Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

14
 PEMERINTAHAN ORDE BARU YANG SENTRALISTIK DAN OTORITER TERHADAP RAKYAT INDONESIA Pers yang Mandul pada Orde Baru DI MASA Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah air. Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo, Eitor dan DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah. Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya. Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak d apat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan

Transcript of Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

Page 1: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 1/14

PEMERINTAHAN ORDE BARU YANG SENTRALISTIK DAN OTORITER TERHADAP RAKYAT INDONESIA

Pers yang Mandul pada Orde Baru

DI MASA Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan.Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambuyang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita

bahwa adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawaperubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWIdijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya padakebebasan pers di tanah air.

Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media

massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo, Eitor dan

DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justrumemberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yangsewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepadapemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaringterhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43)

mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers olehpemerintah.

Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melaluimodel-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yangdapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers

memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan danpembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan olehpers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnyadengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara ataupun keinginan murni dari pemimpinnya.

Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalahmunculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Barusedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena merekatidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibatdari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagaitransmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan

transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisatorbagi perubahan politik atau pun sosial.

Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekalihilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwakebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan

Page 2: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 2/14

politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justrumendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abarberkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanyapada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukanadalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers?

Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahalpertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentangsistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembagapers.

Jika kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus

menengok bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memilikilatar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadipresiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan ala militer. Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai

kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadikepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat,anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkanagar tidak berdampak lebih buruk. Pada titik inilah Abdul Gafur (1988:179), melihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagaistabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya

ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.

Sayangnya, model kepemimpinan a la militer itu tetap Soeharto pakaihingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-

banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin pahamtentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya modelkepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuktetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cararepresif pada semua pihak yang melawannya. Model kepemimpinan inibanyak sekali mendapat kritikan dari berbagai pihak, karena secaraesensial apa yang diklaim Soeharto dengan demokrasi Pancasilanya tak

lain adalah proyek hegemoni dan dominasi besar-besaran atas kesadaranmasyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu, Soehartomenggunakan militer sebagai alat yang efektif untuk mengawal setiapkebijakan yang ia keluarkan.

Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang

digunakan Soeharto akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akanmenghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah salah satu pilarpenyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya polayang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika persitu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan

Page 3: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 3/14

pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasilayang hegemonik dan dominatif.

Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harusmengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus

mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan.Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka OrdeBaru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikanrasa ketidakamanan. Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini,Orde Baru akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yangmiliteristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa

ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama.Dakhidae (1997: 28), mencatat bahwa kemanan yang dihubungkandengan pers itu bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi kemanan disana sudah menjadi suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi suatuideologisasi keamanan, dan bahkan lebih jauh menjadi suatu

religiofication of security.

Keamanan menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologikemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa. Ideologi kemananmerumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannyakebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan warga

negaranya.Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena persharus bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yangditerapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuahbentuk tautologi represif. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan

tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yangbertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis bataskebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalahgaris batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntuttanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntutkebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab(dalam Dakhidae, 1997: 31).

Masalah Pers di Seputar Orde Reformasi

TERTUTUPNYA kran kebebasan pers ternyata pada gilirannya turut

mendorong insan-insan jurnalis untuk meneriakan reformasi. Lebih-kurang 30 tahun lamanya masyarakat kita berada di bawah rezim yangotoriter, memberangus kebebasan dan meniadakan penghormatan

kepada hak-hak azasi manusia. Pemrintah beranggapan bahwa rakyatlahyang harus menurut, bahwa pemerintahlah yang benar dan harus diturut.Dan mereka yang mencoba-coba memberikan kritiknya pada kekuasaan,yang mencoba memberikan alternatif yang lebih baik kepada kekuasaanakan dianggap ‘menyerang kehormatan’ kekuasaan, ‘merongrong

Page 4: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 4/14

kewibawaan’ kekuasaan dan sebab itu harus dimusuhi, mereka ditindas,ditangkap, diajukan ke pengadilan, dihukum penjara, disiksa atauditembak sebagi ‘pengacau keamanan’ negara dan ‘pengganggu stabilitas’ nasional (dalam Pamungkas, 2003: 24).

