Modul Pengantar Fikih Muamalah KA.pdf

113
PENGANTAR FIQIH MUAMALAH Berbagai Transaksi yang Diharamkan dan Akad-Akad Produk Lembaga Keuangan Syariah Disusun oleh: KH. Kasmudi Assidiqi, SE., M.Ak Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si Gresik dan Yogyakarta 2013

Transcript of Modul Pengantar Fikih Muamalah KA.pdf

PENGANTAR FIQIH MUAMALAHBerbagai Transaksi yang Diharamkan dan

Akad-Akad Produk Lembaga Keuangan Syariah

Disusun oleh:

KH. Kasmudi Assidiqi, SE., M.Ak

Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si

Gresik dan Yogyakarta2013

Pendahuluan

Bab I - 1

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk hidup, untuk kelangsungan hidupnya harus

bisa memenuhi kebutuhannya. Allah sebagai pencipta manusia telah

menyediakan kebutuhan mereka terhampar luas di muka bumi ini. Bahkan Allah

telah menundukkan/memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi

untuk kepentingan manusia. Meskipun demikian, karena segala sesuatu yang

ada di muka bumi terbagi menjadi dua yaitu ada yang baik dan ada yang buruk

serta Allah telah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk,

maka Allah mensyaratkan agar manusia mengambil yang baik dan

meninggalkan yang buruk. Allah telah berfirman:

..٢٩Dialah yang telah menciptakan semua apa-apa yang ada di bumi untuk kalian.

٢٠Tidakkah kalian memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan/memudahkan

untuk (kepentingan) kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi

dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara

manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau

petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

١٦٨

Pendahuluan

Bab I - 2

Hai sekalian manusia, makanlah kalian dari (makanan) yang halal lagi baik yang

terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan;

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.

١١٤Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah

kepada kalian, dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah

kepada-Nya.

Ayat-ayat di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa untuk memenuhi

kebutuhan manusia, Allah telah menyiapkannya di bumi dan memudahkan

manusia untuk mendapatkannya. Surat al-Baqarah ayat 29 dijadikan dasar oleh

para ulama bahwa ”segala sesuatu dari urusan dunia hukumnya halal

kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya”

Allah menghendaki setiap manusia mengambil dan memakan yang halal

dan baik serta menjauhi segala yang haram. Maka dari itu Allah menjelaskan

melalui lisan Rasul-Nya mana yang halal dan mana yang haram. Perhatikanlah

dalil-dalil di bawah ini.

٤Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “apakah yang dihalalkan untuk

mereka?” Katakanlah telah dihalalkan untuk kalian semua yang baik-baik....

١٥٧Dan Dia menghalalkan untuk mereka semua yang baik dan mengharamkan

kepada mereka semua yang jelek....

Pejelasan: secara umum semua yang buruk/jelek haram.

Pendahuluan

Bab I - 3

Dari Nu’man bin Basyir, Rasululah SAW bersabda:”Yang halal itu jelas dan yang

haram juga jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang

belum jelas halal dan haramnya). Maka barangsiapa yang meninggalkan

perkara syubhat yang dimungkinkan termasuk dosa, maka dia lebih

meninggalkan terhadap yang sudah jelas (haram dan dosanya), dan

barangsiapa yang berani mengerjakan perkara syubhat yang dimungkinkan

termasuk dosa, maka ia hampir saja terjatuh ke dalam perkara yang jelas

(haram dan dosanya).

)حسن)

Bersabda Nabi SAW:”Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-

Nya (al-Qur’an dan al-Hadits) dan yang harom adalah apa yang diharomkan

Allah dalam kitab-Nya (al-Qur’an dan al-Hadits), dan apa-apa yang Allah diam

darinya, adalah bagian dari yang Dia maafkan darinya”.

Penjelasan:

--

--

Pendahuluan

Bab I - 4

--

٤٧٩٢٣٢٧

Sesungguhnya sabda Nabi:.......”al-halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh

Allah di dalam kitab-Nya”. Pengertian sabda beliau “fi kitabihi” itu tidak terbatas

pada al-Qur’an saja, akan tetapi lafal al-kitab itu meliputi semua yang

diwahyukan kepada Nabi SAW terdiri dari al-Qur’an dan al-Sunah bersama-

sama,karena sesungguhnya yang diwahyukan itu ada dua macam yaitu: 1.

wahyu yang dibacakan, dan 2. wahyu yang tidak dibacakan sebagaimana yang

telah dinukil oleh Dr. Abdul Ghony Abdul Kholik dari al-Baihaqy. Lihatlah kitab

Hujiyatu-as sunah halaman 479. Tafsir Sunan Said bin Manshur Bab Fadhoil-al-

Qur’an jilid 2 halaman 327.

Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil

yang mengharamkannya.

Di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja atau

berbisnis. Di antara mereka ada yang bertani, beternak, mencari ikan, membuat

berbagai macam makanan, membuat pakaian, membuat peralatan produksi.

Setelah itu muncullah kebutuhan adanya alat tukar untuk berdagang. Alat tukar

tersebut awalnya berbentuk barang, seperti kelapa, batu mulia, emas dan

akhirnya berkembang seperti yang sekarang kita gunakan, yaitu uang.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang

dimiliki oleh manusia, maka perkembangan ekonomi dan keuangan pun saat ini

Pendahuluan

Bab I - 5

cukup pesat. Berbagai macam transaksi ekonomi dan keuangan yang ada saat

ini sebagian merupakan hasil rekayasa ekonomi (economic engineering) dan

rekayasa keuangan (financial engineering), maka diperlukan adanya

penelaahan yang mendalam untuk mengetahui hukum halal haramnya. Ada tiga

langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan status hukum:

1) memahami fakta atau masalah apa adanya (fahmul musykilah al qa’imah),

2) memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang

berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau

memahami hukum-hukum syara’ (fahmu al ahkam asy syar’iyah) yang telah

ada berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),

3) mengistinbath (mengeluarkan) hukum dari nash dan menerapkannya pada

fakta, atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.

Jika setelah dilakukan penelaahan, transaksi ekonomi/keuangan tersebut tidak

ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, Islam mengijinkan ahli hukum untuk

berijtihad.

ا

حتقيق

Dari beberapa orang shohabat Mu’adz bin Jabal yang berasal dari Himsha,

ketika Rasululah SAW berkehendak mengutus Muadz ke Yaman, beliau

Pendahuluan

Bab I - 6

bersabda: ”Bagaimanakah kamu akan menghukumi ketika perkara hukum

datang kepadamu?” Muadz menjawab: ”Aku akan menghukumi dengan

Kitabulloh.“ Nabi bersabda: ”Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di dalam

Kitabulloh?” Muadz menjawab: ”Aku akan menghukumi dengan Sunnah

Rasulillah SAW” Nabi bersabda: ”Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di

dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh SAW?” Muadz menjawab: ”Saya akan

berusaha keras dengan menggunakan kemampuan akal dan saya tidak peduli.”

Maka Rasululloh memukul dadanya Muadz, seraya bersabda: “Segala puji bagi

Allah Dzat yang telah menganugerahkan taufiq (ketepatan) kepada utusan

Rasululloh SAW pada sesuatu yang menjadikan ridlonya Rasulillah SAW.

Ketika seorang hakim menghukumi (sesuatu) lantas berijtihad kemudian

(ijtihadnya) benar maka baginya dua pahala, dan ketika dia menghukumi

(sesuatu) lantas dia berijtihad kemudian (ijtihadnya) salah maka baginya satu

pahala.

Penjelasan:

Maka baginya dua pahala yakni satu pahala ijtihadnya dan satu pahala

benarnya dalam berijtihad. Maka baginya satu pahala yakni pahala ijtihadnya

saja.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 7

BAB II

TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG HARAM

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 1, bahwa Allah telah

menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya untuk manusia (Q.S.

al-Baqarah ayat 29), maka pengertiannya ”segala sesuatu yang ada di

muka bumi hukum asalnya adalah halal” dan berdasarkan ayat tersebut

para Fuqaha membuat qaidah ”semua bentuk muamalah hukum asalnya

adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. Oleh

karena itu sebelum seseorang berbisnis, mempelajari hukum-hukum muamalah

lebih dahulu menjadi penting bahkan wajib, agar di dalam menjalani bisnis

selalu sah dan benar serta tidak terjebak dalam segala hal yang haram maupun

yang syubhat. Secara umum ada 7 (tujuh) transaksi yang haram: 1) transaksi

riba, 2) gharar (ketidakpastian), 3) dharar (penganiayaan), 4) maysir

(perjudian), 5) maksiat, 6) suht (barang haram), dan 7) risywah (suap).

2. 1. Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba

juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti

pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa

penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang

menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual

beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan

dengan prinsip muamalah dalam Islam.

2.1.1. Riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab

Golongan Hanafiah memberikan ta’rif bahwa riba adalah kelebihan

atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’i yang

disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar

menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta’rif ini juga

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 8

bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30),

dikatakan juga bahwa riba di dalam syara’ adalah pengertian dari suatu akad

yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada

tambahan. Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara

utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba.

Penjelasan: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan

pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman

dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya

yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada

B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti).

Transaksi ini riba dan haram.

Golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa riba adalah transaksi

atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam

standar syara’ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan

dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21).

Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan

perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi

persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba.

Golongan al-Hanabilah memberikan ta’rif bahwa riba adalah adanya

kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala

sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara’ datang

mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk

sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya

(Kasysyafu al-Qina’ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157).

Golongan al-Malikiyah memberikan ta’rif tiap-tiap macam riba secara

sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya).

Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba.

1. Al-bai’

Al-bai’ secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya: pertukaran harta

dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena

al-bai’ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai’ umum digunakan juga atas tiap-tiap

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 9

satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai’ bisa diartikan penjual dan bisa

diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai’ ketika disebut secara bebas

yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang

memberikan barang” dan al-bai’ jika disebut secara bebas bisa diartikan

“barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu

al-Munir hal. 69).

Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta’rif al-bai’ adalah transaksi

tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang

atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah

Qolyuby 2/152 dan al-Mausu’ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya

halal dan riba hukumnya haram.

2. Al-‘araaya

Al-‘ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan

kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon

kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama’nya al-

‘araaya dikatakan juga makna al-‘ariyah adalah memakan buah kurma yang

masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).

Adapun golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa al-‘ariyah adalah

menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi

atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas

bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho’, 1 sho’ = 2,7

kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally

2/238, al-Mausu’ah 9/91). Di dalam bai’ araya ada unsur riba dan syubhat yang

ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araya itu diperbolehkan secara nash, di

antaranya:

"

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 10

٣٨٧٣/ ٤ /١١٧٠

Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli

kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan

ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari

ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet.

al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli

buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah

hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon

dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka

memakan kurma basah (dari jual beli aariyah) sesuai taksirannya (Nail al-

Author 5/226).

2.1.2. Hukum riba

Riba menurut al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ (kesepakatan) para ulama

hukumnya haram, riba termasuk dosa besar, riba termasuk amalan yang

melebur amal-amal kebajikan. Allah dan Rasul tidak pernah menyatakan

perang kepada orang yang berbuat maksiat kecuali kepada orang yang

memakan riba. Orang yang menganggap riba itu halal, hukumnya kafir karena

dia mengingkari sesuatu dari urusan agama yang tidak boleh tidak setiap

muslim harus mengetahuinya dan dia wajib bertaubat. Adapun orang yang

melakukan riba tetapi dia menyadari bahwa yang dilakukannya adalah barang

haram dan dia tidak menghalalkannya maka hukumnya fasik (maka diapun

wajib bertaubat dari pelanggaran kefasikannya pen.) (al-Mabsuth 12/109,

Kifayah al-Thalib 2/99, al-Mukadimat libni Rusyd 501-502, al-Majmu’ 9/390,

Nihayatu al-Muhtaj 3/409 dan al-Mughni 3/3).

Al-Mawardi dan lainnya berkata: Sesungguhnya riba tidak halal sama

sekali dalam syari’at (sebelumnya). Allah ta’ala berfirman:

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 11

.:١٦١Dan karena mereka mengambil riba padahal mereka telah dilarang

daripadanya.

Yakni dalam kitab-kitab sebelumnya (al-Majmu’ 9/391, Mughni al-Muhtaj 2/21,

al-Mausu’ah 22/51).

2.1.3. Dalil-dalil dari al Qur’an dan al Hadits tentang haramnya riba

Berikut ini beberapa dalil dari al Qur’an dan al Hadits tentang haramnya riba.

.:٢٧٥ .

dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

. .:٢٧٥ .

Orang-orang yang makan riba mereka tidak bangun dari kubur kecuali seperti

orang yang kesurupan setan dari gila.

:١٣٠Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian makan riba dalam keadaan

berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian beruntung.

Penjelasan

Ayat ini tidak membatasi atau mensyaratkan bahwa riba itu haram kalau sudah

berlipat ganda, akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa riba itu bisa

menyebabkan seseorang utangnya menjadi berlipat ganda. Contoh: A

meminjamkan barang kepada B seharga Rp 10.000.000. Dibayar lunas dalam 3

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 12

bulan. Ketika telah datang waktu pembayaran, A berkata kepada B: utangmu

kamu bayar sekarang atau kamu saya beri waktu 3 bulan lagi tetapi utangmu

menjadi Rp 12.500.000 begitu seterusnya sehingga yang tadinya utangnya

hanya Rp 10.000.000 bisa menjadi Rp 20.000.000 bahkan mungkin bisa

menjadi ratusan juta rupiah karenanya (Ahkamu al-Qur’an lil Jashosh 1/465,

Tafsir Abi al-Sa’ud 1/271, dan Ruhu al-Ma’any 4/55).

" ")٩٢/ ٣٩٣١/ ٥

٢٢/٥٢.(

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda: Jauhilah tujuh amalan

yang menjadi pelebur amal kebajikan (tujuh dosa besar yang membinasakan

pen.), mereka berkata: apakah amalan-amalan itu ya Rasulullah SAW? beliau

bersabda: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh

Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari

medan perang dan menuduh berbuat zina kepada seorang mukminat terhormat

yang lalai dari zina (H.R. al-Bukhari, al-fath 5/393 cet. Salafiah, Muslim 1/92

cet. al-Halabi, al-Mausu’ah 22/52).

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 13

.١٢١٩/ ٣مسلم

Dari Jabir ibn Abdillah RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Orang yang

makan riba, orang yang memberi makan riba, penulisnya dan dua orang

saksinya, (mereka) hukumnya sama saja.

Ulama telah ijma’ (sepakat) atas asli haramnya riba (Hasyiatu ash-Shu’aidy ’ala

Kifayati al-Thalib 2/99, al-Majmu’ 9/390, al-Mukadimat libni al-Rusyd 501-502).

Al-Sarakhsy berkata: Allah ta’ala menyebutkan bagi orang yang makan riba ada

lima siksaan, yaitu:

1. Bangun dari kubur berdirinya seperti orang yang kesurupan setan/gila.

Allah ta’ala berfirman:

:٢٧٥Orang-orang yang makan riba mereka tidak berdiri dari kubur kecuali seperti

berdirinya orang yang kesurupan setan/gila.

]٢٧٥[»«

Dari Sa’id bin jubair “Orang yang makan riba tidak bangun dari kubur kecuali

seperti bangunnya orang yang kesurupan setan dari gila” al-Baqarah ayat 275

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 14

al-ayat. Dia berkata: dibangkitkan orang yang makan riba pada hari kiamat

dalam keadaan gila lagi mengamuk .

2. Orang yang makan riba hartanya rusak atau binasa atau hilang barakahnya

sehingga dia tidak bisa bersenang-senang dengan harta itu dan tidak bisa

memanfaatkannya sampai ke anak turun sesudahnya, Allah berfirman:

:٢٧٦Allah menghapus (barakahnya) riba dan menyuburkan (mengembangkan)

shadaqah-shadaqah.

.Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kerusakan dan kebinasaan riba dan

dikatakan pula maknanya: Hilang barakahnya dan hilangnya bisa bersenang-

senang dengannya, sehingga dia tidak bisa mengambil manfaat dan juga anak-

anaknya sesudahnya.

3. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memaklumatkan peperangan kepada

orang yang berbuat maksiat kecuali kepada orang yang makan riba. Allah

berfirman:

:٢٧٩ .

Beritahukanlah kepada mereka (orang yang makan riba) peperangan dari Allah

dan Rasul-Nya.

4. Orang yang menghalalkan riba hukumnya kafir, karena dia mengingkari

hukum/sesuatu dari urusan agama yang mau tidak mau setiap muslim

secara dharurat wajib mengetahuinya. Allah berfirman:

:٢٧٨

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 15

Tinggalkanlah apa-apa yang tersisa dari riba jika kalian orang-orang yang

beriman.

