KONSENTRASI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCA SARJANA...

184
NUANSA POSITIVISTIK TAFSIR MODERN MUH{AMMAD ‘ABDUH Tesis Diajukan sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Magister Agama Islam Oleh: Fuad Syukri NIM: 11.2.00.0.05.01.0115 KONSENTRASI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M

Transcript of KONSENTRASI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCA SARJANA...

NUANSA POSITIVISTIK TAFSIR MODERN

MUH{AMMAD ‘ABDUH

Tesis

Diajukan sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Magister Agama Islam

Oleh:

Fuad Syukri

NIM: 11.2.00.0.05.01.0115

KONSENTRASI TAFSIR HADIS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014 M

iii

KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini. S}alawat dan salam penulis ucapkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Islam di muka bumi ini, sehingga kita semua mampu mengenal Islam dan mengambil pelajaran darinya.

Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menguraikan tentang munculnya sebuah tendensi pada sebagian penafsiran al-Quran semenjak abad ke 18, terutama penafsiran terkait ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat fenomena alam) yang telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan wacana dan pembahasan dalam Ilmu Tafsir Alquran, khususnya tafsir Modern.

Dalam proses penulisan tesis ini, banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa berkat bantuan moril dan materil dari beberapa pihak, menjadikan penulis sanggup menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian kepada seluruh jajaran pimpinan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito dan Dr. Yusuf Rahman, MA., beserta seluruh anggota staf Pascasarjana bidang akademik dan bidang kepustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku pembimbing dan promotor dalam penulisan tesis ini. Saran dan kritikan yang diberikan sangat bermanfaat dalam membangun dan mengembangkan pemikiran keilmuan penulis. Ucapan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran Dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menuangkan kekayaan ilmu dan pemikiran demi memaksimalkan kompetensi akademis penulis.

iv

3. Teristimewa buat inspirasi hidup penulis, Ayahanda tercinta Nafrizal, S.Pd. dan Ibunda tersayang Rahmi, S.Pd.I. yang selalu menyayangi, mendidik dan memotivasi serta menyertai setiap langkah kaki penulis dengan keikhlasan doa dan ridhonya. Kepada adik-adik tersayang, Fadhilati Salma, Muhammad Afdhal, Zakiyati Salma dan Muhammad Rusydan Hamdi yang telah menumbuhkan tekad dalam diri penulis untuk terus berusaha menjadi kakak yang baik serta layak untuk mereka teladani dan banggakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Paman penulis, H. Ahmad Daud, S.Ag dan Ir. Sri Suhartinah yang telah menjadi orang tua yang baik bagi penulis selama berada di tanah rantau Ciputat. Kemudian kepada keluarga besar Uda Akmal, S.Hum. dan Uni Nani, S.Pd.I., yang merupakan sepupu sekaligus kakak bagi penulis.

4. Buat seluruh rekan-rekan seperjuangan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2012 yang telah mengukir warna-warna indah dalam lukisan persahabatan penuh makna, terkhusus Defel Fakhyadi dan Aidil Aulya sebagai sahabat satu kos, Muhammad Abdurrahman, Yasin Amka, Muhammad Furqany, Mulyadi beserta seluruh sahabat-sahabat SPS UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2012 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

5. Kepada senior sekaligus sahabat, Arsyad Abrar, M.A.Hum., dan Anas Sofwan Khalid, M.A.Hk., yang telah rela meluangkan waktu dan membagi ilmu yang begitu berharga kepada penulis. Kemudian kepada rekan IKAPASMI, Muhammad Yusuf yang juga ikut memberikan sumbangsih waktu dan keilmuan dalam membantu penulis menyelesaikan tulisan ini. Akhirnya, sebuah doa yang penulis mohonkan untuk semua pihak

yang telah berpartisipasi membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang layak di sisi-Nya. Mudah-mudahan karya ini memberikan hikmah dan manfaat bagi semua pihak sekaligus menjadi motivasi yang kuat bagi Penulis untuk menghasilkan karya-karya berikutnya yang lebih berkualitas dan bermanfaat untuk agama, bangsa dan Negara. Amin ya Rabbal ‘alamin.

xi

ABSTRAK Tesis ini menunjukkan bahwa sebagian penafsiran yang muncul

semenjak abad ke-18, terutama terkait ayat-ayat al-Kauni@yah, telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Hal ini sejalan dengan pendapat Rotraud Wielandt dan Ahmad N. Amir yang secara umum berpandangan bahwa paradigma sebagian penafsiran-penafsiran yang muncul semenjak abad ke-18, telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi dan mengintegrasikan paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid menegaskan lagi bahwa mufassir pada abad ini terkadang berada dalam arus budaya Islam yang ia jadikan sebagai fondasi dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat.

Pendapat di atas berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed, dan M. Quraish Shihab yang secara umum berpendapat bahwa hadirnya kecenderungan rasional-ilmiah semenjak abad ke-18 dalam sebagian tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan mufassir terhadap tradisi rasional Islam pada masa sebelumnya, terutama tradisi rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar adanya pandangan bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal serta karakteristik penafsirannya yang dinilai cenderung rasional.

Untuk melihat korelasi filsafat Barat dalam penafsiran Alquran, penulis menjadikan pendekatan filsafat Positivisme sebagai paradigma yang digunakan dalam menganalisa permasalahan ini. Pemilihan dan penggunaan filsafat Positivisme sebagai alat analisis dikarenakan adanya indikasi-indikasi tentang penerapan paradigma filsafat Positivisme itu sendiri dalam proses penafsiran Alquran. Pendekatan filsafat Positivisme merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan memandang sesuatu melalui pendekatan keilmiahan. Sedangkan objek yang akan didalami dari penelitian hal ini adalah penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh terhadap ayat Alquran, terkhusus penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Kauni@yah dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karya Muh{ammad’Abduh. Dengan pendekatan tersebut akan diketahui penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh yang terbiasi oleh paradigma filsafat Positivisme.

Penelitian ini besifat kualitatif dan dari segi sumber data, penelitian ini tergolong studi kepustakaan (library research). Sedangkan sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karangan Muh{ammad ‘Abduh. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah segala tulisan baik itu buku, jurnal ataupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan tema dari penelitian ini.

xii

تجريدال

الذي نشأت منذ العصور هذا البحث أن بعض تفاسري القرآن أصدرالثامنة عشرة، سيما تفسري اآليات الكونية، قد أثرت عليها مناهج فلسفي الوضعية

)Positivisme وعقلنة. وعلى نفس الرأي قال ) فصار احملصول منها اكثر علمياا مالت اىل تبيئة فلسفة التنويرية األوروبية ودجمها تد ويالندروترو وأمحد ن. أمري بأها يف تفسري القرآن مطبقا. وأكد نصر حامد أبو زيد بأنه قد يتحرك وتطبيق

املفسرون يف التاريخ الثقايف اإلسالمي كسلطة مرجعية من جهة، ويف إطار العقل الغريب من جهة أخرى.

وأشار خبالف ذالك عبد اهللا سعيد وقريش شهاب بأن اإلطار العلمي يف بإطار غريب، بل أنه أثر من الرتاث العلمي ن القرآن ال يدل على تأثر املفسريتفسري

يف اإلسالم آثر عليه املعتزلة. وينسب عليهم الشتهارهم بايثار العقل يف تفسريهم العقالين.

فاختذ الباحث الوضعية منهجا وآلية التحليل يف هذه الدراسة كشفا لعالقة يف التفسري، االفلسفة الغربية و تفسري القرآن، وذالك لقرائن تدل على استفاد

وهي منهج علمي. وكان املوضوع هنا آراء حممد عبده، فضال عن اآليات الكونية يف كتابه املسمى بتفسري القرآن الكرمي (تفسري اجلزء عم). ومن هذا السبيل استنتج

.الوضعيةالباحث بأن تفاسريه متأثر باراء الفلسفى التفسري املذكور كان هذا البحث دراسة حتليلية ومصدرها األساسي هو

حملمد عبده. وأما املصادر الثنائية هي كل ما وجد الباحث من الكتب واجملالت والرسائل املتعلقة مبوضوعنا هذا.

xiii

ABSTRACT

The thesis reveals that some interpretations which have emerged in the 18th century, especially related al-Kauni@yah verses, have been influenced by the philosophy of Positivism paradigm, so that the interpretation will be more rational-scientific. This is in line with the opinion of Rotraud Wielandt and Ahmad N. Amir who state that some of the interpretations in the 18th century tended to adopt and integrate the philosophy paradigm of European renaissance applied in the interpretation of the Qur’a>n. In addition, Nasr Hamid Abu Zaid contends that the interpreters in this century sometimes are in the stream of Islamic culture which becomes a foundation and standard of value, and at the same times follow the Western thought.

The above opinion is not in agreement with those of Abdullah Saeed’s and M. Quraish Shihab’s which generally argue that the presence of rational-scientific trend since the 18th century in most interpretations of the Qur'a>n is seen as a form of the influence of Mu'tazilah’s thought. Attribution to the Mu'tazilah sect emerged on the basis of the view that the Mu'tazilah is one of the many sects in Islam that upholds reason as well as rational interpretation.

To observe the correlation of Western philosophy in the interpretation of the Qur’a>n, the author makes the philosophical approach of Positivism as a paradigm used in analyzing this issue. The selection and the use of the Positivism philosophy as an analytical tool is because of the indications concerning the application of the philosophy of Positivism paradigm in the process of interpreting the Qur’a>n. Positivism is a philosophical approach with scientific. While the objects explored in this study are interpretations of Muhammad ‘Abduh in the verses of the Qur’a>n, specially the verses of al-Kauni@yah in the book Tafsir al-Qur'a>n al-Kari@m Juz’ 'Amma by Muhammad ‘Abduh. By using Positivism approach, it will be identified the interpretations of Muhammad ‘Abduh wich are influenced by Positivism.

This research employs a qualitative design with the data taken from documents (library research). While the primary data source of this study is the book of Tafsir al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ 'Amma by Muh}ammad ‘Abduh. And the secondary sources are that all good writing books, journals or other articles related to the theme of this study.

xiv

xv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................................v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................vii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ......................................................ix

ABSTRAK .................................................................................................xi

DAFTAR ISI ..............................................................................................xv

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................xvii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1

B. Permasalahan ................................................................................... 9

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................ 9

D. Tujuan Penelitian ............................................................................ 15

E. Signifikansi Penelitian .................................................................... 15

F. Metodologi Penelitian ..................................................................... 16

G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 18

BAB II : TAFSIR DAN FILSAFAT ..........................................................21

A. Tafsir Alquran dalam Dimensi Rasional ......................................... 21

1. Rasionalistik Tafsir bi al-Ra’yi .................................................. 21

2. Mu’tazilah dan Tendensi Rasional ............................................. 27

B. Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme .................... 32

BAB III : EPISTEMOLOGI TAFSIR POSITIVISTIK MUH{AMMAD

‘ABDUH ....................................................................................43

A. Muh{ammad ‘Abduh dan Afiliasi Pemikiran Barat ......................... 43

xvi

B. Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma Muh{ammad ‘Abduh .......... 53

C. Konsep Relasi Alquran, Akal dan Ilmu Pengetahuan ..................... 65

BAB IV : TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK.. ............83

A. Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh ................................ 83

B. Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh .................... 106

C. Urgensi Tafsir Positivistik .............................................................. 127

BAB V PENUTUP .....................................................................................143

A. Kesimpulan ...................................................................................... 143

B. Saran ................................................................................................ 144

DAFTAR KEPUSTAKAAN ...................................................................... 145

GLOSARIUM ............................................................................................. 165

INDEKS ...................................................................................................... 167

INDEKS ALQURAN .................................................................................. 170

BIOGRAFI PENULIS ................................................................................ 171

xvii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berpedoman pada

aturan transliterasi Library of Congress Romanization of Arabic.

b t th j h} kh d dh r z s sh s} d}

= = = = = = = = = = = = = =

ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض

t} z} ‘ gh f q k l m n h w y

= = = = = = = = = = = = =

ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن ه و ي

Pendek : a = ◌ ; i = ◌ ; u = ◌ Panjang : a> = ◌ا ; i@ = ◌ي ; u> = ◌و Diftong : ay = ي ا ; aw = و ا

xviii

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korelasi antara tafsir Alquran dengan unsur filsafat, telah terjadi sejak masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah.1 Bahkan pada era kontemporer, gencarnya kemunculan model-model penafsiran baru yang mengusung konsep perubahan, dinilai tidak lepas dari pengaruh berbagai paradigma dan pemikiran kefilsafatan serta kemajuan berbagai aspek yang berasal dari luar Islam2 dan hal itu kemudian menjadi objek yang cukup berhasil menarik perhatian beragam kalangan, baik itu internal maupun eksternal Islam.

Penggunaan aspek filsafat dalam proses penafsiran Alquran, dikenal cenderung pada pengoptimalan unsur rasional dalam memahami dan menggali makna-makna yang terkandung di dalam Alquran. Kecenderungan tafsir rasionalistik ini memberikan corak tersendiri dalam pembahasan ilmu tafsir. Namun seiring waktu,

1 Pada masa pemerintahan Abbasiyah, ilmu agama, Filsafat dan ilmu lainnya sedang mengalami kemajuan. Kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab juga digalakkan pada masa pemerintahan dinasti ini. Di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerj. Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61 dan Rubiyanah, “Pertumbuhan Tradisi Filsafat di Dunia Islam” dalam Jurnal Refleksi, Vol. VII, No. 3, 2005 (Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 304-305. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mohammed Rustom yang mengatakan sekitar abad ke 6 dan ke 7 hijriah, umat Islam telah mulai melakukan transformasi kefilsafatan Yunani ke dalam Islam. Hal tersebut pada saat itu mendapat begitu banyak perhatian dari umat Islam. Mohammed Rustom, “Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy: Mulla> S{adra>’s Tafsi@r Su>rat al-Fa@tih{a“, Tesis di University of Toronto, 2009 (Diakses dari http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/thesescanada/vol2/OTU/TC-OTU-32020. pdf, tanggal 31-01-2013, pukul 01.51 WIB), 2.

