Modul Sedimentologi

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisa Granulometri Granulometri merupakan analisa besar butir sebuah sedimen klastik dengan maksud untuk mengetahui penyebaran besar butir sedimen klastik berukuran pasir secara pasti. Sedangkan tujuannya adalah untuk menentukan lingkungan pengendapan dan untuk mengetahui proses-proses yang terjadi selama sedimentasi berlangsung. Middleton (1976) berpendapat, bahwa analisa besar butir dapat digunakan untuk membedakan sedimen-sedimen yang berbeda lingkungan dan raciesnya, serta dapat memberikan informasi tentang proses pengendapan serta aliran arusnya. Sedimen klastik berasal dari romabakan batuan asal, baik berupa batuan beku metamorf atau sedimen yang kemudian mengalami transpormasi dan diendapkan pada sutau cekungan. Selama perjalanannya material rombakan tersebut mengalami banyak proses, hingga kemudian diendapkan dengan mekanisme dan media yang dapat berbeda pada setiap lingkungan pengendapan dan akan menghasilkan sedimen dengan populasi besar butir yang berbeda. Maka dengan analisa besar butir ini akan dapat mengetahui lingkungan pengendapan dan proses-prosesnya selama sedimentasi.

Transcript of Modul Sedimentologi

Page 1: Modul Sedimentologi

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Analisa Granulometri

Granulometri merupakan analisa besar butir sebuah sedimen klastik dengan maksud

untuk mengetahui penyebaran besar butir sedimen klastik berukuran pasir secara pasti.

Sedangkan tujuannya adalah untuk menentukan lingkungan pengendapan dan untuk

mengetahui proses-proses yang terjadi selama sedimentasi berlangsung.

Middleton (1976) berpendapat, bahwa analisa besar butir dapat digunakan untuk

membedakan sedimen-sedimen yang berbeda lingkungan dan raciesnya, serta dapat

memberikan informasi tentang proses pengendapan serta aliran arusnya.

Sedimen klastik berasal dari romabakan batuan asal, baik berupa batuan beku

metamorf atau sedimen yang kemudian mengalami transpormasi dan diendapkan pada

sutau cekungan. Selama perjalanannya material rombakan tersebut mengalami banyak

proses, hingga kemudian diendapkan dengan mekanisme dan media yang dapat berbeda

pada setiap lingkungan pengendapan dan akan menghasilkan sedimen dengan populasi

besar butir yang berbeda.

Maka dengan analisa besar butir ini akan dapat mengetahui lingkungan pengendapan

dan proses-prosesnya selama sedimentasi.

Interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan penyebaran ukuran butir adalah

sama penting dengan penelitian lainnya (Friedman, 1979). Penafsiran lingkungan

pengendapan berdasarkan interpretasi parameter statistik butiran telah banyak dilakukan

seperti Rich (1951), Inman (1952), Folks (1962), Gees (1965), Friedman (1961, 1965, 1967)

namun hasilnya belum meyakinkan. Mungkin lebih dapat diterima jika contoh batuan

diambil secara sistematika yaitu secara vertikal, sehingga perubahan parameter secara

vertikal lebih mempunyai arti untuk lingkungan pengendapan (Allen; 1970, Visher; 1965).

Fredman berpendapat bahwa pendekatan berdasarkan analisa frekuensi besar butir

bukan berarti mengganti teknik analisa geologi lainnya, tetapi banyak berguna sebagai

Page 2: Modul Sedimentologi

pelengkap dan banyak sekali manfaatnya. Dan seluruh penyebaran frekuensi besar butir itu

sensitive terhadap proses-proses lingkungan pengendapan (Friedman, 1979).

Salah satu metode besar butir adalah metode ayakan. Pada saat ini metode ayakan

belum begitu berkembang. Pettijohn, Fotter dan Siever berpendapat bahwa dapatkah

metode besar butir digunakan untuk menafsirkan lingkungan pengendapan. Bertolak dari

beberapa konsepsi beberapa peneliti terdahulu mengenai lingkungan pengendapan

berdasarkan besar butir, penulis berkeinginan untuk membuktikan sampai sejauh mana

konsep tersebut dapat diterapkan dengan pendekatan beberapa metode, diantaranya :

Metode Krumbein dan Slose (1965)

Metode Moiola dan Woiser (1968)

Metode Fisher (1969)

Metode Friedman (1979)

1.2 Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat dapat dilakukan dua metode

penelitian :

1. Metode Penelitian Lapangan

2. Metode Penelitian Laboratorium

1.2.1 Metode Penelitian Lapangan

Penelitian di lapangan dilakukan dengan pengambilan contoh batuan, baik dari

singkapan di permukaan maupun dari suatu inti bar (core) yang dianggap cukup

representative. Pengambilan contoh batuan ini dilakukan dengan secara vertikal den

memernghatikan urutan sedimentasi. Hal ini dilakukan untuk mendapat hasil penelitian

yang lebih teliti, karena perubahan parameter secara vertikal lebih mempunyai untuk

suatu lingkungan pengendapan.

