Modul Filsafat

88
FILSAFAT Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya. 1.1 SEJARAH FILSAFAT Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuna. Pada masa itu (abad IV – VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat, philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir diantara mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau 1

description

filsafat1

Transcript of Modul Filsafat

MODUL

FILSAFAT

Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya.

1.1 SEJARAH FILSAFAT

Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuna. Pada masa itu (abad IV VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat, philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir diantara mereka.

Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau keterampilan praktis itu muncul, berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan manusia secara optimal.

Dalam perkembangannya kemudian, bangsa Yunani mengalami perubahan dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang berbeda dengan yang telah ada, yaitu mereka mulai mengembangkan daya penalaran yang lebih rasional dan logis. Penalaran tersebut diaktualisasikan atau dalam pencarian sebab terdalam atau sebab pertama dari alam semesta ini. Perubahan cara berpikir dari mitis ke logos (rasional) memunculkan juga pandangan para filsuf yang berusaha menguak rahasia alam dengan berbagai pendapat atau argumen yang lebih rasional. Filsuf alam yaitu Thales, misalnya yang berpendapat bahwa asas di dunia ini adalah air, sementara Anaximandros mengatakan asas itu adalah yang tidak terbatas (apeiron). Anaximenes menyebut udara sebagai asas pertama. Beberapa filsuf lain yang secara tidak langsung mewariskan pengetahuan pada umat di dunia ini ialah Plato (dengan dunia idea), Aristoteles (dengan teori materi bentukhilemorfisme), Phytagoras (dengan dasar perhitungan aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hipocrates (ahli pengobatan yang dianggap sebagai Bapak Kedokteran).

Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages, abad IIX). Awal Abad Masehi ini ditandai oleh munculnya para pujangga Kristen yang mendasarkan pengetahuan keagamaan secara teologis. Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti pengetahuan manusia didasarkan pada ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei berarti bahwa manusia dianggap sebagai citra Tuhan, berperilaku dan bertindak haruslah sesuai dengan keinginan Tuhan dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan antara bangsa Timur dengan bangsa Barat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani Klasik. Banyak filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat pada ajaran Aristoteles dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran kepada Barat. Karya-karya bangsa Yunani, khususnya ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para filsuf Arab, dan dari sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan mempelajarinya serta mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat.

Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (XXVII). Abad ini merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat pada kekuatan manusia, tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan kemampuan akal budi manusia. Pengertian Renaissance atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya Abad Renaissance ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan karya-karya seni yang bernafaskan atau bergaya Yunani Kuno dan Roma. Berbagai karya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni bangun arsitektur, dan kesusasteraan sangat mewarnai kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu disebut juga Gerakan Seni Humanisme (memuncak pada abad XIV), yang pada karya-karya seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau bagian, baik dari struktur, bentuk, ragam hias maupun estetisnya. Ciri lainnya adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan, karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun bangunan ataupun patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam hias/detil yang sangat beragam. Dari gerakan seni humanisme ini manusia Renaissance mulai mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan alam semesta. Timbullah minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan kealaman dengan keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta diamati, dan diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat yang didukung oleh pemikiran yang sangat rasional, bahkan sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance seperti Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, Copernicus, dan J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan seni dan ilmu pengetahuan kealaman di dunia ini.

Abad berikutnya adalah Abad Pencerahan (Aufklaerung) (abad XVIII). Puncak kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa Aufklaerung (yang disebut juga masa Pencerahan atau Fajar Budi). Abad ini merupakan kelanjutan dari masa Renaissance, kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya ilmu pengetahuan kealaman yang didukung oleh berbagai percobaan yang berlandaskan aspek metodologis dan akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad Renaissance memunculkan kaum intelektual di berbagai universitas di Eropa, yang mencoba menggabungkan unsur teoretis dengan unsur praktis. Mereka berupaya agar ilmu pengetahuan memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan intelektual berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda. Salah satu sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah munculnya kaum ensiklopedis yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu pengetahuan, dan kesenian ke dalam sejumlah buku yang kemudian lebih dikenal sebagai ensiklopedi. Salah satu ensiklopedi yang tertua adalah ensiklopedi Britanica. Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang fisika adalah Newton, David Hume tokoh Empirisme dari Inggris, serta Voltaire, Montesquieu dan J.J. Rousseau yang berasal dari Prancis, mereka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik.

Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya dalam menganalisis kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya kajian lintas ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat.

1.2 PENGERTIAN FILSAFAT

Untuk menjawab pertanyaan misalnya, Apa itu Filsafat? tidaklah mudah. Lebih mudah menjawab pertanyaan, Apa itu Antropologi? atau Apa itu ilmu kedokteran? Menjawab pertanyaan itu orang dengan mudah dapat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek budaya, dan ilmu kedokteran adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek kesehatan. Pertanyaan Apa itu Filsafat? mengajak kita untuk menjawabnya secara panjang lebar; kita tidak dapat menjawabnya secara singkat. Mengapa? Pertanyaan itu sendiriApa itu filsafat? sebenarnya telah mengajak kita berfilsafat. Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang untuk bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikap heran, skeptis, atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai upaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap tertentu. Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia yang terus- menerus untuk menggali sesuatu sampai ke akar-akarnya. Kecenderungan manusia untuk mempertanyakan sesuatu secara terus menerus menyebabkan manusia menjadi lebih kritis, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesuatu yang ingin diketahuinya.

Oleh karena itu kita menelusuri pengertian filsafat lalu memberikan penjelasan dan merumuskannya secara tepat. Pertama, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena kehidupan manusia secara kritis. Kedua, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai pemikiran manusia secara kritis. Ketiga, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bersifat kritis refleksif dalam penyelidikan terhadap objek kajian yang berkaitan dengan aspek ontologis (realitas konkret), aspek epistemologis (kebenaran pengetahuan), dan aksiologis (nilai atau value tentang kebaikan dan keindahan).

Secara historis, filsafat berasal dan didasari oleh latar belakang kebudayaan bangsa Yunani. Arti philosophia ataupun filsafat secara etimologis (philos dan sophos) berarti senang atau suka mencari kebijaksanaan ataupun kebenaran. Di masa lalu kebijaksanaan ini oleh bangsa Yunani diartikan mencari pengetahuan yang berguna bagi manusia ataupun mencoba mencari suatu kebenaran dalam proses berpikir manusia. Pengetahuan yang bersifat praktis diarahkan misalnya bagaimana menjadi manusia yang sehat, untuk itu olah raga atau olah tubuh sangatlah diminati. Lihat saja bagaimana mula-mula Olimpiade (pertandingan olahraga dunia) itu muncul. Mulanya untuk menjaga agar badan tetap sehat, dikembangkan cara untuk membinanya, seperti misalnya dengan berlari. Mencari kebenaran dalam proses berpikir manusia sudah lama dikenal oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, berdialog adalah upaya mencari kebenaran dalam berkomunikasi. Socrates mengajarkan, dalam berdialog kita harus bersikap aktif, dan dialektis dinamis, dan kita harus seperti seorang bidan yang membantu persalinan seorang ibu (techne maieutike), membantu mengeluarkan segala persoalan yang ada dan untuk itu yang benar dan yang baik haruslah dijunjung tinggi.

Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan maka filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu (science), yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat haruslah memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (semesta). Lalu, apa sebenarnya fenomena manusia itu, apa saja gejala yang terlihat ataupun berada di sekitar manusia? Fenomena tersebut dapat diarahkan pada tema besar pada ilmu filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan demikian fenomena tersebut sangat berkaitan dengan ketiga tema ilmu filsafat.

Tema yang pertama, ontologi, mengkaji tentang keberadaan sesuatu, membahas tentang ADA (onta), yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual maupun secara epistemologi ataupun metafisis. Yang berkaitan dengan ADA misalnya wujud-wujud fisik seperti alam, manusia benda-benda dan wujud yang epistemologi atau konseptual misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan ataupun idea-idea. Tema yang kedua, epistemologi, membahas tentang pengetahuan (episteme) yang akan dimiliki manusia apabila ia membutuhkannya. Pada dasarnya manusia selalu ingin tahu tentang sesuatu, untuk itulah ia mencarinya dan epistemologi beranjak dari beberapa pertanyaan tentang apa sebenarnya batas-batas pengetahuan itu dan seperti apa? Struktur pengetahuan itu apa? Kebenaran pengetahuan itu apa? Tema yang ketiga, aksiologi, membahas tentang kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia. Norma-norma itu berada pada perilaku manusia, berkaitan dengan yang baik dan yang buruk, yakni bagaimana seharusnya menjadi manusia yang baik, dan ukuran atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang mendasarinya. Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan pada perilaku manusia tentang yang baik dan yang buruk, sedangkan pengalaman tentang keindahan bagi seseorang menjadi semacam ukuran estetika dalam melihat yang indah. Jadi, jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang mengakar pada manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya secara intelektual.

