Modul Pengantar Fikih Muamalah KA.pdf
-
Upload
reno-saibih -
Category
Documents
-
view
233 -
download
24
Transcript of Modul Pengantar Fikih Muamalah KA.pdf
PENGANTAR FIQIH MUAMALAHBerbagai Transaksi yang Diharamkan dan
Akad-Akad Produk Lembaga Keuangan Syariah
Disusun oleh:
KH. Kasmudi Assidiqi, SE., M.Ak
Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si
Gresik dan Yogyakarta2013
Pendahuluan
Bab I - 1
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk hidup, untuk kelangsungan hidupnya harus
bisa memenuhi kebutuhannya. Allah sebagai pencipta manusia telah
menyediakan kebutuhan mereka terhampar luas di muka bumi ini. Bahkan Allah
telah menundukkan/memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi
untuk kepentingan manusia. Meskipun demikian, karena segala sesuatu yang
ada di muka bumi terbagi menjadi dua yaitu ada yang baik dan ada yang buruk
serta Allah telah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk,
maka Allah mensyaratkan agar manusia mengambil yang baik dan
meninggalkan yang buruk. Allah telah berfirman:
..٢٩Dialah yang telah menciptakan semua apa-apa yang ada di bumi untuk kalian.
٢٠Tidakkah kalian memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan/memudahkan
untuk (kepentingan) kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
١٦٨
Pendahuluan
Bab I - 2
Hai sekalian manusia, makanlah kalian dari (makanan) yang halal lagi baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan;
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
١١٤Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepada kalian, dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah
kepada-Nya.
Ayat-ayat di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa untuk memenuhi
kebutuhan manusia, Allah telah menyiapkannya di bumi dan memudahkan
manusia untuk mendapatkannya. Surat al-Baqarah ayat 29 dijadikan dasar oleh
para ulama bahwa ”segala sesuatu dari urusan dunia hukumnya halal
kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya”
Allah menghendaki setiap manusia mengambil dan memakan yang halal
dan baik serta menjauhi segala yang haram. Maka dari itu Allah menjelaskan
melalui lisan Rasul-Nya mana yang halal dan mana yang haram. Perhatikanlah
dalil-dalil di bawah ini.
٤Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “apakah yang dihalalkan untuk
mereka?” Katakanlah telah dihalalkan untuk kalian semua yang baik-baik....
١٥٧Dan Dia menghalalkan untuk mereka semua yang baik dan mengharamkan
kepada mereka semua yang jelek....
Pejelasan: secara umum semua yang buruk/jelek haram.
Pendahuluan
Bab I - 3
Dari Nu’man bin Basyir, Rasululah SAW bersabda:”Yang halal itu jelas dan yang
haram juga jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang
belum jelas halal dan haramnya). Maka barangsiapa yang meninggalkan
perkara syubhat yang dimungkinkan termasuk dosa, maka dia lebih
meninggalkan terhadap yang sudah jelas (haram dan dosanya), dan
barangsiapa yang berani mengerjakan perkara syubhat yang dimungkinkan
termasuk dosa, maka ia hampir saja terjatuh ke dalam perkara yang jelas
(haram dan dosanya).
)حسن)
Bersabda Nabi SAW:”Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-
Nya (al-Qur’an dan al-Hadits) dan yang harom adalah apa yang diharomkan
Allah dalam kitab-Nya (al-Qur’an dan al-Hadits), dan apa-apa yang Allah diam
darinya, adalah bagian dari yang Dia maafkan darinya”.
Penjelasan:
--
--
Pendahuluan
Bab I - 4
--
٤٧٩٢٣٢٧
Sesungguhnya sabda Nabi:.......”al-halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh
Allah di dalam kitab-Nya”. Pengertian sabda beliau “fi kitabihi” itu tidak terbatas
pada al-Qur’an saja, akan tetapi lafal al-kitab itu meliputi semua yang
diwahyukan kepada Nabi SAW terdiri dari al-Qur’an dan al-Sunah bersama-
sama,karena sesungguhnya yang diwahyukan itu ada dua macam yaitu: 1.
wahyu yang dibacakan, dan 2. wahyu yang tidak dibacakan sebagaimana yang
telah dinukil oleh Dr. Abdul Ghony Abdul Kholik dari al-Baihaqy. Lihatlah kitab
Hujiyatu-as sunah halaman 479. Tafsir Sunan Said bin Manshur Bab Fadhoil-al-
Qur’an jilid 2 halaman 327.
Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja atau
berbisnis. Di antara mereka ada yang bertani, beternak, mencari ikan, membuat
berbagai macam makanan, membuat pakaian, membuat peralatan produksi.
Setelah itu muncullah kebutuhan adanya alat tukar untuk berdagang. Alat tukar
tersebut awalnya berbentuk barang, seperti kelapa, batu mulia, emas dan
akhirnya berkembang seperti yang sekarang kita gunakan, yaitu uang.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki oleh manusia, maka perkembangan ekonomi dan keuangan pun saat ini
Pendahuluan
Bab I - 5
cukup pesat. Berbagai macam transaksi ekonomi dan keuangan yang ada saat
ini sebagian merupakan hasil rekayasa ekonomi (economic engineering) dan
rekayasa keuangan (financial engineering), maka diperlukan adanya
penelaahan yang mendalam untuk mengetahui hukum halal haramnya. Ada tiga
langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan status hukum:
1) memahami fakta atau masalah apa adanya (fahmul musykilah al qa’imah),
2) memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang
berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau
memahami hukum-hukum syara’ (fahmu al ahkam asy syar’iyah) yang telah
ada berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),
3) mengistinbath (mengeluarkan) hukum dari nash dan menerapkannya pada
fakta, atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.
Jika setelah dilakukan penelaahan, transaksi ekonomi/keuangan tersebut tidak
ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, Islam mengijinkan ahli hukum untuk
berijtihad.
ا
حتقيق
Dari beberapa orang shohabat Mu’adz bin Jabal yang berasal dari Himsha,
ketika Rasululah SAW berkehendak mengutus Muadz ke Yaman, beliau
Pendahuluan
Bab I - 6
bersabda: ”Bagaimanakah kamu akan menghukumi ketika perkara hukum
datang kepadamu?” Muadz menjawab: ”Aku akan menghukumi dengan
Kitabulloh.“ Nabi bersabda: ”Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di dalam
Kitabulloh?” Muadz menjawab: ”Aku akan menghukumi dengan Sunnah
Rasulillah SAW” Nabi bersabda: ”Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di
dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh SAW?” Muadz menjawab: ”Saya akan
berusaha keras dengan menggunakan kemampuan akal dan saya tidak peduli.”
Maka Rasululloh memukul dadanya Muadz, seraya bersabda: “Segala puji bagi
Allah Dzat yang telah menganugerahkan taufiq (ketepatan) kepada utusan
Rasululloh SAW pada sesuatu yang menjadikan ridlonya Rasulillah SAW.
Ketika seorang hakim menghukumi (sesuatu) lantas berijtihad kemudian
(ijtihadnya) benar maka baginya dua pahala, dan ketika dia menghukumi
(sesuatu) lantas dia berijtihad kemudian (ijtihadnya) salah maka baginya satu
pahala.
Penjelasan:
Maka baginya dua pahala yakni satu pahala ijtihadnya dan satu pahala
benarnya dalam berijtihad. Maka baginya satu pahala yakni pahala ijtihadnya
saja.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 7
BAB II
TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG HARAM
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 1, bahwa Allah telah
menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya untuk manusia (Q.S.
al-Baqarah ayat 29), maka pengertiannya ”segala sesuatu yang ada di
muka bumi hukum asalnya adalah halal” dan berdasarkan ayat tersebut
para Fuqaha membuat qaidah ”semua bentuk muamalah hukum asalnya
adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. Oleh
karena itu sebelum seseorang berbisnis, mempelajari hukum-hukum muamalah
lebih dahulu menjadi penting bahkan wajib, agar di dalam menjalani bisnis
selalu sah dan benar serta tidak terjebak dalam segala hal yang haram maupun
yang syubhat. Secara umum ada 7 (tujuh) transaksi yang haram: 1) transaksi
riba, 2) gharar (ketidakpastian), 3) dharar (penganiayaan), 4) maysir
(perjudian), 5) maksiat, 6) suht (barang haram), dan 7) risywah (suap).
2. 1. Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa
penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual
beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
2.1.1. Riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab
Golongan Hanafiah memberikan ta’rif bahwa riba adalah kelebihan
atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’i yang
disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar
menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta’rif ini juga
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 8
bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30),
dikatakan juga bahwa riba di dalam syara’ adalah pengertian dari suatu akad
yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada
tambahan. Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara
utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba.
Penjelasan: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan
pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman
dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya
yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada
B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti).
Transaksi ini riba dan haram.
Golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa riba adalah transaksi
atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam
standar syara’ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan
dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21).
Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan
perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi
persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba.
Golongan al-Hanabilah memberikan ta’rif bahwa riba adalah adanya
kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala
sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara’ datang
mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk
sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya
(Kasysyafu al-Qina’ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157).
Golongan al-Malikiyah memberikan ta’rif tiap-tiap macam riba secara
sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya).
Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba.
1. Al-bai’
Al-bai’ secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya: pertukaran harta
dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena
al-bai’ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai’ umum digunakan juga atas tiap-tiap
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 9
satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai’ bisa diartikan penjual dan bisa
diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai’ ketika disebut secara bebas
yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang
memberikan barang” dan al-bai’ jika disebut secara bebas bisa diartikan
“barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu
al-Munir hal. 69).
Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta’rif al-bai’ adalah transaksi
tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang
atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah
Qolyuby 2/152 dan al-Mausu’ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya
halal dan riba hukumnya haram.
2. Al-‘araaya
Al-‘ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan
kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon
kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama’nya al-
‘araaya dikatakan juga makna al-‘ariyah adalah memakan buah kurma yang
masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).
Adapun golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa al-‘ariyah adalah
menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi
atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas
bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho’, 1 sho’ = 2,7
kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally
2/238, al-Mausu’ah 9/91). Di dalam bai’ araya ada unsur riba dan syubhat yang
ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araya itu diperbolehkan secara nash, di
antaranya:
"
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 10
٣٨٧٣/ ٤ /١١٧٠
Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli
kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan
ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari
ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet.
al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli
buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah
hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon
dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka
memakan kurma basah (dari jual beli aariyah) sesuai taksirannya (Nail al-
Author 5/226).
2.1.2. Hukum riba
Riba menurut al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ (kesepakatan) para ulama
hukumnya haram, riba termasuk dosa besar, riba termasuk amalan yang
melebur amal-amal kebajikan. Allah dan Rasul tidak pernah menyatakan
perang kepada orang yang berbuat maksiat kecuali kepada orang yang
memakan riba. Orang yang menganggap riba itu halal, hukumnya kafir karena
dia mengingkari sesuatu dari urusan agama yang tidak boleh tidak setiap
muslim harus mengetahuinya dan dia wajib bertaubat. Adapun orang yang
melakukan riba tetapi dia menyadari bahwa yang dilakukannya adalah barang
haram dan dia tidak menghalalkannya maka hukumnya fasik (maka diapun
wajib bertaubat dari pelanggaran kefasikannya pen.) (al-Mabsuth 12/109,
Kifayah al-Thalib 2/99, al-Mukadimat libni Rusyd 501-502, al-Majmu’ 9/390,
Nihayatu al-Muhtaj 3/409 dan al-Mughni 3/3).
Al-Mawardi dan lainnya berkata: Sesungguhnya riba tidak halal sama
sekali dalam syari’at (sebelumnya). Allah ta’ala berfirman:
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 11
.:١٦١Dan karena mereka mengambil riba padahal mereka telah dilarang
daripadanya.
Yakni dalam kitab-kitab sebelumnya (al-Majmu’ 9/391, Mughni al-Muhtaj 2/21,
al-Mausu’ah 22/51).
2.1.3. Dalil-dalil dari al Qur’an dan al Hadits tentang haramnya riba
Berikut ini beberapa dalil dari al Qur’an dan al Hadits tentang haramnya riba.
.:٢٧٥ .
dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
. .:٢٧٥ .
Orang-orang yang makan riba mereka tidak bangun dari kubur kecuali seperti
orang yang kesurupan setan dari gila.
:١٣٠Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian makan riba dalam keadaan
berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian beruntung.
Penjelasan
Ayat ini tidak membatasi atau mensyaratkan bahwa riba itu haram kalau sudah
berlipat ganda, akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa riba itu bisa
menyebabkan seseorang utangnya menjadi berlipat ganda. Contoh: A
meminjamkan barang kepada B seharga Rp 10.000.000. Dibayar lunas dalam 3
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 12
bulan. Ketika telah datang waktu pembayaran, A berkata kepada B: utangmu
kamu bayar sekarang atau kamu saya beri waktu 3 bulan lagi tetapi utangmu
menjadi Rp 12.500.000 begitu seterusnya sehingga yang tadinya utangnya
hanya Rp 10.000.000 bisa menjadi Rp 20.000.000 bahkan mungkin bisa
menjadi ratusan juta rupiah karenanya (Ahkamu al-Qur’an lil Jashosh 1/465,
Tafsir Abi al-Sa’ud 1/271, dan Ruhu al-Ma’any 4/55).
" ")٩٢/ ٣٩٣١/ ٥
٢٢/٥٢.(
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda: Jauhilah tujuh amalan
yang menjadi pelebur amal kebajikan (tujuh dosa besar yang membinasakan
pen.), mereka berkata: apakah amalan-amalan itu ya Rasulullah SAW? beliau
bersabda: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari
medan perang dan menuduh berbuat zina kepada seorang mukminat terhormat
yang lalai dari zina (H.R. al-Bukhari, al-fath 5/393 cet. Salafiah, Muslim 1/92
cet. al-Halabi, al-Mausu’ah 22/52).
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 13
.١٢١٩/ ٣مسلم
Dari Jabir ibn Abdillah RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Orang yang
makan riba, orang yang memberi makan riba, penulisnya dan dua orang
saksinya, (mereka) hukumnya sama saja.
Ulama telah ijma’ (sepakat) atas asli haramnya riba (Hasyiatu ash-Shu’aidy ’ala
Kifayati al-Thalib 2/99, al-Majmu’ 9/390, al-Mukadimat libni al-Rusyd 501-502).
Al-Sarakhsy berkata: Allah ta’ala menyebutkan bagi orang yang makan riba ada
lima siksaan, yaitu:
1. Bangun dari kubur berdirinya seperti orang yang kesurupan setan/gila.
Allah ta’ala berfirman:
:٢٧٥Orang-orang yang makan riba mereka tidak berdiri dari kubur kecuali seperti
berdirinya orang yang kesurupan setan/gila.
]٢٧٥[»«
Dari Sa’id bin jubair “Orang yang makan riba tidak bangun dari kubur kecuali
seperti bangunnya orang yang kesurupan setan dari gila” al-Baqarah ayat 275
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 14
al-ayat. Dia berkata: dibangkitkan orang yang makan riba pada hari kiamat
dalam keadaan gila lagi mengamuk .
2. Orang yang makan riba hartanya rusak atau binasa atau hilang barakahnya
sehingga dia tidak bisa bersenang-senang dengan harta itu dan tidak bisa
memanfaatkannya sampai ke anak turun sesudahnya, Allah berfirman:
:٢٧٦Allah menghapus (barakahnya) riba dan menyuburkan (mengembangkan)
shadaqah-shadaqah.
.Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kerusakan dan kebinasaan riba dan
dikatakan pula maknanya: Hilang barakahnya dan hilangnya bisa bersenang-
senang dengannya, sehingga dia tidak bisa mengambil manfaat dan juga anak-
anaknya sesudahnya.
3. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memaklumatkan peperangan kepada
orang yang berbuat maksiat kecuali kepada orang yang makan riba. Allah
berfirman:
:٢٧٩ .
Beritahukanlah kepada mereka (orang yang makan riba) peperangan dari Allah
dan Rasul-Nya.
4. Orang yang menghalalkan riba hukumnya kafir, karena dia mengingkari
hukum/sesuatu dari urusan agama yang mau tidak mau setiap muslim
secara dharurat wajib mengetahuinya. Allah berfirman:
:٢٧٨
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 15
Tinggalkanlah apa-apa yang tersisa dari riba jika kalian orang-orang yang
beriman.