2 Gerakan ini lebih disuarakan oleh para tokoh yang berambisi membawa modernitas di tengah-tengah umat Islam. Mereka mencoba menggiring umat Islam untuk kembali kepada Islam yang asli. Untuk mensukseskan tujuan tersebut, mereka memulainya dari proses pemahaman terhadap Alquran. Christopher A. Furlow, “Islam, Science and Modernity: From Northern Virginia to Kuala Lumpur”, Disertasi di University of Florida, 2005 (Diakses dari http://etd.fcla.edu/UF/UFE0012881/furlow_c.pdf, tanggal 31-02- 2013, pukul 00.31 WIB), 12-13

2

kemudian muncul tendensi tafsir yang terkesan rasional-ilmiah, terutama sejak munculnya beberapa tokoh pembaharu Islam abad ke-18, bahkan kecenderungan ini semakin kuat ditunjukkan oleh sebagian mufasir pada era sesudahnya. Hal inilah yang kemudian merangsang minat berbagai pakar tafsir dan teologi untuk berusaha merunut kembali sejarah dan menjelaskan asal pengaruh kecenderungan tersebut terutama melihat perkembangan tafsir sejak abad ke-18. Misalnya saja seperti Abdullah Saeed3 dan M. Quraish Shihab4 yang secara umum menilai bahwa hadirnya corak penafsiran rasional-ilmiah sejak abad ke-18 dalam tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan dari kecenderungan rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar pandangan umum bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal, bahkan sebahagian ulama menyatakan akal lebih tinggi kedudukannya dari pada nash Alquran dalam sekte Mu’tazilah.

Dalam sudut pandang yang berbeda, sebagian dari para sarjana muslim ataupun para intelektual yang melakukan kajian terhadap perkembangan tafsir Alquran (terutama tafsir yang muncul pada abad ke-18 dan sesudahnya) menilai bahwa terdapat pergeseran pemahaman dalam penerapan tafsir Alquran sehingga kemudian memunculkan

3 Abdullah Saeed menyebutkan bahwa para modernis Islam mengusulkan

untuk kembali kepada Islam seperti periode awal yang menekankan aspek dinamika intelektual ke dalam diri umat Islam guna mengejar ketertinggalan Islam dari peradaban Barat. Selain itu ulama modernis juga berpendapat bahwa konsep wahyu sama sekali tidak berbenturan dengan akal manusia. Dengan demikian, mereka mencoba untuk menghidupkan kembali tradisi filsafat rasionalis Islam, dan beberapa ide sebelumnya yang dimunculkan dari sekte (rasional) Mu'tazilah yang kemudian menjadi trend di antara sarjana-sarjana Islam yang muncul belakangan. Para tokoh modernis yang datang kemudian mencoba menginterpretasikan topik-topik populer lainnya pada era lainnya seperti wacana poligami, perang dan perdamaian, ilmu pengetahuan, perbudakan dan keadilan. Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge, 2008), 209-210.

4 M. Quraish Shihab memberikan argument ketika mengomentari salah satu karya tafsir modern, yaitu penafsiran Muh{ammad ‘Abduh terkait sihir yang berpendapat bahwa Muh{ammad ‘Abduh terpengaruh oleh pendapat golongan Mu’tazilah yang mengingkari adanya sihir, dan hal ini dianut pula oleh Muh{ammad ‘Abduh dalam rangka usaha beliau memberikan gambaran logis, ilmiah dan rasional terkhususnya di hadapan orientalis dan orang-orang Barat. Ciri ini merupakan prinsip pokok yang terpenting dalam penafsiran Muh{ammad ‘Abduh. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 36 dan 49.

3

penafsiran yang cenderung kuat mengedepankan aspek rasionalitas-ilmiah. Mereka melihat indikasi adanya paradigma lain yang ikut melebur sebagai asal pengaruh munculnya tafsir dengan kecenderungan rasional-ilmiah pada abad ke-18 dan sesudahnya. Hal inilah yang coba dijelaskan oleh sebagian sarjana muslim ataupun para intelektual yang di antaranya adalah Rotraud Wielandt5 yang secara umum berpandangan bahwa paradigma penafsiran-penafsiran pada abad ini telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan secara umum bahwa paham rasional yang dianut Muh}ammad ‘Abduh pada dasarnya telah mendapat pengaruh pemikiran Jamaluddin al-Afghani yang diturunkan dari semangat kemajuan filsafat ilmiah Barat. Muh}ammad ‘Abduh berusaha mengintegrasikan berbagai aspek kemajuan Barat untuk membentuk paradigmanya guna membawa kembali Islam keluar dari keterpurukan menuju arah kemajuan sebagaimana yang diraih Barat saat itu.6 Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid7 menegaskan lagi bahwa mufasir pada

5 Rotraud Wielandt berpendapat dalam mengomentari Sayyid Ah{mad Khan

dan Muh{ammad ‘Abduh sebagai modernis Islam abad 18 yang terkesan dengan dominasi politik dan kemakmuran ekonomi peradaban Barat modern sebagai dampak positif dari peradaban ilmiah Eropa, sekaligus sebagai hasil dari apa yang dipopulerkan oleh filsafat pencerahan Eropa. Atas dasar itulah mereka berupaya mengadopsi esensi dari pendekatan yang bercorak rasional sebagai metode yang diterapkan dalam menafsirkan Alquran. Terutama Muh{ammad ‘Abduh, dalam pandangan Rotraud Wieland, Muh{ammad ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127.

6 Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, Vol. 1. No. 2. Juni 2012 (Diakses dari http://www.ajsc.leena-luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.01 WIB), 149.

7 Hal ini ditegaskan Nasr Hamid Abu Zayd ketika menggambarkan kecenderungan penafsiran dari corak penafsiran Muh{ammad ‘Abduh yang menyebutkan bahwa terkadang di suatu saat Muh{ammad ‘Abduh bergerak dalam arus tura>th Islam yang ia jadikan sebagai pondasi dan standar nilai, dan di saat lain ia bergerak dalam arus nalar Barat yang menolak mitos-mitos dan mukjizat-mukjizat. Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, Penerj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2012), 22-23.

4

abad ini terkadang berada dalam arus tura>th Islam yang ia jadikan sebagai dasar dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat yang menolak mitos-mitos dan mukjizat-mukjizat.

Perbedaan argumentasi antara Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab dengan Rotraud Wielandt, Ahmad N. Amir dan Nasr Hamid Abu Zaid pada penjelasan sebelumnya, secara umum menggambarkan bahwa di satu sisi tendensi rasional-ilmiah dalam dunia penafsiran Alquran yang begitu kuat terlihat sejak abad ke-18, identik dengan pengaruh yang tertumpu pada paradigma sekte Mu’tazilah semata,8 namun di sisi lain terkesan bahwa tendensi penafsiran rasional-ilmiah tersebut justru menunjukkan perkembangan yang tidak hanya bersumber dari sekte rasional dalam Islam (Mu’tazilah), melainkan juga dari aliran ataupun sekte-sekte rasional lain yang berada di luar Islam.

Meninjau konsep rasional itu sendiri, terutama dari sudut pandang sekte Mu’tazilah, dipahami bahwa konsep rasional Mu’tazilah mengacu kepada kesesuaian proposisi dengan akal budi manusia (rasio). Bagi Mu’tazilah, akal mampu mengetahui sesuatu, meskipun memiliki batasan-batasan tersendiri.9 Mu’tazilah menjadikan akal sebagai standar kebenaran dalam melihat sesuatu, karna akal pada potensinya mampu dengan sendirinya mengetahui hakekat keberadaan sesuatu. Kebenaran objektif empiris bukanlah substansi dasar yang ditekankan sebagai barometer peninjau dalam konsep kebenaran realitas, melainkan kesesuaian antara pembacaan akal terhadap proposisilah yang menjadi esensi rasional Mu’tazilah. Sebuah proposisi sudah dinyatakan benar adanya secara realitas jika proposisi tersebut mampu dipahami dan dicerna serta diimajinasikan dalam alam idea manusia tanpa perlu adanya pembuktian kebenaran secara empiris. Inilah pemahaman rasional yang dipahami secara umum dari konsep rasional sekte Mu’tazilah yang diadopsi dari filsafat

8 Kaum Mu’tazilah adalah salah satu sekte dalam Islam yang membawa

persoalan-persoalan teologis yang lebih mendalam dan bersifat filosofis. Pembahasan mereka cenderung lebih kritis jika dibandingkan dengan pembahasan sekte-sekte lain dalam Islam seperti sekte Khawarij dan Murji’ah. Dalam membahas permasalahan-permasalahan teologis tersebut, mereka dominan menggunakan akal sehingga kemudian mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), 38.

9 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 58.

5

rasional Yunani,10 dan konsep ini secara tidak langsung juga dipahami dan dianut oleh tokoh-tokohnya, termasuk [email protected]

Melihat perkembangan tafsir Alquran abad ke 18 dan sesudahnya, muncul penafsiran-penafsiran yang menurut sebagian ulama juga dikenal mengusung tendensi rasional. Namun tendensi rasional yang dihadirkan bukanlah rasional murni, melainkan sebuah tendensi yang di dalamnya mengandung indikasi perpaduan dari paradigma lain yang lebih mengarah kepada tendensi rasional-ilmiah. Muh}ammad ‘Abduh12 misalnya, merupakan salah satu tokoh modernis Islam13 yang telah memberikan berbagai sentuhan-sentuhan pembaharuan di berbagai bidang14, termasuk Ilmu Tafsir dan proses penafsiran terhadap Alquran. Hadirnya kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma dan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-H{aki@m al-Mashhu@r bi Tafsi@r

10 Aliran rasional yang berkembang di Barat, merupakan pengembangan dari

konsep rasional yang telah dibangun sejak masa filsafat Yunani. Filsafat Yunani yang pada masa awalnya bermula dari Plato hadir sekitar tahun 427-347 SM. Konsep rasional plato kemudian terus berkembang seiring waktu. Namun secara umun dari konsep rasional yang bermuara dari Yunani ini dapat ditarik beberapa benang merah bahwa melalui proses pemikiran abstrak mampu mencapai kebenaran fundamental. Selain itu keberadaan realitas serta beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris. Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 110-115.

11 Manna@’ al-Qat}t}a@n menyebutkan bahwa al-Zamakhshari@ merupakan seorang mufasir yang menganut paham teologi Mu’tazilah. Bahkan al-Zamakhshari@ menyebut kaum Mu’tazilah sebagai saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil. Manna@’ al-Qat}t}a@n, Maba@hith fi@ ‘Ulu@m al-Qur’a@n (Kairo: Da@r al-Rashi@d, t.th), 389.

12 Nama beliau adalalah Muh}ammad bin ‘Abduh bin H{asan Khairulla>h. Berikutnya ditulis ‘Abduh. ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa>d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@m al-Usta>dh al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Maktabah Mis}r, t.th), 80.

13 Maryam Jameelah dan Abd al-Qadir al-Sufi menyebutkan sebagaimana yang dikutip oleh Mursyidi Ridwan bahwa tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh dan Sayyid Ah}mad Khan merupakan beberapa tokoh disebut sebagai dengan istilah kaum Modernis dalam Islam. Mursyidi Ridwan, “Islam Modernisme dan Fundamentalisme; Studi Tentang Ideologi Modernisme dan Fundamentalisme dalam Islam” dalam Jurnal Dialogia, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2005 (Ponorogo: Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo, 2005), 55.

14 Ahmad N. Amir dkk, “Muh{ammad Abduh’s Contributions to Modernity” dalam Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1 No. 1, April 2012 (Diakses dari http://www.ajmse.leena-luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.1(1)/AJMSE2012(1.1-07).pdf, tanggal 15-01-2013, pukul 13.05 WIB), 394-395.

6

al-Mana@r atau yang lebih dikenal dengan Tafsi@r al-Mana@r merupakan dua karya tafsir ‘Abduh yang di dalamnya memuat hasil-hasil penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai objek kajian dan analisa yang mewakili pemikiran, metode serta pendekatan yang digunakan ‘Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran walaupun ada sebahagian ulama yang menganggap kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-H{aki@m al-Mashhu@r bi Tafsi@r al-Mana@r bukanlah karya ‘Abduh, melainkan merupakan sumbangsih Muh}ammad Rashi@d Rid}a> yang pada saat itu merupakan salah satu murid ‘Abduh.15

Sebagian besar ulama dan pakar tafsir pasca ‘Abduh memang telah banyak mengkaji dan memberikan penilaian terhadap karya-karya ‘Abduh di bidang tafsir Alquran. Terdapatnya kesejalanan pola penafsiran ‘Abduh dengan penafsiran para Mu’tazilian, terutama menyangkut tema-tema sentral dalam Islam, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan ketuhanan, nabi dan persoalan-persoalan transendental lainnya, menjadi argument umum para pakar tafsir untuk menyimpulkan posisi ‘Abduh sebagai seorang mufasir dengan kecenderungan rasional. Namun jika melihat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat tentang alam, akan ditemukan beragam indikasi yang menguatkan asumsi bahwa tendensi tafsir yang dilahirkan ‘Abduh tidak murni rasional, melainkan justru ‘Abduh juga terlihat berusaha menunjukkan kebenaran informasi dan realitas ayat secara empiris sebagai argumen yang sarat akan nilai-nilai ilmiah, yaitu menjelaskan ayat berdasarkan fakta-fakta temuan dari teori-teori tentang alam yang telah terangkul dalam berbagai disiplin ilmu

15 Meskipun penafsiran yang terdapat di dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-

H{aki@m al-Mashhu>r bi Tafsi@r al-Mana>r merupakan hasil penafsiran bersama antara Muh{ammad ‘Abduh dengan Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, namun pemilik sesuangguhnya adalah Muh{ammad Rashi@d Rid{a>. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, 1) Ide dasar kemunculan tafsir berasal dari Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, 2) Pencatatan dan pengeditan kajian-kajian tafsir Muahammad ‘Abduh di masjid Al-Azhar adalah Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, 3) Ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad Rashi@d Rid{a> lebih banyak dari ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad ‘Abduh serta sebagaimana yang dikutip Muhammad Nurung dari M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa Muh{ammad Abduh hanya menafsirkan 413 ayat yang ditulis dalam jumlah yang kurang dari 5 jilid, sedangkan Muh{ammad Rashi@d Rid{a> menafsirkan 930 ayat yang ditulis dalam 7 jilid lebih. Selain itu dalam surat al-Fa@tih{ah, al-Baqarah dan an-Nisa@ juga ditemukan pendapat-pendapat Muh{ammad Rashi@d Rid{a>. Muhammad Nurung, “Pemikiran Tafsir Muh{ammad Rashi@d Rid{a>” dalam Jurnal Inovatio, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember 2010 (Jambi: Pasca Sarjana IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, 2010), 267-268.

7

pengetahuan alam modern (sains) yang secara jelas telah melandaskan epistemologinya pada aspek empiris.

