Mods

8
Tinjauan Pustaka Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009 Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis Velma Herwanto,* Zulkifli Amin** *Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstrak: Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS) didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan >2 sistem organ) pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Kejadian MODS sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Penyebab lain adalah trauma dan proses inflamasi non-infeksi. Hipotesis yang diduga berperan dalam terjadinya MODS saat ini meliputi hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis “two-hit”, hipotesis kegagalan imunologi, dan hipotesis terintegrasi. Secara umum, mekanisme patofisiologi yang mendasari MODS terdiri dari kerusakan seluler primer, perfusi jaringan/organ yang inadekuat, kerusakan endotel difus, faktor humoral sirkulasi, mediator inflamasi bersirkulasi, malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, kerusakan eritrosit, dan efek samping tatalaksana pengobatan. Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi, dan SSP merupakan sistem organ utama yang terlibat dan menjadi target evaluasi MODS. Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting, karena hingga saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS. Manajemen pasien MODS yang terutama bersifat suportif. Kata kunci: sindrom disfungsi organ multipel, gagal organ multipel, sistem skoring 547

description

MODS ku

Transcript of Mods

Page 1: Mods

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Sindrom Disfungsi Organ Multipel:Patofisiologi dan Diagnosis

Velma Herwanto,* Zulkifli Amin**

*Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS)

didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan >2 sistem organ) pada

pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi.

Kejadian MODS sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Penyebab lain adalah trauma dan

proses inflamasi non-infeksi. Hipotesis yang diduga berperan dalam terjadinya MODS saat ini

meliputi hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan mikrovaskuler,

hipotesis “two-hit”, hipotesis kegagalan imunologi, dan hipotesis terintegrasi. Secara umum,

mekanisme patofisiologi yang mendasari MODS terdiri dari kerusakan seluler primer, perfusi

jaringan/organ yang inadekuat, kerusakan endotel difus, faktor humoral sirkulasi, mediator

inflamasi bersirkulasi, malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, kerusakan eritrosit,

dan efek samping tatalaksana pengobatan. Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati,

hematologi, dan SSP merupakan sistem organ utama yang terlibat dan menjadi target evaluasi

MODS. Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting, karena hingga saat ini belum

ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS. Manajemen pasien MODS yang terutama bersifat

suportif.

Kata kunci: sindrom disfungsi organ multipel, gagal organ multipel, sistem skoring

547

Page 2: Mods

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

Velma Herwanto,* Zulkifli Amin**

*Department of Internal Medicine, School of Medicine University of Indonesia/

Cipto Mangunkusumo National Hospital

Abstract: The term Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) describes the presence of

altered organ function in an acutely ill patient (involves >2 systems), such that homeostasis

cannot be maintained without intervention. Infection is the most important clinical correlate of the

syndrome. Other etiology comprises of trauma and non-infectious inflammation process. Some

hypotheses - such as the mediator hypothesis, gut-as motor hypothesis, microvascular failure

hypothesis, two-hit hypothesis, and integrated hypothesis - were assumed to have roles in MODS

pathogenesis. Generally, potential pathophysiologic mechanisms involved in that MODS hypoth-

eses were primary cellular injury, inadequate tissue/ organ perfusion, diffuse endothelial injury,

circulating humoral factors and inflammatory mediators, protein calorie malnutrition, bacterial-

toxin translocation, defective red blood cells, and also adverse effect of directed treatment. Evalu-

ation of MODS principally includes the dysfunction of respiratory, cardiovascular, kidney, liver,

hematology, and central nervous systems. Prevention was the most important step since there is

yet any specific therapy targetted at MODS. The management was mainly supportive.

Keywords: multiple organ dysfunction syndrome, multiple organ failure, scoring system