Setelah Allah menyebutkan riba Allah berfirman:
:٢٧٦Dan Allah tidak senang kepada tiap-tiap orang kafir yang berdosa.
yakni orang kafir, dengan sebab menghalalkan riba, orang yang berdosa lagi
menyimpang, dengan sebab makan barang riba.
5. Orang yang makan riba kekal di dalam neraka (al-Mabsuth 12/109-110).
Allah berfirman:
:٢٧٥ .
dan barang siapa mengulangi maka mereka adalah penghuni neraka yang kekal
di dalamnya.
Ini semua menunjukkan, bahwa wajib bagi orang yang akan memberi
pinjaman maupun orang yang akan pinjam, orang yang akan menjual maupun
membeli, lebih dahulu harus belajar hukum-hukum muamalat sebelum
menjalankannya, sehingga di dalam bermu’amalat selalu sah dan benar dan
jauh dari yang haram maupun yang syubhat. Kaidah menyebutkan ”maa laa
yatimmu al waajibu illaa bihi fahuwa waajibun”. Artinya: ”apa-apa yang tidak
bisa sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka sesuatu itupun
hukumnya wajib”.
Dan meninggalkannya (meninggalkan mempelajari riba) hukumnya
berdosa dan salah. Seseorang jika tidak mau belajar (hukum-hukum muamalat
pen.), kadang-kadang jatuh di dalam riba tanpa sengaja melakukannya, bahkan
kadang-kadang masuk di dalam riba yang tanpa diketahuinya berakibat
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 16
terperosok di dalam keharaman dan jatuh di dalam neraka. Kebodohan
seseorang tidak mengetahui hukum riba, tidak bisa memaafkan dia dari berbuat
dosa dan tidak bisa menyelamatkan dia dari neraka, karena kebodohan dan
kesengajaan itu tidak menjadi syarat timbulnya balasan atas dosa riba. Riba
dengan semata-mata dilakukan oleh seorang mukallaf telah mewajibkan
kepada adanya siksaan yang besar yang telah diancamkan oleh Allah jalla
jalaluhu kepada para pelaku riba.
Imam al-Qurtuby berkata: Seandainya tidak ada riba kecuali bagi orang
yang sengaja melakukannya, maka tidak haram riba kecuali atas para Fuqaha’
saja. Dan sungguh-sungguh telah ma’tsur dari ulama salaf (para shahabat dan
ulama-ulama sesudahnya pen.) bahwa mereka telah memperingatkan/
menyuruh berhati-hati (kepada para pedagang pen.) dalam urusan
perdagangannya sebelum belajar hukum-hukum yang menjaga muamalat
perdagangannya dari takhobbut (kesurupan/terjerumus) dalam riba.
٣ /، ٣٨/ ٥٨٢٦ـ ٥٨١/ ٣٥٢١
٢٩/ ٢٢٦/ ٢(
Di antaranya adalah ucapan shahabat Umar bin Khattab: Tidak boleh berjual
beli di pasar kami kecuali orang yang faqih (orang yang faham hukum
muamalat pen.). Jika bukan orang yang faham hukum muamalat maka dia akan
makan riba. Dan ucapan shahabat Ali RA: barang siapa berjual beli/berdagang
sebelum dia menjadi orang yang faqih/faham hukum muamalat maka sungguh-
sungguh dia telah jatuh dalam riba, ruwet dan sulit melepasnya, kemudian dia
sungguh-sungguh telah jatuh dalam riba, ruwet dan sulit melepasnya,
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 17
kemudian sungguh-sungguh dia telah jatuh kedalam riba, ruwet dan sulit
melepaskannya (Tafsir al-Qurtuby 3/352, tafsir Ibnu Katsir 1/581-582, tafsir al-
Tabary 6/38, Mughny al-Muhtaj 2/22 dan 6/29).
Dan sesungguhnya syar’i (Allah dan Rasul pen.) selalu berkeinginan kuat
untuk menutup semua dorongan-dorongan yang bisa mendatangkan riba,
karena sesungguhnya semua hal yang bisa mendatangkan riba itu hukumnya
haram dan semua dorongan yang bisa mendatangkan keharaman hukumnya
haram. Abu Dawud dengan sanadnya telah meriwayatkan dari Jabir RA dia
berkata: Ketika turun ayat:
.:٢٧٥Orang-orang yang makan riba mereka tidak bangun dari kubur kecuali seperti
orang yang kesurupan setan dari gila.
٢٢/٥٣(.Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang tidak mau meninggalkan bagi
hasil mukhobaroh maka diberitahukan kepadanya peperangan dari Allah dan
Rasul-Nya.
Mukhobaroh adalah bagi hasil tanaman dengan sebagian apa-apa yang keluar
dari bumi. (Artinya bagi hasil dengan menentukan tempat. Contoh: A berkata:
tanah petak ini panen tidak panen untuk bagian saya sebagai pemilik tanah dan
tanah petak yang itu panen tidak panen untuk bagian kamu sebagai pengelola,
cara inilah yang dilarang pen.).
Al-Muzabanah adalah membeli kurma basah di atas pohon, dengan kurma
kering yang ada di atas bumi (di atas lima wasak pen.).
Al-Muhaqolah adalah membeli biji-bijian yang masih ada di dalam tangkainya di
dalam kebun, dengan biji-bijian kering yang ada di atas bumi.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 18
Sesungguhnya ini semua diharamkan karena tidak diketahui persamaan
antara keduanya sebelum keringnya dan karena inilah para fuqoha’
mengatakan: Tidak mengetahui persamaan itu seperti mengetahui hakikatnya
kelebihan, dan karena inilah mereka mengharamkan segala sesuatu
(berdasarkan apa yang mereka fahami) karena untuk mempersempit jalan-jalan
yang bisa mendatangkan kepada riba, dan semua perantara-perantara yang
bisa menyampaikan kepada riba. Dan bertingkat-tingkat pandangan mereka
(tentang riba) tergantung pemberian Allah kepada masing-masing dari mereka
tentang ilmu tersebut.
Berdasarkan pendapat kebanyakan ahli ilmu, riba adalah bab yang paling
sulit difahami. Shahabat Umar bin Khathab berkata: Tiga hal yang aku senang
Rasulullah SAW memberikan keterangan kepada kami dengan keterangan yang
sungguh-sungguh bisa menyampaikan kami kepadanya (pengertian yang
sebenarnya pen.), yaitu: 1. Bab Jad; 2. Bab Kalalah, 3. Bab Macam-Macamnya
Riba (Tafsir Ibnu Katsir 1/581-582, Tafsir Ath-Thobary 6/38, Tafsir al-Qurthuby
3/364 dan 6/29).
2.1.4. Hikmah diharamkannya riba
Para ahli tafsir menerangkan bahwa keharaman riba itu mempunyai
beberapa hikmah menurut syariat.
1. Sesungguhnya riba itu menghendaki mengambil harta manusia tanpa
adanya imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua
dirham kontan atau pinjaman menghasilkan adanya satu dirham yang tidak
ada imbalannya (tidak ada gantinya), sedangkan harta seorang muslim itu
tergantung dengan kebutuhannya, dan ia memiliki kehormatan yang besar.
Rasulullah SAW bersabda: Kehormatan harta orang islam itu seperti
kehormatan darahnya. H.R. Abu Nuaim fil Hilyah di dalamnya ada isnad
yang dhoif tetapi Ibnu Hajar berkata: Baginya memiliki beberapa saksi yang
saling memperkuat (at-Talhisul Habir 3/46 Cetakan Syirkah ath-Thiba’ah
al-Faniyah).
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 19
Tetapnya harta di dalam tangan seseorang dalam waktu yang lama dan
kemungkinannya dia bisa memperdagangkan dan mengambil manfaat itu
sesuatu yang wahmun (remang-remang) kadang-kadang bisa untung
kadang-kadang bisa tidak untung, sedangkan mengambil satu dirham
sebagai tambahan itu sesuatu yang pasti. Kehilangan suatu kepastian bagi
masa yang remang-remang itu tidak sepi dari Dhoror (al-Mausu’ah 22/54,
Nihayah al-Muhtaj 3/409, Hasyiah al-Jamal 3/46, al-Qolyuby 2/166, Tafsir
al-Qurthuby 3/359).
2. Sesungguhnya riba mencegah manusia dari kesibukan usaha (cenderung
senang menjadi pemalas), karena pemilik uang ketika memungkinkan
dengan perantaraan akad riba bisa menghasilkan uang tambahan secara
kontan maupun pinjaman, usaha ke arah mencari maisyah menjadi remeh
(malas pen.). Bagi orang tersebut, hampir-hampir dia tidak menanggung
keberatan usaha, keberatan berjual beli dan keberatan dalam melakukan
kerajinan tangan (manufaktur). Hal tersebut akan mendatangkan
terputusnya manfaat-manfaat makhluk yang tidak bisa terorganisir kecuali
dengan adanya perdagangan/niaga, beberapa pekerjaan, kerajinan tangan
(manufaktur) dan kegiatan pembangunan-pembangunan gedung dan lain-
lain.
3. Riba akan mendatangkan terputusnya kebaikan-kebaikan di antara manusia
yang berhubungan dengan adanya pinjam meminjam. Sesungguhnya riba
ketika diharamkan, hati seseorang menjadi baik/senang dengan
memberikan pinjaman satu dirham dan kembali satu dirham sepertinya,
dan seandainya riba itu halal maka bisa dipastikan hajat yang dibutuhkan
akan membawanya kepada mengambil satu dirham dengan dua dirham.
Hal ini akan mendatangkan terputusnya saling membantu (di antara
sesama pen.) dan terputusnya kebaikan-kebaikan (lainnya) (Tafsir al-Kabir
lilfakhri ar-Rozi 7/93-94, Tafsir Ghoroib al-Qur’an wa Roghoib al-Furqon lin
Naisabury 3/81 bihamisyi ath-Thobary).
Kesimpulannya: riba telah merusak tatanan kehidupan sosial dan ekonomi
manusia (pen.).
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 20
2.1.5. Macam macam riba
a. Riba Fadl (Jual Beli)
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi
yang sejenis, namun berbeda kadar atau takarannya. Contoh: 20 kg beras
kualitas bagus, ditukar dengan 30 kg beras kualitas menengah.
*
Dari Abu Sa’id, ia berkata: ”Datang Bilal ke Nabi SAW dengan membawa kurma
barni (kurma kualitas bagus) dan beliau bertanya kepadanya: ”Darimana
engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab: ”Saya mempunyai kurma yang
rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ dengan satu sha’ kurma barni
agar kami dapat memberi makan kepada Nabi SAW” Ketika itu Rasulullah SAW
bersabda: ”Hati-hati! Hati-hati! Ini aslinya riba, ini aslinya riba. Jangan kamu
lakukan, bila engkau mau membeli kurma maka juallah terlebih dahulu
kurmamu yang lain untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang
tersebut untuk membeli kurma barni!
Penjelasan:
Barang-barang ribawi itu ada 6 (enam), yaitu: 2 (dua) berupa mata uang
terdiri dari emas dan perak (dan semua yang dikiyaskan kepada keduanya
seperti mata uang rupiah, ringgit, dolar dan lainnya pen.). Dan yang empat
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 21
berupa makanan yaitu kurma, gandum, jawawut/sya’ir sejenis gandum (dan
semua yang dikiaskan kepada ketiganya sebagai makanan pokok, seperti beras
dan jagung pen.) dan garam, berdasarkan dalil:
١٢١١/ ٣(.Dari Abu Sa’id al-Hudriyi RA dari Rasulullah SAW Beliau bersabda: emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut/gandum dengan
jawawut/gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam semisal
dengan semisal, kontan dengan kontan, maka barang siapa yang menambah
atau minta tambahan sungguh dia telah melakukan riba, orang yang
mengambil dan orang yang memberi dalam urusan riba itu sama saja.
b. Riba Nasi’ah
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi
tidak sejenis yang dilakukan secara utangan (tempo), atau terdapat
penambahan nilai transaksi yang diakibatkan oleh perbedaan atau
penangguhan waktu transaksi.
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sesungguhnya riba ada di dalam pinjaman
(nasi’ah)
*
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 22
Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah SAW bersabda: ”Sesungguhnya
riba ada di dalam pinjaman (nasi’ah).” (HR Ibnu Majah, Kitab at-Tijarat)
*
Dari Abi Minhal, ia berkata: Aku bertanya pada Baro’ bin Azib dan Zaid bin
Arqom tentang tukar menukar mata uang, maka masing-masing dari keduanya
berkata: ”Ini lebih baik dariku” dan masing-masing berkata: ”Rasulullah SAW
melarang menjual emas dengan perak secara utang.”
Contoh riba nasi’ah: bunga bulanan atau tahunan di bank konvensional;
mengambil keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang
pengembaliannya ditunda.
c. Riba Qardh
Riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman yang
dipersyaratkan di muka oleh kreditur atau shahibul maal kepada pihak yang
berutang (debitur), yang diambil sebagai keuntungan. Contoh: shahibul maal
memberi pinjaman uang kepada debitur Rp 10 juta dengan syarat debitur wajib
mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp 18 juta pada saat jatuh tempo.
*Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya riba berada pada utang.” Abdillah berkata: yang dimaksud Nabi
yaitu satu dirham (dibayar) dua dirham.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 23
d. Riba Jahiliyah
Riba yang muncul akibat adanya tambahan persyaratan dari kreditur
atau shahibul maal, di mana pihak debitur diharuskan membayar utang yang
lebih dari pokoknya, karena ketidakmampuan atau kelalaiannya (default) dalam
pembayaran saat utang telah jatuh tempo. Contoh: debitur memiliki utang
senilai Rp 10 juta, jatuh tempo 1 Desember 2012. Namun sampai dengan
tanggal tersebut, debitur tidak mampu membayar. Akhirnya pihak kreditur
membuat syarat, jangka waktu pinjaman dapat diperpanjang, tetapi jumlah
utang bertambah menjadi Rp 15 juta.
*
Malik telah bercerita padaku dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Riba pada zaman
jahiliyah yaitu bahwa ada seorang laki-laki, memiliki suatu kewajiban (utang)
pada laki-laki (yang lain) untuk jangka waktu tertentu. Maka ketika telah jatuh
tempo, yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata: Apakah kamu mau
membayar atau memberi tambahan (pembayaran). Maka ketika debitur
membayar, kreditur menerima (pembayaran), dan jika tidak membayar, maka
debitur menambah haknya kreditur, dan kreditur memperpanjang sampai
waktu tertentu.
e. Riba yad
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi
maupun yang bukan ribawi, di mana terdapat perbedaan nilai transaksi bila
penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan di kemudian hari.
Dengan kata lain, pada riba yad terdapat dua persyaratan dalam transaksi
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 24
tersebut yaitu satu barang dapat diperdagangkan dengan dua skema yaitu
kontan dan kredit. Contoh: harga mobil baru jika dibeli tunai seharga Rp 100
juta, harganya Rp 150 juta bila mobil itu dibeli secara kredit dan sampai dengan
keduanya berpisah tidak ada keputusan mengenai salah satu harga yang
ditawarkannya.
*
)
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda: ”Tidak halal pinjaman
dan jual-beli (dalam satu akad), tidak juga dua syarat dalam satu jual-beli, dan
tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu”.
Ada beberapa pengertian berdasarkan hadis tersebut, yaitu:
1) Hadis tersebut memberikan penjelasan bahwa seseorang tidak boleh
bertransaksi dalam satu akad terdapat pinjaman dan jual beli. Contoh: A
bersedia memberikan pinjaman kepada B dengan syarat B harus menjual
sepeda motornya kepada A.
2) Hadis tersebut juga melarang seseorang menentukan dua syarat dalam
satu akad jual beli. Contoh: A menjual motornya kepada B secara tunai
dengan syarat B harus menjual kembali motornya kepada A dengan cara
kredit. Contoh lain: A menjual sepeda motornya, jika dibeli dengan tunai
maka harganya Rp 10 juta, kalau dibeli dengan kredit harganya Rp 15 juta
dan sampai dengan keduanya berpisah tidak ada keputusan pemilihan salah
satu harga yang ditawarkan.