Mengamati model penafsiran terhadap ayat-ayat fenomena alam, memang terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh yang terlihat berbeda dari penafsiran-penafsiran mufasir sebelumnya, bahkan menurut sebahagian ulama hal tersebut terkesan ganjil. Jika Fakhruddi@n al-Ra>zi@ (543-606 H) yang dikenal sebagai mufasir rasional (ra’yi) klasik dan al-Zamakhshari@ sebagai mufasir rasional yang berpaham Mu’tazilah hanya menafsirkan t}aira>n aba>bi@l (surat al-Fi@l (105) ayat 3) sebagai seekor burung yang dikenal dengan nama burung Aba>bi@l lengkap dengan ciri-cirinya, namun ‘Abduh justru menafsirkannya dengan lalat atau nyamuk yang membawa virus. Begitu juga dengan penafsiran al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ (467-538 H) tentang fenomena terbelahnya langit (surat an-Naba’ (78) ayat 19 dan surat al-Infit}a@r (82) ayat 1) dengan penafsiran bahwa langit itu memang adanya terbelah karna kehendak dan kekuasaan Allah, namun bagi ‘Abduh fenomena dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai tabrakan antar planet yang menyebabkan seluruh planet dan bintang-bintang menjadi hancur. Begitu juga dengan penafsiran-penafsiran ‘Abduh lainnya seperti esensi Malaikat (surat al-Baqarah (2) ayat 34) sebagai ruh alam yang ada dalam diri manusia, hewan dan tumbuhan, kemudian tentang metabolisme tumbuh-tumbuhan (surat ‘Abasa (80) ayat 26) dan lain sebagainya sehingga dengan demikian tidak berlebihan jika Harun Nasution menyuguhkan kesimpulan bahwa Muh{ammad ‘Abduh jauh melampaui rasionalnya Muktazilah itu sendiri.

Dari beberapa contoh penafsiran Muh}ammad ‘Abduh tersebut secara tidak langsung menunjukkan indikasi adanya pergeseran tendensi penafsiran dimana tendensi tersebut bukan lagi tendensi rasional murni sebagaimana paradigma rasional Mu’tazilah yang diadobsi dari konsep rasional filsafat Yunani dengan akal sebagai barometer kebenaran. Kecenderungan penafsiran ‘Abduh tidak lagi hanya sekedar menghadirkan penjelasan terhadap proposisi (ayat) sebatas diterima berdasarkan imajinasi akal semata, namun juga berusaha membangun imajinasi akal yang dilandaskan kepada kebenaran realitas berdasarkan fakta dan kemungkinan empiris, bahkan lebih jauh lagi berusaha masuk ke dalam wilayah dimensi-dimensi ilmiah guna menyajikan fakta-fakta yang mampu berfungsi sebagai dasar keyakinan bagi akal untuk menerima deskripsi realitas

8

dari suatu ayat. Dari model aplikasi penafsiran seperti ini, terindikasi sebuah konsep yang mirip atau lebih mengarah kepada model pembuktian kebenaran dalam paradigma filsafat Positivisme, yaitu salah satu aliran filsafat yang dikenal besar dan sangat berpengaruh di Barat sejak abad ke-18, bahkan sebagian peneliti menyebutkan bahwa abad ke-19 dikenal sebagai abad Positivisme. Analisis ini juga dikuatkan oleh keterangan yang dijelaskan Ignaz Goldziher yang menyebutkan bahwa ‘Abduh telah menggiring wacana umat Islam untuk tidak lagi menafsirkan Alquran dengan menggunakan perangkat pemikiran filosof klasik Yunani dan India seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya. Justru ‘Abduh lebih menekankan umat Islam untuk memperhatikan dan mengkaji wacana-wacana baru yang dibawa oleh filosof-filosof Prancis, Jerman dan Inggris pada masa itu, yang salah satu di antaranya adalah Auguste Comte,16 yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme yang menekankan paradigma ilmiah sebagai landasan kebenaran argumen dalam menunjukkan realitas dari sebuah proposisi.

Dari analisis sederhana ini memunculkan beberapa pertanyaan, apakah model dan kecenderungan penafsiran ‘Abduh yang dikenal berbeda masih murni dari paradigma rasionalnya Mu’tazilah, atau telah berbaur dengan paradigma-paradigma lain seperti paradigma filsafat Positivisme. Bisa jadi juga dalam konteks ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya), ‘Abduh memang tidak menggunakan model paradigma Rasionalisme, melainkan paradigma lain (filsafat Positivisme) yang dirasa sesuai untuk dijadikan paradigma dalam menafsirakan dan menjelaskan realitas ayat.

Beranjak dari permasalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji topik ini secara lebih mendalam, untuk meneliti model dan konsep penafsiran ‘Abduh, terutama terhadap ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya dengan melakukan penelitian lebih lanjut yang dirangkul dalam penelitian yang berjudul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh”.

16 Ignaz Goldziher menjelaskan pandangan ‘Abduh bahwa bukan waktunya lagi penafsiran Alquran menggunakan paradigma beberapa filosof klasik Yunani dan India, melainkan ‘Abduh justru menganjurkan agar umat Islam memperhatikan dan melakukan kajian terhadap wacana-wacana baru (pada saat itu) yang dibawa oleh beberapa filosof Jerman, Prancis dan Inggris seperti Leibniz, Auguste Comte dan Spinoza. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@m al-Naja>r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376.

9

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Beranjak dari dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan terkait tendensi penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, di antaranya sebagai berikut: a. Awal munculnya paham Rasionalisme dalam Islam. b. Sejauh mana pengaruh Mu’tazilah dalam membangun konsep

penafsiran dalam Islam, terkhusus penafsiran Muh}ammad ‘Abduh.

c. Bagaimana konsep Rasionalisme dan Empirisme dari filsafat yang muncul pada abad pencerahan Eropa.

d. Bagaimana bentuk substansi yang ingin diwujudkan Muh}ammad ‘Abduh dari penulisan Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

e. Bagaimana konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan dalam pandangan Muh}ammad ‘Abduh.

f. Bagaimana penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terhadap ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang fenomena alam).

g. Bagaimana basis penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam tinjauan paradigma filsafat Positivisme.

h. Bagaimana karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. i. Urgensi tafsir Positivistik 2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah penelitian ini terkait penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, lebih terfokus kepada upaya penulis untuk membahas tentang: a. Konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan (sains). b. Basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. c. Karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. d. Urgensi tafsir Positivistik. 3. Perumusan Masalah

Pokok masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah konsep tafsir Positivistik modern terutama meninjau penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terkait ayat-ayat al-Kauni@yah dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Kajian yang bersinggungan dengan turunan tema ini memang telah banyak dilakukan, seperti pembahasan tentang kajian yang

10

berbau ilmiah, tentang paradigma dari filsafat Rasionalisme, Empirisme, Positivisme dan juga terkait Mu’tazilah, namun pembahasan tersebut belum mengarahkan pembahasan secara spesifik kepada pembahasan yang penulis teliti berdasarkan tema penelitian ini. Meskipun demikian, dari berbagai pembahasan-pembahasan tersebut, banyak informasi yang bisa dimanfaatkan sebagai pijakan dasar dalam menganalisa permasalahan dari penelitian ini.

Berdasarkan turunan tema yang diangkat dalam kajian ini, ditemukan beberapa literatur yang bisa dimanfaatkan sebagai perbandingan dan tambahan informasi guna menganalisa masalah dari penelitian yang sedang dilakukan. Misalnya saja Ahmad N. Amir dan kawan-kawan, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, secara umum membicarakan wacana ilmiah pengetahuan modern dari Eropa (muncul dan berkembang sejak abad ke-13 hingga abad ke-18) yang sangat menekankan pada gagasan objektivitas, iman (keyakinan) dan peradaban, metafisika, epistemologi secara empiris serta berusaha memproduksi sintesis unik antara agama dan filsafat yang menekankan aspek metodologi ilmiah, pengamatan sistematis, eksperimen dan bangunan teori. Kondisi ini kemudian disambut baik oleh para modernis Islam pada masa kebangkitan Islam seperti yang diusahakan oleh Sayyid Ah}mad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh, Rashi@d Rid{a>, T{aha H{usein, Muh}ammad H}usein Haykal, dan Qasim Ami@n. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan bahwa semangat kemajuan di dunia Eropa juga ditularkan oleh Jamaluddin al-Afghani kepada Muh}ammad ‘Abduh sehingga Muh}ammad ‘Abduh menarik perkembangan pemikiran dan kemajuan Eropa ke dalam gaya berfikirnya yang memunculkan nuansa berbeda pada penafsirannya terhadap Alquran jika dibandingkan dengan penafsiran-penafsiran pada masa sebelumnya.17

Rotraud Wielandt dengan judul “Exegesis of the Qur’an: Early Modren and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Quran

17 Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in

View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, Vol. 1. No. 2. Juni 2012 (Diakses dari http://www.ajsc.leena-luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.01 WIB), 147-149.

11

dengan Jane Dammen Mc Auliffe sebagai editor.18 Dalam tulisan ini Rotraud Wielandt membahas upaya penafsiran dari sarjana muslim serta dengan pandangan mereka tentang metodologi penafsiran dari pertengahan abad kesembilan belas sampai sekarang. Mengenai kecenderungan yang berbeda dalam tafsir Alquran sejak abad ke Sembilan belas, Rotraud Wielandt menjelaskan secara panjang lebar bagaimana kecenderungan para mufasir pada masa ini dan ulama-ulama tafsir yang terpengaruh sesudahnya dimana muncul sebuah model penafsiran yang lebih menunjukkan adanya upaya pengadobsian unsur-unsur kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan dari Barat yang semua itu bersumber dari filsafat pencerahan yang ada di Eropa. Keberadaan filsafat pencerahan Eropa yang diklaim sebagai dasar kebangkitan Eropa, memberikan efek tersendiri ke dalam paradigma beberapa mufasir sehingga menghasilkan sebuah penafsiran yang sarat dengan model paradigma-paradigma kefilsafatan. Rotraud Wielandt menyebukan bahwa munculnya Sayyid Ahmad Khan dari India dan Muh{ammad ‘Abduh dari Mesir, menjadi dua tokoh sentral yang dipandang sebagai pioner dalam membumikan hal tersebut, terutama dalam upaya mereka menyerap ilmu-ilmu modern dan kemajuan budaya Eropa pada waktu itu dan mereka mencoba memadukan unsur tersebut ke dalam Islam untuk kembali memutar balikkan kondisi Islam pada saat itu yang sedang mengalami degradasi.

Abdullah Saeed, The Quran An Introduction.19 Secara umum buku karya Abdullah Saeed menggambarkan perkembangan tafsir seiring perkembangan waktu yang dimulai dari gambaran umum tentang tafsir pada periode awal, tafsir dalam lingkaran pengaruh sekte teologi Islam dan corak penafsirannya serta sampai pada persentuhan tafsir dengan Barat sehingga mengantarkan kepada hadirnya tafsir modern dan kontemporer. Dalam kontek korelasi tulisan Abdullah Saeed dengan penelitian ini yang menarik adalah bagaimana Abdullah Saeed mencoba menjelaskan bahwa tafsir modern yang terlahir cenderung mengarah kepada tendensi rasional. Hal itu merupakan pengaruh yang diturunkan oleh sekte rasional Islam, yaitu sekte Mu’tazilah. Kecenderungan Mu’tazilah mengandalkan rasio dalam

18 Rotraud Wieland, “Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and

Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002).

19 Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge, 2008).

12

menafsirkan ayat-ayat yang bertemakan persoalan Kalam, menjadi kunci turunan yang mempengaruhi mufasir pada era setelahnya yang juga bercorak rasional. Namun disayangkan bahwa Abdullah Saeed tidak menjelaskan bagaimana konsep rasional Mu’tazilah secara mendalam dan konsep rasional para mufasir modern yang justru terdapat perbedaan dengan konsep rasional sekte klasik Islam tersebut.

Ignaz Goldziher dalam buku Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>[email protected] Dalam buku ini, Ignaz Golziher mengungkapkan berbagai polemik tafsir dalam atmosfer teologi rasional yang diklaim sebagai nuansa sekte Mu’tazilah. Kecenderungan rasional Mu’tazilah ini kemudian juga mempengaruhi beberapa mufasir klasik, di antaranya al-Zamakhshari@. Bibit-bibit rasional dalam tafsir yang dibangun Mu’tazilah diaplikasikan secara utuh oleh al-Zamakhshari@ dalam kitab tafsirnya. Berlandaskan pada aplikasi rasional yang diterapkan oleh Zamakhshari@ dalam menafsirkan Alquran yang mewakili model penafsiran rasional Mu’tazilah sehingga Ignaz Goldziher mengklaim kecenderungan penafsiran di era modern (pada abad ke 18 dan setelahnya) yang diusung beberapa mufasir pada masa itu seperti Muh}ammad ‘Abduh, masih dikategorikan sebagai bentuk lain dari konsep rasional Mu’tazilah atau lebih dikenal dengan Neo Mu’tazilah. Namun di sisi yang berbeda, Ignaz Goldziher juga menunjukkan kecenderungan lain dari penafsiran ‘Abduh dimana banyak dari penafsiran yang dihasilkan sarat dengan nilai-nilai ilmiah sebagai bentuk upaya memadukan temuan-temuan yang bersifat ilmiah dari hasil peradaban modern Eropa ke dalam tafsir. Ignaz menilai bahwa terdapat pergeseran wacana kefilsafatan yang perlu dikaji dan diperhatikan, dimana tidak saatnya lagi membahas wacana kefilsafatan klasik Yunani dan India seperti Aristoteles, Plato, Socrates, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya karena dalam penilaian ‘Abduh, wacana yang diusung filosof klasik tersebut tidak lagi relevan dalam kontek kekinian (saat ‘Abduh hidup). Namun ‘Abduh lebih menuntut untuk memperhatikan dan melakukan kajian secara mendalam terhadap wacana-wacana baru yang dibawa oleh beberapa filosof Prancis, Jerman dan Inggris seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza.

M. Quraish Shihab dalam buku Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Secara umum dalam buku ini M. Quraish

20 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@, Penerj; ‘Abdul H{ali@m al-

Naja>r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955).