Setelah Allah menyebutkan riba Allah berfirman:

:٢٧٦Dan Allah tidak senang kepada tiap-tiap orang kafir yang berdosa.

yakni orang kafir, dengan sebab menghalalkan riba, orang yang berdosa lagi

menyimpang, dengan sebab makan barang riba.

5. Orang yang makan riba kekal di dalam neraka (al-Mabsuth 12/109-110).

Allah berfirman:

:٢٧٥ .

dan barang siapa mengulangi maka mereka adalah penghuni neraka yang kekal

di dalamnya.

Ini semua menunjukkan, bahwa wajib bagi orang yang akan memberi

pinjaman maupun orang yang akan pinjam, orang yang akan menjual maupun

membeli, lebih dahulu harus belajar hukum-hukum muamalat sebelum

menjalankannya, sehingga di dalam bermu’amalat selalu sah dan benar dan

jauh dari yang haram maupun yang syubhat. Kaidah menyebutkan ”maa laa

yatimmu al waajibu illaa bihi fahuwa waajibun”. Artinya: ”apa-apa yang tidak

bisa sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka sesuatu itupun

hukumnya wajib”.

Dan meninggalkannya (meninggalkan mempelajari riba) hukumnya

berdosa dan salah. Seseorang jika tidak mau belajar (hukum-hukum muamalat

pen.), kadang-kadang jatuh di dalam riba tanpa sengaja melakukannya, bahkan

kadang-kadang masuk di dalam riba yang tanpa diketahuinya berakibat

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 16

terperosok di dalam keharaman dan jatuh di dalam neraka. Kebodohan

seseorang tidak mengetahui hukum riba, tidak bisa memaafkan dia dari berbuat

dosa dan tidak bisa menyelamatkan dia dari neraka, karena kebodohan dan

kesengajaan itu tidak menjadi syarat timbulnya balasan atas dosa riba. Riba

dengan semata-mata dilakukan oleh seorang mukallaf telah mewajibkan

kepada adanya siksaan yang besar yang telah diancamkan oleh Allah jalla

jalaluhu kepada para pelaku riba.

Imam al-Qurtuby berkata: Seandainya tidak ada riba kecuali bagi orang

yang sengaja melakukannya, maka tidak haram riba kecuali atas para Fuqaha’

saja. Dan sungguh-sungguh telah ma’tsur dari ulama salaf (para shahabat dan

ulama-ulama sesudahnya pen.) bahwa mereka telah memperingatkan/

menyuruh berhati-hati (kepada para pedagang pen.) dalam urusan

perdagangannya sebelum belajar hukum-hukum yang menjaga muamalat

perdagangannya dari takhobbut (kesurupan/terjerumus) dalam riba.

٣ /، ٣٨/ ٥٨٢٦ـ ٥٨١/ ٣٥٢١

٢٩/ ٢٢٦/ ٢(

Di antaranya adalah ucapan shahabat Umar bin Khattab: Tidak boleh berjual

beli di pasar kami kecuali orang yang faqih (orang yang faham hukum

muamalat pen.). Jika bukan orang yang faham hukum muamalat maka dia akan

makan riba. Dan ucapan shahabat Ali RA: barang siapa berjual beli/berdagang

sebelum dia menjadi orang yang faqih/faham hukum muamalat maka sungguh-

sungguh dia telah jatuh dalam riba, ruwet dan sulit melepasnya, kemudian dia

sungguh-sungguh telah jatuh dalam riba, ruwet dan sulit melepasnya,

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 17

kemudian sungguh-sungguh dia telah jatuh kedalam riba, ruwet dan sulit

melepaskannya (Tafsir al-Qurtuby 3/352, tafsir Ibnu Katsir 1/581-582, tafsir al-

Tabary 6/38, Mughny al-Muhtaj 2/22 dan 6/29).

Dan sesungguhnya syar’i (Allah dan Rasul pen.) selalu berkeinginan kuat

untuk menutup semua dorongan-dorongan yang bisa mendatangkan riba,

karena sesungguhnya semua hal yang bisa mendatangkan riba itu hukumnya

haram dan semua dorongan yang bisa mendatangkan keharaman hukumnya

haram. Abu Dawud dengan sanadnya telah meriwayatkan dari Jabir RA dia

berkata: Ketika turun ayat:

.:٢٧٥Orang-orang yang makan riba mereka tidak bangun dari kubur kecuali seperti

orang yang kesurupan setan dari gila.

٢٢/٥٣(.Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang tidak mau meninggalkan bagi

hasil mukhobaroh maka diberitahukan kepadanya peperangan dari Allah dan

Rasul-Nya.

Mukhobaroh adalah bagi hasil tanaman dengan sebagian apa-apa yang keluar

dari bumi. (Artinya bagi hasil dengan menentukan tempat. Contoh: A berkata:

tanah petak ini panen tidak panen untuk bagian saya sebagai pemilik tanah dan

tanah petak yang itu panen tidak panen untuk bagian kamu sebagai pengelola,

cara inilah yang dilarang pen.).

Al-Muzabanah adalah membeli kurma basah di atas pohon, dengan kurma

kering yang ada di atas bumi (di atas lima wasak pen.).

Al-Muhaqolah adalah membeli biji-bijian yang masih ada di dalam tangkainya di

dalam kebun, dengan biji-bijian kering yang ada di atas bumi.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 18

Sesungguhnya ini semua diharamkan karena tidak diketahui persamaan

antara keduanya sebelum keringnya dan karena inilah para fuqoha’

mengatakan: Tidak mengetahui persamaan itu seperti mengetahui hakikatnya

kelebihan, dan karena inilah mereka mengharamkan segala sesuatu

(berdasarkan apa yang mereka fahami) karena untuk mempersempit jalan-jalan

yang bisa mendatangkan kepada riba, dan semua perantara-perantara yang

bisa menyampaikan kepada riba. Dan bertingkat-tingkat pandangan mereka

(tentang riba) tergantung pemberian Allah kepada masing-masing dari mereka

tentang ilmu tersebut.

Berdasarkan pendapat kebanyakan ahli ilmu, riba adalah bab yang paling

sulit difahami. Shahabat Umar bin Khathab berkata: Tiga hal yang aku senang

Rasulullah SAW memberikan keterangan kepada kami dengan keterangan yang

sungguh-sungguh bisa menyampaikan kami kepadanya (pengertian yang

sebenarnya pen.), yaitu: 1. Bab Jad; 2. Bab Kalalah, 3. Bab Macam-Macamnya

Riba (Tafsir Ibnu Katsir 1/581-582, Tafsir Ath-Thobary 6/38, Tafsir al-Qurthuby

3/364 dan 6/29).

2.1.4. Hikmah diharamkannya riba

Para ahli tafsir menerangkan bahwa keharaman riba itu mempunyai

beberapa hikmah menurut syariat.

1. Sesungguhnya riba itu menghendaki mengambil harta manusia tanpa

adanya imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua

dirham kontan atau pinjaman menghasilkan adanya satu dirham yang tidak

ada imbalannya (tidak ada gantinya), sedangkan harta seorang muslim itu

tergantung dengan kebutuhannya, dan ia memiliki kehormatan yang besar.

Rasulullah SAW bersabda: Kehormatan harta orang islam itu seperti

kehormatan darahnya. H.R. Abu Nuaim fil Hilyah di dalamnya ada isnad

yang dhoif tetapi Ibnu Hajar berkata: Baginya memiliki beberapa saksi yang

saling memperkuat (at-Talhisul Habir 3/46 Cetakan Syirkah ath-Thiba’ah

al-Faniyah).

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 19

Tetapnya harta di dalam tangan seseorang dalam waktu yang lama dan

kemungkinannya dia bisa memperdagangkan dan mengambil manfaat itu

sesuatu yang wahmun (remang-remang) kadang-kadang bisa untung

kadang-kadang bisa tidak untung, sedangkan mengambil satu dirham

sebagai tambahan itu sesuatu yang pasti. Kehilangan suatu kepastian bagi

masa yang remang-remang itu tidak sepi dari Dhoror (al-Mausu’ah 22/54,

Nihayah al-Muhtaj 3/409, Hasyiah al-Jamal 3/46, al-Qolyuby 2/166, Tafsir

al-Qurthuby 3/359).

2. Sesungguhnya riba mencegah manusia dari kesibukan usaha (cenderung

senang menjadi pemalas), karena pemilik uang ketika memungkinkan

dengan perantaraan akad riba bisa menghasilkan uang tambahan secara

kontan maupun pinjaman, usaha ke arah mencari maisyah menjadi remeh

(malas pen.). Bagi orang tersebut, hampir-hampir dia tidak menanggung

keberatan usaha, keberatan berjual beli dan keberatan dalam melakukan

kerajinan tangan (manufaktur). Hal tersebut akan mendatangkan

terputusnya manfaat-manfaat makhluk yang tidak bisa terorganisir kecuali

dengan adanya perdagangan/niaga, beberapa pekerjaan, kerajinan tangan

(manufaktur) dan kegiatan pembangunan-pembangunan gedung dan lain-

lain.

3. Riba akan mendatangkan terputusnya kebaikan-kebaikan di antara manusia

yang berhubungan dengan adanya pinjam meminjam. Sesungguhnya riba

ketika diharamkan, hati seseorang menjadi baik/senang dengan

memberikan pinjaman satu dirham dan kembali satu dirham sepertinya,

dan seandainya riba itu halal maka bisa dipastikan hajat yang dibutuhkan

akan membawanya kepada mengambil satu dirham dengan dua dirham.

Hal ini akan mendatangkan terputusnya saling membantu (di antara

sesama pen.) dan terputusnya kebaikan-kebaikan (lainnya) (Tafsir al-Kabir

lilfakhri ar-Rozi 7/93-94, Tafsir Ghoroib al-Qur’an wa Roghoib al-Furqon lin

Naisabury 3/81 bihamisyi ath-Thobary).

Kesimpulannya: riba telah merusak tatanan kehidupan sosial dan ekonomi

manusia (pen.).

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 20

2.1.5. Macam macam riba

a. Riba Fadl (Jual Beli)

Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi

yang sejenis, namun berbeda kadar atau takarannya. Contoh: 20 kg beras

kualitas bagus, ditukar dengan 30 kg beras kualitas menengah.

*

Dari Abu Sa’id, ia berkata: ”Datang Bilal ke Nabi SAW dengan membawa kurma

barni (kurma kualitas bagus) dan beliau bertanya kepadanya: ”Darimana

engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab: ”Saya mempunyai kurma yang

rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ dengan satu sha’ kurma barni

agar kami dapat memberi makan kepada Nabi SAW” Ketika itu Rasulullah SAW

bersabda: ”Hati-hati! Hati-hati! Ini aslinya riba, ini aslinya riba. Jangan kamu

lakukan, bila engkau mau membeli kurma maka juallah terlebih dahulu

kurmamu yang lain untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang

tersebut untuk membeli kurma barni!

Penjelasan:

Barang-barang ribawi itu ada 6 (enam), yaitu: 2 (dua) berupa mata uang

terdiri dari emas dan perak (dan semua yang dikiyaskan kepada keduanya

seperti mata uang rupiah, ringgit, dolar dan lainnya pen.). Dan yang empat

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 21

berupa makanan yaitu kurma, gandum, jawawut/sya’ir sejenis gandum (dan

semua yang dikiaskan kepada ketiganya sebagai makanan pokok, seperti beras

dan jagung pen.) dan garam, berdasarkan dalil:

١٢١١/ ٣(.Dari Abu Sa’id al-Hudriyi RA dari Rasulullah SAW Beliau bersabda: emas dengan

emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut/gandum dengan

jawawut/gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam semisal

dengan semisal, kontan dengan kontan, maka barang siapa yang menambah

atau minta tambahan sungguh dia telah melakukan riba, orang yang

mengambil dan orang yang memberi dalam urusan riba itu sama saja.

b. Riba Nasi’ah

Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi

tidak sejenis yang dilakukan secara utangan (tempo), atau terdapat

penambahan nilai transaksi yang diakibatkan oleh perbedaan atau

penangguhan waktu transaksi.

Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sesungguhnya riba ada di dalam pinjaman

(nasi’ah)

*

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 22

Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah SAW bersabda: ”Sesungguhnya

riba ada di dalam pinjaman (nasi’ah).” (HR Ibnu Majah, Kitab at-Tijarat)

*

Dari Abi Minhal, ia berkata: Aku bertanya pada Baro’ bin Azib dan Zaid bin

Arqom tentang tukar menukar mata uang, maka masing-masing dari keduanya

berkata: ”Ini lebih baik dariku” dan masing-masing berkata: ”Rasulullah SAW

melarang menjual emas dengan perak secara utang.”

Contoh riba nasi’ah: bunga bulanan atau tahunan di bank konvensional;

mengambil keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang

pengembaliannya ditunda.

c. Riba Qardh

Riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman yang

dipersyaratkan di muka oleh kreditur atau shahibul maal kepada pihak yang

berutang (debitur), yang diambil sebagai keuntungan. Contoh: shahibul maal

memberi pinjaman uang kepada debitur Rp 10 juta dengan syarat debitur wajib

mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp 18 juta pada saat jatuh tempo.

*Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

”Sesungguhnya riba berada pada utang.” Abdillah berkata: yang dimaksud Nabi

yaitu satu dirham (dibayar) dua dirham.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 23

d. Riba Jahiliyah

Riba yang muncul akibat adanya tambahan persyaratan dari kreditur

atau shahibul maal, di mana pihak debitur diharuskan membayar utang yang

lebih dari pokoknya, karena ketidakmampuan atau kelalaiannya (default) dalam

pembayaran saat utang telah jatuh tempo. Contoh: debitur memiliki utang

senilai Rp 10 juta, jatuh tempo 1 Desember 2012. Namun sampai dengan

tanggal tersebut, debitur tidak mampu membayar. Akhirnya pihak kreditur

membuat syarat, jangka waktu pinjaman dapat diperpanjang, tetapi jumlah

utang bertambah menjadi Rp 15 juta.

*

Malik telah bercerita padaku dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Riba pada zaman

jahiliyah yaitu bahwa ada seorang laki-laki, memiliki suatu kewajiban (utang)

pada laki-laki (yang lain) untuk jangka waktu tertentu. Maka ketika telah jatuh

tempo, yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata: Apakah kamu mau

membayar atau memberi tambahan (pembayaran). Maka ketika debitur

membayar, kreditur menerima (pembayaran), dan jika tidak membayar, maka

debitur menambah haknya kreditur, dan kreditur memperpanjang sampai

waktu tertentu.

e. Riba yad

Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi

maupun yang bukan ribawi, di mana terdapat perbedaan nilai transaksi bila

penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan di kemudian hari.

Dengan kata lain, pada riba yad terdapat dua persyaratan dalam transaksi

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 24

tersebut yaitu satu barang dapat diperdagangkan dengan dua skema yaitu

kontan dan kredit. Contoh: harga mobil baru jika dibeli tunai seharga Rp 100

juta, harganya Rp 150 juta bila mobil itu dibeli secara kredit dan sampai dengan

keduanya berpisah tidak ada keputusan mengenai salah satu harga yang

ditawarkannya.

*

)

Dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda: ”Tidak halal pinjaman

dan jual-beli (dalam satu akad), tidak juga dua syarat dalam satu jual-beli, dan

tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu”.

Ada beberapa pengertian berdasarkan hadis tersebut, yaitu:

1) Hadis tersebut memberikan penjelasan bahwa seseorang tidak boleh

bertransaksi dalam satu akad terdapat pinjaman dan jual beli. Contoh: A

bersedia memberikan pinjaman kepada B dengan syarat B harus menjual

sepeda motornya kepada A.

2) Hadis tersebut juga melarang seseorang menentukan dua syarat dalam

satu akad jual beli. Contoh: A menjual motornya kepada B secara tunai

dengan syarat B harus menjual kembali motornya kepada A dengan cara

kredit. Contoh lain: A menjual sepeda motornya, jika dibeli dengan tunai

maka harganya Rp 10 juta, kalau dibeli dengan kredit harganya Rp 15 juta

dan sampai dengan keduanya berpisah tidak ada keputusan pemilihan salah

satu harga yang ditawarkan.

3) Seseorang dilarang menjual barang yang tidak ada pada dirinya. Contoh: A

menjual sepeda motor yang hilang kepada orang lain.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 25

Pada jaman sekarang ini, banyak transaksi yang dilakukan oleh lembaga

keuangan masuk dalam kategori riba. Beberapa contoh transaksi riba yang

dilakukan di berbagai lembaga bisnis dan keuangan saat ini antara lain:

1) Lembaga Keuangan Konvensional.

