MODERNISASI PENGEMBANGAN WAKAF PRODUKTIF (Studi...
Transcript of MODERNISASI PENGEMBANGAN WAKAF PRODUKTIF (Studi...
i
MODERNISASI PENGEMBANGAN WAKAF PRODUKTIF
(Studi Tokoh Pemikiran Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
MUHAMMAD ARIEF FATHONI
NIM : 1113044000101
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2018 M
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan Salam semoga selalu
tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat
dan umatnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
kekurangan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat rahmat Allah
swt serta pengarahan dan motivasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kepentingan
bersama.
Selama penulisan skripsi ini tentunya penulis mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak yang telah mendukung dan membimbing penulis. Kasih yang tulus
serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta
para jajarannya
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan juga kepada Bapak Indra Rahmatullah,S.H.I, MH, selaku
sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, penulis mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan, perhatian, serta arahan yang selama
ini diberikan.
3. Bapak Dr. KH. Ahmad Juwaini Syukri,MA,. sebagai pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya, membimbing,
vi
memberikan pencerahan, ilmu, serta motivasi kepada penulis selama
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan yang telah memberikan
waktu luangnya kepada penulis untuk melakukan wawancara dan
mendapatkan data-data penelitian.
5. Ustad H. Muhammad Yunus Hasyim, S.Ag. Putra ideologis Kiai
Tholhah yang membantu membukakan jalan dan juga telah banyak
memberikan pelajaran hidup
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mencurahkan
segala kemampuannya guna memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai
harganya. Serta kepada civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah yang
telah memberikan pelayanan terbaiknya.
7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda tercinta
(Alm) KH. Ahmad Sanusi, BA,. dan Ibunda tercinta H. Patmah yang
telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, serta tak putus-putusnya
memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menempuh
pendidikan terkhusus Mpok Siti Zulfah, S.Ag.,M.Si., dan Abah Drs.
KH. Elang Charta Sholahuddin yang membantu administrasi penulis
sampai selesai.
8. Abang Zulfahmi,A.Md. dan Mpok Miskiyah, Abang Ahmad Yusron,
A.Md. dan Mpok Siti Nurbaya, A.Md., Imron Rosyadi, A.Md. dan
Mpok Elisabeth Rosyadi, Abang Wahyudi, S.T. dan Mpok Rosita,
Mpok Istianah, S.Sos.I dan Abang As’ad, S.Sos.I. Serta seluruh
keluarga besar Bani Saobah dan para keponakan M. Agil Mubarok,
Rhatu, Zahirah, Naila, Roro, Qotrun, Azzah, dan Adila.
9. Teman-teman Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2013 yang
telah memberikan saran dan dukungan pada penulis.
10. Sahabat-sahabati keluarga besar PMII Komfaksyahum dan sahabat-
sahabati PMII Trigger 2013, Ikatan Keluarga Alumni Daarul Rahman
vii
Cabang Tangerang Selatan, PW Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi
Tangerang Selatan, PP Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi,
11. Alumni RA Caffe Wildan Husna, S.Pd., Syahroni, S.Ag., Siti
Mahfuzhoh, S.H., Riski Ardi, S.Kom.,
12. Teman-teman BIM Annisa Nurul Jannah, S.Sos., Annisaa, S.Psi.,
Syukron Zazilah, S.Sos., Zakki al-Amin, S.Pd., Nurjannah, S.E., dan
Amil Haq, S.H.,
13. Teman-teman yang berada di Malang Ilyas, Apip, Wisnu, Anisaul
Khoiriyah, S.H., dan Ahmad Zakky, S.E. yang telah membantu
memfasilitasi penulis selama penelitian di sana
Demikianlah penulis haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya, karena
berkat do’a, motivasi, fasilitas, arahan dan bimbingan dari mereka penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu
dalam penulisan skripsi ini semoga segala amal dan kebaikannya mendapat balasan
berlimpah dari Allah SWT. Amin
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jakarta, 02 Januari 2018
Penulis
viii
ABSTRAK
Muhammad Arief Fathoni. MODERNISASI PENGEMBANGAN WAKAF
PRODUKTIF (Studi Tokoh Pemikiran Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan).
Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
Ix+76 halaman
Wakaf dikalangan masyarakat masih diartikan hanya sebagai sebuah benda mati
yang harus dihidupkan, namun seorang tokoh intelektual Nahdlatul Ulama sekaligus
praktisi wakaf Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan yang membawa gagasan baru
tentang modernisasi pengembangan wakaf produktif. Studi Ini bertujuan untuk
mengetahui tentang latar belakang pemikiran Kiai Tholhah Hasan, bentuk
modernisasi wakaf produktif menurut Kiai Tholhah Hasan, dan manajemen wakaf
produktif menurut pemikiran Kiai Tholhah Hasan
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan pendekatan normatif. Sumber data terdiri dari sumber data primer dari
hasil wawancara dengan tokoh yang penulis kaji. Serta sumber data sekunder yang
didapat dari literature-literatur hukum yang terkait dengan objek penelitian. Teknik
pengumpulan data digunakan melalui studi kepustakaan. Adapun analisis
menggunakan metode deskriptif kualitatif sehingga menghasilkan kesimpulan dari
data-data yang terkumpul.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa latar belakang pemikiran Kiai Tholhah
Hasan dalam bidang wakaf yaitu berangkat dari keperihatinan sosial yang mana
beliau melihat bahwa banyak umat Islam yang selalu terbentur sumber dana ketika
ingin menjalankan dan mengembangkan agama Islam. Keperihatinan theologis
(keyakinan). Yakni beliau yakin bahwa dalam ajaran Islam ada perangkat-perangkat
yang apabila diaktualisasikan sesuai perkembangan zaman akan dapat membantu
mensejahterakan ekonomi umat. Selanjutnya beliau menawarkan sebuah gagasan agar
wakaf jangan lagi diartikan sebagai sebuah harta benda mati, melainkan sebuah aset
yang apabila dikelola dengan baik dan benar dapat membawa suatu peradaban baru
bagi umat Islam. Kemudian untuk dapat menjadikan harta benda wakaf itu menjadi
produktif, peranan nazhir sangatlah berpengaruh. Oleh karena itu, beliau
mengutarakan bahwa nazhir haruslah memiliki kompetensi dan pengetahuan yang
baik tentang wakaf, juga perlu diberikannya upah bagi nazhir untuk meningkatkan
kualitas kinerjanya.
Kata Kunci : Wakaf, Modernisasi, Muhammad Tholhah Hasan
Dosen Pembimbing : Dr. A. Juaini Syukri, Lcs, MA
Bahan Pustaka : 1993-2017
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 7
C. Rumusan Masalah ................................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 9
E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ............................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG WAKAF
A. Pengertian Wakaf .............................................................................. 17
1. Wakaf Menurut Bahasa ............................................................ 18
2. Wakaf Menurut Istilah .............................................................. 19
3. Wakaf Menurut Undang-undang ............................................. 23
B. Dasar Hukum Wakaf ......................................................................... 24
1. Wakaf Menurut Al-Quran ........................................................ 25
2. Wakaf Menurut Hadis .............................................................. 26
3. Wakaf Menurut Peraturan Perundang-undangan ..................... 28
C. Rukun dan Syarat Wakaf .................................................................. 29
x
1. Waqif ........................................................................................ 3o
2. Mauquf ..................................................................................... 33
3. Mauquf Alaih ........................................................................... 33
4. Sighat Wakaf ............................................................................ 34
D. Pengertian dan Kriteria Nazhir ......................................................... 37
BAB III BIOGRAFI KH. MUHAMMAD THOLHAH HASAN
A. Sosok KH. Muhammad Tholhah Hasan ................................................. 41
B. Latar Belakang Keluarga KH. Muhammad Tholhah Hasan ................... 42
C. Pendidikan KH. Muhammad Tholhah Hasan ......................................... 46
D. Rekam Jejak Perjalanan KH. Muhammad Tholhah Hasan ............. ........ 50
E. Karya-karya KH. Muhammad Tholhah Hasan .............................. ......... 52
BAB IV PEMIKIRAN PROF.DR.KH. MUHAMMAD THOLHAH HASAN
A. Latar Belakang Pemikiran Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan .. 54
B. Modernisasi Pengembangan Wakaf Produktif......................................... 56
C. Manajemen Pengembangan Wakaf ......................................................... 58
a) Pengangkatan Nazhir .............................................. .......................... 59
b) Peran Nazhir Terhadap Harta Wakaf .............................................. .. 61
1. Kiprah Kaum Wanita dalam Wakaf ...................................... 64
2. Peran Wakaf dalam Dunia Pendidikan ................................. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 68
B. Saran-saran .............................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 70
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 74
1
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Prof. Dr (HC) KH. Muhammad Tholhah Hasan adalah seorang ulama besar
milik bangsa Indonesia dengan corak pemikirannya yang khas dan sangat
berpengaruh besar sampai saat ini, sumbangsih pemikiran beliau yang sangat
transformatif dalam perkembangan agama Islam di Indonesia dalam bidang ilmu
wakaf. Gagasan-gagasan beliau sampai saat ini masih mewarnai kehidupan
Bangsa dan Agama masyarakat Indonesia. Beliau adalah sosok Kiai yang cerdas,
gemar membaca, dan gemar mempelajari berbagai ilmu pengetahuan Agama
maupun pengetahuan umum. Semasa kecil beliau belajar secara regular di sekolah
umum yang dahulu dikenal dengan sebutan Sekolah Rakyat (SR), akan tetapi
diselah-selah jenjang pendidikan yang beliau jalani saat itu, sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk mempelajari pengetahuan Agama di berbagai pondok
pesantren. Pendidikan pada saat di pesantren-lah yang paling dominan
membentuk pola pikir dan dasar-dasar keilmuan yang beliau miliki.
KH Muhammad Tholhah Hasan juga merupakan seorang kiai organistatoris,
dari pengalaman hidupnya beliau pernah menjabat sebagai ketua tanfidziyah
Pengurus Besar Nahdhotul Ulama, Menteri Agama pada zaman kepemimpinan
KH. Abdur Rahman Wahid. Pada saat usia 70 tahun, KH. Muhammad Tholhah
Hasan diberikan kado istimewa yaitu berupa buku biografi tentang dirinya yang
penulisan buku tersebut diketuai lansung oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang
diberi judul dengan “Kyai Multitalenta”. Pemberian judul buku tersebut menurut
ketua tim penulis didasari oleh beragam kemampuan yang di miliki oleh KH.
Muhammad Tholhah Hasan yang mampu mewarnai setiap lembaga yang
dipimpinnya.1
Selain itu KH. Muhammad Tholhah Hasan adalah sosok yang membawa
perubahan baru dalam sejarah perkembangan ilmu wakaf yang ada di Indonesia
ini. Beliau membuat sebuah paradigm baru tentang pemberdayaan masjid.
Selama ini yang kita ketahui dan kita rasakan bahwa masyarakat yang
1 http://www.nu.or.id/post/read/60403/kh-tolchah-hasan-sosok-kiai-organisator
1
2
memberdayakan dan menghidupkan masjid, akan tetapi konsep dan pola
pemikiran semacam itu diubah oleh beliau dengan masjid sebagai pemberdaya
masyarakat. Buah pemikiran yang beliau gagas dapat dibuktikan dan ditinjau di
sebuah masjid yang berada di Singosari kota Malang Jawa Timur, yang mana
beliau mengumpulkan para tukang becak disekitar lokasi masjid untuk
diberdayakan sebagai sumber pengembangan masjid.
KH. Muhammad Tholhah Hasan juga pernah menjabat sebagai ketua Badan
Wakaf Indonesia (BWI) yang kemudian pasca kepemimpinannya beliau diangkat
sebagai Dewan Pembina Badan Wakaf Indonesia sampai saat ini. Selama masa
kepimpinannya, beliau mampu membawa perubahan besar dalam bidang wakaf
yang ada di Indonesia, beliau berhasil mengembangkan lembaga pendidikan
Raudhotul Athfal sampai menjadi sebuah perguruan tinggi Universitas Islam
Malang. Tak hanya itu, selain kesibukan beliau menjalani organisasi dan lembaga
yang dipimpinnya, beliau juga aktif dalam dunia jurnalistik, beliau banyak
menulis buku-buku dan jurnal-jurnal yang berisi dengan inovasi baru tentang
dunia wakaf dan memberdayakan manusia.2
Gagasan yang beliau kemukakan amat sangat menarik untuk ditelaah lebih
jauh dan lebih mendalam, terkait tentang bagaimana beliau dapat membuat dan
merumuskan suatu pola pikir yang inovatif dengan merubah konsep untuk
memberdayakan masyarakat untuk masjid. Perkataan waqaf, yang menjadi kata
wakaf dalam bahasa Indonesia, berasala dari kata kerja bahasa Arab waqofa yang
berarti menghentikan, berdiam di tempat, atau menahan sesuatu. Pengertian
wakaf jika kita hubungkan dengan harta maka akan memiliki pengertian menahan
suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran agama Islam. 3
Berkaitan dengan wakaf, pemerintah Negara Kesatuan republik Indonesia
telah memberikan titik terang dengan adanya suatu aturan baku yang di keluarkan
oleh secara resmi oleh lembaga Negara yaitu Undang-undang nomor 41 Tahun
2 Nasaruddin Umar dkk, Kyai Multitalenta (Sebuah Oase Spritual KH.
Muhammad Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Centre, 2006), 3 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (UI-Press,
Jakarta,1988), h.85.
3
2004 Tentang Wakaf (selanjutnya disebut Undang-undang wakaf) dan Peraturan
Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf (PP Wakaf). Ekesistensi wakaf dalam kehidupan
sosial masyarakat amat sangat dibutuhkan akan keberadaannya, demikian karena
dalam Islam, lembaga wakaf diharapkan dapat menanggulangi segala kebutuhan
jangka panjang umat, dan menjadi sub-sistem lembaga baitul mal jika dikelola
secara profesional.
Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan
peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika
saja wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi
pertiwi ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Contoh keberhasilan dari negara
muslim Arab Saudi yang memanfaatkan hasil wakaf untuk membantu
membangun dua kota suci Makkah dan Madinah. Wakaf ditujukan untuk
kemajuan dan kemakmuran negara.
Demikian pula dengan Singapura negara ini menggunakan pembiayaan sukuk
musyârakah, dengan menjalin kerjasama antara investor lain dengan dana wakaf,
dana Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Di Singapura sejak tahun 1990,
MUIS mengatur manajemen dan administrasi wakaf untuk menunjang efisiensi
dan efektifitas aset wakaf. Pembangunan lahan-lahan komersial dari asset wakaf
dilakukan di Jabbar. 4
Indonesia merupakan dari bagian Negara terbesar di dunia yang struktur
ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang
strategis di monopoli oleh segelentir orang (kalangan feodalis tradisional dan
masyarakat modern kapitalis) yang menerapkan prinsip ekonomi Ribawi sampai
saat ini. Dua kelompok tersebut masih begitu meawarnai tumbuh berkembang
dalam lalu lintas perekonomian yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini.5
4 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/esensi
5 Achmad Djunaidi, Thobieb Al- Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet. 3
(Jakarta: Mitra Abadi Press 2006), h. 6.
4
Jika kita cermati lebih jauh secara mendalam, ditemukan bukti-bukti empiris
bahwa pertambahan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
bukanlah karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah
penduduk (over population) akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang
baik serta rendahnya rasa kesetiakawanan di antara sesame anggota masyarakat.
Sedangkan untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh bukanlah
persoalan yang mudah untuk dikerjakan, karena kesejahteraan baik material
maupun spiritual hanya mungkin tercapai dengan beberapa kondisidiantaranya
dengan melaksanakan beberapa asas yang penting untuk mewujudkan
kesejahteraan yaitu terjaminnya hak-hak asasi manusia dan termasuk hak
mendapat keadilan.
Islam sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia dan merupakan agama
yang paling banyak penganutnya, sebenarnya mempunyai beberapa lembaga yang
diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu
salah satunya adalah institusi wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial
Islam yang erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf
merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat
berkembang dengan baik dibeberapa negara muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir,
Turki, Yordania Qatar, Kuwait dan lain-lain. Hal tersebut karena lembaga ini
memang sangat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan umat.
Berdasarkan data yang ada dalam masyarakat, pada umumnya wakaf di
Indonesia digunakan untuk masjid, musholla, sekolah, ponpes, rumah yatim piatu,
makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang
memerlukan , khususnya kaum fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari
kepentingan peribadatan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh
positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya
terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara
produktif, maka kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang diharapkan dari
lembaga wakaf, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
5
Data dari Direktorat Wakaf Kementerian Agama tahun 2014 menunjukkan
sebanyak 435,395 tanah wakaf yang tersebar di 34 propinsi. Upaya database
online yang dilakukan Kementerian Agama ke dalam Sistem Informasi Wakaf
(SIWAK) menunjukkan 70% dari total tanah yang sudah diinput per Juni 2017.
Tanah wakaf untuk makam berjumlah 4.36%. peruntukkan wakaf tanah
didominasi oleh tujuan ibadah, yaitu untuk pendirian mushalla dan masjid,
sedangkan sisanya untuk kepentingan sosial berjumlah 8.34%.
Di masa pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang cukup memprihatinkan ini,
peran wakaf sangat strategis jika wakaf dikelola secara produktif. Peruntukan
wakaf yang kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan cenderung
untuk kepentingan ibadah khusus (mahdhah) dapat dimaklumi, karena memang
pada umumnya ada keterbatasan umat Islam tentang pemahaman wakaf, baik
mengenai harta yang diwakafkan maupun peruntukannya.
Pengelolaan benda wakaf produktif sesungguhnya merupakan suatu amanat
Undang-undang, dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Inonesia Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang antara lain berbunyi : peruntukan benda
wakaf tidak semata-mata untuk sarana kepentingan Ibadah dan sosial melainkan
diarahkan pula untuk meuwujudkan kesejahteraan umum dengan cara
meningkatkan potensi dan dan manfaat ekonomi benda wakaf. Hal ini
memungkinkan pengelolaan benda wakafdapat memasuki wilayah kegiatan
ekonomidalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip-
prinsip manajemen dan ekonomi syariah”.6
Pernyataan di atas memberikan pengertian bahwa dalam mengelola benda
wakaf harus di olah secara optimal, sehingga dapat meningkat manfaatnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan manfaat yang berada dalam benda
wakaf, tentunya harus mengintensifkan pengelolaan benda wakaf, tidak hanya
menjadi benda jamad yang tidak mengahsilkan sesuatu, akan tetapi harus diolah
sedemikian rupa agar dapat menghasilkan sesuatu yang dapat bermanfaat.
