Munajat Buaya Daratgaleribukujakarta.com/Wp-content/Uploads/2020/03/MBD-CETAK-OKE.pdfSumber gambar...
Transcript of Munajat Buaya Daratgaleribukujakarta.com/Wp-content/Uploads/2020/03/MBD-CETAK-OKE.pdfSumber gambar...
Munajat Buaya Darat
K i t a b P u i s i
Mashuri
Yogyakarta
2013
ii Munajat Buaya Darat
Sidobali UH II No. 419 Timoho Yogyakarta
Telp. 0274-2643064
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip, memfotokopi, memindahkan isi buku, baik sebagian maupun seluruhnya tanpa seizin penulis dan peberbit
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMER 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA.
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimak-sud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penata letak/Desain cover Alek Subairi
Sumber gambar coverNational Geographic
Cetakan pertama, 2013
MUNAJAT BUAYA DARATMashuri
Gress Publising, Yogyakarta
halaman x+118
Ukuran: 13,5 X 20
ISBN: 978-602-96826-8-7
iiiMashuri
SEKAPUR SIRIH
PENGAKUAN PENYAIR JADI-JADIAN
MENULIS puisi bagi saya adalah sebuah kebutuhan. Saya tak
peduli jargon sebagian orang yang menganggap akhir romantik
peran penyair, juga ihwal zaman yang cenderung anti-puisi,
bahkan pada dogma mereka yang masih bersikukuh dengan
tugas kepenyairan dengan terus mengibarkan tanggung jawab
penyair pada dunia dan nasib kemanusiaan. Dalam proses
penulisan ini, saya hanya ingin bertanggung jawab pada diri
saya sendiri. Tanpa menulis puisi, saya merasa ada yang hilang
dari diri saya dan saya membutuhkannya untuk menambal
yang tanggal itu. Tentu saya tak bisa abai pada kewajiban,
semacam tanggung jawab profesi, tetapi kewajiban saya
berjalan bersama puisi-puisi saya.
iv Munajat Buaya Darat
Meski demikian, saya merasa tak setiap saat saya dihadiri
puisi, sehingga tak setiap saat saya menjadi ‘penyair’. Puisi
kerap kali mengembara karena ia kadang serupa udara yang
bergerak bebas, meski di dalam diri saya sudah menyiapkan
ruang bermain, pikatan, tempat nan indah agar ia mau diam
di sana, bahkan berdiwana pada jiwa saya. Ia hanya mau
datang ketika saya mengundang dengan ikhtiar tertentu atau
tergetar atau tergoda ketika berhadapan dengan hal-ihwal
atau peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan saya, meski
sepele dan remeh-temeh. Karena itu, saya sering mendaku
diri sebagai penyair jadi-jadian. Sebagaimana harimau jadi-
jadian, yang tidak setiap saat menjadi harimau, kecuali jika
ruh harimau merasukinya, saya pun begitu. Hanya pada saat
saya kehadiran puisi, saya menjadi ‘penyair’. Selebihnya saya
bukan siapa-siapa.
Saya pun kerap menjadi pembaca puisi saya sendiri,
belajar darinya dan pada saat tertentu juga bertukar-tengkar
dengannya. Puisi, bagi saya, seringkali lebih cerdas dan
lebih menggemaskan daripada saya. Dalam posisi ini saya
tak peduli dan saya wajib berendah hati untuk memasu
sekian pengalaman darinya. Saya merasa telah demikian
dihargai dengan kehadiran puisi-puisi itu, meski tidak setiap
saat. Meski saya harus sabar menunggu dan bersiap dengan
menggali kenaifan diri, beredar dalam sekian pengalaman
dan tak lelah membaca berbagai gelaran, baik yang tersurat
maupun tersirat.
Begitulah pengalaman kerja kepenulisan saya. Dari kerja
itu, tak semua puisi lahir menjadi tulisan yang matang,
bahkan kadang setengah matang, seringkali malah mentah.
vMashuri
Beberapa yang matang atau setengah matang terkumpul
dalam buku-buku puisi saya, buku-buku kumpulan karya
bersama, tersiar di media massa, ngendon di surat undangan
pernikahan sahabat, sementara itu terdapat ratusan bakal
puisi yang tertinggal di kertas-kertas yang telah lenyap karena
dilalap banjir dan disantap rayap, SMS pada kekasih yang
sudah terhapus, status di jejaring sosial yang tertimbun status
baru, dan tilas lainnya.
Munajat Buaya Darat adalah kumpulan buku puisi saya
yang keempat yang saya ikhtiarkan menjadi tulisan yang
matang karena sebagian besar di antaranya telah mengalami
publikasi dan penyuntingan kembali. Penyusunan Munajat
Buaya Darat mengalami proses panjang, dengan menambal
dan mengurangi. Tak semua puisi yang pernah tersiar ke
publik, atau yang terbiar sebagai bacaan sendiri, bisa begitu
saja menjadi bagian darinya.
Sejatinya buku puisi ini adalah kumpulan puisi kelima
saya, karena Patigeni yang saya rencanakan menjadi
kumpulan puisi keempat harus rela abadi menjadi manuskrip
karena kesulitan mewujudkannya dalam bentuk buku. Bukan
rahasia lagi, menerbitkan buku puisi pada era kini di sebuah
negeri yang bernama Indonesia adalah kemewahan yang luar
biasa, wabil khusus bagi penyair jadi-jadian seperti saya. Saya
berhutang budi pada begitu banyak pihak dalam mewujudkan
buku ini.
Kepada penerbit Gress Publishing, saya haturkan terima
kasih sebanyak-banyaknya yang telah memberi saya ke-
mewahan karena bersedia menerbitkan kumpulan puisi saya.
Kepada Prof. Dr. Faruk, S.U. saya haturkan terima kasih tak
vi Munajat Buaya Darat
berbilang karena menyempatkan diri di sela waktunya yang
padat-merapat untuk memberi epilog. Juga pada kawan-
kawan di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan segenap pusat-
pusat di Jawa Timur, seperti Lamongan, Gresik, Bojonegoro,
Sidoarjo, Ngawi, Jombang, Mojokerto, Ponorogo, Banyuwangi,
Situbondo, Pasuruan, Malang, Madura, dan lainnya, saya
haturkan terima kasih yang tak kuasa dihitung dengan
angka.
Sebagaimana yang saya nukil pada awal, menulis puisi
sebagai kebutuhan saya, tetapi puisi tetaplah puisi. Ia tidak
hadir dari langit kekosongan belaka. Ia pun tak mudah dikotak
dalam sebuah tempat yang rapat dan kedap suara. Jika di
antara Pembaca, ada yang bersua, bahkan mungkin akrab,
dengan puisi saya, tentu itu karena kemurahan pembaca yang
telah meluangkan waktu untuk menyapanya. Adapun jika ada
yang memeroleh sekeping kemanfaatan, bahkan mungkin
sejumput berkah, tentu itu bukan wilayah saya dan puisi-puisi
saya…
Demikianlah sekapur sirih dari saya: penyair jadi-jadian.
Selebihnya, wallahu waliyyuttariq!
Siwalanpandji Sidoardjo, Desember 2012
MASHURI
Buat dua cahaya mata
Mayang Khalila PosmodernaDamar Renaisan Falah Failasuf
viii Munajat Buaya Darat
DAFTAR ISI
Sekapur SirihPENGAKUAN PENYAIR JADI-JADIAN .......................................................... iii
PATIGENITukang Potong ..................................................... 2Perempuan Bertubuh Ombak ................................ 4Luka Adammakna ............................................... 6Percakapan Taman ............................................... 9Khidr ................................................................. 11Siwalan Perawan ................................................. 14Obat Hati ............................................................ 15Munajat Buaya Darat ........................................... 17Lelaki yang Menggali Kuburnya Sendiri ................. 21Aku Bangun Kubah di Lembahmu ........................ 23Patigeni ............................................................... 28Malaikat Rangkap ................................................ 30Jejaring .............................................................. 31Suara Mendaki .................................................... 32Kemarin .............................................................. 34Ladang Pengantin ................................................ 35Hari .................................................................... 36Lorong Tak Berujung ............................................ 38Puisi yang Sama .................................................. 40Tanjung Cintaku .................................................. 41Gaung Kedung .................................................... 43
ixMashuri
PEJANTAN MATAHARIMeja Perjamuan ................................................... 46Sihir Pesisir ......................................................... 48Ke Dinding .......................................................... 50Kesabaran Abad ................................................... 51Laut yang Cidera.................................................. 53Kupu ................................................................... 55Amsal Gulma....................................................... 57Perempuan Laut .................................................. 58Rindu Bidadari .................................................... 59Yang Terkubur Laut .............................................. 60Jelaga .................................................................. 62Cucu Tarub .......................................................... 63Bintang Jatuh di Hatiku........................................ 64Sepanjang Tubuh ................................................. 66Hujan ................................................................. 68Pejantan Matahari ................................................ 69Peta Hati ............................................................. 70Rol ...................................................................... 72Imaji Bebuahan ................................................... 74Hati Gunung ........................................................ 75Kitab Perempuan ................................................. 78
ASMARASUPIDarah Hitam ........................................................ 80Buku Masa Lalu ................................................... 85
x Munajat Buaya Darat
Kerudung Bergambar Ular .................................... 86Bulu Burung ........................................................ 87Nujum Maut ........................................................ 88Surat Malaikat ..................................................... 89Tebing Kuda Lumping .......................................... 90Dadar Rembulan .................................................. 92Kahyangan Api .................................................... 93Ziarah Matahari ................................................... 95Sesat Sesaat ......................................................... 96Hantu Lempung .................................................. 97Luka Laut ............................................................ 98Belukar Langit ..................................................... 99Asmarasupi ........................................................ 101Ziarah ke Sintal Pinggulmu................................... 102Ciuman Gula Merah ............................................. 104Mantram Kolam .................................................. 105Ilusi Musim ......................................................... 106Cenayang Dermaga .............................................. 107Berkah Gravitasi .................................................. 108
Epilog ..................................................................... 110LULUR KYAI DI TUBUH BERDAKIProf. Dr. Faruk, S.U.
RIWAYAT PUBLIKASI ............................................... 116TENTANG PENULIS ................................................. 117
1Patigeni
PATIGENI
2 Munajat Buaya Darat
Tukang Potong
Ia selalu siap dengan gunting dan sisir
Di bawah pohon yang demikian pesing, anyir
Oleh kencing pejalan, juga kencingnya
Juga kencing pelacur-pelacur yang saban malam
Ngelindur di bawah pohon
Di dekat neon
Tempatmu dulu pernah bermain mercon
Sambil mengintip pemulung mandi, juga gembel
Yang mengurut tubuhnya, agar daki yang lagi menempel
Di tubuh dan pergi
Seperti kereta yang datang dan berangkat
Di stasiun, tempat segala yang muda, jompo
Terangkut
Suaranya selalu bersuling: “antara Wonokromo
Dan Semut”
Ia akan menjambak-jambak rambutmu, agar kau
Tak kantuk, agar kau terjaga dan sadar
Bahwa ada yang berkurang dari dirimu
“Berjagalah, agar aku tetap ingat
Yang harus aku babat adalah rambutmu, bukan kuping
Atau lehermu yang tak terawat”
Ia selalu siap dengan gunting dan sisir
Meski kadang-kadang datang seorang perempuan
Yang mengaku bunting dan menyoalnya dengan nyinyir
3Patigeni
: “Kau laki-laki tak pernah membuktikan kelelakianmu
Kepadaku”
Ia tersenyum diam-diam, sambil menggumam
Aku sudah tahu, seberapa lebat rambut yang masih
Menempel di tubuhmu, dan yang sudah jatuh
Ke debu
Sidoarjo, 2007
4 Munajat Buaya Darat
Perempuan Bertubuh OmbakLa, tout n‘ est qu‘ ordre et beaute
Luxe, calme, et volupte
Charles Baudelaire
tarianmu surga yang tak pernah selesai; langkahmu seperti
pengemis yang berdoa dari rumah ke rumah untuk sejumput
derma — atau sia-sia, karena dunia begitu luka terpahat di
lenganmu, merintih di antara selendang, senyum, kerling
dan ranum dada yang memesona; merintih dalam ria
dari jendela ini, kuintai langkahmu; tapi langkahmu bagai
jejak-jejak ombak di pantai sehingga aku tak menemu
tilasnya; ah, adakah arah terbujur ke barat atau timur atau
berhenti dan gugur, karena riuh gerakmu tak juga terindera di
mata; ibarat batu yang tampak tapi lekas lepas menuju muara
tapi aku hanya bisa berbisik dari daun jendela yang tertutup
ini, di sebalik tirai, seperti katup jantung dikurung seribu
sangsai; sebentuk iman yang meyakini detak tak mungkin
berhenti jika surga masih membayang dan neraka rumahkan
cendawan, di sebuah musim, saat hujan tak lagi asing
aku pun mengerti, pinggulmu seamsal rotasi segala
khayali, tentang hidup, kuyup tubuh, juga helaan yang
mengusir seringai serigala dari kelenjar tuk bertukar-tengkar
dengan geletar ranjang dan altar; aku pun tak peduli
apakah telingamu tergetar oleh ingin, sebentuk suara yang
merumrum dada, sebentuk kehendak yang berontak di otak,
sehingga kau wartakan asa lewat buntal pinggulmu nan
sintal dan sentausa
5Patigeni
sungguh, kuingin kau berlari di sepanjang suara; menukik
ke lubuk musik, seperti bima, agar tarianmu yang berputar-
putar di retas geletar, di liar yang mengguncang, juga
pada jejak gerak dalam diam, merajam kesunyianku, agar
sahwatku sempurna dan ibu terjelma dari mimpi, agar dunia
tempat nafasmu bersua dengan udara, tempatku bercakap
denganmu dalam gelap jiwa, selalu menyisakan pesona;
meski kita sama sepaham: kesakitan adalah bahasa yang
tak pernah mangkir dari makna; meski kita juga sepaham:
kesakitan tak kenal kata.