3) Seseorang dilarang menjual barang yang tidak ada pada dirinya. Contoh: A
menjual sepeda motor yang hilang kepada orang lain.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 25
Pada jaman sekarang ini, banyak transaksi yang dilakukan oleh lembaga
keuangan masuk dalam kategori riba. Beberapa contoh transaksi riba yang
dilakukan di berbagai lembaga bisnis dan keuangan saat ini antara lain:
1) Lembaga Keuangan Konvensional.
Lembaga Keuangan (LK) Konvensional beroperasi dengan menggunakan
sistem bunga. Nasabah yang menyimpan uangnya di LK mendapatkan
imbalan berupa bunga sebesar persentase tertentu dari uang yang
disimpan di LK tersebut. Demikian pula nasabah yang meminjam uang ke
LK harus membayar bunga sebesar persentase tertentu dari pinjaman
pokoknya. Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikaji, maka hukum
bertransaksi seperti di atas adalah haram karena mengandung unsur riba.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan
fatwa larangan bunga LK Konvensional pada simpanan berbentuk, giro
(NO: 01/DSN-MUI/IV/2000), tabungan (NO: 02/DSN-MUI/IV/2000), dan
deposito (NO: 03/DSN-MUI/IV/2000).
2) Lembaga Pembiayaan Kendaraan Bermotor Konvensional.
Lembaga keuangan menyediakan dana pembelian kredit sepeda motor.
Harga jual sepeda motor secara tunai sebesar 15 juta rupiah. Apabila
seseorang ingin membeli sepeda motor dengan angsuran selama tiga tahun
maka harganya menjadi 18 juta rupiah, kalau empat tahun 20 juta rupiah
dan kalau lima tahun menjadi 22 juta rupiah. Berdasarkan dalil-dalil yang
telah disampaikan di atas, maka hukumnya bertransaksi seperti itu haram
karena mengandung unsur riba dan jual beli dengan dua harga dalam satu
penjualan. Adanya perbedaan jual beli tunai dan kredit tersebut karena
pada saat jual beli dilakukan secara kredit, pihak lembaga keuangan
mengenakan bunga. Bunga yang ditetapkan akan berbeda-beda tergantung
dari jangka waktu kreditnya. Semakin lama jangka waktu kreditnya, maka
semakin tinggi bunganya. Pembiayaan menggunakan sistem leasing (sewa
beli) hukumnya juga haram karena terdapat dua syarat dalam satu akad
transaksi, yaitu sewa dan jual beli.
3) Obligasi.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 26
Obligasi merupakan salah satu instrumen keuangan berupa surat
pengakuan utang dari satu pihak kepada pihak lain yang membeli surat
obligasi sejumlah nilai tertentu yang tertera dalam obligasi tersebut. Pihak
yang mengeluarkan obligasi memberikan imbalan berupa bunga sebesar
persentase tertentu dari pokok utang yang tertera dalam obligasi tersebut
sampai jangka waktu jatuh tempo. Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan
di atas, maka hukumnya obligasi adalah haram karena mengandung unsur
riba, yaitu adanya tambahan dari pokok modal/utang.
2. 2. Judi (maysir)
2.2.1. Pengertian maysir
Maysir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya
sama, yaitu judi. Ibnu Katsir menyatakan bahwa kata maysir dalam Surah al-
Maaidah: 90, artinya sama dengan qimar (judi) (Tafsir Ibnu Katsir, II/92).
Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahwa
judi adalah setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua
pihak (muraahanah). Menurut al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rifat hal. 179,
telah menyatakan judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan
adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada
pihak yang menang. Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya
Rawa’i’ al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam (I/279), menyebut bahwa judi adalah
setiap permainan yang menimbulkan keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan
kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. Sula dan Mufti (2007) menerangkan,
judi adalah semacam permainan yang bersifat untung-untungan di mana yang
menang akan mendapatkan keuntungan yang diambilkan dari yang kalah
sehingga yang menang beruntung dan yang kalah merugi. Di dalam kamus
ekonomi Islam dijelaskan bahwa judi adalah setiap tindakan atau permainan
yang bersifat untung-untungan (spekulatif) yang dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan materi seperti membawa dampak terjadinya praktek
kepemilikan harta secara bathil. Menurut Ibnu Hajar al-Maky, maysir adalah
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 27
segala bentuk spekulasi. Semua transaksi yang mengandung unsur spekulatif
atau untung-untungan masuk dalam kategori judi sehingga dilarang.
Suatu permainan bisa dikategorikan judi jika tiga unsur terdapat di
dalamnya:
1. adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi;
2. adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan siapa yang
menang dan siapa yang kalah;
3. pihak yang menang mengambil sebagian/seluruh harta yang dijadikan
taruhan dari pihak yang kalah sehingga pihak yang kalah kehilangan
hartanya.
2.2.2. Hukumnya maysir
Maysir atau judi di dalam syariat Islam hukumnya haram, berdasarkan
dalil-dalil berikut ini.
:٩٠Hai orang-orang beriman, sesungguhnya khomer, judi, anshob (berkurban
untuk berhala), dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan setan. Maka menjauhlah kalian pada perbuatan-perbuatan
itu agar kalian beruntung.
…
.Dari Ibnu Abbas … kemudian Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah
mengharamkan kepadaku (keragu-raguan rowi) atau telah diharamkan khomer,
judi, dan gendang.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 28
"Dari Abu Hurairah RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa dari
antara kalian yang bersumpah lantas berkata dalam sumpahnya demi Lata demi
Uzza maka berkatalah laa ilaaha illallah dan barang siapa yang berkata kepada
temannya kemarilah aku akan berjudi denganmu maka bershadaqahlah.
Imam Nawawi berkata (syarhu shahih Muslim 11/118), Para ulama berkata:
Nabi menyuruh shadaqah adalah sebagai kafarah terhadap kesalahannya dalam
mengucapkan ucapan maksiat.
Al-Khattaby berkata: maknanya bershadaqahlah dengan perkiraan apa-apa
yang dia menyuruh berjudi dengannya.
Imam Nawawi berkata: yang benar adalah pendapat para ahli tahqiq sesuai
dengan dhahir haditsnya bahwa Nabi tidak mengkhususkan ukurannya, jadi
bershadaqahlah dengan apa-apa yang dia mudah dengannya hal ini diperkuat
dengan suatu riwayat sabda beliau: bershadaqahlah dengan sesuatu H.R.
Muslim 3/1268 cet. Isa al-Halaby hadits dari Abu Hurairah.
2.2.3. Bentuk-bentuk maysir
Pada jaman sekarang ini bentuk-bentuk perjudian sudah berkembang
demikian pesatnya dan dikemas dengan indah. Contoh-contoh bentuk perjudian
yang dikemas dalam bentuk investasi, permainan dan lainnya adalah berikut ini.
1) Bermain valas
Bermain valas dikategorikan perjudian karena pemilik dana menyerahkan
sejumlah uang tertentu pada agen untuk mendapatkan keuntungan tanpa
adanya proses jual beli valas yang sesungguhnya. Transaksi ini dikemas
dengan nama investasi pada pasar uang. Sesungguhnya tidak ada barang yang
ditransaksikan, semuanya bersifat semu. Pemilik dana tidak menerima valuta
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 29
asing yang dibelinya, agen tidak menyerahkan valas yang diamanatkan untuk
dibeli oleh pemilik dana. Transaksi seperti ini dikategorikan perjudian dan
haram dilakukan.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan
fatwa terkait jual beli mata uang, yaitu NO: 28/DSN-MUI/III/2002. Transaksi
valas yang diijinkan adalah berbentuk transaksi Spot. Transaksi spot yaitu
transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada
saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka
waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan
waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari
(mimmaa laa budda minhu) karena merupakan transaksi internasional. Adapun
transaksi valas yang tidak diperbolehkan berbentuk forward, swap dan option.
Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang
nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang
akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Mekanisme
transaksi forward:
Transaksi forward hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan
adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di
kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu
sama dengan nilai yang disepakati (mengandung gharar dan dharar). Transaksi
Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot
yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 30
dengan harga forward. Transaksi swap hukumnya haram, karena
mengandung unsur maisir (spekulasi). Mekanisme transaksi swap:
Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli
atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan (bisa dilakukan, bisa juga
tidak dilakukan) atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu
atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur
maisir (spekulasi).
2) Bermain Indeks Harga Saham
Berbeda dengan jual beli saham, di mana pemilik dana membeli saham dan
memperoleh sertifikat saham senilai uang yang diserahkannya. Dalam transaksi
ini yang ditransaksikan adalah indeks harga sahamnya dan bukan sahamnya.
Pemilik dana menyerahkan uang tertentu (dikemas dengan nama investasi)
kepada manajer investasi (agen) untuk ditransaksikan dalam indeks harga
saham. Salah satu contoh adalah Indeks Hanseng, merupakan salah satu bursa
saham cukup besar di Hongkong. Manajer investasi akan memberikan informasi
kepada investor (pemilik dana) mengenai perkembangan indeks harga saham
dan memberikan saran untuk membeli atau menjual. Transaksi seperti ini
haram karena mengandung unsur maisir (perjudian). Tidak ada transaksi
barang di dalamnya, yang ada adalah jual beli secara semu. Investor
mempertaruhkan uangnya untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi
(permainan) tersebut tanpa adanya transaksi jual beli secara riil.
3) Bermain Bursa Emas
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 31
Tidak jauh berbeda dengan dua contoh di atas, dalam kegiatan ini emas yang
ditransaksikan bersifat semu. Pemilik dana menyerahkan sejumlah uang
kepada agen (manajer investasi) untuk dimainkan dalam bursa emas. Manajer
investasi akan memberitahukan perkembangan harga emas dunia dan
memberikan saran untuk membeli atau menjual. Emas yang dimaksud di sini
tidak pernah diterima barangnya oleh pemilik dana. Karena bersifat permainan
untuk mengambil keuntungan tanpa adanya transaksi riil, maka hukumnya
haram karena masuk dalam kategori jual beli ’inah atau jual beli yang tidak
terpenuhi syarat rukunnya.
4) Acara-acara permainan di televisi, seperti who want to be millionaire,
superdeal 1 miliar, dan lain-lain.
Mengikuti acara who want to be millionaire dan superdeal 1 miliar adalah
haram karena mengandung unsur perjudian. Pemain setelah mampu menjawab
pertanyaan atau melakukan kegiatan tertentu (dalam acara superdeal)
ditantang untuk mendapatkan hadiah lebih tinggi dengan mempertaruhkan
uang atau hadiah yang telah diberikan sebelumnya. Namun risikonya, hadiah
yang sudah diberikan sebelumnya bisa hilang. Pertaruhan untuk mendapatkan
uang/hadiah lebih tinggi seperti ini hukumnya haram karena mengandung
unsur perjudian.
2. 3. Gharar (Transaksi yang Menimbulkan Ketidakpastian).
2.3.1. Pengertian gharar
Segala bentuk transaksi yang sifatnya tidak jelas (uncertainty) dan
spekulatif sehingga dapat merugikan pihak yang bertransaksi. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan gharar
sebagai transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali bila diatur lain dalam syariah.
Beberapa bentuk traksaksi gharar adalah:
Bai’ ma’dum
Adalah jual beli di mana barangnya tidak ada atau fiktif.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 32
Bai’ ma’juzi at-taslim
Adalah jual beli di mana barangnya tidak bisa untuk diserah-terimakan.
Bai’ majhul
Adalah jual beli di mana kualitas, kuantitas, dan harga barang tidak
diketahui.
Contoh transaksi gharar pada jaman pra dan awal Islam adalah sebagai
berikut:
Mulamasah
Jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sebuah
produk dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang
yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut.
Hashah
Jual beli hashah (kerikil) ialah jual beli di mana pembeli menggunakan kerikil
dalam jual beli. Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang
penjual. Kerikil yang mengenai suatu barang, barangnya harus dibeli dan
ketika itu terjadilah jual beli.
Hablul habalah
Hablul habalah adalah anak dari janin unta yang sedang dikandung
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar
dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).
Seseorang menjual seekor anaknya anak unta yang masih berada dalam
perut induknya (menjual cucunya unta).
Munabadzah
Jual beli secara lempar melempar, sehingga objek barang tidak jelas dan
tidak pasti, apakah barang A, B, C atau lainnya. Seperti seorang berkata:
“Lemparkanlah padaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula
padamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi saling melempar barang,
maka terjadilah jual beli.
Muzabanah
Buah-buahan ketika masih ada di atas pohon yang masih basah dijual
sebagai alat pembayar untuk memperoleh kurma atau anggur kering
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 33
jumlahnya di atas lima wasak. Jual beli ini dilarang karena buah yang di atas
pohon belum bisa dipastikan kualitas dan kuantitasnya. Jadi hanya
berdasarkan perkiraan/taksiran.
Muhaqalah ( )
Menjual biji tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah (belum
siap panen) dengan biji-bijian yang kering (yang siap dimasak).
Mukhadharah (buah yang masih hijau)
Menjual buah-buahan yang belum saatnya untuk dipanen, seperti menjual
buah durian yang masih muda, rambutan yang masih muda/pentil hijau.
Malaaqih
Malaaqih adalah apa yang ada di dalam kandungan unta betina
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar
dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).
Madhamin
Madhamin adalah sperma yang ada di tulang sulbi unta jantan
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar
dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).
Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si penjual membawa
hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan (yang
mungkin dihasilkan) dari hasil perkawinan itu dalam akad jual beli
ditentukan menjadi milik pembeli, seolah-olah sudah pasti bahwa hasil
perkawinan itu menghasilkan anak padahal belum tentu menghasilkan anak
(termasuk ghoror). Perhatikan penjelasan di bawah ini:
Para ahli fikih sepakat menjual sperma pejantan itu tidak diperbolehkan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, dia berkata :
Rasulullah SAW melarang dari (menjual) sperma penjantan. (HR. Bukhary,
Fathul Baary 4/461).
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 34
Dari Abi Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW melarang usaha bekam,
uang hasil penjualan anjing dan melarang penjualan sperma pejantan (HR.
Nasa’i 7/311)
Imam al-Kasany memberikan alasan, bahwa menjual air sperma pejantan
dilarang itu karena ketika melakukan akad, yang diperjualbelikan itu
ma’dum/tidak ada (Badai’usshonai’ 5/139, dan lihat Hasyiah ad-Dusuqy
3/57, al-Khorsyi ‘ala Khalil 5/71, Mughny al-Muhtaj 2/30, Kasyaf al-Qina’i
3/166 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 30/94).
Dari Abu Hurairah: Rosululloh SAW melarang dari jual beli hashah dan jual beli
gharar.
)صحيح:حتقيق(* Dari Abi Hurairoh, ia berkata: ”Rasululloh SAW melarang jual-beli ghoror dan
jual-beli dengan lemparan batu. Imam Tirmidzi berkata: “Di dalam bab ini
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 35
diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abi Said, dan Anas. Abu Isa
berkata, ”hadits Abi Hurairah ini adalah hadits Hasan Shahih, dan para ahli ilmu
mengamalkan hadits ini (mereka membenci pada jual beli gharar). Imam as-
Syafi’i berkata, ”Termasuk ba’i gharar yaitu menjual ikan di dalam air, menjual
budak yang lari dari tuannya, menjual burung yang terbang di angkasa, dan
jual beli lainnya yang sejenis itu. Adapun makna ba’i al-hashoti yaitu seorang
penjual berkata kepada pembeli: ketika aku melempar kepadamu dengan kerikil
maka telah sah jual beli antara aku dan kamu. Dan ini menyerupai ba’i
munabadzah, dan jual beli ini termasuk jual beli orang jahiliyah”.
Pada saat ini banyak kegiatan bisnis dan keuangan yang mengandung
unsur gharar yang hukumnya haram. Berikut ini beberapa contoh bisnis dan
keuangan yang mengandung unsur gharar.
1) Bermain Bursa Valas
Di dalam bermain bursa valas, ada transaksi yang tidak diketahui secara jelas
kuantitas dan kualitas barangnya. Transaksi dilakukan secara semu tidak betul-
betul adanya pertukaran mata uang. Hukumnya haram karena mengandung
unsur gharar.