6 Kitab Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
6
Dalam khazanah Fiqh Muamalat atau kajian-kajian ekonomi syariah, disitu
kita ditawarkan beraneka macam akad (perjanjian) yang dapat dijadikan sebagai
metode atau model dalam mengembangkan benda wakaf secara produktif. Pada
dasarnya transaksi dalam ranah Muamalat berasal dari akad al-Ba‟I (jual-beli) dan
akad al-ijarah (sewa-menyewa). Yang kemudian akad tersebut dikembangkan
menjadi berbagai macam akad seperti akad ijarah al-„amal (perburuhan), al-
ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik (sewa-menyewa yang berakhir dengan
kepemilikan atas barang yang di sewa, al-mudharabah (bagi hasil), al-
musyarakah (persekutuan dagang), dan lain-lain.7
Melakukan pengelolaan wakaf produktif pada hakikatnya adalah melakukan
kegiatan manajemen. Unsur-unsur manajemen yaitu perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan.8 Perencanaan atau planning adalah suatu
kegiatan awal di sebuah pekerjaan dalam bentuk memikirkan hal-hal yang terkait
dengan pekerjaan itu agar mendapat hasil yang optimal. Oleh karena itu,
perencanaan merupakan sebuah keniscayaan, sebuah sebuah keharusan disamping
sebagai sebuah kebutuhan.9
Dalam konteks wakaf, tentunya tak lepas dengan rukun wakaf yang ada,
adanya Wakif, Mauquf Alaih, dan Nadzir. Tiga hal itu menjadi dasar pokok untuk
mengelola dan mengembangkan wakaf. Akan tetapi, saat ini menurut KH.
Muhammad Tholhah Hasan, peranan nadzir sangatlah berpengaruh untuk
bagaimana barang yang di wakafkan itu dapat berkembang, ada tiga hal yang
menjadi prinsip utama untuk mengembangkan wakaf. Pertama, dapat memelihara
kepercayaan Tuhan. Kedua, dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Ketiga,
dapat memelihara kepercayaan masyarakat.10
7 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta,
UII-Press 2003), h.6. 8 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta, Pustaka
Alfabet, 2006), h.9. 9 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), h.77 10
Disampaikan dalam forum Media Gathering dan Launching Pedoman
Aakuntasnsi Wakaf pada hari rabu, 09 Agustus 2017 di Hotel Sultan.
7
Tiga hal itu bilamana diringkas akan menjadi satu kunci prinsip dasar bagi
nadzir untuk mengembangkan harta wakaf yang diterimanya akan menjadi social
trust (Kepercayaan sosial). Sebab masyarakat dan sosial itu hanya ada dua kata
kerja, berubah atau tetap dalam kejumudan. Namun disamping itu, perubahan
yang ada pada keduanya mempunyai dua akibat, ada yang membawa akibat
menguntungkan dan membawa pengaruh positif, yang berarti membawa kemajuan
dan perkembangan (progress), da nada juga perubahan yang mempunyai akibat
merugikan serta membawa pengaruh negatif yang berarti membawa suatu
kemunduran (regress), seperti banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikaan
masyarakat tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak
dapat mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.11
Hal yang mendasar bagi penulis terkait dengan bagaimana KH. Muhammad
Tholhah Hasan mampu membawa lembaga yang dipimpinnya menjadi
berkembang pesat adalah tentang bagaimana beliau menafsirkan kembali wakaf
dapat menjadi suatu kepentingan dan kesejahteraan bagi masyarakat, juga tentang
bagaimana memberdayakan nadzir dengan potensi-potensi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, melihat gagasan-gagasan dan teori yang beliau sampaikan baik
dalam forum ceramah maupun dalam bentuk karya tulis yang kemudian beliau
aktualisasikan di lapangan, penulis sangat tertarik untuk membahas dan mengkaji
secara mendalam tentang pemikiran beliau dalam bidang wakaf, yang nantinya
akan menjadi suatu tema judul berupa Modernisasi Pengembangan Wakaf
Produktif (Studi Pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Melihat latar belakang dijabarkan di atas, penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah, yaitu :
a) Bagaimana corak pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan.
11
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2000), h. 19.
8
b) Bagimana pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam
bidang fiqh.
c) Bagaimana pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam
bidang sosial.
d) Bagaimana pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam
bidang wakaf.
e) Apa yang mempengaruhi pemikiran KH. Muuhammad Tholhah
Hasan.
f) Apa Kelemahan dan kekurangan nadzir.
g) Apa kelemahan manajemen wakaf.
h) Bagaimana pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan tentang
pemahaman masyarakat yang masih rendah tentang wakaf.
i) Bagaimana pemikiran KH. Muhammad Thohah Hasan tentang
wakaf tidak hanya untuk urusan ibadah spiritual.
j) Bagaimana pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan tentang
modernisasi pengembangan wakaf produktif
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ditemukan, pembatasan
permasalahan ini berkisar pada permasalahan di poin sepuluh, yaitu
bagaimana modernisasi pengembangan wakaf produktif menurut
pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan.
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, penulis
merumuskan pernyataan penelitian sebagai berikut :
a. Apa yang melatar belakangi pemikiran Prof. Dr. KH. Muhammad
Tholhah Hasan dalam bidang wakaf ?
b. Bagaimana modernisasi pengembangan wakaf produktif menurut
Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan ?
9
c. Bagaimana manajemen pengembangan wakaf produktif menurut
Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran KH. Muhammad
Tholhah Hasan
b. Untuk mengetahui pemikiran Prof. Dr. KH. Muhammad
Tholhah Hasan tentang modernisasi pengembangan wakaf
produktif
c. Untuk mengetahui pemikiran Prof. Dr. KH. Muhammad
Tholhah Hasan tentang manajemen pengembangan wakaf
produktif
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kecintaan
masyarakat terhadap Ulama-ulama Indonesia seperti KH.
Muhammad Tholhah Hasan.
2) Agar mahasiswa termotivasi dan berminat untuk mengenal dan
mengkaji pemikiran Ulama Indonesia yang terdahulu maupun
yang sekarang.
3) Agar mahasiswa dapat termotivasi untuk mendalami tentang
wakaf produktif.
b. Secara Praktis
Penelitian ini sebagai upaya pengembangan pengetahuan dan
pelatihan membuat karya ilmiah bagi peneliti sendiri maupun orang
lain, juga diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah
pengetahuan dibidang hukum, khususnya hukum keluarga.
10
D. Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian terdahulu
yang menjadi acuan antara lain:
Nama Judul Perbedaan
Fitra Hayani,
Perbandingan Mazhab
Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
2012. Skripsi.
Wakaf tunai dalam
perspektif ulama fiqh :
studi analisis pendapat
ulama Hanafiyah da
safi'iyah.
1. Dalam penelitian
tersebut, penulis
membahas
tentang wakaf
tunai yang
kemudian di
komparasikan
dengan dua
pendapat Ulama
mazhab
Hanafiyah dan
Ulama mazhab
Syafi‟iyah.
Sedangkan dalam
karya tulis ini,
penulis akan
membahas
tentang
bagaimana
modernisasi
pengembangan
wakaf produktif
yang diambil dari
pemikiran salah
satu tokoh Ulama
11
Indonesia yaitu
KH. Muhammad
Tholhah Hasan.
A. Hakim, Universitas
Islam Indonesia
Jogjakarta, 2010.
Jurnal.
Manajemen Wakaf
Produktif Dan
Inventasi Dalam Sistem
Ekonomi Syariah.
1. Dalam jurnal
yang ditulis ini,
penulis
memberikan
penjabaran
manajemen wakaf
produktif dan
investasi dalam
system ekonomi
syariah, penulis
menuliskan secara
global tentang dua
hal tersebut.
Sedangkan
penulis dalam
karya tulis ini,
penulis akan
membahas secara
spesifik seputar
modernisasi
pengembangan
wakaf produktif
menurut Prof. Dr.
KH. Muhammad
Tholhah Hasan.
12
Setyaningsih,
Universitas Islam Negri
Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2008. Thesis.
Pemikiran Pendidikan
Islam Muhammad
Tholhah Hasan.
1. Dalam tulisan
thesis ini, penulis
memberikan
penjabaran
tentang studi
pemikiran KH.
Muhammad
Tholhah Hasan
dalam bidang
pendidikan yang
membahas bahwa
pendidikan Islam
tidak hanya
terbatas pada
lembaga ke-
Islaman saja,
seperti pondok
pesantren atau
madrasah.
Sedangkan dalam
karya tulis ini,
penulis
membahas
tentang
bagaimana
pemikiran Prof.
Dr. KH.
Muhammad
Tholhah Hasan
tentang
modernisasi
13
pengembangan
wakaf produktif.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari. Mencatat,
menemukan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai
tujuan.12
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah
penelitian library research,merupakan penelitian yang mengambil bahan-
bahan kajiannya pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang
diteliti itu sendiri, maupun wawancara langsung dengan tokoh itu sendiri
atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber yang ditulis oleh
orang lain mengenai yang ditelitinya. Karena penelitian ini bertujuan
menelaah atau mengkaji suatu kitab atau buku mengenai , maka jenis
penelitan yang sesuai adalah penelitian pustaka yang bercorak deskriptif.13
2. Tehnik Pengumpulan Data
Adapun sumber data yang peneliti gunakan pada keperluan penelitian
kali ini adalah sebagai berikut :
a. Data primer
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud
khusus menyelasaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data
12
Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara
Pustaka) h. 1 13
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,
(Jakarta: PT. Renika Cipta, 2..006), Cet. I, h. 95-96
14
dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau
tempat objek penelitian dilakukan.14
Data primer ini merupakan sumber utama yang berperan dalam
pengumpulan data untuk kepentingan peneliti untuk penelitiannya.
Karena penelitian ini berjenis kajian empiris dan pustaka, maka
sumber utamanya merupakan tokoh yang bersangkutan dan sebuah
karya atau buku yang ditulis oleh tokoh yang akan diteliti
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang dijadikan penunjang dalam
pengumpulan data yang peneliti butuhkan.Data sekunder yang penulis
gunakan berupa buku- buku atau sumber- sumber tertulis lainnya
adalah segala yang berkaitan tentang variabel atau fokus penelitian
yang penulis teliti.
3. Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, langkah berikutnya adalah
membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-
data yang relevan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya
penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh baik secara
deskriptif maupun akomparatif.
4. Analisa Data
Selanjutnya dalam menganalisa data yang telah terkumpul, penulis
menggunakan teknik deskriptif analitik, yaitu teknik analisa data
menggunakan, menafsirkan serta mengklasifikasikan dengan
membangdingkan fenomena-fenomena pada masalah yang diteliti melalui
langkah mengumpulkan data, dan mengintrepretasi data. Adapun metode
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2009), Cet. VIII, h. 137
15
berpikir yang digunakan adalah metode berfikir induktif, karena pada
dasarnya penelitian kualitatif menggunakan analisa induktif.15
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis
menjadikan sistematika penulisan ini dalam lima bab, yang mana ke lima bab
tersebut terdiri dari sub-sub yang terkait. Sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I, dalam bab ini penulis menuliskan pendahuluan yang meliputi
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metodologi penelitian, metode analisis dan sistematika penulisan.
BAB II, dalam bab ini merupakan sebuah landasan teori, yang nantinya
akan diuraikan kajian pustaka dan beberapa teori yang dapat digunakan
sebagai kerangka pemikiran teori atau landasan pemikiran, seperti pengertian
wakaf, rukun, dan syarat wakaf.
BAB III, dalam bab ini penulis akan menuliskan riwayat perjalanan hidup
KH. Muhammad Tholhah Hasan atau biografi beliau.
BAB IV, dalam bab ini merupakan penelitian dan analisis pemikiran Prof.
Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan, yang nantinya akan membahas tentang
latar belakang pemikiran KH. Muhammad Tholhah Hasan, modernisasi wakaf
menurut Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan, dan Manajemen Wakaf
Produktif menurut Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan
BAB V, bab ini adalah merupakan kajian penutup yang mana nantinya
penulis akan menyimpulkan berkenaan dengan pembahasan yang penulis
lakukuan, juga sekaligus menjawab rumusan masalah yang penuis gunakan.
15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. XXIX, h. 10
16
Kemudian uraian terakhir berisi saran yang dapat dilakukan untuk kajian lebih
lanjut yang berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
17
BAB II
Kajian Teori Tentang Wakaf
Secara historis, institusi wakaf memiliki sejarah yang panjang dan telah
dipraktikkan sejak awal perkembangan agama Islam, baik dalam bentuk wakaf
benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, maupun dalam bentuk wakaf
benda bergerak, seperti hewan dan buku. Dalam sejarah Islam sendiri, wakaf
dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad SAW semasa
beliau berada di kota Madinah yang ditandai dengan adanya pembangunan masjid
Quba. Ini dipandang sebagai wakaf pertama dalam Islam. Kemudian, dilanjutkan
dengan pembangunan masjid Nabawi di atas tanah kepunyaan anak yatim piatu
yang dibeli Rasulullah SAW yang kemudian diwakafkannya.
Selanjutnya, Ustman ibn Affan juga membeli sumur dan mewakafkannya
untuk kepentingan kaum Muslimin ketika itu. Tak hanya orang Muslim saja yang
pernah mewakafkan hartanya, melainkan ada seorang non Muslim pada zaman
Rasululah yang melakukan wakaf, orang itu bernama Mukhairiq dari agama
Yahudi. Suatu ketika Mukhairiq pernah berkata jika dirinya terbunuh dalam
Perang Uhud, maka tanah miliknya akan menjadi milik Nabi Muhammad SAW.
Ternyata Mukhairiq tewas dan tanahnya pun secara otomatis pindah kepemilikan
ke tangan Rasulullah yang kemudian diwakafkan lah tanah itu dan sebagian
hasilnya digunakan untuk kepentingan umat Islam. Abu Thalhah salah seorang
sahabat Nabi juga mewakafkan harta yang dicintainya itu. Selanjutnya pada masa
awal Islam tahun ke-7 Hijriah, salah seorang yang juga sahabat Nabi yaitu Amirul
Mukminin Umar bin Khattab juga pernah mewakafkan tanahnya yang didapat dari
hasi rampasan perang Khaibar. Hal inilah yang menjadi landasan utama dalam
kajian ilmu fikih yang dipandang sebagai bentuk wakaf pertama dalam Islam.16
A. Pengertian Wakaf
Pranata wakaf adalah suatu pranata yang berasal dari hukum Islam, oleh
karena itu apabila membicarakan tentang masalah perwakafan pada umumnya dan
16
Monzeer Kaf, Al-Waqf al-Islami Tathawwaruh, Idaratuh, Tanmiyatuh,
(Damaskus: Dar al-fikr, 2000). h. 19-22
17
18
perwakafan tanah pada khususnya, tidak mungkin untuk melepaskan diri dari
pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut ajaran hukum Islam. Akan tetapi,
dalam hukum Islam tidak ada konsep yang tunggal tentang wakaf ini, karena
banyak pendapat yang sangat beragam.17
Diantara program yang dianjurkan Islam untuk dilaksanakan kaum Muslimin
adalah wakaf. Yang mana wakaf merupakan central Volunter ekonomi Islam yang
berfungsi sebagai asset konstruksi pembangunan, demi kesejahteraan masyarakat.
Dan perlu diketahui bahwa, pada prinsipnya wakaf merupakan suatu ajaran yang
dianjurkan kepada para hartawan untuk memperhatikan orang-orang yang taraf
ekonominya jauh dibawah mereka, dengan cara mengeluarkan harta pribadi yang
dimilikinya dan menjadikannya sebagai dana abadi bagi umat yang kemudian
hasilnya dimanfaakan untuk membantu kebutuhan, membina, dan mengangkat
derajat manusia.18
1. Wakaf Menurut Bahasa
Dalam merumuskan definisi wakaf, di kalangan ulama fikih terjadi
perbedaan pendapat. Perbedaan rumusan dari definisi wakaf ini berimplikasi
terhadap status harta wakaf dan akibat hukum yang dimunculkan dari wakaf
tersebut. Secara etimologi, waqf dalam bahasa Arab diartikan dengan al-habs
„menahan‟, „al-man‟u‟ menghalangi.19
Penulisan kata wakaf dalam bahasa Indonesia dapat dengan kata (wakaf)
ataupun (wakap). Kata ini diambil dari bahasa Arab yaitu kata benda abstrak
(mashdar) وقف atau kata kerja يقف -وقف yang dapat berfungsi sebagai kata
kerja instansif (fi‟il lazim) atau transitif ( fi‟il muta‟addi). Akan tetapi,
pengertian yang dipakai dalam tulisan ini ialah kata wakaf dari bentuk kata
kerja transitif.20
17
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah mmilik dan Kedudukan Tanah
Wakaf di Negara Kita, (Bandung: Citra Aditya Bhakti 1994, h. 15. 18
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI, Kumpulan Khutbah
Wakaf, 2013 19
Ibn Manzhur Jamal al-din Muhammad ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-
Arab, (Cairo:Dar al-Ma‟arif),jilid 6 h. 4898. 20
Praja Juhaya, Perwakafan di Indonesia, (Bandung:Yayasan Plara, 1995), h. 6.
19
Dalam literatur fikih seringkali dijumpai istilah-istilah yang semakna
dengan wakaf, baik alam penggunaan bentuk mashdar nya maupun kata
kerjanya (fi‟il). Seperti kata :
سبل -حبس, أحبس, صدقة, حترمي, سبيل, يسبل
Perlu diperhatikan bahwa kata wakaf tidak dikonotasikan kepada bentuk
kata kerja yang terdiri dari “tiga huruf” yang mempunyai imbuhan (tsulatsi
mazid), hanya bentuk tsulatsi mujarrad sajalah yang lazim digunakan dalam
literatur hukum Islam, seperti kata وقفت األرض (aku telah mewakafkan tanah
ini). Demikian jika membaca kitab-kitab Hadist, kita tidak akan menjumpai
kata wakaf, melainkan kata-kata سبيل dan حبس kendatipun demikian term
wakaf digunakan baik di Indonesia, maupun di beberapa negeri Islam.21
Kesimpulannya, baik kata al-habsu ataupun al-waqf sama-sama
mengandung makna al-imsak (menahan), al-man‟u (mencegah atau
melarang), dan at-tamakust (diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan
dari kerusakan, penjualan, dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan
tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena manfaat dan hasilnya ditahan
dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang termasuk berhak atas
wakaf tersebut.22
2. Wakaf Menurut Istilah
Diskursus mengenai wakaf dan sifatnya terjadi perdebatan di kalangan
para ulama. Namun, pada dasarnya mereka sepakat dalam beberapa aspek.