Page 3: Modul Sedimentologi

1.2.2 Metode Penelitian Laboratorium

Penelitian di laboratorium ditekankan kepada analisa besar butir berdasarkan

contoh batuan yang diambil selama di lapangan. Dalam melakukan analisa besar butir

ini dapat dipakai salah satu metode, yaitu metode ayakan yang berguna untuk

mengetahui penyebaran frekuensi besar butir.

1.3 Metode Ayakan

Analisa besar butir ini pada umumnya berdasarkan pada teori-teori kecepatan

pengendapan partikel (settling velocity of particle), analisa ayakan dan beberapa teori

lainnya. Teori kecepatan pengendapan partikel lebih cocok digunakan pada butir-butir

batuan yang relatif lebih halus, sedangkan butir-butir batuan yang lebih kasar lebih cocok

digunakan teori ayakan. Teori ayakan ini mulai dipergunakan pada tahun 1704 (Krumbein,

1932).

Dalam analisa ayakan diperlukan butiran-butiran batuan sedimen yang benar-benar

lepas, sehingga batuan sedimen klastik yang telah mengalami kompaksi perlu diuraikan

menjadi butiran-butiran lepas. Dan penguraian batuan sedimen ini dapat diuraikan secara

fisik dan kimia. Dalam melakukan analisa besar butir khusunya analisa ayakan sebenarnya

tidak sederhana seperti dalam prakteknya.

Beberapa seri ayakan yang dapat digunakan dalam analisa besar butir, diantaranya

adalah ASTM Sieve series, Tyler Sieve series dan IMM Sieve series. Masing-masing

mempunyai lubang ukuran yang berbeda (lihat tabel 1, 2, 3). Untuk itu perlu diperhatikan

sieve yang akan digunakan.

Tabel 1. ASTM Sieve series Tabel 2. Tyler Sieve series Tabel 3. IMM Sieve series

Mesh Opening Mesh Opening Mesh Opening

5 4,00 5 2,540 5 2,540

6 3,36 8 1,574 8 1,574

7 2,83 10 1,270 10 1,270

8 2.38 16 0,782 16 0,792

Page 4: Modul Sedimentologi

10 2,00 20 0,635 20 0,635

12 1,68 25 0,508 25 0,508

14 1,41 30 0,426 30 0,421

16 1,19 35 0,416 35 0,416

18 1,00 40 0,317 40 0,317

20 0,84 45 0,254 45 0,254

25 0,71 50 0,211 50 0,211

30 0,59 60 0,180 60 0,180

35 0,50 70 0,157 70 0,157

40 0,42 80 0,137 80 0,139

45 0,35 90 0,125 90 0,127

50 0,297 100 0,105 100 0,107

60 0,25 120 0,084 120 0,084

70 0,210 150 0,061

80 0,177 200 -

100 0,149

120 0,125

140 0,105

170 0,083

200 0,074

230 0,062

270 0,053

325 0,044

Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih teliti, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan, yaitu faktor kesalahan dan waktu analisa.

Page 5: Modul Sedimentologi

1.3.1 Faktor Kesalahn Analisa

Faktor-faktor yang memungkinkan kesalahan dan sulit untuk dikoreksi dalam teori

ayakan ini, misalnya :

Dalam teori ayakan ini semmua butiran-butiran dianggap mempunyai bentuk bulat,

tetapi secar alamiah tidak sedikit butir-butir batuan ini berbentuk batuan bulat

panjang atau lonjong, sehingga hal semacam ini akan menyebabkan kesalahan

penentuan berat setiap fraksi batuan.

Butir-butir batuan yang akan dianalisa seharusnya lepas-lepas secara sempurna,

tetapi dalam prakteknya hal seperti ini sangat sukar sekali dilakukan. Faktor ini

dapat juga menimbulkan kesalahan dalam penentuan berat setiap fraksi batuan.

Secara teoritis, berat batuan sebelum dan sesudah analisa harus sama, tetapi pada

prakteknya hal ini sukar atau tidak mungkin diperoleh. Kesalahan seperti ini

mungkin disebabkan karena sebagian dari butir-butir batuan tersangkut dalam

ayakan, atau butiran-butiran yang berupa debu halus mudah terbang. Faktor ini juga

akan menyebabkan pengurangan berat setiap fraksi batuan.

Krumbein (1934) berpendapat bahwa kesalahan yang melibatkan analisa mekanisme

dapat dikelompokkan dalam kesalahan lapangan atau kesalahan pengambilan contoh dan

pengambilan laboratorium. Sedangkan Swinferd (1949) membagi kesalahan laboratorium ini

menjadi 4 kesalahan, yaitu :

1. Kesalahan pemisahan batuan

2. Kesalahan waktu

3. Kesalahan pengayakan

4. Kesalahan percobaan

Selain itu juga banyak faktor-faktor lainnya yang perlu dikoreksi, tetapi menurut

beberapa penulis lainnya faktor-faktor tersebut tidak begitu mengaburkan data.

