. Kenapa nggak bisa jalan? Truk itumasih terhitung baru waktu ayahku membelinya.”“Tunggu, biar kupahami dulu. Maksudmu kita, kau danaku, menyetir ke sana sendiri, dua jam ke Athens?”

Page 86: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Sam menyeringai. “Tepat sekali.”Aku mencondongkan tubuh di sofa, tak bisa menahansenyum.“Kau tahu kita bakal kena masalah besar jikatertangkap, kan? Kita nggak punya SIM.”Sam mengangguk. “Ibuku pasti akan membunuhku,dan mungkin membunuhmu juga. Belum lagi kalauketemu polisi. Tapi, yeah, kalau kau benar-benar yakinayahmu dalam masalah, memangnya kita punyapilihan lain? Jika perannya dibalik, seandainyaayahkulah yang dalam masalah, aku pasti langsungpergi.”Aku memandang Sam. Tak ada keraguan sedikit pundi wajahnya saat mengusulkan agar kami menyetirsecara ilegal ke sebuah kota yang jaraknya dua jam.Selain itu, kami berdua tidak tahu cara menyetir, dankami juga tidak tahu apa yang harus dilakukan begitutiba di sana. Tapi Sam mendukungku. Bahkan iniadalah gagasannya.“Oke, ayo pergi ke Athens,” kataku.* * *Kumasukkan ponsel ke dalam tas, memastikan semuarisleting terpasang dan rapi. Lalu aku berjalan ke luarrumah, memperhatikan semuanya seolah-olah ini kaliterakhirku melihatnya. Itu memang pikiran yangkonyol. Aku juga tahu aku hanya sedang sentimentil.Namun, aku gugup dan melakukan itu bisamembuatku sedikit tenang. Setelah lima menit, akusiap.“Ayo,” kataku kepada Sam.“Kau mau membonceng sepedaku?”“Kau naik sepeda. Aku lari di sampingmu.”“Asmamu gimana?”“Kurasa aku bakal baik-baik saja.”Kami berangkat. Sam naik ke sepedanya. Diamencoba bersepeda secepat mungkin, tapi kelihatankalau dia tak pernah olahraga. Aku berlari beberapameter di belakang Sam dan berpura-pura kehabisannapas. Bernie mengikuti kami. Saat tiba di rumahnya,Sam bermandikan keringat. Dia lari ke kamarnya lalukeluar membawa ransel. Dia meletakkan ransel itu dikonter dapur lalu pergi mengganti pakaian. Akumengintip isi tas itu. Ada salib, beberapa siungbawang putih, pasak kayu, palu, pisau lipat, dansegumpal Silly Putty―benda semacam karet kenyalyang bisa dibentuk sesuai keinginan.“Kau tahu kan kalau orang-orang ini bukan vampir?”kataku saat Sam berjalan ke dapur.“Yeah, tapi kita tak pernah tahu. Mungkin mereka gila,seperti yang kau katakan.”“Dan kalau kita memang berburu vampir, Silly Puttyini buat apa?”Sam mengangkat bahu. “Jaga-jaga saja.”Aku menuangkan semangkuk air untuk Bernie Kosaryang langsung melahapnya. Aku berganti pakaian dikamar mandi dan mengeluarkan petunjuk arah daritasku. Kemudian aku keluar dari kamar mandi,melintasi rumah, dan masuk ke garasi yang gelap danberbau bensin serta potongan rumput lama. Sammenyalakan lampu. Berbagai peralatan berkaratkarena tidak dipakai tergantung di dinding. Truk ayahSam ada di tengah-tengah garasi, ditutupi kain terpalbiru besar berlapis debu tebal.“Kapan terakhir kali terpal dibuka?”“Nggak pernah dibuka sejak ayahku hilang.”Aku meraih ujung terpal yang satu dan Sam meraihujung yang lain. Kami membuka terpal itu bersama-sama lalu meletakkannya di sudut. Sam menatap trukitu. Matanya membesar, senyum mengembang diwajahnya.Truk itu kecil, berwarna biru tua, hanya cukup untukdua orang, atau mungkin tiga jika si orang ketigatidak keberatan duduk di tengah dengan tidaknyaman. Pasti pas untuk Bernie Kosar. Walaupunsudah delapan tahun berlalu, tidak ada debu setitik

Page 87: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

pun yang menempel di truk itu sehingga kendaraanitu tampak berkilau seolah baru dipoles. Kulemparkantasku ke kursi penumpang.“Truk ayahku,” kata Sam bangga. “Selama bertahun-tahun ini, tampak tetap sama.”“Karena kencana kita,” kataku. “Kau punya kuncinya?”Sam berjalan ke salah satu sisi garasi dan mengambilserangkaian kunci dari gantungan di dinding. Akumembuka pintu garasi.“Kita suit untuk menentukan siapa yang nyetir?”tanyaku.“Nggak perlu,” kata Sam. Dia membuka pintupengemudi dan duduk di belakang kemudi. Mesinberbunyi tersendat-sendat dan akhirnya menyala.Sam menurunkan jendela.“Kurasa Ayah akan bangga jika melihatkumengemudikan ini,” katanya.Aku tersenyum. “Kurasa juga begitu. Keluarkantruknya biar pintu garasi kututup.”Sam menarik napas dalam. Kemudian diamengeluarkan mobil dari garasi perlahan-lahan,dengan hati-hati, satu senti demi satu senti. Diamenginjak rem terlalu cepat dan terlalu kerassehingga truk melonjak berhenti.“Kau belum keluar sepenuhnya,” kataku.Sam mengangkat kaki dari rem pelan-pelan dan trukitu beringsut keluar sepenuhnya. Aku menutup pintugarasi. Bernie Kosar melompat masuk dengansukarela dan aku duduk di sampingnya. Tangan Sammenggenggam setir dengan kencang sehingga buku-bukunya memutih.“Gugup?” tanyaku.“Takut.”“Kau akan baik-baik saja,” kataku. “Kita berdua sudahribuan kali melihat orang menyetir truk.”Sam mengangguk. “Oke. Aku belok ke mana?”“Apa kita benar-benar melakukan ini?”“Ya,” jawabnya.“Kalau gitu, kita belok kanan,” kataku, “lalu lurus keluar kota.”Kami berdua memasang sabuk pengaman. Akumembuka jendela sedikit sehingga Bernie Kosar bisamenjulurkan kepala keluar, yang langsung dialakukan sambil berdiri dengan kaki belakang dipangkuanku.“Aku takut setengah mati,” kata Sam.“Sama.”Sam menarik napas dalam, menahan napas, lalumengembuskannya pelan-pelan.“Dan … kita … berangkat,” katanya, mengangkat kakidari rem saat mengucapkan kata terakhir. Trukbergerak terlonjak-lonjak di halaman. Sam langsungmenginjak rem, menyebabkan truk berhenti denganbunyi berdecit. Lalu Sam mengangkat kaki dari remdan truk bergerak perlahan hingga ujung halaman.Kemudian dia memandang ke kanan dan ke kiri, lalumembelokkan truk ke jalan. Awalnya perlahan.Kemudian kecepatan pelan-pelan meningkat. Samtegang dan mencondongkan badan ke depan. Setelahsatu kilometer, dia mulai menyeringai danmenyandarkan tubuh.“Nggak terlalu sulit.”“Kau berbakat.”Sam menjaga agar truk berada di dekat garis di sisikanan jalan. Badannya tegang setiap kali ada mobilyang lewat dari arah berlawanan. Namun, setelahbeberapa saat, Sam menjadi tenang dan tidak terlalumemperhatikan mobil-mobil lain. Dia berbelok laluberbelok lagi. Dua puluh lima menit berikutnya, kamisudah berada di jalan raya antarnegara bagian.“Aku nggak percaya kita melakukan ini,” akhirnyaSam berkata. “Ini hal paling gila yang pernahkulakukan.”“Sama.”“Kau sudah merencanakan apa yang kita lakukan

Page 88: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

begitu tiba di sana?”“Nggak. Aku harap kita bisa masuk ke tempat itu dankeluar dari sana. Aku nggak tahu tempat itu rumahatau kantor atau apa. Aku bahkan nggak tahu apakahHenri ada di sana.”Sam mengangguk. “Kau pikir ayahmu baik-baik saja?”“Entahlah,” kataku.Aku menarik napas dalam. Satu setengah jamperjalanan. Setelah itu kami tiba di Athens.Lalu kami akan mencari Henri.

KAMI BERKENDARA KE ARAH SELATAN HINGGAAthens, yang terletak di kaki PegununganAppalachian, mulai tampak: sebuah kota kecil munculdari balik pepohonan. Dalam cahaya yang semakinredup, aku bisa melihat sungai berkelok seolahmengelilingi kota dan membatasi di timur, selatan,dan barat, sementara bagian utara kota dibatasi olehperbukitan dan pepohonan. Suhu udara di kota itucukup hangat untuk bulan November. Kami melewatigelanggang football universitas. Di belakangnyaterdapat sebuah arena berkubah putih.“Keluar di sini,” kataku.Sam mengarahkan truk keluar dari jalan antarnegarabagian dan berbelok ke kanan ke Richland Avenue.Kami berdua berbesar hati karena berhasil tibadengan selamat dan tanpa ditangkap polisi.“Jadi seperti itu ya universitas di kota?”“Kurasa,” kata Sam.Bangunan-bangunan dan asrama-asrama berdiri disamping kami. Rumputnya hijau, dipangkas rapiwalaupun ini bulan November. Kami menaiki bukitterjal.“Di atas sana Court Street. Nanti belok kiri.”“Masih berapa jauh lagi?” tanya Sam.“Sekitar satu setengah kilo.”“Kau ingin lewat di depannya?”“Nggak. Kurasa sebaiknya kita parkir begitu dapattempat parkir lalu jalan kaki.”Kami menyusuri Court Street, yang merupakan jalanutama di tengah kota. Semuanya tutup karena libur.Semua. Toko buku, café, bar. Lalu aku melihatnya,menonjol bagai permata.“Berhenti!” kataku.Sam menginjak rem.“Apa?!”Mobil di belakang kami mengklakson.“Nggak, nggak. Terus jalan. Cari tempat parkir.”Kami menyusuri jalan satu blok lagi hinggamenemukan tempat untuk parkir. Tebakanku, kamiberjarak lima menit jalan kaki dari alamat itu.“Tadi itu apa? Bikin kaget aja.”“Truk Henri ada di sana,” kataku.Sam mengangguk. “Kenapa kadang-kadang kaumemanggilnya Henri?”“Entah, tapi pokoknya begitu. Semacam lelucon diantara kami,” kataku sambil memandang BernieKosar. “Menurutmu apa sebaiknya anjing ini kitabawa?”Sam mengangkat bahu. “Mungkin dia malahmenghalangi.”Aku memberi makanan anjing kepada Bernie Kosardan meninggalkannya di truk dengan jendela dibukasedikit. Bernie Kosar tidak terlalu senang dan mulaimendengking dan menggaruk jendela, tapi kami kantak akan lama. Sam dan aku berjalan kembali keCourt Street. Tali ranselku memberati bahuku. Sammenjinjing tasnya. Dia sudah mengeluarkan Silly Puttydari tas dan meremas-remasnya seperti meremasbola busa saat sedang stres. Kami sampai di trukHenri. Pintunya dikunci. Tidak ada benda penting baikdi tempat duduk atau di dasbor.“Yah, itu artinya dua,” kataku. “Henri masih di sini.Lalu, siapa pun yang bersama Henri belummenemukan truknya, yang berarti dia belum bicara.

Page 89: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Dia tidak akan bicara.”“Memangnya apa yang bakal dia katakan?”Untuk sesaat aku lupa bahwa Sam tidak tahu apa-apa mengenai alasan yang sebenarnya mengapaHenri berada di sini. Aku sudah bertindak ceroboh danmemanggilnya Henri. Aku harus berhati-hati agartidak mengungkapkan hal lain.“Entahlah,” kataku. “Maksudku, siapa yang bisamenduga pertanyaan macam apa yang bakalditanyakan orang-orang aneh itu.”“Oke. Lalu apa?”Aku mengeluarkan peta menuju alamat yang Henriberikan tadi pagi. “Kita jalan,” kataku.Kami berjalan menyusuri jalan yang tadi kami lewati.Bangunan-bangunan berubah menjadi perumahan.Tampak kotor dan tak terawat. Sebentar kemudiankami tiba di alamat itu dan berhenti.Aku melihat kertas, lalu melihat rumahnya. Akumenarik napas panjang.“Ini dia,” kataku.Kami berdiri memandangi rumah berlantai dua dengandinding berlapis vinil abu-abu. Jalan di depan rumahitu mengarah ke beranda depan yang tidak dicat, adaayunan rusak yang tergantung miring di sana.Rumputnya tinggi dan tidak terawat. Rumah ituseperti tidak berpenghuni, namun ada sebuah mobil dihalaman belakang. Aku tidak tahu harus berbuat apa.Kukeluarkan ponselku. Pukul 11:12. Aku meneleponHenri walaupun tahu dia tidak akan menjawab. Itucara untuk membuatku berpikir, untuk membuatrencana. Aku tidak berpikir sampai sejauh ini. Saatmenghadapi kenyataan ini pikiranku kosong.Panggilanku langsung masuk ke voicemail.“Aku akan mengetuk pintu,” kata Sam.“Lalu kau akan bilang apa?”“Tak tahu, apa pun yang terpikirkan.”Tapi Sam tidak jadi melakukannya karena seseoranglelaki keluar melalui pintu depan. Laki-laki itu besar.Pasti tingginya dua meter dan beratnya 115 kilo. Diaberjanggut dan kepalanya gundul. Lelaki itumengenakan bot kerja, celana jins biru, dan kausolahraga hitam dengan lengan digulung hingga siku.Ada tato di lengan kanannya, tapi aku terlalu jauhsehingga tidak bisa melihat dengan jelas. Laki-laki itumeludah ke halaman, lalu berbalik dan menguncipintu depan, menuruni teras, dan berjalan ke arahkami. Aku diam tak bergerak saat lelaki itu mendekat.Tato di lengannya berupa alien dengan satu tanganmemegang buket bunga tulip seolah inginmemberikannya kepada sesuatu yang tak terlihat.Lelaki itu berjalan melewati kami tanpa mengatakanapa pun. Sam dan aku berbalik dan memandangnyapergi.“Kau lihat tatonya?” tanyaku.“Yeah. Ternyata nggak cuma kutu buku kurus sajayang tertarik dengan alien. Orang itu besar, dantampangnya jahat.”“Pegang ponselku, Sam.”“Apa? Kenapa?” tanya Sam.“Kau harus membuntutinya. Bawa ponselku. Aku akanmasuk ke dalam rumah itu. Jelas di dalam tidak adaorang, karena kalau ada pasti dia nggak perlumengunci pintu. Henri mungkin ada di dalam. Akuakan meneleponmu secepatnya.”“Bagaimana caramu meneleponku?”“Entah. Nanti aku cari cara. Nih.” Sam menerimaponsel itu dengan enggan.“Bagaimana kalau Henri nggak ada di dalam?”“Itu sebabnya aku mau kau membuntuti orang itu.Mungkin sekarang dia pergi ke Henri.”“Kalau dia kembali?”“Kita pikirkan nanti. Kau harus pergi sekarang. Akujanji akan meneleponmu secepat mungkin.”Sam berbalik dan memandang lelaki itu. Lelaki itulima puluh meter di depan kami. Lalu Sam kembali

Page 90: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

memandangku.“Oke. Tapi kau hati-hati.”“Kau juga. Jangan biarkan dia lepas daripandanganmu. Dan jangan biarkan dia melihatmu.”“Nggak akan.”Sam berbalik dan bergegas membuntuti lelaki itu. Akumemandangi mereka pergi. Begitu mereka hilang daripandangan, aku berjalan ke rumah itu. Jendela-jendela rumah itu gelap dan dilapisi tirai putih. Akutidak bisa melihat ke dalam. Aku berjalan kebelakang. Di sana ada jalan semen kecil mengarah kepintu belakang, yang terkunci. Aku berjalan berkelilingdan kembali ke depan. Rumput liar dan semak-semakdibiarkan tumbuh lebat sejak musim panas. Akumencoba salah satu jendela. Terkunci. Semuanyaterkunci. Apa sebaiknya aku memecahkan salah satu?Aku mencari batu di antara semak-semak berduri.Ketika aku melihat batu dan mengangkatnya daritanah dengan kekuatan pikiran, satu gagasan munculdi benakku. Gagasan itu begitu gila dan mungkin akanberhasil.Aku menjatuhkan batu itu dan berjalan ke pintubelakang. Kuncinya sederhana, tidak digerendel. Akumenarik napas dalam, menutup mata untukberkonsentrasi, dan memegang kenop pintu. Akumengguncangnya. Pikiranku bergerak dari kepala, kejantung, ke perut. Segalanya berpusat di perut. Akumempererat pegangan dan menahan napas saatmencoba membayangkan bagian dalam kunci itu. Laluaku merasa dan mendengar bunyi ‘klik’ di tanganyang memegang kenop pintu itu. Senyummengembang di wajahku. Aku memutar kenop pintudan pintu itu berayun terbuka. Aku takjub karena bisamembuka kunci pintu hanya dengan membayangkanapa yang ada di dalam kunci.Dapur, anehnya, bersih. Semua permukaan dilap, dandi bak cuci tidak ada piring kotor. Ada roti yang masihbaru di atas konter. Aku berjalan menyusuri koridorsempit menuju ruang tamu. Di ruangan itu posterolahraga dan spanduk menempel di dinding lalu adasebuah TV layar lebar di salah satu sudut ruangan. Disisi kiri ada pintu menuju kamar tidur. Akumenjulurkan kepala ke dalam. Kamar itu berantakan,selimut kusut di tempat tidur, perabotan di atas lemariberantakan. Tercium bau pakaian kotor akibatkeringat.Di bagian depan rumah, di samping pintu itu, adatangga menuju lantai atas. Aku mulai berjalan naik.Anak tangga ketiga berderak di bawah kakiku.“Halo?” terdengar teriakan dari atas tangga.Aku berhenti, menahan napas.“Itu kau, Frank?”Aku tetap diam. Aku mendengar seseorang berdiridari kursi. Kemudian terdengar bunyi keriat-keriutlangkah kaki di atas lantai kayu mendekat. Seoranglaki-laki muncul di ujung tangga. Rambut dancambangnya hitam serta berantakan, wajahnyabelum dicukur. Tubuhnya tidak sebesar orang yangtadi pergi, tapi juga tidak kecil.“Siapa kau?” tanyanya.“Aku mencari temanku,” kataku.Dia memberengutkan wajah, menghilang, dan munculkembali lima detik kemudian sambil memegangtongkat bisbol kayu.“Bagaimana kau bisa masuk?” tanyanya.“Sebaiknya kau turunkan tongkat itu.”“Bagaimana kau bisa masuk?”“Aku lebih cepat darimu dan juga jauh lebih kuat.”“Yang benar saja.”“Aku mencari temanku. Dia datang ke sini tadi pagi.Aku ingin tahu dia ada di mana.”“Kau salah satu dari mereka, ya?”“Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan.”“Kau salah satu dari mereka!” jeritnya. Lelaki itumemegang tongkat seperti seorang pemain bisbol,

Page 91: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

buku-buku jarinya memutih di bagian bawah tongkat,siap untuk menyerang. Ada rasa takut di matanya.Rahangnya digertakkan dengan kuat. “Kau salah satudari mereka! Kenapa kau tidak membiarkan kamisendirian!?”“Aku bukan salah satu dari mereka. Aku ke sinimencari temanku. Katakan di mana dia berada.”“Temanmu itu salah satu dari mereka!”“Bukan.”“Jadi kau tahu siapa yang aku bicarakan?”“Ya.”Dia menuruni satu anak tangga.“Aku peringatkan,” kataku. “Turunkan tongkat itu danberi tahu aku di mana dia berada.”Tanganku bergetar menghadapi situasi yang tidakterduga ini. Dia memegang tongkat bisbol ditangannya sedangkan aku tidak memiliki apa punselain kemampuanku. Aku bingung melihat rasa takutdi matanya. Lelaki itu turun satu anak tangga lagi.Tinggal enam anak tangga di antara kami.“Aku akan membuat kepalamu lepas. Sebagaiperingatan untuk teman-temanmu.”“Mereka bukan teman-temanku. Dan aku jamin, kaujustru menolong mereka dengan menyakitiku.”“Lihat saja nanti,” katanya.Lelaki itu berlari menuruni tangga. Tak ada yang bisakulakukan selain bereaksi. Dia mengayunkan tongkat.Aku menunduk. Tongkat itu menghantam dinding,meninggalkan lubang besar di dinding kayu. Aku majudan mengangkat tubuhnya. Tanganku yang satumencengkeram lehernya sedangkan yang satu lagimemegang ketiaknya. Aku membawanya kembali keatas tangga. Lelaki itu meronta-ronta, menyarangkantendangan ke kaki dan selangkanganku. Tongkat itulepas dari tangannya dan berguling memantul-mantulmenuruni tangga. Terdengar salah satu jendela pecahdi belakangku.Lantai kedua hanyalah tempat terbuka yang luas.Gelap. Dindingnya ditutupi berbagai edisi They WalkAmong Us. Di bagian ujungnya terdapat berbagaihiasan alien. Tidak seperti yang Sam miliki, poster-poster yang ada di sana adalah foto-foto lama,diperbesar sehingga tampak buram dan tidak jelas,kebanyakan berupa bintik sinar putih dengan latarbelakang hitam. Boneka alien karet dengan jerat dilehernya bertengger di salah satu sudut. Seseorangtelah menambahkan sombrero Meksiko di kepalaboneka itu. Bintang-bintang glow in the darkmenempel di langit-langit. Bintang-bintang itu tampaktidak cocok dengan tempat itu, seperti sesuatu yangharusnya ada di kamar anak perempuan berusiasepuluh tahun.Aku melemparkan laki-laki itu ke lantai. Dia beringsutmenjauhiku dan berdiri. Saat lelaki itu berdiri, akumemusatkan kekuatanku di perut danmengarahkannya ke arah lelaki itu dengan gerakanmendorong yang kuat. Laki-laki itu terbang kebelakang dan menghantam dinding.“Di mana dia?” tanyaku.“Aku tak akan mengatakannya. Dia salah satu darikalian.”“Aku bukan apa yang kau pikirkan.”“Kalian tak akan berhasil! Jangan ganggu Bumi!”Aku mengangkat tangan dan mencekiknya dari jauh.Aku bisa merasakan otot tanganku menegangwalaupun tidak menyentuhnya. Dia tidak bisabernapas dan wajahnya memerah. Akumelonggarkan cekikanku.“Aku tanya sekali lagi.”“Tidak.”Aku mencekiknya lagi, tapi kali ini saat wajahnyamemerah, aku mencekiknya lebih keras. Saat akumelonggarkan cekikanku, dia mulai menangis. Akumenyesal atas apa yang kulakukan kepadanya. Tapidia tahu di mana Henri berada. Dia juga telah

Page 92: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melakukan sesuatu kepada Henri. Rasa simpatikulangsung sirna.Setelah lelaki itu bisa bernapas, di antara isakannyadia berkata,” Dia ada di bawah.”“Di mana? Aku tidak melihatnya.”“Di ruang bawah tanah. Pintunya ada di belakangspanduk Steeler di ruang tamu.”Aku memutar nomor ponselku menggunakan teleponyang ada di meja tengah. Sam tidak menjawab. Laluaku menarik telepon itu dari dinding dan mematahkanjadi dua.“Mana ponselmu,” kataku.“Aku tak punya.”Aku berjalan ke arah boneka dan mengambil jeratdari lehernya.“Kumohon,” pintanya.“Diam. Kau sudah menculik temanku. Kaumenahannya secara paksa. Kau beruntung yang akulakukan hanya mengikatmu.”Aku menarik tangannya ke belakang danmengikatnya erat. Kemudian aku mengikat lelaki itudi salah satu kursi. Meski kurasa tali itu tidak akanlama menahannya, lalu kupasang plester di mulutnyasehingga dia tidak bisa berteriak. Setelah itu akumenuruni tangga, merenggut spanduk Steeler daridinding, dan menemukan sebuah pintu hitam terkunci.Aku membuka kuncinya seperti yang kulakukansebelumnya. Rangkaian anak tangga kayu mengarahke bawah menuju kegelapan total.Tercium bau jamur. Aku menyalakan lampu dan mulaiberjalan turun, perlahan-lahan, takut akan apa yangmungkin kutemukan. Keadaan di bawah kacau dandikotori sarang laba-laba. Aku tiba di bawah danlangsung merasakan kehadiran orang lain. Ada oranglain di sini. Aku menegang, menarik napas dalam, laluberbalik.Di sana, di sudut ruang bawah tanah, duduklah Henri.“Henri!”Henri menutup mata saat melihat cahaya,menyesuaikan diri dengan terang. Mulutnya diplester.Tangannya diikat di belakang. Pergelangan kakinyadiikat ke kaki kursi tempat dia duduk. Rambutnyaberantakan. Di pelipis kanannya terlihat alur darahkering yang tampak hampir hitam. Aku marah melihatitu.Aku bergegas menghampiri Henri dan membukaplester dari mulutnya. Henri menarik napas dalam.“Syukurlah,” katanya. Suaranya lemah. “Kau benar,John. Bodoh sekali datang ke sini. Maaf. Harusnya akumendengarkan.”“Ssstt,” kataku.Aku membungkuk dan berusaha melepaskan ikatandi pergelangan kakinya.“Aku disergap.”“Ada berapa banyak?” tanyaku.“Tiga.”“Aku mengikat satu di atas,” kataku.Aku melepaskan ikatan pergelangan kakinya. Henrimeregangkan kaki dan mendesah lega.“Aku duduk di kursi sialan ini seharian.”Aku mulai melepaskan ikatan tangannya.“Bagaimana kau bisa masuk?” tanyanya.“Aku ke sini bersama Sam. Kami menyetir.”“Serius?”“Nggak ada cara lain.”“Naik apa?”“Truk lama ayahnya Sam.”Henri diam selama semenit sambil merenungkan apaartinya itu.“Sam tidak tahu apa-apa,” kataku. “Aku bilang alienitu hobimu, hanya itu.”Henri mengangguk. “Yah, aku senang kau berhasil.Sekarang Sam di mana?”“Membuntuti salah satu dari mereka. Aku tak tahu kemana mereka pergi.”

Page 93: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Terdengar suara lantai kayu berderak di atas kami.Aku berdiri. Ikatan tangan Henri belum terbukasepenuhnya.“Kau dengar?” bisikku.Kami berdua menatap pintu dengan napas tertahan.Langkah kaki di anak tangga paling atas, lalu kedua.Segera saja lelaki besar yang kulihat sebelumnya,yang Sam buntuti, muncul.“Pestanya selesai,” katanya. Dia memegang pistolyang ditodongkan ke wajahku. “Sekarang, minggir.”Aku mengangkat tangan di depan dan mundurselangkah. Aku berpikir untuk menggunakankekuatanku untuk merenggut pistol itu, tapibagaimana jika aku tak sengaja membuatnyameletus? Aku tidak cukup yakin dengankemampuanku. Terlalu berisiko.“Mereka bilang kau akan datang. Bahwa kau terlihatseperti manusia. Bahwa kaulah musuh yangsebenarnya,” kata lelaki itu.“Kau bicara apa?” tanyaku.“Mereka itu tidak waras,” kata Henri. “Mereka pikirkita ini musuh.”“Diam!” bentak lelaki itu.Lelaki itu maju tiga langkah ke arahku. Lalu diamengarahkan pistol itu ke Henri.“Satu kesalahan kecil, dia yang kena. Paham?”“Ya,” kataku.“Tangkap ini,” katanya. Dia mengambil segulungplester dari rak di sampingnya lalu melemparkannyake arahku. Saat plester itu melayang di udara, akumenghentikannya, menahannya sekitar dua meterdari lantai, di antara kami. Lalu aku memutarnyadengan cepat. Lelaki itu melongo memandangnya,bingung.“Apa-apaan ….”Sementara perhatiannya teralihkan, akumenggerakkan tangan ke arahnya dengan gerakanmelempar. Gulungan plester itu terbang kembali kearahnya dan menghantam hidungnya. Darahmengucur. Saat lelaki itu memegang hidungnya, pistolitu terlepas, menghantam lantai, dan meledak. Akumengarahkan tanganku ke peluru danmenghentikannya. Henri tertawa di belakangku.Kugerakkan peluru itu sehingga melayang di depanwajah si lelaki besar.“Hei, gendut,” kataku.Lelaki itu membuka mata dan melihat peluru di udaradi hadapannya.“Kau perlu membawa lebih dari ini.”Aku membiarkan peluru itu jatuh ke lantai di kakinya.Dia berbalik untuk lari. Namun aku menariknyamelintasi ruangan dan menghantamkannya ke tiangbesar. Lelaki itu pingsan dan merosot ke lantai.Kuambil plester dan kugunakan untuk mengikatnyake tiang itu. Setelah yakin dia berhasil diamankan,aku kembali ke Henri dan membebaskannya.“John, itu tadi kejutan terbaik yang pernah kulihatseumur hidupku,” bisik Henri, terdengar nada lega disuaranya sehingga aku pikir setelah itu dia akanmenangis.Aku tersenyum bangga. “Makasih. Muncul saat makanmalam.”“Maaf aku melewatkannya.”“Aku bilang kau ada urusan.”Henri tersenyum.“Syukurlah Pusaka itu muncul,” katanya. Lalu akusadar bahwa rasa tegang karena Pusakakumuncul―atau rasa takut jika Pusakaku tidakmuncul―lebih membebani Henri daripada yangkubayangkan.“Jadi apa yang terjadi denganmu?” tanyaku.“Aku mengetuk pintu. Mereka bertiga ada di rumah.Saat aku berjalan masuk, salah satu dari merekamemukul belakang kepalaku. Saat bangun, aku sudahterikat di kursi ini.” Henri menggelengkan kepala dan

Page 94: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mengatakan rangkaian sumpah serapah dalambahasa Loric. Setelah aku selesai melepaskan ikatanHenri, dia berdiri dan meluruskan kakinya.“Kita harus pergi dari sini,” katanya.“Kita harus mencari Sam.”Lalu kami mendengar suaranya.“John. Kau di bawah?”

MUSIM DINGIN TIBA LEBIH AWAL DAN DENGANkekuatan penuh di Paradise, Ohio. Mulanya angin, laludingin, kemudian salju. Awalnya salju tipis, namunkemudian badai bertiup dan mengubur tanahsehingga bunyi pengeruk salju sering terdengar―samaseringnya dengan bunyi angin itu sendiri. Saljumenutupi segala sesuatu. Sekolah diliburkan selamadua hari. Salju di dekat jalan-jalan berubah dari putihmenjadi hitam kumal dan kemudian meleleh menjadilumpur salju yang terus menggenang. Henri dan akumenghabiskan waktu dengan berlatih, baik di dalamruangan maupun di luar ruangan. Sekarang aku bisamemutar tiga bola di udara tanpa menyentuhnya. Ituartinya aku bisa mengangkat lebih dari satu bendasekaligus. Barang-barang yang lebih berat dan lebihbesar juga bisa kuangkat. Meja dapur, mesinpembersih salju yang Henri beli minggu lalu, dan jugatruk baru kami, yang tampak sama persis seperti truklama kami dan juga jutaan truk pickup lain diAmerika. Jika aku bisa mengangkat benda itu sendiri,dengan tanganku, maka aku juga bisamengangkatnya dengan pikiranku. Henri yakinkekuatan pikiranku pada akhirnya akan melebihikekuatan tubuhku.Di halaman belakang, pepohonan berdiri mengelilingikami. Batang-batangnya beku sehingga tampakseperti kaca yang dilapisi dua senti bubuk putih diatasnya. Salju menumpuk tinggi hingga selutut, selaindi tempat yang sudah Henri bersihkan. Bernie Kosarduduk memandang dari beranda belakang. BahkanBernie Kosar pun tidak ingin berurusan dengan salju.“Kau yakin soal ini?” tanyaku.“Kau perlu belajar untuk merangkulnya,” kata Henri.Di belakang Henri, menonton dengan rasa penasaranyang tidak wajar, berdirilah Sam. Ini pertama kalinyadia melihatku berlatih.“Berapa lama ini akan terbakar?” tanyaku.“Entah.”Aku mengenakan pakaian yang sangat mudahterbakar, terbuat dari serat alami yang direndamdalam berbagai minyak, yang lambat terbakar danyang tidak. Aku ingin membakar pakaian itu hanyauntuk menyingkirkan bau yang membuat matakuberair. Aku menarik napas dalam.“Siap?” tanya Henri.“Siap.”“Jangan bernapas. Kau tidak kebal terhadap asap atauuap, dan organ dalammu bisa terbakar.”“Menurutku ini bodoh,” kataku.“Ini bagian dari latihanmu. Tetap tenang di bawahtekanan. Kau harus belajar melakukan banyak halwalaupun dalam keadaan terbakar.”“Tapi kenapa?”“Karena jika pertempuran terjadi, kita pasti sangatkalah jumlah. Api akan menjadi sekutu terbaikmudalam perang. Kau harus belajar bertempur dalamkeadaan terbakar.”“Ugh.”“Kalau ada yang salah, lompat ke salju dan berguling.”Aku memandang Sam, yang tersenyum lebar. Diamemegang tabung pemadam kebakaran warnamerah, kalau-kalau dibutuhkan.“Aku tahu,” kataku.Semua orang diam sementara Henri meraih korek api.“Kau tampak seperti monster Bigfoot dalam pakaianitu,” kata Sam.“Lucu, Sam,” kataku.

Page 95: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Siap-siap,” kata Henri.Aku menarik napas dalam sebelum Henrimenyentuhkan korek api ke pakaianku. Api punmembalut tubuhku. Rasanya tidak wajar jika akumembuka mata, tapi aku tetap membuka mata. Akumemandang ke atas. Api menjulang hingga duameter di atasku. Seluruh dunia diselimuti warnaoranye, merah, dan kuning, yang menari-nari dihadapanku. Aku bisa merasakan panas, tapi rasanyamirip seperti sinar matahari pada musim panas. Tidaklebih.“Mulai!” teriak Henri.Aku merentangkan tangan ke samping, dengan mataterbuka lebar, sambil menahan napas. Rasanya sepertimelayang. Aku masuk ke salju yang tinggi. Salju ituberdesis dan meleleh di bawah kakiku, membentuksungai kecil saat aku berjalan. Aku mengulurkantangan kanan ke depan dan mengangkat sebuahbalok beton, yang terasa lebih berat daripadabiasanya. Apa itu karena aku tidak bernapas? Atauakibat stres karena api?“Jangan buang-buang waktu!” teriak Henri.Aku melemparkan balok itu sekuat tenaga ke arahsebuah pohon mati satu meter di depanku.Kekuatannya membuat balok itu hancur berkeping-keping, meninggalkan lekukan di kayu. Lalu akumengangkat tiga bola tenis yang direndam dalambensin. Aku memutar bola-bola itu di udara, yang satudi atas yang lain. Aku mengarahkan bola itu ketubuhku. Bola-bola itu menyala, dan aku masihmemutarnya. Sambil melakukan itu, aku mengangkatsebuah gagang sapu kecil dan panjang. Aku menutupmata. Tubuhku hangat. Aku bertanya-tanya apakahaku berkeringat. Jika iya, keringat itu seharusnyamenguap begitu keluar ke permukaan kulit.Kugertakkan gigi kuat-kuat, kubuka mata dankucondongkan tubuh ke depan, mengarahkan seluruhkekuatanku ke pusat tongkat itu. Gagang sapu itumeledak, pecah berkeping-keping. Aku tidakmembiarkan pecahannya jatuh ke tanah. Akumenahan pecahan-pecahan itu sehingga tampakseperti awan debu melayang di udara. Kutarikpecahan-pecahan itu ke arahku dan membiarkannyaterbakar. Kayu berderak saat mengenai api. Akumenyatukan pecahan-pecahan kayu itu kembalimembentuk tombak api padat yang tampak seolahbaru diambil dari neraka.“Sempurna!” teriak Henri.Satu menit berlalu. Paru-paruku mulai terasa terbakar,akibat menahan napas. Aku mengirim seluruhkekuatanku ke dalam tombak itu. Kemudian akumelemparkan tombak dengan sangat kuat sehinggatombak itu melesat di udara bagaikan peluru. Tombakitu menghantam pohon. Ratusan api kecil meledak didekat pohon itu dan langsung padam. Aku berharappohon mati itu akan terbakar, tapi ternyata tidak. Akujuga menjatuhkan bola-bola tenis itu. Bola-bola itumendesis di salju, 1,5 meter dariku.“Lupakan bolanya,” teriak Henri. “Pohon itu.Hancurkan pohon itu.”Pohon mati itu tampak mengerikan dengan cabang-cabang bengkok yang membentuk siluet hitamdengan latar belakang putih. Aku menutup mata. Akutidak bisa menahan napas lebih lama lagi. Akumerasa frustrasi dan marah, apalagi dengan adanyaapi dan pakaian yang tidak nyaman serta tugas yangbelum selesai. Aku memusatkan perhatian ke sebuahdahan besar pohon itu. Aku mencoba mematahkancabang itu, namun tak berhasil. Aku menggertakkangigi dan mengerutkan kening. Akhirnya terdengarbunyi patah yang keras, membelah udara bagaikantembakan senapan. Dahan itu terbang ke arahku. Akumenangkap dahan itu dengan tangan danmemegangnya di depanku. Aku akan membakarnya,pikirku. Panjang dahan itu pastilah sekitar enam

Page 96: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

meter. Dahan itu akhirnya mulai terbakar. Akumengangkatnya ke udara 12 atau 15 meter di atasku.Lalu, tanpa menyentuhnya, aku menancapkannya ketanah, persis seperti yang dilakukan ahli pedangzaman dulu di atas bukit setelah memenangkanperang. Dahan itu berayun-ayun ke depan dan kebelakang dengan asap dan lidah api menari-nari disepanjang setengah bagian atasnya. Kubuka mulutdan secara naluriah menarik napas. Api menyerbumasuk ke dalam mulutku. Rasanya seluruh tubuhkulangsung terbakar. Aku sangat kaget. Rasanya sangatsakit sehingga aku tak tahu harus melakukan apa.“Salju! Salju!” teriak Henri.Aku melompat ke salju dengan kepala terlebih dahuludan mulai berguling. Api langsung padam, tapi akutetap berguling-guling. Terdengar bunyi desisan saatsalju menyentuh pakaianku yang compang-campingsementara gumpalan uap dan asap membubung keatas. Lalu Sam menarik jepitan dari tabung pemadamkebakaran dan menyemprotkan bubuk tebal yangmembuatku semakin sulit bernapas.“Jangan,” teriakku.Sam berhenti. Aku berbaring. Berusaha bernapas.Namun, setiap tarikan napas menyebabkan paru-paruku sakit dan rasa sakitnya menjalar ke seluruhtubuhku.“Sial, John. Seharusnya kau tidak bernapas,” kataHenri, berdiri di dekatku.“Aku tak tahan.”“Kau baik-baik saja?” tanya Sam.“Paru-paruku terbakar.”Segala sesuatu tampak buram. Namun perlahan-lahandunia kembali jelas. Aku berbaring memandang langitkelabu dan butiran salju yang jatuh dengan muram diatas kami.“Bagaimana?”“Nggak buruk untuk percobaan pertama.”“Kita akan melakukannya lagi, ya?”“Suatu saat nanti, ya.”“Tadi itu keren,” kata Sam.Aku mendesah, lalu menarik napas panjang dengansusah payah. “Tadi itu jelek.”“Kau melakukannya dengan baik untuk percobaanpertama,” kata Henri. “Nggak ada yang gampang.”Aku mengangguk. Aku berbaring di tanah selama satuatau dua menit. Kemudian Henri mengulurkan tangandan membantuku berdiri, mengakhiri latihan hari itu.* * *Dua hari kemudian aku terbangun di tengah malam.Pukul 2:57. Aku mendengar Henri bekerja di mejadapur. Aku turun dari tempat tidur dan keluar kamar.Henri membungkuk di atas sebuah dokumen,mengenakan bifokal dan memegang semacamprangko dengan menggunakan pinset. Diamenengadah memandangku.“Sedang apa?” tanyaku.“Membuat formulir untukmu.”“Untuk apa?”“Aku berpikir mengenai kau dan Sam yang menyetiruntuk menjemputku. Aku pikir bodoh sekali jika kitatetap menggunakan usiamu yang sebenarnya padahalkita bisa mengubahnya sesuai kebutuhan.”Aku mengambil akta kelahiran yang sudah Henriselesaikan. Nama James Hughes tertera di sana.Tanggal kelahirannya membuatku setahun lebih tua.Aku jadi berusia enam belas dan bisa menyetir. Laluaku membungkuk dan melihat dokumen yang sedangHenri buat. Jobie Frey, usia delapan belas, dianggapdewasa secara hukum.“Kenapa kita tak pernah memikirkan ini sebelumnya?”tanyaku.“Kita tak punya alasan untuk itu.”Kertas-kertas dengan berbagai bentuk, ukuran, danketebalan bertebaran di atas meja. Sebuah printerbesar bertengger di salah satu sisi meja. Botol-botol