Perbedaan ini muncul karena berbedanya mereka dalam menerapkan makna
dalil yang mereka jadikan sebagai dalil pendukung argumentasi mereka. Oleh
karena itu, hal ini sangat menarik untuk dicermati lebih jauh, sehingga
21
Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Mamu‟ Syarah Al-
Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr 2006), h. 574 22
Qahaf Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000),
hlm. 45.
20
perdebatan itu dapat dianalisis dengan melihat landasan filosofis dan pola
berfikir para ulama tersebut.23
Wakaf menurut Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah merumuskan definisi wakaf dengan
24ىلحبس العني على ملك الوقف و تصدق مبنفعتها على جهة من جهات الرب و احلال أو التا
Artinya: “Menahan benda milik orang yang berwakaf dan mensedekahkan
manfaatnya untuk kebaikan, baik untuk sekarang atau masa yang akan
datang”.
Berdasarkan definisi ini Abu Hanifah menyatakan, bahwa akad wakaf bersifat
tidak mengikat, dalam arti orang yang berwakaf (waqif) dapat saja menarik
kembali wakafnya dan menjualnya. Wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah
sama dengan ariyah (sewa-menyewa) yang mana akadnya bersifat tidak tetap dan
dapat ditarik kapan saja. Hal ini sama saja dengan pengertian bahwa wakaf tidak
melepaskan kepemilikan waqif akan benda yang telah diwakafkannya.
Menurut imam Abu Hanifah, ada tiga hal yang menjadikan wakaf bisa
bersifat mengikat, yaitu dalam keadaan : (1) Apabila ada keputusan hakim yang
menyatakan bahwa wakaf itu bersifat mengikat, (2) peruntukkan wakaf adalah
untuk masjid, (3) wakaf itu dikaitkan dengan kematian waqif (waqif berwasiat
akan mewakafkan hartanya).25
Hal yang mendasari pendapat imam Abu Hanifah
adalah sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi yang menyatakan :
26عن إبن عباس قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم : ال حبس عن فرائض اهلل. )رواه البيهقي(
Dari Ibn Abbas R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada penahanan
dari ketentuan Allah”. (HR al-Baihaqi).
23
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), hlm. 14 24
Badran Abual-Ainaini, Ahkam alWashy wa Auqaf, (Iskandariyah: Muassasat
ass-Salaby),hlm. 260 25
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikri,
2006). Juz 8, h.155-156. 26
Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (India: Dar al-Ma‟arif al-
Usmaniyah,1352H), Juz 6, h. 162.
21
Menurut ulama Malikiyah, wakaf adalah :
27جعل ادلالك منفعة مملوكة, و لو كان مملوكا بأجرة, أو جعل غلتو كدراىم, بصيغة, مدة ما يراه احملبس
Artinya : “Menjadikan harta kepunyaannya (wqif) itu bermanfaat walaupun harta
kepunyaannya hanya berbentuk sewa, atau menjadikan hartanya itu berbuah hasil
seperti dirham (uang) dengan sighat tertentu dalam jangka waktu sesuai dengan
kehendak waqif”.
Wakaf menurut ulama Malikiyah
Menurut ulama kalangan Malikiyah dalam sebuah hadist Nabi (di dalam
kitab Sunan Muslim tentang tanah Umar ibn Khattab di khaibar) kata-kata
habasta aslaha wa tashadaqta biha adalah sebuah isyarat bahwa, hakikat wakaf
adalah menyedekahkan hasil dengan tetapnya benda wakaf berada dalam
genggaman waqif, namun, waqif terhalang memindahkan kepemilikannya ke
tangan orang lain dalam bentuk jual beli, hibah, dan waris.28
Hampir senada dengan pendapat imam Abu Hanifah di atas, akad wakaf
pun menurut kalangan ulama Malikiyah tidak melepaskan hak kepemilikan waqif
dari harta yang diwakafkannya.29
Hanya saja waqif melepaskan hak penggunaan
harta yang diwakafkan tersebut. Orang yang mewakafkan hartanya menahan
penggunaan harta yang diwakafkan dan membolehkan pemanfaatan hasilnya unuk
tujuan kebaikan dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, ulama Malikiyah
tidak menyaratkan wakaf itu untuk selama-lamanya. Para ulama ini beralasan
tidak ada dalil yang mewajibkan adanya syarat ta‟bid (keabadian) dalam wakaf.30
Wakaf menurut ulama Syafi‟iyah
Selanjutnya adalah pendapat para ulama dari kalangan Syafi‟iyah yang
mendifinisikan wakaf dengan :
27
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikri,
2006), Juz 8, h. 155-156. 28
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikri,
2006), Juz 8, h. 155-156. 29
Syaikh al-Imam al-Alamah Mauqif al-Din Abi Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Ilmiah, 2005), Juz 6, h.187-188. 30
Muhammad Qadr Basya, Qanun al-Adl wa al-Inshaf fi al-Qadha ala ala
Musykilat al-Auqaf, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), h.117.
22
حبس مال ميكن اإلنتفاع بو مع بقاء عينو بقطع التصرف يف رقبتو من الواقف و غريه على تصرف مباح
31موجود او بصرف ريعو على جهة الرب و اخلري تقربا اىل اهلل تعاىل
Artinya : “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetapnya zat benda
yang menghalangi waqif dan lainnya dari tindakan hukum yang dibolehkan atau
tindakan hukum yang bertujuan untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT”.
Definisi yang sama juga dirumuskan oleh mayoritas para ulama kalangan
Hanabilah, as-Syaibani, dan Abu Yusuf dengan merumuskan wakaf adalah
menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetapnya zat benda yang
menghalangi waqif dan lainnya dari tindakan hukum yang dibolehkan , yang
bertujuan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.32
Dari definisi ini, jumhur ulama berpendapat, bahwa akad wakaf bersifat
mengikat (luzum). Dalam pengertian, waqif tidak dapat menarik kembali harta
yang telah diwakafkan dan tidak dapat menjual atupun mewariskannya. Menurut
mayoritas jumhur ulama ini, harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi
waqif, akan tetapi telah berpindah menjadi milik Allah yang dapat digunakan
untuk kebaikan dan kemashlahatan umat Islam. Pendapat yang masyhur di
kalangan ulama mazhab Syafi‟i menyatakan, bahwa wakaf menghilangkan
kepemilikan harta dari waqif. Imam Ahmad ibn Hanbal juga menyatakan hal
demikian. Wakaf tidaklah bersifat lazim, kecuali waqif melepaskan hak
kepemilikannya dari kekuasaannya dan mnyerhakan kepada orang lain, dan waqif
tidak dapat menarik kembali harta yang telah diwakafkannya.33
Pendapat ini berdasarkan pada Hadist yang diriwayatkan oleh imam Nasai
yang menjelaskan, bahwa Umar ibn Khattab telah mendapatkan harta rampasan
dari perang Khaibar, sedangkan beliau bermaksud mendekatkan diri kepada Allah
melalui hartanya itu. Kemudian Nabi SAW bersabda :
31
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikri,
2006), Juz 8, h. 155-156. 32
Wahbah al-Zuhaily, al-Wahaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, (Damsyiq: Dar
al-Fikr, 1996), h. 134. 33
Syaikh al-Imam al-Alamah Mauqif al-Din Abi Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Ilmiah, 2005), Juz 6, h.188.
23
يف خيرب مل أصب للنيب صلى اهلل عليو و سلم : إن مائة سهم الىت يل إبن اخلطابعن ابن عمر قال : قال عمر
أصلها و سبل مثرهتا ماال قط أعجب إىل منها قد أردت أن أتصدق هبا وقال النيب صلى اهلل عليو و سلم أحبس
34()رواه النسائ
Artinya: “Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Umar ibn
Khattab berkata, “Ya Rasulalloh, sesungguhnya aku telah memperoleh harta
seratus saham di khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang aku kagumi
melebihi tanah itu, aku bermkasud menyedekahkannya, Kemudian Nabi SAW
menjawab, “ tahanlah pokoknya dan belanjakanlah hasilnya di jalan Allah”. (HR.
Al-Nasai).
Ibnu Qudamah dalam hal ini berpendapat, bahwa wakaf itu akad tabarru‟
yang menghalangi adanya akad jual beli, hibah, dan waris. Akadnya bersifat lazim
(mengikat). Pendapat ini didasarkan pada Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari tentang wakaf yang dilakukan oleh sayidina Umar ibn Khattab.35
3. Wakaf menurut Undang-undang
Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
dirumuskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamannya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat.
Jika melihat kandungan Undang-undang tersebut, nampaknya konten
tersebut mencoba untuk menggabungkan pendapat-pendapat para ulama fikih
klasik terdahulu. Akan tetapi, pasal ini mempunyai kelemahan, yaitu dalam hal
penggabungan pendapat ulama klasik dalam pasal 1 dikhawatirkan dapat
berakibat pada status wakaf menjadi tidak jelas karena memiliki dua opsi, yaitu
apakah wakaf itu untuk selamanya, ataukah wakaf itu hanya bersifat sementara
saja.36
34
Abu Abdu al-Rahman Ahmad bin Shu‟aib bin Ali al-Nasai, Sunan al-Nasai,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz VI, h. 233. 35
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Hijr: Cairo 1992),
juz VI, h. 235. 36
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 18
24
Dalam pasal 1 Perturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik merumuskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya
yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga memberikan definisi tentang wakaf yaitu, perbuatan hukum seseorang
atau kelompok atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya seuai ajaran Islam.
Berbeda halnya dengan Undang-undang wakaf di mesir, Undang-undang
Nomor 48 Tahun 1946 juga menggabungkan pendapat para ulama fikih tentang
wakaf. Akan tetapi dalam pasal 146 dijelaskan, bahwa boleh melakukan wakaf
untuk selamanya (muabbad) atau selama waktu tertentu (muaqqat) saja dengan
catatan tidak untuk wakaf masjid yang hanya berlaku untuk selamanya.37
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta yang di wakafkan
haruslah (1) benda yang diwakfkan harus kekal zatnya (tahan lama wujudnya),
tidak lekas musnah ketika atau seelah dimanfaatkan, (2) lepas dari kekuasaan
orang-orang yang berwakaf, (3) tidak dapat diasingkan kepada pihak lain, baik
dengan jalan jual beli, hibah, maaupun warisan, (4) untuk keperluan amal
kebajikan sesuai dengan ajaran agama Islam.38
B. Dasar Hukum Wakaf
Salah satu misi utama hukum Islam adalah sebagai aturan untuk
mengejawantahkan nilai-nilai keimanan, hukum Islam juga berfungsi untuk
mengemban tanggung jawab masyarakat, baik itu keadilan hukum, keadilan
37
Muhammad Qodr Basya, hlm. 118 38
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-
Press 1988), hlm. 84.
25
sosial, maupun keadilan ekonomi. Karena hal ini seluruhnya telah dijelaskan dan
dijabarkan secara gamblang didalam ajaran agama Islam.
Pada sisi lain, Islam memandang harta dan kekayaan sebagai amanat yang
diberikan oleh Allah, yang harus menjadi perekat dalam membangun
persaudaraan dan kebersamaan. Doktrin hukum Islam berupa kewajiban bagi
mereka yang kaya untuk mendistribusikan keaadilan ekonomi, bertujuan agar
kekayaan tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja. Selain itu, juga
bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan sosial antara si kaya
dengan si miskin.
1. Wakaf menurut Al-Qur‟an
Berkaitan dengan pensyariatan wakaf, secara khusus nash yang menunjukkan
pensyariatan wakaf dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan. Akan tetapi, secara umum
banyak ditemukan ayat yang menganjurkan agar orang beriman menafkahkan
sebagian rezekinya untuk kebaikan, di antara ayat yang menjadi dasar
disyariatkannya wakaf adalah :
(92ن وانفقوا من شئ فإن اهلل بو عليم. ) ال عمران : ن تنال الرب حىت تنفقوا مما حتبو ل
Artinya : “ Sekali-kali kamu tidak akan sampai kepada kebaikan (yang
sempurna) sehingga kamu menafkahkan senagian harta yang kamu cintai dan apa
saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.
(267ا لكم من األرض. )البقرة : يأيها الذين ءامنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم و مما أخرجن
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan apa-apa yang dihasilkan dari
bumi.
(38ما فرطنا ىف الكتاب من شئ. )األنعام : ....
Artinya : “ Tidakkah kami abaikan dalam al-Qur‟an itu suatu juapun
(segala sesuatu diberi pnjelasan secara umum).
(44كر لتبني للناس ما أنزلنا إليهم. )النحل:إليك الذ ...وأنزلنا
Aritnya :” ..Dan kepadamu (Muhammad) kami turunkan Al-Qur‟an agar
kamu terangkan kepada semua manusia (isi al-Qur‟an) yang diturunkan kepada
mereka. (QS. Al-Nahl:44).
26
2. Wakaf menurut Hadist
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa term wakaf belum dikenal pada zaman
Rasulallah. Pada masa itu baru hanya mengenal istilah habs, shadaqah, dan tasbil.
Para ahli Hadist dan kebanyakan ahli-ahli fikih mengidentikkan wakaf dengan
shadaqah jariyah, kecuali al-Dzhahiri yang berpendapat lain. Hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah dibawah inilah yang dijadikan
landasan dan sumber hukum lembaga perakafan itu:
عن النيب صلى اهلل عليو و سلم : إذا مات ابن ادم إنقطع عملو إال من ثالث, صدقة عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو
39)رواه مسلم(جارية أو علم ينتفع بو أو ولد صاحل يدعو لو
Artinya : “ Apabila anak adam itu mninggal dunia, maka terputuslah amalnya
kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh
yang mendoakan kepadanya.
Salah satu bentuk sedekah jariyah pada Hadist ini diwujudkan dalam bentuk
wakaf. Wakaf merupakan tindakan hukum seseorang yang memisahkan sebagian
hartanya dan melembagakan untuk selama-lamanya demi kepentingan Ibadah dan
kepentingan sosial ekonomi lainnya. Hal ini berarti nilai pahala wakaf akan selalu
mengalir selama-lamanya kepada waqif.
Hadist yang kiranya lebih tegas menunjukkan dasar hukum lembaga wakaf
lazim al-waqf) adalah Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang tanah
Khaibar. Hadist tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
أرضا خبيرب فأتى النيب صلى اهلل عليو و سلم يستأمره عن إبن عمر رضي اهلل عنهما أن عمر بن اخلطاب أصاب
فيها فقال : يا رسول اهلل إين أصبت أرضا مل أصب قط ما ال أنفس عندى منو, فما تأمروين بو ؟ قال : إن شئت
حبست أصلها و تصدقت هبا غري على أنو ال يباع أصلها و ال يبتاع و ال يوىب و ال يورث و تصدق هبا يف
39
Imam Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr 2007), Juz, 8, hlm, 405.
27
القر ى و يف الرقاب و يف سبيل اهلل و ابن السبيل و الييف ال جناح على من وليها أن يأكل منها الفقراء و يف
40ل. )رواه البخاري(بادلعروف و يطعم غري متمو
Artinya : “ Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Umar ibn Khattab mempunyai tanah
di Khaibar, kemudian ia datang menemui Rasulullah SAW dan meminta untuk
mengolahnya seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana
perintah mu untuk ku perihal tanah tersebut ?”, kemudian Rasulallah bersabda :
“Jika kau ingin, tahanlah tanah itu dan sedekahkan lah hasilnya. Tanah tersebut
tidak boleh dijual atau diperjual belikan, dihibahkan, dan diwariskan. Dia
menyedekahkan kepada fakir miskin, keluarganya, membebaskan budak, orang
yang jihad di jalan Allah, ibn sabil, dan para tamu. Orang yang mengelolanya
tidak berdosa memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma‟ruf dan
memakannya tanpa maksud memperkaya diri. (HR. Al-Bukhari).
Dua Hadist di atas merupakan suatu landasan hukum bagi setiap orang
yang ingin mengeluarkan wakaf, akan tetapi yang menjadi catatan penting bagi
penulis, dua Hadist di atas adalah sebagai acuan bilamana kita ingin mewakafkan
benda tidak bergerak. Disamping Hadist yang menyatakan landasan hukum wakaf
tanah yang merupakan benda tidak bergerak, ada juga Hadist yang meyatakan
keabsahan mewakafkan benda bergerak. Hadist tersebut menjelaskan ada wakaf
kuda yang pada zaman Nabi merupakan satu-satunya kendaraan yang
mobilitasnya paling cepat, hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan
diriwayatkan oleh al-Bukhari itu adalah sebagai brikut :
41شعبو وروثو و بولو يف ميزانو حسنات )رواه البخاري( سبيل اهلل إميانا و احتسابا فإن من احتبس فرسا يف
Artinya : “ Barang siapa yang mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan
iman dan ikhlas, maka sesungguhnya jasad, kotoran, dan kencingnya akan
ditimbang sebagai kebaikan”. (HR. Bukhari).
Walaupun hadist di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan,
dalam hal ini kuda, tetapi jika ditinjau fungsi binatang itu di zaman Nabi yaitu
sebagai kendaraan, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf kendaraan untuk
40
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, (Cairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah 2003), juz 9, h.263. 41
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, (Cairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah 2003), juz 9,h.254
28
kepentingan umum pun sah menurut hukum. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan
perwakafan, yaitu tujuan penggunaan benda wakaf sebagaimana dinyatakan dalam
Hadist tersebut fi sabilillah, memungkinkan ke absahan semua benda wakaf yang
dapat memberi manfaat dan kemaslahatan umum.42
3. Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan
Di Indonesia, peraturan yang mengatur wakaf selama ini tertuang dalam
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah
No.28 Tahun 1977 tentang Prwakafan Tanah Milik. Selain itu, juga tertuang
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berdasarkan Instrusksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991. Terakhir, peraturan perundang-undangan yang mengatur wakaf
secara hukum mulai mendapatkan posisi yang lebih kuat, yakni diundangkannya
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
RI Nomor 42 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria, masalah wakaf dapat dilihat pada
pasal 5, pasal 14 ayat (1) dn pasal 49 menjadi dasar hukum bahwa tanah wakaf
dilindungi oleh negara. Pasal-pasal ini mengatur hal sebagai berikut :
Pasal 5 menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bukit, air,
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara yang bersandarkan atas persatuan Bangsa dengan
sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan yang tercantum dalam Undang-
undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum Agama. Pasal 14
ayat(1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan
bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
untuk keperluan Negara, untuk keperluan Peribadatan dan keperluan-keperluan
suci lainnya, sesuai dengan dasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya.
42
Praja S Juhaya, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Plara, 1995), h.
12.
29
Pasal 49 menyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial
sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui
dan dilindungi.43
C. Rukun dan Syarat Wakaf
Kendatipun para mujtahid berbeda pendapat mengenai wakaf dan perbedaan
pendapat itu tercermin dalam perumusan mereka, namun semuanya sependapat
bahwa untuk pembentukan lembaga wakaf diperlukan beberapa rukun. Rukun
artinya sudut, tiang penyangga, yang merupakan sendi utama atau unsur pokok
dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun sesuatu tidak akan tegak berdiri.
