Multiple Abses Final
-
Upload
rajaalfatih -
Category
Documents
-
view
52 -
download
4
Transcript of Multiple Abses Final
PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM MULTIPEL
Tri Apriyani, Lisa Apri Yanti, Sofjan EffendiBagian IKTHT- KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Departemen KTHT- KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
ABSTRAK
Latar belakang: Abses leher dalam multipel adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber. Manifestasi klinisnya berupa nyeri, demam, odinofagia, disfagia, pembengkakan dan keterbatasan gerak mandibula atau leher. Diagnosis abses leher dalam multipel ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan radiologi. Komplikasi dari abses ini dapat berupa obstruksi jalan nafas, mediastinitis, komplikasi vaskuler, sepsis, osteomielitis, defisit neurologis dan fistel akibat ruptur dari abses. Tujuan: Mempresentasikan cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan abses leher dalam multipel. Kasus: Dilaporkan satu kasus abses leher dalam multipel pada perempuan berusia 44 tahun. Penatalaksanaan: Pada pasien ini telah dilakukan trakeostomi, eksplorasi dan drainase abses serta diberikan antibiotik spektrum luas. Kesimpulan: Abses leher dalam multipel merupakan kasus emergensi yang dapat mengancam nyawa, tetapi mempunyai prognosis yang baik bila ditatalaksana secara dini disertai terapi yang adekuat.
Kata kunci : Abses leher dalam multipel, komplikasi, penatalaksanaan
ABSTRACT
Background: Multiple deep neck abscess are abscess that were performed in the potential space of the neck, they came from spreading of infections from other sourcess. Clinical manifestation are pain, fever, odinophagia, dysphagia, swelling, stiffing of mandible and neck. Complications of these disease are airway obstructions, mediastinitis, vascular complications, sepsis, osteomyelitis, deficit neurology, and fistula from rupture of the abscess . Objective: We present this case to know how to diagnose and the management of multiple deep neck abscess. Case: we reported a case of multiple deep neck abscess in a 44 years old-female. Management: This patient has been managed by tracheostomy, exploration and drainage of abscess under general anesthesia and also given broad spectrum antibiotic. Conclusions: Multiple deep neck abscess are emergency case that can life threatening, eventhough it has a good prognosis, especially if managed early and adequately treated.
Keywords: Multiple deep neck abscess, complications, management
1
PENDAHULUAN
Abses leher dalam multipel
adalah abses yang terbentuk di dalam
ruang potensial di antara fasia leher
akibat penjalaran infeksi dari
berbagai sumber, seperti infeksi pada
daerah faring dan tonsil, gigi,
kelenjar liur, telinga tengah atau bisa
juga akibat trauma pada saluran
cerna, limfadenitis, serta penggunaan
obat injeksi secara intravena dan
subkutan. Sejak ditemukannya
antibiotik, secara signifikan angka
kesakitan dan kematian kasus abses
leher dalam menurun secara drastis.
Walaupun demikian, abses leher
dalam sampai saat ini masih menjadi
salah satu kasus kegawatdaruratan di
bidang THT.1,2
Ruang leher dalam dapat
dikelompokkan menurut modifikasi
dari Hollingshead berdasarkan
penampang panjang leher yaitu ruang
retrofaring, danger space, ruang
prevertebral dan ruang viseral
vaskular. Berdasarkan lokasinya di
atas atau di bawah tulang hyoid.
Ruangan yang berada di atas tulang
Hyoid, dibagi menjadi ruang
submandibula, ruang parotis, ruang
peritonsil, ruang mastikator, ruang
parafaring dan ruang temporal.
Sedangkan yang terdapat di bawah
os hyoid terdiri dari ruang pretrakea
dan ruang suprasternal.2,3
Kasus abses leher dalam di
bagian THT-KL RSMH periode
Januari 2011 - Desember 2012
terdapat 41 kasus abses leher dalam
yang terdiri dari 16 kasus abses
submandibula (39%), 14 kasus abses
peritonsil (34%), 4 kasus abses
mastikator (9,7%). 1 kasus Ludwig’s
Angina (2,4%), 1 kasus abses
parafaring (2,4%), 1 kasus abses
bezold (2,4%), 1 kasus abses region
leher lateral (2,4%), 3 kasus abses
leher dalam multipel (7,7%).