Keotoriteran Orde Baru akhirnya disambut oleh masyarakat denganteriakan reformasi. Perubahan pemerintahan untuk mewujudkankehidupan yang lebih demokratis. Pada titik inilah, pers kembalimemainkan perannya setelah lama dibungkam, dipaksa untuk tutupmulut. Selanjutnya, pers tampil dengan wajah baru; demokratis,akomodatif, transformatif, sekaligus konsolidatif terhadap semua

kepentingan kemanusiaan dalam dimensi kewarganegaraannya. I’tikadbaik pemerintah di masa Orde Reformasi ini terlihat dari lahirnya UU No.40 Tahun 1999, UU ini juga sekligus mencabut UU No. 11 Tahun 1966tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dijadikan legitimasihukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya.

Masalah baru muncul ketika kebebasan pers dikhawatirkan kebablasan.Hal ini terlihat dari pemberitaan yang dianggap kurang balance antarakepentingan masayarakt dan kepentingan pers (tingkat oplah). Untuk itu,pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang kurang obyektif,sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan

kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan normakemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.Kekhawatiran masyarakt terhadap kebebasan pers, juga muncul dalamaksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandaidengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser

pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).

Emilianus (2005: 134), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihatdari kebebasan pers (liberal), yang dinilai menafikan nilai human beingdan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta inimuncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasanpers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat

pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatanpemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintahterhadap pers, khususnya pada pers yang hanya sensional dan komersilbelaka dalam menyajikan informasi.

Peran pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan

kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah.Tentunya hal yang wajar jika masyarakat gagap hendak menggunakanmodel komunikasi semacam apa ketika reformasi telah membuka krankebebasan sebebas mungkin, pasalnya masyarakt sudah terbiasa denganpola komunikasi top-down selama 30 tahun lamanya. Di sinilah persmenjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat

Page 5: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 5/14

dan pemerintah agar komunikasi politik yang terjadi tidak meluluberkesan top-down, tetapi pada titik tertentu menjadi bottom-up.Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi politik bottom-up melalui media massa tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi,setiap komunikator politik memainkan perannya lebih maksimal. Muis

(2000: 166), mencatat bahwa hampir semua opini publik yang bernuansakritik sosial yang konstruktif melalui pers hampir selalu memperolehbantahan dari para komunikator elit, yang ada justru pers menjadi mediayang memungkinkan terjadinya krisis informasi.

Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya

masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yangmencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129),mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harusdiemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu

kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi denganmenetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran,obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima danmenerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur dirisendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; mediasedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin

menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban ataupenghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; mediahendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang samauntuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untukmenjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan

satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untukmengamankan kepentingan umum.

Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dankurang optimal karena atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akanposisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-masyarakat-modal. Dimasa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat

kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakatsebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.

Page 6: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 6/14

Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata,

seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipuntentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktekkorupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas daristruktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalahkorupsi ini. Belakangan ini, begitu banyak terdengar upaya kampanyesederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM,hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakatuntuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggapbiang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulaidari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yangintinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi

dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yangbobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukansalah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif.Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan sampai upayakampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagaibiang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cucitangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga dengandemikian, masyarakat kian lupa dengan faktor utama yang mendorong lahirnyapraktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan kekuasan yang otoriter, menindasdan terpusat kepada segelintir orang saja”. Rendahnya moralitas seseorang,memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal

yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yangtentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.

Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah“sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkankekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankandengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas namakepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankanoleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitumudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untukpembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah,

membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lainsebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintirorang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuatterhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor pentingmengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang diIndonesia.

Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan

Page 7: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 7/14

korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidaklepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto.Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki olehlingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik danotoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat

pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat,Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilakuyang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakanotoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindasmasyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak beranibertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi.Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderungprematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lombauntuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag taksedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya

keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan dipemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”.Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupanmasyarakat yang semakin terpuruk.