aku kembali tertawan nganga, seperti 100 tanda yang
bertugur percuma, saat seseorang mengubur tubuhmu
dan hanya menyisakan kepala, agar aku dan sejuta mata
merajam kepalamu dengan tatapan batu-mata; aku pun
semakin kosong dan luka; diam-diam aku berharap dengan
harapan-harapan ganjil, tak genap, karena…
mungkin tarianmu semakin indah dan bergelora, saat
pelupukmu terpejam dan kau melangkah di antara buih,
ombak dan riak dada bergetih, yang tak letih pulang-pergi
antara riang-sepi, jalang-suci, nyata-mimpi; pantai singgahan
pun semakin mengabadikan gelayutmu dari satu langkah
ke langkah lainnya, dari satu gerak ke gerik berikutnya,
sehingga kau terus mengimani: “sungguh, tubuh surga tak
pernah selesai diluluri”
Surabaya, 2007
6 Munajat Buaya Darat
Luka Adammakna :Ceritera Bunda
dalam kitab yang tak pernah kau baca, aku menemukan
cerita; cerita yang sering kau dongengkan kepadaku ketika
malam telah menjelma jubah hitam; malam yang mengurung
sekaligus membebaskanku dalam gelap; aku pun seringkali
bertanya, bagaimana kau bisa mengingat kisah-kisah di
lembar yang tak pernah kau gelar di matamu, bagaimana kau
bisa begitu detil menyentil kisah-kisah gumpil yang terwarta,
bagaimana kau bisa padahal kau tak pernah membacanya,
bagaimana…
sedangkan aku masih suntuk meraba; mendedah lelakonnya
seperti seorang kanak yang baru belajar mengenali alur yang
terus mengalir di arus yang bernama waktu; berakrab dengan
tunas, dengan nafas tetumbuh, dengan riuh permainan yang
bergemuruh di pembuluh darah; bahkan pada tokoh-tokoh
yang menjadi pilar dan berjalin-kelindan dengan nasib, aku
pun masih asing —aku pun menghapalkannya, sebagaimana
aku menghafalkan doa-doa yang kau titipkan kepadaku,
agar aku mengingatnya: baik sebelum atau sesudah tidur;
doa yang katamu, bisa melunturkan kisah-kisah sampah dan
menguburkan kisah-kisah berhikmah di sanubariku...
dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, aku mengenal
diriku sendiri —sebagaimana aku mengenal diriku ketika
bibirmu mulai melisankan dongeng pengantar kantukku; aku
pun bertugur di karang dan sendiri, menatap gelombang dan
sendiri —aku menjadi sosok yang berdiri di antara kata-kata
7Patigeni
yang berlompatan dari bibirmu dari otak dari perasaanmu;
aku pun menjadi sosok dari aksara-aksara yang tertata di
lembar-lembar lontar, terbias dalam pikiran dan nafasku; aku
menjadi...
tapi sepi sering menjadikanku bagai tikus, aku diperaja di
antara tetikus di antara sesawah, kekali, juga bilik yang
pernah kau beri nama: sunyi... aku selalu merasa terasing dan
sendiri, meski riuh suara bercericit, bagai pintu besi berkarat
yang digebrakkan langit, langit hatiku; bahkan pada malam
yang telah membungkusku dengan baju kegelapan, aku begitu
sering tergagap... untuk menemukan suaramu dan tidak
sendiri terpenjara dalam gelap, ah
aku begitu merindukan suaramu, suara-suara yang menuntunku
untuk menemukan liuk jejalan, sesapa, juga kutipan-kutipan
percakapan yang membuatku sering terpana: “bukankah segala
peristiwa itu terjadi di antara kita, dibungkus dalam kata-kata
yang bisa kita temukan dalam peta...”
tapi dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, aku juga sering
terbata; aku seperti berhadapan dengan diriku sendiri, bercakap
dengan diriku sendiri, dan menjadi diriku sendiri —meski
ketika aksara itu berdiam, aku pun terpagut dalam malam,
tenggelam dalam kubangan yang tak aku pahami, beku, bagai
pelaut yang tercerabut dari laut tempatnya bersujud...
mungkin dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, dalam
8 Munajat Buaya Darat
dongeng yang kau ucapkan dalam tidur-tidurku, kisah-kisah
itu adalah kisah yang pernah mewarnai ingatanku, kisah
yang pernah menjadi dasar dari perjalanan hidupku dan
pernah aku lalui dalam waktu yang lain, dalam sebuah nasib
mungkin, karena itu aku sering begitu berkarib, juga sering
terasing, tersalib…
aku pun terhajar untuk menemukan makna adamku...
Sidoarjo, 2007
9Patigeni
Percakapan Taman
: Hani’atul Mariah
ketika kita bercakap cinta, aku teringat jelaga
yang menempel di langit-langit kita; jelaga itu tidak saja
membuatku terjaga tetapi melesakkan pikiranku pada muasal
sorga pertama: waktu aku terbaptis sebagai muasalmu
karena igaku ‘lah berlepasan dan menujum wujudmu
menjadi perempuan
”tetapi aku bukan diciptakan dari iga...,” aku masih
bisa mendengar raung igaumu, dulu, ketika malam merapat
ke pintu kalbu dan langit-langit bersekat jelaga semata;
jendela jiwaku pun hanya lubang yang teramat rapuh
dijadikan suluh; jendela yang tak kuasa menjadi mata
rumah, jendela yang terjela oleh bingkainya sendiri dan tak
berempah;
ketika kau bertanya ihwal cinta, aku pun terbata; lalu
kugurat di sebalik tudungku bahwa rahasia tak lagi terpeta
dalam kata semata; aku telah menjemput wujudmu sebagai
perempuan, tanpa perlu mengingat awal penciptaan sebagai
sorga
“tetapi aku ingin kau percaya, aku bukan tercipta
dari igamu yang patah,” aku masih ingat desahmu; aku lalu
meraba dadaku, kutemukan batu-batu tumbuh; aku pun tak
lagi berkiblat pada hikayat para penista; sungguh, kita tak
lagi harus terpenggal di awal sesal yang kita sebut dosa asal
ketika kau berkisah cinta tanpa sesal dan ingatan
dosa asal, aku pun memagutmu tanpa rapal; meski kelak
kita terbuang dari taman fi rdausi dan tercampak ke jejak
10 Munajat Buaya Darat
purba untuk merajut sorga sendiri, tapi kita masih mengingat
ada taman penuh angan di rumah ingatan; kita pun masih
menulis kepastian di dedaunan bagai embun yang jatuh
ketika rembulan melingkar purnama dan menyisakan
cahayanya esok pagi
ketika aku berkata: “tiada cinta yang lain, selainmu,”
taman-taman pun tercipta di antara kita; fi rdaus baru
terbangun di dadaku, dengan sepetak bunga-bunga,
sepasang bangku dan di sana: ada kau, aku dan cinta.
Sepanjang hati, kulihat matamu terjaga, aku pun tak lagi
menyoal ihwal jelaga.
“aku pun tak lagi menyoal iga,” katamu.
Surabaya, 2007
11Patigeni
Khidr
1/
: Perburuan
Seperti Musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera:
kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih
ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam
ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku
masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu
dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang
para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…
Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua,
aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang
antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku
selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam
melabuh: aku pun bergemuruh.
Kita bertemu…
Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera,
kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal
dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu
hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu
meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung
altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”
Seperti Musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku
terbakar!
12 Munajat Buaya Darat
2/
: amputasi kepala
Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata,
lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi
kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku
pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa
yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku
timba dari usia yang tersia dalam waktu
Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu
di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan
hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar,
sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh
onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut
kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di
alir yang kau naungi
Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat
mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar
memintal ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku
harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi,
yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai
di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…
13Patigeni
3/
: Surat pembuka
Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca surat
berayat tujuh, berlipat-lipat; aku kirimkan kepadamu dengan
jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti
tersengat bisa ular paling berbisa; tapi aku selalu saja
ingin mengulang kata demi kata dari surat itu, agar tuah
terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa
denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia
entah”
Lewat surat pula, aku berharap ada yang bisa aku buka
dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku
bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang
sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai
akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu
kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.
Tapi begitu surat itu aku baca, kunang-kunang
langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris
secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “Berilah
surat pembuka ke lukamu, luka kerinduan yang selalu
membuatmu ingat dan berharap…”
Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab
ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan
melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan…
aih!
Surabaya, 2007
14 Munajat Buaya Darat
Siwalan Perawan
1
di bebuah siwalan, bibirmu membekas
serupa pendaras
menyadap nira, di batas mayang dan bunga
kubayangkan arak tua berserak di meja
di pundi-pundi, di perjamuan
kita pun diamuk mabuk; meski geluduk meruntuhkan
gumuk
yang berdiam di lembah pelupukku
2
aih, sungguh jernih liurmu; kubagi dalam diri
di kesementaraanku yang abadi
meski maut seputih tulang, aku tak peduli
kerna di pantaimu, segala cinta jelma samudera
digemuruhkan renjana; meski hening dan papa
3
di belah pelepah ini, bebuah bagai pipi
ronamu terbagi
saat pendaki istirah di tepi, bertopang kaki
mimpi
Surabaya, 2007
15Patigeni
Obat Hati
obat hati yang kau tawarkan kepadaku adalah bir
dengan gambar yang selalu kutuju: tubuh berlendir
tapi lekuk penuh rangsang itu tak kunjung telanjang
meski sejak 17 tahun, aku memelototinya dengan
segenap pandang; kini, di usiaku yang ke-31
sosok itu masih saja mengenakan gaun ungu
malah aku yang sering telanjang begitu menenggak
isinya: ah, dasar keparat juga
bir cap daging bersungging; aku selalu bergelap
untuk menguji nyali tentang kesabaran
dan kepastian menunggu; aku pun sering mengigau
“hai kau yang kekal di gambar, jika kau tak kunjung
melepas baju, bagaimana bisa aku mengupas
tubuhmu
jangan biarkan aku menunggu, dengan mengompas
anak-anak di gang, agar aku bisa mereguk dan memelototi
tubuhmu yang selalu saja utuh”
dan obat hati yang kau tawarkan kepadaku membuat
hatiku semakin tak tentu; sakit hatiku semakin kumat
dan dalam kurun 17-31 tahun, aku hanya menemukan
diriku bergumul dengan ingatan-ingatan retak
pada perempuanku yang luka dan sengak
16 Munajat Buaya Darat
pada dadaku yang koyak
juga pada rinduku yang boyak
dan ingin kembali ke rahim bunda –memintal jejak
: “o bunda, aku kini telanjang dan ingin kembali kepadamu
masihkah rahimmu terbuka terima kekafi ranku”
sungguh, obat hati yang kau tawarkan kepadaku
selalu membuatku selalu seperti kanak-kanak
: kencing di jalan, di got, ambruk di lorong-lorong gelap
menuju rumah, menuju kepulanganku yang indah
tapi tak pernah
Surabaya, 2007
17Patigeni
Munajat Buaya Darat : hotel itu bernama Surabaya
selat itu menyekat pipih geografi , kau menyebutnya: Surabaya
kota yang terbaca dari titik kecil: noktah hitam di peta,
di pinggir delta, di tepi laut Jawa
kau berhayat di antara kiblat-kiblatnya
ketika kita bertemu tanpa sekat, lalu kau
melihat sebarisan malaikat —di Ampel, di Bungkul, berjamaat
atau tak terangkul di seberang semak-keramat
tapi aku terasing, buta, serupa pejalan yang tak sempat
melihat ujung tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh
aku pun tak mampir berlabuh, tak parkir ke riuh
: bongkar-muat, ganti cawat, atau angkat sauh
kau tetap saja berkisah dengan angka, tahun-tahun
tapi aku seperti tersekat di seperempat abad pertama
pasca 1900: saat segala genap menjadi ganjil
dan segala luapan demikian gigil
saat gelora masih membenih di asa: meletup ke degup
indra, seperti pelari dengan api
yang tak redup, meski hati terseret ke jalan-jalan mati
jalan penuh mimpi!
lalu kau sebut 45: aku pun tersudut ke ruang nganga,
aku tak ingat sungguhkah gaung itu meraung
demikian agung; adakah tonggak: lingga yang menancap
tanah demikian tegap; lalu kau acungkan sahwat
: o, pahlawan, pahlawanku bertugu
tapi aku pun seasing budak belian kembali,
18 Munajat Buaya Darat
ketika segala temali mengikatku lagikutapaki jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatukulihat mercu suar membubung tinggi, berkabutaku terpana ke pesona : di lorong-lorong renjana aku dipersilah dengan pantun penuh gairah:
“Tanjung Perak, kapale kobongmangga pinarak, kamare kosong!
kapal di Tanjung Perak terbakar gosongsilahkan singgah sejenak, kamarnya kosong!”
kau pun beringsut, seperti seorang yang mengigautapi aku bersorak, tanpa risau:“inilah Surabaya, hotel tempat singgahtapi bukan tempat berlibur, atau mengubur darahsegalanya lemburseperti juga kapal-kapal yang berhenti laluberangkat, berganti-gantidi sini, segala ranjang tak cukup dipandangtapi dieramisilahkan merangkak, sebab segala sprei tak sengaktak ada jerami, tak ada jejakkecuali apak selangkang sendiri, yang kumalketika segala kemudi kembali ke asalke tujuan awaldi sini, kamar telah menjadi lingkar
19Patigeni
dan tak kenal bujur sangkar”kau pun turun, menghitung kesunyian demi kesunyiantapi biografi telah terbelah, garis-garis itu saling patah kau dapati dirimu batu
tak berayah-beribu —kau sangsikan jejak-jejak panjang, segepok riwayat nan keropokihwal pertempuran di delta antara ikan-buayalalu segalanya menjadi namakota, jalan, kampung, sungai, juga lorong-lorong keparattempat buaya darat bermunajat… kau pun sangsikan segala sebab; kerna tak ada warta yang lebih nyata kecuali kata-kata dustayang diulang ke berjuta
aku pun tersampir seperti gombal lusuh
di pinggir lenguh —aku tak hirau pada riuhsejarah ingatanmukudapati tubuhku, kurayakan tubuhkuseperti persinggahan di tengah perjalananyang tak mengenal kenangkenanganku pun hilang bersama sunyi : perempuanyang selalu berharap diairi, di semak, di makamdi rumah-rumah yang berjajar dengan geletar
ketika kau mabuk
dan ambruk kedalaman luka tak berufuk
: silam!
