Makalah aliran filsafat idealisme materialisme pluralisme dualisme monisme eksistensialisme
Mr. Bean & Eksistensialisme
-
Upload
wahyu-budi-nugroho -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of Mr. Bean & Eksistensialisme
-
7/29/2019 Mr. Bean & Eksistensialisme
1/3
Mr. Bean dan Eksistensialisme
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Anda pasti tak asing lagi dengan serial komedi Inggris berjudul Mr. Bean garapan sutradara
Richard Curtis. Mr. Beandiperankan Rowan Atkinsonmerupakan sosok yang terasing dan terkucil dari
dunia (baca: masyarakat luas). Ia hidup secara tak biasa[1]lagi menyendiri dalam apartemen kecil
dengan sebuah boneka beruang bernama Teddy. Apabila anda menghendaki praksis pemahaman
eksistensialisme berikut kehidupan eksistensialis yang ter-visualisasi-kan secara apikdan nyaris
komprehensif, maka itu adalah serial komedi Mr. Bean.
Di samping keterasingan dan keterkucilan sebagai karakter utama eksistensialisme yang
dibawanya, faktual bagaimana cara Bean menjalani keseharian hidup dengan intrik, kelicikan serta ke-
egoisan-nya menunjukkan pola pikirnya yang otonom akan berbagai bentuk kontruksi sosial. Tak segan ia
memanipulasi anak kecil hingga orang tua yang telah renta, sepanjang orang lain membatasi kebebasan
dan gerak-geriknya, ia bakal ajegmelakukan hal tersebut. Perihal terkait sebagaimana didengungkan
Sartre bahwa tiap pertemuan antarindividu menemui bentuknya sebagai konflik, satu-satunya pilihan yang
tersisa adalah, menindak atau ditindak.
Suatu waktu, Bean kerap pula menampilkan sisi kepribadian yang begitu kontras dengan berbagai
karakter di atas, sekali waktu ia dapat menjadi seorang yang penyayang, penuh perhatian dan rela
berkorban. Hal tersebut menunjukkan ke-nihil-an makna tunggal manusia layaknya diktum eksistensialisme
di mana manusia berada pada penciptaan diri yang terus-menerus dan selalu berulang. Dengan kata lain,
eksistensialisme menolak berbagai persepsi yang mengandaikan bahwa pribadi atau karakter manusia
mailto:[email protected]:[email protected]://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn1http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn1http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn1http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn1mailto:[email protected] -
7/29/2019 Mr. Bean & Eksistensialisme
2/3
sebagai sesuatu yang mapan. Ia tak mungkin selamanya menjadi orang baik dan begitu pula sebaliknya
mengingat terdapatnya sekat-sekat sejarah dalam setiap periode masa yang dilalui manusiadetik, menit,
jam, dan seterusnyadan dalam sekat sejarah tersebutlah ditemui rentang waktu di mana manusia dapat
memaknai ulang dirinya serta melakukan pilihan bebas untuk menjadi pribadi yang sama sekali berbeda
dengan sebelumnya (baca: baru). Dalam pemahaman eksistensialisme, hal tersebut berlangsung secara
terus-menerus dan berulang-ulang.
Bean menunjukkan kesadaran akan pilihan bebas yang dimilikinya, ia dapat meloncat dari satu
kesadaran (karakter) menuju kesadaran lain sebagaimana yang diinginkannya, sesaat menjadi santo,
sesaat menjadi Lucifier yang licik. Hal tersebut akan jauh berbeda dengan seseorang yang
menerima labellingpelabelan atas dirinya, menurut Sartre seseorang yang demikian hidup
dalam mauvaise foikeyakinan yang buruk dikarenakan mengingkari kebebasan eksistensial yang
dimilikinya, ketika iasemisalmenerima pelabelan sebagai wakil Tuhan di muka bumi, maka tindak-
tanduknya pun disyaratkan pada suatu koridor tertentu, sedang apabila melanggarnya, berbagai bentuk
sanksi bakal dituainya kemudian, dengan demikian ia tidaklah bebas. Bagi eksistensialis, orang lain sama
sekali tak memiliki kuasa guna melabelkan dirinya, tanggung jawab tersebut semata-mata berada pada
dirinya sendiri.[2]Keyakinan terkait pulalah (anti-Labelling) yang kiranya menyebabkan Bean tak ambil
pusing dengan berbagai macam perilaku yang mungkin bagi kebanyakan orang memalukan.
Boneka Teddy. Bisa jadi, bagi sebagian besar penikmat serial komedi Bean karakter tersebut
dianggap remeh keberadaannya. Namun sesungguhnya, karakter tersebutlah (boneka Teddy) yang
menunjukkan dimensi kemanusiaan Bean dalam pandangan eksistensialisme. Bean menyadari benar
bagaimana ketubuhan manusia memberikan ancaman pada dirinya, bagi eksistensialis hal tersebut
disebabkan entitas individu (manusia) yang ditempatkan sebagai etre pour soiberada bagi dirinya.Pour
soiadalah sesuatu yang berkesadaran di mana dengan kesadaran tersebut ia dapat mengkerangka, men-
judge dan menyakiti pihak lain, bahkan dengan tatapan mata sekalipunpour soimembuat individu lain
tak bebas.
Sebaliknya denganpour soi, etre en soiberada dalam dirinya merupakan segala sesuatu yang
tak berkesadaran, yakni benda mati layaknya batu, meja, kursi atau sebuah boneka. Kesadaran yang tak
dimilikinya membuatnya bebas diperlakukan, dimanipulasi bahkan ditindak bagaimanapun jua. Kerap kita
http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftn2 -
7/29/2019 Mr. Bean & Eksistensialisme
3/3
melihat bagaimana Bean memperlakukan Teddy sesuka hati, hal tersebut pastinya akan mustahil
dilakukan bilamana Teddy adalahpour soisebagaimana Bean.
Kejelian Sartre memetakan berbagai fenomena kognitif dan psikologis ketika diri berhadapan
dengan individu lain mampu mendudukan eksistensialisme sebagai puncak pemikiran Barat mengenai
kebebasan dan semangat anti-Tuhanperihal yang seharusnya tak luput pula dari pengkajian sosiologis.
Pada ranah yang lebih luas, eksistensialisme dapat didaulat sebagai pe-legitimasi kultur individualistik
masyarakat Baratmeskipun tak se-ekstrem Bean memang. Karakter utama Bean sebagaimana
disematkan Curtis setidaknya me-representasi-kan beberapa isu sentral dalam eksistensialisme, Tak
membutuhkan banyak orang untuk menikmati diri.
*****
[1]Menghadapi hidup dengan karakternya yang unik.[2]Perihal terkait pulalah yang menyebabkan Sartre menolak penghargaan nobel bidang sastra yang
dianugerahkan padanya. Penghargaan tersebut (nobel sastra) membuat saya tak bebas, karena dengannya saya terklasifikasikan,terklasifikasikan dalam penulis yang meraih penghargaan tersebut, tegas Sartre.
http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref1http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref1http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref2http://d/WAHYU/Sociology/Sociologist%20Works/Jurnal%20Sosiologi/SOSIOLOGI%20EKSISTENSIALISME.docx%23_ftnref1