Makalah Etika Profesi Hubungan Etika Profesi Dengan Moral ...
Modul - Etika Profesi Dan Aspek Hukum RM p
description
Transcript of Modul - Etika Profesi Dan Aspek Hukum RM p
Sugiharto
Modul Pelatihan
Manajemen Rekam Medis
Berbasis Akreditasi Puskesmas
Etika ProfesiPerekam Medis dan Informasi Kesehatan
danAspek Hukum Rekam Medis
Sugiharto
2015
1
Sugiharto
BAB I
ETIKA PROFESI PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
A. Pengertian Etika
Etika Berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berarti akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak.
Menurut KUBI :
1) Ilmu tentang apa yg baik, apa yg buruk dan tentang kewajiban dan
moral
2) Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yg berkenaan dg akhlak
3) Nilai yg benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat
Menurut Martin (1993) etika didefinisikan sebagai “the discipline wich can
act as the performance index or reference for our control system”
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena
segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
B. Prinsip dalam Etika
1. Nonmaleficence (tidak merugikan) berarti tidak menimbulkan
bahaya/cidera fisik pada pasien.
2. Beneficence berarti hanya melakukan sesuatu yang baik
3. Confidentiality berarti kerahasiaan.
4. Justice berarti keadilan.
5. Fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain.
C. Pengertian Kode Etik
Kode etik (latin:”codex”=himpunan) berarti usaha menghimpun apa yang
tersebar. Kode etik adalah himpunan norma-norma yang disepakati dan
ditetapkan oleh dan untuk para pengemban profesi.
2
Sugiharto
• Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua
pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan
• Ciri-ciri pekerjaan profesi :
1. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
2. Pekerjaannya berlandaskan etika profesi
3. Mengutamakan penggilan kemanusiaan daripada keuntungan
pribadi
4. Pekerjaannya legal (melalui perijinan)
5. Anggotanya belajar sepanjang hayat
6. Anggotanya tergabung dalam organisasi profesi.
D. Kode Etik Perekam Medis dan Informasi Kesehatan (PMIK)
Kode etik perekam medis dan informasi kesehatan adalah pedoman untuk
sikap dan perilaku perekam medis dalam menjalankan tugas, serta
mempertanggung jawabkan segala tindakan profesi baik kepada profesi itu
sendiri, pasien, manajerial dan masyarakat luas.
1. Kewajiban Umum
a. Di dalam melaksanakan tugas profesi, setiap PMIK selalu bertindak
demi kehormatan diri, profesi dan organisasi PORMIKI.
b. PMIK selalu menjalankan tugas berdasarkan standar profesi tertinggi.
c. PMIK lebih mengutamakan pelayanan daripada kepentingan pribadi
dan selalu berusaha memberikan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu.
d. PMIK wajib menyimpan dan menjaga data rekam medis serta
informasi yang terkandung di dalamnya sesuai dengan ketentuan
prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan peraturan
perundangan yang berlaku.
e. PMIK selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas
informasi pasien yang terkait dengan identitas individu atau sosial.
f. PMIK wajib melaksanakan tugas yang dipercaya pimpinan
kepadanya dengan penuh tanggungjawab, teliti dan akurat.
3
Sugiharto
2. Perbuatan/Tindakan yang Bertentangan dengan Kode Etik
a. Menerima ajakan kerjasama seseorang/kumpulan orang untuk
melakukan pekerjaan yang menyimpang dari standar profesi yang
berlaku.
b. Menyebarluaskan informasi yang terkandung dalam rekam medis
yang dapat merusak citra PMIK.
c. Menerima imbalan jasa dalam bentuk apapun atas tindakan no.1
dan 2.
3. Kewajiban PMIK Terhadap Profesi
a. PMIK wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari
Kode Etik Profesi.
b. PMIK wajib meningkatkan mutu rekam medis dan informasi
kesehatan.
c. PMIK wajib berpartisipasi aktif dan berupaya mengembangkan serta
meningkatkan citra profesi.
d. PMIK wajib menghormati dan mentaati peraturan dan kebijakan
organisasi profesi.
4. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri
a. PMIK wajib menjaga kesehatan dirinya agar dapat bekerja dengan
baik.
b. PMIK wajib meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai
dengan perkembangan IPTEK yang ada
4
Sugiharto
BAB II
ASPEK HUKUM REKAM MEDIS
A. Pengertian Rekam Medis
1. Menurut Huffman EK, 1992
Rekam Medis adalah Rekaman atau catatan mengenai siapa, apa.
mengapa, bilamana, dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada
pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan mengenai
pasien dan pelayanan yang diperolehnya serta memuat informasi yang
cukup untuk mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan
pengobatan serta merekam hasilnya.