20 Munajat Buaya Darat
kuangkat bir hitam, kuingat pada anak terkutuk
: diriku yang adam!
aku bangkit, kuangkat sauh, kulenguh langit
: “beri aku harapan untuk berlayar ke cakrawala
tanpa rasa luka oleh perih kenang dan ingatan pada usia”
di seberang, kubangun kota-kota di hatiku
dengan batu-batu yang kucuri dari persinggahanku
agar aku tidak melupakanmu,
melupakan angka-angka
yang sempat kau hitung dengan deret aritmatika
yang tak kunjung kau ketahui jumlahnya
—kecuali waktu yang terus berputar
kau tetap tak tak ingin sesat di silam
dan terbenam bersama jangkar malam
: kini telah 180 derajat berputar
tak ada alasan untuk membangun sangkar
kuharap di milenium ini, kau tak lagi terpaku
pada paku silammu yang abadi
tapi mengandangkannya di kalbu
lalu kau tulis deret rumus baru
: bahwa zaman telah berganti
hotel itu harus diperbarui, dicat dan pugar kembali
atau disucikan api…
Surabaya, 2006-2007
21Patigeni
Lelaki yang Menggali Kuburnya Sendiri
lelaki itu menggali tanah di beranda
ia biarkan pintu rumahnya terbuka, ia sudah lupa
kapan terakhir menjumlah usia, juga
menghitung para tetangga
ia hanya ingat: ada harta karun yang belum kunjung
tergali menjadi unggun kencana
ia terus mencangkul, meski banyak mata menatapnya
banyak yang menyindir, bahkan mencibir,
bahwa takdir tak bisa dipelintir
ia sudah pesan pada istri pertama: “jangan ganggu aku
sebab aku sedang meneguhkan keyakinan kelelakianku
ke pusar tanahku”
pada istri kedua ia telah pamit untuk menggamit
kembali sunyi yang tak pernah teraih
sejak mereka bertemu di taman, ketika si istri masih perawan
dan ia, yang sudah beristri itu, mengaku bujang
lelaki itu jatuh cinta; dan ia mengaku, itulah cinta pertamanya
ia juga sudah pamit pada istri ketiga, agar si istri
terus mengajari anak-anaknya agar tak takut bermimpi;
ia juga berpesan: “doakan aku
karena aku sedang memburu kalbu yang hilang
dilindas waktu, aku sedang menguji kesetiaan hatiku
pada batu-batu”
22 Munajat Buaya Darat
kini lelaki itu tampak tabah, ia terus menggali tanah
terus menekuri nyeri yang sempat terlintas
ketika mata cangkul mengkilap menyergap nafas
lelaki itu terus mencari, bahkan ia sudah lupa
pada rumahnya, tetangga, istri-anaknya,
konon, ia pun sudah lupa cara meminta
lelaki itu menggali dan menggali
sambil terus meyakini bahwa di balik bumi
ia bakal menemukan apa yang dicarinya selama ini
harta karun tersembunyi: “istri keempatnya yang aduhai”
Surabaya, 2007
23Patigeni
Aku Bangun Kubah di Lembahmu
1/
Aku bangun kubah di lembahmu; aku eja tetanaman
yang menjalar di tebing-tebingmu, lalu kusandarkan
punggung di ujung bak seorang penafsir yang getir:
‘hadirmu kembali menciderai ingatanku, hadirmu kembali
mengembalikanku ke awal ketika aku lupa cara menghapal
dan aku harus terus menuntun hasrat ke balik surat-surat
yang mencatat pertemuan dan khianat…’
Tapi aku telah kembali dan kau pun tertemali; kuguyur
kesepianku di gurat daun-daun yang menghijau… juga di
nafas gunung yang melambungkan asap-asap kemabukan
—bibirku meracau, kembali mengeja tubuhmu, tanah, akar-
akar tunjang, juga kengangaan yang tercipta di antara ruang-
ruang kita, ketika kubah masih terbata untuk memenuhi
lembah dan mimpi mengusir lamunan ke pinggir keraguan:
bahwa gairah akan tergadai jika laut tak kunjung pasang di
dada, dan perut masih menagih janji pada rumput-rumput
Aku bangun kubah di lembahmu, tetapi aku masih saja
asing dengan aksara yang berpilin di antara pilar-pilarmu, di
antara kaki-kakimu yang menapak jejak dan meretak sampai
ke keningku…
24 Munajat Buaya Darat
2/
Belatung bersayap hinggap di ubun-ubun
Gelap, embun menuntun harap
Pada maut
Tapi mautku lebih menikam dari seribu
Malam, yang diungsikan rembulan
Dan bintang
25Patigeni
3/
Ketika kutatap abjad-abjad yang terpahat di pintu
Aku pun lupa, haruskah aku mengetuk dulu, atau
mengutipnya
Karena ingatan berlari lewat jendela
Dan mendesingkan sebuah peluru
: sungguhkah sesuatu yang pernah tertangkap
Berlalu, atau terjebak di kamar-kamar gelap
Aku pun lupa, bacaanku menguar di udara
Bak angsa-angsa yang beterbangan
Tanpa menyisakan jejaknya
Kusebut sajakku dengan lupa, sebagaimana aku
Lupa memberikan satu ketukan
Di pintu, agar sebuah ruang terbuka
Dan ruang lain memberikan segalanya
Juga rahasia
26 Munajat Buaya Darat
4/
Arak-arakan berjalan, lelaki menabuh genderang
Merak, harimau, kuda, dihadirkan di awan
Awan pikiran
Perihal cinta dan kerinduan
Untuk membunuh
27Patigeni
5/
Bagai bunga yang tumbuh di tepi taman
Aku sembah batu-batu
Aku baptis kesepianku lewat gerimis
Lewat amis air mata-air yang mengukir ritmis kata
Secawan puja ke langit tak terpeta
Kusebut: sajakku luka,
Aku terluka
Surabaya, 2007
28 Munajat Buaya Darat
Patigeni
pada hari ketiga pengasinganku dari cahya, dinding-
dinding kamar begitu cepat melebar dan menyempit; aku
seperti roti panggang yang dibolak-balik: diperlonggar dan
dihimpit; kulitku seakan dilepas dari urat-dagingku, nyali
dan hatiku berantakan, tersekat di ruang-ruang di luar diriku
uap arak tua menyeruak paru-paru, kerongkonganku
dicekik tangan-tangan raksasa; aku merasa mataku
berloncatan ke lantai, ke dinding, ranjang, juga atap-atap,
juga ke sebalik bulu dan rambut yang tumbuh dengan lebat;
aku mencuri pandang di kegelapan —aku saksikan dadaku
bergetar, tanganku melambai dalam kulai, bibirku mencipta
tebing yang tersungging dari senyum tak pasti, karena aku
pun tak bisa memilah: “sungguhkah aku berduka atau
bersuka… ,“ kerna maut telah jelma pisau terbang mencari
mangsa; maut yang membuatku karib sekaligus takut, maut
yang entah di mana hulu dan muaranya yang kelepaknya
bak sayap-sayap kelelawar menggetarkan malam
aku saksikan berpuluh kanak-kanak dirantai, lalu
dibantai; kepalanya menggelinding memenuhi ruang
heningku; aku melihat berjuta pria dikebiri; jeritnya
membuat kaktus, hatiku hangus; aku melihat beratus wanita
ditusuk bawuknya; getar tertahannya menderakan bilur biru
di dada; aku juga menyaksikan berjuta-juta manusia berkulit
lebam di panggang di bawah terik, tapi terus dihardik
sebagai budak…
aku saksikan begitu banyak terngkorak berjejalan di
goa bawah tanah, aku saksikan… telingaku pun mendengar
29Patigeni
suara pekik, seperti gemuruh, seperti aum, seperti suara
cicak, seperti suara angin, seperti suara gobang yang
ditebaskan ke leher, aku mendengar seperti suaraku sendiri
yang tiba-tiba lantang, berteriak: ‘cukup!”
setelah itu, mataku terbuka; tak ada damar di kamar;
senja sepertinya begitu lekas berguling ke malam
begitu aku ke luar kamar, aku saksikan bintang-
bintang bersinar; ternyata malam masih gelap, ternyata
dunia demikian senyap
Surabaya, 2008
30 Munajat Buaya Darat
Malaikat Rangkap
malaikat itu bangkit dari tidurku, tubuhnya kemilau oleh mimpi
ia kusebut dengan putih
tapi tak ada sayap di punggungnya, sayap yang mengisi
impian kanakku, sayap yang selalu membuatku ingin terbang
ke awan dan bercakap dengan gemintang
begitu ia tumbuh dengan tubuhku, aku pun melabuh asaku
ke ratap, lalu berharap
ada yang datang dengan sayap gelap dan mendekapku
ketika aku terjaga, ada yang bangkit dari igaku
tubuhnya kelam
ia pun aku sapa malaikat hitam
sayapnya tumbuh di tubuhku, melebihi malam
sayap yang selalu memberiku tabir agar aku tak telanjang
ketika sujudku selalu di ranjang, selalu merajut kesunyian
dari gaduh…
setubuh.
Surabaya, 2008
31Patigeni
Jejaring
jejaring itu mengingatkanku pada ikan
ikan yang terbang dari buritan, ketika sakal menghajar
lambung kapal
tapi jejaring itu kini telah menjebak tubuhku
sendiri —kulitku pun perih, lapar menghantarkanku
pada sia-sia
dahaga mengirimkan pesan terakhirnya bahwa aku
tersudut di ruang yang tak terkenali, jiwaku
tertemali…
aku pun rindu ikan yang beterbangan
meski sakal menghajar harapanku
karena sekat waktu begitu keparat merapatku
ke karang
bagai badai yang bergandengan dengan hujan
dan merajam pelayaranku
Surabaya, 2008
32 Munajat Buaya Darat
Suara Mendaki
Ketika suaramu bagai musik yang mendaki
dari bukit ke bukit,
aku pun tercuri
tapi suaramu terlalu sunyi, sedang
langit tak berpesan apapun untuk sepi
sungguhkah kau tak akan berhenti
di ujung tapal, ketika aku masih hapal pada abjad
yang tertera di keningmu
dan melati yang terurai di sepanjang rambut
juga pada suaramu yang meningkahi dinding-dinding
hatiku, hingga dingin aku rasai
api
di malam itu, sungguh suaramu bagai tubuh
yang gemulai, menari
dan mengundangku terusir dari desir sepi
menyulap kelaminku menjadi tonggak penuh mimpi
berpahat ritus-ritus panjang, ranjang
juga lenguh tertahan
dari kesementaraan
tapi ketika suaramu bagai pelarian yang turun
dari lembah ke lembah
aku pun terjajah untuk mengenal kata pertama
sebagaimana sabda yang mendepakku dari remah
pohon silsilah
33Patigeni
lalu aku terbata menyetubuhi kekosongan darah
sebagai pendosa
“ah, Eva, di mana aku bisa merampok suaramu
dalam pita yang kelak aku sebut sebagai sumbu
dari pelarianku yang percuma dari darah di aorta…”
Surabaya, 2008
34 Munajat Buaya Darat
Kemarin
hari ini tersisa nasi basi
ada tubuhmu di situ
diam-diam, aku memunguti ulat
yang tumbuh di matamu
tapi pelupukmu bagai sumur
yang mengubur hari lalu
ketika aku terjaga, kelopakmu membuka
aku lihat kupu-kupu beterbangan
dari retina
aku ingin menangkapnya
tapi matamu berkelebat dari barat
ke timur, seperti penggali kubur
yang berhasrat menanam mayat secepatnya…
Surabaya, 2008
35Patigeni
Ladang Pengantin
Kutemukan sajak-sajak kecil di ladang pengantinku
Pupus daunnya hijau muda, pucuk rantingnya
seramping lembing patah
Aromanya yang murni dan bening
membuatku ingin terbaring,
memanjatkan imaji ke tebing tinggi, teriring musik
bisik sesinom yang bersijuntai oleh angin
Mata mungilnya nan teduh
menggiring anganku pada mempelaiku nan jauh
Aku pun merawatnya seperti pembuka huma
yang telah berwindu dirundung rindu tanah
dengan kalbu yang selalu digelayuti gulma tak menentu
Kelak ketika musim terlewati dan jisim berganti
mempelaiku akan turun ke ladang persemaianku
menawarkan seribu surga yang berpangkal
pada sajakku yang mulai tumbuh, meski ada yang terpenggal
Ketika ia menyibak rambutnya dan membiarkan
seluruh kata luruh ke tubuh, jumbuh ke lenguh,
aku angkat anggur dan mawar
Anggur guyur kerongkonganku, mawar bakar kelenjarku
Hingga aku lebur ke tungku….
Sajak-sajakku menjadi saksi pernikahanku
dan selalu menitipkan sejarahnya di tubuhku
: ihwal tamsil sederhana, sebuah sua, pusar renjana
kata, -di luar kata
Surabaya, 2008
36 Munajat Buaya Darat
Hari
di pagi yang kerontang, aku menggaris matahari
sinarnya giras mewarnai cakrawala
tak ada tilas malam di pucuknya, kecuali gigil
yang membuat bundar itu gumpil
dan sebuah noktah hitam di pusar
sebagai tanda: semalam ada yang hilang sasar
aku pun berharap air turun
di kedung, ikan-ikan ‘lah meraung
dengan mata letih aku terpejam, mengundang nuh
datang, dan melabuh bah ke haribaan
sebagai impian akut
perihal hujan
siangnya awan berarak di angkasa
tanganku masih tetap tengadah, meski aku tahu
jemariku telah merajut neraka yang sama semalam
ketika nanti tetes pertama datang
dan seseorang menginginkan sebuah kepulangan
yang indah
tanpa air mata…
37Patigeni
senja pun hamil tua
dan malamnya, jabang terlontar dari celah langit
dalam wujud rintik
sedangkan aku pun berbalik ke bilik
merenda kembali bara, sambil berharap
di ujung pagi sana
surga masih setia…
Surabaya, 2008
38 Munajat Buaya Darat
Lorong Tak Berujung
rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
sambil mencecap remah roti, menuang anggur ke cawan
malam, dan membunyikan lonceng
tanda kebaktian
di buih yang memutih, dan selalu ada, aku menangkap
maut —seperti kepastian ombak yang tak lelah gerak
mencari jejak, berburu tenang
yang terbuai di tepian…
tapi sungguh
bukan itu yang aku kenang; bayangmu seperti liliput
yang bertabir kabut
dan aku tercuri dari waktu
dan rahasiamu masih saja mengasingkanku
di haluan, di buritan, aku hanya menangkap permukaan
ah, sungguhkah aku harus memburu bayangmu
di balik gelombang —yang bisa menawanku dalam ragu
karena geraknya tak tentu
kelak, aku pun tetap bisu, pulang dengan kehampaan
sambil bersandar di pelabuhan
dan semakin terasa asing di goa
pencarianku
tapi sungguh, aku bukan musa yang terbakar di tursina
39Patigeni
aku hanya pelaut yang berburu bayangmu
dan berharap, rahasiamu tercetak di pasir-pasir pantaiku
bak perempuan bertubuh perak
Surabaya, 2008
40 Munajat Buaya Darat
Puisi yang Sama
aku tuang kembali ingatanku di batu dan berharap
waktu menumbuhkan lumutnya
tapi aku selalu berujung di jalan yang sama:
tak ada persimpangan, tak ada rambu
juga tak ada sunyi yang bisa aku paku
ke gelisahku
aku pun mereguk kesepianku sendiri dan berharap
sepi menghampiriku
agar aku bisa mengenal lagi puisi yang tertulis
ritmis di pusat perigi
lalu aku bisa memasunya meski lukaku masih nyeri
meski aku begitu berharap memar jiwaku terobati
tapi nyeriku terus berbiak di sepanjang benak
ingatanku beronak, berontak
dan aku tercampak ke sepi yang sama
aku pun menimba puisi di ruang batinku
dengan rima yang itu-itu juga, dengan luka
yang entah bagaimana bisa aku terjemahkan ke ruang
di luar kata…
aku tuang kembali ingatanku di batu dan berharap
puisi itu menuntunku ke ruang gelap
tapi aku tak menemukan sisa senyap
yang lain, selalu saja sama, selalu saja sewarna…
Surabaya, 2008
41Patigeni
Tanjung Cintaku
di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu
cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah
terjarah, doa-doa percuma
dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi
aku pun asing pada tanah sendiri
aku lalu lingkarkan pena di mata arca
di gapura
berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal
aku menyelam di matanya, membuka luka lama
tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu
aku pun terlontar ke lalu dengan tubuh kaku
aku beri sesaji di pipinya yang letih
tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia
cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa
dan membangkitkan bau tanah
tanah asing kembali bergasing
cintaku pun berpusing dari relief ke relief
yang kini tinggal tebing —sungguhkah di sana, abjad
terpahat, atau hanya sekelebat jemari
yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman
agar kini bisa melaut ke kabut
dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…
sungguh rinduku masih berderap
meski waktu memalung dan gelap
42 Munajat Buaya Darat
di sisi karang, di ujung tanjung,
aku pun menemukan secuil jawab
cintaku mengekal di batu apung
yang disangga laut dan lembah lembab
di situs itu, aku pun menawar luka rindu
dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir
nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut
tapi lagu siul agar angin tak bersiut
di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir
ia bagai penyihir yang berharap keajaiban
agar batu kapur itu hidup dari dengkur
lalu berkisah tentang harapan dan cinta
terlarang, sebagaimana kisah-kisahku
yang ditabukan waktu
dan kini diburu rindu
Lamongan, 2008
43Patigeni
Gaung Kedung
jauh di lubuk kedung, aku saksikan bunga-bunga mekar
mawar serupa vagina, sedangkan melati adalah puting-
puting putih —seorang lelaki bangkit dari kursi, ia yang tak
sedia sebut nama, mencabut rumput penuh tanah
di jemarinya, angin berpusing seperti bulir-bulir tasbih
yang dipelintir lirih; ia tak berkata tapi matanya telah
membuat
seluruh arus menghunus suaranya
“aku tak mau dihakimi karena cinta, aku tak mau disebut
sunyi dan maut karena tubuh…”
tapi jauh di kedung hatiku, aku menangkap ikan
-ikan berenang, sisiknya coklat oleh lumpur, matanya gelap
oleh debur; sungai-sungai seakan bertemu di perasaanku
sungguh, gemuruh renjana membuat lengan imanku meronta
—aku pun bersila, posisi lelaki itu semula;
menatap aliran air sampai tetes akhir, sampai aku tak ingat
hitungan-hitungan
bulir-bulir tasbih pun berulir hingga desir pelirku mengungsi
ke tepi…
lalu aku pukulkan martir ke kalbu
biar pun berdarah, batu pecah, lumut-lumut basah
aku tak peduli perasaanku tergerus arus sungaiku
sendiri,
44 Munajat Buaya Darat
tapi jauh di dasar, aku berharap mawar
dan melati tak pernah lari dari altar
dan sesekali tumbuh menjadi perempuan bertubuh liar
dan lelaki itu tak akan berhenti menggeletar...