Untuk kriteria kesahan wakaf, terjadi perdebatan dikalangan ulama. Hal itu
terjadi karena berbeda dalam menetapkan apa yang dimaksud dengan rukun akad.
Rukun wakaf menurut ulama Hanafiyah adalah shigat, yaitu lafaz yang
menunjukan makna wakaf. Maka dari itu, yang menjadi rukun wakaf menurut
mereka adalah ijab, yaitu pernyataan yang bersumber dari waqif yang menunjukan
kehendak wakaf. Qabul dari penerima wakaf tidak termasuk rukun wakaf menurut
Hanafiyah.44
Rukun menurut ulama Hanafiyah adalah apa yang keberadaannya tergantung
kepada sesuatu dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu. Maka yang menjadi
rukun akad dikalangan Hanafiyah adalah shigat akad yaitu ijab dan qabul.
Namun, menurut golongan Hanafiyah, „aqid dan mauquf „alaih tidak termasuk
rukun karena kedua unsur ini merupakan sesuatu yang berada di luar inti akad.
Menurut mereka „aqid dan mauquf „alaih termasuk ke dalam syarat-syarat akad.
Rukun menurut jumhur fukaha selain Hanafiyah adalah apa yang keberadaannya
tergantung kepada sesuatu dan ia bukan bagian dari hakikat sesuatu. Yang
menjadi rukun akad di kalangan jumhur ulama ada tiga, yaitu „aqidain (dua orang
yang berakad), maukuf „alaih (objek akad), dan sighat akad.45
43
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. 44
Muhammad Kamaluddin Imam, Al-Washiyah wal-Waqf fi al-Islam Maqashid
wa Qawa‟id, (Iskandariyah: al-Nasyir al-Ma‟arif, 1999), h. 249. 45
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr 2005),
Juz 4, h. 92.
30
Wakaf sebagai suatu lembaga, sudah barang tentu memiliki unsur-unsur
pembentukannya tanpa unsur itu, wakaf tidak dapat berdiri unsur-unsur
pembentuk yang juga merupakan rukun wakaf itu. Menurut jumhur ulama, ada
empat rukun wakaf, yaitu waqif (orang yang mewakafkan hartanya), mauquf
(harta yang di wakafkan), mauquf „alaih (yang berhak menerima wakaf atau
tujuan wakaf), dan shigat (pernyataan wakaf dari yang mewakafkan).46
Adapun penjelasan mengenai unsur-unsur wakaf adalah sebagai berikut :
1. Waqif (orang yang berwakaf)
Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut
wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya,
di antaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik
buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang
diwakafkan itu.47
Dalam hal ini juga, orang yang berwakaf disyaratkan cakap hukum
(ahliyah) yakni kemampuan atau kepantasan seseorang untuk menerima beban
syara‟ berupa hak-hak dan kewajiban dan kesahan tindakan hukumnya. Para
ulama ushul membagi ahliyah kepada dua bentuk. Pertama, ahlyah al-wujub
yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini
ada pada setiap manusia yang hidup, baik laki-laki dan perempuan, anak-anak
dan dewasa, sakit atau sehat, maupun berakal dan tidak berakal. Kedua,
ahliyah al-ada‟ yaitu kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala
perkataan dan perbuatannya, misalkan melakukan perjanjian/perikatan, sholat,
atau puasa. Oleh karena itu tidaklah dipandang ahliyah orang gila dan anak-
anak yang belum mumayiz. kemampuan untuk melakukan tindakan tabarru‟
(melepaskan hak milik untuk hal-hal yang bersifat nirlaba atau tidak
mengharapkan imbalan materiil). Seseorang untuk dapat dipandaang cakap
hukum tentu harus memenuhi persyaratan yaitu :
46
Ahmad al-Hujji al-Kurdi, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Damaskus: Ma‟syurat
Jami‟ah Damsyik 1993), h. 203. 47
Praja S Juhaya, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Plara, 1995), h.
84.
31
a) Berakal
Para ulama sepakat agar dipandang sah, maka waqif harus berakal ketika
melaksanakan wakaf. Karena itu tidak dipandang sah jika wakaf dilakukan
oleh orang gila, idiot, pikun, dan pingsan. Sebab mereka semua itu kehilangan
akal atau tidak berakal, tidak dapat membedakan sesuatu, dan tidak dapat
mempertanggungjawabkan segala tindakannya. Namun, terhadap orang
mabuk terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Hanabilah,
Malikiyah, Ja‟fariyah, dan zhairiyah, wakaf yang dilakukan oleh orang yang
mabuk dianggap tidak sah karena dia sama keadaannya dengan orang gila.48
b) Baligh
Dalam hal ini, orang yang melaksanakan wakaf juga haruslah orang yang
sudah dewasa atau cukup umur yaitu sekitar umur 9 sampai 15 tahun. Oleh
karena itu, tidak sah hukumnya wakaf yang dilakukan oleh anak-anak yang
belum baligh karena tersebut dianggap belum mumayiz dan belum dipandang
cakap hukum ataau belum berhak melakukan tindakan hukum. Kemudian juga
dalam hal ini tidak ada perbedaan terhadap anak kecil yang diizinkan orang
tuanya untuk bertransaksi ataupun tidak. Demikian pendapat menurut jumhur
fukaha dari golongan Hanafiyah, Hanabilah, Syafi‟iyah, Malikiyah,
Zhahiriyah, Syiah, Ja‟fariyah, dan Zaidiyah.49
c) Cerdas
Orang yang berwakaf haruslah cerdas, memiliki kemampuan, dan
kecakapan melakukan tindakan. Karena itu, mahjur yaitu orang yang dibatasi
hak keperdataannya. Dalam istilah fikih, pembatasan hak ini dikenal dengan
istilah hajr. Yang dalam istilah bahasa memiliki makna tadyiq wa man‟u
(membatasi atau menghalangi). misalnya karena safih, taflis ataupun
pemboros menurut para fukaha tidak sah hukumnya wakaf. Hal ini karena
48
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr 2005),
Juz 4, h. 176. 49
Muhammad Kamaluddin Imam, Al-Washiyah wal-Waqf fi al-Islam Maqashid
wa Qawa‟id, (Iskandariyah: al-Nasyir al-Ma‟arif, 1999), h. 243.
32
dalam akad tabarru‟ tidak sah kecuali dilakukan dengan kecerdasan, atas
dasar kesadaran, dan keinginan sendiri.50
d) Atas Kemauan Sendiri
Dalam hal ini, seorang waqif harus melakukan wakaf atas dasar kemauan
sendiri dan bukan karena terpaksa maupun atas tekanan dari pihak lain. Para
ulama juga berkomentar bahwa tidak sah hukumnya berwakaf atas dasar
paksaan ataupun tekanan dari pihak lain.51
e) Waqif adalah Orang Merdeka dan Pemilik Harta Wakaf
Tidak sah hukumnya perbuatan wakaf yang dilakukan oleh seorang budak
atau hamba sahaya, hal itu karena pada dasarnya dia tidak memiliki harta.
Begitu pula, tidak sah hukumnya mewakafkan harta orang lain ataupun harta
dari hasil curian. Oleh karena itu, waqif adalah pemilik penuh dari harta yang
diwakafkan.52
Dalam peraturan perundang-undangan wakaf di Indonesia dinyatakan,
bahwa waqif itu terdiri dari perorangan, organisasi, dan badan hukum, baik
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Untuk waqif perorangan
disyaratkan harus dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum dan pemilik sah harta benda wakaf. Sedangkan untuk waqif organisasi
dan badan hukum, di samping memenuhi persyaratan kepribadian, juga harus
memenuhi persyaratan adanya keputusan organisasi atau badan hukum. Untuk
mewakafkan benda wakaf miliknya haruslah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam organisasi atau badan hukum yang bersangkutan.53
Dari penjelasan syarat waqif di atas dapat disimpulkan bahwa waqif itu
harus orang yang cakap bertindak hukum dalam pengertian sudah dewasa,
50
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al-Fattah, 2000), h. 405. 51
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 24 52
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr 2005),
Juz 4, h. 176. 53
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Pasal 7-8.
33
berakal, sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, serta pemilik sah
dari harta yang akan diwakafkan itu.
2. Mauquf (Benda yang Diwakafkan)
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat benda wakaf.
Namun, mereka sepakat dalam beberapa hal, seperti benda wakaf haruslah
benda yang boleh dimanfaatkan menurut syariat (mal mutaqawwim),54
benda
tidak bergerak, jelas tidak diketahui bendanya, dan merupakan benda milik
sempurna dari waqif . akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah
ta‟bid (kekal)-nya benda, jenis benda bergerak yang boleh diwakafkan, dan
beberapa hal dalam masalah shigat wakaf.55
3. Mauquf „Alaih (sasaran atau Tujuan Wakaf)
Ketika berbicara tentang mauquf „alaih, yang menjadi catatan penting para
ulama adalah, bahwa wakaf itu ditujukan untuk taqarrub ila Allah. Secara
umum syarat-syarat mauquf „alaih adalah :
1) Pihak yang diberi wakaf adalah pihak yang berorientasi pada kebaikan
dan tidak bertujuan untuk maksiat. Asal mula disyariatkannya wakaf
adalah menjadi sedekah yang diniatkan untuk mendekatkan diri pada
Allah. Menurut ulama Hanafiyah wakaf bisa memenuhi aspek
taqarrub jika memenuhi ketentuan syariah dan ketentuan waqif.
2) Saran tersebut diarahkan pada aktivitas kebaikan yang berkelanjutan.
Maksudnya disini adalah pihak penerima wakaf tidak terputus dalam
pengelolaan harta wakaf. Wakaf diberikan kepada kaum Muslimin atau
kelompok tertentu yang menurut kebiasaan tidak mungkin mengalami
keterputusan dalam pemanfaatan harta wakaf.
3) Peruntukan harta wakaf tidak dikembalikan kepada waqif. Dalam arti
tidak mewakafkan harta kepunyaannya untuk kepentingan pribadi.
54
Mal Mutaqawwim (benda yang boleh dimanfaatkan), adalah segala sesuatu
yang dibolehkan oleh syara‟ untuk memanfaatkannya, seperti hewan ternak, tumbuhan,
dan sebagainya. 55
Ahmad al-Hujji al-Kurdi, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Damaskus: Ma‟syurat
Jami‟ah Damsyik 1993), h. 205-206.
34
Pihak penerima wakaf adalah orang yang berhak untuk memiliki. Para
ulama sepakat, bahwa wakaf harus diserahkan kepada pihak yang
berhak memiliki harta wakaf.
Dalam Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan dalam
rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, benda hanya dapat diperunukan untuk
memfasilitasi sarana Ibadah, sarana pendidikan, sarana kesehatan, membantu fakir
miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, dan atau tujuan memajukan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan. Tujuan wakaf ini dinyatakan oleh waqif ketika
melafalkan ikrar wakaf. Dengan demikian, yang menjadi tujuan wakaf adalah
kebaikan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak akan
pernah putus ditelan masa.56
4. Sighat Wakaf (Ikrar Wakaf)
Ikrar wakaf merupakan pernyataan kehendak dari waqif untuk mewakafkan tanah
benda miliknya.57
Syarat-syarat lafal wakaf adalah :
1) Pernyataan wakaf bersifat ta‟bid (untuk selama-lamanya). Demikian
pendapat dari jumhur fukaha yang di antaranya Abu Hanifah, Muhammad,
Syafi‟iyah dan Ahmad.58
Menurut pendapat ini, tidak sah hukumnya
memakai wakaf dalam waktu tertentu (muaqqat)59
. Namun, para ulama
berbeda pendapat tentang wakaf yang diiringi dengan syarat waktu
tertentu. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa wakaf dibolehkan waktu
tertentu dan berakhir dengan habisnya batas waktu sehingga harta wakaf
kembali ke pemiliknya. Walaupun demikian, menurut Malikiyah
sesungguhnya ta‟bid merupakan prinsip dasar sighat wakaf. Karena itu,
apabiila lafal wakaf itu mutlak (tidak dikaitkan dengan waktu tertentu),
56
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 30. 57
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, Pasal 1. 58
Jalaluddin, Al-Mahalli, Qalyubi wa Umairah, (Mesir: Dar al-Ahya, 2000), juz
3, h. 102. 59
Muhammad Musthafa Syalabi, Mudharat fi al-Waqf wa al-Washiyah, (al-
Iskandariyah: Matba‟ah Dar al-Ta‟lif, 1958), h. 80
35
maka wakaf itu berarti untuk selamanya. Sementara itu, Abu Yusuf salah
seorang ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa sah hukumnya wakaf yang
diiringi dengan syarat waktu tertentu. 60
Masalah ta‟bid dalam sighat wakaf, Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf Pasal 21 ayat 2 huruf e menyebutkan, bahwa ikrar
wakaf harus memuat jangka waktu wakaf. Akan tetapi Undang-undang
maupun peraturan pelaksananya tidak mengklasifikasikan tentang batasan
muabad dan muaqat.
2) Pernyataan wakaf bersifat Tanjiz. Artinya, lafal wakaf itu jelas
menunjukkan terjadinya wakaf dan memunculkan akibat hukum wakaf.
Jumhur fukaha menyatakan, bahwa sighat tanjiz menjadi syarat sahnya
wakaf, karena wakaf bermakna peilikan, sedangkan akad pemilikan tidak
sah kecuali dengan sighat tanjiz. Ini berarti pernyataan wakaf tidak boleh
disandarkan dengan masa yang akan datang, tetapi harus menunjukan
terjadinya wakaf untuk keadaan sekarang. Dalam hal ini menurut Abu
Hanifah , sesungguhnya pernyataan wakaf apabila disandarkan pada masa
setelah kematian, maka wakafnya batal demi hukum. Hal itu karena
dianggap wasiat dengan wakaf. Namun ulama Malikiyah mengatakan,
bahwa wakaf boleh saja diakitkan dengan syarat. Bahkan menurut imam
Ahmad bin Hanbal jika wakaf itu disyaratkan, maka waqif maupun
keluarganya boleh mendapatkan penghasilan dari harta wakaf tersebut,
oleh karenanya ketentuan syarat didalam wakaf hukumnya dibolehkan.61
3) Pernyataan wakaf bersifat tegas (jazim) atau ilzam. Fuqaha di kalangan
Hanafiyah, seperti Muhammad ibn Hasan dari golongan Hanafiyah,
golongan Hanabilah, dan Syafi‟iyah berpendapat, wakaf harus dilakukan
dengan pernyataan yang tegas dan jelas. Menurut ulama ini wakaf batal
demi hukum apabila dilakukan dengan sighat yang tidak tegas, seperti
pernyataan yang hanya mengandung janji-janji semata atau diiringi dengan
60
Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 535. 61
Syaikh al-Imam al-Alamah Mauqif al-Din Abi Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Ilmiah, 2005), Juz 6, h.193-194.
36
khiyar syarat. Khiyar tidak menjadikan sighat itu bersifat jazim. Menurut
ulama Malikiyah dan Abu Yusuf yakni ulama dari kalangan Hanafiyah,
wakaf dengan menggunakan khiyar syaratadalah sah. Menurut Abu Yusuf,
wakaf dengan sighat tegas sudah biasa dilakukan (ma‟lum).62
4) Pernyataan wakaf tidak diiringi dengan syarat yang batal, yakni syarat
yang meniadakan makna wakaf atau bertentangan dengan tabiat wakaf.
Misalnya diungkapkan “diungkapkan “saya wakafkan tanah ini dengan
syarat tanah ini tetap milik saya”,
5) Menyebutkan mauquf „alaih dengan jelas dalam pernyataan wakaf. Agar
sasaran pemanfaatan wakaf dapat diketahui secara langsung, waqif harus
menyatakan dengan jelas tujuan wakafnya secara jelas. Demikian pendapat
fukaha di kalangan Syafi‟iyah, Hanafiyah selain Abu Yusuf. Namun ulama
Hanabilah, Malikiyah dan Abu Yusuf tidak mewajibkan menyebutkan
mauquf alaih dalam pernyataan wakaf.63
6) Pernyataan wakaf dinyatakan dengan lafazh sharih (jelas), seperti wakaf
atau dengan lafazh kinayah (sindiran) seperti sedekah (yang diniatkan
wakaf). Pernyataan atau ikrar wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat
deklaratif (sepihak), maka dalam hal ini tidak diysaratkan adanya qabul
(pernyataan menerima wakaf) sehingga akad ini tidak akan batal bila ada
penolakan. Akad ini berbeda dengan hibah dan wasiat yang menghendaki
adanya kabul.64
Demi tertib hukum dan administrasi, menghindari penyalahgunaan benda
wakaf, pemerintah mengeluarkan peraturan, dalam pasal 17 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 bahwa ikrar wakaf yang diucapkan oleh waqif kepada
nadzhir, dilakukan di hadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Tanah)
dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Kemudian dinyatakan secara lisan atau
62
Muhammad Kamaluddin Imam, Al-Washiyah wal-Waqf fi al-Islam Maqashid
wa Qawa‟id, (Iskandariyah: al-Nasyir al-Ma‟arif, 1999), h. 252. 63
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-
Islamiyah, (Baghdad: Matba‟ah al-Irsyad, 1977), juz 1, h. 66-67. 64
Syaikh al-Imam al-Alamah Mauqif al-Din Abi Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Ilmiah, 2005), Juz 6, h.203.
37
tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Disebabkan karena
tujuan wakaf adalah mendekatkan diri kepada Allah, maka tentulah wakaf itu
harus bersifat untuk selamanya (ta‟bid), tegas, dan jelas menunjukkan makna
kehendak wakaf, tidak hanya sekedar janji, dan tidak pula ada unsur khiyar dalam
wakaf.
D. Pengertian dan Kriteria Nazhir
Nazhir berasal dari kata bahasa Arab yaitu nazara yang memiliki arti menjaga,
memelihara, merawat, mengelola, dan mengawasi. Adapun nazhir adalah bentuk
isim fai‟il dari kata nazara yang kemudian dapat diartikan ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti pengawas. Nazhir wakaf adalah orang atau badan hukum
yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai
dengan wujud dan tujuan harta wakaf tersebut.65
Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4)
tentang wakaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta
benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi
kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan
mengurus benda wakaf.