2. Menurut Permenkes No. 269/ 2008 :
Rekam Medis adalah Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien pemeriksaan, pengobatan, tindakan & pelayanan lain yg
telah diberikan kepada pasien.
• Catatan : Tulisan yg dibuat oleh Dr/Drg ttg segala tindakan yg dilakukan
kepada pasien dlm rangka pemberian pelayanan kesehatan
• Dokumen : Catatan Dr/Drg dan / atau tenaga kesehatan tertentu, lap
hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian
dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan dan
rekaman elektro diagnostik.
B. Kegunaan Rekam Medis
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 6 manfaat, yang
untuk mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1. Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif
pelayanan kesehatan.
2. Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di
pengadilan,
5
Sugiharto
3. Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya
pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4. Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian
dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5. Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran
dan pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga
kesehatan lainnya.
6. Documentation value: Rekam medis merupakan sarana untuk
penyimpanan berbagai dokumen yang berkaitan dengan kesehatan pasien.
C. Isu Hukum Terkait Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
Terdapat 3 isu hukum utama yang berkaitan dengan rekam medis dan
informasi kesehatan, yaitu : (1) Kompilasi, pemeliharaan, dan retensi Rekam
Medis/ Rekam Kesehatan, (2) Penggunaan dan Pengungkapan Informasi
kesehatan, dan (3) Penggunaan catatan pasien dan informasi kesehatan
dalam proses peradilan. Selain itu juga terdapat isu hukum di bidang
kepemilikan, perlindungan dan komputerisasi.
1. Kompilasi, Pemeliharaan dan Retensi.
Kompilasi dan pemeliharaan informasi kesehatan harus dilakukan
dengan benar dan sesuai dengan standar-standar, etika,dan huku.
Undang-Undang dan Permenkes telah mengatur kewajiban dan poko-
pokok pembuatan dan pengelolaan rekam medis, selanjutnya pedoman
dan standar profesi mengatur rincian pelaksanaannya. Tidak mentaati
standar-standar dan ketentuan hukum diatas akan mengakibatkan
diperolehnya sanksi tertentu, seperti dicabutnya izin atau akreditasi,
denda, atau bahkan hukuman penjara. Sebagai contoh, dokter yang
sengaja tidak membuat rekam medis dapat di ancam pidana penjara satu
tahun (lihat Pasal 46 dan Pasal 79 UU Praktik Kedokteran).
Setiap rumah sakit sebaiknya memiliki kebijakan yang memastikan
keseragaman isi maupun bentuk dari rekam kesehatan berdasarkan
standar adreditasi yang dipakai, kebutuhan si pembayar, dan standar
6
Sugiharto
profesi . Berikut adalah acuan umum untuk menentukan bentuk dan isi
rekam kesehatan. :
a. Rekam kesehatan hendaknya disusun secara sistematik untuk
memudahkan pencarian dan kompilasi data
b. Hanya orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh kebijakan rumah
sakit saja yang diperbolehkan mendokumentasikan dan
menyimpan rekam kesehatan
c. Kebijakan rumah sakit dan atau peraturan internal staf medis
hendaknya menspesifikasi siapa yang berhak menerima dan
menulis perintah verbal dokter dan tata caranya.
d. Masukan pada pada rekam kesehatan hendaknya dicatat pada
saat perawatan yang diuraikan diberikan (tidak retrospektif)
e. Penulis semua masukan harus tertera dengan jelas
f. Singkatan dan simbol sebaiknya hanya digunakan dalam rekam
kesehatan bila sesuai dengan ketentuan yang berlaku
g. Semua masukan dalam rekam kesehatan hendaknya permanen
h. Untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam rekam
kesehatan, hendaknya digunakan tatacara sebagaimana diatur
dalam Permenkes No.269 tahun 2008.
i. Bila pasien ingin mengubah isi rekam kesehatanya, perubahan
hendaknya dibuat sebagai adendum. Sebaiknya tidak ada
perubahan pada masukan yang asli, dan perubahan harus secara
jelas merupakan dokumen tambahan yang disertakan dalam rekam
kesehatan yang asli atas permintaan pasien, yang selanjutnya akan
bertanggungjawab untuk menjelaskan perubahan tersebut
j. Profesional MIK harus mengembangkan, mengimplementasikan,
dan mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan
analisis kuantitatif maupun kualitatif dari rekam kesehatan.