Sebagai suatu ilmu, filsafat memiliki sasaran atau objek untuk dikaji. Objek penelitian filsafat haruslah dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah objek materi (material), dan aspek kedua adalah objek forma (formal). Objek materi adalah bahan atau sesuatu yang menjadi kajian penelitiannya. Materi atau bahan kajian dapat bersifat sangat umum atau sangat luas sehingga orang belum dapat memfokuskannya secara lebih terperinci. Untuk itulah aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma adalah fokus perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapinya atau, dengan kata lain, salah satu aspek atau tema tertentu dalam penelitiannya. Bagi ilmu filsafat, objek forma muncul dalam bentuk disiplin atau cabang ilmu filsafat tertentu. Sebagai contoh, filsafat manusia adalah bentuk forma ilmu filsafat, karena manusia menjadi titik pusat atau fokus perhatian, dan manusia akan dikaji dalam keterkaitan antara tubuh dan jiwa. Contoh yang lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah objek forma dari ilmu filsafat karena permasalahan ilmu pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan eksternal (penemuan baru dalam kegiatan ilmiah) menjadi pusat perhatian dari ilmu filsafat dan akan dikaji secara kritis dan filosofis.

Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajiannya sangat penting. Dengan metode yang tepat dan khas, orang diharapkan dapat memahami persoalan filsafat atau problema filosofis dengan lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih sangat umum dapat membantu orang untuk menjelaskan dan memahami tema-tema filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Metode-metode itu antara lain adalah metode kritis-refleksif, metode dialektik-dialog (dari Socrates), metode fenomenologis (Husserl), dan metode dialektika (Hegel).

Metode kritis refleksif adalah cara untuk memahami suatu objek atau permasalahan dengan melihatnya secara mendalam dan mendasar untuk kemudian merenungkannya kembali. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang terus- menerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran atau telah puas dengan apa yang dikajinya. Selama ia masih meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu, maka metode kritis refleksif tetap digunakannya.

Metode dialektik-dialog dari Socrates adalah cara untuk memahami sesuatu atau objek kajiannya dengan melakukan dialog. Dialog berarti berkomunikasi dengan dua arah; artinya, ada seseorang yang berbicara dan ada orang yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan segala problema yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan antara ide yang satu dengan ide yang lainnya. Tujuan metode dialektik-dialog ini adalah mengembangkan cara berargumentasi di mana posisi yang sifatnya dua arah itu dapat diketahui dan dihadapkan satu dengan yang lainnya.

Metode fenomenologi, yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Edmund Husserl, adalah metode yang digunakan untuk melakukan persepsi (mengetahui dan memahami) terhadap semua fenomena atau gejala yang berada di sekeliling manusia dan untuk kemudian menemukan hakekat (eidos) dari seluruh fenomena itu. Eidos diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap tidak relevan dengan keinginan (kesadaran/rasionalitas) sehingga ditemukan fenomena murni. Fenomena murni inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi dari fenomena yang telah ada atau yang semula.

Metode yang bersifat dinamis, yaitu pendekatan induktif dan deduktif diperkenalkan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles. Metode ini mengajak kita bernalar secara dinamis dan logis. Penalaran induktif (mengambil kesimpulan dari yang sifatnya khusus ke yang umum) menawarkan suatu proses dinamis berpikir tentang suatu realitas yang dihadapi sehingga mampu mengambil kesimpulan sangat tepat dari apa yang telah diamati dan dipikirkan. Penalaran deduktif adalah penalaran yang mencoba menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum ke yang khusus.

Metode dialektika ala Hegel adalah cara untuk memahami dan memecahkan persoalan atau problema dengan berdasarkan tiga elemen, yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Tesis adalah suatu persoalan atau problem tertentu sedang antitesis adalah suatu reaksi atau tanggapan ataupun komentar kritis terhadap tesis (argumen dari tesa) tersebut. Apabila kedua elemen itu saling dihadapkan maka akan muncul sintesis, yaitu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir yang dinamis, dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang saling berkontradiksi atau berhadapan itu sehingga dicapai kesepakatan yang rasional sifatnya.1.3 KEGUNAAN FILSAFAT

Suatu pertanyaan yang menggelitik adalah apakah ada manfaat atau faedahnya orang belajar filsafat. Pertanyaan itu hendaknya dijawab dari berbagai sudut pandang. Pertama, filsafat kita dudukkan sebagai sebuah sarana, sebuah kata benda. Dengan melihatnya sebagai sebuah kata benda, maka filsafat muncul berupa suatu tindakan tertentu atau perilaku tertentu dari seseorang yang di dalamnya termuat pandangan-pandangan hidup ataupun keyakinannya ataupun ide-ide serta gagasan-gagasan. Dalam keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah sarana (tools) bagi ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai problem secara kritis. Oleh karena itu semua orang dapat mempelajarinya dan menggunakannya sebagai tool dalam kegiatan ilmiah. Kedua, filsafat kita lihat sebagai suatu actionmeaningfull actionyang dianggap sebagai sebuah kata kerja. Sebagai sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang sangat aktif mengisi tindakannya atau perilakunya (yang telah dipenuhi pandangan hidup dan ide tertentu) dengan bermakna. Dengan bermakna berarti seseorang harus bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya baik secara individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat (karena memiliki pandangan tertentu, misalnya sikap arif dan moralitas yang baik). Ia dapat mengaktualisasikan kehidupan bermaknanya dalam bentuk tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan tertentu, memiliki keluarga, atau memiliki teman secara bertanggungjawab dan bermartabat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat sangatlah erat dengan kehidupan sehari-hari. Untuk itulah kita dapat menentukan faedah apa yang dapat kita peroleh apabila kita belajar filsafat. Faedah pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak orang untuk bersikap arif dan berwawasan luas terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia sehingga mampu memecahkan problem tersebut dengan cara mengidentifikasinya memudahkannya dalam memperoleh jawaban-jawabannya tersebut. Faedah kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup, dan ide-ide yang muncul karena keinginannya. Faedah ketiga, filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah.

LOGIKA

Pada bab ini akan dikaji pengertian dan jenis logika. Logika sangat terkait dengan pengalaman kebahasaan seseorang, yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Bagaimana merumuskan sesuatu dengan tepat dan benar diuraikan dalam bagian Definisi. Dibahas juga proposisi dan bentuk proposisi disertai dengan proses penalaran baik secara langsung maupun tidak langsung, dan hukum silogisme. Proses penalaran manusia sering mengalami kesesatan berpikir karena adanya pelanggaran terhadap hukum silogisme, karena faktor bahasa, dan karena tidak adanya relevansi antara premis dan kesimpulannya.2.1 DEFINISI LOGIKA

Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan masuk akal; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat.

Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu.

Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3). Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logikajadi sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikirmempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir.

Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-laun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.2.2 JENIS LOGIKA

Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang. Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.

2.2.1 Sumber

Berdasarkan aspek ini kita mengenal adanya dua macam logika, yakni logika alamiah dan logika ilmiah.

a) Logika Alamiah

Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja, manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metode-metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.

b) Logika Ilmiah

Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu, yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati, logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.

2.2.2 Sejarah Perkembangan

Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika moderna) Logika Klasik

Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384322 seb. M), salah seorang filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.

Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini tampak dari organon (yang berarti alat), judul yang ia berikan kepada kumpulan karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal sekarang (Bertens, 1979: 1356).

Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak mengalami perubahan sedikit pun.

b) Logika Modern

Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli matematika Inggris, seperti A. de Morgan (18061871) dan George Boole (18151864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19 dibedakan dari logika klasik.

2.2.3 Bentuk dan Isi Argumen

Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen, sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.

a) Logika Formal

Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga. Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah, bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.b) Logika Material

Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi, dikatakan tidak benar.

Dengan demikian, dalam suatu argumen ada dua persoalan yang harus dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan kebenaran isi. Pemahaman kita mengenai kedua aspek tersebut kiranya dapat dibantu dengan memperhatikan Tabel 1: Bentuk dan Isi Argumen.Tabel 1: Bentuk dan Isi ArgumenLOGIKA FORMAL (Bentuk)ARGUMENLOGIKA MATERIAL

(Isi)

Tidak sahih(1) Semua binatang adalah makhluk hidup.

Semua kucing adalah makhluk hidup.

Jadi, semua kucing adalah binatang.Benar

Sahih(2) Semua binatang mempunyai sayap.

Semua mobil adalah binatang.

Jadi, semua mobil mempunyai sayap.Tidak benar

Tidak sahih(3) Semua binatang mempunyai sayap.

Semua mobil mempunyai sayap.

Jadi, semua mobil adalah binatang.Tidak benar

Sahih(4) Semua binatang adalah makhluk hidup.

Semua kucing adalah binatang.

Jadi, semua kucing adalah makhluk hidup.Benar

Argumen (1) di atas dari segi isi benar karena semua proposisinya sesuai dengan kenyataan. Tetapi dari segi bentuk, argumen tersebut tidak sahih. Hal itu disebabkan karena kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" bukan merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Dengan perkataan lain, kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" tidak dapat ditarik berdasarkan fakta bahwa "Semua binatang adalah makhluk hidup" dan bahwa "Semua kucing adalah makhluk hidup".

Sebaliknya, argumen (2) dari segi isi tidak benar karena semua proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, dari segi bentuk, argumen tersebut sungguh-sungguh sahih. Atau, dapat dikatakan bahwa proses penalaran yang tampak dari argumen (2) itu betul-betul tepat dan lurus. Mengapa? Karena, kalau saja premis-premisnya ("Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil adalah binatang") benar, maka kesimpulan "Semua mobil mempunyai sayap" pasti benar juga. Jadi, proses penarikan kesimpulan dalam argumen itu tepat sekali; kesimpulan itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.

