Mrs_bab Xvi - Etika Bisnis Rumah Sakit

download Mrs_bab Xvi - Etika Bisnis Rumah Sakit

of 24

Transcript of Mrs_bab Xvi - Etika Bisnis Rumah Sakit

  • Bagian V 267

    BAB XVI

    ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

    Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di

    Indonesia bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep

    usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi.

    Dalam transisi ini pertanyaannya adalah, apakah ada yang dirugikan?

    dan apakah ada pedoman etika yang dapat diikuti? Saat ini memang

    timbul kekhawatiran mengenai akibat negatif dari transisi rumah sakit

    ke arah lembaga usaha. Pertanyaan mengenai siapa yang dirugikan

    atas perkembangan ini perlu dibahas untuk mencari usaha menga-

    tasinnya. Pembahasan diawali dengan tinjauan konseptual mengenai

    dasar keadilan dalam peningkatan efisiensi. Dari pembahasan

    mengenai konsep dasar ini, berbagai kasus abu-abu dalam rumah sakit dianalisis untuk mencari jawaban akan pertanyaan penting:

    adakah etika untuk bisnis di sektor rumah sakit?

    16.1 Konsep Dasar untuk Keadilan

    Dalam perubahan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga

    usaha diperlukan suatu filosofi agar secara etika dapat dipertanggung-

    jawabkan. Tujuan penting dalam perubahan rumah sakit adalah

    peningkatan efisiensi dan penjaminan bagi orang miskin untuk

    mendapatkan pelayanan rumah sakit. Dengan demikian perubahan

    akan diukur dengan indikator ekonomi dan indikator lain termasuk

    fungsi sosial rumah sakit. Dalam hal ini, pernyataan Pareto cit.

    Friedman 1995 perlu diperhatikan bahwa perubahan kebijakan harus

    berprinsip: tidak ada satu orang atau satu lembaga pun yang dirugikan.

  • 268 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    One allocation is defined as Pareto superior to another if and only if

    it makes at least one person better off and no one worse off.

    Teori ekonomi mikro menyatakan bahwa model standar suatu

    organisasi perusahaan adalah bersifat for profit. Oleh karena itu, untuk

    meningkatkan efisiensi di lembaga usaha for profit dilakukan dengan

    berbagai usaha yaitu: (1) menjaga agar biaya produksi berada pada

    tingkat mimimum; (2) menetapkan harga di atas unit cost; dan (3)

    melebarkan penjualan (misalnya meningkatkan BOR dan berbagai

    produk rumah sakit). Sementara itu, pengertian efisiensi dalam

    organisasi non profit dapat berarti cara menghasilkan produk dan

    tercapainya misi dengan biaya produksi atau operasional yang

    serendah mungkin. Oleh karena itu, dalam transformasi lembaga

    sosial menjadi lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial,

    pertanyaan pentingnya adalah apakah ada kelompok masyarakat yang

    dirugikan. Untuk membahas hal ini pemahaman mengenai model

    utilitas di masyarakat perlu dipelajari. Model ini penting sebagai dasar

    kebijakan transisi rumah sakit.

    Pemahaman mengenai efisiensi Pareto ini terlihat pada Gambar

    16.1 yang menggunakan model utilitas. Dalam model ini digambarkan

    dunia terdiri atas 22 utilitas yang dibagi dua, untuk Jamhuri dan

    Suroto. Batas efisiensi pembagian antara Jamhuri dan Suroto dibatasi

    oleh kurva batas utilitas. Misalnya dimulai pada posisi awal A. Pada

    titik ini Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya mempunyai 10 utilitas

    (titik J1), sementara Suroto mempunyai 6 (titik S1). Total yang dimiliki

    bersama adalah 16 utilitas. Dalam hal ini masih ada 6 utilitas yang

    belum terpakai. Jumlah ini merupakan peluang peningkatan efisiensi

    karena belum dikembangkan sampai batas lingkaran. Dalam hal ini

    keadaan di titik A masih dapat ditingkatkan efisiensinya ke titik D, H.

    atau B. Akan tetapi tidak dapat dikembangkan sampai titik R karena

    berada di luar batas kurva.

    Pada pengertian efisiensi menurut Pareto, maka perubahan dari

    A ke B secara keseluruhan akan meningkatkan efiensi. Dalam

    perubahan ini yang meningkat hanya Suroto, dari 6 menjadi 12 (titik

    S2), sedangkan Jamhuri tidak mendapat keuntungan, tetap 10 utilitas

  • Bagian V 269

    A B

    D R

    S1 S2 S3

    J1

    J2

    . H

    Utilitas milik Suroto

    Utilitas milik

    Jamhuri

    Kurve batas utilitas

    .

    Gambar 16.1 Konsep efisiensi menurut Pareto

    (titik J1). Perubahan dari A ke B ini masih disebut sebagai efisiensi

    Pareto. Akan tetapi apabila keadaan berubah dari A ke D, maka hanya

    Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya justru mendapat keuntungan,

    berpindah dari titik J1 ke titik J2. Sementara Suroto berkurang utilitas,

    dari titik S1 ke titik S3. Dalam hal ini berarti ada pihak yang dirugikan,

    sehingga tidak memenuhi efisiensi Pareto. Perubahan ke titik H, dapat

    menjadikan pembagian utilitas menjadi 11 untuk Jamhuri dan 11

    untuk Suroto. Hal ini menjadikan pembagian yang merata.

    Bagaimana aplikasi di rumah sakit? Perubahan dari lembaga

    sosial birokrasi menjadi lembaga usaha yang sosial seharusnya

    mengacu pada filosofi Pareto. Dalam hal ini tidak boleh ada pihak

    yang dirugikan. Sebagai contoh, kebijakan Perjan harus mempunyai

    efek efisiensi menurut Pareto. Apakah perubahan kebijakan menjadi

    Perjan merugikan salah satu pihak? Misalnya orang miskin akan

  • 270 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    kesulitan mendapatkan akses ke rumah sakit. Apabila kebijakan

    menjadi Perjan mengurangi akses untuk orang miskin, berarti

    perubahan menjadi Perjan tidaklah efisien menurut Pareto karena ada

    pihak yang dirugikan.

    A

    Benthamite 45

    o

    Utilitas milik Suroto

    Utilitas

    milik

    Jamhuri Rawlsian

    Gambar 16.2 Pertumbuhan Benthamite dan Rawlsian.

    Akan tetapi, ada yang tidak menggunakan efisiensi secara

    Pareto. Mereka berpendapat bahwa yang penting adalah pertumbuhan.

    Masyarakat harus berkembang, walaupun ada yang dirugikan. Paham

    ini disebut Benthamite karena diusulkan oleh seorang ahli sosiologi

    bernama Jeremy Bentham pada tahun 1789. Menurut Bentham dalam

    peningkatan efisiensi yang penting adalah pertumbuhan dengan

    adanya peningkatan efisiensi. Apabila ada pihak yang dirugikan bukan

    menjadi masalah. Pemerataan merupakan hal lain yang tidak terkait

    dengan efisiensi.