Permenkes No.269 tahun 2008 mengatur tentang lamanya retensi rekam
medis hingga setidaknya 5 tahun sejak kunjungan pasien terakhir, sedangkan
untuk hal-hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan sendiri.
7
Sugiharto
Selain hukum, peraturan dan standar akreditasi, retensi rekam medis
bergantung juga kepada penggunaannya dalam suatu institusi kesehatan .
Sebagai contoh, sebuah fasilitas yang menyediakan layanan khusus untuk
anak-anak mungkin memiliki kebijakan retensi yang berbeda dengan sebuah
klinik dokter keluarga. Demikian pula sebuah fasilitas perawatan akut mungkin
memiliki kebijakan retensi yang berbeda dengan sebuah fasilitas perawatan
jangka panjang yang merawat lansia/geriatri. Komite Medis dari setiap fasilitas
layanan kesehatan harus menganalisis kebutuhan medis dan administratif
untuk memastikan bahwa rekam medis pasien-pasiennya selalu siap untuk
dilihat kembali, dinilai kualitasnya, dan lain-lain . Maka pada banyak kasus,
instutusi layanan kesehatan meretensi rekam medis lama dari yang ditetapkan
oleh hukum.
Dalam kaitannya dengan retensi informasi kesehatan, AHIMA
memberikan pedoman sebagai berikut :
a. Setiap pemberi layanan kesehatan harus memastikan bahwa
informasi kesehatan pasien tersedia untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan pasien, kebutuhan hukum, riset, pendidikan,
dan kebutuhanlain yang sah.
b. Setiap pemberi layanan kesehatan harus mengembangkan
pengaturan retensi informasi kesehatan pasien yang memenuhi
kebutuhan pasien, dokter, penelitian, dan kebutuhan petugas lain
yang sah, dan sesuai dengan kepentingan hukum, peraturan dan
akreditasi.
c. Pengaturan retensi harus termasuk pedoman yang merinci informasi
apa yang harus dijaga,lama waktu pemeliharaannya, dan media
penyimpanannya (kertas, mikrofilm, optical-disk, magnetic tape atau
lainnya).
8
Sugiharto
2. Perlindungan Privasi, Kerahasiaan, dan Keamanan
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali
tertukar . akan tetapi terdapat beberapa perbedaan yang penting,
diantaranya :
- Privasi adalah “hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk
bebas dari campur tangan atau observasi terhadap hal-hal pribadi
seseorang serta hak untuk mengontrol informasi-informasi pribadi
tertentu dan informasi kesehatan”(Harman,2001a, hal.376).
- Kerahasiaan merupakan “pembatasan pengungkapan informasi
pribadi tertentu. Dalam hal ini mencakup tanggung jawab untuk
menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi
hanya dengan sepengetahuan dan izin individu.”(Harman,
2001a,370). Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan
ataupun verbal
- Keamanan meliputi “Perlindungan fisik dan elektronik untuk
informasi berbasis komputer secara utuh, sehingga menjamin
ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk kedalamnya adalah
sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
mengolah,dan menyampaikan, alat-alat untuk mengukur akses dan
melindungi informasi dari pengungkapan yang tak sengaja maupun
yang disengaja (Harman,2001a,hlm.372).
Tanggung jawab profesional MIK antara lain adalah memastikan
bahwa privasi dan kerahasiaan informasi pasien terlindungi serta
melakukan pengamanan dat yang digunakan untuk mencegah terjadinya
akses yang tidak sah terhadap informasi tersebut. Selain itu
tanggungjawab profesional MIK juga menjamin pengeluaran peraturan
dan prosedur yang akurat dan terbaru, dipatuhi dan bahwa semua
pelanggaran dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Kerahasiaan rekam medis diatur didalam UU Praktik Kedokteran
Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan bahwa “rekam medis harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan
sarana kesehatan”. Hal yang sama di kemukakan dalam Pasal 11
9
Sugiharto
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran. Selanjutnya , Pasal 1 PP yang sama menyatakanbahwa “
yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh orang-orang dalam Pasal 3 pada waktu atu selam
melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”. Profesional MIK
adalah salah satu tenaga kesehatan yang mengemban wajib simpan
rahasia kedokteran.
