Modul-3-Eselon-3-Pelayanan-Publik

download Modul-3-Eselon-3-Pelayanan-Publik

of 78

description

modul 3

Transcript of Modul-3-Eselon-3-Pelayanan-Publik

  • MM oodduull

    33

    Strategi Memperbaiki Kualitas Pelayanan Perizinan

    Diklat Teknis Pelayanan Publik, Akuntabilitas dan Pengelolaan Mutu (Public Service Delivery, Accountability, and Quality Management)

    EEsseelloonn

    IIII II

  • i

    SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

    Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di bidang diklat aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.

    Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan (SCBDP), telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan daerah seperti peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan SDM melalui penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan, perencanaan berkelanjutan dan sebagainya.

    Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul diklatnya melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh empat) modul jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based training. Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang cukup panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil dari berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah yang menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai media, bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor, perguruan tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan tenaga ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung dalam anggota Technical Review Panel (TRP).

    Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.

    Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelatihan di daerah masing-masing.

  • ii

    Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan modul diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai sumber daya di daerahnya masing-masing.

    Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara berkelanjutan.

    Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan kebijakan nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik kepada masyarakat dapat terwujud secara nyata.

  • iii

    KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH

    Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah.

    Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai.

    Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional.

    Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah sebagai Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program peningkatan kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for Decentralization/SCBD Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan pembiayaan bersama dari Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan dari Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan kontribusi masing-masing daerah. Proyek SCBD ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam aspek sistem, kelembagaan dan individu SDM aparatur Pemerintah Daerah melalui penyusunan dan implementasi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (Capacity Building Action Plan/CBAP).

  • iv

    Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.

    Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/relevansi dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri. Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

    Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber.

    Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan. Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada masyarakat semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai dengan lebih baik lagi.

  • v

    DAFTAR ISI

    Sambutan Depuy IV - LAN ........................................................................................ i Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri ............................................. iii Daftar Isi ..................................................................................................................... v

    BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1 A. Diskripsi Singkat ................................................................................ 1 B. Hasil Belajar....................................................................................... 2 C. Indikator Hasil Belajar ....................................................................... 2 D. Pokok Bahasan ................................................................................... 2

    BAB II KEBIJAKAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU ...................... 4 A. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik............................................ 4 B. Unit Pelayanan Terpadu................................................................... 11 C. Kebijakan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan

    Terpadu............................................................................................. 13 D. Konsekuensi Pemberian Perizinan dan Hubungan dengan

    Pendapatan Asli Daerah ................................................................... 15 F. Latihan/Diskusi ................................................................................ 18 F. Rangkuman....................................................................................... 19

    BAB III MEMPERBAIKI KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN ............. 21 A. Komitmen Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu

    (PPTSP)............................................................................................ 21 B. Organisasi Berorientasi Pelayanan................................................... 24 C. Alternatif Bentuk Lembaga Penyelenggara Pelayanan

    Terpadu Satu Pintu (PPTSP) ............................................................ 30 D. Latihan/Diskusi ................................................................................ 52 E. Rangkuman....................................................................................... 52

    BAB IV PENYEDERHANAAN PELAYANAN PERIZINAN ............................ 54 A. Perubahan Paradigma Pelayanan Publik .......................................... 54 B. Analisis SWOT dan Analisis HGSL ................................................ 56 C. Analisis Perijinan................................................................................ 57

  • vi

    D. Latihan/Diskusi ................................................................................ 67 E. Rangkuman....................................................................................... 67

    Daftar Pustaka

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Diskripsi Singkat

    1. Relasi Bahan Ajar dan Kompetensi Bahwa memperbaiki kualitas Pelayanan Publik bukan tujuan akhir, tetapi merupakan proses yang berlangsung terus menerus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, dan setiap saat dan waktu terus berubah. Di tingkat operasional, kualitas pelayanan ditentukan oleh komitmen dan kompetensi aparat pelaksana (operator lapangan), sedangkan di tingkat kebijakan operasional sangat ditentukan oleh kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) dan komitmen pimpinan manajerial pada level eselon II dan III di daerah. Kompetensi dan komitmen pimpinan manajerial, merupakan syarat penting di dalam proses dan pelaksanaan perumusan dan penyusunan strategi, serta kebijakan pimpinan dalam memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan perizinan.

    Bahan ajar Strategi Memperbaiki Kualitas Pelayanan Perizinan, diarahkan untuk memperkuat dan meningkatkan kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) pimpinan tingkat manajerial untuk; pertama, memahami dan membangun komitmen meningkatkan pelayanan perizinan, kedua, mampu merumuskan dan menyusun strategi dan kebijakan memperbaiki kualitas pelayanan perizinan, melalui perubahan struktur organisasi, pembentukan perangkat daerah penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan penyederhanaan pelayanan perizinan.

    2. Bahan Ajar Menjelaskan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan kebijakan pola penyelenggaraan pelayanan publik yang bekaitan dengan pola pelayanan fungsional, terpusat, dan pola pelayanan terpadu satu atap, satu pintu dan gugus tugas. Juga dijelaskan pengertian, tujuan dan status unit pelayanan terpadu, kebijakan daerah dalam pelaksanan pelayanan terpadu, dan konsekuensi pemberian perizinan dan hubungannya dengan PAD. Menjelaskan strategi memperbaiki kualitas pelayanan perizinan melalui komitmen pimpinan dan aparat penyelenggara pemeintahan daerah di dalam merevitaliasi organisasi yang berorienasi pelayanan dan pembentukan Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) dengan metode analisis SWOT. Disamping itu, menjelaskan pola pikir penyederhanaan pelayanan perizinan dengan metode analisis Hapus, Gabung, Sederhanakan dan Limpahkan kewenangan (HGSL) dalam penyederhanaan perizinan.

  • 2

    B. Hasil Belajar Pada akhir pembelajaran, peserta diharapkan mampu memahami arah kebijakan pelayanan umum melalui pembentukan beberapa pola pelayanan perizinan, pengertian unit pelayanan terpadu, dan memahami diperlukannya kebijakan daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan melalui pelayanan terpadu satu pintu. Selain itu juga memahami konsekuensi pemerintah daerah dalam pemberian perizinan dan hubungan dengan PAD. Peserta juga dapat memahami perlunya menerapkan strategi memperbaiki kualitas pelayanan perizinan, melalui reviltalisasi organisasi, pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan perizinan satu pintu (PPTSP) dan penyederhanaan pelayanan perizinan. Disamping itu, peserta juga dapat memahami cara melakukan analisis penyederhanaan perizinan, memahami proses perizinan dengan menggambarkannya dalam alur mekanisme pelayanan perizinan, menjelaskan cara menginventarisir jenis perizinan, serta menyusun penyederhanaan prosedur dan persyaratan permohonan perizinan.

    C. Indikator Hasil Belajar Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan kebijakan pola penyelenggaraan pelayanan

    publik, pengertian, tujuan dan status unit pelayanan terpadu, juga menjelaskan kebijakan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu.

    2. Memahami konsekuensi pemberian perizinan dan hubungannya dengan PAD; 3. Merumuskan dan menyusun rancangan kebijakan strategi peningkatan

    kualitas pelayanan perizinan; 4. Membangun komitmen melakukan perubahan/penyesuaian organisasi

    pemerintah daerah yang berorientasi pelayanan 5. Menganalisis, merancang, merumuskan dan menyusun kebijakan

    pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu/PPTSP; 6. Memahami dan melakukan analisis penyederhanaan perizinan berdasarkan

    analisis SWOT dan HGSL, 7. Menganalisis, merumuskan dan menyusun rancangan kebijakan perubahan/

    penyesuaian organisasi yang berorientasi pelayann dan penyederhanaan perizinan serta mengambil kebijakan operasional untuk menerapkan penyederhanaan perizinan.

    D. Pokok Bahasan

    Pokok Bahasan diklat ini dapat diringkas sebagai berikut:

    1. Kebijakan Pelayanan Perizinan Terpadu a. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik b. Unit Pelayanan Terpadu c. Kebijakan Daerah Dalam Pelaksanaan Pelayanan Terpadu d. Konsekuensi Pemberian Perizinan dan Hubungan dengan PAD

  • 3

    2. Memperbaiki Kualitas Pelayanan Perizinan

    a. Organisasi berorientasi Pelayanan. b. Komitmen Pembentukan Perangkat Daerah Pelayanan Terpadu Satu

    Pintu (PPTSP) c. Alternatif Bentuk PPTSP

    3. Penyederhanaan Pelayanan Perizinan

    a. Perubahan Paradigma Pelayanan Publik b. Analisis SWOT dan HGSL Penyederhanaan Perizinan c. Analisis Perizinan

  • 4

    Setelah mempelajari Bab II ini, peserta dapat: Memahami dan menjelaskan kebijakan pola penyelenggaraan pelayanan publik, pengertian dan pemahaman pelayanan publik dan pelayanan perizinan terpadu, menjelaskan kebijakan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan

    terpadu dan kebijakan pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan perizinan terpadu satu pintu, serta

    menjelaskan konsekuensi pemberian perizinan dan hubungannya dengan PAD.

    BAB II

    KEBIJAKAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

    A. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik

    1. Pengantar

    Masyarakat kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, yang dirasakan berbelit-belit, tidak transparan, tidak ada kejelasan dan kepastian waktu dalam proses dan penyelesaian, dan adanya biaya extra yang dikeluarkan. Pemerintahan Daerah, merespon keluhan masyarakat dan dunia usaha, dan melakukan perubahan dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu dengan membentuk unit pelayanan terpadu, untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan perizinan.