Dalam pengelolaan wakaf, nazhir memegang peranan yang sangat penting
sebagai garda terdepan. Ini berarti kunci keberhasilan pengembangan wakaf
tergantung pada keprofesionalan nazhir. Untuk mencapai tujuan wakaf seperti
yang dikehendaki waqif, nazhir bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan
harta wakaf. Dengan kata lain, nazhir merupakan manajer wakf yang bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan, pengelolaan, dan pendistribusian manfaat wakaf
kepada sasaran yang dikehendaki waqif.66
Dalam berbagai kitab fikih, ketika membahas tentang rukun wakaf, tidak
satupun ulama yang meyatakan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun dari wakaf.
65
Farid, Wadjdy dan Mursyid. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Filantropi
Islam yang Hampir Terlupakan. (Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar). 2007 66
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 39.
38
Namun para ulama sepakat, bahwa waqif harus menunjuk nazhir wakaf, baik dia
sendiri, penerimma wakaf maupun orang lain. Jumhur ulama fikih berpendapat,
pada dasarnya waqif adalah orang yang harus bertanggung jawab dalam mengurus
harta wakaf selama hidupnya, baik membangun, menyewakan, memperbaiki,
maupun menyalurkannya kepada orang yang berhak. Waqif dapat bertindak
sebagai nazhir terhadap harta yang diwakafkannya, maupun menunjuk orang lain
menggantikan tugasnya. Dalam masalah hak waqif sebagai nazhir wakaf, terjadi
perbedaan pendapat ulama, ulama Hanafiyah seperti Abu Yusuf menyatakan
perwalian atas harta wakaf ada pada waqif, baik ia mensyaratkan atau tidak.
Karena ia adalah orang yang paling tahu tentang harta yang diwakafkannya.
Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak perwalian tidak
diberikan kepada waqif kecuali ia mensyaratkannya ketika ikrar harta yang di
wakafkannya. Demi kemashlahatan dan pelestarian benda-benda wakaf hingga
manfaat wakaf dapat berlangsung secara terus-menerus , maka nazhir sangat
dibutuhkan kehadirannya. Ini beraarti dalam perwakafan nazhir memegang
peranan yang sangat penting.67
Pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi dilakukan secara terus-
menerus untuk mencari alternatif solusi yang dapat mendorong meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lebih cepat. Salah satu alternatif solusinya itu adalah
mobilisasi dan optimalisasi peran wakaf secara efektif. Oleh karenya, secara pasti
dibutuhkan peran nazhir wakaf yang amanah dan profesional, sehingga
penghimpunan, pengelolaan, daan pengalokasian dana wakaf dapat menjadi
optimal.68
Harta wakaf sebagai aset umat, tentu harus dikelola dengan baik dan
amanah, sehingga potensi yang dikandung harta wakaf itu dapat digali dan
disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Selain paradigma bentuk harta yang
diwakafkan, pengelolaan dan peruntukannya, begitu juga dengan pemilihan nazhir
67
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2009), h. 131. 68
Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produkti, (Tanpa
Kota Penerbit : Tanpa Penerbit, 2007), h. 52.
39
oleh si waqif merupakan bagian penting dalam upaya optimalisasi peran wakaf
dalam pensejahteraan umat. Nazhir menjadi pihak sentral dari pengelolaan wakaf,
karena berhasil atau tidaknya pengelolaan harta wakaf sangat terkait dengan
kapasitas dan integritas nazhir itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai instrumen yang
paling penting dalam pengelolaan wakaf, nazhir harus memenuhi kriteria yang
memungkinkan harta wakaf dapat dikelola dengan baik. 69
Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengelola harta wakaf
dengan baik dan profesional, nazhir haruslah orang yang memenuhi kriteria dan
persyaratan nazhir, baik secara fikih maupun secara peraturan perundang-
undangan. Adapun syarat nazhir adalah :
1. Adil dalam pengertian melaksanakan perintah Agama dan menjauhi
larangannya. Ini merupakan persyaratan yang di ajukan oleh
mayoritas ulama selain Hanabilah.
2. Mempunyai keahlian, yaitu kemampuan personality, yaitu baligh dan
berakal serta kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta
wakaf. Namun, para ulama tidak mensyaratkan laki-laki terhadap
nazhir wakaf, karena Umar ibn Khattab pernah berwasiat kepada
Hafsah untuk memelihara harta wakafnya.
3. Islam, namun di kalangan Hanafiyah tidak mempersyaratkan Islam
bagi nazhir. Menurut pendapat ulama Hanafiyah, Islam tidak menjadi
syarat sahnya perwalian dalam wakaf. Oleh karena itu, boleh saja
nazhir tidak diberikan kepada orang non-Muslim. Menurut ulama ini,
pemberian hak pengelolaan wakaf dimaksudkan untuk menjaga harta
wakaf, mengelola, dan mendistribusikannya kepada yang berhak
menerimanya. Untuk itu, dibutuhkan seorang pengelola yang jujur dan
amanah sekaligus mampu mengelola wakaf, baik yang dilakukan
69
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 41.
40
sendiri maupun bersama waakilnya. Kriteria jujur dan amanah itu
dapat dimiliki oleh semua orang baik Muslim maupun non-Muslim.70
Dari pengertian syarat pertama di atas mengandung makna bahwa nazhir harus :
a. Muslim atau Muslimat
Syarat di atas mengandung makna bahwa nazhir harus beragama
Islam, tanpa mempersoalkan jenis kelamin, apakah seorang laki-laki
atau seorang perempuan. Dan syarat ini berlaku pada wakaf untuk
orang Islam (mauquf alaihnya beragama Islam)
b. Baligh dan Berakal
Oleh karena tugas nazhir melakukan tindakan hukum mengenai
harta, maka mau tidak mau nazhir haruslah orang yang sudah baligh.
Karena anak-anak dipandang belum cakap hukum melakukan
tindakan hukum dibidang harta.
c. Amanat, tidak khianat
Syarat ini mengandung makna bahwa nazhir harus mengetahui
hukum-hukum dalam Islam, terutama hukum-hukum yang berkaitan
dengan wakaf serta tugasnya sebagai nazhir.71
Persyaratan nazhir secara fikih merupakan dasar bagi pemikiran
perundang-undangan wakaf kontemporer. Nazhir diposisikan pada tempat yang
sangat penting bagi pengembangan wakaf. Inovasi pengembangan aset wakaf juga
tergantung kreativitas nazhir. Karena itu, undang-undang wakaf memberi kriteria
lebih ketat pada nazhir. Dia bukan hanya asal tokoh masyarakat, sesepuh desa,
kiai, atau ulama melainkan juga harus berkemampuan manajerial.72
70
Anonym, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat Pemberdayaan
Wakaf: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2007), h.
116-117. 71
Ditulis oleh KH. Anwar Ibrahim dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-0824)
volume V, Nomor 01, Januari 2012, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia, h. 7 72
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 41.
41
BAB III
BIOGRAFI KH. MUHAMMAD THOLHAH HASAN
A. Sosok KH. Muhammad Tholhah Hasan
KH. Muhammad Tholhah Hasan adalah sosok seorang kiai organistatoris
yang sangat berkompeten, beliau juga termasuk salah seorang yang memiliki
sanad ke-ilmuan secara langsung kepada KH. Hasyim Asy‟ari. Beliau juga salah
seorang pemikir sekaligus praktisi dalam bidang ilmu wakaf. Beliau juga seorang
pendidik yang bahkan banyak tokoh-tokoh Indonesia masa kini yang memberikan
apresiasi tinggi kepada beliau karena etos kerja dan asketisisme yang tinggi.
Tak hanya itu, beliau merupakan salah satu sosok intelektual yang lahir
dari rahim pesantren, dan merupakan penerus intelektual-intelektual pesantren
yang lahir sebelumnya, seperti KH. Hasyim Asy‟ari di Jawa Timur, Syaikh Holil
Bangkalan di Madura, Syaikh Nawawi di Banten, Syaikh Nafis al-Banjari di
Kalimantan Selatan, Syaikh Abdurrauf Al-Singkili di Aceh, Syaikh Yusuf Al-
Makassari di Sulawesi Selatan, dan masih banyak lagi intelektula-intelektual
yang lahir seangkatan atau sesudah mereka yang merupakan produk dari
pesantren.73
Meski kedekatan saya relatif sebentar, sosok Pak Tholhah meninggalkan
cukup mendalam di hati. Secara pribadi saya menyayangkan mengapa beliau tidak
diberi kepercayaan cukup lama memimpin Depag (Departemen Agama). Dalam
ungkapan psikologis, beliau merupakan intelektual NU (Nahdlotul Ulama) yang
telah selesai dengan persoalan pribadinya, sehingga yang menjadi agenda utama
hidupnya adalah bagaimana memberi dan melayani orang lain, bukannya minta
dilayani. Inilah salah satu ungkapan salah satu tokoh cendikiawan Muslim
sekarang Prof. Dr. Komaruddin Hidayat ketika memberikan komentar tentang
sosok KH. Muhammad Tholhah Hasan.74
73
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. xxxiv 74
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 280
41
42
Dalam sambutan pada acara pengukuhan gelar Doctor Honoris Causa
(DHS) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Auditorium Harun Nasution UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan, Doctor Honoris Causa yang diberikan
kepada Pak Tholhah Hasan merupakan sebuah prestasi yang sangat luar biasa bagi
seorang yang ngaji kepada Kiai tanpa beban dan tanpa mikir akan jadi apa kelak,
akan tetapi beliau (KH. Muhammad Tholhah Hasan) dapat mencapai sebuah
derajat keilmiahan yang tinggi.
Ridwan Lubis ketika berbicara tentang sosok kiai Tholhah adalah
seseorang yang dari sisi pemikiran perkembangan masa depan (futuristik) adalah
langkah yang selalu beliau tempuh. Misalnya ketika kiai Tholhah diamanahi
menjadi Menteri Agama, butir-butir program yang selalu dimunculkan bersifat
futuristik, ap to date dan beberapa langkah lebih maju dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya.75
Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki banyak ilmu, hidupnya
dipersembahkan dan didekasikan untuk kesejahteraan Bangsa dan umat. Beliau
memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan dan wakaf. Dalam bidang
pendidikan, sudah ratusan bahkan ribuan santri, mahasiswa, dan mahasiwi beliau
yang sekarang sudah turut berkontribusi untuk Bangsa dan Negara. Dalam bidang
wakaf, beliau adalah seorang praktisi yang berhasil mengembangkan lahan wakaf
yang di wakafkan kepadanya, terbukti ketika beliau mengembangkan sebuah
lembaga pendidikan al-Ma‟arif di Singosari Malang, Rumah Sakit Islam Malang,
Universitas Islam Malang, al-khaibar minimarket di UNISMA, dan banyak lagi
bentuk lahan wakaf yang telah beliau kembangkan.76
B. Latar Belakang Keluarga KH. Muhammad Tholhah Hasan
Kiai Tholhah adalah sosok pria yang lahir dalam keadaan lingkungan yang
religius, masa remajanya beliau habiskan untuk tinggal dan menggali ilmu di
lembaga pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren telah menjadi identitas yang
75
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 340 76
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 222
43
melekat dalam dirinya, sehingga beliau besar menjadi sosok yang alim dalam
bidang ke-Agamaan dan juga memiliki concern terhadap pemberdayaan dan
kesejahteraan umat.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa Sedayu Lawas pada masa
penjajahan Belanda, pasukan Indonesia datang menemui seorang kiai sepuh di
desa tersebut, berkunjungnya pasukan Indonesia ke kediaman kiai tersebut guna
untuk meminta doa atau wiridan, kiai sepuh tersebut bernama kiai Abu Hasan,
selain ahli ilmu kanuragan, beliau juga ahli dalam ilmu pengetahuan agama Islam,
yang mana pada sore dan malam hari beliau mengajar kitab suci al-Qur‟an dan
juga mengajarkan kitab-kitab kuning kepada warga.77
Kiai Abu Hasan memiliki sanad (garis keturunan) yang tinggi, ayah beliau
bernama kiai ng Sendang Duwur, kiai Sendang Duwur adalah tokoh spririual pada
zamannya, yang juga sebagai murid langsung dari Sunan Drajat. Istri beliau
bernama Nyai Wuriam, tak kalah dengan suaminya, Nyai Wuriam sendiri adalah
keturunan dari Sunan Kudus, ayahnya bernama Raden Tirtojoyo yang berasal dari
Kudus. Dari Raden Tirtojoyo inilah sanad Nyai Wuriam bersambung ke Sunan
Kudus.78
Selama mengarungi bahtera rumah tangga, Kiai Abu Hasan dan Nyai
Wuriam memiliki satu orang putra yang kemudian diberi nama Tholhah oleh Kiai
Abu Hasan, Tholah sendiri adalah anak kandung dari Kiai Abu Hasan dari istrinya
yang pertama sebelum menikah dengan Nyai Wuriam. Tholhah tumbuh sebagai
anak yang cerdas, juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Tholhah bukanlah
tipe pemuda yang hanya mampu berpangku tangan atas apa yang melanda
Negerinya, ia juga bukan tipikal intelektual picisan yang hanya mampu berbicara
tanpa berbuat apa-apa. Dalam dirinya menyatu semangat intelektualitas dan jiwa
77
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 5 78
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 7
44
aktifis sekaligus. Sebagai seorang intelektual, dia benar-benar membumi dan
membaur dengan masyarakat sekitar.79
Dalam usianya yang relatif muda, Tholhah telah menjadi tokoh panutan
orang-orang desa Sedayu Lawas. Waktu itu, ia menggerakkan anak-anak muda
untuk selalu berpikir kritis dan memikirkan nasib yang terjadi di Negeri ini. Ia
mengajak pemuda-pemuda Sedayu Lawas untuk memantau perkembangan politik
yang sedang berlangsung dengan mendiskusikan tulisan-tulisan yang ada di
majalah MIA. Ia juga dikenal oleh penduduk Sedayu Lawas sebagai salah seorang
tokoh pemuda yang membidani kelahiran organisasi Anshor di Sedayu Lawas.80
Ketika menjelang dewasa, Tholhah dinikahkan dengan Anis Fatma yang
sebenarnya masih sebagai saudara dekatnya sendiri. Anis Fatma adalah
keponakan dari Nyai Wuriam yang sekaligus sebagai anak angkat beliau. Anis
Fatma adalah anak dari Nyai Suwarni dengan Raden Sudiyo, Nyai Suwarni
sendiri adalah kakak kandung dari Nyai Nyai Wuriam. Dalam perkawinan
Tholhah dengan Anis Fatma, mereka dikaruniakan seorang putra yang diberi
nama dengan Muhammad Affan Mufti.81
Sejak kelahirannya, Muhammad Affan Mufti begitu dimanja oleh selutuh
anggota keluarganya, lebih-lebih oleh Kiai Abu Hasan dan Nyai Wuriam. Hal ini
lantaran kehadirannya sebagai cucu pertama bagi sepasang kakek nenek ini.
Wajahnya yang imut dan gerakan-gerakannya yang lucu membuat Kiai Abu
Hasan dan Nyai Wuriam mampu menahan untuk berlama-lama menatapnya.82
Tiap kali memandang bayi Affan, ada perasaan aneh yang tiba-tiba
menjalar ke dalam seluruh tubuh. Rasa bahagia melihat sang cucu tumbuh dengan
begitu sehat di zaman yang serba kekurangan, rasa tidak percaya akan perjalanan
waktu yang begitu cepat. Rasa-rasanya baru kemarin sore Kiai Abu Hasan
79
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 9 80
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 10 81
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 10 82
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 16
45
melepas masa lajangnya, dan tiba-tiba ia sudah menjadi seorang kakek. Meskipun
Affan tumbuh dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan, tak sedikitpun ia
merasa kurang dari rasa kasih sayang dari ayah-ibu dan juga dari kakek-
neneknya.83
Hingga pada suatu hari, ketika usianya baru menginjak empat tahun, bocah
kecil ini melihat orang-orang di kampung tiba-tiba datang ke rumahnya, lalu
terdengar bacaan-bacaan tahlil dan doa-doa. Sementara di tengah-tengah, ia
melihat ayah tercintanya terbujur kaku berbungkus kain putih. Waktu itu ia sama
sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, yang ia tahu, sejak hari itu, tak
pernah ia dapati sang ayah pulang ke rumah dan tak bisa lagi bermanja-manjaan
dengan ayah tercintanya itu.84
Selang beberapa hari setelahnya, lagi-lagi kembali beberapa orang datang
ke rumahnya, membaca doa-doa sambil mengelilingi sebuah nasi tummpeng. Lalu
kemudian sang kakek memberi tahu kalau dirinya tidak lagi dipanggil affan atau
mufti, akan tetapi panggilan untuknya adalah Tholhah, persis dengan nama
ayahnya.85
Konon, menurut cerita-cerita yang pernah affan dengar, sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, sang ayah masih sempat menitipkan pesan
kepadanya, supaya dia mampu membawa nama baik ayahnya itu. Mungkin karena
itu ia masih terlalu kecil, maka ia kurang begitu mengerti perihal ayah terhadap
dirinya itu. Karena alasan inilah kemudian sang kakek mengganti nama affan
dengan nama ayahnya Tholhah. Sedangkan nama Hasan diambil dari nama
kakeknya. Dengan demikian nama Tholhah Hasan yang saat ini ia sandang
merupakan beban berat untuk mengangkat setinggi-tingginya derajat ayah dan
kakeknya tercinta.86
83
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 16 84
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 17 85
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 17 86
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 18
46
C. Pendidikan KH. Muhammad Tholhah Hasan
Pada masa kecilnya, sosok Kiai Tholhah bukanlah tipikal anak yang
pendiam dan penurut. Ia nakal dan kadang-kadang menjadi liar. Namun justru itu,
keliaran-keliaran itulah yang membiasakan dirinya untuk menjadi pribadi yang
kreatif. Lazimnya anak-anak kampung, ia pun mengisi hari-hari kecilnya dengan
dunia permaianan. Mandi di laut, bermain layang-layang, mencari burung, juga
perang-perangan adalah aktifitas-aktifitas yang biasa ia jalani bersama sahabat-
sahabatnya.87
Namun ada yang menarik dalam diri Kiai Tholhah masa kecil, dalam masa
usianya yang masih dini, ia telah terbiasa mengorganisir sahabat-sahabatnya untuk
bermain. Bagi sahabat-sahabatnya, Kiai Tholhah adalah komando, seperti apa dan
kapan permainan akan dilakukan, yang mana sepenuhnya bergantung dan atas
inisiatif dari Kiai Tholhah ketika itu.88
Semasa kecil, Kiai Tholhah belajar dan diasuh oleh Kiai Asy‟ari, beliau
adalah salah satu guru Kiai Tholhah yang amat sangat ia hormati, pun juga oleh
sahabat-sahabatnya. Kiai Asy‟ari adalah salah satu guru madrasah diniyah yang
begitu sabar mendidik anak se-badung kiai Tholhah kala itu. Kiai Asy‟ari adalah
sosok Ustad kampung yang penuh rasa cinta kasih dengan pendalaman rasa yang
luar biasa terhadap anak didiknya. Kepadanya anak-anak kecil kampung biasa
mengadu atas segala persoalan mereka . dan kalau sudah demikian, dengan begitu
telaten, ia mau mendengarkan curhatan anak-anak itu.89
Waktu itu selain Kiai Asy‟ari, Ustad-ustad yang pernah mengajarnya
adalah Kiai sulaiman, Kiai zuhdi, Kiai muhtarom, Kiai mahbub dan Kiai asror.