Pendahuluan

Peningkatan usaha resusitasi serta perkembangan

teknologi dan pengetahuan mengenai proses penyakit telah

meningkatkan harapan hidup pasien yang sakit parah dan

menimbulkan suatu kelainan baru yang disebut Sindrom

Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syn-

drome/ MODS) atau gagal organ multipel (Multiple Organ

Failure/ MOF). Pada beberapa dekade lalu, pasien seringkali

meninggal pada awal perjalanan penyakitnya, jauh sebelum

mereka mengalami disfungsi organ. Berbagai kemajuan dalam

tatalaksana suportif disertai harapan hidup pasien yang lebih

lama tersebut meningkatkan probabilitas pasien sakit berat

untuk mengalami stadium akhir dari penyakitnya sekaligus

membuat mereka menjadi rentan terhadap berbagai kom-

plikasi penyakit beratnya tersebut.1

Frekuensi MODS di antara seluruh populasi risiko tinggi

di seluruh dunia rata-rata setara, berkisar antara 7% pada

pasien trauma multipel hingga 11% pada populasi ICU secara

umum. Di Amerika Serikat, MODS didiagnosis pada 15-18%

pasien yang masuk ke ICU.2 MODS merupakan penyebab

kematian tersering pada pasien yang dirawat di unit pera-

watan intensif non-koroner dan juga merupakan penyebab

tersering morbiditas, perawatan yang lama, dan tingginya

biaya rumah sakit.1

Suatu studi, multisenter, observasional di Eropa, Sep-

sis Occurrence in Acutely Ill Patients (SOAP),3 melaporkan

bahwa setidaknya 71% pasien di ICU mengalami disfungsi

organ pada tahap tertentu (skor Sequential Organ Failure

Assessment [SOFA] >2 untuk organ yang dievaluasi) dan

81%-nya telah terdiagnosis saat masuk ke ICU. MODS terjadi

lebih sering pada pasien-pasien sepsis (75 vs. 43%) diban-

dingkan dengan pasien-pasien ICU lain. Insiden 2, 3, dan >4

gagal organ didapatkan lebih tinggi (secara berurutan 38, 24,

dan 13 vs. 28, 12, dan 4%), dan semua bentuk kegagalan

organ ditemukan lebih sering pada pasien-pasien sepsis,

dibandingkan dengan pasien ICU lain. Mortalitas ICU saat

masuk pada pasien tanpa disfungsi organ adalah 6%,

sedangkan pada pasien-pasien dengan >4 kegagalan organ,

mortalitasnya 65%.

Deskripsi MODS pertama kali menegaskan hubungan

kejadiannya dengan infeksi laten atau tidak terkontrol, yang

tersering adalah peritonitis dan pneumonia. Namun, infeksi

tidak harus selalu ada dan sifatnya lebih sering mengikuti,

daripada mendahului, terjadinya MODS.4 Pada lebih dari 1/3

pasien MODS, tidak ditemukan fokus infeksi.2 Tabel 1

memperlihatkan berbagai jejas yang dapat memicu terjadinya

MODS.

Faktor risiko utama terjadinya MODS adalah sepsis dan

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), beratnya

penyakit (berdasarkan Acute Physiology and and Chronic

Health Evaluation/APACHE II dan III), syok dan hipotensi

berkepanjangan, terdapat fokus jaringan mati, trauma berat,

operasi besar, adanya gagal hati stadium akhir, infark usus,

disfungsi hati, usia >65 tahun, dan penyalahgunaan alkohol.1,2

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

548

Page 3: Mods

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Tabel 1. Jejas Fisiologis dan Patologis yang Dapat Memicu

Terjadinya MODS5

Infeksi Trauma Inflamasi Non-Infeksi

Bakteraemia Trauma multipel Pankreatitis Kanker

Viraemia Pasca pembedahan Vaskulitis Infus sitokin

Fungaemia Iskemia visceral HIV Reaksi obat

Penyakit Status epileptikus Eklampsia Sindrom re-

rickettsia perfusi

Mycobacteria Trauma kepala Gagal hati Reaksi trans-

fusi

Infeksi protozoa Sindrom kompar- Sintas kardio- Sindrom aspi-

temen pulmonal rasi

Infeksi organ Abdominal Transfusi masif

padat

Kelompok di Denver yakni Offner dan Moore, Moore et al,

dan Sauaia et al6 menekankan bahwa faktor risiko MODS

pada pasien-pasien trauma meliputi transfusi darah masif,

trauma abdomen mayor, dan fraktur multipel.

Berdasarkan konsensus The American College of

Chest Physicians (ACCP)/Society of Critical Care Medi-

cine (SCCM) tahun 1992, Sindrom Disfungsi Organ Multipel

(Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS)

didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah

pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak

dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Disfungsi dalam

MODS melibatkan >2 sistem organ. Terminologi konven-

sional “progressive organ failure”, “sequential organ fail-

ure”, “multiple organ failure”, dan “multiple systems or-

gan failure” dianggap tidak adekuat untuk menggambarkan

sindrom ini secara akurat. Istilah kegagalan organ (“organ

failure”) hanya mengacu pada peristiwa dikotom ya atau

Sel T dan sel B Sel NK

Makrofag

Respon pro-inflamasi

IL-1, IL-6, TNF-α

Respon anti-inflamasi

IL-10, IL-6, IL-4

Status respon hiperinflamasi Status respon hipoinflamasi

SIRS CARS

Kompensasi kardiovaskuler (syok)

Apoptosis Supresi sistem imun

Hilangnya homeostasis

MODS

Distribusi sistemik

Jejas

tidak, sedangkan istilah disfungsi organ (“organ dysfunc-

tion”) lebih dapat menggambarkan perkembangan

perburukan fungsi organ yang merupakan suatu keadaan

dinamis.7

Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan meng-

gunakan istilah Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple

Organ Dysfunction Syndrome/ MODS).

Patofisiologi

Patofisiologi MODS dapat diuraikan secara sederhana

melalui gambar di bawah ini.

Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha men-

jelaskan patofisiologi terjadinya MODS, antara lain hipotesis

mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan

mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi.

Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannya

peningkatan nyata kadar TNF-α dan IL-1β. Sitokin-sitokin

ini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer dan bahwa

ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau pal-

ing tidak mengurangi terjadinya MODS-like syndrome.9

Hipotesis “gut-as motor,” teori yang paling banyak dibahas

saat ini, menyatakan bahwa translokasi bakteri atau

produknya menembus dinding usus memicu terjadinya

MODS. Malnutrisi dan iskemia intestinal diketahui sebagai

penyebab translokasi toksin bakteri ini.1 Hipotesis yang

terkuat dibanding dua hipotesis patogenesis MODS

sebelumnya adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler.9 Pada

kasus sepsis dan SIRS, terdapat penurunan curah jantung,

penurunan tekanan perfusi sistemik, atau perubahan selektif

perfusi sistem organ, yang mengakibatkan hipoperfusi atau

iskemia sistem organ. Perfusi jaringan menjadi inadekuat dan

Gambar 1. Teori baru MODS. NK Natural Killer; SIRS Sytemic Inflammatory Response Syndrome; CARS Compensatory

Anti-inflammatory Response Syndrome8

549

Page 4: Mods

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

terjadi gangguan distribusi aliran darah yang membawa

oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya.1 Ada pula

hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel

sebenarnya memadai tetapi oksigen tersebut tidak dapat

digunakan oleh sel, mungkin disebabkan abnormalitas jalur

fosforilasi oksidatif di mitokondria.10 Kerusakan endotel

vaskuler akibat mediator SIRS menyebabkan defek

permeabilitas dan mengganggu integritas endotel,

menimbulkan edema atau gangguan fungsi sistem organ.

Eritrosit yang rusak dengan perubahan bentuk atau properti

rheologik juga memudahkan terjadinya sumbatan atau

obstruksi mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan

iskemia seluler.1 Hipotesis “two-hit” menyatakan bahwa

terdapat 2 pola MODS, dini (dalam 72 jam setelah jejas) dan

lambat. MODS dini disebabkan oleh proses “one hit”,

sedangkan MODS tipe lambat disebabkan oleh proses “two

hit”. Pada model “one hit”, jejas primer sedemikian masifnya

sehingga mempresipitasi SIRS berat, menyebabkan MODS

yang dini dan seringkali letal. Pada model “two hit”, terjadi

jejas akibat pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first

hit), menyebabkan SIRS yang moderat. Adanya presipitasi

infeksi/ jejas non-infeksi dapat mengamplifikasi keadaan

inflamasi awal tersebut menjadi SIRS yang berat, yang cukup

untuk menginduksi MODS tipe lambat (umumnya 6-8 hari

setelah jejas awal).11,12

Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat dite-

lusuri satu penyebab sebagai pemicu MODS. Oleh karena

itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa tampaknya

MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasis

yang melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah

diuraikan di atas.2

Mekanisme Kerusakan/Kematian Jaringan pada MODS

Kerusakan jaringan terjadi selama inflamasi dan me-

rupakan suatu proses yang pada akhirnya dapat menye-

babkan disfungsi dan kegagalan organ. Sel endotel vaskuler

mengekspresikan molekul-molekul adhesi yang menarik

leukosit dari sirkulasi untuk migrasi ke jaringan. Akumulasi

leukosit terjadi sebagai respons terhadap dari chemokine,

seperti IL-8. Kerusakan jaringan terjadi karena degranulasi

leukosit, menghasilkan elastase dan matrix metalloproteinase

(MMP) yang mendegradasi protein struktural. Leukosit yang

teraktivasi juga memproduksi spesies oksigen reaktif (ROS)

dari NADPH oksidase membran yang turut menyebabkan

kerusakan jaringan.5,13

Dilatasi dan konstriksi lokal, blokade pembuluh darah

oleh agregasi neutrofil dan trombosit, kerusakan endotel,

dan edema interstisial semuanya berkontribusi dalam

kejadian hipoksia jaringan pada MODS.10 Kematian sel karena

hipoksia akan memicu respon inflamasi. Hipoksia sendiri

merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α dan IL-8

yang mengakibatkan perubahan permeabilitas epitel. Hipoksia

juga menginduksi pelepasan IL-6, sitokin utama yang

berperan menimbulkan respon fase akut.5

Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, ter-

bentuklah ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan

hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme AA.