Page 6: Modul Sedimentologi

1.3.2 Waktu Analisa

Waktu yang diperlukan dalam analisa ayakan ini sangat perlu diperhatikan, terutama

untuk butiran yang halus. Menurut penelitian, butiran-butiran yang berada di atas jala

saringan pada waktu diayak tidak akan masuk serentak pada lubang-lubang jala tersebut,

tetapi secara perlahan-lahan yang sangat tergantung pada waktu.

Wentworth (1929) telah melakukan penyelidikan analisa ayakan ini, mendapat suatu

persamaan empiris yang berbentuk v=a t-m + b , dimana pada percobaan ini dipakai ayakan

berukuran 0,5 mm. Dari persamaan Wentworth ini dibuat suatu diagram seperti yang

terlihat pada gambar 1, dimana sumbu Y menunjukkan jumlah persentase dari butiran yang

tertinggal dalam ayakan, dan sumbu X menunjukkan waktu (Krumbein dan Pettijohn, 1938).

Gambar 1. Grafik yang menunjukkan hubungan waktu dan jumlah persen berat yang

tertinggal di atas ayakan.

Berdasarkan penyelidikan ini Wentworth (1929, op.cit. Krumbein dan Pettijohn, 1938)

mengambil kesimpulan bahwa untuk mendapatkan data yang teliti, pengayakan harus

Page 7: Modul Sedimentologi

dilakukan dengan alat penggerak otomatis selama 5 hingga 10 menit. Makin lama waktu

yang digunakan dalam pengayakan makin kurang efektif (Swineford, 1948).

1.4 Skala Besar Butir

Dasar dari metode ayakan adalah bahwa butiran dibagi atas selang-selang kelas yang

dibatasi oleh besarnya lubang ayakan. Penyebaran kumulatif dari besar butir dalam hal ini

adalah yang lebih kasar yang tersangkut. Set dari ayakan ini banyak yang dipergunakan

dalam teknik dan ada beberapa macam skla besar butir yang sering dipergunakan dalam

analisa ukuran besar butir, antara lain :

Skala besar butir “Udden dan Wentworth”

Skala besar butir “Atterberg”

Skala besar butir “Enginering”

Dalam analisa besar ukuran butir, macam skala besar butir yang akan dipergunakan

dapat dipilih salah satunya dari skala besar butir yang tersebut di atas. Selain skala-skala

tadi, juga disajikan skala besar butir LBPN-LIPI. Skala besar butir yang sering digunakan

adalah skala besar butir berbentuk logaritmayang merupakan deretan angka-angka hasil

minus logaritma dan disebut dengan skala “phi”.

Φ (Phi) = -2 log d

Dimana d adalah diameter menurut skala Wentworth (Krumbein, 1934). Hal ini

disebabkan karena lebih mudah dalam perhitungan dan data yang diperoleh dapat di plot ke

dalam kertas semi log, kertas probabilitas atau kertas lainnya.

Tabel 4. Macam-macam skala besar butir

Udden-Wentworth Values Enginering

Cobbles Boulders

64 mm -6 10 in.

Cobbles

Page 8: Modul Sedimentologi

3 in.

Pebbles -2 Gravel

4 mm 4 mesh

Granules Coarse Sands

2 mm -1 10 mesh

Very Coarse Sand Medium Sand

1 mm 0

0,5 mm 1 40 mesh

Medium Sand

0,25 mm 2

Fine Sand Fine Sand

0,125 mm 3

Very Fine Sand 200 mesh

0,0625 mm 4

Silt

0,0039 mm 8 Fines

Clay

Tabel 5. Klasifikasi Atterberg

Batas Ukuran Nama

2000 – 200 mm Bongkah (Block)

200 – 20 mm Kerikil (Cobbles)

20 – 2 mm Kerikil (Pebbles)

2 – 0,2 mm Pasir kasar (Coarse sand)

0,2 – 0,02 mm Pasir halus (Fine sand)

0,02 – 0,002 mm Lanau (Silt)

<0,002 mm Lempung (Clay)

Page 9: Modul Sedimentologi

Tabel 6. Skala Besar Butir Phi (Wentworth) dan Zeta (Atterberg)

Wentworth Phi Atterberg Zeta

32 mm -5 2000 mm -3

16 mm -4 200 mm -2

8 mm -3 20 mm -1

4 mm -2 2 mm

2 mm -1

1 mm 0

½ 1

¼ 2

1/8 3

1/16 4

1/32 5

1/64 mm 6

1/128 mm 7

1/256 mm 8

1/512 mm 9

1/1024 mm 10

Tabel 7. Skala besar butir yang dipakai dalam analisa besar butir pada Lab.