Dalam asuhan Kiai zuhdi, pertama kali Kiai Tholhah mengenal pelajaran agama
Islam. Di mushollah Kiai zuhdi mengajar dengan cara yang amat tradisional.
Anak-anak kecil tanpa ada penjenjangan kelas diajari membaca Al-Quran, cara-
87
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 27 88
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 28 89
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 36
47
cara sholat, dan juga ilmu fikih dasar.begitupun juga dengan Kiai muhtarom, Kiai
ini adalah teman akrab ayah Kiai Tholhah dulu semasa muda.90
Pada saat Kiai Tholhah berusia tujuh tahun, ketika itu di kampungnya baru
mulai didirikan Sekolah Rakyat (SR). Dan ia pun masuk ke sekolah itu. Dengan
demikian, dalam satu hari, ia mengikuti sekolah dua kali. Pada jam 07.00 sampai
jam 12.00 siang belajar di sekolah rakyat, kemudian mulai jam 14.30.00 ia
mengikuti sekolah diniyah.91
Sebagaimana yang dituturkan Kiai Tholhah, masyarakat dimana ia tinggal,
meskipun hidup dalam batas di bawah kemiskinan, namun mereka memiliki
semangat keberagaman yang tinggi. Meski di kampung Kiai Tholhah tidak
terdapat pondok pesantren, namun kehidupan keberagamannya tak jauh beda dari
dunia pesantren. Banyaknya para tokoh jebolan pesantren, telah menyemarakkan
pendidikan di sana. Para alumni pondok, biasa memberikan pelajaran diniyah di
sore hari. Di diniyah ini, kurikulum yang ada sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan yang diajarkan di pondok pesantren, misalnya, untuk pelajaran Nahwu,
kitab yang dipakai adalah Jurumiyah, Imrithi, hingga Alfiyah ibn Malik. Untuk
pelajaran fikih, kitab yang diajarkan adalah Taaqrib, Sulamuttaufiq, Safinah al-
Naja, atau Fathu al-Mu‟in. Kitab-kitab ini semua diajarkan di pondok pesantren.92
Ketika Kiai Tholhah masih belia, pondok pesantren Tebuireng Jombang
telah menjadi kiblat bagi kalangan masyarakat Jawa Timur pada umumnya dan
Sedayu Lawas pada Khususnya. Bagi mereka, serasa tidak sah tatkala seorang
santri mengecap manis-pahitnya dunia pesantren tetapi belum merasakan
kehidupan pesantren Tebuireng.93
Tiga belas tahun usia Kiai Tholhah ketika itu juga ia resmi mendapatkan
tanda kelulusan Sekolah Rakyat (SR). Begitu pula, pada usia itu ia sudah
90
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 38 91
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 39 92
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 44 93
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 63
48
dianggap oleh guru-gurunya telah berhasil menempuh pendidikan diniyah. Kiai
Tholhah tahu betul bahwa apa yang sudah diterimanya adalah bagian terkecil dari
ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Jauh di luar sana telah terhampar ilmu
pengetahuan yang begitu luas.94
Berkat dorongan, doa, dan usaha dari kakek, nenek, dan ibunya. Kiai
Tholhah pergi meninggalkan kampung halamannya menuju pondok pesantren
Tebuireng di Jombang dengan membawa bekal dari hasil warisan sang ayah yang
dijual ibunya. Hari itu adalah hari yang amat sangat membahagiakan bagi dirinya,
karenan harapan dan impian untuk menjadi salah santri di pondok pesantren yang
terkenal itu dapat terwujudkan. Maka tak henti-hentinya, Kiai Tholah
mengagungkan Asma Allah sebagai ekspresi rasa syukur itu.95
“Man jadda wajada!” Demikian pepatah Arab yang sangat terkenal di
dunia pesantren. Siapapun yang bersungguh-sungguh, maka ia akan menuai hasil
dari kesungguhannya. Tidak ada manusia yang benar-benar bodoh. Pun juga tidak
ada manusia yang benar-benar sempurna. Siapa yang berusaha, pastilah ia akan
mendapatkan hasil sesuai dengan jerih payahnya. Kata sakti ini rupanya terbukti
dalam perjalanan Kiai Tholhah. Satu tahun Kiai Tholhah nyantri di Tebuireng. Ia
telah berhasil menghafalkan seribu bait Alfiyah. Sebuah standar bagi keberhasilan
seorang santri sampai saat ini. Tak hanya itu, ia di anggap sebagai seorang santri
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Karenanya di madrasah tsanawiyah
Kiai Tholhah langsung diloncatkan ke kelas tiga.96
Seorang Kiai dalam dunia pesantren adalah tokoh-tokoh yang mempunyai
kelebihan yang dekat dengan Allah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka adalah orang
yang senantiasa berbuat kebajikan. Sebagaimana santri pada umumnya, Kiai
Tholhah saat itu memiliki keinginan untuk melanglang buana berguru kepada
94
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 67 95
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 69 96
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 75
49
Kiai-kiai yang berbeda. Tercatat Kiai Tholhah telah belajar kepada banyak guru,
antara lain Kiai Idris, Kiai Adlan, Kiai Masykur, Kiai Mahfudz, Kiai Baidhawi,
Kiai Manan, Kiai Syamsuri, Kiai Romli, Juga kepada Hadrotu Syekh Hasyim
Asy‟ari. Kiai Tholhah juga pernah posonan ke daerah Lasem di Jogjakarta. Waktu
iu, ia mengikuti pengajian fikih yang diajarkan oleh Kiai Maksum. Pernah juga,
beberapa bulan ke Tambak Beras untuk mengikuti pengajian fikih. 97
Di antara puluhan Kiai yang pernah menjadi gurunya, Kiai Idris dan Kiai
Adlan merupakan dua sosok Kiai yang sangat mempengaruhi kehidupannya. Dari
dua Kiai inilah, Kiai Tholhah disadarkan tenang bagaimana seseorang menjalani
hidup. Kiai Idris dan Kiai Adlan adalah dua guru yang berjalan dengan cara yang
secara pintas bertolak belakang. Namun hakikatnya, mereka sedang menempuh
jalan yang sama. Jalan ridha Allah, jalan pengabdian seorang hamba kepada
Tuhan. Sama-sama mengamalkan tasawuf dalam kehidupan sehari-harinya, Kiai
Idris hidup dengan kemiskinan, sementara Kiai Adlan hidup dengan
bergelimangan harta. 98
Setelah pindah ke malang, beliau menekuni pendidikan umum
pada jenjang perguruan tinggi. Jenjang sarjana muda beliau dapatkan pada jurusan
Ilmu Pemerintahan pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL)
Universitas Merdeka Malang. Jenjang ini ditekuninya selama tiga tahun, mulai
pada tahun 1963 dan selesai pada 1966. Pada tahun 1974 beliau mengambil
program sarjana jurusan Ketatanegaraan fakultas Ketatanegaraan dan
Ketataniagaan (FKK) yang sekarang berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu
Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, hingga memperoleh derajat
ke-sarjanaannya pada tahun 1973.99
97
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 82 98
Nasaruddin Umar, dkk, Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spriritual KH. M.
Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Center). h. 83 99
http://zulfanioey.blogspot.co.id/2011/07/prof-dr-kh-muhammad-tholhah-
hasan.html. Diakses pada tanggal 09-10-2017, pukul 13.47.
50
D. Rekam Jejak Perjalanan KH. Muhammad Tholhah Hasan
Dalam kancah perkembangan dan perjalanan bangsa Indonesia, sejak era
kolonialisme sampai sekarang, kontribusi Kiai Tholhah turut mewarnai dinamika
Bangsa ini. Dalam bidang perjuangan melawan kolonialisme, pendidikan, politik,
pembangunan, juga dengan administrasi wakaf yang sampai saat ini masih tetap
eksis lembaganya. Unik sekali memang, seorang Kiai dengan latar belakang
pendidikan pesantren, yang kemudian melanjutkan pendidikan sarjana mudanya
dalam bidang ilmu administrasi, dan mendapat gelar Doctor Honoris Causa
(DHS) dalam kajian pendidikan, yang selanjutnya gelar Profesor beliau peroleh
dalam bidang Ilmu Wakaf. Oleh karenanya tak heran jika Prof. Dr. Nasaruddin
Umar memberikan julukan kepada beliau sebagai “Kiai Multitalenta”.
Kiai Tholhah mulai menekuni organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sejak
tingkat yang paling rendah yaitu tingkat ranting, kemudian naik ke tingkat
Pengurus Cabang, kemudian ke Pengurus Wilayah dan bahkan hingga ke
Pengurus Besa. Karir beliau di organisasi Nahdatul Ulama di mulai pada tahun
1960, beliau dipecaya sebagai pimpinan ranting di Singosari Malang, kemudian di
tahun 1963 beiau menjadi ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC
NU) di Singosari Malang sampai tahun 1966. Kemudian di tahun ini juga 1966
sampai 1969 beliau menabat sebagai salah satu ketua Pengurus Cabang NU
Kabupaten Malang. Selanjutnya pada tahun 1986 sampai 1989 menjabat sebagai
salah satu ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa
Timur periode 1986-1992. Sebelum habis masa kepengurusan Tanfidziyah
wilayah Jawa Timur tersebut, beliau ditarik ke pusat menjadi salah satu ketua
Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) periode 1990-1994
berdasarkan hasil Muktamar NU ke-28 yang berlangsung di Pondok Pesantren Al-
Munawir Krapyak Yogyakarta, sebagai ketua IV (Bidang Urusan Luar Negeri).
Sejak tahun 1994 sampai 2009, beliau aktif di salah satu ketua Rois Syuriah
PBNU, sebagai Syuriah urusan pengembangan sumber daya manusia.100
100
Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, ( Jakarta:
Listafariska Putra,Cet.2, 2004), h. 317
51
Tak hanya itu, pada masa mudanya Kiai Tholhah pernah menjabat sebagai
anggota Badan Pemerintah Harian Daerah (BPH-PEMDA) Kabupaten Malang
selama kurang lebih 9 tahun. Dalam karier politik beliau juga pernah menjabat
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang,
juga pernah di angkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia pada era
reformasi yaitu kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid. 101
Perannya sebagai ulama juga ditunjukkan dengan eksistensi Masjid
Sabilillah di Singosari Malang yang dibangun bersama salah seorang founding
father NKRI, KH Masykur. KH Masykur menunjuk Kiai Alumni Tebuireng ini
sebagai ketua panitia pembangunan masjid itu. Kiai Tholhah mampu
mengembangkan Masjid Sabilillah menjadi sebuah masjid yang tidak hanya
menonjol sebagai tempat ibadah, melainkan tempat pengembangan masyarakat
dengan memberdayakan masjid berperan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Hal ini dutunjukkan dengan adanya sekolah mulai tingkat dasar
sampai lanjutan, kegiatan sosial ekonomi dengan adanya Laziz Sabilillah,
Poliklinik sebagai pusat kesehatan Masyarakat. Semuanya itu dikelolah dengan
baik dibawah Masjid Sabilillah. Hal demikian ini menunjukkan bahwa Kiai
Tholhah mampu mengembangkan masjid sebagai pusat peradaban seperti masa
lalu.102
Pasca beliau menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, beliau
diberikan amanat untuk memimpin sebuah lembaga milik negara yang berada di
bawah payung Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu Badan Wakaf
Indonesia. Peran beliau sebagai seorang pemimpin terbukti berhasil, kinerja beliau
yang tak dapat dipandang sebelah mata, prestasi beliau juga tak dapat ditutupi
walau se-ujung jari dalam perkembangan wakaf di negara Indonesia ini. Setelah
selesai beliau memimpin Badan Wakaf Indonesia, beliau kemudian diangkat
menjadi Dewan Pembina Badan Wakaf Indonesia sampai saat ini.
101
http://zulfanioey.blogspot.co.id/2011/07/prof-dr-kh-muhammad-tholhah-
hasan.html. Diakses pada hari senin Tanggal 09-10-2017, pukul 17.07. 102
http://www.nu.or.id/post/read/60403/kh-tolchah-hasan-sosok-kiai-organisator.
Diakss pada hari senin Tanggal 09-10-2017, pukul 17.34.
52
E. Karya-karya KH. Muhammad Tholhah Hasan
Sebagai seorang intelektual, Kiai Tholhah telah banyak menyumbangkan
karya-karyanya yang sangat berharga untuk perkembangan peradaban sosial
masyarakat Islam khususnya dan masyarakat non-Islam pada umumnya. Karya-
karya beliau tak hanya berupa tulisan, akan tetapi juga berupa fisik yang telah
berhasil beliau kembangkan dari nol. Karya-karya tulis Kiai Tholhah adalah :
1. Islam dan Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000)
2. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta:
Lantabora Press, 2000).
3. Kado Untuk Tamu-tamu Allah (Jakarta: Lantabora Press, 2000).
4. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press
2004).
5. Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: Listarafiska Putra, 2004)
6. Diskursus Islam Kontemporer (Jakarta: Listarafiska Putra, 20004).
7. Ahlusunnah Wal Jama‟ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta,
Lantabora Press, 2004).
8. Agama Moderat: Pesantren dan Terorisme (Jakarta: Listarafiska Putra,
20004).
9. Apabila Iman Tetap Bertahan (Jakarta: Listarafiska Putra, 20004).
Sedangkan tulisan-tulisan beliau dalam bentuk jurnal yang sudah diterbitkan
adalah :
1. Hak Rakyat Atas Tanah; Satu Perspektif Islam (Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Islam Malang, 2000).
2. Kiprah Kaum Wanita dalam Wakaf (Al-Awqaf, Jurnal Wakaf dan
Ekonomi islam, 2012).
3. Wakaf dan Peranannya dalam Pendidikan di Dunia Islam (Al-Awqaf,
Jurnal Wakaf dan Ekonomi islam, 2013).
4. Exchanging Waqf Asset (Al-Awqaf, Jurnal Wakaf dan Ekonomi islam,
2011).
53
Prestasi Kiai Tholhah dalam pengembangan Wakaf adalah sebagai berikut :
1. Taman Kanak-kanan Al-Ma‟arif Singosari Malang
2. SD, SMP, SMA, dan SMK Islam Al-Ma‟arif Singosari Malang
3. Madrasah Tsanawiyah Al-Ma‟arif Singosari Malang
4. Madrasah Aliyah Al-Ma‟arif Singosari Malang
5. Taman Kanak-kanak Sabilillah Malang
6. SD Islam Sabilillah (fullday school) Malang dengan program unggulan
7. Madrasah Aliyah Plus di Pekanbaru Riau.
8. Yayasan Universitas Islam Malang
9. Yayasan Pendidikan Islam Al-Ma‟arif Malang
10. Yayasan Sabilillah Malang
11. Yayasan Hizbullah
12. Yayasan Panti Asuhan Yatim Babus Salam
13. Yayasan Pondok Pesantren Teknologi “Ummatan Wasathan”
14. Rumah Sakit Islam (UNISMA) Malang
15. Rumah Sakit Bersalin (Muslimat Medical Center)
16. ASWAJA Center di Batu Malang
17. Minimarket Al-Khaibar di UNISMA Malang
54
BAB IV
PEMIKIRAN PROF. DR. KH. MUHAMMAD THOLHAH HASAN
A. Latar Belakang Pemikiran Prof. KH. M. Tholhah Hasan
Sosok KH. Tholhah sudah tidak lagi diragukan bilamana beliau ditunjuk
dan diperintahkan sebagai Nazhir. Hal ini karena sudah segudang harta wakaf
yang beliau kembangkan. Pengembangan harta wakaf yang tidak hanya berguna
dan bermanfaat bagi harta wakaf itu sendiri, melainkan juga bermanfaat bagi
masyarakat dan kepentingan sosial, terutama demi kepentingan agama Islam.
Perubahan masyarakat atau perubahan sosial itu, ada yang mempunyai
akibat menguntungkan dan membawa pengaruh positif, yang berarti membawa
kemajuan dan perkembangan (progress), tapi ada juga perubahan sosial yang
mempunyai pengaruh negatif yang berarti membawa kemunduran (regress),
seperti banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikan masyarakat tenggelam
didalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil suatu
sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.103
Dalam menentukan sebuah pilihan, seorang terpelajar tidaklah mungkin
mengambil keputusan dan menentukan sebuah pilihan tanpa menganalisa dan
mempertimbangkannya secara matang. Oleh karena itu, tentunya sebelum beliau
terjun dan berkecimpung ke dalam dunia perwakafan, ada hal-hal yang menjadi
alasan dan landasan pemikiran beliau tentang perwakafan yaitu :
1. Keperihatinan sosial yakni beliau menilai bahwa banyak umat Islam
rata-rata yang mengeluh soal keterbatasan dalam biaya dan fasilitas
kegiatan-kegiatan yang bonafit untuk pengembangan agama Islam,
baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dll. Contohnya adalah ketika
ada umat Islam yang ingin membangun masjid, kemudian terbentur
dengan biaya. beliau juga melihat bahwa keluh kesah ini bukanlah
menjadi kesalahan dalam ajaran agama Islam, melainkan perlunya tata
103
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2000), h.19.
53
55
kelola dan manajemen yang baik dalam ekonomi syariah umat Islam
khususnya dalam bidang wakaf.104
2. Keperihatinan theologi (keyakinan) yakni kita sebagai umat Islam
yakin tentunya memiliki perangkat-perangkat yang tidak menyulitkan
umat Islam, agama Islam juga telah memberikan berbagai macam
kesempatan untuk bisa mengumpulkan biaya dan daya umat untuk
mengembangkan dan menyelenggarakan program agama Islam, yaitu
zakat, infaq, shodaqoh, dan termasuk juga wakaf. Beliau juga melihat
bahwa sebetulnya bukan agama Islam-lah yang salah akan tetapi kita-
lah yang mungkin salah ketika memahami ajaran agama Islam ini.105
Sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa syariat Islam tidak lepas
dari kepentingan sosial masyarakat. Mengenai latar belakang beliau untuk terjun
ke dunia wakaf adalah berangkat dari sebuah keperihatinan sosial, hal itu karena
Kiai Tholhah melihat ada sebuah pergerseran nilai-nilai sosial dalam beragama,
juga melihat semakin maju dan berkembangnya zaman yang sehingga mau tidak
mau umat Islam juga harus mengikuti arus dan lajunya dengan membuat program-
program untuk kepentingan umat Islam. Akan tetapi, banyaknya program yang
telah dibuat sedemikian rupa mengalami masalah finansial yang sehingga
program-program yang telah dikonsep mengalami stagnasi.