13

Shihab berbicara tentang Tafsi@r al-Manna@r untuk melihat kecenderungan mufasirnya (Muh}ammad ‘Abduh dan Rashi@d Rid}a>) dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Terkait Muh{ammad ‘Abduh, M. Quraish Shihab sempat menyimpulkan bahwa Muh{ammad ‘Abduh merupakan tokoh pembaharu di bidang tafsir yang memiliki coraknya sendiri. M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa dari segi penggunaan akal dalam menafsirkan Alquran, Muh{ammad ‘Abduh sangat dominan mengaplikasikan model penafsiran seperti ini. M. Quraish Shihab menilai bahwa hal tersebut menunjukkan kesejalanan antara Muh{ammad ‘Abduh dengan Mu’tazilah, baik dalam prinsip-prinsip yang dianutnya ataupun dari segi tujuannya, terlepas dari perdebatan panjang antar para ulama dan pakar tafsir terkait Muh{ammad ‘Abduh adalah seorang Mu’tazilian atau bukan.21

Muhammad Hamid al-Nashr dengan buku berjudul Menjawab Modernisasi Islam; Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal. Secara umum dalam buku ini Muh{ammad Hamid An-Nashr sempat menyinggung pembahasan tentang sekte Mu’tazilah dengan meninjau berbagai aspek dari Mu’tazilah sehingga terlihat kekentalan permainan akal atau kecenderungan rasional dari Mu’tazilah itu sendiri. Bagi Muhammad Hamid An-Nashr, Mu’tazilah dipandang begitu mengagungkan akal. Akal atau logika dalam sekte Mu’tazilah dipandang sebagai dasar utama yang dijadikan barometer kebenaran yang kemudian baru diperkuat oleh dalil-dalil yang ada. Inilah landasan utama Muhammad Hamid An-Nashr menyebutkan Mu’tazilah sebagai sekte rasional Islam yang kemudian juga menularkan pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, termasuk Muh{ammad ‘Abduh yang juga digolongkan sebagai salah satu penganut Mu’tazilah.22

Dari beberapa penelitian sebelumnya, ada spesifikasi pembahasan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang diungkapkan oleh Ahmad N. Amir, Rotraud Wielandt, Abdullah Saeed, Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al-Nashr. Pembahasan yang diungkapkan Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt secara umum hanya menunjukkan indikasi global tentang

21 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-

Mannar (Jakarta: Lentera Hati 2006), 32-36. 22 Muh{ammad Hamid al-Nashr, Menjawab Modernisasi Islam; Membedah

Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal, Penerjemah; Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 18 dan 45.

14

adanya ketertarikan ‘Abduh dan upayanya untuk mengintegrasikan perkembangan pemikiran dan kemajuan peradaban Barat ke dalam ide dan pemikiran pembaharuannya terhadap dunia Islam. Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt juga menduga bahwa pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada masa itu juga ikut mempengaruhi gaya penafsiran ‘Abduh sehingga terkesan nuansa penafsirannya berbeda dari penafsiran-penafsiran pada era sebelum ‘Abduh. Sedangkan Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al-Nashr masih menilai bahwa nuansa tafsir ‘Abduh yang kuat mengedepankan aspek rasional-ilmiah pada era modern, masih dipengaruhi sepenuhnya oleh paradigm Mu’tazilah meskipun Ignaz Goldziher telah memberikan indikasi yang menunjukkan upaya ‘Abduh untuk menggiring wacana umat Islam untuk menggunakan pemikiran-pemikiran modern Eropa pada saat itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza. Walaupun demikian, seluruh pembahasan yang coba diungkapkan oleh beberapa tokoh tersebut terkait tendensi penafsiran ‘Abduh sebagai seorang mufasir modern, hanya sebatas uraian-uraian yang bersifat global atau mengikuti wacana yang berkembang sebelumnya bahwa ‘Abduh masih terpengaruh sepenuhnya oleh paradigma Mu’tazilah.

Penelitian yang dirangkul oleh judul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh” mencoba mengulas tentang penafsiran ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma secara lebih spesifik dengan mengidentifikasi paradigma asal yang mempengaruhi perbedaan nuansa penafsiran ‘Abduh jika dibandingkan dengan gaya penafsiran-penafsiran ulama-ulama pada era sebelum ‘Abduh, terkhusus penafsiran-penarsiran terhadap ayat-ayat al-Kauni>yah (ayat-ayat fenomena alam). Peneliti melihat bahwa, terdapat satu aliran filsafat pencerahan Eropa pada masa itu yang ikut mempengaruhi paradigma penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat al-Kauni>yah, seperti filsafat Positivisme.

Sebagaimana indikasi yang ditunjukkan secara global oleh Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt yang menilai ‘Abduh telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran kefilsafatan Eropa pada masa itu, ditambah lagi dengan indikasi yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher yang menyebutkan ‘Abduh telah menggiring perhatian umat Islam untuk memperhatikan pemikiran-pemikiran para filosof Eropa pada masa itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza, menjadi penguat asusmsi dasar dari penelitian ini. Dalam pembahasan filsafat Eropa, Auguste Comte memang dikenal sebagai tokoh pendiri dari

15

aliran filsafat Positivisme yang begitu kuat menyuarakan pandangan Positivistiknya.23 Inilah yang coba dirunut dan diurai dalam penelitian ini secara spesifik dengan berusaha mencari dan menunjukkan pengaruh filsafat Positivisme dalam membentuk paradigma penafsiran ‘Abduh yang terkesan berbeda terkait ayat-ayat al-Kauni>yah dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, kemudian melihat karakteristik serta urgensi dari model penafsiran Positivistik yang diterapkan ‘Abduh. Hal ini merupakan kelebihan yang paling menonjol dari penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

D. Tujuan Penelitian

Merujuk kepada rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk; Pertama, melihat konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan alam (sains) dalam pandangan Muh{ammad ‘Abduh. Kedua, melihat basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh sebagaimana yang diterapkan dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma. Ketiga, melihat karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. Keempat, melihat urgensi dari model tafsir Positivistik.

E. Signifikansi Penelitian

Signifikansi dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memperluas pandangan dunia intelektual dalam pengkajian tafsir Alquran dengan memahami perkembangan model atau nuansa penafsiran Alquran, terkhusus tafsir yang dimulai dari era modern.

2. Secara praktis diharapkan agar penelitian ini akan berguna bagi kehidupan masyarakat intelektual Islam, terutama dalam memahami dan berusaha menghasilkan sebuah penafsiran yang lebih bersifat dinamis serta mampu menjadi alternatif-alternatif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, namun tetap berada dalam nilai-nilai dan aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan Alquran.

23 Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 188-197.

16

F. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

secara umum mencakup tiga hal penting, yaitu dari segi sumber data penelitian, dari segi sifat dan jenis penelitian, dan yang terakhir dari segi metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Sumber Data Penelitian Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian

ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan bidang tafsir yang lebih terfokus kepada kajian tokoh dimana tokoh yang diteliti adalah Muh{ammad ‘Abduh. Jadi dalam proses penelitian ini sumber primer yang penulis gunakan adalah kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karangan Muh{ammad ‘Abduh (Kairo: al-Ami@riyyah, 1322 H). Pemilihan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma sebagai sumber primer dikarenakan kitab ini merupakan kitab tafsir yang memuat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat Alquran. Hal lain yang penulis perhatikan adalah bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir yang murni dikarang oleh ‘Abduh. Sedangkan kitab Tafsir al-Manna>r menurut sebahagian pakar tafsir, tidak lagi orisinil dari hasil penafsiran ‘Abduh karena telah terdapat pemikiran-pemikiran Muh{ammmad Rashi@d Rid{a@ yang pada saat itu berperan menuliskan penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam majlis Al-Manna>r. Sedangkan sumber skunder dalam penelitian ini adalah segala karya tulis ilmiah baik itu buku, jurnal ataupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan tema dari penelitian ini. 2. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat Kualitatif.24 Dari segi jenis, penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan menelaah buku-buku atau leteratur-literatur perpustakaan yang terkait dengan pembahasan. 3. Pendekatan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus mempunyai metode pendekatan dan desain penelitian yang jelas.

24 Penelitian Kualitatif adalah sebuah penelitian yang berlandaskan filsafat

Pospositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci dengan hasil penelitian yang lebih menekankan makna dari generalisasi. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif (Bandung: Alfabeta, 2011), 9

17

Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan tersebut mempunyai landasan yang kokoh dalam menganalisa dan mengolah data untuk tercapainya tujuan yang ingin dijawab dari sebuah penelitian. Di samping itu, pembaca juga akan mempunyai pemahaman yang lebih proporsional dalam membaca hasil penelitian dengan mengetahui pendekatan yang diterapkan. Keberadaan objek dan masalah yang jelas, sangat mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan yang hendak digunakan dalam sebuah penelitian.

Dari segi fokus kajian, penelitian ini berusaha mengungkap epistemologi dan konsep penafsiran Positivistik Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, terutama terkait ayat-ayat fenomena alam yang diindikasikan terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme dalam menafsikan dan mengungkap kebenaran realitas ayat. Oleh karena itu untuk menganalisa permasalahan ini secara mendalam, penulis menggunakan pendekatan Filsafat, terutama paradigma filsafat Positivisme. Pendekatan filsafat Positivisme merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan memandang sesuatu melalui pendekatan ilmiah.25 Pendekatan Positivisme ini lebih menekankan kepada model paradigma yang menjadikan hal-hal yang berada di wilayah empiris sebagai realitas dalam argumentasi terhadap sebuah proposisi yang juga harus dapat dibenarkan secara ilmiah atau berdasarkan kepada penilaian ilmu-ilmu alam (sains). Senada dengan itu, Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tersebut bisa disebut positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan ruang bagi berbagai ilmu pengetahuan untuk mengukur isinya yang

25Kecenderungan Positivisme menggunakan ilmu pengetahuan, merupakan

pandangan dasar yang lebih dikenal dari filsafat Positivisme. Birger Hjorland, “Empiricism, Rationalism and Positivism in Library and Information Science” dalam Journal of Documention, 2005 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/217978392/fulltextPDF/13E049046462C52FCBD/12?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 04.01 WIB), 135-139. Bruce Caldwell, “Positivist Philosophy of Science and Methodology of Economics” dalam Journal of Economic Issues, Vol. XIV, No. I March 1980, (Diakses dari http://public.econ.duke.edu/~bjc18/docs/Pos%20Phil%20of%20Science%20and%20Method%20of%20Econ.pdf, tanggal 21-02-2013 pukul 23.08 WIB), 55.

18

positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi mampu mengungkapkan kebenaran yang positif. Lebih jauh lagi Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam disiplin ilmu-ilmu alam yang bisa digunakan dalam membaca gejala-gejala serta mengungkapkan kebenaran yang positif, di antaranya seperti disiplin ilmu Matematika, Astronomi, Fisika, ilmu Kimia, Biologi, Sosiologi dan lain sebagainya.26 Adanya teori-teori dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan alam (sains) yang di dukung dengan bukti-bukti bersifat empiris seperti adanya data sejarah dan fakta-fakta tentang fenomena-fenomena alam yang menyertainya, menjadi komponen penting dalam teknis dan sitematika dari pendekatan yang menggunakan paradigma Positivisme.

Terkait penelitian ini, langkah kerja dari metode dan pendekatan Positivisme lebih kepada upaya menjadikan nilai-nilai pokok yang telah ditekankan dalam paradigma filsafat Positivisme sebagai barometer penilaian dasar, kemudian berlandaskan kepada barometer tersebut penulis menganalisa penafsiran-penafsiran ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma yang terindikasi menggunakan paradigma filsafat Positivisme. Di antara poin-poin dasar yang ditekankan dalam paradigma Positivisme adalah objek pembahasan yang difokuskan mengulas persoalan-persoalan seputar fenomena alam, menjadikan fakta empiris sebagai realitas, menghindari pembahasan-pembahasan bersifat transendental dan mejelaskan suatu persoalan fenomena alam dalam kerangka analisis sains modern. Dengan berpijak pada poin-poin ini, penulis mengidentifikasi setiap penafsiran ‘Abduh yang mangandung muatan poin-poin tersebut serta juga ditunjang dengan informasi-informasi lain yang bersifat historis. Melalui pendekatan filsafat Positivisme penulis berupaya mengungkap apakah penafsiran yang dihasilkan Muh{ammad ‘Abduh terbiasi oleh paradigma filsafat Positivisme atau tidak.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini secara sistematis akan diuraikan dalam lima bab, yang terdiri dari:

Bab pertama; diawali dengan pendahuluan yang memuat mengenai dasar pemikiran dari penelitian ini dengan terlebih dahulu

26 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat 1990

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 35-36

19

memaparkan latar belakang masalah, dilanjutkan dengan pokok permasalahan yang terdiri dari pertama; identifikasi masalah yaitu permasalahan-permasalahan yang terlingkup dalam tema penelitian yang akan dilakukan ini, kedua; pembatasan masalah yang berisi gambaran umum ruang dan batasan penelitian agar penelitian menjadi terarah dan jelas, dan yang ketiga; perumusan masalah yang berisi beberapa pertanyaan yang merupakan wujud dari beberapa masalah yang harus di jawab dari penelitian ini. Kemudian dalam bab pertama ini juga diuraikan beberapa literatur yang relevan dengan tema penelitian, guna mengetahui serta sebagai bahan perbandingan dalam melihat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki hubungan tersendiri dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam bab pertama juga terdapat tujuan penelitian serta signifikansi penelitian yang berfungsi memperlihatkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini serta signifikansi dari penelitian ini secara umum. Berikutnya diikuti dengan metodologi penelitian yang menjelaskan tentang jenis penelitian, metode serta pendekatan yang penulis pakai dalam penelitian ini guna mengetahui langkah kerja dalam proses pengolahan data untuk mencapai tujuan penelitian. Sub bab terakhir dari bab pertama ini adalah sistematika penulisan yang di dalamnya mengulas gambaran umum dari poin-poin pembahasan yang tersusun secara sistematis.

Bab kedua; Tafsir dan Filsafat. Bab kedua ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama mengulas tentang tafsir Alquran dalam dimensi rasional. Inti dari sub bab ini terdapat dua pembahasan penting yaitu untuk menunjukkan karakteristik dari tafsir bi al-Ra’yi sebagai metode penafsiran dengan tendensi rasional dan karakteristik Mu’tazilah sebagai salah satu sekte Islam yang juga sangat mengagungkan akal guna melihat corak rasionalnya yang masih searah dengan paradigma Rasionalisme klasik Yunani. Sub bab kedua mengulas tentang Positivisme dalam bingkai Empirisme. Sub bab ini bertujuan untuk mengulas konsep dan nilai-nilai dasar yang ditekankan dalam paradigma filsafat Positivisme guna menghadirkan pembenaran terhadap kebenaran realitas dari sebuah proposisi.

Bab ketiga; Epistemologi Tafsir Muh}ammad ‘Abduh. Uraian ini dibagi menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama mengulas tentang Muh{ammad ‘Abduh dan afiliasi pemikiran Barat, baik itu dari segi proses pendidikan dan afiliasi pemikiran Barat serta pembaharuannya. Sub bab ini bertujuan untuk melihat perjalanan hidup ‘Abduh sehingga

20

kemudian dapat meninjau arah paradigma ‘Abduh yang terkorelasi ke dalam penafsirannya terhadap Alquran. Sub bab ke dua, mengulas seputar kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma sebagai objek analisis sehingga perlu terlebih dahulu diketahui tentang karya ini secara umum. Sub bab ketiga, menjelaskan tentang konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan (sains) dalam pandangan ‘Abduh. Hal ini bertujuan untuk melihat konsep pemahaman dasar ‘Abduh dalam memandang ketiga hal tersebut, apakah ketiganya saling terkorelasi dengan baik ataukah ada pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga kemudian dapat ditinjau dengan jelas posisi ilmu pengetahuan alam (sains) dan penerapannya dalam penafsiran ‘Abduh.