Page 97: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

tinta, stempel karet, stempel notaris, benda yangterlihat seperti pelat logam, dan berbagai alat yangtampaknya berasal dari kantor dokter gigi. Prosespembuatan dokumen selalu aneh bagiku.“Apa kita akan mengubah umurku sekarang?”Henri menggelengkan kepala. “Sudah terlambat jikakita ingin mengubahnya. Ini terutama untuk suatu harinanti. Siapa tahu nanti terjadi sesuatu yangmenyebabkan kau punya alasan untukmenggunakannya.”Pikiran mengenai kepindahan di masa depanmembuatku muak. Aku lebih suka tetap berusia limabelas dan tidak bisa menyetir selamanya daripadapindah ke tempat baru lagi.* * *Seminggu sebelum Natal, Sarah pulang dari Colorado.Aku tidak melihatnya selama delapan hari. Rasanyaseperti sebulan. Mobil van menurunkan semua gadis-gadis di sekolah. Lalu salah satu teman Sarahmengantarkannya langsung ke rumahku dan bukanke rumah Sarah. Begitu mendengar suara mobilmemasuki halaman, aku langsung menemui Sarah.Aku memeluk dan menciumnya, serta mengangkatdan memutar-mutarnya di udara. Sarah baru naikpesawat dan mobil selama sepuluh jam, mengenakancelana olahraga dan tidak berdandan, dan rambutnyadikuncir. Namun dia tetap gadis paling cantik yangpernah kulihat dan aku tidak ingin melepaskannya.Kami saling tatap di bawah sinar rembulan. Kamihanya saling tersenyum.“Kamu kangen aku?” tanya Sarah.“Setiap detik setiap hari.”Sarah mencium ujung hidungku.“Aku juga kangen kamu.”“Jadi, bagaimana tempat penampungannya?” tanyaku.“Oh, John. Luar biasa! Andai kau ada di sana. Di sanamungkin ada tiga puluh orang yang membantu setiapsaat. Bangunan itu dibangun dengan sangat cepat danjauh lebih bagus daripada sebelumnya. Kamimembangun rumah pohon di salah satu pojok dan,aku berani sumpah, selama kami di sana kucing-kucing bermain di rumah itu.”Aku tersenyum. “Kedengarannya hebat. Andai akuada di sana.”Aku mengangkat tas Sarah. Kami masuk ke dalamrumah bersama-sama.“Henri mana?” tanyanya.“Belanja. Dia pergi sekitar sepuluh menit lalu.”Sarah melintasi ruang tamu dan meletakkanmantelnya di sandaran kursi lalu berjalan ke kamarku.Dia duduk di tepi tempat tidurku dan melemparkansepatunya.“Kita ngapain, ya?” tanya Sarah.Aku berdiri memandanginya. Sarah mengenakan bajuolahraga berwarna merah dengan tutup kepala. Diatersenyum dan memandangku dari ujung atasmatanya.“Sini,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.Aku berjalan ke arahnya. Sarah memegang tanganku.Dia mendongak menatapku dan menyipitkan matakarena silau melihat lampu. Aku menjentikkan jaridengan tanganku yang satu lagi. Lampu itu padam.“Bagaimana caranya?”“Sihir,” kataku.Aku duduk di sampingnya. Sarah menyampirkanbeberapa helai rambut ke belakang telinganya, lalumendekat dan menciumku.“Aku benar-benar merindukanmu,” katanya.“Aku juga.”Kami sama-sama diam. Sarah menggigit bibir.“Aku tidak sabar untuk ke sini,” katanya. “Selama diColorado, aku hanya memikirkanmu. Bahkan saatmain bersama binatang, aku berpikir seandainya kauada di sana dan bermain bersama mereka. Lalu saatkami akhirnya pulang pagi ini, perjalanan terasa

Page 98: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

begitu panjang.”Sarah tersenyum, terutama dengan matanya. Kamiberdua duduk di tepi tempat tidur, berpelukan. Kamargelap, hanya diterangi sinar rembulan yang masukmelalui jendela. Sarah melihatku memandanginya danmenempelkan dahinya ke dahiku, menatapku lembut.Sarah menarikku dan menciumku lagi. Pikirankulangsung kosong, aku lupa tentang pengejaran, aliendan Mogadorian. Sarah dan aku. Bersama. Hanya ituyang penting di dunia ini.Terdengar pintu ruang tamu dibuka. Kami berduaterlonjak kaget.“Henri sudah pulang,” kataku.Kami berdiri dan saling tersenyum. Lalu keluar kamarsambil berpegangan tangan. Henri sedang meletakkankantung belanjaan di meja dapur.“Hai, Henri,” kata Sarah.Henri tersenyum. Sarah melepaskan tanganku. Laludia menghampiri dan memeluk Henri. Merekamengobrol mengenai perjalanan Sarah ke Colorado.Aku berjalan ke luar untuk mengambil belanjaanlainnya. Kuhirup udara dingin dalam-dalam dankubawa belanjaan masuk rumah. Sarah berceritamengenai kucing-kucing di penampungan.“Kau tidak membawa pulang satu ekor untuk kami?”“Henri, kau tahu dengan senang hati aku akanmembawakan satu ekor untukmu jika kaumemintanya,” kata Sarah.Henri tersenyum kepada Sarah. “Aku percaya.”Henri menyimpan belanjaan. Sarah dan aku pergi keluar untuk berjalan-jalan di udara dingin sebelum ibuSarah tiba dan membawanya pulang. Bernie Kosarikut. Dia memimpin jalan dan lari di depan. Sarah danaku bergandengan tangan, berjalan di halaman. Suhuudara sedikit di atas suhu beku. Salju meleleh, tanahbasah dan berlumpur. Bernie Kosar hilang sebentar kedalam hutan lalu berlari kembali ke kami. Kakinyakotor.“Kapan ibumu datang?” tanyaku.Sarah melihat jam tangannya. “Dua puluh menit.”Aku mengangguk. “Aku senang kau pulang.”“Aku juga.”Kami pergi ke tepi hutan, namun hari terlalu gelapuntuk masuk ke hutan. Jadi kami berjalan di tepihalaman, bergandengan tangan, dengan bulan danbintang sebagai saksi. Kami berdua tidakmembicarakan apa yang baru saja terjadi, tapi jelaskami memikirkannya. Setelah mengelilingi halamansatu kali, ibu Sarah tiba. Sepuluh menit lebih cepat.Sarah berlari dan memeluk ibunya. Aku masuk kerumah dan mengambil tas Sarah. Setelahmengucapkan selamat jalan, aku berjalan ke jalanraya dan memandangi lampu belakang mobil merekamenghilang di kejauhan. Aku berdiri di luar sebentar.Kemudian Bernie Kosar dan aku kembali ke dalamrumah. Henri sedang menyiapkan makan malam. Akumemandikan Bernie Kosar. Saat aku selesai, makanmalam sudah siap.Kami duduk di meja dan makan, tanpa berbicara. Akutidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Aku menatappiring dengan pikiran kosong. Aku tidak lapar, tapikupaksakan diri untuk makan. Aku makan beberapasuap, lalu kudorong piringku dan duduk diam.“Jadi apa kau akan memberitahuku?” tanya Henri.“Apa?”“Yang ada dalam pikiranmu.”Aku mengangkat bahu. “Aku tak tahu.”Henri mengangguk, lalu kembali makan. Aku menutupmata. Aku masih mencium aroma Sarah di kerahbajuku. Aku masih merasakan tangannya di pipiku.Tekstur rambutnya saat aku membelai rambut Sarah.Yang kupikirkan hanyalah apa yang saat ini Sarahkerjakan, dan berharap seandainya dia masih di sini.“Apa kau pikir kita bisa dicintai?” tanyaku.“Maksudmu?”

Page 99: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Oleh manusia. Menurutmu apakah kita bisa dicintai,disukai, benar-benar disayangi oleh mereka?”“Kurasa mereka bisa mencintai kita seperti mencintaimanusia lain, terutama jika mereka tidak tahu kita iniapa. Tapi kurasa kita tak mungkin bisa mencintaimanusia seperti mencintai Loric,” kata Henri.“Kenapa?”“Karena pada dasarnya kita berbeda dari mereka. Dankita mencintai dengan cara yang berbeda. Salah satukarunia Lorien kepada kita adalah kita bisa mencintaidengan sepenuhnya. Tanpa rasa cemburu atau rasagelisah atau rasa takut. Tanpa kepicikan. Tanpakemarahan. Kau bisa saja memiliki perasaan yangkuat terhadap Sarah, tapi perasaan itu tidak sepertiperasaan yang kau rasakan terhadap gadis Loric.”“Tidak banyak gadis Loric yang tersedia untukku.”“Masih ada lagi alasan untuk hati-hati dengan Sarah.Suatu saat nanti, jika kita bisa bertahan, kita perlumenghidupkan kembali ras kita dan menambahjumlah penduduk planet kita. Jelas perjalananmumasih panjang sehingga saat ini kau tidak perlumemikirkan itu, tapi kurasa Sarah tak akan bisa jadipasanganmu.”“Apa yang terjadi jika kita mencoba memiliki anakdari manusia?”“Itu sudah pernah terjadi berkali-kali. Biasanya anak-anak yang dihasilkan adalah manusia yang luar biasadan berbakat. Sosok-sosok hebat dalam sejarah diBumi sebenarnya adalah hasil dari perkawinanmanusia dan Loric, seperti, Aristoteles, Julius Caesar,Alexander Agung, Genghis Khan, Leonardo da Vinci,Isaac Newton, Thomas Jefferson, dan Albert Einstein.Banyak dewa-dewi Yunani kuno, yang diyakinikebanyakan orang sebagai mitos, sebenarnya adalahanak-anak dari manusia dan Loric. Ini terjadi terutamakarena dulu kita sering berada di planet ini danmembantu mereka mengembangkan peradaban.Aphrodite, Apollo, Hermes, dan Zeus. Mereka semuabenar-benar ada dan salah satu orangtua merekaadalah bangsa Loric.”“Jadi bisa saja.”“Memang bisa. Tapi, dalam situasi kita saat ini, itunamanya sembrono dan tidak praktis. Sebenarnya,walaupun aku tidak tahu nomornya dan juga tidaktahu di mana dia berada, salah satu dari anak-anakLoric yang datang ke Bumi bersama kita adalah anakperempuan sahabat orangtuamu. Mereka seringbercanda kalian berdua sudah ditakdirkan untukbersama. Mungkin mereka memang benar.”“Jadi apa yang harus kulakukan?”“Nikmati hari-harimu dengan Sarah, tapi jangan terlaluterikat dengannya, dan jangan biarkan dia terlaluterikat denganmu.”“Yang benar?”“Percayalah, John. Jika kau tidak pernah percaya padakata-kataku, setidaknya percayalah yang satu itu.”“Aku percaya dengan semua yang kau katakan,walaupun aku tak mau.”Henri mengedip ke arahku. “Bagus,” katanya.Setelah itu, aku pergi ke kamarku dan meneleponSarah. Sebelum menelepon, aku memikirkan apayang baru saja Henri katakan, tapi aku tidak bisamenahan diri. Aku terikat dengannya. Kurasa akujatuh cinta kepadanya. Kami bicara selama dua jam.Sudah tengah malam saat akhirnya kami menyudahipembicaraan. Lalu aku berbaring di tempat tidur,tersenyum di kegelapan.

MALAM PUN TURUN. MALAM YANG HANGAT. ANGINsepoi-sepoi bertiup. Langit dihiasi taburan cahaya yangberkelap-kelip. Awan berwarna biru, merah, dan hijau.Awalnya kembang api. Kembang api berubahperlahan-lahan menjadi sesuatu yang lain. Sesuatuyang lebih keras. Sesuatu yang lebih mengancam.Seruan kagum wah dan oh berubah menjadi jeritan

Page 100: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dan teriakan. Keadaan kacau-balau. Orang-orangberlarian, anak-anak menangis. Aku, berdiri di tengahitu semua, memandang tanpa mampu menolong. Paraprajurit dan hewan buas berhamburan dari segalaarah ke dalam kancah perang, seperti yang telahkusaksikan sebelumnya. Bom-bom berjatuhan denganbegitu bising sehingga memekakkan telinga,gaungnya terasa di ulu hatiku. Begitu menulikansehingga gigiku sakit. Lalu bangsa Loric melawan balikdengan begitu kuat, dengan gagah-berani,membuatku bangga berada di antara mereka,menjadi salah satu dari mereka.Lalu aku pergi, melintasi udara dengan sangat cepat.Dunia di bawahku tampak buram. Aku tidak bisamelihat apa pun dengan jelas. Saat berhenti, akusedang berdiri di lintasan pesawat. Sebuah pesawatudara berwarna perak berada sekitar lima meterdariku. Sekitar empat puluh Loric berdiri di jalur yangmengarah ke pintu masuknya. Dua orang sudahmasuk. Mereka berdiri di pintu sambil menatap langit,seorang anak perempuan dan seorang wanita seusiaHenri. Lalu aku melihat diriku, berumur empat tahun,menangis, dengan bahu merosot. Henri yang masihmuda berdiri di belakangku. Dia juga memandanglangit. Berlutut di depanku adalah nenekku. Diameremas bahuku. Kakekku berdiri di belakang nenek,wajahnya keras, tampak panik. Lensa kacamatanyamemantulkan cahaya dari langit.“Kau harus kembali, kau dengar? Kau harus kembali,”kata nenekku, mengakhiri ucapannya. Kuharap akubisa mendengar kata-kata yang dia ucapkan. Hinggasaat ini aku tidak apa pun yang dikatakan kepadakupada malam itu. Tapi aku yang sekarang berbeda.Diriku yang berumur empat tahun tidak menjawab.Diriku yang berumur empat tahun terlalu ketakutan.Dia tidak mengerti apa yang terjadi, mengapakeadaan begitu genting dan mengapa ada rasa takutdi mata semua orang di sekitarnya. Nenekkumemelukku. Kemudian dia melepaskan pelukannya.Dia berdiri dan membalikkan badan agar aku tidakmelihatnya menangis. Diriku yang berumur empattahun tahu bahwa nenekku menangis, tapi tidak tahukenapa.Lalu kakekku, yang berlumuran keringat, kotoran, dandarah. Jelas dia baru saja bertempur. Wajahnyatampak tegang, siap untuk bertempur lagi, siap untukpergi dan melakukan apa yang bisa dia lakukan untukmempertahankan diri. Dirinya, dan juga planetnya.Kakekku berlutut seperti nenek. Untuk pertamakalinya aku memandang berkeliling. Tumpukan logambengkok, bongkahan beton, lubang di tanah tempatjatuhnya bom. Api di sana-sini, pecahan kaca, tanah,pecahan pepohonan. Dan di tengah-tengah itu semuaterdapat satu pesawat. Masih mulus. Pesawat yangkami naiki.“Kita harus pergi!” teriak seseorang. Laki-laki, denganmata dan berambut gelap. Aku tidak tahu siapa laki-laki itu. Henri memandang laki-laki itu danmengangguk. Anak-anak berjalan masuk. Kakekkumenatapku dalam-dalam. Dia membuka mulut untukberbicara. Tapi sebelum ada kata-kata yang keluar,sekali lagi aku merasa melayang, melintasi udara.Dunia di bawah tampak kabur kembali. Aku mencobamencari suatu bentuk, tapi aku bergerak terlalu cepat.Satu-satunya yang terlihat hanyalah bom-bom, yangterus berjatuhan, api dengan berbagai warnamembelah langit malam diikuti ledakan tanpa henti.Lalu aku berhenti lagi.Aku berada dalam bangunan besar dan terbuka yangbelum pernah kulihat. Hening. Langit-langitnyamembentuk kubah. Lantainya berupa satu lempengbeton sebesar lapangan football. Tidak ada jendela.Namun suara bom masih terdengar, bergema didinding di sekitarku. Di tengah-tengah bangunan itu,tampak tinggi dan gagah serta sendirian, berdiri

Page 101: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sebuah roket putih yang menjulang hingga puncaklangit-langit.Lalu sebuah pintu membanting terbuka di kejauhan.Aku langsung menoleh ke arah itu. Dua laki-lakimasuk, kalut, berbicara dengan cepat dan keras.Terdengar derap sekelompok hewan berlari dibelakang kedua laki-laki itu. Lima belas hewan,kurang lebih, yang terus-menerus berubah wujud. Adayang terbang, ada yang berlari dengan dua kaki, laluempat kaki. Di belakang rombongan itu, muncul laki-laki ketiga. Kemudian pintu itu ditutup. Laki-lakipertama mencapai pesawat ruang angkasa,membuka semacam lubang palka di bagian bawahpesawat, dan memasukkan hewan-hewan itu.“Cepat! Cepat! Naik dan masuk ke dalam, naik danmasuk ke dalam,” teriaknya.Hewan-hewan itu bergegas. Semuanya berubahwujud agar bisa baik dan masuk. Lalu hewan terakhirmasuk. Kemudian salah satu dari ketiga laki-laki itupun ikut masuk. Dua laki-laki yang lain mulaimelemparkan tas-tas dan kotak-kotak kepadanya.Mereka memerlukan sepuluh menit untukmemasukkan segalanya ke dalam pesawat. Laluketiga laki-laki itu berpencar di sekeliling roket,menyiapkannya. Ketiganya berkeringat. Ketiganyabergerak dengan cepat hingga segalanya siap. Tepatsebelum ketiga laki-laki itu memanjat masuk kedalam roket, seseorang berlari menghampiri. Diamembawa buntelan yang tampak seperti bayi dalambedongan, walalupun aku tidak yakin karena tidakbisa melihat dengan jelas. Mereka mengambil bendaitu dan masuk ke dalam. Lalu pintu ditutup dandisegel. Menit-menit berlalu. Saat ini bom-bom itupasti sudah berjatuhan di dekat dinding luar gedung.Lalu, entah dari mana, terjadi ledakan dalam gedung.Aku melihat api memancar dari bagian bawah roket.Api itu membesar dengan cepat dan membakar habissemua yang ada dalam gedung itu. Api yang jugamembakarku.Mataku mendadak terbuka. Aku kembali di rumah, diOhio, berbaring di tempat tidur. Kamar ini gelap, tapiaku bisa merasakan aku tidak sendirian. Sebuahsosok bergerak. Bayangannya jatuh di tempat tidur.Aku menegang, siap untuk menyalakan tanganku,siap untuk melemparkannya ke dinding.“Kau berbicara,” kata Henri. “Barusan saja. Kauberbicara saat tidur.”Aku menyalakan tanganku. Henri berdiri di sampingtempat tidur, mengenakan celana piyama dan kausputih. Rambutnya berantakan. Matanya merah karenatidur.“Apa yang kukatakan?”“Kau bilang ‘Naik dan masuk ke dalam, naik danmasuk ke dalam.’ Apa yang terjadi?”“Aku di Lorien.”“Dalam mimpi?”“Kurasa tidak. Aku ada di sana, seperti waktu itu.”“Apa yang kau lihat?”Aku beringsut mundur hingga bisa bersandar didinding.“Hewan-hewan,” kataku.“Hewan-hewan apa?”“Di pesawat ruang angkasa yang kulihat lepas landas.Pesawat yang tua, yang di museum. Dalam roketyang pergi setelah kita pergi. Aku melihat hewan-hewan itu dimasukkan ke dalam pesawat. Tidakbanyak. Mungkin lima belas. Dengan tiga Loric lain.Aku pikir mereka bukan Garde. Lalu ada lagi.Buntelan. Tampaknya seperti bayi, tapi aku tidakmelihatnya dengan jelas.”“Kenapa kau pikir mereka bukan Garde?”“Mereka mengisi roket itu dengan perbekalan, sekitarlima puluh kotak dan tas ransel. Mereka tidakmenggunakan telekinesis.”“Ke dalam roket yang ada di dalam museum?”

Page 102: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Kurasa itu museum. Aku berada di dalam gedungbesar berkubah yang hanya berisi roket. Aku hanyabisa menduga bahwa itu museum.”Henri mengangguk. “Jika mereka bekerja di museum,pasti mereka itu Cêpan.”“Memasukkan hewan-hewan,” kataku. “Hewan-hewan yang bisa berubah wujud.”“Chimæra,” kata Henri.“Apa?”“Chimæra. Hewan di Lorien yang bisa berubah wujud.Mereka disebut Chimæra.”“Apa Hadley itu Chimæra?” tanyaku, teringat citrayang kulihat beberapa minggu lalu, ketika akubermain di halaman rumah kakek-nenekku kemudiandiangkat ke udara oleh seorang lelaki berpakaianperak dan biru.Henri tersenyum. “Kau ingat Hadley?”Aku mengangguk. “Aku melihatnya dengan cara yangsama seperti melihat hal-hal lainnya.”“Kau melihat citra bahkan saat kita tidak berlatih?”“Kadang-kadang.”“Seberapa sering?”“Henri, siapa yang peduli dengan citra? Mengapamereka memasukkan hewan-hewan ke dalam roket?Apa yang bayi itu lakukan bersama mereka? Apakahitu memang bayi? Ke mana mereka pergi? Apa misimereka?”Henri berpikir sebentar. Dia menggeser kakinya.“Mungkin misi yang sama dengan kita. Pikirkan, John.Bagaimana lagi hewan-hewan bisa kembalimemenuhi Lorien? Mungkin mereka juga pergi kesuatu tempat perlindungan. Segalanya disapu bersih.Bukan hanya orang-orang, tapi juga hewan-hewan,dan juga tumbuh-tumbuhan. Mungkin buntelan ituberisi hewan lain. Hewan yang masih lemah, mungkinyang masih kecil.”“Oke, ke mana mereka pergi? Apa ada tempatperlindungan lain selain Bumi?”“Aku rasa mereka pergi ke salah satu stasiun ruangangkasa. Sebuah roket dengan bahan bakar Loric bisamencapai tempat itu. Mungkin mereka pikir merekabisa menunggu hingga penyerbuan itu berakhir.Maksudku, mereka pasti bisa hidup di stasiun ruangangkasa itu sampai perbekalan mereka habis.”“Ada stasiun ruang angkasa di dekat Lorien?”“Ya, ada dua. Yah, dulunya ada dua. Aku tahu pastibahwa yang stasiun yang paling besar hancur padasaat penyerbuan terjadi. Kami kehilangan hubungandengannya kurang dari dua menit setelah bompertama dijatuhkan.”“Kenapa kau tidak pernah mengatakan ini, saat akumemberitahumu tentang roket itu?”“Aku pikir roket itu kosong dan hanya diluncurkansebagai umpan. Lagi pula, kupikir karena salah satustasiun ruang angkasa sudah dihancurkan, pastistasiun yang lainnya juga sama. Sayangnyaperjalanan mereka mungkin hanya sia-sia, apa punmisi mereka.”“Tapi bagaimana jika mereka kembali saatperbekalan mereka habis? Apa menurutmu merekabisa bertahan hidup di Lorien?” Aku bertanya denganputus asa. Aku sudah tahu jawabannya. Aku sudahtahu apa yang akan Henri katakan. Namun aku tetapbertanya karena ingin berpegang pada semacamharapan bahwa kami tidak sendirian dalammenghadapi ini semua. Bahwa mungkin, jauh entah dimana, ada orang-orang seperti kami. Ada para Loricyang menunggu, memantau planet hingga mereka,juga, suatu hari nanti bisa kembali. Aku berharapkami tidak sendirian saat kembali ke planet kami.“Tidak. Saat ini tidak ada air di Lorien. Kau sudahmelihatnya sendiri. Tidak ada apa-apa selain tanahkosong yang tandus. Dan tidak ada sesuatu apa punyang bisa bertahan hidup tanpa air.”Aku mendesah dan berbaring kembali. Kujatuhkan

Page 103: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kepalaku ke bantal. Apa gunanya berdebat? Henribenar dan aku tahu itu. Aku melihatnya sendiri. Jikaglobe yang Henri keluarkan dari Peti Loric dapatdipercaya, maka Lorien tak lebih dari sekadar tanahkosong. Planet itu masih hidup, tapi di permukaannyatidak ada apa pun. Tidak ada air. Tidak ada tumbuhan.Tidak ada kehidupan. Tidak ada apa pun selain tanah,batu, dan reruntuhan sisa-sisa peradaban.“Kau melihat hal lain?” tanya Henri.“Aku melihat kita pada hari ketika kita pergi. Kitasemua di pesawat sebelum lepas landas.”“Itu hari yang menyedihkan.”Aku mengangguk. Henri menyilangkan tangan danmenatap keluar jendela, melamun. Aku menariknapas panjang. “Di mana keluargamu saat itu?”kataku.Sinar di tanganku sudah kupadamkan sejak dua atautiga menit lalu, tapi aku bisa melihat bagian putihmata Henri menatapku.“Tidak bersamaku, tidak pada hari itu,” katanya.Kami berdua diam selama beberapa saat, lalu Henribergerak.“Yah, sebaiknya aku kembali tidur,” katanya,mengakhiri percakapan. “Tidurlah.”Setelah Henri pergi, aku berbaring memikirkanhewan-hewan itu, roket, dan keluarga Henri. Akusangat yakin dia tidak sempat mengucapkan selamattinggal kepada mereka. Aku tahu aku tidak akan bisatidur lagi. Aku tidak bisa tidur saat bayangan-bayangan itu muncul. Aku juga tidak bisa tidur saatmerasakan kesedihan Henri. Pastilah Henri selalumemikirkannya, seperti yang dilakukan mereka yangpergi pada situasi yang sama, meninggalkan satu-satunya rumah yang kau kenal padahal kau tahu kautidak akan bisa menemui orang yang kau sayangilagi.Aku mengambil ponsel dan mengirim SMS kepadaSarah. Aku selalu mengirim SMS kepadanya jika akutidak bisa tidur, atau sebaliknya. Lalu kami akanberbicara lama hingga mengantuk. Dua puluh detiksetelah aku menekan tombol kirim, Sarahmeneleponku.“Hei, kau,” jawabku.“Nggak bisa tidur?”“Nggak.”“Ada apa?” tanya Sarah. Dia menguap di ujung sana.“Kangen kamu aja. Aku sudah berbaring di tempattidur memandangi langit-langit selama satu jam, nih.”“Dasar. Kau kan baru bersamaku sekitar enam jamyang lalu.”“Andai kau masih di sini,” kataku. Sarah mengerang.Aku bisa mendengar dia tersenyum di kegelapan. Akuberbaring miring dan menahan ponsel di antarakuping dan bantal.“Yah, aku juga berpikir seandainya aku di sana.”Kami mengobrol selama dua puluh menit. Selamasepuluh menit terakhir, kami hanya berbaring sambilsaling mendengarkan napas masing-masing. Akumerasa lebih baik setelah berbicara dengan Sarah,tapi ternyata aku justru lebih susah tidur.UNTUKPERTAMA KALINYA, SEJAK KAMI TIBA di Ohio, segalasesuatu seolah berjalan dengan lambat untuk sesaat.Sekolah berakhir dengan tenang dan kamimendapatkan sebelas hari liburan musim dingin. Samdan ibunya menghabiskan waktu liburan denganmengunjungi bibi Sam di Illinois. Sarah tinggal dirumah. Kami melewatkan Natal bersama. Kamibersama-sama menunggu lonceng pada Malam TahunBaru berdentang. Tanpa memedulikan salju dandingin, atau mungkin justru untuk melawannya, kamiberjalan-jalan di sekitar hutan di belakang rumah,berpegangan tangan, berciuman menghirup udaradingin di bawah langit musim dingin yang kelabu danmuram. Kami menghabiskan lebih banyak waktubersama. Kami selalu bertemu setiap hari sepanjang

Page 104: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

liburan.Kami berjalan bergandengan tangan di bawahnaungan warna putih yang terbentuk dari tumpukansalju di atas ranting pepohonan. Sarah membawakameranya dan sesekali berhenti untuk memotret.Salju di tanah tampak mulus tak tersentuh, hanyatampak jejak kaki kami berdua. Kami menyusuri jalanbersalju itu sekarang. Bernie Kosar memimpin jalan,berlari masuk dan keluar semak berduri, mengejarkelinci ke belukar dan semak berduri, memburu tupai.Sarah mengenakan penghangat telinga berwarnahitam. Pipi dan ujung hidungnya merah karena dingin,menyebabkan matanya tampak lebih biru. Akumenatapnya.“Apa?” tanyanya sambil tersenyum.“Hanya mengagumi keindahan.”

Sarah memutar matanya. Hutan itu lebat. Namun dibeberapa bagian ada tempat-tempat terbuka. Akutidak yakin seberapa panjang hutan ini, tapi selamakami berjalan-jalan bersama belum pernah kamimencapai ujungnya.“Aku yakin tempat ini indah pada musim panas,” kataSarah. “Kita mungkin bisa piknik di tempat yangterbuka.”Dadaku terasa sakit. Musim panas masih lima bulanlagi. Jika Henri dan aku tinggal di sini hingga bulanMei, berarti kami berada di Ohio selama tujuh bulan.Itu mendekati waktu paling lama bagi kami untuktinggal di satu tempat.“Yeah,” aku setuju.Sarah memandangku. “Apa?”Aku memandangnya bingung. “Apa maksudmu,‘apa?’”“Itu nggak cukup meyakinkan,” katanya.Segerombolan gagak terbang di atas, berkaok-kaokbising.“Aku hanya berpikir seandainya sekarang ini musimpanas.”“Sama. Aku nggak percaya kita harus sekolah lagibesok.”“Ugh, jangan ingatkan aku.”Kami memasuki tempat terbuka. Tempat itu lebihbesar daripada yang lain, hampir benar-benar bulatdengan diameter tiga puluh meter. Sarah melepaskantanganku, berlari ke tengah, dan menjatuhkan diri disalju, tertawa. Dia berguling telentang danmenggerak-gerakkan tangan untuk membuatmalaikat salju. Aku berbaring di sampingnya danmelakukan hal yang sama. Ujung jari kami sesekalibersentuhan saat kami membuat sayap. Kami berdiri.“Kita tampak seperti saling memegang sayap,”katanya.“Apa itu mungkin?” tanyaku. “Maksudku, bagaimanakita terbang jika kita saling memegang sayap?”“Pasti bisa. Malaikat kan bisa melakukan apa pun.”Lalu Sarah berbalik dan menubrukku. Wajahnya yangdingin mengenai leherku sehingga aku menggeliatmenjauhinya.“Ahh! Wajahmu dingin seperti es.”Sarah tertawa.Aku memeluk dan menciumnya di bawah langitterbuka, pepohonan mengelilingi kami. Tidak adasuara lain selain burung-burung dan bunyi salju jatuhdari dahan pohon di dekat kami. Bernie Kosarmenghampiri dengan berderap, kehabisan napas, lidahterjulur, ekor dikibas-kibas. Dia menyalak dan dudukdi salju memandangi kami, kepalanya dimiringkan kesatu sisi.“Bernie Kosar! Tadi kau mengejar kelinci?” tanyaSarah.Bernie Kosar menyalak dua kali, lalu berlari danmelompat ke arah Sarah. Dia menyalak lagi, lalumundur, kemudian mendongak dengan pandanganpenuh harap. Sarah mengambil tongkat dari tanah,

Page 105: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

menggoyang-goyangkannya untuk menyingkirkansalju, lalu melemparkannya ke arah pepohonan.Bernie Kosar berlari mengejar tongkat itu danmenghilang dari pandangan. Dia muncul kembali daripepohonan sepuluh detik kemudian, namun bukandari tempat dia tadi pergi, dia justru datang dari sisiyang berlawanan. Sarah dan aku berputarmemandang Bernie Kosar.“Kok bisa?” tanya Sarah.”“Entah,” kataku. “Bernie itu anjing yang aneh.”“Kau dengar itu, Bernie Kosar? Dia bilang kau ituaneh!”Bernie Kosar menjatuhkan tongkat di kaki Sarah. Kamiberjalan kembali ke rumah, bergandengan tangan.Hari hampir senja. Bernie Kosar berderap di sampingkami sepanjang jalan itu. Ia menengok ke kanan dankiri seolah menjaga kami dari apa yang bersembunyiataupun tidak bersembunyi di kegelapan di luarjangkauan penglihatan kami.* * *Lima surat kabar menumpuk di meja dapur. Henri dikomputernya. Lampu menyala.“Ada sesuatu?” tanyaku, hanya karena kebiasaan.Belum ada berita penting selama berbulan-bulan. Itubagus. Tapi aku selalu berharap ada sesuatu setiapkali bertanya seperti itu kepada Henri.“Sebenarnya, ya, kurasa.”Semangatku bangkit. Aku berjalan mengelilingi mejadan melihat layar komputer dari belakang Henri.“Apa?”“Ada gempa di Argentina kemarin malam. Seoranggadis enam belas tahun membebaskan seorang lelakitua dari tumpukan reruntuhan di sebuah kota kecildekat pantai.”“Nomor Sembilan?”“Yah, aku yakin gadis itu salah satu dari kita. Apakahdia itu Nomor Sembilan atau bukan masih perludiselidiki.”“Kenapa? Nggak ada yang aneh dari menolong orangtua dari reruntuhan.”“Lihat,” kata Henri, lalu menunjukkan bagian atasartikel itu. Di sana ada gambar lempeng beton besaryang tebalnya sekitar 30 senti, dengan panjang danlebar 2,5 meter. “Ini yang dia angkat untukmenyelamatkan lelaki tua itu. Beratnya pasti sekitarlima ton. Dan lihat ini,” kata Henri, lalu menunjukkanbagian bawah halaman itu. Dia menyorot kalimatterakhir. Bunyinya: “Sofia Garcia tidak bisa ditemukanuntuk memberikan komentar.”Aku membaca kalimat itu tiga kali. “Dia tidak bisaditemukan,” kataku.“Tepat. Dia tidak menolak memberikan komentar, diahanya tidak bisa ditemukan.”“Bagaimana mereka tahu namanya?”“Itu kota kecil, ukurannya tak sampai sepertigaParadise. Semua orang pasti tahu namanya.”“Dia pergi, ya?”Henri mengangguk. “Kurasa begitu. Mungkin sebelumsurat kabar itu diterbitkan. Itu sisi buruk dari kotakecil, tidak mungkin untuk tidak menjadi perhatian.”Aku mendesah. “Dan para Mogadorian juga sulituntuk tak menonjol.”“Tepat.”“Sayang,” kataku, lalu berdiri. “Entah apa yang harusdia tinggalkan.”Henri memandangku heran, membuka mulut untukmengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan kembaliberkutat dengan komputernya. Aku kembali kekamarku. Aku mengepak tas dengan pakaian gantibaru dan buku-buku yang kubutuhkan untuk hari itu.Kembali ke sekolah. Aku tidak antusias, walaupunpasti menyenangkan bertemu Sam lagi, yang tidakkulihat selama hampir dua minggu.“Oke,” kataku. “Aku berangkat.”“Semoga harimu indah. Hati-hati di luar sana.”

Page 106: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Sampai ketemu nanti sore.”Bernie Kosar bergegas keluar rumah mendahuluiku.Dia penuh energi hari ini. Aku rasa dia menantikan laripagi kami. Kami tidak melakukannya selama satusetengah minggu sehingga dia tak sabar untuk itu. Diabisa mengimbangi kecepatanku selama berlari.Setelah kami tiba di sekolah, aku membelai danmenggaruk belakang telinganya.“Oke, pulang ke rumah,” kataku. Bernie Kosar berbalikdan mulai berlari kembali ke rumah.Aku mandi dengan tenang. Begitu selesai, murid-muridlain mulai berdatangan. Aku berjalan di lorong,berhenti di lokerku, lalu pergi ke loker Sam. Akumenepuk punggungnya. Dia terkejut. Saat melihatbahwa itu aku, dia menyeringai lebar.“Aku pikir aku dikerjai tadi,” katanya.“Cuma aku, Kawan. Bagaimana Illinois?”“Ugh,” katanya, lalu memutar mata. “Bibikumemaksaku minum teh dan nonton Little House onthe Prairie hampir setiap hari.”Aku tertawa. “Kedengarannya buruk.”“Memang, percaya deh,” katanya, lalu merogoh kedalam tas. “Ini ada di kotak surat saat kami kembali.”Sam memberikan edisi They Walk Among Us terbarukepadaku. Aku mulai membalik-baliknya.“Tidak ada tentang kita atau Mogadorian,” katanya.“Bagus,” kataku. “Mereka pasti takut setelah kitamengunjungi mereka.”“Yeah, benar.”Dari balik bahu Sam, aku bisa melihat Sarahmenghampiri. Mark James menghentikannya ditengah lorong dan memberikan beberapa lembarkertas berwarna oranye. Lalu Sarah terus berjalan.“Hai, Cantik,” kataku saat Sarah tiba. Sarah berjinjituntuk menciumku. Aku bisa merasakan lip balmstroberi di bibirnya.“Hai, Sam. Apa kabar?”“Baik. Kamu?” tanya Sam. Sekarang Sam lebih santaidi dekat Sarah. Sebelum peristiwa Henri, yang terjadisekitar satu setengah bulan yang lalu, berdiri di dekatSarah selalu membuat Sam tidak nyaman. Dia tidakbisa menatap mata Sarah dan bingung apa yangharus dilakukan dengan tangannya. Tapi sekarangSam memandang Sarah dan tersenyum, berbicaradengan percaya diri.“Baik,” jawab Sarah. “Aku harus memberikan kalianini.”Sarah memberikan lembaran oranye yang baru sajadiberikan Mark kepadanya. Itu undangan pesta padamalam Minggu mendatang di rumah Mark.“Aku diundang?” tanya Sam.Sarah mengangguk. “Kita bertiga diundang.”“Kau mau datang?” tanyaku.“Mungkin bisa kita coba.”Aku mengangguk. “Kau tertarik, Sam?”Sam memandang melewati Sarah dan aku. Akuberbalik untuk melihat apa yang Sam lihat, atausebenarnya siapa. Di loker di seberang lorong, berdiriEmily. Dia gadis yang ikut naik gerobak jeramibersama kami, dan yang Sam taksir sejak saat itu.Saat Emily lewat, dia melihat Sam memandanginya.Emily tersenyum sopan.“Emily?” tanyaku kepada Sam.“Emily apa?” tanya Sam, balik menatapku.Aku memandang Sarah. “Kurasa Sam naksir EmilyKnapp.”“Nggak,” kata Sam.“Aku bisa mengajaknya ke pesta bersama kita,” kataSarah.“Menurutmu Emily akan pergi?” tanya Sam.Sarah memandangku. “Yah, mungkin sebaiknya akunggak mengundang Emily karena Sam tak suka dia.”Sam tersenyum. “Oke, baiklah. Aku hanya, entahlah.”“Emily selalu bertanya kenapa kau tidak pernahmenelepon setelah naik gerobak jerami itu. Dia

Page 107: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sepertinya suka kepadamu.”“Itu benar,” kataku. “Aku pernah dengar Emilyberkata begitu.”“Kenapa kau nggak bilang?” tanya Sam.“Kau nggak tanya.”Sam menunduk memandang kertas itu. “Jadi Sabtuini?”“Ya.”Sam memandangku. “Kita pergi.”Aku mengangkat bahu. “Kita pergi.”* * *Henri sedang menungguku saat bel terakhir berbunyi.Seperti biasa, Bernie Kosar duduk di tempat dudukpenumpang. Saat melihatku, ekornya mulai dikibas-kibas dengan kecepatan 160 kilometer per jam. Akumelompat ke dalam truk. Henri memasukkan gigi danmenyetir keluar sekolah.“Ada kelanjutan artikel tentang gadis yang diArgentina,” kata Henri.“Dan?”“Hanya artikel pendek yang menyatakan bahwa diahilang. Wali kota menawarkan hadiah kepada yangbisa memberi informasi di mana gadis itu berada.Sepertinya mereka yakin dia diculik.”“Apa kau khawatir para Mogadorian menangkapnyaduluan?”“Jika gadis itu si Nomor Sembilan, seperti yang tertulisdi kertas catatan yang kita temukan itu, dan paraMogadorian sedang membuntutinya, maka bagus jikadia menghilang. Dan jika dia ditangkap, paraMogadorian tidak bisa membunuhnya―mereka bahkantidak bisa menyakitinya. Masih ada harapan. Sisibagusnya, selain dari berita itu sendiri adalah, kurasasemua Mogadorian di Bumi pergi ke Argentina saatini.”“Ngomong-ngomong, hari ini Sam membawa edisiThey Walk Among Us terbaru.”“Ada sesuatu di dalamnya?”“Nggak.”“Sudah kuduga. Kemampuanmu menerbangkanbenda tampaknya sangat memengaruhi mereka.”Saat kami tiba di rumah aku berganti pakaian danmenemui Henri di halaman belakang untuk latihan.Melakukan banyak sambil dibakar sudah terasa lebihmudah. Aku tidak kalut seperti pada hari pertama.Aku bisa menahan napas lebih lama, hampir empatmenit. Aku bisa lebih mengendalikan benda-bendayang kuangkat. Aku juga bisa mengangkat lebihbanyak benda dalam satu waktu. Sedikit demi sedikit,ekspresi khawatir yang kulihat di wajah Henri padahari pertama mulai mencair. Dia lebih seringmengangguk. Dia lebih sering tersenyum. Pada hariketika latihanku berjalan dengan sangat baik,matanya bersinar dan dia mengangkat tangan keudara serta berteriak “Yes!” sekeras mungkin. Aku jadimerasa lebih percaya diri dengan Pusakaku. Pusakayang lain belum muncul, tapi kurasa tidak akan lamalagi. Dan juga Pusaka utamaku, apa pun itu.Penantian itu membuatku terjaga hampir setiapmalam. Aku ingin bertempur. Aku berharapMogadorian datang ke halaman belakang rumah kamisehingga aku bisa balas dendam.Hari ini latihannya mudah. Tanpa api. Pada dasarnyaaku hanya mengangkat benda-benda danmenggerakkannya di udara. Dua puluh menit berlaludengan Henri melemparkan benda-benda ke arahku.Kadang-kadang aku perlu membiarkan benda itujatuh ke tanah, di saat lain aku harus membelokkanbenda itu dan membuatnya berbalik cepat ke arahHenri, seperti bumerang. Suatu saat pemukul dagingterbang ke arah Henri dengan begitu cepat sehinggadia harus menjatuhkan diri ke salju agar tidakterpukul. Aku tertawa. Henri tidak. Bernie Kosarberbaring di tanah sepanjang latihan, menonton kami,seolah memberikan dukungan. Setelah selesai

Page 108: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berlatih, aku mandi, lalu mengerjakan PR. Setelah ituaku duduk di meja dapur untuk makan malam.“Sabtu ini ada pesta dan aku akan pergi.”Henri menatapku, berhenti mengunyah. “Pesta siapa?”“Mark James.”Henri tampak terkejut.“Masalah yang dulu kan sudah selesai,” katakusebelum Henri mengatakan keberatannya.“Yah, kurasa kau tahu yang terbaik. Tapi ingat apayang kau pertaruhkan.”