    Namun, dikalangan dunia usaha masih mengeluhkan dan merasakan dalam proses dan pelaksanaan pemberian layanan di kebanyakan daerah, masih belum banyak perubahan signifikan. Keluhan dan ketidak puasan dunia usaha belum teratasi, terutama berkaitan keluhan yang berhubungan dengan biaya tinggi dan ketidak pastian hukum bagi pengusaha. Pelayanan perizinan belum menunjukkan perubahan yang signifkan, sebagai akibat belum berubahnya orientasi dan pola pikir dari aparat penyelenggara pemerintahan daerah yang melihat perizinan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah.

    Dalam proses perkembangannya, penyelenggaraan pelayanan oleh unit pelayanan terpadu di beberapa daerah mengalami pasang surut, dan cukup banyak yang mati suri atau tidak berfungsi sesuai harapan.

    2. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik

    Berdasarkan permasalahan dan kebehasilan pelaksanaan pelayanan perizinan terpadu sebagaimana diuraikan diatas, serta mempertimbangkan keberagaman dan kebutuhan daerah, tuntutan kebutuhan penyelenggaraan pelayanan prima, dan upaya menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong peningkatan investasi, pemerintah telah menerbitkan bebeapa

  • 5

    kebijakan (regulasi) yang mengatur pola penyelenggaraan pelayanan publik, antara lain :

    Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain mengatur pola penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu;

    a. Pola Pelayanan Fungsional

    Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

    Pola ini mengakomodir kondisi daerah dengan beban tugas, volume dan intensitas kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan yang relatif tidak terlalu tinggi, sehingga cukup realistis untuk dilaksanakan oleh Dinas/Instansi yang membidanginya. Pertimbangan lain, pola ini disesuaikan dengan; kondisi geografis, luas wilayah, tersedianya aparat pelaksana dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, dan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kegiatan pelayanan publik secara terpadu.

    Penyelenggaraan pelayanan berdasarkan pola fungsional, harus disesuaikan dengan tujuan mewujudkan kepemerintahan yang baik dengan mempedomani ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti azas pelayanan publik, prinsip-prinsip pelayanan publik, standar pelayanan publik, pengelolaan kepuasan dan keluhan masyarakat atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah/penyelenggara pelayanan publik.

    Perhatian; Pola Fungsional, secara psikologis, relatif sangat disenangi oleh Instansi/pejabat yang kurang setuju apabila tugas, fungsi dan wewenang proses dan pelaksanan pemberian izin menjadi berkurang atau dihapuskan karena dilimpahkan kepada unit kerja lain (UPT/Dinas).

    b. Pola Pelayanan Terpusat

    Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

    Pola pelayanan terpusat, dapat diselenggarakan oleh Dinas/Kantor atau lembaga independen (unit pelayanan) yang dibentuk oleh pemerintah daerah, untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan tertentu. Dinas/ Kantor atau lembaga independen diberi tugas, fungsi, wewenang, tanggungjawab dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan secara terpusat.

  • 6

    Pelayanan perizinan yang memiliki proses keterkaitan, proses pengajuan permohonan perizinan dan proses penyelesaiannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan atau paralel disatu tempat atau terpusat pada satu Dinas atau Kantor, atau Unit Kerja penyelenggara pelayanan.

    Contoh; Kota Tangerang dapat dikatagorikan menerapkan pelayanan terpusat yang diselenggarakan di Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KPPPM), diberi pelimpahan kewenangan pemberian perizinan tertentu secara terpadu, yaitu proses yang berkaitan dengan pelayanan perizinan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), termasuk seperti: Izin HO.

    Tujuan dari pola pelayanan terpusat, adalah memberikan kemudahan kepada masyarakat pengguna atau penerima layanan, pemberian layanan dapat lebih efisien dan efektif, dilihat dari sisi waktu, masyarakat/ pengguna pelayanan cukup datang kesatu tempat, dan berhadapan dengan satu penyelenggara, tidak perlu datang ke Dinas/Instansi lain terkait yang lokasinya tersebar. (Pemangkasan waktu dan biaya untuk bolak balik, biaya extra, duplikasi berkas persyaratan).

    Berpikir Cerdas: Pelimpahan wewenang menurut KepMenPan tersebut diatas, dapat diiasumsikan, bahwa pelimpahan wewenang dilakukan oleh Dinas/ Instansi lain yang bersangkutan adalah dinas/instansi yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang memberikan perizinan Artinya pelimpahan wewenang dilakukan oleh Dinas/Instansi?

    Konsep desentralisasi menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU 5/74, UU 22/1999, dan UU 32/2004) secara tegas dan jelas mengatur, bahwa penyerahan sebagian urusan pemerintahan diberikan kepada daerah otonom, dan menjadi urusan dan kewenangan (otonomi daerah) daerah otonom. Pemahamannya,, Dinas/Instansi tidak memiliki hak dan wewenang untuk melimpahkan sebagian wewenang pelaksanaan urusannya kepada Dinas/Instansi atau unit kerja lain, karena Dinas/Instansi adalah perangkat daerah yang membantu Kepala Daerah, dalam melaksanakan sebagian tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan oleh Kepala Daerah. Artinya, bahwa yang berhak mengatur kewenangan dinas/instansi perangkat daerah dan secretariat daerah, adalah Kepala Daerah, melalui pelimpahan dan/atau pencabutan/ pengurangan sebagian wewenang perangkat daerah, dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah (restrukturisasi kelembagaan) dan/atau dengan Keputusan Kepala Daerah.

    c. Pola Pelayanan Terpadu

    1) Pelayanan Terpadu Satu Atap Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui berbagai pintu. Terhadap

  • 7

    jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu di satuatapkan.

    Pola pelayanan terpadu satu atap, ditujukan untuk memberikan kemudahan layanan kepada masyarakat, masyarakat cukup datang kesatu tempat untuk mendapatkan layanan, dan tidak perlu mendatangi ke Dinas/Instansi pemberi izin yang lokasinya tersebar.

    Pola pelayanan satu atap memiliki persamaan dengan pola pelayanan fungsional yaitu, prinsipnya kewenangan proses dan penyelesaian layanan tetap dilakukan oleh Dinas/Instansi terkait.

    Sedangkan perbedaannya adalah, pada pelayanan terpadu satu atap, masing-masing Dinas atau Instansi membentuk counter atau loket-loket atau pintu pelayanan untuk masing-masing jenis perizinan, dan menempatkan staf sebagai Front Office/front line yang dikoordinir oleh seorang Kepala Kantor Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Staf tersebut ditugasi; menerima, meneliti berkas kelengkapan dan persyaratan, meneruskan berkas yang lengkap dan memenuhi persyaratan untuk diproses, menolak berkas permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi persyaratan perizinan, menerima penjelasan atau keluhan dari pemohon/ penerima layanan, memberikan informasi dan penjelasan kepada penerima layanan. Proses dan penyelesaian perizinan, dilakukan oleh dinas/instansi terkait, dan yang kita kenal dengan sebutan Back Office/Back Line.

    Perbedaan lainnya, masyarakat yang datang kesatu lokasi/tempat pelayanan dapat memperoleh informasi, konsultasi dengan unit kerja lainnya, dan/atau dapat mengajukan permohonn perizinan lainnya yang dibutuhkan pada satu lokasi/tempat yang sama. Proses pelayanan tidak dilakukan paralel atau terpadu (mengurus ijin trayek dan membuat akte kelahiran).

    Berpikir Cerdas; Pengertian jenis pelayanan tidak terkait dengan pelayanan lainnya menurut Konsep Pelayanan Terpadu Satu Atap dimaksud, dapat diasumsikan sebagai front office, yaitu menempatkan staf dari masing-masing dinas/instansi pada satu tempat. Pengertian terpadu disini tidak dalam kontek proses, pengertian terpadu lebih tepat menyatukan pelayanan pada satu tempat. Perlu kearifan dalam penerapannya, karena kalau asumsinya seperti itu, hanya akan memperpanjang birokrasi.

    Beberapa Daerah telah melaksanakan Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap yang dikenal dengan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA), dengan berbagai variant lingkup bidang tugas dan kewenangannya, terutama untuk jenis pelayanan tertentu yang prosesnya memiliki keterkaitan dengan perizinan lainnya. Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) merupakan unit kerja yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dengan lokasi tempat/kantor tersendiri dan ditetapkan koordinator dan susunan organisasinya.

  • 8

    Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) umumnya, selain menyelenggarakan pelayanan perizinan yang memiliki keterkaitan dengan perizinan lain, juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang tidak memiliki keterkaitan, serta pelayanan non perizinan.

    Di beberapa Daerah, Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) mendapat pelimpahan wewenang untuk mengeluarkan perizinan tertentu dan/atau mengkoordinasikan proses pelayanan perizinan dengan dinas/instansi yang terkait.

    Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap yang dilaksanakan di daerah, tidak sama dengan yang diatur dalam KepMenpan, atau beberapa Daerah membuat inovasi atau pengembangan sesuai dengan kebutuhan daerah.

    2) Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

    Pola ini hakekatnya hampir sama dengan pola penyelenggaraan pelayanan terpusat, penyelenggaraan dilakukan pada satu tempat atau lokasi tertentu, dilayani melalui satu pintu. Asumsinya penyelenggaraan pelayanan dilakukan secara tunggal oleh Dinas/ Instansi tertentu atau oleh Unit kerja tertentu yang mandiri, (UPTSP), dan diselenggarakan pada satu tempat atau lokasi tertentu.

    Jenis pelayanannya meliputi pelayanan yang prosesnya memiliki keterkaitan dengan perizinan yang lain, artinya, ada keterkaitan antara kewenangan pelayanan perizinan yang dimiliki oleh satu atau lebih dari dinas/instansi tertentu yang dipadukan dan dikoordinasikan oleh satu Dinas/Instansi atau UPTSP.

