Motilitas Lambung Klp 6
Transcript of Motilitas Lambung Klp 6
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan yaitu faktor interaksi obat. Interaksi obat adalah perubahan
efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obatobat) atau oleh
makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah
studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang
harus masuk rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari
pada seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi
dan efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering
mendapat terapi dengan polifarmasi (kombinasi beberapa macam obat),
sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi
tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat dianggap penting secara klinis apabila berakibat
peningkatan toksisitas atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi.
Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas
keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida
jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik.
Obat-obat yang masuk ke dalam tubuh melalui tempat
pemberiannya, sebelum memberikan efek farmakologi, terlebih dahulu
harus mengalami proses absorbsi yang sebagian besar terjadi di dalam
saluran pencernaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses
absorbsi, antara lain perubahan pH saluran pencernaan, kompleksasi dan
adsorbsi, perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung, pengaruh
makanan, penghambatan enzim pencernaan, dan perubahan flora saluran
pencernaan. Faktor perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung
akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.
BAB II
ISI
II.1 Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan perubahan efek suatu obat akibat
pemakaian obat lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua
atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis
penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan
efektivitas obat sehingga perlu diperhatikan terutama bila menyangkut
obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Kejadian
interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan. Hal ini disebabkan antara
lain karena :
1. Dokumentasinya masih sangat kurang.
2. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan
akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat sehingga
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap
sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan
interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat
bertambahnya keparahan penyakit.
3. Terlalu banyak obat yang berinteraksi sehingga sulit diingat.
4. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual.
Secara garis besar, interaksi obat dibedakan atas 3 mekanisme,
yaitu :
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada
saat obat diformulasikan atau disiapkan sebelum digunakan oleh pasien.
Contoh :
a. Penurunan titik kelarutan, penurunan titik beku pada interaksi secara
fisik.
b. Reaksi hidrolisa saat pembuatan atau dalam penyiapan pada interaksi
kimia dapat menyebabkan inkompatibilitas sediaan obat.
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama
sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik.
a. Antagonis (1+1<2), saling menurunkan khasiat dari masing-masing
obat. Efek obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali
oleh obat kedua yang memiliki khasiat farmakologis yang
bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin.
b. Sinergis (1+1>2), saling meningkatkan/menguatkan khasiat dari
masing-masing obat, misalnya asetosal dan kodein.
3. Interaksi Famakokinetik
a. Interaksi pada proses absorpsi
Interaksi dalam absorbsi di saluran cerna dapat disebabkan oleh :
Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi / pembentukan senyawa
kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau
semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan
absorpsi. Contohnya interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+, Mg2+, Al2+
dalam antasid yang menyebabkan jumlah absorpsi keduanya turun.
Perubahan pH. Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga pH
oleh obat pertama sehingga menaikkan atau menurukan absorpsi
obat kedua. Contohnya pemberian antasid bersama penisilin G dapat
meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G.
Motilitas saluran cerna. Pemberian obat-obat yang dapat
mempengaruhi motilitas saluan cerna dapat mempengaruhi absorpsi
obat lain yang diminum bersamaan. Contohnya antikolinergik yang
diberikan bersamaan dengan parasetamol dapat memperlambat
kerja parasetamol.
b. Interaksi pada proses distribusi
Di dalam darah senyawa obat berinteraksi dengan protein plasma.
Senyawa yang bersifat asam akan berikatan dengan albumin dan yang
bersifat basa akan berikatan dengan α1-glikoprotein. Jika 2 obat atau lebih
diberikan, maka obat tersebut dalam darah akan bersaing untuk berikatan
dengan protein plasma sehingga proses distribusi terganggu (terjadi
peningkatan salah satu distribusi obat ke jaringan). Contohnya pemberian
klorpropamid dengan fenilbutazon, akan meningkatkan distribusi
klorpropamid.
c. Interaksi pada proses metabolisme
Hambatan metabolisme. Pemberian suatu obat bersamaan dengan
obat lain yang enzim metabolismenya sama dapat menimbulkan
gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu obat
dalam plasma, sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya.
Contohnya pemberian warfarin bersamaan dengan fenilbutazon
dapat menyebabkan meningkatnya kadar warfarin dan terjadi
pendarahan.
Induktor enzim. Contohnya pemberian estradiol bersamaan dengan
rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan efektifitas
kontrasepsi oral estradiol menurun.
d. Interaksi pada proses eliminasi
Gangguan ekskresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat. Jika
suatu obat yang ekskresinya melalui ginjal diberikan bersamaan
obat-obat yang dapat merusak ginjal, maka akan terjadi akumulasi
obat tersebut yang dapat menimbulkan efek toksik. Contohnya
digoksin diberikan bersamaan dengan obat yang dapat merusak
ginjal (aminoglikosida, siklosporin) mengakibatkan kadar digoksin
naik sehingga timbul efek toksik.
Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal. Jika di tubulus ginjal
terjadi kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem
transport aktif yang sama, maka dapat menyebabkan hambatan
sekresi. Contohnya jika penisilin diberikan bersamaan probenesid
maka akan menyebabkan klirens penisilin menurun, sehingga kerja
penisilin lebih panjang.
Perubahan pH urin. Bila terjadi perubahan pH urin maka akan
menyebabkan perubahan klirens ginjal. Jika harga pH urin naik akan
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat asam lemah,
sedangkan jika harga pH turun akan meningkatkan eliminasi obat-
obat yang bersifat basa lemah. Contohnya pemberian pseudoefedrin
(obat basa lemah) diberikan bersamaan ammonium klorida maka
akan meningkatkan ekskersi pseudoefedrin. Terjadi ammonium
klorida akan mengasamkan urin sehingga terjadi peningkatan
ionisasi pseudorfedrin dan eliminasi dari pseudoefedrin juga
meningkat.
II.2 Pengaruh Motilitas Lambung Terhadap Proses Absorbsi Obat
II.2.1 Anatomi Fisiologi Lambung
Lambung dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian atas (fundus), bagian
tengah (corpus), dan bagian bawah (antrum) yang meliputi pelepasn
lambung (pylorus). Selain otot penutup pylorus (Sfingter), di bagian atas
lambung juga terdapat otot melingkar lain, yakni sfingter kerongkongan-
lambung. Sfingter tersebut bekerja sebagai katup dan berfungsi
menyalurkan makanan ke hanya satu jurusan, yaitu ke arah usus. Dinding
lambung terdiri dari tiga lapis, yaitu sel-sel utama (chieff cells) di mukosa
fundus mensekresi pepsinogen, sel-sel parietal terdapat di dinding
mukosa fundus dan corpus yang memproduksi HCl, dan sel-sel G yang
terdapat di mukosa antrum dan mengeluarkan gastrin. Di lokasi ini
terdapat pula sel-sel mucus yang mensekresi lendir. Makanan disimpan di
dalam lambung, dicampur dengan asam, mukus dan pepsin, dan
dilepaskan pada kecepatan terkontrol kedalam duodenum.
Gambar 1. Sistem pencernaan
Gambar 2. Anatomi lambung
II.2.1 Fisiologi Pengosongan Lambung
Bila makanan memasuki lambung, maka lambung relaksasi oleh
proses refleks reseptik. Relaksasi otot lambung ini dicetuskan oleh
gerakan faring dan esofagus. Ia diikuti oleh kontraksi peristaltik yang
mencampur makanan dan menyemprotkan makanan ke dalam duodenum
pada kecepatan terkontrol. Gelombang peristaltik normalnya
berkecepatan 3 gelombang/menit. Pengosongan lambung normal jika
pylorus dipertahankan terbuka. Kontraksi Antrum diikuti oleh kontraksi
daerah pylorus dan duodenum secara berturut-turut, sehingga isi lambung
diteruskan sedikit demi sedikit ke dalam usus halus. Dengan kata lain,
secara garis besar terdapat 4 aspek dalam motilitas lambung, yaitu :
1. Pengisian lambung (Gastric filling). Volume lambung kosong yaitu 1,5
L dan saat terisi dapat mencapai 3-4 L. Saat terisi, ia akan relaksasi
oleh relaksasi reseptif.
2. Penyimpanan lambung (Gastric storage). Berlangsung di daerah
korpus dimana kontraksi peristaltik lemah karena lapisan otot tipis.
3. Pencampuran makanan (Gastric mixing). Berlangsung di antrum yang
berotot tebal. Hal ini menyebabkan kontraksi perustaltiknya kuat.
4. Pengosongan lambung (Gastric emptying). Laju pengosongan
lambung dipengaruhi oleh volume dan fluiditas makanan yang dicerna
di lambung, gelombang peristaltik, obat yang diberikan bersamaan,
dan sebagainya.
Gambar 3. Kontraksi peristaltik
Motilitas dan sekresi lambung diregulasi oleh mekanisme sistem
saraf dan humoral. Komponen saraf merupakan refleks autonom lokal,
yang melibatkan neuron kolinergik dan impuls dari SSP melalui nervus
vagus. Rangsangan vagus meningkatkan sekresi gastrin. Serabut vagus
lain melepaskan asetilkolin, yang bekerja langsung atas sel dalam kelenjar
di dalam corpus dan fundus untuk meningkatkan sekresi asam dan
pepsin. Rangsangan nervus vagus di dalam dada atau leher
meningkatkan sekresi asam dan pepsin. Secara garis besar, motilitas dan
sekresi lambung dikontrol oleh hormon gastrin, hormon enterogastron
(sekretin, CCK, GIP), serta respon vagus dan saraf intrinsik.