CUACA MENGHANGAT. ANGIN DINGIN, CUACAmenggigit, dan hujan salju terus-menerus digantikanlangit biru dan suhu sepuluh derajat Celcius. Saljumeleleh. Awalnya ada kubangan air di halaman.Jalanan basah dan terdengar bunyi percikan airterlindas ban. Namun setelah satu hari, semua airkering dan menguap. Mobil-mobil lewat dengan mulusseperti biasa. Ini masa istirahat sebelum pak tuamusim dingin lewat mengemudikan keretanya lagi.Aku duduk di beranda menanti Sarah, memandangilangit malam penuh bintang berkelap-kelip serta bulanpurnama. Awan tipis bagai pisau membelah bulanmenjadi dua, lalu hilang dengan cepat. Terdengarbunyi kerikil dilindas ban, disusul sorotan lampudepan. Sebuah mobil masuk ke halaman. Sarah keluardari sisi pengemudi. Dia mengenakan celana abu-abugelap dengan pola lidah api di bagian pergelangankaki, sweater cardigan biru laut, dan jaket beige. Matabirunya semakin menonjol akibat kemeja biru yangmengintip dari ujung jaket. Rambut pirangnya tergeraimelewati bahu. Dia tersenyum menggoda danmemandangku, mengedip-ngedipkan mata sambilberjalan menghampiri. Perutku seakan tergelitik.Sudah hampir tiga bulan kami bersama, tapi aku tetapgugup saat melihat Sarah. Rasa gugup yangsepertinya tidak akan pernah reda seiring denganwaktu.“Kau tampak menawan,” kataku.“Makasih,” katanya sambil membungkukkan badan.“Kau sendiri nggak jelek.”Aku mencium pipi Sarah. Lalu Henri keluar dari rumahdan melambai ke ibu Sarah, yang duduk di tempatduduk penumpang dalam mobil.“Nanti kau telepon kalau sudah mau dijemput, kan?”tanya Henri.“Ya,” jawabku.Kami berjalan ke mobil. Sarah duduk di belakangkemudi. Aku duduk di belakang. Sarah sedang belajarmenyetir mobil. Dia bisa menyetir asalkan didampingiseseorang yang memiliki SIM. Ujian mengemudinyaakan dilaksanakan hari Senin, dua hari lagi. Sejaktanggal ujian mengemudinya ditetapkan musim dinginlalu, dia sangat bersemangat. Sarah memundurkanmobil keluar dari halaman, lalu berbelok ke jalan. Laludia menurunkan pelindung matahari danmemandangku melalui kaca spion. Aku balastersenyum.“Jadi bagaimana harimu, John?” tanya ibu Sarahsambil menengok ke belakang. Kami berbasa-basi. IbuSarah bercerita mengenai perjalanannya ke mal pagitadi, dan bagaimana Sarah menyetir. Aku berceritabahwa aku bermain dengan Bernie Kosar di halaman,dan setelah itu lari bersama. Aku tidak menceritakanmengenai sesi latihan selama tiga jam di halamanbelakang setelahnya. Aku tidak menceritakankepadanya bagaimana aku membelah batang pohonmati dari atas ke bawah menggunakan telekinesis,atau bagaimana Henri melemparkan pisau ke arahkuyang kemudian kubelokkan ke karung pasir yangberjarak 15 meter. Aku tidak bercerita bahwa akudibakar atau pun mengenai benda-benda yangkuangkat, kuremukkan, dan kuhancurkan. Rahasialagi. Setengah kebenaran yang terasa sepertikebohongan. Aku ingin memberi tahu Sarah. Aku

Page 109: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

merasa seolah mengkhianatinya denganmerahasiakan itu. Selama minggu-minggu terakhir,beban itu mulai memberatiku. Tapi aku juga tahubahwa aku tidak punya pilihan lain. Tidak pada saatini.“Jadi ini tempatnya?” tanya Sarah.“Ya,” jawabku.Sarah masuk ke halaman rumah Sam. Sam sedangberjalan mondar-mandir. Dia mengenakan jins dansweater wol dan mendongak kaget saat kami datang.Rambutnya berkilap oleh gel. Aku belum pernahmelihat Sam memakai gel. Dia berjalan ke sampingmobil, membuka pintu, dan duduk di sampingku.“Hai, Sam,” kata Sarah, lalu mengenalkan Samkepada ibunya.Sarah mundur lagi dan berbelok ke jalan. Keduatangan Sam tertancap erat di kursi karena gugup.Sarah mengemudikan mobil di jalan yang belumpernah kulihat lalu berbelok ke kanan dan memasukijalan untuk mobil yang berkelok. Ada tiga puluh mobilatau lebih yang diparkir di pinggirnya. Di ujung jalanuntuk mobil itu, dikelilingi pepohonan, terdapat sebuahrumah besar berlantai dua. Suara musik terdengarbahkan sebelum kami tiba di sana.“Wah, rumah yang bagus,” kata Sam.“Baik-baik di sana, ya,” kata ibu Sarah. “Dan hati-hati.Telepon jika perlu sesuatu, atau jika tidak bisamenghubungi ayahmu,” katanya, sambilmemandangku.“Baik, Mrs. Hart,” kataku.Kami keluar dari mobil dan berjalan ke pintu depan.Dua ekor anjing berlari menyongsong kami darisamping rumah, seekor golden retriever dan seekorbulldog. Ekor mereka dikibas-kibaskan dan merekamengendus-endus celanaku, mencium bau BernieKosar. Si bulldog membawa tongkat di mulutnya. Akumengambil tongkat itu lalu melemparkannya melintasihalaman. Kedua anjing itu berlari kencangmengejarnya.“Dozer dan Abby,” kata Sarah.“Dozer itu si bulldog?” tanyaku.Sarah mengangguk dan tersenyum seolah memintamaaf. Aku teringat bahwa dia mengenal rumah ini.Aku ingin tahu apakah dia merasa aneh kembali kerumah ini, bersamaku.“Ini ide yang buruk,” kata Sam. Dia memandangku.“Aku baru menyadarinya.”“Kenapa kau berpikir begitu?”“Karena baru tiga bulan lalu orang yang tinggal di sinimemenuhi loker kita dengan kotoran sapi danmenimpuk belakang kepalaku dengan bakso saatmakan siang. Dan sekarang kita di sini.”“Taruhan, Emily sudah ada di sini,” kataku sambilmenyikutnya.Pintu depan terbuka ke arah lorong masuk. Anjing-anjing berlari masuk melewati kami dan hilang didapur, yang terletak lurus di depan. Aku bisa melihatAbby menggigit tongkat. Kami disambut musik kerassehingga harus berteriak agar bisa didengar. Orang-orang berdansa di ruang tamu. Sebagian besar darimereka memegang kaleng bir. Hanya sedikit yangminum air atau soda botolan. Tampaknya orangtuaMark sedang keluar kota. Seluruh tim football ada didapur, setengah dari mereka mengenakan jaketfootball. Mark datang dan memeluk Sarah. Lalu diamenjabat tanganku. Dia menatapku sebentar lalumengalihkan pandangan. Mark tidak menjabat tanganSam. Dia bahkan tidak memandang Sam. MungkinSam benar. Ini suatu kesalahan.“Senang kalian bisa datang. Ayo masuk. Bir ada didapur.”Emily berdiri di salah satu sudut, berbicara denganorang lain. Sam memandang ke arah Emily, lalubertanya kepada Mark di mana letak kamar mandi.Mark menunjukkan arahnya.

Page 110: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Aku segera kembali,” kata Sam kepadaku.Sebagian besar laki-laki berdiri mengelilingi meja ditengah dapur. Mereka memandangku saat Sarah danaku masuk. Aku memandang mereka semua, lalumengambil sebotol air dari ember berisi es. Markmembuka sekaleng bir dan memberikannya kepadaSarah. Cara Mark memandang Sarah membuatkusadar bahwa aku tidak percaya kepadanya. Dansekarang aku baru sadar betapa anehnya situasi ini.Aku berada di rumahnya saat ini bersama Sarah,mantan pacarnya. Aku senang Sam bersamaku.Aku membungkuk dan bermain dengan anjing-anjinghingga Sam keluar dari kamar mandi. Saat itu Sarahsudah sampai di ujung ruang tamu dan berbicaradengan Emily. Sam menegang di sampingku saatsadar bahwa tidak ada lagi yang bisa kami lakukanselain menghampiri mereka dan menyapa. Diamenarik napas dalam. Di dapur, dua orang anak laki-laki iseng membakar ujung surat kabar.“Pastikan kau memuji Emily,” kataku kepada Samsaat kami mendekat. Dia mengangguk.“Kalian di sini toh,” kata Sarah. “Aku pikir kaumeninggalkanku sendirian.”“Tak akan,” jawabku. “Hai, Emily. Apa kabar?”“Baik,” katanya. Lalu Emily berkata kepada Sam, “Akusuka rambutmu.”Sam hanya memandangnya. Aku menyodok Sam.Sam tersenyum.“Makasih,” katanya. “Kau tampak sangat cantik.”Sarah memandangku penuh arti. Aku mengangkatbahu dan mencium pipinya. Musik semakin keras.Sam berbicara dengan Emily, gugup, tapi Emilytertawa dan setelah beberapa saat Sam menjadi lebihsantai.“Kau baik-baik saja?” tanya Sarah kepadaku.“Tentu. Aku bersama gadis tercantik di pesta ini. Apaada yang lebih baik daripada itu?”“Gombal,” katanya, sambil menusuk perutku.Kami berempat berdansa selama satu jam atau lebih.Para pemain football masih minum-minum. Seseorangmuncul membawa satu botol vodka. Segera sajasalah satu dari mereka―entah yang mana―muntah dikamar mandi sehingga bau muntahan menguar dilantai bawah. Seorang pemain football pingsan di sofaruang tamu, dan beberapa temannya menggambariwajahnya dengan spidol. Orang-orang masuk dankeluar melalui pintu yang mengarah ke ruang bawahtanah. Aku tidak tahu apa yang terjadi di bawahsana. Aku tidak melihat Sarah selama sepuluh menitterakhir. Aku meninggalkan Sam dan berjalanmelintasi ruang tamu dan dapur, lalu naik ke atas.Karpet tebal dan dinding putih dihiasi dengan lukisandan foto keluarga. Beberapa pintu kamar tidurterbuka. Sebagian lagi tertutup. Aku tidak melihatSarah. Aku kembali ke bawah. Sam berdiri murungsendirian di pojok. Aku menghampirinya.“Kenapa murung?” tanyaku.Sam menggelengkan kepala.“Jangan buat aku mengangkatmu ke udara danmembalikkanmu seperti laki-laki di Athens itu.”Aku tersenyum, Sam tidak.“Aku baru saja dipojokkan oleh Alex Davis,” katanya.Alex Davis itu salah satu gerombolan Mark James,penerima bola di tim football. Dia anak kelas tiga,tinggi dan kurus. Aku belum pernah berbicaradengannya, sehingga tidak tahu apa-apa tentangdirinya.“Apa maksudmu ‘dipojokkan’?”“Kami cuma mengobrol. Dia melihatku berbicaradengan Emily. Aku rasa mereka berkencan padamusim panas.”“Lalu apa? Kenapa kau terganggu?”Sam mengangkat bahu. “Rasanya menyebalkan, danitu menggangguku, oke?”“Sam, kau tahu berapa lama Sarah dan Mark

Page 111: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berkencan?”“Lama.”“Dua tahun,” kataku.“Apa kau terganggu?” tanyanya.“Nggak sama sekali. Siapa yang peduli dengan masalalunya? Lagi pula, lihat Alex,” kataku sambilmengarahkan dagu ke arah Alex yang sedang berdiridi dapur. Dia duduk merosot di konter dapur, setengahtak sadar karena mabuk, selapis tipis keringatberkilauan di dahinya. “Kau pikir Emily kangen denganorang seperti itu?”Sam memandang Alex, lalu mengangkat bahu.“Kau itu laki-laki baik, Sam Goode. Jangan menyesalidiri.”“Aku tidak menyesali diri.”“Yah, kalau begitu, jangan khawatir tentang masa laluEmily. Kita tidak ditentukan oleh hal-hal yang kitalakukan atau tak kita lakukan di masa lalu. Adaorang-orang yang membiarkan diri merekadikendalikan oleh penyesalan. Mungkin itupenyesalan, mungkin juga bukan. Itu hanya sesuatuyang sudah terjadi. Terima saja.”Sam mendesah. Dia masih bergulat denganperasaannya.“Ayolah. Emily suka kepadamu. Tak ada yang perluditakutkan,” kataku.“Tapi aku takut.”“Cara terbaik mengatasi rasa takut adalah denganmenghadapinya. Hampiri dia dan cium dia. Aku beranijamin dia akan membalas ciumanmu.”Sam memandangku dan mengangguk. Kemudian diapergi ke ruang bawah tanah, tempat Emily berada.Dua anjing bergulat di ruang tamu. Lidah terjulur. Ekordikibas-kibas. Dozer menempelkan dadanya di tanahdan menunggu Abby hingga cukup dekat, lalu Dozermelompat menerkam Abby dan Abby melompatmenjauh. Aku memandangi hingga mereka hilang ditangga, bermain perang-perangan dengan mainanplastik. Lima belas menit lagi tengah malam. Parapemain football masih minum-minum di dapur. Akumulai mengantuk. Aku masih tidak bisa menemukanSarah.Lalu salah satu pemain football berlari dari ruangbawah tanah dengan tatapan panik dan kalut. Diabergegas menuju bak cuci di dapur, menyalakankeran sebesar mungkin, dan membuka-buka pintu-pintu lemari di dapur.“Ada kebakaran di bawah!” katanya kepada teman-teman di dekatnya.Mereka mengisi panci dan wajan dengan air, lalubergegas turun satu per satu.Emily dan Sam muncul dari tangga. Sam tampakterguncang.“Ada apa?” tanyaku.“Rumah ini kebakaran!”“Seberapa parah?”“Sejak kapan yang namanya kebakaran itu bagus?Dan kurasa kami yang menyebabkannya. Kami, ehm,menjatuhkan lilin ke tirai.”Sam dan Emily tampak kusut, jelas mereka baru sajabermesraan. Aku harus memberi selamat pada Samnanti.“Kau lihat Sarah?” tanyaku kepada Emily.Dia menggeleng.Ada lebih banyak anak laki-laki yang bergegas keatas, Mark James bersama mereka. Ada rasa takut dimatanya. Lalu aku mencium bau asap. Akumemandang Sam.“Keluar,” kataku.Sam mengangguk, menggandeng Emily, lalu merekaberdua keluar. Beberapa orang mengikuti mereka, tapibeberapa yang lain tetap di tempat mereka,memandang penasaran sambil mabuk. Beberapaorang berdiri dengan bodohnya dan menepuk-nepukpunggung para pemain football saat mereka berlari

Page 112: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

naik dan turun tangga ruang bawah tanah, menyorakimereka seolah-olah itu suatu lelucon.Aku pergi ke dapur dan mengambil benda terbesaryang tersisa, panci logam ukuran sedang. Akumengisinya dengan air lalu turun ke ruang bawahtanah. Semua orang sudah keluar. Yang tersisa hanyakami yang bertarung melawan api, yang jauh lebihbesar dari dugaanku. Setengah ruang bawah tanah itudilalap api. Memadamkan api dengan sedikit air jelassia-sia. Aku tidak berusaha memadamkan api. Akujustru menjatuhkan panci itu dan berlari ke atas. Marksedang berlari ke bawah. Aku menghentikannya ditengah tangga. Dari matanya aku tahu dia mabuk,tapi aku juga melihat bahwa dia ketakutan dan putusasa.“Lupakan,” kataku. “Terlalu besar. Kita harusmengeluarkan semua orang.”Mark melihat ke bawah, memandang api. Dia tahuapa yang kukatakan itu benar. Sikap sok jagonyamenghilang. Tidak ada pura-pura lagi.“Mark!” bentakku.Mark mengangguk dan menjatuhkan panci. Kamiberdua berlari ke atas.“Semuanya keluar! Sekarang!” teriakku begitu sampaidi ujung tangga.Beberapa orang yang mabuk tidak bergerak.Beberapa dari mereka tertawa. Salah satu orangberkata, “Mana marshmallow-nya?” Mark menamparwajah orang itu.“Keluar!” bentaknya.Aku mengambil telepon tanpa kabel dari dinding danmenyodorkannya ke tangan Mark.“Telepon pemadam,” teriakku mengatasi suara kerasdan musik yang masih meraung entah dari manabagaikan musik latar keadaan hiruk-pikuk. Lantaimulai memanas. Asap mulai mengambang daribawah kami. Setelah melihat itu, barulah orang-orangmenanggapinya dengan serius. Aku mendorongmereka ke pintu.Aku berlari melewati Mark saat dia menekan nomordan bergegas melintasi rumah. Aku menaiki tanggake lantai dua, tiga anak tangga sekaligus, lalumenendang pintu-pintu. Satu pasangan sedangbermesraan di salah satu kamar. Aku membentakmereka berdua agar keluar. Sarah tidak ada di manapun. Aku berlari kembali ke bawah, melewati pintu,ke malam yang gelap dan dingin. Orang-orang berdiri,menonton. Aku bisa melihat beberapa dari merekasenang melihat rumah itu akan terbakar habis.Beberapa lagi tertawa. Aku mulai panik. Di manaSarah? Sam berdiri di belakang kerumunan, yangmungkin berjumlah sekitar seratus orang. Aku berlarike arahnya.“Kau lihat Sarah?” tanyaku.“Nggak,” jawab Sam.Aku memandang rumah itu kembali. Orang-orangmasih berlarian keluar. Jendela ruang bawah tanahmerah membara, lidah api menjilati kaca jendela.Salah satu jendela terbuka. Asap hitam keluar danmembubung tinggi ke udara. Aku meneroboskerumunan. Lalu ledakan menggetarkan rumah itu.Seluruh jendela ruang bawah tanah pecah. Beberapaorang bersorak. Api sudah mencapai lantai satu, danapi itu bergerak dengan cepat. Mark James berdiri didepan kerumunan, tidak bisa mengalihkanpandangan. Wajahnya berkilau dengan cahayaoranye. Matanya berkaca-kaca, penuh rasa putus asa,tatapan yang sama seperti yang kulihat di mata paraLoric pada hari penyerbuan. Pasti aneh melihat segalahal yang kau kenal hancur. Api merebak denganganas, tanpa ampun. Yang bisa Mark lakukan hanyamenatap. Lidah api mulai naik melewati jendela lantaisatu. Kami bisa merasakan panasnya di wajah kami,dari tempat kami berdiri.“Di mana Sarah?” tanyaku.

Page 113: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Mark tidak mendengarku. Aku mengguncangbahunya. Mark beralih dan menatapku dengantatapan kosong, jelas masih tidak percaya denganapa yang dia lihat.“Di mana Sarah?” tanyaku lagi.“Aku tak tahu,” jawabnya.Aku mulai menerobos kerumunan mencari Sarah,semakin lama semakin panik. Semua orangmemandang lautan api itu. Vinil pelapis dinding mulaimendidih dan meleleh. Gorden-gorden di jendelasudah terbakar habis. Pintu depan tetap terbuka, asapmengalir keluar dari bagian atas pintu seperti airterjun terbalik. Kami bisa melihat hingga ke dapur,yang seperti neraka. Di bagian kiri rumah, api sudahmencapai lantai dua. Lalu kami semua mendengarnya.Jeritan panjang yang mengerikan. Anjing-anjingmenyalak. Hatiku mencelos. Semua orang yang ada disana berusaha mendengarkan sambil berharap bahwakami tidak mendengar apa yang tadi kami dengar.Lalu suara itu terdengar lagi. Tidak salah lagi. Adaorang yang menjerit tanpa henti. Semua orangmenarik napas.“Oh, tidak,” kata Emily. “Ya, Tuhan. Jangan.”

SEMUA TERDIAM. MATA TERBELALAK, TERPANA. Sarahdan anjing-anjing pasti ada di suatu tempat dibelakang. Aku menutup mata dan menundukkankepala. Yang bisa kucium hanya asap. “Ingat apayang kau pertaruhkan,” kata Henri terngiang dikepalaku. Aku tahu benar apa yang kupertaruhkan.Nyawaku, dan sekarang nyawa Sarah. Jeritan kembaliterdengar. Ketakutan. Mencekam.Aku merasa Sam menatapku. Dia pernah melihatkemampuan tahan apiku. Tapi dia juga tahu akudiburu. Aku memandang berkeliling. Mark berlutut,berayun ke depan dan ke belakang putus asa. Diaingin ini semua segera berakhir. Dia ingin anjing-anjing berhenti menyalak. Tapi anjing-anjing itu tidakberhenti. Perut Mark seperti ditikam setiap kalimendengar suara anjing menyalak.“Sam,” kataku pelan sehingga hanya Sam yang bisamendengar, “aku akan masuk.” Sam menutup mata,menarik napas dalam, dan menatapku.“Selamatkan dia,” katanya.Kuberikan ponselku dan memintanya meneleponHenri jika aku tidak bisa berhasil keluar. Sammengangguk. Aku berjalan ke belakang, meneroboskerumunan. Tak ada yang memperhatikanku. Saatakhirnya tiba di belakang, aku berlari kencang ke arahbelakang rumah agar bisa masuk tanpa terlihat. Dapursudah habis ditelan api. Aku memandangnyasebentar. Terdengar jeritan Sarah dan gonggongananjing-anjing. Suara mereka terdengar lebih dekat.Kutarik napas dalam-dalam. Bersamaan dengan itu,berbagai hal lainnya pun ikut masuk. Kemarahan.Ketetapan hati. Harapan dan rasa takut. Akumembiarkan semua itu masuk. Kurasakan semuanya.Lalu aku berlari, melintasi halaman belakang, danmenerobos masuk ke dalam rumah. Api langsungmenelanku, tidak terdengar apa pun kecuali derakandan gemeretak deru lidah api. Bajuku terbakar. Lautanapi itu seakan tak berujung. Aku berjalan menujubagian depan rumah dan tangga yang sudahsetengah terbakar. Sisa tangga itu masih terbakar dantampak rapuh, tapi tidak ada waktu untukmengetesnya. Aku berlari ke atas. Namun, tangga ituruntuh tak kuat lagi menahan berat badanku saat akumencapai bagian tengahnya. Aku terjatuh. Apimenjilat semakin tinggi seolah mendapat bahan bakartambahan. Sesuatu menembus punggungku. Akumenggertakkan gigi, masih menahan napas. Akuberdiri menjauhi reruntuhan dan berusahamendengarkan arah jeritan Sarah. Sarah menjerit. Diaketakutan. Dia akan mati, mati dalam kematian yangmengerikan jika aku tidak menolongnya. Waktu

Page 114: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

hanya sedikit. Aku harus melompat ke lantai dua.Aku melompat dan meraih ujung langkan lantai dualalu menarik diriku ke atas. Api sudah menjalar kebagian lain rumah. Sarah dan anjing-anjing ada disuatu tempat di sebelah kananku. Aku melompat dilorong, memeriksa kamar-kamar. Foto-foto di dindingterbakar bersama bingkainya, hanya tersisa siluethitam yang menempel di dinding. Tiba-tiba kakikuterperosok menembus lantai, aku kaget dan terengah.Asap dan lidah api langsung terhirup. Aku terbatuk.Kututup mulut dengan tangan, tapi itu tidak cukupmembantu. Asap dan api membakar paru-paruku. Akujatuh berlutut, batuk, berusaha bernapas. Lalu darahkumendidih penuh tekad dan kemarahan, aku kembaliberdiri dan berjalan, terbungkuk-bungkuk,menggertakkan gigi, membulatkan tekad.Kutemukan mereka di kamar ujung lorong sebelahkiri. Sarah menjerit, “TOLONG!” Anjing-anjing melolongdan mendengking. Pintu kamar tertutup. Akumenendangnya hingga pintu itu terlontar lepas dariengselnya. Mereka bertiga berpelukan erat di salahsatu pojok kamar. Sarah melihatku. Dia meneriakkannamaku dan hendak berdiri. Aku mengisyaratkan agardia tetap di tempatnya.Saat aku melangkahkan kaki ke dalam kamar, balokpenyokong besar yang terbakar jatuh di antara kami.Kutangkap balok membara itu dan melemparkannyake atas, menembus atap. Sarah bingung melihatnya.Lalu aku melompat ke arah Sarah dengan satulompatan berjarak enam meter, mebembus api tanpaterpengaruh sama sekali. Anjing-anjing ada di kakiSarah. Aku menyorongkan Dozer, si bulldog ke lenganSarah dan memungut Abby, si retriever. Dengantanganku yang lain, aku membantu Sarah berdiri.“Kau datang,” katanya.“Tak ada seorang pun, dan sesuatu apa pun, yangakan menyakitimu selama aku masih hidup,” katakukepadanya.Balok besar lain jatuh dan menembus lantai,mendarat di dapur di bawah kami. Kami harus keluarlewat belakang rumah agar tak ada orang yangmelihat kami, atau melihat apa yang akan kulakukan.Aku merangkul Sarah erat-erat di sampingku danmemeluk anjing di dadaku. Kami maju beberapalangkah, lalu melompat di atas lubang berapi akibatbalok yang tadi jatuh. Saat kami mulai berjalanmenyusuri lorong, sebuah ledakan besar di bawahmenghancurkan lorong lantai dua dan membuatnyalenyap. Tempat yang dulunya adalah dinding danjendela langsung dilalap api. Satu-satunyakesempatan kami hanyalah melalui jendela. Sarahmenjerit lagi. Dia berpegangan erat padaku. Aku bisamerasakan cakar anjing menembus dadaku,mendengking ketakutan. Kuulurkan tangan kejendela, menatapnya, dan berkonsentrasi. Jendelalangsung terlontar lepas dari bingkainya. Aku menolehke Sarah, merangkulnya.“Pegang yang erat,” kataku.Aku berjalan tiga langkah dan melompat ke depan.Api menelan kami, tapi kami terbang di udara sepertipeluru, lurus ke arah lubang bekas jendela. Nyarissaja kami tak berhasil. Namun, sesaat kemudian,kami meluncur lewat lubang jendela. Serpihan bingkaijendela yang tajam menggores lengan dan bagianatas kakiku. Kupeluk Sarah dan Dozer sebisa mungkin,lalu memutar tubuh agar aku mendarat di punggungdan mereka semua jatuh di atasku. Kami menubruktanah dengan suara bergedebuk. Dozer berguling.Abby menyalak. Aku mendengar napas Sarahtercekat. Kami jatuh sekitar sepuluh meter dibelakang rumah. Aku merasakan bagian ataskepalaku luka tergores pecahan kaca. Dozer yangpertama bangkit. Tampaknya dia baik-baik saja. Abbyagak lebih lambat. Kaki depannya pincang, tapi kurasalukanya tak serius. Aku berbaring telentang dan

Page 115: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

memeluk Sarah. Dia mulai menangis. Aku bisamencium bau rambutnya yang terbakar. Darahmenetes dari pelipisku dan berkumpul di telinga.Aku duduk di rumput dan terengah-engah. Sarah dipelukanku. Bagian bawah sepatuku meleleh.Kemejaku hampir sepenuhnya terbakar, begitu jugadengan celana jinsku. Goresan-goresan kecil disepanjang kedua lenganku. Tapi aku tidak terbakarsama sekali. Dozer menghampiri dan menjilatitanganku. Aku mengelusnya.“Anjing pintar,” kataku di antara isakan Sarah. “Ayo.Bawa adikmu dan pergi ke depan.”Terdengar bunyi sirene di kejauhan. Mereka akan tibadi tempat ini dalam satu atau dua menit. Hutan ituberjarak sekitar seratus meter dari bagian belakangrumah. Kedua anjing itu duduk memandangiku. Akumengangguk ke arah depan rumah. Mereka berdiriseakan mengerti apa maksudku dan mulai berjalanke depan. Sarah masih di pelukanku. Akumenggendongnya, kemudian berdiri dan berjalan kehutan, membawa Sarah yang menangis di bahuku.Saat memasuki hutan, aku mendengar orang-orangbersorak. Pasti mereka melihat Dozer dan Abby.Hutan itu lebat. Bulan purnama masih bersinar tapiredup. Aku menyalakan tanganku sehingga kamidapat melihat dengan jelas. Aku mulai menggigil. Akumerasa panik. Bagaimana aku menjelaskan inikepada Henri? Aku mengenakan pakaian yangterbakar. Kepalaku berdarah. Begitu juga punggungku.Ditambah lagi berbagai goresan di lengan dan kakiku.Paru-paruku terasa seperti terbakar setiap kalimenarik napas. Dan Sarah di pelukanku. Sekarang diapasti tahu apa yang bisa kulakukan, apakemampuanku, atau setidaknya sebagiankemampuanku. Aku harus menjelaskan segalanyakepada Sarah. Aku harus memberi tahu Henri bahwaSarah tahu. Aku sudah melakukan terlalu banyakkesalahan. Henri akan berkata bahwa seseorang akanmengatakan sesuatu. Dia akan berkeras agar kamipergi. Tidak ada cara lain untuk menghindar.Kuturunkan Sarah. Dia sudah berhenti menangis dansekarang memandangku, kacau, ketakutan, danbingung. Aku tahu aku perlu mendapatkan pakaiandan kembali ke pesta agar orang-orang tidak curiga.Aku harus membawa Sarah kembali sehingga orang-orang tidak berpikir bahwa dia mati.“Kau bisa berjalan?” tanyaku.“Kurasa.”“Ikut aku.”“Kita ke mana?”“Aku perlu pakaian. Semoga salah satu pemainfootball membawa baju ganti.”Kami mulai berjalan menembus hutan. Aku berjalanmemutar dan mengintip ke dalam mobil orang-oranguntuk mencari sesuatu yang bisa dipakai.“Apa yang baru saja terjadi, John? Apa yang terjadi?”“Kau di dalam kebakaran, dan aku menolongmukeluar.”“Apa yang kau lakukan tadi itu tidak mungkin.”“Mungkin bagiku.”“Maksudnya?”Aku memandang Sarah. Aku berharap tidak perlumengatakan apa yang akan kuberitahukankepadanya. Walaupun aku tahu bahwa ini tidakrealistis, aku selalu berharap bisa tetap tinggal diParadise dan bersembunyi. Henri selalumengingatkanku agar tidak terlalu dekat denganseseorang. Jika kau terlalu dekat dengan seseorang,suatu saat mereka akan sadar bahwa kau berbeda,dan itu perlu penjelasan. Dan itu berarti kami haruspergi. Jantungku berdebar, tanganku gemetar, bukankarena kedinginan. Jika aku ingin tetap tinggal, ataulolos dari apa yang kulakukan malam ini, aku harusmemberitahunya.“Aku bukanlah apa yang kau duga,” kataku.

Page 116: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Siapa kau?”“Aku Nomor Empat.”“Maksudnya?”“Sarah, ini mungkin terdengar bodoh dan gila, tapiyang akan kukatakan ini benar. Kau harus percayakepadaku.”Sarah menempelkan kedua tangannya di sisiwajahku. “Jika yang kau katakan itu benar, maka akuakan memercayaimu.”“Memang benar.”“Katakanlah.”“Aku ini alien. Aku anak keempat dari sembilan anakyang dikirim ke Bumi setelah planet kamidihancurkan. Aku memiliki kekuatan. Kekuatan yangberbeda dari kekuatan manusia. Kekuatan yangmemungkinkanku melakukan hal-hal seperti yangkulakukan di rumah itu. Dan ada alien lain di Bumi iniyang memburuku. Mereka alien yang menyerangplanetku. Jika mereka menemukanku, mereka akanmembunuhku.”Kukira Sarah akan menamparku, ataumenertawakanku, atau berteriak, atau berbalik danlari meninggalkanku. Namun, dia hanya diam danmemandangku. Memandang ke dalam mataku.“Kau mengatakan yang sebenarnya,” katanya.“Memang.” Aku memandang Sarah, ingin agar diamemercayaiku. Sarah menatapku lama, lalumengangguk.“Terima kasih karena menyelamatkan nyawaku. Akutak peduli apa kau ini atau dari mana kau berasal.Bagiku kau adalah John, laki-laki yang kucintai.”“Apa?”“Aku mencintaimu, John. Kau menyelamatkannyawaku. Hanya itu yang penting.”“Aku juga mencintaimu. Dan akan selalumencintaimu.”Aku memeluk dan menciumnya. Beberapa saatkemudian, Sarah melepaskan pelukanku.“Ayo kita cari pakaian buatmu dan kembali agarorang-orang tahu kita baik-baik saja.”* * *Sarah menemukan pakaian ganti di mobil keempatyang kami periksa. Pakaian itu cukup mirip denganyang aku kenakan―jins dan kemejaberkancing―sehingga tidak ada yang akanmemperhatikan perbedaannya. Saat tiba kembali dirumah Mark, kami berdiri agak jauh tapi cukup dekatsehingga masih bisa melihat. Rumah itu sudah runtuhdan sekarang hanya tinggal tumpukan kayu hitamyang lembap karena air. Gumpalan asap membubungnaik di berbagai tempat, tampak mengerikan di langitmalam. Ada tiga truk pemadam kebakaran. Akumenghitung ada enam mobil polisi. Sembilan lampusirene berkelip-kelip tanpa suara. Masih banyak orangyang bertahan di sana, dan orang sudah disuruhmundur oleh polisi. Rumah itu dikelilingi pita kuning.Petugas polisi menanyai beberapa orang. Limapetugas pemadam kebakaran berdiri di tengah-tengahreruntuhan rumah, memeriksanya.Lalu aku mendengar teriakan “Itu mereka!” daribelakangku. Semua mata menoleh ke arahku. Perlulima detik bagiku untuk menyadari bahwa yangdimaksud adalah aku.Empat petugas polisi menghampiri kami. Di belakangmereka ada seorang lelaki yang membawa bukucatatan dan alat perekam. Saat kami mencari pakaiantadi, Sarah dan aku mengarang cerita. Aku kebelakang rumah dan menemukan Sarah sedangmemandangi api. Dia sudah melompat dari jendela dilantai dua bersama kedua anjing, yang langsungkabur. Mulanya kami menonton di tempat yangterpisah dari kerumunan, tapi akhirnya kami berjalankembali ke kerumunan itu. Aku menjelaskan kepadaSarah bahwa kami harus merahasiakan mengenaiapa yang terjadi, bahkan juga kepada Sam atau

Page 117: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Henri. Jika ada yang tahu sebenarnya, aku haruslangsung pergi. Kami sepakat bahwa aku akanmenjawab pertanyaan dan Sarah akan mengaminiapa pun yang kukatakan.“Kau John Smith?” tanya salah satu polisi itu. Polisi itutingginya biasa saja dan berdiri dengan bahumembungkuk. Dia tidak kelebihan berat badan, tapijelas tidak cukup fit, dengan perut gendut dan bagian-bagian tubuh yang tampak lembek.“Ya, kenapa?”“Ada dua orang yang berkata bahwa kau berlarimasuk ke dalam rumah lalu keluar lewat belakangdan terbang seperti Superman, sambil membawaanjing dan gadis itu.”“Yang benar?” tanyaku tak percaya. Sarah tetapberdiri di sampingku.“Itu yang mereka katakan.”Aku pura-pura tertawa. “Rumah itu terbakar. Apa akuseperti baru dari dalam rumah yang terbakar?”Dia mengernyitkan alis dan meletakkan tangan dipinggulnya. “Jadi maksudmu kau tidak masuk kesana?”“Aku berkeliling ke halaman belakang mencari Sarah,”kataku. “Dia sudah keluar bersama anjing-anjing.Kami tetap di sana dan menonton api itu lalu kembalike sini.”Polisi itu memandang Sarah. “Benarkah?”“Ya.”“Jadi, siapa yang lari ke dalam rumah?” tanya reporterdi samping si polisi. Baru kali ini dia bicara. Reporter itumemandangku dengan pandangan cerdas danmenilai. Aku langsung tahu bahwa dia tidak percayadengan ceritaku.“Mana kutahu?” jawabku.Reporter itu menganggukkan kepala dan menulissesuatu di buku catatannya. Aku tidak bisa membacatulisannya.“Jadi menurutmu dua saksi itu pembohong?” tanya sireporter.“Baines,” kata si polisi sambil menggelengkan kepalake arah si reporter.Aku mengangguk. “Aku tidak masuk ke rumah danmenyelamatkan dia atau anjing-anjing. Mereka sudahada di luar.”“Siapa yang bilang soal mengenai menyelamatkan diadan anjing-anjing?” tanya Baines.Aku mengangkat bahu. “Kupikir itu maksudmu.”“Aku tidak bermaksud apa-apa.”Sam menghampiri sambil membawa ponselku. Akuberusaha menatapnya untuk memberi tahu bahwa inibukan saat yang tepat. Namun, Sam tidak mengertidan tetap mengembalikan ponselku.“Makasih,” kataku.“Aku senang kau selamat,” kata Sam. Polisi itumemelototi Sam, lalu Sam menyelinap pergi.Baines memandang Sam dengan mata menyipit.Sambil mengunyah permen karet, dia mencobamenggabungkan informasi. Lalu dia menganggukkepada dirinya sendiri.“Jadi kau memberikan ponselmu kepada temanmusebelum pergi?” tanyanya.“Aku memberikannya saat pesta. Terasa tidaknyaman di sakuku.”“Pasti,” kata Baines. “Jadi ke mana kau pergi?”“Oke, Baines, sudah cukup pertanyaannya,” kata sipolisi.“Boleh aku pergi?” tanyaku. Dia menganggukkankepala. Aku berjalan pergi dengan ponsel di tangan,memutar nomor Henri, bersama Sarah di sampingku.“Halo,” jawab Henri.“Aku sudah siap dijemput,” kataku. “Ada kebakaranbesar di sini.”“Apa?”“Bisakah kau menjemput kami?”“Ya. Aku segera berangkat.”