    Alternatif konsep pelimpahan wewenang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu; pertama; kewenangan dilimpahkan secara penuh kepada Dinas/Instansi atau Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPTSP), keuntungannya kemungkinan tercapainya tujuan peningkatan kualitas layanan publik akan lebih baik dan pertanggung jawabannya jelas. Dinas/Instansi teknis, berperan dalam tim teknis peninjauan lapangan (yang bersifat teknis dan/atau memilki dampak berskala lebih luas, seperti pencemaran lingkungan). Dinas/instansi tersebut akan lebih berfungsi pada pengawasan pelaksanaan pemberian izin, dan Monev.

    Kedua; pelimpahan wewenang, dilakukan berdasarkan pembagian tugas, fungsi dan wewenang bersama (concurrent), antara UPTSP dengan Dinas/Instansi yang memiliki kewenangan pelayanan pemberian perizinan yang terkait. Pola ini tidak berbeda jauh dengan

  • 9

    pola UPTSA atau One Stop Service yang saat ini dilakukan di berberapa daerah.

    3) Gugus Tugas Petugas pelayanan publik secara perseorangan atau dalam bentuk gugus tugas, ditempatkan pada Instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.

    Pola ini, hampir mendekati konsep pola penyelenggaraan pelayanan satu atap dalam skala lebih kecil, dengan menempatkan orang atau gugus tugas sebagai front office/front line, pada Kantor Dinas/ Instansi yang menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, seperti; Dinas Pendapatan, di Kantor Kecamatan, di Desa/Kelurahan atau pada Instansi lain diluar Pemda, seperti PLN, Kantor Pos, BRI dan lainnya.

    Keputusan Menpan dimaksud, selain menetapkan beberapa pola penyelenggaraan pelayanan, juga memberikan peluang dan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan pola penyelengaraan pelayanannya sendiri atau inovasi dalam rangka upaya untuk meningkatkan pelayanan publik.

    Contoh; Kabupaten Solok, dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, melakukan langkah inovasi dengan mengembangkan penyelenggaraan pelayanannya dengan memanfaatkan akses dan jaringan Kantor Pos di Desa dan Kecamatan, untuk bertindak sebagai front office/front line UPT.

    d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud, pada hakekatnya dalam kerangka penyederhanaan pelayanan terpadu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Investasi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah. Beberapa poin penting Peraturan Mendagri tersebut yang berhubungan dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah, antara lain mengatur dan memberi arahan bagi daerah, secara garis besar diuraikan sebagai berikut: Penyederhanaan Pelayanan dengan membentuk Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistim satu pintu.

    Penyederhanan pelayanan mencakup; 1) pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan

    oleh PPTSP;

  • 10

    2) percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;

    3) kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;

    4) kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap waktu, proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;

    5) mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan;

    6) pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan

    7) pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perizinan.

    8) Bupati/Walikota mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk mempercepat pelayanan.

    9) PPTSP mengelola administrasi perizinan dan non perizinan dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan keamanan berkas.

    10) Perangkat Daerah yang secara teknis terkait dengan PPTSP berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas pengelolaan perizinan dan non perizinan sesuai dengan bidang tugasnya.

    11) Proses penyelenggaraan pelayanan perizinan dilakukan untuk satu jenis perizinan tertentu atau perizinan paralel.

    12) Pemeriksaan teknis di lapangan dilakukan oleh Tim Kerja Teknis di bawah koordinasi Kepala PPTSP.

    13) Tim Teknis tersebut beranggotakan masing-masing wakil dari perangkat daerah teknis terkait dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

    14) Tim Teknis tersebut, memiliki kewenangan unuk mengambil keputusan dalam memberikan rekomendasi mengenai diterima atau ditolaknya suatu permohonan perizinan.

    15) Jangka waktu penyelesaian pelayanan perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya.

    16) Pegawai yang ditugaskan di lingkungan PPTSP diutamakan yang mempunyai kompetensi di bidangnya, dan diberikan tunjangan khusus yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kemampuan daerah.

    17) PPTSP memiliki basis data dengan menggunakan sistim manajemen informasi dan data dari setiap perizinan dan non perizinan yang diselesaikan oleh PPTSP disampaikan kepada perangkat daerah teknis setiap bulan, dan

    18) Hal-hal lain yang berhubungan dengan penyebarluasan informasi, kepuasan pelanggan, pengelolaan pengaduan, pembinaan dan

  • 11

    pengawasan dan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi, asosiasi, lembaga sosial, dalam pengembangan PPTSP.

    Terdapat perbedaan mendasar pengertian Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu menurut Peraturan Mendagri dan Keputusan Menpan, KepMenpan memberikan alternatif pilihan kepada daerah dalam menerapkan pola pelayanan. Dalam Kep Menpan dimaksud, juga ditegaskan bahwa PTSP memiliki kewenangan menyelenggarakan berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu, tidak seluruh perizinan dan non perizinan, dan tidak ditegaskan sebagai perangkat daerah.

    Sedangkan Permendagri secara tegas menyatakan bahwa Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah Perangkat Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistim satu pintu.

    Dengan ditetapkannya PPTSP sebagai perangkat daerah yang diberi wewenang mengelola seluruh pelayanan perizinan dan non perizinan, dapat diasumsikan; pertama, membentuk lembaga perangkat daerah baru, kedua, jenis dan kewenangan pelayanan perizinan dan non perizinan yang saat ini tersebar di berbagai dinas/instansi digabungkan atau disatukan menjadi tugas, fungsi dan wewenang PPTSA.

    Dengan demikian akan terjadi perubahan mendasar pada struktur organisasi pemerintahan daerah, dan berorientasi kepada pelayanan. Diperlukan paradigma yang berorientasi pelayanan di dalam melakukan penataan Organisasi dan TUPOKSI Perangkat Daerah yang ada saat ini.

    B. Unit Pelayanan Terpadu

    1. Apa itu Unit Pelayanan Terpadu?

    Untuk lebih memberikan pemahaman dan memiliki persepsi yang sama, kita mulai dengan pertanyaan apa itu Unit Pelayanan Terpadu?

    Unit Pelayanan Terpadu (UPT) adalah satu lembaga atau Institusi yang merupakan suatu tempat dimana masyarakat umum, termasuk sektor swasta/ dunia usaha, melakukan hubungan kerja (interaksi) dengan pihak pemerintah (otoritas) guna mengajukan permohonan dan mendapatkan perizinan usaha dan lainnya yang dibutuhkan atau diperlukan, daripada harus mengajukan permohonan ke beberapa institusi pemerintahan yang tersebar.

    Keberadaan UPT-UPT sangat penting dan bermanfaat bagi masyarakat umum dan dunia usaha, karena dengan demikian masyarakat umum dan para pengusaha dapat mengajukan permohonan izin dan mendapatkan izin-izin

  • 12

    dengan lebih mudah, terjangkau, waktu penyelesaian yang cepat, biaya pelayanan yang pasti dan transparan.

    2. Apa Tujuan dibentuknya Unit Pelayanan Terpadu? Tujuan dibentuknya unit pelayanan terpadu, adalah penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan yang dilakukan secara terpadu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat memperoleh pelayanan publik.

    UPT diselenggarakan oleh satu penyelenggara pelayanan pada satu tempat, masyarakat umum dan pengusaha cukup datang kesatu tempat untuk mendapatkan pelayanan satu atau lebih pelayanan perizinan.

    3. Apakah Penting Status Hukum sebuah Unit Pelayanan Terpadu?

    Ada tiga status hukum yang bebeda bagi suatu UPT, yaitu Dinas, Kantor dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dibawah Dinas, kemudian Kantor UPT yang mandiri. Secara teoritis, dikaitkan dengan struktur organisasi (jabatan struktural dan fungsional) yang mempunyai tingkatan status tertinggi dalam jabatan adalah Dinas (eselon II), kemudian Kantor dengan status dalam jabatan eselon III, UPTD dengan status dalam jabatan eselon IV, dan Kantor UPT umumnya tidak berstatus (struktural maupun fungsional).

    Status atau kedudukan organisasi tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang mengatur Struktur Organisasi Pemerintah Daerah, dan dilaksanakan oleh Kepala Daerah dengan Peraturan atau Keputusan Kepala Daerah, Keberagaman daerah dan keberagaman komitmen KEPALA DAERAH, berpengaruh terhadap pemberian status UPT dimaksud, dan ditemui berbagai macam status yang diberikan terhadap UPT. Contoh UPT di Malang berstatus Dinas, UPT di Kota Tangerang berstatus Kantor, dan UPT di Sragen berstatus Kantor UPT mandiri yang diberi kewenangan penuh untuk memberikan pelayanan perizinan.

    Dalam praktek, status atau kedudukan UPT-UPT yang tinggi, tidak terkait dengan otoritas/kewenangan yang lebih tinggi, seperti Sragen meskipun statusnya rendah, tetapi diberi atau memiliki otoritas tinggi untuk melakukan koordinasi dan pemberian perizinan (dilihat dari jumlah dan jenis pelayanan, Malang menawarkan 9 jenis pelayanan, Sragen menawarkan 28 jenis pelayanan, dengan otoritas yang sama).

    Keberhasilan UPT dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan, tidak mutlak ditentukan oleh status atau tingkat kedudukan organisasi, akan tetapi sangat ditentukan oleh Komitmen Kepala Daerah dan institusi pemerintah daerah yang terkait, dan pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah untuk memberikan layanan perizinan.

  • 13

    Manajemen Cerdas; Keberhasilan Unit Pelayanan Terpadu tidak ditentukan oleh status dalam organisasi, tetapi ditentukan oleh; 1) Komitmen Kepala Daerah dan Aparat pelaksananya, dan 2) pelimpahan kewenangan atau otoritas untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan.