II.2.2 Obat-Obat yang Mempengaruhi Motilitas Lambung
Usus halus merupakan tempat utama untuk absorbsi obat yang
bersifat basa. Di sini absorbsi jauh lebih cepat dibandingkan dengan di
dalam lambung. Oleh karena itu makin cepat obat sampai di usus makin
cepat pula absorbsinya. Faktor yang mempengaruhi laju pengosongan
lambung yaitu antara lain volume makanan yang dicerna, keadaan
emosional pasien, dan pemakaian bersama obat. Obat yang
mempercepat pengosongan lambung atau gerak peristaltik, seperti
metoklopramid, dapat mempercepat absorbsi obat lain yang diberikan
secara bersamaan. Sebaliknya, obat yang memperlambat pengosongan
lambung, seperti antikolinergik atau antidepresan trisiklik, beberapa
antihistamin, antasid garam Al dan analgetik narkotik, akan
memperlambat pula absorbsi obat lain yang harus diabsorbsi di dalam
usus. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi
kecepatan absorbsi tetapi tidak mempengaruhi jumlah obat yang
terabsorbsi. Hal ini berarti bahwa kecepatan pengosongan lambung hanya
mengubah tinggi kadar puncak (Cpmax) dan waktu untuk mencapainya
(tmax) tanpa mengubah bioavailabilitas obat, kecuali obat yang mengalami
metabolisme lintas pertama oleh enzim pencernaan pada dinding usus
dan lambung, seperti levodopa dan klorpromazin. Namun demikian, jika
gerak peristaltik terlampau cepat justru akan mempengaruhi atau
mengurangi absorbsi obat tertentu yang sifatnya memang lambat
terabsorbsi, karena membutuhkan waktu kontak yang lama dengan
permukaan tempat absorbsi, seperti sediaan bersalut enterik dan sediaan
lepas lambat (sustained release).
Karena fungsi utama dari lambung, konsumsi keterlambatan
makanan
lambung mengosongkan rate.3 Selain itu, besarnya penurunan ini APK
tergantung
pada volume dan jenis makanan dicerna (lihat Tabel 2.1). Tinggi lemak
makanan
cenderung memperlambat laju pengosongan lambung untuk yang lebih
besar dari satu kaya
karbohidrat atau asam amino. Konsumsi makanan mengangkat pH
lambung dan memperlambat
motilitas longitudinal perut untuk memungkinkan penyerapan makanan di
perut
untuk diproses. Perubahan pH lambung yang dihasilkan dari konsumsi
makanan dapat menghasilkan
signifikan efek pada penyerapan obat untuk obat tersebut yang
pembubaran tergantung
pada pH rendah. Topik ini akan dibahas dalam bagian tentang
Pembubaran Obat.
Dalam beberapa kasus, makanan dapat mengubah urutan tingkat
penyerapan obat. Jumlah tersebut
dari riboflavin vitamin diserap telah dipelajari dalam berpuasa dan makan
subjects.3 Dalam
mata pelajaran berpuasa, riboflavin diserap secara urutan nol. Dengan
kata lain,
jumlah obat yang diserap sebagai fungsi waktu tidak akan berubah
terlepas dari
besarnya dosis. Dengan adanya makanan, penyajian riboflavin untuk
situs penyerapan diperlambat ke titik yang penyerapan terjadi pada tingkat
untuk situs penyerapan diperlambat ke titik yang penyerapan terjadi pada
tingkat urutan pertama.
Penyajian riboflavin adalah cukup lambat bahwa operator transportasi
adalah
tidak jenuh. Dengan demikian, jumlah obat yang terserap meningkat dosis
meningkat.
Larutan
Konsumsi cairan tidak signifikan mengurangi APK, terutama karena
cairan fisiologis memerlukan pengolahan minimal sebelum presentasi
mereka ke kecil
usus. Penelitian terbaru menunjukkan, bagaimanapun, bahwa cairan
memang bisa memperlambat APK sebagai
fungsi dari kalori mereka content.2-3 Teori ini didukung oleh data yang
diperoleh dalam
berbagai laboratorium yang menyelidiki apakah penggunaan sebuah
minuman asam, seperti
Coca-Cola ® atau jus jeruk, dapat menurunkan pH lambung dan dengan
demikian mempromosikan
pembubaran obat basa lemah (misalnya, itrakonazol dan ketokonazol). di
Selain itu, ini lebih lama waktu tinggal di perut dapat membantu dalam
solvasi dari buruk larut, obat lipofilik seperti itraconazole.5-8 Gambar 2.4
menggambarkan manfaat dari
keterlambatan pengosongan lambung sebagai Cmax dan AUC itrakonazol
secara dramatis
ditingkatkan dengan penurunan tingkat pengosongan lambung setelah
konsumsi Coca-
Cola ®. Pada nilai pH yang seharusnya dipromosikan disolusi obat yang
cepat dan penyerapan
(misalnya, pH 1-3), tingkat penyerapan obat ini, sebagaimana tercermin
dalam nilai-nilai tmax,
tidak ditingkatkan oleh asam beverage.8 Untuk lebih menekankan titik,
Carver
dan rekan menurunkan pH lambung menggunakan asam glutamat dan
menunjukkan bahwa
yang tmax dari itrakonazol adalah unchanged.5 Oleh karena itu, isi kalori
dari cairan
mungkin merupakan faktor penentu dalam besarnya pengurangan APK.