Page 118: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Jadi bagaimana kau menjelaskan luka di kepalamu?”tanya Baines dari belakangku. Dia membuntutiku,mendengarkan percakapanku dengan Henri.“Luka akibat dahan di hutan.”“Pas sekali,” katanya, lalu menulis sesuatu lagi di bukucatatannya. “Aku bisa tahu kalau aku dibohongi, kautahu?”Aku mengabaikannya, tetap berjalan sambilmemegang tangan Sarah. Kami berjalan ke arah Sam.“Aku akan mendapatkan cerita yang sebenarnya, Mr.Smith. Aku selalu begitu,” teriak Baines daribelakangku.“Henri sedang di jalan,” kataku kepada Sam danSarah.“Tadi itu apa?” tanya Sam.“Entah. Ada yang mengaku melihatku lari ke dalam,mungkin orang yang terlalu banyak minum,” katakulebih kepada Baines daripada Sam.Kami berdiri di ujung jalan untuk mobil hingga Henritiba. Begitu tiba, dia turun dari truk dan memandangrumah hangus di kejauhan.“Ya ampun. Bersumpahlah bahwa kau tidak terlibat,”katanya.“Aku tidak terlibat,” kataku.Kami masuk ke dalam truk. Henri menyetir pergisambil memandangi reruntuhan yang berasap.“Kalian bau asap,” kata Henri.Kami tidak menjawab, hening sepanjang jalan. Sarahduduk di pangkuanku. Kami menurunkan Sam dulu,kemudian Henri mundur dari halaman rumah Sam danmengarahkan truk ke rumah Sarah.“Aku tak mau berpisah denganmu malam ini,” kataSarah kepadaku.“Aku juga tak mau berpisah denganmu.”Saat tiba di rumah Sarah, aku keluar bersamanya danmengantar Sarah hingga di pintu. Dia tidak maumelepaskanku saat aku memberikan pelukan selamatmalam.“Apa kau akan meneleponku saat tiba di rumah?”“Tentu.”“Aku mencintaimu.”Aku tersenyum. “Aku juga mencintaimu.”Sarah masuk ke rumah. Aku berjalan kembali ke truk,tempat Henri menunggu. Aku harus mencari cara agarHenri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi malamini, yang bisa membuat kami meninggalkan Paradise.Henri keluar dari halaman rumah Sarah dan menyetirpulang.“Jaketmu mana?” tanyanya.“Di lemari Mark.”“Kepalamu kenapa?”“Terantuk saat mencoba keluar ketika kebakaranterjadi.”Henri memandangku ragu. “Kau bau asap.”Aku mengangkat bahu. “Ada banyak asap.”“Jadi, apa yang menyebabkan kebakaran?”“Tebakanku sih mabuk.”Henri mengangguk dan berbelok ke jalan kami.“Yah,” katanya. “Pasti menarik melihat apa yang adadi surat kabar hari Senin.” Dia menoleh danmenatapku, mempelajari reaksiku.Aku tetap diam.Ya, pikirku, pasti menarik.

AKU TIDAK BISA TIDUR. AKU BERBARING DI tempattidur menatap kegelapan di langit-langit. Akumenelepon Sarah dan kami mengobrol hingga pukultiga pagi. Lalu aku menutup telepon dan berbaringdengan mata nyalang. Pukul empat aku turun daritempat tidur dan keluar kamar. Henri duduk di mejadapur, minum kopi. Dia memandangku, ada kantongmata di matanya, rambutnya kusut.“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.“Tak bisa tidur juga,” katanya. “Memeriksa berita.”“Menemukan sesuatu?”

Page 119: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Ya, tapi aku tidak yakin apa pentingnya bagi kita.Orang-orang yang menulis dan menerbitkan TheyWalk Among Us, yang kita temui itu, disiksa dandibunuh.”Aku duduk di depan Henri. “Apa?”“Polisi menemukan mereka karena para tetanggamenelepon akibat mendengar jeritan dari rumah itu.”“Mereka tidak tahu di mana kita tinggal.”“Tidak, mereka tidak tahu. Syukurlah. Tapi itu artinyapara Mogadorian makin berani. Dan mereka dekat.Jika kita melihat atau mendengar sesuatu yang tidakwajar, kita harus pergi secepatnya, tanpa banyaktanya, tanpa berdebat.”“Oke.”“Bagaimana kepalamu?”“Sakit,” kataku. Perlu tujuh jahitan untuk menutupluka itu. Henri yang menjahitnya. Aku mengenakankaus olahraga longgar. Aku yakin salah satu luka dipunggungku juga harus dijahit, tapi itu berarti akuharus membuka kemejaku, lalu bagaimana akumenjelaskan luka-luka dan baret-baret itu kepadaHenri? Dia pasti langsung tahu apa yang telah terjadi.Paru-paruku masih panas. Sakitnya semakin parah.“Jadi, kebakaran itu berawal dari ruang bawahtanah?”“Ya.”“Dan saat itu kau di ruang tamu?”“Ya.”“Bagaimana kau tahu kebakaran itu berawal dariruang bawah tanah?”“Karena semua orang lari ke atas dari sana.”“Dan kau tahu bahwa semua orang sudah ada di luarsaat kau keluar?”“Ya.”“Bagaimana bisa?”Aku tahu Henri sedang mencoba memancingku. Diatidak percaya dengan ceritaku. Aku yakin Henri tidakpercaya bahwa aku hanya berdiri di depan menontonkebakaran seperti yang lainnya.“Aku nggak masuk ke dalam,” kataku. Hatiku sakitkarena melakukannya, tapi aku menatap matanyadan berbohong.“Aku percaya,” katanya.* * *Aku terbangun menjelang siang. Burung-burungberkicau di luar, dan sinar matahari masuk darijendela. Aku bernapas lega. Aku dibiarkan tidurhingga siang. Itu berarti tidak ada berita mengenaidiriku. Jika ada berita mengenaiku, aku pasti sudahditarik dari tempat tidur dan disuruh berkemas.Aku berguling telentang dan merasa sakit. Dadakuseakan ditindih seseorang, ditekan. Aku tidak bisabernapas dalam-dalam. Saat aku mencoba menariknapas dalam, ada rasa sakit yang menusuk. Akutakut.Bernie Kosar mendengkur dengan tubuh melingkar disampingku. Aku membangunkannya denganmengajaknya bergulat. Mulanya dia mengerang, laluikut bergulat. Beginilah cara kami mengawali hari. Akumembangunkan anjing di sampingku yang tidurmendengkur. Ekornya yang dikibas-kibas, danlidahnya yang terjulur langsung membuatku merasalebih baik. Membuatku lupa rasa sakit di dadaku.Membuatku tidak khawatir dengan apa yang akanterjadi hari itu.Truk Henri tidak ada. Di meja ada kertas yangbertuliskan: “Pergi ke toko. Pulang jam satu.” Akuberjalan keluar. Kepalaku sakit dan lengankuberbaret-baret merah. Lukanya agak menggembungseolah aku baru dicakar kucing. Aku tidak pedulidengan luka, sakit kepala, atau rasa terbakar didadaku. Yang aku pedulikan hanya bahwa saat iniaku masih di sini, di Ohio, lalu besok aku akankembali ke sekolah yang sudah tiga bulan akudatangi, dan malam ini aku akan menemui Sarah.

Page 120: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

* * *Henri pulang pukul satu. Matanya tampak cekungsehingga aku tahu dia belum tidur. Setelahmengeluarkan belanjaan, dia pergi ke kamarnya danmenutup pintu. Bernie Kosar dan aku pergi berjalan-jalan di hutan. Aku mencoba berlari. Aku bisa berlarisebentar. Namun setelah sekitar setengah kilometer,rasa sakit di dadaku semakin parah dan aku harusberhenti. Kami berjalan sejauh kurang lebih delapankilometer. Hutan itu berakhir di jalan pedesaan lainyang mirip dengan jalan menuju rumah kami. Akuberbalik dan berjalan pulang. Henri masih dikamarnya dengan pintu masih tertutup saat akukembali. Aku duduk di beranda. Badanku tegangsetiap kali ada mobil yang lewat. Aku selalu berpikirbahwa salah satunya akan berhenti, tapi ternyatatidak.Rasa percaya diri yang kurasakan saat bangun tidurtadi pagi perlahan-lahan mulai terkikis seiringberjalannya waktu. Paradise Gazette tidak dicetakpada hari Minggu. Apa besok ada berita menarik? Akurasa aku berharap ada telepon, atau reporter yangkemarin, muncul di rumah kami, atau salah satu polisimenanyakan lebih banyak pertanyaan. Aku tidak tahumengapa aku begitu khawatir dengan reporteramatiran itu, tapi dia begitu gigih―terlalu gigih malah.Dan aku tahu dia tidak percaya dengan ceritaku.Tapi tidak ada orang yang datang ke rumah kami.Tidak ada yang menelepon. Aku mengharapkansesuatu. Lalu saat sesuatu itu tidak terjadi, rasa takutbahwa kedokku akan terbuka mulai merayapiku.“Aku akan mendapatkan cerita yang sebenarnya, Mr.Smith. Aku selalu begitu,” kata Baines. Aku berpikiruntuk berlari ke kota, mencari reporter itu danmemintanya agar jangan mencari cerita yangsebenarnya, tapi aku tahu itu hanya akanmenimbulkan kecurigaan. Yang bisa kulakukanhanyalah menahan napas dan berdoa.Aku tidak ada di dalam rumah itu.Tidak ada yang kusembunyikan.* * *Malam harinya, Sarah datang. Kami pergi ke kamarku.Aku memeluknya sambil berbaring telentang. Diabertanya mengenai siapa aku, masa laluku, mengenaiLorien, dan mengenai para Mogadorian. Aku masihtakjub dengan begitu cepatnya, dan begitumudahnya, Sarah memercayai segalanya, danbagaimana dia menerima itu semua. Aku menjawabsemuanya dengan jujur, yang terasa lebih enaksetelah segala kebohongan yang kukatakan selamabeberapa hari terakhir. Tapi saat kami bicaramengenai para Mogadorian, aku mulai merasa takut.Aku takut mereka bisa menemukan kami. Aku takutapa yang kulakukan kemarin akan menyebabkanpenyamaran kami terbongkar. Aku memang akantetap melakukan hal yang sama seandainya kejadianitu terulang lagi, karena jika tidak, Sarah akan mati,tapi aku takut. Aku juga takut dengan apa yang akanHenri lakukan jika dia tahu. Walaupun bukan ayahbiologisku, Henri sudah seperti ayahku. Akumenyayanginya dan dia menyayangiku. Aku tidakingin membuatnya kecewa. Dan saat kami berbaring,rasa takutku semakin meningkat. Aku tidak tahankarena tidak tahu apa yang akan terjadibesok―ketidakpastian membuatku galau.Kamarku gelap. Lilin menyala berkelap-kelip diambang jendela, beberapa meter dari kami. Akumenarik napas dalam, sedalam yang aku bisa.“Kau baik-baik saja?” tanya Sarah.Aku memeluknya. “Aku kangen kamu,” kataku.“Kamu kangen aku? Tapi aku kan ada di sini.”“Ini rasa rindu yang paling menyakitkan. Orang yangkau cinta ada di sampingmu tapi kau tetapmerindukannya.”“Bicaramu kacau.” Sarah menciumku. Aku tidak ingin

Page 121: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dia berhenti. Selama dia bersamaku, maka segalanyabaik-baik saja. Segalanya baik-baik saja. Seandainyabisa, aku ingin tinggal di kamar ini selamanya. Duniabisa tetap berputar tanpa aku, tanpa kami. Selamakami bisa tinggal di sini, bersama, berpelukan.“Besok,” kataku.Sarah memandangku. “Besok, apa?”Aku menggelengkan kepala. “Aku tak tahu,” kataku.“Kurasa aku hanya takut.”Sarah memandangku bingung. “Takut apa?”“Entahlah,” kataku. “Hanya takut.”* * *Begitu Henri dan aku kembali setelah mengantarSarah pulang, aku ke kamarku dan tidur di tempatyang tadi ditiduri Sarah. Aku masih bisa menciumaroma tubuhnya. Aku tidak akan tidur malam ini. Akubahkan tidak akan mencoba untuk tidur. Aku mondar-mandir di kamar. Saat Henri tidur, aku keluar danduduk di meja dapur, menulis di bawah sinar lilin. Akumenulis mengenai Lorien, mengenai Florida, mengenaihal-hal yang kulihat sejak latihan kamidimulai―perang, hewan-hewan, ingatan masa kanak-kanak. Aku berharap bisa melepaskan emosiku, tapiternyata tidak. Aku malah semakin sedih.Saat tanganku terasa pegal, aku berjalan ke luarrumah dan berdiri di beranda. Udara dingin membantumeringankan rasa sakit saat bernapas. Bulan hampirpenuh, masih ada bagian tepinya yang terlihat samar.Dua jam lagi matahari terbit, hari baru dimulai, danada berita dari akhir pekan kemarin. Surat kabarbiasanya tiba di halaman rumah kami pukul enam,kadang-kadang pukul enam tiga puluh. Aku pastisudah di sekolah saat surat kabar itu tiba. Jika akuada dalam surat kabar itu, aku tidak mau pergi tanpamenjumpai Sarah sekali lagi, tanpa mengucapkanselamat tinggal kepada Sam.Aku berjalan ke dalam rumah, berganti pakaian, danmengemasi tas. Aku mengendap-endap melintasirumah dan menutup pintu perlahan-lahan. Saat sudahberjalan tiga langkah di beranda, aku mendengarsuara pintu digaruk. Aku berbalik dan membuka pintu.Bernie Kosar berjalan keluar. Oke, pikirku, mari pergibersama.Kami berjalan, sering kali berhenti, berdiri danmendengarkan keheningan. Hari masih gelap. Namunsetelah beberapa waktu, sinar pucat merebak di langittimur saat kami memasuki halaman sekolah. Tidakada mobil di tempat parkir. Semua lampu di dalamgedung dimatikan. Tepat di depan sekolah, di depanlukisan dinding bajak laut, berdirilah sebuah batubesar yang dicat oleh para murid-murid yang sudahlulus. Aku duduk di atas batu itu. Bernie Kosarberbaring di rumput beberapa meter dariku. Setengahjam setelah aku tiba di sekolah, muncul satukendaraan. Sebuah van. Kukira van itu milik Hobbs, situkang sapu, yang selalu tiba pagi di sekolah untukberbenah. Ternyata aku salah. Van itu berhenti dipintu depan gedung sekolah. Pengemudinya turun danmembiarkan mesin tetap menyala. Dia membawasetumpuk surat kabar yang diikat. Kami salingmengangguk. Dia meletakkan tumpukan surat kabaritu di pintu kemudian pergi. Aku diam di batu itu. Akumelirik tumpukan surat kabar itu dengan jijik. Akumenumpahkan rentetan sumpah serapah dalam hati,mengancam jika surat kabar itu berisi berita burukyang kutakutkan.“Aku tidak berada di dalam rumah itu hari Sabtukemarin,” kataku keras-keras, dan aku langsungmerasa bodoh sekali. Lalu aku mengalihkanpandangan, mendesah, dan turun dari batu itu.“Yah,” kataku kepada Bernie Kosar. “Ini dia, baik atauburuk.”Bernie Kosar membuka mata sebentar, lalumenutupnya kembali dan melanjutkan tidurnya ditanah yang dingin.

Page 122: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku merobek ikatan tumpukan surat kabar itu danmengangkat surat kabar paling atas. Beritanya dimuatdi halaman utama. Di bagian atas terdapat foto puing-puing yang terbakar. Foto itu diambil pada keesokanpaginya. Foto itu tampak suram dan mengerikan. Abumenghitam di depan pepohonan gundul dan rumputberlapiskan es. Aku membaca judulnya:RUMAH KELUARGA JAMESHABIS DILAHAP SI JAGO MERAHAku menahan napas. Perutku terasa tidak enakkarena takut menemukan berita mengerikanmengenai diriku. Aku membaca beritanya dengancepat. Aku tidak benar-benar membacanya. Akuhanya mencari namaku, hingga sampai akhir berita.Aku mengedipkan mata dan menggeleng tak percaya.Senyum mengembang di wajahku. Lalu akumembaca berita itu dengan cepat sekali lagi.“Tak mungkin,” kataku. “Bernie Kosar, namaku nggakada di sini!”Bernie Kosar tidak memedulikanku. Aku berlari dirumput dan melompat kembali ke batu tadi.“Namaku nggak ada!” teriakku lagi, kali ini sekerasmungkin.Aku duduk dan membaca berita itu. Polisi yakinbahwa kebakaran itu terjadi karena ada yangmengisap ganja di ruang bawah tanah. Aku tidaktahu bagaimana polisi bisa mengira begitu, terutamakarena itu sangat-sangat salah. Artikel itu sendirikejam dan tanpa belas kasihan, hampir sepertimenyalahkan keluarga James. Aku tidak sukareporternya. Dan jelas bahwa reporter itu juga tidakmenyukai keluarga James. Tapi kenapa?Aku duduk di batu dan membaca artikel itu tiga kalisebelum penjaga sekolah tiba dan membuka pintugedung sekolah. Aku tidak bisa berhenti tersenyum.Aku tetap tinggal di Ohio, di Paradise. Nama kota initidak lagi terasa aneh bagiku. Walaupun senang luarbiasa, aku merasa seperti melewatkan sesuatu,seperti melupakan hal penting. Tapi aku begitubahagia sehingga tidak peduli. Hal buruk apa yangbisa terjadi sekarang? Namaku tidak ada di artikel.Aku tidak berlari masuk ke dalam rumah James.Buktinya ada di sini, di tanganku. Tidak ada yang bisamenentangnya.“Kenapa kamu senang begitu?” tanya Sam saatpelajaran astronomi. Aku belum berhenti tersenyum.“Kau baca surat kabar pagi ini?”Sam mengangguk.“Sam, aku tidak ada di dalamnya! Aku tidak perlupergi.”“Kenapa mereka mau memasukkan namamu kedalam surat kabar?” tanyanya.Aku tercengang. Aku membuka mulut untuk berdebatdengan Sam, tapi kemudian Sarah masuk ke kelas.Dia berjalan menyusuri gang.“Halo, Cantik,” kataku.Sarah membungkuk dan mencium pipiku, sesuatuyang tidak pernah kuanggap biasa saja.“Ada yang senang hari ini,” katanya.“Senang melihatmu,” kataku. “Khawatir dengan ujianmengemudimu?”“Mungkin sedikit. Cuma ingin ini semua segeraberakhir.”Sarah duduk di sampingku. Ini hariku, pikirku. Akuingin berada di sini dan di sinilah aku berada. Sarah disatu sisi, dan Sam di sisi yang lain.Aku belajar seperti pada hari-hari lainnya. Aku dudukbersama Sam saat makan siang. Kami tidak berbicaramengenai kebakaran itu. Pasti hanya kami di sekolahini yang tidak membicarakan itu. Kisah yang sama,diulang-ulang terus. Aku tidak pernah mendengarnamaku disebut. Seperti yang kuduga, Mark tidakmasuk. Ada kabar burung bahwa dia dan beberapatemannya diskors karena teori yang ada di suratkabar itu. Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak.

Page 123: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku tidak tahu apakah aku peduli.Saat Sarah dan aku masuk ke dapur sekolah padajam pelajaran kedelapan, tata boga, keyakinankubahwa aku aman semakin kuat. Keyakinan itu begitukuat dan justru membuatku merasa bahwa aku salah,bahwa ada yang terlewat. Sepanjang hari, keraguanitu semakin meningkat. Tapi aku menekannya dengancepat.Kami membuat puding tapioka. Hari yang biasa. Ditengah-tengah pelajaran, pintu dapur terbuka. Gurupengawas. Aku memandangnya dan langsungmengerti. Pembawa berita buruk. Pembawa pesankematian. Dia berjalan lurus ke arahku danmemberikanku secarik kertas.“Mr. Harris ingin bertemu denganmu,” katanya.“Sekarang?”Dia mengangguk.Aku memandang Sarah dan mengangkat bahu. Akutidak ingin Sarah melihat ketakutanku. Aku tersenyumke arahnya dan berjalan ke pintu. Sebelum pergi, akuberbalik dan memandang Sarah lagi. Sarahmembungkuk di meja, mengaduk bahan-bahan. Diamengenakan celemek hijau yang kuikatkan untuknyapada hari pertamaku, ketika kami membuat pancakedan makan dari satu piring. Rambutnya dikuncir ekorkuda dan ada helaian rambut yang menggantung didepan wajahnya. Dia menyampirkannya ke belakangtelinga dan melihatku berdiri di pintu memandanginya.Aku tetap memandangi Sarah, mencoba mengingatsetiap rinciannya, caranya memegang sendok kayu,warna kulitnya yang seperti gading di bawah sinardari jendela di belakangnya, kelembutan di matanya.Ada kancing yang lepas di kerah kemejanya. Akupenasaran apakah Sarah menyadarinya. Gurupengawas mengatakan sesuatu di belakangku. Akumelambai ke Sarah, menutup pintu, dan berjalanmenyusuri lorong. Aku berjalan dengan tenang,mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya formalitasbelaka, ada dokumen yang lupa ditandatangani, adapertanyaan mengenai catatan akademis. Tapi akutahu ini bukan formalitas.Mr. Harris duduk di mejanya saat aku masuk kekantornya. Dia tersenyum dengan cara yangmembuatku takut, senyuman bangga yang samaseperti saat dia memanggil Mark dari kelas untukwawancara.“Duduk,” katanya. Aku duduk. “Jadi apakah itubenar?” tanyanya. Dia melirik sekilas ke monitorkomputernya, lalu kembali memandangku.“Apa yang benar?”Di atas mejanya terdapat sebuah amplop dengannamaku yang ditulis dengan tangan menggunakantinta hitam. Mr. Harris melihatku memandangnya.“Oh, ya. Ini difaks untukmu sekitar setengah jamyang lalu.”Dia mengambil amplop itu dan melemparkannyakepadaku. Aku menangkapnya.“Apa ini?” tanyaku.“Entahlah. Sekretarisku langsung memasukkan kedalam amplop begitu menerimanya.”Beberapa hal terjadi bersamaan. Aku membukaamplop itu dan mengeluarkan isinya. Dua lembarkertas. Yang paling depan adalah halaman sampuldengan namaku dan tulisan “RAHASIA” yang tertulisdengan huruf hitam besar. Aku membaliknya danmelihat lembar kedua. Satu kalimat dengan hurufkapital. Tidak ada nama. Hanya empat kata hitamberlatar belakang putih.“Jadi, Mr. Smith, apa itu benar? Kau berlari masuk kedalam rumah yang terbakar untuk menyelamatkanSarah Hart dan anjing-anjing?” tanya Mr. Harris. Darahmengalir ke wajahku. Aku mendongak. Mr. Harrismemutar monitor komputernya ke arahku sehinggaaku bisa membaca yang ada di sana. Sebuah blogyang tergabung dengan Paradise Gazette. Aku tidak

Page 124: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

perlu melihat nama penulis untuk mengetahui siapayang menulisnya. Judulnya sudah cukup.KEBAKARAN DI RUMAH JAMES:KISAH YANG TIDAK DIBERITAKANNapasku tercekat. Jantungku berdebar kencang. Duniaberhenti, atau setidaknya terasa begitu. Aku merasamati di dalam. Aku menunduk memandang kertasyang kupegang. Kertas putih, terasa mulus di ujungjariku. Bunyinya:APAKAH KAU NOMOR 4?Kedua kertas itu terlepas dari tanganku, meluncur, danmelayang ke lantai, lalu diam di sana. Aku tidakmengerti, pikirku. Bagaimana ini bisa terjadi?“Jadi apa benar?” tanya Mr. Harris.Mulutku terbuka. Mr. Harris tersenyum, bangga,senang. Tapi bukan dia yang kulihat. Melainkan apayang di belakangnya, melalui jendela kantornya.Warna merah muncul dari sudut lapangan parkir,bergerak lebih cepat daripada normal, atau kecepatanaman. Ban berdecit saat truk itu masuk ke halamansekolah. Kerikil berloncatan saat truk itu berbelokuntuk kedua kalinya. Henri mencondongkan tubuh disetir seperti seorang maniak gila. Dia menginjak rembegitu kuat sehingga seluruh tubuhnya terloncat dantruk itu berdecit berhenti.Aku menutup mata.Aku meletakkan kepala di tanganku.Aku mendengar pintu truk dibuka dari jendela. Laluditutup.Sebentar lagi Henri akan masuk ke kantor ini.

“KAU BAIK-BAIK SAJA, MR. SMITH?” TANYA KepalaSekolah. Aku mendongak memandangnya. Diamencoba memperlihatkan wajah khawatir, yanghanya bertahan satu detik sebelum seringai lebarkembali ke wajahnya.“Tidak, Mr. Harris,” kataku. “Aku tidak sehat.”Aku mengambil kertas-kertas yang jatuh. Akumembacanya lagi. Dari mana datangnya? Tidak adanomor telepon, alamat, bahkan nama. Tidak ada apapun kecuali empat kata dan satu tanda tanya. Akumenengadah dan memandang keluar jendela. TrukHenri diparkir, uap mengepul dari knalpot. Dia datangsecepatnya. Aku kembali melihat monitor komputer.Artikel itu diposting pukul 11:59, hampir dua jam yanglalu. Aku heran Henri perlu waktu selama ini untuktiba. Aku merasa pusing. Tubuhku limbung.“Perlu perawat?” tanya Mr. Harris.Perawat, pikirku. Tidak, aku tidak butuh perawat.Ruang kesehatan ada di sebelah dapur kelas tataboga. Yang kuperlukan, Mr. Harris, adalah kembali kesana, kembali ke lima belas menit yang lalu, sebelumguru pengawas muncul di kelas. Saat ini pasti Sarahsudah menaikkan puding ke kompor. Aku ingin tahuapakah sudah mendidih atau belum. Apakah Sarahmemandang ke pintu, menantiku kembali?Gaung lemah pintu sekolah dibanting tertutupterdengar hingga ke kantor kepala sekolah. Limabelas detik lagi Henri sampai di kantor ini. Lalu ketruknya. Lalu ke rumah. Lalu ke mana? Ke Maine?Missouri? Kanada? Sekolah lain, awal baru lagi, namabaru lagi.Aku belum tidur sekejap pun selama tiga puluh jamterakhir, dan sekarang aku merasa lelah. Tapi akujuga merasakan perasaan lain. Dalam waktu yangbegitu singkat, kenyataan bahwa aku akan pergiselamanya tanpa sempat mengucapkan selamattinggal tiba-tiba terasa begitu berat. Mataku menyipit,aku sedih, lalu―tanpa berpikir, tanpa benar-benar tahuapa yang kulakukan―aku menerjang melompati mejaMr. Harris, menerobos jendela kaca, yang langsungpecah berkeping-keping. Jeritan kaget terdengar.Aku mendarat di rumput di luar. Aku berbelok kekanan dan berlari melintasi halaman sekolah. Ruang-ruang kelas di sebelah kananku tampak kabur. Aku

Page 125: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melewati tempat parkir dan masuk ke hutan yangada di belakang lapangan bisbol. Dahi dan siku kirikuluka akibat kaca jendela tadi. Paru-paruku terbakar.Persetan dengan rasa sakitnya. Aku terus berlari.Tangan kananku masih membawa kertas tadi. Akumemasukkannya ke dalam saku. Kenapa Mogadorianmengirim faks? Kenapa mereka tidak langsungmuncul? Itu kelebihan utama mereka, tiba tanpadiduga, tanpa peringatan. Unsur kejutan.Aku berbelok tajam ke kiri di tengah hutan, berlarimenembus lebarnya hutan hingga hutan itu berakhirdan tanah lapang terlihat. Sepi memamah biak sambilmemandang dengan tatapan kosong saat akumelintas. Aku kembali ke rumah lebih dulu daripadaHenri. Bernie Kosar tidak ada di mana pun. Akumelewati pintu dan berhenti. Napasku tercekat. Dimeja dapur, di depan laptop Henri yang terbuka,duduklah seseorang yang langsung kuduga sebagaisalah satu dari mereka. Mereka tiba lebih duludaripadaku. Mereka mengakaliku sehingga akusendirian, tanpa Henri. Orang itu berbalik. Akumengepalkan tinju, siap berkelahi.Mark James.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.“Aku mencari tahu apa yang terjadi,” katanya, rasatakut begitu jelas di matanya. “Siapa sebenarnyakau?”“Apa yang kau bicarakan?”“Lihat,” katanya, menunjuk ke layar komputer.Aku berjalan ke arahnya. Namun aku tidak melihatlayar komputer dan justru menatap kertas putih yangada di samping komputer. Kertas itu sama dengankertas yang ada di dalam sakuku, tapi kertas itu lebihtebal daripada faks. Lalu aku melihat sesuatu yanglain. Di bagian bawah kertas Henri, ada nomor telepondengan tulisan yang sangat kecil. Masa mereka inginkami menelepon? “Ya, ini aku, Nomor Empat. Aku disini menantimu. Kami sudah melarikan diri selamasepuluh tahun, tapi tolong, datanglah dan bunuh kami.Kami tidak akan melawan.” Itu sama sekali tidakmasuk akal.“Ini punyamu?” tanyaku.“Bukan,” kata Mark. “Kurir mengantarkan kertas itusaat aku tiba di sini. Ayahmu membacanya saat akumemperlihatkan video ini, lalu dia berlari keluar.”“Video apa?” tanyaku.“Lihat,” kata Mark.Aku menatap komputer dan melihat bahwa Marksudah membuka YouTube. Dia mengklik tombol play.Video itu kabur, kualitasnya jelek. Tampaknyaseseorang menggunakan telepon genggam untukmerekam peristiwa itu. Aku langsung mengenalirumah Mark, bagian depannya terbakar. Kamera itugoyang, tapi suara anjing dan seruan tertahan orang-orang bisa terdengar. Lalu orang itu mulai berjalanmenjauhi kerumunan, menuju samping rumah, danakhirnya ke belakang rumah. Kamera itu di-zoom kejendela belakang tempat asal suara anjing menyalak.Salakan anjing berhenti. Aku menutup mata karenatahu apa yang selanjutnya terjadi. Sekitar dua puluhdetik berlalu. Kemudian, pada saat aku terbangmelalui jendela dengan Sarah di tangan yang satudan anjing di tangan yang lain, Mark menekan tombolpause video itu. Kamera di-zoom. Wajah kami dapatdikenali.“Siapa kau?” tanya Mark.Aku mengabaikan pertanyaannya dan malahmengajukan pertanyaanku sendiri: “Siapa yangmerekam ini?”“Entah,” jawab Mark.Terdengar suara kerikil dilindas ban truk di depanrumah saat Henri masuk. Aku berdiri tegak. Nalurikumenyuruhku lari, keluar dari rumah, dan kembali kesekolah―Sarah ada di sana mencuci foto-foto, menantiujian mengemudi pada pukul empat tiga puluh.

Page 126: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Wajah Sarah tampak sejelas wajahku dalam videoitu, yang berarti dia juga dalam bahaya. Tapi sesuatumencegahku lari. Aku justru berjalan ke sisi lain mejamakan dan menunggu. Pintu truk dibanting tertutup.Lima detik kemudian Henri berjalan ke dalam rumah.Bernie Kosar berlari di depannya.“Kau membohongiku,” teriaknya dari pintu, wajahnyakeras, otot-otot rahangnya tegang.“Aku membohongi semua orang,” kataku. “Akubelajar itu darimu.”“Kita tidak saling membohongi!” bentak Henri.Mata kami beradu.“Ada apa?” tanya Mark.“Aku tak akan pergi sebelum menemui Sarah,”kataku. “Dia dalam bahaya, Henri!”Henri menggelengkan kepala. “Sekarang bukansaatnya sentimentil, John. Kau tidak lihat ini?”tanyanya, sambil berjalan melintasi ruangan danmengangkat kertas serta melambaikannya ke arahku.“Menurutmu ini datang dari mana?”“Ada apa sebenarnya?” Mark hampir berteriak.Aku menatap mata Henri, mengabaikan kertas danMark. “Ya, aku sudah melihatnya. Itu sebabnya akuharus kembali ke sekolah. Mereka pasti mencari danmengejar Sarah.”Henri berjalan ke arahku. Saat Henri melangkah lagi,aku mengangkat tangan dan menghentikannyadengan telekinesis. Henri mencoba berjalan tapi akumenahannya.“Kita harus pergi dari sini, John,” katanya, suaranyaterdengar terluka, hampir memohon.Sambil menahan Henri di sana, aku berjalan mundurke kamarku. Henri berhenti berusaha berjalan. Diatidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di sana,memandangiku dengan tatapan sakit hati, tatapanyang membuatku merasa lebih buruk darisebelumnya. Aku harus memalingkan wajah. Saataku tiba di pintu kamar, mata kami bertatapan lagi.Bahu Henri merosot, lengannya tergantung lemas. Diatampak seakan tidak tahu apa yang harus dialakukan. Henri hanya menatapku, memandangkuseakan ingin menangis.“Maafkan aku,” kataku sambil mencuri waktu untukpergi. Lalu aku berbalik dan lari ke kamarku,membuka laci dan mengambil pisau yang biasakugunakan untuk membersihkan ikan saat kamimasih tinggal di Florida, lalu melompat keluar jendeladan berlari ke hutan. Hanya terdengar suara BernieKosar menyalak. Aku berlari satu kilometer danberhenti di tempat terbuka besar di hutan, tempat akudan Sarah membuat malaikat salju. Tempat kita,begitu Sarah menyebutnya. Di tempat ini kami akanmengadakan piknik musim panas. Rasanya begitusakit sehingga aku membungkuk dan menggertakkangigi. Jika saja aku bisa menelepon Sarah danmenyuruhnya keluar dari sekolah. Ponselku, bersamabenda-benda lain yang kubawa ke sekolah, ada didalam loker. Aku akan menyelamatkan Sarah, lalukembali ke Henri, dan pergi.Aku berbalik dan berlari ke sekolah, dengan kencangsesuai kemampuan paru-paruku. Aku tiba di sekolahsaat bus-bus mulai keluar dari halaman. Aku melihatbus-bus itu dari tepi hutan. Di depan sekolah, Hobbssedang berdiri di luar jendela depan, mengukurtripleks untuk menutup jendela yang kuterobos. Akumemperlambat napasku, mencoba sebaik mungkinuntuk mengosongkan pikiran. Aku memandangimobil-mobil meninggalkan sekolah hingga hanyatersisa beberapa buah. Hobbs menutup lubang, lalumenghilang ke dalam sekolah. Aku bertanya-tanyaapakah dia sudah diperingatkan mengenai diriku,apakah dia sudah diinstruksikan untuk meneleponpolisi jika melihatku. Aku melihat jam tangan.Walaupun saat ini baru pukul 3:30, kegelapantampaknya datang lebih cepat daripada biasanya.

Page 127: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Kegelapan yang kelam. Berat dan melelahkan. Lampu-lampu di tempat parkir menyala, tapi tetap tampaksuram dan redup.Aku keluar dari hutan, berjalan melintasi lapanganbisbol, lalu masuk ke tempat parkir. Ada sekitarsepuluh mobil. Pintu sekolah sudah dikunci. Akumemegang pintu. Kemudian aku menutup mata danmemusatkan perhatian. Kunci pun berbunyi ‘klik’. Akuberjalan ke dalam dan tidak melihat siapa pun. Hanyasebagian lampu lorong yang menyala. Udaranyatenang dan sepi. Terdengar suara alat penggosoklantai dari suatu tempat. Aku berbelok ke lobi danmelihat pintu kamar gelap kelas fotografi. Sarah. Diamencuci foto hari ini sebelum ujian mengemudi. Akulewat di lokerku dan membukanya. Ponselku tidakada. Loker itu kosong melompong. Seseorangmenyimpan ponselku. Kuharap orang itu Henri. Saattiba di kamar gelap, aku tidak melihat seorang pun. Dimana para atlet, anggota marching band, guru-guruyang biasanya tetap tinggal di sekolah untukmemeriksa ujian atau apa pun yang biasanya merekalakukan? Firasat buruk menjalari tulangku. Aku takutsesuatu yang buruk sudah menimpa Sarah. Akumenempelkan telinga ke pintu kamar gelap untukmendengarkan. Namun, aku tidak mendengar apa-apa selain bunyi alat penggosok lantai yang datangdari lorong. Aku menarik napas dalam dan mencobamembuka pintu. Terkunci. Aku menempelkantelingaku lagi dan mengetuk pelan. Tidak adajawaban. Tapi aku mendengar bunyi gemeresik dibalik sana. Aku menarik napas dalam,mempersiapkan diri menghadapi apa pun yangkutemukan di dalam ruangan itu, dan membukakuncinya.Ruangan itu gelap gulita. Aku menyalakan tanganku.Kemudian aku menyapukan tangan yang satu kesalah satu sisi, dan tangan yang lain ke sisi lain. Akutidak melihat apa pun dan berpikir bahwa ruangan itukosong. Namun kemudian aku melihat gerakan disudut sana. Aku berjongkok untuk melihat. Di bawahkonter, berusaha untuk tetap tidak terlihat, ada Sarah.Aku meredupkan cahaya di tanganku sehingga diabisa melihat diriku. Dari balik kegelapan, Sarahmenengadah dan tersenyum, mendesah lega.“Mereka di sini, kan?”“Jika belum, mereka akan segera tiba.”Aku membantu Sarah berdiri. Dia memeluk danmendekapku begitu erat sehingga aku pikir dia tidakakan melepaskanku.