Gejala dan tanda klinis dari
abses leher dalam ini bervariasi
tergantung ruang yang terlibat.
Manifestasi klinis dari abses leher
dalam multiple berupa nyeri, demam,
odinofagia, disfagia, pembengkakan
dan keterbatasan gerak mandibula
atau leher. Sebelum adanya
antibiotik, 70% abses leher dalam
disebabkan oleh infeksi pada tonsil
dan faring. Sekarang infeksi pada
tonsil dan faring ini, merupakan
penyebab infeksi leher dalam yang
2
tersering pada anak-anak, sedangkan
pada dewasa umumnya disebabkan
oleh infeksi gigi. Sekitar 20 – 50 %
kasus abses leher dalam tidak
diketahui penyebabnya. Bakteri aerob
gram positif merupakan bakteri yang
paling sering diisolasi pada abses
leher dalam ini, diikuti oleh bakteri
anaerob, bakteri aerob gram negatif
dan jamur. Infeksi leher dalam ini
juga dapat disebabkan oleh
polimikroba yaitu sekitar 62% kasus. 2,3,4
Diagnosis abses leher dalam
ini dapat ditegakkan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan
radiologi. Pasien yang kita diagnosis
dengan abses leher dalam dapat
diberikan terapi antibiotik yang
adekuat dan drainase abses.
Umumnya pasien diberikan
antibiotik intravena untuk kuman
aerob dan anaerob. Drainase abses
dapat berupa aspirasi abses atau
insisi dan eksplorasi, tergantung
pada luasnya abses dan komplikasi
yang ditimbulkannya.2,3,4
Abses leher dalam dapat
mengancam kehidupan bila tidak
ditatalaksana dengan adekuat. Infeksi
dapat meluas ke ruang leher dalam
lainnya sehingga dapat menimbulkan
penyulit dalam penanganan infeksi.
Penyulit yang sering timbul berupa
obstruksi jalan nafas karena
penekanan dari abses, mediastinitis
akibat penjalaran abses ke inferior,
komplikasi vaskuler (thrombosis
vena jugularis dan ruptur arteri
karotis), sepsis, osteomielitis, defisit
neurologis dan fistel akibat ruptur
dari abses.2, 4
LAPORAN KASUS
Dilaporkan kasus abses leher
dalam multipel pada seorang wanita
usia 44 tahun, alamat luar kota, pada
tanggal 29 Agustus 2012 datang ke
instalasi gawat darurat dengan
keluhan bengkak pada rahang bawah
kanan dan kiri. Dari hasil anamnesis
didapatkan ± 1 minggu yang lalu
pasien mengeluh rahang bawah
kanan bengkak dan keluar nanah,
demam ada, sesak tidak ada, pasien
mulai sulit membuka mulut, namun
pasien masih bisa makan makanan
lunak. Sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit bengkak semakin
bertambah kesisi sebelah kiri, pasien
semakin sulit membuka mulut, pasien
hanya bisa makan makanan cair,
pasien mengeluh sesak terutama pada
3
posisi tidur. Lalu pasien berobat ke
rumah sakit daerah dan dirujuk ke
RSMH
Pada pemeriksaan fisik
generalisata didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 130/80 mmHg, RR 16x/menit,
frekwensi nadi 88x/menit, suhu
badan 37,8oC. Pada pemeriksaan
THT telinga dan hidung tidak
ditemukan kelainan. Pemeriksaan
rongga mulut, didapatkan trismus
sekitar 2,5 cm, lidah terangkat dan
tampak karies pada gigi premolar
satu kanan bawah, molar satu dan dua
kanan bawah serta kalkulus hampir di
seluruh gigi. Tampak nanah keluar
dari gigi premolar satu rahang bawah
kanan. Tenggorok sukar dinilai. Pada
daerah submandibula sisi kanan dan
kiri serta submental terdapat
pembengkakan, nyeri tekan,
hiperemis dan sedikit fluktuatif.