Jumlah ROS yang terbentuk melebihi kapasitas anti-oksidan

endogen sehingga terjadi dominasi oksidasi komponen

seluler yang penting.5,10 Selain itu terjadi produksi super-

oksida dismutase oleh neutrofil teraktivasi. Kematian sel juga

terjadi akibat influks kalsium ke dalam sel (calcium-mediated

cell damage).5

Respon inflamasi MODS terkait dengan perubahan

dinamika dan regulasi apoptosis dibandingkan dengan

keadaan non-inflamasi.5 Pada MODS terjadi keterlambatan

apoptosis neutrofil serta peningkatan apoptosis limfosit dan

parenkim. Keterlambatan apoptosis neutrofil memperpanjang

fungsi neutrofil dalam proses inflamasi sekaligus memperlama

elaborasi metabolit toksik. Peningkatan apoptosis limfosit

mengurangi efektor inflamasi sekaligus menyebabkan

imunosupresi. Apoptosis parenkim mengurangi cadangan

fungsional organ.14

Gejala dan Tanda

Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi,

dan neurologi merupakan 6 sistem organ yang paling sering

dievaluasi pada MODS. Sistem organ lain yang juga sering

diikutsertakan dalam evaluasi adalah gastrointestinal (GI),

endokrin, dan imunologi.15

Disfungsi respirasi sering terjadi pada pasien SIRS. Kira-

kira 35% pasien sepsis akan mengalami acute lung injury

(ALI) ringan-sedang dan 25% mengalami komplikasi penuh

menjadi ARDS.16 Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai

takipnea; perubahan status oksigenasi yang terlihat dari

hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO

2 atau kebutuhan

suplementasi oksigen; hipokarbia, serta infiltrat bilateral pada

foto polos dada, setelah kemungkinan gagal jantung kiri

disingkirkan. Disfungsi respirasi juga ditunjukkan dengan

jumlah positive end-expiratory pressure (PEEP) dan/atau

penggunaan ventilasi mekanik. Jika disfungsinya berat, dapat

berkembang menjadi acute lung injury (ALI) dengan

komplikasi ARDS pada 60% kasus syok sepsis. Diagnosis

ARDS ditegakkan bila rasio PaO2/FiO

2 <200 mmHg dan, bentuk

yang lebih ringan, ALI, didiagnosis bila rasio PaO2/FiO

2 <300

mmHg.1,5,17

NO (nitric oxide) berperan menyebabkan disfungsi

kardiovaskuler. NO berperan menyebabkan penurunan

resistensi vaskuler sistemik pada MODS dan, bersama dengan

TNF-α dan IL-1β, berperan mendepresi fungsi miokardium.

Buruknya perfusi dengan sendirinya akan berpengaruh pada

sistem organ lain. Selain itu, kerusakan endotel menyebabkan

hilangnya fungsi barier endotel sehingga terjadi edema dan

redistribusi cairan.5

Disfungsi kardiovaskuler memberikan manifestasi

hipotensi, aritmia, perubahan frekuensi jantung, henti

jantung, perlunya dukungan inotropik atau vasopresor, serta

meningkatnya tekanan vena sentral atau tekanan baji kapiler

550

Page 5: Mods

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

pulmonal.1

Seperti jaringan lainnya, ginjal rentan terhadap

kerusakan jaringan yang diperantarai leukosit melalui

produksi protease dan ROS. Hipovolemia, curah jantung yang

rendah, obat-obatan nefrotoksik, peningkatan tekanan in-

tra-abdomen dan rabdomiolisis semuanya berperan

menyebabkan disfungsi ginjal.5 Peningkatan kreatinin se-

rum, penurunan volume urin (oliguria/anuria), atau adanya

penggunaan terapi pengganti ginjal (seperti dialisis) dapat

digunakan untuk memantau adanya disfungsi ginjal.1

Disfungsi hati didiagnosis dengan adanya ikterik atau

hiperbilirubinemia, peningkatan transaminase serum, laktat

dehidrogenase, atau fosfatase alkali, hipoalbuminemia, dan

perpanjangan waktu protrombin. Trombositopenia, leuko-

sitosis atau leukopenia, manifestasi koagulopati dengan

perpanjangan waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,

produk degradasi fibrin, atau tanda koagulasi intravaskuler

diseminata lain, perdarahan yang banyak, serta ekimosis

merupakan petunjuk adanya disfungsi hematologi.1

Sedangkan disfungsi neurologis terutama ditandai

dengan gangguan kesadaran dan fungsi serebral. Tanda

perubahan fungsi sistem saraf pusat meliputi penurunan

Glasgow Coma Scale, koma, obtundasi, confusion, dan

psikosis.1 EEG secara umum memperlihatkan perlambatan

difus, sementara CT-scan kepala dan analisa carian sere-

brospinal memberikan hasil normal.17 Polineuropati dan

polimiopati dapat terjadi pada kondisi MODS. Patofisiologi

polineuropati melibatkan degenerasi aksonal primer akibat

mediator proinflamasi. Dibutuhkan 3-6 bulan untuk perbaikan

akson. Fakta ini dapat menjelaskan ketergantungan ventila-

tor yang lama pada pasien-pasien sakit berat. Pasien seperti

ini membutuhkan rehabilitasi setelah penyapihan dari venti-

lator, sebelum pasien pulang.5

Hipoperfusi splanknik sering ditemukan setelah trauma,

sepsis dan keadaan syok. Iskemia splanknik bermanifestasi

sebagai perdarahan stress ulcer, ileus, hepatitis iskemik,

kolesistitis akalkulus dan pankreatitis, intoleransi nutrisi

enteral, iskemia/infark intestinal, maupun perforasi gas-

trointestinal. Iskemia mukosa usus meningkatkan permea-

bilitas intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi

bakteri dan mediator-mediator lain ke dalam sirkulasi

sistemik.1,5

Disfungsi endokrin bermanifestasi sebagai hiper-

glikemia akibat resistensi insulin, hipertrigliseridemia,

hipoalbuminemia, penurunan berat badan, dan hiperkata-

bolisme.1 Hiperglikemia terjadi karena peningkatan gluko-

neogenesis dan gangguan bersihan glukosa. Lipolisis

meningkatkan gliserol dan asam lemak bebas dalam plasma.