Sedimentologi LGPN-LIPI

Mesh Bukaan (mm) Phi

4 4,670 -2,3

6 3,360 -1,7

8 2,380 -1,2

12 1,680 -0,7

16 1,190 -0,3

20 0,840 0,2

Page 10: Modul Sedimentologi

30 0,590 0,7

40 0,420 1,2

50 0,297 1,7

60 0,250 2,0

65 0,208 2,3

100 0,149 2,7

120 0,125 3,0

150 0,104 3,3

2000 0,074 3,7

230 0,062 4,0

270 0,053 4,2

325 0,044 4,5

Sisa

Page 11: Modul Sedimentologi

Tabel 8. Daftar batas ukuran butir (menurut Wentworth) serta terminology klastik

Ukuran Sedimen (epiklastik) Volkanik (piroklastik)

Bundar, Bundar tanggung,

Menyudut tanggung

Menyudut

Fragmen Agregat Fragmen Agregat

256 nm Bongkah Kerikil bongkah Blok Breksi

Konglomerat

Bongkah Volkanik

64 nm Kerakal Kerikil kerakal Bomb Anglomerat

Konglomerat

Kerakal

Kerikil Kerikil Breksi Tuff

Konglomerat Lapilli

Kerikil

4 nm Granul Granul Abu Kasar

2 nm Pasir Pasir Tuff kasar

Batu pasir

1/16 nm Lanau Lanau Abu halus

Batu lanau Tuff halus

1/256 nm Lempung Lempung sepih

Page 12: Modul Sedimentologi

BAB II

METODE STATISTIKA

Dalam mengolah data analisa besar butir digunakan beberapa teori statistik dan

bermacam-macam grafik presentase. Grafik presentasi sebenarnya merupakan salah satu

langkah utama dalam mempelajari proses-prose yang berhubungan dengan ilmu

sedimentasi karena dengan mengetahui bentuk grafik presentase ini penyebaran butir-butir

batuan dan ha-hal lain yang dianalisa dapat ditentukan.

Prinsip-prinsip dari grafik presentasi ini adalah berdasarkan analisa geometri, dimana

grafik tersebut merupakan suatu persamaan matematis yang mempunyai dua variabel, yaitu

variabel bebas dan variabel tak bebas. Kedua variabel ini masing-masing di plot pada sumbu

x dan sumbu y. Dalam hal ini variabel yang dimaksud adalah harga dari diameter butiran,

sedangkan variabel tak bebas adalah frekuensi dari berat butiran tersebut.

Pada gambaran grafik frkuensi ini satuan skala yang digunakan boleh sembarangan,

tergantung dari metode statistika mana yang digunakan dalam pengolahan data. Bentuk

grafik presentase yang sering digunakan dalam analisa ukuran besar butir adalah :

1. Histogram

2. Kurva Frekuensi

3. Kurva Kumulatif

2.1 Histogram

Histogram merupakan suatu gambaran dari hasil-hasil analisa secara sederhana

dan praktis, dimana pada sumbu x menunjukkan besaran diameter, dan sumbu y

menunjukkan frekuensi dari persentase berat. Dari histogram ini dapat dibaca

penyebaran butiran batuan tersebut.

Penggambaran histogram harus dibuat pada kertas aritmatik, dimana jarak interval

sama sehingga bentuk histogram merupakan susunan dari bentuk empat persegi

panjang yang turun naik (gambar 2).

Page 13: Modul Sedimentologi

Gambar 2. Bentuk-bentuk histogram A dan B monomodal, sedangkan C bimodal

(Pettijohn, 1957)

Bentuk-bentuk histogram ini ada beberapa macam, yaitu :

Bentuk histogram yang mempunyai satu harga maksimum, seperti terlihat pada

gambar 2A dan 2B.

Bentuk histogram yang mempunyai dua harga maksimum (gambar 2C).

Bentuk histogram yang mempunyai tiga harga maksimum (trimodal).

Bentuk histogram yang mempunyai lebih dari tiga harga maksimum (polimodal).

Gambar 3. Histogram penyebaran besar butir

Page 14: Modul Sedimentologi

2.2 Kurva Frekuensi

Kurva frekuensi dari histogram sebenarnya erat hubungannya, karena bentuk

kurva frekuensi ini merupakan hasil limit dari histogram, dimana selang kelas dari

histogram ini diperkecil terus menerus sampai nol. Bentuk dari kurva frekuensi lebih

halus dan lebih menerus daripada bentuk histogram.

Gambar 4. Memperlihatkan perubahan dari bentuk dari histogram ke bentuk kurva

frekuensi (Krumbein dan Pettijohn, 1938).

Pada gambar dapat dilihat dengan jelas perubahan dari histogram ke kurva

frekuensi. Secara kasar kurva frekuensi dapat dibuat dengan menghubungkan titik-titik

tengah interval dari masing-masing interval.

2.3 Kurva Kumulatif

Kurva kumulatif juga dibuat berdasarkan pada histogram, dimana selang kelas dari

diameter ini di plot pada sumbu x, sedangkan pada sumbu y merupakan frekuensi dari

persentase berat yang mempunyai skala dari 0% hingga 100%. Pada kurva kumulatif ini,

selang kelas yang pertama mempunyai ordinat yang sama dengan harga persentase

berat dari kelas itu sendiri, sedangkan untuk selang pada diameter yang kedua

Page 15: Modul Sedimentologi

ordinatnya sama dengan jumlah persentase dari berat yang kedua, begitu juga untuk

selang kelas selanjutnya.

Kurva kumulatif ini dapat digambarkan pada kertas semilog dan kertas probabilitas

normal (gambar 5 dan 6). Kertas probabilitas normal didesain sedemikian rupa

sehingga kurva kumulatif suatu penyebaran frekuensi merupakan suatu garis lurus.