“Aku masuk ke sini setelah jam pelajaran kedelapanselesai. Begitu sekolah bubar, suara-suara aneh mulaiberdatangan dari lorong. Lalu segalanya menjadibegitu gelap. Jadi, aku mengunci diri di sini dan diamdi bawah konter, ketakutan, nggak berani bergerak.Aku tahu pasti ada yang salah, terutama setelah akudengar kau melompat menerobos jendela dan tidakmengangkat teleponmu.”“Pintar. Tapi sekarang kita harus keluar dari sini,secepatnya.”Kami keluar dari ruangan itu, bergandengan tangan.Lampu di lorong berkedip padam. Seluruh sekolahditelan kegelapan, padahal matahari baru terbenamsekitar satu jam lagi. Setelah sekitar sepuluh detik,lampu kembali menyala.“Apa yang terjadi?” bisik Sarah.“Tak tahu.”Kami berjalan di lorong sepelan mungkin. Suara-suarayang kami buat pun seolah berkurang, teredam. Jalanpaling cepat untuk ke luar adalah melalui pintubelakang yang mengarah ke tempat parkir para guru.Saat kami berjalan ke sana, suara alat penggosoklantai semakin keras. Aku menduga kami berjalan kearah Hobbs. Pasti dia tahu bahwa akulah yangmerusak jendela. Apakah dia akan memukulku

Page 128: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dengan gagang sapu dan menelepon polisi? Kurasasaat ini, itu bukan masalah.Saat kami tiba di lorong belakang, lampu-lampukembali padam. Kami berhenti dan menunggu lampumenyala, tapi lampu tetap padam. Alat penggosoklantai terus berbunyi, berdengung mantap. Aku tidakbisa melihatnya, tapi jaraknya hanya sekitar enammeter di kegelapan yang begitu gelap gulita. Akumerasa aneh karena mesin itu tetap berfungsi, karenaHobbs tetap menggosok lantai di kegelapan. Akumenyalakan tanganku. Sarah melepaskanpegangannya dan berdiri di belakangku sambilmemegangi pinggangku. Aku menemukan steker didinding, lalu menyusuri kabel hingga melihat mesinitu. Mesin itu diam, bersandar di dinding, tak berawak,masih dalam keadaan menyala. Aku panik. Sarah danaku harus keluar dari sekolah.Aku mencabut kabel dari steker. Alat penggosoklantai itu berhenti, bunyinya digantikan dengandengung pelan keheningan. Kupadamkan cahayatanganku. Jauh di lorong sana, terdengar suara pintuberderit terbuka. Aku berjongkok. Punggungkumenempel di dinding. Sarah memegang lengankudengan erat. Kami berdua terlalu takut sehingga tidakbisa bicara. Naluri membuatku menarik kabel untukmematikan alat penggosok lantai itu. Aku merasaperlu memasangnya kembali, tapi aku tahu jika akumelakukan itu, mereka akan tahu kami ad adi tempatitu. Aku menutup mata dan berusaha mendengarkan.Bunyi pintu berderit sudah tak terdengar lagi. Akumerasakan angin berembus lembut entah dari manaasalnya. Tentunya tidak ada jendela yang terbuka.Aku pikir mungkin angin itu masuk dari jendela yangkurusakkan. Lalu terdengar suara pintu dibantingdiikuti suara kaca pecah dan jatuh berkeping-kepingdi lantai.Sarah menjerit. Sesuatu melewati kami tapi aku tidakbisa melihatnya dan juga tidak ingin mencari tahubenda apa itu. Aku menarik tangan Sarah dan berlarimenyusuri lorong. Aku mendobrak pintu dengan bahudan berlari ke luar ke tempat parkir. Sarah terengah.Kami berdua berhenti. Napasku tercekat ditenggorokan. Dingin merayapi tulang punggungku.Lampu-lampu masih menyala, namun redup dantampak mengerikan dalam keadaan yang gelapgulita. Di bawah lampu terdekat, kami melihatnya.Satu sosok dengan jubah panjang melambai ditiupangin dan topi yang ditarik begitu rendah sehinggahanya matanya yang terlihat. Sosok itu mengangkatkepala dan menyeringai ke arahku.Sarah mencengkeram tanganku. Kami berduamelangkah mundur dan terpeleset karena buru-buruingin kabur. Kami berdua beringsut mundur hinggamenubruk pintu.“Ayo,” teriakku sambil berusaha berdiri. Sarah berdiri.Aku mencoba membuka pintu, tapi pintu itu langsungterkunci di belakang kami.“Sial!” teriakku.Dari sudut mataku, aku melihat satu lagi. Tadi sosokitu hanya berdiri diam. Aku memandang sosok itumelangkah ke arahku. Lalu ada satu lagi dibelakangnya. Para Mogadorian. Setelah bertahun-tahun, akhirnya mereka ada di sini. Aku mencobamemusatkan perhatian, tapi tanganku bergetar begitukuat sehingga sulit membuka pintu. Aku merasakanpara Mogadorian mendekat, mengepung. Sarahmerapat kepadaku. Aku bisa merasakan tubuhnyagemetar.Aku tidak bisa memusatkan perhatian untukmembuka kunci pintu itu. Apa yang terjadi padaketenangan di bawah tekanan yang kupelajari dalamlatihan di halaman belakang? Aku tidak mau mati,pikirku. Aku tidak mau mati.“John,” kata Sarah. Ada ketakutan di suaranya yangmembuat mataku terbuka lebar, dan menguatkan

Page 129: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

tekadku.Kunci berputar. Pintu terbuka. Sarah dan akumenerobos masuk. Aku membanting pintu tertutup.Ada bunyi bergedebuk di luar sana seolah salah satudari mereka menendang pintu. Kami berlari di lorong.Diikuti suara-suara. Aku tidak tahu apakah adaMogadorian di dalam gedung sekolah. Sebuah jendelapecah di samping dan Sarah menjerit kaget.“Kita harus diam,” kataku.Kami mencoba membuka pintu-pintu kelas, tapisemuanya terkunci. Sepertinya kami tidak akan punyacukup waktu untuk membuka salah satu pintu.Terdengar suara pintu terbanting tertutup dari suatutempat, entah dari depan atau dari belakang.Terdengar suara-suara di belakang kami, mengepung,memenuhi telinga kami. Sarah memegang tanganku.Kami berlari lebih kencang. Pikiranku berpacumengingat denah gedung sekolah agar aku tidakperlu menyalakan tanganku, agar kami tak terlihat.Akhirnya kami melihat sebuah pintu terbuka. Tanpapikir panjang kami bergegas masuk ke dalam. Ruangkelas sejarah. Ruangan itu ada di bagian kiri sekolah,menghadap bukit kecil, dank arena jaraknya sekitarenam meter dari tanah maka ada teralis dijendelanya. Kegelapan menekan jendela dengan kuatdan tidak ada cahaya yang masuk. Aku menutuppintu pelan-pelan dan berharap mereka tidak melihatkami. Aku menyorotkan cahaya di tanganku kesegala penjuru ruangan itu lalu langsungmematikannya. Kami sendirian. Kami bersembunyi dibawah meja guru. Aku berusaha bernapas. Keringatmengalir menuruni pelipis dan membuat matakuperih. Berapa jumlah mereka? Aku melihat setidaknyatiga. Pasti mereka tidak hanya bertiga. Apa merekamembawa para hewan buas, musang kecil yangditakuti para penulis di Athens itu? Aku berharap Henriada di sini, atau bahkan Bernie Kosar.Pintu terbuka perlahan-lahan. Aku menahan napas,mendengarkan. Sarah menyandarkan diri ke arahku.Kami saling memeluk. Pintu itu menutup dengansangat pelan hingga akhirnya terdengar bunyi ‘klik’.Tidak terdengar langkah kaki. Apa mereka hanyamembuka pintu dan menjulurkan kepala ke dalamuntuk melihat apakah kami ada di dalam? Apamereka terus berjalan tanpa masuk? Mereka berhasilmenemukanku setelah waktu yang lama, pastilahmereka tidak semalas itu.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Sarah setelahtiga puluh detik.“Aku tak tahu,” bisikku.Ruangan itu terbalut keheningan. Apa pun yangmembuka pintu itu pastilah sudah pergi, ataumenunggu di lorong. Tapi aku tahu, semakin lamakami diam di sana, jumlah mereka akan semakinbanyak. Kami harus pergi dari situ. Kami harusmengambil risiko. Aku menarik napas dalam.“Kita harus pergi,” bisikku. “Tidak aman di sini.”“Tapi mereka ada di luar sana.”“Aku tahu. Mereka tak akan ke mana-mana. Henriada di rumah. Dia juga dalam bahaya seperti kita.”“Tapi bagaimana kita keluar?”Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu harus berkataapa. Hanya ada satu jalan keluar, dan itu dari tempatkami masuk tadi. Sarah tetap memelukku.“Kalau terus di sini kita terjebak, Sarah. Mereka akanmenemukan kita. Saat mereka menemukan kita, kitaakan menghadapi mereka semua. Setidaknya kalaukita berusaha keluar akan menjadi elemen kejutanbuat mereka. Jika kita bisa keluar dari sekolah, kurasaaku bisa menyalakan mobil. Jika tidak bisa, kita haruskembali.”Sarah mengangguk setuju.Aku menarik napas dalam dan keluar dari bawahmeja. Aku meraih tangan Sarah dan dia berdiribersamaku. Bersama-sama kami melangkah, sepelan

Page 130: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mungkin. Lalu melangkah lagi. Perlu satu menit untukmelintasi ruangan dan tidak ada yang menyergapkami di kegelapan. Aku menyalakan tanganku sedikitsehingga bersinar redup, hampir tak kentara, hanyacukup untuk menjaga agar kami tidak menabrakmeja. Aku menatap pintu. Aku akan membukanyalalu menggendong Sarah di punggung. Kemudian akuakan berlari secepat yang kubisa, dengan tanganmenyala, menyusuri lorong, keluar dari gedungsekolah ke tempat parkir atau, jika gagal, langsung kehutan. Aku mengenali hutan itu dan tahu jalan pulang.Ada banyak Mogadorian. Tapi Sarah dan akumengenal lingkungan ini, dan itu keuntungan kami.Saat kami berada di dekat pintu, aku bisa merasakanjantungku berdebar begitu keras sehingga akukhawatir para Mogadorian bisa mendengarnya. Akumenutup mata dan perlahan-lahan meraih kenoppintu. Sarah menegang, mencengkeram tangankusebisa mungkin. Saat tanganku tinggal beberapa sentilagi, begitu dekat dengan kenop pintu sehingga akubisa merasakan aura dinginnya, kami berduadirenggut dari belakang lalu ditarik ke bawah.Aku mencoba berteriak, tapi mulutku dibungkam.Rasa takut mencengkeramku. Aku bisa merasakanSarah berusaha membebaskan diri dari cengkeramanitu. Aku pun melakukan hal yang sama. Tapicengkeraman itu terlalu kuat. Aku tidak pernahmenduga bahwa para Mogadorian lebih kuatdaripadaku. Aku benar-benar salah karenameremehkan mereka. Sekarang tidak ada harapan.Aku telah gagal. Aku gagal melindungi Sarah dan jugaHenri. Aku menyesal. Henri, kuharap kau memberikanperlawanan yang lebih hebat daripadaku.Sarah terengah-engah. Dengan seluruh kekuatankuaku mencoba membebaskan diri, tapi tidak bisa.“Sst, jangan meronta,” terdengar bisikan di telingaku.Suara perempuan. “Mereka menunggu di luar. Kalianberdua harus diam.”Perempuan. Kuat seperti aku, bahkan mungkin lebihkuat. Aku tidak mengerti. Dia melonggarkancengkeramannya. Kemudian aku berbalik danmemandangnya. Kami saling menatap. Dengan sinardari tanganku, aku bisa melihat wajah yang agaklebih tua dariku. Mata merah kecokelatan, tulang pipitinggi, rambut hitam panjang diekor kuda, mulut lebardan hidung yang kokoh, dan kulit berwarna zaitun.“Siapa kau?” tanyaku.Gadis itu memandang ke arah pintu, masih diam.Seorang teman, pikirku. Seseorang selain paraMogadorian yang tahu bahwa kami ada. Seseorangada di sini, untuk membantu.“Aku Nomor Enam,” katanya. “Aku berusaha tiba disini sebelum mereka.”

E

“BAGAIMANA KAU TAHU ITU AKU?” TANYAKU.Gadis itu memandang ke arah pintu. “Aku berusahamenemukanmu sejak Nomor Tiga dibunuh. Nanti akankujelaskan semuanya. Sekarang kita harus keluar darisini.”“Bagaimana kau bisa masuk tanpa terlihat mereka?”“Aku bisa membuat diriku tak terlihat.”Aku tersenyum. Seperti Pusaka kakekku. Kemampuanuntuk tak terlihat. Kemampuan untuk membuatbenda-benda yang disentuhnya juga tak terlihat,seperti rumah kami di Lorien.“Seberapa jauh rumahmu dari sini?” tanyanya.“Lima kilometer.”Aku merasa gadis itu mengangguk di kegelapan.“Kau punya Cêpan?” tanyanya.“Tentunya. Kau juga punya, kan?”Dia bergeser dan terdiam sejenak, seolahmengerahkan kekuatan dari sesuatu yang tak terlihat.“Dulu,” katanya. “Dia meninggal tiga tahun lalu. Sejak

Page 131: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

itu aku sendirian.”“Aku ikut berduka,” kataku.“Ini perang, orang bakal mati. Sekarang kita haruspergi dari sini atau kita juga bakal mati. Jika merekaada di daerah ini, itu berarti mereka sudah tahutempat tinggalmu. Itu artinya mereka sudah ada disana. Jadi percuma bersembunyi saat kita di luar sana.Mereka ini hanya pengintai. Para prajurit sedangdalam perjalanan. Prajuritlah yang membawa pedang.Hewan-hewan buas ada di dekat mereka. Waktu kitasedikit. Paling banyak, kita hanya punya satu hari.Dan kemungkinan terburuknya mereka sudah di sini.”Yang pertama terlintas di benakku: Mereka sudahtahu rumahku. Aku panik. Henri di rumah bersamaBernie Kosar, dan para prajurit dan hewan buasmungkin sudah di sana. Yang kedua: Cêpan gadis inimeninggal tiga tahun lalu. Sejak saat itu Nomor Enamsendirian, sendirian di planet asing sejak itu. Sejakusia berapa? Tiga belas? Empat belas?“Dia di rumah,” kataku.“Siapa?”“Henri, Cêpan-ku.”“Aku yakin dia baik-baik saja. Mereka tidak akanmelakukan apa-apa kepadanya selama kau bebas.Kaulah yang mereka inginkan. Mereka akanmenggunakannya untuk memancingmu,” kata NomorEnam. Kemudian dia mengangkat kepala ke arahjendela yang berteralis. Kami ikut menengok ke sana.Cahaya lampu depan mobil melintas di belokan kearah sekolah. Cahayanya sangat redup. Kemudiancahaya itu memelan, melewati jalan keluar, laluberbelok ke pintu masuk dan menghilang dengancepat. Nomor Enam kembali memandang kami.“Semua pintu dikunci. Dari mana lagi kita bisa keluar?”Aku berpikir. Salah satu jendela tak berteralis di kelaslain bisa jadi jalan terbaik kami.“Kita bisa keluar lewat gedung olahraga,” kata Sarah.“Di panggungnya ada pintu lubang palka yangmengarah ke terowongan di bawahnya. Terowonganitu menuju ke belakang sekolah.”“Oh, ya?” tanyaku.Sarah mengangguk. Aku merasa bangga.“Masing-masing pegang tanganku,” kata Nomor Enam.Aku memegang tangan kanannya, Sarah memegangtangan kirinya. “Sebisa mungkin jangan menimbulkansuara. Selama kalian memegang tanganku, kalian takakan terlihat. Mereka tak akan bisa melihat kita, tapibisa mendengar kita. Begitu kit adi luar, kita larisecepat mungkin. Kita tidak akan bisa melarikan diridari mereka karena mereka sudah menemukan kita.Satu-satunya cara untuk kabur adalah denganmembunuh mereka, semuanya, sebelum yang lainnyadatang.”“Oke,” kataku.“Kau tahu apa artinya itu?” tanya Nomor Enam.Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mengerti apayang dia tanyakan.“Sekarang ini tidak mungkin melarikan diri darimereka,” katanya. “Itu artinya kau harus bertarung.”Aku berniat untuk menjawab, tapi bunyi gemeresikyang sebelumnya kudengar berhenti di luar pintu.Hening. Lalu kenop pintu berguncang. Nomor Enammenarik napas dalam dan melepaskan tanganku.“Percuma mengendap-endap,” katanya. “Pertempurandimulai sekarang.”Dia bergegas maju dan menolakkan tangannya kedepan. Pintu itu terdorong lepas dari engselnya danterbanting ke lorong. Serpihan kayu. Pecahan kaca.“Nyalakan tanganmu!” teriaknya.Aku menyalakan tanganku. Satu Mogadorian berdiri ditengah-tengah puing-puing pintu. Dia tersenyum,darah menetes dari sudut mulutnya, di tempat yangdihantam pintu. Mata hitam, kulit pucat seolah tidakpernah terkena sinar matahari. Makhluk gua yangbangkit dari kematian. Mogadorian itu melemparkan

Page 132: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sesuatu yang tak terlihat olehku. Aku mendengarNomor Enam mengerang di sampingku. Aku menatapmata si Mogadorian. Rasa sakit menghunjamkusehingga aku terpaku di tempat, tak bisa bergerak.Kegelapan merayap turun. Kesedihan. Tubuhkumenegang. Gambaran-gambaran kabur dari haripenyerbuan berkelap-kelip di benakku. Anak-anakdan wanita yang mati, kakek-nenekku. Air mata,jeritan, darah, tumpukan tubuh terbakar. Nomor Enammematahkan sihir itu dengan mengangkat siMogadorian ke udara dan melemparkannya ketembok. Si Mogadorian berusaha berdiri. Nomor Enammengangkatnya lagi. Kali ini dia melontarkan siMogadorian sekuat mungkin ke dinding yang satu laluke dinding yang lain. Pengintai Mogadorian itu jatuhke lantai, dengan badan meliuk dan patah. Dadanyatersentak sekali lalu diam. Satu atau dua detik berlalu.Seluruh tubuh si Mogadorian berubah menjaditumpukan abu, diikuti suara yang mirip dengankarung pasir jatuh ke tanah.“Apa-apaan?” heranku, bertanya-tanya bagaimanamungkin tubuhnya bisa langsung hancur seperti itu.“Jangan lihat mata mereka!” teriak Nomor Enam,mengabaikan kebingunganku.Aku teringat penulis They Walk Among Us. Sekarangaku mengerti apa yang dia alami saat melihat mataMogadorian. Aku bertanya-tanya apakah si penulis itumenyambut kematian ketika waktunya tiba,menyambutnya untuk menyingkirkan gambaran-gambaran yang selalu muncul di benaknya. Aku takbisa membayangkan separah apa gambaran itu jikaNomor Enam tidak mematahkan sihirnya.Dua Mogadorian pengintai lain berjalan ke arah kamidari ujung lorong. Selubung kegelapan mengelilingimereka. Mereka tampak seakan mengisap segalayang ada di dekat mereka dan mengubahnyamenjadi gelap. Nomor Enam berdiri di depankudengan gagah, tegap, dan dagu diangkat tinggi. Dialima senti lebih pendek daripadaku. Namun caraberdirinya membuat dia tampak lima senti lebih tinggi.Sarah berdiri di belakangku. Kedua Mogadorian ituberhenti di persimpangan lorong. Mereka menyeringaimencemooh. Tubuhku tegang, otot-ototku panaskarena lelah. Kedua Mogadorian menarik napas dalamdan serak. Suara itulah yang kami dengar di luarpintu, suara napas mereka, bukan suara merekaberjalan. Menatap kami. Lalu suara lain memenuhilorong. Kedua Mogadorian mengalihkan perhatianmereka ke arah suara itu. Pintu berguncang seolahseseorang berusaha membukanya. Lalu terdengarsuara letusan senjata, diikuti dengan pintu sekolahyang ditendang hingga terbuka. Kedua Mogadorian itutampak terkejut. Saat mereka berbalik untuk lari, dualetusan lagi meledak di lorong. Kedua pengintai ituterlontar ke belakang. Kami mendengar suarasepasang sepatu mendekat dan bunyi cakar anjing.Nomor Enam menegang di sampingku, siapmenghadapi apa pun yang datang. Henri! Yang kamilihat memasuki halaman sekolah itu lampu truk Henri.Dia membawa senapan laras ganda yang belumpernah kulihat. Bernie Kosar berjalan di sampingnyalalu berlari ke arahku. Aku berlutut dan mengangkatBernie dari lantai. Anjing itu menjilati wajahku denganliar. Aku begitu senang melihatnya sehingga hampirlupa untuk memperkenalkan lelaki yang membawasenapan itu kepada Nomor Enam.“Itu Henri,” kataku. “Cêpanku.”Henri berjalan menghampiri, waspada, memandangpintu-pintu kelas saat melewatinya. Di belakang Henriada Mark yang membawa Peti Loric. Aku tidak tahumengapa Henri membawa Mark. Mata Henri tampakliar. Dia terlihat lelah, takut serta khawatir. Kukira,karena caraku meninggalkan rumah tadi, Henri akanmembentak, bahkan mungkin menamparku. Namunternyata dia malah memindahkan senapan ke tangan

Page 133: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kirinya lalu memelukku seerat mungkin. Aku balasmemeluknya.“Maafkan aku, Henri. Aku tak tahu kejadiannya bakalseperti ini.”“Aku tahu kau tidak bermaksud buruk. Aku senangmelihatmu baik-baik saja.” Lalu Henri berkata, “Ayo,kita harus keluar dari sini. Seluruh sekolah sialan inidikepung.”Sarah memimpin kami ke ruangan teraman yang bisadia pikirkan, dapur tata boga. Kami menguncipintunya. Nomor Enam memindahkan tiga lemari eske belakang pintu untuk barikade. Sementara itu,Henri bergegas ke jendela dan menutup tirai. Sarahberjalan ke dapur yang biasa kami gunakan. Diamembuka laci dan mengeluarkan pisau dagingterbesar yang bisa dia temukan. Mark memandangSarah. Saat melihat apa yang Sarah lakukan, Markmenurunkan Peti Loric ke lantai dan mengambil pisauuntuk dirinya sendiri. Dia mengaduk-aduk laci-laci laindan mengambil palu daging lalu menyelipkan palu itudi ikat pinggangnya.“Kalian baik-baik saja?” tanya Henri.“Ya,” kataku.“Selain dari belati di lenganku, ya, aku baik-baik saja,”kata Nomor Enam.Aku menyalakan sinar redup dan melihat lengannya.Dia tidak bercanda. Di dekat bahunya ada belati kecilyang mencuat. Itu sebabnya dia mengerang sebelummembunuh si Mogadorian pengintai. Mogadorian itumelemparkan belati ke arah Nomor Enam. Henrimenghampiri dan mencabut belati itu. Nomor Enammengerang.“Untung hanya belati,” kata Nomor Enam, sambilmemandangku. “Para prajurit memiliki pedang yangberkilau dengan berbagai kekuatan.”Aku ingin bertanya kekuatan macam apa, tapi Henrimenyela.“Pegang ini,” katanya, sambil menyodorkan senapanitu kepada Mark. Mark mengambil senapan itu dengantangannya yang bebas tanpa protes, memandangtakjub pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya.Aku bertanya-tanya seberapa banyak yang Henrikatakan kepada Mark dan kenapa dia membawaMark. Aku menoleh ke Nomor Enam. Henrimenekankan kain ke lengan gadis itu untukmemperlambat pendarahan dan Nomor Enammemegangnya. Lalu Henri berjalan, mengangkat PetiLoric dan meletakkannya di meja terdekat.“Sini, John,” katanya.Tanpa menunggu penjelasan, aku membantu Henrimembuka kunci peti itu. Henri membuka Peti, meraihke dalam, dan mengeluarkan sebuah batu datardengan aura gelap seperti yang mengelilingi paraMogadorian. Nomor Enam tampaknya tahu kegunaanbatu itu. Dia melepaskan kemejanya. Di bawahkemejanya, dia mengenakan pakaian karet berwarnahitam dan abu-abu. Pakaian itu mirip dengan pakaianberwarna perak dan biru yang ayahku gunakandalam kilas balik yang kulihat. Nomor Enam menariknapas dalam-dalam. Kemudian dia mengulurkanlengannya kepada Henri. Henri menghunjamkan batuitu ke dalam luka. Nomor Enam, dengan gigi terkatuprapat, mengerang dan menggeliat kesakitan. Butirankeringat bercucuran di dahinya, wajahnya merahkarena tegang, urat bertonjolan di lehernya. Henrimenahan batu itu selama satu menit penuh, sebelummencabutnya. Nomor Enam membungkuk dalam,menarik napas untuk menenangkan diri. Akumemandang lengannya. Selain sedikit darah yangmasih tampak berkilauan, luka itu sudah sembuhsepenuhnya, tanpa bekas, tanpa apa pun selainsobekan kecil di pakaiannya.“Apa itu?” tanyaku sambil mengangguk ke arah batu.“Ini batu penyembuh,” kata Henri.“Benda seperti itu benar-benar ada?”

Page 134: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Di Lorien ada. Tapi batu ini menyebabkan rasasakitnya berlipat ganda dibandingkan rasa sakit yangasli. Lagi pula batu ini hanya berfungsi jika luka itudiniatkan untuk menyakiti atau membunuh. Dan batupenyembuh harus langsung digunakan.”“Diniatkan?” tanyaku. “Jadi, batu itu tidak akanberfungsi jika aku tersandung dan secara nggaksengaja melukai kepalaku?”“Tidak,” jawab Henri. “Itulah kunci Pusaka. Pertahanandan Kemurnian.”“Apakah batu itu bisa berfungsi pada Mark atauSarah?”“Aku tak tahu,” jawab Henri. “Dan kuharap kita tidakperlu mencari tahu.”Nomor Enam menarik napas. Dia berdiri tegak,merasakan lengannya. Warna merah di wajahnyamulai hilang. Di belakangnya, Bernie Kosar berlaribolak-balik antara pintu dan jendela, yang letaknyaterlalu tinggi sehingga dia tidak bisa melihat keluar.Walaupun begitu, Bernie Kosar berdiri dengan kakibelakang dan mencoba mengintip melalui jendela,menggeram kepada apa pun yang ada di luar sana.Mungkin bukan apa-apa, pikirku. Beberapa kali BernieKosar membuat gerakan seakan mencaplok sesuatu.“Kau mengambil ponselku waktu di sekolah tadi?” akubertanya kepada Henri.“Tidak,” jawab Henri. “Aku tidak mengambil apa pun.”“Ponselku tidak ada di loker saat aku kembali.”“Tak apa, toh benda itu tak akan berfungsi. Merekamelakukan sesuatu terhadap rumah kita dan jugasekolah. Listrik padam. Selain itu tak ada sinyal yangbisa menembus entah perisai apa yang mereka bikin.Semua jam mati. Bahkan udara pun seakan mati.”“Kita tak punya banyak waktu,” sela Nomor Enam.Henri mengangguk. Sekilas Henri tampak meringissaat melihat Nomor Enam, tampak bangga, bahkanmungkin lega.“Aku ingat kau,” katanya.“Aku juga.”Henri mengulurkan tangan dan Nomor Enammenjabatnya. “Banget senang melihatmu lagi.”“Sangat senang,” aku mengoreksi Henri, tapi diamengabaikanku.“Aku sudah lama mencari kalian,” kata Nomor Enam.“Di mana Katarina?” tanya Henri.Nomor Enam menggelengkan kepala. Wajahnyatampak berduka.“Dia tidak berhasil. Dia meninggal tiga tahun lalu.Sejak saat itu aku mencari yang lain, termasukkalian.”“Turut berduka cita,” kata Henri.Nomor Enam mengangguk. Dia berjalan melintasiruangan menghampiri Bernie Kosar, yang mulaimenggeram garang. Bernie Kosar tampak sepertibertambah besar dan tinggi sehingga kepalanya bisamengintip dari bawah jendela. Henri mengambilsenapan dari lantai dan berjalan sekitar 1,5 meter darijendela.“John, padamkan sinarmu,” katanya. Aku menurut.“Sekarang, sesuai aba-abaku, tarik kerainya.”Aku berjalan ke tepi jendela dan menggulung tali duakali di tanganku. Aku mengangguk ke arah Henri. Daribalik bahu Henri, aku bisa melihat Sarah menutuptelinga dengan tangan, mengantisipasi letusan. Henrimengokang senapan dan membidik.“Saatnya pembalasan,” katanya, lalu, “sekarang!”Aku menarik tali. Tirai langsung terbuka. Henrimenembakkan senapan. Suaranya menulikan,bergaung di telingaku. Henri mengokang senapan lagi,tetap membidik. Aku memuntir tubuh untuk melihatke luar. Dua Mogadorian pengintai terbaring di rumput,tak bergerak. Salah satu dari mereka berubahmenjadi abu dengan bunyi gedebuk bergaung sepertiyang di lorong tadi. Henri menembak Mogadorianyang satu lagi untuk kedua kalinya dan Mogadorian

Page 135: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

itu berubah jadi abu juga. Bayangan seolahberkerumun di sekitar mereka.“Enam, pindahkan lemari es itu ke sini,” kata Henrikepadanya.Mark dan Sarah memandang kagum saat lemari es ituterbang ke arah kami dan turun di depan jendelauntuk menghalangi para Mogadorian masuk ataumelihat ke dalam ruangan.“Lebih baik daripada tidak terhalang sama sekali,”kata Henri. Henri menoleh ke arah Enam. “Berapalama waktu kita?”“Sedikit,” katanya. “Pos terdepan mereka sekitar tigajam dari sini, dalam gua di gunung Virginia Barat.”Henri membuka senapan, memasukkan dua peluru,dan menutupnya kembali.“Berapa peluru yang bisa masuk ke sana?” tanyaku.“Sepuluh,” jawab Henri.Sarah dan Mark saling berbisik. Aku menghampirimereka.“Kalian baik-baik saja?” tanyaku.Sarah mengangguk, Mark mengangkat bahu. Merekaberdua tidak tahu harus berkata apa dalam situasimengerikan ini. Aku mencium pipi Sarah danmemegang tangannya.“Jangan khawatir,” kataku. “Kita akan keluar dari sini.”Aku berpaling ke arah Nomor Enam dan Henri.“Kenapa mereka hanya menunggu di luar sana?”tanyaku. “Kenapa mereka tidak memecahkan jendeladan masuk? Mereka tahu kita kalah jumlah.”“Mereka ingin agar kita tetap di sini, di dalam,” jawabNomor Enam. “Mereka sudah menempatkan kita ditempat yang mereka mau. Kita semua ada di satutempat dan terkurung. Sekarang mereka menungguyang lain tiba, para prajurit dengan senjata, yangterampil dalam membunuh. Mereka sekarang putusasa karena tahu Pusaka kita mulai berkembang.Mereka tidak bisa mengacaukan segalanya danmembiarkan kita semakin kuat. Mereka tahusekarang kita bisa melawan.”“Kita harus keluar dari sini,” pinta Sarah, suaranya lirihdan bergetar.Nomor Enam mengangguk menenangkan Sarah. Laluaku teringat sesuatu yang kulupakan dalamkegemparan itu.“Tunggu, kau ada di sini, kita bersama, berarti mantrapelindungnya patah. Sekarang semuanya kacau,”kataku. “Mereka bisa membunuh kita tanpa harussesuai urutan.”Aku bisa melihat kengerian di wajah Henri karena diajuga lupa dengan hal itu.Nomor Enam mengangguk. “Aku harus mengambilrisiko,” katanya. “Kita tidak bisa terus melarikan diri.Lagi pula aku bosan menunggu. Kemampuan kitasemua sedang berkembang. Kita semua siap untukmelawan. Ingat apa yang mereka lakukan terhadapkita pada hari itu. Aku juga tak akan lupa dengan apayang mereka lakukan terhadap Katarina. Semua yangkita kenal sudah mati, keluarga kita, teman-temankita. Kurasa mereka berencana untuk melakukanyang sama terhadap Bumi seperti yang dulu merekalakukan terhadap Lorien, dan mereka hampir siap.Duduk dan tidak melakukan apa-apa sama sajadengan membiarkan kehancuran, kematian, danpembantaian yang sama, terjadi. Kenapa kita diamdan membiarkan itu terjadi? Jika planet ini mati, kitajuga mati.”Bernie Kosar masih menyalaki jendela. Aku hampiringin membiarkannya keluar, melihat apa yang bisadia lakukan. Mulutnya berbuih, dia menyeringaimemperlihatkan gigi-giginya. Bulu di tengahpunggungnya berdiri. Anjing itu siap, pikirku.Pertanyaannya, apakah kami juga siap?“Yah, sekarang kau di sini,” kata Henri. “Mari berharapsemoga yang lainnya selamat. Mari berdoa semogamereka bisa menjaga diri mereka. Kalian berdua akan

Page 136: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

langsung tahu jika mereka tidak selamat. Dan bagikita, perang datang ke depan pintu kita. Kita tidakmengundangnya. Tapi karena perang sudah ada disini, kita tidak punya pilihan lain selainmenyambutnya, dengan gagah, dengan kekuatanpenuh.”Henri mengangkat kepala dan memandang kami.Bagian putih matanya berkilau di ruangan yang gelap.“Aku setuju denganmu, Enam,” katanya. “Waktunyasudah tiba.”EEANGIN DARI JENDELA YANG TERBUKA BEREMBUSmasuk ke dalam kelas tata boga. Lemari es yangmenghalangi tak bisa mencegah angin dingin masuk.Sekolah sendiri sudah terasa dingin karena listrikpadam. Sekarang Nomor Enam hanya mengenakanpakaian karet. Seluruh pakaian itu berwarna hitamdengan sebuah garis abu-abu yang membelah miringdi bagian depan. Dia berdiri di tengah-tengah kamidengan tenang dan percaya diri. Melihatnyamembuatku berpikir seandainya aku juga memilikipakaian Loric. Dia membuka mulut untuk berbicara,tapi disela oleh suara ledakan keras di luar. Kamisemua bergegas ke jendela namun tidak dapatmelihat apa yang terjadi. Suara ledakan keras itudiikuti dengan sejumlah letusan, dan suara sesuatudirobek, diremukkan, dan dihancurkan.“Apa yang terjadi?” tanyaku.“Sinarmu,” kata Henri mengalahkan suarapenghancuran itu.Aku menyalakan tangan dan menyorotkannya ke luarke halaman. Cahaya dari tanganku hanya bisamenyinari sejauh tiga meter sebelum akhirnya ditelankegelapan. Henri mundur dan memiringkan kepala,mendengarkan suara-suara itu dengan konsentrasitinggi. Kemudian dia mengangguk paham.“Mereka menghancurkan semua mobil di luar sana,termasuk trukku,” katanya. “Jika kita bisa bertahanhidup dan keluar dari sekolah ini, kita terpaksa jalankaki.”Teror menyelimuti wajah Mark dan Sarah.“Kita tak bisa buang-buang waktu lagi,” kata NomorEnam. “Dengan atau tanpa strategi, kita harus pergisebelum para prajurit dan hewan buas tiba. Dia bilangkita bisa keluar lewat gedung olahraga,” kata NomorEnam sambil mengangguk ke arah Sarah. “Itu satu-satunya harapan kita.”“Namanya Sarah,” kataku.Aku duduk di kursi di dekatnya, gugup mendengarnada suara Nomor Enam yang mendesak. Tampaknyadia orang yang paling mantap. Dia satu-satunya yangtetap tenang dalam situasi penuh teror yang kamialami hingga saat ini. Bernie Kosar berdiri di dekatpintu, menggaruk lemari es yang menghalanginya,menggeram dan mendengking tak sabar. Karena sinardi tanganku menyala, Nomor Enam bisa melihatBernie Kosar dengan baik. Dia menatap Bernie Kosar,lalu menyipitkan mata dan mencondongkanwajahnya. Kemudian dia menghampiri danberjongkok untuk mengelus Bernie Kosar. Akuberbalik dan memandang Nomor Enam. Aku merasaaneh melihat dia menyeringai.“Apa?” tanyaku.Nomor Enam menengadah melihatku. “Kau tak tahu?”“Tahu apa?”Seringainya semakin lebar. Lalu Nomor Enam kembalimemandang Bernie Kosar. Anjing itu berlarimenjauhinya dan kembali ke jendela, menggaruk-garuk jendela, menggeram-geram, dan menyalak-nyalak frustrasi. Sekolah dikepung. Kematian takterelakkan, hampir pasti terjadi. Nomor Enam malahmenyeringai. Itu membuatku kesal.“Anjingmu,” katanya. “Kau benar-benar tak tahu?”“Tidak,” kata Henri. Aku memandang Henri. Henri

Page 137: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

menggelengkan kepala ke arah Nomor Enam.“Apa, sih?” tanyaku. “Apa?”Nomor Enam memandangku lalu Henri. Dia setengahtertawa lalu membuka mulut untuk berbicara. Tapi,sebelum berhasil mengucapkan sepatah kata pun, diamelihat sesuatu dan berlari ke jendela. Kamimengikuti. Seperti sebelumnya, kami melihat sinarredup lampu depan mobil berbelok di jalan danmasuk ke halaman parkir sekolah. Mobil lain, mungkinpelatih atau guru. Aku menutup mata dan menariknapas dalam.“Mungkin bukan apa-apa,” kataku.“Padamkan sinarmu,” kata Henri kepadaku.Aku memadamkan sinar dan mengepalkan tangan.Sesuatu tentang mobil di luar membuat hatiku panas.Persetan dengan rasa lelah, dengan segala sesuatuyang terjadi sejak melompat menerobos jendelakepala sekolah. Aku tidak mau dikurung di ruangan inilebih lama lagi, walaupun tahu para Mogadorian adadi luar sana, menunggu, dan membuat rencana untukmenghancurkan kami. Mobil di luar tadi mungkinprajurit Mogadorian pertama yang tiba di tempat ini.Saat aku berpikir begitu, kami melihat cahaya lampumobil itu mundur dari tempat parkir, lalu pergi cepat-cepat, melalui jalan yang tadi dilaluinya.“Kita harus keluar dari sekolah sialan ini,” kata Henri.* * *Henri duduk di kursi, enam meter dari pintu, dengansenapan diarahkan ke pintu. Dia bernapas denganpelan walaupun tegang. Aku bisa melihat otot-ototrahangnya mengencang. Kami tidak mengucapkansepatah kata pun. Nomor Enam membuat dirinya takterlihat dan menyelinap ke luar untuk menjelajah.Kami hanya menanti hingga dia kembali. Tiga ketukanringan di pintu. Itu kode agar kami tahu bahwaNomor Enamlah yang datang dan bukan Mogadorianpengintai yang berusaha masuk. Henri menurunkansenapan. Nomor Enam berjalan masuk. Akumemindahkan salah satu lemari es untukmenghalangi pintu di belakangnya. Dia pergi selamasepuluh menit.“Kau benar,” katanya kepada Henri. “Mereka sudahmenghancurkan semua mobil di tempat parkir. Lalu,entah bagaimana, mereka memindahkan rongsokan-rongsokan mobil untuk memblokir semua pintu agartidak bisa dibuka. Sarah juga benar. Mereka tidakmenjaga lubang di panggung. Aku menghitung adatujuh pengintai di luar dan ada lima pengintai didalam, berjaga di lorong. Ada satu pengintai di luarpintu ruangan ini, tapi dia sudah dikalahkan.Tampaknya mereka mulai gelisah. Kurasa itu berartiyang lainnya sudah di kota ini, artinya mereka pastitidak jauh dari sini.”Henri berdiri dan meraih Peti Loric lalu menganggukke arahku. Aku membantu Henri membuka peti itu.Henri merogoh ke dalam dan mengeluarkan beberapakerikil bulat kecil yang kemudian dimasukkannya kedalam saku. Aku tidak tahu kerikil apa itu. Lalu Henrimenutup dan mengunci Peti. Setelah itu, diamemasukkan Peti Loric ke dalam oven dan menutuppintunya. Aku memindahkan lemari es ke depan ovenagar tidak bisa dibuka. Tidak ada pilihan lain. Peti ituberat. Kami harus keluar dari sini dan tidak mungkinbertempur sambil membawa peti.“Aku tak suka meninggalkannya,” kata Henri,menggelengkan kepala. Nomor Enam mengangguktak tenang. Bayangan Mogadorian mendapatkan PetiLoric mencemaskan mereka berdua.“Peti itu aman di sini,” kataku.Henri mengangkat senapan dan mengokangnya, lalumemandang Sarah dan Mark.“Ini bukan pertempuran kalian,” kata Henri kepadamereka berdua. “Aku tak tahu apa yang akan terjadidi luar sana. Tapi jika keadaannya parah, kalianberdua harus kembali ke sekolah ini dan bersembunyi.