Bab keempat; Tafsir Modern dan Nuansa Positivistik. Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama mengulas tentang Basis tafsir Positivistik Muh}ammad ‘Abduh. Tujuan dari sub bab ini ingin melihat dan mendeskripsikan model penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat al-Kauni@yah dimana ‘Abduh membangun penafsirannya berdasarkan fakta-fakta empiris yang ditopang oleh kebenaran berdasarkan ilmu-ilmu alam (sains). Sub bab kedua, mengulas tentang karakteristik dari tafsir Positivistik Muh}ammad ‘Abduh. Sub bab ini bertujuan untuk melihat poin-poin inti yang menunjukkan ciri-ciri dari kecenderungan tafsir Positivistik. Sub bab ketiga, mengulas tentang urgensi dari tafsir Positivistik. Sub bab ini bertujuan untuk mengulas pentingnya penafsiran dengan corak Positivistik sebagaimana yang terkandung dalam pemikiran ‘Abduh.

Bab kelima; Penutup. Bagian ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. Untuk lebih paham dan jelasnya dalam sebuah tesis, maka harus ada kesimpulan dan saran. Sub bab pertama dari bab penutup adalah kesimpulan. Kesimpulan ditarik dari uraian yang telah ditulis terdahulu dan bertalian erat dengan pokok masalah. Kesimpulan adalah jawaban permasalahan berdasarkan analisis data yang diperoleh. Sub bab kedua berisikan saran atau rekomendasi guna memberikan masukan-masukan untuk kesempurnaan penelitian ini.

21

BAB II TAFSIR DAN FILSAFAT

Berbedanya pandangan beberapa pakar dan pengkaji tafsir

Alquran melihat kecenderungan sebagian tafsir yang muncul sejak abad ke-18, terutama penafsiran yang bertendensi ilmiah, berkutat pada topik apakah kecenderungan penafsiran tersebut masih merupakan bagian model dari paradigma dan konsep rasionalisme Islam pada masa sebelumnya atau sudah bercampur dengan konsep dan paradigma lain yang berasal dari luar Islam.

Berlandaskan perbedaan pandangan di atas, ada beberapa hal yang ingin dibahas terlebih dahulu dalam bab II, yaitu tafsir bi al-Ra’yi sebagai jalan memahami kandungan Alquran dengan mengedepankan aspek nalar atau akal, kemudian konsep rasionalitas Mu’tazilah sebagai salah satu sekte teologi Islam yang mengarah kepada paradigma filsafat Rasionalisme klasik (Yunani), dan yang terakhir adalah filsafat Positivisme, yaitu salah satu filsafat Barat dengan mengedepankan paradigma ilmiah yang berdiri di atas kepercayaan yang tinggi terhadap fakta empiris (Empirisme) dan sains dalam memahami realitas.

A. Tafsir Alquran dalam Dimensi Rasional 1. Rasionalistik Tafsir bi al-Ra’yi

Penafsiran Alquran memang memiliki corak penafsiran yang beragam. Kecenderungan gaya dan nuansa yang mewarnai suatu proses penafsiran, menjadi ciri khas yang akan memberikan kesan tersendiri terhadap proses tersebut. Adanya penggunaan akal yang mendominasi dalam suatu penafsiran Alquran diistilahkan oleh para ulama dan pakar tafsir dengan corak tafsir bi al-Ra’yi, atau dalam istilah lain disebut tafsir rasional.1 Tafsir rasional atau al-Ra’y muncul pada masa dinasti ‘Abbasiyah. Kemunculan tafsir dengan corak rasional pada masa ini masih belum semapan tafsir rasional pada zaman sekarang. Sebagaimana yang disebutkan oleh Muh{ammad H{usein al-Dhahabi@,

1 Tafsir bi al-Ra’yi terambil dari kata ra’y yang secara lughawi berarti,

I’tiqa>d (keyakinan), ‘Aql (akal) dan Tadbi@r (pemahaman). Sedangkan secara istilah berarti Ijtiha>d yaitu sesutu yang dirasakan (hati) setelah berfikir dan mengetahui maknanya secara mendalam setelah mencari kebenarannya melalui tanda-tanda yang ada. T{a@hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu@b, Asba>b al-Khat{a’ fi@ al-Tafsi@r, Juz I (Kairo: Da>r Ibnu al-Jauzi@, 1425 H /2004 M), 25-26.

22

pada masa ini tafsir rasional muncul dan masih tercampur di dalam tafsir bi al-Ma’thu>r. Tafsir rasional yang pada esensinya merupakan hasil dari peran aktif analisa akal dari mufasir dalam memahami ayat, digunakan untuk memperkuat atau menghubungkan antara pendapat-pendapat ulama lain yang dinukilnya, kemudian menghasilkan pemikirannya sendiri atau pemahamannya sendiri terhadap ayat. Al-Dhahabi@ menambahkan bahwa pada masa ini para ulama tafsir yang kebanyakan merupakan ulama-ulama yang menguasai ilmu bahasa, pemikiran, dan ada sebagian yang fanatik terhadap mazhab-mazhab, mencoba menterjemahkan kitab-kitab yang berbau filsafat, dan kemudian mencoba mengkombinasikan antara filsafat dan tafsir, maka lahirlah sebuah kecenderungan penafsiran yang disebut tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir rasional.2

‘Abd H{ayy al-Farma>wi@ dan Muh{ammad al-Sayyi@d Jibri@l misalnya menjelaskan tafsir bi al-Ra’yi dalam pemahaman yang senada sebagai proses penafsiran Alquran melaui jalan ijtihad, setelah mufasir mengetahui metode yang digunakan orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata Arab beserta muatannya.3 Selain itu, mufasir juga harus dibantu dengan sair-sair Jahiliyah, Asba>b al-Nuzu>l, Na>sikh Mansu>kh dan lain sebagainya. Syaikh Manna>’ al-Qat}t{a>n juga menjelaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi (tafsir rasional) merupakan penafsiran terhadap Alquran dimana mufasir berpegang kepada pemahamannya sendiri dan pengambilan kesimpulanpun didasarkan kepada logika mufasir.4 M. Quraish Shihab juga menambahkan bahwa tafsir bi al-Ra’yi merupakan penafsiran yang dalam proses penafsiran itu sendiri menggunakan nalar.5

Meskipun pandangan dikalangan ulama secara umum masih diwarnai oleh perdebatan dan polemik antara dua kutub yang saling berseberangan (membolehkan dan melarang),6 setidaknya dalam

2 Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@, ‘Ilm al-Tafsi@r (Kairo: Da@r al-Ma’a@rif, tth),

37 3 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud}u’i@ Dira>sah

Manhajiyyah Maud}u’iyyah (Kairo: Maktabah Jumhuriyyah, 1977), 26. Muh{ammad al-Sayyid Jibri@l, Madakhil al-Mana@hij al-Mufassiri@n (Kairo: al-Risa>lah, 2008), 106.

4 Manna’ al-Qat}t}an, Maba>hith fi@ ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Ttp: Da>r al-Rashi@d, tth), 351.

5 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XIX (Bandung: Mizan, 1999), 85.

6 Secara umum, terdapat dua pendapat ulama dalam memandang tafsir bi al-Ra’yi, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Dilarangnya tafsir bi al-Ra’yi

23

dimensi ini T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b memandang sebuah pendapat yang lahir dari fikiran atau akal ketika memahami ayat yang disandarkan ataupun sesuai dengan Alquran dan sunnah, maka hasil penafsiran ra’y (rasio) tersebut layak untuk diterima.7 Berbeda halnya dengan Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba>gh8 yang lebih menganjurkan

karena; Pertama, kebanyakan dari lahirnya tafsir-tafsir Ra’y dilakukan oleh seorang mufasir tanpa memiliki ilmu-ilmu yang diwajibkan oleh ulama-ulama dalam menafsirkan Alquran. Kedua, karena semua penjelasan Alquran dianggap sudah ada penjelasannya dalam hadis Nabi. Ketiga, adanya penegasan langsung dari hadis Nabi bahwa bagi mufasir yang menafsirkan dengan akalnya, maka tempatnya di dalam neraka. Sedangkan bagi ulama yang membolehkan beralasan bahwa; Pertama, manusia memang dituntut oleh Allah untuk berusaha memahami Alquran dengan semaksimal mungkin tanpa terkecuali melalui akal manusia. Kedua, Jika tafsir Ra’y dilarang maka sesungguhnya ijtihadpun juga dilarang yang menyebabkan banyaknya hukum-hukum yang menjadi batal, karna sesunguhnya di antara hukum-hukum yang ada dalam Islam, kebanyakan merupakan hasil dari ijtihad dimana ijtihad itu sendiri pada esensinya merupakan aplikasi dari akal. Ketiga, aplikasi Ra’y dianggap sudah ada pada masa sahabat, hal itu dibuktikan dengan perbedaan pemahaman para sahabat dalam memahami ayat-ayat yang telah diajarkan Nabi kepada mereka. Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@, ‘Ilm al-Tafsi@r, 47-50. Bandingkan dengan yang dijelaskan Nu>ruddi@n ‘Ittir, ‘Ulu@m al-Qur’a>n al-Kari@m (Damaskus: Al-Shiba@l, 1996), 85-87.

7 Diterimanya tafsir dengan corak Ra’y seperti ini dalam pandangan Dr. T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b setidaknya berdiri pada tiga alasan: 1) tidak seluruh penafsiran salaf terhadap Alquran dikupas atau dibahas secara tuntas dan terperinci, 2) Tidak seluruh makna atau maksud Alquran dijelaskan Nabi kepada sahabat secara terperinci, karena kebanyakan dari apa yang dijelaskan Nabi, hanyalah sebatas apa yang ditanyakan sahabat, 3) Ada sebagian sahabat yang terpaksa harus berijtihad dalam menafsirkan sebagian ayat Alquran dikarenakan mereka tidak mendengarkan penafsiran ataupun penjelasan Nabi secara langsung. T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b, Asba>b al-Khat}a’ fi@ al-Tafsi@r, Juz’ 1 (Kairo: Da@r Ibn al-Jauzi@, 1425 H), 66-67.

8 Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba@gh mengutip peringatan yang disampaikan oleh al-Qurt}ubi@ dalam kitabnya yang melarang penafsiran dengan kecenderungan ra’yi (rasional) yang dilandaskan kepada hadis nabi من قال بالقران برأيه فليتبوأ مقعده من al-S{iba>gh menjelaskan beberapa kecenderungan atau model penafsiran ra’yi .النار(rasional) yang menurutnya dilarang yang secara umum dikelompokkan kepada dua bagian besar, yaitu: 1) Menafsirkan sesuai hawa nafsunya, padahal ayat sama sekali tidak berbicara tentang hal itu. Kelompok pertama ini terbagi kepada tiga kasus umum, di antaranya; a) Karena pengetahuannya, seorang mufasir memalingkan makna Alquran padahal dia sendiri mengetahui jika makna ayat tersebut tidak berbicara tentang apa yang dibicarakannya. b) Karena ketidak tahuannya. Maksudnya ayat yang ditafsirkan berbicara tentang suatu konteks, namun menurut mufasir ayat tersebut justru berbicara tentang kontek yang lain. Pemahaman seperti ini dinilai disebabkan oleh faktor ketidaktahuannya sehingga kemudian mufasir

24

untuk menjauhi tafsir bi al-Ra’yi (rasional). Hal itu dikarenakan penafsiran dengan menggunakan akal cenderung salah dan rentan untuk mengikuti hawa nafsu.

Penggunaan logika dalam dunia penafsiran ternyata telah dimulai oleh sebagian mufasir pada masa tafsir klasik. Misalnya al-T{abari@ (224-310 H) dengan corak tafsir bi al-Ma’thu>r yang pernah menggunakan pendekatan logika dalam sebagian penafsirannya seperti ketika membahas surat al-Isra>’ (17) ayat 79. Dalam kasus ini, al-T{abari@ merespon penafsiran para pengikut Imam Hambali yang berkembang pada masa itu bahwa maqa>man mahmu>da> dalam surat al-Isra>’ (17) ayat 799 ditafsirkan bahwa Allah akan mendudukkan Nabi Muhammad bersama dirinya di ‘Arsh sebagai balasan atas shalat tahajudnya. Penafsiran seperti ini secara tidak langsung mengandung muatan pemahaman yang dekat dengan kecenderungan cara pandang antromorfisme. Hal inilah yang kemudian memicu al-T{abari@ memberikan penafsiran yang berbeda sekaligus menafikkan penafsiran antromorfisme yang mengatakan bahwa perihal Allah akan mendudukkan Muhammad di kursi yang berada di samping Allah, merupakan sesuatu yang mustahil. Namun pemahaman yang benar bagi al-T{abari@ dari lafaz maqa>man mahmu>da> dalam surat al-Isra>’ ayat 79 adalah suatu tempat yang terpuji yang telah disiapkan Allah.10

secara berani menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. c) Seorang mufasir menggunakan sebuah ayat untuk mendukung pendapatnya, padahal ayat tersebut secara maknawi berbicara tentang kontek yang lain dan itu juga bukan sesuai dengan pendapatnya, namun justru ayat tersebut dipaksakan untuk mendukung pendapatnya. 2) Mufasir yang tidak menguasai bahasa Arab dan kemudian mencoba menafsirkan ayat Alquran dengan akal dan pendapatnya semata, maka penafsiran dengan cara seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang keliru. Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba@gh, Maba>hith fi@ Us}u>l al-Tafsi@r (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@, 1988), 46-47.

9 Qs. Al-Isra’ (17) ayat 79;

z⎯ ÏΒuρ È≅ø‹©9 $# ô‰¤f yγtFsù Ïμ Î/ \' s#Ïù$tΡ y7©9 #© |¤ tã β r& y7sWyè ö7tƒ y7•/u‘ $ YΒ$ s)tΒ #YŠθßϑøt¤Χ

“Dan pada sebahagian malam hari, tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” 10 Dalam kitab Tafsi>r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n,

al-T{abari@ mengemukakan dua pendapat ulama terdahulu dalam menafsirkan maqa>man mahmu>da yang dapat dipetakan bahwa kelompok pertama menafsirkannya dengan tempat yang terpuji dan kelompok yang kedua menafsirkannya dengan mendudukkannya di ‘Arsh. Dalam polemik kedua pendapat ini, al-T{abari@ justru menegaskan bahwa pendapat dari kelompok pertamalah yang paling benar. Hal itu dikarenakan pendapat yang dikemukakan oleh kelompok

25

Kemudian beliau membacakan sebuah syair sebagai berikut, “Maha suci Allah yang tidak mempunyai rekan, dan di ‘Arash-Nya tidak ada rekan duduk”. Hal itu kemudian menimbulkan kemarahan yang besar dari masyarakat pada waktu itu sehingga beliaupun dilempari dengan batu yang begitu banyak meskipun telah bersembunyi ke dalam rumah.11 Penafsiran yang senada juga diungkapkan oleh al-Ra>zi@ (543-606 H)12 dan al-Zamakhshari@ (467-538 H) 13 dalam kitabnya masing-masing yang pada intinya kedua mufasir tersebut lebih cenderung menafsirkan lafaz maqa>man mahmu>da> dengan tempat ataupun keadaan yang terpuji, dimana nantinya pada tempat dan keadaan tersebut nabi Muhammad akan memberikan safa’at kepada umatnya.