Pada dasarnya grafik-grafik tersebut digunakan untuk mengetahui penyebaran

besar butir pada batuan sedimen yang dianalisa dan dinyatakan dalam besaran-besaran

mean, mode, median, devisi standar, skewnes dan kurtosis, dimana :

Mean merupakan harga rata-rata secara statistic yang representatif.

Mode merupakan puncak maksimal dari penyebaran besar butir tertentu (gambar

7). Dengan penyebaran butirnya suatu sedimen tidak harus mempunyai satu puncak

(monomodal), tetapi dapat pula mempunyai dua puncak (bimodal), dahkan banyak

puncak (polimodal) yang menunjukkan sortasi yang buruk (lihat gambar 2).

Sortasi merupakan derajat pemilahan besar butir secara sederhana (gambar 8).

Standar deviasi merupakan suatu nilai statistik sampai sejauh mana besar butir

suatu populasi menyimpang dari harga rata-ratanya. Pada harga deviasi standar

yang kecil akan menunjukkan sortasi yang baik.

Skewness adalah ukuran dari tingkat simetrinya penyebaran besar butir atau arah

condongnya. Penyebaran besar butir disebut skewness positif bila mempunyai

kecenderungan ke arah kasar dan skewness negatif bila kea rah halus (gambar 9).

Kurtosis merupakan derajat kemencengan terhadap suatu penyebaran normal.

Semakin tinggi harga kurtosis maka akan semakin mancung dan akan mempunyai

sortasi yang semakin baik (gambar 10).

Histogram dan kurva frekuensi secara visual lebih baik, dimana mode, standar

deviasi, skewness dan kurtosis langsung dapat dilihat. Namun untuk hitung statistic,

kurva kumulatif lebih baik karena nilai-nilai didapatkan secara langsung dari grafik.

Rumus-rumus yang digunakan dalam menentukan harga-harga besaran seperti

mean size, standar deviasi, skewness dan kurtosis adalah rumus-rumus statistic

Page 16: Modul Sedimentologi

berdasarkan metode Inman, Folk dan Ward. Metode Folk dan Ward ini sebenarnya

diturunkan berdasarkan metode Inman yang telah mengalami beberapa koreksi, karena

menurut Folk dan Wards rumus-rumus ini yang digunakan oleh Inman ini hanya cocok

untuk batuan sedimen yang mempunyai penyebaran frekuensi berbentuk normal,

sedangkan untuk bentuk-bentuk bimodal atau polimodal harus mengalami beberapa

macam koreksi. Adapun rumus-rumus tersebut dapat dituliskan pada tabel 9.

Friedman (1979), dalam penentuan harga-harga besaran seperti mean, standar

deviasi, skewness dan kurtosis, berdasarkan kepada perhitungan parameter statistic

dengan menggunakan metode Momen terhadap mean (tabel 10). Dari harga deviasi

standar ini dapat diambil beberapa batasan yang menunjukkan hubungan antara harga

deviasi standar dengan nilai pemilihan (sorting), seperti pada tabel 11.

Tabel 9. Rumus-rumus statistik menurut Metoda Inman dan Folk dan Ward.

Page 17: Modul Sedimentologi

Tabel 10. Perhitungan parameter statistik dengan menggunakan Metoda Momen

terhadap Mean (Friedman, 1979)

Tabel 11. Hubungan standar deviasi dengan pemilahan

< 0,35 Very well sorted

0,35 – 0,50 Well sorted

0,50 – 0,70 Moderately well sorted

0,70 – 1,00 Moderately sorted

1,00 – 2,00 Poorly sorted

2,00 – 4,00 Very poorly sorted

> 4,00 Extremely poorly sorted

Tabel 12. Penilaian harga-harga skewness

-1,0 - -0,3 Very negactively skewed

-0,3 - -0,1 Negatively skewed

Page 18: Modul Sedimentologi

-0,1 – 0,1 Symetrical

0,1 – 0,3 Positively skewed

0,3 – 1,0 Very positively skewed

Tabel 13. Penilaian harga-harga kurtosis

< 0,67 Veru platykurtic

0,67 – 0,90 Platykurtic

0,90 – 1,11 Mesokurtic

1,11 – 1,50 Leptokurtic

1,50 – 3,00 Very leptokurtic

> 3,00 Extremely leptokurtic

Harga deviasi standar yang tinggi dan harga skewness yang positif menunjukkan

suatu lingkungan sungai, sedangkan harga deviasi standar yang rendah dan harga

skewness-nya 0 atau negative menunjukkan suatu lingkungan pantai.

Page 19: Modul Sedimentologi

Gambar 5. Kurva kumulatif besar butir dengan sekala semilog dalam micron

(millimeter) dengan konsep quartile

Gambar 6. Kurva kumulatif skala besar butir dengan skala probabilitas (kertas normal),

A. Penyebaran normal

B. Yang menyimpang dari normal dengan memerlihatkan konsep persentil

Gambar 7. Mode dari suatu penyebaran frekuensi.