    C. Kebijakan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu

    Proses pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang berbelit-belit, tidak transparan, tidak ada kejelasan besarnya biaya dan kepastian waktu dalam proses dan penyelesaian, lokasi atau tempat yang tersebar dan adanya biaya extra yang dikeluarkan, menjadi sorotan dan keluhan masyarakat umum dan swasta/dunia usaha baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk, berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat dan menghambat masuknya investasi.

    Pelayanan publik yang buruk akan berdampak lebih luas dan tidak menguntungkan daerah, bahkan menyulitkan daerah dalam melaksanakan program dan kebijakan pengembangan potensi dan perekonomian daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya, akan melemahkan atau mengganggu kemampuan daerah untuk membiayai otonominya.

    Perubahan paradigma kebijakan otonomi daerah, mewarnai kebijakan pemerintah dan komitmennya untuk meningkatkan pelayanan publik, dan dengan berbagai Peraturan Perundang-undangan diatur berbagai langkah dan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan, untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kebijakan pelayanan publik menjadi prioritas untuk dilaksanakan, untuk memberikan solusi mengatasi permasalahan buruknya pelayanan publik, dan upaya meningkatkan investasi dan perekonomian daerah guna tujuan mensejahterakan masyarakat.

    Kebijakan pelayanan publik diarahkan untuk menyederhanakan penyelenggaraan pelayanan publik, pelayanan publik yang tersebar diberbagai Dinas/Instansi pemerintahan daerah dikelompokan atau disatukan penyelenggaraannya secara terpadu, dan dilaksanakan pada satu tempat dan oleh satu lembaga penyelenggara pelayanan.

    Pemerintah daerah telah mengambil langkah kebijakan penyederhanan penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan membentuk unit pelayanan terpadu (UPT). Bercermin dari pengalaman pelaksanaan UPT, penyederhanaan pelayanan perizinan tidak sesederhana teori dan semudah membuat konsepnya. Penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan merupakan proses kegiatan berkelanjutan yang harus dilaksanakan secara bertahap dan terpadu dengan program lain.

    Penyelenggaraan pelayanan terpadu, dalam praktek pelaksanaannya mengalami pasang surut, bahkan dibeberapa daerah UPT tidak berfungsi sebagaimana diharapkan, dan penyelenggaraan pelayanan kembali dilakukan secara tradisional di masing-masing Dinas/Instansi. Sementara itu di beberapa daerah yang

  • 14

    melaksanakan kegiatan pelayanan perizinan terpadu, cukup berhasil dan bahkan mendapat penghargaan (ISO). Dalam proses perkembangannya, daerah tersebut mampu menciptakan iklim kondusif bagi kegiatan dunia usaha mengembangkan usaha dan/atau menanamkan investasi, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pelayanan pemerintahan daerah.

    Dari penelusuran atas keberhasilan daerah seperti Jembrana, Sragen, Solok, Pare-Pare, dan daerah lainnya, penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan melalui pelayanan terpadu dan atau dengan nama lainnya, ternyata sangat ditentukan oleh kebijakan pimpinan daerah. Diantaranya adalah; komitmen Kepala Daerah dan jajaran aparat pelaksana yang didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk melakukan restrukturisasi organisasi yang berorientasi pada peningkatan pelayanan, kinerja manajemen pemerintahan yang efisien dan efektif, efektifitas monitoring dan evaluasi, serta ketegasan pengawasan.

    Beberapa daerah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan pengatahuan dan pemahaman aparat penyelenggara pelayanan terhadap tugas, fungsi, kewajiban dan tanggungjawab dalam memberikan pelayanan publik, hasil cukup berhasil mengubah mind set dan pemahaman aparat perlunya membangun komitmen dan kebersamaan untuk melaksanakan visi, misi dan tujuan organisasi.

    Dalam kontek kesejahteraan pegawai, beberapa daerah seperti Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Solok, menetapkan kebijakan dan langkah-langkah melakukan pemangkasan hambatan birokrasi dan beban biaya extra atau pungli, serta meningkatkan kesejahteraan pegawai baik dalam bentuk bonus, penghargaan dan tunjangan, serta menghapus kesan atau pandangan adanya meja air mata dan meja mata air.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, memperjelas dan mempertegas bahwa kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan harus dilaksanakan secara terpadu satu pintu. Permendagri dimaksud mendapat respon positif dari daerah dan menjadi bahan pembahasan di daerah, meskipun ditemui ada masalah yang berkait dengan kelembagaan, dan perlu dipecahkan bersama,

    Suggest; Dalam menyiapkan rencana untuk mengubah dan/atau membentuk atau menetapkan lembaga Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), selain harus memperhatikan PP tentang Pembagian Urusan dan Wewenang, dan PP tentang Pedoman Organisasi Pemerintahan Daerah yang baru, sebaiknya melakukan identifikasi jenis perizinan dan hubungannya dengan urusan dan kewenangan daerah (mutlak daerah, concurrent dan pembantuan).

    Pembentukan PPTSP, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintahan daerah, untuk merumuskan dan menetapkan perubahan kebijakan organisasi (regulasi) yang semula berorientasi pada kewenangan yang melekat pada urusan, diubah menjadi organisasi yang berorientasi pada pelayanan atau pelanggan.

  • 15

    Yang harus dipahami dan disepakati bersama bahwa, tidak semua jenis pelayanan perizinan dan/atau non perizinan serta merta tepat, efisien dan efektif diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu pintu.

    Pertimbangan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya menjadi dasar menetapkan kebijakan pelimpahan wewenang penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan tertentu, karena lebih layak dan tepat untuk dilimpahkan penyelenggaraannya ke unit pemerintahan tertentu (seperti; Kecamatan, Desa/Kelurahan atau UPTD tingkat Kecamatan), dan/atau sekurang-kurangnya unit organisasi tersebut difungsikan sebagai front office/front line pelayanan terpadu.

    Disamping itu, ada jenis pelayanan perizinan dan non perizinan yang sifatnya teknis dan/atau memerlukan peralatan dan memerlukan biaya besar apabila membangun baru, seperti; tempat dan peralataan untuk uji kelaikan kendaraan bermotor.

    Peraturan Mendagri mengenai kelembagaan PPTSP dimaksud, menjadi dilematis untuk daerah, disatu sisi harus mengikuti aturan yang seragam, disisi lain kondisi kebutuhan di lapangan berbeda, sementara pembinaan dan pengawasan serta penilaian kinerja pemerintahan daerah, cenderung di dasarkan pada pendekatan aspek legalitas (rule government).

    D. Konsekuensi Pemberian Perizinan dan Hubungan dengan Pendapatan Asli Daerah

    1. Pemberian otonomi kepada daerah, pada dasarnya memberikan urusan dan wewenang kepada daerah untuk menjalankan hak dan wewenangnya mengatur dan mengurus sendiri kebutuhan masyarakatnya. Konsekuensi pemberian hak dan wewenang dimaksud adalah berupa tanggungjawab dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam menjalankan hak dan wewenangnya, kepada pemerintahan daerah diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk memberikan dan menyediakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

    Ada dua varian pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu; pelayanan yang menghasilkan public goods dan pelayanan yang menghasilkan public regulations.

    Public goods, pada umumnya menghasilkan barang atau dalam bentuk hardware, seperti penyediaan; jalan, jembatan, pasar, sekolah, rumah sakit, transportasi, terminal, listrik, tilpon dan lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Disamping menghasilkan barang, Public goods juga menghasilkan jasa, seperti; pemadam kebakaran, ketertiban, persampahan, pertamanan dan lainnya.

  • 16

    Produk public goods, pada hakekatnya meupakan salah satu kewajiban yang harus disediakan oleh Pemerintahan Daerah, dalam kerangka menjalankan hak dan wewenang mengurus daerah dan masyarakatnya, untuk kesejahteraan masyarakat.

    Public regulations, pada umumnya berbentuk software produknya beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lainnya.

    Produk public regulations, merupakan tanggungjawab pemerintahan daerah dalam menjalankan hak dan wewenang mengatur daerah dan masyarakatnya, dalam rangka menciptakan ketentraman dan ketertiban di daerahnya.

    Keluarannnya berbentuk aturan yang mewajibkan penduduknya, seperti harus memiliki KTP, Akte Kelahiran, Akte Perkawinan, IMB, HO, SIUP dan sebagainya, dan dikenal dengan perizinan dan non perizinan. Konsekuensi public regulations bagi Pemerintah Daerah adalah kewajiban memberikan pelayanan prima kepada masyarakatnya untuk mendapatkan periizinan dan non perizinan yang diperlukan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan investasi dan pemberdayaan masyarakat.

    Diperlukan kebijakan Pemerintahan Daerah, dan komitmen Kepala Daerah bersama aparat penyelenggaraannya untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan, dan untuk itu harus: a. mampu mengetahui dan memahami perizinan apa yang dibutuhkan dan

    diperlukan oleh masyarakat; b. mampu memangkas; birokrasi pelayanan, prosedur dan persyaratan

    perizinan, dan regulasi kelembagaan dan kewenangan; c. mampu tidak tebang pilih dalam penegakan hukum (law enforcement)

    terhadap aparat penyelenggara dan pelaksana pelayanan yang melanggar hukum dan/atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum/ kebijakan, berbuat tercela dan tidak melaksanakan komitmen;

    d. mampu memberikan pelayanan prima, cepat, tidak berbelit-belit, transparansi yang berkait informasi, biaya dan waktu, akuntabel dan memuaskan masyarakat;

    e. memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan dan melakukan pengawasan.

    2. Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya, dan merupakan bukti legalitas yang menyatakan sah atau dibolehkannya seseorang atau badan hukum melakukan kegiatan tertentu. Pemberian izin atau perizinan, berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan, oleh karena itu, selain memiliki kekuatan hukum, izin juga memiliki implikasi hukum.