    Pendapat yang mengambil efisiensi Pareto secara radikal adalah

    paham Rawlsian, yang bersumber dari pendapat seorang filsuf John

  • Bagian V 271

    Rawls. Pendapat ini menekankan mengenai keadilan sosial, dengan

    harus mempunyai prinsip memperbaiki mereka yang paling sengsara

    (Rice 1998). Hal ini berarti sistem pelayanan kesehatan harus

    menempatkan pelayanan bagi yang paling menderita sebagai prioritas.

    Dengan demikian dalam masalah ini terdapat dua kutub ekstrim:

    pertama yang mengacu ke pertumbuhan (Benthamite), sedangkan

    kutub kedua mengacu pada egalitarian (Rawlsian). Secara grafis

    keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 16.2. Pada Benthamite, yang

    penting adalah pertumbuhan dengan garis Benthamite bergeser ke

    kanan untuk memperbesar efisiensi sumber daya. Sementara Rawlsian

    menyatakan boleh bergeser ke kanan asal masih dalam cakupan

    daerah yang diarsir, dengan berusaha membuat pembagian utilitas

    seimbang (sesuai garis 45o) antara Suroto dan Jamhuri.

    16.2 Berbagai Kasus Abu-abu dalam Rumah Sakit

    Pembahasan model utilitas Pareto dapat dipergunakan untuk

    menyiapkan perangkat etika rumah sakit sebagai lembaga usaha yang

    mempunyai fungsi sosial. Pada saat ini bentuk rumah sakit di

    Indonesia memang masih belum jelas, apakah berdasarkan konsep

    lembaga usaha, ataukah berbentuk lembaga sosial. Dalam keadaan

    yang belum jelas ini, wajar jika timbul berbagai kasus yang mungkin

    dianggap normal di rumah sakit, tetapi apabila dibahas menggunakan

    etika bisnis atau norma-norma ekonomi maka kasus-kasus tersebut

    merupakan penyimpangan. Kasus-kasus tersebut sebagai berikut:

    Kasus 1. Mengenai pengaturan jumlah dokter dan penempatan.

    Di sebuah kota besar, berbagai rumah sakit swasta besar tidak

    mempunyai satu jenis spesialis full-timer, walaupun sanggup untuk

    mempunyainya dan membutuhkan keberadaannya secara full-timer.

    Dalam pengaturan tenaga spesialis oleh pemerintah tidak ada

    peraturan mengenai penempatan spesialis tersebut di rumah sakit

    swasta. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa seluruh tenaga spesialis

    tersebut berasal dari rumah sakit pendidikan pemerintah yang diatur

    oleh perhimpunan spesialis tersebut, walaupun tanpa aturan tertulis.

  • 272 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    Patut dicatat bahwa tenaga spesialis tersebut sangat dibutuhkan oleh

    berbagai tindakan medik yang membutuhkan pembedahan dan ICU.

    Kasus 2. Penetapan tarif yang terlalu tinggi oleh spesialis.

    Seorang direktur rumah sakit keagamaan mengeluh karena pasien SC

    kelas III harus membayar jasa medik sebesar Rp2.000.000,00 untuk

    dokternya. Jasa medik ini tidak bisa ditawar karena dokter ahli

    kebidanan dan kandungan tersebut satu-satunya di wilayah tersebut.

    Dalam kasus ini posisi direktur rumah sakit keagamaan berada pada

    situasi yang sulit. Apabila tidak menyetujui tarif tersebut, maka dokter

    yang bersangkutan tidak mau bekerja di rumah sakitnya. Akan tetapi,

    apabila mengikutinya, maka rumah sakit keagamaan ini menjadi

    mahal yang berarti berlawanan dengan misi sosialnya.

    Kasus 3. Hubungan dokter dengan industri farmasi merupakan

    keadaan yang diwarnai dengan berbagai motivasi ekonomi.

    Konferensi-konferensi ilmiah para dokter dipengaruhi kuat oleh

    industri farmasi. Konferensi-konferensi ilmiah menjadi ajang promosi

    industri obat yang berusaha mempengaruhi pola peresepan dokter. Hal

    yang menarik bahwa banyak diskusi atau sesi-sesi dalam pertemuan

    ilmiah yang dibiayai oleh perusahaan farmasi dengan mekanisme

    memberikan door-prize dan makan siang.

    Kasus 4. Ketika tarif poli spesialis di rumah sakit pemerintah

    murah yang jasa mediknya rendah, maka terjadilah peresepan yang

    sangat tinggi dan menggunakan jasa apotek di luar rumah sakit. Hal

    ini disebabkan oleh motivasi ekonomi untuk mendapat persentase dari

    omzet penjualan obat. Walaupun tidak dapat dibuktikan secara hitam

    di atas putih, dokter mendapat keuntungan materi dari apotek yang menjual obat yang diresepkan tersebut. Akibatnya, pasien yang ingin

    membeli obat harus pergi ke apotek di luar rumah sakit yang ditunjuk

    oleh dokter.

    Kasus 5. Penjualan bahan dan alat yang diikutkan dengan

    pelayanan. Seorang keluarga pasien mengeluh karena operasi bedah

    tulang tidak dapat dilakukan sebelum pen-nya dibeli. Pembelian pen

    tersebut terpisah dari biaya rumah sakit karena rumah sakit tidak

    menyediakan langsung. Ketika pihak manajemen rumah sakit ditanya

    mengenai masalah ini, jawabannya sangat sederhana karena dokter

  • Bagian V 273

    bedah tulang mensyaratkan bahwa pen harus berasal dari dirinya.

    Kasus 6. Angka bedah caesar di sebuah rumah sakit sangat

    tinggi karena indikasi diperlonggar. Angka tersebut sangat tinggi

    karena memang pasien menginginkan bedah SC tanpa indikasi medik,

    dokter kebidanan dan kandungan juga tertarik melakukannya, serta

    sistem manajemen rumah sakit mendorong mendapatkannya.

    Kasus 7. Lingkungan fisik lembaga pelayanan kesehatan. Ham-

    pir seluruh praktik bersalin, dokter, dan dokter gigi tidak memper-

    hatikan masalah pencemaran lingkungan. Tempat-tempat praktik

    jarang yang mempunyai sistem pembuangan limbah. Limbah praktik

    diperlakukan sama dengan limbah rumah tangga. Berbagai rumah

    sakit membuang limbah berbahaya (B3) dengan tidak menggunakan

    instalasi limbah yang cukup baik. Akibatnya, limbah rumah sakit tidak

    dapat dijamin untuk tidak membahayakan penduduk di sekitar

    lingkungan rumah sakit.

    Kasus-kasus tersebut patut dipertanyakan: apakah melanggar

    etika dokter? Apabila dikaji kasus per kasus, terdapat berbagai praktik

    terlarang secara ekonomi yang dipraktikkan. Kasus 1 terkait dengan

    praktik-praktik kartel dan perilaku monopolistik. Dengan adanya

    pengaturan jumlah dokter spesialis oleh perhimpunan profesi di

    sebuah daerah, dipandang dari kacamata anggota maka akan terjadi

    suatu jaminan pendapatan yang tinggi. Akan tetapi, dari kacamata

    konsumen ataupun dokter spesialis lain yang menggunakan jasa

    dokter spesialis tersebut akan terjadi keadaan yang berlawanan.