Page 20: Modul Sedimentologi

Gambar 8. Kurva frekuensi yang memerlihatkan jenis sortasi.

Gambar 9. Hubungan antara mode, mean dan median serta skewness.

Page 21: Modul Sedimentologi

Gambar 10. Bentuk kurva dengan berbagai kurtosis.

Gambar 11. Konsep persentil dalam kurva kumulatif.

Page 22: Modul Sedimentologi

BAB III

CARA KERJA ANALISIS BESAR BUTIR

3.1 Cara Kerja di Lapangan

Contoh batuan (sampel) yang diambil di lapangan adalah berupa material yang

berukuran pasir, baik lepas maupun yang berupa batuan. Guna mendapatkan contoh

batuan yang representative maka yang perlu diperhatikan, antara lain :

- Lokasi pengambilan sampel

- Cara pengambilan sampel

- Jumlah sampel

Lokasi pengambilan sampel harus diperhatikan, hal ini bertujuan agar sampel yang

diambil benar-benar dapat mewakili insitu. Cara pengambilan sampel menggunakan system

grade, sehingga sampel yang diambil dapat mewakili seluruh penyebaran dari batu pasir

tersebut (lihat sketsa). Sampel diambil dengn kedalaman ± 30 – 60 cm di bawah permukaan.

Sedangkan jumlah sampel yang diambil sesuai dengan luas daerah maupun keadaan daerah

itu sendiri.

Jarak masing-masing titik antara 50 hingga 75 meter.

3.2 Cara Kerja di Laboratorium

Dalam analisa pasir di laboratorium dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap

pengerjaan sampel dan tahapan perhitungan data.

Page 23: Modul Sedimentologi

3.2.1 Tahap Pengerjaan Sampel

Pada tahap ini sampel akan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum analisa pasir

dilakukan, agar analisa dapat dilakukan dengan lancer dan dengan hasil yang baik. Tahapan-

tahapan yang harus dilakukan dalam pengerjaan sampel secara berurutan, yaitu :

- Pengeringan sampel

- Pelepasan butiran

- Kwartering

- Penimbangan pertama

- Pengayakan sampel

- Penimbangan kedua

3.2.1.1 Pengeringan Sampel

Maksud dari pengeringan sampel adalah supaya material-material pada

sampel mudah lepas satu dengan lainnya dan agar tidak memengaruhi proses-proses

selanjutnya. Pada hakekatnya pengeringan ini adalah untuk menghilangkan

kandungan air yang masih terdapat pada sampel. Pengeringan sampel ini dapat

dilakukan di bawah sinar matahari maupun dikringkan degan oven.

Untuk mendapatkan sampel yang betul-betul kering, apabila pengeringan di

bawah sinar matahari sampel harus ditebarkan secara nmerata di atas kertas atau

tempat lain yang masih bersih, dan agar pengeringan dapat dilakukan dengan cepat

sampel harus dibolak-balik. Setelah sampel benar-benar kering barulah dapat

dilakukan proses selanjutnya.

3.2.1 Pelepasan Butiran

Pelepasan butiran bertujuan untuk melepaskan butiran-butiran yang masih

belum terlepas pada proses pengeringan, karena dalam analisa besar butir diperlukan

Page 24: Modul Sedimentologi

butiran yang benar-benar lepas. Alat yang digunakan dalam proses ini adalah mortar

dengan penggerusnya yang terbuat dari porselen (gambar 28).

Gambar 28. Mortar yang digunakan untuk menggerus pasir menjadi butiran yang

lepas.

Sampel yang telah kering dimasukkan kedalam mortar sedikit demi sedikit,

kemudian digerus perlahan-lahan agar butiran tidak hancur. Sesudah butiran-butiran

lepas, maka masukkan lagi hingga cukup untuk analisa selanjutnya. Untuk sampel

yang mempunyai campuran seperti karbonat, oksida besi atau garam yang mudah

larut, dapat dihilangkan atau dipisahkan dengan beberapa cara.

3.2.1.2.1 Memisahkan Campuran Karbonat

Proses tersebut tidak dapat dilakukan apabila kita ingin mempelajari

mineral-mineral yang ada. Urutan kerja yang harus dilakukan untuk

memisahkan campuran karbonat, yaitu :

1. Sampel diletakkan ke dalam beaker 250 – 600 ml. Masukkan kedalamnya

25 ml aquades dan diaduk.

2. Tambahkan ke dalam beaker 10 % HCL secara perlahan-lahan sampai reaksi

berhenti. Jika kandungan karbonatnya banyak, untuk penambahan 10%

HCL juga harus besar.

Page 25: Modul Sedimentologi

3. Panaskan 80o – 90o C, dan tambahkan HCL sampai reaksi terhenti. Cara ini

akan lebih tepat apabila penambahan HCL mencapai pH 3,5 – 4, dan kondisi

tersebut tetap dipetahankan. Untuk memeriksa pH dapat dilakukan

dengan:

a. pH meter

b. menggunakan larutan indikator pH pada test plate (misal : larutan

brom phenol blue).

c. pH paper, dapat menggunakan larutan indicator methyl orange

indicator paper. Indikator ini akan berwarna kuning pada larutan netral

dan akan berubah menjadi orange pada pH 3,1 – 4,4, dan menjadi

merah pada pH dari 3,1.