Surabaya, 2008
45Pejantan Matahari
PEJANTAN MATAHARI
46 Munajat Buaya Darat
Meja Perjamuan : hening ikan asin
di meja, hanya ada lauk kerupuk.
di plastik pembungkus, aku melihat rumus
kedaluwarsa, juga pikiranmu yang terhunus
sia-sia.
ah, betapa kau sudah capai memetik cabai
di kebun, sebagai sambal
sehingga kau biarkan trasi sepi sendiri
di cobek.
kacang panjang pun kering tergolek
semua seiring denting harapan yang terpenggal
dan lantak di sprei
pada dinihari kita yang perih
tapi kau masih saja berkata bak orang buta:
‘bukankah kau ingin cinta yang sederhana
seperti nasi dan kerupuk
juga menu kekosongan di meja perjamuan kita
yang lapuk
aku hanya menangkap sisa amuk
aku pun merutuk: “beri aku ikan asin!
beri aku ikan yang selalu bisa menemani
meski sudah jadi bangkai
berhari-hari, ikan yang selalu bisa memberi
arti dari dingin karena selalu terjaring
di bawah terik matahari dan angin,
ikan yang selalu sedap menghias di meja
mungkin juga ranjang, dengan sengak menantang
sehingga percakapan kita tak lagi
47Pejantan Matahari
bak orang bisu dan tuli”
maafkan aku, Sepia.
di meja, aku selalu ingat ranjang kita yang penguk
tempat aku belajar mengeja dan terbata-bata
menyantap sambal hambar tubuhmu tanpa lauk
Surabaya, 2009
48 Munajat Buaya Darat
Sihir Pesisir : Herry Lamongan
mampirlah ke rumahku di pesisir, tempat pasir sering
mangkir dari takdir; pasir yang saban hari tak lelah merekam
jejak-sementara dan menjadi muara segala tubuh berpeluh;
tubuh melaut yang tak pernah mengeluh tapi menyepuh
keluh dengan kasidah panjang: debur gelombang
kau akan mendengar karang ditanak ombak,
tubuh ditabuh riak, kau akan melihat jejak-jejak geraham
gemeretak; jejak yang membuatku tetap tegak meski arak
menggelegak dan menyentak labirin kerongkonganku hingga
serak, kau akan menyaksikan segalanya... meski ada gerak
nan liar yang terpendam dalam diam, yang berpusar dalam
samar...
mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti arti dari
tepi: sepi tapi berapi, sepi yang membahasakan buih ke
perih tak terpahami; bahasa ombak yang menuntun mata
ke palung tak berujung... ; sepi yang katupkan ufuk dengan
cakrawala, rapatkan hiruk dengan rahasia; tepi biduk asa
yang tak berbingkai
kau akan digamit zenit yang menyentuh langit; doa-
doa yang berdesing mengakrabi hening; kau juga akan
mendengar hingar doa yang meruap arus pasir, memberi ruh
pada pesisir, agar tubuh tak lagi berlabuh untuk peluh, tapi
jelma lengan-lengan panjang yang menderapkan sejuta harap
ah, tapi kerap doa-doa pun berkesumba, memasu
sumur gelap
mampirlah... biar kau tahu, kini arus ‘lah berubah;
banyak kanak belajar menghajar nyawa; mereka
49Pejantan Matahari
menghamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas
yang telah terampas dari puja; mereka membuat patung pasir
gaib sebagai kiblat malaikat pencabut nyawa berdiwana...
kau akan mendengar begitu dupa dibakar, doa-sesat
dihentakkan: pasir-pasir akan beterbangan ke ruang samar,
memintal korban, memburu setiap lubang tubuh dengan
lenguh: ‘bangkitlah kesakitan!’ pasir pun merasuk dan
menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan jelaga, sampai
terdengar ratap, ratap panjang.... semuanya menyingkir,
memberi jalan bagi kematian mengukir akhir siksa
pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti,
angin menepi
biar kau tahu ketika pasir-pasir itu menyatu darah,
mengalir di aorta, lalu bebulir itu lurus ke jantung berdegup:
asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu terus berasus ke ruas
nafas, hingga segalanya pun redup; jantung pun langsung
memberi jalan pada Sang Maut bertitah: “berhentilah
langkah, berhentilah darah!”
mampirlah ke pesisir, kini banyak kanak memainkan
takdir, bermain sihir pasir, rapalkan mantra pengusir alir-
Khidr; mereka berlarian di pantai-pantai seperti setapak
tanpa akhir; membangun bukit dan patung pasir seamsal
jasad yang ‘lah lumat; mulut mereka merajut puja-doa, meski
sering pinta berkesumba, tapi kerap pula doa-doa merah
--doa kaum teraniaya...
Lamongan, 2009
50 Munajat Buaya Darat
Ke Dinding : almarhum Syaikhuna
Reranting jalan itu menyatu ke ufukmu
Kaki langit yang menyimpan beribu lubuk
dada; kalbumu pun bermadah: “mesralah dengannya,
karena ia hijau seperti daun, ia merah seperti buah,
ia adalah apa yang kalian kira…”
Ulat-ulat pun memburumu di setiap dahan dan cabang
berharap bisa menjadi kepompong dan kupu-kupu
Lalu beterbangan di taman penuh bunga
Tetapi hanya gerak yang memusar di reranting
Getar melingkar yang menyatu dengan urat kayu, getah kulit,
gurat daun, juga rindang rimba yang membuatmu berbeda
yang kelak menjadikan kupu-kupu itu ada
di taman yang entah bernama apa
Surabaya, 2009
51Pejantan Matahari
Kesabaran Abad :D. Zawawi Imron
di balik tanah kapur, bumimu
kutemukan ratap-kubur, gelap-debur, muasal asal
juga sisa garam yang asin dan terasa kekal
di tebing pantaimu
serupa kisah-kisah karang, puisi-puisi terjal
juga aksara yang berdebur laksana selaksa gelombang
melebur lebar —dileburkan angin, dilebarkan akal
lalu kuingat desing angin yang pernah kau lentingkan
dalam percakapan malam, ketika
kita reguk kegelapan
demi terang dan pencerahan
desing itu terus memburuku
: “lebih baik berputih tulang
daripada berputih pandang”
peluru-bayu itu terus memburuku
aku pun berlari ke jejak yang terperca
berkaca, bahkan menyeberangi kekota ingat
menambat hasrat ke celah antara —serupa selat Madura
membalik dusta di mata
menyulap bencana menjadi kencana
lalu mengerling pada desing anginmu yang lain
desing yang menghias dedinding nafas
: “bila buruk muka, kenapa cermin yang dibelah…”
aku ‘rus berlari dan berdusta...
serasa berabad-abad, aku melepas dan menahan nafas
meski serapah menggenang di darah
menggulung waktu
52 Munajat Buaya Darat
memanggil-manggil kenangan merah
untuk berdiwana di aorta, tapi…
kini aku termangu di kapal penyeberangan
mencoba menyeberangi dua luka yang saling berjauhan
antara maut dan kemaluan
antara nyali dan kehormatan
antara kawan dan lawan
antara kita
ah, di balik tanah kapur, bumimu
kutemukan alir air, juga anyir, muasal asal
juga sisa garam yang asin dan terasa kekal
sekekal perih ketika garam diparamkan ke luka
lukaku, mungkin lukamu jua
yang disayat dengan pisau berkarat
dalam kesabaran abad
Surabaya-Sumenep, 2009
53Pejantan Matahari
Laut yang Cidera
akhirnya kau ciderai juga lautku
laut biru yang terhampar, angin yang terhantar
juga geletar yang menguap ke lengkung gelap angkasa
mencipta hujan —hujan lambang…
kini lautku sehingar mimpi; kau tak henti mengalirkan
lelimbah, sampah api, sepi yang ternoda
juga kebusukan cinta.
aku pun sembunyi di ruang rahasia,
kotak tak persegi, sebentuk palung asa
yang retak di dasar jejakku,
mungkin juga menukik ke bilik rindu
yang diratapi segala batu hulu-kalbu
bahkan karang yang terjal dan tegak pun
tak lagi bernyanyi, ketika gelombang menghantari bunyi
: ombak yang menabuh, lenguh camar yang menubuh
juga pantai-pantai yang menjadi labuh…
tetabuhan seakan hilang, ambruk ke relung tak terpahamkan.
jiwaku pun tak cukup meratap, aku kembali gelap.
kukayuh sampan dalam keterpurukan
bak nelayan yang hilang ingatan
melayari puing-puing laut
melayari kesunyianku yang kau renggut
melayari bunyi maut yang kau rajut jadi takut
hanya pada malam, ketika gemintang menghias angkasa,
54 Munajat Buaya Darat
aku temukan jiwa —diriku yang terbelah
aku tulis rasi-rasi yang menari di mata
mencarikan jejak mimpi baru dan peta
mimpi lautku yang ternoda, cidera, terberai
mimpi yang bisa membuatku tetap menatap api
sebagai api, mimpi sebagai mimpi…
aku pun mengapung, terasing.
dalam keterasinganku, kusebut kembali ibu
ia pun hadir lewat takdir perahu
di pangkuannya, aku gambar kembali mula biru
bak kanak yang belajar mewarna
lalu menciptakan laut baru di seberang sana
laut dengan irama-irama yang tak jauh dari riak rumah
rumah muasalku; air tanahku
“nyiur melambai…”
Surabaya, 2009
55Pejantan Matahari
Kupu
: SDD
di atas teratak, senyummu tebarkan kupu-kupu
ombak-ombak pun menjemputnya
membawanya pada laut mimpi yang bergesa
nun suar yang terpahat di ujung gelombang
menyaksikan pertemuan laut-darat, adat karang
tanpa langgam ingatan
—tapi tetap kutemukan bibirmu menyemai kepala putik
dengan serbuk sari yang terberai di pantai
di atas pasir, kuingat metamorfose yang ganjil
: larung yang berawal dari hujan, kurung daun, menyungai
mengekal di muara usia; sebuah perjumpaan awal kala
ketika benih turun di lelumpur kabut, menjelma
gerak; gerak yang melangkah, memancar pada diam
surya, lalu cahayanya berpendar menjelma sesayap
sayap mimpi
senyap yang melenggang di antara buih,
mengerjap dan pergi
selepas pasang, di gigir malam, tubuhmu memualam
tapi senyummu yang tergurat pada pepuing pelangi
masih menggenang cakrawala mimpi
kutemukan hijau, kuning, merah dan seutas tilas
nafas yang merayu kemudi, menyabda kincir mati
lewat angin kau berkata: “aku tak perlu sematkan nama
waktu
dalam tarianku, aku telah kupu”
56 Munajat Buaya Darat
mungkin harus kulepas bingkaimu
seperti kulepas kekupu ke gerbang waktu
kekupu yang terperangkap dalam senyummu
sesayap yang melulur sekujurmu…
Surabaya, 2009
57Pejantan Matahari
Amsal Gulma
kau tanam rumput di hatiku dan aku selalu mencabutnya
karena kuingin padi itu tumbuh tanpa gulma
bisakah kau sejenak istirah, di pematang:
jarak di antara lahan dan tangan, agar kau tahu,
ada yang tak bisa diringkas dari tanah ini,
meski jejak-jejaknya telah lunas dari mimpi,
karena dihempas hujan dan dibakar matahari
dan panenku: hanya sisa-sisa harap dari ratap,
agar esok lebih elok dari kelokan gelap
yang dititipkan waktu ke dadaku
Surabaya, 2009
58 Munajat Buaya Darat
Perempuan Laut
Diammu adalah mukjizat batu
Tak seperti tubuh perempuan keramatku
yang berambut gelombang, berpaha karang
dan bersusu hantu-hantu
Tapi sihir bebunyian terus berkejaran di alir air
Kau pun melarutkan tubuh ke tetabuhan alam
Gerakmu mencair bersama bayang silam
Merajam mimpiku dengan riak dan pasang
Meski suaramu tak lagi beku di palung laut
Tapi aku masih menangkap sunyi di bibirmu
seperti perempuanku yang terus berlari
dalam rindu, dan tak kunjung berhenti di pantaiku
Surabaya, 2009
59Pejantan Matahari
Rindu Bidadari :Nawangwulan
akulah peneguh rahasia itu. kuingin kau tahu aku
bukan laki-laki atau perempuan. aku adalah aku. aku ayah
sekaligus ibu bagi anakku, langit sekaligus bumi bagi jiwaku.
aku hitam sekaligus putih. aku matahari sekaligus rembulan
bagi bumi.
jika selendang harapan itu sudah kau genggam,
bukan berarti aku harus membunuh sisi diriku dan
menyerahkannya pada hampa. aku akan tetap bersiteguh
dengan darah di nadiku, pada kengangaan yang terpatri
antara tubuh dan ruh; aku masih bersetia dengan sengkarut
yang terpahat di jalanku. jangan pernah katakan: aku hanya
perempuan. haruskah aku ajarkan kepadamu, bagaimana
cara melenggang, menarikan tarian-tarian awan, bagaimana
cara terbang dan bagaimana cara menghidupi kematian?
aku ingin kau tahu, di atas tubuhku, sekat-sekat telah
sekarat. aku bebas terbang, menari, dan menggumankan
serapah pada angkasa, pada lingga-yoni, pada kuntum
kamboja, pada tunas-tunas kecambah pada segala hal yang
abadi. aku bebas menyerapah, bebas mengurung sabda
ke palung renjana: kun! aku pun bebas mendedahkan:
abrakadabra! sehingga segalanya tercipta dari ombak ludah
dan lidahku. Sebab segala sabda telah menggumpal di
bibirku dan menjelma kutuk rindu.