    Masyarakat dan dokter lain akan kesulitan mendapatkan jasa, dan nilai

    jasa menjadi tinggi karena pihak dokter spesialis tersebut dapat

    berlaku sebagai penentu jasa (price-maker).

    Kasus 2, dokter menetapkan tarif tinggi walaupun di rumah

    sakit keagamaan karena perilaku monopolistik dengan sifat supply

    tenaga spesialis yang inelastik. Jika rumah sakit keagamaan tadi tidak

    mau memberikan tarif seperti yang diminta, maka tidak ada pilihan

    kedua untuk mencari spesialis lain. Kasus ke-3 dan ke-4 yang dila-

    kukan oleh dokter akan meningkatkan biaya obat. Hal ini bertentangan

    dengan prinsip efisiensi. Praktik-praktik hubungan antara dokter dan

    perusahaan farmasi merupakan salah satu faktor penyebab tingginya

  • 274 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    harga obat di pasar produk. Di samping itu, hubungan semacam ini

    akan memicu supplier-induced-demand.

    Penjualan pen oleh dokter merupakan praktik tidak terpuji

    karena menghilangkan esensi dari hubungan kontraktual antara rumah

    sakit dan pasien bahwa dokter akan bertindak atas nama pasien.

    Kesulitan utama akan terjadi misalnya pada saat re-imburstment oleh

    pihak asuransi kesehatan karena tentunya pen yang dibeli dari dokter

    tidak mempunyai kuitansi. Di samping itu, kemungkinan (1) dokter

    bedah tulang mengambil keuntungan yang tidak sepatutnya dalam

    penjualan pen, karena ada faktor kerahasiaan antara pemasok pen dan

    dokter; dan (2) masalah penghindaran pajak akibat praktik jual beli

    yang tidak sepantasnya. Dalam hal ini dokter sebenarnya bukan

    penjual barang, tetapi lebih sebagai penyedia jasa. Keadaan ini serupa

    dengan penjualan obat oleh dokter pada daerah yang ada apoteknya.

    Kasus ini menjadi sulit apabila ternyata harga pen yang dijual dokter

    lebih murah dibanding melalui rumah sakit. Hal ini dapat

    menunjukkan adanya inefisiensi dalam manajemen rumah sakit.

    Kasus 6 merupakan salah satu dampak dari fenomena supplier-

    induced-demand. Di beberapa rumah sakit angka kelahiran melalui

    bedah Caesar (bedah SC) dapat mencapai 50% dari seluruh jumlah

    kelahiran. Dalam hal ini berbagai pihak di rumah sakit menikmati

    adanya bedah SC. Secara sadar atau tidak, berbagai komponen dalam

    rumah sakit mengharapkan adanya lebih banyak SC. Lingkungan ini

    ditambah oleh keinginan pasien merupakan tempat yang cocok untuk

    melakukan SC walaupun tidak ada kebutuhan secara medik.

    Kasus 7, merupakan kebalikan dari tugas rumah sakit sebagai

    suatu lembaga yang seharusnya mampu memberikan eksternalitas

    positif (good-externalities) dengan menyembuhkan berbagai penyakit,

    khususnya penyakit menular. Apa yang terjadi justru semakin

    meningkatnya kemungkinan eksternalitas negatif (bad externalities)

    akibat rumah sakit mencemari lingkungan.

    Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan-tindakan

    yang dinilai tidak baik dalam prinsip ekonomi ternyata dipraktikkan

    dalam pelayanan kesehatan. Praktik melakukan tindakan yang tidak

    baik ini kemungkinan dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar

  • Bagian V 275

    karena memang tidak mengetahui konsep yang benar. Dalam diskusi

    dengan seorang ahli anestesi, memang tidak ada pemahaman

    mengenai apa yang disebut sebagai kartel. Yang dipahami oleh para

    dokter adalah suatu semangat kebersamaan yang kuat, dapat

    memberikan bantuan bagi yang sedang kesusahan, atau menggantikan

    praktik apabila dokter yang bersangkutan sedang di luar kota untuk

    belajar, konferensi atau menghadiri pertemuan sosial dan keluarga. Di

    sebuah kota sistem tersebut dapat memberikan jaminan untuk ahli

    yang senior atau yang akan memasuki masa pensiun. Dalam hal ini

    memang terjadi suatu perbedaan pemahaman prinsip normatif

    ekonomi yang menentang kartelisme dan rasa persaudaraan profesi.

    Di sisi dokter, bentuk-bentuk yang mengarah pada kartel adalah

    bentuk nyata dari kultur profesional yang menempatkan rasa

    persaudaraan dan senioritas sebagai hal utama.

    Dengan demikian, keadaan yang baik atau buruk dapat dilihat

    sebagai sesuatu yang relatif, tergantung dari sudut pandangan mana

    dilakukan. Pertanyaan yang sering timbul: apakah tidak terdapat

    pedoman yang dapat diikuti oleh semua pihak yang terkait dengan

    kasus di atas? Dalam hal inilah prinsip Pareto sangat penting untuk

    dipergunakan. Dengan prinsip tersebut, pertanyaannya adakah sebuah

    pihak yang dirugikan? Lebih khusus lagi, penganut Rawlsian akan

    menanyakan apakah kasus-kasus di atas merugikan masyarakat yang

    sudah menderita?

    Ketika dokter atau rumah sakit melakukan penetapan tarif

    terlalu tinggi, jelas bahwa mereka yang miskin akan semakin sulit

    mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Demikian pula apabila harga

    obat menjadi semakin mahal akibat tidak efisiennya sistem produksi

    dan distribusi obat, maka masyarakat ekonomi lemah yang akan

    dirugikan.

    Ada pertanyaan menarik mengapa etika dokter cenderung tidak

    mampu mengatasi permasalahan tersebut, atau pertanyaan lain

    mengapa para ahli etika dokter tidak tertarik untuk membahas masalah

    ini? Pertanyaan ini terjadi karena pada saat Seminar Internasional

    Bioetika yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UGM dan

    Harvard University pada pertengahan tahun 2000, ternyata tidak

  • 276 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    banyak pembahasan mengenai kasus-kasus tersebut dari para ahli

    etika. Dapat dikatakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi bagian

    abu-abu dari etika.

    Dalam seminar tersebut, seorang ahli etika Prof. Syamsuhidayat

    mengungkapkan hal menarik dengan mengutip George Bernard Shaw

    yang menyatakan: Every profession is a conspiracy against the public. Menafsirkan pernyataan tersebut maka dapat diperkirakan

    bahwa etika dokter sulit mencegah dokter mendapatkan keuntungan-

    keuntungan ekonomi yang tidak wajar seperti yang terdapat pada

    kasus-kasus di atas. Hal ini yang mendorong berbagai pengamat etika

    mengusulkan adanya etika untuk lembaga pelayanan kesehatan. Etika

    ini bersifat lebih luas daripada etika dokter, karena sebenarnya di

    rumah sakit tidak hanya dokter yang mempunyai kegiatan dan interes

    (Monagle dan Thomasma, 1998). Oleh karena itu, diperlukan etika

    profesional dan etika kelembagaan.