2) Bermain Bursa indeks harga saham
Di dalam bermain bursa indeks harga saham, transaksi yang dilakukan juga
bersifat semu. Barangnya tidak dapat diserahterimakan karena berupa indeks
harga saham dan bukan lembar sertifikat saham. Hukumnya haram karena
mengandung unsur gharar.
3) Bursa emas
Dalam transaksi di bursa emas, ada kegiatan di mana transaksi yang dilakukan
secara semu. Emas yang diperjualbelikan barangnya bersifat semu, tidak riil,
tidak diserahterimakan. Transaksi seperti ini hukumnya haram karena
mengandung unsur gharar.
4) Asuransi konvensional
Asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung unsur gharar.
Barang yang diperjualbelikan tidak jelas kuantitas dan kualitasnya karena
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 36
memperjualbelikan risiko. Risiko meninggal dunia, risiko cacat, risiko sakit yang
tidak jelas kuantitas dan kualitasnya, sehingga mengandung unsur gharar.
2.4. Dharar (kerusakan, kerugian, penganiayaan)
2.4.1. Pengertian dharar
Dharar adalah transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian,
ataupun ada unsur penganiayaan, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya
pemindahan hak kepemilikan secara bathil.
)صحيح:حتقيق(* .Dari Ubadah bin Shomit, sesungguhnya Rasululloh SAW menghukumi bahwa
tidak boleh seseorang merusak (diri, harta, kehormatan) orang lain dan tidak
boleh membalas pengrusakan dengan pengrusakan.
Pada saat ini ada beberapa transaksi yang mengandung unsur dharar.
Berikut ini merupakan beberapa contoh di antaranya yang mengandung unsur
dharar.
1. Asuransi Konvensional
Dalam asuransi konvensional, peserta asuransi membayar premi sejumlah
tertentu. Ada asuransi konvensional yang mensyaratkan apabila peserta tidak
dapat membayar premi lagi sebelum masa perjanjian keikutsertaan asuransi
habis, maka preminya hangus, tidak dikembalikan pada peserta. Ini adalah
perbuatan dharar, penganiayaan pada orang lain. Ada pula peserta yang baru
ikut beberapa bulan, kemudian karena mengalami musibah mengajukan klaim.
Klaim yang diterima sangat besar, jauh lebih besar dari uang premi yang baru
disetor beberapa bulan. Ini juga dharar karena baru membayar uang sedikit
dapat uang yang jauh lebih banyak. Jika terjadi kasus begitu banyaknya
peserta yang mengajukan klaim, bisa terjadi perusahaan asuransi bangkrut
karena melebihi kemampuan keuangan/aset yang mereka miliki untuk
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 37
membayar klaim tersebut. Asuransi konvensional dengan demikian hukumnya
haram karena ada unsur dharar dan gharar.
2. Predatory Pricing (Pemangsa Harga)
Perusahaan yang memiliki sebuah hypermarket menetapkan harga barang-
barangnya di bawah harga pasar. Beberapa jenis barang bahkan dijual merugi
untuk menarik pembeli ke hypermarket-nya. Tindakan ini dinamakan predatory
pricing. Hukumnya haram karena akibat tindakannya tersebut menghancurkan
pasar peritel lainnya yang kalah modal. Hypermarket tersebut telah melakukan
perbuatan dharar terhadap peritel kecil. Sengaja melakukan perbuatan
tersebut untuk menghancurkan pesaing dan menguasai pasar.
2.5. Maksiat
Transaksi maksiat adalah bentuk transaksi yang terkait dengan usaha-
usaha yang secara langsung ataupun tidak langsung melanggar (menentang)
hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Contoh: membuat pabrik minuman keras,
membuat pabrik obat terlarang, membuat tempat pelacuran, membuat tempat
perjudian, perdukunan/paranormal.
Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan
menggunakannya untuk berbuat maksiat juga diharamkan, seperti: menjual
anggur kepada pabrik minuman keras dan menjual senjata kepada perampok.
Begitu juga akad sewa, seumpama; menyewakan rumahnya untuk tempat
pelacuran, menyewakan gedung kepada bank konvensional dan lain-lain.
٢....dan jangan tolong menolong kalian atas perbuatan dosa dan permusuhan,
dan takutlah kalian pada Allah sesungguhnya Allah berat siksanya.
*
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 38
Dari Abi Mas’ud, sesungguhnya Rasululloh SAW melarang uang hasil penjualan
anjing, uang hasil pelacur, dan ongkos paranormal.”
2.6. Barang haram (suht)
Barang haram adalah barang-barang yang diharamkan dzatnya untuk
dikonsumsi, diproduksi, dan diperdagangkan menurut nash yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Contoh: minuman keras, narkoba, babi, darah,
bangkai, patung, binatang buas yang bertaring dan burung yang memiliki cakar
kuku yang kuat.
.
١٧٣Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak dalam
keadaan durhaka dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
.
Setiap (barang) yang memabukkan adalah haram.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 39
Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya ia mendengar Rasululoh SAW bersabda di
Makkah saat Fathu Makkah: ”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual-
beli arak, bangkai, babi, dan patung”. Maka ditanyakan: ”Ya Rasululoh,
bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena sesungguhnya ia
dibalurkan ke perahu, meminyaki kulit, dan manusia-manusia menggunakan
sebagai penerangan.” Maka Nabi bersada: ”Tidak boleh, itu haram”.
»«
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Nabi bersabda: “tiap-tiap binatang buas yang
bertaring maka memakannya haram”.
»سلم»
Dari Ibnu Abas dia berkata: Rasulullah SAW melarang (mengharamkan) dari
tiap-tiap binatang buas yang bertaring dan tiap-tiap burung yang mempunyai
cakar kuku yang kuat.
2.7. Risywah (suap)
2.7.1. Pengertian risywah
Risywah secara bahasa artinya al-ju’lu/upah dan apa-apa yang diberikan
untuk mendatangkan kemaslahatan...(lisan al-’arab dan al-mu’jamu al-wasith).
Al-Fayyumy berkata: risywah adalah apa-apa yang diberikan oleh seseorang
kepada Hakim atau lainnya agar dia menghukumi baik untuknya atau Hakim
membawanya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh si pemberi suap (Al-
Mishbah al-Munir).
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 40
Menurut istilah, risywah adalah apa-apa yang diberikan untuk membatalkan
barang yang benar dan membenarkan barang yang batal (salah) (taju al-’arus,
al-mu’jam al-wasith, hasyiatu al-thahthawy ’ala al-dur 3/177 ).
2.7.2. Hukum risywah (suap)
Risywah (suap) dalam urusan hukum dan risywah yang harus
dipertanggungjawaban dari suatu perbuatan, hukumnya haram tanpa adanya
perbedaan pendapat dan termasuk dosa besar. Allah ta’ala berfirman:
:٤٢(mereka banyak mendengar untuk berdusta, mereka memakan barang haram
(suap).
Hasan dan Sa’id bin jubair berkata: yaitu risywah.
Dan Allah berfirman :
):١٨٨ . (Dan janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang batal
dan kalian membawa dengannya kepada para hakim agar kalian memakan
sebagian harta manusia dengan berdosa padahal kalian mengetahui.
»«
Dari Abu Hurairah dia berkata Rasulullah SAW melaknat pemberi dan penerima
suap dalam urusan hukum.
Transaksi-Transaksi yang Haram
Bab II - 41
٦١٤/ ٣حسن صحيح "
Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap
dan dalam satu riwayat ada tambahan lafadz al-raaisy (memberi bantuan dan
melancarkan suap menyuap) (H.R.Tirmidzi 3/614 cet) al-Halaby dia berkata:
Hadits Hasan shahih.
Ahmad meriwayatkan dalam juz 5/279 cet, al-Maimaniyah dari haditsnya
Tsauban dan di dalamnya ada tambahan “warraaisy” (al-Mausu’ah 22/221).
Haram mencari suap dan memberikannya dan menerimanya seperti halnya
haram pekerjaan menjadi perantara antara orang yang menyuap dan orang
yang menerima suap (al-Mughny 9/78, Kasysyaf al-qina’ 6/316, al-zawajir
2/188, al-kabair li Dzdzahaby 142, nihayah al-muhtaj 8/243, nail al-authar
8/277, ibnu Abidin 4/303, Mawahibu al-jalil 6/120, al-Muhalla 9/131,157).
Hanya saja boleh bagi seseorang memberikan suap untuk menghasilkan
kebenaran atau untuk menolak penganiayaan atau bahaya, adapun dosanya
adalah bagi yang menerima suap bukan orang yang menyuap, begitulah
menurut pendapat Jumhur Ulama (Kasysyaf al-qina’ 6/316, nihayah al-muhtaj
8/234, al-Qurtuby 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Khithab 6/121, al-Muhalla
9/157, Mathalib uli al-nuha 6/479). Abu al-Laits al-Samarqandy berkata: Tidak
apa-apa seseorang memberikan suap dari dirinya dan hartanya (al-Qurtuby
6/183)…dan dari Atha’ dan Hasan: Tidak apa-apa seseorang melakukan suap
dari dirinya dan hartanya jika takut adanya penganiayaan (Kasysyaf al-Qina’
6/316).
Akad Produk Simpanan
Bab III - 42
BAB III
AKAD PRODUK SIMPANAN
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai kaidah fikih muamalah dan
tujuh transaksi yang diharamkan. Pada Bab III ini akan dibahas mengenai
berbagai macam akad yang biasa digunakan dalam produk simpanan lembaga
keuangan syariah (LKS).
Akad secara bahasa berarti ikatan ( ), atau perikatan, perjanjian, dan
permufakatan ( ) dan dalam ilmu fikih disebut:
لPertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek (yang
diikatkan).
Ketika menyusun suatu akad, harus diperhatikan rukun dan syarat akad.
Rukun ialah sesuatu (kewajiban) yang tidak boleh tidak harus ada di dalam suatu
akad dan jika tidak ada salah satunya, maka transaksi menjadi batal. Rukun akad
menurut para ulama terdiri dari: 1) pihak yang berakad; 2) obyek akad; 3)
tujuan pokok akad; dan 4) kesepakatan. Syarat adalah sesuatu yang
menimbulkan adanya hukum, tidak adanya syarat menimbulkan tidak adanya
hukum. Contoh syarat pihak yang berakad: cakap hukum dan tidak dalam
keadaan dipaksa.
Sesuai dengan tujuannya, akad dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba (tidak mencari keuntungan). Akad
tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk
Akad Produk Simpanan
Bab III - 43
memperoleh keuntungan. Menurut kaidah fikih tentang akad, akad tabarru’ tidak
boleh dirubah menjadi akad tijarah. Maksudnya, setiap transaksi yang asalnya
bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya
akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari
transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Contoh: A memberikan pinjaman
murni kepada B sebanyak satu juta rupiah dengan perjanjian B mengembalikan
satu juta rupiah tanpa adanya tujuan mencari keuntungan sama sekali. Setelah
terjadi transaksi, selang beberapa hari kemudian A berkata pada B: “berhubung
saya sudah membantu memberikan pinjaman kepada kamu maka tolonglah saya
diberi tanda syukur berupa kamu bekerja di tempat saya selama tiga hari tanpa
dibayar”. Demikian ini contoh akad tabarru’ dirubah menjadi akad tijarah,
hukumnya haram.
Kaidah fikih mengatakan:
Artinya: setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang
berpiutang, muqtaridh) maka ia adalah riba. Hal ini juga melanggar prinsip ayat:
*279Kamu tidak boleh mendhalimi dan tidak boleh didhalimi.
Dengan adanya A memperkerjakan B selama tiga hari tanpa dibayar,
dikaitkan dengan piutang A yang ada pada B maka berarti A telah melakukan
kedhaliman kepada B, dan B didhalimi oleh A karena diperas tenaganya secara
paksa tanpa dibayar.
Sebaliknya, akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Dalam
setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian
setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/
memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad
tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan.
Contoh: A menjual jam tangan kepada B seharga Rp 2.500.000 dicicil selama
Akad Produk Simpanan
Bab III - 44
tiga bulan. Dari jual beli ini, A mengambil keuntungan Rp 500.000 setelah satu
minggu A mentransaksikan kepada B dengan akat tijarah, tiba-tiba A merubah
akadnya menjadi akad tabarru’, yaitu dengan cara A berkata kepada B: “B saya
tidak jadi menjual jam tangan itu kepadamu, tetapi saya shadaqahkan saja
kepadamu supaya kamu tidak mempunyai tanggungan membayar kepada saya”.
Maka hal ini hukumnya boleh.
Secara umum, di dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik berbentuk
bank syariah maupun Baitul Maal wat Tamwil (BMT), mereka memiliki dua
produk yaitu produk simpanan dan produk pembiayaan. Secara umum ada tiga
produk simpanan yang dikelola oleh bank syariah, yaitu produk tabungan,
deposito, dan giro. Pada bab berikut akan dibahas mengenai akad-akad yang
digunakan dalam produk simpanan.
3.1. Tabungan
Salah satu fungsi LKS adalah menghimpun dana dari masyarakat antara
lain melalui produk berupa tabungan. Perjanjian untuk produk tabungan dapat
menggunakan akad wadi’ah atau akad mudharabah.
3.1.1. Wadi’ah
Wadi’ah (titipan) adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penitip menghendaki. Wadi’ah adalah akad antar pemilik barang/modal
(mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) atau
kerugian dan untuk keamanan harta.
Rukun wadi’ah:
1. pihak yang berakad, yaitu penitip (muwaddi’) dan yang menerima titipan
(wadi’);
2. obyek yang diakadkan, yaitu barang yang dititipkan (wadi’ah/ida’);
3. ijab (serah);
4. qabul (terima).
Syarat wadi’ah:
Akad Produk Simpanan
Bab III - 45
1. pihak yang berakad: cakap hukum, sukarela (ridho), tidak dalam keadaan
dipaksa/terpaksa di bawah tekanan;
2. obyek yang diakadkan: merupakan milik mutlak bagi penitip (muwaddi’);
3. sighot: apa yang dititipkan harus jelas dan tidak mengandung persyaratan-
persyaratan lain.
Sifat wadi’ah:
1. pihak yang berakad: para pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini
setiap saat, karena wadi’ah termasuk akad ghairu lazim;
2. terdapat unsur permintaan tolong dari penitip (muwaddi’) dan pemberian
pertolongan adalah hak dari penerima titipan (wadi’), kalau penerima titipan
tidak mau, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menjaga titipan;
3. apabila penerima titipan mengharuskan adanya pembayaran berupa upah
atau biaya administrasi maka akad wadi’ah berubah menjadi akad ijarah
(sewa) yang mengandung unsur lazim.
Penjelasan:
Penerima simpanan tangan amanah = yad al-amanah
Penerima simpanan tangan penanggung = yad adh-dhamanah
Penitip = muwaddi’
Pemilik barang = mudi’
Penerima titipan = wadi’/mustauda’
Penyimpan = mustaudi’ /wadi’
Harta/modal = ida’
Jadi wadi’ah itu ada dua macam:
1. Wadi’ah yad al-amanah
2. Wadi’ah yad adh-dhamanah
1. Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad al-amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan
(custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya dia tidak diharuskan
mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset
titipan (karena akadnya adalah titipan murni), kecuali bila hal itu terjadi karena
Akad Produk Simpanan
Bab III - 46
akibat kelalaian atau kecerobohan dari penerima titipan. Barang/obyek titipan
tidak boleh diubah atau diganti dengan jenis yang sama oleh pihak yang
menerima titipan (karena akadnya adalah titipan murni), titipan tersebut akan
diambil kembali oleh penitip sebagaimana kondisi, bentuk dan kriteria semula
pada saat dititipkan. Penerima titipan berhak mendapatkan upah (ujrah) di
dalam akad wadi’ah yad al-amanah karena telah menjaga, memelihara dan
mengamankan barang titipan tersebut sampai diambil kembali oleh pihak penitip.
Contoh dalam dunia perbankan: safe deposit box (kotak penyimpanan
barang/uang). Bank menerima fee (upah) karena menjaga keamanan barang
yang dimasukkan dalam kotak tersebut.
2.Wadiah yad al-dhamanah
Wadi’ah yad al-dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan
adalah penerima kepercayaan yang sekaligus sebagai penjamin (guarantor)
keamanan aset yang dititipkan. Penerima titipan memperoleh izin dari pemilik
aset titipan/barang/harta untuk menggunakannya dalam perniagaan
/perdagangan selama aset tersebut berada ditangannya serta berhak atas
pendapatan/keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut.