Page 138: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Mereka tidak mengejar kalian. Lagi pula, kupikirmereka tidak akan mau repot-repot mencari kalianjika mereka sudah menangkap kami.”Baik Sarah maupun Mark tampak ketakutan.Keduanya memegang pisau erat-erat dengan tangankanan hingga buku-buku jari mereka memutih. Marksudah menghiasi ikat pinggangnya dengan berbagaibenda dari laci dapur yang bisa digunakan―pisau-pisau, palu daging, parutan keju, gunting.“Dari sini kita ke kiri hingga tiba di ujung lorong.Gedung olahraga ada di balik pintu ganda sekitar duabelas meter di kanan,” kataku kepada Henri.“Pintunya ada di tengah-tengah panggung,” kataNomor Enam. “Tertutup karpet biru. Tidak adapengintai di gedung itu, tapi bukan berarti merekatidak akan ada di sana.”“Jadi kita hanya perlu pergi keluar dan mencobamenghindari mereka?” tanya Sarah. Suaranyaterdengar panik. Napasnya berat.“Itu satu-satunya kesempatan kita,” kata Henri.Aku memegang tangan Sarah. Dia gemetaran.“Semua akan baik-baik saja,” kataku.“Bagaimana kau tahu?” katanya menuntut.“Aku tidak tahu,” kataku.Nomor Enam memindahkan lemari es dari pintu.Bernie Kosar langsung mulai menggaruk pintu,berusaha keluar, sambil menggeram.“Aku tidak bisa membuat kalian semua tak terlihat,”kata Nomor Enam. “Tapi, jika aku tak terlihat, akumasih ada di dekat kalian.”Nomor Enam memegang kenop pintu. Sarah menariknapas panjang, gemetar di sampingku, meremastanganku sekuat mungkin. Aku bisa melihat pisau ditangan kanannya bergetar.“Tetap di dekatku,” kataku.“Aku tak akan jauh-jauh.”Pintu mengayun terbuka. Nomor Enam melompatkeluar ke lorong. Henri mengikuti di belakangnya. Akumengikuti mereka. Bernie Kosar berlari di depan kamisemua. Dia berlari kencang dengan ganas. Henrimengarahkan senapan ke sisi lorong yang satu, laluke sisi yang lain. Lorong itu kosong. Bernie Kosarsudah tiba di persimpangan, dan lenyap daripandangan. Nomor Enam mengikutinya dan membuatdirinya tak terlihat. Kami berlari ke arah gedungolahraga. Henri di depan. Aku menyuruh Mark danSarah berlari di depanku. Kami tidak bisa melihat apapun. Kami hanya bisa mendengar suara langkah kakikami. Aku menyalakan sinar di tanganku untukmemandu jalan, dan itu kesalahan pertama yangkubuat.Pintu kelas di kananku berayun terbuka. Segalanyaterjadi begitu cepat. Sebelum aku sempat bereaksi,bahuku dihantam sesuatu yang berat. Sinarku padam.Aku langsung terlempar dan menabrak kaca lemaripajang. Kepalaku luka. Darah langsung mengalir dipelipisku. Sarah menjerit. Benda apa pun yang tadimenghantamku memukulku lagi, diikuti bunyigedebuk di igaku dan aku tersedak.“Nyalakan sinarmu!” teriak Henri. Aku melakukannya.Satu Mogadorian pengintai berdiri di depanku,memegang kayu sepanjang dua meter yang pastilahditemukannya di kelas seni kerajinan. Diamengangkat kayu itu untuk memukulku lagi. NamunHenri, yang berdiri enam meter dari kami, lebih dulumenembakkan senapan. Kepala si pengintai hancur,meledak berkeping-keping. Sisa tubuhnya berubahmenjadi abu sebelum jatuh ke lantai.Henri menurunkan senapannya. “Sialan,” katanya saatmelihat darah. Henri berjalan menghampiriku. Laludari sudut mataku, aku melihat pengintai lain.Pengintai itu berdiri di pintu yang tadi, mengayunkanpalu besar di atas kepalanya. Si Mogadorianmenyerbu ke depan. Aku melemparkan benda entahapa yang ada di dekatku dengan telekinesis. Benda

Page 139: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berkilat keemasan membelah udara dengan ganasdan menghantam si pengintai dengan sangat kuatsehingga tengkoraknya retak. Si pengintai jatuh kelantai dan diam tak bergerak. Henri, Mark, dan Sarahbergegas menghampiri. Si pengintai masih hidup.Henri mengambil pisau Sarah lalumenghunjamkannya ke dada si pengintai, yanglangsung berubah menjadi tumpukan abu. KemudianHenri mengembalikan pisau itu kepada Sarah. Sarahmemegang pisau itu di depannya, dengan ibu jari danjari telunjuk, ngeri. Mark membungkuk danmemungut benda yang tadi kulemparkan. Benda itusudah pecah menjadi tiga bagian.“Ini piala football-ku,” katanya sambil terkekeh sendiri.“Aku mendapatkannya bulan lalu.”Aku berdiri. Ternyata aku menabrak lemari piala.“Kau baik-baik saja?” tanya Henri sambil memandangiluka di kepalaku.“Yeah, aku baik-baik saja. Ayo jalan.”Kami bergegas menyusuri lorong dan memasukigedung olahraga, berlari melintasi lapangan, lalumelompat ke panggung. Aku menyalakan sinarku danmelihat karpet biru bergeser sendiri. Kemudian pintu dilantai panggung terbuka sendiri. Dan Nomor Enammembuat dirinya kembali terlihat.“Apa yang tadi terjadi di sana?” tanyanya.“Sedikit masalah,” kata Henri sambil menuruni tanggauntuk memastikan keadaan aman. Lalu Sarah danMark turun.“Di mana Bernie?” tanyaku.Nomor Enam menggelengkan kepala.“Kau duluan,” kataku. Nomor Enam turun,meninggalkanku sendirian di panggung. Aku bersiulsekeras yang kubisa, sadar bahwa dengan begitupara Mogadorian bisa mengetahui posisiku. Akumenunggu.“Ayo, John,” panggil Henri dari bawah.Aku merangkak ke lubang lalu menurunkan kaki ketangga. Bagian atas tubuhku masih di atas panggung.Aku menunggu.“Ayolah!” kataku kepada diri sendiri. “Di mana kau?”Saat aku tak punya pilihan lain selain menyerah,ketika aku beranjak turun, Bernie Kosar muncul diujung gedung olahraga dan berlari menghampirikudengan telinga menempel di samping kepalanya. Akutersenyum.“Ayo!” kali ini Henri berteriak.“Sebentar!” aku balas berteriak.Bernie Kosar melompat ke panggung lalu kepelukanku.“Ini!” teriakku sambil memberikan Bernie Kosar keNomor Enam. Aku melompat turun, menutup danmengunci pintu, lalu menyalakan sinarku seterangmungkin.Dinding dari lantai lubang itu terbuat dari semen danberbau jamur. Kami harus berjalan sambil menundukagar kepala kami tidak terantuk. Nomor Enammemimpin. Panjang terowongan itu sekitar tiga puluhmeter dan aku tidak tahu apa kegunaannya. Kamitiba di ujung. Ada tangga pendek yang mengarah kesepasang pintu logam di atas. Nomor Enammenunggu hingga semuanya tiba.“Pintu itu mengarah ke mana?” tanyaku.“Belakang tempat parkir guru,” kata Sarah. “Tak jauhdari lapangan football.”Nomor Enam menempelkan telinga ke celah kecil diantara kedua pintu yang tertutup itu untukmendengarkan suara di luar. Hanya angin. Wajahkami semua penuh keringat, debu, dan rasa takut.Nomor Enam memandang Henri dan mengangguk.Aku memadamkan sinarku.“Oke,” kata Nomor Enam. Lalu dia membuat dirinyatak terlihat.Dia membuka pintu beberapa senti agar bisamenjulurkan kepala ke luar dan memandang

Page 140: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berkeliling. Kami semua memandangnya sambilmenahan napas, menunggu, mendengarkan, gelisah.Nomor Enam melihat ke arah yang satu, lalu ke arahyang lain. Puas karena tidak ada yang melihat kami,dia pun mendorong pintu itu hingga terbuka. Kamikeluar satu per satu.Segalanya tampak gelap dan hening. Tidak ada angin.Bahkan pepohonan di hutan di sebelah kanan kamipun diam tak bergerak. Aku memandang berkeliling.Aku bisa melihat siluet ujung tumpukan rongsokanmobil di depan pintu sekolah. Tidak ada bulan. Tidakada bintang. Bahkan tidak ada langit. Kami sepertiberada di dalam gelembung kegelapan, di bawahsemacam kubah yang hanya berisi kegelapan. BernieKosar mulai menggeram. Awalnya pelan sehinggakupikir dia hanya tegang. Namun geramannyasemakin galak, semakin mengancam. Aku sadar diamerasakan sesuatu di luar sana. Kami semua menolehke arah Bernie Kosar menggeram. Namun kami tidakmelihat sesuatu apa pun bergerak. Aku maju kedepan Sarah. Aku berpikir untuk menyalakan sinarku,tapi aku tahu jika aku melakukan itu mereka akanlebih mudah menemukan kami. Tiba-tiba, Bernie Kosarberlari.Dia berlari menyerbu ke depan sekitar tiga puluhmeter, lalu melompat ke udara, dan menancapkangiginya dalam-dalam ke salah satu pengintai takterlihat, yang langsung tampak seolah mantra takterlihatnya rusak. Segera saja kami bisa melihatmereka semua. Mereka mengepung kami. Tak kurangdari dua puluh Mogadorian mulai mendekat.“Ini perangkap!” teriak Henri. Dia langsung menembakjatuh dua pengintai.“Kembali ke terowongan!” teriakku kepada Mark danSarah.Salah satu pengintai Mogadorian menyerbu ke arahku.Aku mengangkat pengintai itu ke udara lalumelemparkannya sekuat mungkin ke pohon ek yangberjarak sekitar dua puluh meter. Dia jatuh ke tanahdengan bergedebuk, langsung berdiri, danmelemparkan belati ke arahku. Aku menangkis belatiitu. Kemudian mengangkat si pengintai lagi danmelemparkannya lebih kuat lagi. Si pengintai berubahmenjadi abu di dasar pohon itu. Henri menembakkansenapan beberapa kali, suaranya bergaung. Duatangan menarikku dari belakang. Aku hampirmenangkisnya namun ternyata itu Sarah. NomorEnam tak terlihat di mana pun. Bernie Kosar sudahmenjatuhkan satu Mogadorian ke tanah danmenghunjamkan giginya ke leher si Mogadorianbegitu dalam. Matanya menyala-nyala.“Kembali ke sekolah!” teriakku.Sarah tidak melepaskan pegangannya. Bunyi gunturmemecah keheningan dan badai mulai terbentuk.Awan gelap berkumpul di atas kepala. Kilatan petirdan guntur membelah langit malam. Guntur berbunyibegitu keras sehingga Sarah terlompat setiap kaliguntur berbunyi. Nomor Enam muncul kembali. Diaberdiri sekitar sembilan meter dari kami, matanyamenatap langit, wajahnya penuh konsentrasi, keduatangannya diangkat. Dia yang membuat badai itu. Diamengendalikan cuaca. Halilintar mulai menyambar,menghantam mati para pengintai di tempat merekaberdiri, membuat ledakan-ledakan abu di halaman.Henri berdiri di samping, memasukkan peluru kedalam senapan. Si pengintai yang dicekik Bernie Kosarakhirnya menyerah pada kematian. Mogadorian ituberubah menjadi setumpuk abu yang menyelimutiwajah Bernie Kosar. Bernie bersin sekali,mengguncangkan abu dari badannya, lalu berlari danmengejar pengintai terdekat hingga mereka berduahilang di hutan yang jaraknya lima puluh meter darisitu. Aku khawatir ini terakhir kalinya aku melihatBernie Kosar.“Kau harus kembali ke sekolah,” kataku kepada

Page 141: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Sarah. “Kau harus pergi sekarang. Kau harusbersembunyi. Mark!” teriakku. Aku menengadah tapitidak melihat Mark. Aku menengok berkeliling. Akumelihat Mark berlari ke arah Henri, yang masihmengisi senapannya. Mulanya aku tidak mengertikenapa, lalu aku melihat apa yang terjadi: SatuMogadorian pengintai mengendap-endap menghampiriHenri tanpa dia sadari.“Henri,” teriakku untuk menarik perhatiannya. Akumengangkat tangan untuk menghentikan si pengintaiyang mengacungkan belati tinggi di udara, namunMark berhasil menerjangnya lebih dulu. Merekabergulat. Henri menutup senapan. Mark menendangbelati si pengintai. Henri menembak. Si pengintaimeledak. Henri mengatakan sesuatu kepada Mark.Aku berteriak kepada Mark lagi. Mark berlarimenghampiri, terengah-engah.“Kau harus membawa Sarah kembali ke sekolah.”“Aku bisa membantu,” kata Mark.“Ini bukan pertempuranmu. Kau harus sembunyi!Kembali ke sekolah dan sembunyi bersama Sarah!”“Oke,” katanya.“Kau harus tetap bersembunyi, apa pun yang terjadi!”Aku berteriak mengatasi gemuruh badai. “Merekatidak akan mengejar kalian. Mereka menginginkanku.Berjanjilah, Mark! Berjanjilah kau akan tetapbersembunyi bersama Sarah!”Mark mengangguk cepat. “Aku berjanji!”Sarah menangis. Tidak ada waktu untukmenenangkannya. Terdengar halilintar menyambardan letusan senapan. Sarah mencium bibirku,tangannya memegang wajahku dengan kuat. Akutahu Sarah bisa terus seperti itu selamanya. Markmenarik Sarah, menuntunnya pergi.“Aku mencintaimu,” kata Sarah. Sarah menatapkuseperti aku menatapnya sebelum meninggalkan kelastata boga. Dia seolah berpikir bahwa ini terakhirkalinya dia melihatku dan ingin mengingatnya seumurhidup.“Aku juga mencintaimu,” balasku saat mereka berduatiba di tangga terowongan. Begitu selesaimengucapkan kata-kata itu, Henri berteriak kesakitan.Aku berbalik. Salah satu pengintai telahmenghunjamkan belati ke perut Henri. Akumerasakan ngeri. Si Mogadorian mencabut belati itu.Mata pisaunya berkilauan dengan darah Henri. Diamengayunkan belati itu, ingin menikam Henri untukkedua kalinya. Aku mengulurkan tangan danmerenggut pisau itu pada detik terakhir sehinggahanya tinju si Mogadorian saja yang mengenai Henri.Henri mengerang, mengumpulkan tenaga, lalumenekankan laras senapan ke dagu si pengintai danmenembak. Si pengintai jatuh, tanpa kepala.Hujan mulai turun, deras dan dingin. Aku langsungbasah kuyup. Darah mengucur dari perut Henri. Diamengarahkan senapan ke kegelapan. Tapi semuapengintai sudah pindah ke bagian yang gelap, jauhdari kami, sehingga Henri tidak bisa membidik denganbaik. Mereka tidak berminat lagi untuk menyerangkarena tahu bahwa dua dari kami sudah mundur danyang ketiga terluka. Nomor Enam masihmengarahkan tangan ke langit. Badai membesar,angin mulai menderu. Dia tampak kesulitanmengontrol badai itu. Guntur dan badai musim dingindi bulan Januari. Secepat badai itu dimulai, secepat itupula badai itu berhenti. Guntur, kilat, dan hujanberhenti. Angin berhenti bertiup. Lalu dari kejauhanterdengar suara geraman rendah. Nomor Enammenurunkan tangannya. Kami semua berusahamendengarkan. Bahkan para Mogadorian punmenoleh. Suara geraman itu membesar, jelasmengarah ke tempat kami. Suara geraman ituterdengar seperti bunyi mesin. Para pengintai keluardari kegelapan dan mulai tertawa. Walaupun kamisudah membunuh setidaknya sepuluh dari mereka,

Page 142: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

jumlah mereka saat ini lebih banyak dibandingkantadi. Dari kejauhan, asap membubung di ataspepohonan seolah ada sebuah mesin uap yangdatang dari belokan. Para pengintai salingmengangguk, tersenyum jahat, dan membentuklingkaran mengelilingi kami, memaksa kami kembalike sekolah. Dan jelas hanya itu satu-satunya yangbisa kami lakukan. Nomor Enam menghampiri.“Apa itu?” tanyaku.Henri berjalan pincang, senapannya tergantung lemahdi sampingnya. Napasnya berat. Ada luka di pipi dibawah mata kanannya dan ada lingkaran darah disweater abu-abunya akibat belati tadi.“Itu yang lainnya, ya?” Henri bertanya kepada Enam.Nomor Enam memandang Henri. Dia panik,rambutnya basah dan menempel di sampingwajahnya.“Hewan buas,” katanya. “Dan para prajurit. Mereka disini.”Henri mengokang senapan dan menarik napas dalam.“Perang yang sesungguhnya dimulai,” katanya. “Akutidak tahu dengan kalian berdua. Tapi jika ini perang,maka terjadilah. Aku, kali ini…,” katanya, lalu suaranyamelirih. “Yah, celakalah jika aku mati tanpaperlawanan.”Nomor Enam mengangguk. “Para Lorien melawanhingga titik darah penghabisan. Begitu juga aku,”katanya.Asap itu masih membubung. Muatan hidup, pikirku. Itucara mereka mengangkut hewan buas, denganmenggunakan truk besar. Nomor Enam dan akumengikuti Henri kembali ke tangga. Aku berteriakmemanggil Bernie Kosar, tapi anjing itu tak tampak.“Kita tak bisa menunggunya,” kata Henri. “Tak adawaktu.”Aku memandang berkeliling sekali lagi, lalumembanting pintu hingga tertutup. Kami bergegasmenyusuri terowongan, menaiki panggung,menyeberangi gedung olahraga. Kami tidak melihatsatu pengintai pun. Kami juga tidak melihat Mark danSarah, sehingga aku merasa lega. Kuharap merekabersembunyi dengan baik. Kuharap Mark memegangjanjinya dan mereka tetap bersembunyi. Saat sampaidi ruang tata boga, aku menggeser lemari es danmengambil Peti Loric. Henri dan aku membukanya.Nomor Enam mengambil batu penyembuh danmenghunjamkannya ke perut Henri. Henri diam,matanya tertutup, menahan napas. Wajahnya merahkarena sakit, tapi dia tidak bersuara sedikit pun. Satumenit berlalu. Lalu, Nomor Enam mencabut batu itu.Luka Henri sembuh. Henri menghela napas, keningnyaberkeringat. Lalu giliranku. Nomor Enam menekankanbatu itu ke luka di kepalaku. Rasa sakitnya jauh lebihbesar daripada apa yang pernah kurasakansebelumnya. Aku mengerang dan merintih, setiap ototdi tubuhku tegang. Aku tidak bisa bernapas hinggasemuanya selesai. Saat selesai, aku membungkuk danterengah-engah selama satu menit.Di luar, bunyi mesin itu sudah berhenti. Trukpengangkut itu tidak terlihat. Saat Henri menutup Petidan menyimpannya di tempat yang sama sepertisebelumnya, aku memandang ke luar jendela,berharap melihat Bernie Kosar. Tapi dia tak terlihat.Sepasang lampu depan mobil lewat di sekolah.Seperti sebelumnya, aku tidak tahu apakah itu mobilatau truk. Lampu itu melambat saat lewat di gerbangsekolah, kemudian melaju kembali tanpa berbelok kedalam. Henri menurunkan kemejanya, mengambilsenapan. Saat kami berjalan ke pintu, sebuah suaramembuat kami bertiga terpaku.Terdengar raungan dari luar. Raungan itu keras, sepertiraungan hewan dan mengancam, tidak seperti apapun yang pernah kudengar. Kemudian terdengar suaralogam. Kunci gerbang dibuka, dilepaskan, dan gerbangpun dibuka. Suara sesuatu dibanting menyadarkan

Page 143: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kami kembali. Aku menarik napas dalam. Henrimenggelengkan kepala dan mendesah putus asa,seolah kalah dalam pertempuran.“Selalu ada harapan, Henri,” kataku. Henri menolehmemandangku. “Kita belum melihat perkembanganterbaru. Kita belum mendapatkan semua informasi.Jangan putus asa.”Henri mengangguk. Aku melihatnya sedikittersenyum. Henri memandang Nomor Enam,perkembangan terbaru yang kurasa tidak pernahterbayangkan baik oleh aku ataupun Henri. Siapa tahulebih banyak dari kami yang juga saling mencari? LaluHenri melanjutkan kata-kataku. Dia mengutip kata-kata yang sama seperti yang pernah dikatakannyakepadaku saat aku putus asa. Pada hari itu akubertanya bagaimana mungkin kami bisamemenangkan pertarungan melawan paraMogadorian, yang tampaknya menyukai peperangandan kematian padahal kami sendirian dan kalahjumlah, serta jauh dari rumah. “Jangan pernahberputus asa,” kata Henri. “Saat kau kehilanganharapan, segalanya pun musnah. Saat kau pikirsemua telah berakhir, ketika segala sesuatu tampakburuk dan sia-sia, harapan itu selalu ada.”“Tepat,” kataku.FRAUNGAN LAIN MEMBELAH MALAM, MENEMBUSdinding-dinding sekolah, membekukan darah. Tanahbergetar diinjak para hewan buas yang sekarangpastilah sudah dilepaskan. Aku menggelengkankepala. Dari kenangan tentang kilas balik perang diLorien, aku tahu pasti sebesar apa hewan-hewan itu.“Demi teman-temanmu dan kita,” kata Nomor Enam,“sebaiknya kita pergi dari sekolah selagi masih adawaktu. Mereka akan menghancurkan seluruh gedungini demi menangkap kita.”Kami saling mengangguk.“Harapan kita satu-satunya hanyalah masuk kehutan,” kata Henri. “Apa pun yang kita hadapi, kitamungkin bisa kabur jika kita tetap tak terlihat.”Nomor Enam mengangguk. “Pegang tanganku.”Tanpa perlu disuruh lagi, Henri dan aku memegangtangan Nomor Enam.“Sepelan mungkin,” kata Henri.Lorong itu gelap dan hening. Kami berjalan pelan-pelan, bergerak secepat mungkin dengan seheningmungkin. Raungan lagi. Saat raungan itu masihterdengar, terdengar raungan lain. Kami berhenti.Bukan hanya satu hewan buas, tapi dua. Kami terusberjalan dan masuk ke gedung olahraga. Tidak adatanda-tanda adanya pengintai. Saat tiba di tengahlapangan, Henri berhenti. Aku menoleh tapi tidak bisamelihat.“Kenapa kita berhenti?” bisikku.“Sst,” katanya. “Dengar.”Aku berusaha mendengarkan. Namun aku tidakmendengar apa pun selain dengungan darah ditelingaku.“Hewan buas itu berhenti bergerak,” kata Henri.“Lalu?”“Sst,” katanya. “Di luar sana ada yang lain.”Lalu aku mendengarnya. Suara salakan bernada tinggiyang tampaknya berasal dari hewan-hewanberukuran kecil. Suara itu teredam, walaupun jelassemakin keras.“Apa itu?” tanyaku.Sesuatu mulai membentur-bentur pintu di panggung,pintu yang kami harap bisa kami gunakan untukkabur.“Nyalakan sinarmu,” kata Henri.Aku melepaskan tangan Nomor Enam, menyalakantanganku, dan mengarahkannya ke panggung. Henrimembidikkan senapan. Pintu itu melonjak-lonjak.Tampaknya sesuatu berusaha mendobrak pintu tapitidak cukup kuat. Musang-musang, pikirku, hewan

Page 144: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kecil bertubuh gemuk yang ditakuti para penulis diAthens. Salah satu dari mereka menghantam pintubegitu keras sehingga pintu itu terlontar daripanggung dan jatuh berdebam di lantai. Padahalkupikir mereka kurang kuat. Kedua musang itumelompat ke depan. Begitu melihat kami, merekaberlari ke arah kami dengan begitu cepat sehinggaaku tidak bisa melihatnya. Henri berdiri memandangisambil membidikkan senapan, meringis senang. Keduahewan itu berlari ke arah yang berbeda, lalumelompat dari jarak enam meter, yang satu ke arahHenri, satu lagi ke arahku. Henri menembak satu kali.Musang itu meledak dan menutupi Henri dengandarah dan isi perutnya. Pada saat aku akan merobekmusang kedua menggunakan telekinesis, musang ituditangkap oleh tangan Nomor Enam yang tak terlihatdan dihantamkan ke lantai seperti menghunjamkanbola football. Hewan itu langsung mati.Henri mengokang senapan. “Yah, itu tak terlaluburuk,” katanya. Sebelum aku bisa menjawab, seluruhdinding di sepanjang panggung dihantam oleh tinjuseekor hewan buas. Hewan itu mundur dan meninjulagi, menghancurkan panggung sehingga kami bisamelihat langit malam. Dampak hantamannyamembuat aku dan Henri terpental ke belakang.“Lari!” teriak Henri sambil memuntahkan semua pelurudi senapan itu ke arah di hewan buas raksasa. Tidakada pengaruhnya. Hewan buas itu mencondongkantubuh ke depan dan meraung sangat keras sehinggaaku bisa merasakan bajuku berkibar. Sebuah tanganmeraih dan memegangku, membuatku tak terlihat.Hewan buas itu menyerbu ke depan, berlari lurus kearah Henri. Aku ngeri membayangkan apa yang akanterjadi.“Tidak!” jeritku. “Ke Henri, ke Henri!” Aku merontadalam cengkeraman Nomor Enam. Akhirnya akuberhasil memegang kemudian mendorongnya. Akumenjadi terlihat kembali. Nomor Enam tetap takterlihat. Hewan buas itu menyerbu ke arah Henri,yang hanya berdiri diam dan memandanginya. Takada peluru. Tak ada pilihan. “Ke Henri!” teriakku lagi.“Ke Henri, Enam!”“Ke hutan!” balas Nomor Enam.Aku hanya bisa memandang. Hewan itu berdirisetinggi sembilan, mungkin dua belas meter,menjulang di atas Henri. Hewan itu meraung,matanya penuh kemarahan. Tinjunya yang besar danberotot diayunkan tinggi ke udara, begitu tinggisehingga menerobos kasau dan atap gedungolahraga. Kemudian tinju itu turun, dengan begitucepat sehingga tampak kabur bagaikan baling-balingkipas angin yang berputar. Aku menjerit ngeri, tahubahwa Henri akan dihancurkan. Aku tidak bisaberpaling. Henri tampak begitu kecil. Dia berdiri disana dengan senapan tergantung di sampingnya. Saattinju hewan buas itu hampir mengenainya, Henrihilang. Tinju itu menghantam lantai gedung olahraga,menghancurkan kayu hingga berkeping-keping,membuatku terlontar ke tribun yang jaraknya enammeter. Hewan buas itu berbalik ke arahku,menghalangi pandanganku ke tempat Henri tadiberdiri.“Henri!” teriakku. Hewan buas itu meraung kerasmenenggelamkan suara apa pun, jika memang Henrimenjawab. Hewan itu melangkah ke arahku. Kehutan, kata Nomor Enam. Pergi ke hutan. Aku berdiridan berlari secepat mungkin ke bagian belakanggedung olahraga, yang tadi dihancurkan hewan itu.Aku menoleh untuk melihat apakah hewan itumengikutiku. Tidak. Mungkin Nomor Enam melakukansesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Yangkutahu hanya sekarang ini aku sendirian.Aku melompati tumpukan puing-puing dan berlarimenjauhi sekolah, berlari secepat mungkin ke hutan.Kegelapan merubungiku, mengikuti bagaikan hantu

Page 145: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

jahat. Aku tahu aku bisa berlari lebih cepat daripadamereka. Hewan buas itu meraung dan terdengarsuara dinding lain hancur. Aku mencapai pepohonan.Kerumunan kegelapan seolah hilang. Aku berhenti danmendengarkan. Pepohonan bergoyang ditiup angin. Disini ada angin! Aku berhasil kabur dari kubah apa punyang dibuat para Mogadorian. Sesuatu yang hangatberkumpul di pinggang celanaku. Luka di punggungakibat peristiwa di rumah Mark James terbuka lagi.Siluet sekolah tampak suram dari tempatku berdiri.Seluruh gedung olahraga sudah hancur. Yang tersisahanya tumpukan batu. Bayangan hewan buas itumenjulang di atas puing-puing kantin. Kenapa hewanitu tidak mengejarku? Dan di mana hewan buaskedua yang suaranya kami dengar tadi? Hewan itumenghantamkan tinjunya lagi, dan satu ruangan lagihancur. Mark dan Sarah ada di suatu tempat di sana.Aku menyuruh mereka kembali dan sekarang akusadar betapa bodohnya diriku. Aku tidak mengirabahwa hewan buas itu akan tetap menghancurkansekolah walaupun aku tidak ada di sana. Aku harusmelakukan sesuatu untuk mengusirnya. Kuhirup napasdalam-dalam, mengumpulkan kekuatan. Begitumelangkah, sesuatu yang keras memukul belakangkepalaku. Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebihdahulu. Kusentuh kepalaku yang barusan dipukul.Tanganku berlumuran darah, menetes dan ujungjariku. Aku berbalik. Awalnya aku tidak melihat apa-apa. Namun kemudian sesuatu melangkah keluar darikegelapan dan menyeringai.Prajurit. Jadi seperti ini tampang prajurit Mogadorian.Lebih tinggi daripada pengintai―dua meter, mungkinmalah dua setengah meter―dengan otot-otot yangmenonjol dari balik jubah hitam. Urat-urat bertonjolandi sepanjang masing-masing lengannya. Sepatu bothitam. Dia tidak mengenakan penutup kepala. Rambutpanjang menjuntai ke bahu. Kulit pucat dan licinseperti pengintai. Seringai percaya diri, bertekad bulat.Salah satu tangannya memegang pedang. Panjangdan berkilau, terbuat dari suatu logarn yang belumpernah kulihat baik di Bumi ataupun di Lorien. Pedangitu juga tampak berdenyut, seakan-akan hidup.Aku mulai merangkak menjauh. Darah menetes keleherku. Hewan buas di sekolah meraung lagi. Akumeraih dahan pohon yang ada di dekatku danmenarik diriku berdiri. Prajurit itu berjarak tiga meter.Aku mengepalkan kedua tanganku. Prajurit itumenggerak-gerakkan pedang dengan acuh tak acuhke arahku. Lalu suatu benda keluar dari ujung pedang,tampak seperti belati kecil. Aku memandang belati itumelengkung, meninggalkan jejak di belakangnyaseperti asap pesawat. Sinarnya memantraikusehingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan.Kilatan cahaya terang meniadakan segalanya. Duniamenjadi hampa dan tanpa suara. Tidak ada dinding.Tidak ada suara. Tidak ada lantai atau langit-langit.Perlahan-lahan berbagai bentuk mulai terlihat kembali.Pepohonan berdiri bagai patung-patung kuno yangberbisik bahwa dulu dunia pernah berada di suatualam lain yang hanya dihuni kegelapan.Aku mengulurkan tangan untuk meraba pohonterdekat, satu-satunya warna abu-abu di dunia yangputih. Tanganku menembus pohon itu. Untuk sesaatpohon itu beriak seolah terbuat dari cairan. Akumenarik napas dalam. Saat mengembuskan napas,rasa sakit kembali terasa di luka di kepalaku sertaluka di lengan dan tubuhku akibat kebakaran dirumah Mark James. Suara air menetes datang darisuatu tempat. Perlahan-lahan, aku bisa melihat bentukprajurit itu, yang berjarak enam atau sembilan meter.Seperti raksasa. Kami saling tatap. Pedangnya bersinarlebih terang di dunia baru ini. Matanya menyipit.Tanganku kembali mengepal. Aku sudah pernahmengangkat benda yang jauh lebih berat daripada ini.Aku juga sudah pernah membelah pohon dan

Page 146: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

menghancurkan benda. Pasti aku bisa mengimbangikekuatannya. Aku mendorong semua yang kurasakanke inti diriku, semua yang merupakan diriku saat inidan semua yang merupakan diriku nanti, hingga akumerasa seolah akan meledak.“Yahhhh!” teriakku, dan aku memukul tanganku kedepan. Kekuatan meninggalkan tubuhku, menyerbuke arah si prajurit. Pada saat yang sama, si prajuritmengayunkan pedang di depan tubuhnya seolahmemukul lalat. Kekuatanku ditangkis ke pepohonan,membuat pohon-pohon menari-nari sebentar sepertirumput tertiup angin, lalu diam. Prajurit itumenertawakanku, tawanya serak dan dalam,mengejek. Mata merah si prajurit mulai berbinar,berputar seakan matanya penuh dengan lava. Prajurititu mengangkat tangannya yang tidak memegangpedang. Aku menegangkan tubuh, bersiapmenghadapi sesuatu yang tak kuduga. Lalu tanpamengerti apa yang terjadi, leherku ada dicengkeramannya. Jarak yang memisahkan kamiberdua hilang dalam sekejap mata. Prajurit itumengangkatku dengan satu tangan. Dia bernapasdengan mulut, aku bisa mencium bau napasnya yangbusuk. Aku meronta, berusaha melepaskan jari-jarinya dari leherku, tapi jari-jari itu keras bagai besi.Lalu dia melemparku.Punggungku menghantam tanah dua belas meterjauhnya. Aku berdiri. Prajurit itu menyerbu,mengayunkan pedang ke kepalaku. Aku menundukdan melawan dengan mendorongnya sekuatmungkin. Prajurit itu terhuyung mundur tapi tetapberdiri. Aku mencoba mengangkatnya menggunakantelekinesis, namun tak terjadi apa pun. Di dunia lainini, dunia dalam cengkeraman kekuatan kegelapanMogadorian, kekuatanku berkurang, hampir takberguna. Tempat ini menguntungkan si Mogadorian.Prajurit itu tersenyum melihat kegagalanku danmengangkat pedang dengan kedua tangan. Pedangitu menjadi hidup, kilauan berwarna perak berubahmenjadi biru es. Api biru menjilat-jilat bilah pedangitu. Pedang yang berkilau karena tenaga, seperti yangdikatakan Nomor Enam. Prajurit itu mengayunkanpedang ke arahku, lalu belati lain terbang dariujungnya, lurus ke arahku. Aku bisa melakukan ini,pikirku. Aku menghabiskan berjam-jam di halamanbelakang dengan Henri untuk menghadapi ini. Kamiselalu menggunakan pisau, kurang lebih sama denganbelati. Apa Henri tahu para Mogadorian akanmenggunakan belati? Pasti dia tahu, walaupun akutidak pernah melihat belati di kilasan citra penyerbuanMogadorian di Lorien. Tapi aku juga tidak pemahmelihat makhluk ini. Makhluk yang kulihat di Lorienrasanya tidak seseram ini. Pada hari penyerbuanLorien, mereka tampak sakit dan kelaparan. ApakahBumi memulihkan kesehatan mereka? Apakahsumber daya Bumi membuat mereka menjadi lebihkuat dan lebih sehat?Belati itu benar-benar memekik saat menyerang kearahku, membesar dan diselubungi api. Saat aku akanmenangkisnya, belati itu meledak menjadi bola api,dan lidah apinya meloncat ke arahku. Aku terjebak didalamnya. Aku diselubungi bola api. Orang lain pastiterbakar, tapi aku tidak. Lalu entah kenapakekuatanku kembali. Aku bisa bernapas. Tanpa siprajurit ketahui, bola api itu membuatku lebih kuat.Sekarang giliranku tersenyum atas kegagalannya.“Hanya itu yang kau bisa?” teriakku.Wajah si prajurit berubah marah. Dengan sikapmenantang si prajurit meraih ke belakang bahunya.Lalu muncullah sebuah senjata seperti meriam yangmulai menyatu dengan tubuhnya, membelit lengan siprajurit. Lengan dan senjata itu menjadi satu. Akumengeluarkan pisau dari saku belakangku, pisau yangkuambil dari rumah sebelum kembali ke sekolah.Kecil, tidak berarti, tapi lebih baik daripada tidak sama

Page 147: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sekali. Aku menghunus pisau dan berlari menyerbu.Bola api itu ikut bersamaku. Si prajurit mengambilancang-ancang dan menghantamkan pedang sekuattenaga. Aku menangkisnya dengan pisau saku itu,tapi berat pedang itu menyebabkan pisauku terbelahdua. Aku menjatuhkan sisa pisauku danmengayunkan tinju sekuat mungkin. Tinjukumenghantam perut si prajurit. Dia terhuyung. Namundia langsung tegak kembali dan mengayunkanpedang itu lagi. Aku merunduk di bawah bilah pedangpada detik terakhir. Pedang itu berdesing di atasrambutku. Meriam menyusul. Tidak ada waktu untukbereaksi. Meriam itu menghantam bahuku. Akumengerang dan terlempar ke belakang. Si prajuritkembali tegak dan mengacungkan meriam ke udara.Mulanya aku bingung. Warna abu-abu dari pohonditarik dan diisap ke dalam senjata itu. Lalu akumengerti. Senjata itu. Senjata itu harus diisi sebelumbisa ditembakkan. Senjata itu perlu mencuri sari patiBumi agar bisa digunakan. Warna abu-abu dari pohonitu bukanlah bayangan. Warna abu-abu itu adalahnyawa pohon itu, inti Sarinya. Sekarang kehidupanpohon itu dicuri, diisap oleh para Mogadorian. Ras alienyang menghabisi sumber daya planet mereka demikemajuan, sekarang melakukan hal yang sama di sini.Inilah alasan mengapa mereka menyerang Lorien.Alasan yang sama untuk menyerang Bumi. Satu demisatu pohon-pohon roboh dan berubah menjaditumpukan abu. Senjata itu bersinar semakin terang,begitu terang sehingga mata terasa sakit saatmemandangnya. Tidak ada waktu untuk diam.Aku menyerbu. Si prajurit tetap mengarahkan senjataitu ke langit dan mengayunkan pedang. Akumerunduk dan menubruk si prajurit. Tubuh prajurit itumenegang dan dia mengerang kesakitan. Api disekelilingku membakarnya di tempat dia berdiri. Tapipertahananku jadi terbuka. Prajurit itu mengayunkanpedang dengan lemah, tidak cukup kuat untukmelukaiku, tapi aku tidak bisa mengelak. Pedangmenghantamku. Tubuhku terlempar lima belas meterke belakang. Rasanya seolah disambar kilat. Akuberbaring di sana. Tubuhku gemetar seolah baruterkena setrum. Aku mengangkat kepala. Kamidikelilingi tiga puluh tumpukan debu pohon yanggugur. Berapa kali dia bisa menembak dengan itu?Angin bertiup dan debu mulai menyebar di antarakami. Bulan kembali terlihat. Dunia lain ciptaan siMogadorian mulai runtuh. Prajurit itu tahu. Senjatanyasiap. Aku berusaha berdiri. Tergeletak beberapa meterdi dekatku, masih bersinar, terdapat belati yang tadidilontarkan ke arahku. Aku memungutnya.Prajurit itu menurunkan meriam dan membidik.Warna putih yang mengelilingi kami mulai memudar,warna-warna muncul kembali. Lalu meriam ituditembakkan. Tampak kilatan cahaya terang berisiwujud mengerikan dari orang-orang yang pernahkukenal―Henri, Sam, Bernie Kosar, Sarah―merekasemua mati di dunia lain ini. Cahaya itu begitu terangsehingga aku bisa melihat mereka semua, mencobamembawaku bersama mereka, menyerbu ke depandalam bentuk bola energi yang semakin lamasemakin besar. Aku mencoba menangkisnya, namunbola energi itu terlalu besar. Warna putih terang bolaenergi menghantam bola api yang mengelilingiku.Saat keduanya bersentuhan, terjadi ledakan yangmenyebabkanku terlempar ke belakang. Akumendarat dengan bergedebuk. Aku berusahamemahami kenapa aku tidak terluka. Bola api sudahpadam. Entah bagaimana, bola api itu menyerap bolaenergi, menyelamatkanku dan kematian yang takterhindarkan. Pasti begitulah cara meriam itu bekerja,kematian yang satu untuk kematian yang lain.Kekuatan pengendalian pikiran, memanipulasi rasatakut, yang dimunculkan dengan menghancurkanelemen-elemen di dunia. Para pengintai telah belajar

Page 148: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melakukannya dengan pikiran mereka, walaupunefeknya lemah. Para prajurit menggunakan senjatayang menghasilkan efek yang lebih besar.Aku berdiri, masih memegang belati yang bersinar. Siprajurit menarik semacam tuas di samping meriam,tampaknya untuk mengisi meriam itu. Aku berlari kearahnya. Begitu cukup dekat, aku membidikjantungnya dan melemparkan belati sekuat mungkin.Meriam itu meletus untuk kedua kalinya. Warnaoranye menyerbu kencang ke arahku, kematianmenghampiriku. Belati dan rudal itu saling melintas diudara, tanpa bersentuhan. Saat kupikir tembakankedua itu mengenaiku, mengantarkan kematian,terjadi sesuatu yang tak terduga.Belatiku menancap duluan.F1Dunia ciptaan prajurit Mogadorian itu lenyap. Dunia itumemudar. Dingin dan gelap kembali seolah takpernah hilang. Peralihan yang memusingkan. Akumelangkah mundur dan jatuh. Mataku menyesuaikandiri dengan kurangnya cahaya. Aku menatap sosokprajurit yang gelap dan menjulang di atasku. Ledakanmeriam itu tidak ikut bersama kami. Belati bersinarlahyang ikut. Belati itu menancap dalam di jantungnya,gagangnya berdenyut-denyut berwarna oranye dibawah sinar bulan. Prajurit itu terhuyung-huyung.Kemudian, belati itu masuk lebih dalam danmenghilang. Si prajurit mengerang. Darah hitammenyembur dari lukanya. Mata si prajurit menjadikosong, lalu berputar ke dalam kepalanya. Dia jatuhke tanah, berbaring tak bergerak, lalu meledakmenjadi awan abu yang menyelimuti sepatuku. Satuprajurit. Aku sudah membunuh satu prajurit. Mungkinbukan yang terakhir.Berada di dunia lain tadi membuatku lemah. Akumeletakkan tangan di pohon terdekat untukmenenangkan diri dan menarik napas, namun pohonitu tidak lagi ada di sana. Aku memandang berkeliling.Semua pohon yang ada di sekitar kami sudahberubah menjadi tumpukan abu seperti yang terjadidi dunia lain, persis seperti para Mogadorian saatmereka mati.Aku mendengar raungan hewan buas. Kuangkatkepalaku melihat sisa-sisa bangunan sekolah yangmasih berdiri. Tapi selain gedung sekolah, di tempatitu ada sesuatu yang lain, jaraknya lima meter dariku,berdiri tegak dengan pedang di tangan yang satu danmeriam di tangan yang lain. Meriam itu dibidikkan kejantungku. Meriam itu sudah diisi, bersinar penuhkekuatan. Prajurit lain. Kurasa aku tidak punyakekuatan untuk melawan yang satu ini.Tidak ada yang bisa kulempar. Jarak di antara kamiterlalu besar sehingga aku tidak mungkin berlarimenyerbunya sebelum meriam itu ditembakkan. Lalulengan si prajurit mengejang dan suara tembakanbergema di udara. Secara naluriah tubuhku tersentak,berpikir bahwa meriam itu akan membelahku jadidua. Tapi aku baik-baik saja, tidak terluka. Akumemandang bingung. Di sana, di dahi prajurit itu, adasebuah lubang sebesar uang logam. Darahnya yangmenjijikkan menyembur dan lubang itu. Prajurit ituroboh dan hancur.“Itu untuk ayahku,” terdengar suara di belakangku.Aku berbalik. Sam, memegang pistol perak di tangankanannya. Aku tersenyum kepadanya. Diamenurunkan senjatanya. “Mereka lewat tengah kota,”katanya. “Aku tahu itu mereka begitu melihattruknya.”Aku berusaha menarik napas, memandang kagum kearah Sam. Sesaat sebelumnya, dalam bola energi siprajurit pertama, aku melihat Sam dalam wujudmayat membusuk yang bangkit dari kegelapanneraka untuk membawaku. Dan sekarang Sammenyelamatkanku.“Kau baik-baik saja?” tanyanya.