Contoh penafsiran rasional lainnya juga diperlihatkan oleh Abi@ Su’u>d ketika menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat ke 19,14 dimana lafaz “wa futih{at al-sama>’ faka>nat abwa>ba>” ditafsirkan dengan terbelahnya langit (pada saat hari kiamat) sehingga terbukanya pintu-pintu sebagai tempat turunnya malaikat.15

pertama lebih dominan dan lebih sejalan dengan hadis-hadis yang dinukil oleh al-T{abari@ yang dalam penilaiannya hadis-hadis berstatus s}ahih. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 38-54.

11 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@ (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 123-124.

12 “Maqa>man mahmu>da>” dalam surat al-Isra’ (17) ayat 79 ditafsirkan al-Ra>zi@ dengan dua makna, yaitu sebagai keadaan yang terpuji dan sebagai tempat yang terpuji. Namun dalam penafsiran ayat ini, beliau juga menukil pendapat sebagian sahabat yang menafsirkan “maqa>man mahmu>da>” dengan tempat duduknya Nabi di samping Allah di ‘Arsh. Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakhruddi@n Ibn al-‘Ala>mah D{iya> al-‘Umar, Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@ al-Mashhu>r bi al-Tafsi@r al-Kabi@r wa Mafa>ti@h{ al-Ghaib, Juz 11 (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1981 M / 1401 H), 32-33.

13 Al-Zamakhshari@ juga menafsirkan sebagai tempat terpuji, dimana pada tempat itu nantinya Nabi Muhammad memberikan shafa’at. Abi@ al-Qa>sm Mah}mu>d Bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f ‘an H{aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi@l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi@l fi@ Wuju@h al-Ta’wi@l, Juz 3 (Riyad}: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998 M / 1418 H), 542-544.

14 Qs. Al-Naba’ (78) ayat 19:

ÏMys ÏGèù uρ â™!$ yϑ¡¡9 $# ôMtΡ% s3sù $ \/≡ uθö/r&

“Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu.” 15 Nama lengkap beliau adalah Abi@ al-Su’u>d bin Muh{ammad al-‘Ama>di@ al-

H{anafi@ yang hidup pada tahun 900-982 H. Terkait surat al-Naba (78) ayat 19, Abi@ al-Su’u>d menafsirkannya secara umum dengan meyakini bahwa pada saat ditiupkan sangkakala di hari kiamat, maka langit itu akan terbelah secara zahir sehingga terbukalah beberapa pintu yang akan menjadi tempat turunnya para malaikat ke

26

Begitu juga dengan penafsiran al-Qurt}ubi@ (w 671 H) terhadap surat al-Takwi@r (81) ayat 1 dan Ibnu Abba>s terhadap surat al-Takwi@r (81) ayat 2.16 Pada ayat pertama dari surat al-Takwi@r, al-Qurt}ubi@ menafsirkannya dengan digulungnya matahari dan dihilangkan sinarnya kemudian sinarnya dilemparkan ke dalam laut. Sedangkan pada ayat ke dua dari surat al-Takwi@r, Ibnu Abba>s menafsirkan bintang yang berjatuhan dengan penafsiran bahwa bintang-bintang tersebut merupakan lampu-lampu yang tergantung antara langit dan Bumi dengan rantai yang terbuat dari cahaya. Rantai cahaya tersebut dipegang oleh malaikat, kemudian jika datang tiupan pertama maka wafatlah seluruh penduduk bumi dan penduduk langit, lalu bintang-bintang tersebut bertebaran dan rantai-rantai dari tangan malaikat berjatuhan karena akan mati siapa yang memegangnya. Bisa jadi juga yang dimaksud bintang berjatuhan adalah hilang sinarnya.17

Dari penafsiran al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ misalnya ketika menafsirkan surat al-Isra>’ (17) ayat 79 dipahami bahwa secara umum ayat ini berbicara tentang persoalan transendental dengan sifat realitasnya berada di luar wilayah empiris dan tidak mampu dijangkau oleh pancaindra, namun ketiga ulama tersebut tetap berusaha memberikan penafsiran terhadap ayat untuk menunjukkan realitas ayat yang sebenarnya. Mereka cenderung memanfaatkan pendekatan kebahasaan yang didukung oleh pendapat-pendapat para sahabat dan ulama-ulama sebelum mereka, kemudian dipahami melalui akal sehingga membentuk sebuah imajinasi di alam rasio yang kemudian dituangkan menjadi sebuah penafsiran terhadap ayat walaupun realitas imajinasi itu sendiri berada di luar wilayah empiris. Secara tidak langsung dapat dianalisa bahwa penafsiran al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ tentang maqa>man mahmu>da> dihasilkan tanpa melewati proses pengamatan realitas empiris dan aplikasi seperti itu tentunya menegasikan aplikasi utuh dari epistemologi Empirisme. Begitu juga

Bumi, dan itu benar-benar ada. Abi@ al-Su’u>d Bin Muh{ammad al-‘Ama>di> al-H{anafi@, Tafsi@r Abi@ al-Su’u>d au Irsha>d al-‘Aql al-Sali@m Ila> Maza>ya> al-Kita>b al-Kari@m, Juz 5 (Riya>d}: Maktabah al-Riya>d} al-Hadi@thah, t.th), 455.

16 Qs. al-Takwi@r (81) ayat 1-2;

#sŒ Î) ߧ÷Κ¤±9$# ôN u‘Èhθä. . #sŒ Î) uρ ãΠθàf –Ψ9 $# ôN u‘y‰s3Ρ$#

“Apabila matahari di gulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan.” 17 Abi@ ‘Abdalla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@, al-Ja>mi’ li@

Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba>’ah wa al-Nashr, 1967), 227-228.

27

dengan ayat-ayat al-Kauni@yah seperti yang terdapat dalam al-Naba’ (78) ayat ke 19 dan surat al-Takwi@r (81) ayat 1 dan 2 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abi@ Su’u>d, al-Qurt}ubi@ dan Ibn Abba>s. Ketiga ayat ini secara umum berbicara dalam kontek sebuah fenomena alam yang memiliki hukum-hukum alam dan sisi-sisi empiris tersendiri yang dapat diketahui melalui pengalaman dan penalaran ilmiah. Namun jika membedah penafsiran dari ketiga ulama tersebut maka akan terlihat deskripsi yang dibangun terhadap ayat lebih kepada realitas teologis dan metafisik yang secara esensi tidak dapat ditunjukkan dalam konteks realitas empiris. Jika penafsiran tersebut diverifikasi berdasarkan realitas empiris yang ditunjang ilmu pengetahuan alam (sains), maka akan ditemukan beberapa kerancuan antara realitas yang digambarkan dalam penafsiran dengan realitas wilayah empiris. Inilah yang dimaksud dalam penelitian ini dengan penafsiran rasional dimana esensi epistemologi mufasir ketika memahami ayat masih berada dan terfokus kepada apa yang dideskripsikan oleh akal budi (rasio) tanpa mengukuhkan keyakinan itu melalui kesesuaian antara deskripsi akal budi (rasio) dengan pengamatan empiris, apalagi didukung oleh pejelasan analitis ilmiah sebagaimana yang ditekankan dalam filsafat Positivisme.

2. Mu’tazilah dan Tendensi Rasional

Beragam polemik yang melatarbelakangi kemunculan Mu’tazilah, mengantarkan Mu’tazilah pada tatanan yang cukup dikenal sebagai salah satu aliran teologi dalam Islam. Perdebatan mengenai pelaku dosa besar yang terjadi antara Khawarij dan Murji’ah, disebut sebagai salah satu faktor yang mendongkrak kepopularitasan Mu’tazilah. Perdebatan inipun juga berimbas pada permasalahan tentang konsepsi manusia terkait pesoalan ketuhanan. Kehadiran Mu’tazilah yang dalam hal ini berusaha menafikkan segala bentuk konsepsi seorang muslim dalam keyakinannya tentang ketuhanan yang mengarah kepada penggambaran tuhan secara antropomorfisme18 ataupun menyerupai makhluknya dalam konteks

18 Andrew J. Lane menyebutkan bahwa pembacaan dengan kecenderungan

antomorfisme terhadap ayat-ayat Alquran berkembang pesat sejak pertengahan abad kedelapan. Kecenderungan ini didominasi dan dikembangkan oleh kaum tradisionalis Islam. Andrew J. Lane, “You Can’t Tell A Book by Its Author the Study of Mu’tazillite of Theology in Zamakhshari’s (d.538/1144) Kashsha>f” dalam Journal SOAS, 2012 (Diakses dari http://e-

28

keagamaan pada masa itu. Hal tersebut dimunculkan atas dasar kekhawatiran turunnya posisi ketuhanan sehingga sampai pada wilayah material yang sangat tidak layak. Pondasi ideologi inilah yang kemudian memaksa Mu’tazilah dalam setiap pendapat-pendapatnya bertentangan dengan konsepsi-konsepsi keagamaan yang ada pada waktu itu.19

Sikap kontra Mu’tazilah yang berhadapan dengan pendapat dan konsepsi-konsepsi yang ma’thu>r dengan metode naql pada waktu itu, seraya menunjukkan dan menawarkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir bagi umat Islam. Dalam usaha itu, Mu’tazilah segera berpindah pada situasi yang mengharuskan mereka untuk memapankan mazhabnya berdasarkan nas-nas dan di sisi lain berusaha menangkis serta melemahkan argumen-argumen yang diarahkan untuk menyerang mereka dari teks-teks tersebut dengan cara yang cerdik dalam mentakwilkannya.20 Kondisi ini kemudian secara tidak langsung mengantarkan kaum Mu’tazilah berjalan memasuki wilayah-wilayah praktis filsafat yang semakin menonjolkan kecenderungan rasionalnya.

Dalam kajian filsafat, terkusus filsafat Barat, kata rasional sendiri muncul sekitar dua ribu tahun yang lalu ketika Sineca menyebut manusia sebagai binatang bernalar, namun yang lebih dikenal dikalangan pakar filsafat adalah istilah yang dimunculkan Aristoteles yang menyebut manusia dengan animal rasionale.21 Dalam perkembangannya, karakteristik Rasionalisme lebih terlihat ketika adanya kecenderungan manusia dalam melihat dan memahami sesuatu kebenaran yang bertumpu pada akal. Rasionalisme berpandangan bahwa kebenaran realitas merupakan apa yang diketahui oleh akal manusia tanpa harus bergantung pada realita empiris. Sejauh akal mampu melihat dan memahami sesuatu, itulah kebenaran yang resources.pnri.go.id:2058/docview/1008896618?accountid=25704, tanggal 03-09-2013, pukul 15.08 WIB), 73.

19 Misalnya saja pertentangan antara Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa Dinasti ‘Abbasiyah dengan pengikut mazhab Ah{mad bin Hanba>l tentang Alquran itu makhluk atau qadim. Golongan pemuka Mu’tazilah pada masa itu berkompromi dengan pemerintah Abbasiyah untuk memaksa seluruh rakyat yang berada di bawah kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah (termasuk pengikut Ahmad bin Hanbal) untuk mengakui bahwa Alquran itu adalah makhluk. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@ , 121.

20 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@, 121-122. 21 Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 109-110.

29

diyakini tanpa harus diiringi keberadaan unsur empiris dari sebuah proposisi. Dengan kata lain bahwa Rasionalisme mengabaikan keberadaan ranah empiris sebagai realitas dan meyakini sepenuhnya kebenaran itu adalah apa yang dideskripsikan oleh akal. Sedangkan dalam wilayah pembahasan filsafat Islam, tradisi rasional lebih kepada upaya menemukan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan akal dalam suatu masyarakat dan mencoba menyelaraskan hubungan antara akal dan wahyu. Tradisi rasional dalam Islam mencoba melihat konflik-konflik serta berusaha menguranginya, dan menemukan hal-hal misterius dalam agama dan memahami serta menjelaskannya dengan pejelasan rasional mengenai kemungkinan-kemungkinannya atau doktrin-doktrin agama.22

Pembahasan rasional dalam Islam disatu sisi juga dideskripsikan sebagai upaya untuk memahami dalam pengertian rasional yang lebih luas fenomena-fenomena yang diakui berada di luar jangkauan akal atau yang tidak rasional dan sama sekali tidak akan pernah diubah menjadi sesuatu yang rasional. Inilah tujuan filsafat Islam secara umum yang mencoba mengurangi kemungkinan konflik di antara akal atau pengetahuan rasional dan wahyu-wahyu yang telah diturunkan.23 Tendensi rasional dalam konsep seperti ini yang terus dibangun dan dimapankan oleh Mu’tazilah bahwa kekuatan akallah yang membantu manusia mengetahui sesuatu,24 termasuk persoalan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sang khaliq.25 Bahkan sebagian dari ahli Fikih juga menilai bahwa kaum Mu’tazilah lebih bersikap berani mengedepankan akal mereka dari pada ajaran dan

22 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam” dalam Tradisi-Tradisi

Intelektual Islam, Ed. Farhad Daftary, Penerj; Fuad Jabali dan Udjang Tholib (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), 64-65.

23 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam” dalam , 78-79. 24 Secara umum karakteristik seperti ini yang diperlihatkan Mu’tazilah

bahwa pengamatan indrawi bukanlah sarana yang menjadi sumber atau sarana yang mengantarkan manusia mengetahui sesuatu. Namun justru menunjukkan kecenderungan akal sebagai sumber dari pengetahuan yang membentuk pengetahuan manusia itu sendiri. Setidaknya inilah pandangan yang diyakini oleh Abu Huzail sebagai salah satu tokoh yang dikenal dari kalangan Mu’tazilah. ‘Ali@ Sami@ al-Nasha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m, Juz 1 (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1981), 475-501.

25 Pemikiran ini bertolak belakang dengan konsep Asy’ariyah yang cenderung menunjukkan dan memposisikan akal pada posisi yang dianggap lemah serta tidak dapat mengetahui sesuatu, termasuk kewajiban-kewajiban manusia. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan ke 2 (Jakarta: Universitas Indonesia, t.th), 80-83.