Warisan Masa Lalu

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telahmengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, takjarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”.Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak

dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawaldari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepadasesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Takurung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asaterhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita.Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awalpraktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikitmemberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yangpada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masihmengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapatdikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih

terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja,Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zamanmodern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiapfase tersebut. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesiapada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif 

Page 8: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 8/14

kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutamapada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit,Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasanyang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karenawanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perangantar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebutkekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga PrabuMahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di KerajaanMajapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujungkepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui,kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan“Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu,kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir denganHaryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebuttahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso

(Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Halmenarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnyawatak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orangsuruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdidalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untukmenarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embriolahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yangkorup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telahmulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.

Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama olehBelanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untukmenjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnyayang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untukmenjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dandipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat,digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisaphak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal SiPitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk

menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukongsuruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”)tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisapdan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah.Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak olehbangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkanposisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh parapenjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang

Page 9: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 9/14

mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesiajuga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsakaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).

Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zamanmodern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesiadari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajahkolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yangtertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebuttercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telahdimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dantumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi,pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik,membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka.Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang

pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Korupsi ; Kekerasan Struktural Terhadap RakyatSecara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukanoleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak,korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negarasemakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomimenjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuatharga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggiini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakatdengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat

cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistemekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uangNegara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing.Intinya, masyarakat dipakda untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya.Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun1997/1998 lalu!!!. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melandaIndonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipisakibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.

Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yangdilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap

kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaanuntuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentinganpribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya,berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yangterbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidakseimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunanpemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja menciptakanketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin

Page 10: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 10/14

meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji danupah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi(Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjangpersoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidupmasyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong

(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabatpemerintah kita yang korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikanadalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasihutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Didalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasianggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utangluar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donorlainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negaraakibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankanpembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak

pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilihmencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat. Membebankan dengansemakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil,“Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparantersebut, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsimerupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telahsengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadapmasyarakat sendiri.

Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat

Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadappemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation) terhadappemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung apatisterhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa,hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukanoleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangatbirokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satufactor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus. Semisal, pemeriksaan seorangpejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dariMenteri Dalam Negeri, atau pejabat pemerintahan daerah yang harus

menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi salah satu kendala utama yangharus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal inidituntut untuk membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancarproses pemberantasan korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien danefektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.

Sejak periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla,program pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program kerja

Page 11: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 11/14

pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan bentukpenghargaan yang tinggi atas upaya yang dilakukan tersebut. Namun patut kitacatat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-JK telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU,kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, serta kasus-kasus yang melibatkan

pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsiini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap (dari era Soehartosampai sekarang) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernahsedikitpun tersentuh oleh hukum. Jika pemerintah mampu memberikan buktinyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpunakan kembali pulih, bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalahyang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jikapemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akanjauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpadukungan dari masyarakatnya?

Upaya Hukum Pemberantasan Korupsi ; Antara Mitos dan Realitas

Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi inibukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, danpenangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanyasekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moralseseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akarpeneybabnya melalui ; Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukanperbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalamkonteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupunlahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jikakehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, makakeinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus munculdan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukanhanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsijuga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.

Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telahditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup juga turutditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud

sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akanterus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yangdemokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatanyang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).

Ketiga, Membangun akses control dan pengawasan masyarakat terhadappemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan caramemusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada

Page 12: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 12/14

pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksapejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yangakan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanyaakan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur

kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadapkekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yangsejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yangtajam terhadap penyelewengan.

Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuranpenegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal inidimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien.Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dantidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorangkoruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya

penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkanwaktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita,jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.

Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untukmenamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswasekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikutdiperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikancontoh yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinyadalam kehidupan sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modulpelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan

cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampukita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korupmasyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akansemakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.

Page 13: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 13/14

PEMERINTAHAN ORDE BARU YANGSENTRALISTIK DAN OTORITER TERHADAP

RAKYAT INDONESIA

Kelompok 8 :Hadi DewantoHanif Ariasto RaharjoIkmalIvi aviat

Mardiansyah Bahri

Page 14: Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

5/11/2018 Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/moralitas-vs-sentralisme-kekuasaan 14/14

KelompokAde saputra (2)Bimandika Mulyo Putro (10)

Reisky Riadi (30)Riadi Taufik Nugraha (32)Taufan Pragesetia (37)