Keyakinan menurut Abu al-Baqa‟ adalah, “Iktikad yang kuat, menetap dan
sesuai dengan kenyataan”. Definisi lain yang juga diungkapkan tentang keyakinan
yaitu “Pengetahuan yang menetap dalam hati kerena sebab-sebab tertentu dan
tidak bisa disrusak”.106
Seseorang yang apabila telah memiliki sebuah konsep
namun tidak diringi dengan niat dan keyakinan, maka apa yang telah ia canangkan
akan sia-sia. Karena niat seseorang akan menentukan sikap seseorang
kedepannya. Kiai Tholhah yakin bahwa salah satu perangkat ajaran Islam yakni
104
Wawancara Pribadi dengan Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan, di
Singosari Malang, 23 November 2017. 105
Wawancara Pribadi dengan Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan, di
Singosari Malang, 23 November 2017. 106
Abu al-Baqa Ayyub bin Musa al-Husainiy al-Kafawiy, al-Kulliyat Mu‟jam fi
al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughowiyah, (Beirut: Daar al-Kutub 2004), h. 116
56
wakaf mampu meretaskan problematika ekonomi umat Islam apabila ditafsirkan
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan mashlat bersama.
Bila kita melihat dua hal yang melatar belakangi pemikiran Kiai Tholhah
di atas adalah sebuah pemikiran yang sangat tepat sebagai sebuah latar belakang.
Ajaran Islam bukan saja di dalamnya hanya memperhatikan urusan seorang
hamba dengan Pencipta (hablun mina Allah), akan tetapi konsep ajaran Islam juga
perlu melihat urusan antar sesama manusia (hablun min al-nas).
Karena sesungguhnya dua hal itu menurut penulis harus berjalan bersama,
karena urusan vertikal seorang hamba kepada Pencipta memiliki suatu tujuan
untuk memberi suatu petutunjuk kepada segenap umat Islam untuk meyakini akan
ke-Tuhanan Allah, ke-Rasulan Muhammad, serta mempersiapkan kehidupan
abadi di alam akhirat agar hidup dalam keadaan bahagia sejahtera. Sedangkan
hubungan horizontal antara seorang hamba dengan hamba memiliki tujuan agar
menjaga kepentingan-kepentingan antara sesama makhluk.
B. Modernisasi Pengembangan Wakaf Produktif
Sebagai seorang pemuka Agama sekaligus tokoh intelektual, Kiai Tholhah
membawa sebuah gagasan dan terobosan baru dalam dunia wakaf, beliau
memiliki konsep untuk memodernisasikan wakaf produktif. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan
mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan
masa kini.107
Sedangkan modernisme yang diungkapkan menurut Harun Nasution
adalah pikiran-pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah faham-faham,
adat istiadat, institusi-institusi lama, disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.108
Wakaf
produktif adalah sebuah paradigma baru dalam wakaf.
Jika kita memperhatikan potensi Islam baik dalam vitalitas, totalitas, dan
universalitas Islam yang dimiliki umat Islam dapat diharapkan menjadi alternatif
107
Aplikasi android Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016 108
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1975),
h.11.
57
paling baik dari lainnya yang sudah terasa dalam kepengapan. Hal ini dapat
ditambah lagi dengan letak strategis kawasan Islam mulai dari selat Borporus
sampai Kepualauan Indonesia dalam lintasan geo-politik yang dapat ikut
mendukung peranan Islam sebagai yang dibutuhkan masyarakat manusia sekarang
dan masa mendatang, kiranya ada harapan terang dalam cakrawala dunia Islam.
Sistem sistem sosio-kultural yang diharapkan. Masih ditambah lagi, dengan
kekayaan sumber alam dinegara-negara yang masyarakatnya mayoritas Islam atau
yang resmi menyebut diri sebagai negara Islam, yang menjadi kebutuhan dunia,
termasuk bagi negara-negara maju.109
Di Indonesia mayoritas pemahaman agama umat Islam dalam ilmu fikih
mengikuti Syafi‟iyyah. Artinya pemahaman mazhab ini sudah mendarah daging
dikalangan umat Islam di Indonesia. Pemahaman wakaf menurut Syafi‟iyyah
sahnya pernyataan wakaf hanya cukup diucapkan melalui lisan saja. Hal ini dapat
mengakibatkan banyaknya harta benda wakaf yang hilang dan diselewengkan oleh
pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab, hal itu karena tidak adanya prosedur
administrasi yang jelas. Selanjutnya menurut paham Syafi‟iyyah, harta yang hanya
bisa diwakafkan adalah hanya benda mati seperti tanah dan bangunan, dan
peruntukkaannya hanya untuk madrasah, kuburan, yayasan, masjid, dan mushalla.
Hal ini berimplikasi harta benda wakaf cenderung tidak berkembang.110
Menurut Kiai Tholhah, ada sebuah perangkat khusus di Indonesia ini yang
memiliki sebuah potensi besar yang kedepannya dapat menjadi alat sebagai
pemberdayaan dan kesejahteraan umat, serta menjadi sebuah objek untuk
mengatasi probelamatika dalam sistem perekonomian umat Islam yaitu wakaf.
Akan tetapi hal itu sampai saat ini masih kurang dilirik dan kurang difahami
manfaatnya. Ada dua hal yang beliau tekankan dalam melakukan sebuah
modernisasi pengembangan wakaf produktif yaitu, Pertama, mengubah paradigma
109
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2000), h.6. 110
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Kumpulan
Khutbah Wakaf, 2015, h. 88.
58
pada objek wakaf dan Kedua, nazhir dan pengaruhnya dalam kemajuan dan
kemunduran harta benda wakaf.
Dahulu orang-orang hanya berfikiran bahwa wakaf hanya merupakan sebuah
benda mati yang kemudian harta benda wakaf itu harus dihidupi bersama-sama
oleh warga yang berada disekitarnya. Akan tetapi kemudian Kiai Tholhah
menjelaskan bahwa harta benda wakaf bukanlah hanya sebagai sebuah benda mati
yang harus dihidupkan, melainkan sebuah aset yang dapat dikelola dan
dikembangkan, sehingga harta benda wakaf itu dapat menjadi sarana
pemberdayaan umat serta dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
Harta benda wakaf tidak hanya diperuntunkkan untuk sebuah bangunan
masjid, mushollah, pesantren, dan yayasan. Akan tetapi harta benda wakaf dapat
digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial seperti mini market, biaya
pendidikan, rumah sakit, spbu, dan sebagainya sehingga dengan adanya bangunan
tersebut bisa memberikan lapangan kerja yang pekerjanya dapat di gaji dari
penghasilan yang didapatkan, juga dapat membantu mensejahterakan umat dengan
diperuntukkan sebagai beasiswa pendidikan, dan tunjangan kepada guru-guru
Agama Islam yang mengalami kekurangan materil, serta untuk kaum dhu‟afa.
C. Manajemen Pengembangan Wakaf
Dalam agama Islam, segala sesuatunya sudah diatur secara rinci tentang tata
cara dan mekanisme dalam menjalankan dan melaksanakan syariat. Baik yang
diatur di dalam kitab suci al-Quran, Hadist, Konsensus Ulama, dan Qiyas. Mulai
dari urusan Ibadah secara vertikal kepada Allah sampai urusan Ibadah horizontal
kepada sesama makhluk. Akan tetapi, walaupun hal itu sudah diatur, masih
banyak di antara kita umat Islam yang belum memahami secara detail tentang
aturan yang sudah dibuat oleh Agama, sehingga berimplikasi pada hasil.
Untuk mengelola dan mengembangkan harta wakaf, semua orang yang telah
memenuhi kriteria rukun dan syarat berhak menjadi nazhir wakaf. Akan tetapi
tentunya tidak semua orang bisa mengembangkan harta wakaf yang ia terima
sehingga dapat menjadi berkembang dan bermanfaat bagi kepentingan sosial
belaka. Ada empat hal menurut Kiai Tholhah dalam memanaje harta wakaf yaitu :
59
1. Mengerti dan memahami arti wakaf baik secara etimologi maupun
terminologi.
2. Waqif perlu untuk menunjuk nadzir yang memiliki kompetensi atau
kemampuan.
3. Memberikan pelatihan, pemahaman, dan pengawasan bagi nadzir.111
Mengenai manajemen wakaf yang beliau sampaikan, penulis telah sampaikan
pada bab sebelumnya tentang pengertian wakaf, baik secara etimologi maupun
secara terminologi. Dan untuk nomor dua dan tiga yang berkaitan dengan nazhir,
penulis akan memberikan penjelasan dan penjabaran dalam sub bab berikut.
a) Pengangkatan Nazhir Wakaf
Pengertian nazhir dalam konteks wakaf, adalah orang atau sekelompok
orang yang bertanggung jawab untuk mengurusi, mengelola, menjaga, dan
mengembangkan barang wakaf. Nazhir dapat dilakukan oleh orang yang
berwakaf (al-waqif) atau orang yang ditunjuk oleh si waqif atau mauquf alaih
(orang atau pihak yang menerima hasil wakaf menurut salah satu pendapat
madzhab), atau oleh hakim (pemerintah) apabila si waqif tidak menunjuknya.
Apabila waqif menunjuk nazhir kepada beberapa orang secara berurutan,
seperti: saya tunjuk si A menjadi nazhir wakaf saya, dan kalau si A meninggal
dunia maka nazhir supaya diganti oleh si B, dan kalau dia meninggal maka
diganti si C. Maka penunjukan waqif tersebut harus dipenuhi.112
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menjadi pernah menjadi nazhir
bagi harta wakafnya sendiri, kemudian berpesan agar yang menggantikannya
sebagai nazhir selanjutnya adalah Hafshah (puterinya) selama masih hidup,
dan seterusnya akan digantikan oleh orang-orang yang berkompeten dari
keluarganya. Sebagaimana Hadist berikut :
111
Wawancara Pribadi dengan Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan, di
Singosari Malang, 23 November 2017.
112 Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011,
yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia, h. 3
60
ىأول من عاشت ث يليو ن عمر رضي اهلل عنو كان يلي أمر صدق تو )اى وق فو( ث جعل اىل حفصة تليو أ
113)رواه أبو داود( الرأي من أىلها
Artinya :” Sesungguhnya Umar R.A memiliki sebidang harta yang beliau
sedekahkan (wakafkan), kemudian (apabila wafat) beliau berikan harta wakaf
itu kepada Hafshah, selanjutnya (apabila Hafshah wafat) harta wakaf itu
diserahkan (untuk diurus) kepada keluarganya yang hidup dan memiliki ilmu
(tentang wakaf)”. (H.R. Abu Dawud).
Menurut Kiai Tholhah, proses penunjukkan dan pengangkatan nazhir di
Indonesia ini dahulu amat sangat tidak sistemik, karena proses itu hanya
dilakukan hanya berdasarkan kepercayaan kepada seseorang tanpa melihat
apakah mereka mampu dengan baik atau tidak, sehingga hal itu dapat
mengakibatkan harta benda wakaf menjadi terbengkalai dan sia-sia.
Padahal kalau kita menangkap pesan khalifah Umar bin Khattab dengan
cermat tentang penggantian nazhir wakafnya setelah beliau wafat adalah
Hafshah (puterinya) selama Hafshah masih hidup, dan selanjutnya digantikan
أي من أ هله ا kemudian nazhir itu digantikan oleh orang yang) ثم ي ليه أ ول ى الر
mempunyai kemampuan nalar atau yang memiliki kompetensi dari
keluarganya). Kata-kata “Uli ar-ra‟yi” menunjukan bahwa orang yang layak
ditunjuk sebagai nazhir adalah orang yang mempunyai wawasan dan
kemampuan tentang perwakafan.114
Apa yang diutarakan oleh Kiai Tholhah di atas menurut penulis adalah
suatu bentuk pemahaman yang sudah pernah ada sejak zaman Rasulullah dan
para sahabat-nya. Hanya saja, banyak umat Islam di Indonesia ini yang tidak
memahami atau mungkin enggan mempraktekkan apa yang sudah pernah
diampaikan oleh Hadist 500 tahun yang lalu. Kompetensi dan kapabilitas
nazhir memang menjadi satu kunci utama sebagai upaya untuk menjalankan
113
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishak al-Sijistani, Sunan Abi
Dawud,(Beirut: Daar al-Kutub Islamiyah, 2003),h.186 114
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 11
61
dan mengembangkan wakaf produktif. Padahal juga Rasulullah pernah
bersabda yang artinya :
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah waktu (kehancurannya)”.
b) Peran Nazhir Terhadap Harta Wakaf
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa nazhir mempunyai posisi
dan fungsi yang strategis dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf, kapan
saja dan dimana saja. Namun dalam kenyataannya selama ini (khususnya di
Indonesia), peran nazhir belum dapat dilaksanakan dengan baik dan
memuaskan kecuali di beberapa tempat saja, malah banyak sekali nazhir yang
tidak berfungsi dan tidak dapat melakukan pengelolaan wakaf sebagaimana
yang diharapkan.115
Abdurrahman „Asyub menyebutkan peranan dasar nazhir adalah menjaga,
mengurus, memproduksikan, serta mengelola hasil wakaf tersebut, serta
mendistribusikan hasil-hasil itu kepada mauquf „alaih dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya.116
Tetapi banyak sekali perilaku nazhir yang tidak hanya sebatas buruk dalam
pengelolaan wakaf yang diamanatkan kepadanya, tetapi bahkan sudah lebih
jauh mengecewakan lagi, seperti metelantarkan barang wakaf, atau
mensalahgunakan aset harta benda wakaf demi untuk kepentingan diri sendiri,
atau memanipulasi kekayaan harta benda wakaf, sehingga peranan nazhir
berubah dari peran melindungi menjadi peran merusak.117
Kalau kita amati lebih cermat lagi, bahwa ketidak berdayaan nazhir dalam
melaksanakan tugas pengelolaan wakaf tersebut disebabkan beberapa faktor:
115
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 9 116
„Asyub, Abduljalil Abdurrahman, Kitab al-Waqfi, (Makkah: Maktabah al-
Makiyah 2009), h. 194. 117
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 10
62
1) Faktor pengetahuan
Banyak sekali nazhir yang tidak memiliki kepahaman tentang
perwakafan, termasuk tentang tugas-tugas dan kewajiban ke-
nazhiran. Terbatasnya pengetahuan menjadi sebab lemahnya
kreativitas dan kompetensi pengelolaan wakaf.
2) Faktor pembinaan
Selama ini, upaya-upaya pembinaan terhadap nazhir sangat
minim, baik oleh pemerintah (Kementerian Agama) atau oleh
lembaga-lembaga dan organisasi Islam yang ada dalam
masyarakat. Masalah nazhir wakaf sepertinya masih belum masuk
dalam agenda pemberdayaan umat. Banyak nazhir yang sampai
meninggal dunia belum pernah tersentuh oleh pembinaan tugasnya.
3) Faktor rekruitment
Pengangkatan nazhir banyak yang dilakukan atas dasar “siapa
yang mau” dan “siapa yang mampu”, bahkan tidak sedikit jabatan
nazhir wakaf ini menjadi “warisan” (si ayah yang menjadi nazhir,
apabila meninggal, otomatis ke-nazhirannya diganti oleh salah
seorang anaknya atau keluarganya yang mau), tanpa melalui proses
administratif apapun, tanpa kualifikasi, dan tanpa kompetensi.
4) Faktor imbalan (ujroh)
Dalam sejarah perwakafan di Indonesia selama ini belum ada
aturan standard tentang imbalan atau upah nazhir, baik secara
nominal atau prosentase. Kalaupun ada sebagian nazhir yang
menerima upah bulanan atau tahunan atau musiman, itu semata-
mata atas dasar kebijakan waqif atau lembaga setempat. Pada
umumnya imbalan atau upah yang diterima oleh nazhir itu sangat
rendah sekali sehingga tidak memberi daya motivasi kepada nazhir
untuk bekerja dengan lebih baik dengan semangat lebih tinggi.
5) Faktor kompetensi
Sebagian besar nazhir tidak diangkat berdasarkan keahlian
(profesionalitas) dan pengalaman, tetapi lebih banyak diangkat
63
berdasarkan kepercayaan dan kedekatan personal. Banyak harta
benda wakaf berupa pertanian yang nazhirnya bukan ahli atau
berpengalaman dalam bidang pertanian, juga banyak nazhir dalam
wakaf pendidikan yang tidak faham tentang dunia pendidikan,
sehingga tidak ada kreatifitas yang mendorong kemajuan
pengelolaan dan pendayagunaan wakaf secara optimal, yang
akibatnya tujuan wakaf tidak dapat dicapai dengan semestinya.
6) Faktor pengawasan
Nazhir pada hakikatnya bekerja sebagai wakil dari orang lain,
apakah orang lain berupa waqif atau hakim (pemerintah), maka
seharusnya nazhir bertanggung jawab kepada orang atau pihak
yang memberinya mandat itu. Dalam kenyataannya nazhir kurang
memperhatikan kewajibannya, bisa jadi karena ia kurang mengerti
kewajiban tersebut, dan lebih parah lagi karena tidak ada pihak
yang mengawasi kinerjanya dan membetulkan kesalahannya.118
Akibatnya banyak sekali terjadi perubahan status wakaf atau
perubahan peruntukan wakaf yang menyimpang dari maksud
semula, semperti wakaf untuk musholla berubah menjadi bangunan
ruko, atau wakaf tanah untuk pendidikan berubah menjadi
bangunan rumah atas nama pribadi.
Pembangunan dan pemerataan ekonomi terus dilakukan, hal itu
karena bertujuan untuk mencari sebuah alternatif atau sebuah solusi yang
dapat mendorong untuk kesejahteraan masyarakat. Alah satu alternatif
yang ada adalah dengan optimalisasi peran wakaf secara efektif.
Berkenaan dengan itu, untuk mengoptimalisasikan peran wakaf secara
efektif, dibutuhkan seorang nazhir yang berkompeten.