30

aturan-aturan syara’ yang sudah cukup tabu di tengah-tengah masyarakat Islam. Inilah salah satu implikasi yang ditimbulkan oleh dominasi pengaruh filsafat dan kefanatikan mazhab yang berjalan di luar alur mainstream yang ada.26 Bahkan Harun Nasution mengistilahkan kelompok Mu’tazilah sebagai teolog liberal Islam.27

Rasionalisme dalam pembicaraan filsafat Islam mengidentikkan diri pada substansi rasionalisme yang memahami dan menerima fakta mengenai keberadaan segala sesuatu yang tidak benar-benar rasional. Inilah rasionalisme yang membatasi dirinya pada jenis akal tertentu dan menolak pentingnya memahami atau membenarkan segala yang ada di luar cara pikir seperti ini, dalam artian cenderung mengabaikan wilayah-wilayah eksistensi tertentu atau pengalaman yang jelas-jelas ada, atau dalam istilah Muhsin Mahdi disebut rasionalisme yang tidak rasional.28

Misalnya saja terkait penafsiran terhadap surat al-Qiya>mah (75) ayat 22-23:

×νθ ã_ãρ 7‹Í×tΒ öθ tƒ îοuÅÑ$ ¯Ρ . 4’n< Î) $ pκÍh5u‘ ×οtÏß$ tΡ .

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Golongan Ahlu Sunnah secara umum berpegang pada makna tekstual ayat ini dengan meyakini bahwa orang-orang yang bertaqwa akan dapat melihat Allah dengan mata kepala secara zahir. Pemahaman ini terintegrasikan dari pemahaman Imam Syafi’i terhadap surat al-Mut}affifi@n (83) ayat 15:

Hξ x. öΝåκΞÎ) ⎯tã öΝÍκÍh5§‘ 7‹Í×tΒ öθ tƒ tβθ ç/θ àfóspR°Q .

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.

Dari surat al-Mut}affifi@n (83) ayat 15, Imam Syafi’i memahami bahwa orang-orang yang berdusta tidak akan dapat melihat tuhannya dan bahkan sebaliknya orang-orang yang beriman akan dapat melihat

26 Bara>kah Muh{ammad Mura>d, Manha>j al-Jada>l wa al-Muna>d{arah fi@ al-Fikr

al-Isla>m (Kairo: al-Nashi@r, 1990), 89. 27 Harun Nasution menyebutkan bahwa tingginya pengaruh akal dalam

kalangan Mu’tazilian mejadikan mereka cenderung menjamah ayat dan hadis serta menghadirkan interpretasi yang liberal terhadap ajaran-ajaran Islam yang bahkan sudah dianggap qat’i. Harun Nasution, Teologi Islam, 150-151.

28 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam”, 82.

31

tuhannya. Pandangan ini kemudian secara umum dipegang dan dijadikan dasar oleh golongan Ahlu Sunnah, yaitu pemahaman dengan kecenderungan antromorpisme bahwa Allah akan terlihat oleh mata kepala manusia sebagaimana mata manusia mampu melihat benda-benda yang nyata di alam empiris.29

Dalam pandangan yang berbeda, Mu’tazilah justru menafikkan pemahaman Ahlu Sunnah dan Imam Syafi’i. Bagi golongan Mu’tazilah konsep pemahaman tersebut bertentangan dengan surat al-An’a>m (6) ayat 10330 sehingga dengan demikian Mu’tazilah mengambil jalan untuk tidak berpegang kepada makna literal ayat dan menyebutkan bahwa penglihatan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah penglihatan dengan mata hati,31 dan bukan mata kepala, karena mata hatilah yang mampu melihat sesuatu dengan sempurna.32 Sedangkan apa yang disebutkan dalam surat al-Qiya>mah (75) ayat 23 merupakan sebuah ungkapan metaforis semata.33 Selain berpegang kepada ayat Alquran (al-An’a>m (6) ayat 103), pemahaman yang berbeda dengan apa yang dipahami imam Syafi’i dan Ahlu Sunnah tersebut juga merupakan imbas dari kuatnya penggunaan akal atau rasio di kalangan Mu’tazilian. Para Mu’tazilian meyakini penafsiran yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Ahlu Sunnah cukup bertentangan dengan akal, oleh karena itu dalam konteks ayat ini kaum Mu’tazilah mencoba

29 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@, 125-126. 30 Surat al-An’a>m (6) ayat 103:

ω çμà2Í‘ ô‰è? ã≈|Áö/F{$# uθèδ uρ à8Í‘ ô‰ãƒ t≈ |Áö/F{$# ( uθèδ uρ ß#‹ÏÜ=9 $# ç Î6sƒø:$# Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui.

31 Mu’tazilah memahami bahwa informasi ayat secara literal, hanya sebatas majas, namun substansinya bukan sebagaimana literal ayat. Mereka menegasikan penglihatan mata (pancaindra), namun lebih mengarah kepada penglihatan hati. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@, 126-127.

32 Muh{ammad ‘Ali@ Abu> Rayya>n, Ta>ri@kh al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m (Iskandariya: Da>r al-Ma’rifa>h, 1980), 276.

33 Melakukan penafsiran secara metaforis terhadap ayat-ayat yang secara umum berbicara terkait sifat-sifat tuhan, dianggap oleh sekte Muktazilah sebagai langkah yang perlu dilakukan. Hal ini mengingat agar terhindarnya penafsiran yang mengandung klaim kesamaan makhluk dengan Allah. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an Towards A Contemporary Aproach (New York: Routledge, 2006), 62.

32

menafsirkan surat al-Qiya>mah (75) ayat 22-23 dengan penafsiran yang dianggap sesuai dengan akal mereka.34

Dari contoh penafsiran (surat al-Qiya>mah (75) ayat 22-23) tersebut, dipahami sebuah bentuk aplikasi penafsiran yang berusaha mengungkapkan kebenaran realitas dari apa yang mereka pahami terhadap ayat Alquran dimana realitas itu sendiri berada dalam wilayah akal budi (rasio) manusia dan bukan berada dalam wilayah empiris. Selain itu, pembenaran yang dipilih dan dimunculkan sebagai wujud pemahaman dari pembacaan terhadap ayat juga berasal dan berada di wilayah akal budi (rasio). Hal itu berarti bahwa keyakinan yang dipegangi secara umum ketika memahami ayat adalah keyakinan yang terbentuk secara sadar karena disandarkan pada realitas akal budi (rasio) semata, sesuai dengan apa yang digambarkan dan dimunculkan oleh akal manusia itu sendiri atau dengan kata lain meyakini sebuah pemahaman yang terlepas dari wilayah realitas empiris karena kebenaran dari realitas empiris adalah keyakinan terhadap sesuatu dari apa yang bisa diketahui, ditangkap dan dibenarkan oleh pancaindra manusia sebagai pengalaman (empiris) yang kemudian sering disebut dengan istilah Empirisme. Inilah gambaran kecenderungan dan karakteristik penafsiran kelompok Mu’tazilah yang lebih dikenal dengan tafsir rasional Mu’tazilah.

B. Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme

Perbincangan tentang Positivisme tidak terlepas dari perdebatan epistemologi pengetahuan manusia tentang realitas dalam filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme dan Empirisme sama-sama mengakui adanya realitas. Namun perdebatan kedua aliran filsafat ini terletak pada epistemologi pengetahuan itu sendiri.

Secara umum dalam konsep filsafat Rasionalisme, epistemologi pengetahuan tergambar dari pemikiran salah seorang filosof klasik Yunani, yaitu Plato (427-327 S.M) yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukanlah hasil pengamatan indra manusia karena wilayah empiris yang diamati hanya merupakan bayangan dari dunia

34 Sebagaimana aliran teologi lainnya, Mu’tazilah juga menganggap

pentingnya wahyu untuk menyertai akal. Oleh karena itu, ketika ada pertentangan antara wahyu dan akal, maka wahyu harus ditakwilkan agar sejalan dengan akal. Inilah suatu corak yang kental dalam perspektif Mu’tazilah secara umum ketika memahami sebuah ayat Alquran. Ah{mad Mah}mu>d S}ubh}i@, al-Falsafah al-Akhla>qiyah fi@ al-Fikr al-Isla@m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 41.

33

idea. Anggapan dunia empiris sebagai bayangan alam idea menyebabkan pengetahuan manusia tentang realitas menjadi kabur. Pengamatan indrawi dianggap sebagai jalan pembuka realitas sesungguhnya (alam idea).35 Dengan demikian dalam pandangan Plato, akal budi (rasio) merupakan sumber dan penentu kebenaran sesuatu.

Rene Descartes (1596-1650 M) juga berpandangan bahwa Rasionalisme sebagai upaya untuk mempertimbangkan segala sesuatu di bawah pertimbangan akal budi atau fikiran, karena yang benar-benar eksis dan tidak dapat diragukan adalah berfikir.36 Dengan menggunakan akal fikiran, Leibniz (1646-1716 M) juga meyakini hal tersebutlah yang dapat menjelaskan semua realitas.37 Jadi dalam konsep Rasionalisme secara umum, akal budi (rasio) merupakan sumber utama pengetahuan manusia. Terbentuknya ide dan konsep serta kebenaran tentang sesuatu merupakan hal yang sebenarnya berada di alam idea manusia. Bahkan Herbert Marcuse, sempat menyinggung gambaran kecenderungan Rasionalisme walaupun secara tidak langsung bahwa aliran ini sibuk membahas dan mengupas konsepsi benda dan esensi murninya yang tidak sampai pada tahap eksistensi aktual dan tidak bisa menyediakan pengetahuan yang riil.38 Hal tersebut menguatkan keberadaan Rasionalisme yang meyakini asal dan kebenaran pengetahuan terbebas dari wilayah empiris ataupun pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi dari sesuatu yang empiris justru hanya dianggap sebatas celah deskriptif dari realitas mutlak (alam idea).

35 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 114. 36 Rene Descartes mengawali pemikirannya yang meyakini akal sebagai

sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya dari filsafat keraguannya yang muncul ketika ia meyakini kebenaran dari apa yang ditangkap pancaindra terhadap benda-benda di sekitarnya. Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik Rasional Ateistik ke Empirik Rasional Teistik (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 77-80.

37 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 133. Muh{ammad Ka>mal al-Hur justru menyebutkan hal yang sedikit berbeda bahwa dalam proses berfikir, yang bisa difikirkan itu adalah segala hal yang bisa disaksikan. Artinya di sini, harus ada persentuhan terlebih dahulu antara objek dengan pancaindra yang kemudian data tersebut baru diolah dalam proses berfikir. Muh{ammad Ka>mal al-Hur, Ibn Si@na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117.

38 Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk Umum, Penerj; Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 265.

34

Bertolak belakang dengan Rasionalisme, Empirisme justru memahami epistemologi dan kebenaran pengetahuan dari sisi yang berbeda. Empirisme memandang bahwa pengalaman dan pengamatanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan.39 Democritus dan Chrisippus menjelaskan bahwa pengetahuan bersumber dari pengamatan. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang berada di dalam wilayah empiris. Realitas empiris bergerak dalam keteraturannya sendiri (mekanisme) dan pengetahuan adalah upaya mengungkap realitas sebagaimana realitas itu adanya.40 Aristoteles (384-322 S.M) bahkan menafikkan sesuatu yang kemudian disebut sebagai persepsi tanpa menyentuh objek empiris.41 Demikian juga David Hume (1711-1776 M) yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Hume menganggap bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi yang meliputi pengertian, hubungan antara pengertian dan kepastian pengertian.42

39 George Bealer dan P. F. Strawson mencoba mengkritik epistemologi

Empirisme bahwa selain pengalaman dan pengamatan idrawi, pada dasarnya Empirisme juga melibatkan faktor intuisi dalam menghasilkan pengetahuan. Walupun demikian, posisi intuisi dalam pandangan George Bealer dan P. F. Strawson masih tetap sebagai faktor pendukung dari kebenaran yang didapat dari pengalaman dan pengamatan indrawi dan bukan bersifat primer. Dari pandangan tersebut dapat dianalisa bahwa pada intinya dalam Empirisme, sebagaimana juga yang dijelaskan P. Lipton bahwa posisi pengalaman dan pengamatan indrawi tetap sebagai sumber pokok dari pengetahuan manusia. George Bealer dan P. F. Strawson, “The Incoherence of Empiricism” dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol 66 tahun 1992 (Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and%20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB), 105. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

40 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 148-149. 41 Persepsi dalam pandangan Aristoteles mengacu kepada apa yang

ditindaklanjuti terhadap sesuatu yang berasal dari sesuatu objek empirik yang kemudian ditangkap dan disimpan oleh akal sehingga menjadi sesuatu yang diketahui, dan itulah sesuatu pengetahuan yang bijaksana. Michael Esfeld, “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam Jurnal The Review of Metaphysics, Dsember 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09-2013, pukul 00.14 WIB), 323.

42 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 73. Ji@ra>r Juha>mi@ juga menyebutkan hal yang senada bahwa secara substansi, akal bekerja dengan memikirkan sesuatu

35

Francis Bacon (1561-1626 M) juga memberikan kriteria tentang pengetahuan yang dianggap layak disebut sebagai pengetahuan yang benar adalah sesuatu yang diterima oleh manusia yang berasal dari persentuhan indrawi dengan fakta, karena persentuhan indrawi dengan fakta merupakan persentuhan yang bersifat sejati yang tidak bisa dispekulasi, namun justru mampu dibuktikan secara real,43 dan kecenderungan ini juga didukung oleh Ibnu Khaldun.44 Dengan demikian kebenaran suatu realitas dalam Empirisme beranjak dari apa yang diketahui secara empiris dan bukan berupa sesuatu yang ada di dalam alam idea manusia dan sebaliknya apa yang ada dalam idea manusia merupakan apa yang didapat dari persentuhan antara pancaindra terhadap fakta-fakta ataupun benda-benda yang ada di alam nyata.

Dari perbandingan model epistemologi pengetahuan antara Rasionalisme dan Empirisme, maka kemudian muncul filsafat Positivisme yang lahir mengadopsi epistemologi Empirisme. Positivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat Barat abad pencerahan yang didirikan dan dibangun oleh seorang filosof Prancis yang bernama Auguste Comte45 sekitar abad ke delapan belas.

objek berdasarkan objek lain yang bersifat empirik. Jadi ada relasi hubungan antara objek yang bersifat empirik dengan akal yang membentuk sebuah pengetahuan. Ji@ra>r Juha>mi@, Risa>lah ma> Ba’da al-T{abi@’ah (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr al-Libana>ni@, 1994), 155.