Volume cairan juga memainkan peran dalam tingkat penyerapan.
Hal ini ditunjukkan
dalam penelitian dengan beberapa antibiotik diambil dengan volume kecil
air (misalnya,
20-25 mL) atau volume besar air (misalnya, 250-500 mL). Drama
perbedaan
diamati dalam profil konsentrasi obat terhadap waktu untuk obat-obatan
hanya sebagai
fungsi dari volume cairan tertelan (Gambar 2.5). Dengan demikian, pasien
yang mengambil
obat dengan volume besar air dibandingkan dengan volume kecil air
mungkin menunjukkan onset sangat berbeda, durasi, dan intensitas kerja
obat. tidak
semua obat akan menunjukkan perubahan-perubahan substansial dalam
disposisi mereka sebagai fungsi dari
jenis dan volume cairan dicerna, tetapi adalah bijaksana untuk
menginstruksikan pasien untuk konsisten
dalam metode pilihan mereka menelan obat.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pH perut mungkin memainkan
peran dalam tingkat
penyerapan obat. Secara umum, basa lemah obat, seperti antihistamin
dan hidung.
dekongestan, larutkan dengan cepat ke dalam lingkungan pH
rendah dari lambung karena
profil menguntungkan ionisasi. Sebaliknya, asam lemah obat, seperti yang
paling
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), yang kurang larut dalam perut
karena molekul asam cenderung tetap serikat dalam lingkungan asam
tinggi.
Salah satu langkah mendasar dalam proses penyerapan adalah
pembubaran (atau solvasi)
dari molekul obat ke dalam cairan perut dari bentuk sediaan diberikan.
Jika obat adalah kurang larut dalam perut dan, sebagai hasilnya,
pembubaran
molekul obat lambat, maka tingkat penyerapan obat akan berkurang.
Paradoksnya, obat dilarutkan dalam keadaan terionisasi dianggap buruk
diserap. Obat harus deionisasi untuk menyeberangi membran biologis
lipofilik, kecuali
mekanisme transportasi spesifik aktif ada untuk memudahkan gerakannya
melintasi membran.
Idealnya, sebuah molekul obat harus terionisasi untuk memfasilitasi
pembubaran dan kemudian
serikat untuk diserap. Pada kenyataannya, bahkan molekul obat
terionisasi diserap dengan baik
di usus kecil karena luas permukaan yang luar biasa dan waktu tinggal
yang panjang.
Tabel 2.3 menampilkan nilai pH dan waktu tinggal dari berbagai bagian
yang GIT
selama kondisi berpuasa.
edangkan APK sensitif terhadap padatan dan cairan tertelan,
pengosongan usus
rate adalah hampir independen dari makanan atau cairan obat ingestion.9
Banyak,
Namun, dapat mempengaruhi nada usus dan motilitas. Pencahar stimulan
meningkatkan
pergerakan bahan dari usus halus distal, dan ini gangguan dalam
homeostasis
dengan mudah dapat mempengaruhi tingkat absorpsi obat. Atau,
antidiarrheals,
seperti loperamide serta analgesik narkotika, secara signifikan
memperlambat usus
motilitas, dan ini dapat mengubah tingkat absorpsi obat. bersamaan
diberikan
obat yang mempengaruhi nada usus juga mempengaruhi transit di usus
menjadi lebih besar
derajat dari konsumsi makanan.
Table.. handbook of drug interaction
domperidone dapat menurunkan tingkat penyerapan buruk obat
larut
atau obat yang diserap di lahan terbatas dari usus
II.2.3 Pengaruh Makanan
1. Piscitelli SC, & Rodvold KA. 2005. Drug Interactions in Infections
Diseases. 2nd edition. Humana Press Totowa. New Jersey.
2. Ganong WF. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi 14. EGC Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta.
3. Tjay TH, & Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi V. Elex
Media Computindo. Jakarta.
4. Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian
Farmakologi Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Harkness R. 1989. Interaksi Obat. Penerbit ITB. Bandung.
6.