Dalam perkembangan ke arah MODS, hipertrigliseridemia

terjadi akibat penurunan bersihan trigliserida dan kemudian

glukoneogenesis gagal berjalan, menyebabkan hipogli-

kemia.5

Disfungsi sistem imun diduga terjadi dengan terjadinya

infeksi nosokomial, pireksia, peningkatan leukositosis, dan

gangguan aktivitas imun.1

Urutan klasik akumulasi MODS adalah gagal respirasi

(dalam 72 jam pertama) mendahului gagal hati (5-7 hari) dan

intestinal (10-15 hari), diikuti gagal ginjal (11-17 hari).

Kegagalan hematologi dan miokardial biasanya merupakan

manifestasi akhir MODS, sedangkan kegagalan SSP dapat

terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. Urutan kega-

galan organ ini dapat dipengaruhi oleh proses penyakit akut

dan cadangan fisiologis pasien.2,18 Pada pasien MODS, gagal

respirasi merupakan jenis disfungsi yang paling sering

(74,4%) dan menyebabkan mortalitas yang tinggi (65,5%).19

Secara umum, perjalanan MODS dibagi menjadi 4 sta-

dium klinis:20

• Stadium 1: pasien mengalami peningkatan kebutuhan

volume cairan, alkalosis respiratorik ringan, disertai

dengan oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan

kebutuhan insulin.

• Stadium 2: pasien mengalami takipnea, hipokapnia,

hipoksemia, disfungsi hati moderat, dan mungkin

abnormalitas hematologi.

• Stadium 3: terjadi syok dengan azotemia dan gangguan

keseimbangan asam basa, serta abnormalitas koagulasi

yang signifikan.

• Stadium 4: pasien membutuhkan vasopresor, mengalami

oliguria/anuria, diikuti kolitis iskemik dan asidosis laktat.

Pendekatan Klinis dengan Sistem Skoring

Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai

alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan sta-

tus pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas

(kecuali Logistic Organ Dysfunction System/ LODS).15

Terdapat berbagai sistem skoring untuk mengkaji

disfungsi organ yang dibedakan berdasarkan sistem organ

yang dikaji, definisi disfungsi organ, dan skala yang

digunakan. Pada umumnya, sistem skoring tersebut meliputi

enam sistem organ utama, yakni kardiovaskuler, respirasi,

hematologi, sistem saraf pusat (SSP), ginjal, dan hati. Berikut

ini akan diuraikan tiga sistem skoring yang sering digunakan.

Perbedaan utama di antara ketiganya terletak pada metode

yang digunakan untuk mengevaluasi disfungsi sistem

kardiovaskuler (tabel 2).21

Multiple Organ Dysfunction Score (MODS)

Skor 0-4 diberikan pada setiap sistem organ sesuai

fungsinya (0 mengacu pada fungsi normal dan 4 mengacu

pada disfungsi yang sangat berat) dengan skor maksimum

24. Skor yang diambil untuk perhitungan adalah skor terburuk

untuk setiap sistem organ dalam periode 24 jam. Tingginya

skor inisial berhubungan dengan mortalitas ICU dan MODS

delta (hasil dari MODS selama perawatan di ICU dikurangi

MODS saat masuk) bahkan lebih dapat memprediksi

keluaran.20 Komponen kardiovaskuler mungkin tidak dapat

dinilai pada semua pasien ICU, sehingga menjadi salah satu

551

Page 6: Mods

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

limitasi praktis skor ini.15

Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

Skor berkisar antara 0, merujuk pada fungsi normal,

sampai 4, merujuk pada keadaan sangat abnormal, ber-

dasarkan keadaan terburuk dalam satu hari. Skor SOFA total

yang tinggi (SOFA maksimum) dan perubahan/perbedaan

SOFA yang tinggi (SOFA maksimum total dikurangi SOFA

total saat masuk) berhubungan dengan keluaran yang lebih

buruk. Skor total tampak terus meningkat pada pasien yang

meninggal dibandingkan pasien yang selamat.22

Logistic Organ Dysfunction System (LODS)

Skor LODS dihitung berdasarkan nilai terburuk suatu

sistem organ pada hari tertentu. Skor berkisar antara 0–5

yang melambangkan fungsi normal hingga disfungsi berat.