Penitip/penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk sewaktu-waktu
menarik kembali sebagian atau seluruh asetnya dan semua keuntungan yang
dihasilkan dari pengelolaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah
menjadi hak penerima titipan. Penerima titipan boleh memberikan bonus kepada
pemilik aset atas kehendaknya sendiri tanpa diikat oleh perjanjian. Dalam dunia
perbankan wadi’ah yad adh-dhamanah digunakan dalam bentuk:
- current account (berbentuk giro);
- saving account (tabungan dan deposito).
Catatan: Di beberapa Negara seperti Iran, produk giro berdasarkan prinsip Qord
al-Hasan; di Malaysia saving account tidak berdasarkan prinsip wadi’ah
melainkan berdasarkan prinsip mudharabah.
Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit
mengenai akad wadi’ah adalah berikut ini.
Akad Produk Simpanan
Bab III - 47
58هللاSesungguhnya Alloh memerintahkan kepada kalian untuk mendatangkan
(melaksanakan) pada amanat kepada ahlinya (yang memberikan amanah).
)صحيح:حتقيق(Datangkanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas
khianat pada orang yang berkhianat padamu.
حتقيق(*)حسن:
Dari Amr bin Su’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, bersabda
Rasululah SAW: ”Barangsiapa yang dititipi barang titipan, maka dia tidak ada
kewajiban menanggung ganti rugi atasnya.”
»«حسن
Dari ‘Aisyah RA, dia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: (Hak mendapatkan)
upah/keuntungan itu karena menjamin atau menanggung.
Mekanisme penggunaan akad wadi’ah dalam produk simpanan di bank
syariah dapat diuraikan berikut ini.
Akad Produk Simpanan
Bab III - 48
1. Penabung menyimpan uangnyanya di bank syariah dengan akad wadi’ah yad
adh-dhomanah.
2. Bank menyalurkan uang yang dihimpun dari para penabung dengan prinsip
syariah kepada pengguna dana (pembiayaan syariah).
3. Bank memperoleh bagi hasil, bagian keuntungan atau jasa sesuai dengan
akad pembiayaan antara bank dengan pengguna dana.
4. Hasil yang diterima bank dari produk pembiayaan sebagian digunakan untuk
memberikan bonus kepada para penabung.
Gambar 3.1. Mekanisme Penyimpanan Dana dengan Akad Wadi’ah
Ada beberapa ketentuan yang terkait dengan tabungan yang menggunakan akad
wadiah.
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call ) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
3.1.2. Mudharabah
Dalam penyimpanan uang, bisa juga digunakan akad mudharabah. Al-
Mudharabah/trust financing/trust investment/trust profit sharing:
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), dan pihak lainya
adalah sebagai pengusaha/pengelola (mudharib);
Akad Produk Simpanan
Bab III - 49
keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
akad;
apabila terjadi kerugian akibat kelalaian dan kecerobohan mudharib maka
kerugian ditanggung oleh mudharib;
apabila terjadi kerugian bukan karena kelalaian dan kecerobohan mudharib
seperti kerugian akibat bencana alam, kerusuhan dan faktor eksternal
lainnya di luar kemampuan mudharib, maka kerugian ditanggung oleh
shahibul maal.
Rukun Mudharabah:
1. Pihak yang berakad
- Pemilik modal (shahibul maal)
- Pengelola dana (mudharib)
2. Obyek yang diakadkan
- Modal (maal)
- Kerja
- Keuntungan (ribh)
3. Akad
- Serah (sighat)
- Terima (qabul)
Syarat Mudharabah:
1. Pihak yang berakad.
- Shahibul maal dan mudharib, cakap hukum/kedua-duanya harus memiliki
kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan.
2. Obyek yang diakadkan adalah modal, kerja dan nisbah.
- Modal yang disetorkan kepada mudharib, harus jelas jumlah dan mata
uangnya.
- Jangka waktu pengelolaan modal.
- Jenis pekerjaan yang di mudharabah-kan
- Proporsi pembagian keuntungan (nisbah).
Akad Sighot (bentuk) Mudharabah:
Akad Produk Simpanan
Bab III - 50
- Harus jelas dan disebutkan secara spesifik, dengan siapa berakad.
- Antara ijab-qabul harus selaras, baik dalam modal, kerja dan penentuan
nisbah.
- Tidak mengandung ketentuan yang bersifat menggantungkan keabsahan
transaksi pada hal/kejadian yang akan datang.
Mudharabah ada dua macam yaitu:
1. Mudharabah mutlaqah
2. Mudharabah muqayyadah
Mudharabah mutlaqah adalah kontrak mudharabah yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh ketentuan khusus (tidak memiliki ikatan
tertentu) sepanjang sesuai dengan syariah. Ada ungkapan tentang hal ini ”if’al
ma syi’ta“ (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal kepada mudharib .
Mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah/specified mudharabah)
adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah. Mudharib dibatasi dengan
ketentuan-ketentuan khusus seperti jenis usaha, waktu, tempat usaha, dan
seterusnya (adalah kontrak mudharabah yang memiliki ikatan tertentu).
Gambar 3.2. Mekanisme Penyimpanan Dana dengan Akad Mudharabah
Akad Produk Simpanan
Bab III - 51
Mudharabah aplikasi dari perbankan/LKS:
- Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan &
pendanaan.
- Pada sisi penghimpunan dana, biasanya diterapkan pada tabungan
berjangka (untuk tujuan khusus seperti: tabungan haji, tabungan kurban,
dll), deposito biasa.
- Special investment di mana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk
bisnis tertentu saja, misal: murabahah saja, ijarah saja.
Dalam transaksi tabungan mudharabah ini nasabah bertindak sebagai
pemilik dana (shahibul maal) dan LKS/perbankan syariah bertindak sebagai
pengelola dana (mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
LKS/perbangkan syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Dana yang disetor
sebagai modal melalui tabungan mudharabah harus dinyatakan jumlahnya
dalam bentuk tunai.
Nasabah wajib memelihara saldo tabungan minimum yang ditetapkan
oleh LKS dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Bagi hasil mudharabah dapat
dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit sharing)
atau bagi pendapatan (revenue sharing). Metode bagi laba (profit sharing)
dihitung dari total pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya operasional.
Metode bagi pendapatan (revenue sharing) dihitung dari total pendapatan
mudharabah yang diterima oleh LKS.
Pemberian bagi hasil untuk nasabah didasarkan pada saldo rata-rata
dalam satu bulan laporan. Lembaga Keuangan Syariah sebagai mudharib
menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan
yang menjadi haknya. Biaya operasional tabungan yang menjadi beban LKS
sebagai mudharib adalah biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan operasi
Akad Produk Simpanan
Bab III - 52
pengelolaan dana kecuali biaya administrasi. Contoh biaya administrasi antara
lain biaya penggantian buku, biaya cetak laporan, biaya cetak rekening, dan
biaya materai. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan mengurangi
nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.
Dalil-dalil yang berkaitan dengan mudharabah:
Dari ‘Ala bin Abdurrohman dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Utsman
bin Affan menyerahkan hartanya sebagai modal, di mana kakeknya ‘Ala (Ya’qub)
bekerja mengelola harta, dan bahwa untungnya dibagi dua diantara mereka.
» ،. حكم
Tiga hal di dalamnya ada kebarokahan, jual beli sistim jatuh tempo, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan syair untuk di rumah bukan
untuk dijual.
Adalah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya
sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah/jurang, serta tidak membeli
Akad Produk Simpanan
Bab III - 53
hewan ternak. Jika persyaratannya dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
risikonya. Maka sampai persyaratan itu kepada Rasululah SAW, dan beliau
memperbolehkannya.
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar mereka
berkata perdagangkanlah harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat,
maka para shahabat melakukan kerjasama mudharabah dengan harta bendanya
anak yatim dan sungguh-sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa
beliau bersabda: Gunakanlah untuk usaha harta anak yatim supaya tidak
dimakan oleh zakat dan dia bersabda: supaya tidak dihilangkan oleh zakat
(hadits ini kedudukannya mursal).
--
Akad Produk Simpanan
Bab III - 54
-
Dan Amr bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:
Rasulullah SAW berkhutbah dan bersabda: ketahuilah barang siapa yang
meramut harta anak yatim hendaknya diperdagangkan dan jangan sampai
dibiarkan lantas dimakan oleh zakat. Atsar shahabat yang saya sebutkan dan
yang semisalnya menunjukkan atas bolehnya kerjasama mudharabah dalam hal
yang telah kami sebutkan dari ijma’ para ulama’ dan kesepakatan para fuqaha’ /
imam-imam ahli fatwa atas bolehnya kerjasama mudharabah sebagai hujjah
yang cukup memuaskan insya Allah dan berdasarkan taufiq dari Allah.
Imam Malik menceritakan dalam kitab Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari
bapaknya, bahwa Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Khattab keluar mengikuti
peperangan di Irak. Ketika mereka berdua pulang dari peperangan melewati
Basroh bertemu dengan Abu Musa al-Asy’ari sebagai amir Basroh, maka
keduanya disambut dengan ucapan selamat datang dan dipermudah urusannya,
kemudian Abu Musa al-Asy’ari berkata: seandainya aku mampu memberi kalian
berdua sesuatu yang bermanfaat niscaya aku lakukan. Kemudian dia berkata “o
ya, disini ada harta sabilillah, aku hendak mengirimkannya kepada amirul
mu’minin, maka aku pinjamkan dulu harta itu kepada kamu berdua, lantas
gunakanlah untuk membeli dagangan dari Irak, kemudian juallah dagangan
tersebut di Madinah, kemudian pokok modalnya berikan pada Amirul Mu’minin
dan keuntungannya untuk kamu berdua”. Keduanya berkata, “Aku senang
tentang tawaranmu itu”. Lantas Abu Musa al-Asy’ari melakukannya dan menulis
surat kepada khalifah Umar bin Khattab agar mengambil harta sabilillah yang dia
kirimkan melalui kedua anaknya. Ketika keduanya sampai di Madinah maka
dijuallah dagangannya dan mereka berdua memperoleh keuntungan.
Akad Produk Simpanan
Bab III - 55
Ketika pokok modal diberikan kepada khalifah Umar, maka beliau
bertanya, “apakah semua tentara dipinjami seperti dia meminjami kamu
berdua?”. Keduanya menjawab “Tidak”. Khalifah Umar bin Khattab berkata:
“karena kamu berdua anak dari Amirul Mu’minin maka dia memberikan
pinjaman”. Berikanlah pokok modal bersama semua keuntungannya kepadaku!
Adapun Abdullah maka dia diam saja tetapi Ubaidillah berkata “Wahai amirul
Mu’minin tidak seyogyanya kamu berbuat begitu, seandainya harta ini berkurang
atau rusak, niscaya kami berdua menanggung untuk menggantikannya”. Khalifah
Umar berkata, “Berikanlah semua kepadaku”, maka Abdullah diam dan Ubaidillah
mengulangi perkataannya lagi, lantas seseorang dari teman duduk Khalifah Umar
berkata, “Wahai Umar, alangkah baiknya seandainya kamu jadikan masalah ini
sebagai kerjasama Mudharabah! Khalifah Umar berkata “Sungguh aku telah
menjadikannya kerjasama mudharabah”. Maka Umar mengambil pokok modal
dan setengah dari keuntungan, dan Abdullah serta Ubaidillah bin Umar bin
Khattab juga mengambil setengah dari keuntungan.
Contoh akad tabungan mudharabah dalam perbankan:
Tabungan Bank Syariah ABC: akad yang digunakan adalah mudharabah
muthlaqah. Setoran awal Rp 80.000 (perseorangan) dan Rp 1.000.000 (non
perseorangan). Porsi nisbah nasabah 34% dan porsi nisbah bank 66%. Contoh
simulasi: jika saldo nasabah bulan Juni Rp 100.000.000; saldo rata-rata seluruh
nasabah BSM Rp 40.000.000.000; pendapatan bank yang dibagi hasilkan untuk
nasabah tabungan Rp 1.000.000.000; jumlah hari penempatan 30 hari.
Maka bagi hasil yang diperoleh nasabah sebelum dipotong pajak:
Bagi hasil yang diterima nasabah =
[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata
saldo total nasabah bank)] / 12
= [34% x Rp 1.000.000.000 x (Rp 100.000.000 / Rp 40.000.000.000)] / 12
= Rp 70.833.
Akad Produk Simpanan
Bab III - 56
3.2.Deposito Mudharabah
Salah satu fungsi LKS adalah menghimpun dana dari masyarakat antara
lain melalui produk LKS berupa deposito mudharabah. Nasabah bertindak
sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan LKS bertindak sebagai pengelola dana
(mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, LKS dapat melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan akad mudharabah
dengan pihak lain. Dana yang disetor sebagai modal melalui deposito
mudharabah harus dinyatakan jumlahnya dalam bentuk tunai. Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing).
Metode bagi laba (profit sharing) dihitung dari total pendapatan setelah
dikurangi seluruh biaya operasional. Metode bagi pendapatan (revenue sharing)
dihitung dari total pendapatan mudharabah yang diterima oleh LKS.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam akad deposito
mudharabah:
1. dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)
dan LKS bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);
2. dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain;
3. modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan
piutang;
4. pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening;
5. Lembaga Keuangan Syariah sebagai mudharib menutup biaya operasional
deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
Akad Produk Simpanan
Bab III - 57
6. biaya operasional deposito yang menjadi beban LKS sebagai mudharib
adalah biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan operasi pengelolaan dana
kecuali biaya administrasi, contoh biaya administrasi untuk deposito antara
lain biaya materai. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah;
7. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Contoh:
Deposito Bank Syariah Mandiri: akad yang digunakan adalah mudharabah
muthlaqah. Porsi nisbah nasabah 51% dan porsi nisbah bank 49%.
Bagi hasil yang diterima nasabah =
[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata
saldo total nasabah bank)] / 12
Contoh simulasi: jika saldo nasabah bulan Juni Rp 300.000.000; saldo rata-rata
seluruh nasabah BSM Rp 50.000.000.000; pendapatan bank yang dibagi hasilkan
untuk nasabah tabungan Rp 2.000.000.000; jumlah hari penempatan 30 hari;
maka bagi hasil yang diperoleh nasabah sebelum dipotong pajak:
Bagi hasil yang diterima nasabah =
[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata
saldo total nasabah bank)] / 12
=[51% x Rp 2.000.000.000 x (Rp 300.000.000 / Rp 50.000.000.000)] / 12
= Rp 510.000.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 58
BAB IV
AKAD PRODUK PEMBIAYAAN
Ada empat prinsip yang biasa digunakan dalam pembiayaan di LKS, yaitu:
prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa/upah, dan prinsip utang piutang.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam akad yang digunakan dalam produk
pembiayaan dengan empat prinsip tersebut.
4.1. Prinsip Bagi Hasil
4.1.1.Musyarakah
4.1.1.1. Pengertian
Syirkah dalam arti bahasa adalah: “Bercampur yakni bercampurnya salah
satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara
keduanya.1 Pengertian syirkah dengan ikhtilath (percampuran) banyak ditemukan
dalam literatur fiqh mazhab empat. Syirkah diartikan ikhtilath karena di dalamnya
terjadi percampuran harta antara beberapa orang yang berserikat, dan harta
tersebut kemudian menjadi satu kesatuan modal bersama.
Adapun musyarakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran.
Syirkah adalah pembiayaan berdasar akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang
disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi
modal yang disertakan dalam usaha (Sholihin, 2010).
4.1.1.2.Dasar Hukum
Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an dan al-
Hadits. Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara
1 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islaamiy wa Adilatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 792.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 59
implisit syirkah tersebut di bawah ini.
…24Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu niscaya berbuat
aniaya sebagian mereka kepada sebagian, kecuali orang-orang beriman dan
mengerjakan kebaikan, dan mereka itu sedikit.
:حتقيق(
)ضعيفDari Abu Hurairah, bersabda Nabi SAW: ”Sesungguhnya Alloh berfirman: ”Aku
adalah yang ketiga dari dua orang yang bersyirkah, selama tidak mengkhianati
salah satu dari keduanya pada saudaranya. Maka ketika ia mengkhianati pada
saudaranya, maka Aku keluar dari syirkah mereka berdua.”