Page 149: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Aku mengangguk. “Kau datang dari mana?”“Aku membuntuti dengan truk ayahku setelahmereka melewati rumahku. Aku masuk sekitar limabelas menit yang lalu. Namun kemudian akudikerumuni para Mogadorian yang sudah ada di sini.Jadi aku pergi dan parkir di tanah lapang sekitar satukilometer dari sini, lalu berjalan menembus hutan.”Lampu mobil kedua yang tadi kami lihat dari jendeladi sekolah ternyata berasal dari truk Sam. Akumembuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapiguntur mengguncang langit. Badai mulai terbentuk.Aku merasa lega karena itu berarti Nomor Enammasih hidup. Kilat menyambar membelah langit.Awan mulai berdatangan dari segala penjuru,berkumpul membentuk satu awan besar. Harimenjadi semakin gelap. Lalu turunlah hujan yangbegitu lebat sehingga aku harus memicingkan mataagar bisa melihat Sam yang berada 1,5 meter dariku.Sekolah tampak seperti terselubungi badai. Lalusebuah kilat besar menyambar. Sesaat dunia tampakterang. Lalu aku melihat hewan buas Mogadoriandisambar kilat. Raungan kesakitan terdengar.“Aku harus kembali ke sekolah!” teriakku. “Mark danSarah ada di suatu tempat di dalam sana.”“Kalau kau pergi, aku juga pergi,” jawab Sam sambilberteriak mengatasi gemuruh badai.Kami berjalan tidak lebih dari lima langkah sebelumakhirnya angin bertiup menderu, mendorong kami kebelakang. Hujan lebat menyengat wajah kami. Kamibasah kuyup, menggigil, dan kedinginan. Tapi jika akumenggigil, itu artinya aku hidup. Sam berlutut, lalutiarap agar tidak diterbangkan angin ke belakang. Akumelakukan yang sama. Dengan mata terpicing akumelihat awan―berat, gelap, mengerikan―berputardalam lingkaran kecil. Di bagian tengah awanitu―yang kulihat dengan susah payah―sebuah wajahmulai terbentuk.Wajah itu tua, berkeriput, berjanggut, dan tenangseolah sedang tidur. Wajah yang tampak lebih tuadaripada Bumi. Awan semakin rendah, perlahan-lahanturun mendekati tanah dan mengisap segalanya.Dunia menjadi gelap, begitu gelap dan tak bisaditembus cahaya sehingga sulit membayangkanbahwa di suatu tempat di sana rnasih ada matahari.Raungan lagi. Raungan kemarahan dan malapetaka.Aku mencoba berdiri tapi langsung dihantam angin.Anginnya terlalu besar. Wajah itu. Wajah itu mulaihidup. Bangun. Matanya membuka. Wajah itumenyeringai. Apa itu awan buatan Nomor Enam?Wajah itu tampak bagaikan perwujudan kemurkaan,perwujudan balas dendam. Turun dengan cepat.Segala sesuatu seolah di ujung tanduk. Lalu mulutawan itu membuka, lapar, menarik bibirnya sehinggagiginya tampak, dan matanya dipicingkan denganpenuh kebencian. Kemurkaan luar biasa.Lalu wajah itu menyentuh tanah. Ledakan sonikmenggetarkan tanah. Ledakan itu mengenai sekolah.Dunia tampak terang dengan cahaya merah, oranye,dan biru. Aku terlempar ke belakang. Pepohonanpatah jadi dua. Tanah bergetar. Aku mendarat denganbergedebuk. Dahan-dahan dan lumpur menimpaku.Telingaku berdenging begitu keras. Ledakan itu begitukuat sehingga pastilah terdengar hingga delapanpuluh kilometer. Kemudian hujan berhenti. Segalanyahening.Aku berbaring di lumpur, mendengarkan detakjantungku. Awan menyingkir, memperlihatkan bulan.Tidak ada embusan angin sedikit pun. Akumemandang berkeliling tapi tidak melihat Sam. Akuberteriak memanggilnya tapi tak ada jawaban. Akuberusaha mendengar sesuatu, apa pun itu―raunganlain atau senapan Henri. Namun, tidak terdengar apapun.Aku bangkit dari tanah, membersihkan lumpur danranting-ranting sebisa mungkin dan keluar dari hutan.

Page 150: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Bintang-bintang bermunculan kembali, jutaan bintangberkelap-kelip tinggi di langit malam. Apakah sudahberakhir? Apakah kami menang? Atau ini hanyalahketenangan sesaat? Sekolah, pikirku. Aku haruskembali ke sekolah. Aku melangkah ke depan, dansaat itu aku mendengarnya.Raungan lain, datang dari hutan di belakangku.Aku mendengar suara tembakan membelah malam,bergaung begitu rupa sehingga aku tidak bisamenduga dari mana asalnya. Aku berharap dengansegenap hatiku bahwa suara itu berasal dari senapanHenri, bahwa dia masih hidup, masih melawan.Tanah mulai bergetar. Hewan buas berlari, ke arahku,tidak salah lagi. Pohon-pohon hancur dan direnggutdari akarnya di belakangku. Hewan-hewan itutampaknya tidak memelankan larinya. Apakah hewanini lebih besar dari yang satu itu? Aku tidak ingin tahu.Aku berlari ke sekolah. Namun kemudian aku sadarbahwa itu tempat terburuk yang bisa kutuju. Sarahdan Mark rnasih di dalam, rnasih bersembunyi. Atausetidaknya kuharap begitu.Segalanya kembali seperti sebelum badai. Kegelapanmengikuti, menghampiri. Para pengintai. Para prajurit.Aku berbelok ke kanan dan berlari di sepanjang jalandengan pohon di pinggirnya yang mengarah kelapangan football. Hewan buas itu membuntutijejakku. Apa aku bisa melarikan diri darinya? Jika bisamencapai hutan di seberang lapangan ini, mungkinaku bisa. Aku kenal hutan itu. Hutan itu mengarah kerumah kami. Aku memiliki keuntungan di dalam hutanitu karena aku mengenalnya. Aku memandangberkeliling dan melihat sosok para Mogadorian dihalaman sekolah. Jumlah rnereka terlalu banyak. Kamikalah jumlah, jauh. Apa kami pernah benar-benaryakin bisa menang?Sebuah belati terbang melewatiku. Kilatan warnamerah meleset hanya beberapa senti dari wajahku.Belati itu menancap di batang pohon di sampingkudan pohon itu terbakar. Raungan lagi. Hewan itumenyusul. Di antara kami, siapa yang lebih kuat? Akumasuk ke stadion, berlari melintasi tengah lapangan.Pisau lain berdesing di sampingku, kali ini biru. Hutansudah dekat. Saat akhirnya berlari kencang ke dalamhutan, aku tersenyum. Aku memancing hewan itumenjauhi yang lain. Jika yang lain aman, tugaskuselesai. Saat rasa kemenangan mekar di dadaku,belati ketiga menancap.Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebih dahulu.Aku bisa merasakan belati menancap di antara tulangbelikatku. Rasanya begitu sakit sehingga aku lumpuh.Kucoba meraih belati itu untuk mencabutnya, namunletaknya terlalu tinggi. Belati itu terasa seolahbergerak, masuk lebih dalam. Rasa sakitnyamenyebar seolah aku diracuni. Perutku, sakit sekali.Aku tidak bisa mencabut belati itu dengan telekinesis.Entah kenapa kekuatanku seakan hilang. Aku mulaimerangkak maju. Salah satu prajurit―atau mungkinitu pengintai, aku tidak tahu―menginjak punggungku,membungkuk, dan mencabut belati. Aku mengerang.Belati itu hilang, tapi rasa sakitnya tetap ada. SiMogadorian mengangkat kakinya dan punggungku.Aku masih bisa merasakan keberadaannya danberusaha telentang untuk menghadapinya.Prajurit lain, berdiri menjulang dan tersenyum penuhrasa benci. Wajah yang sama seperti prajuritsebelumnya. Pedang yang serupa. Belati yang tadimenancap di punggungku sekarang ada dalamgenggamannya. Belati itulah yang tadi kurasakan.Belati itu berputar saat menancap dalam dagingku.Aku mengangkat tangan ke depan ke arah si prajurituntuk memindahkannya, tapi aku tahu itu sia-sia. Akutidak bisa berkonsentrasi, segalanya tampak kabur. Siprajurit mengacungkan pedang ke udara. Seakanmengecap kematian, pedang itu mulai bercahayadengan latar belakang kegelapan malam. Aku akan

Page 151: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mati, pikirku. Tak ada yang bisa kulakukan. Akumemandang mata si prajurit. Sepuluh tahun melarikandiri. Betapa mudahnya ini berakhir. Betapa sepinya.Tapi di belakang si prajurit ada sesuatu yang lain.Sesuatu yang lebih ganas daripada sejuta prajuritdengan sejuta pedang. Panjang setiap giginya samadengan tinggi si prajurit. Gigi-geligi putih berkilaudalam mulut yang terlalu kecil untuk menampungsemua gigi itu. Hewan besar dengan mata jahatnyamenjulang di atas kami.Napasku tercekat menyakitkan di tenggorokan.Mataku melotot karena ngeri. Hewan itu akanmenghabisi kami berdua, pikirku. Si prajurit tidaksadar. Prajurit itu menyeringai ke arahku. Tubuhnyategang saat mulai mengayunkan pedang itu kebawah untuk membelahku menjadi dua. Tapigerakannya terlalu lambat. Hewan buas itu lebih dulumenyerangnya. Rahang si hewan buas mengatupbagai perangkap beruang. Hewan buas itu tidakberhenti hingga seluruh gigi-geliginya mengatup.Tubuh si prajurit terbelah dua tepat di bawahpinggulnya, hanya menyisakan sepasang kaki yangmasih berdiri tegak. Hewan buas itu mengunyah duakali dan menelan. Kaki si prajurit jatuh bergedebuk ketanah, yang satu jatuh ke kanan, yang lainnya jatuhke kiri, dan langsung berubah jadi abu.Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk meraihdan merenggut belati yang jatuh di kakiku. Akumenyelipkan belati itu ke pinggang celana jinsku danmulai merangkak menjauh. Aku merasakan hewanbuas itu berdiri menjulang di atasku. Aku bisamerasakan napasnya di tengkukku. Bau kematian dandaging busuk. Aku tiba di tempat terbuka kecil dalamhutan. Menunggu kemurkaan hewan buas. Menantisaat gigi dan cakarnya mencabik-cabik tubuhku. Akumenarik diriku ke depan hingga tidak bisa bergeraklagi. Kusandarkan punggungku ke pohon ek.Hewan buas itu berdiri di tengah-tengah lapangan,sembilan meter dariku. Untuk pertama kalinya, akumenatap hewan buas itu dengan saksama. Sosokgelap, tampak kabur di malam yang dingin dan gelap.Lebih tinggi dan lebih besar daripada hewan buasyang tadi ada di sekolah. Tingginya dua belas meter,berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Kulittebal dan berwarna abu-abu membalut otot yangmenonjol. Hewan itu tak berleher. Kepalanya condongke depan sehingga rahang bawahnya lebih majudaripada rahang atasnya. Sepasang taringnyamengarah ke langit. Sepasang taring lain mengarahke tanah, meneteskan darah dan liur. Lengan yangpanjang dan besar tergantung 30 atau 60 senti di atastanah saat hewan itu berdiri tegak, membuatnyaterkesan bungkuk. Matanya berwarna kuning.Lingkaran-lingkaran di samping kepalanya berdenyutsesuai denyut jantungnya, satu-satunya tanda bahwahewan itu memiliki jantung.Hewan itu mencondongkan tubuh ke depan sehinggatangan kirinya menyentuh tanah. Sebuah tangandengan jari-jari gemuk pendek dan cakar elang,berfungsi untuk mencabik apa pun yang disentuhnya.Hewan itu mengendusku, lalu meraung. Raunganyang memekakkan telinga dan bisa membuatkuterdorong ke belakang jika saja tidak ada pohon dibelakangku. Mulutnya membuka, memperlihatkansekitar lima puluh lebih gigi-geligi, yang masing-masingnya sangat tajam. Tangannya yang satu lagidiayunkan dan menyebabkan semua pohon, sekitarsepuluh atau lima belas pohon, terbelah.Tidak bisa melarikan diri lagi. Tidak bisa bertempurlagi. Darah dari luka akibat belati mengalir menurunipunggungku. Tangan dan kakiku gemetar. Belati itumasih terselip di pinggang celana jinsku, tapi buat apameraihnya? Bagaimana mungkin sebuah belatisepanjang sepuluh senti bisa melawan seekor hewanbuas setinggi dua belas meter? Belati itu hanya seperti

Page 152: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

serpihan kayu bagi hewan itu. Belati itu hanya akanmembuat hewan itu semakin marah. Harapanku satu-satunya hanyalah mati kehabisan darah sebelumdibunuh dan dimakan.Aku menutup mata menyambut kematian. Cahayakupadam. Aku tidak mau melihat apa yang akan terjadi.Aku mendengar gerakan di belakangku danmembuka mata. Pastilah salah satu Mogadorianmendekat agar bisa melihat lebih baik, pikirku. Namunkemudian aku tahu dugaanku salah. Aku merasakenal dengan cara berjalannya yang melompat-lompat. Aku merasa kenal dengan suara napasnya.Lalu sesuatu itu muncul.Bernie Kosar.Aku tersenyum. Namun senyumku langsung pudar.Jika aku akan mati, tidak ada gunanya jika BernieKosar juga mati. Jangan, Bernie Kosar. Jangan ke sini.Kau harus pergi. Lari secepat mungkin. Pergi sejauhmungkin dari sini. Anggap saja kau baru selesai laripagi denganku ke sekolah. Ini saatnya pulang kerumah.Bernie Kosar memandangku sambil berjalan. Aku disini, Bernie Kosar seakan berkata seperti itu. Aku disini dan aku akan mendampingimu.“Tidak,” kataku keras-keras.Bernie Kosar berhenti cukup lama untuk menjilattanganku, menenangkan. Dia memandangku denganmatanya yang besar dan cokelat. Pergi, John, akumendengar suara di benakku. Jika perlu,merangkaklah. Tapi kau harus pergi sekarang juga.Kehilangan darah membuatku berkhayal. Bernieseolah berbicara denganku. Apakah Bernie Kosarbenar-benar ada di sini, atau aku hanya berkhayal?Bernie Kosar berdiri di depanku seakan inginmelindungiku. Dia mulai menggeram, awalnya pelan,tapi semakin lama geramannya semakin besar dansemakin ganas seperti raungan si hewan buas itu.Hewan buas itu menatap Bernie Kosar. Menundukmenatap Bernie Kosar. Bulu-bulu di tengah punggungBernie Kosar berdiri. Telinganya yang cokelatmenempel di kepalanya. Kesetiaannya, keberaniannyahampir membuatku menangis. Tubuhnya ratusan kalilebih kecil daripada si hewan buas itu, namun diaberdiri dengan gagah, bersumpah untuk melawan.Cukup sapuan cepat si hewan buas, dan segalanyaakan berakhir.Aku mengulurkan tangan ke arah Bernie Kosar.Seandainya aku bisa berdiri dan meraih lalumembawanya pergi. Geraman Bernie Kosar begituganas sehingga seluruh tubuhnya bergetar.Lalu sesuatu mulai terjadi.Bernie Kosar mulai membesar.GSETELAH BEGITU LAMA, BARU SEKARANG AKUmengerti. Ketika kami lari pagi, saat aku berlari terlalucepat sehingga Bernie Kosar tak bisa mengimbangi.Kenapa dia menghilang ke dalam hutan dan beberapadetik kemudian muncul kembali di depanku. Itu yangtadi ingin dikatakan Nomor Enam. Nomor Enamlangsung tahu begitu melihatnya. Saat kami lari pagi,Bernie Kosar masuk ke dalam hutan dan berubahwujud menjadi burung. Caranya bergegas ke luarsetiap pagi, mengendus tanah, berpatroli di halaman.Melindungiku, dan Henri. Mencari tanda-tandaMogadorian. Cecak di Florida. Cecak yang biasamemandangi dari dinding saat aku sarapan. Sudahberapa lama dia bersama kami? Chimæra, hewanyang kulihat dimasukkan ke dalam roketkedua―apakah mereka berhasil mencapai Bumi?Bernie Kosar terus membesar. Dia menyuruhku lari.Aku bisa berkomunikasi dengannya. Bukan. Bukanhanya itu. Aku bisa berkomunikasi dengan semuahewan. Pusaka lain. Sejak kejadian dengan rusa diFlorida pada hari ketika kami pergi. Bulu kudukkumeremang saat rusa itu menyampaikan sesuatu

Page 153: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kepadaku, suatu kilasan perasaan. Waktu itu akumengira perasaan itu disebabkan rasa sedih karenaharus pergi, tapi aku salah. Anjing-anjing Mark James.Sapi-sapi yang kulewati saat lari pagi. Sama. Akumerasa begitu bodoh karena baru menyadarinyasekarang. Padahal begitu jelas, tepat di depanhidungku. Seperti pepatah yang biasa diucapkanHenri: Sesuatu yang tampak sangat jelas adalahsesuatu yang sering kali kita abaikan. Tapi Henri tahu.Itu sebabnya Henri melarang Enam memberitahuku.Bernie Kosar sudah selesai membesar. Rambutnyarontok, digantikan sisik-sisik. Dia tampak seperti naga,tapi tanpa sayap. Otot-otot bertonjolan di tubuhnya.Gigi dan cakar bergerigi, dengan tanduk melingkarseperti tanduk biri-biri jantan. Lebih gemuk daripadahewan buas itu, tapi jauh lebih pendek. Dia tampaksangat ganas. Dua raksasa berhadapan di tempatterbuka, saling meraung.Lari, katanya. Aku berusaha memberitahunya bahwaaku tidak bisa. Aku tidak tahu apakah dia bisamemahamiku. Kau bisa, katanya. Harus.Hewan buas Mogadorian itu mengayunkan tangan,pukulan yang seakan berawal dari langit dan meroketturun dengan brutal. Bernie Kosar menahan pukulan sihewan buas dengan tanduknya, lalu menerjangsebelum hewan itu bisa mengayunkan tinju lagi.Mereka bertabrakan keras di tengah-tengah lapangan.Bernie Kosar memukul ke atas, menancapkan giginyadi samping tubuh lawanya. Hewan buas itu balasmemukulnya.Mereka berdua bergerak sangat cepat sehingga takterlihat jelas. Tubuh mereka berdua luka-luka. Akumenonton dengan punggung bersandar ke pohon. Akuingin membantu, tapi telekinesisku masih tidakberfungsi. Darah masih mengalir di punggungku.Tangan dan kakiku terasa berat. Darahku seakanberubah jadi timah. Aku bisa merasakan kesadarankumemudar.Hewan buas Mogadorian berdiri dengan dua kakisementara Bernie Kosar bertarung dengan empat kaki.Dia menyerbu. Bernie Kosar menundukkan kepala.Mereka bertubrukan, menabrak pohon di kananku.Entah bagaimana, hewan buas itu ada di atas BernieKosar. Dia menghunjamkan giginya dalam-dalam keleher Bernie Kosar, menggoyang-goyangkan kepala,berusaha mencabik leher Bernie Kosar. Bernie Kosarmenggeliat di bawah gigitannya, tapi tidak bisamembebaskan diri. Bernie Kosar mencakar-cakarlawannya, tapi hewan buas itu tetap tidakmelepaskan gigitannya.Lalu sebuah tangan meraih dari belakangku,memegang lenganku. Aku berusaha menepisnya, tapitak kuasa. Mata Bernie Kosar menutup rapat. Diamenggeliat di bawah rahang si hewan buas,tenggorokannya tertarik, tidak bisa bernapas.“Tidak!” teriakku.“Ayo!” teriak seseorang di belakangku. “Kita haruspergi dari sini.”“Bernie Kosar,” kataku, tidak tahu suara siapa itu.“Bernie Kosar!”Bernie Kosar digigit dan dicekik. Dia sekarat. Tapi akutidak bisa melakukan apa pun. Dan aku pun akansegera menyusulnya. Aku rela mengorbankannyawaku demi nyawanya. Aku melolong pilu. BernieKosar menoleh memandangku. Wajahnya mengernyitkarena sakit, menderita, dan juga karena merasakanajalnya segera tiba.“Kita harus pergi!” teriak suara di belakangku,tangannya menarikku berdiri.Bernie Kosar menatap mataku. Pergi, katanya. Pergidari sini, sekarang, selagi bisa. Tak banyak waktu.Entah bagaimana aku meraih kakiku. Pusing, dunia disekelilingku tampak kabur. Hanya mata Bernie Kosaryang tetap tampak jelas. Matanya menjerit “Tolong!”meskipun pikirannya berkata lain.

Page 154: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Kita harus pergi!” kata suara itu lagi. Aku tidakmenoleh untuk melihat, tapi aku tahu suara siapa itu.Mark James. Dia tidak lagi bersembunyi di sekolah,dan berupaya menyelamatkanku dari kehancuran ini.Mark ada di sini. Itu berarti Sarah baik-baik saja.Untuk sesaat aku merasa lega, tapi perasaan itulangsung lenyap. Saat ini hanya ada satu hal penting.Bernie Kosar, berbaring miring, memandangku dengantatapan kosong. Dia menyelamatkanku. Sekaranggiliranku menyelamatkannya.Mark mengulurkan tangan ke depan dadaku. Diamenarikku ke belakang, pergi dari lapangan, menjauhipertempuran. Aku meronta membebaskan diri. MataBernie Kosar perlahan-lahan mulai menutup. Dia akanpergi, pikirku. Aku tidak mau melihatmu mati, kataku.Aku bersedia melihat apa pun di dunia ini, tapi akutidak mau melihatmu mati. Tidak ada jawaban.Gigitan si hewan buas semakin kencang. Bernie Kosarbisa merasakan maut mendekat.Aku melangkah terhuyung-huyung, menarik belati daripinggang celana jinsku. Aku memegang belati itu erat.Belati itu hidup dan mulai bersinar. Aku tidak akanbisa melemparkan belati ke tubuh si hewan buas. Akujuga tidak bisa menggunakan Pusakaku. Pilihan yangmudah. Tidak ada pilihan selain menyerang.Aku menarik napas dalam dengan bergetar.Kuayunkan tubuh ke belakang. Seluruh tubuhkutegang, nyeri karena kelelahan. Setiap bagian tubuhkuterasa sakit.“Tidak!” teriak Mark di belakangku.Aku menyerbu ke depan, berlari ke arah si hewanbuas. Mata si hewan buas Mogadorian itu tertutup.Rahangnya mencengkeram tenggorokan Bernie Kosar.Darah di sekitarnya tampak berkilauan di bawah sinarbulan. Sembilan meter lagi. Enam meter. Mata sihewan buas terbuka tepat saat aku melompat. Matakuning itu murka begitu melihatku. Aku terbang diudara sambil memegang belati tinggi di atas kepaladengan kedua tangan, seperti dalam suatu mimpiheroik yang kuharap tidak pernah berakhir. Si hewanbuas melepaskan leher Bernie Kosar dan bergerakuntuk menggigitku, walaupun tahu bahwa diaterlambat menyadari keberadaanku. Bilah belati itubersinar menyambut apa yang akan terjadi. Akumenghunjamkannya ke mata si hewan buas dalam-dalam. Cairan langsung muncrat dan dia punmengeluarkan lolongan sangat keras yangmembekukan darah. Kurasa mereka yang sudah matipun bisa terbangun karenanya.Aku jatuh telentang. Saat kuangkat kepala, hewanbuas itu terhuyung-huyung di atasku. Dengan sia-siadia berusaha menarik belati dari matanya, tapitangannya terlalu besar dan belati itu terlalu kecil.Senjata Mogadorian berfungsi dengan suatu cara yangkurasa tak akan pernah kupahami, karena adagerbang mistik antardunia. Belati itu juga sama. Lukayang disebabkan belati itu menarik kegelapanmemasuki mata si hewan buas dalam bentuk pusaranawan, angin topan kematian.Si hewan buas terdiam saat awan hitam besarterakhir berpusar masuk ke dalam tengkoraknyabersama belati itu. Lengannya tergantung lunglai disamping badannya. Tangannya mulai bergetar.Getaran itu begitu hebat sehingga membuat seluruhtubuhnya yang besar berguncang. Saat getaran ituberhenti, si hewan buas terhuyung lalu jatuh denganpunggung menubruk pepohonan. Dia terduduk, tapitetap menjulang sekitar dua puluh lima meter diatasku. Segalanya hening, seakan menanti apa yangakan terjadi. Terdengar bunyi senapan ditembakkansatu kali, sangat dekat sehigga telingaku berdenging.Hewan buas itu menarik napas dan menahannyaseolah bermeditasi. Tiba-tiba kepalanya meledak,menghujani segala yang ada di sekitarnya denganserpihan otak, daging, dan tengkorak, yang langsung

Page 155: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

berubah menjadi debu dan abu.Hutan sunyi senyap. Aku berpaling dan memandangBernie Kosar. Dia masih terbaring miring tak bergerak.Matanya tertutup. Aku tidak tahu apakah dia masihhidup. Saat aku memandangnya, Bernie Kosarberubah wujud lagi, mengecil ke ukuran normalnya,tapi tetap tak bergerak. Terdengar bunyi derakdedaunan dan gemeretak ranting-ranting di dekatku.Aku harus mengerahkan seluruh kekuatan hanyauntuk mengangkat kepala dua senti dari tanah.Kubuka mata dan mengintip ke kegelapan malam,berharap melihat Mark James. Tapi bukan Mark Jamesyang berdiri di dekatku. Napasku tercekat. Sosokgelap, tidak tampak jelas di bawah sinar bulan. Lalusosok itu melangkah ke depan, menutupi bulan.Mataku membelalak ngeri.***SOSOK SAMAR ITU SEMAKIN JELAS. AKU MERASAlelah, sakit, dan ngeri. Namun akhirnya akutersenyum, merasa lega. Henri. Dia melemparkansenapan ke semak-semak lalu berlutut di sampingku.Wajahnya berdarah, kemeja dan jinsnya compang-camping, terkoyak di sepanjang kedua lengan danlehernya, namun matanya berpendar ngeri saatmelihat luka-luka di tubuhku.“Sudah berakhir?” tanyaku.“Sstt,” katanya. “Apa salah satu belati merekamengenaimu?”“Punggungku,” kataku.Henri menutup mata dan menggelengkan kepala. Diamerogoh saku dan mengeluarkan sebuah kerikilbundar kecil yang tadi diambilnya dari Peti Loricsebelum kami meninggalkan kelas tata boga.Tangannya gemetar.“Buka mulutmu,” katanya. Henri memasukkan batuitu. “Tahan di bawah lidah. Jangan ditelan.” Henrimeletakkan tangannya di bawah ketiakku danmengangkat tubuhku. Aku berdiri. Henrimemegangiku hingga aku bisa berdiri denganseimbang. Dia memutar tubuhku untuk melihat luka dipunggungku. Wajahku terasa hangat. Sepertinya batuitu menyembuhkanku. Kaki dan tanganku sakitkarena lelah, tapi kekuatanku pulih.“Apa ini?”“Garam Loric. Memperlambat dan mengurangi efekbelati itu,” kata Henri. “Kau akan merasa bertenaga,tapi itu tidak bertahan lama. Kita harus kembali kesekolah secepat mungkin.”Kerikil itu terasa dingin di mulutku, tidak asin sepertigaram―sebenarnya malah tidak berasa sama sekali.Aku menunduk dan berusaha memaharni apa yangterjadi, kemudian mengibaskan sisa-sisa abu si hewanbuas yang mati.“Apa semuanya baik-baik saja?” tanyaku.“Nomor Enam luka parah,” jawab Henri. “Sam sedangmembawanya ke truk. Kemudian Sam akan menyetirtruk ke sekolah untuk menjemput kita semua. Jadi,kita harus kembali ke sana.”“Kau lihat Sarah?”“Tidak”“Mark James tadi di sini,” kataku, lalu memandangHenri. “Kupikir kau itu dia.”“Aku tak melihatnya.”Aku melihat Bernie Kosar di belakang Henri. “BernieKosar,” kataku. Bernie Kosar masih mengerut, sisik-sisiknya menghilang―digantikan bulu berwarnacokelat dan hitam―kembali ke wujud yang langsungaku kenali. Telinga terkulai, kaki pendek, tubuhpanjang. Anjing beagle dengan hidung dingin danbasah yang selalu siap untuk lari. “Diamenyelamatkan nyawaku. Kau sudah tahu, ya?”“Tentu saja aku tahu.”“Kenapa nggak bilang?”“Karena dia mengawasimu saat aku tidak bisa.”“Tapi kenapa dia ada di sini?”

Page 156: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

“Dia ikut naik pesawat bersama kita.”Lalu aku teringat benda yang dulu kusangka boneka,mainanku. Sebenarnya aku bermain dengan BernieKosar, walaupun dulu namanya Hadley.Kami berjalan menghampiri anjing itu. Akuberjongkok dan mengusap samping tubuh BernieKosar.“Kita harus cepat,” kata Henri lagi.Bernie Kosar tidak bergerak. Hutan itu hidup,dikerumuni kegelapan. Artinya hanya satu, tapi akutak peduli. Aku menggerakkan tangan ke dada sianjing. Walaupun lemah, aku bisa mendengarjantungnya berdetak. Masih ada kehidupan, walaupunsamar. Tubuh Bernie Kosar penuh dengan luka, darahmerembes dari segala tempat. Kaki depannyabengkok tidak wajar, patah. Tapi dia masih hidup. Akumengangkat Bernie Kosar selembut mungkin,menggendongnya seperti menimang bayi. Henrimembantuku berdiri. Lalu dia merogoh saku,mengambil kerikil garam lain, dan memasukkannyake dalam mulut. Aku bertanya-tanya apakah diaberbicara mengenai dirinya sendiri saat mengatakantidak banyak waktu. Kami berdua berdiri goyah. Laluaku melihat sesuatu di paha Henri. Luka berwarnabiru tua berkilau dan dikelilingi darah. Henri jugaditikam belati prajurit Mogadorian. Aku bertanya-tanya apakah kerikil garam itu satu-satunya yangmembuat Henri berdiri, seperti halnya diriku.“Senapannya?” tanyaku.“Pelurunya habis.”Kami berjalan meninggalkan tempat terbuka itu,dengan perlahan. Bernie Kosar tidak bergerak ditanganku, tapi aku bisa merasakan kehidupan belummeninggalkannya. Belum. Kami keluar dari hutan,meninggalkan ranting-ranting yang bergantungan,semak-semak, serta bau daun basah dan membusukdi belakang kami.“Bisa lari?” tanya Henri.“Nggak,” kataku. “Tapi aku akan tetap lari.”Terdengar keributan di depan kami, sejumlahgeraman diikuti gemerincing rantai.Lalu kami mendengar raungan, tidak seganas raunganyang lain, tapi cukup keras sehingga kami tahuartinya hanya satu: hewan buas lain.“Yang benar saja,” kata Henri.Ranting patah di belakang kami, dari hutan. Henri danaku menoleh ke belakang, tapi hutan itu terlalu lebatsehingga kami tidak bisa melihat. Aku menyalakansinar di tangan kiriku dan menyorotkannya kepepohonan. Sekitar tujuh atau delapan prajurit berdiridi tepi hutan. Saat sinarku mengenai mereka, merekalangsung menghunuskan pedang, yang menjadi hidupdan bersinar dengan berbagai warna.G1“Jangan!” teriak Henri. “Jangan gunakan Pusakamu,nanti kau jadi lemah.”Terlambat. Kupadamkan sinarku, tapi aku kembalimerasa pusing dan lemah, serta sakit. Aku menahannapas, menunggu para prajurit berlari menyerbu kearah kami. Tapi mereka tidak bergerak. Tidakterdengar suara lain selain suara hewan buas yangtak sabar untuk dilepas dari rantainya di depan kami.Lalu di belakang terdengar suara pekikan perang. Akuberpaling untuk melihat. Pedang-pedang Mogadorianmulai berkilauan dihunus para prajurit di belakangkami dan bergerak maju. Salah satu prajurit tertawapercaya diri. Sembilan prajurit bersenjata dan kuatmelawan kami bertiga yang sudah kepayahan, luka-luka, serta tak memiliki senjata selain keberaniankami. Hewan buas di satu arah, para prajurit di arahyang lain. Itulah pilihan yang kami hadapi saat ini.Henri tampak tenang. Dia mengeluarkan dua kerikildari sakunya dan memberikan satu untukku.“Yang terakhir,” katanya, suaranya bergetar.Tampaknya dia harus mengerahkan banyak tenaga

Page 157: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

hanya untuk berbicara.Aku memasukkan kerikil itu ke dalam mulut danmenahannya di bawah lidahku, walaupun sisa kerikilpertama masih ada. Kekuatan baru menjalari tubuhku.“Bagaimana menurutmu?” tanya Henri.Kami terkepung. Henri, Bernie Kosar, dan aku adalahyang tersisa dari kami semua. Nomor Enam lukaparah dan dibawa pergi oleh Sam. Tadi Mark ada disini, tapi sekarang dia tidak ada di mana pun. Yangtersisa hanyalah Sarah. Kuharap dia bersembunyidengan aman di sekolah yang jaraknya sekitar duaratus meter di depan kami. Aku menarik napas dalamdan menerima yang tak terhindarkan.“Tak masalah, Henri,” kataku sambil memandangnya.“Tapi sekolah di depan kita, dan sebentar lagi Samtiba di sana.”Apa yang Henri lakukan selanjutnya membuatkukaget: dia tersenyum. Henri mengulurkan tangan danmeremas bahuku. Matanya lelah dan merah, tapi akumelihat rasa lega, rasa tenang seolah dia tahusegalanya akan segera berakhir.“Kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan.Yang terjadi, terjadilah. Yang jelas, aku benar-benarbangga kepadamu,” katanya. “Tindakanmu hari iniluar biasa. Aku tahu kau pasti bisa. Selalu. Tak pernahsekali pun aku ragu.”Aku menundukkan kepala. Aku tidak mau Henrimelihatku menangis. Aku meremas Bernie Kosar.Sejak aku menggendongnya, baru kali ini Bernie Kosarmemperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Diamengangkat kepala cukup tinggi sehingga bisamenjilat wajahku, dan menyampaikan satu katakepadaku. Hanya satu kata. Seakan tenaganya hanyacukup untuk itu. Keberanian.Kuangkat kepalaku. Henri melangkah ke depan danmemelukku. Aku menutup mata dan membenamkanwajahku di lehernya. Henri masih gemetar, tubuhnyaterasa rapuh dan lemah di pelukanku. Aku yakintubuhku pun tidak lebih kuat. Ini dia, pikirku. Kamiakan berjalan melintasi lapangan dengan gagahmenuju apa pun yang ada di sana. Setidaknya kamimelakukannya dengan bermartabat.“Tindakanmu sangat hebat,” kata Henri.Aku membuka mata. Dari balik bahu Henri, akumelihat para prajurit berjalan mendekat. Jarakmereka sekarang hanya enam meter. Merekaberhenti. Salah satu dari mereka memegang belatiyang berdenyut-denyut dengan warna perak dan abu-abu. Prajurit itu melemparkan belati itu ke udara,menangkapnya, lalu melemparkannya ke punggungHenri. Aku mengangkat tangan dan menangkis belatiitu. Belati itu meleset sekitar tiga meter. Kekuatankulangsung hilang walaupun kerikil di mulutku baru larutsetengahnya.Henri memegang tanganku yang bebas danmengalungkannya ke pundaknya, lalu memegangpinggangku dengan tangan kanannya. Kamimelangkah dengan terhuyung-huyung. Hewan buasitu mulai tampak, berdiri di hadapan kami, di tengah-tengah lapangan football. Para Mogadorianmembuntuti kami. Mungkin mereka ingin melihathewan buas beraksi, melihat hewan buas membunuh.Setiap kali melangkah tenagaku semakin berkurang.Jantung di dadaku berdegup. Ajal segera tiba. Akutakut. Tapi Henri di sini. Juga Bernie Kosar. Aku senangkarena tidak perlu menghadapinya sendiri. Beberapaprajurit berdiri di samping si hewan buas. Bahkanseandainya kami bisa melewati si hewan buas,setelahnya masih ada para prajurit, yang berdiridengan pedang terhunus.Tidak ada pilihan lain. Kami sampai di lapangan. Akupikir hewan itu akan menerkam kami kapan saja.Tapi tidak terjadi apa-apa. Saat tinggal lima belasmeter lagi dari si hewan buas, kami berhenti. Kamiberdiri saling bersandar.