    Konsekuensi hukum pemberian izin dan/atau akibat izin yang diterbitkan, perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah dan/atau pejabat

  • 17

    penyelenggara pelayanan perizinan, agar tidak keliru dalam melakukan langkah terobosan atau inovasi dalam upaya mewujudkan pelayanan yang prima dan/atau untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan perizinan atau pemberian izin yang tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, atau merugikan masyarakat luas, pemerintah daerah dan negara, berakibat berurusan dengan hukum.

    Contoh; Dibeberapa Daerah banyak pejabat yang dijadikan saksi atau tersangka dan bahkan terpidana, karena memberikan izin (seperti; penambangan timah, batubara, perkebunan, penebangan hutan, dan lainnya).

    Dengan tidak mengurangi tujuan untuk memuaskan masyarakat, pemberian izin harus tetap berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip kehati-hatian dan ketelitian, karena konsekuensi hukumnya dapat merugikan Pemda atau Pejabat penyelenggara.

    Daerah berlomba dan bersaing menawarkan paket kebijakan regulasi, insentif kemudahan dan lainnya, melalui media promosi, kunjungan ke luar negeri, lobby dan penyampaian informasi potensi daerah dengan kemasan menarik, diarahkan untuk menjaring investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di daerah.

    Permasalahan yang dikeluhkan dunia usaha untuk menanamkan modalnya di daerah adalah; birokrasi pelayanan publik, menyangkut biaya tinggi, waktu, kepastian hukum, pelayanan perizinan yang berbelit-belit, tidak transparan, infrastruktur dan keamanan. Meskipun keluhan tersebut tidak sepenuhnya merupakan tugas, fungsi, kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban daerah, daerah tetap menjadi sasaran ketidak puasan, dan daerah harus berbuat yang terbaik dalam memberikan pelayanan publik.

    Konsekuensinya, daerah harus berusaha optimal untuk merumuskan dan menetapkan strategi memperbaiki dan/atau meningkatkan kualitas pelayanan perizinan yang prima, antara lain dengan; membangun komitmen pimpinan dan jajaran aparatnya, merevitalisasi organisasi pemerintahah daerah yang berorientasi pelayanan. Disamping itu melakukan penyederhanaan perizinan seperti; memangkas berbagai hambatan birokrasi, prosedur dan persyaratan, kepastian waktu, biaya, dan transparansi untuk mendapatkan informasi, serta jaminan keamanan. Berfikir cerdas; Pertama, Mengubah mind set atau pola pikir pemberian perizinan yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah, dan perizinan tidak tepat menjadi tumpuan (target) penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Perizinan merupakan salah satu alat untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban, agar masyarakat tentram dan tertib dalam menjalankan kehidupan dan usahanya, tertib dan taat terhadap aturan dan tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum;

    Kedua, Pemberian izin, memiliki implikasi hukum, artinya harus ada kepastian bahwa Pemda tidak akan mengubah kebijakan perizinn dan memberi jaminan atau perlindungan hukum terhadap orang perorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kegiatannya;

  • 18

    Ketiga, Pemberian izin membawa konsekuensi bagi Pemda, Pemda harus menjamin kepastian perencanaan (contoh; tidak ada perubahan rencana peruntukan tanah/lokasi, dan penggusuran). Perizinan harus diiringi kewajiban Pemda untuk menyediakan pelayanan publik, contoh; pemberian izin lokasi, izin usaha dan IMB untuk pengembangan investasi, wajib menyediakan dukungan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, tilpon, dan lainnya (koordinasi perencanan dengan Instansi Pemerintah/Lembaga Pemerintah non Departemen dan BUMN dan terintegrasi dalam RPJMD dan RKPD).

    Keempat, Pemda harus memiliki orientasi atau naluri bisnis dalam memberikan pelayanan, artinya memahami apa yang dibutuhkan dan diperlukan dunia usaha untuk berbisnis, dan memahami tujuan pengusaha adalah mencari rente atau keuntungan yang setinggi-tingginya. Diperlukan strategi dan trick bagaimana modal masuk dan kegiatannya bertahan dan berkembang di daerah, karena oreintasi pebisnis akan mencari tempat atau lokasi yang kondusif, aman dan menguntungkan, serta pengusaha tidak dibebani biaya pengeluaran tinggi diluar kepentingan usahanya.

    Kelima, Menciptakan iklim yang kondusif agar kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat/swasta dapat berkembang, dan melakukan kerjasama dengan pengusaha untuk menciptakan pasar kerja dan tumbuh kembangnya kegiatan usaha pendukungnya termasuk UMKM (multiplier effect). Terbukanya lapangan kerja dan usaha, akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan, pada gilirannya masyarakat mampu membayar pajak dan retribusi untuk mendukung kemampuan Pendapatan Asli Daerah (income generating).

    F. Latihan/Diskusi

    Diskusi Pleno, dengan Topik diskusi: UPT atau UPTSA dibeberapa daerah mati suri dan/atau tidak berjalan optimal. Brainstorming, identifikasi masalah, pokok masalah dan solusinya (buat notulen dan hasil rumusannya/handout bagi peserta).

    Diskusi Kelompok, dengan pokok bahasan: Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk Meningkatkan Investasi dan PAD

    Pelayanan perizinan yang berkuaitas, dapat menciptakan iklim kondusif dan kompetitif untuk mendorong masuknya investasi dan mengembangkan UMKM di daerah. Apa yang akan dijual, SDA, SDM, Kebijakan/regulasi, komitmen, fasilitas, insentif pajak dan retribusi, dan sebagainya. Bagaimana menyikapi urusan dan kewenangan pengelolaan SDA yang terbatas agar bisa untuk dijual (urusan dan kewenangan SDA tersebut merupakan urusan pilihan, dan masih menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi atau Pemerintah).

    Diskusi Kelompok. Pokok Bahasan: Mengubah Pola Pikir Pelayanan Perizinan sebagai target Pendapatan Asli Daerah.

    Fungsi pelayanan perizinan dalam kerangka ppenyelenggaraan fungsi pemerintahan umum, regulasi pelayanan (public regulation) dan menciptakan ketentraman dan ketertiban.

  • 19

    F. Rangkuman

    Kebijakan pelayan perizinan diatur dalam berbagai perturan perundang-undangan, antara lain

    Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain mengatur pola penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu; Pola Pelayanan Fungsional, Pola Pelayanan Terpusat, dan Pola Pelayanan Terpadu mencakup; Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) dan Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu, serta Pola Pelayanan Gugus Tugas.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang ditetapkan dalam kerangka penyederhanaan pelayanan terpadu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Investasi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah.

    Terdapat perbedaan mendasar, antara pengertian Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu menurut Peraturan Mendagri dan menurut Keputusan Menpan, KepMenpan memberikan alternatif pilihan kepada daerah sesuai pola pelayanan, untuk membentuk lembaga penyelenggara pelayanan, dan penyelenara PTSP memiliki kewenangan menyelenggarakan berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu (tidak seluruh perizinan dan non perizinan).

    Dalam Permendagri secara tegas dinyatakan bahwa Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah Perangkat Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistim satu pintu. Permendagri dimaksud, menegaskan bahwa PPTSP sebagai perangkat daerah yang diberi wewenang mengelola seluruh pelayanan perizinan dan non perizinan, dapat diasumsikan; pertama, membentuk lembaga perangkat daerah baru, kedua, jenis dan kewenangan pelayanan perizinan dan non perizinan yang saat ini tersebar di berbagai dinas/instansi digabungkan atau disatukan menjadi tugas, fungsi dan wewenang PPTSA. Dengan demikian akan terjadi perubahan mendasar pada struktur organisasi pemerintahan daerah, yaitu dilakukannya penataan Organisasi dan TUPOKSI Perangkat Daerah yang ada saat ini.

    Unit Pelayanan Terpadu (UPT) adalah satu lembaga atau Institusi yang merupakan suatu tempat dimana masyarakat umum, termasuk sektor swasta/ dunia usaha, melakukan hubungan kerja (interaksi) dengan pihak pemerintah (otoritas) guna mengajukan permohonan dan mendapatkan perizinan usaha dan lainnya yang dibutuhkan atau diperlukan. Keberadaan UPT, dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat atau swasta/dunia usaha untuk

  • 20

    mendapatkan pelayanan perizinan yang diselenggarakan di satu tempat, sehingga tidak perlu lagi mendatangi ke beberapa institusi pemerintahan yang tersebar di berbagai tempat/lokasi.

    Konsekuensi pemberian hak dan wewenang otonomi kepada daerah, adalah tanggungjawab dan kewajiban pemerintahan daerah, untuk memberikan dan menyediakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

    Ada dua varian pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu; pelayanan yang menghasilkan public goods dan pelayanan yang menghasilkan public regulations.

    Public goods, pada umumnya menghasilkan barang atau dalam bentuk hardware, seperti penyediaan; jalan, jembatan, pasar, sekolah, rumah sakit, transportasi, terminal, listrik tilpon dan lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Public regulations, pada umumnya berbentuk software produknya beberapa Peraturan Perundang-undangan, seperti Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lainnya.

    Produk public regulations, merupakan tanggungjawab pemerintahan daerah dalam menjalankan hak dan wewenang mengatur daerah dan masyarakatnya, dalam rangka menciptakan ketentraman dan ketertiban di daerahnya. Keluarannya berbentuk aturan yang mewajibkan penduduknya, seperti harus memiliki KTP, Akte Kelahiran, Akte Perkawinan, IMB, HO, SIUP dan sebagainya, dan dikenal dengan perizinan dan non perizinan.

    Pemerintah daerah telah mengambil langkah kebijakan penyederhanan penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan membentuk unit pelayanan terpadu (UPT). Bercermin dari pengalaman pelaksanaan UPT di beberapa daerah, penyederhanaan pelayanan perizinan tidak sesederhana teori dan semudah membuat konsepnya. Penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan merupakan proses kegiatan berkelanjutan yang harus dilaksanakan secara bertahap dan terpadu dengan program lain.

    Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya, dan merupakan bukti legalitas yang menyatakan sah atau dibolehkannya seseorang atau badan hukum melakukan kegiatan tertentu. Pemberian izin atau perizinan, berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, oleh karena itu, selain memiliki kekuatan hukum, perizinan juga memilki implikasi hukum.

    Konsekuensi public regulations bagi Pemerintah Daerah adalah kewajiban memberikan pelayanan prima kepada masyarakatnya untuk mendapatkan periizinan dan non perizinan yang diperlukan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan investasi dan pemberdayaan masyarakat. Diperlukan kebijakan Pemerintahan Daerah, dan komitmen Kepala Daerah bersama aparat penyelenggaranya untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan.

  • 21

    BAB III

    MEMPERBAIKI KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN

    Setelah mempelajari Bab III ini, peserta mampu; 1. Merumuskan dan menyusun rancangan kebijakan strategi 2. peningkatan kualitas pelayanan perizinan; 3. Membangun komitmen melakukan perubahan/penyesuaian 4. organisasi pemerintah daerah yang berorientasi pelayanan 5. Menganalisis, merancang, merumuskan dan menyusun 6. Kebijakan pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu/

    PPTSP

    A. Komitmen Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)

    1. Pengantar

    a. Masyarakat umum dan kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perijinan oleh pemerintah yang berbelit-belit, tidak transparan, dan perlu biaya extra. Mereka sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lain hanya untuk mengurus suatu layanan perijinan, kondisi tersebut membuat masyarakat kecewa dan merasa dipermainkan dan dibohongi oleh janji aparat penyelenggara pelayanan umum (pemerintah), sehingga masyarakat menilai kinerja pelayanan umum secara keseluruhan buruk dan tidak memuaskan.

    Bagi kalangan dunia usaha, masalah yang sering dikeluhkan adalah ketidak-jelasan prosedur, kepastian biaya dan waktu proses dan penyelesaian perizinan, sehingga secara rata-rata biaya yang dikeluarkan pada akhirnya tinggi. Kondisi pelayanan perizinan yang buruk, menyebabkan menurunnya atau berkembangnya ketidak kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

    Berdasarkan fakta ini Departemen Dalam Negeri meminta kepada Pemerintah Daerah untuk mengembangkan pelayanan perijinan yang terpadu melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 503/125/PUOD tanggal 16 Januari 1997 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perijinan di Daerah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 1998 tentang Pelayanan Perijinan Satu Atap di Daerah.

    Demikian pula, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah menerbitkan berbagai Peraturan Perundang-undangan/pedoman bagi pemerintah dan pemerintah daerah, untuk meningkatkan pelayanan, melalui berbagai model pelayanan publik (termasuk pola pelayanan terpadu satu atap (PTSA) dan pola pelayanan terpadu satu pintu (PTSP)).

    b. Merespon permasalahan tersebut, beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijaksanaan untuk membentuk pelayanan terpadu satu atap, dimana dengan model tersebut masyarakat dalam mengurusi perijinan hanya

  • 22

    perlu mendatangi kantor PT-SA untuk mengurus semua pelayanan perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

    Yang menjadi permasalahan, bentuk-bentuk lembaga pelayanan terpadu yang telah dibentuk di beberapa daerah, berbeda model, ruang lingkup, mekanisme dan prosedur, serta kewenangannya dalam memberikan pelayanan perijinan.

    c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), ditetapkan dalam kerangka penyederhanaan pelayanan terpadu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Investasi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah.

    Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, dan untuk melaksanakan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut diatas, maka untuk memudahkan peserta dan daerah melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu (PPTSP), khususnya pembentukan perangkat daerah PPTP, dalam bab ini dicontohkan beberapa proses dan bentuk LPTSP. Secara garis besar diuraikan beberapa Alternatif Bentuk Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Pintu (LPTSP), dan analisis bentuk LPTSP yang dianggap paling sesuai untuk dikembangkan dalam proses pembentukan PPTSP.

    2. Komitmen Pimpinan dan Penyelenggara Pelayanan

    a. Buruknya pelayanan di daerah bukan semata-mata karena merupakan hasil dari kegagalan atau ketidakmampuan atau rendahnya pengetahuan teknologi yang dimiliki pada sebagian staf pemerintah daerah, tetapi juga karena banyak faktor seperti, peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pelayanan publik yang diterbitkan oleh pemerintah yang berubah-ubah atau tidak konsisten, sehingga mempengaruhi kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah. Faktor lain, sebagian penyelenggara pelayanan di daerah perpandangan bahwa pelayanan publik bukan merupakan tugas pokok dan fungsinya, dan menganggap pelayanan publik sebagai tugas tambahan.

    Tugas pelayanan publik dan/atau pelayanan perizinan, tidak jelas dan tegas dituangkan dalam struktur pemerintahan daerah yang mengatur dan mendistribusikan tugas pokok, fungsi dan uraian tugas (job deskription) kepada satuan kerja atau penjabatnya.

    Demikian pula, inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada dasarnya tidak menggambarkan sepenuhnya karena semata-mata kekurangan atau ketidak mampuan sumber daya manusia, tetapi juga karena problem manajemen, komitmen dan kebijakan top pimpinan dan pimpinan bawahnya, serta pendekatan yang digunakan di dalam melaksanakan otonomi daerah masih di dasarkan pada pendekatan proyek.

  • 23

    b. Hampir kebanyakan pimpinan dan aparat penyelenggara pelayanan publik menganggap bahwa memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan adalah sebagai suatu rangkaian dari pergerakan teknik pemadam kebakaran, daripada sebuah strategi dan usaha yang sistimatik. Anggapan demikian, dapat dilihat dari usaha yang dilakukan oleh organisasi pemerintahan daerah dan/ atau jabatan individu penyelenggaranya, di dalam menghadapi masalah pelayanan, kesannya secara umum dalam bertindak seperti petugas pemadam kebakaran.

    Ilustrasi; Diyakini bahwa semua pimpinan dan jajaran aparat penyelenggara di daerah, mengerti dan memahami bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pelayanan publik. Seharusnya, pemerintahan daerah merespon dan menindaklanjutinya dengan membuat strategi dan kebijakan pelayanan publik. Dalam kontek tujuan pemberian otonomi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu strategi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya kebijakan dibidang pelayanan perizinan dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu.

    Dalam praktek, tidak semua daerah melaksanakan kebijakan tersebut, dari hasil penelusuran dan evaluasi (sumber; Depdagri) permasalahan pokoknya adalah rendahnya komitmen dan kepedulian dari top pimpinan, pimpinan menengah dan bawah di daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan perizinan.

    Permasalahan lainnya adalah; pertama, kebanyakan aparat pemerintahan daerah lupa terhadap fungsi utamanya sebagai aparat pelayanan, dan menganggap pelayanan adalah tugas atau fungsi tambahan dari pekerjaan lainnya (dapat dilihat dari tugas pokok, fungsi dan uraian tugas yang lebih berorientasi kedalam yaitu kepentingan urusan dan wewenangnya). Umumnya aparat baru bergerak setelah terjadi suatu masalah pelayanan.

    Kedua, Ketika pelayanan publik mengarah pada kualitas pelayanan, banyak aparat atau organisasi melihatnya sebagai cahaya atau lampu hijau suatu keberhasilan dan umumnya tidak melihat bahwa kualitas pelayanan sebagai suatu area yang nyata dan penting dilaksanakan.

    Ketiga, kualitas pelayanan biasanya tidak pernah diintegrasikan kedalam kegiatan sehari-hari satuan unit kerja, maupun satuan kerja dalam satu kesatuan organisasi. Bahkan pelayanan publik dianggap tidak menjadi tugas dan kewajibannya yang dapat membentuk perilaku dan sikap aparat sebagai abdi pelayanan. Hal ini tidak terlihat atau tidak pernah ditunjukkan atau menjadi budaya kerjanya.

  • 24

    c. Inisiatif memulai untuk membuat strategi dan kebijakan, serta melaksanakan perbaikan atau peningkatan kualitas pelayanan sangat mudah dilakukan. Tetapi melaksanakan atau melakukan perbaikan atau peningkatan kualitas pelayanan secara rutin dan berkelanjutan bukan perkara mudah dan menjadi sesuatu yang berbeda. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan adalah proses yang berkelanjutan, kualitas pelayanan bukan tujuan akhir, kualitas pelayanan akan berubah dan terus meningkat sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Kualitas pelayanan yang sekarang diterima dan memuaskan masyarakat, mungkin dimasa mendatang tidak lagi dianggap memuaskan masyarakat.

    Kata Kunci Pelayanan yang berkelanjutan, adalah menggunakan pendekatan sistimatik dan terencana untuk mengimplementasikan usaha perbaikan atau peningkatan pelayanan dalam satu sistim pelayanan untuk mencapai kualitas pelayanan.

    Sistim pelayanan, adalah keterkaitan semua aparat, secara fisik dan prosedur pegawai harus memiliki sikap melayani untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat dan menyampaikan layanan secara berkelanjutan.

    Salah satu strategi memperbaiki kualitas pelayanan perizinan adalah perubahan pola pikir (mindset) dari top pimpinan dan aparatnya, untuk membangun komitmen. Tanpa komitmen dan dedikasi dari top pimpnan dan pimpinan bawahnya, tanpa dukungan dan partisipasi seluruh aparat penyelenggara pemerintahan daerah, sebaik apapun rencana, strategi, design dan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan, akan sia-sia dan gagal dilaksanakan.