Dari argumen (3) dapat kita lihat bahwa, di samping isinya tidak benar (semua proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan), juga bentuknya tidak sahih. Atas dasar premis-premis "Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil mempunyai sayap" tidak dapat kita simpulkan "Semua mobil adalah binatang".

Argumen (4) merupakan contoh argumen yang mengandung baik kebenaran isi maupun kesahihan bentuk. Selain proposisi-proposisinya sesuai dengan kenyataan, juga proses penalaran yang tercermin dari argumen tersebut sungguh-sungguh tepat.

Perlu pula ditekankan di sini, bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, setiap argumen yang dibangun harus selalu memperhatikan kedua aspek itu bersama-sama. Setiap argumen ilmiah harus selalu memperlihatkan kesahihan bentuk dan kebenaran isi.

2.2.4 Proses Penyimpulan

Penyimpulan atau penalaran pada dasarnya merupakan suatu proses. Dalam proses itu akal budi kita bergerak dari suatu pengetahuan lama yang sudah dimiliki, menuju pengetahuan baru yang sebelumnya masih samar-samar.

Proses penyimpulan itu dapat menempuh dua jalan, yakni deduksi dan induksi. Jenis-jenis logika yang berbicara mengenai kedua proses penalaran itu, masing-masing disebut logika deduktif dan logika induktif.a). Logika Deduktif

Logika deduktif secara khusus memperhatikan penalaran deduktif. Dalam penalaran ini, akal budi bertolak dari pengetahuan lama yang bersifat umum, dan atas dasar itu menyimpulkan suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus. Penalaran deduktif ini biasanya terwujud dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme. Silogisme adalah argumen yang terdiri atas tiga proposisi atau pernyataan: proposisi pertama dan kedua (premis-premis) merupakan titik tolak atau landasan penalaran, sedangkan proposisi ketiga (kesimpulan) merupakan tujuan penalaran, yang dihasilkan berdasarkan hubungan yang terjalin antara premis-premisnya. Dengan demikian, hubungan antara premis-premis dan kesimpulan, dengan demikian merupakan hubungan yang tak terpisahkan satu dari yang lain. Tepat tidaknya sifat hubungan tersebut menjadi pusat pengamatan logika deduktif. Itu berarti, setiap argumen deduktif selalu atau sahih atau tidak sahih, dan tugas logika deduktif adalah menjelaskan sifat dari hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dalam argumen yang sahih, sehingga dengan itu kita dapat membedakan argumen-argumen yang sahih dari argumen-argumen yang tidak sahih.

Dari premis-premis berikut"Semua manusia berakal budi" dan

"Cecep adalah manusia"

kita dapat menyimpulkan bahwa "Cecep berakal budi". Kesimpulan itu kita turunkan hanya lewat suatu analisis terhadap premis-premisnya tanpa bersandar pada pengamatan inderawi atau observasi empiris mengenai diri Cecep; jadi, apriori sifatnya. Selain itu, lewat analisis juga, kita menemukan bahwa kesimpulan "Cecep berakal budi" merupakan konsekuensi yang sudah langsung terkandung di dalam premis-premisnya; artinya, premis-premis "Semua manusia berakal budi" dan "Cecep adalah manusia" terhubungkan sedemikian rupa sehingga "Cecep berakal budi" sungguh-sungguh sudah tersirat di dalamnya. Dengan demikian, setiap argumen deduktif senantiasa memiliki tiga ciri khas. Pertama, analitis; artinya kesimpulan ditarik hanya dengan menganalisa proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada. Kedua, tautologis; artinya, kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam premis-premisnya, ketiga, apriori; artinya, kesimpulan ditarik tanpa berdasarkan pengamatan inderawi atau observasi empiris. Ciri-ciri tersebut memungkinkan setiap argumen deduktif selalu dapat dinilai sahih atau tidak sahih. Oleh karena itu, suatu argumen deduktif yang sahih dengan sendirinya juga menghasilkan kesimpulan yang mengandung nilai kepastian mutlak.

b) Logika Induktif

Jenis logika ini berurusan dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual, dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum. Misalnya, observasi empiris terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan, ternyata berturut-turut memperlihatkan hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu. Bila hasil observasi itu dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan tampak seperti dalam Tabel 2: Argumen Induktif.

Tabel 2: Argumen Induktif

ARGUMEN INDUKTIF

(A)(B)

Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.

Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum jamu.Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum jamu.

Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum jamu.Shinta (orang Jawa, penyiar TV) suka minum jamu.

Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu.Bachtiar (orang Jawa, pesulap) suka minum jamu.

Fadillah (orang Jawa, tukang baso) suka minum jamu.

Dewi (orang Jawa, pedangdut) suka minum jamu.

Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu

Dari kedua contoh argumen induktifmasing-masing (A) dan (B)di atas tampaklah bahwa kesimpulan-kesimpulannya merupakan generalisasi karena kesimpulan-kesimpulan tersebut menyebutkan kasus yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah kasus yang disebutkan dalam premis-premisnya. Dalam hal seperti ini selalu ada bahaya bahwa orang melakukan generalisasi tergesa-gesa; artinya, terlalu cepat menarik kesimpulan yang berlaku umum, sedangkan jumlah kasus yang digunakan sebagai landasan dalam premis-premis tidak atau kurang memadai. Untuk itu orang harus mempelajari ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu penelitian ilmiah agar kesimpulan yang berupa generalisasi tersebut dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

Kedua contoh argumen di atas juga memperlihatkan bahwa kesimpulan-kesimpulannya berbentuk sintesis atau penggabungan dari kasus-kasus yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Karena itu, penalaran induktif sering disebut juga penalaran sintetis. Selain itu, karena kasus-kasus yang menjadi titik tolak argumen induktif merupakan hasil pengamatan inderawi, maka argumen induktif selalu bersifat a posteriori.

Atas dasar itu, setiap argumen induktif selalu memiliki tiga ciri khas. Pertama, sintetis; artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan menyintesakan atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, general artinya kesimpulan yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga, aposteriori; artinya, kasus-kasus konkret yang dijadikan landasan atau titik tolak argumen selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi. Ciri-ciri yang demikian itu menyebabkan setiap argumen induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan kerena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak.

Suatu argumen induktif hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik, tergantung seberapa besar (tinggi) derajat kebolehjadian (probabilitas) yang diberikan premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak kasus sejenis yang dijadikan landasan argumen (alasannya memadai), semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin baik argumen yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit (kurang) kasus sejenis yang digunakan sebagai titik tolak argumen (alasannya kurang memadai), semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin kurang baik argumen induktif yang bersangkutan. Dengan demikian, mengenai kedua contoh argumen induktif di atas, harus dikatakan bahwa argumen (A) kurang baik jika dibandingkan dengan argumen (B), atau sebaliknya, argumen (B) lebih baik daripada argumen (A).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa hanya dalam logika deduktif formal diperhatikan tepat tidaknya sifat hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dan dengan demikian hanya dalam lingkup logika deduktif formallah, suatu penalaran atau argumen dapat dikatakan sahih atau tidak sahih. Dengan kata lain, perbincangan tentang tepat tidaknya atau logis tidaknya suatu penalaran hanya dapat dilakukan dalam konteks logika deduktif formal. Atas dasar itu, bila dalam pembahasan selanjutnya dalam buku ajar ini diuraikan tentang kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis, maka yang dimaksudkan adalah penalaran deduktif formal sedangkan penalaran induktif tidak akan dibicarakan

2.3 KAIDAH-KAIDAH BERPIKIR TEPAT DAN LOGIS

Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung unsur yang harus dipelajari satu demi satu. Dengan kata lain, keseluruhan kegiatan akal budi dapat dibedakan dalam tiga tahap yang masing-masingnya memiliki prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah tersendiri namun tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

Ketiga unsur pemikiran atau ketiga tahap kegiatan akal budi tersebut dapat disimak dalam Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran..

Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran (Tahap-tahap Kegiatan Akal Budi)Aspek MentalAspek Ekspresi Verbal

(1) Pengertian(1) Term

(Concept)(Term)

(2) Putusan(2) Proposisi

(Judgment)(Proposition)

(3) Penyimpulan(3) Silogisme

(Reasoning)(Syllogism)

2.3.1 Term

a) Term dan Kata

Dari Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran terlihat bahwa term selalu merupakan ungkapan lahiriah atas suatu pengertian. Sebagai ungkapan lahiriah dari pengertian, term dapat terdiri dari satu kata atau lebih. Jadi, dengan term dimaksudkan kata atau kelompok kata yang merupakan ungkapan lahiriah dari pengertian. Kata-kata seperti meja, kursi, buku, mahasiswa, dan jembatan layang, masing-masing disebut term karena merupakan ekspresi verbal dari pengertian-pengertian meja, kursi, buku, mahasiswa, dan jembatan layang.