Page 158: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

Ukuran hewan buas itu hanya setengah dari hewanbuas yang lain, namun masih cukup besar untukmembunuh kami semua tanpa perlu menghabiskanbanyak tenaga. Kulitnya pucat, hampir transparan,menutupi tulang rusuk dan sendi-sendi yangmenonjol. Ada banyak bekas luka berwarna merahmuda di lengan dan samping badannya. Matanyaputih dan buta. Hewan itu memindahkan beratbadannya, lalu merunduk. Kemudian diamenundukkan kepala ke rumput untuk membaui apayang tidak bisa dia lihat dengan matanya. Hewan itubisa merasakan kami di depannya dan menggeram.Aku tidak merasakan kemarahan dan kedengkianseperti pada hewan buas lainnya, tidak ada rasa hausterhadap darah dan kematian. Yang kurasakanhanyalah rasa takut, rasa sedih. Aku membuka dirikuterhadap perasaan itu. Aku melihat penyiksaan dankelaparan. Aku melihat hewan buas itu dikurungsepanjang hidupnya di Bumi, di gua yang lembap dangelap. Menggigil sepanjang malam agar tetap hangat,selalu dingin dan basah. Aku melihat para Mogadorianmengadu hewan-hewan buas itu satu sama lain,memaksa mereka bertempur untuk melatih mereka,untuk menjadikan mereka kuat dan kejam.Henri melepaskan pegangannya. Aku tidak bisamemegang Bernie Kosar lebih lama lagi. Perlahan-lahan aku meletakkan Bernie Kosar di rumput dikakiku. Aku tidak merasakan gerakannya dan akutidak tahu apakah dia masih hidup. Aku melangkahke depan dan jatuh berlutut. Para prajurit di sekelilingkami berteriak. Aku tidak memahami bahasa mereka,tapi dari nada suara mereka aku tahu mereka tidaksabar. Salah satu prajurit mengayunkan pedangnyadan sebuah belati melesat tanpa mengenaiku, kilatanwarna putih lewat dan bagian depan kemejakuberkibar serta robek. Aku tetap berlutut danmenengadah memandang hewan buas yangmenjulang di atasku. Semacam senjata ditembakkan,tapi pelurunya hanya lewat di atas kepala kami.Tembakan peringatan, untuk membuat hewan buasitu beraksi. Hewan buas itu gemetar. Belati keduamembelah udara dan mengenai hewan buas itu, dibawah siku tangan kirinya. Hewan itu mendongakdan meraung kesakitan.Aku turut berduka, aku berusaha memberitahunya.Aku turut berduka atas hidup yang harus kau jalani.Kau diperlakukan dengan buruk. Tak ada makhlukhidup yang patut menerima perlakuan seperti itu. Kaudipaksa hidup di neraka, diculik dari planetmu untukbertempur dalam perang yang bukan peperanganmu.Dipukuli, disiksa, dan dibuat kelaparan. Segala rasasakit dan penderitaan yang kau alami adalahtanggung jawab mereka. Kau dan aku memiliki ikatanyang sama. Kita berdua diperlakukan dengan burukoleh monster-monster ini.Dengan segenap tenaga, aku mencoba mengirimkancitra-citra, hal-hal yang kulihat dan kurasakan. Sihewan buas tidak berpaling. Pikiranku, hingga tingkattertentu, mencapainya. Aku memperlihatkan Lorien,laut yang luas, hutan yang lebat, dan bukit-bukit hijauyang dipenuhi kehidupan. Hewan-hewan minum dariair biru yang segar. Para Loric hidup dalam kerukunan.Aku memperlihatkan neraka yang terjadi setelah itu.Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai. ParaMogadorian. Para pembunuh berdarah dingin.Pembunuh kejam. Mogadorian menghancurkan apapun yang merintangi jalan mereka akibat keyakinanmenyedihkan dan kesembronoan mereka sendiri.Bahkan menghancurkan planet mereka sendiri. Lalukapan semua itu akan berakhir? Aku memperlihatkanSarah, memperlihatkan semua emosi yang kurasakansaat bersama dengannya. Rasa senang dan bahagia.Itulah yang kurasakan saat bersamanya. Lalu rasasakit yang kurasakan karena harus meninggalkanSarah, semua karena para Mogadorian. Tolong aku,

Page 159: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

kataku. Bantu aku mengakhiri kematian danpembantaian ini. Mari bertempur bersama. Tenagakutinggal sedikit, tapi jika kau menolongku, aku akanmenolongmu.Hewan buas itu mendongakkan kepala ke langit danmeraung. Raungan yang panjang dan dalam. ParaMogadorian bisa merasakan apa yang terjadi dantelah menyaksikan cukup banyak. Mereka mulaimenembakkan senjata. Aku menoleh. Salah satumeriam dibidikkan tepat ke arahku. Meriam ituditembakkan. Kematian putih menyerbu. Namunhewan buas itu menundukkan kepala tepat padawaktunya dan menyerap tembakan itu. Wajahnyamengernyit kesakitan. Matanya dipejamkan dengankuat, tapi langsung kembali terbuka. Kali ini akumelihat kemarahan.Aku jatuh dengan wajah terlebih dahulu ke rumput.Sesuatu mendorongku. Henri memekik kesakitan dibelakangku, lalu dia terlempar sejauh sembilan meter.Tubuhnya terbaring di lumpur, wajah menengadah,berasap. Aku tidak tahu apa yang mengenai Henri.Sesuatu yang besar dan mematikan. Panik dan rasangeri menghantamku. Jangan. Jangan Henri, pikirku.Tolong jangan Henri.Hewan buas itu menyapukan tinju dengan kuat,menghabisi sejumlah prajurit dan menghancurkansenjata mereka. Raungan lagi. Aku menengadah danmelihat mata si hewan buas berubah menjadi merah,berkobar-kobar dengan kemarahan. Pembalasan.Pemberontakan. Hewan itu melihat ke arahku sekalikemudian berlari mengejar para penangkapnya.Senjata-senjata ditembakkan, tapi langsungdihancurkan. Bunuh rnereka semua, pikirku.Bertarunglah dengan gagah, dengan terhormat,semoga kau membunuh mereka semua.Aku mengangkat kepala. Bernie Kosar tak bergerak dirumput. Henri, sembilan meter jauhnya, juga takbergerak. Aku meletakkan tangan di rumput danmenarik diriku ke depan, melintasi lapangan, sentidemi senti, menyeret tubuhku ke Henri. Saat tiba disana, mata Henri terbuka sedikit. Setiap tarikan napasdilakukan dengan susah payah. Darah mengalir darimulut dan hidungnya. Aku memeluk dan menarikHenri ke pangkuanku. Tubuhnya rapuh dan lemah.Aku bisa merasakan dia sekarat. Matanya membuka,bergetar. Henri memandangku, mengangkattangannya, lalu memegang pipiku. Begitu diamelakukan itu, aku menangis.“Aku di sini,” kataku.Henri berusaha tersenyum.“Maafkan aku, Henri,” aku berkata. “Maafkan aku.Harusnya kita pergi saat kau bilang pergi.”“Sstt,” katanya. “Bukan salahmu.”“Maafkan aku,” kataku di antara isakan tangis.“Kau luar biasa,” katanya berbisik. “Kau luar biasa.Aku selalu tahu kau bisa”“Kita harus ke sekolah” kataku. “Sam pasti sudah disana.”“Dengar, John. Semua,” katanya. “Semua yang perlukau ketahui ada di Peti. Suratnya.”“Ini belum berakhir. Kita masih bisa.”Aku bisa merasakan Henri mulai pergi. Akumengguncangnya. Matanya membuka kembali, pelan.Darah mengalir dari mulutnya.“Ke sini, ke Paradise, bukan kebetulan.” Aku tidakmengerti apa maksudnya. “Baca suratnya.”“Henri,” kataku, lalu aku mengulurkan tangan danmengelap darah dari dagunya.Henri menatap mataku.“Kau itu Pusaka Lorien, John. Kau dan yang lainnya.Harapan satu-satunya yang ditinggalkan planet kita.Rahasianya,” kata Henri, lalu dia batuk-batuk. Lebihbanyak darah. Matanya menutup lagi. “Petinya, John.”Aku menariknya lebih erat, merengkuhnya. TubuhHenri mulai mengendur. Napasnya begitu pendek,

Page 160: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

seakan dia tidak bernapas sama sekali.“Kita akan kembali sama-sama, Henri. Aku dan kau.Aku janji,” kataku sambil memejamkan mata pedih.“Kau harus kuat,” kata Henri sambil terbatuk-batuk,walaupun dia berusaha untuk terus berbicara. “Perangini... Bisa menang... Cari yang lain... Enam...Kekuatan...,” katanya, lalu suaranya melirih.Aku mencoba berdiri sambil tetap memeluk Henri, tapiaku tidak punya tenaga lagi, bahkan untuk bernapas.Aku mendengar si hewan buas meraung di kejauhan.Meriam-meriam masih ditembakkan, suara dancahayanya mencapai tempat duduk stadion. Tetapisemakin lama semakin sedikit meriam yangditembakkan, hingga akhirnya hanya tinggal satu. Akumengendorkan pelukanku. Kuletakkan tangan diwajahnya dan dia membuka mata, melihatku untukterakhir kalinya. Henri menarik napas pendek danmengembuskannya, lalu menutup mata perlahan-lahan.“Aku tidak akan menyesali apa yang terjadi walauhanya sedetik, Nak. Walau ditukar dengan seluruhLorien. Walau ditukar dengan seluruh dunia,” katanya.Saat kata-kata terakhir itu meninggalkan mulutnya,aku tahu Henri telah pergi. Aku memeluknya denganerat. Gemetaran. Menangis. Dadaku dipenuhi rasaputus asa dan hilang harapan. Lengan Henri jatuhlunglai ke rumput. Aku memegang kepala Henridengan kedua tangan dan memeluknya di dadaku.Aku mengguncang-guncangnya, sambil menangissejadi-jadinya. Jimat di leherku bersinar biru, menjadiberat selama sepersepuluh detik, lalu meredup dankembali normal.Aku duduk di rumput dan memeluk Henri, saatdentuman meriam terakhir menghilang. Rasa sakitmeninggalkan tubuhku. Seiring dinginnya malam, akumerasakan diriku sendiri mulai memudar. Bulan danbintang bersinar di atas. Aku mendengar suara tawadingin terbawa angin. Aku mengenali suaranya. Akumenoleh. Mengatasi rasa pusing dan pandangan yangkabur, aku bisa melihat satu pengintai Mogadorianlima meter dariku. Jubah panjang, topi diturunkan kemata. Mogadorian itu menjatuhkan jubah danmelepaskan topinya, memperlihatkan kepala pucatdan tak berambut. Dia meraih ke belakang ikatpinggangnya lalu mengeluarkan pisau berburu,panjang bilahnya tidak kurang dari tiga puluh senti.Aku menutup mata. Tak peduli lagi. Napas serak sipengintai menghampiriku, tiga meter, lalu satusetengah meter. Lalu langkahnya terhenti. Mogadorianitu mengerang kesakitan.Aku membuka mata. Si pengintai itu telah begitudekat sehingga aku bisa mencium baunya. Pisauberburu itu lepas dari tangannya. Di dadanya,mungkin di jantungnya, menyembul ujung pisautukang daging. Pisau itu dicabut. Si pengintai jatuhberlutut, kemudian terguling ke samping, dan meledakjadi abu. Di belakangnya, memegang pisau dengantangan kanan gemetar, dengan air mata di matanya,berdirilah Sarah. Dia menjatuhkan pisau itu danbergegas menghampiriku. Kemudian Sarahmemelukku. Aku masih memeluk Henri dan kepalakuterkulai. Dunia berubah hampa. Pertempuran berakhir,sekolah hancur, pepohonan tumbang, tumpukan abudi rumput di lapangan football. Aku masih memelukHenri. Dan Sarah memelukku.HCITRA-CITRA TAMPAK SILIH BERGANTI, membawakesedihan dan kebahagiaannya masing-masing.Terkadang keduanya. Yang terburuk adalah citrahitam gelap gulita tanpa cahaya, dan yang terbaikadalah citra kebahagiaan yang begitu menyilaukanmata. Keduanya tampak silih berganti seolahdisorotkan proyektor yang terus menerus djalankanoleh suatu tangan tak kasat mata. Satu citra, laluyang lain. Bunyi penutup lensa. Lalu berhenti. Berhenti

Page 161: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

di citra yang satu ini. Ambil dan pegang citra itudekat-dekat. Lihatlah. Henri selalu berkata: Nilaisebuah ingatan adalah kenangan akan kesedihan danemosi yang ditimbulkannya.Suatu hari di musim panas yang hangat, rumput yangsejuk, dan matahari bersinar tinggi di langit takberawan. Angin bertiup dari perairan, membawakesegaran laut. Seorang lelaki berjalan ke rumah,membawa tas kantor. Lelaki itu masih muda, denganrambut cokelat dipotong pendek, baru bercukur,berpakaian santai. Dia tampak gugup, terlihat daricaranya memindahkan tasnya dari tangan yang satuke tangan yang lain dan keringat yang mengalir didahinya. Dia mengetuk pintu. Kakekku menjawab,membuka pintu dan mempersilakan lelaki itu masuk,lalu menutup pintu. Aku kembali bermain di halaman.Hadley berubah wujud, terbang, lalu menghindar, laluberlari. Kami bergulat dan tertawa hingga sakit perut.Hari berlalu. Aku masih terlalu kecil untuk memahamiwaktu.Lima belas menit berlalu. Mungkin kurang. Padausiaku itu, sehari bisa berlangsung selamanya. Pintuterbuka lalu tertutup. Aku mendongak. Kakekkuberdiri bersama si lelaki tadi. Mereka berduamemandangku.“Ada orang yang ingin kukenalkan kepadamu,”katanya.Aku berdiri dari rumput, menepukkan tangan untukmembersihkan kotoran.“Ini Brandon,” kata kakekku. “Dia Cêpanmu. Kau tahuapa artinya?”Aku menggelengkan kepala. Brandon. Itu namanya.Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini akumengingatnya.“Itu artinya mulai sekarang dia akan menghabiskanbanyak waktu bersamamu. Kalian berdua. Itu artinyakalian terhubung. Kalian terikat satu sama lain. Kaumengerti?”Aku mengangguk dan berjalan menghampiri lelaki itu.Aku mengulurkan tangan meniru sikap orang-orangdewasa yang sering kulihat. Lelaki itu tersenyum danberlutut. Dengan tangan kanannya, dia meraihtanganku yang kecil dan menggenggamnya.“Senang bertemu denganmu, Pak,” kataku.Matanya yang penuh semangat hidup, ramah, danriang menatap mataku seolah memberikan janji,suatu ikatan. Namun, aku terlalu muda untukmemahami apa arti janji atau ikatan itu.Lelaki itu mengangguk dan meletakkan tangan kirinyadi atas tangan kanannya, tanganku yang kecil lenyapdi antara keduanya. Dia mengangguk ke arahku,masih tersenyum.“Anakku sayang” katanya. “Aku yang senang.”* * *Aku tersentak bangun. Aku berbaring telentang,jantungku berdegup kencang, napasku terengah-engah seolah baru berlari. Mataku tetap menutup tapiaku tahu matahari telah terbit dengan adanyabayangan panjang dan udara segar di ruangan itu.Rasa sakit terasa kembali. Tungkai dan lengankumasih berat. Seiring dengan itu, aku merasakan rasasakit lain. Rasa sakit yang jauh lebih besar daripadarasa sakit fisik yang pernah kurasakan: ingatan daribeberapa jam sebelumnya.Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.Sebutir air mata bergulir di wajahku. Aku tetapmenutup mata. Aku berharap―harapan tak masukakal―bahwa jika aku tidak menyongsong hari inimaka hari akan melewatiku, dan hal-hal yang terjaditadi malam akan terhapus. Tubuhku bergetar, isakanberubah menjadi tangisan. Aku menggelengkankepala dan menahannya. Aku tahu Henri sudahmeninggal. Aku tahu bahwa hal itu tidak akanberubah.Aku merasakan gerakan di sampingku. Aku tegang,

Page 162: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

mencoba tetap tak bergerak agar tak terlacak.Sebuah tangan terjulur dan menyentuh pipiku.Sentuhan lembut penuh cinta. Mataku terbuka,menyesuaikan diri dengan cahaya pagi hingga langit-langit suatu kamar yang tak kukenal tampak jelas.Aku tidak tahu di mana aku berada, atau bagaimanaaku bisa tiba di tempat itu. Sarah duduk di sampingku.Dia memegang pipiku dan mengusap alisku denganibu jarinya. Dia membungkuk dan menciumku, ciumanyang lembut dan lama sehingga aku berharap bisamemasukkannya ke dalam botol dan menyimpannya.Lalu dia mengangkat wajahnya. Aku menarik napasdalam dan menutup mata, lalu mencium keningnya.“Kita di mana?” tanyaku.“Hotel, lima puluh kilometer dari Paradise.”“Bagaimana aku bisa sampai di sini?”“Sam yang mengantar kita,” jawab Sarah.“Maksudku dari sekolah. Apa yang terjadi? Aku ingatkau bersamaku tadi malam, tapi aku nggak ingatkejadian setelahnya,” kataku. “Rasanya sepertimimpi.”“Aku menunggu di lapangan bersamamu sampai Markdatang. Lalu dia membawamu ke truk Sam. Akunggak bisa sembunyi lebih lama lagi. Di sekolah,tanpa tahu apa yang terjadi di luar, justru membuatkukhawatir. Lagi pula kurasa aku bisa membantu, entahbagaimana.”“Kau sudah membantu,” kataku. “Kau menyelamatkannyawaku.”“Aku membunuh alien,” kata Sarah, seolah masihbelum percaya.Sarah merangkulku, tangannya memegang belakangkepalaku. Aku mencoba duduk. Aku bisa bangkithingga setengah jalan, kemudian Sarah membantuku,mendorong punggungku dengan hati-hati agar tidakmenyentuh luka akibat belati. Kuayunkan kaki kelantai dan kuulurkan tangan, meraba goresan disekeliling pergelangan kakiku dengan ujung jari danmenghitungnya. Masih tiga. Dengan begitu aku tahuNomor Enam selamat. Aku telah menerima nasibbahwa aku akan menghabiskan sisa hidupkusendirian, menjadi pengembara kesepian tanpatempat tujuan. Tapi ternyata aku tidak sendiri. NomorEnam masih ada, masih bersamaku, mengikatkudengan duniaku yang dulu.“Enam baik-baik saja?”“Ya,” jawab Sarah. “Dia ditikam dan ditembak, tapisepertinya sekarang dia baik-baik saja. Kupikir dia takakan selamat seandainya Sam tidak membawanyake truk.”“Di mana dia?”“Di kamar sebelah, dengan Sam dan Mark.”Aku berdiri. Otot dan sendiku terasa nyeri sebagaiprotes. Seluruh tubuhku terasa kaku dan sakit. Akumengenakan kaus bersih dan celana pendek. Tubuhkusegar dan berbau sabun. Luka-luka di tubuhku sudahdibersihkan dan diperban, ada beberapa yang dijahit.“Ini semua kerjaanmu?” tanyaku.“Sebagian besar. Menjahitnya susah. Kami cumapunya satu contoh jahitan, yang Henri buat dikepalamu. Sam membantu menjahit.”Aku memandangi Sarah yang duduk di tempat tidur,dengan kaki dilipat. Mataku melihat sesuatu, sesuatuyang kecil dan bergerak di bawah selimut di ujungtempat tidur. Badanku menegang. Aku langsungteringat akan musang-musang yang berlari di gedungolahraga. Sarah melihat apa yang kulihat dantersenyum. Dia merangkak ke ujung tempat tidur.“Ada yang ingin menyapamu,” kara Sarah. Lalu diamemegang ujung selimut dan membukanya perlahan-lahan, memperlihatkan Bernie Kosar yang sedangtidur. Kaki depannya dipasangi pelat logam. Tubuhnyadipenuhi luka-luka yang, seperti punyaku, sudahdibersihkan dan mulai sembuh. Matanya perlahan-lahan terbuka dan menyesuaikan diri. Lingkaran

Page 163: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

merah ada di sekeliling matanya, dan dia tampaksangat lelah. Bernie tidak mengangkat kepala tapiekornya dikibas-kibas pelan, menepuk kasur denganlembut.“Bernie,” kataku, lalu aku berlutut di depannya.Kusentuh kepalanya lembut. Aku tidak bisa berhentitersenyum dan air mata kebahagiaan merebak dimataku. Tubuh kecilnya dilingkarkan membentuk bola,kepalanya diletakkan di kaki depannya, matanyamemandangku, dengan bekas luka akibatpertempuran tapi masih mengisahkan cerita.“Bernie Kosar, kau selamat. Aku berutang nyawakepadamu,” kataku, lalu mencium kepalanya.Sarah membelai punggung Bernie Kosar.“Aku membawanya ke truk saat Mark membawamu.”“Mark. Aku menyesal karena pernah meragukannya,”kataku.Sarah mengangkat salah satu telinga Bernie Kosar.Bernie Kosar menoleh, mengendus tangan Sarah lalumenjilatnya. “Kata Mark, Bernie Kosar membesarhingga sembilan meter dan membunuh hewan buasyang ukurannya dua kali lipat. Apa benar?”Aku tersenyum. “Tiga kali lipat.”Bernie Kosar memandangku. Pembohong, katanya.Aku menunduk dan mengedip ke arahnya. Akukembali berdiri dan memandang Sarah.“Semua ini,” kataku. “Semua ini terjadi begitu cepat.Bagaimana kau menerimanya?”Sarah mengangguk. “Menerima apa? Kenyataanbahwa aku jatuh cinta dengan alien, yang barukuketahui sekitar tiga hari yang lalu, lalu tiba-tiba sajaberjalan masuk ke kancah peperangan? Yeah, akumenerimanya dengan baik.”Aku tersenyum. “Kau malaikatku.”“Ah,” katanya. “Aku cuma seorang gadis yang gilakarena cinta.”Sarah turun dari tempat tidur dan memelukku. Kamiberdiri di tengah ruangan, saling berpelukan.“Kau benar-benar harus pergi?”Aku mengangguk.Sarah menarik napas dalam. Saat mengembuskannapas, badannya bergetar. Dia berusaha menahantangis. Selama dua puluh empat jam terakhir ini akumelihat lebih banyak air mata daripada yang pernahkulihat sepanjang hidupku.“Aku tak tahu ke mana kau harus pergi atau apayang harus kau lakukan, tapi aku akan menunggumu,John. Segenap hatiku adalah milikmu, baik kau mintaataupun tidak.”Aku menarik Sarah. “Dan hatiku milikmu,” kataku.* * *Aku berjalan melintasi ruangan. Di atas meja ada PetiLoric, tiga buah tas, komputer Henri, dan semua uangyang dia ambil dari bank untuk terakhir kalinya. Sarahpasti menyelamatkan Peti itu dari kelas tata boga.Aku meletakkan tanganku di peti itu. Semua rahasia,kata Henri. Semua rahasia ada di dalam sini. Padasaatnya nanti, aku akan membuka Peti danmengungkap rahasia itu. Yang jelas, itu bukansekarang. Dan apa maksud Henri bahwa kedatangankami ke Paradise bukan kebetulan belaka?“Kau mengemas tasku?” aku bertanya kepada Sarahyang berdiri di belakangku.“Ya, dan itu mungkin hal paling sulit yang haruskulakukan.”Aku mengangkat tas dari meja. Di bawah tas itu adaamplop manila dengan namaku di depannya.“Apa ini?” tanyaku.“Aku tak tahu. Aku menemukan itu di kamar Henri.Kami pergi ke sana setelah meninggalkan sekolah danmengambil semua benda yang bisa kami ambil.Setelah itu, kami ke sini.”Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.Semua dokumen yang sudah Henri buat untukku:akta kelahiran, kartu jaminan sosial, visa, dan

Page 164: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

sebagainya. Aku menghitung semuanya. Tujuh belasidentitas berbeda, tujuh belas usia berbeda. Di lembarterdepan ada sticky note dengan tulisan tangan Henri.Bunyinya, “Jika perlu.” Di belakang lembar terakhirada sebuah amplop tertutup lagi, dengan namaku.Sebuah surat. Pasti surat yang Henri bicarakansebelum meninggal. Aku tidak sanggup membacanyasekarang.* * *Aku memandang ke luar jendela kamar hotel. Saljulembut turun dari awan abu-abu yang melayangrendah di atas kepala. Tanah terlalu hangat sehinggasalju langsung meleleh. Mobil Sarah dan truk biruayah Sam diparkir berdampingan di tempat parkir.Saat aku berdiri memandangi mobil, terdengar suarapintu diketuk. Sarah membukanya. Sam dan Markberjalan masuk ke kamar. Nomor Enam terpincang-pincang di belakang mereka. Sam memelukku,mengucapkan turut berduka cita.“Makasih,” kataku.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Nomor Enam. Diatidak lagi mengenakan pakaian karet. Saat ini NomorEnam mengenakan celana jins yang dipakainya saatpertama kali bertemu denganku dan salah satu kausolahraga Henri.Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja. Sakit dankaku. Badanku terasa berat.”“Rasa berat itu akibat belati. Tapi nanti juga hilangsendiri.”“Seberapa parah lukamu?” tanyaku.Nomor Enam mengangkat kaus dan menunjukkanluka di samping tubuhnya, lalu luka di punggungnya.Dia menceritakan semua. Dia ditikam tiga kali tadimalam. Itu belum termasuk luka-luka lain di sekujurtubuhnya dan luka akibat tembakan di pahakanannya―sekarang sudah dibalut erat kain kasa danplester―yang menyebabkan dia pincang. Diamengatakan bahwa saat kami berhasil kembali,sudah terlalu terlambat untuk menggunakan batupenyembuh. Aku kagum karena dia masih hidup.Sam dan Mark mengenakan pakaian yang kemarinmereka pakai. Keduanya tampak kotor danberlumuran lumpur, tanah, serta noda-noda darah.Mereka berdua tampak sangat mengantuk sepertiyang belum sempat tidur. Mark berdiri di belakangSam, memindahkan berat badannya dengan tidaknyaman.“Sam, sejak dulu aku tahu kau memang hebat,”kataku.Dia tertawa ragu. “Kau baik-baik saja?”“Yeah, aku baik-baik saja,” kataku. “Kamu?”“Baik.”Aku melihat Mark melewati bahu Sam.“Sarah bilang kau menggendongku dari lapangan tadimalam.”Mark mengangkat bahu. “Aku senang bisamembantu.”“Kau menyelamatkan nyawaku, Mark.”Dia menatap mataku. “Aku rasa kita semua salingmenyelamatkan tadi malam. Nomor Enammenyelamatkanku tiga kali. Lalu kau menyelamatkankedua anjingku hari Sabtu kemarin. Aku rasa kitaimpas.”Aku tersenyum. “Cukup adil,” kataku. “Aku hanyasenang mengetahui kau bukan orang berengsekseperti yang kuduga.”Mark setengah meringis. “Seandainya aku tahu kauitu alien dan bisa menghajarku kapan pun kau mau,aku pasti bersikap lebih baik kepadamu sejak haripertama.”Nomor Enam berjalan melintasi ruangan dan melihattasku di atas meja.“Kita harus pergi,” katanya. Kemudian diamemandangku dengan agak khawatir, wajahnyamelembut. “Hanya ada satu hal yang belum

Page 165: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

dilakukan. Kami tidak tahu kau ingin kami melakukanapa.”Aku mengangguk. Aku tidak perlu bertanya untukmengetahui apa yang dia bicarakan. Aku memandangSarah. Ini terjadi lebih cepat dari yang kuduga.Perutku mual. Aku merasa seakan ingin muntah.Sarah mengulurkan tangan dan memegang tanganku.“Di mana dia?”* * *Tanah lembap akibat salju yang meleleh. Akumemegang tangan Sarah. Kami berjalan menembushutan tanpa berbicara, satu kilometer dari hotel. Samdan Mark berjalan di depan, mengikuti jejak kakiberlumpur yang mereka buat beberapa jam lalu. Akumelihat tempat terbuka di depan, di tengah-tengahnya tubuh Henri sudah dibaringkan di ataskayu. ‘Tubuhnya dibungkus dengan selimut abu-abuyang diambil dari tempat tidurnya. Akumenghampirinya. Sarah mengikuti dan meletakkantangan di bahuku. Yang lainnya berdiri di belakangku.Aku menurunkan selimut itu untuk melihat Henri.Matanya tertutup, wajahnya berubah menjadi kelabupucat, dan bibirnya biru akibat dingin. Aku menciumkeningnya.“Apa yang ingin kau lakukan, John?” tanya NomorEnam. “Kita bisa menguburkannya jika kau mau. Kitajuga bisa mengkremasinya.”“Bagaimana cara kita mengkremasinya?”“Aku bisa membuat api.”“Kukira kau cuma bisa mengendalikan cuaca.”“Bukan cuaca. Tapi elemen.”Aku memandang wajah Nomor Enam yang lembut.Dia tampak khawatir tapi juga stres karena kamihanya punya sedikit waktu sebelum bala bantuanMogadorian tiba. Aku tidak menjawab. Kualihkanpandang dan memeluk Henri untuk terakhir kalinya,wajahku menempel ke wajahnya. Aku larut dalamkesedihan.“Maafkan aku, Henri,” bisikku di telinganya. Akumenutup mata. “Aku menyayangimu. Aku tidak akanmelupakanmu sedetik pun. Tidak akan,” kataku. “Akuakan membawamu kembali. Entah bagaimanacaranya, aku akan membawamu kembali ke Lorien.Bagiku kau adalah ayahku, ayah terbaik yang pernahkumiliki, walaupun kita sering bercanda tentang itu.Aku tidak akan melupakanmu, tidak semenit punselama aku hidup. Aku menyayangimu, Henri. Selalu.”Kulepaskan pelukanku, kutarik selimut kembalimenutupi wajahnya, dan aku membaringkannyadengan lembut di atas kayu. Aku berdiri dan memelukSarah. Dia memelukku hingga aku berhenti menangis.Aku menghapus air mata dengan punggung tanganlalu mengangguk ke arah Nomor Enam.Sam membantuku menyingkirkan ranting-ranting dandedaunan. Setelah itu, kami membaringkan tubuhHenri di tanah agar abunya tidak bercampur denganapa pun. Sam membakar ujung selimut dan NomorEnam membuat api itu membesar. Kami semuamemandangnya terbakar, dengan mata basah.Bahkan Mark pun menangis. Tidak ada yangmengucapkan sepatah kata pun. Saat api padam, akumengumpulkan dan memasukkan abunya ke dalamkaleng kopi yang Mark bawa dari hotel. Aku akanmemindahkannya ke tempat yang lebih baik begitukami berhenti. Setelah kembali, aku meletakkankaleng itu di dasbor truk ayah Sam. Aku merasatenang karena tahu bahwa Henri masih bisabepergian bersama kami, bahwa dia masih bisamemandangi jalan saat kami meninggalkan kotaseperti yang sering kali kami lakukan.Kami memasukkan barang-barang ke belakang truk.Selain barang-barangku dan Nomor Enam, Sam jugamemasukkan dua tasnya. Mulanya aku bingung. Tapikemudian aku sadar bahwa dia dan Nomor Enamsepakat bahwa Sam akan ikut bersama kami. Dan

Page 166: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

aku senang karenanya. Sarah dan aku masuk kembalike kamar hotel. Begitu pintu ditutup, Sarahmemegang tanganku dan menarikku agarmenghadap ke arahnya.“Hatiku sakit,” katanya. “Aku ingin kuat demi dirimu,tapi hatiku sakit setiap kali teringat bahwa kau akanpergi.”Aku mencium kepalanya.“Hatiku juga sakit,” karaku. “Aku akan menulis suratbegitu tiba di suatu tempat. Dan aku akan berusahamenelepon jika aman.”Nomor Enam menjulurkan kepala dari pintu.“Kita benar-benar harus pergi,” katanya.Aku mengangguk. Dia menutup pintu. Sarahmendekatkan wajahnya ke wajahku. Kami berdiridan berciuman di kamar hotel. Satu-satunya hal yangmembuatku kuat adalah pikiran bahwa jika paraMogadorian kembali sebelum kami pergi, Sarah akanberada dalam bahaya lagi. Kalau tidak, aku pastipingsan. Kalau tidak, aku pasti tinggal di siniselamanya.Bernie Kosar masih berbaring menunggu di ujungtempat tidur. Dia mengibaskan ekor saat akumengangkatnya pelan-pelan ke pelukanku danmembawanya ke luar ke truk. Nomor Enammenghidupkan truk dan membiarkannya menyala.Aku berpaling memandang hotel. Aku sedih karena inibukan rumah kami dan tahu bahwa aku tidak akanpernah melihat rumah kami lagi. Dinding kayu dengancat yang terkelupas, jendela rusak, sirap hitam yangbengkok akibat sinar matahari dan hujan. Tampakseperti Paradise―Surga, begitu kataku kepada Henri.Tapi itu tidak lagi benar. Surga sudah hilang.Aku menoleh dan mengangguk ke arah Nomor Enam.Dia naik ke dalam truk, menutup pintu, danmenunggu.Sam dan Mark berjabat tangan, tapi aku tidakmendengar apa yang mereka ucapkan. Sam naik kedalam truk dan menunggu bersama nomor Enam. Akumenjabat tangan Mark.“Aku berutang banyak kepadamu, lebih dari apa yangbisa kubalas,” kataku kepada Mark.“Kau tidak berutang apa-apa kepadaku,” kata Mark.“Nggak juga,” kataku. “Suatu hari nanti aku akanmembalasnya.”Aku berpaling. Hatiku hancur berkeping karenaperpisahan ini. Tekadku tergantung di seutas tali tipis.Aku mengangguk. “Sampai bertemu lagi.”“Hati-hati.”Aku memeluk Sarah erat, tak mau rnelepaskan.“Aku akan kembali untukmu,” kataku. “Aku janji. Jikaitu hal terakhir yang kulakukan, aku akan kembaliuntukmu.”Wajahnya dibenamkan di leherku. Sarahmengangguk.“Aku akan terus menunggu sampai kau kembali,”katanya.Ciuman terakhir. Aku melepaskan pelukanku danmembuka pintu truk. Mataku terus menatapnya.Sarah menutup mulut dan hidungnya dengan keduatangan. Kami berdua tidak bisa mengalihkanpandangan. Aku menutup pintu. Nomor Enammemasukkan gigi mundur lalu memundurkan truk daritempat parkir, berhenti, kemudian memasukkan gigimaju. Mark dan Sarah berjalan ke ujung tempatparkir dan memandang kami pergi. Air mata mengalirdi kedua pipi Sarah. Aku berbalik dan memandangdari jendela belakang. Aku mengangkat tangan danmelambai. Mark balas melambai tapi Sarah hanyamenatap. Kupandangi Sarah selama mungkin,semakin lama semakin kecil hingga tampak kabur dikejauhan. Truk melambat dan berbelok. Merekaberdua hilang dari pandangan. Aku kembalimenghadap ke depan dan memandangi ladang-ladang yang kami lewati. Aku menutup mata dan

Page 167: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

membayangkan wajah Sarah dan tersenyum. Kitaakan bersatu kembali, kataku kepadanya. Dan hinggahari itu tiba, kau akan selalu ada di hatiku dan disetiap pikiranku.Bernie Kosar mengangkat kepala dan meletakkannyadi pangkuanku. Truk bergoyang-goyang di sepanjangjalan, mengarah ke selatan. Kami berempat, bersama-sama, menuju kota berikut. Di mana pun itu.TAMATH1Kepada Penduduk BumiNAMAKU PITTACUS LORE. AKU ADALAH TETUA Loricdari Planet Lorien, yang jauhnya lima juta kilometerdari Bumi. Aku sudah ratusan kali berkunjung keBumi, dan aku berada di sini sekarang.Aku adalah salah satu dari sepuluh Tetua PlanetLorien. Bangsa kami terlahir dengan kekuatan yangdisebut Pusaka: kemampuan untuk tak terlihat,kemampuan mengendalikan elemen, tahan panas dandingin, berkomunikasi dengan binatang, dan banyaklagi. Sebagian besar bangsa Loric terlahir dengan satuPusaka Utama, dan juga menguasai beberapa Pusakaminor lainnya. Sedangkan para Tetua menguasaisemua pusaka yang ada. Legenda-legenda kaliantentang orang-orang dengan kekuatan luar biasasebenarnya bukanlah mitos. Orang-orang dalamlegenda yang kalian turunkan dari generasi kegenerasi itu sebenarnya berasal dari bangsa Loric.Bumi adalah planet yang mirip dengan Lorien sebelumplanet kami itu hancur. Kami menemukan Bumi secaratak sengaja, saat salah satu pesawat angkasa kamiyang menuju ke sebuah sistem tata surya lainmengalami kegagalan mesin. Pesawat itu terombang-ambing di antariksa dan akhirnya terdampar di sistemtata surya kalian. Pesawat kami sedang mengorbit diMars sambil diperbaiki, saat warna biru laut Bumimenarik kami. Kami mengirim pesawat pengintai keBumi dan menemukan lingkungan yang hijau, indah,dan damai. Dan yang paling luar biasa, kami melihatkalian, manusia, yang sangat mirip dengan bangsaLoric, tetapi jauh lebih muda. Manusia saat itu hidupbersuku-suku di gua, dataran terbuka, tepi sungai, danpantai. Dan kami memutuskan untuk membantu.Kamilah yang mengenalkan bahasa. Mengajarkandasar-dasar bertani, memberi alat-alat sederhana, dankeahlian mengolah logam. Kamilah yang mengajarikalian cara membangun perahu, berlayar, danmenggunakan bintang sebagai pemandu arah. Dankalian pun mulai menyebar ke seluruh penjuru Bumi.Masyarakat pun terbangun. Kami secara regulerberkunjung ke masyarakat-masyarakat baru manusia,membantu membangun piramid, kuil, candi. Kamiselalu mengawasi dari kejauhan, dan sering kalimengirimkan orang-orang Loric untuk tinggal di antarakalian tanpa kalian sadari.Saat kerajaan Yunani Kuno berkembang, kami melihatadanya potensi yang luar biasa. Yunani terletak dipertemuan antara benua-benua besar, Asia, Afrika,dan Eropa. Yunani berhasil mengembangkan bahasadan aksara, membentuk armada, dan membangundasar-dasar pemerintahan. Namun sayangnya,kerajaan Yunani terus-menerus terlibat peperangan.Tujuh Tetua kami, termasuk aku, pergi ke Yunani danmengenalkan cara berpikir yang lebih maju untukmenghentikan peperangan. Kami kemudian dikenalsebagai Tujuh Orang Bijak dari Yunani dan menjadibagian dari sejarah. Peranku di Yunani adalah sebagaipemimpin militer. Aku pertama kali muncul di KotaMytilene dan kemudian dikenal sebagai Pittacus dariMytilene. Aku membawa kemenangan atas pasukanAthena, dengan menantang duel Jenderal Athena.Pemenang dan pasukannya akan dianggapmemenangi pertempuran sehingga banjir darah bisaterhindarkan. Aku memenggal kepalanya denganpedangku. Kadang demi kedamaian, kau perlu

Page 168: muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk · Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal.

melakukan tindak kekerasan asalkan bisamenyelamatkan nyawa banyak orang.Setelah Yunani berkembang, kami pergi. Kami, paraTetua, memutuskan bahwa manusia perlu menjalanihidup mereka sendiri. Agar mereka belajar mengambilkeputusan, tanpa pengaruh kami, dan menentukantakdir mereka sendiri. Masyarakat yang kami bangunhancur. Kuil dan monumen-monumen lain runtuh.Perang dan kekerasan bagaikan candu bagipemerintahan manusia, dan sistem politik di Bumisepertinya didasarkan pada penaklukan.Bumi―planet yang dulu murni―menjadi tercemar,tereksploitasi, dan mulai membusuk. Sesekali, salahsatu dari kami datang dan mencoba dengan cara-caratersamar untuk membantu manusia, baik dengan seni,teknologi, ataupun filosofi. Leonardo Da Vinci adalahsalah satu dari kami. Juga Mozart, Joan of Arc, ThomasEdison, Winston Churchill, Picasso, Ghandi, danEinstein.Aku berada di sini sekarang karena planet kami telahdihancurkan. Seluruh populasi kami tewas dibantai rasMogadorian, kecuali sembilan anak dan sembilanpenjaga mereka. Sembilan anak ini lari ke Bumi,untuk bersembunyi, tumbuh, dan mengembangkanPusaka mereka, agar suatu hari nanti mereka bisamembalas atas kekalahan Lorien.Penampilan mereka tak jauh beda dengan anakmanusia, dan penjaga mereka tahu bagaimanamelatih dan melindungi mereka. Namun, rasMogadorian mengejar hingga ke Bumi. Merekamemburu sembilan anak itu dan berhasil membunuhtiga di antaranya. Enam anak yang tersisa kiniberusaha melawan. Seperti yang kukatakan, kamibukan manusia. Kami mampu melakukan hal-hal luarbiasa. Bersatu, keenam anak itu bisa mengalahkanpasukan perang mana pun di Bumi ini. Akan tetapi,kaum Mogadorian juga bukanlah manusia. Merekakejam, haus darah, dan tanpa ampun. Mengalahkanmereka tak akan mudah. Perang kami telahmenyebar ke planet kalian. Semua akan ditentukan disini, di Bumi. Akan ada pembantaian besar-besaran.Meski kami berusaha sekuatnya untuk melindungimanusia, korban pasti berjatuhan. Dan aku mintamaaf karenanya.Aku tak akan bercerita tentang hidupku di Bumi. Akujuga tak akan mengisahkan bagaimana aku bisasampai di sini, atau di manakah aku saat Loriendihancurkan. Aku mengisahkan cerita tentang Lorien,Sembilan Penerus Pusaka, dan perang kami denganMogadorian, sehingga kalian tahu apa yang terjadi.Agar kalian bisa ikut mencegah kehancuran Bumi. Akuakan berusaha menemukan dan menyatukan enamanak yang tersisa. Mereka saat ini mungkin sedangberjalan melewatimu, duduk di dekatmu, ataumengawasimu saat kau membaca ini. Merekamungkin di kotamu. Di sekolah anak-anakmu. Merekaterus berlatih, menunggu hari ketika mereka akansaling bertemu, dan aku. Saat itu kami akan maju kepertempuran terakhir bersama-sama.Kami menang, kami akan terselamatkan dan kalianjuga terselamatkan. Kami kalah, dan semua akanmusnah.TTDPittacus Lore

love this car ▶