Angulus mandibula kanan dan kiri
tidak teraba. Pada daerah sublingual
juga tampak pembengkakan,
fluktuatif, hiperemis dan nyeri tekan.
Hasil pemeriksaan labo-
ratorium dijumpai leukosit
23.700/mm3, Laju endap darah 100
mm/jam, diff count 0/0/2/92/3/3,
albumin 2,3 g/dl, yang lain dalam
batas normal.
4
A
C
B
D
.
Keterangan gambar : A, B Rontgen soft tissue cervical AP/Lateral, C. Tomografi komputer faring
potongan sagital , D. Tomografi komputer parafaring potongan aksial
Pada pemeriksaan ronsen foto
jaringan lunak leher anteroposterior
dan lateral tampak perselubungan
pada daerah submandibula
sedangkan daerah retrofaring normal.
Foto thorak posteroanterior
didapatkan jantung dan paru dalam
batas normal. Hasil pemeriksaan CT
scan tanggal 29 Agustus 2012
didapatkan kesan tampak abses yang
luas di submandibula kanan kiri,
tampak abses di parafaring kanan,
tampak pembengkakan di retrofaring
(swelling), tulang-tulang baik,
tampak gambaran abses retrofaring
Aspirasi pus pada daerah submental
didapatkan pus 0,3 cc. Pasien
didiagnosis dengan multiple abses
5
leher dalam. Penderita dirawat
dengan observasi ketat tanda-tanda
sumbatan jalan napas dan tanda-
tanda syok, tirah baring posisi
Trendelenberg, diet nasi lunak,
diberikan cairan infus RL 20 tetes
per menit, injeksi ceftriaxon 2 x 1
gram (skin test), metronidazol 3 x
500 mg per infus, injeksi gentamisin
2 x 80 mg, injeksi ketorolak 30 mg
drip dalam cairan infus RL jika
diperlukan, injeksi ranitidin 2 x 50
mg. Pada hari kedua dirawat tanggal
30 Agustus 2012 pasien mengeluh
sesak bertambah berat, tampak
stridor inspirasi, retraksi
suprasternal, dan epigastrium,
kemudian dilakukan trakeostomi
dilanjutkan insisi dalam narkose
umum. Insisi dilakukan pada daerah
submental setelah sebelumnya
dilakukan aspirasi pada daerah yang
paling fluktuatif kemudian
dilanjutkan dengan insisi 2 jari
dibawah batas inferior ramus
mandibula secara horizontal
sepanjang ±1 cm dan insisi
diperdalam lapis demi lapis dengan
klem. pada saat tindakan dapat
dieksplorasi pus sebanyak ± 100 cc,
warna kuning kehijauan dan berbau
busuk. Insisi juga dilakukan pada
abses retofaring sepanjang setengah
sentimeter dan didapati nanah ± 0,5
cc. Setelah tindakan pasien
dianjurkan tidur dengan posisi
trendelenburg.
Pada hari ketiga dirawat
tanggal 31 Agustus 2012 keluhan
keluar nanah dari mulut, dagu dan
dari drain pada submandibula, sulit
membuka mulut masih dijumpai.
Dilakukan evaluasi abses pada drain
didapatkan pus ±50cc. Terapi
diteruskan. Tanggal 1 September
2012 keluhan sukar membuka mulut,
nanah bercampur darah keluar dari
incisi abses dan drain terlepas,
kemudian dilakukan pencucian luka
dengan H2O2 3% dilanjutkan
dengan NaCl 0,9% dicampur dengan
gentamisin 2 ampul sampai luka
bersih kemudian ditutup dengan kasa
bersih, pencucian luka dan
penggantian drain dilakukan tiap
hari, hasil pemeriksaan laboratorium
didapati leukosit 14.800/ mm3, LED
104 mm/jam.