Lembaga Keuangan (LK) Konvensional beroperasi dengan menggunakan

sistem bunga. Nasabah yang menyimpan uangnya di LK mendapatkan

imbalan berupa bunga sebesar persentase tertentu dari uang yang

disimpan di LK tersebut. Demikian pula nasabah yang meminjam uang ke

LK harus membayar bunga sebesar persentase tertentu dari pinjaman

pokoknya. Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikaji, maka hukum

bertransaksi seperti di atas adalah haram karena mengandung unsur riba.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan

fatwa larangan bunga LK Konvensional pada simpanan berbentuk, giro

(NO: 01/DSN-MUI/IV/2000), tabungan (NO: 02/DSN-MUI/IV/2000), dan

deposito (NO: 03/DSN-MUI/IV/2000).

2) Lembaga Pembiayaan Kendaraan Bermotor Konvensional.

Lembaga keuangan menyediakan dana pembelian kredit sepeda motor.

Harga jual sepeda motor secara tunai sebesar 15 juta rupiah. Apabila

seseorang ingin membeli sepeda motor dengan angsuran selama tiga tahun

maka harganya menjadi 18 juta rupiah, kalau empat tahun 20 juta rupiah

dan kalau lima tahun menjadi 22 juta rupiah. Berdasarkan dalil-dalil yang

telah disampaikan di atas, maka hukumnya bertransaksi seperti itu haram

karena mengandung unsur riba dan jual beli dengan dua harga dalam satu

penjualan. Adanya perbedaan jual beli tunai dan kredit tersebut karena

pada saat jual beli dilakukan secara kredit, pihak lembaga keuangan

mengenakan bunga. Bunga yang ditetapkan akan berbeda-beda tergantung

dari jangka waktu kreditnya. Semakin lama jangka waktu kreditnya, maka

semakin tinggi bunganya. Pembiayaan menggunakan sistem leasing (sewa

beli) hukumnya juga haram karena terdapat dua syarat dalam satu akad

transaksi, yaitu sewa dan jual beli.

3) Obligasi.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 26

Obligasi merupakan salah satu instrumen keuangan berupa surat

pengakuan utang dari satu pihak kepada pihak lain yang membeli surat

obligasi sejumlah nilai tertentu yang tertera dalam obligasi tersebut. Pihak

yang mengeluarkan obligasi memberikan imbalan berupa bunga sebesar

persentase tertentu dari pokok utang yang tertera dalam obligasi tersebut

sampai jangka waktu jatuh tempo. Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan

di atas, maka hukumnya obligasi adalah haram karena mengandung unsur

riba, yaitu adanya tambahan dari pokok modal/utang.

2. 2. Judi (maysir)

2.2.1. Pengertian maysir

Maysir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya

sama, yaitu judi. Ibnu Katsir menyatakan bahwa kata maysir dalam Surah al-

Maaidah: 90, artinya sama dengan qimar (judi) (Tafsir Ibnu Katsir, II/92).

Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahwa

judi adalah setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua

pihak (muraahanah). Menurut al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rifat hal. 179,

telah menyatakan judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan

adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada

pihak yang menang. Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya

Rawa’i’ al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam (I/279), menyebut bahwa judi adalah

setiap permainan yang menimbulkan keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan

kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. Sula dan Mufti (2007) menerangkan,

judi adalah semacam permainan yang bersifat untung-untungan di mana yang

menang akan mendapatkan keuntungan yang diambilkan dari yang kalah

sehingga yang menang beruntung dan yang kalah merugi. Di dalam kamus

ekonomi Islam dijelaskan bahwa judi adalah setiap tindakan atau permainan

yang bersifat untung-untungan (spekulatif) yang dimaksudkan untuk

mendapatkan keuntungan materi seperti membawa dampak terjadinya praktek

kepemilikan harta secara bathil. Menurut Ibnu Hajar al-Maky, maysir adalah

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 27

segala bentuk spekulasi. Semua transaksi yang mengandung unsur spekulatif

atau untung-untungan masuk dalam kategori judi sehingga dilarang.

Suatu permainan bisa dikategorikan judi jika tiga unsur terdapat di

dalamnya:

1. adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi;

2. adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan siapa yang

menang dan siapa yang kalah;

3. pihak yang menang mengambil sebagian/seluruh harta yang dijadikan

taruhan dari pihak yang kalah sehingga pihak yang kalah kehilangan

hartanya.

2.2.2. Hukumnya maysir

Maysir atau judi di dalam syariat Islam hukumnya haram, berdasarkan

dalil-dalil berikut ini.

:٩٠Hai orang-orang beriman, sesungguhnya khomer, judi, anshob (berkurban

untuk berhala), dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji,

termasuk perbuatan setan. Maka menjauhlah kalian pada perbuatan-perbuatan

itu agar kalian beruntung.

.Dari Ibnu Abbas … kemudian Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah

mengharamkan kepadaku (keragu-raguan rowi) atau telah diharamkan khomer,

judi, dan gendang.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 28

"Dari Abu Hurairah RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa dari

antara kalian yang bersumpah lantas berkata dalam sumpahnya demi Lata demi

Uzza maka berkatalah laa ilaaha illallah dan barang siapa yang berkata kepada

temannya kemarilah aku akan berjudi denganmu maka bershadaqahlah.

Imam Nawawi berkata (syarhu shahih Muslim 11/118), Para ulama berkata:

Nabi menyuruh shadaqah adalah sebagai kafarah terhadap kesalahannya dalam

mengucapkan ucapan maksiat.

Al-Khattaby berkata: maknanya bershadaqahlah dengan perkiraan apa-apa

yang dia menyuruh berjudi dengannya.

Imam Nawawi berkata: yang benar adalah pendapat para ahli tahqiq sesuai

dengan dhahir haditsnya bahwa Nabi tidak mengkhususkan ukurannya, jadi

bershadaqahlah dengan apa-apa yang dia mudah dengannya hal ini diperkuat

dengan suatu riwayat sabda beliau: bershadaqahlah dengan sesuatu H.R.

Muslim 3/1268 cet. Isa al-Halaby hadits dari Abu Hurairah.

2.2.3. Bentuk-bentuk maysir

Pada jaman sekarang ini bentuk-bentuk perjudian sudah berkembang

demikian pesatnya dan dikemas dengan indah. Contoh-contoh bentuk perjudian

yang dikemas dalam bentuk investasi, permainan dan lainnya adalah berikut ini.

1) Bermain valas

Bermain valas dikategorikan perjudian karena pemilik dana menyerahkan

sejumlah uang tertentu pada agen untuk mendapatkan keuntungan tanpa

adanya proses jual beli valas yang sesungguhnya. Transaksi ini dikemas

dengan nama investasi pada pasar uang. Sesungguhnya tidak ada barang yang

ditransaksikan, semuanya bersifat semu. Pemilik dana tidak menerima valuta

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 29

asing yang dibelinya, agen tidak menyerahkan valas yang diamanatkan untuk

dibeli oleh pemilik dana. Transaksi seperti ini dikategorikan perjudian dan

haram dilakukan.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan

fatwa terkait jual beli mata uang, yaitu NO: 28/DSN-MUI/III/2002. Transaksi

valas yang diijinkan adalah berbentuk transaksi Spot. Transaksi spot yaitu

transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada

saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka

waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan

waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari

(mimmaa laa budda minhu) karena merupakan transaksi internasional. Adapun

transaksi valas yang tidak diperbolehkan berbentuk forward, swap dan option.

Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang

nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang

akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Mekanisme

transaksi forward:

Transaksi forward hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan

adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di

kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu

sama dengan nilai yang disepakati (mengandung gharar dan dharar). Transaksi

Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot

yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 30

dengan harga forward. Transaksi swap hukumnya haram, karena

mengandung unsur maisir (spekulasi). Mekanisme transaksi swap:

Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli

atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan (bisa dilakukan, bisa juga

tidak dilakukan) atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu

atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur

maisir (spekulasi).

2) Bermain Indeks Harga Saham

Berbeda dengan jual beli saham, di mana pemilik dana membeli saham dan

memperoleh sertifikat saham senilai uang yang diserahkannya. Dalam transaksi

ini yang ditransaksikan adalah indeks harga sahamnya dan bukan sahamnya.

Pemilik dana menyerahkan uang tertentu (dikemas dengan nama investasi)

kepada manajer investasi (agen) untuk ditransaksikan dalam indeks harga

saham. Salah satu contoh adalah Indeks Hanseng, merupakan salah satu bursa

saham cukup besar di Hongkong. Manajer investasi akan memberikan informasi

kepada investor (pemilik dana) mengenai perkembangan indeks harga saham

dan memberikan saran untuk membeli atau menjual. Transaksi seperti ini

haram karena mengandung unsur maisir (perjudian). Tidak ada transaksi

barang di dalamnya, yang ada adalah jual beli secara semu. Investor

mempertaruhkan uangnya untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi

(permainan) tersebut tanpa adanya transaksi jual beli secara riil.

3) Bermain Bursa Emas

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 31

Tidak jauh berbeda dengan dua contoh di atas, dalam kegiatan ini emas yang

ditransaksikan bersifat semu. Pemilik dana menyerahkan sejumlah uang

kepada agen (manajer investasi) untuk dimainkan dalam bursa emas. Manajer

investasi akan memberitahukan perkembangan harga emas dunia dan

memberikan saran untuk membeli atau menjual. Emas yang dimaksud di sini

tidak pernah diterima barangnya oleh pemilik dana. Karena bersifat permainan

untuk mengambil keuntungan tanpa adanya transaksi riil, maka hukumnya

haram karena masuk dalam kategori jual beli ’inah atau jual beli yang tidak

terpenuhi syarat rukunnya.

4) Acara-acara permainan di televisi, seperti who want to be millionaire,

superdeal 1 miliar, dan lain-lain.

Mengikuti acara who want to be millionaire dan superdeal 1 miliar adalah

haram karena mengandung unsur perjudian. Pemain setelah mampu menjawab

pertanyaan atau melakukan kegiatan tertentu (dalam acara superdeal)

ditantang untuk mendapatkan hadiah lebih tinggi dengan mempertaruhkan

uang atau hadiah yang telah diberikan sebelumnya. Namun risikonya, hadiah

yang sudah diberikan sebelumnya bisa hilang. Pertaruhan untuk mendapatkan

uang/hadiah lebih tinggi seperti ini hukumnya haram karena mengandung

unsur perjudian.

2. 3. Gharar (Transaksi yang Menimbulkan Ketidakpastian).

2.3.1. Pengertian gharar

Segala bentuk transaksi yang sifatnya tidak jelas (uncertainty) dan

spekulatif sehingga dapat merugikan pihak yang bertransaksi. Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan gharar

sebagai transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui

keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan

kecuali bila diatur lain dalam syariah.

Beberapa bentuk traksaksi gharar adalah:

Bai’ ma’dum

Adalah jual beli di mana barangnya tidak ada atau fiktif.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 32

Bai’ ma’juzi at-taslim

Adalah jual beli di mana barangnya tidak bisa untuk diserah-terimakan.

Bai’ majhul

Adalah jual beli di mana kualitas, kuantitas, dan harga barang tidak

diketahui.

Contoh transaksi gharar pada jaman pra dan awal Islam adalah sebagai

berikut:

Mulamasah

Jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sebuah

produk dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang

yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut.

Hashah

Jual beli hashah (kerikil) ialah jual beli di mana pembeli menggunakan kerikil

dalam jual beli. Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang

penjual. Kerikil yang mengenai suatu barang, barangnya harus dibeli dan

ketika itu terjadilah jual beli.

Hablul habalah

Hablul habalah adalah anak dari janin unta yang sedang dikandung

(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar

dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).

Seseorang menjual seekor anaknya anak unta yang masih berada dalam

perut induknya (menjual cucunya unta).

Munabadzah

Jual beli secara lempar melempar, sehingga objek barang tidak jelas dan

tidak pasti, apakah barang A, B, C atau lainnya. Seperti seorang berkata:

“Lemparkanlah padaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula

padamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi saling melempar barang,

maka terjadilah jual beli.

Muzabanah

Buah-buahan ketika masih ada di atas pohon yang masih basah dijual

sebagai alat pembayar untuk memperoleh kurma atau anggur kering

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 33

jumlahnya di atas lima wasak. Jual beli ini dilarang karena buah yang di atas

pohon belum bisa dipastikan kualitas dan kuantitasnya. Jadi hanya

berdasarkan perkiraan/taksiran.

Muhaqalah ( )

Menjual biji tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah (belum

siap panen) dengan biji-bijian yang kering (yang siap dimasak).

Mukhadharah (buah yang masih hijau)

Menjual buah-buahan yang belum saatnya untuk dipanen, seperti menjual

buah durian yang masih muda, rambutan yang masih muda/pentil hijau.

Malaaqih

Malaaqih adalah apa yang ada di dalam kandungan unta betina

(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar

dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).

Madhamin

Madhamin adalah sperma yang ada di tulang sulbi unta jantan

(Diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitab Mushannaf-nya dari Ibnu Umar

dari Nabi SAW, dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, Jilid 3 hal: 94).

Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si penjual membawa

hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan (yang

mungkin dihasilkan) dari hasil perkawinan itu dalam akad jual beli

ditentukan menjadi milik pembeli, seolah-olah sudah pasti bahwa hasil

perkawinan itu menghasilkan anak padahal belum tentu menghasilkan anak

(termasuk ghoror). Perhatikan penjelasan di bawah ini:

Para ahli fikih sepakat menjual sperma pejantan itu tidak diperbolehkan

berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, dia berkata :

Rasulullah SAW melarang dari (menjual) sperma penjantan. (HR. Bukhary,

Fathul Baary 4/461).

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 34

Dari Abi Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW melarang usaha bekam,

uang hasil penjualan anjing dan melarang penjualan sperma pejantan (HR.

Nasa’i 7/311)

Imam al-Kasany memberikan alasan, bahwa menjual air sperma pejantan

dilarang itu karena ketika melakukan akad, yang diperjualbelikan itu

ma’dum/tidak ada (Badai’usshonai’ 5/139, dan lihat Hasyiah ad-Dusuqy

3/57, al-Khorsyi ‘ala Khalil 5/71, Mughny al-Muhtaj 2/30, Kasyaf al-Qina’i

3/166 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 30/94).

Dari Abu Hurairah: Rosululloh SAW melarang dari jual beli hashah dan jual beli

gharar.

)صحيح:حتقيق(* Dari Abi Hurairoh, ia berkata: ”Rasululloh SAW melarang jual-beli ghoror dan

jual-beli dengan lemparan batu. Imam Tirmidzi berkata: “Di dalam bab ini

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 35

diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abi Said, dan Anas. Abu Isa

berkata, ”hadits Abi Hurairah ini adalah hadits Hasan Shahih, dan para ahli ilmu

mengamalkan hadits ini (mereka membenci pada jual beli gharar). Imam as-

Syafi’i berkata, ”Termasuk ba’i gharar yaitu menjual ikan di dalam air, menjual

budak yang lari dari tuannya, menjual burung yang terbang di angkasa, dan

jual beli lainnya yang sejenis itu. Adapun makna ba’i al-hashoti yaitu seorang

penjual berkata kepada pembeli: ketika aku melempar kepadamu dengan kerikil

maka telah sah jual beli antara aku dan kamu. Dan ini menyerupai ba’i

munabadzah, dan jual beli ini termasuk jual beli orang jahiliyah”.

Pada saat ini banyak kegiatan bisnis dan keuangan yang mengandung

unsur gharar yang hukumnya haram. Berikut ini beberapa contoh bisnis dan

keuangan yang mengandung unsur gharar.

1) Bermain Bursa Valas

Di dalam bermain bursa valas, ada transaksi yang tidak diketahui secara jelas

kuantitas dan kualitas barangnya. Transaksi dilakukan secara semu tidak betul-

betul adanya pertukaran mata uang. Hukumnya haram karena mengandung

unsur gharar.

2) Bermain Bursa indeks harga saham

Di dalam bermain bursa indeks harga saham, transaksi yang dilakukan juga

bersifat semu. Barangnya tidak dapat diserahterimakan karena berupa indeks

harga saham dan bukan lembar sertifikat saham. Hukumnya haram karena

mengandung unsur gharar.

3) Bursa emas

Dalam transaksi di bursa emas, ada kegiatan di mana transaksi yang dilakukan

secara semu. Emas yang diperjualbelikan barangnya bersifat semu, tidak riil,

tidak diserahterimakan. Transaksi seperti ini hukumnya haram karena

mengandung unsur gharar.

4) Asuransi konvensional

Asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung unsur gharar.

Barang yang diperjualbelikan tidak jelas kuantitas dan kualitasnya karena

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 36

memperjualbelikan risiko. Risiko meninggal dunia, risiko cacat, risiko sakit yang

tidak jelas kuantitas dan kualitasnya, sehingga mengandung unsur gharar.

2.4. Dharar (kerusakan, kerugian, penganiayaan)

2.4.1. Pengertian dharar

Dharar adalah transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian,

ataupun ada unsur penganiayaan, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya

pemindahan hak kepemilikan secara bathil.