ضعيف):Dari Abdullah bin Mas’ud RA ia berkata: “Saya bersyirkah dengan ‘Ammar dan
Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 60
dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang
dengan tidak membawa apa-apa”.
4.1.1.3.Macam-Macam Syirkah
Adapun jenis-jenis al-musyarakah ada dua, yaitu musyarakah kepemilikan
(amlak) dan musyarakah akad (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan satu aset oleh
dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih
berbagi dalam sebuah aset riil dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan
aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau
lebih setuju bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah
dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Jenis-jenis musyarakah akad
adalah berikut ini.
4.1.1.3.1.Syirkah ‘Anan
Adalah kontrak antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak
memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi yang dibutuhkan dan
ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya. Kedua pihak berbagi pula dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati di antara mereka.
Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana investasi maupun kerja
atau bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor
modal Rp 2 juta dan B setor modal Rp 3 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola
warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A
40 persen dan B 60 persen.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 61
4.1.1.3.2.Syirkah Mufawadhah
Adalah kontrak/kerjasama antara dua orang atau lebih di mana masing-
masing pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
sama rata. Dengan demikian, syarat utama dari jenis ini adalah kesamaan jumlah
dana investasi yang diberikan, kerja, tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak.
Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor
modal Rp 2,5 juta dan B setor modal Rp 2,5 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola
warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A
50 persen dan B 50 persen.
Perbedaan dengan syirkah ‘anan selain terkait dengan porsi modal adalah dalam
syirkah mufawadhah masing-masing memberikan hak perwakilan pada temannya
untuk mewakili dia. A bekerja sebagai mewakili B dan B bekerja sebagai mewakili
A. Jika salah satu atau kedua-duanya meninggal dunia, maka bisa dilimpahkan
pada ahli warisnya.
4.1.1.3.3.Syirkah Abdan (A’mal)
Adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan kontribusi kerja (a’mal), tanpa kontribusi modal (Sholihin, 2010).
Contoh: A dan B masing-masing adalah konsultan bisnis, masing-masing sepakat
hasil usahanya sebagai konsultan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Pihak-pihak
yang bersyirkah bisa jadi berlainan profesi atau keahlian. Hasil kerjanya dibagi
sesuai dengan kesepakatan. Contoh lain: tiga orang bersyirkah dalam mengerjakan
pesanan mebel. Ada yang memiliki keahlian membuat mebel, ada yang ahli
mengukir, dan ada yang ahli mengecat. Hasil pekerjaannya dibagi bertiga.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 62
4.1.1.3.4.Syirkah Wujuh
Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau
keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah
antara dua pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (‘amal),
dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (maal). Dalam hal ini,
pihak A dan B adalah tokoh masyarakat (Sholihin, 2010). Syirkah semacam ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-
ketentuan syirkah mudharabah padanya (An-Nabhani, 1990:154). Bentuk kedua
syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam
barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B
tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara
membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang
dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh
usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani
mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh
adalah kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang
tokoh (misalkan: seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur
atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh
yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia
dianggap memiliki kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi
misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (Penjelasan
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 63
mengenai macam-macam akad syirkah ada juga dalam hadis Sunan Nasa’i Bab
Syarikati ‘Anan baina tsalatsah....).
4.1.2. Mudharabah
Di dalam pembiayaan bisa juga digunakan akad mudharabah. Mudharabah
dalam pembiayaan ini adalah bentuk kerjasama dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau
metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan
nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik
dana (jika disebabkan faktor-faktor di luar kelalaian dan kecerobohan pengelola
dana). Pengelola menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi
mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak
ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan
mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian,
jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor. Kecuali kerugian tersebut
disebabkan kelalaian atau ketidakamanahan pengelola, maka kerugiannya
ditanggung oleh pengelola (Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103;
Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and
Qiradh, hal. 66).
Contoh: Pak Saleh menyerahkan uang kepada pak Khalid sebesar 100 juta
rupiah untuk dikembangkan dalam bentuk usaha jual-beli kurma dengan
perjanjian pak Saleh mendapat rasio laba 70% dan pak Khalid selaku pihak
pengelola mendapat rasio laba 30%. Kerugian sepenuhnya ditanggung pemberi
modal (pak Saleh) dan pihak yang bekerja (pak Khalid) tidak menanggung
kerugian modal, karena dia telah menanggung kerugian dalam bentuk kerja,
kecuali ada unsur kesengajaan atau kelalaian dari pihak pak Khalid, maka dia
menanggung kerugian sebanyak unsur kelalaian (Dr. Yusuf Al Subaily, “Fiqh
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 64
Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi
Modern”, Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh, Arab Saudi).
Gambar 4.1. Mekanisme Pembiayaan Mudharabah
Dalil-dalil yang berkaitan dengan mudharabah:
مالك Dari ‘Ala bin Abdurrohman dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Utsman
bin Affan menyerahkan hartanya sebagai modal, di mana kakeknya ‘Ala (Ya’qub)
bekerja mengelola harta, dan bahwa untungnya dibagi dua diantara mereka.
» ،. حكم
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 65
Tiga hal di dalamnya ada kebarokahan, jual beli sistim jatuh tempo, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan syair untuk di rumah bukan untuk
dijual.
Adalah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan
dan tidak menuruni lembah/jurang, serta tidak membeli hewan ternak. Jika
persyaratannya dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Maka
sampai persyaratan itu kepada Rasululah SAW, dan beliau memperbolehkannya.
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar mereka
berkata perdagangkanlah harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat, maka
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 66
para shahabat melakukan kerjasama mudharabah dengan harta bendanya anak
yatim dan sungguh-sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau
bersabda: Gunakanlah untuk usaha harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh
zakat dan dia bersabda: supaya tidak dihilangkan oleh zakat (hadits ini
kedudukannya mursal).
---
Dan Amr bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:
Rasulullah SAW berkhutbah dan bersabda: ketahuilah barang siapa yang meramut
harta anak yatim hendaknya diperdagangkan dan jangan sampai dibiarkan lantas
dimakan oleh zakat. Atsar shahabat yang saya sebutkan dan yang semisalnya
menunjukkan atas bolehnya kerjasama mudharabah dalam hal yang telah kami
sebutkan dari ijma’ para ulama’ dan kesepakatan para fuqaha’ / imam-imam ahli
fatwa atas bolehnya kerjasama mudharabah sebagai hujjah yang cukup
memuaskan insya Allah dan berdasarkan taufiq dari Allah.
4.2.Prinsip Jual Beli
4.2.1.Murabahah
Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ( ) yang akar
katanya rabiha ( ) artinya beruntung atau tambahan )( . Menurut fuqaha,
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 67
pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah
dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor
Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda
motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan
keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga harga penjualan menjadi
Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo
(cicilan atau bai’ bitsaman ajil).
Pengertian murabahah dapat disimpulkan adalah akad yang dipergunakan
dalam perjanjian jual beli barang dengan menyatakan harga pokok barang dan
keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Lembaga
Keuangan Syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya, di mana LKS membeli barang yang diperlukan oleh
nasabah atas nama LKS sendiri, kemudian menjual barang tersebut kepada
nasabah sebesar harga jual yaitu harga pokok barang ditambah keuntungan.
Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan transaksi
jual-beli murabahah:
275Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dari Muhammad, tidak bahaya/tidak mengapa (menjual harga) sepuluh dengan
sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi SAW
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 68
kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan
anakmu dengan sesuatu yang baik.”
ا *Dari Hakim bin Hizam berkata ia, bersabda Rasululah SAW: ”Dua orang yang
berjual beli itu berhak memilih selama keduanya belum berpisah”, atau beliau
bersabda: ”Sehingga keduanya berpisah. ”Jika keduanya jujur dan terus-terang,
maka keduanya mendapat berkah dalam jual-belinya. Jika keduanya
menyembunyikan (cacad) dan berdusta maka dihapuslah berkah jual-belinya itu.
Gambar 4.2. Mekanisme Pembiayaan Murabahah
Keterangan:
1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan pembelian barang tertentu
kepada LKS.
2. LKS membelikan barang sesuai dengan surat pengajuan permohonan nasabah
kepada supllier barang.
3. Pemasok barang menjual barang yang dimaksud kepada LKS.
4. LKS menjual barang yang dimaksud kepada nasabah dengan mengambil
margin keuntungan atas harga pembelian kepada nasabah.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 69
Dalam memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah, LKS dapat
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga
untuk dan atas nama LKS, kemudian barang tersebut dijual kepada nasabah.
Dalam hal ini akad murabahah baru dapat dilakukan setelah secara prinsip barang
tersebut menjadi milik LKS.
Pembayaran oleh nasabah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh (pada
akhir periode atau secara angsuran) sesuai kesepakatan. Jangka waktu
pembayaran harga barang oleh nasabah kepada LKS ditentukan berdasarkan
kesepakatan LKS dan nasabah. LKS dapat meminta nasabah untuk membayar
uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang
oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta oleh LKS kepada
nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi murabahah.
Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi murabahah terjadi. Pada
prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak boleh
mempergunakannya. Apabila transaksi murabahah jadi dilaksanakan, maka uang
muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang murabahah. Apabila transaksi
murabahah tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan
kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan
dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka
nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS.
Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah LKS dapat meminta
nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai LKS.
Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah
selama periode akad. Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari
pemasok sebelum terjadinya transaksi murabahah maka besarnya potongan harga
(diskon) merupakan hak nasabah dan sebagai pengurang harga jual murabahah.
Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari pemasok setelah terjadinya
transaksi murabahah maka pembagian potongan harga (diskon) dilakukan
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 70
berdasarkan kesepakatan antara LKS dan nasabah dan dituangkan dalam akad
serta ditandatangani oleh kedua belah pihak.
LKS dapat memberikan potongan pelunasan dalam transaksi murabahah:
a. bagi nasabah yang telah melakukan pelunasan piutang murabahah secara
tepat waktu; atau
b. bagi nasabah yang melakukan pelunasan piutang murabahah lebih cepat dari
waktu yang telah disepakati.
LKS dapat memberikan potongan tagihan murabahah (al-hashmu fi al-
murabahah) bagi:
a. nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat
waktu;
b. nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
Pengertian nasabah yang membayar cicilannya dengan tepat waktu adalah
nasabah yang membayar cicilannya (pokok ditambah marjin) sesuai dengan jadwal
yang telah disepakati di dalam akad. Pengertian nasabah yang mengalami
penurunan kemampuan membayar adalah nasabah yang usahanya mengalami
penurunan karena business risk (risiko bisnis).
Rukun Murabahah:
1. Penjual ( ) yaitu pihak yang membeli barang dari pemasok dianalogikan
bank.
2. Pembeli ( ) yaitu orang yang membutuhkan (membeli) barang
dianalogikan nasabah.
3. Barang yang akan diperjualbelikan ( ي ) dan harga ( ).
4. Akad.
Ketentuan akad murabahah dalam Bank Syariah atau LKS:
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 71
Akad murabahah dilaksanakan setelah barang secara prinsip dimiliki oleh
bank
Bank tidak boleh melakukan akad (menjual barang kepada nasabah),
sementara barang tersebut belum dimiliki oleh bank.
Selama ini, bank syariah mencairkan dana setelah akad murabahah
ditandatangani
Sekarang bank syariah harus mencairkan dana untuk membeli barang
sebelum akad murabahah ditandatangani dengan nasabah.
4.2.3.Jual beli sistem pesanan
4.2.3.1.Salam
Salam dan salaf mempunyai pengertian yang sama. Dalam kamus Al Mu’jam
Al Wasith disebutkan “as salaf” diartikan dengan “bai’us-salam” yang artinya jual
beli salam. Pengertian salaf atau istalafa: iqtaradha yang artinya berutang. Jual
beli salam adalah akad yang digunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan
cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih
dahulu secara penuh di muka. Lembaga Keuangan Syariah membeli barang dari
pemasok dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga
yang disepakati di muka. Pembayaran harga oleh LKS kepada pemasok harus
dilakukan secara penuh pada saat akad disepakati atau selambat-lambatnya 3
(tiga) hari setelah akad disepakati. Pembayaran oleh nasabah kepada LKS tidak
boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai dengan kesepakatan.
Dalam rangka meyakinkan bahwa pemasok dapat menyerahkan barang
sesuai kesepakatan maka LKS dapat meminta jaminan pihak kedua atau bentuk
agunan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal pemasok menyerahkan
barang kepada LKS dengan kualitas yang lebih tinggi maka pemasok tidak boleh
meminta tambahan harga. Dalam hal pemasok menyerahkan barang kepada LKS
dengan kualitas yang lebih rendah dan LKS bersedia menerima maka LKS tidak
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 72
boleh meminta pengurangan harga atau diskon. Dalam hal pemasok menyerahkan
barang lebih cepat dari waktu yang disepakati, kualitas dan jumlah barang yang
diserahkan telah sesuai dengan kesepakatan, maka pemasok tidak boleh menuntut
tambahan harga. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai
dengan waktu penyerahan (baik kualitas atau jumlahnya) sebagaimana
kesepakatan maka LKS memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad dan meminta pengembalian dana hak
LKS;
b. menunggu penyerahan barang tersedia;
c. meminta kepada pemasok untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula.
Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembeli dalam kontrak salam dapat
membuat kontrak salam paralel dengan pihak lainnya, di mana LKS bertindak
sebagai penjual. Kewajiban dan hak dalam kedua akad salam tersebut harus
terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu salam tidak boleh
tergantung pada akad salam lainnya. Dalam hal LKS sebagai penjual, tetap harus
memenuhi kewajibannya kepada nasabah apabila pemasok tidak memenuhi
kontrak salam. Semua ketentuan yang berlaku pada akad salam berlaku juga
pada akad salam paralel.
Secara hukum muamalah, salam merupakan akad yang dibolehkan
meskipun obyeknya tidak ada di majelis akad, sebagai pengecualian dari
persyaratan jual beli yang berkaitan dengan obyeknya harus ada di majelis akad.
Dasar hukum dibolehkannya salam adalah:
..
282
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 73
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya....
Dalam menafsirkan ayat di atas, Muhammad Ali As-Says mengatakan:
“menurut kebanyakan ahli tafsir, jual beli itu ada empat macam, yaitu (1) jual beli
barang dengan barang, (2) jual beli utang dengan utang. Kedua macam jual beli
ini tidak termasuk dalam ayat di atas, (3) jual beli barang dengan utang, (4) jual
beli utang dengan barang, dan ini yang disebut dengan salam. Kedua jenis jual beli
yang terakhir ini termasuk ke dalam ayat di atas.
Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i, Thabrani,
al-Hakim dan Baihaqi mengatakan: “saya bersaksi (meyakini) bahwa
sesungguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan (dijanjikan) untuk masa tertentu,
sesungguhnya telah dihalalkan oleh Alloh di dalam kitab-Nya dan diizinkan untuk
dilakukan”, kemudian beliau membaca al-Baqarah ayat 282.
Dalam al-Hadits:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW datang ke Madinah, dan mereka
meminjamkan uang untuk pembelian kurma dua atau tiga tahun mendatang. Maka
Nabi bersabda: ”Barangsiapa mengutangkan dalam sesuatu, hendaklah dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 74
»: «لل
Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya jual beli itu berdasarkan saling ridla.
»
: «
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, perdamaian itu boleh diantara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan barang halal atau
menghalalkan barang haram. Orang-orang Islam itu tergantung persyaratan
mereka kecuali syarat yang mengharamkan barang halal atau menghalalkan
barang haram.
4.2.3.2.Istishna’ ( )
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria tertentu antara pemesan (pembeli/ ) dan penjual
(pembuat /ا ). Berdasarkan akad istishna’ tersebut, penjual (produsen/ ا )
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 75
wajib membuat atau mengadakan barang yang dipesan ( ) sesuai
spesifikasi yang disyaratkan pembeli untuk kemudian diserahkan kepada pembeli
pada waktu yang telah disepakati. Lembaga Keuangan Syariah menjual barang
kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan
harga yang disepakati. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta nasabah untuk
membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan barang oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta
oleh LKS kepada nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi
istishna’. Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi istishna’ terjadi.