Selanjutnya UU Praktik kedokteran memberikan peluang
pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam Pasal 48
ayat (2) :
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum
c. Permintaan pasien sendiri
d. Berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dengan melihat masalah diatas dan mengingat Kode Etik Rumah
Sakit, adalah menjadi tanggungjawab sarana pelayanan kesehatan untuk
menyediakan tempat yang cukup dan memadai bagi penyimpanan
dokumen rekam medis agar aspek privasi , kerahasiaan dan keamanan
dokumen dapat terjamin.
3. Tanggung jawab Profesi
Sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit memiliki fungsi utama
memberikan perawatan dan pengobatan yang sempurna kepada pasien,
baik pasien rawat inap,rawat jalan maupun gawat darurat. Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan
medik yang diberikan kepada pasien. Rekam medis sangat penting dalam
menunjang upaya pengendalian mutu pelayanan medik yang diberikan
oleh sarana kesehatan beserta staf medik dan keperawatannya.
Sarana kesehatan bertanggung jawab untuk melindungi informasi
kesehatan yang terdapat di dalam rekam medis terhadap kemungkinan
hilang, rusak, pemalsuan dan akses yang tidak sah. Rekam medis harus
10
Sugiharto
berisikan informasi kesehatan yang cukup lengkap dan rinci, akurat dan
relevan, sehingga dapat menunjukkan bagaiman perawatan dan
pengobatan telah diberikan kepada pasien.
Dokter yang merawat pasien bertanggung jawab atas kelengkapan
dan keakuratan pengisian rekam medis. Di dalam praktek memang dapat
saja pengisian rekam medis dilakukan oleh tenaga kesehatanlain
(perawat, asisten, residen, co-ass), namun dokter yang merawat pasien
lah yang memikul tanggung jawabnya. Perlu diingat bahwa kelengkapan
dan keakuratan isi rekam medis sangat bermanfaat, baik bagi perawatan
dan pengobatan pasien, bukti hukum bagi rumah sakit dan dokter,
maupun bagi kepentingan penelitian medis dan administratif.
Petugas rekam medis atau profesional manajemen informasi
kesehatan bertanggung jawab atas pengelolaan rekam medis. Profesional
MIK memonitor kelengkapan pengisian, mengusahakan agar
penatalaksanaan rekam medis sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan standar yang berlaku, serta menganalisis rekam medis
secara kelitatif dan kuantitatif dalam rangka memberikan masukan bagi
pengendalian mutu layanan medis.
Pimpinan manajemen sarana kesehatan bertanggung jawab
menyediakan sarana unit rekam medis atau MIK, yang meliputi ruang,
peralatan dan tenaga yang memadai, sedemikian rupa sehingga
pengelolaan rekam medis di sarana kesehatan tersebut dapat berjalan
dengan efektif dan efisien.
Komite Medik sarana kesehatan bertanggung jawab atas upaya
penjagaan dan peningkatan mutu pengolahan informasi kesehatan,
dengan membentuk panitia rekam medik, membuat peraturan internal
bagi staf medik yang relevan, serta pendidikan dan pelatihan yang sesuai.
4. Aspek Hukum Komputerisasi Informasi Kesehatan
Pemanfaatan komputer sebagai sebagai sarana pembuatan dan
pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat
dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan
ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah
11
Sugiharto
baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien
jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah
hukum dan tanggung jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh
sarana pelayanan kesehatannya. Untuk itu maka standar pelaksanaan
pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi
berkas kertas harus pula diberlakukan pada kertas elektronik. Umumnya
komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi
hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed
consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam
bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia (WMA) di bidang etik dan hukum
menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk
yang penting adalah :
1. Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh
personel yang berwenang
2. Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personel tertentu
hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan
menggunakan security level tertentu.
3. Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa izin pasien. Distribusi
informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang
berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan
memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4. Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada
dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
5. Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang
berwenang.
Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang
mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus
memiliki PIN dan password, atau menggunakan smart card, sidik jari atau
pola iris mata sebagai pengenal. Identitasnya. Data medis juga dapat
dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa
mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya seorang
12
Sugiharto
petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang
dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri,
seorang petugas billing hanya mengakses informasi khusus yang berguna
untuk pembuatan tagihan, dan lain-lain. Bila si dokter tidak mengisi sendiri
data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam
medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang
yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem
harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk
kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa
data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan
penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam
medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian”
dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka
informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa
sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau
menghilangkan data medis, misalnya data jenis read-only yang dapat
diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah
atau menghilangkan sebagai data, harus dapat terdeteksi “perubahannya”
dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya apakah rekam medis elektronik tersebut
masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula
dengan bentuk elektronik dari informed consent? Memang kita menyadari
bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana
membuktikan keautentikannya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf
setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik? Cukupkah
dengan PIN dan electronic signature? UU Praktik Kedokteran No.29/2004
mengisyaratkannya demikian dalam Pasal 46 ayat (3). Secara formal
hukum Indonesia belum mengatur admissibility dari dokumen elektronik.