)صحيح:حتقيق(* .Dari Ubadah bin Shomit, sesungguhnya Rasululloh SAW menghukumi bahwa

tidak boleh seseorang merusak (diri, harta, kehormatan) orang lain dan tidak

boleh membalas pengrusakan dengan pengrusakan.

Pada saat ini ada beberapa transaksi yang mengandung unsur dharar.

Berikut ini merupakan beberapa contoh di antaranya yang mengandung unsur

dharar.

1. Asuransi Konvensional

Dalam asuransi konvensional, peserta asuransi membayar premi sejumlah

tertentu. Ada asuransi konvensional yang mensyaratkan apabila peserta tidak

dapat membayar premi lagi sebelum masa perjanjian keikutsertaan asuransi

habis, maka preminya hangus, tidak dikembalikan pada peserta. Ini adalah

perbuatan dharar, penganiayaan pada orang lain. Ada pula peserta yang baru

ikut beberapa bulan, kemudian karena mengalami musibah mengajukan klaim.

Klaim yang diterima sangat besar, jauh lebih besar dari uang premi yang baru

disetor beberapa bulan. Ini juga dharar karena baru membayar uang sedikit

dapat uang yang jauh lebih banyak. Jika terjadi kasus begitu banyaknya

peserta yang mengajukan klaim, bisa terjadi perusahaan asuransi bangkrut

karena melebihi kemampuan keuangan/aset yang mereka miliki untuk

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 37

membayar klaim tersebut. Asuransi konvensional dengan demikian hukumnya

haram karena ada unsur dharar dan gharar.

2. Predatory Pricing (Pemangsa Harga)

Perusahaan yang memiliki sebuah hypermarket menetapkan harga barang-

barangnya di bawah harga pasar. Beberapa jenis barang bahkan dijual merugi

untuk menarik pembeli ke hypermarket-nya. Tindakan ini dinamakan predatory

pricing. Hukumnya haram karena akibat tindakannya tersebut menghancurkan

pasar peritel lainnya yang kalah modal. Hypermarket tersebut telah melakukan

perbuatan dharar terhadap peritel kecil. Sengaja melakukan perbuatan

tersebut untuk menghancurkan pesaing dan menguasai pasar.

2.5. Maksiat

Transaksi maksiat adalah bentuk transaksi yang terkait dengan usaha-

usaha yang secara langsung ataupun tidak langsung melanggar (menentang)

hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Contoh: membuat pabrik minuman keras,

membuat pabrik obat terlarang, membuat tempat pelacuran, membuat tempat

perjudian, perdukunan/paranormal.

Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan

menggunakannya untuk berbuat maksiat juga diharamkan, seperti: menjual

anggur kepada pabrik minuman keras dan menjual senjata kepada perampok.

Begitu juga akad sewa, seumpama; menyewakan rumahnya untuk tempat

pelacuran, menyewakan gedung kepada bank konvensional dan lain-lain.

٢....dan jangan tolong menolong kalian atas perbuatan dosa dan permusuhan,

dan takutlah kalian pada Allah sesungguhnya Allah berat siksanya.

*

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 38

Dari Abi Mas’ud, sesungguhnya Rasululloh SAW melarang uang hasil penjualan

anjing, uang hasil pelacur, dan ongkos paranormal.”

2.6. Barang haram (suht)

Barang haram adalah barang-barang yang diharamkan dzatnya untuk

dikonsumsi, diproduksi, dan diperdagangkan menurut nash yang terdapat di

dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Contoh: minuman keras, narkoba, babi, darah,

bangkai, patung, binatang buas yang bertaring dan burung yang memiliki cakar

kuku yang kuat.

.

١٧٣Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan

binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi

barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak dalam

keadaan durhaka dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa

baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

.

Setiap (barang) yang memabukkan adalah haram.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 39

Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya ia mendengar Rasululoh SAW bersabda di

Makkah saat Fathu Makkah: ”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual-

beli arak, bangkai, babi, dan patung”. Maka ditanyakan: ”Ya Rasululoh,

bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena sesungguhnya ia

dibalurkan ke perahu, meminyaki kulit, dan manusia-manusia menggunakan

sebagai penerangan.” Maka Nabi bersada: ”Tidak boleh, itu haram”.

»«

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Nabi bersabda: “tiap-tiap binatang buas yang

bertaring maka memakannya haram”.

»سلم»

Dari Ibnu Abas dia berkata: Rasulullah SAW melarang (mengharamkan) dari

tiap-tiap binatang buas yang bertaring dan tiap-tiap burung yang mempunyai

cakar kuku yang kuat.

2.7. Risywah (suap)

2.7.1. Pengertian risywah

Risywah secara bahasa artinya al-ju’lu/upah dan apa-apa yang diberikan

untuk mendatangkan kemaslahatan...(lisan al-’arab dan al-mu’jamu al-wasith).

Al-Fayyumy berkata: risywah adalah apa-apa yang diberikan oleh seseorang

kepada Hakim atau lainnya agar dia menghukumi baik untuknya atau Hakim

membawanya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh si pemberi suap (Al-

Mishbah al-Munir).

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 40

Menurut istilah, risywah adalah apa-apa yang diberikan untuk membatalkan

barang yang benar dan membenarkan barang yang batal (salah) (taju al-’arus,

al-mu’jam al-wasith, hasyiatu al-thahthawy ’ala al-dur 3/177 ).

2.7.2. Hukum risywah (suap)

Risywah (suap) dalam urusan hukum dan risywah yang harus

dipertanggungjawaban dari suatu perbuatan, hukumnya haram tanpa adanya

perbedaan pendapat dan termasuk dosa besar. Allah ta’ala berfirman:

:٤٢(mereka banyak mendengar untuk berdusta, mereka memakan barang haram

(suap).

Hasan dan Sa’id bin jubair berkata: yaitu risywah.

Dan Allah berfirman :

):١٨٨ . (Dan janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang batal

dan kalian membawa dengannya kepada para hakim agar kalian memakan

sebagian harta manusia dengan berdosa padahal kalian mengetahui.

»«

Dari Abu Hurairah dia berkata Rasulullah SAW melaknat pemberi dan penerima

suap dalam urusan hukum.

Transaksi-Transaksi yang Haram

Bab II - 41

٦١٤/ ٣حسن صحيح "

Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap

dan dalam satu riwayat ada tambahan lafadz al-raaisy (memberi bantuan dan

melancarkan suap menyuap) (H.R.Tirmidzi 3/614 cet) al-Halaby dia berkata:

Hadits Hasan shahih.

Ahmad meriwayatkan dalam juz 5/279 cet, al-Maimaniyah dari haditsnya

Tsauban dan di dalamnya ada tambahan “warraaisy” (al-Mausu’ah 22/221).

Haram mencari suap dan memberikannya dan menerimanya seperti halnya

haram pekerjaan menjadi perantara antara orang yang menyuap dan orang

yang menerima suap (al-Mughny 9/78, Kasysyaf al-qina’ 6/316, al-zawajir

2/188, al-kabair li Dzdzahaby 142, nihayah al-muhtaj 8/243, nail al-authar

8/277, ibnu Abidin 4/303, Mawahibu al-jalil 6/120, al-Muhalla 9/131,157).

Hanya saja boleh bagi seseorang memberikan suap untuk menghasilkan

kebenaran atau untuk menolak penganiayaan atau bahaya, adapun dosanya

adalah bagi yang menerima suap bukan orang yang menyuap, begitulah

menurut pendapat Jumhur Ulama (Kasysyaf al-qina’ 6/316, nihayah al-muhtaj

8/234, al-Qurtuby 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Khithab 6/121, al-Muhalla

9/157, Mathalib uli al-nuha 6/479). Abu al-Laits al-Samarqandy berkata: Tidak

apa-apa seseorang memberikan suap dari dirinya dan hartanya (al-Qurtuby

6/183)…dan dari Atha’ dan Hasan: Tidak apa-apa seseorang melakukan suap

dari dirinya dan hartanya jika takut adanya penganiayaan (Kasysyaf al-Qina’

6/316).

Akad Produk Simpanan

Bab III - 42

BAB III

AKAD PRODUK SIMPANAN

Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai kaidah fikih muamalah dan

tujuh transaksi yang diharamkan. Pada Bab III ini akan dibahas mengenai

berbagai macam akad yang biasa digunakan dalam produk simpanan lembaga

keuangan syariah (LKS).

Akad secara bahasa berarti ikatan ( ), atau perikatan, perjanjian, dan

permufakatan ( ) dan dalam ilmu fikih disebut:

لPertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan

ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek (yang

diikatkan).

Ketika menyusun suatu akad, harus diperhatikan rukun dan syarat akad.

Rukun ialah sesuatu (kewajiban) yang tidak boleh tidak harus ada di dalam suatu

akad dan jika tidak ada salah satunya, maka transaksi menjadi batal. Rukun akad

menurut para ulama terdiri dari: 1) pihak yang berakad; 2) obyek akad; 3)

tujuan pokok akad; dan 4) kesepakatan. Syarat adalah sesuatu yang

menimbulkan adanya hukum, tidak adanya syarat menimbulkan tidak adanya

hukum. Contoh syarat pihak yang berakad: cakap hukum dan tidak dalam

keadaan dipaksa.

Sesuai dengan tujuannya, akad dapat dikelompokkan menjadi dua

macam, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam

perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba (tidak mencari keuntungan). Akad

tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk

Akad Produk Simpanan

Bab III - 43

memperoleh keuntungan. Menurut kaidah fikih tentang akad, akad tabarru’ tidak

boleh dirubah menjadi akad tijarah. Maksudnya, setiap transaksi yang asalnya

bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya

akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari

transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Contoh: A memberikan pinjaman

murni kepada B sebanyak satu juta rupiah dengan perjanjian B mengembalikan

satu juta rupiah tanpa adanya tujuan mencari keuntungan sama sekali. Setelah

terjadi transaksi, selang beberapa hari kemudian A berkata pada B: “berhubung

saya sudah membantu memberikan pinjaman kepada kamu maka tolonglah saya

diberi tanda syukur berupa kamu bekerja di tempat saya selama tiga hari tanpa

dibayar”. Demikian ini contoh akad tabarru’ dirubah menjadi akad tijarah,

hukumnya haram.

Kaidah fikih mengatakan:

Artinya: setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang

berpiutang, muqtaridh) maka ia adalah riba. Hal ini juga melanggar prinsip ayat:

*279Kamu tidak boleh mendhalimi dan tidak boleh didhalimi.

Dengan adanya A memperkerjakan B selama tiga hari tanpa dibayar,

dikaitkan dengan piutang A yang ada pada B maka berarti A telah melakukan

kedhaliman kepada B, dan B didhalimi oleh A karena diperas tenaganya secara

paksa tanpa dibayar.

Sebaliknya, akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Dalam

setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian

setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/

memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad

tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan.

Contoh: A menjual jam tangan kepada B seharga Rp 2.500.000 dicicil selama

Akad Produk Simpanan

Bab III - 44

tiga bulan. Dari jual beli ini, A mengambil keuntungan Rp 500.000 setelah satu

minggu A mentransaksikan kepada B dengan akat tijarah, tiba-tiba A merubah

akadnya menjadi akad tabarru’, yaitu dengan cara A berkata kepada B: “B saya

tidak jadi menjual jam tangan itu kepadamu, tetapi saya shadaqahkan saja

kepadamu supaya kamu tidak mempunyai tanggungan membayar kepada saya”.

Maka hal ini hukumnya boleh.

Secara umum, di dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik berbentuk

bank syariah maupun Baitul Maal wat Tamwil (BMT), mereka memiliki dua

produk yaitu produk simpanan dan produk pembiayaan. Secara umum ada tiga

produk simpanan yang dikelola oleh bank syariah, yaitu produk tabungan,

deposito, dan giro. Pada bab berikut akan dibahas mengenai akad-akad yang

digunakan dalam produk simpanan.

3.1. Tabungan

Salah satu fungsi LKS adalah menghimpun dana dari masyarakat antara

lain melalui produk berupa tabungan. Perjanjian untuk produk tabungan dapat

menggunakan akad wadi’ah atau akad mudharabah.

3.1.1. Wadi’ah

Wadi’ah (titipan) adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik

individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja

si penitip menghendaki. Wadi’ah adalah akad antar pemilik barang/modal

(mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) atau

kerugian dan untuk keamanan harta.

Rukun wadi’ah:

1. pihak yang berakad, yaitu penitip (muwaddi’) dan yang menerima titipan

(wadi’);

2. obyek yang diakadkan, yaitu barang yang dititipkan (wadi’ah/ida’);

3. ijab (serah);

4. qabul (terima).

Syarat wadi’ah:

Akad Produk Simpanan

Bab III - 45

1. pihak yang berakad: cakap hukum, sukarela (ridho), tidak dalam keadaan

dipaksa/terpaksa di bawah tekanan;

2. obyek yang diakadkan: merupakan milik mutlak bagi penitip (muwaddi’);

3. sighot: apa yang dititipkan harus jelas dan tidak mengandung persyaratan-

persyaratan lain.

Sifat wadi’ah:

1. pihak yang berakad: para pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini

setiap saat, karena wadi’ah termasuk akad ghairu lazim;

2. terdapat unsur permintaan tolong dari penitip (muwaddi’) dan pemberian

pertolongan adalah hak dari penerima titipan (wadi’), kalau penerima titipan

tidak mau, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menjaga titipan;

3. apabila penerima titipan mengharuskan adanya pembayaran berupa upah

atau biaya administrasi maka akad wadi’ah berubah menjadi akad ijarah

(sewa) yang mengandung unsur lazim.

Penjelasan:

Penerima simpanan tangan amanah = yad al-amanah

Penerima simpanan tangan penanggung = yad adh-dhamanah

Penitip = muwaddi’

Pemilik barang = mudi’

Penerima titipan = wadi’/mustauda’

Penyimpan = mustaudi’ /wadi’

Harta/modal = ida’

Jadi wadi’ah itu ada dua macam:

1. Wadi’ah yad al-amanah

2. Wadi’ah yad adh-dhamanah

1. Wadi’ah yad al-amanah

Wadi’ah yad al-amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan

(custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya dia tidak diharuskan

mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset

titipan (karena akadnya adalah titipan murni), kecuali bila hal itu terjadi karena

Akad Produk Simpanan

Bab III - 46

akibat kelalaian atau kecerobohan dari penerima titipan. Barang/obyek titipan

tidak boleh diubah atau diganti dengan jenis yang sama oleh pihak yang

menerima titipan (karena akadnya adalah titipan murni), titipan tersebut akan

diambil kembali oleh penitip sebagaimana kondisi, bentuk dan kriteria semula

pada saat dititipkan. Penerima titipan berhak mendapatkan upah (ujrah) di

dalam akad wadi’ah yad al-amanah karena telah menjaga, memelihara dan

mengamankan barang titipan tersebut sampai diambil kembali oleh pihak penitip.

Contoh dalam dunia perbankan: safe deposit box (kotak penyimpanan

barang/uang). Bank menerima fee (upah) karena menjaga keamanan barang

yang dimasukkan dalam kotak tersebut.

2.Wadiah yad al-dhamanah

Wadi’ah yad al-dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan

adalah penerima kepercayaan yang sekaligus sebagai penjamin (guarantor)

keamanan aset yang dititipkan. Penerima titipan memperoleh izin dari pemilik

aset titipan/barang/harta untuk menggunakannya dalam perniagaan

/perdagangan selama aset tersebut berada ditangannya serta berhak atas

pendapatan/keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut.

Penitip/penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk sewaktu-waktu

menarik kembali sebagian atau seluruh asetnya dan semua keuntungan yang

dihasilkan dari pengelolaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah

menjadi hak penerima titipan. Penerima titipan boleh memberikan bonus kepada

pemilik aset atas kehendaknya sendiri tanpa diikat oleh perjanjian. Dalam dunia

perbankan wadi’ah yad adh-dhamanah digunakan dalam bentuk:

- current account (berbentuk giro);

- saving account (tabungan dan deposito).

Catatan: Di beberapa Negara seperti Iran, produk giro berdasarkan prinsip Qord

al-Hasan; di Malaysia saving account tidak berdasarkan prinsip wadi’ah

melainkan berdasarkan prinsip mudharabah.

Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit

mengenai akad wadi’ah adalah berikut ini.

Akad Produk Simpanan

Bab III - 47

58هللاSesungguhnya Alloh memerintahkan kepada kalian untuk mendatangkan

(melaksanakan) pada amanat kepada ahlinya (yang memberikan amanah).

)صحيح:حتقيق(Datangkanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas

khianat pada orang yang berkhianat padamu.

حتقيق(*)حسن:

Dari Amr bin Su’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, bersabda

Rasululah SAW: ”Barangsiapa yang dititipi barang titipan, maka dia tidak ada

kewajiban menanggung ganti rugi atasnya.”