Pada tanggal 5 September
2012 didapatkan luka incisi melebar,
nanah bercampur darah serta jaringan
nekrosis keluar dari dalam luka,
6
demam timbul kembali, balon kanul
trakeostomi dikempeskan setiap 2-3
jam selama 5-10 menit kemudian
dikembungkan kembali, terdapat
fistula dari sublingual ke mental,
hasil kultur dan resistensi kuman
yakni Streptococus bovis suatu
kuman cocus gram positif yang
sensitif dengan antibiotik Penisilin,
Ampisilin, Cefotaksim, Gentamisin,
Eritromisin, Vancomisin, dan
Amoksisilin asam klavulanat. Pada
tanggal 12 September 2012 nanah
masih mengalir dari ruang
submandibula bercampur darah ±10
cc, nanah dibawah lidah berkurang,
luka bekas fistula sedikit menutup,
trismus ±2,5 cm, terapi diteruskan.
Tanggal 25 September 2012 didapati
nanah sekitar ±1 cc bercampur cairan
serous keluhan nyeri dan sukar
membuka mulut masih ada,
dilakukan pemeriksaan darah
didapati Hb 9,2 g/ml, leukosit
10.100, LED 120, HbA1C dalam
batas normal, kemudian dilakukan
transfusi 1 kantong pack red cell
(PRC), pasien dianjurkan melatih
gerakan mulut dan menelan makanan
lewat mulut sehingga slang NGT
dapat dilepaskan. Pasien menolak
dilakukan rekonstruksi pada
lehernya. Tanggal 5 Oktober 2012
pasien sudah dapat bernafas spontan
kemudian dilakukan dekanulasi,
pasien dilatih mobilisasi duduk,
berdiri dan berjalan perlahan-lahan,
luka di submandibula semakin
mengecil dengan diameter 1 cm.
Tanggal 13 Oktober 2012 pasien
diperbolehkan pulang dan diberi obat
ciprofloksasin 2x500 mg, asam
mefenamat 3x500 mg, dan
disarankan kontrol 1 minggu lagi, ke
poli THT dan poli gigi. Tanggal 20
Oktober pasien kontrol didapati luka
semakin kecil dengan diameter
setengah sentimeter dan lubang
trakeostomi menutup sempurna
7
Gb 4. Foto pasien post trakeostomi dan insisi abses leher dalam, dan foto selama
perawatan di RSMH Palembang.
8
DISKUSI
Telah dilaporkan satu kasus
seorang perempun berusia 44 tahun
yang didiagnosis abses leher dalam
multiple komplikasi fistula
sublingual dan mental. Abses pada
pasien ini telah mengenai beberapa
ruang leher dalam yaitu ruang
submandibula, submental,
sublingual, parafaring dan retrofaring
yang disebabkan oleh infeksi gigi.
Menurut Quinn3 usia rata-rata pasien
dengan infeksi abses leher dalam
antara 40-50 tahun dan umumnya
berasal dari kelompok sosioekonomi
rendah dimana pada kelompok
tersebut kurang memperhatikan
kebersihan mulut dan kurangnya
pengetahuan tentang perawatan gigi.
Nikakhlagh dkk5 mengatakan bahwa
insiden abses leher dalam lebih
banyak ditemukan pada laki-laki
dibanding perempuan, pada kasus ini
terjadi pada perempuan yang
disebabkan kurangnya perhatian
akan kebersihan dan kesehatan gigi.
Lokasi tersering dari abses leher
dalam ini menurut Parhiscar dkk7
adalah ruang parafaring (43%)
diikuti oleh ruang submandibula
(28%), angina ludwig (17%) dan
ruang retrofaring (12%) sedangkan
menurut Nikakhlag5 (2010), kasus
tersering adalah angina ludwig
(59%) diikuti oleh abses
submandibula, abses parafaring dan
abses maseter. Sumber infeksi pada
pasien ini berasal dari gigi. Hal ini
sesuai dengan Uluibau dkk6 yang
mengatakan bahwa penyebab abses
tersering pada daerah kepala dan
leher adalah infeksi odontogenik. Hal
yang sama juga disampaikan oleh
Parhiscar dkk7 sumber infeksi dari
abses leher dalam yang tersering
adalah infeksi gigi (43%) diikuti oleh
penggunaan obat intravena (12%),
tonsilofaringitis (6,7%) dan fraktur
mandibula (5,6%). Sekitar 76%
infeksi gigi ini dapat menyebabkan
angina Ludwig dan 61%
menyebabkan infeksi pada ruang
submandibula.