Sebagai ekspresi verbal dari suatu pengertian tertentu, apabila diletakkan dalam proposisi, maka term itu akan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Dengan demikian, dalam konteks proposisi, term dapat didefinisikan sebagai bagian dari proposisi (satu kata atau lebih) yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Kata manusia adalah sebuah term karena mewakili pengertian manusia dan kata makhluk hidup adalah juga sebuah term karena mewakili pengertian makhluk hidup. Apabila kata-kata itu dihubungkan satu sama lain dalam proposisi menjadi Manusia adalah makhluk hidup, maka manusia berfungsi sebagai term subjek, sedangkan makhluk hidup berfungsi sebagai term predikat. Sebagai bagian dari proposisi, baik term subjek maupun term predikat dapat saja terdiri atas sejumlah kata. Namun keseluruhan kata itu tetap membentuk satu pengertian saja. Karena itu, dalam proposisi Pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait, maka term subjeknya adalah pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu, sedangkan bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait maka adalah term predikat.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap proposisi, betapapun sederhananya, harus selalu terdiri atas dua bagian saja, yaitu term subjek dan term predikat; tidak ada keterangan subjek, keterangan predikat, objek, atau pun keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa. Kesatuan antara term subjek dan term predikat merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya proposisi karena hanya dengan itulah bisa tampak unsur pengakuan atau pengingkarannya, dan dengan demikian dapat ditentukan pula benar atau salah.

b) Klasifikasi Term

Dalam logika, term dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu: berdasarkan jumlah kata, luas, sifat, dan penggunaan arti.1) Berdasarkan jumlah kata

Ditinjau dari segi jumlah kata, term dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu term tunggal dan term majemuk.

(a) Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja, misalnya: manusia, binatang, rumah, gunung, dan pohon. (b) Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih (beberapa kata), misalnya kantor pos, rumah makan, jalan raya, arena balap sepeda, dan toko serba ada.2) Berdasarkan luas

Dari segi luas, term dapat dikenal dalam tiga jenis, yaitu term singular, term partikular, dan term universal.(a) Term singular adalah term yang dengan tegas menunjukkan satu benda, satu individu, atau satu realitas tertentu, misalnya Pak Amir, Jawa, Gunung Merapi, gadis tercantik di desa ini, dan danau itu.

(b) Term partikular adalah term yang menunjukkan hanya sebagian dari seluruh luasnya; sekurang-kurangnya satu, dan yang satu itu tidak tertentu. Misalnya beberapa gedung, banyak pengunjung, tidak semua peserta, seorang pelajar, dan sebuah mangga. (c) Term universal adalah term yang menunjukkan seluruh luasnya tanpa ada yang dikecualikan, misalnya semua dokter, tak seekor pun, dan tak ada orang Jawa. 3) Berdasarkan sifat

Menurut sifatnya, term dapat dibedakan atas dua macam, yaitu term distributif dan term kolektif.(a) Term distributifSuatu term disebut term distributif apabila pengertian yang terkandung dalam term itu dapat dikenakan kepada semua anggota atau individu yang tercakup di dalamnya, satu demi satu tanpa kecuali. Term manusia, misalnya. bersifat distributif sejauh pengertian manusia itu terkena pada setiap individu atau siapa saja (Anton, Clara, Lina, Peter, Suzy, Lina, dan lain-lain) yang berada dalam lingkup pengertian manusia. Begitu juga term binatang. Term ini bersifat distributif karena mengandung pengertian yang dapat diterapkan pada setiap individu atau apa saja (kambing, kuda, sapi, ular, bebek, buaya ular, dan lain-lain) yang bernaung dalam lingkup pengertian binatang.

Bila term distributif itu menduduki posisi sebagai term subjek dalam proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu diingat pedoman berikut: term subjek yang bersifat distributif, sejauh berdiri sendiri dan tidak didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, luasnya bisa universal dan dapat juga partikular; jadi, tergantung konteksnya. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Manusia dapat khilaf.(2) Ikan hidup di air.(3) Ular itu binatang melata.Ketiga proposisi di atas (13), secara berturut-turut memiliki term subjek yang bersifat distributif (manusia. ikan, ular), yang masing-masing dalam konteksnya, harus dipahami dalam luas universal. Amati pula contoh lain berikut.(4) Orang Batak pandai menyanyi.(5) Wanita Solo senang memakai kebaya.(6) Petani Jawa ulet dalam bekerja.Ketiga proposisi di atas (46) secara berturut-turut rnemiliki term subjek yang bersifat distributif (orang Batak, wanita Solo, petani Jawa), yang masing-masing, dalam konteksnya, tidak dapat dipahami dalam luas universal, melainkan partikular.

(b) Term kolektifSuatu term disebut term kolektif apabila pengertian yang terkandung di dalamnya, tidak dapat dikenakan kepada anggota-anggota atau individu-individu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan kepada kelompok sebagai suatu keseluruhan. Term keluarga, misalnya, bersifat kolektif karena pengertian keluarga tidak menunjuk pada anggota-anggota atau individu-individu yang berada dalam lingkup pengertian keluarga, melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok atau komponen. Jadi, yang dikenai pengertian 'keluarga' bukanlah individu-individu dalam keluarga itu, melainkan komponennya. Di samping term keluarga, masih terdapat sejumlah term lain yang bersifat kolektif, seperti: bangsa, masyarakat, divisi, korps, rombongan, orkes, pasukan, armada, tim, partai, suku, dan kesebelasan. Apabila term kolektif itu menempati posisi sebagai term subjek dalam suatu proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu digunakan pedoman berikut.(1) Bila term subjek terdiri atas satu term kolektif yang berdiri sendiri tanpa didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, maka luasnya selalu universal. Contoh:

a) Kesebelasan adalah nama regu dalam olahraga sepakbola.(dikenakan kepada semua kesebelasan).

b) Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan generasi muda.(dikenakan kepada semua keluarga).

c) Orkes sangat membutuhkan kekompakan.

(dikenakan kepada semua orkes).

(2) Bila term subjek yang bersifat kolektif itu secara tegas menunjuk pada satu kelompok atau satu komponen tertentu, maka luasnya adalah singular. Contoh:

a) Keluarga Pak Lukman sedang berlibur ke luar negeri.

(menunjuk pada satu keluarga tertentu).

b) Tim terkuat dalam turnamen basket kali ini adalah tim "Garuda".(menunjuk pada satu tim tertentu).

c) Pasukan itu berhasil menghalau para pengacau.(menunjuk pada satu pasukan tertentu)4) Berdasarkan penggunaan arti

Suatu term atau kata dapat digunakan dalam tiga macam arti, yaitu dalam arti univok, ekuivok, dan analog.(a) UnivokSuatu kata digunakan dalam arti univok bila kata tersebut digunakan untuk dua hal (realitas) atau lebih dalam satu arti yang sama, Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat di bawah ini memiliki satu arti yang sama.

1) Buku pelajaran lebih mahal harganya daripada buku novel.

2) Wajah puteri itu mirip benar dengan wajah ibunya.

3) Ditinjau dari segi martabatnya sebagai manusia, orang kota tidak berbeda dengan orang desa.

(b) EkuivokSuatu kata digunakan dalam arti ekuivok bila dengan kata tersebut dimaksudkan dua hal (realitas) yang sama sekali berbeda atau berlainan. Amatilah contoh berikut ini.1) Kata orang, bisa ular kobra bisa diramu sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit reumatik.

2) Informasi yang saya peroleh memang masih kabur tetapi tampaknya narapidana kelas kakap itu sudah berhasil kabur dari penjara.

3) Menurut hemat saya, cara hidup hemat merupakan cara hidup yang paling cocok dalam situasi krisis moneter dewasa ini.

(c) AnalogSuatu kata digunakan dalam arti analog bila kata tersebut digunakan untuk dua hal (realitas) dalam arti yang sama tetapi sekaligus berbeda. Kata-kata dalam arti analog ini biasanya digunakan bila orang ingin memperlihatkan kemiripan antara dua hal (analogi berarti relasi kemiripan antara dua hal) dan itu terjadi bila orang ingin membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lainnya. Analogi itu bisa dilakukan ke arah bawah (analogi - ke arah - bawah) yaitu dari manusia ke taraf bawah manusiawi atau ke arah atas (analogi-ke arah-atas) yaitu dari manusia ke taraf Tuhan (Bertens, 1987: 128131). Sering kali analogi atau perbandingan itu ditampilkan dalam bentuk kiasan (metafor). Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat berikut ini digunakan dalam arti analog.

(1) Getaran dawai dan alat musik yang dimainkan penyanyi itu benar-benar mencerminkan getaran jiwanya sendiri.(2) Kobaran api yang menghanguskan benteng pertahanan mereka membuat kobaran semangat para gerilyawan untuk terus berjuang semakin menjadi-jadi.

(3) Senyuman bulan itu mirip benar dengan senyuman gadis desa.