Karena keparahan relatif disfungsi organ berbeda antara

sistem organ, skor ini hanya memberikan nilai 5 pada sistem

saraf, ginjal, dan kardiovaskuler. Untuk disfungsi maksimum

sistem pulmonal dan koagulasi, diberikan nilai 3, dan untuk

hati, hanya diberikan nilai 1. Dengan demikian skor maksimum

total adalah 22. Skor LODS digunakan hanya untuk sekali

pengukuran dalam 24 jam pertama perawatan di ICU, tidak

untuk evaluasi berulang. Sistem ini rumit, sehingga jarang

digunakan dalam praktek sehari-hari.23

Tabel 2. Perbandingan Parameter Antara Ketiga Sistem

Skoring MODS21

Parameter MODS SOFA LODS

Respirasi PaO2/FiO

2PaO

2/FiO

2PaO

2/FiO

2

Dukungan ven- Status ventilasi/CPAP

tilasi

Koagulasi Hitung Hitung trom- Hitung leukosit

trombosit bosit Hitung trombosit

Hati Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi bilirubin

bilirubin bilirubin Waktu protrombin

Kardiovaskular Frekuensi Tekanan darah Frekuensi jantung

jantung X

(CVP/MAP) Dukungan adre- Tekanan darah sisto-

nergik lik

SSP GCS GCS GCS

Ginjal Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi ureum

kreatinin kreatinin atau dan kreatinin volume

volume urin urin

CPAP Continuous Positive Airway Pressure; CVP Central Venous Pres-

sure; MAP Mean Arterial Pressure; GCS Glasgow Coma Scale

Skor yang diperuntukkan terhadap perkembangan

disfungsi organ yang dapat digunakan untuk evaluasi

berulang memberikan informasi lebih banyak terhadap

perkembangan penyakit dan respons pasien terhadap

terapi.21 Evaluasi berulang ini membantu memantau progresi

penyakit di ICU, sangat berkorelasi dengan keluaran/

kesintasan pasien, serta dapat membantu mengidentifikasi

pasien yang tetap tidak responsif meskipun telah diberikan

terapi yang tepat selama beberapa hari.15

Tatalaksana

Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting,

dilakukan terutama pada pasien sakit berat, karena hingga

saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS.5

Manajemen pasien MODS yang terutama adalah suportif,

sedangkan terapi spesifik diarahkan untuk mengidentifikasi

dan menterapi penyakit dasar. Infeksi dan sepsis adalah

kondisi tersering sebagai penyebab MODS. Oleh karena itu

sangat perlu dilakukan investigasi terhadap kemungkinan

adanya infeksi aktif pada setiap kasus MODS dengan

pemeriksaan kultur dari lokasi infeksi hingga dengan

pemeriksaan diagnostik lain.1

Strategi pencegahan yang paling efektif sekaligus

merupakan strategi terapi yang paling efektif, yakni mengatasi

infeksi dan membersihkan jaringan mati.9 Cara-cara yang telah

terbukti efektif meliputi aplikasi teknik pembedahan yang baik,

pengendalian infeksi nosokomial, serta mencegah ulkus

dekubitus.5,10 Terapi antimikroba yang tepat (bila perlu secara

empiris) dengan dosis yang tepat yang diberikan secara dini

pada penyakit infeksi akan memperbaiki keluaran.5

Tatalaksana suportif yang utama pada pasien MODS,

sesuai dengan disfungsi sistem organ yang paling sering

terjadi, meliputi manajemen hemodinamik, respirasi, ginjal,

hematologi, gastrointestinal, endokrin, dan tidak kalah

pentingnya adalah nutrisi. Prinsip manajemen hemodinamik

adalah mempertahankan oksigenasi jaringan pada pasien

risiko tinggi. Pemberian oksigen cukup dipertahankan sesuai

kadar yang adekuat yang dapat dipantau dari perfusi organ

berupa volume urin, adanya asidosis laktat, ataupun elevasi

segmen ST pada EKG. Manajemen yang disarankan berupa

penggantian volume intravaskuler secara cepat untuk

mengoreksi hipoperfusi jaringan yang ditandai oleh defisit

basa arteri (atau, bila terdapat gagal ginjal, laktatemia) >2

mmol/L. Bila koreksi tidak tercapai, dapat diberikan inotropik

untuk meningkatkan curah jantung, atau dengan transfusi

packed red cell untuk meningkatkan kadar hemoglobin.

Manajemen respirasi diarahkan untuk membantu oksi-

genasi dan ventilasi untuk menjamin suplai oksigen yang

cukup ke jaringan. Manajemen yang disarankan adalah

intubasi dini dan ventilasi mekanik, inhalasi NO, serta pem-

berian keksametason dosis tinggi pada fase fibroproliferatif

ARDS. Intubasi dini dan ventilasi mekanik dapat membantu

mengurangi aliran darah ke diafragma dan otot-otot bantu

nafas, namun harus dilakukan penilaian apakah keuntu-

ngannya jauh melebihi kerugiannya.

Pada disfungsi ginjal, dilakukan terapi pengganti ginjal.

Yang terpenting adalah pemantauan volume, aliran, dan

tekanan intravaskuler yang adekuat. Penggunaan obat-

obatan seperti dopamin, furosemid, dan manitol hanya

bersifat empiris dan belum didukung oleh bukti-bukti yang

dapat dipercaya.

Transfusi trombosit hanya dibutuhkan pada keadaan:

552

Page 7: Mods

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

1) trombositopenia berat (<20 x 109/L); 2) jumlah trombosit

rendah (<50 x 109/L) dengan manifestasi perdarahan atau

sebelum pembedahan/prosedur invasif lain; 3) disfungsi

trombosit (misalnya bila baru mengkonsumsi aspirin). Fresh

frozen plasma (dan kadang-kadang kriopresipitat) hanya

perlu diberikan pada koagulopati berat (misal: INR >3) atau

pada koagulopati yang lebih ringan dengan tanda perdarahan

atau sebelum pembedahan/prosedur invasif lain. Trombosis

vena dalam jarang terjadi karena adanya koagulopati pada

sebagian besar pasien. Oleh karena itu manfaat heparinisasi

rutin atau penggunaan stocking masih dipertanyakan.