Penjalaran infeksi leher
dalam ini menurut Ungkanont
dikutip dari Murray, infeksi
odontogenik ini dapat menyebar
secara langsung melalui komunikasi
antara ruang-ruang pada leher dalam
(perkontinuitatum), pembuluh darah
(hematogen) dan pembuluh limfe
(limfogen). Penyebaran yang paling
9
sering terjadi adalah penjalaran
secara perkontinuitatum karena
adanya celah atau ruang diantara
jaringan yang berpotensi sebagai
tempat berkumpulnya pus.
Disamping itu fasia leher dalam
merupakan suatu barier yang efektif
untuk berkembangnya infeksi.4
Infeksi gigi pada pasien ini
berasal dari gigi premolar satu kanan
bawah, molar satu dan dua kanan
bawah yang mengalami karies.
Faktor yang menentukan apakah
infeksi gigi tersebut mengenai ruang
submandibula atau sublingual
tergantung pada perlekatan akar gigi
ke m. milohioid terhadap garis
milohioid. Bila infeksi berkembang
ke arah medial mandibula di atas
garis milohioid, maka infeksi akan
menyebar ke ruang sublingual.
Biasanya ini berasal dari gigi
premolar dan molar satu. sedangkan
bila infeksi meluas ke arah medial
mandibula dan di bawah garis
milohioid, maka infeksi menyebar ke
ruang submandibula. Gigi molar dua
dan tiga bawah merupakan sumber
infeksi tersering dari ruang
submandibula, sedangkan gigi molar
kedua dapat meluas ke ruang
sublingual atau submandibula
bahkan dapat meluas kedua ruang
tersebut tergantung dari panjang
akarnya. Pada pasien ini dari hasil
kultur tes sensitifitas dapat diisolasi
kuman streptococcus bovis
sedangkan dari daerah sub-
mandibula tidak ditemukan
pertumbuhan kuman aerob. Menurut
Quinn FB dkk3 mikroorganisme yang
paling banyak diisolasi pada abses
leher dalam adalah kuman aerob
gram positif diikuti oleh kuman
anaerob, kuman aerob gram negative
dan jamur. Sekitar 62% infeksi
disebabkan oleh polimikroba.
Kuman aerob gram positif yang
paling sering ditemukan yaitu
streptococcus viridans (39%) diikuti
oleh staphylococcus epidermidis
(21%).7 Kuman anaerob diisolasi
sekitar 35% kasus dimana jenis
kuman terbanyak spesies
bacteroides, Bacteroides melani-
nogenicus dan pepto-streptococcus.2
sedangkan kuman aerob gram negatif
yang banyak ditemukan adalah
proteus, pseudomonas dan
escherichia colli.7 Kebanyakan abses
akibat infeksi odontogenik
melibatkan kuman anaerob atau
10
merupakan campuran kuman aerob
dan anaerob.6
Diagnosis abses leher
dalam dapat ditegakan berdasarkan
anamnesis, gejala klinik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien
ini dari anamnesis mengeluhkan
bengkak dibawah dagu, nyeri
menelan dan sukar buka mulut.
Menurut Quinn dkk3, gejala yang
ditimbulkan oleh abses leher dalam
ini tergantung pada lokasi infeksi.
Abshirini dkk19 mendapatkan pada
penelitiannya gejala yang paling
sering pada abses leher dalam adalah
pembengkakan pada leher (87,1%),
trismus (53,7%), disfagia (30,6%)
dan odinofagia (29,3%). Selain
gejala di atas, juga ditemukan adanya
kesulitan bernafas, obstruksi jalan
nafas atas serta pneumonia.3
Pemeriksaan radiologi
yang diperlukan berupa foto cervical
lateral, foto mandibula, foto thorak
dan tomografi komputer. Pe-
meriksaan tomografi computer
dengan kontras merupakan standar
baku emas dalam mengevaluasi
infeksi pada leher dalam. Menurut
Crespo dkk8 pemeriksaan klinis saja
belum dapat memperkirakan per-
luasan infeksi leher dalam pada 70%
pasien. Pemeriksaan tomografi
komputer dapat menentukan lokasi,
batas serta hubungan infeksi dengan
struktur disekitarnya.