Setelah memperoleh pemahaman yang baik tentang term, langkah berikut yang harus dilakukan seseorang pada taraf awal dalam menekuni logika adalah menyusun definisi agar dapat terhindar dari kekacauan pemahaman mengenai arti sebuah term. Langkah ini pun hanya dapat dilalui secara mulus apabila yang bersangkutan menguasai sungguh-sungguh isi dan luas pengertian dari term yang hendak didefinisikan dengan terlebih dahulu mempelajari secara mendalam sub-tema seputar klasifikasi, baik menyangkut jenis maupun hukum-hukum yang melandasinya (Hayon, 2005: 4046).2.3.2 Definisi

a) Pengertian Definisi

Kata definisi berasal dari bahasa Latin definire yang berarti membatasi atau mengurung dalam batas-batas tertentu. Dalam rangka kegiatan ilmiah, definisi selalu dihubungkan dengan suatu konsep atau suatu istilah tertentu yang hendak dijelaskan artinya. Jadi, definisi secara sederhana dipahami sebagai penentuan batas pengertian bagi sebuah istilah. Penentuan batas itu sedapat mungkin dilakukan secara singkat, jelas, tepat, padat, dan lengkap sehingga konsep atau term yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas pula. Dengan demikian, definisi berarti penentuan batas pengertian sebuah istilah atau konsep secara singkat, tepat,jelas, padat, dan lengkap sehingga istilah yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas dan dapat dibedakan dari istilah-istilah yang lain.

Dari definisi tentang definisi di atas terungkap bahwa, di satu pihak, suatu definisi yang baik haruslah berupa rumusan yang singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap yang mencakup semua elemen yang terkandung dalam konsep yang didefinisikan dan, di lain pihak, definisi itu harus juga mampu memperlihatkan perbedaan antara konsep yang hendak dijelaskan itu dengan konsep lainnya. Pendefinisian secara singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap ini sangat penting artinya dalam kegiatan ilmiah karena dengan itu kemungkinan akan terjadinya kesimpangsiuran pandangan serta kesalahpahaman mengenai sebuah konsep dapat dihindari. Kerancuan pemahaman akan sangat sulit diatasi bila sejak awal suatu pembicaraan atau tulisan ilmiah tidak terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan sebuah konsep.

Dalam sebuah definisi selalu terkandung dua unsur, yaitu hal atau simbol yang hendak didefinisikan (lazim disebut definiendum), dan hal atau (kumpulan) simbol yang digunakan untuk menjelaskan arti definiendum (lazim disebut definiens). Dengan rumusan lain, definiendum adalah istilah yang hendak dijelaskan artinya, sedangkan definiens adalah perumusan atau penjelasan yang diberikan.

b) Aturan Definisi

Penyusunan definisi yang benar sudah barang tentu harus mengikuti sejumlah aturan. Dalam tradisi ditetapkan lima aturan yang harus diperhatikan dalam membentuk definisi yang benar. Satu per satu aturan-aturan itu akan diuraikan di bawah ini.1) Definiens harus dapat dibolak-balikkan dengan definiendum.Aturan ini mengandaikan bahwa luas definiens dan definiendum harus sama besar. Perbedaan dalam luas mengakibatkan kedua unsur itu tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena itu, mendefinisikan sepatu sebagai sesuatu yang digunakan sebagai alas kaki tentu saja tidak tepat sebab luas pengertian sesuatu yang digunakan sebagai alas kaki (definiens) lebih besar daripada luas pengertian sepatu (definiendum). Pembalikan tempat definiens dan definiendum ini merupakan cara pengujian yang sangat efektif untuk meneliti tepat-tidaknya sebuah definisi.

2) Definiendum tidak boleh masuk ke dalam definiens.Aturan ini mengingatkan kita kembali bahwa definisi pada hakekatnya merupakan pembatasan pengertian terhadap suatu istilah atau term yang dilakukan dengan tujuan agar istilah tersebut dapat dipahami artinya secara jelas dan dapat dibedakan dari istilah-istilah lain. Karena itu, masuknya definiendum ke dalam definiens, entah secara eksplisit atau implisit, sebetulnya hanya akan membuat definisi bergerak melingkar (sirkular) atau berputar-putar untuk itu akhirnya kembali lagi pada titik persoalan semula, dan dengan demikian definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa. Ambillah contoh, bila seseorang mendefinisikan logika sebagai 'ilmu yang mempelajari aturan-aturan logika' atau ilmu yang mengkaji aturan-aturan agar dapat berpikir logis, maka bagi mereka yang ingin mengetahui apa sebetulnya "logika" itu, definisi tersebut tidak memberikan manfaat sedikit pun karena persoalan mengenai logika tetap tak terjawab.

3) Definiens harus sungguh-sungguh menjelaskan.

Aturan ini pun menegaskan bahwa setiap definisi yang baik harus selalu berusaha agar istilah atau term yang didefinisikan betul-betul dipahami secara jelas. Untuk maksud itu penggunaan kata-kata dalam definiens yang bersifat ambigu, tidak jelas atau mengandung kiasan sedapat mungkin dihindari karena penggunaan kata-kata semacam itu akan berakibat pada timbulnya kerancuan atau salah pengertian terhadap definiendum-nya. Jadi, mendefinisikan advokat sebagai orang yang membela penjahat-penjahat sudah tentu akan menimbulkan salah pengertian.

Selain itu, dengan hanya menyebutkan contoh pun sesuatu definiens belum terumuskan secara jelas, meskipun dari segi tertentu pemberian contoh memang bermanfaat untuk membantu pemahaman yang lebih baik mengenai suatu istilah. Sebagai contoh, janganlah mendefinisikan alat tulis dengan misalnya bolpoin, pen, kapur tulis, spidol, atau kertas.

4) Definiens harus bersifat paralel dengan definiendum.

Maksud aturan ini ialah bahwa definiens harus mengandung perumusan yang tepat tentang definiendum. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa definiens harus diawali dengan kata atau term yang sama strukturnya dengan definiendum. Jadi janganlah misalnya, definiens dimulai dengan sebuah kata yang strukturnya adalah kata benda, padahal definiendum-nya berstruktur kata sifat, atau sebaliknya.

Ambillah contoh, jujur adalah orang yang bertutur atau bertindak sesuai dengan suara hatinya. Kiranya tak ada yang menyangkal bahwa jujur merupakan sifat yang terdapat pada manusia (orang) dan hanya manusia (orang) memiliki sifat jujur, tetapi definisi itu tidak dapat dibenarkan karena jujur bukanlah orang, dan orang bukanlah jujur. Kedua kata atau term itu berbeda strukturnya. Yang satu (jujur) dalam definiendum berstruktur kata sifat, sedangkan yang lain (orang) dalam definiens berstruktur kata benda.

5) Definiens tidak boleh berbentuk negatif, sejauh masih dapat dirumuskan secara afirmatif.

Penetapan aturan kelima ini berdasarkan alasan bahwa suatu definisi disebut definisi yang benar bila definiens-nya mampu mengungkapkan apa sebenarnya makna dari definiendum-nya. Dengan kata lain, tujuan setiap definisi yang benar hanya mungkin dapat tercapai bila apa yang merupakan hakekat definiendum terungkap dalam definiens-nya. Dalam definisi di mana definiens-nya berbentuk negatif, tujuan tersebut tidak tercapai karena hakekat definiendum tidak terungkap. Jadi, orang yang mendefinisikan sepak bola, sebagai, misalnya, sejenis olahraga yang tidak dimainkan dengan menggunakan tangan, tidak menerangkan apa-apa mengenai sepak bola.

Namun demikian, ada istilah-istilah atau term-term tertentu yang mau tidak mau dirumuskan secara negatif karena tidak ada kemungkinan merumuskannya secara afirmatif. Hal ini berlaku antara lain pada realitas-realitas yang sebenarnya bukanlah merupakan realitas-realitas yang positif. Sebagai contoh, "Lumpuh adalah tidak dapat berjalan". Definisi ini benar meskipun definiens-nya berbentuk negatif. Alasannya ialah karena "tidak dapat berjalan" (definiens) sudah mengungkapkan apa sebenarnya makna dari lumpuh (definiendum). Dengan kata lain, "tidak dapat berjalan" sesungguhnya merupakan hakekat dari lumpuh.2.3.3 Proposisi

a) Apa Itu Proposisi

Bila term merupakan ekspresi verbal dari pengertian, maka proposisi merupakan ungkapan lahiriah dari putusan. Sebagai ungkapan lahiriah dari putusan, proposisi selalu terdiri atas rangkaian term-term yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Hubungan antara term subjek dan term predikat ini senantiasa berbentuk pengakuan atau pengingkaran semata tentang sesuatu yang lain. Maka, proposisi dapat dirumuskan sebagai pernyataan yang di dalamnya manusia mengakui atau mengingkari sesuatu tentang sesuatu yang lain.

b) Unsur-unsur proposisi

Proposisi terdiri atas term subjek, term predikat, dan kopula.

1) Term subjek ialah sesuatu yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.

2) Term predikat ialah sesuatu yang diakui atau diingkari tentang term subjek.

3) Kopula ialah penghubung antara term subjek dan term predikat, yang sekaligus memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan tersebut.