4. Pada sampel yang cukup banyak mengandung karbonatnya, ion kalsium

yang larut akan bercampur dengan sampel yang akan menghalangi

pemisahan bahan-bahan organik dengan H2O2, dan akan mengendap

sebagai kalsium oksalat didalam melakukan pemindahan besi. Cuci sampel

dengan HCL yang lemah (±0,1%).

Ulangi pencucian 2 atau 3 kali. Cairan dapat ditest dengan mengambil

sedikit cairan dimasukkan ke dalam tabung test alkaline dengan

menggunakan kertas lakmus yang mengandung ammonium oksalat.

Endapan putih dari kalsium oksalat akan terbentuk apabila ada kalsium.

Beberapa cara untuk melakukan pencucian :

a. Pindahkan sampel pada satu atau lebih tabung centripuge dengan

menggunakan larutan pencuci pada botol-botol pencuci dan rubber

policeman dan diaduk.

b. Jika seluruh kandungan materialnya adalah pasir (sand) atau silt kasar

(coarse silt), biarkan sedimen mengendap dalam beaker dan cairan

dipindahkan atau dituangkan.

c. Masukkan porcelain filter candle pada beaker dan cairan dipisahkan

dengan cara disedot atau dengan menggunakan pompa penghisap

Page 26: Modul Sedimentologi

(vacuum pump, gambar 29). Endapan sedimen pada filter dipisahkan

dengan menggunakan tekanan balik.

Gambar 29. Pemisahan yang menggunakan porcelain filter.

3.2.1.2.2 Menghilangkan Bahan Organik (Jackson, Whitting, and Pannington, 1949)

Cara yang dilakukan disini jarang yang berhasil untuk dapat menghilangkan

bahan-bahan organik secara keseluruhan, tetapi cara ini juga sangat menolong. Hal

tersebut dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, dan apabila bahan-bahan

organiknya telah hilang pada setiap tahapan dapat dihentikan. Caranya adalah :

1. Bila kandungan bahan organiknya sedikit, letakkan sampel pada breaker 400 ml

dan masukkan ke dalam beaker H2O2 6% sebanyak 100 ml secara perlahan-lahan

dan konstan, kemudian digerak-gerakan. Tutup dan panaskan hingga suhu 40o C

selama 1 jam. Didihkan ±1 jam hingga H2O2 yang berlebih hilang.

2. Bila kandungan bahan organiknya cukup banyak, maka dapat dilakukan langkah-

langkah sebgai berikut :

a. Pisahkan cairan dengan cara menuangkannya setelah terjadi pengendapan.

b. Tambahkan ke dalamnya H2O2 30% secara perlahan-lahan sambil digerak-

gerakkan hingga pembuihan berhenti.

c. Panaskan di atas hot plate hingga suhu mencapai 40o C selama 10 menit.

Apabila pada suatu pemanasan terjadi pembuihan yang berlebihan, bila

perlu sampel didinginkan dengan cara menyemprotkan air dingin. Gunakan

beaker yang besar apabila terjadi pembuihan yang berlebihan.

Page 27: Modul Sedimentologi

d. Keringkan hingga endapan menjadi tipis, tetapi jangan terlalu kering.

Tambahkan 10 – 30 ml H2O2 30%, tutup dengan “watch glass”. Panaskan

pada suhu 40o - 60o C selama 1 sampai 12 jam. Ulangi hingga bahan-bahan

organiknya hilang.

e. Panaskan sebentar hingga H2O2 yang berlebihan hilang.

3.2.1.2.3 Menghilangkan Oksidasi Besi

1. Letakkan sampel ke dalam beaker 400 ml dan tambahkan air ± 300 ml.

2. Masukkan alumunium ke dalam beaker (lebih baik menggunakan lempeng

alumunium yang berbentuk silindris, tetapi dapat juga dipergunakan bentuk

lainnya).

3. Tambahkan 15 gram asam oksalat (bubuk atau larutan) dan didihkan secara

perlahan-lahan selama 10 – 20 menit. Tambahkan lagi asam oksalat jika

menginginkan sampai semua oksida besi hilang.

3.2.1.3 Kwartering

Proses kwartering adalah suatu proses pembagian sampel ke dalam 4

kwadran, untuk mendapatkan sampel yang representatif. Untuk proses kwartering ini

diperlukan sebuah corong plastik atau seng dan karton tempat pembagian sampel

(gambar 30).

Pada kwartering ini posisi karton terletak di atas karton dan diusahakan tegak

lurus dengan perpotongan karton, sampel dimasukkan ke dalam corong secara

konstan, kemudian akan didapatkan pasir yang sudah menempati keempat kwadran

tersebut.