    Dalam membahas hubungan antara etika rumah sakit dan etika

    professional Jacobalis (1993) menyatakan sebagai etika individual dan

    etika institusional. Etika individual adalah etika profesi seperti etika

    dokter, etika perawat, dan sebagainya yang mengatur perilaku pribadi

    dan perilaku profesional pengemban profesi itu. Etika dokter adalah

    etika profesi yang tertua, yang berawal pada sumpah Hippokrates (460

    - 377 SM). Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) masih mengan-

    dung unsur-unsur seperti dalam sumpah Hippokrates 2500 tahun yang

    lalu. Konsep etika institusional relatif baru, yaitu konsep berperilaku

    bagi suatu institusi atau dalam ikatan institusi. Etika rumah sakit

    adalah salah satu etika institusional dalam layanan kesehatan. Etika

    rumah sakit dapat dipilah dalam: (1) etika biomedik atau bioetika

    (bioethics); dan (2) etika manajemen yang lebih banyak terkait dengan

    aspek-aspek dalam manajemen dan administrasi.

    Etika biomedik menyangkut masalah-masalah sekitar konsepsi,

    reproduksi, kehamilan, kelahiran, hidup, penyakit, dan kematian

    manusia. Istilah "bioetika" masih relatif baru. Orang yang pertama kali

    mencetuskannya adalah Dr. Van Ransellaer Potten dalam bukunya

    Bioethics, Bridge To The Future (1971). Bioetika menjadi sangat

    mendesak diperhatikan dan dipelajari guna mencari pemecahan atas

  • Bagian V 277

    dilema atau masalah yang timbul oleh perkembangan yang sangat

    pesat dalam ilmu dan teknologi biologi dan kedokteran dalam

    beberapa dekade terakhir. Perkembangan itu dalam banyak hal telah

    mengubah sama sekali konsepsi dan persepsi tentang hidup dan mati

    manusia, sehingga diperlukan peninjauan kembali tentang norma-

    norma moral yang sudah dianggap mapan sebelumnya (Jacobalis,

    1993).

    Dalam kasus abu-abu di atas, terlihat bahwa memang etika profesi dokter tidak dapat menjadi pedoman untuk mencari

    pemecahan akan kasus-kasus di atas. Untuk itu diperlukan etika lain

    yaitu etika organisasi rumah sakit.

    16.3 Perlukah Etika Bisnis Rumah Sakit?

    Berbagai ahli menyatakan bahwa etika organisasi rumah sakit

    saat ini mengalami perubahan besar. Bentuk lama etika organisasi

    rumah sakit sering bersandar pada hubungan dokter dan pasien dalam

    konteks sumpah dokter. Akan tetapi etika organisasi rumah sakit saat

    ini sering membahas norma-norma yang diacu dalam manajemen

    kegiatan sehari-hari rumah sakit. Norma-norma ini mencerminkan

    bagaimana bisnis rumah sakit akan dijalankan sehingga pada akhirnya

    rumah sakit dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Patut

    dicatat bahwa rumah sakit sudah ada etika rumah sakit yang disebut

    sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Etika Rumah Sakit

    Indonesia (ERSI) dirumuskan dan dibina oleh PERSI, dan telah

    disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sampai saat ini ERSI sudah berada

    pada versi tahun 2001.

    Dalam seminar di UGM untuk pertama kali di Indonesia

    dilontarkan usulan untuk menyusun etika bisnis pelayanan kesehatan

    (Trisnantoro, 2000). Disebutkan pada seminar tersebut bahwa bisnis

    bersifat netral. Dengan mengacu pada konsep bisnis yang baik maka

    diperlukan suatu etika bisnis sebagai komplemen dari etika

    profesional. Etika bisnis yang berdasar dari etika sosial (misalnya oleh

    Pareto) berusaha menjaga sistem pelayanan kesehatan menjadi lebih

  • 278 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    baik dan melindungi mereka yang lemah.

    Etika rumah sakit di Indonesia (ERSI) tidak secara eksplisit

    menyebut sebagai etika bisnis rumah sakit. Hal ini memang masih

    dalam suatu pengaruh persepsi masa lalu yang kuat bahwa bisnis

    dianggap jelek. Buku ini menganut prinsip bahwa rumah sakit adalah

    organisasi lembaga pelayanan yang memberikan pelayanan jasa

    kesehatan untuk membuat orang menjadi sehat kembali, atau tetap

    menjadi sehat dan bertambah sehat. Secara prinsip pemberian pela-

    yanan, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan tidak berbeda dengan

    lembaga pelayanan lain seperti lembaga pendidikan, hotel, ataupun

    perpustakaan. Akan tetapi, berdasarkan jenis pelayanan, terdapat per-

    bedaan antara pelayanan rumah sakit dan pelayanan hotel misalnya.

    Dalam pelayanan hotel tidak ada unsur eksternalitas, dan nilai-

    nilai penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara

    tradisional oleh lembaga pelayanan kesehatan. Sifat khusus pelayanan

    kesehatan menimbulkan kebutuhan akan norma-norma dalam men-

    jalankan lembaga pelayanan kesehatan pada umumnya atau rumah

    sakit pada khususnya. Berkaitan dengan ekonomi, etika bisnis

    pelayanan kesehatan akan banyak menggunakan pernyataan-

    pernyataan normatif.

    Dengan demikian, etika organisasi rumah sakit merupakan etika

    bisnis dengan sifat-sifat khusus. Etika bisnis didefinisikan oleh

    Velasques (1998) sebagai studi mengenai standar moral dan

    bagaimana standar tersebut dipergunakan oleh: (1) sistem dan

    organisasi dengan masyarakat modern memproduksi dan mendistri-

    busikan barang dan jasa, serta (2) orang-orang yang bekerja di dalam

    organisasi tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah sebuah

    bentuk dari etika terapan. Etika bisnis tidak hanya menganalisis

    norma-norma moral dan nilai-nilai moral tetapi juga berusaha

    memberikan kesimpulan pada berbagai lembaga, proses teknologi,

    kegiatan dan usaha yang sering disebut sebagai business. Definisi

    ini menyatakan bahwa etika bisnis mencakup lembaga dan orang-

    orang yang bekerja di dalamnya.

    Badarocco (1995) menyatakan bahwa kerangka berpikir etika

    bisnis sering bersandar pada filosofi moral, sejarah bisnis, ilmu

  • Bagian V 279

    ekonomi modern dan berbagai disiplin ilmu yang menjadi tempat

    bergeraknya. Donaldson dan Werhane (1999) melihat isu etika bisnis

    sebagai hasil dari pemikiran filosofis mengenai kegiatan ekonomi

    dalam masyarakat.