Perlu diketahui bahwa ketiga unsur tersebut hanya terdapat di dalam proposisi kategoris standar. Adapun sebuah proposisi disebut proposisi kategoris jika apa yang menjadi term predikat diakui atau diingkari secara mutlak (tanpa syarat) tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi Ayah membaca surat kabar merupakan proposisi kategoris karena membaca surat kabar (term predikat) diakui tanpa syarat tentang ayah (term subjek). Begitu pula proposisi Emilia tidak lulus ujian tergolong proposisi kategoris karena lulus ujian (term predikat) diingkari secara mutlak tentang Emilia (term subjek). Sementara itu, sebuah proposisi kategoris hanya dapat disebut standar jika proposisi kategoris itu memenuhi dua syarat: pertama, ketiga unsurnya (term subjek, term predikat, dan kopula) dinyatakan secara eksplisit; dan kedua, term subjek dan term predikat sama-sama berstruktur kata benda. Oleh karena itu "Lydia cantik" bukanlah sebuah proposisi kategoris standar. Itu adalah sebuah sebuah proposisi kategoris non-standar karena di samping kopulanya tidak dinyatakan secara eksplisit, juga term subjek dan term predikat dari proposisi tersebut berbeda strukturnya: Lydia (term subjek) berstruktur kata benda, sedangkan cantik (term predikat) berstruktur kata sifat. Jika proposisi kategoris ini dijadikan standar, maka bentuknya harus menjadi "Lydia adalah wanita yang cantik".

Proposisi kategoris (standar atau non-standar), dalam bahasa, selalu berbentuk kalimat berita. Dengan demikian, mudah dimengerti mengapa setiap proposisi (kategoris) selalu berupa kalimat, tetapi tidak setiap kalimat disebut proposisi.

Dalam logika, sebuah kalimat hanya dapat disebut proposisi bila memenuhi ciri-ciri berikut:

(1) mengandung term subjek dan term predikat yang dihubungkan dalam sebuah pernyataan;

(2) mengandung sifat pengakuan atau pengingkaran; dan(3) mengandung nilai benar atau salah

Ciri pertama merupakan ciri pokok. Jika sebuah kalimat sudah memenuhi ciri pertama, maka secara otomatis juga akan memenuhi kedua ciri berikutnya. Ambillah contoh kalimat Kampus Universitas Indonesia terletak di wilayah Depok. Ini adalah proposisi karena memiliki term subjek Kampus Universitas Indonesia dan term predikat terletak di wilayah Depok (ciri pertama); memiliki sifat pengakuan (ciri kedua) karena terletak di wilayah Depok diakui tentang Kampus Universitas Indonesia; dan, akhirnya, dapat ditentukan bahwa memang benarlah demikian (ciri ketiga). Jadi, sebuah proposisi, bagaimanapun sederhananya, harus memiliki dua unsur pokok, yakni term subjek dan term predikat. Perlu diingatkan kembali bahwa dalam logika tidak dikenal adanya objek, keterangan subjek, keterangan predikat atau keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa.Dengan berpegang pada kaidah-kaidah tersebut maka jenis kalimat non-berita, seperti kalimat seru, kalimat perintah, dan kalimat tanya seperti contoh berikut(1) Oh, Tuhan! Mengapa bencana ini hanya terjadi pada keluarga saya?

(2) Segera tinggalkan tempat ini!

(3) Di mana ayahmu bekerja? (4) Selamat Hari Ulang Tahun, Adi. Semoga panjang umur.tidak dapat disebut proposisi.Kecuali itu, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau membaca kalimat-kalimat yang meskipun mengandung berita atau pernyataan yang maknanya dapat dipahami namun karena tidak memiliki term subjek dikategorikan sebagai proposisi yang tidak logis. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh.(1) Di sini menerima jahitan pakaian pria dan wanita.(2) Dari pihak keluarga korban mengharapkan agar kepolisian segera mengungkap kasus pembunuhan ini.(3) Untuk tiga orang pemenang masing-masing akan mendapatkan hadiah Rp500.000,00.(4) Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah MPKT harap berkumpul di aula.(5) Dengan dinaikkannya tunjangan transport diharapkan akan meningkatkan semangat kerja para karyawan.Sebenarnya, di dalam logika masih ada jenis proposisi lain di mana term predikat mengakui atau mengingkari term subjek dengan suatu syarat (tidak secara mutlak) yang disebut proposisi hipotetis. Jenis proposisi ini tidak dibahas dalam buku ajar ini; yang dibicarakan hanyalah proposisi kategoris.

c) Klasifikasi Proposisi Kategoris

Proposisi kategoris dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yakni aspek kuantitas, kualitas serta kuantitas dan kualitas.1) Kuantitas proposisi

Kuantitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh luas term subjeknya. Karena luas suatu pengertian dapat berupa singular, partikular, dan universal, maka proposisi kategoris, berdasarkan kuantitasnya, dapat dibedakan atas proposisi singular, proposisi partikular, dan proposisi universal.(a) Proposisi singular adalah proposisi yang luas term subjeknya singular. Artinya, pengertian term subjek itu menunjuk hanya kepada satu hal, benda, atau individu ter- tentu. Misalnya, Gedung baru itu berlantai dua belas.(b) Proposisi partikular adalah proposisi yang luas term subjeknya partikular. Artinya pengertian term subjek itu tidak menunjuk kepada keseluruhan luasnya, melainkan hanya sebagian atau paling kurang satu, namun yang satu itu tidak tentu yang mana. Misalnya, Tidak semua binatang dapat dijinakkan.

(c) Proposisi universal adalah proposisi yang luas term subjeknya universal. Artinya, pengertian term subjek itu meliputi semua hal, benda, atau individu, yang terdapat di dalamnya tanpa kecuali. Misalnya: "Semua manusia dapat mati".

2) Kualitas Proposisi

Ciri khas sebuah proposisi kategoris adalah bahwa di dalamnya selalu terkandung unsur pengakuan (afirmasi) atau pengingkaran (negasi), dan karena itu hanya tentang proposisi kategoris dapat dikatakan benar atau salah. Itu berarti kualitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh bentuk kopula yang digunakan. Atas dasar itu, menurut kualitasnya, proposisi kategoris dapat dibedakan atas dua macam, yakni proposisi afirmatif dan proposisi negatif.(a) Proposisi afirmatifSuatu proposisi dikatakan afirmatif apabila apa yang menjadi term predikat diakui tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Karim adalah pedagang buah apel", misalnya, berkualitas afirmatif, karena "pedagang buah apel" (term predikat) dalam proposisi tersebut diakui tentang "Karim" (term subjek).

(b) Proposisi negatifSuatu proposisi dikatakan negatif apabila apa yang menjadi term predikat diingkari tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Dina bukan peragawati", misalnya, berkualitas negatif, karena "peragawati" (term predikat) dalam proposisi tersebut diingkari tentang "Dina" (term subjek).

(c) Kuantitas dan kualitas proposisiPengklasifikasian proposisi kategoris menurut kuantitas dan kualitas secara teoretis akan menghasilkan enam macam proposisi, yakni, (1) Proposisi universal afirmatif, (2) Proposisi partikular afirmatif, (3) Proposisi singular afirmatif, (4) Proposisi universal negatif, (5) Proposisi partikular negatif, dan (6) Proposisi singular negatif.Jika ditarik suatu garis perbandingan antara proposisi singular di satu pihak dengan proposisi universal dan proposisi partikular di lain pihak, maka akan ternyata bahwa dalam arti tertentu sifat proposisi singular lebih mempunyai persamaan dengan proposisi universal ketimbang dengan proposisi partikular. Dalam proposisi singular afirmatif "Irwan gemar bermain di pantai", sesungguhnya "gemar bermain di pantai" diakui tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Demikian pula dalam proposisi singular negatif "Lindawati bukan mahasiswi Fakultas Psikologi UI" sesungguhnya "mahasiswi Fakultas Psikologi UI" diingkari tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Karena alasan itulah, maka para ahli logika tidak membedakan lambang yang digunakan, baik untuk proposisi universal afirmatif dan proposisi singular afirmatif, maupun untuk proposisi universal negatif dan proposisi singular negatif. Dengan demikian, di kalangan para ahli logika digunakan hanya empat lambang saja untuk mewakili keenam macam proposisi di atas. Lambang-lambang yang dimaksud itu ialah A, E, I, dan O, seperti terlihat pada Tabel 4: Proposisi Kategoris.Tabel 4: Proposisi Kategoris

Menurut kualitas

Menurut kuantitasAfirmatifNegatif

Universal / singularAE

PartikularIO

Proposisi A: Proposisi universal/singular afirmatif

Contoh:

"Semua penumpang selamat."

"Bandung terletak di wilayah Jawa Barat. "

Proposisi E: Proposisi universal/singular negatif

Contoh:

"Semua jalan di sini tidak beraspal."

"Hasan bukan peternak ayam."

Proposisi I: Proposisi partikular afirmatif

Contoh:

"Beberapa mahasiswa pandai menyanyi."

"Ada karyawan yang bergelar sarjana. "

Proposisi O: Proposisi partikular negatif

Contoh:

"Sebagian mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi."

"Tidak semua binatang dapat berenang."