Diambil sampel yang berada di kwadran yang berlawanan Dan mempunyai

jumlah yang relatif sama dari kedua kwadran satunya lagi. Sisa pasir yang tidak

terpilih dapatlangsung dibuang, sedangkan pasir dikwartering lagi sebanyak 3 atau 4

kali. Untuk yang kedua dan seterusnya sisanya dapat digunakan lagi apabila harus

mengulang dari proses kwartering kembali.

Page 28: Modul Sedimentologi

Sesudah sampel yang representatif didapatkan dan diperkirakan lebih dari

100 gram, barulah proses kwartering dihentikan dan dapat dilakukan proses

penimbangan.

3.2.1.4 Penimbangan Pertama

Penimbangan ini menggunakan alat timbang elektrik ‘Metler’ yang

mempunyai kepekaan sampai dua dibelakang koma gram (gambar 31).

Gambar 30. Cara kwartering sampel, untuk mendapatkan butiran sampel yang

representatif.

Gambar 31. Alat timbang (neraca) elektrik mettler. Satuannya adalah gram, dengan

ketelitian hingga dua angka dibelakang koma.

Untuk penimbangan yang pertama ini akan ditimbang tabung-tabung

sebanyak lima buah untuk tempat hasil ayakan dan satu tabung yang lebih besar

Page 29: Modul Sedimentologi

untuk tempat sampel mula-mula. Sebelum ditimbang tabung-tabung tersebut diberi

tanda memakai spidol sesuai ukuran meshnya, kecuali tabung terbesar. Tabung

(becker) jika sudah diketahui beratnya, maka barulah dicari pasir yang mempunyai

berat 100 gram (ditimbang) dengan cara memasukkan pasir ke dalam becker terbesar

yang sudah diketahui beratnya.

Misal berat becker = g gram, maka berat becker + berat pasir haruslah = 100

gram + g gram = x gram. Setelah didapatkan pasir dengan berat 100 gram, lalu pasir

diayak.

3.2.1.5 Pengayakan Sampel

Tujuan dari pengayakan sampel adalah untuk mengetahui penyebaran

frekuensi besar butir dari pasir yang dianalisa.

Untuk pengayakan sampel dipakai ayakan US Standar, dengan mesh dari 30,

50, 100, sampai 200. Yang dimaksudkan saringan dengan mesh 10 adalah saringan

yang mempunyai lubang berjumlah 10 pada suatu luas tertentu. Saringan dengan

mesh 50 akan lebih halus dari saringan dengan mesh 10, atau dengan kata lain bahwa

saringan dengan nomor mesh lebih besar akan lebih halus daripada saringan yang

bermesh lebih kecil.

Gambar 32. Susunan ayakan (sieve) di atas vibrator. Waktu pengayakan terbaik

adalah 5 – 10 menit.

Page 30: Modul Sedimentologi

Sebelum pengayakan dilakukan, saringan disusun menurut besar meshnya,

dari nomor terkecil di bagian atas berturut-turut makin ke bawah makin besar nomor

meshnya.

Sampel dimasukkan ke dalam ayakan kemudian ditutup dengan penutup,

susunan ayakan ini kemudian diletakkan ke atas pengayak elektrik selama ± 5 menit

(untuk mendapatkan hasil yang baik, pengayakan ddilakukan antara 5 – 10 menit).

Setelah pengayakan berhenti (secara otomatis), diamkan beberapa saat. Hal ini

dimaksudkan agar material-material yang diayak sudah benar-benar terendapkan

terutama untuk material yang sangat halus yang berterbangan karena kemungkinan

akan memengaruhi hasil penimbangannya.

Jika diperkirakan material-material pasir itu sudah benar-benar mengendap,

maka material (butiran) pasir itu diambil dari saringannya, kemudian dimasukkan ke

dalam becker-becker yang sudah disediakan dan telah diketahui beratnya. Cara

pengambilan sampel dari saringan haruslah hati-hati dan teliti, karena bila tidak akan

bisa merusak saringannya sehingga cukup menggunakan kuas apabila ada material

yang masih tertinggal di dalam saringan. Sampel-sampel yang telah dimasukkan ke

dalam becker yang sesuai dengan nomor meshnya dapat ditimbang untuk kedua

kalinya.

3.2.1.6 Penimbangan Kedua

Berturut-turut ditimbang becker yang telah berisi pasir dan dicatat, misalnya

didapatkan hasil sebagai berikut :

Becker + berat pasir dengan nomor mesh 30 = a gram

Becker + berat pasir dengan nomor mesh 50 = b gram

Becker + berat pasir dengan nomor mesh 70 = c gram

Becker + berat pasir dengan nomor mesh 100 = d gram

Becker + berat pasir dengan nomor mesh 200 = e gram

Total = x gram

Page 31: Modul Sedimentologi

Harga penimbangan total ini haruslah memenuhi syarat, yaitu berselisih (bisa

kurang atau lebih) 0,06 gram dari berat pasir mula-mula ditambah berat masing-

masing becker. Atau selisih berat pasir antara penimbangan pertama dan kedua

tidak lebih besar dari 0,06 gram.

Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka harus diulang kembali dari

proses kwartering, sampai didapatkan berat yang memenuhi persyaratan tersebut

di atas.