Surabaya, Tahun Dal 1943
60 Munajat Buaya Darat
Yang Terkubur Laut
di palung mata, aku lihat relung batu
batu yang terpahat di antara gunduk tanah
basah oleh hujan yang terus menderas dari batas
pelupuk
waktuku pun langsung menyingkir dari anyir darah
yang masih terindera, yang mengalir dari ufuk
ke ufuk pelautku
—sungai pun tumbuh, menggenang
bersama terumbu, laut pasang
kapal-kapal pun berkabar: pelabuhan kini tinggal kenang
aku pun melihat nyiur yang meronta
angin yang mempermainkan mayangnya, juga layar
yang terus berkibar menjauh
suara kecipak yang menabuh cakrawala
seperti bunyi kendang yang bertalu-talu di angkasa
kupingku berdenging oleh serangga kasat mata
pikiranku bagai ikan-ikan yang diracun nelayan
menggelepar
aku pun sangsi pada sauh yang ‘lah diangkat
sebagai kesangsianku pada air yang mengalir
ke langit
kerna nun jauh, aku lihat kabut, awan gemawan
juga seringai kutukan laut pada anak-anaknya
serupa senja saat malam menerkamnya dengan perkasa
61Pejantan Matahari
saat laut susut, keraguanku pun mengkristal di udara
pasir-pasir pantai yang kemilau oleh garam
yang disapih malam, mendekapku dengan kepastian
: tak ada jejak di sana, kecuali dua sandal yang telah bercerai
demikian percuma dengan tuannya
kerna kaki telanjang yang buntung itu berserak
di tepi geladak, kaki yang senja tadi masih menapak
dengan lagak seorang laki-laki
aku tak bisa berteriak, bibirku gentar oleh kengerian
doa kanak-kanakku pun berjejalan:
‘semoga dengan kaki tanpa alas itu, ia yang mati
di laut, tak kembali
untuk mencari perutnya yang terburai, kepalanya
yang meledak bersama ikan-ikan buruan
dan harapannya yang tak pernah pupus menjadi
tunas-tunas
keberanian bagi yang hidup’
Surabaya, 2009
62 Munajat Buaya Darat
Jelaga
Bagai kupu, aku terbang di antara lingkar kelopak
Warna, mencari batas antara mata dan tangkai —sampai
Detik pun pudar dalam diam, menyimpan beribu gerak
Sayap;
Tapi tak ada yang menyembul dari gerumbul
Lembayung, kecuali sisa suwung yang tergesa disergap gaung;
Riak pun pelan-pelan menangkup daunan
Dada pun kembali beralih rupa dengan jelaga:
Mengikat bebayang, agar tidak lari ke selat tak tercatat
Ke ruang dua darat, ruang yang tak kunjung merapat ke kiblat
Bagai kupu, aku pun beterbangan di antara warna
Hitam-putih
Mata, sebagai saksi peta yang dibutakan indera
Lalu bermain catur di angkasa, menimang bidak, usia, juga
Petak yang bernama: jeda
Sambil terus bermadah perihal metamorfosa
Surabaya, 2009
63Pejantan Matahari
Cucu Tarub
sekujur tubuh kami pualam, hitam, tenggelam di tanah, ketika nafas kami menghirup udara pertamakami hanya mengenal malamkami terus berlagu bulan, karena pada bulan, kami tahuada yang tersimpan di sana, terpintal di antara cahyayang lengkung dan lapang, seamsal bunda khayalan dengan jari-jemari menjahit kantung pelakian
bila gerhana tiba, tanah kami seperti wabahkami lalu bertalu, merasukkan antan ke lumpang kayuagar bebunyi bisa menjelma sesaji, memecah ngeriyang tiba-tiba berenang ke sanubariserupa bilur luka yang mempertegas duka lama
lewat wastu puja, kami tahuada yang raib dan tak lewat pintu kami seakan terusir dari tanah dan segala tanda di sepanjang jalan, hanya rambu yang mengingatkan kami pada pasir hisapdan ruang bawah tanah, yang gelap
sungguh kami ‘lah dikutuk cintapurba; sudah bermusim, kami dendangkan madahmerajut kembali ingatan-ingatan jauhagar jiwa kami yang terbelah kembali utuhserupa retina Tarub yang tak kunjung redup ketika di angkasa
melingkar purnama
Surabaya, 2010
64 Munajat Buaya Darat
Bintang Jatuh di Hatiku
Senja mulai pudar, sayangku. Mega-megah telah
beralih rupa. Udara telah basah. Jangan diam mematung,
mari berarak menapaki jejak bunga, memberi pesan pada
waktu, agar ia sabar menunggu. Memberi kesan pada
ruang agar ia tak pongah pada lapang. Siapa tahu kita bisa
menemukan kuntum rekah di sela batu, siapa tahu kita bisa
memasu rindu di hulu kalbu, pusar segala rahasia bertumpu
Aku tak tahu sampai di mana kau simpan bentang
rahasia, sehingga aku tak menemu pucuk buhulnya. Aku
pun hanya bisa menebak, ada yang semerbak di ruang
dadamu, seperti aliran kesturi, seperti buai mimpi-mimpi,
seperti dunia kecil dengan beribu-ribu peri. Aku pun ingin
sabar menunggu seperti keinginanku pada waktu, tapi…
“Aku akan memilihmu, bila ada bintang jatuh di
hatiku,” katamu.
Aku bebal membacanya, sayangku. Tidak tahukah
kau bahwa bintang tak pernah hilang dari langit hatiku dan
aku tak ingin bintang itu jatuh dan menerpamu. Aku hanya
berharap cintaku membawamu pada api janji, meski api itu
diam-diam kau simpan dalam kegelapan, kau lipat di balik
jubah malam, kau ungsikan ke daratan yang tak pernah aku
kenal; sayangku, meski aku tak merasakan pijar bara dan
hanya menyaksikan gelap semata, aku ingin bila malam
telah tenggelam dan esok menjelang, kau sudah berkubang
dengan sebuah harapan dan memberiku secercah fajar.
Tapi ketika kita sampai di taman, di dekat lampu yang
benderang, aku tersudut ke tubir maut. Begitu wajahmu
65Pejantan Matahari
tengadah karena bintang jatuh di ujung cakrawala, aku
melihat setitik cahaya yang membuatku begitu aniaya. Aku
melihat di lehermu masih terkerat bekas cupang; tergurat
merah-rangsang.
Sungguh bintang itu telah jatuh, sayangku, dan
menimbun hatiku.
Surabaya, 2010
66 Munajat Buaya Darat
Sepanjang Tubuh
di sepanjang pantai yang membentang di tubuhku
tak kutemu laut biru,
hanya karang, buih, juga kaktus yang menghunus luka
sebentuk onak yang tertanam dalam lubuk dada
sebentuk gunduk pasir dengan silsilah patah,
atau kulit lepuh-keriput yang tak berjarak dari ruang
indah dan maut
cakrawala mataku pun rumpang di ujung pandang
dan tenggelam dalam bayang-bayang laut
di sepanjang nyiur yang membujur di tubuhku
tak juga kutemukan teduh
hanya arus kubur yang terus berdebur
daun melambai mengundang panas-bumi
lekuk tubuh pun ditandai dengan titik muai
mati seakan terlipat hening di angin
yang bersarang di paru-paru dan bunting…
di sepanjang sesaji doa yang terpeta di tubuhku
tak kutemu harap dan rindu
kata bergempa, beranak serapah
linu bibir mengalir hampa
diri membeku di sudut peta; tangan patah sebelum tengadah
seluruh pinta berdurja dan luruh percuma
tuah-kalam hanyut di alir tak teraih, berarak
tuju tiada, melebur ke sumur tanpa gaung-tak berukur:
sirna!
67Pejantan Matahari
ah, kenapa aku terungsi dari tubuh, kenapa…
di sepanjang papirus yang berarus di tubuhku
kutulis kembali amis diri
ingatan kubentang; celah-retak memanjang
di antara sisa tubuh yang kelewat sekarat tuk dicatat,
ditabalkan lewat suara-suara hikmat
: “bahkan bila surga mengusirku di purba
kini pun aku tak mengingatnya…”
di sepanjang tubuhku, ada yang terus hanyut
dan tak teraih…
seperti menerka dalam palung laut
dan lengkung kangkung bergalih
Surabaya, 2010
68 Munajat Buaya Darat
Hujan
masihkah kau dengar hujan yang terus memukul
dadamu, meski kau sudah beringsut ke balik selimut,
menutup telingamu dengan kapas sejumput, atau
mengkhayalkan kisah-kisah nun jauh ke padang tak
berumput; tapi sungguh kau tetap tersedak jua oleh suapan
suara yang berulang-ulang, merenggut…
kau mungkin terus bertanya ihwal muasal, namun
hujan itu bukan karena langit murus atau sumur surga
terguling lalu mengalirkan airnya; bukan pula karena batara
guru mencipta kala baru saat bersenda di angkasa dan
melihat uma tersingkap auratnya; bukan pula karena para
malaikat sedang mencuci singgasana di sana…
jika kau pasang kuping di sekujur tubuhmu, kau akan
tahu, sungguh hujan itu telah menyatu di aortamu, berpusar
di degup jantungmu, dan terus-menerus mengalirkan suara-
suara seperti air yang tak berhenti mengalir di sebuah mata
air
Surabaya, 2010
69Pejantan Matahari
Pejantan Matahari
karena namamu, aku pergi ke bantaran kabut
serupa cahya tanpa mata, aku diam dalam kata;
di sajak, kuhantarkan jejak meski lantak
luka disamarkan balutan rima,
meski wajah ditembus sinar dengan bias berlaksa..