Namun demikian hingga saat ini belum ada landasan hukum bagi
informasi kesehatan elektronik, khususnya yang berkaitan dengan
13
Sugiharto
keabsahannya secara hukum, baik sebagai bukti hukum ataupun dalam
lalu-lintas informasi. Diharapkan revisi Permenkes tentang Rekam Medis
dalam waktu dekat ini akan mengatur hal tersebut.
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih
baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per telepon
(tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat e-mail yang diberi
tanda tangan (signature).
5. Kepemilikan Rekam Medis/Rekam Kesehatan
Kepemilikan informasi kesehatan dalam bentuk fisik sebagai
medium dipegang oleh rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan, atau
dokter yang menyimpan rekam medis pasien tersebut, termasuk hasil foto
rontgen, hasil laboratorium, hasil konsultasi, dan dokumen lain yang
berkaitan dengan perawatan langsung terhadap pasien. Akan tetapi tidak
berarti bahwa pasien atau pihak lain yang berwenang tidak memiliki hak
hukum untuk mengakses informasi kesehatan tersebut.
Dengan dinyatakannya secara hukum bahwa sarana kesehatan
sebagai pemilik berkas rekam medis sekaligus pengemban kewajiban
menjaga isinya sebagai rahasia, serta menyadari betapa pentingnya
peran rekam medis sebagai bukti pemberian layanan kesehatan kepada
pasien, maka sarana kesehatan memberlakukan ketentuan bahwa rekam
medis tidak boleh hilang ataupun dibawa keluar dari sarana kesehatan
tersebut kecuali atas izin pimpinan sarana kesehatan tersebut. Profesional
MIK bertanggung jawab atas keberadaan dan keutuhan rekam medis,
serta menjaganya dari kemungkinan pencurian atau pembocoran IK
kepada yang tidak berhak.
Di sisi lain, pasien, sebagai pemilik isi rekam medis/informasi
kesehatan, memiliki hak untuk mengakses informasi kesehatannya dan
hak untuk menentukan boleh atau tidaknya informasi kesehatnnya diakses
oleh pihak lain. Kecuali apabila peraturan perundang-undangan
mengaturnya lain. Adapun mengenai tata cara penyerahan informasinya
dikenal terdapat dua pendapat, yaitu :
14
Sugiharto
a. Pasien menerima surat keterangan yang berisikan informasi
kesehatannya. Apabila pendapat ini yang dilaksanakan maka
sarana kesehatan harus dapat memastikan bahwa informasi
kesehatan yang diberikan sudah cukup lengkap dan akurat.
b. Pasien menerima fotokopi rekam medisnya. Apabila pendapat ini
yang dilaksanakan maka sarana kesehatan harus membubuhkan
stempel, paraf dan tanggal di setiap lembar fotokopi tersebut.
Sebelum terdapat peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya secara khusus, maka sarana pelayanan kesehatan atau
dokter/dokter gigi pemilik berkas rekam medis menentukan dalam bentuk
apa informasi kesehatan pasien tersebut diserahkan, dengan
mempertimbangkan berbagai aspek etik dan hukum yang terkait dengan
pelepasan informasi tersebut.
Selain itu, dokter diharapkan dapat menimbang-nimbang apakah
informasi kesehatan yang akan disampaikan akan memperberat keadaan
pasien, ataukah merugikan pasien di kemudian hari. Apabila hal itu yang
terjadi, maka pemberian informasi harus dilakukan dengan kehati-hatian
dan dapat dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan
pasien.
6. Pengungkapan Informasi Kesehatan
Pengungkapan informasi kesehatan seseorang pasien kepada
pihak lain hanya dapat dilakukan apabila :
1. Dengan persetujuan atau otorisasi pasien, misalnya informasi
kesehatan untuk kepentingan asuransi kesehatan, perusahaan,
pemberi kerja dan lain-lain. Dalam hal ini harus diingat prinsip
minimal, relevan dan cukup, yaitu bahwa informasi kesehatan yang
diberikan harus minimal tetapi harus relevan dengan yang
dibutuhkan serta cukup dalam menjawab pertanyaan.