Pada prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak boleh
mempergunakannya. Apabila transaksi istishna’ jadi dilaksanakan, maka uang
muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang istishna’. Apabila transaksi
istishna’ tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan
kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan
dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka
nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS. Pembayaran oleh nasabah
kepada LKS tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus
diketahui jumlah dan bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai
dengan kesepakatan. Pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada LKS dapat
dilakukan secara tunai ataupun secara angsuran atau ditangguhkan sampai jangka
waktu tertentu. Dalam hal LKS menyerahkan barang kepada nasabah dengan
kualitas yang lebih tinggi maka LKS tidak boleh meminta tambahan harga. Dalam
hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan dan atau
kualitas atau jumlahnya tidak sesuai kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan
untuk:
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 76
c. meminta kepada LKS untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis
sesuai kesepakatan.
Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual (shani’) dalam kontrak istishna'
dapat membuat kontrak istishna' paralel dengan pihak lainnya di mana LKS
bertindak sebagai pembeli (mustashni’). Kewajiban dan hak dalam kedua akad
istishna' tersebut harus terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu akad
istishna' tidak boleh tergantung pada akad istishna' lainnya. Semua ketentuan
yang berlaku pada akad istishna’ berlaku juga pada akad istishna' paralel.
4.3.Prinsip Jasa/Sewa-Menyewa
4.3.1.Ijarah
Sewa menyewa atau ijaarah berasal dari kata yang sinonimnya
‘akraa yang artinya menyewakan; yang artinya ia memberinya
upah; dan yang artinya memberinya pahala. Ali Fikri mengartikan ijaarah
menurut bahasa dengan yang artinya sewa menyewa itu jual
beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan: ijaarah diambil dari kata
yang artinya (imbalan), dari pengertian ini pahala ( )
dinamakan (upah/pahala). Ijarah adalah akad yang digunakan untuk transaksi
sewa menyewa suatu barang dan atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 77
mengenai akad ijarah adalah berikut ini.
:٦
Maka jika telah menyusui mereka untuk (anak) kalian, maka hendaknya kalian
memberikan kepada mereka upah mereka.
:
»«
فه.Dari Abu said al Khudri dan Abu Hurairah mereka berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Barang siapa memperkerjakan pekerja, maka beritahukanlah upahnya .
»
«Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering
keringatnya
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 78
)حسن:حتقيق(Dari Sa’id dia berkata: Bahwasanya kami menyewakan tanah dengan (bayaran)
tanaman-tanaman yang ditanam di parit-parit dan tanaman-tanaman yang
mendapatkan aliran air dari parit tersebut. Maka Rasululah SAW melarang pada
kami dari demikian itu, dan beliau perintah pada kami agar menyewakan tanah
dengan emas atau perak.
Akad ijarah dapat digunakan untuk dua jenis transaksi yaitu:
a. Akad ijarah untuk transaksi sewa-menyewa;
b. Akad ijarah untuk transaksi multijasa.
Di dalam praktek perbankan syariah di Indonesia pembiayaan ijarah ada ketentuan
untuk transaksi sewa menyewa:
1) LKS dapat menyewakan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki LKS
atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk
kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
2) Objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara
spesifik dan dinyatakan dengan jelas nilai barang, jumlah pembayaran sewa
dan jangka waktunya;
3) LKS wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun
kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai
kesepakatan;
4) LKS wajib menanggung biaya pemeliharaan barang atau aset sewa yang
sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 79
5) LKS dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan
disewa oleh nasabah;
6) Penyewa wajib membayar sewa secara tunai atau secara angsuran. Penyewa
wajib menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewanya
sesuai dengan kesepakatan;
7) Kerusakan barang yang disebabkan karena kejadian luar biasa tidak menjadi
tanggungjawab penyewa. Penyewa bertanggung jawab atas kerusakan barang
yang disewa akibat pelanggaran perjanjian atau kelalaiannya.
Lebih jelasnya Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan antara lain:
Pertama: Rukun dan syarat Ijaroh
1. Sighat Ijarah yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berakad (berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3. Obyek akad ijaroh; yaitu:
a. Manfaat barang dan sewa; atau
b. Manfaat jasa dan upah.
Kedua: Ketentuan obyek ijarah:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak
diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5. Manfaat barang atau jasa harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa
untuk menghilangkan jahalah (ketidakjelasan) yang akan mengakibatkan
sengketa.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 80
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh
penyewa/pengguna jasa kepada pemberi sewa/pemberi jasa (LKS) sebagai
pembayaran manfaat atau jasa. Sesuatu yang dapat dijadikan harga
(tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam
ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis
yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga: kewajiban LKS dan dan nasabah dalam pembiayaan ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan;
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a. membayar sewa atau upah dan bertanggungjawab untuk menjaga
keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak);
b. menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil);
c. jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 81
Ketentuan Syariah Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT)
1) LKS dan nasabah yang melakukan (sewa menyewa
yang berakhir dengan kepemilikan) harus melaksanakan akad ijarah terlebih
dahulu.
2) LKS sesuai kesepakatan dapat memberikan opsi pengalihan kepemilikan
barang atau aset sewa kepada nasabah yang merupakan janji ( ) yang
mengikat LKS dan harus dituangkan dalam akad ijarah.
3) LKS dapat mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan
hibah, hadiah, atau pembayaran harga sisa barang pada akhir periode
perjanjian sewa dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad yang
terpisah.
4) Akad pengalihan kepemilikan barang atau aset sewa, hanya dapat dilakukan
setelah masa ijarah selesai.
Dalam rangka memitigasi/meringankan risiko pembiayaan Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik LKS dapat melakukan langkah-langkah antara lain:
a. Menahan dokumen bukti kepemilikan barang/aset sewa sampai dengan
berakhirnya akad ijarah dan pelunasan kewajiban nasabah kepada LKS;
b. Meminta agunan tambahan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku.
Semua ketentuan yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik.
Ilustrasi:
Dengan semakin pesatnya kemajuan usaha Fulan di bidang penjualan sembako,
maka Fulan memerlukan sebuah ruko untuk kegiatan operasional toko. Fulan
memerlukan ruko tersebut pada tanggal 1 April 2013 dengan cara menyewa
selama 1 tahun kemudian membelinya di akhir masa penyewaan yaitu tanggal 1
April 2014. Penjual ruko menginginkan pola pembayaran sewa tunai di muka
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 82
sebesar Rp 60 juta (1 April 2013) dan Rp 90 juta di akhir masa sewa (1 April 2014)
untuk dapat memiliki ruko tersebut, dengan pola pembayaran seperti di atas,
kemampuan keuangan Fulan tidak memungkinkan. Beliau hanya dapat membayar
cicilan sebesar Rp 15 juta per bulan. Untuk itu Fulan mengajukan pembiayaan
kepada Bank Syariah yang menginginkan prosentase keuntungan sebesar 20% per
tahun.
Analisis Bank:
Harga barang:
Harga sewa 1 tahun (tunai di muka): Rp 60.000.000.
Harga ruko (di akhir masa sewa): Rp 90.000.000.
Keuntungan bank: Rp 30.000.000.
Total harga barang: Rp 180.000.000.
Kemampuan membayar nasabah:
Pembayaran sewa cicilan Rp 15 juta per bulan.
Per tahun: Rp 180.000.000,-
Pembelian ruko di akhir masa sewa: Rp 0.
Total kemampuan membayar: Rp 180.000.000.
Posisi Bank dalam IMBT:
Dalam IMBT bank bertindak selaku pihak yang menyewakan dalam akad pertama
dan selaku pemberi hibah atau penjual dalam akad kedua. Sedangkan nasabah
bertindak selaku penyewa pada tahap pertama dan selaku penerima hibah/pembeli
pada akad kedua.
Hal itu karena akad ijarah dan akad hibah/jual beli tidak bisa digabungkan pada
waktu penyerahan aset.
Tahapan IMBT di Bank Syariah:
1) nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir
periode ijarah ia ingin memiliki;
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 83
2) setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada
nasabah;
3) apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki aset tersebut;
4) bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah;
5) bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu
dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan;
6) nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan
kesepakatan;
7) bank melakukan penyusutan terhadap asset; biaya penyusutan dibebankan
kepada laporan laba rugi;
8) di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan
pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan;
9) jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara
hibah.
Ketentuan Syariah Ijarah untuk Transaksi Multijasa
Lembaga Keuangan Syariah dapat memberikan pembiayaan kepada
nasabah dengan menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa
keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan dan kepariwisataan. Dalam pembiayaan kepada nasabah yang
menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa, LKS dapat memperoleh
imbalan jasa (ujrah) atau fee. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Ijarah menurut sebagian ulama dapat pula dibagi menjadi dua macam,
yakni; 1) ijarah atas manfaat, disebut sewa menyewa, obyek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda; dan 2) ijarah atas pekerjaan, disebut upah mengupah,
obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas manfaat sudah
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 84
diuraikan di atas. Adapun ijarah atas pekerjaan terdiri dari wakalah dan wadi’ah
yang akan diuraikan di sub bab berikutnya.
4.3.2.Wakalah
Al wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pihak lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Tidak setiap orang mempunyai
kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri.
Maka dari itu, pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu
pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Unsur yang terpenting dalam al-wakalah ini adalah tanggung jawab yang
tinggi dari wakil untuk melaksanakan amanat dari muwakil serta muwakil
memberikan kepercayaan penuh pada wakil untuk melaksanakan tugas yang telah
didelegasikan kepadanya.
Di dalam dunia bisnis dan perdagangan, akad wakalah dapat digunakan
untuk kerjasama keagenan seperti sistem penjualan dengan perantara (broker),
dealership, dan pihak LKS yang menyerahkan urusan untuk membelikan keperluan
barang modal nasabah yang mengajukan pembiayaan modal kerja dan atau
produk konsumtif lainnya.
Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit
mengenai akad wakalah adalah berikut ini.
.
19
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 85
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa
lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari
atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seseorang pun.
*Dan Ibnu Sirin, Atho, Ibrahim tidak berpendapat bahwa upah makelar itu
berbahaya (terlarang), Ibnu Abbas berkata: Tidak berbahaya (tidak mengapa)
dengan mengatakan: Jualkanlah pakaian ini, selebihnya harga sekian dan sekian
adalah milikmu. Dan berkata Ibnu Sirin: Apabila ada orang berkata: Jualkanlah
barang ini dengan harga sekian-sekian, dan keuntungannya untukmu atau
keuntungannya untuk antaraku dan kamu, maka hal ini tidak bahaya. Nabi SAW
bersabda: ” Orang-orang Islam di sisi persyaratan mereka.”
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 86
Dan sungguh, Umar dan Ibnu Umar mewakilkan untuk tukar-menukar.
»
«
Dari Sulaiman bin Yasar sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengutus Aba Rafi’
dan seorang laki-laki dari Anshar untuk mengawinkan beliau (qobul nikah beliau)
kepada Maimunah binta al-Harits, dan Rasulullah SAW berada di Madinah sebelum
beliau keluar.
Beberapa ketentuan umum mengenai akad wakalah2.
Pertama: Ketentuan tentang Wakalah:
1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2) Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak.
Kedua: Rukun dan Syarat Wakalah:
1) Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a.Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b.Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima
hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
2 Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 10 Tahun 2000.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 87
2) Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a. Cakap hukum,
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3) Hal-hal yang diwakilkan
a.Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b.Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
c.Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
d.Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
4.3.3.Wadi’ah
Wadi’ah berasal dari akar kata wada’a, yang sinonimnya: taraka, artinya:
meninggalkan. Menurut Sayid Sabiq, sesuatu yang dititipkan oleh seseorang
kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadi’ah, karena sesuatu (barang)
tersebut ditinggalkan di sisi orang yang dititipi. Menurut istilah syara’, wadi’ah
digunakan untuk arti ‘iidaa’a dan untuk benda yang dititipkan (syai’un al muuda’u).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah
adalah akad atau produk jasa berupa titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja, bila si penitip menghendaki.
Wadi’ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan
wadi’ah yad adh-dhamanah. Wadi’ah yad al-amanah adalah jenis titipan yang
bersifat amanah di mana pihak yang menerima jasa penitipan tidak boleh
menggunakan dan atau memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan, tetapi
harus benar-benar menjaganya sesuai dengan kelaziman.
Wadi’ah yad adh-dhamanah adalah jenis titipan dengan risiko ganti rugi di
mana pihak penerima jasa penitipan diperbolehkan menggunakan dan atau
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 88
memanfaatkannya. Adanya risiko ganti rugi inilah yang menyebabkan pihak
penerima jasa penitipan diperbolehkan mengambil keuntungan yang ada.
Pemberian bonus kepada pemilik barang titipan tidak boleh disebutkan dalam
kontrak ataupun dperjanjikan dalam akad, tetapi benar-benar diberikan secara
sepihak sebagai ucapan terima kasih dari pihak penerima titipan dan nilainya
sepenuhnya menjadi kewenangan dari pihak penerima titipan (lihatlah penjelasan
tentang wadi’ah pada Bab III).
Ibnu Qudamah Rahumahullah menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah
SAW sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu
konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang
mengingkarinya. Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma’
(konsensus) akan legitimasi al-Wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadapnya
hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wahbah Azzuhaily dalam al Fiqh al
Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth
Imam Sarakshsy.
4.4.Prinsip Utang Piutang
4.4.1.Utang piutang murni (Qardh)
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha ( ) yang
sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang
memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada
orang yang menerima utang ( ). Qardh secara etimologi adalah pinjaman.
Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang
dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama.
Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga
keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 89
mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan
dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya
bisa dilakukan secara tunai atau angsuran.
Dasar Hukum
Firman Allah Azza wa jalla :
)245(
Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik,
maka Alloh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak dan Alloh menggenggam (menyempitkan rezeki) dan
membentangkan (melapangkan rezeki) dan kepada Alloh dikembalikan kamu
sekalian.
....)
282(
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang` untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 90
Beberapa hadits Nabi SAW:
» «
» «
»«Dari Abu Hurairah dia berkata : Ada seorang laki-laki yang memiliki piutang seekor
unta pada Rasulullah SAW maka dia datang menagih utang kepada beliau lantas
beliau bersabda (kepada para shahabat): Hendaknya kalian memberikan
pengembalian unta kepadanya, lantas para shahabat mencari unta yang umurnya
sama dengan unta yang dipinjam oleh Rasulullah SAW tetapi mereka tidak
menemukannya kecuali unta yang umurnya di atasnya. Nabi bersabda: Berikanlah
unta itu kepadanya, lantas laki-laki tersebut berkata: Engkau mengembalikan
kepadaku dengan unta yang lebih baik, mudah-mudahan Allah memberikan yang
lebih baik kepadamu. Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya pilihan (sebaik-baik)
kalian adalah yang lebih baik pengembalian utangnya.
)صحيح:حتقيق
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 91
Dari Abdillah bin Abi Rabi’ah, ia berkata: Nabi SAW telah meminjam dariku 40.000
dirham, kemudian Nabi mendapatkan harta, maka beliau menyerahkan harta itu
padaku (sebagai pengembalian pinjaman). Beliau bersabda: ”Semoga Alloh
memberi barokah untukmu, di dalam keluargamu dan hartamu. Sesungguhnya
balasannya pinjaman adalah pujian dan pengembalian .” (HR Nasai, Kitab al-Buyu’)
Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat
hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal
ini sesuai dengan kaidah:
.Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan
pinjaman, muqridh) maka ia adalah riba.
Kaidah ini tersebut juga dalam kitab mushonnaf Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozaq
dari perkataan Ibrahim.
Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya
boleh.
Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang
yang berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi
orang yang sedang berutang sedang berada dalam kesulitan dan
ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk
memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar
utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh:
280
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 92
Dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai ia
berkelapangan. Dan bahwasanya kamu menyedekahkan itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.
Ketentuan Umum Qardh3
Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh
1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang
memerlukan.
2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama.
3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela
kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya
pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat:
a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua: Sanksi
1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat
menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat
berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3 Fatwa DSN MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 93
3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
a. Bagian modal LKS;
b. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya
kepada LKS.
4.4.2.Gadai barang (Rahn)
Gadai dalam bahasa Arab menurut arti bahasa berasal dari kata:
yang sinonimnya:
yang artinya tetap;
yang artinya kekal atau langgeng;
yang artinya menahan4.