    Lebih lanjut Velasques (1998) menyatakan bahwa ada tiga hal

    yang dibahas dalam etika bisnis yaitu: (1) isu sistemik; (2) isu

    korporat (lembaga usaha); dan (3) isu perorangan. Isu sistemik dalam

    etika bisnis terkait dengan pertanyaan etis yang ada pada sistem

    ekonomi, politik, hukum dan sistem sosial lain yang menjadi

    lingkungan tempat beroperasinya bisnis. Dalam hal ini terkait dengan

    aspek moral peraturan, undang-undang, struktur industri, dan berbagai

    praktik sosial lain. Isu korporat (lembaga usaha) dalam etika bisnis

    merupakan pertanyaan etika yang ditujukan kepada lembaga usaha

    tertentu. Hal ini termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai moral

    dalam kegiatan, kebijakan, praktik, dan struktur organisasi perusahaan

    tertentu. Terakhir isu individual dalam etika bisnis terkait dengan

    orang per orang dalam lembaga usaha. Hal ini terkait dengan aspek

    moral keputusan direksi misalnya, tindakan, atau sikap dan perilaku

    perorangan.

    Dalam hal standar moral etika bisnis akan mengacu pada

    perkembangan norma-norma masyarakat yang lazim. Hal ini terlihat

    dalam sejarah kapitalisme di Amerika (Behrman, 1988). Dalam

    perusahaan yang for-profit pun selalu ada etika yang menjadi dasar

    bagi perusahaan untuk berjalan. Dalam konteks norma-norma

    masyarakat, maka perusahaan yang memegang etika berdasarkan

    norma tersebut berharap akan lebih diterima oleh lingkungan. Sebagai

    contoh, norma-norma masyarakat saat ini sangat mengacu pada

    kebersihan lingkungan. Sebuah perusahaan yang tidak memperhatikan

    aspek lingkungan dalam kegiatannya akan berhadapan dengan

    masyarakat. Dalam aspek hukum, perusahaan tadi mungkin tidak

    melanggar, tetapi norma-norma masyarakat menyatakan bahwa

    perusahaan mengganggu keseimbangan lingkungan. Akibatnya,

    terjadi hambatan oleh masyarakat dalam operasional perusahaan

    tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kasus ketika rumah sakit

    membuang limbah mediknya secara tidak baik. Masyarakat yang

  • 280 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    paham akan masalah tersebut pasti mengajukan protes.

    Dalam masyarakat yang tertata baik, timbul suatu harapan

    bahwa etika bisnis dan norma-norma masyarakat akan berjalan

    seiring. Dalam konsep good governance, peraturan pemerintah

    diharap dapat mengatur hubungan antara lembaga usaha dan

    masyarakat secara benar. Diharapkan etika bisnis dalam isu sistemik

    (Velasquez, 1998) dapat mendukung tercapainya good governance.

    Dengan sepakatnya masyarakat dan lembaga usaha non-profit dan

    yang for-profit, maka akan terjadi harmoni. Demikian pula bagi rumah

    sakit for-profit, tentunya akan berusaha agar norma-norma masyarakat

    tidak dilanggar. Sebagai gambaran, bagi masyarakat yang mampu,

    norma-norma menyatakan bahwa membayar rumah sakit untuk proses

    penyembuhannya adalah hal wajar. Apabila rumah sakit mendapat

    keuntungan dari proses penyembuhan yang mereka lakukan,

    masyarakat juga menilai wajar asal dalam batas-batas norma yang ada.

    Akan tetapi, andaikata rumah sakit meningkatkan keuntungan

    setinggi-tingginya dengan cara mengurangi biaya, misalnya tidak

    memasang instalasi limbah yang baik, atau mengenakan tarif dokter

    yang sangat tinggi, maka kemungkinan masyarakat akan menentang

    rumah sakit tersebut.

    Di dalam lembaga rumah sakit pelayanan diberikan tidak oleh

    satu profesi saja, misalnya dokter, tetapi merupakan kerja sama dari

    berbagai profesional. Sebagai gambaran, pelayanan rumah sakit

    sehari-hari dilakukan oleh profesi dokter, perawat, dokter gigi, mana-

    jer, akuntan, farmasis, hingga psikolog. Masing-masing profesi mem-

    punyai etika sendiri-sendiri dengan etika dokter yang memang paling

    menonjol dalam aplikasinya di rumah sakit. Etika dokter yang ber-

    basis pada etika klinik memang sering ditafsirkan atau dipergunakan

    sebagai dasar untuk etika rumah sakit. Akan tetapi sebenarnya etika

    manajemen rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang lebih luas

    dibandingkan dengan etika dokter, atau etika para profesional lain.

    Djojosugito (1997) menyatakan bahwa para manajer (adminis-

    trator) rumah sakit merupakan satu profesi yang memiliki etika

    profesi. Etika profesi manajer rumah sakit berkaitan dengan etika

    pelayanan kesehatan dan dengan etika biomedik. Problem etika

  • Bagian V 281

    pelayanan kesehatan yang mempengaruhi etika administrator rumah

    sakit adalah hal keadilan distributif. Ini dijabarkan sebagai keadilan

    aksesibilitas anggota masyarakat terhadap pelayanan kedokteran di

    rumah sakit. Dengan demikian memang etika manajer rumah sakit

    sangat terkait dengan masalah ekonomi.

    Weber (2001) dalam buku berjudul Business Ethics in Health

    Care: Beyond Compliance berpendapat bahwa dalam menjalankan

    etika, lembaga pelayanan kesehatan harus memperhatikan tiga hal: (1)

    sebagai pemberi pelayanan kesehatan; (2) sebagai pemberi pekerjaan;

    dan (3) sebagai warga negara. Weber menyatakan bahwa 3 hal ini

    merupakan ciri-ciri organisasi pelayanan kesehatan yang membe-

    dakannya dengan perusahaan biasa. Dasar etika bisnis pelayanan

    kesehatan adalah komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dan

    komitmen untuk menjaga hak-hak pasien.

    Pelayanan kepada pasien dalam arti luas, tidak hanya pada

    penanganan klinik. Rumah sakit sebagai contoh juga memberikan

    pelayanan semacam hotel untuk menunjang penanganan klinik. Dalam

    sisi ini instalasi rawat inap rumah sakit dapat diibaratkan sebagai hotel

    yang memberikan pelayanan lebih. Dengan demikian, Weber (2001)

    memberikan pernyataan bahwa etika bisnis rumah sakit adalah etika

    kelembagaan yang akan menjadi pedoman bagi berbagai profesional

    di rumah sakit. Dalam pembahasannya Weber (2001) lebih

    menekankan etika bisnis rumah sakit sebagai etika lembaga usaha dan

    etika individual di dalamnya. Weber tidak banyak membahas

    mengenai etika sistemik yang berada pada lingkungan kerja rumah

    sakit.

    Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, manajer rumah

    sakit akan berpikiran lebih luas dibandingkan para klinisi. Ada suatu

    tarik ulur antara penanganan klinik dan pelayanan nonklinik yang

    harus dipikirkan oleh manajer. Dalam penanganan klinik, manajer

    rumah sakit harus memperhatikan pula mengenai kemampuan pasien,

    keluhan, atau sumber subsidi bagi yang tidak mampu membayar.

    Besarnya biaya proses penyembuhan juga merupakan hal penting

    dalam etika pelayanan kesehatan. Dokter klinik seharusnya juga

    memikirkan mengenai masalah pembiayaan pasien. Disamping itu,

  • 282 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    masalah bangunan yang bersih dan bersifat manusiawi merupakan

    bagian penting dari pelayanan untuk pasien. Dapat disimpulkan bahwa

    lembaga pelayanan kesehatan tidak hanya memberi pelayanan klinik,

    tetapi memberikan pelayanan menyeluruh yang seharusnya tidak

    bertentangan dengan norma-norma masyarakat.

    Rumah sakit sebagai organisasi yang memberikan pekerjaan

    pada banyak orang harus memikirkan berbagai hal, misalnya terkait

    dengan gaji dan kompensasi nonkeuangan, masalah merekrut dan

    memberhentikan karyawan, menilai para staf, memberikan santunan

    apabila ada musibah yang menimpa stafnya, memperhatikan masalah

    keselamatan kerja para staf terutama yang terpapar langsung atau tidak

    langsung pada berbagai risiko, memberlakukan kebijakan tidak

    merokok untuk para staf, dan berbagai hal lain.

    Sebagai bagian dari warga negara, rumah sakit harus

    memikirkan fungsi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat

    dan eksternalitas yang dimilikinya. Rumah sakit dapat memberikan

    eksternalitas baik yang meningkatkan status kesehatan masyarakat.

    Dalam hal ini rumah sakit layak diberi subsidi. Sebaliknya, rumah

    sakit dapat memberikan eksternalitas buruk yang dapat menurunkan

    status kesehatan masyarakat, misalnya mencemari lingkungan.

    Dengan demikian, etika bisnis rumah sakit tidak hanya terbatas

    pada mematuhi peraturan hukum, tidak terbatas pada etika

    profesional, ataupun pada etika klinik. Etika bisnis rumah sakit akan

    dipakai sebagai acuan bagi semua profesional yang berada di rumah

    sakit. Dalam hal ini tentunya etika bisnis rumah sakit tidak akan

    bertentangan dengan etika profesional yang ada. Bagi profesi manajer

    pelayanan kesehatan, etika bisnis rumah sakit akan menjadi pegangan

    dalam memutuskan atau menilai sesuatu hal. Berdasarkan buku Weber

    (2001) sebagian etika bisnis rumah sakit berhubungan langsung

    dengan prinsip-prinsip ekonomi yaitu: biaya dan mutu pelayanan,

    insentif untuk pegawai, kompensasi yang wajar, dan eksternalitas.

    Secara satu persatu, hal-hal tersebut akan dibahas.

  • Bagian V 283

    Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan

    Dalam kaitannya dengan besarnya biaya dan mutu pelayanan,

    maka terdapat berbagai hal penting yang perlu diperhatikan dalam

    etika bisnis rumah sakit: pelayanan kesehatan yang baik berarti

    pelayanan yang terbukti cost-effective, pelayanan kesehatan yang lebih

    mahal bukan berarti lebih baik, standar pelayanan minimal tertentu

    harus diberikan pada semua pasien dari berbagai kelas, dan usaha-

    usaha untuk mengendalikan biaya harus selalu dievaluasi dalam hal

    pengaruhnya terhadap pasien. Terlihat bahwa etika bisnis mempunyai

    dasar evaluasi ekonomi cost-effectiveness yang mengacu pada prinsip-

    prinsip medik. Dengan demikian, etika bisnis dalam hal ini tidak

    bertentangan dengan prinsip medik.

    Pelayanan kesehatan mempunyai sifat yang harus diberikan

    secara utuh, misalnya pemberian antibiotika seharusnya diberikan

    dalam dosis yang tidak boleh dikurangi. Oleh karena itu, pasien

    sebaiknya dianggap sebagai pihak yang memiliki pelayanan kese-

    hatan, termasuk paket keseluruhan. Selain itu pasien dapat dianggap

    tidak dilayani dengan baik jika mereka tidak mendapat seluruh potensi

    manfaat pelayanan.

    Saat ini sistem pelayanan kesehatan diharapkan menggunakan

    prinsip evidence-based medicine. Dalam memilih terapi atau prosedur

    diagnosis para dokter diharapkan menggunakan bukti-bukti yang

    tepat. Dalam kaitannya dengan biaya dan etika bisnis rumah sakit

    maka konsep evidence based medicine sangat relevan. Menurut Weber

    (2001) disebutkan bahwa sebagai aturan umum, pelayanan yang

    paling murah harus diberikan sampai ada bukti yang menunjukkan

    bahwa pelayanan yang lebih mahal memberikan hasil yang bermakna.

    Kemudian, apabila terjadi perbedaan biaya yang semakin besar antara

    satu penanganan dan alternatifnya, maka semakin besar kebutuhan

    akan bukti manfaatnya. Di samping itu, kebutuhan untuk memberikan

    pelayanan bermutu dengan biaya paling rendah tidak berarti harus

    merugikan kepentingan dan keselamatan staf rumah sakit.

    Dalam hal perawatan pasien yang terkait dengan biaya maka

    prinsip yang harus diacu antara lain: pelayanan kesehatan yang

  • 284 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    disebut bermutu baik pada suatu tempat adalah yang tepat berdasarkan

    kebutuhan pasien akan pelayanan medik dan biayanya. Pada saat

    merawat pasien, rumah sakit sebaiknya mempunyai mekanisme untuk

    secara rutin mengkaji mutu dan efektivitas biaya pelayanan para

    pasien yang menggunakan sumber biaya besar. Di samping itu, selama

    dirawat pasien sebaiknya diberi informasi secara teratur mengenai

    biaya yang telah dipergunakan dan pelayanan yang mereka terima.

    Dalam hal pemberian subsidi dan sumber dana bagi pasien yang

    miskin, etika bisnis rumah sakit harus memperhatikan berbagai hal.

    Komitmen rumah sakit untuk memberikan pelayanan bagi orang

    miskin (tanpa memperhatikan kemampuan atau sumber pembiaya-

    annya) tidak berarti masalah biaya merupakan hal yang tidak penting.

    Bagi pasien yang disubsidi pun, faktor biaya harus diperhatikan

    karena pemberi subsidi tidak berharap bahwa uang yang disum-

    bangkan akan dipergunakan secara tidak efisien oleh rumah sakit.

    Dalam hal ini komitmen rumah sakit untuk memberikan

    pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi kepada semua orang mem-

    butuhkan tindakan untuk mencari sumber pembiayaan bagi pasien

    yang tidak mampu dan harus dicari secara bijaksana. Akan menjadi

    ironi apabila untuk membiayai orang miskin, rumah sakit sendiri akan

    menjadi tidak sehat keuangannya dan akan bangkrut. Disamping itu,

    rumah sakit harus mempunyai dana yang dapat dipakai untuk

    menanggung risiko jika ada pasien yang sangat membutuhkan biaya.