    B. Organisasi Berorientasi Pelayanan

    1. Struktur dan desain organisasi merupakan bagian penting dalam pekerjaan manajemen publik, tanpa desain organisasi yang efektif, pelayanan yang disampaikan hanya akan menjadi fenomena tugas penyedia saja. Banyak komentar atau kritik dari para akademisi terhadap desain organisasi yang dianggap cenderung mengikuti trend, termasuk kritik terhadap aktivitas aspek lainnya dalam organisasi. Pandangan atau kritik (masukan) yang diterima saat ini, terutama pada area struktur organisasi dapat dirangkum sebagai berikut : a. Birokrasi bersifat rigid atau kaku dan kurang responsif terhadap tuntutan

    perubahan; b. Struktur desentralisasi (mendekatkan pada konsumen) adalah bentuk

    organisasional yang paling tepat; c. Unit organisasi yang tidak besar atau kecil dan sederhana dianggap lebih

    efisien dan efektif, daripada unit organisasi yang lebih besar atau gemuk.

    2. Bagaimana organisasi pemerintahan daerah kita? Struktur dan design organisasi pemerintahan daerah, cenderung banyak dipengaruhi oleh konsep birokasinya Weber. David Mc Kevitt dalam bukunya,

  • 25

    Managing Core Public Service, hal 124, menanggapi konsep Birokrasi Weber yang secara singkat sebagai berikut:

    Weber menjelaskan bahwa birokrasi adalah representasi dari peraturan yang rasional untuk mengambil keputusan yang tetap dan informasi diproses secara efisien sebagai persyaratan untuk setiap pengambilan keputusan. Birokrasi patut dicontoh oleh organisasi pelayanan publik dan birokrat, sebagai model administrator yang professional.

    Weber secara jelas lebih tertarik pada rasionalitas formal daripada gambaran efisensi, tetapi karakteristik yang di identifikasikan seringkali di interpretasikan seperti itu. Elemen utama dari rangkuman kajian tentang birokrasi yang Weber ungkapkan antara lain : a. Peraturan dan prosedur yang memungkinkan organisasi untuk menjalankan

    fungsinya dalam memprediksi perilaku rutin dan spesialisasi serta pembagian tenaga kerja.

    b. Sebagai rantai hirarki perintah. c. Seleksi untuk menentukan kompetensi dasar. d. Pemisahan antara kepemilikan dan administrasi. e. Mencatat atau menulis atau mendokumentasikan tentang tindakan-tindakan,

    keputusan dan peraturan.

    Menurut David Mc Kevitt, formulasi Weber ini digambarkan secara sederhana, dan pre-demokratis terhadap kondisi yang langka informasi di abad ke-19. Oleh karena itu, gambaran yang diberikan Weber adalah valid dalam beberapa konteks, namun tidak dapat dilihat sebagai representasi kompleksitas, lingkungan yang tidak stabil.

    Kekurangan dari model birokrasi klasik seperti ini dapat dirangkum sebagai berikut: a. Kaku dan defensif, lebih berorientasi kedalam; b. Menekankan pada pengertian menerima tingkat kinerja minimum; c. Sasaran Sub unit lebih mengutamakan mengatasi tujuan akhir organisasi ; d. Melampaui fungsi departemen/bagian.

    3. Organisasi adalah alat sosial untuk menangani/mengelola informasi, pada kondisi hubungan sosial yang stabil antara professional dan staf administrasi, dengan pengertian di mana pelayanan telah disampaikan kepada masyarakat sebagai klien. Tidak semua masyarakat memerlukan jenis pelayanan yang sama, dan organisasi pengelola pelayanan publik harus mampu menggabungkan keragaman dengan kebutuhan dan permintaan.

    Sebagai contoh, Suatu Rumah Sakit besar utama sangat penting memiliki waktu 24 jam, dan 365 hari untuk mengadakan/menyediakan pelayanan bagi pasien kecelakan dan keadaan darurat, sementara itu juga harus menyediakan fasilitas tambahan perawatan intensif yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan pendapatan khusus.

  • 26

    Sebagaimana yang terjadi pada sektor privat/swasta, organisasi publik harus mendesain struktur untuk menyampaikan tujuan strategisnya, untuk menciptakan cara menentukan kebutuhan dari keseluruhan arah dan pengawasan, dengan persyaratan yang fleksibel untuk mengakomodir fungsi lainnya yang bersifat khusus.

    Organisasi, seperti halnya manusia, hidup dan berkembangnya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial, budaya dan kesejarahan, artinya dalam membentuk atau merevitalisasi suatu organisasi harus memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi sosial budaya dan sejarah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Sayangnya, berbagai usaha yang mendorong dilakukannya reformasi organisasi, sering mengabaikan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, terutama dalam konteks faktor-faktor; ekonomi, sosial, budaya dan perkembangan lingkungan.

    4. Dalam menyelenggarakan pelayanan publik, para pimpinan/manager dan staf professional tidak hanya digerakkan oleh keinginan sendiri, tetapi terkait dengan landasan konseptual, kebijakan peraturan perundang-undangan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan.

    Bagaimanapun juga, tantangan yang dihadapi oleh para pimpinan/manajer pelayanan publik yang bekerja dalam konteks profesionalitas sangat tinggi, secara umum sama dengan setiap warga negara yang memiliki hak untuk mengharapkan pelayanan dan dukungan dari berbagai struktur organisasi yang bertugas menyampaikan pelayanan.

    Kerangka penilaian institusional/kelembagaan yang terkait dengan sumber daya dan legitimasi/pengakuan merupakan hal yang dominant, kegiatan pelayanan publik, membutuhkan kejelasan persyaratan yang efektif untuk mengakomodir pendapat masyarakat dan keterlibatan aktifnya dalam menyusun persyaratan pelayanan.

    Penyampaian pelayanan yang professional membutuhkan otonomi atau keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, otonomi atau keleluasaan di sini termasuk juga kebijakan politik dan ekonomi yang mengatur prioritas kepentingan daerah. Pimpinan/manajer menengah merupakan pemain kunci untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan, dan untuk itu mereka membutuhkan pelatihan dan pengembangan kompetensinya secara khusus, untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya menyelenggarakan pelayanan publik.

    Seorang pimpinan/manajer menengah, baik yang profesional dan administratif, perlu diberikan perhatian dalam hal keterampilan, teknik, dan pendekatan-pendekatan yang mampu menghasilkan level pelayanan yang pantas sesuai dengan jiwa pelayanan publik.

    Lebih lanjut, seorang pimpinan/manajer menengah harus bisa menghargai bahwa pelayanan yang efektif adalah hasil seleksi permintaan dari pelayanan teknis tertentu di dalam level toleransi kebiasaan dan praktek organisasi yang telah ada. Pihak pembuat keputusan atau kebijakan, juga harus diberikan informasi dan

  • 27

    pemahaman tentang hal strategis dan inovasi yang ditawarkan staf untuk memperbaiki kualitas pelayanan.

    5. Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa bentuk organisasi yang secara rasional dapat menciptakan kepantasan, sangat tergantung pada hubungan antara tugas dan lingkungan yang dilayani dan/atau mempengaruhi. Tidak ada satupun desain struktur organisasi yang terbaik, tetapi desain struktur organisasi yang baik menunjukkan adanya relevansi apa yang tepat dipilih oleh struktur organisasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan permintaan dari lingkungan eksternal (pelayanan publik).

    Tugas manajemen selanjutnya adalah, memilih struktur organisasi yang tepat, terlepas dari jenis pekerjaan yang dilakukan dalam organisasi dan jenis lingkungan yang dihadapi oleh organisasi. Sebagai tambahan yang juga perlu dipertimbangkan, adalah kebutuhan pekerja/karyawan yang memenuhi persyaratan untuk mampu menjalankan tugas dan fungsinya guna tercapainya tujuan organisasi.

    Untuk menambah pengetahuan, beberapa tip organisasi dan karakteristiknya, antara lain : a. Organisasi mekanistik

    Organisasi ini sangat tepat digunakan untuk menstabilkan kondisi eksternal dan jenis prosesnya yang berkelanjutan, dan karakteristiknya adalah: 1) Spesialisasi tugas dan fungsi yang dibedakan berdasarkan masalah dan

    tugas untuk menghadapi organisasi yang secara keseluruhan memburuk; 2) Secara natural, abstraksi dari setiap tugas individu diikuti dengan metode,

    teknik dan tujuan yang kurang lebih berbeda dari tujuan organisasi secara keseluruhan, dalam arti fungsionaris cenderung untuk mengejar peningkatan teknisnya, ketimbang menyelesaikan tugas dari organisasi;

    3) Definisi yang tepat mengenai hak, kewajiban dan metode teknis yang terkait dengan masing-masing peranan fungsinya;

    4) Hierarki Struktur yang jelas dari pengawasan, kewenangan dan komunikasi;

    5) Kecenderungan untuk operasional dan perilaku bekerja yang diatur dalam instruksi dan keputusan pimpinan;

    6) Kekuatan yang mendorong tumbuh kembannya loyalitas terhadap organisasi dan kepatuhan terhadap pihak yang lebih tinggi.

    b. Organisasi Organik Karakteristik organisasi organik yang tepat untuk mengantisipasi kondisi perubahan lingkungan dan tugas non rutin, termasuk; 1) Pengetahuan khusus seperti pengalaman, memiliki kontribusi terhadap

    tugas umum organisasi; 2) Penyesuaian yang berkelanjutan untuk meredefinisi tugas individu, melalui

    interaksi dengan orang lain; 3) Membangun komitmen bersama terhadap organisasi diluar definisi teknis

    organisasi 4) Kejelasan Struktur jaringan pengawasan, kewenangan dan komunikasi;

  • 28

    5) Tidak ada masukan untuk pimpinan organisasi; seperti pengetahuan mengenai teknik atau keuangan;

    6) Substansi isi komunikasi yang terdiri dari informasi dan saran, daripada keputusan institusi.