Menurut istilah syara’, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayid Sabiq yang
mengutip pendapat Hanafiah berikut ini.
Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan
4 Ibrahim Anis, et al., dalam Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalat”, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 286.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 94
dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari
benda (jaminan) tersebut5.
Syafi’iyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi
gadai (rahn) sebagai berikut:
“Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, di mana
utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika
pelunasannya mengalami kesulitan”6.
Hanabilah mendefinisikan rahn sebagai berikut:
“Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi
dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang
berutang”.
Malikiyah mendefinisikan gadai sebagai berikut:
“Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai
jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap”.
Dasar Hukum
Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit
mengenai akad rahn adalah berikut ini:
.
285Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.
5 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, 1981, hal. 187.6 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam wa Adillatuhu”, Darul Fikr, Damaskus, 2007, terjemahan, Abdul Hayyieal-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 95
)Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari
seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.
*
Dari Said bin Musayyab, sesungguhnya Rasululah SAW bersabda: ”Barang jaminan
tidak berpindah hak” Malik berkata: menurut pendapatku, dan Alloh lebih
mengetahui (kebenarannya), bahwa seorang lelaki menggadaikan suatu barang
gadai (rahin) kepada seorang laki-laki lain (murtahin), di mana barang gadainya itu
memiliki nilai lebih daripada pinjamannya, maka Rahin berkata kepada Murtahin:
Jika aku dapat mengembalikan pinjaman darimu pada waktu yang telah
ditentukan (maka barang gadai tersebut dikembalikan kepadaku), dan jika aku
tidak bisa mengembalikan, maka barang gadai itu menjadi milikmu dengan sebab
apa-apa yang telah digadaikan (kepadamu) di dalamnya.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 96
»
«
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung
biayanya. Dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan
menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Keterangan: jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman, maka barang
jaminannya diberikan pada pemberi pinjaman senilai pinjaman yang dia tanggung.
Apabila ada sisa nilai jaminan dari pinjamannya, maka harus dikembalikan, jika
kurang maka pemberi pinjaman berhak meminta kekurangannya.
Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam gadai syariah secara
umum7.
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang)
sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak
mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
7 Menurut Fatwa DSN MUI No. 25 Tahun 2002.
Akad Produk Pembiayaan
Bab IV - 97
4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5) Penjualan Marhun
a)Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b)Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c)Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan
d)Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.
Ketentuan terkait dengan Gadai Emas
Beberapa ketentuan umum mengenai akad gadai emas adalah berikut ini8.
1. Rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn.
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran
yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
8 Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 26 Tahun 2002.
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 98
BAB V
PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
5.1. Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan
pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha lembaga keuangan
syariah. Dalam menjalankan fungsinya, DPS bertindak secara independen. Setiap
lembaga keuangan yang mengelola kegiatannya berdasarkan prinsip syariah
harus memiliki DPS yang anggotanya sedikitnya terdiri dari 2 (dua) orang. Hal
ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan
(Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-
Undang Perkoperasian, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro).
Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) integritas;
dan b) kompetensi. Anggota DPS yang memenuhi persyaratan integritas
tersebut, antara lain adalah pihak-pihak yang:
1) memiliki akhlak dan moral yang baik;
2) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan lembaga syariah
yang sehat;
4) tidak termasuk dalam daftar hitam atau memiliki perilaku yang tidak baik.
Anggota DPS yang memenuhi persyaratan kompetensi tersebut antara
lain:
1) pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
mu’amalah;
2) memiliki pengetahuan di bidang lembaga keuangan LKS dan non LKS.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS antara lain meliputi:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 99
1) memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKS terhadap
fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN – MUI);
2) menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang
dikeluarkan LKS;
3) memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional LKS
secara keseluruhan;
4) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan
fatwa kepada DSN – MUI.
5) menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6
(enam) bulan kepada Pengurus LKS.
Tata Cara Pelaporan:
Dewan Pengawas Syariah harus menyampaikan laporan ke LKS Indonesia, DSN,
Direksi dan Komisaris sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan sekali dengan
menggunakan format sebagaimana telah ditetapkan dalam Lampiran 1 buku
Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah.
Laporan hasil pengawasan DPS memuat antara lain:
a. Hasil pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan fatwa DSN -
MUI. Laporan ini memuat pendapat DPS mengenai pelaksanaan produk dan
jasa yang sudah dikeluarkan oleh LKS apakah sudah sesuai dengan fatwa
DSN – MUI yang berlaku, dan apakah produk dan jasa yang dikeluarkan
oleh LKS telah mendapat izin dari LKS Indonesia. Dalam laporan tersebut
perlu dijelaskan produk dan jasa yang dimaksud.
b. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh
LKS. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat apakah pedoman
operasional dan pedoman produk yang disusun oleh LKS telah sesuai
dengan fatwa yang berlaku.
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 100
c. Opini syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional LKS dalam
laporan publikasi LKS. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat
yang menyatakan apakah secara keseluruhan kegiatan operasional LKS telah
sesuai dengan prinsip syariah.
5.2.Unsur-Unsur Pengawasan
5.2.1.Produk Simpanan
5.2.1.1.Tabungan
Tujuan pengawasan syariah atas tabungan baik wadi’ah maupun
mudharabah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Kegiatan produk tabungan telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah;
b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:
1) Diperjanjikan di muka;
2) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);
c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:
1) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);
2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad.
d. Biaya pengelolaan tabungan mudharabah menjadi beban LKS dan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada
pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan nasabah pemilik dana;
e. Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan tabungan wadi’ah dan
mudharabah harus mengikuti ketentuan fatwa DSN – MUI tentang tabungan.
Pengujian substantif atas transaksi pembukaan tabungan wadi’ah dan
tabungan mudharabah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai
berikut:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 101
a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada
nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan wadi’ah dan
atau mudharabah telah dilakukan;
b. Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi penitipan telah dilakukan secara
lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qabul;
c. Meneliti apakah setoran tabungan wadi’ah dan atau mudharabah telah
menyebutkan jumlah nominal dan mata uang yang disetor secara jelas.
d. Meneliti apakah akad tabungan wadi’ah dan atau mudharabah telah sesuai
dengan fatwa DSN – MUI yang berlaku tentang tabungan.
e. Meneliti apakah pemberian bonus wadi’ah tidak mengarah kepada kebiasaan
sehingga dapat dijadikan perhitungan yang seolah-olah diperjanjikan;
f. Meneliti apakah dalam penawaran produk tabungan, LKS tidak menjanjikan
pemberian yang ditetapkan di muka dalam bentuk prosentase imbalan.
5.2.1.2.Deposito
Tujuan pengawasan syariah atas deposito mudharabah adalah untuk
mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Kegiatan produk deposito mudharabah telah dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah;
b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:
1) Diperjanjikan dimuka;
2) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);
c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:
1) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);
2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad.
d. Biaya pengelolaan deposito mudharabah menjadi beban LKS dan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada
pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan nasabah pemilik dana;
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 102
e. Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan deposito mudharabah
harus mengikuti ketentuan fatwa DSN – MUI tentang deposito.
Pengujian substantif atas transaksi pembukaan deposito mudharabah
yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:
a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada
nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan mudharabah
telah dilakukan;
b. Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi penitipan telah dilakukan secara
lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qabul;
c. Meneliti apakah setoran deposito mudharabah telah menyebutkan jumlah
nominal dan mata uang yang disetor secara jelas.
d. Meneliti apakah akad deposito mudharabah telah sesuai dengan fatwa DSN –
MUI yang berlaku tentang deposito.
e. Meneliti apakah dalam penawaran produk deposito, LKS tidak menjanjikan
pemberian yang ditetapkan di muka dalam bentuk prosentase imbalan.
5.2.2.Produk Pembiayaan
5.2.2.1.Syirkah
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan musyarakah adalah
untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa:
a. Pembiayaan musyarakah yang diberikan LKS kepada nasabah penerima dana
telah memenuhi prinsip syariah;
b. Bagi hasil pembiayaan mudharabah yang diakui telah berdasarkan realisasi
penerimaan (riil) bukan berdasarkan proyeksi;
c. Akad pembiayaan mudharabah telah disusun dengan mengacu pada fatwa
DSN–MUI yang berlaku tentang pembiayaan mudharabah serta ketentuan
LKS Indonesia lainnya yang berlaku.
Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan musyarakah yang harus
dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 103
a. Meneliti apakah akad pembiayaan musyarakah telah sesuai dengan fatwa
DSN – MUI dan ketentuan LKS Indonesia yang berlaku;
b. Memastikan terpenuhinya seluruh syarat dan rukun dalam pembiayaaan
musyarakah;
c. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah;
d. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada
nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan
musyarakah telah dilakukan;
e. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan
musyarakah;
f. Memastikan bahwa biaya operasional telah dibebankan pada modal bersama
musyarakah;
g. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat pembiayaan musyarakah yang
meliputi:
1) Pernyataan ijab dan qobul telah dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad);
b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak;
c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2) Pihak-pihak yang berkontrak telah cakap hukum dengan memperhatikan
hal-hal berikut:
a) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan;
b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap
mitra melaksanakan kerja sebagai wakil;
c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal;
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 104
d) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang
untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan
yang disengaja;
e) Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3) Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a) Modal
i. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh
para mitra.
ii. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
iii. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS
dapat meminta jaminan
b) Kerja
i. Partisipasi para mitra kerja dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah, akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini dia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
ii. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam
organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 105
c) Keuntungan
i. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
ii. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di
awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
iii. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
iv. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad.
d) Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional sesuai
dengan share/porsi kepemilikan masing-masing dalam modal
musyarakah.
5.2.2.2.Mudharabah
Tujuan pengawasan syariah atas pembiayaan mudharabah adalah untuk
mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Kegiatan pembiayaan mudharabah telah dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah;
b. Bagi hasil pembiayaan mudharabah yang diakui telah berdasarkan realisasi
penerimaan (riil) bukan berdasarkan proyeksi;
c. Akad pembiayaan mudharabah telah disusun dengan mengacu pada fatwa
DSN –MUI yang berlaku tentang pembiayaan mudharabah serta ketentuan
LKS Indonesia lainnya yang berlaku.
Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan mudharabah yang harus
dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 106
a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada
nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan
mudharabah telah dilakukan;
b. Meneliti apakah akad pembiayaan mudharabah telah sesuai dengan fatwa
DSN–MUI tentang mudharabah dan ketentuan LKS Indonesia yang berlaku;
c. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah;
d. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan
mudharabah;
e. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat pembiayaan mudharabah yang
meliputi:
1) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap
hukum;
2) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad);
b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak;
c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia
dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai
berikut:
a) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya;
b) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal
diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada
waktu akad;
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 107
c) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada
mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.
4) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan
dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a) Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan
hanya untuk satu pihak;
b) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui
dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam
bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian
apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.
5) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan
(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan;
b) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan
mudharabah, yaitu keuntungan;
c) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
6) Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis
kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah antara lain adalah:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 108
a) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang;
b) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan
dan asuransi konvensional;
c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan
makanan dan minuman yang haram;
d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan
barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat
mudarat.
5.2.2.3.Murabahah
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip
murabahah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah yang diberikan LKS kepada
nasabah penerima dana telah memenuhi prinsip syariah;
b. Akad penyaluran dana berdasarkan prinsip murabahah telah disusun dengan
mengacu pada fatwa DSN - MUI yang berlaku tentang murabahah serta
ketentuan lainnya yang berlaku;
c. Potongan tagihan murabahah ( ) yang diberikan oleh LKS
bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan suku bunga kredit tetapi
diberikan untuk nasabah yang memenuhi kriteria:
1) telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu;
2) mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
( diskon, potongan harga, pengurangan = .
kamus Indonesia-Arab Atabik Ali. pen)
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 109
Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip
murabahah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain:
a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah
Islam;
b. Memastikan LKS menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus marjin. Dalam hal nasabah
membiayai sebagian dari harga barang tersebut maka akan mengurangi
tagihan LKS kepada nasabah;
c. Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh LKS secara terpisah dari
akad murabahah, apabila LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik LKS yang dibuktikan
dengan faktur atau kwitansi jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan;
d. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah
adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang atau
aset kepada LKS.
5.2.2.4.Salam
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip
salam adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip salam yang diberikan LKS kepada nasabah
telah memenuhi prinsip syariah;
b. Akad pembiayaan berdasarkan prinsip salam telah disusun dengan mengacu
pada fatwa yang berlaku tentang salam serta ketentuan LKS Indonesia
lainnya yang berlaku.
Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan
berdasarkan prinsip salam dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna
mendukung opini syariah atas transaksi tersebut antara lain:
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 110
a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah
Islam;
b. Memastikan bahwa pembayaran atas barang salam kepada supplier telah
dilakukan diawal kontrak secara tunai sebesar akad salam;
c. Meneliti bahwa akad salam telah sesuai dengan fatwa DSN – MUI tentang
salam dan peraturan LKS Indonesia yang berlaku;
d. Meneliti kejelasan akad salam yang dilakukan LKS dalam format salam
paralel atau akad salam biasa;
e. Meneliti bahwa keuntungan LKS syariah atas praktek salam paralel diperoleh
dari selisih antara harga beli dari supplier dengan harga jual kepada
nasabah/pembeli akhir.
5.2.2.5. Istishna’
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip
istishna’ adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip istishna’ yang diberikan LKS kepada
nasabah telah memenuhi prinsip syariah;
b. Akad pembiayaan berdasarkan prinsip istishna’ telah disusun dengan
mengacu pada fatwa yang berlaku tentang istishna’ serta ketentuan LKS
Indonesia lainnya yang berlaku.
Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan
berdasarkan prinsip istishna’ dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna
mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:
a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah
Islam;
b. Meneliti apakah LKS membiayai pembuatan barang yang diperlukan
nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang disepakati;
c. Memastikan akad istishna’ dan akad istishna’ paralel dibuat dalam akad yang
terpisah;
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 111
d. Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan
hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan kecuali memenuhi
kondisi sebagai berikut:
1) kedua belah pihak setuju untuk menghentikan akad istishna’, dan
2) akad istishna’ batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
5.2.2.6. Ijarah
Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan
berdasarkan prinsip ijarah dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna
mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:
1. meneliti penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak dipergunakan
untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah;
2. memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam Ijarah Muntahiyah
Bit Tamlik dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad ijarah, janji
(wa’ad) untuk pengalihan kepemilikan harus dilakukan pada saat
berakhirnya akad ijarah;
3. meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk multijasa
menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam fatwa yang berlaku
tentang multijasa dan ketentuan lainnya antara lain ketentuan standar akad;
4. memastikan besar ujrah atau fee multijasa dengan menggunakan akad
ijarah telah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan
dalam bentuk prosentase.
5.2.2.7. Wakalah
Pengujian substantif atas jasa wakalah yang harus dilakukan oleh DPS
antara lain:
1. meneliti apakah transaksi wakalah telah dilakukan sesuai dengan prinsip
syariah yang berlaku;
Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah
Bab V - 112
2. meneliti apakah objek wakalah tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. meneliti apakah para pihak yang melakukan akad wakalah telah memenuhi
syarat dan rukun wakalah;
4. meneliti apakah dalam penetapan fee atau ujrah yang dibebankan LKS
kepada nasabah (apabila ada) tidak mengacu pada suku bunga yang
dikaitkan dengan beban pekerjaan yang diwakilkan oleh LKS kepada
nasabah.
5.2.2.8. Rahn
Pengujian substantif atas transaksi rahn yang harus dilakukan oleh DPS
antara lain mencakup:
1. Memastikan bahwa rahn telah dilakukan sesuai dengan prinsip syariah;
2. Meneliti apakah dalam penetapan biaya transaksi rahn tidak mengacu pada
suku bunga yang dikaitkan dengan besarnya pinjaman yang diberikan oleh
LKS;
3. Meneliti apakah para pihak yang melakukan akad rahn telah memenuhi
syarat dan rukun rahn;
4. Meneliti kegiatan penaksiran barang gadai dan pelelangan barang gadai
apabila terjadi gagal bayar dari nasabah, telah sesuai prinsip syariah dengan
memenuhi asas transparansi dan keadilan.