Pasien ini didiagnosis
dengan abses submandibula dengan
perluasan ke parafaring dan
retrofaring. Penatalaksanaan pada
pasien ini dilakukan insisi dan
ekplorasi abses pada daerah
submental yang merupakan daerah
paling fluktuatif pada abses tersebut.
Pasien ini juga mengalami kesulitan
bernafas karena lidah yang terangkat
akibat terkumpulnya pus di ruang
sublingual. Menurut Hedge A dkk9,
bila terjadi infeksi pada daerah
sublingual yang di tandai adanya
eritema, fluktuatif, pembengkakan
dan nyeri tekan, serta lidah yang
terangkat maka selain insisi
ekstraoral juga dilakukan insisi
intraoral yang sejajar dengan duktus
Wharton’s.
Penatalaksanaan awal
kasus abses leher dalam diutamakan
pada mengatasi sumbatan jalan nafas
kemudian dilakukan pemeriksaan
kultur yang dapat berupa kultur pus
atau darah, pemberian antibiotik
11
intravena dan dilanjutkan dengan
drainase abses. Kultur pus di-
dapatkan dengan aspirasi baik
ekstraoral maupun intraoral.
Pemberian antibiotik dimulai dengan
regimen empiris sampai didapatkan
hasil kultur. Antibiotik intravena
yang diberikan mencakup untuk
kuman aerob gram positif, aerob
gram negatif dan anaerob. Menurut
Quinn dkk3 regimen empiris yang
efektif digunakan adalah gabungan
antara penicillin, gentamisin dan
metronidazol. Wei Yang dkk10
mendapatkan dari penelitiannya
bahwa pemberian kombinasi anti-
biotik ceftriakson dan klindamisin
lebih efektif dibandingkan kombinasi
antara penicillin dan gentamisin atau
ceftriaxone dan metronidazol.
Lamanya penyembuhan pada pasien
ini disebabkan oleh banyaknya
sumber infeksi, perluasan abses,
higienis mulut yang jelek dan kurang
responnya kuman terhadap antibiotik
yang diberikan. Menurut Murray
dkk4 pasien dengan infeksi leher
dalam akan sembuh sempurna bila
semua penyebab telah diobati dan
lamanya penyembuhan menyebabkan
banyaknya komplikasi yang terjadi.
Infeksi gigi pada pasien ini berasal
dari gigi premolar satu kanan bawah
dan molar satu dan dua kanan bawah
yang mengalami karies. Faktor yang
menentukan apakah infeksi gigi
tersebut mengenai ruang sub-
mandibula atau sublingual ter-
gantung pada perlekatan akar gigi ke
m. milohioid terhadap garis
milohioid. Bila infeksi berkembang
ke arah medial mandibula di atas
garis milohioid, maka infeksi akan
menyebar ke ruang sublingual.
Biasanya ini berasal dari gigi
premolar dan molar satu. sedangkan
bila infeksi meluas ke arah medial
mandibula dan di bawah garis
milohioid, maka infeksi menyebar ke
ruang submandibula. Gigi molar
ketiga bawah merupakan sumber
infeksi tersering dari ruang
submandibula, sedangkan gigi molar
kedua dapat meluas ke ruang
sublingual atau submandibula
bahkan dapat meluas kedua ruang
tersebut tergantung dari panjang
akarnya, tersering dari abses ini
adalah ruptur spontan dan perluasan
abses ke ruang leher dalam lainnya.1
Pada pasien ini dari hasil
kultur tes sensitifitas dapat diisolasi
12
kuman streptococcus bovis. Menurut
Quinn FB dkk3 mikroorganisme yang
paling banyak diisolasi pada abses
leher dalam adalah kuman aerob
gram positif diikuti oleh kuman
anaerob, kuman aerob gram negative
dan jamur. Sekitar 62% infeksi
disebabkan oleh polimikroba.