Dari penjelasan tentang keempat macam proposisi di atas, kiranya tampak jelas bahwa dalam proposisi universal (A dan E) term subjeknya berdistribusi, sedangkan dalam proposisi partikular (I dan O) term subjeknya tidak berdistribusi. Suatu term disebut distributif apabila penggunaan term itu meliputi semua anggotanya secara individual, satu demi satu, jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu disebut term universal. Term yang tidak berdistribusi hanya meliputi sebagian dari semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu anggotanya saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya, disebut term partikular.

d) Luas Term Predikat

Jika luas term subjek menentukan kuantitas suatu proposisi, maka kualitas suatu proposisi menentukan luas term predikatnya. Dalam hubungan dengan kualitas proposisi, masalah pokok tentang luas term predikat adalah: apakah term predikat suatu proposisi meliputi semua anggotanya secara individual (universal/berdistribusi) atau hanya sebagian anggotanya (partikular/tidak berdistribusi). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu dicamkan hukum pokok mengenai luas term predikat, baik dalam proposisi yang berkualitas afirmatif maupun dalam proposisi yang berkualitas negatif.

1) Luas term predikat dalam proposisi afirmatif

Hukum pokok berbunyi: Dalam proposisi afirmatif, luas term predikat selalu partikular. Jika kita perhatikan sebuah proposisi A seperti "Semua kucing adalah binatang", luas term "binatang" (predikat) bukan universal, melainkan partikular. Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Semua kucing" adalah "semua binatang", melainkan "Semua kucing" adalah "sebagian binatang". Itu berarti luas term predikatnya adalah partikular, yaitu hanya mewakili sebagian saja dari anggotanya (tidak berdistribusi).

Selanjutnya, apabila kita perhatikan sebuah proposisi I, seperti "Sebagian pejabat adalah koruptor", luas term koruptor (predikat) adalah juga partikular. Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Sebagian pejabat" adalah "semua koruptor", melainkan dikatakan bahwa "sebagian pejabat" adalah "sebagian (dari) koruptor". Kalau begitu term predikatnya meliputi hanya sebagian saja dari anggotanya; jadi, tidak berdistribusi.

Pengecualian terhadap hukum ini hanya berlaku bagi proposisi A yang memiliki corak tertentu. Pertama, hukum ini tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya sama-sama mempunyai luas universal. Corak proposisi semacam ini hanya terdapat dalam definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan, salah satu hukum definisi mengatakan "Definens dan definendum harus dapat di bolak-balik". Untuk itu, luas dari kedua bagian itu harus sama besarnya, yaitu sama-sama universal. Amatilah contoh berikut ini.

(1) "Manusia adalah hewan yang berakal budi."

(2) "Janda adalah wanita yang pernah bersuami."

(3) "Dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi."

Ketiga pernyataan di atas tidak sekadar berupa proposisi, melainkan proposisi yang berbentuk definisi, yakni definisi hakiki. Karena itu, luas term predikat dari masing-masingnya bukan partikular, melainkan universal.

Kedua, hukum ini juga tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya sama-sama mempunyai luas singular. Seperti diketahui, term singular adalah term yang pengertiannya menunjuk pada satu hal atau satu individu tertentu. Perhatikanlah bahwa luas term predikat dari masing-masing proposisi berikut ini bukan partikular, melainkan singular.

(4) "Tommy adalah putera sulung Tuan Jamal."

(5) "Sungai ini adalah sungai terpanjang di daerah ini."

(6) "Asri adalah wanita pertama yang menyaksikan kejadian itu."

2) Luas term predikat dalam proposisi negatif

Hukum pokok berbunyi: "Dalam proposisi negatif, luas term predikat selalu universal." Dalam suatu proposisi E, seperti "Semua kelinci bukan gajah", term gajah (predikat) sama sekali terpisah dari term kelinci (subjek); begitu juga sebaliknya. Itu berarti gajah yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian gajah, melainkan semua (yang disebut) gajah. Dengan demikian, term gajah dalam proposisi tersebut meliputi semua anggotanya; jadi, berdistribusi.

Demikian pula halnya dengan proposisi O, seperti "Sebagian bintang film bukan penyanyi". Dalam proposisi tersebut term bintang film yang dimaksud (sebagian saja) sama sekali terpisah dari term penyanyi; begitu juga sebaliknya. Itu berarti penyanyi yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian penyanyi, melainkan semua penyanyi; dan karena itu term penyanyi dalam proposisi itu berlaku untuk semua anggotanya; jadi, berdistribusi.

Satu-satunya pengecualian terhadap hukum ini terdapat pada proposisi E yang luas term subjek beserta predikatnya sama-sama singular. Perhatikan ketiga proposisi berikut ini.

(1) "Semarang bukan kota terbesar di lndonesia. "

(2) "Ingrid bukan puteri bungsu Nyonya Farida."

(3) "Menara ini bukan menara yang paling tinggi di kota ini."

Term predikat dari masing-masing proposisi di atas ini dengan jelas menunjuk pada satu hal tertentu, dan karena itu luasnya bukan universal, melainkan singular.

2.3.4 Penyimpulan Deduktif dan Silogisme

a) Apa itu penyimpulan deduktif dan silogisme?

Sebagaimana telah dikemukakan, deduksi adalah proses pemikiran yang dengan berpijak pada pengetahuan yang lebih umum, dan yang membuahkan kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penyimpulan (penalaran) deduktif itu, meskipun kesimpulan yang diturunkan merupakan sesuatu yang baru, namun pada hakekatnya kesimpulan tersebut sudah tersirat dalam premis-premisnya.

Ditinjau dari segi cara menurunkan kesimpulan, penyimpulan (penalaran) itu dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak langsung. Penyimpulan langsung adalah penalaran yang hanya bertolak dari sebuah premis, dan, atas dasar itu, langsung menurunkan kesimpulan. Sebaliknya, sebuah penalaran disebut penyimpulan tidak langsung jika proses penalaran itu bergerak dari proposisi pertama (premis mayor) dan, dengan melalui proposisi kedua (premis minor), menghasilkan kesimpulan. Penalaran tidak langsung inilah yang nantinya terwujud dalam suatu bentuk (struktur) logis yang disebut silogisme.1) Penalaran langsung

Salah satu prosedur yang lazim digunakan dalam mempraktekkan penalaran langsung adalah melakukan konversi. Yang dimaksud dengan konversi adalah pengungkapan kembali makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dengan cara menukarkan tempat term subjek dengan term predikatnya tanpa mengubah kualitas proposisi tersebut. Itu berarti, bila dalam suatu proposisi terdapat suatu hubungan tertentu antara term subjek dan term predikatnya, maka atas dasar itu dapat pula disimpulkan mengenai hubungan antara term predikat dan term subjeknya. Jadi, jika memang ternyata "SP", maka dapat disimpulkan bahwa "P S".

Agar kesimpulan dari sebuah penalaran langsung melalui proses konversi dapat mempunyai makna yang sama (ekuivalen) dengan premisnya, maka perlu diperhatikan hukum pokoknya yang berbunyi: Luas term predikat pada proposisi asal (premis) harus sama besar dengan luas term tersebut pada proposisi baru (kesimpulan). Akan tetapi, konversi yang menghasilkan kesimpulan yang benar-benar ekuivalen atau semakna dan karena itu juga senilaidengan premisnya, hanya bisa dilakukan untuk proposisi E dan proposisi I. Hal ini disebabkan baik proposisi E maupun proposisi I masing-masing memiliki term subjek dan term predikat dengan luas yang sama besar.

Pada proposisi E, term subjek dan term predikat sama-sama mempunyai luas universal. Dengan demikian proposisi E, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi E. Amatilah contoh berikut ini.

Premis

: "Semua becak bukan mobil" (proposisi E).

Kesimpulan: "Semua mobil bukan becak" (proposisi E).Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas ekuivalen atau semakna halnya dengan proposisi I. Term subjek dan term predikat pada proposisi I keduanya mempunyai luas partikular. Dengan demikian proposisi I, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi I. Perhatikan contoh di bawah ini.

Premis

: "Beberapa mahasiswa adalah penyanyi" (proposisi I). Kesimpulan: "Beberapa penyanyi adalah mahasiswa" (proposisi I).Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas pun ekuivalen atau semakna.

Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan proposisi I itu hanya berupa penukaran tempat term subjek dan term predikat. maka disebut konversi sederhana. Prosedur konversi sederhana tidak dapat dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini disebabkan dalam proposisi A (ingat: kualitasnya afirmatif!), luas term predikatnya adalah partikular. Jika dikonversi secara sederhana begitu saja, maka term predikat, yang dalam premis mempunyai luas partikular, akan memperoleh luas universal dalam kesimpulan. Amatilah contoh di bawah ini:

Premis

: "Semua emas adalah logam" (proposisi A).

Kesimpulan: "Semua logam adalah emas" (proposisi A).

Jelaslah bahwa kesimpulan itu salah. Karena itu, untuk mendapat konversi yang tepat terhadap proposisi premisnya, maka term predikat (logam) pada premis tersebut harus dibatasi luasnya dalam kesimpulan menjadi partikular. Dengan demikian, konversi terhadap premis dalam penalaran langsung di atas seharusnya begini.

Kesimpulan: "Sebagian logam adalah emas" (proposisi I).

Jadi, proposisi A hanya dapat dikonversi menjadi proposisi I. Itulah sebabnya untuk proposisi A hanya berlaku konversi terbatas. Pengecualian hanya bisa terjadi apabila proposisi A itu memang merupakan sebuah definisi karena kedua unsur dalam definisi, yakni definiens dan definendum, dituntut harus sama-sama mempunyai luas universal agar dapat dipertukarkan tempatnya. Kalau begitu, kesimpulan dalam penalaran langsung berikut ini benar sekaligus ekuivalen dengan premisnya.Premis

: "(Semua) manusia adalah makhluk yang berakal budi" (proposisi A).