2. Dengan perintah undang-Undang, misalnya :
a. UU wabah dan UU Karantina
15
Sugiharto
b. UU acara pidana : visum et repertum, surat/dokumen,
keterangan ahli di persidangan, keterangan ahli didepan
penyidik/penuntut umum.
3. Untuk kepentingan pasien, misalnya pada waktu konsultasi medis
antar tenaga kesehatan /medis, terutama dalam hal pasien berada
dalam keadaan darurat dan tidak bisa memberikan persetujuan.
Masalah bisa saja timbul pada saat keluarga pasien meminta
informasi kesehatan pasien. Pada umumnya keluarga inti – terutama
pada budaya timur – di anggap secara implied memiliki hak akses
atas informasi kesehatan, namun menjadi tidak berlaku apabila
pasien secara eksplisit melarangnya.
Pengecualian juga dapat diberlakukan, yaitu pada informasi
tentang psikoterapi, informasi yang dikumpulkan dalam rangka untuk
kepentingan penyidikan/pengadilan, informasi yang dapat
membahayakan jiwa atau fisik pasien atau orang lain, yang dapat
disimpan dengan lebih ketat sebagai rahasia, bahkan kadang-
kadang juga bagi pasien itu sendiri.
Penggunaan Informasi Kesehatan untuk Kepentingan Peradilan
Sebagaimana disebutkan diatas, UU Praktik Kedokteran
memberikan peluang untuk mengungkapkan informasi kesehatan
untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum. Dalam hal ini perlu di garis bawahi kata-kata
“dalam rangka penegakan hukum”, yang berarti bahwa permintaan
akan informasi kesehatan tersebut haruslah diajukan dengan
mengikuti aturan yuridis-formal.
Pasal 43 Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana mengisyaratkan bahwa rekam medis tidak dapat disita
tanpa persetujuan sarana kesehatan atau orang yang bertanggung
jawab atas rekam medis tersebut.
16
Sugiharto
“Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban
menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang
tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas
persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan
Negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.”
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa penggunaan informasi
kesehatan untuk kepentingan peradilan dapat dilakukan, baik pada
pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum maupun di depan sidang
pengadilan. Namun demikian untuk menjaga agar dokumen rekam
medis tidak hilang maka sebaiknya rekam medis hanya dikeluarkan
dari sarana pelayanan kesehatan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan. Sebuah fotokopi rekam medis yang disahkan pimpinan
sarana kesehatan dapat di serahkan atas permintaan resmi penyidik
atau penuntut umum. Rekam medis asli dapat di tunjukan untuk
membuktikan orisinalitas rekam medis tersebut.
Selain itu, pemberi layanan kesehatan dapat saja menetapkan
sebagian informasi kesehatan sebagai rahasia dan tidak
menyampaikannya ke petugas penuntut umum, sepanjang informasi
tersebut tidak relevan dengan perkaranya. Hak menjaga
kerahasiaan informasi tertentu tersebut dilindungi oleh Pasal 43,
120, dan 170 KUHAP.
Pedoman Praktis
Selanjutnya sebagai pedoman praktis bagi sarana kesehatan
dapat digunakan ketentuan umum di bawah ini, kecuali terdapat
ketentuan khusus yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku :
1. Setiap informasi kesehatan pasien harus dijaga sebagai
rahasia.
2. Secara umum dapat dikatakan bahwa menjaga sebagai
rahasia berarti bahwa bila mengungkapkan identitas maka
17
Sugiharto
tidak boleh mengungkap data medisnya, dan sebaliknya bila
mengungkap data medis maka tidak boleh mengungkap
identitasnya.
3. Sarana kesehatan tidak boleh dengan sekehendaknya
menggunakan rekam medis dengan cara yang
membahayakan kepentingan pasien, kecuali jika sarana
kesehatan itu sendiri akan menggunakannya untuk melindungi
dirinya atau mewakilinya.
4. Dokter yang merawat pasien beserta timnya setiap saat dapat
mengakses informasi kesehatan pasien tersebut dalam
rangka melaksanakan pekerjaannya. Di dalam rumah sakit
pendidikan, residen, dan co-ass juga memiliki hak akses
tersebut untuk kepentingan pendidikan, pelayanan, dan
penelitian.