    Keputusan manajemen dan kepentingan pasien

    Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien para

    manajer sering menghadapi keadaan harus membuat keputusan

    yang juga terkait langsung dengan proses pelayanan klinik untuk

    pasien. Sebagai contoh, dalam rapat tahunan untuk menyusun

    anggaran rumah sakit, para manajer harus memutuskan alat apa yang

    akan dibeli. Dalam keputusan ini akan terjadi perbandingan antara

    cost dan efek dari pemberian alat. Adalah hal yang sangat tidak etis

    apabila pembelian alat atau proyek pembangunan fisik dilakukan

    tanpa dasar pertimbangan evaluasi ekonomi cost-effectiveness

  • Bagian V 285

    yang mantap, bahkan hanya dipakai untuk mendapatkan komisi bagi

    manajer yang memutuskan.

    Keputusan mengenai kondisi pekerjaan dan perencanaan

    sumber daya manusia harus dilakukan secara baik. Dalam hal ini

    contohnya kasus jumlah dan mutu perawat. Disadari bahwa selama ini

    jumlah perawat ternyata kurang. Akibatnya, mutu pelayanan dapat

    menurun. Pertanyaan penting adalah sampai seberapa banyak jumlah

    perawat yang ideal. Hal ini membutuhkan keputusan manajemen yang

    terkait dengan biaya dan hasil perawatan.

    Insentif keuangan untuk dokter

    Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, tidak dapat

    dihindari adanya insentif keuangan untuk dokter dan tenaga kesehatan

    lain. Hal ini terutama terjadi pada sistem pembayaran fee-for-service

    yaitu dokter dibayar berdasarkan tindakan yang dilakukan. Berbagai

    hal penting yang perlu ditekankan dalam etika bisnis, pertama, insentif

    keuangan untuk dokter sebaiknya tidak terlalu tinggi. Disadari

    bahwa pernyataan normative ini masih sangat kabur karena tinggi

    atau tidaknya masih tergantung pada jenis dokter spesialis, tempat dan

    waktu tindakan medik, serta ada-tidaknya asuransi kesehatan.

    Dalam hal ini peranan ikatan profesi dan lembaga konsumen

    masyarakat dibutuhkan untuk mencari bagaimana standar insentif

    yang tepat.

    Hal penting kedua dalam etika bisnis, pemberian insentif

    sebaiknya dilakukan berdasarkan kriteria mutu tertentu. Hal ini perlu

    dipikirkan untuk mencegah adanya supplier-induced-demand. Harus

    ada kriteria yang benar-benar jelas mengapa ada insentif untuk

    tindakan yang dilakukan. Ketiga, insentif seharusnya dipergunakan

    untuk mempengaruhi dokter agar berperilaku baik. Dalam suatu

    sistem manajemen yang baik diharapkan ada suatu sistem insentif bagi

    mereka yang berperilaku baik dan disinsentif (pengurangan penghar-

    gaan) bagi yang kurang baik. Adalah suatu hal yang memprihatinkan

    apabila dalam suatu sistem kompensasi dokter yang sering mening-

    galkan pasien di rumah sakit untuk bekerja di tempat lain justru

  • 286 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    mendapat kompensasi tinggi karena senioritas, bukan pada jumlah dan

    mutu pekerjaan.

    Rumah sakit sebagai tempat kerja

    Sebagai layaknya lembaga tempat bekerja, rumah sakit harus

    memberikan kompensasi bagi stafnya secara layak. Kompensasi dapat

    berbentuk ukuran moneter atau nonmoneter. Sebagai bagian dari etika

    bisnis, rumah sakit harus memberikan gaji dan pendapatan lain yang

    cukup untuk sumber daya yang bekerja di rumah sakit. Dalam hal ini

    nilai-nilai yang dipergunakan untuk menetapkan gaji bagi dokter, bagi

    para perawat, dan tenaga nonmedik lain termasuk manajer merupakan

    bagian dari etika bisnis rumah sakit. Adalah tidak etis untuk menggaji

    perawat berdasarkan upah minimum pekerja, karena perawat

    mempunyai risiko untuk menjadi sakit akibat tertular dan mempunyai

    pola kerja shift yang merupakan risiko menjadi tidak sehat. Pada kasus

    petugas bagian radiologi, ada tunjangan khusus dan pemberian

    makanan tambahan untuk menghadapi risiko akibat radiasi.

    Saat ini di rumah sakit pemerintah adalah hal biasa jika gaji dan

    pendapatan perawat atau dokter rendah. Hal ini merupakan pengaruh

    dari konsep misionarisme masa lalu dengan para perawat atau dokter

    adalah pegawai misi yang memang bekerja bukan atas dasar

    profesionalisme tapi berdasarkan motivasi surgawi. Dampak untuk

    dokter adalah menjadikan dokter sebagai aparat pemerintah, bukan

    profesional. Pendapatan dokter ditetapkan dengan standar gaji

    pegawai negeri. Penetapan standar dengan cara ini mengakibatkan

    perbedaan besar antara gaji yang diterima dan harapan para dokter

    (Lihat Bab XII dan Bab XIII). Akibatnya, untuk mencari pendapatan

    lain dokter pemerintah melakukan kerja sambilan di rumah sakit

    swasta dan praktik pribadi dengan porsi yang sangat besar.

    Hal serupa terjadi pada perawat yang sebagian memperoleh

    pendapatan tidak hanya satu rumah sakit. Dalam hal ini rumah sakit

    sebagai tempat bekerja berperilaku tidak etis dalam hal mengatur

    pendapatan dokter dan perawat, yaitu memberikan kompensasi jauh di

    bawah standar. Memang masalah penting dalam hal ini adalah berapa

  • Bagian V 287

    standar pendapatan dokter. Tanpa standar pendapatan ini sulit bagi

    rumah sakit dan para profesional melakukan penilaian mengenai

    masalah ini.

    Etika bisnis mengenai pendapatan direksi dan manajer rumah

    sakit perlu untuk diperhatikan. Dalam kenyataan, merupakan

    kelaziman apabila pendapatan direksi berhubungan dengan besarnya

    revenue rumah sakit atau berdasarkan kinerja keuangan rumah sakit.

    Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai budget maximiser oleh

    Baumol (1967) dan sistem pendapatan direksi berdasarkan keun-

    tungan yang diperoleh. Dalam hal ini memang berbagai hal perlu

    dicermati yaitu, apakah etis untuk menerima dari penjualan obat,

    ataupun persentase dari pendapatan bersih rumah sakit? Apakah etis

    direksi mendapat bagian tertentu dari proyek pengembangan rumah

    sakit? Dalam perilaku sales maximiser ini kemungkinan penyembuhan

    pasien tidak begitu diperhatikan dibandingkan dengan jumlah uang

    yang dibayarkan ke rumah sakit yang berarti adalah pendapatan

    direksi. Dalam hal ini harus dipikirkan mengenai bagaimana etika

    manajer dalam menerima kompensasi.