»«حسن

Dari ‘Aisyah RA, dia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: (Hak mendapatkan)

upah/keuntungan itu karena menjamin atau menanggung.

Mekanisme penggunaan akad wadi’ah dalam produk simpanan di bank

syariah dapat diuraikan berikut ini.

Akad Produk Simpanan

Bab III - 48

1. Penabung menyimpan uangnyanya di bank syariah dengan akad wadi’ah yad

adh-dhomanah.

2. Bank menyalurkan uang yang dihimpun dari para penabung dengan prinsip

syariah kepada pengguna dana (pembiayaan syariah).

3. Bank memperoleh bagi hasil, bagian keuntungan atau jasa sesuai dengan

akad pembiayaan antara bank dengan pengguna dana.

4. Hasil yang diterima bank dari produk pembiayaan sebagian digunakan untuk

memberikan bonus kepada para penabung.

Gambar 3.1. Mekanisme Penyimpanan Dana dengan Akad Wadi’ah

Ada beberapa ketentuan yang terkait dengan tabungan yang menggunakan akad

wadiah.

1. Bersifat simpanan.

2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call ) atau berdasarkan kesepakatan.

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian

(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

3.1.2. Mudharabah

Dalam penyimpanan uang, bisa juga digunakan akad mudharabah. Al-

Mudharabah/trust financing/trust investment/trust profit sharing:

adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama

(shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), dan pihak lainya

adalah sebagai pengusaha/pengelola (mudharib);

Akad Produk Simpanan

Bab III - 49

keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam

akad;

apabila terjadi kerugian akibat kelalaian dan kecerobohan mudharib maka

kerugian ditanggung oleh mudharib;

apabila terjadi kerugian bukan karena kelalaian dan kecerobohan mudharib

seperti kerugian akibat bencana alam, kerusuhan dan faktor eksternal

lainnya di luar kemampuan mudharib, maka kerugian ditanggung oleh

shahibul maal.

Rukun Mudharabah:

1. Pihak yang berakad

- Pemilik modal (shahibul maal)

- Pengelola dana (mudharib)

2. Obyek yang diakadkan

- Modal (maal)

- Kerja

- Keuntungan (ribh)

3. Akad

- Serah (sighat)

- Terima (qabul)

Syarat Mudharabah:

1. Pihak yang berakad.

- Shahibul maal dan mudharib, cakap hukum/kedua-duanya harus memiliki

kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan.

2. Obyek yang diakadkan adalah modal, kerja dan nisbah.

- Modal yang disetorkan kepada mudharib, harus jelas jumlah dan mata

uangnya.

- Jangka waktu pengelolaan modal.

- Jenis pekerjaan yang di mudharabah-kan

- Proporsi pembagian keuntungan (nisbah).

Akad Sighot (bentuk) Mudharabah:

Akad Produk Simpanan

Bab III - 50

- Harus jelas dan disebutkan secara spesifik, dengan siapa berakad.

- Antara ijab-qabul harus selaras, baik dalam modal, kerja dan penentuan

nisbah.

- Tidak mengandung ketentuan yang bersifat menggantungkan keabsahan

transaksi pada hal/kejadian yang akan datang.

Mudharabah ada dua macam yaitu:

1. Mudharabah mutlaqah

2. Mudharabah muqayyadah

Mudharabah mutlaqah adalah kontrak mudharabah yang cakupannya

sangat luas dan tidak dibatasi oleh ketentuan khusus (tidak memiliki ikatan

tertentu) sepanjang sesuai dengan syariah. Ada ungkapan tentang hal ini ”if’al

ma syi’ta“ (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal kepada mudharib .

Mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah/specified mudharabah)

adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah. Mudharib dibatasi dengan

ketentuan-ketentuan khusus seperti jenis usaha, waktu, tempat usaha, dan

seterusnya (adalah kontrak mudharabah yang memiliki ikatan tertentu).

Gambar 3.2. Mekanisme Penyimpanan Dana dengan Akad Mudharabah

Akad Produk Simpanan

Bab III - 51

Mudharabah aplikasi dari perbankan/LKS:

- Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan &

pendanaan.

- Pada sisi penghimpunan dana, biasanya diterapkan pada tabungan

berjangka (untuk tujuan khusus seperti: tabungan haji, tabungan kurban,

dll), deposito biasa.

- Special investment di mana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk

bisnis tertentu saja, misal: murabahah saja, ijarah saja.

Dalam transaksi tabungan mudharabah ini nasabah bertindak sebagai

pemilik dana (shahibul maal) dan LKS/perbankan syariah bertindak sebagai

pengelola dana (mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,

LKS/perbangkan syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak

bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di

dalamnya melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Dana yang disetor

sebagai modal melalui tabungan mudharabah harus dinyatakan jumlahnya

dalam bentuk tunai.

Nasabah wajib memelihara saldo tabungan minimum yang ditetapkan

oleh LKS dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan

rekening. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan

dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Bagi hasil mudharabah dapat

dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit sharing)

atau bagi pendapatan (revenue sharing). Metode bagi laba (profit sharing)

dihitung dari total pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya operasional.

Metode bagi pendapatan (revenue sharing) dihitung dari total pendapatan

mudharabah yang diterima oleh LKS.

Pemberian bagi hasil untuk nasabah didasarkan pada saldo rata-rata

dalam satu bulan laporan. Lembaga Keuangan Syariah sebagai mudharib

menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan

yang menjadi haknya. Biaya operasional tabungan yang menjadi beban LKS

sebagai mudharib adalah biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan operasi

Akad Produk Simpanan

Bab III - 52

pengelolaan dana kecuali biaya administrasi. Contoh biaya administrasi antara

lain biaya penggantian buku, biaya cetak laporan, biaya cetak rekening, dan

biaya materai. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan mengurangi

nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan mudharabah:

Dari ‘Ala bin Abdurrohman dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Utsman

bin Affan menyerahkan hartanya sebagai modal, di mana kakeknya ‘Ala (Ya’qub)

bekerja mengelola harta, dan bahwa untungnya dibagi dua diantara mereka.

» ،. حكم

Tiga hal di dalamnya ada kebarokahan, jual beli sistim jatuh tempo, muqaradhah

(mudharabah) dan mencampur gandum dengan syair untuk di rumah bukan

untuk dijual.

Adalah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya

sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak

mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah/jurang, serta tidak membeli

Akad Produk Simpanan

Bab III - 53

hewan ternak. Jika persyaratannya dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung

risikonya. Maka sampai persyaratan itu kepada Rasululah SAW, dan beliau

memperbolehkannya.

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar mereka

berkata perdagangkanlah harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat,

maka para shahabat melakukan kerjasama mudharabah dengan harta bendanya

anak yatim dan sungguh-sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa

beliau bersabda: Gunakanlah untuk usaha harta anak yatim supaya tidak

dimakan oleh zakat dan dia bersabda: supaya tidak dihilangkan oleh zakat

(hadits ini kedudukannya mursal).

--

Akad Produk Simpanan

Bab III - 54

-

Dan Amr bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:

Rasulullah SAW berkhutbah dan bersabda: ketahuilah barang siapa yang

meramut harta anak yatim hendaknya diperdagangkan dan jangan sampai

dibiarkan lantas dimakan oleh zakat. Atsar shahabat yang saya sebutkan dan

yang semisalnya menunjukkan atas bolehnya kerjasama mudharabah dalam hal

yang telah kami sebutkan dari ijma’ para ulama’ dan kesepakatan para fuqaha’ /

imam-imam ahli fatwa atas bolehnya kerjasama mudharabah sebagai hujjah

yang cukup memuaskan insya Allah dan berdasarkan taufiq dari Allah.

Imam Malik menceritakan dalam kitab Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari

bapaknya, bahwa Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Khattab keluar mengikuti

peperangan di Irak. Ketika mereka berdua pulang dari peperangan melewati

Basroh bertemu dengan Abu Musa al-Asy’ari sebagai amir Basroh, maka

keduanya disambut dengan ucapan selamat datang dan dipermudah urusannya,

kemudian Abu Musa al-Asy’ari berkata: seandainya aku mampu memberi kalian

berdua sesuatu yang bermanfaat niscaya aku lakukan. Kemudian dia berkata “o

ya, disini ada harta sabilillah, aku hendak mengirimkannya kepada amirul

mu’minin, maka aku pinjamkan dulu harta itu kepada kamu berdua, lantas

gunakanlah untuk membeli dagangan dari Irak, kemudian juallah dagangan

tersebut di Madinah, kemudian pokok modalnya berikan pada Amirul Mu’minin

dan keuntungannya untuk kamu berdua”. Keduanya berkata, “Aku senang

tentang tawaranmu itu”. Lantas Abu Musa al-Asy’ari melakukannya dan menulis

surat kepada khalifah Umar bin Khattab agar mengambil harta sabilillah yang dia

kirimkan melalui kedua anaknya. Ketika keduanya sampai di Madinah maka

dijuallah dagangannya dan mereka berdua memperoleh keuntungan.

Akad Produk Simpanan

Bab III - 55

Ketika pokok modal diberikan kepada khalifah Umar, maka beliau

bertanya, “apakah semua tentara dipinjami seperti dia meminjami kamu

berdua?”. Keduanya menjawab “Tidak”. Khalifah Umar bin Khattab berkata:

“karena kamu berdua anak dari Amirul Mu’minin maka dia memberikan

pinjaman”. Berikanlah pokok modal bersama semua keuntungannya kepadaku!

Adapun Abdullah maka dia diam saja tetapi Ubaidillah berkata “Wahai amirul

Mu’minin tidak seyogyanya kamu berbuat begitu, seandainya harta ini berkurang

atau rusak, niscaya kami berdua menanggung untuk menggantikannya”. Khalifah

Umar berkata, “Berikanlah semua kepadaku”, maka Abdullah diam dan Ubaidillah

mengulangi perkataannya lagi, lantas seseorang dari teman duduk Khalifah Umar

berkata, “Wahai Umar, alangkah baiknya seandainya kamu jadikan masalah ini

sebagai kerjasama Mudharabah! Khalifah Umar berkata “Sungguh aku telah

menjadikannya kerjasama mudharabah”. Maka Umar mengambil pokok modal

dan setengah dari keuntungan, dan Abdullah serta Ubaidillah bin Umar bin

Khattab juga mengambil setengah dari keuntungan.

Contoh akad tabungan mudharabah dalam perbankan:

Tabungan Bank Syariah ABC: akad yang digunakan adalah mudharabah

muthlaqah. Setoran awal Rp 80.000 (perseorangan) dan Rp 1.000.000 (non

perseorangan). Porsi nisbah nasabah 34% dan porsi nisbah bank 66%. Contoh

simulasi: jika saldo nasabah bulan Juni Rp 100.000.000; saldo rata-rata seluruh

nasabah BSM Rp 40.000.000.000; pendapatan bank yang dibagi hasilkan untuk

nasabah tabungan Rp 1.000.000.000; jumlah hari penempatan 30 hari.

Maka bagi hasil yang diperoleh nasabah sebelum dipotong pajak:

Bagi hasil yang diterima nasabah =

[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata

saldo total nasabah bank)] / 12

= [34% x Rp 1.000.000.000 x (Rp 100.000.000 / Rp 40.000.000.000)] / 12

= Rp 70.833.

Akad Produk Simpanan

Bab III - 56

3.2.Deposito Mudharabah

Salah satu fungsi LKS adalah menghimpun dana dari masyarakat antara

lain melalui produk LKS berupa deposito mudharabah. Nasabah bertindak

sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan LKS bertindak sebagai pengelola dana

(mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, LKS dapat melakukan

berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan

mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan akad mudharabah

dengan pihak lain. Dana yang disetor sebagai modal melalui deposito

mudharabah harus dinyatakan jumlahnya dalam bentuk tunai. Pembagian

keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad

pembukaan rekening.

Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua

metode yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing).

Metode bagi laba (profit sharing) dihitung dari total pendapatan setelah

dikurangi seluruh biaya operasional. Metode bagi pendapatan (revenue sharing)

dihitung dari total pendapatan mudharabah yang diterima oleh LKS.

Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam akad deposito

mudharabah:

1. dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)

dan LKS bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);

2. dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai

macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan

mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain;

3. modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan

piutang;

4. pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan

dituangkan dalam akad pembukaan rekening;

5. Lembaga Keuangan Syariah sebagai mudharib menutup biaya operasional

deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;

Akad Produk Simpanan

Bab III - 57

6. biaya operasional deposito yang menjadi beban LKS sebagai mudharib

adalah biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan operasi pengelolaan dana

kecuali biaya administrasi, contoh biaya administrasi untuk deposito antara

lain biaya materai. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan

mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah;

7. Lembaga Keuangan Syariah tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah

keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Contoh:

Deposito Bank Syariah Mandiri: akad yang digunakan adalah mudharabah

muthlaqah. Porsi nisbah nasabah 51% dan porsi nisbah bank 49%.

Bagi hasil yang diterima nasabah =

[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata

saldo total nasabah bank)] / 12

Contoh simulasi: jika saldo nasabah bulan Juni Rp 300.000.000; saldo rata-rata

seluruh nasabah BSM Rp 50.000.000.000; pendapatan bank yang dibagi hasilkan

untuk nasabah tabungan Rp 2.000.000.000; jumlah hari penempatan 30 hari;

maka bagi hasil yang diperoleh nasabah sebelum dipotong pajak:

Bagi hasil yang diterima nasabah =

[nisbah nasabah x pendapatan yang dibagi hasilkan x (saldo nasabah / rata-rata

saldo total nasabah bank)] / 12

=[51% x Rp 2.000.000.000 x (Rp 300.000.000 / Rp 50.000.000.000)] / 12

= Rp 510.000.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 58

BAB IV

AKAD PRODUK PEMBIAYAAN

Ada empat prinsip yang biasa digunakan dalam pembiayaan di LKS, yaitu:

prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa/upah, dan prinsip utang piutang.

Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam akad yang digunakan dalam produk

pembiayaan dengan empat prinsip tersebut.

4.1. Prinsip Bagi Hasil

4.1.1.Musyarakah

4.1.1.1. Pengertian

Syirkah dalam arti bahasa adalah: “Bercampur yakni bercampurnya salah

satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara

keduanya.1 Pengertian syirkah dengan ikhtilath (percampuran) banyak ditemukan

dalam literatur fiqh mazhab empat. Syirkah diartikan ikhtilath karena di dalamnya

terjadi percampuran harta antara beberapa orang yang berserikat, dan harta

tersebut kemudian menjadi satu kesatuan modal bersama.

Adapun musyarakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran.

Syirkah adalah pembiayaan berdasar akad kerjasama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi

dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang

disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi

modal yang disertakan dalam usaha (Sholihin, 2010).

4.1.1.2.Dasar Hukum

Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an dan al-

Hadits. Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara

1 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islaamiy wa Adilatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 792.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 59

implisit syirkah tersebut di bawah ini.

…24Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu niscaya berbuat

aniaya sebagian mereka kepada sebagian, kecuali orang-orang beriman dan

mengerjakan kebaikan, dan mereka itu sedikit.

:حتقيق(

)ضعيفDari Abu Hurairah, bersabda Nabi SAW: ”Sesungguhnya Alloh berfirman: ”Aku

adalah yang ketiga dari dua orang yang bersyirkah, selama tidak mengkhianati

salah satu dari keduanya pada saudaranya. Maka ketika ia mengkhianati pada

saudaranya, maka Aku keluar dari syirkah mereka berdua.”

ضعيف):Dari Abdullah bin Mas’ud RA ia berkata: “Saya bersyirkah dengan ‘Ammar dan

Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 60

dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang

dengan tidak membawa apa-apa”.

4.1.1.3.Macam-Macam Syirkah

Adapun jenis-jenis al-musyarakah ada dua, yaitu musyarakah kepemilikan

(amlak) dan musyarakah akad (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena

warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan satu aset oleh

dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih

berbagi dalam sebuah aset riil dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan

aset tersebut.

Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau

lebih setuju bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah

dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Jenis-jenis musyarakah akad

adalah berikut ini.

4.1.1.3.1.Syirkah ‘Anan

Adalah kontrak antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak

memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi yang dibutuhkan dan

ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya. Kedua pihak berbagi pula dalam

keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati di antara mereka.

Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana investasi maupun kerja

atau bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.

Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor

modal Rp 2 juta dan B setor modal Rp 3 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola

warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A

40 persen dan B 60 persen.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 61

4.1.1.3.2.Syirkah Mufawadhah

Adalah kontrak/kerjasama antara dua orang atau lebih di mana masing-

masing pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi dan

berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara

sama rata. Dengan demikian, syarat utama dari jenis ini adalah kesamaan jumlah

dana investasi yang diberikan, kerja, tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh

masing-masing pihak.

Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor

modal Rp 2,5 juta dan B setor modal Rp 2,5 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola

warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A

50 persen dan B 50 persen.

Perbedaan dengan syirkah ‘anan selain terkait dengan porsi modal adalah dalam

syirkah mufawadhah masing-masing memberikan hak perwakilan pada temannya

untuk mewakili dia. A bekerja sebagai mewakili B dan B bekerja sebagai mewakili

A. Jika salah satu atau kedua-duanya meninggal dunia, maka bisa dilimpahkan

pada ahli warisnya.

4.1.1.3.3.Syirkah Abdan (A’mal)

Adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya

memberikan kontribusi kerja (a’mal), tanpa kontribusi modal (Sholihin, 2010).

Contoh: A dan B masing-masing adalah konsultan bisnis, masing-masing sepakat

hasil usahanya sebagai konsultan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Pihak-pihak

yang bersyirkah bisa jadi berlainan profesi atau keahlian. Hasil kerjanya dibagi

sesuai dengan kesepakatan. Contoh lain: tiga orang bersyirkah dalam mengerjakan

pesanan mebel. Ada yang memiliki keahlian membuat mebel, ada yang ahli

mengukir, dan ada yang ahli mengecat. Hasil pekerjaannya dibagi bertiga.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 62

4.1.1.3.4.Syirkah Wujuh

Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau

keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah

antara dua pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (‘amal),

dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (maal). Dalam hal ini,

pihak A dan B adalah tokoh masyarakat (Sholihin, 2010). Syirkah semacam ini

hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-

ketentuan syirkah mudharabah padanya (An-Nabhani, 1990:154). Bentuk kedua

syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam

barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada

keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B

tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara

membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat

masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual

barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya

dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi

berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang

dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh

usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk

dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani

mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh

adalah kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata

ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang

tokoh (misalkan: seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur

atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh

yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia

dianggap memiliki kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi

misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (Penjelasan

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 63

mengenai macam-macam akad syirkah ada juga dalam hadis Sunan Nasa’i Bab

Syarikati ‘Anan baina tsalatsah....).

4.1.2. Mudharabah

Di dalam pembiayaan bisa juga digunakan akad mudharabah. Mudharabah

dalam pembiayaan ini adalah bentuk kerjasama dari pemilik dana (shahibul maal)

kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,

dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau

metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan

nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik

dana (jika disebabkan faktor-faktor di luar kelalaian dan kecerobohan pengelola

dana). Pengelola menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi

mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak

ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan

mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian,

jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor. Kecuali kerugian tersebut

disebabkan kelalaian atau ketidakamanahan pengelola, maka kerugiannya

ditanggung oleh pengelola (Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103;

Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and

Qiradh, hal. 66).

Contoh: Pak Saleh menyerahkan uang kepada pak Khalid sebesar 100 juta

rupiah untuk dikembangkan dalam bentuk usaha jual-beli kurma dengan

perjanjian pak Saleh mendapat rasio laba 70% dan pak Khalid selaku pihak

pengelola mendapat rasio laba 30%. Kerugian sepenuhnya ditanggung pemberi

modal (pak Saleh) dan pihak yang bekerja (pak Khalid) tidak menanggung

kerugian modal, karena dia telah menanggung kerugian dalam bentuk kerja,

kecuali ada unsur kesengajaan atau kelalaian dari pihak pak Khalid, maka dia

menanggung kerugian sebanyak unsur kelalaian (Dr. Yusuf Al Subaily, “Fiqh

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 64

Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi

Modern”, Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh, Arab Saudi).

Gambar 4.1. Mekanisme Pembiayaan Mudharabah

Dalil-dalil yang berkaitan dengan mudharabah:

مالك Dari ‘Ala bin Abdurrohman dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Utsman

bin Affan menyerahkan hartanya sebagai modal, di mana kakeknya ‘Ala (Ya’qub)

bekerja mengelola harta, dan bahwa untungnya dibagi dua diantara mereka.

» ،. حكم

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 65

Tiga hal di dalamnya ada kebarokahan, jual beli sistim jatuh tempo, muqaradhah

(mudharabah) dan mencampur gandum dengan syair untuk di rumah bukan untuk

dijual.

Adalah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya sebagai

mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan

dan tidak menuruni lembah/jurang, serta tidak membeli hewan ternak. Jika

persyaratannya dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Maka

sampai persyaratan itu kepada Rasululah SAW, dan beliau memperbolehkannya.

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar mereka

berkata perdagangkanlah harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat, maka

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 66

para shahabat melakukan kerjasama mudharabah dengan harta bendanya anak

yatim dan sungguh-sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau

bersabda: Gunakanlah untuk usaha harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh

zakat dan dia bersabda: supaya tidak dihilangkan oleh zakat (hadits ini

kedudukannya mursal).

---

Dan Amr bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:

Rasulullah SAW berkhutbah dan bersabda: ketahuilah barang siapa yang meramut

harta anak yatim hendaknya diperdagangkan dan jangan sampai dibiarkan lantas

dimakan oleh zakat. Atsar shahabat yang saya sebutkan dan yang semisalnya

menunjukkan atas bolehnya kerjasama mudharabah dalam hal yang telah kami

sebutkan dari ijma’ para ulama’ dan kesepakatan para fuqaha’ / imam-imam ahli

fatwa atas bolehnya kerjasama mudharabah sebagai hujjah yang cukup

memuaskan insya Allah dan berdasarkan taufiq dari Allah.

4.2.Prinsip Jual Beli

4.2.1.Murabahah

Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ( ) yang akar

katanya rabiha ( ) artinya beruntung atau tambahan )( . Menurut fuqaha,

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 67

pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah

dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor

Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda

motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan

keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga harga penjualan menjadi

Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo

(cicilan atau bai’ bitsaman ajil).

Pengertian murabahah dapat disimpulkan adalah akad yang dipergunakan

dalam perjanjian jual beli barang dengan menyatakan harga pokok barang dan

keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Lembaga

Keuangan Syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang

telah disepakati kualifikasinya, di mana LKS membeli barang yang diperlukan oleh

nasabah atas nama LKS sendiri, kemudian menjual barang tersebut kepada

nasabah sebesar harga jual yaitu harga pokok barang ditambah keuntungan.

Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan transaksi

jual-beli murabahah:

275Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Dari Muhammad, tidak bahaya/tidak mengapa (menjual harga) sepuluh dengan

sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi SAW

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 68

kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan

anakmu dengan sesuatu yang baik.”

ا *Dari Hakim bin Hizam berkata ia, bersabda Rasululah SAW: ”Dua orang yang

berjual beli itu berhak memilih selama keduanya belum berpisah”, atau beliau

bersabda: ”Sehingga keduanya berpisah. ”Jika keduanya jujur dan terus-terang,

maka keduanya mendapat berkah dalam jual-belinya. Jika keduanya

menyembunyikan (cacad) dan berdusta maka dihapuslah berkah jual-belinya itu.

Gambar 4.2. Mekanisme Pembiayaan Murabahah

Keterangan:

1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan pembelian barang tertentu

kepada LKS.

2. LKS membelikan barang sesuai dengan surat pengajuan permohonan nasabah

kepada supllier barang.

3. Pemasok barang menjual barang yang dimaksud kepada LKS.

4. LKS menjual barang yang dimaksud kepada nasabah dengan mengambil

margin keuntungan atas harga pembelian kepada nasabah.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 69

Dalam memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah, LKS dapat

mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga

untuk dan atas nama LKS, kemudian barang tersebut dijual kepada nasabah.

Dalam hal ini akad murabahah baru dapat dilakukan setelah secara prinsip barang

tersebut menjadi milik LKS.

Pembayaran oleh nasabah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh (pada

akhir periode atau secara angsuran) sesuai kesepakatan. Jangka waktu

pembayaran harga barang oleh nasabah kepada LKS ditentukan berdasarkan

kesepakatan LKS dan nasabah. LKS dapat meminta nasabah untuk membayar

uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang

oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta oleh LKS kepada

nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi murabahah.

Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi murabahah terjadi. Pada

prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak boleh

mempergunakannya. Apabila transaksi murabahah jadi dilaksanakan, maka uang

muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang murabahah. Apabila transaksi

murabahah tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan

kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan

dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka

nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS.

Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah LKS dapat meminta

nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai LKS.

Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah

selama periode akad. Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari

pemasok sebelum terjadinya transaksi murabahah maka besarnya potongan harga

(diskon) merupakan hak nasabah dan sebagai pengurang harga jual murabahah.

Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari pemasok setelah terjadinya

transaksi murabahah maka pembagian potongan harga (diskon) dilakukan

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 70

berdasarkan kesepakatan antara LKS dan nasabah dan dituangkan dalam akad

serta ditandatangani oleh kedua belah pihak.

LKS dapat memberikan potongan pelunasan dalam transaksi murabahah:

a. bagi nasabah yang telah melakukan pelunasan piutang murabahah secara

tepat waktu; atau

b. bagi nasabah yang melakukan pelunasan piutang murabahah lebih cepat dari

waktu yang telah disepakati.

LKS dapat memberikan potongan tagihan murabahah (al-hashmu fi al-

murabahah) bagi:

a. nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat

waktu;

b. nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

Pengertian nasabah yang membayar cicilannya dengan tepat waktu adalah

nasabah yang membayar cicilannya (pokok ditambah marjin) sesuai dengan jadwal

yang telah disepakati di dalam akad. Pengertian nasabah yang mengalami

penurunan kemampuan membayar adalah nasabah yang usahanya mengalami

penurunan karena business risk (risiko bisnis).

Rukun Murabahah:

1. Penjual ( ) yaitu pihak yang membeli barang dari pemasok dianalogikan

bank.

2. Pembeli ( ) yaitu orang yang membutuhkan (membeli) barang

dianalogikan nasabah.

3. Barang yang akan diperjualbelikan ( ي ) dan harga ( ).

4. Akad.

Ketentuan akad murabahah dalam Bank Syariah atau LKS:

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 71

Akad murabahah dilaksanakan setelah barang secara prinsip dimiliki oleh

bank

Bank tidak boleh melakukan akad (menjual barang kepada nasabah),

sementara barang tersebut belum dimiliki oleh bank.

Selama ini, bank syariah mencairkan dana setelah akad murabahah

ditandatangani

Sekarang bank syariah harus mencairkan dana untuk membeli barang

sebelum akad murabahah ditandatangani dengan nasabah.

4.2.3.Jual beli sistem pesanan

4.2.3.1.Salam

Salam dan salaf mempunyai pengertian yang sama. Dalam kamus Al Mu’jam

Al Wasith disebutkan “as salaf” diartikan dengan “bai’us-salam” yang artinya jual

beli salam. Pengertian salaf atau istalafa: iqtaradha yang artinya berutang. Jual

beli salam adalah akad yang digunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan

cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih

dahulu secara penuh di muka. Lembaga Keuangan Syariah membeli barang dari

pemasok dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga

yang disepakati di muka. Pembayaran harga oleh LKS kepada pemasok harus

dilakukan secara penuh pada saat akad disepakati atau selambat-lambatnya 3

(tiga) hari setelah akad disepakati. Pembayaran oleh nasabah kepada LKS tidak

boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus diketahui jumlah dan

bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai dengan kesepakatan.

Dalam rangka meyakinkan bahwa pemasok dapat menyerahkan barang

sesuai kesepakatan maka LKS dapat meminta jaminan pihak kedua atau bentuk

agunan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal pemasok menyerahkan

barang kepada LKS dengan kualitas yang lebih tinggi maka pemasok tidak boleh

meminta tambahan harga. Dalam hal pemasok menyerahkan barang kepada LKS

dengan kualitas yang lebih rendah dan LKS bersedia menerima maka LKS tidak

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 72

boleh meminta pengurangan harga atau diskon. Dalam hal pemasok menyerahkan

barang lebih cepat dari waktu yang disepakati, kualitas dan jumlah barang yang

diserahkan telah sesuai dengan kesepakatan, maka pemasok tidak boleh menuntut

tambahan harga. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai

dengan waktu penyerahan (baik kualitas atau jumlahnya) sebagaimana

kesepakatan maka LKS memiliki pilihan untuk:

a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad dan meminta pengembalian dana hak

LKS;

b. menunggu penyerahan barang tersedia;

c. meminta kepada pemasok untuk mengganti dengan barang lainnya yang

sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang

pesanan semula.

Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembeli dalam kontrak salam dapat

membuat kontrak salam paralel dengan pihak lainnya, di mana LKS bertindak

sebagai penjual. Kewajiban dan hak dalam kedua akad salam tersebut harus

terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu salam tidak boleh

tergantung pada akad salam lainnya. Dalam hal LKS sebagai penjual, tetap harus

memenuhi kewajibannya kepada nasabah apabila pemasok tidak memenuhi

kontrak salam. Semua ketentuan yang berlaku pada akad salam berlaku juga

pada akad salam paralel.

Secara hukum muamalah, salam merupakan akad yang dibolehkan

meskipun obyeknya tidak ada di majelis akad, sebagai pengecualian dari

persyaratan jual beli yang berkaitan dengan obyeknya harus ada di majelis akad.

Dasar hukum dibolehkannya salam adalah:

..

282

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 73

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya....

Dalam menafsirkan ayat di atas, Muhammad Ali As-Says mengatakan:

“menurut kebanyakan ahli tafsir, jual beli itu ada empat macam, yaitu (1) jual beli

barang dengan barang, (2) jual beli utang dengan utang. Kedua macam jual beli

ini tidak termasuk dalam ayat di atas, (3) jual beli barang dengan utang, (4) jual

beli utang dengan barang, dan ini yang disebut dengan salam. Kedua jenis jual beli

yang terakhir ini termasuk ke dalam ayat di atas.

Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i, Thabrani,

al-Hakim dan Baihaqi mengatakan: “saya bersaksi (meyakini) bahwa

sesungguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan (dijanjikan) untuk masa tertentu,

sesungguhnya telah dihalalkan oleh Alloh di dalam kitab-Nya dan diizinkan untuk

dilakukan”, kemudian beliau membaca al-Baqarah ayat 282.

Dalam al-Hadits:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW datang ke Madinah, dan mereka

meminjamkan uang untuk pembelian kurma dua atau tiga tahun mendatang. Maka

Nabi bersabda: ”Barangsiapa mengutangkan dalam sesuatu, hendaklah dengan

takaran yang jelas dan timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 74

»: «لل

Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya jual beli itu berdasarkan saling ridla.

»

: «

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, perdamaian itu boleh diantara kaum

muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan barang halal atau

menghalalkan barang haram. Orang-orang Islam itu tergantung persyaratan

mereka kecuali syarat yang mengharamkan barang halal atau menghalalkan

barang haram.

4.2.3.2.Istishna’ ( )

Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang

tertentu dengan kriteria tertentu antara pemesan (pembeli/ ) dan penjual

(pembuat /ا ). Berdasarkan akad istishna’ tersebut, penjual (produsen/ ا )

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 75

wajib membuat atau mengadakan barang yang dipesan ( ) sesuai

spesifikasi yang disyaratkan pembeli untuk kemudian diserahkan kepada pembeli

pada waktu yang telah disepakati. Lembaga Keuangan Syariah menjual barang

kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan

harga yang disepakati. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta nasabah untuk

membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal

pemesanan barang oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta

oleh LKS kepada nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi

istishna’. Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi istishna’ terjadi.

Pada prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak boleh

mempergunakannya. Apabila transaksi istishna’ jadi dilaksanakan, maka uang

muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang istishna’. Apabila transaksi

istishna’ tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan

kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan

dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka

nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS. Pembayaran oleh nasabah

kepada LKS tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus

diketahui jumlah dan bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai

dengan kesepakatan. Pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada LKS dapat

dilakukan secara tunai ataupun secara angsuran atau ditangguhkan sampai jangka

waktu tertentu. Dalam hal LKS menyerahkan barang kepada nasabah dengan

kualitas yang lebih tinggi maka LKS tidak boleh meminta tambahan harga. Dalam

hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan dan atau

kualitas atau jumlahnya tidak sesuai kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan

untuk:

a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad;

b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 76

c. meminta kepada LKS untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis

sesuai kesepakatan.

Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual (shani’) dalam kontrak istishna'

dapat membuat kontrak istishna' paralel dengan pihak lainnya di mana LKS

bertindak sebagai pembeli (mustashni’). Kewajiban dan hak dalam kedua akad

istishna' tersebut harus terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu akad

istishna' tidak boleh tergantung pada akad istishna' lainnya. Semua ketentuan

yang berlaku pada akad istishna’ berlaku juga pada akad istishna' paralel.