namamu serupa pisau di ingatanku
menyeretku ke galau batu-batu
hingga riwayatku tumbuh di debu
sekarat terjerat muasal, dipenggal tumbal
hayat
esok, bila ada yang berkokok, sebut ia pejantan
matahari
ia yang didahului fajar, geletarkan birahi
tepati janji pada pagi
karena namamu, aku pergi mengikuti sepi
Surapringga, 2010
70 Munajat Buaya Darat
Peta Hati
meski kau diam bagai batu karang, tangan-tangan
gelombang seolah terulur, merangkai debur
ke tugurmu; debur itu nyanyikan irama purba
dari rindu tak habis-habisnya —serupa tembangku
yang meringkus denah kamar, meski malam bisu
dan rembulan diarak awan, dikurung mendung
seperti cahaya yang melesak ke debum,
seperti suara yang terserak antara riang bintang
dan tangis langit yang menggaris perasaan
o cawan arak kemabukan, o kendali segala renjana,
dengarlah macapat kelahiran yang dibisukan asa
tangkaplah kidung agung yang menderas tanpa kata
meski nyanyiku bak koral memencil ke kolam
dan berharap riak-riak menunjukkan makna gelombang
tapi bunyi meruap ke gelap nadi, bersimaharaja darah
hingga segala alir di tubuh tersepuh gelisah
segala pertemuan nihil, sua pun gigil, serupa kata tak sampai
di telinga, api tak juga tersulut di tungku
ah, kenapa segalanya bisu dan tinggal lelatu
o sang dewi tembikar, aku ingin ingkar dari hingar
aku ‘kan mendengar heningmu berkumandang di padang-
padang buruan cinta, aku ‘kan mendengar madah…
kau seakan membaptis tangis sebagai milik pecundang,
dan gerimis hanya setia pada ketiadaan
71Pejantan Matahari
o mawar pusar duka, rauplah dadaku yang kuyup ungu,
jelanglah layarku ke pantaimu; bentang hatiku
tak akan tertutup meski senja jingga dan dunia diambang fana
kebangkrutanku hanya milik sejarah
biarlah kupacu perahu ke segala arah
bak petualang, meski nanti mati di jazirah tak dikenal
dan disepikan dari ombak yang terpintal
dari batas dan tapal, asal aku mampu menghapal
kelopak, duri dan tangkaimu…
sungguh dalam diammu, bunyi semakin riuh bernyanyi
aku menangkapnya lewat hati tak terbagi, meski jiwaku
segelap hantu dan mengasinganku ke ranah tak tentu
suara-suara itu terus bersekutu dengan sundal jiwaku,
terus menyembahmu, menyekutukan segala rindu
dengan harum daging yang menguar dari bayang-bayang
samar, keluar dari tubuh pualammu yang pudar
Surabaya, 2010
72 Munajat Buaya Darat
Rol
kuingat sepetak kota yang penah kuinjak dalam peta-peta
pikiranku, tapi titik-titik itu tak jua bermakna; hanya sepenggal
garis-garis banal yang terus mengikat akal bahwa ruang tercipta
saat aku menyandarkannya di pinggul rupawan, lalu bergoyang
serupa gerak kuda beban menuruni cadas bebatuan
tapi kota itu tak pernah hilang sungguh; aroma hujan terus
berhamburan di sepanjang trotoar, mimpi-mimpi juga terbiar
bercabang; segalanya masih terus menghuni jalanan; juga detak
retak jantung, saraf-sarafku yang lurus mengurung; juga…
segalanya jelma pohonan di kanan kiri khayalan,
hadir dan sangsi pada keabadian
: gambar hidup yang selalu bergelombang…
tapi tiap kali aku terpejam, kota itu hadir bak tontonan,
sekejap berkejapan, bahkan seluruh pagar, gapura, juga wanita-
wanita yang tak pernah selesai berahi saling nungging di kali,
yang lelaki lulurkan liur beracun sambil terus berkumur;
dan mengubur seonggok daging; aku saksikan bayi atau
anjing atau tahi yang tiba-tiba melompat dari lubang…
aku pernah memberi nama pada kota itu, meski nama itu timbul
tenggelam di sela keraguan, seragu letak kakiku yang gagu
saat sebuah nama hanya sinyal yang tak penuh dari tubuh;
ketika kata merapuh dan segala tanda melepuh
akil pun tumbuh bersama riuh ruh; pikiran pun menyulap
nama, menjadi jelaga dan gelap semata
73Pejantan Matahari
kota itu pun ragu maujudkan diri, meski di mimpi
sepi tiba-tiba berlari mendahului pesta mawar api
ingatan pun berkabut saat mata menangkap
beribu renggut; gelap berpesta, maut menggurita
dan menelan segalanya, juga peta-peta,
garis-garis, rencana nama-nama
bahkan noktah yang hendak dibuat di kepala dan dada
Surabaya, 2010
74 Munajat Buaya Darat
Imaji Bebuahan
dari tubuhmu, aroma buah menebar di udara
cuping pembauanku menangkapnya dalam bulatan-bulatan
gaib, merasuk ke lubuk hidungku –menjelma peta
kebun maya
mata pikiranku mencoba mengenali lingkar-lingkar,
lekuk, juga lebar bebau itu
mungkin apel, yang menempel di reranting ramping,
serupa lenganmu
tetapi wewangi itu menggiringku khayalku ke bebuah
yang lain, bebuah yang dulu mampu menawar dahaga
kanakku
–aku terpaku, aku ingat ibu
lalu tubuhmu berubah seperti pohon, dengan rambut daun,
lengan dahan, dan kaki-kaki berupa batang
menancap di tanah; akar-akarmu serupa sepatu mungil
yang lincah
dan di antara dua bahu itu, aku menangkap sepasang buah
–entah kadar keranumannya
ah, apakah aromanya akan berkendara di udara
dan dengan ajaib menarikku ke lelubang gaib, serupa lubang
hidungku: yang pengap, berbulu dan merah-merih
aku ragu pada khayalku; aku ingin bau itu berbuah
di pikiranku —matang dalam nafas-nafsuku
yang berpilin, licin, sedenting jemarimu saat membelaiku
Yogyakarta, 2010
75Pejantan Matahari
Hati Gunung
1
gunung itu masih tersimpan di hatimu
aku tak mengerti apakah magma itu diam
atau berdentam; aku hanya menangkap
nyeri di wajahmu, serupa luka terpendam
yang kau tutup dengan bedak dan param
2
di sini aku bayangkan gunung itu serupa piramida
: bisu dan tua
di rahimnya aku bisa bersua dengan usia, sisa-sisa
tahta, juga seonggok bangkai berharta
sungguh aku ingin kau menemukannya sebagai kencana
bukan hanya kutuk buku-buku
kematian yang terbuka: penuh debu dan pesta maut
tak habis-hasinya
76 Munajat Buaya Darat
3
ketika tubuhmu bergempa, kau muntahkan batu-batu dari
mulutmu
tapi tak ada jerit yang memekak di telinga kecuali getar dada
menahan lara, kecuali bayang-bayang asap yang mengepul
dari ubunmu, kecuali caya panas matamu yang membakar…
batu-batumu, asapmu, juga panas matamu melulur sekujur
rinduku, membuatku berkeping seperti genting aus
“kenapa kau alirkan lahar itu ke getar dan pusar arus
yang membuhul kalbu kita, yang kudus…”
77Pejantan Matahari
4
tak ada piramida di sana
selain segitiga tinggal rangka
juga debu-debu yang menutup pintu peta
kota-kota
5
selepas melepas merah itu kau berlalu
kerudung kau sampirkan di bahu
rambutmu masih panjang
tergerai di pinggangmu yang penuh harapan
ah, masih membekas sintal pinggulmu di jemariku
seperti lempung yang liat, sekenyal coklat…
Yogyakarta, 2010
78 Munajat Buaya Darat
Kitab Perempuan
kitab perempuan itu telah terbuka
ada pembatas halaman warna merah, juga
huruf yang ringkih dan sebuah sketsa
aku baca dari pojok kiri: aku tangkap wilayah sunyi
remang; bayang-bayangnya mencuri pandangku
aku menemukan rumput, lalat, juga
bangkai-bangkai burung yang diserpih ulat
seluruhnya mengalir di antara warna-warna, hiasan pagina, juga
lubang ngengat; seluruhnya tersimpan rapat
meski secuil sinyal terus menggeliat untuk dicatat
korneaku, tapi seluruhnya memaksaku membacanya
--sungguh, aku tak mungkin penuh merengkuhnya
aku lalu beralih ke pojok kanan
dan aku hanya bersua dengan hampa
: lembaran tanpa kata, nir sketsa…
Yogyakarta, 2010
79Asmarasupi
ASMARASUPI
80 Munajat Buaya Darat
Darah Hitam
‘dalam Para Ratu, ia titisan Wisnutapi siapa yang sungguh tahu’
hikayat memahat Rajasa di pohon hayatpenuh liuk dan liku; akar-akarnya meliarmembayang di batang-batang hitamdaun-daunnya bersepuh tembaga seperti sebuah tekad baja: “tulang igayang lepas dan harus dirampas”ia terlahir dari darah hitam yang memanasdi sumbu waktudihidupi oleh api, nyala abadi dari tungku hati
sungguhkah ia tak punya pilihan kecuali harus meraihatau tak punya angan kecuali harus menggapai.
dilampauinya lalu, ditujunya mimpi —seindahnegeri dewa-dewa-- sebuah masa depan yang bernyawaia tak lagi ingat ibu, ayah, juga darahyang membasah, melayah di sekujur pembuluhnya, tak lagi ia harapkan lagi tangan-tangan trahuntuk menuntunnya menaiki tangga, bahkan pada pelangiia telah berjanji akan menaiki nirwana, dengan kaki sendiri
sejarah mencatat lewat gurat...
sahdan, di sebuah negeri, ketika segala rakyatdemikian taat; tak ada khianatkecuali satu hasrat pada tahta, juga wewangian kembang ketika musim kawin tiba
81Asmarasupi
ada pusat, pusar, juga muasal geletaria pun menjulang dengan lidah jalang, keramatkemarahan memintal hari depandengan perintah-gairah, dengan letupberdegup di sepanjang jazirah: kuasa Jawa
pada masa kanak, ia ‘lah bermimpi riakmenjejakkan jejak di bebatu waktumengukir segala tabir dengan satu sentuh: tubuhonak pun memberinya bukti, bahwa hiduptak seteguh mati; ia tetap berderapmeski segala lampu redup, meski segala dunia gelapmeski segala waktu dirampatkan ke titik tak teraihdalam kelahiran: awal segala raihanlewat keabadian maut, ia pun memahat usia menitipkannya pada kakang kawah, adi ari-aripuser, juga darah yang menyemburdari liang garba, muasal segala, muasal nyawa…
ia mencuri wahyu dari sebuah waktusambil melampirkan waktu lain, menanamkan benih laindi lipatan angka dan masa yang lainlalu riwayat mencatat: ia menjadi perompak, pencuririak yang tuju ombak, seorang yang diberkati, sakti, dengan berpundi-pundi ruh sucitapi sungguhkah berkat, juga keramat, hanya bukti, bahwa mimpi tak bisa lari dari hatisungguhkah garis edar tak mesti keluar lingkar
82 Munajat Buaya Darat
sebab segala nubuat tak mesti tersesat ke ingkarsegalanya mungkin, seperti batu tulis menulis sabak hitamseperti siang yang digantikan malam
nama-nama sampiran, seperti Bango Samparanmemberi arti tentang nasib dan perjudianjuga sekilas nama yang memberi bukti artisebuah pencurian hati,juga pertaruhan yang berarti, nanti.ia pun bangkit dari sangit, melangitkan diri, segera didapatkan nama yang ber-isinama yang terakit dari bait-bait putih, langgam sutra penuh hati, mimpi ilahidi jati Lohgawe: seperti nirwana yang kembalitersaji di belantara kini...ia bisa memetik mimpi, lewat kakimembuka mata dan hati pada tafsir sucibahwa nasib sungguh tak tersalib, jalan yang harus dikarib...
ia lalu meniti pelangi lewat gapura abdikepada sang akuwu, ia menjalani lakukepada sang kalbu, ia deraskan rinduarus nasib pun menderas seperti air terjunyang akan terus turun dari tebing, teriring ke lembah.
ingatan pun mencatat :saat kuda-kuda berhenti, kereta pun berhentisepertinya segala nafsu berhenti
83Asmarasupi
nafas merambati batas; diam, segalanya hamparanbersepuh kembang; jika malam, gelap pun penuh bintang, seindah taman swargaloka, sang Indah bermadahpuja-puji, doa panjang, juga alunan musikyang mengusik raga, menukik jiwa..sang Bayu pun terpanah… angin pun berlayar dari satu jeda ke jeda lainnyairama gegap, seperti kuda yang tersentaktangan-tangan gaib, tangan angin tergeragapmenyingkap jarit tuk pertamabuat mata yang tak pernah lelap pada warna: mata seorang perjaka
‘dari kandang ke kandanghanya tetes air yang terdengar dari pandang ke pandangsinar Dedes yang mengukir getar’ ‘dawai telah dipetik, sunyi terbetiksesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyitubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke apiruh seperti bangkai, busuk tapi suci’
sebuah rahasia telah terwarta, sebuah angan telahmenuliskan rumusnya: gending-gending perang bertahtadi gendang telingasegala indera terpusat ke pusar tak terabamerabuk segala geletar, menggunduk liarsebuah impian telah menemukan pintu dan jendela
84 Munajat Buaya Darat
rumah khayalan pun dibangun, api pun berunggun bejana ditengadahkan, piring dan meja disiapkan: pejamuan siap digelar bersama iringan-iringansegala rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan-masakan mimpi yang masih mentah, dan perlu diberi baraia membara seperti langit senjatapi bukan senja yang tergambar: kecuali geletar fajarmerah menyambut matahari, merah Venus...
dari pinggir ia menyisir; dari alir ia mengukir takdiria lalu membatukan arah pada waktuada siasat, ada muslihat, bahkan ada niat-niatyang tak tercatat: sebab hati begitu dalam untuk diselamiberbekal Venus, ia hunus arus: Gandring pun digiringke dingin dinding; keris telah menggaris batasantara warangka dan rangka, antara upas dan nafaslautan kutuk mengganas, ketika batas datang demikian lekas
sang Empu pun mengukir nujum dalam waktu...
di waktu lain, ia terus meluruskan impian
ia talkin tubuh-tubuh dingin ke balik dinding
ia menanting ingin, menantang angin
lontar pun menulis: “cuaca begitu gerimis, dan terus
gerimis...”
Surabaya-Yogyakarta, 2009-2011
85Asmarasupi
Buku Masa Lalu
aku buka buku berpuluh malam
seperti penunggang kuda yang melalang padang
berbentang-bentang
tapi tak ada tapak yang bisa kujadikan petak
huruf-huruf tegak, saling bergandengan,
memagari kisah-kisah yang berkelit-jumpalitan
alur pun terus berarus keluasan
jika kau bertanya dari mana aku memulai
aku tak tahu di mana mangsi menitik pertama kali
bunyi pun hanya degup dada sendiri
seperti derap kuda yang tak kenal mati darah
terus mendaras langkah, nir denah
tapi bukankah degup menyimpan batasnya
di tapal, aku menyaksikan baju-baju lusuh
yang ditanggalkan moyang, centang-pukang, bersulam-
tambal
kudaku mengendus petualang-petualang
yang tercacah di punggung waktu, dengan banal
buku-buku kututup --buku-buku masa lalu yang redup
jika kau bertanya dari mana aku mengakhiri
aku tak mengerti di mana letak titik yang pasti
Yogyakarta, 2011
86 Munajat Buaya Darat
Kerudung Bergambar Ular
di kerudungmu, gambar-gambar ular meliuk dan melingkar
seperti akar-akar masa lalu
aku menemu raut ibu di situ --dan kenang itu selalu biru
sewarna cairan sabun di botol mainanmu, yang
menciptakan gelembung-gelembung
gelembung yang lekas pecah, gelembung yang sejenak
menitipkan riak bahgia
ketika angin menyibak dan kerudungmu berkibar
aku menangkap dua gunduk bundar yang semakin besar
--gambar
ular itu seakan semakin berbiak, liar
kenanganku pun retak, memar
Yogyakarta, 2011
87Asmarasupi
Bulu Burung: Kim
kucuri bulu burung dari cupu mangsi, burung tak bernama
kulihat tilas dawat muncrat dari ujungnya
khayalku berlari ke ceruk perigi
menjemput gelap, memungut sayap-sayap
imaji yang tumbuh di lenganku
kepakku mengayuh tubuh ke udara
partikel-partikel tak berwarna menyanggah tungkai
terkulai, aku pun mengapung di dua dunia
--khayalan dari khayalan
dengan terbata, aku berpulang ke palung kata
mengais nama, menggaris busur-lintang dari kedalaman
beriktiar menggelar pagar dari diri yang kian ngambang
Yogyakarta, 2011
88 Munajat Buaya Darat
Nujum Maut
dalam remang epitaf, aku temu namamu tanpa penanda waktu
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam
seperti janji kata pada bunyi, seperti hasrat yang diam di urat
nadi, seperti aku sepasang mata yang lelah membaca
nujum yang tergurat di dedaun
nasib, yang bakal terbelah atau menyatu
di ujung titik atau berbalik…
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa, aku mengetuk jendela
rahasia
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut, hanya kabut
tak habis-habisnya
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran,
juga perpindahan bentang angka-angka
Yogyakarta, 2011
89Asmarasupi
Surat Malaikat
kau tulis surat dengan bulu yang kaucabut dari sayapku
namun aku tak menemukan aksara-aksara merah di sana
tak ada jejak luka –aku menangkap nyala berderap dari dada
penuh sepatu-sepatu cinta, aku melihat rumbai-rumbai
mahkota bertata kepala-kepala mutiara, aku menemu rindu
yang lebih keras dari seluruh batu— namun di tilas sayapku
masih membercak darah kering; aku pun tersudut di dinding
seperti pesakitan, seperti malaikat yang tersekat; terjela
oleh hasrat, sendiri, dalam bebayang samar tergetar pada
gamang…
karena jemarimu, surat itu menjelma angin yang
menemukan pusarnya
Yogyakarta, 2011
90 Munajat Buaya Darat
Tebing Kuda Lumping
di meja perjamuan hanya tersedia ruang
ruang hampa: kau menyebutnya segitiga, tapi hanya lengang
sisi tak rata, taplak, juga gelas dan cawan, sepiring ingatan
atau lauk yang terkutuk untuk busuk.
kau berkata: bersantaplah!
tapi aku rindu paku, rindu beling yang meruncing.
aku rindu pada darah yang mengental dari daging dingin.
lalu kau suguhkan harapan-harapan, seperti ruang
dengan kursi panjang, meja, dengan daftar antrian.
kau berikan aku catatan-catatan, bahwa aku urutan
kesekian, bahwa segala yang kutunggu, hanya rindu
yang terbujur bersama kubur segala batu.
kubaca abjad yang terpahat, kuingat nisan-nisan biru
kuingat kedamaianmu, tapi aku terus mengigau
tentang seng karatan, tentang daging mentah, juga tembang risau
bersama desau ruh
yang meluruh bersama waktu, mewaktu di meja.
kau kembali berkata: bersantaplah!
aku pun terbanting dari dinding-dinding dingin.
kubaca arah angin; dengan mantra, kuraih tebing.
pada jam yang terus kuputar, aku melingkar,
aku pacu kuda liar.
pada puting-puting jarum, kurangkum angka
kulahap kaca, kusantap bingkai jeda
hingga kurasakan paku, beling dan sembilu tumbuh
di mulutku.