Kuman aerob gram positif yang
paling sering ditemukan yaitu
streptococcus viridans (39%) diikuti
oleh staphylococcus epidermidis
(21%).7 Kuman anaerob diisolasi
sekitar 35% kasus dimana jenis
kuman terbanyak spesies bacteroides
terutama Bacteroides mela-
ninogenicus dan pepto-
streptococcus.2 sedangkan kuman
aerob gram negatif yang banyak di-
temukan adalah proteus,
pseudomonas dan escherichia colli.7
Kebanyakan abses akibat infeksi
odontogenik melibatkan kuman
anaerob atau merupakan campuran
kuman aerob dan anaerob.6
Lamanya penyembuhan
pada pasien ini disebabkan oleh
banyaknya sumber infeksi, perluasan
abses, higienis mulut yang jelek dan
kurang responnya kuman terhadap
antibiotik yang diberikan. Menurut
Murray dkk4 pasien dengan infeksi
leher dalam akan sembuh sempurna
bila semua penyebab telah diobati
dan lamanya penyembuhan
menyebabkan banyaknya komplikasi
yang terjadi.
Chen dkk12 mengatakan
bahwa luka pada mukosa mulut lebih
cepat penyembuhannya dan jaringan
parut yang terbentuk lebih sedikit
dibandingkan jaringan kulit,
sedikitnya jaringan parut pada
penyembuhan luka di mukosa mulut
disebabkan karena rongga mulut
memiliki lingkungan yang lembab
dan adanya cytokines dan growth
factor di dalam air liur.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Shumrick KA, Sheft SA.
Deep Neck Infections. In:
Paparella, Shumrick,
Gluckman, Meyerhoff,
editors. Otolaryngology, 3rd
ed. W.B. Saunders Company;
1991.P. 2545-63
2. Gadre AK. Infections of the
deep spaces of the neck. In:
Byron J. Bailey & Jonas
T.Johnson,editors. Head &
neck Surgery Oto-
laryngology. 4th ed.
Lippincott Williams &
Wilkins; Philadelphia 2006.
P.665-82
3. Quinn FB, Buyten J. Deep
neck Space and Infection.
PresentationUTMB, Dept. of
Otolaryngology, 2005.
4. Murray AD. Deep Neck
Infection. [Update Nov 18
2009: cited March 12,2011]
available from www.
http://emedicin
e medscape.com/article/83704
8-overview
5. Nikakhlagh S, Rahim
F,Khosravi A. Deep Neck
Infection : A case study of
12-year. Asian Journal of
Biological Sciences
2010;3:128-33
6. Uluibau IC, Jaunay T,Goss
AN. Severe Odontogenic
Infection. Aust Dent J
2005;50: 74-81
7. Parhiscar A, Har-EL G. Deep
neck Abscess: A
Retrospective Review of 210
Cases.Ann Otol Rhinol
Laryngol 2001;110:1051-4
8. Crespo AN,Chone CT,
Fonseca AS. Clinical versus
Computed tomography
evaluation in the diagnosis
and management of deep
neck infection. Sao Paulo
Med J 2004;130:201-7
9. Hedge A, Mohan S, Lim W.
Infection of the deep neck
spaces. CMEArticle,
Singapore Med J 2012; 53
(5): 305-11.
10. Wei Yang S, Lee MH,
Huang SH. Deep Neck
Abscess: an analysis of
microbial etiology and the
effectiveness of antibiotics.
14
Infection and Drug
Resistence 2008; 1:1-8
11. Abshirini H,Alavi SM,
Rekabi H. Predisposing
Factors for the complications
of Deep neck Infection. The
Iranian Journal of
Otorhinolaryngology 2010;
vol 22: no 60
12. Chen L, Arbieva ZH, Guo S
et al. Positional differences in
the wound transcriptome of
skin and oral mucosa. BMC
Genomic 2010; 11: 471
15