Perdarahan GI akibat stres dapat dicegah dengan pem-

berian antagonis histamin tipe 2 dan sitoprotektor.(1)

Hiperglikemia akibat stres, nutrisi parenteral, dan berbagai

penyebab lain perlu dikoreksi, biasanya dengan pemberian

insulin kontinu.1,10

Pemberian nutrisi enteral secara dini disarankan pada

pasien MODS. Pemberian nutrisi enteral dini diperlukan untuk

mempertahankan integritas barier mukosa intestinal,

mengurangi risiko translokasi bakteri/toksin, sintesis pro-

tein dan memperbaiki respon imun. Nutrisi enteral juga

memperbaiki integritas traktus GI atas sehingga dapat

mengurangi kebutuhan obat-obatan untuk mencegah

perdarahan GI akibat stres.1 Nutrisi enteral sebaiknya

diberikan sedini mungkin dengan agresif dalam 24-36 jam

pertama dan dinaikkan hingga mencapai kebutuhan optimal

dalam 12-16 jam pertama setelah pemberian awal. Suple-

mentasi asam amino (seperti glutamin) dan selenium sebagai

antioksidan juga dinilai baik.2,10

Beberapa terapi yang menjanjikan saat ini masih dalam

tahap studi. Terapi ini mungkin dapat digunakan untuk

tatalaksana MODS di masa depan. Terapi-terapi tersebut

meliputi modulasi sistem imun dengan antibodi monoklonal

dan pemberian cairan hipertonik; pemberian inhibitor NO (NO

merupakan faktor depresan miokardium pada MODS);

purifikasi darah dengan hemofiltrasi; pemberian steroid;

pemberian protein C rekombinan teraktivasi; teknik dekon-

taminasi digestif selektif; serta pemberian tromboksan

sintetase untuk mencegah ARDS.1,2,5

Prognosis

Risiko kematian pasien MODS berbanding lurus dengan

jumlah organ yang terlibat dan lamanya disfungsi telah terjadi.

Disfungsi >3 organ selama minimal 1 minggu memberikan

mortalitas antara 60-98%, tergantung pada usia seseorang.24

Bila organ yang terlibat adalah otak, hati, paru-paru, atau

ginjal, angka mortalitas akan lebih tinggi. Fry melaporkan

bahwa peningkatan jumlah kegagalan organ dari 1 menjadi 4,

mortalitas meningkat progresif dari 30% menjadi 100%.25

Marshall et al,20 melaporkan mortalitas 7% pada kegagalan 1

organ, 26% pada kegagalan 2 organ, 50% pada kegagalan 3

organ, 70% pada kegagalan 4 organ, dan 80% pada kegagalan

5 organ. Namun kemampuan penilaian klinis kita untuk

memprediksi keluaran jauh lebih bermakna dibandingkan

penilaian dengan berbagai prediktor. Faktor lain yang juga

berpengaruh adalah penyakit dasar yang menyebabkan

MODS tersebut.1,18

Walaupun proses disfungsi multiorgan dapat ber-

akumulasi dengan sangat cepat, pemulihan pada umumnya

berlangsung lambat dibandingkan dengan onsetnya.

Pemulihan pasien MODS memerlukan waktu sekitar 1 tahun.

Disproporsi waktu antara onset dan pemulihan turut menjadi

masalah besar dalam MODS.

Saat ini tatalaksana yang makin baik telah menurunkan

mortalitas akibat MODS.26 Walaupun dukungan medis

terhadap organ yang gagal tampak membantu pemulihan,

pemulihan sesungguhnya bukan disebabkan oleh dukungan

itu sendiri, melainkan dukungan tersebut memberikan

kesempatan bagi tubuh untuk mengadakan pemulihan.9

Kesimpulan

Sebagai penutup, MODS merupakan suatu kondisi

adanya fungsi organ yang berubah pada pasien yang sakit

akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi

tanpa intervensi. MODS merupakan penyebab kematian

tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif

non-koroner. Infeksi merupakan faktor pemicunya yang

tersering. Berbagai hipotesis berusaha menerangkan pato-

fisiologi terjadinya MODS dengan hipotesis terkuat saat ini

adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler. Enam sistem or-

gan yang paling sering dievaluasi pada MODS dan

digunakan sebagai komponen skoring disfungsi organ

meliputi sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati,

hematologi, dan neurologi. Pencegahan menjadi langkah yang

utama dan terpenting karena hingga saat ini belum ditemukan

suatu terapi yang spesifik.5 Manajemen pasien MODS bersifat

suportif, sedangkan terapi spesifik diarahkan untuk

mengidentifikasi dan menterapi penyakit dasar. Saat ini

tatalaksana yang makin baik telah menurunkan mortalitas

akibat MODS.