5. Pasien yang menginginkan informasi kesehatannya secara
tertulis harus mengajukan permohonan tertulis yang ditujukan
kepada dokter yang merawatnya atau kepada pimpinan
rumah sakit. Dalam hal pasien tidak kompeten maka
permohonan dapat diajukan oleh walinya.
6. Informasi kesehatan pasien diserahkan kepada pasien dalam
dua pilihan cara, yaitu dalam bentuk keterangan (resume)
medis atau dalam bentuk fotokopi rekam medis, dengan
pengesahan berupa paraf, tanggal dan stempel sarana
kesehatan pada setiap lembarnya. Cara manapun yang dipilih
harus dapat dipastikan bahwa informasi kesehatan yang
diberikan telah cukup lengkap dan benar.
7. Rekam medis asli tidak dapat diperkenankan dibawa keluar
rumah sakit atau sarana kesehatan.
8. Rumah sakit atau dokter bukan yang merawat pasien tidak
diperkenankan mengakses rekam medis pasien tanpa
persetujuan atau kuasa pasien.
18
Sugiharto
9. Pihak lain selain pasien hanya dapat meminta informasi
kesehatan pasien dengan persetujuan pasien. Permohonan
harus tertulis dan dilampiri dengan bukti persetujuan pasien.
10.Persetujuan atau kuasa pasien harus jelas mencantumkan
informasi kesehatan mana yang disetujui, kepada siapa
persetujuan/kuasa tersebut diberikan, hingga kapan kuasa
tersebut berlaku, dan kapan kuasa tersebut ditanda tangani.
11.Dokter atau tenaga kesehatan lain yang memerlukan
informasi kesehatan pasien untuk kepentingan penelitian, atas
izin pimpinan sarana kesehatan dapat mengakses rekam
medis pasien tanpa memerlukan persetujuan pasien, dalam
hal ini maka identitas pasien harus dikaburkan.
12.Khusus tentang informasi kesehatan hasil dari suatu
pengujian kesehatan dapat diberikan kepada pihak peminta
penguji kesehatan, persetujuan tertulis terperiksa agar
dimintakan pada saat pemeriksaan akan dilakukan.
13.Aparat penegak hukum, dalam rangka penegakan hukum,
dapat meminta secara tertulis informasi kesehatan pasien
tanpa memerlukan persetujuan pasien.dalam hal ini sarana
kesehatan akan menyerahkan fotokopi rekam medis yang
disahkan.
14. Informasi kesehatan dalam bentuk visum et repertum hanya
diberikan kepada institusi penyidik yang memintanya secara
resmi.
15.Pada anak yang diadopsi, orang tua lama kehilangan haknya
untuk mengakses informasi kesehatan anak sejak ia diadopsi,
namun tetap berhak atas informasi kesehatan anak sebelum
diadopsi orang tua baru.
16.Pada anak yang diadopsi, orang tua baru pada dasarnya tidak
berhak mengakses informasi kesehatan anak sebelum ia
diadopsi, kecuali atas pertimbangan dokter dan informasi
kesehatan tersebut diperlukan untuk kepentingan kesehatan
19
Sugiharto
anak. Orang tua baru tidak doperkenankan mengakses
informasi tentang orang tua asli si anak yang diadopsinya.
17.Pada anak yang diadopsi, anak dapat mengakses rekam
medis, baik sebelum maupun sesudah adopsi, namun tidak
diperkenankan mengakses informasi tentang orang tua asli.
7. Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis)
Prinsip-prinsip
Informed consent adalah pengakuan hak autonomy pasien, yaitu hak
untuk dapat menentukan sendiri apa yang boleh dilakukan terhadap
dirinya. Oleh karenanya tidak hanya informed consent yang kita kenal,
melainkan juga informed refusal. Doktrin infomed consent
mensyaratkan agar pembuat consent telah memahami masalahnya
terlebih dahulu (informed) sebelum membuat keputusan (consent atau
refusal)
Dengan demikian, informed consent adalah suatu proses yang
menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum
bukanlah suatu perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kearah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. Dengan
demikina cukup ditanda tangani oleh pasien dan/atau walinya,
sedangkan pihak rumah sakit, termasuk dokternya, hanya menjadi
saksi.
Sebenarnya, consent (persetujuan) dapat diberikan dalam bentuk:
a. Dinyatakan (expressed): (a) secara lisan, dan (b) secara tertulis.
b. Tidak dinyatakan (impliyed). Pasien tidak menyatakannya, baik
secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku
(gerakan) yang menunjukan jawabannya: misalnya menggulung
lengan baju ketika diambil darahnya.