91Asmarasupi
kurasakan kembali darah
berdarah seperti dulu —sekerat daging dan seikat urat
yang merindu, terus menunggu disayat...
Surabaya, 2011
92 Munajat Buaya Darat
Dadar Rembulan
di wajanmu, telur rembulan tampak muram
bundarnya membayang korona di tungku pendiangan,
ketika ia pecah dan menjelma cairan kental
kita saling diam, mengeja gelembung minyak
yang menyambar
larut pada riak-riaknya, hanyut di antara kepul asap,
panas, juga sengak yang mendadak menyeruak
di halaman depan pembauan
kita masih saling diam meski kita tahu dari mana ia bermula
bukankah ia dari petarangan yang ‘lah lama dieram induknya
tapi rembulan tak kunjung pudar, lingkarnya masih tegar
semakin memberi batas antara alum dan segar, semangkin
tegas memantulkan wajah kita yang memar
perapian pun terus terus berkobar-kibar…
selepas bara padam
di wajanmu, wajah kita terangkum dalam telur dadar
yang kelewat matang, seperti rembulan
nyaris tenggelam
Yogyakarta, 2011
93Asmarasupi
Kahyangan Api
di tumpukan batu, kutulis masa lalu dari darah beku
sebab bara yang menguar dari rahim bumi telah
menuntunku
pada tanya: di mana letak kesumat bersenandung,
letak kubur sangkar burung-burung, dan
akhir kembara para capung
lalu kumaknai tumpah darah sebagai ritus puja
seperti anak turun jawadwipa yang menghunus kesumat
sampai kubur terbuka…
mengabadikan amarah di kepala, mengukirnya
pada hiasan dampar tahta
bahasa dendam telah menjadi cakap semesta
aku patri seluruh nyali di antara pepohon jati
di gunduk kapur yang menolak sepi
dari tubuh, tumbuh mimpi dari belati
kahyangan pun tercipta dari api
supata pun membanjiri seluruh tepi:
“aku hanya seorang pencari linggar kering,
daun-daun jati yang luruh saat kemarau.
aku hanya pencipta terompah dari galih utuh”
kalam itu meledak di kepalaku lebih menghentak dari peluru
logam panas telah mengorak tengkorakku
suara-suara menabuh gendang di tubuhku yang legam
aku bercakap dalam rumah siput di telinga,
94 Munajat Buaya Darat
bercakap dengan lorong-lorong gelap tanpa cahaya,
aku berbahasa halilintar meski tak seorang pun mampu
mendengar…
ketika daun luruh dan mengirimkan pesannya ke pangkuan
kuhikmati tanah putihku yang berlabur kapur dan bebatuan
kugenggam kesumatku dengan dendang pemburu
kucamkan nyala di otakku bahwa silsilah yang terpahat di
batu-batu
telah melarungkan api ke tepi waktu
aku pun terbakar, terpapar dan lapar
lewat barisan pohon jati, kucari peta tanah, denah rumah,
dan dendang purwa ihwal zaman pertama
di sana, seonggok daun lebih bermakna dari berlaksa kata
setiap kepala dipenggal dan dihargai dengan puja
aku pun berlagu seperti serdadu yang mendengungkan mars
ke sarang lebah, berharap madu turun ke tanah
seperti hujan darah yang bersudah…
kahyangan api semakin berkobar di dadaku
tapi telapakku yang berlapis terompah galih kayu
menolak pulang ke rumah batu
ketika sabda terus mengiang di gendang telinga
dan mengingatkanku pada muasal segalanya
aku rebut sabda dan membaptis diriku sebagai pewaris dunia
Surabaya—Yogyakarta, 2011
95Asmarasupi
Ziarah Matahari
di makam, tak kutemukan arah malam
kecuali jalan setapak, makadam, yang dikirimkan siang
tak juga kutemukan pusar langit
kecuali getar wingit
Yogyakarta, 2011
96 Munajat Buaya Darat
Sesat Sesaat
ketika matahari bias ke barat, aku daras kitab lama
tak berpelekat. aku saksikan neraka berhamburan ke udara.
gumpalan magma bergulung bak punggung onta raksasa,
merayap dari gegunduk gelap ke rumah-rumah beratap sirap.
mencipta perayaan merah yang meriah; dari tubir kawah,
memancar bunga api serupa hujan cahaya pada pesta raya.
pijarnya melata ke penjuru sepi, ke tepi negeri-negeri; air
yang mengalir di antara lembah dan batu-batu bagai kuah
bumbu, kepulkan asap merah dadu, aroma daging panggang
lebur dengan peluh. dari balik tebing, terdengar lengking
melagu, menggunting heningku yang berabu; hingar pula
bermacam logam beradu. iramanya tegakkan seluruh bulu
tubuh
aku tutup kembali kitab, sebagaimana senja yang
sebentar menutup tirai kala di cakrawala yang lembab; aku
buka buku baru, siapa tahu di lelembarnya, tersimpan surga
yang tak bisa aku lukis dengan kata-kata berwarna; tapi jika
nanti yang tergurat dan muncrat ke mata tetaplah neraka,
aku akan berkata: ‘aku tak akan menyesal tersesat di ruang
yang sama; kamar penuh siksa penantian, tapi sarat warna
pesta...’
Surabaya, 2011
97Asmarasupi
Hantu Lempung
hantu itu datang dengan segumpal tanah
lempung titipan seorang tua, entah dari masa apa
dan lewat jalan pesisir utara
ia berderap dengan asap tanah; pesannya dibungkus
papirus, bergurat abjad
abjad yang kini sampai kepadaku
seperti gurat paku: hampir mati dan kaku
di atas serpih batu, hantu itu membacanya sambil berlagu:
“aku datang menyerahkan lempung ini kepadamu
kerna kau tak kunjung membentuknya sebagai tembikar..
tidakkah kau tahu ada cacing di rahimnya;
cacing itu dikirim sebagai penggembur tanahmu yang
cengkar”
aku tatap mata hantu itu dan ia segera tahu
aku tak butuh tanah, aku tak ingin cacing di dalamnya
menjelma ular, lalu melingkar di kepala seperti mahkota
hantu itu segera berlalu, tapi lebih dulu
menjejalkan tanah itu ke kupingku, lalu membakarnya
dengan nyala neraka yang sudah dikirim lebih dulu ke dunia
lewat moyangnya yang pertama
begitu telingaku bergemuruh, api membubung tinggi
di netraku, abadi
dalam jiwaku
Yogyakarta, 2012
98 Munajat Buaya Darat
Luka Laut
ketika kutatap senja di gigir selat, yang begitu
ingin kulupa, aku terbayang luka lama:
perihal karang terjal, ombak
juga kapal-kapal yang terserak…
pada suar, aku pancang tonggak
kubaca cakrawala dengan mata picak sebelah
kubiarkan mata yang lain berhibuk di lubuk
tak terpeta, sambil terus bertanya benarkah
garis telah dimistarkan, benarkah ritmis hujan
telah dinotasikan...
kupingku pun seakan tercemar riuh camar,
ketika nyeri terhantar bersama gelombang
dan beribu-ribu buih memercik ke tepi perih
kuraba arus tapi terlalu aus dirumuskan
kubaca pusaran, tapi terlalu liar dihelakan
aku pun bersampan dengan lebam silam
hasratku menggebu bergelayut ke sudut malam,
seperti penyepuh waktu yang labuh ke batu
bersembunyi dari biru tatu
: ombak luka yang tak habis-habisnya bertandang
bak serdadu yang dihela genderang perang
dan menyerbu ke palagan
Yogyakarta, 2012
99Asmarasupi
Belukar Langit
belukar itu menjalar di langit-langit kita
liar
di dinding, kita pun menggambar apel, ular,
juga udara di ranjang yang cemar
—rautmu tersamar antara laki-laki
dan perempuan pegandrung mawar
aku pun bertanya: ‘kenapa kau lilit kekarmu
dengan ungu sprei; bukankah tubuhmu hanya ritus yang abai
pada anggur dan roti, dan tak ada celah di bawah perut
yang pasti...’
di kamar, tak ada jarum jam bergetar
kecuali detak jantungku yang bersipukul
dengan nafasmu
—menggeletar
waktu seakan mengukir kesetiaan batu-batu, mengeras
di dadaku
aku gentar bak batang kelapa dipanjat pemetik:
‘maukah kau menjadi perempuanku atau...’
kulihat rautmu seliar belukar di langit-langit kita
ah, sungguhkah sodom-gomora dulu, bersirayu...
tapi kau terus mengigal seperti penayub yang
tak pernah dihampiri mata redup:
‘aku perempuan adam, seperti siang
yang bersirapat dengan malam...’
100 Munajat Buaya Darat
di sisa malam,
belukar itu semakin liar menjalar di langit-langit kita
gambar-gambar di dinding menjadi berdaging
ular bangkit, melata
liurnya mengguratkan bisa di lekuk apel merah
taringnya seakan tembus ke dada kita
udara pun bising oleh riuh tanpa kata
Yogyakarta, 2012
101Asmarasupi
Asmarasupi
mataku bergulung ke lengkung kembang bakung
di kainmu : gaun batik berwiru
aku pun terasing ke dua dunia semu
sunyi berderap di dada, menitipkan gelapnya
yang purwa
riuh melesat ke retina, mewasiatkan binarnya
yang purna
aku serupa capung mengapung di atas dua cekung
berbayang:
lembah hitam dengan pucuk rumput diam
jurang berwarna rangsang terpercik sisa bohlam
ketika kainmu berkibar dan menjelma layar di peraduan kita
yang bergetar —bunga bakung itu pun mekar
seiring peta-peta tubuhmu yang samar…
Yogyakarta, 2012
102 Munajat Buaya Darat
Ziarah ke Sintal Pinggulmu
di pinggulmu yang sintal, aku saksikan beribu tanggal
terajah; aku membaca sebagai seorang peziarah
buta, yang telah menemukan peta-arah tuk pertama
tapi kau terus saja bergoyang dan bergoyang
hingga aku rasakan bumiku beringsut bersama rambut
dulu hitam kini sudah beruban dan kusut
aku hanya bisa berharap ketelanjanganmu
seperti pengantin baru yang mabuk setubuh
o pengantin porselinku, lolosi gaunmu
agar aku bisa melihat lekuk yang masih berceruk
di tubuhmu, agar aku bisa berbisik dengan ular
yang lidahnya sudah tanggal di antara tanggal-tanggal
yang tergurat di kulitmu —ular yang terus saja melingkar
berganti kulit, ular yang begitu setia dengan usia
dengan sisiknya yang selalu mengaburkan lalu
dan kini; aku pun menuruni lembah laki-laki
seperti perjaka yang telah menitipkan kemaluannya
ke batu, dan hanya berharap ada yang hidup dari masa lalu
sebab kelak bagai buaian kanak-kanak yang berayun
dan bertumpu bambu —seperti jam yang menghitung waktu
menunggu ada yang meledak atau terjatuh
103Asmarasupi
di pinggulmu, aku saksikan berpuluh-puluh peluh
luluh —seperti kehadiranku yang hanya sekilas dan rapuh
menjemput tanggal yang masih tertinggal di buntal
pantatmu, meski aku tahu, bumiku tak lagi berhenti
di kaki, tapi terus saja bergeser dari satu mimpi
ke tepi lainnya, membuat peta-arahnya sendiri
o pengantin keramikku, inikah jejak jangak yang kau
sisakan dalam risauku yang berkepanjangan
di kursi mempelaiku yang terpelanting dalam dingin dan
angan…
Surabaya, 2012
104 Munajat Buaya Darat
Ciuman Gula Merah
kucium ranum wajahmu seperti angin teluk
membungkuk ke pantai
kau gentar bak batang manggar mekar,
yang dipanjat pendaras lontar
batang lehermu bergetar, menahan nafas
aku bayangkan nira itu meleleh dari bibirmu
serupa pelepah mayang yang ditebah parang dan basah
dan bibirku menyaru bumbung bambu
yang menampung seluruhmu
aku pun mengubah curah itu menjadi bongkah legit
dengan lebih dulu mendidihkannya di tungku
hatiku —yang panas, bergelora, dan sangit...