Daftar Pustaka

1. Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ dys-

function or failure in severe sepsis and septic shock. Critical Care

Clinics 2000;16(2):337-52.

2. Varon J, Marik PE. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam:

Irwin RS, Rippe JM,ed, Irwin and Rippe’s intensive care medi-

cine. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

2008.p.1870-3.

3. Vincent J-L, Sakr Y, Sprung CL, Ranieri VM, Reinhart K, Gerlach

H, et al. Sepsis in European intensive care units: results of the

SOAP study. Crit Care Med 2006;34(2):344-53.

4. Marshall JC. Inflammation, coagulopathy, and the pathogenesis

of multiple organ dysfunction syndrome. Crit Care Med 2001;27(7

Suppl):S99-106.

5. McKinlay J, Bihari D. Multiple organ dysfunction. Dalam: Bersten

AD, Soni N, Oh TE [ed.]. Oh’s intensive care manual. 5th ed.

London: Butterworth Heinemann. 2003.p.113-26

6. Offner PF, Moore EE. Risk factors for MOF and pattern of

organ failure following severe trauma. Dalam: Baue AE, Faist E,

Fry DF eds. Multiple organ failure. New York: Springer.

2000.p.30-43.

553

Page 8: Mods

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

7. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA,

et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for

the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Con-

sensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644-55.

8. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling -

regulation of the immune response in normal and critically ill

states. Crit Care Med. 2000;28(Suppl):N3-12.

9. Buchman TG. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam:

Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass

HI, et al [ed.]. Surgery, basic science and clinical evidence. New

York; Springer: 2000.p.321-6.

10. Singer M. Management of multiple organ failure: guidelines but

no hard-and-fast rules. J of Antimicrobial Chemotherapy.

1998;41(Suppl):A103-12.

11. Saadia R, Schein M. Multiple organ failure. How valid is the “two

hit” model? J Accid Emerg Med. 1999;16:163-7.

12. Biffl W, Oka T, Cioffi WG. Surgical critical care. Dalam: Townsend

CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL [ed.]. Sabiston text-

book of surgery. 17th ed. Philadelphia; Elsevier: 2004.p.613-39.

13. MacCallum NS, Quinlan GJ, Evans TW. The role of neutrophil-

derived myeloperoxidase in organ dysfunction and sepsis. Dalam:

Vincent J-L eds. Yearbook of intensive care and emergency medi-

cine 2007. New York; Springer: 2007.p.173-87.

14. Mahidhara R, Billiar TR. Apoptosis in sepsis. Crit Care Med.

2000;28(Suppl):N105-13.

15. Sakr Y, Sponholz C, Reinhart K. Organ dysfunction in the ICU:

a clinical perspective. Dalam: Vincent J-L [ed.]. Yearbook of

intensive care and emergency medicine 2007. New York; Springer:

2007.p.238-45.

16. Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care: organ dysfunc-

tion. Med J. 1999;318:1606-9.

17. Vincent J-L. Septic shock. Dalam: Fink MP, Abraham E, Vincent

J-L, Kochanek PM eds. Textbook of critical care. 5th ed. Phila-

delphia; Elsevier: 2005.p.1259-65.

18. Deitch EA. Multiple organ failure: patophysiology and potential

future therapy. Ann Surg. 1992;216(2):117-34.

19. Regel G, Grotz M, Weltner T, Sturm JA, Tscherne H. Pattern of

organ failure following severe trauma. World J Surg. 1996;20:422-

9.

20. Marshall JC, Cook DJ, Christou NV, Bernard GR, Sprung CL,

Sibbald WJ. Multiple organ dysfunction score: a reliable descrip-

tor of a complex clinical outcome. Crit Care Med. 1995;23

(10):1638-52.

21. Vincent J-L, Ferreira F, Moreno R. Scoring systems for assessing

organ dysfunction and survival. Critical Care Clinics.

2000;16(2):353-63.

22. Vincent J-L, Moreno L, Takala J, Willatts S, De Mendonca A,

Bruining H, et al. The SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assess-

ment) score to describe organ dysfunction/ failure. On behalf of

the Working Group on Sepsis-Related Problems of the European

Society of Intensive Care Medicine. Intensive Care Med.

1996;22(7): 717-20.

23. Le Gall JR, Klar J, Lemeshow S, Saulnier F, Alberti C, Artigas A, et

al. The Logistic Organ Dysfunction System. A new way to assess

organ dysfunction in the intensive care unit. ICU Scoring Group.

JAMA. 1996;276(10):802-10.

24. Johnson D, Mayers I.Multiple organ dysfunction syndrome: a

narrative review. Canadian Journal of Anethesia. 2001:502-9.

25. Fry DE, Pearlstein L, Fulton RL, Polk HC. Multiple system

organ failure: the role of uncontrolled infection. Arch Surg.

1980;115:136-40.

26. Ciesla DJ, Moore EE, Johnson JL, Burch JM, Cothren CC, Sauaia

A. A 12-year prospectives study of postinjury multiple organ

failure. Arch Surg. 2005;140:432-40.

MS

554