20
Sugiharto
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan buku dikemudian
hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang berisiko memengaruhi
kesehatan pasien secara bermakna. UU Praktik Kedokteran dan
Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa
semua jenis tindakan operatif dan yang berisiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah
dinyatakan sebelumnya, dan tidak dapat dianggap sebagai persetujuan
atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi
yang telah disepakati hanya apabila terjadi keadaan gawat darurat dan
keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si
pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan
consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang
sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya
(baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang
yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/istri, anak yang sudah
dewasa (umur 21 tahun atau pernah menikah), orang tua, saudara
kandung, dan lain-lain.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran
daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak
menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak atau
diterima oleh dokter. Hal ini oleh karena dokter akan mengalami konflik
moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk
mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban
melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter. Namun
perkembangan nilai demikian cepat terjadi sehingga saat ini telah banyak
dikenal permintaan pasien untuk tidak diresusitasi, terapi minimal, dan
menghadapi kematian yang alami tanpa menerima terapi/tindakan yang
extraordinary.
21
Sugiharto
Dalam praktik sehari-hari, informed consent tidak hanya diperlukan
pada tindakan operatif, melainkan juga pada prosedur diagnostik atau
tindakan pengobatan yang invasif lainya, misalnya pada waktu arteriografi,
pemeriksaan laboratorium tertentu, kateterisasi, pemasangan alat bantu
nafas, induksi partus, ekstraksi vakum, dan lain-lain.
Pelaksanaan
Infomed consent memiliki 7 elemen (beauchamp and childress, 1994),
yaitu : (1) kompeten untuk memahami dan membuat keputusan, (2)
sukarela dalam membuat keputusan, (3) penjelasan yang informatif, jujur
dan lengkap, (4) rekomendasi atau rencana tindakannya, (5) pemahaman
atas informasi yang diberikan, (6) pembuatan keputusan, dan (7) otorisasi.
UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (3) memberikan panduan
pemberian informasi dalam rangka informed consent, yaitu sekurang-
kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
Dengan merujuk kepada doktrin dan ketentuan hukum diatas maka
pelaksanaan informed consent adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan tindakan medik dalam bentuk tertulis diperlukan pada
tindakan medik yang mengandung resiko tinggi atau yang membutukan
bukti.
2. Selalu didahului dengan penjelasan oleh dokter yang merawat atau oleh
dokter penggantinya.
3. Informasi dapat diberikan secara lisan maupun tertulis dengan
memberikan kesempatan yang cukup untuk tanya jawab. Bentuk tertulis
dapat dijadikan bukti bahwa informasi tersebut telah diberikan.
4. Informasi yang diberikan setidak-tidaknya meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan
lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognisis terhadap tindakan yang dilakukan.
22
Sugiharto
5. Kemungkinan perluasan tindakan (operasi), bila ada, harus
diinformasikan sebelumnya. Perluasan yang tidak terduga dan belum
diinfomasikan hanya dapat dilakukan pada keadaan gawat darurat.
6. Pertindik tertulis diberikan oleh pasien sendiri bila ia kompeten (dewasa,
sadar dan sehat mental), atau oleh keluarga terdekat atau walinya dalam
hal ia tidak kompeten.
7. Pertindik tidak diperlukan apabila pasien tidak kompeten dan tidak ada
keluarga yang mendampingi, sedangkan tindakan medik sangat
diperlukan oleh karena pasien dalam keadaan gawat darurat.
8. Urutan prioritas pemberi persetujuan yang umum adalah pasien sendiri,
suami atau istrinya, anaknya yang sudah dewasa, orang tuanya, dan
saudara kandungnya. Sedangkan keluarga lain, teman dan kenalan lain
dapat memberikan persetujuan dalam hal orang-orang yang disebut
sebelumnya tidak ada.
23
Sugiharto
DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Edisi revisi 2. Universitas Indonesia. 2012
Triwibowo, Cecep. Etika dan Hukum Kesehatan. Nuha Medika, Yogyakarta, 2014
Republik Indonesia. Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Lembaran Negara RI tahun 2004 No.116 dan tambahan
Lembaran Negara RI No.4431.
Republik Indonesia. Undang-Undang No.36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan no. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri Kesehatan no. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan no. 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
24