4.3.Prinsip Jasa/Sewa-Menyewa

4.3.1.Ijarah

Sewa menyewa atau ijaarah berasal dari kata yang sinonimnya

‘akraa yang artinya menyewakan; yang artinya ia memberinya

upah; dan yang artinya memberinya pahala. Ali Fikri mengartikan ijaarah

menurut bahasa dengan yang artinya sewa menyewa itu jual

beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan: ijaarah diambil dari kata

yang artinya (imbalan), dari pengertian ini pahala ( )

dinamakan (upah/pahala). Ijarah adalah akad yang digunakan untuk transaksi

sewa menyewa suatu barang dan atau jasa dalam waktu tertentu melalui

pembayaran sewa atau imbalan jasa.

Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 77

mengenai akad ijarah adalah berikut ini.

Maka jika telah menyusui mereka untuk (anak) kalian, maka hendaknya kalian

memberikan kepada mereka upah mereka.

:

»«

فه.Dari Abu said al Khudri dan Abu Hurairah mereka berkata: Rasulullah SAW

bersabda: Barang siapa memperkerjakan pekerja, maka beritahukanlah upahnya .

»

«Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering

keringatnya

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 78

)حسن:حتقيق(Dari Sa’id dia berkata: Bahwasanya kami menyewakan tanah dengan (bayaran)

tanaman-tanaman yang ditanam di parit-parit dan tanaman-tanaman yang

mendapatkan aliran air dari parit tersebut. Maka Rasululah SAW melarang pada

kami dari demikian itu, dan beliau perintah pada kami agar menyewakan tanah

dengan emas atau perak.

Akad ijarah dapat digunakan untuk dua jenis transaksi yaitu:

a. Akad ijarah untuk transaksi sewa-menyewa;

b. Akad ijarah untuk transaksi multijasa.

Di dalam praktek perbankan syariah di Indonesia pembiayaan ijarah ada ketentuan

untuk transaksi sewa menyewa:

1) LKS dapat menyewakan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki LKS

atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk

kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;

2) Objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara

spesifik dan dinyatakan dengan jelas nilai barang, jumlah pembayaran sewa

dan jangka waktunya;

3) LKS wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun

kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai

kesepakatan;

4) LKS wajib menanggung biaya pemeliharaan barang atau aset sewa yang

sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 79

5) LKS dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan

disewa oleh nasabah;

6) Penyewa wajib membayar sewa secara tunai atau secara angsuran. Penyewa

wajib menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewanya

sesuai dengan kesepakatan;

7) Kerusakan barang yang disebabkan karena kejadian luar biasa tidak menjadi

tanggungjawab penyewa. Penyewa bertanggung jawab atas kerusakan barang

yang disewa akibat pelanggaran perjanjian atau kelalaiannya.

Lebih jelasnya Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan antara lain:

Pertama: Rukun dan syarat Ijaroh

1. Sighat Ijarah yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak

yang berakad (berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain.

2. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan

penyewa/pengguna jasa.

3. Obyek akad ijaroh; yaitu:

a. Manfaat barang dan sewa; atau

b. Manfaat jasa dan upah.

Kedua: Ketentuan obyek ijarah:

1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.

2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam

kontrak.

3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak

diharamkan).

4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

5. Manfaat barang atau jasa harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa

untuk menghilangkan jahalah (ketidakjelasan) yang akan mengakibatkan

sengketa.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 80

6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka

waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

7. Sewa atau upah harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh

penyewa/pengguna jasa kepada pemberi sewa/pemberi jasa (LKS) sebagai

pembayaran manfaat atau jasa. Sesuatu yang dapat dijadikan harga

(tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam

ijarah.

8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis

yang sama dengan obyek kontrak.

9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat

diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Ketiga: kewajiban LKS dan dan nasabah dalam pembiayaan ijarah

1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:

a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan;

b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.

c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

2.Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:

a. membayar sewa atau upah dan bertanggungjawab untuk menjaga

keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak);

b. menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak

materiil);

c. jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari

penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak

penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas

kerusakan tersebut.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 81

Ketentuan Syariah Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT)

1) LKS dan nasabah yang melakukan (sewa menyewa

yang berakhir dengan kepemilikan) harus melaksanakan akad ijarah terlebih

dahulu.

2) LKS sesuai kesepakatan dapat memberikan opsi pengalihan kepemilikan

barang atau aset sewa kepada nasabah yang merupakan janji ( ) yang

mengikat LKS dan harus dituangkan dalam akad ijarah.

3) LKS dapat mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan

hibah, hadiah, atau pembayaran harga sisa barang pada akhir periode

perjanjian sewa dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad yang

terpisah.

4) Akad pengalihan kepemilikan barang atau aset sewa, hanya dapat dilakukan

setelah masa ijarah selesai.

Dalam rangka memitigasi/meringankan risiko pembiayaan Ijarah Muntahiyah bit

Tamlik LKS dapat melakukan langkah-langkah antara lain:

a. Menahan dokumen bukti kepemilikan barang/aset sewa sampai dengan

berakhirnya akad ijarah dan pelunasan kewajiban nasabah kepada LKS;

b. Meminta agunan tambahan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku.

Semua ketentuan yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad Ijarah

Muntahiyah bit Tamlik.

Ilustrasi:

Dengan semakin pesatnya kemajuan usaha Fulan di bidang penjualan sembako,

maka Fulan memerlukan sebuah ruko untuk kegiatan operasional toko. Fulan

memerlukan ruko tersebut pada tanggal 1 April 2013 dengan cara menyewa

selama 1 tahun kemudian membelinya di akhir masa penyewaan yaitu tanggal 1

April 2014. Penjual ruko menginginkan pola pembayaran sewa tunai di muka

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 82

sebesar Rp 60 juta (1 April 2013) dan Rp 90 juta di akhir masa sewa (1 April 2014)

untuk dapat memiliki ruko tersebut, dengan pola pembayaran seperti di atas,

kemampuan keuangan Fulan tidak memungkinkan. Beliau hanya dapat membayar

cicilan sebesar Rp 15 juta per bulan. Untuk itu Fulan mengajukan pembiayaan

kepada Bank Syariah yang menginginkan prosentase keuntungan sebesar 20% per

tahun.

Analisis Bank:

Harga barang:

Harga sewa 1 tahun (tunai di muka): Rp 60.000.000.

Harga ruko (di akhir masa sewa): Rp 90.000.000.

Keuntungan bank: Rp 30.000.000.

Total harga barang: Rp 180.000.000.

Kemampuan membayar nasabah:

Pembayaran sewa cicilan Rp 15 juta per bulan.

Per tahun: Rp 180.000.000,-

Pembelian ruko di akhir masa sewa: Rp 0.

Total kemampuan membayar: Rp 180.000.000.

Posisi Bank dalam IMBT:

Dalam IMBT bank bertindak selaku pihak yang menyewakan dalam akad pertama

dan selaku pemberi hibah atau penjual dalam akad kedua. Sedangkan nasabah

bertindak selaku penyewa pada tahap pertama dan selaku penerima hibah/pembeli

pada akad kedua.

Hal itu karena akad ijarah dan akad hibah/jual beli tidak bisa digabungkan pada

waktu penyerahan aset.

Tahapan IMBT di Bank Syariah:

1) nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir

periode ijarah ia ingin memiliki;

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 83

2) setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada

nasabah;

3) apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki aset tersebut;

4) bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah;

5) bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu

dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan;

6) nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan

kesepakatan;

7) bank melakukan penyusutan terhadap asset; biaya penyusutan dibebankan

kepada laporan laba rugi;

8) di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan

pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan;

9) jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara

hibah.

Ketentuan Syariah Ijarah untuk Transaksi Multijasa

Lembaga Keuangan Syariah dapat memberikan pembiayaan kepada

nasabah dengan menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa

keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,

ketenagakerjaan dan kepariwisataan. Dalam pembiayaan kepada nasabah yang

menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa, LKS dapat memperoleh

imbalan jasa (ujrah) atau fee. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan

dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.

Ijarah menurut sebagian ulama dapat pula dibagi menjadi dua macam,

yakni; 1) ijarah atas manfaat, disebut sewa menyewa, obyek akadnya adalah

manfaat dari suatu benda; dan 2) ijarah atas pekerjaan, disebut upah mengupah,

obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas manfaat sudah

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 84

diuraikan di atas. Adapun ijarah atas pekerjaan terdiri dari wakalah dan wadi’ah

yang akan diuraikan di sub bab berikutnya.

4.3.2.Wakalah

Al wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh pihak yang berkepentingan

kepada pihak lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Tidak setiap orang mempunyai

kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri.

Maka dari itu, pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu

pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.

Unsur yang terpenting dalam al-wakalah ini adalah tanggung jawab yang

tinggi dari wakil untuk melaksanakan amanat dari muwakil serta muwakil

memberikan kepercayaan penuh pada wakil untuk melaksanakan tugas yang telah

didelegasikan kepadanya.

Di dalam dunia bisnis dan perdagangan, akad wakalah dapat digunakan

untuk kerjasama keagenan seperti sistem penjualan dengan perantara (broker),

dealership, dan pihak LKS yang menyerahkan urusan untuk membelikan keperluan

barang modal nasabah yang mengajukan pembiayaan modal kerja dan atau

produk konsumtif lainnya.

Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit

mengenai akad wakalah adalah berikut ini.

.

19

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 85

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara

mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa

lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari

atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui

berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara

kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat

manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu

untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali

menceritakan halmu kepada seseorang pun.

*Dan Ibnu Sirin, Atho, Ibrahim tidak berpendapat bahwa upah makelar itu

berbahaya (terlarang), Ibnu Abbas berkata: Tidak berbahaya (tidak mengapa)

dengan mengatakan: Jualkanlah pakaian ini, selebihnya harga sekian dan sekian

adalah milikmu. Dan berkata Ibnu Sirin: Apabila ada orang berkata: Jualkanlah

barang ini dengan harga sekian-sekian, dan keuntungannya untukmu atau

keuntungannya untuk antaraku dan kamu, maka hal ini tidak bahaya. Nabi SAW

bersabda: ” Orang-orang Islam di sisi persyaratan mereka.”

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 86

Dan sungguh, Umar dan Ibnu Umar mewakilkan untuk tukar-menukar.

»

«

Dari Sulaiman bin Yasar sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengutus Aba Rafi’

dan seorang laki-laki dari Anshar untuk mengawinkan beliau (qobul nikah beliau)

kepada Maimunah binta al-Harits, dan Rasulullah SAW berada di Madinah sebelum

beliau keluar.

Beberapa ketentuan umum mengenai akad wakalah2.

Pertama: Ketentuan tentang Wakalah:

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2) Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara

sepihak.

Kedua: Rukun dan Syarat Wakalah:

1) Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)

a.Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.

b.Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni

dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima

hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

2 Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 10 Tahun 2000.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 87

2) Syarat-syarat wakil (yang mewakili)

a. Cakap hukum,

b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,

c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.

3) Hal-hal yang diwakilkan

a.Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,

b.Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,

c.Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.

d.Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam

kontrak.

4.3.3.Wadi’ah

Wadi’ah berasal dari akar kata wada’a, yang sinonimnya: taraka, artinya:

meninggalkan. Menurut Sayid Sabiq, sesuatu yang dititipkan oleh seseorang

kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadi’ah, karena sesuatu (barang)

tersebut ditinggalkan di sisi orang yang dititipi. Menurut istilah syara’, wadi’ah

digunakan untuk arti ‘iidaa’a dan untuk benda yang dititipkan (syai’un al muuda’u).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah

adalah akad atau produk jasa berupa titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,

baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan

saja, bila si penitip menghendaki.

Wadi’ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan

wadi’ah yad adh-dhamanah. Wadi’ah yad al-amanah adalah jenis titipan yang

bersifat amanah di mana pihak yang menerima jasa penitipan tidak boleh

menggunakan dan atau memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan, tetapi

harus benar-benar menjaganya sesuai dengan kelaziman.

Wadi’ah yad adh-dhamanah adalah jenis titipan dengan risiko ganti rugi di

mana pihak penerima jasa penitipan diperbolehkan menggunakan dan atau

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 88

memanfaatkannya. Adanya risiko ganti rugi inilah yang menyebabkan pihak

penerima jasa penitipan diperbolehkan mengambil keuntungan yang ada.

Pemberian bonus kepada pemilik barang titipan tidak boleh disebutkan dalam

kontrak ataupun dperjanjikan dalam akad, tetapi benar-benar diberikan secara

sepihak sebagai ucapan terima kasih dari pihak penerima titipan dan nilainya

sepenuhnya menjadi kewenangan dari pihak penerima titipan (lihatlah penjelasan

tentang wadi’ah pada Bab III).

Ibnu Qudamah Rahumahullah menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah

SAW sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu

konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang

mengingkarinya. Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma’

(konsensus) akan legitimasi al-Wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadapnya

hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wahbah Azzuhaily dalam al Fiqh al

Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth

Imam Sarakshsy.

4.4.Prinsip Utang Piutang

4.4.1.Utang piutang murni (Qardh)

Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha ( ) yang

sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang

memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada

orang yang menerima utang ( ). Qardh secara etimologi adalah pinjaman.

Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang

dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama.

Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga

keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 89

mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan

dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya

bisa dilakukan secara tunai atau angsuran.

Dasar Hukum

Firman Allah Azza wa jalla :

)245(

Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik,

maka Alloh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda

yang banyak dan Alloh menggenggam (menyempitkan rezeki) dan

membentangkan (melapangkan rezeki) dan kepada Alloh dikembalikan kamu

sekalian.

....)

282(

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang` untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 90

Beberapa hadits Nabi SAW:

» «

» «

»«Dari Abu Hurairah dia berkata : Ada seorang laki-laki yang memiliki piutang seekor

unta pada Rasulullah SAW maka dia datang menagih utang kepada beliau lantas

beliau bersabda (kepada para shahabat): Hendaknya kalian memberikan

pengembalian unta kepadanya, lantas para shahabat mencari unta yang umurnya

sama dengan unta yang dipinjam oleh Rasulullah SAW tetapi mereka tidak

menemukannya kecuali unta yang umurnya di atasnya. Nabi bersabda: Berikanlah

unta itu kepadanya, lantas laki-laki tersebut berkata: Engkau mengembalikan

kepadaku dengan unta yang lebih baik, mudah-mudahan Allah memberikan yang

lebih baik kepadamu. Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya pilihan (sebaik-baik)

kalian adalah yang lebih baik pengembalian utangnya.

)صحيح:حتقيق

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 91

Dari Abdillah bin Abi Rabi’ah, ia berkata: Nabi SAW telah meminjam dariku 40.000

dirham, kemudian Nabi mendapatkan harta, maka beliau menyerahkan harta itu

padaku (sebagai pengembalian pinjaman). Beliau bersabda: ”Semoga Alloh

memberi barokah untukmu, di dalam keluargamu dan hartamu. Sesungguhnya

balasannya pinjaman adalah pujian dan pengembalian .” (HR Nasai, Kitab al-Buyu’)

Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat

hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal

ini sesuai dengan kaidah:

.Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan

pinjaman, muqridh) maka ia adalah riba.

Kaidah ini tersebut juga dalam kitab mushonnaf Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozaq

dari perkataan Ibrahim.

Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya

boleh.

Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang

yang berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi

orang yang sedang berutang sedang berada dalam kesulitan dan

ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk

memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar

utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh:

280

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 92

Dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai ia

berkelapangan. Dan bahwasanya kamu menyedekahkan itu lebih baik bagimu, jika

kamu mengetahui.

Ketentuan Umum Qardh3

Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh

1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang

memerlukan.

2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada

waktu yang telah disepakati bersama.

3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela

kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya

pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan

ketidakmampuannya, LKS dapat:

a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua: Sanksi

1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian

atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat

menjatuhkan sanksi kepada nasabah.

2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat

berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.

3 Fatwa DSN MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 93

3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi

kewajibannya secara penuh.

Ketiga: Sumber Dana

Dana al-Qardh dapat bersumber dari:

a. Bagian modal LKS;

b. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan

c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya

kepada LKS.

4.4.2.Gadai barang (Rahn)

Gadai dalam bahasa Arab menurut arti bahasa berasal dari kata:

yang sinonimnya:

yang artinya tetap;

yang artinya kekal atau langgeng;

yang artinya menahan4.

Menurut istilah syara’, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayid Sabiq yang

mengutip pendapat Hanafiah berikut ini.

Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta

dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan

4 Ibrahim Anis, et al., dalam Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalat”, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 286.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 94

dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari

benda (jaminan) tersebut5.

Syafi’iyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi

gadai (rahn) sebagai berikut:

“Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, di mana

utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika

pelunasannya mengalami kesulitan”6.

Hanabilah mendefinisikan rahn sebagai berikut:

“Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi

dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang

berutang”.

Malikiyah mendefinisikan gadai sebagai berikut:

“Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai

jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap”.

Dasar Hukum

Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit

mengenai akad rahn adalah berikut ini:

.

285Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,

hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.

5 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, 1981, hal. 187.6 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam wa Adillatuhu”, Darul Fikr, Damaskus, 2007, terjemahan, Abdul Hayyieal-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 95

)Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari

seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.

*

Dari Said bin Musayyab, sesungguhnya Rasululah SAW bersabda: ”Barang jaminan

tidak berpindah hak” Malik berkata: menurut pendapatku, dan Alloh lebih

mengetahui (kebenarannya), bahwa seorang lelaki menggadaikan suatu barang

gadai (rahin) kepada seorang laki-laki lain (murtahin), di mana barang gadainya itu

memiliki nilai lebih daripada pinjamannya, maka Rahin berkata kepada Murtahin:

Jika aku dapat mengembalikan pinjaman darimu pada waktu yang telah

ditentukan (maka barang gadai tersebut dikembalikan kepadaku), dan jika aku

tidak bisa mengembalikan, maka barang gadai itu menjadi milikmu dengan sebab

apa-apa yang telah digadaikan (kepadamu) di dalamnya.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 96

»

«

Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung

biayanya. Dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan

menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu

tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.

Keterangan: jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman, maka barang

jaminannya diberikan pada pemberi pinjaman senilai pinjaman yang dia tanggung.

Apabila ada sisa nilai jaminan dari pinjamannya, maka harus dikembalikan, jika

kurang maka pemberi pinjaman berhak meminta kekurangannya.

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam gadai syariah secara

umum7.

1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang)

sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun

tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak

mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya

pemeliharaan dan perawatannya.

3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan

pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

7 Menurut Fatwa DSN MUI No. 25 Tahun 2002.

Akad Produk Pembiayaan

Bab IV - 97

4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5) Penjualan Marhun

a)Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera

melunasi utangnya.

b)Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual

paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c)Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan

d)Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban Rahin.

Ketentuan terkait dengan Gadai Emas

Beberapa ketentuan umum mengenai akad gadai emas adalah berikut ini8.

1. Rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn.

2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai

(rahin).

3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran

yang nyata-nyata diperlukan.

4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.

8 Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 26 Tahun 2002.

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 98

BAB V

PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

5.1. Dewan Pengawas Syariah

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan

pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha lembaga keuangan

syariah. Dalam menjalankan fungsinya, DPS bertindak secara independen. Setiap

lembaga keuangan yang mengelola kegiatannya berdasarkan prinsip syariah

harus memiliki DPS yang anggotanya sedikitnya terdiri dari 2 (dua) orang. Hal

ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan

(Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-

Undang Perkoperasian, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro).

Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) integritas;

dan b) kompetensi. Anggota DPS yang memenuhi persyaratan integritas

tersebut, antara lain adalah pihak-pihak yang:

1) memiliki akhlak dan moral yang baik;

2) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

3) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan lembaga syariah

yang sehat;

4) tidak termasuk dalam daftar hitam atau memiliki perilaku yang tidak baik.

Anggota DPS yang memenuhi persyaratan kompetensi tersebut antara

lain:

1) pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah

mu’amalah;

2) memiliki pengetahuan di bidang lembaga keuangan LKS dan non LKS.

Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS antara lain meliputi:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 99

1) memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKS terhadap

fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

(DSN – MUI);

2) menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang

dikeluarkan LKS;

3) memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional LKS

secara keseluruhan;

4) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan

fatwa kepada DSN – MUI.

5) menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6

(enam) bulan kepada Pengurus LKS.

Tata Cara Pelaporan:

Dewan Pengawas Syariah harus menyampaikan laporan ke LKS Indonesia, DSN,

Direksi dan Komisaris sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan sekali dengan

menggunakan format sebagaimana telah ditetapkan dalam Lampiran 1 buku

Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi

Dewan Pengawas Syariah.

Laporan hasil pengawasan DPS memuat antara lain:

a. Hasil pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan fatwa DSN -

MUI. Laporan ini memuat pendapat DPS mengenai pelaksanaan produk dan

jasa yang sudah dikeluarkan oleh LKS apakah sudah sesuai dengan fatwa

DSN – MUI yang berlaku, dan apakah produk dan jasa yang dikeluarkan

oleh LKS telah mendapat izin dari LKS Indonesia. Dalam laporan tersebut

perlu dijelaskan produk dan jasa yang dimaksud.

b. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh

LKS. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat apakah pedoman

operasional dan pedoman produk yang disusun oleh LKS telah sesuai

dengan fatwa yang berlaku.

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 100

c. Opini syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional LKS dalam

laporan publikasi LKS. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat

yang menyatakan apakah secara keseluruhan kegiatan operasional LKS telah

sesuai dengan prinsip syariah.

5.2.Unsur-Unsur Pengawasan

5.2.1.Produk Simpanan

5.2.1.1.Tabungan

Tujuan pengawasan syariah atas tabungan baik wadi’ah maupun

mudharabah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Kegiatan produk tabungan telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah;

b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:

1) Diperjanjikan di muka;

2) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);

c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:

1) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);

2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad.

d. Biaya pengelolaan tabungan mudharabah menjadi beban LKS dan

menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada

pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan nasabah pemilik dana;

e. Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan tabungan wadi’ah dan

mudharabah harus mengikuti ketentuan fatwa DSN – MUI tentang tabungan.

Pengujian substantif atas transaksi pembukaan tabungan wadi’ah dan

tabungan mudharabah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai

berikut:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 101

a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada

nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan wadi’ah dan

atau mudharabah telah dilakukan;

b. Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi penitipan telah dilakukan secara

lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qabul;

c. Meneliti apakah setoran tabungan wadi’ah dan atau mudharabah telah

menyebutkan jumlah nominal dan mata uang yang disetor secara jelas.

d. Meneliti apakah akad tabungan wadi’ah dan atau mudharabah telah sesuai

dengan fatwa DSN – MUI yang berlaku tentang tabungan.

e. Meneliti apakah pemberian bonus wadi’ah tidak mengarah kepada kebiasaan

sehingga dapat dijadikan perhitungan yang seolah-olah diperjanjikan;

f. Meneliti apakah dalam penawaran produk tabungan, LKS tidak menjanjikan

pemberian yang ditetapkan di muka dalam bentuk prosentase imbalan.

5.2.1.2.Deposito

Tujuan pengawasan syariah atas deposito mudharabah adalah untuk

mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Kegiatan produk deposito mudharabah telah dilakukan sesuai dengan

prinsip-prinsip syariah;

b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:

1) Diperjanjikan dimuka;

2) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);

c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:

1) Berdasarkan pendapatan LKS yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima LKS (cash basis);

2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad.

d. Biaya pengelolaan deposito mudharabah menjadi beban LKS dan

menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada

pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan nasabah pemilik dana;

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 102

e. Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan deposito mudharabah

harus mengikuti ketentuan fatwa DSN – MUI tentang deposito.

Pengujian substantif atas transaksi pembukaan deposito mudharabah

yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:

a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada

nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan mudharabah

telah dilakukan;

b. Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi penitipan telah dilakukan secara

lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qabul;

c. Meneliti apakah setoran deposito mudharabah telah menyebutkan jumlah

nominal dan mata uang yang disetor secara jelas.

d. Meneliti apakah akad deposito mudharabah telah sesuai dengan fatwa DSN –

MUI yang berlaku tentang deposito.

e. Meneliti apakah dalam penawaran produk deposito, LKS tidak menjanjikan

pemberian yang ditetapkan di muka dalam bentuk prosentase imbalan.

5.2.2.Produk Pembiayaan

5.2.2.1.Syirkah

Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan musyarakah adalah

untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa:

a. Pembiayaan musyarakah yang diberikan LKS kepada nasabah penerima dana

telah memenuhi prinsip syariah;

b. Bagi hasil pembiayaan mudharabah yang diakui telah berdasarkan realisasi

penerimaan (riil) bukan berdasarkan proyeksi;

c. Akad pembiayaan mudharabah telah disusun dengan mengacu pada fatwa

DSN–MUI yang berlaku tentang pembiayaan mudharabah serta ketentuan

LKS Indonesia lainnya yang berlaku.

Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan musyarakah yang harus

dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 103

a. Meneliti apakah akad pembiayaan musyarakah telah sesuai dengan fatwa

DSN – MUI dan ketentuan LKS Indonesia yang berlaku;

b. Memastikan terpenuhinya seluruh syarat dan rukun dalam pembiayaaan

musyarakah;

c. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah;

d. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada

nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan

musyarakah telah dilakukan;

e. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan

musyarakah;

f. Memastikan bahwa biaya operasional telah dibebankan pada modal bersama

musyarakah;

g. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat pembiayaan musyarakah yang

meliputi:

1) Pernyataan ijab dan qobul telah dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan

tujuan kontrak (akad);

b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak;

c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2) Pihak-pihak yang berkontrak telah cakap hukum dengan memperhatikan

hal-hal berikut:

a) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan;

b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap

mitra melaksanakan kerja sebagai wakil;

c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam

proses bisnis normal;

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 104

d) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk

mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang

untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan

kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan

yang disengaja;

e) Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau

menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

3) Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

a) Modal

i. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang

nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti

barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk

aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh

para mitra.

ii. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,

menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada

pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.

iii. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada

jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS

dapat meminta jaminan

b) Kerja

i. Partisipasi para mitra kerja dalam pekerjaan merupakan dasar

pelaksanaan musyarakah, akan tetapi, kesamaan porsi kerja

bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan

kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini dia boleh

menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

ii. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama

pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam

organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 105

c) Keuntungan

i. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi

keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.

ii. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas

dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di

awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

iii. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi

jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan

kepadanya.

iv. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam

akad.

d) Kerugian

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional sesuai

dengan share/porsi kepemilikan masing-masing dalam modal

musyarakah.

5.2.2.2.Mudharabah

Tujuan pengawasan syariah atas pembiayaan mudharabah adalah untuk

mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Kegiatan pembiayaan mudharabah telah dilakukan sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah;

b. Bagi hasil pembiayaan mudharabah yang diakui telah berdasarkan realisasi

penerimaan (riil) bukan berdasarkan proyeksi;

c. Akad pembiayaan mudharabah telah disusun dengan mengacu pada fatwa

DSN –MUI yang berlaku tentang pembiayaan mudharabah serta ketentuan

LKS Indonesia lainnya yang berlaku.

Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan mudharabah yang harus

dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 106

a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh LKS kepada

nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan

mudharabah telah dilakukan;

b. Meneliti apakah akad pembiayaan mudharabah telah sesuai dengan fatwa

DSN–MUI tentang mudharabah dan ketentuan LKS Indonesia yang berlaku;

c. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah;

d. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan

mudharabah;

e. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat pembiayaan mudharabah yang

meliputi:

1) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap

hukum;

2) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan

tujuan kontrak (akad);

b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak;

c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia

dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai

berikut:

a) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya;

b) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal

diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada

waktu akad;

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 107

c) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada

mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan

kesepakatan dalam akad.

4) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan

dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a) Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan

hanya untuk satu pihak;

b) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui

dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam

bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan.

Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian

apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja, kelalaian,

atau pelanggaran kesepakatan.

5) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan

(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus

memperhatikan hal-hal berikut:

a) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan

penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan

pengawasan;

b) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola

sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan

mudharabah, yaitu keuntungan;

c) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam

tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus

mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.

6) Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis

kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah antara lain adalah:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 108

a) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau

perdagangan yang dilarang;

b) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan

dan asuransi konvensional;

c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan

makanan dan minuman yang haram;

d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan

barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat

mudarat.

5.2.2.3.Murabahah

Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip

murabahah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah yang diberikan LKS kepada

nasabah penerima dana telah memenuhi prinsip syariah;

b. Akad penyaluran dana berdasarkan prinsip murabahah telah disusun dengan

mengacu pada fatwa DSN - MUI yang berlaku tentang murabahah serta

ketentuan lainnya yang berlaku;

c. Potongan tagihan murabahah ( ) yang diberikan oleh LKS

bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan suku bunga kredit tetapi

diberikan untuk nasabah yang memenuhi kriteria:

1) telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu;

2) mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

( diskon, potongan harga, pengurangan = .

kamus Indonesia-Arab Atabik Ali. pen)

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 109

Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip

murabahah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain:

a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah

Islam;

b. Memastikan LKS menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)

dengan harga jual senilai harga beli plus marjin. Dalam hal nasabah

membiayai sebagian dari harga barang tersebut maka akan mengurangi

tagihan LKS kepada nasabah;

c. Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh LKS secara terpisah dari

akad murabahah, apabila LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk

membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus

dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik LKS yang dibuktikan

dengan faktur atau kwitansi jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan;

d. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah

adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang atau

aset kepada LKS.

5.2.2.4.Salam

Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip

salam adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Pembiayaan berdasarkan prinsip salam yang diberikan LKS kepada nasabah

telah memenuhi prinsip syariah;

b. Akad pembiayaan berdasarkan prinsip salam telah disusun dengan mengacu

pada fatwa yang berlaku tentang salam serta ketentuan LKS Indonesia

lainnya yang berlaku.

Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan

berdasarkan prinsip salam dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna

mendukung opini syariah atas transaksi tersebut antara lain:

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 110

a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah

Islam;

b. Memastikan bahwa pembayaran atas barang salam kepada supplier telah

dilakukan diawal kontrak secara tunai sebesar akad salam;

c. Meneliti bahwa akad salam telah sesuai dengan fatwa DSN – MUI tentang

salam dan peraturan LKS Indonesia yang berlaku;

d. Meneliti kejelasan akad salam yang dilakukan LKS dalam format salam

paralel atau akad salam biasa;

e. Meneliti bahwa keuntungan LKS syariah atas praktek salam paralel diperoleh

dari selisih antara harga beli dari supplier dengan harga jual kepada

nasabah/pembeli akhir.

5.2.2.5. Istishna’

Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip

istishna’ adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Pembiayaan berdasarkan prinsip istishna’ yang diberikan LKS kepada

nasabah telah memenuhi prinsip syariah;

b. Akad pembiayaan berdasarkan prinsip istishna’ telah disusun dengan

mengacu pada fatwa yang berlaku tentang istishna’ serta ketentuan LKS

Indonesia lainnya yang berlaku.

Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan

berdasarkan prinsip istishna’ dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna

mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:

a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah

Islam;

b. Meneliti apakah LKS membiayai pembuatan barang yang diperlukan

nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang disepakati;

c. Memastikan akad istishna’ dan akad istishna’ paralel dibuat dalam akad yang

terpisah;

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 111

d. Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan

hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan kecuali memenuhi

kondisi sebagai berikut:

1) kedua belah pihak setuju untuk menghentikan akad istishna’, dan

2) akad istishna’ batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat

menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

5.2.2.6. Ijarah

Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan

berdasarkan prinsip ijarah dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna

mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:

1. meneliti penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak dipergunakan

untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah;

2. memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam Ijarah Muntahiyah

Bit Tamlik dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad ijarah, janji

(wa’ad) untuk pengalihan kepemilikan harus dilakukan pada saat

berakhirnya akad ijarah;

3. meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk multijasa

menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam fatwa yang berlaku

tentang multijasa dan ketentuan lainnya antara lain ketentuan standar akad;

4. memastikan besar ujrah atau fee multijasa dengan menggunakan akad

ijarah telah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan

dalam bentuk prosentase.

5.2.2.7. Wakalah

Pengujian substantif atas jasa wakalah yang harus dilakukan oleh DPS

antara lain:

1. meneliti apakah transaksi wakalah telah dilakukan sesuai dengan prinsip

syariah yang berlaku;

Pengawasan Kegiatan Lembaga Keuangan Syariah

Bab V - 112

2. meneliti apakah objek wakalah tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

3. meneliti apakah para pihak yang melakukan akad wakalah telah memenuhi

syarat dan rukun wakalah;

4. meneliti apakah dalam penetapan fee atau ujrah yang dibebankan LKS

kepada nasabah (apabila ada) tidak mengacu pada suku bunga yang

dikaitkan dengan beban pekerjaan yang diwakilkan oleh LKS kepada

nasabah.

5.2.2.8. Rahn

Pengujian substantif atas transaksi rahn yang harus dilakukan oleh DPS

antara lain mencakup:

1. Memastikan bahwa rahn telah dilakukan sesuai dengan prinsip syariah;

2. Meneliti apakah dalam penetapan biaya transaksi rahn tidak mengacu pada

suku bunga yang dikaitkan dengan besarnya pinjaman yang diberikan oleh

LKS;

3. Meneliti apakah para pihak yang melakukan akad rahn telah memenuhi

syarat dan rukun rahn;

4. Meneliti kegiatan penaksiran barang gadai dan pelelangan barang gadai

apabila terjadi gagal bayar dari nasabah, telah sesuai prinsip syariah dengan

memenuhi asas transparansi dan keadilan.