    Sebagai tempat kerja, rumah sakit mempunyai berbagai kegiat-

    an ataupun bahan dan peralatan yang dapat membahayakan tenaga

    kerjanya, misalnya para staf yang bekerja di bagian radiologi ataupun

    bangsal penyakit infeksi. Oleh karena itu, menjadi hal penting bahwa

    rumah sakit harus mempunyai sistem keselamatan kerja yang baik

    bagi karyawannya. Akan tetapi, menurut teori ekonomi sistem kese-

    lamatan kerja mempunyai konsekuensi biaya yang akan menambah

    biaya investasi dan operasional rumah sakit. Hal ini akan menjadikan

    keuntungan menjadi lebih kecil ataupun beban rumah sakit menjadi

    lebih besar.

    Rumah sakit sebagai bagian dari warga negara

    Dampak eksternalitas negatif rumah sakit perlu ditangani

    sebagai bagian dari etika bisnis sebagai warga negara. Sistem limbah

    rumah sakit harus baik, untuk mencegah dampak buruk terhadap

    lingkungan kerja rumah sakit. Dengan pola berpikir ini, rumah sakit

  • 288 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    tidak berbeda dengan organisasi lain yang mencemari lingkungan

    seperti pabrik ataupun industri lain. Akan tetapi, disadari bahwa

    pembangunan instalasi limbah rumah sakit membutuhkan biaya

    investasi dan operasional yang cukup besar. Dalam hal ini banyak

    rumah sakit yang tidak mampu membangunnya. Oleh karena itu, perlu

    dikembangkan sistem manajemen limbah yang memenuhi etika bisnis

    rumah sakit, misalnya dengan mengkontrakkan pengolahan limbah ke

    rumah sakit lain yang mampu dengan biaya yang lebih murah

    dibanding dengan membangun sendiri. Model-model pengembangan

    seperti ini berusaha mencocokkan nilai-nilai masyarakat dengan

    kemampuan ekonomi rumah sakit.

    Bagaimana rumah sakit di masa mendatang?

    Secara normatif, etika bisnis rumah sakit diperlukan untuk

    dirumuskan sebagai pedoman bagi semua profesi yang bekerja di

    dalamnya. Dengan menggunakan etika bisnis, maka kasus abu-abu di

    atas merupakan kasus yang termasuk tidak etis. Dapat disebutkan

    bahwa antara etika bisnis rumah sakit dan prinsip-prinsip ekonomi

    tidak ada perbedaan mendasar. Lebih lanjut, pengembangan etika

    bisnis rumah sakit dapat dipergunakan sebagai alat pencegahan

    kerugian ataupun munculnya risiko dari tuntutan hukum masyarakat.

    Etika bisnis rumah sakit masih perlu dikembangkan dengan

    berbagai kegiatan dan perlu dikaji dalam kaitannya dengan etika

    profesional. Berbagai kegiatan tersebut antara lain penelitian, diskusi,

    pendidikan, dan praktik langsung di rumah sakit. Diharapkan Komite

    Etika Rumah Sakit akan mengembangkan pengkajian mengenai etika

    bisnis rumah sakit. Etika bisnis penting pula untuk dikembangkan

    sebagai suatu bahan pendidikan mahasiswa kedokteran, residen, dan

    Program Pascasarjana Manajemen Rumah Sakit. Sebagai catatan,

    dengan metode pendidikan khusus, etika bisnis perusahaan dapat

    diajarkan pada pendidikan para manajer, misalnya di Harvard

    Business School (Piper dkk., 1992). Dalam pendidikan berkelanjutan

    untuk para manajer dan dokter spesialis atau tenaga kesehatan lain

    dapat dilakukan berbagai kursus atau seminar mengenai etika bisnis

  • Bagian V 289

    rumah sakit.

    Etika bisnis secara konseptual dibutuhkan oleh manajer rumah

    sakit untuk menjalankan pekerjaannya. Oleh karena itu, konsultan

    khusus diperlukan dalam etika bisnis rumah sakit. Tujuan konsultan

    ini adalah untuk: (1) memberitahukan pengambil keputusan mengenai

    masalah-masalah etika bisnis rumah sakit; (2) memberi rekomendasi;

    (3) memberikan opini lain dalam hal keputusan bisnis yang berat,

    misalnya dalam pemutusan hubungan kerja, dan memberikan masukan

    untuk peningkatan kinerja rumah sakit dari aspek etika. Pada

    akhirnya, prinsip dasar etika bisnis akan sejalan dengan konsep dasar

    bisnis yang harus hidup serasi dengan lingkungannya.

    Di dalam rumah sakit diharapkan etika bisnis rumah sakit akan

    mendukung gerakan ke arah good corporate governance rumah sakit

    profit maupun non-profit. Di samping itu, bersama-sama dengan etika

    dokter, etika bisnis rumah sakit akan mendukung pengembangan good

    clinical governance pada pelayanan medik rumah sakit.

    PENUTUP

    Motif mencari keuntungan tidak dapat dihindari dari sistem

    kesehatan termasuk rumah sakit. Kekuatan pasar adalah sesuatu yang

    bertenaga dan tidak mungkin dilawan secara frontal. Kekuatan pasar

    dan profit ini harus diatur dalam suatu sistem yang baik. Reformasi

    pemerintahan bertujuan menghasilkan good-governance yang akan

    mengatur berbagai hubungan antara lembaga pemerintah, masyarakat,

    dan pihak swasta. Sementara itu, perusahaan-perusahaan berusaha

    mengembangkan good corporate governance. Rumah sakit sebagai

    lembaga usaha berusaha mengembangkan good corporate governance

    dengan berbagai usaha, termasuk pengembangan indikator kinerja

    yang menyeluruh. Dalam mendukung tercapainya good corporate

    governance di rumah sakit, etika bisnis rumah sakit diperlukan secara

    lebih luas. Etika bisnis pelayanan kesehatan yang banyak bersandar

    pada analisis normatif dalam ekonomi akan menjadi pedoman para

    profesional dalam sistem pelayanan kesehatan untuk bekerja sama

  • 290 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

    dengan lebih baik dan etis.

    Namun, apakah para profesional di dalam sistem pelayanan

    kesehatan memang mau menerima konsep bisnis dan etika bisnis

    pelayanan kesehatan? Jika ya, apakah para direksi, manajer, tenaga

    dokter serta seluruh profesi tenaga kesehatan lainnya mau

    mengembangkan etika bisnis rumah sakit di samping etika profesional

    masing-masing? Pertanyaan ini masih belum dapat dijawab saat ini.

    Namun, berbagai pengembangan tercatat, misalnya pengembangan

    pendidikan etika kedokteran dan etika bisnis rumah sakit. Di samping

    itu, pada kelompok medik berkembang konsep good clinical

    governance yang akan bergerak bersama dengan aplikasi good

    corporate governance untuk meningkatkan mutu pelayanan dan akses

    pelayanan kesehatan.