118
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 10
64
Secara fikih dan peraturan perundang-undangan syarat nazhir
hanya ada tiga, yaitu adil, mempunyai keahlian, dan Islam. Meskipun
didalamnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab,
seperti Hanabilah yang tidak mensyaratkan adil untuk menjadi nazhir, dan
ulama Hanafiyah yang mensyaratkan Islam bagi nazhir. Di atas telah
penulis paparkan tentang pandangan Kiai Tholhah yang menilai bahwa ada
enam faktor yang mempengaruhi peran nazhir selama mengurus harta
benda wakaf. Meskipun telah ada ketentuan kriteria nazhir, Kiai Tholhah
merasa tidak cukup bilamana seseorang atau badan hukum hanya harus
memenuhi tiga kriteria tersebut. Jumhur ulama juga sepakat bahwa nazhir
tidak syaratkan harus laki-laki saja, akan tetapi seorang perempuan juga
berhak dan dapat menjadi nazhir. Berikut penulis paparkan bagaimana
kiprah dan perjuangan wanita dalam dunia wakaf, serta pentingnya wakaf
dalam dunia pendidikan.
1. Kiprah Wanita dalam Wakaf
Dalam sejarah peradaban Islam, sejak masa Rasulullah saw
sampai sekarang, keterlibatan peran kaum wanita dalam bidang
wakaf selalu tampil dan memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan, baik dalam upaya peningkatan kualitas ketakwaan umat
maupun dalam upaya peningkatan kualitas kesejahteraan dan
peradabannya. Salah satu aktifitas sosial yang banyak diminati
kaum wanita muslimah pada masa awal sejarah peradaban Islam
adalah bidang pendidikan dan pelayanan sosial, untuk
meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan. Sejarah mencatat
peran tokoh-tokoh wanita seperti Syifa binti Ubaidillah, Hafshah
binti Umar bin Khattab, Karimah binti Miqdad yang
menggerakkan pemberantasan “buta huruf” di tengah masyarakat
Islam yang baru berkembang di Madinah, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat wanita Muslimah di kota Madinah dan
sekitarnya sudah mampu membaca dan menulis, padahal ketika
Rasulullah datang di Madinah hanya lima orang wanita di sana
65
yang bisa membaca dan menulis. Islam telah menanamkan doktrin
semangat berbagi (semangat yang mendorong kepedulian untuk
membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan).119
Melalui beberapa sistem yang dituangkan dalam jalur
hukum syariah, seperti hukum waris, kewajiban zakat, anjuran
menyisihkan sebagian harta milik untuk waqaf, shodaqoh, hibah,
dan lain sebagainya, agar kemampuan dan kesejahteraan yang
diperoleh sebagian orang itu dapat juga dinikmati oleh orang lain
yang nasibnya kurang beruntung. Oleh karena itu, sejak semangat
wakaf itu dipelopori oleh sahabat-sahabat terkemuka seperti Umar
bin Khattab (yang mewakafkan t;anah yang dinilainya paling baik
dan berhaga di Khaibar), Abu Tholhah (yang menyerahkan kebun
kurmanya di muka masjid Madinah yang dikenal sebagai Biruha),
Usman bin Affan (yang mewakafkan sumber mata air yang
dibutuhkan oleh masyarakat yang dikenal dengan Ainu Rumah),
sumur tersebut dibelinya dari seorang Bani Ghiffar seharga 35.000
dirham.120
Mengenai uraian yang disampaikan oleh Kiai Tholhah di
atas adalah satu upaya beliau untuk menjelaskan kepada
masyarakat bahwa, peran wanita sebagai nazhir dalam wakaf
tidaklah bertentangan dengan hukum Islam maupun Undang-
undang Wakaf. Hal itu karena didasari oleh sayidina Umar ibn
Khattab yang menunjuk puterinya Hafshah untuk menjadi nazhir
ketika ayahnya sudah wafat. Dalam catatan selama memiliki
kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan wakaf menjadi
produktif.
119
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume V, Nomor 01, Januari 2012, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 12 120
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume V, Nomor 01, Januari 2012, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 13
66
2. Peran Wakaf dalam Dunia Pendidikan
Sebelum berdirinya Baitul Hikmah, pendidikan-pendidikan
diselenggarakan di berbagai macam tempat yang tidak khusus
seperti rumah Ulama Kuttab atau di masjid, oleh karena itu maka
tidak jelas kebutuhan biaya pendidikan dan penyebaran ilmu. Pada
masa awal kekuasaan dinasti Abbasyiah, mulai muncul pemikiran
pentingnya penggalian dana pendidikan masyarakat, sejalan
dengan semangat keilmuan dan peradaban Islam pada masa itu.
Namun sejarah mencatat bahwa khalifah Al-Makmun dipandang
sebagai orang pertama yang mewujudkan pemikiran tersebut dalam
kenyataan, sebab dia tidak ingin jika Baitul Hikmah yang dibangun
dari kreasinya itu bergantung pada kemurahan hati para khalifah
atau amir semata, dia ingin proyek besarnya yang prestisius itu
tetap berkembang, baik khalifah atau amir yang berkuasa itu
pemurah atau pelit. 121
Sejak abad 17 M, di Indonesia mulai bermunculan lembaga-
lembaga pendidikan dari yang klasik (pesantren) sampai yang
modern pada akhir-akhir ini (perguruan tinggi). Jumlah pondok
pesantren di Indonesia pada tahun 2000-an mencapai jumlah
20.000 buah, sedangkan Madrasah mencapai sekitar 40.000 buah,
mayoritasnya berstatus swasta (92%) dan perguruan tinggi Islam
swasta mulai yang berbentuk akademik, sekolah tinggi (ST),
Institut, sampai dengan yang berbentuk Universitas tidak kurang
dari 200 buah. Umumnya tidak ada yang terlepas dari peranan
wakaf, sebagian besar tanah-tanah yang ditempati bangunan
121
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume VI, Nomor 01, Januari 2013, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 2
67
pesantren, madrasah, sampai sekolah dan perguruan tinggi Islam
berstatus tanah wakaf.122
Mengenai wakaf dalam bidang pendidikan, Kiai Tholhah
sebagai seorang praktisi wakaf tentu sangat menyoroti betul hal-hal
yang berbau harta wakaf dalam dunia pendidikan, selain memang
kebanyakan harta wakaf saat ini yang diperuntukan untuk dunia
pendidikan, beliau juga merupakan seorang Doktor Honoris Causa
dalam pendidikan, sehingga beliau merasa terpanggil serta
membantu bilamana ada harta benda wakaf dalam dunia
pendidikan yang mengalami stagnasi.
122
Ditulis oleh KH. Muhammad Tholhah Hasan dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN
2085-0824) volume VI, Nomor 01, Januari 2013, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia, h. 2
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan pembahasan yang penyusun uraikan pada bab di atas,
maka kesimpulan yang dapat di ambil adalah sebagai berikut :
1. Ada dua hal yang melatar belakangi pemikiran Kiai Tholhah dalam bidang
wakaf. pertama, berangkat dari sebuah keperihatinan sosial. Beliau merasa
bahwa banyak sekali umat Islam di Indonesia ini yang mengalami
kekurang sumber dana dan sumber daya ketika ingin menjalankan dan
mengembangkan program-program agama Islam. Kedua, berdasarkan
keperihatinan theologis (keyakinan), beliau melihat bahwa dalam ajaran
agama Islam ada perangkat-perangkat hukum yang apabila hal itu
dijalankan dan diaktualisasikan dengan baik akan dapat sangat berguna
untuk kepentingan kesejahteraan umat.
2. Dalam ajaran Islam ada satu perangkat yang menurut beliau memiliki
potensi yang sangat besar bila dipahami dengan baik dan benar yaitu
wakaf. dahulu orang Muslim yang ada di Indonesia hanya memahami
wakaf hanya sebagai benda mati yang harus dihidupkan. Akan tetapi
beliau membawa suatu paradigma baru dalam dunia wakaf, yaitu
menjadikan wakaf itu sebagai sarana untuk membantu mensejahterakan
umat, dan dapat menjadi sumber daya untuk menunjang pemerataan
ekonomi dikalangan umat Islam.
3. Agar dapat menjadikan harta wakaf sebagai sebuah aset yang mampu
mensjahterakan umat, hal itu dapat dilihat dari kualitas nazhir dalam
mengelolanya. Oleh karena itu nazhir wakaf harus memiliki kompetensi
dan pengetahuan di bidang wakaf. tak hanya itu, menurut Kiai Tholhah
seorang nazhir juga harus diberikan upah agar kinerjanya dalam mengelola
wakaf dapat maksimal.
68
69
B. Saran- saran
Akhir dari penulisan skripsi ini tentunya penulis berharap agar dapat
bermanfaat untuk penulis pribadi khususnya dan juga kepada para pembaca
pada umumnya. Karena sesungguhnya tidak ada satu manusiapun yang
menginginkan hasil karya yang dibuatnya menjadi sampah dan benda tak
berguna. Adapun saran yang berhubungan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Karya tulis yang berkaitan dengan wakaf masih perlu diperbanyak dan
dikembangkan lebih jauh secara mendalam, terutama dalam peraktek dan
peranan nazhir dalam memformulasikan aset benda wakaf agar dapat
berkembang dan bermanfaat.
2. Wakaf kedepannya akan menjadi sorotan dan memiliki potensi besar
sebagai sarana mensejahterakan umat, hal itu bilamana mampu
diterjemahkan dengan baik oleh para akademisi yang ada di Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini.
3. Nazhir memiliki peranan penting dalam dunia wakaf, akan tetapi
pengetahuan tentang ilmu wakaf masih banyak yang belum dipahami
olehnya, oleh karena itu diharapkan para akademisi dapat turut serta
membantu memberikan pemahaman kepada nazhir melalui karya tulis.
70
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim dan Terjemah Departemen Agama RI.
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Hijr: Cairo 1992).
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah mmilik dan Kedudukan Tanah
Wakaf di Negara Kita, (Bandung: Citra Aditya Bhakti 1994).
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan
Skripsi, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006).
Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr 2007).
Abi Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut:
Dar al-Ilmiah, 2005).
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah 2003).
Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (India: Dar al-Ma‟arif al-
Usmaniyah,1352H).
Abu Abdu al-Rahman Ahmad bin Shu‟aib bin Ali al-Nasai, Sunan al-
Nasai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Mamu‟ Syarah Al-
Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr 2006).
Achmad Djunaidi, Thobieb Al- Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet.
3 (Jakarta: Mitra Abadi Press 2006).
Ahmad al-Hujji al-Kurdi, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Damaskus:
Ma‟syurat Jami‟ah Damsyik 1993).
Anonym, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat Pemberdayaan
Wakaf: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama,
2007).
Asyub, Abduljalil Abdurrahman, Kitab al-Waqfi, (Makkah: Maktabah al-
Makiyah 2009).
Badran Abual-Ainaini, Ahkam al-Washy wa Auqaf, (Iskandariyah:
Muassasat ass-Salaby).
Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta : Bumi
Aksara Pustaka).
70
71
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam
Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005).
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI, Kumpulan
Khutbah Wakaf, 2013.
Ditulis oleh KH. Anwar Ibrahim dalam Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-
0824) volume V, Nomor 01, Januari 2012, yang diterbitkan oleh Badan Wakaf
Indonesia.
Farid, Wadjdy dan Mursyid. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Filantropi
Islam yang Hampir Terlupakan. (Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
http://www.nu.or.id/post/read/60403/kh-tolchah-hasan-sosok-kiai-organisator.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/esensi.
http://www.nu.or.id/post/read/60403/kh-tolchah-hasan-sosok-kiai-organisator.
http://zulfanioey.blogspot.co.id/2011/07/prof-dr-kh-muhammad-tholhah-
hasan.html.
Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah Tanwir al-
Abshar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994).
Ibn Manzhur Jamal al-din Muhammad ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-
Arab, (Cairo:Dar al-Ma‟arif).
Jalaluddin al-Suyuthi, Jalaluddin Al-Mahalli, Qulyubi wa Amirah, (Mesir:
Dar al-Ahya, 2000).
Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-0824) volume IV, Nomor 04, Januari 2011,
yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-0824) volume V, Nomor 01, Januari 2012,
yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Jurnal Al-Awqaf (ISSN 2085-0824) volume VI, Nomor 01, Januari 2013,
yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Kitab Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. XXIX.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah,
(Yogyakarta, UII-Press 2003).
72
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-
Islamiyah, (Baghdad: Matba‟ah al-Irsyad, 1977).
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta:
UI-Press 1988).
Muhammad Kamaluddin Imam, Al-Washiyah wal-Waqf fi al-Islam
Maqashid wa Qawa‟id, (Iskandariyah: al-Nasyir al-Ma‟arif, 1999).
Muhammad Musthafa Syalabi, Mudharat fi al-Waqf wa al-Washiyah, (al-
Iskandariyah: Matba‟ah Dar al-Ta‟lif, 1958).
Muhammad Qadr Basya, Qanun al-Adl wa al-Inshaf fi al-Qadha ala ala
Musykilat al-Auqaf, (Kairo: Dar al-Salam, 2006).
Mundzir Qahar, Manajemen Wakaf Produktif, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000).
Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dan Masalah sumber Daya Manusia,
(Jakarta: Lantabora Press, 2001).
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi
Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2000).
Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, ( Jakarta:
Listafariska Putra,Cet.2, 2004).
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (
Jakarta: Galasa Nusantara, 1987).
Monzeer Kaf, Al-Waqf al-Islami Tathawwaruh, Idaratuh, Tanmiyatuh,
(Damaskus: Dar al-fikr, 2000).
Nasaruddin Umar dkk, Kyai Multitalenta (Sebuah Oase Spritual KH.
Muhammad Tholhah Hasan, (Jakarta: Al-Ghazali Centre, 2006).
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Praja S Juhaya, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Plara, 1995).
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2009).
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015).
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al-Fattah, 2000)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2009).
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
73
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikri, 2006).
Wawancara Pribadi dengan Prof. KH. Muhammad Tholhah Hasan, di
Singosari Malang, 23 November 2017.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta, Pustaka
Alfabet, 2006).
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
TRANSKIP WAWANCARA DENGAN PROF. DR. KH. MUHAMMAD
THOLHAH HASAN TENTANG MODERNISASI PENGEMBANGAN
WAKAF PRODUKTIF
Keterangan :
T : Tanya
J : Jawab
T : Apa yang melatar belakangi Bapak dalam dunia wakaf ?
J : Ada masalah-masalah yang melatar belakangi saya bergerak dalam
bidang wakaf, pertama itu, keperihatinan sosial, bahwa dimana-mana
orang Islam itu selalu mengeluh soal keterbatasan dalam pembiayaan
memfasilitasi kegiatan-kegiatan Islam. Baik dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dll. Selalu terbentur biaya dan tempat. Hal ini sudah merata,
karena saya sudah melihat di Indonesia dari ujung ke-ujung bahkan di luar
Indonesia juga begitu, keperihatinan sosial bahwa umat Islam merasa
kekurangan sumber dana dan sumber daya untuk menjalankan dan
mengembangkan program-program yang sudah direncanakan. Hal itu bisa
dilihat ketika pembangunan masjid-masjid dan pondok-pondok mesti
selesainya lama dan juga dengan kualitas yang jelek. Kedua, yaitu
keperihatinan theology atau keyakinan. Kita yakin bahwa Islam itu sebagai
Agama tentunya memiliki perangkat agar supaya kita umat Islam
seharusnya tidak mengalami kesulitan, agama Islam banyak memberikan
kita kesempatan untuk bisa mengumpulkan dana dan daya umat itu agar
supaya mampu menyelenggarakan tugas-tugasnya, mulai dari zakat,
shodaqoh, termasuk juga wakaf. tapi mengapa perangkat-perangkat
tersebut masih belum mampu mencukupinya, dan tidak mungkin juga
yang salah itu dari ajaran Islamnya itu tapi yang adalah kita yang
memahami ajarannya. Nah, inilah yang kami katakan sebagai
keperihatinan theologis keyakinan kami, mengapa ajarannya begitu bagus
tetapi kenyataannya tidak bisa dilakukan dengan bagus. Selanjutnya kami
lihat apa saja masalah-masalah yang terkendala disini, itu ternyata banyak
sekali, baik yang di desa maupun di kota. Wakaf itu.
T : Bagaimanakah wakaf produktif menurut Bapak ?
J : Wakaf pada dasarnya di Indonesia sudah dikenal sejak dahulu zaman
penjajahan, tetapi dahulu wakaf hanya ada untuk pembangunan pesantren-
pesantren, masjid-masjid, dan juga pemakaman. Menurut kami hal itu
sudah sangat lumrah dan kurang dapat memenuhi kebutuhan di zaman
75
modern seperti sekarang ini, ajaran Islam pada intinya tidak lepas dari
kepentingan sosial, oleh karenanya kami menawarkan setiap ada yang
ingin berwakaf untuk dirubah kepada wakaf yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi umat.
T : Bagaimana pola manajerial wakaf agar menjadi produktif menurut Bapak
?
J : Untuk menjadikan harta benda wakaf menjadi produktif, hal itu tentunya
tidak lepas peranan dari nazhir. Pertama, nazhir harus mengerti tentang
wakaf. kedua, seorang waqif harus memilih dan menentukan nazhir yang
memiliki kompetensi dan kemampuan yang cukup. Ketiga, nazhir harus
diberikan pelatihan, pemahaman, dan pengawasan. Pengawasan bagi
nazhir perlu dilakukan agar kedepannya nazhir tidak semena-mena
menjalankan amanah yang berupa mengelola harta benda wakaf. pelatihan
juga diberikan agar nazhir memiliki bekal untuk mengelola harta benda
wakaf.
T : Apa faktor yang dapat mempengaruhi berkembangnya harta wakaf
menurut Bapak ?
J : Kami melihat bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan harta wakaf, pertama, kualitas nazhir yang berarti bahwa
jika seorang waqif salah dalam menentukan nazhir wakafnya, maka
kemungkinan besar harta wakaf itu akan terbengkalai sia-sia. Kedua,
faktor imbalan, hal ini juga sebenarnya sangat mempengaruhi akan
perkembangan wakaf, sudah menjadi hukum alam apabila seseorang
bekerja harus diberikan upah yang sesuai, karena tentunya nazhir memiliki
keluarga yang dihidupi. Kami juga menganjurkan nazhir itu kalau bisa
jangan hanya perseorangan akan tetapi harus lembaga hukum.
T : Bagaimana menurut bapak tentang merubah harta wakaf yang niatnya
hanya untuk masjid kemudian ditambah peruntukkannya untuk
kepentingan sosial ?
J : Kalau memang ditempat itu belum ada masjid, maka harus didahulukan
untuk masjid, akan tetapi alangkah baiknya masjid tersebut bukan hanya
menjadi pusat peribadatan saja, akan tetapi juga harus menjadi pusat
peradaban. Tetapi jika sudah banyak terdapat masjid, maka bisa
dibicarakan kepada ahli waris pewakifnya, karena sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui.
T : Apa urgensi wakaf menurut Bapak ?
76
J : Urgensi wakaf itu adalah membantu kepada upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat. Wakaf apabila dikembangkan baik jumlah maaupun jenisnya,
maka akan terlihat suatu perubahan yang sangat nyata.