Yogyakarta, 2012
105Asmarasupi
Mantram Kolam :plung!
di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang
mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama
segalanya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…
“plung!”
aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak
Banyuwangi, 2012
106 Munajat Buaya Darat
Ilusi Musim
aku hanya musim yang dikirim rubah hutan
kenangan —memungut bebuah, dedaun, juga
unggas—yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tatap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa
bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau ke seribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh
di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, putih, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…
Magelang, 2012
107Asmarasupi
Cenayang Dermaga
mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk bersandar bukan gerak ingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serupa ruh terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal
tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
meski pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali
Sidoarjo, 2012
108 Munajat Buaya Darat
Berkah Gravitasi :GD
bak pucuk bambu yang merindu rembulan, aku ziarahi
hidupmu yang bernisan
tapi kau masih penari yang tak bisa berhenti,
gerakmu memusar ke luar lingkar, merasuk ke dalam sangkar
melejit di arus langit
terus berotasi di dalam dan di luar orbit
hingga kepalaku terpenggal oleh arus hasrat sendiri:
mimpi perang bintang dan bulan sabit!
aku pun berdoa: ‘o bumi, berikan berkah gravitasi
matahari…’
tapi doaku semakin menenggelamkanku ke dinding
bumi, sedang kau semangkin
berputar, melenting
aku pun terbiar di altar, rubuh
memeluk lutut, sambil menjemput rerumput yang mulai
tumbuh
di sela lantai —siapa tahu, aku bisa melantai
seperti kau memulai, dulu, lalu beterbangan di antara
gemintang,
rembulan, juga
batu-batu yang bersitumbuh di orbit segala galaksi
—siapa tahu, juga terbit di hatiku…
bak pucuk bambu yang merindu rembulan, aku ziarahi
hidupmu yang bernisan
109Asmarasupi
meski aku tahu, aku tak akan pernah bersua
denganmu di ruang tamu penuh angka;
aku hanya orang asing
yang bergasing, dan bermuasal angin
tapi kini aku sedang memintal mimpi dengan kuyup rindu
yang berarus kalbu
berpusing dari rasi ke matahari, dari bumi ke luar bimasakti
aku pun terus merapal jampi: “o gravitasi matahari,
datanglah,
tarik diriku ke garis edar bintang-bintang, sebentar keluar
dari tubuh bumiku sendiri...”
begitu retina dada terbuka,
kakiku masih berakar di di koordinat bumi yang sama
mungkinkah kelak kita akan bertemu, meski aku telanjang
karena bajuku bakal terbakar atmosfermu, terpanggang
Surabaya, 2012
110 Munajat Buaya Darat
EPILOG
LULUR KYAI DI TUBUH BERDAKIProf. Dr. Faruk, S.U.*
Tukang Potong
Ia selalu siap dengan gunting dan sisirDi bawah pohon yang demikian pesing, anyir Oleh kencing pejalan, juga kencingnyaJuga kencing pelacur-pelacur yang saban malamNgelindur di bawah pohonDi dekat neon Tempatmu dulu pernah bermain merconSambil mengintip pemulung mandi, juga gembelYang mengurut tubuhnya, agar daki yang lagi menempelDi tubuh dan pergi Seperti kereta yang datang dan berangkatDi stasiun, tempat segala yang muda, jompoTerangkut
111Mashuri
Suaranya selalu bersuling: “antara WonokromoDan Semut”
Ia akan menjambak-jambak rambutmu, agar kauTak kantuk, agar kau terjaga dan sadarBahwa ada yang berkurang dari dirimu
“Berjagalah, agar aku tetap ingatYang harus aku babat adalah rambutmu, bukan kupingAtau lehermu yang tak terawat”
Ia selalu siap dengan gunting dan sisirMeski kadang-kadang datang seorang perempuanYang mengaku bunting dan menyoalnya dengan nyinyir: “Kau laki-laki tak pernah membuktikan kelelakianmuKepadaku”
Ia tersenyum diam-diam, sambil menggumamAku sudah tahu, seberapa lebat rambut yang masih Menempel di tubuhmu, dan yang sudah jatuh
Ke debu
Sidoarjo, 2007
Pesan puisi ini sebenarnya sederhana, sebuah ajaran atau
kebijakan yang mungkin banyak orang tahu. Tentang sebuah
kekuatan dan kekuasaan yang di hadapannya manusia tak
bisa berkutik, hanya bisa berserah diri seperti orang yang
menyerahkan seluruh rambutnya dan mungkin juga nasib dan
nyawanya kepada tukang cukur. Tidak ada yang tahu, tidak
ada pula yang bisa menebak, apakah tukang cukur itu akan
112 Munajat Buaya Darat
setia mencukur rambut atau malah ia tiba-tiba memutuskan
untuk memotong leher pelanggannya. Memang ada yang
mencoba melawan kekuasaan itu. Namun, meskipun diam,
si tukang cukur, kekuatan dan kekuasaan itu tetap tidak
bergeming. Ia masih menjadi pemegang kekuasaan mutlak
karena pengetahuannya mengenai segala detail dari diri yang
mencoba melawan itu.
Imaji dan pesan puisi ini mirip dengan “Mata Pisau”
Sapardi Djoko Damono berikut ini.
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfi kir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu..
Namun, bila dalam puisi Sapardi di atas ancaman ke-
kua saan yang bisa mematikan itu cenderung berasal dari
diri manusia sendiri, semacam ironi dari pepatah lama,
“mulutmu, harimaumu”, manusia termakan dan terbunuh
oleh perbuatannya sendiri yang telah mengasah pisau itu
hingga berkilat, dalam puisi Mashuri tentang tukang cukur ini
kekuasaan itu merupakan sesuatu yang eksternal, yang ada
di luar manusia. Karena itu, di dalam puisi Sapardi tidak ada
kesan ketidakberdayaan manusia, yang ada hanyalah kesan
bahwa manusia harus selalu waspada dengan perbuatannya
dan hidupnya sendiri, sedangkan di dalam puisi Mashuri di
atas ketidakberdayaan manusia, kenaifan manusia, sangatlah
nyata. Memang, ada juga pesan mengenai keharusan untuk
113Mashuri
waspada itu. Hanya saja, kewaspadaan itu bukan datang dari
diri manusia sendiri, melainkan dari kekuatan yang sama yang
juga ada di luarnya. Bahkan, dalam hal yang kemudian ini puisi
Mashuri di atas memperlihatkan citraan yang bisa dikatakan
tidak logis, kontradiktif. Yang harus waspada adalah si tukang
cukur karena ia bisa tiba-tiba mengalihkan sasaran pemotongan
, dari potong rambut jadi potong leher atau kuping. Akan tetapi,
si tukang cukur justru menyuruh orang lain, si pelanggan, yang
waspada. Kecenderungan ini semakin menegaskan kemutlakan
kekuasaan eksternal itu di satu pihak dan ketidakberdayaan
atau kepatuhan yang juga mutlak dari manusia terhadapnya.
Biarpun yang melakukan kesalahan adalah si tukang cukur,
yang disalahkan adalah justru pelanggannya.
Manusia di dalam puisi Sapardi di atas adalah manusia
yang sendirian, yang ada di dalam rumah, mungkin di bagian
dapur dari rumah itu sehingga manusia itu terpisah dari
manusia yang lain. Pada manusia yang seperti ini pertarungan
terjadi bukan dengan manusia lain, melainkan dengan
dirinya sendiri. Inilah persoalan manusia kota, manusia kelas
menengah ke atas kalau tidak bisa dikatakan manusia borjuis.
Halnya berbeda dari manusia di dalam puisi Mashuri di atas.
Di dalam puisi penyair yang kemudian ini manusianya adalah
manusia yang ada di tempat terbuka, hidup bersama manusia
lain, tidak hanya si tukang cukur, melainkan juga beberapa
manusia yang lainnya. Mereka menyerupai sebuah komunitas
manusia kelas rendah yang hidup di sekitar stasiun. Manusia
ini adalah manusia komunal yang bisa dikatakan saling
berkomunikasi satu sama lain dalam posisi yang setara. Hanya
dalam hubungan dengan si tukang cukur hubungan mereka
tampak hierarkis. Mereka adalah manusia kelas rendah yang
114 Munajat Buaya Darat
secara ekonomi maupun social termasuk manusia yang juga
tidak berdaya sebagaimana posisi mereka di hadapan si
tukang cukur tersebut. Inilah manusia proletar, mungkin juga
manusia petani, manusia pinggiran kota, bisa juga manusia
pedesaan yang di dalamnya pertarungan terjadi bukan dalam
diri sendiri, melainkan dengan orang lain, yang di dalamnya
kekuasaan ada di luar diri, bukan dalam diri sendiri.
Dibandingkan dengan dunia tempat hidup manusia
Sapardi, manusia-manusia yang ada dalam puisi Mashuri
itu adalah manusia-manusia yang hidup dalam lingkungan
yang kotor, jorok, tetapi tetap mempunyai keinginan untuk
“mandi” dan “mencukur rambut” untuk membersihkan
“daki”. Namun, karena kekuasaan, yang katakanlah “suci”,
ada di luar diri mereka, mereka tidak akan penah bisa menjadi
bagian darinya. Halnya berbeda dengan manusia Sapardi. Baik
ketidakberdayaan maupun kekuasaan ada dalam diri manusia
itu sendiri. Manusia dapat menjadi bagian dan menyatu
dengan kekuasaan yang “suci” itu. Apakah dengan demikian,
manusia-manusia “Mashuri” itu benar-benar jauh dan tidak
punya sama sekali “kesucian” di dalam diri mereka. Mashuri,
sebagaimana yang terlihat dalam beberapa puisinya yang
lain dalam kumpulan ini, tampaknya sangat terobsesi untuk
menemukan kekayaan dalam kemiskinan, kebahagiaan dalam
kesengsaraan, keberadaan dalam ketiadaan, kesucian dalam
kekotoran. Puisi kedua, yaitu yang berjudul “Perempuan
Bertubuh Ombak” menggambarkan kembali dengan sangat
jelas kecenderungan yang demikian.“mungkin tarianmu semakin indah dan bergelora, saat pelupukmu terpejam dan kau melangkah di antara buih, ombak dan riak dada bergetih, yang
115Mashuri
tak letih pulang-pergi antara riang-sepi, jalang-suci, nyata-mimpi; pantai singgahan pun semakin mengabadikan gelayutmu dari satu langkah ke langkah lainnya, dari satu gerak ke gerik berikutnya, sehingga kau terus mengimani: “sungguh, tubuh
surga tak pernah selesai diluluri”
Tentu saja, “tubuh surga tak pernah selesai diluluri” ka -
re na tubuh itu adalah tubuh manusia kelas rendah yang
penuh daki, tubuh para pendosa yang jauh dari yang suci,
yang ada di luar kekuasaan. Manusia “Sapardi” yang tidak
berada di tempat terbuka mungkin hanya butuh lulur sekali
kalau tidak bisa dikatakan tak membutuhkannya sama sekali.
Tubuh manusia Sapardi adalah tubuh si tukang cukur yang
bergulat dengan dirinya sendiri, antara ingat atau alpa dalam
menjalankan tugasnya sebagai tukang cukur. Tubuh manusia
Sapardi, dalam konteks Mashuri yang bertradisi NU, dapatlah
disebut sebagai tubuh “Kyai”.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah manusia-
manusia Mashuri itu membutuhkan merasa dirinya kotor dan
selalu gatal karena daki yang begitu tebal melekat di tubuh
mereka, apakah mereka membutuhkan lulur, ataukah Mashuri
saja yang kurang kerjaan?
Yogyakarta, 22 12 12
*)Guru Besar Sastra
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
116 Munajat Buaya Darat
RIWAYAT PUBLIKASI
KE-63 puisi dalam buku ini pernah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal sastra antara tahun 2007—2012, seperti Jurnal Sajak, Jurnal Puisi Amper, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya Post, Jurnal Nasional, dan lainnya. Beberapa di antaranya sudah disunting lagi.
Sementara itu endorsmen yang tertera pada sampul belakang dikutip dari beberapa tulisan, baik berupa esai tersiar, berita koran, maupun makalah. Rinciannya sebagai berikut.1. Pendapat Prof. Dr. Faruk, S.U. (guru besar sastra Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta) dinukil dari Epilog “Lulur Kyai di Tubuh Berdaki”.
2. Pendapat Akhudiat (penyair dan dramawan) dinukil dari pengantar bakal antologi bersama “Mengantar Kumpulan Puisi Mesin & Hantu.”
3. Pendapat Arif Bagus Prasetyo (penyair dan kritikus sastra) dinukil dari catatan kuratorial “Lima Penyair Menebus Kota” dalam Rumah Pasir, antologi puisi penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya 2008).
4. Pendapat Kris Budiman (kritikus seni dan semiolog) dinukil dari makalah “Ngaceng Tapi Retak” dalam Diskusi Empat Buku Puisi di Utan Kayu, Jakarta, pada 29 Oktober 2007.
5. Pendapat Beni Setia (sastrawan dan esais) dinukil dari “Belajar Sentosa dengan Arif” yang tersiar di Jawa Pos edisi Minggu, 15 Agustus 2010.
6. Kutipan Koran Tempo edisi Rabu, 14 Maret 2007, berjudul “Mashuri, Wayang, dan Kekinian”.
7. Kutipan Kompas edisi Senin, 2 Mei 2005 berjudul “Orisinalitas dan Kekhasan Karya Sastra”.
117Mashuri
TENTANG PENULIS
MASHURI lahir di desa Wanar, Lamongan, Jawa Timur, pada
tanggal 27 April 1976. Jebolan dua pondok pesantren di daerah
kelahirannya. Pernah memasu pengetahuan pada Jurusan
Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Konsentrasi Pemikiran
Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, dan S2 Ilmu Sastra
Universitas Gadjah Mada. Belajar berkesenian dan nyantrik di
Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar
Pagar (FS3LP), Surabaya.
Selama ini menulis puisi, cerpen, novel, esai, karya
jurnalistik dan penelitian sastra. Tulisan-tulisannya tersiar di
berbagai media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Media
Indonesia, Jawa Pos, Republika, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat,
Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Rakyat Merdeka, Jurnal
Nasional, Suara Merdeka, Karya Dharma, Surabaya Post,
Duta Masyarakat, Surabaya News, Lampung Post, Surya,
Memorandum, Radar Surabaya, majalah Aksara Imajio, majalah
Kidung, majalah Jayabaya, majalah Suluk, tabloid Telunjuk,
majalah Damarjati, majalah IAIN News, serta tersiar di jurnal
kebudayaan/sastra seperti Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal
Puisi, Jurnal Sajak, Jurnal Kritik, Jurnal Puisi Amper, Jurnal
Aksara, Jurnal Thought, Jurnal Atavisme, Jurnal Jembatan
Merah, Jurnal Sundih, Buletin Sastra Epik, Jejak, Gatra, Situs,
On-Off, Jombangana, dan sejumlah media lainnya.
Buku puisi tunggalnya Jawadwipa 2003 (Gapus, 2003),
Pengantin Lumpur (DK-Jatim, 2005), Ngaceng (Pustaka
Pujangga, 2007), dan Patigeni (Manuskrip, 2009). Novel
118 Munajat Buaya Darat
pertamanya Hubbu (Gramedia, 2007) menjadi pemenang
pertama dalam Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) 2006. Novel keduanya yang akan segera terbit berjudul
Posmoderna. Karya lainnya terdapat dalam puluhan antologi
karya bersama, di antaranya Menguak Tanah Kering,
Manifesto Surrealisme, Permohonan Hijau, Puisi Tak Pernah
Pergi, Antologi Penyair Jawa Timur 2004, Black Forest, Festival
Mei, Khianat Waktu, Pelayaran Bunga, Rumah Pasir, 100 Puisi
Terbaik Indonesia 2008, Reasons to Harmoy, Kidung Tanjung,
Pesta Penyair, dan lain-lainnya.
Selain sayembara novel, beberapa kali memenangkan
sayembara perhelatan penulisan/sastra, di antaranya peme-
nang lomba puisi, lomba kritik seni, revieuw karya sastra,
dan lainnya. Pernah mengikuti berbagai ajang seni dan sastra,
seperti Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Bogor dan
Brunai Darussalam, Ubud Writer and Reader Festival di Bali,
Lampion Sastra di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Festival Mei
di Bandung, Festival Seni Surabaya, Festival Cak Durrasim,
serta berbagai festival dan temu sastra lainnya. Sering terlibat
dalam beberapa inventarisasi dan penelitian sastra, seperti
cerita rakyat/sastra lisan, sastra koran, naskah kuno, sejarah
lisan, folklor, dan sebagainya.
Untuk menyambung hidup, sejak 1999—2011, bekerja
sebagai wartawan/redaktur di sebuah koran lokal di Surabaya,
dan sejak 2006 berhikmat sebagai peneliti sastra di Balai
Bahasa Jawa Timur.
Kini tinggal di Sidoarjo. Alamat surat: Balai Bahasa Jawa
Timur d/a Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo 61252.
Email: [email protected].