Kesimpulan: "Semua makhluk yang berakal budi adalah manusia" (proposisi A).Proposisi O tidak dapat dikonversi, karena dalam proposisi O luas term predikatnya adalah universal. Itu berarti, sejalan dengan hukum pokok di atas, term predikat itu harus diturunkan ke dalam kesimpulan dengan luas universal pula, dan kalau begitu kesimpulannya selalu berupa proposisi E. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik bukan hanya tidak ekuivalen dengan premisnya, tetapi juga selalu salah. Amatilah contoh berikut ini.

Premis

: "Sebagian bintang film bukan penyanyi" (proposisi O).Kesimpulan: Semua penyanyi bukan bintang film (proposisi E)Atau

Premis

: Sebagian manusia bukan dokter (proposisi O)Kesimpulan: Semua dokter bukan manusia (proposisi E)Secara keseluruhan, prosedur konversi untuk semua jenis proposisi di atas dapat dilihat pada Tabel 5: Prosedur Konversi.Tabel 5: Prosedur KonversiJenis ProposisiProposisi asalKonversi

ESemua becak bukan mobil.Semua mobil bukan becak. (konversi sederhana)

IBeberapa mahasiswa adalah penyanyi.Beberapa penyanyi adalah mahasiswa. (konversi sederhana)

ASemua emas adalah logam.Sebagian logam adalah emas. (konversi terbatas)

OSebagian bintang film bukan penyanyi.(tidak ada konversi)

2) Penalaran tidak langsungSeperti dikatakan di atas, penalaran tidak langsung diwujudkan dalam satu bentuk logis yang disebut silogisme. Karena menurut sifat pengakuan dan pengingkaran term predikat tentang term subjek kita mengenal dua macam proposisi, yaitu proposisi kategoris dan proposisi hipotetis, maka dalam pembicaraan tentang silogisme, kita juga mengenal silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. (a) Silogisme Kategoris StandarSilogisme kategoris (atau dengan singkat silogisme) adalah suatu bentuk logis argumen deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan, yang semuanya merupakan proposisi-proposisi kategoris. Sementara itu, suatu silogisme kategoris hanya dapat disebut standar jika semua proposisi yang terkandung di dalamnya (premis-premis dan kesimpulan) merupakan proposisi-proposisi kategoris standar. Kecuali itu, suatu silogisme kategoris standar selalu berisikan tiga term atau tiga kelas, yang masing-masingnya hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme.

Kesimpulan dari silogisme kategoris standar yang berupa proposisi kategoris standar itu mengandung dua dari tiga term silogisme yakni term subjek (S) dan term predikat (P). Term predikat dari kesimpulan disebut term mayor silogisme, sedangkan term subjek dari kesimpulan disebut term minor silogisme. Jadi, dalam bentuk silogisme kategoris standar, sepertiSemua pahlawan adalah orang dewasa.Beberapa prajurit adalah pahlawan.Jadi. Beberapa prajurit adalah orang berjasa.Term prqjurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor. Term ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat dalam kedua premis, disebut term menengah (dilambangkan dengan M yang merupakan singkatan dari (terminus) medius). Dalam contoh di atas, term pahlawan adalah term menengah.

Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris standar masing-masing terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme. Premis yang mengandung term mayor disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Dalam silogisme di atas, premis mayor adalah Semua pahlawan adalah orang berjasa, sedangkan premis minor adalah Beberapa prqjurit adalah pahlawan.

Dalam silogisme standar, premis mayor selalu ditempatkan sebagai proposisi pertama pada baris pertama, sedangkan premis minor selalu ditempatkan sebagai proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai pangkal tolak seluruh penalaran. Kesimpulan penalaran diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor tersebut atau, dalam contoh di atas, antara term menengah (M) dengan term predikat (P) dalam premis mayor, dan antara term subjek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu berarti, kalau memang ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan S sama dengan M, maka S mesti sama juga dcngan P:

M=P

S=M

... S = P

Penalaran yang menggunakan term menengah (M) untuk menarik kesimpulan dalam sistem Aristoteles, disebut penalaran tidak langsung.(b) Sifat Formal Argumen Silogistis

Dari segi tinjauan logika, bentuk argumen merupakan aspek yang paling penting. Masalah kesahihan atau ketidaksahihan silogisme kategoris tergantung semata-mata pada bentuk (forma)-nya dan sama sekali tidak tergantung pada isi (materi)-nya. Dan, seperti sudah disinggung, pembicaraan tentang isi suatu silogisme kategoris adalah pembicaraan tentang benar tidaknya proposisi-proposisi (premis-premis dan kesimpulannya). Jadi istilah sahih dan tidak sahih hanya dapat dikenakan pada (bentuk) argumen, sedangkan istilah-istilah benar dan tidak benar hanya dapat dikenakan pada proposisi-proposisi.Silogisme dengan bentuk, seperti

Semua M adalah P

Semua M adalah P

Jadi, semua S adalah P

adalah suatu argumen yang sahih tanpa memperhatikan isinya. Itu berarti, term-term apa pun yang digunakan untuk menggantikan lambang-lambang "S", "P", dan "M" argumen yang dilahirkan akan tetap sahih. Jika kita menggantikan lambang-lambang tersebut dengan term-term mahasiswa-mahasiswa UI, hewan berakal budi, dan manusia, maka kita akan memperoleh argumen yang sahih:

Semua manusia adalah hewan berakal budi

Semua mahasiswa UI adalah manusia

Jadi, semua mahasiswa UI adalah hewan berakal budi

Apabila, dalam bentuk yang sama, kita menggantikan lambang-lambang tersebut dengan term-term lele, binatang yang hidup dalam air, dan ikan, maka

Semua ikan adalah binatang yang hidup dalam air.

Semua lele adalah ikan.

Jadi, semua lele adalah binatang yang hidup dalam air.

adalah juga argumen yang sahih.

Suatu silogisme kategoris yang sahih adalah argumen yang sahih secara formal, sahih berdasarkan bentuknya saja. Ini menunjukkan bahwa silogisme lain, asal menggunakan bentuk yang sama, juga tetap disebut sahih. Sebaliknya, jika suatu silogisme tertentu ternyata tidak sahih, maka silogisme lain mana pun, sejauh menggunakan bentuk yang sama, tetap juga tidak sahih. Perhatikanlah kedua contoh berikut ini:(1) Semua penyanyi adalah orang yang bersuara bagus.

Beberapa mahasiswa UI adalah orang yang bersuara bagus

Jadi, beberapa mahasiswa UI adalah penyanyi.

(2) Semua kelinci adalah binatang berkaki empat.

Semua kuda adalah binatang berkaki empat.

Jadi, semua kuda adalah kelinci.

Pada contoh (1) kita melihat bahwa premis-premis dan kesimpulannya, dari segi isi (menurut kenyataan), adalah benar. Namun, dari segi bentuk, argumen itu tidak sahih. Dalam contoh (2) kita melihat bahwa, dari segi isi, premis-premisnya benar sedangkan kesimpulannya salah. Hal ini justru disebabkan jalan pikirannya tidak lurus; dengan kata lain, argumen tersebut, menurut bentuknya, tidak sahih. Persoalan mengenai bentuk argumen ini akan dengan lebih mudah dipahami bila kita mendalami sungguh-sungguh semua seluk-beluk yang berkaitan dengan hukum-hukum silogisme.

b) Hukum Silogisme Kategoris

Untuk membangun suatu bentuk argumen silogistik yang sungguh-sungguh logis, kita harus mematuhi kaidah-kaidah penyimpulan yang semuanya berjumlah delapan hukum. Dari kedelapan hukum ini, empat di antaranya tentang term, dan empat lainnya tentang proposisi (Hayon, 2005: 140-149)

c) Silogisme Hipotetis

Silogisme hipotetis adalah model argumentasi yang premis mayornya berupa sebuah proposisi kondisional. Premis mayor ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan Jika; lazimnya disebut antesedens, dan bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan Maka; lazimnya disebut konsekuens. Dalam logika, premis mayor dari argumentasi ini biasanya tersusun dalam empat pola, yakni:

(a) Jika A, maka B.

(b) Jika A, maka bukan B.

(c) Jika bukan A, maka B.

(d) Jika bukan A, maka bukan B

Argumentasi kondisional dengan premis mayor yang tersusun dalam empat pola itu dikenal dalam dua jenis, yakni argumentasi kondisional dalam arti luas dan argumentasi kondisional dalam arti sempit.(1) Silogisme kondisional dalam arti luasJenis argumentasi ini secara keseluruhan memiliki empat bentuk, namun hanya ada dua bentuk yang sahih, sedangkan dua bentuk lainnya tidak sahih.

(a) Bentuk Sahih

Agar bentuk argumentasi kondisional dalam arti luas ini dapat sahih, kita harus berpegang pada dua hukum Pertama, proses penyimpulan harus bergerak dari pem-benaran terhadap syarat (sebab) dalam antesedens (premis minor) kepada pembenaran terhadap apa yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (kesimpulan). Proses penyimpulan dengan tata aturan seperti ini disebut mo