    Bentuk organisasi organik tidak memiliki hierarki seperti halnya dalam organisasi yang mekanistik, namun tetap terstratifikasi dan memiliki komitmen terhadap sasaran dan tujuan organisasi yang lebih luas dalam tipe organik. Jenis organisasi organic juga lebih mengarah pada suatu institusi, dibandingkan dengan hanya sekedar organisasi sederhana, dengan gambaran seperti yang terdapat dalam aturan, perilaku dan prosedur yang berasal dari luar organisasi yang berdasarkan pada pengetahuan teknikal atau khusus.

    Lingkungan institusional sebagai inti pelayanan publik merupakan hal yang penting seperti yang dikontribusikan secara signifikan untuk membentuk proses internal dari organisasi pemerintahan daerah. Tujuan dari Pemerintah Daerah, adalah untuk memberikan pelayanan yang prima, dan dalam hal pelayanan yang dapat mendukung kesatuan sosial dan interdependensi, dapat dipromosikan secara luas kepada masyarakat.

    Organisasi Pemerintah Daerah, adalah organisasi yang besar, cakupan tugas dan fungsinya luas, termasuk di dalamnya jumlah aparat penyelenggaraannya yang besar, dari mulai aparat adminsitratif, teknis, professional dan lainnya. Sebagaimana organisasi mekanistik, mereka bekerja dalam mutualisme dan kerjasama, khususnya dalam hal hierarki, kewenangan dan pengawasan. Bentuk organisasi pemerintah daerah yang baik, tergantung pada struktur-struktur internalnya yang tepat, jelas tugas dan fungsinya, jelas fungsi dan efektifitas pengawasannya, serta mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang mempengaruhinya.

    6. Organisasi Pemerintah Daerah, memiliki uraian tugas bagi setiap pegawainya yang memiliki jabatan. Pertanyaannya, Apa itu Uraian Tugas Uraian tugas adalah statemen yang biasanya dijelaskan sebagai tanggungjawab, tugas dan pekerjaaan dan tingkatan kewenangan untuk setiap posisi jabatan.

    Pertanyaan lain, bagaimana uraian tugas digunakan dalam manajemen kinerja dan perencanaan kinerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan? Uraian tugas pada dasarnya menggambarkan garis besar tanggungjawab tugas dan pekerjaan dari setiap unit kerja dan/atau penjabatnya.

    Ada masalah yang harus dipikirkan bersama, sementara banyak ahli menyarankan untuk menggunakan uraian tugas sebagai pedoman dalam mengatur tercapainya tujuan, dalam kenyataan umumnya unit satuan kerja dalam organisasi pemeritahan daerah tidak memiliki uraian tugas yang jelas melaksanakan pelayanan apa atau tidak berorientasi pada pelayanan. Disamping itu, masih ditemui uraian tugas yang tumpang tindih satu dengan lainnya, bahkan apabila dilihat dari kebutuhan dan tuntutan meningkatkan pelayanan, uraian tugas yang ada sudah usang dan kaku, sehingga tidak mampu mengantisipasi tuntutan perubahan dan perkembangan.

  • 29

    Dalam kenyataannya, perubahan kerja dan tanggungjawab serta tuntutan perubahan lingkungan yang begitu cepat, dalam waktu singkat dapat membuat uraian tugas menjadi cepat usang. Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi organisasi untuk memperbaharui uraian tugasnya, khususnya biaya, waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan organisasi

    Karyawan sering bicara tidak ada pekerjaan atau tidak ada yang dikerjakan, ini menunjukkan mereka menyerah untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan tidak memahami uraian tugasnya, atau mungkin uraian tugasnya tidak jelas atau mungkin juga uraian tugasnya tumpang tindih dengan tugas unit kerja lain. Jadi, jika anda menggunakan sebuah uraian tugas sebagai langkah awal untuk mereview dan memodifikasi lebih cepat terhadap proses kinerja perencanaan, maka anda akan mendapatkan gambaran apa yang dikerjakan karyawan.

    Peringatan: Banyak uraian tugas yang sudah usang, ketinggalan jaman atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan lingkungan yang mempengaruhi. Jangan begitu yakin terhadap apa yang anda baca. Verifikasi dulu dengan karyawan anda, apakah anda yakin saat ini, bahwa uraian tugas tersebut sudah mengambarkan tingkat ketepatan dan kejelasan untuk meningkatkan kinerja pelayanan.

    7. Kita sering bicara tentang hubungan diantara tujuan organisasi, tujuan Satuan Kerja dan tujuan setiap pegawai, kita menetapkan bahwa uraian tugas yang ada sudah akurat dan sesuai dengan apa yang diinginkan untuk mecapai tujuan organisasi. Kita ingin tahu, bagaimana anda memberikan kontribusi yang besar untuk tercapainya tujuan organisasi, Bersama-sama karyawan, anda akan menetapkan beberapa target pencapaian untuk setiap pegawai.

    Perlu kesepakatan pemahaman, bahwa suatu tujuan adalah pernyataan dari hasil atau tujuan akhir yang diharapkan oleh karyawan untuk menciptakan atau memberi kontribusi tertentu. Tujuan juga dapat mencakup batas waktu atau sumber daya.

    Beberapa point penting sebagai contoh, dalam menetapkan suatu tujuan : a. Buat setiap tujuan secara spesifik dan memungkinkan untuk dicapai; b. Fokus pada masing-masing tujuan sebagai tanggung jawab pekerjaan individu

    atau hasil akhir yang ingin dicapai; c. Spesifik ketika hasil yang seharusnya terjadi dengan beberapa keterbatasan

    sumber daya yang dimiliki; d. Buat tujuan yang sependek atau sesingkat mungkin, terfokus, dan langsung

    (singkat, padat, jelas); e. Tujuan harus difokuskan pada hasil atau outcome, dan bila mungkin tidak

    hanya fokus pada bagaimana karyawan mencapai hasil akhir tersebut.

    8. Anda sebagai pimpinan dianggap ahli dibidang pekerjaan anda, beberapa pertanyaan mengenai uraian tugas anda; a. Yakinkah anda uraian tugas sudah tepat dan jelas? Apakah perlu untuk

    diperbaharui agar lebih berorientasi pada pelayanan?

  • 30

    b. Bagaimana anda melihat besarnya kontribusi diri anda terhadap pencapaian tujuan dari Satuan Kerja/Unit satuan kerja anda?

    c. Apakah ada cara terbaik yang dapat mengukur kontribusi anda dalam mencapai tujuan organisasi?

    d. Bagaimana anda memutuskan target anda? Apakah anda memerlukan bantuan orang lain atau unit kerja lain?

    e. Apakah anda hambatan yang dapat menggambarkan pengaruhnya terhadap kinerja tugas anda?

    f. Tingkat kewenangan seperti apa yang anda butuhkan untuk melaksanakan tugas operasional pekerjaan anda?

    g. Apa yang menjadi bagian penting dari pekerjaan anda?

    Pertanyaan diatas, dimaksudkan untuk membuka cara pandang di dalam memahami dan mendalami peran anda dalam melaksanakan uraian tugas yang di atur dalam Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja, dan untuk membantu anda membangun komitmen, komunikasi dan kerjasama terselenggaranya tujuan otonomi daerah. Secara khusus pertanyaan tersebut diatas, juga diharapkan dapat mendorong pola pikir anda untuk lebih progresif menerapkan pendekatan urusan dan kewenangan di dalam penyempurnaan organisasi yang berorientasi pelayanan, khususnya di dalam kerangka memperbaiki pelayanan perizinan.

    9. Tugas, pekerjaan dan tujuan dari karyawan akan menjadi sejalan dengan tujuan dan sasaran dari unit kerja dan organiasi, manakala karyawan mengerti hubungan antara tanggungjawab anda dan keseluruhan tujuan organisasi. Penyempurnaan uraian tugas dan tanggungjawab yang berorientasi pelayanan, akan menjadi model untuk menggambarkan setiap perubahan dalam hubungan kerja.

    Pimpinan dan karyawan harus menyepakati; terhadap tugas dan pekerjaan utama karyawan dan keberhasilan akan menjadi ukuran kinerjanya, apakah uraian tugas menjadi sangat penting atau tidak penting, dan tingkat kewenangan yang dimiliki karyawan, serta menghormati setiap tanggungjawab masing-masing tugasnya.

    Pimpinan manajerial dan karyawan melakukan identifikasi untuk membantu top pimpinan dapat mengetahui potensi hambatan tercapainya tujuan memperbaiki pelayanan perizinan, dalam pengertian pimpinan memiliki informasi untuk dapat mengambil langkah dan kebijakan mengatasi hambatan yang ada. Ketika seorang pimpinan dan karyawan berbicara tentang tanggungjawab tugas dan pekerjaan, mereka perlu komitmen dan keyakinan bersama terhadap apa yang dibutuhkan unit kerjanya untuk melaksanakan tanggungjawab dan tugasnya dalam meningkatkan kualitas pelayanan perizinan.

    C. Alternatif Bentuk Lembaga Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)

    Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dapat dilakukan dengan berbagai pola sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, seperti Pelayanan Terpadu Satu Atap atau Satu Pintu.

  • 31

    Pembentukan lembaga PPTSP, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu: (1) bentuk Dinas; (2) bentuk Kantor, dan (3) bentuk Unit. Ketiga bentuk PPTSP tersebut masing-masing mempunyai dasar hukum pembentukannya, dengan besaran organisasi, cakupan urusan/kewenangan dan jenjang jabatan (eselon) yang berbeda.

    Untuk memudahkan peserta di dalam mempersiapkan rencana pembentukan perangkat daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). Sebagai contoh dalam sub bab ini diuraikan mengenai proses Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dapat diuraikan sebagai berikut:

    1. Bentuk Dinas

    a. Merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah;

    b. Mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi; c. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Dinas Daerah

    Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi: 1) perumus