43 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 69-70. 44 Yusuf Farha>t menjelaskan bahwa menurut Ibnu Khaldun, pengetahuan itu

harus berdasarkan pada cara mengetahuinya, sebagaimana suara yang diperoleh melalui telinga, bukan melalui penglihatan. Demikian juga warna diperoleh melalui penglihatan, dan bukan melalui indra perasa. Yusuf Farha>t, al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha> (Jenewa, Swiss: Tara>d Kasi@m, 1986), 213.

45 Auguste Comte (selanjutnya disebut Comte) adalah seorang filosof kelahiran Montpellier Prancis pada tahun 1798 dan meninggal pada tahun 1857. Auguste Comte merupakan penggagas aliran filsafat Positivisme yang berkembang di Prancis. Pada masa awal kemunculannya, aliran filsafat Positivisme ini lebih dilatarbelakangi oleh dorongan dan keinginan pribadi Auguste Comte untuk memunculkan antitesis dari keyakinan beragama masyarakat Prancis dengan mendirikan sebuah “agama baru” yang kemudian dikenal sebagai Agama Humanis. Konsep-konsep yang ditawarkan oleh Comte dalam agama humanisnya, ternyata dikemudian hari justru banyak berperan dalam membentuk dunia ilmiah, terkhusus dalam perkembangan filsafat Positivismenya. Secara umum, prinsip-prinsip yang dikembangkan Comte dalam filsafat Positivisme dipengaruhi oleh adanya unsur pengaruh Kristen, ilmu pengetahuan dan Aufklaerung. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 188-191. Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism

36

Istilah Positivisme berasal dari kata positif.46 Terlepas dari pemahaman Schelling,47 Auguste Comte justru mendefenisikan kata ”positif” sebagai sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata.48 Pemahanan Comte terhadap positif diadopsi dari pemikiran David Hume tentang sifat realitas,49 dimana Hume sendiri termasuk salah seorang tokoh Empirisme. Tak heran jika cara pandang dan pemahaman Comte ditegaskan oleh pernyataan Hoekheimer bahwa transendentalisme dihancurkan oleh pemikiran Positivis yang murni berlandaskan pengalaman sebagai dasar pengetahuan,50 kemudian dilengkapi dengan argument-argumen keilmiahan.51 Dengan demikian dipahami bahwa Positivisme menggunakan dua prinsip dasar yang dipandang urgen sekaligus sebagai karakateristik Positivisme itu sendiri, yaitu fakta empiris dan penjelasan logis analitis.52 Pada dasarnya sesuatu yang diketahui masih berada pada batas asumsi. Untuk itu dalam Positivisme harus dilakukan pembuktian secara logis

and Happiness” dalam Journal of Happiness Studies, 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 03.5 WIB), 423-424.

46 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), 114.

47 Dalam pemikiran Schelling, positif bukan saja berarti sesuatu fakta riil atau nyata semata, melainkan segala sesuatu aktivitas kreatif yang bebas juga termasuk ke dalam pemahaman dari kata positif itu sendiri. Jadi, defenisi positif dalam kerangka pemikiran Schelling lebih luas dari apa yang didefenisikan Auguste Comte. Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266.

48 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191. 49 Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi teori David

Hume dari sifat realitas (terkait ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta riil dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB), 343.

50 Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB), 115.

51 Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

52 Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Enciyc), 343.

37

analitis ke dalam ranah empiris. Dengan demikian barulah suatu informasi diyakini bernilai benar adanya.

Pembuktian logis analitis dalam Positivisme, dianggap mampu diwujudkan melalui pendekatan ilmiah.53 Pendekatan ilmiah sebagaimana yang pahami secara umum dari penjelasan Jujun S. Suriasumantri,54 merupakan pengetahuan yang bersifat rasional dan teruji serta memenuhi syarat-syarat tertentu dari sebuah tubuh keilmuan yang tersusun secara sistematis dan eksplisit, serta secara umum dianggap layak dan dapat diandalkan dalam spesifikasi masalah tertentu yang mampu menunjukkan kekonsistensian dan kebenarannya yang teruji secara empiris. Salah satu cara berpikir dari pendekatan ilmiah adalah cara berpikir induktif dimana cara berpikir seperti ini merupakan esensi dari teori korespondensi bahwasannya suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan umum berkesesuaian dengan objek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain suatu pernyataan benar adanya apabila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Artinya, dalam cara berpikir seperti ini lebih memegang dan meyakini hal-hal nyata yang dapat diamati pancaindra atau fakta empiris sebagai landasan yang kuat dalam menjelaskan pernyataan-pernyataan umum yang ada. Beranjak dari pendekatan ilmiah yang secara substansi mengamati sesuatu yang berada di alam secara empiris, menjadikan Positivisme Auguste Comte melandaskan penjelasan logis analitis tentang pernyataan terhadap sesuatu melalui ilmu-ilmu alam (science)55, karena alam memiliki sifat bahwa hukum-hukumnya dapat diketahui,56 atau lebih dikenal dengan hukum alam.

53 John Stuart Mill menyebutkan bahwa Auguste Comte adalah orang

pertama yang telah mencoba mensistematisasikan secara lengkap dan menyebarkan pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2.

54 Tentang pendekatan ilmiah ini dapat dipahami secara mendalam dalam penjelasan Jujun S. Suriasumantri ketika mengupas pembahasan terkait metode ilmiah dan struktur ilmiah. Dalam pembahasan ini Jujun mengupas tentang pemahaman ilmiah, sistem kerja dan langkah-langkah ilmiah serta struktur-struktur ilmiah itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke 20 (Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), 119-161.

55 Dalam pemikiran Ernest March, science atau ilmu-ilmu alam merupakan deskripsi dari pengalaman manusia. Pengalaman dalam konteks ini dipahami sebagai pengetahuan pancaindra terhadap alam secara empirik. Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan

38

Pemikiran Comte tentang Positivisme secara umum sebagaimana yang dikutip oleh Doyle Paul Johnson melihat bahwa semangat positif dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah akan ditemukan filsafat Positivisme ini berbeda dari metafisika teologis. Studi mengenai hukum-hukum gejala harus bersifat nisbi (relatif) karena studi dalam Positivisme mengandalkan suatu kemajuan pemikiran yang terus berkembang yang akan membentuk kesempurnaan pengamatan secara bertahap tanpa pernah akan membukakan secara penuh suatu kenyataan setepat-tepatnya. Jadi sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak dapat terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam, seperti halnya kecenderungan khayali akan pengetahuan mutlak yang menyerupai setiap penggunaan fiksi dan hal-hal metafisik.57

Berlandaskan pemikiran Comte tersebut penulis memahami bahwa unsur fiksi sekaligus sesuatu yang mengandung hal-hal metafisik merupakan bagian dari suatu bentuk kecenderungan khayali. Itulah perbedaan dan fungsi dari kehadiran Positivisme yang mencoba memediasi konsep-konsep ilmiah untuk mampu menjelaskan sesuatu dari keberadaan kecenderungan khayali ataupun hukum-hukum alam yang abstrak sehingga secara perlahan sampai kepada kenyataan yang setepat-tepatnya yang dikenal sebagai sesuatu yang positif.

Senada dengan itu, Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang bersifat positif sebagaimana yang dimaksudkan Comte adalah apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian ada kemungkinan untuk memberikan ruang bagi berbagai ilmu pengetahuan untuk mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi mampu mengungkapkan kebenaran yang positif. Lebih jauh lagi Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam disiplin ilmu-ilmu alam yang bisa digunakan dalam membaca gejala-gejala serta mengungkapkan kebenaran yang positif di

(Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.05 WIB), 1.

56 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192-197. 57 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerj; Robert

M. Z. Lawang, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1988), 82-83.

39

antaranya seperti disiplin ilmu Matematika, Astronomi, Fisika, ilmu Kimia, Biologi, Sosiologi dan lain sebagainya.58

Jennifer Vermilyea menambahkan bahwa salah satu pernyataan penting dari Positivisme adalah perannya dalam modernitas dimana Positivisme berkeinginan tanpa henti untuk membuat sesuatu lebih ilmiah dan lebih mampu menjelaskan fenomena yang terjadi,59 dengan mengacu pada deskripsi ilmiah.60

Doyle Paul Johnson juga menjelaskan bahwa Positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar pada analisis terhadap hukum-hukum alam untuk melahirkan suatu masyarakat dengan budaya penalaran akal budi yang kemudian akan menghasilkan kerjasama sehingga tahayul, ketakutan, kebodohan, paksaan dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap dari Positivisme.61

Dalam ajaran filsafat Positivisme itu sendiri dikenal tiga tahap perkembangan pemikiran manusia untuk sampai kepada tahap pikir positif atau dalam istilah Comte dikenal dengan Hukum Tiga Tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif.62 Pertama; tahap teologis; merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Secara umum dalam tahap ini manusia mencari sebab atau tujuan dari segala sesuatu. Tingginya kepercayaan supranatural (kekuatan dewa-dewa yang mengatur dan menyebabkan segala sesuatu itu terjadi) atau

58 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat 1990

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 35-36. Untuk perbandingan bahwa Ah{mad Nabi@l Farha>t justru lebih menjeneralkan bidang keilmuan yang dapat digunakan dalam mengukur nilai positif dari sesuatu, yaitu ilmu Fisika dan ilmu Biologi. Nampaknya Ah{mad Nabi@l Farha>t mencoba mengelompokkan bahwa untuk benda mati dapat digunakan ilmu fisika dan untuk sesuatu yang hidup dapat menggunakan Ilmu biologi. Ah{mad Nabi@l Farha>t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@fiyyah” dalam al-Muntadi@ al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014).

59 Jennifer Vermilyea, The Paradox of Positivism Securing Inherently Insecure Boundaries (Diakses dari: http://web.uvic.ca/~onpol/spring2006/6-vermilyea.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.00 WIB).

60 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2004).

61 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 80. 62 Ah{mad Nabi@l Farha>t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@fiyyah” dalam al-Muntadi@

al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014).

40

keyakinan yang menganggap semua fenomena yang terjadi di alam sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu zat yang gaib. Dalam tahapan ini Auguste Comte membagi ke dalam tiga periode yaitu; Fetisisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa setiap benda memiliki kekuatan hidupnya sendiri, Politeisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa terdapatnya beberapa kekuatan supranatural yang menguasai dan mengatur semua gejala alam, dan yang terakhir adalah Monoteisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya satu kekuatan tertinggi yang mengatur dan menguasi seluruh alam dan gejala-gejala alam yang ada. Kedua: tahap metafisik; merupakan tahap dimana kepercayaan kepada dewa-dewa diganti dengan entitas metafisik seperti substansi, esensi, roh dan ide yang dianggap ada dalam setiap benda atau adanya unsur abstrak yang menyertai setiap fenomena dari alam. Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena-fenomena alam dengan mencari sebab dan tujuan akhir melalui penjelasan atau spekulatif yang masih abstraksi sebagai metode yang diandalkan. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas ada dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik. Ketiga: tahap positif; merupakan tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan. Adanya kesadaran yang tinggi bahwa alam memiliki hukum-hukumnya sendiri yang dapat dipelajari dan dapat dijelaskan secara empiris melalui data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, menjadi tanda dalam tahapan ini.63

Tahap positif ini merupakan puncak perkembangan tahap pemikiran umat manusia. Positivisme diartikan Auguste Comte sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas yang pasti dan bermanfaat. Semangat dalam tahap positif ini memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali dan diperluas. Tidak seperti dalam periode metafisik yang mementingkan adanya akal budi, namun dalam tahapan positif hal tersebut perlu diiringi oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum, akan tetapi hukum-hukum tersebut dilihat

63 Delaney, “Auguste Comte Proponent of Positivism and Evolutionary

Thought” dalam Journal Free Inquiry, 2003 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/230080362?accountid=25704, tanggal 10-09-2013, pukul 01.25 WIB), 44-45.

41

sebagai uniformitas (keseragaman pola) empiris yang lebih dari kemutlakan metafisik. Comte tidak memungkiri dalam sebuah fenomena ketiga unsur itu ada dan mungkin dilakukan, namun memilih jalan untuk menjelaskan dan mengungkapkan fenomena tersebut melalui hal-hal empiris yang dapat diketahui secara nyata dalam penalaran ilmiah, menunjukkan sebuah cara berpikir positif dalam konteks filsafat Positivisme.64

Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu sendiri.65 Kebanyakan kelompok Positivis bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat berdasarkan hukum alam sehingga menjadi lebih rasional. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas pasti yang melekat dalam kenyataan dan melampaui batas-batas itu, perubahan sosial akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Adanya bentuk-bentuk pemikiran teologis purba dan penjelasan-penjelasan metafisik, merupakan salah satu aspek sekaligus objek yang ingin diungkapkan dan dijelaskan melalui filsafat Positivisme, sehingga kemudian akan digiring sampai kepada terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif66 dan secara tidak langsung Positivisme telah mencoba mengkombinasikan intisari dari paradigma Empirisme ke dalam Positivisme sebagai paradigma dasar guna memenuhi keterbutuhan akal untuk memahami sesuatu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nadem J. Z. Hussain bahwa Comte telah mengkolaborasikan antara aspek penalaran dan observasi dalam upaya Comte untuk menemukan hukum kebenaran (realitas empiris) dari fenomena.67

64 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, 86. Akhyar Yusuf Lubis,

Epistimologi Fundasional, 194. Delaney, Auguste Comte, 45. 65 Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-

Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

66 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, 81-82 67 Nadem J. Z. Hussain, “Nietzsche’s Positivism” dalam European Journal

of Philosophy, 2004 (Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_NsPositivism.pdf, tanggal 13-05-2012, pukul 02.04 WIB), 344.

42

Dengan analisa tersebut terlihat bahwa Positivisme juga dipahami sebagai cara pandang dengan corak kefilsafatan yang mengacu atau berpegang kepada apa yang diketahui secara positif, yaitu segala yang tampak dan diketahui berdasarkan pengalaman yang bersifat empiris dan mampu dijelaskan dengan penjelasan logis analitis yang dilandaskan kepada nilai-nilai ilmiah (ilmu-ilmu alam), untuk mengungkap realitas dan kebenaran dari sebuah proposisi yang ada. Cara berpikir Positivisme dengan sistematis yang tersendiri, bertujuan untuk menjelaskan realitas yang berada pada wilayah teologis dan metafisik dengan sifatnya yang abstrak dan spekulatif untuk bisa diukur, ditunjukkan dan dijelaskan isinya yang positif sehingga kebenaran tersebut benar-benar merangkum kebenaran yang bisa dibuktikan secara universal.

43

BAB III

EPISTEMOLOGI TAFSIR POSITIVISTIK MUH{AMMAD ‘ABDUH

Lahirnya karya Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma yang di

tulis oleh Muh{ammad ‘Abduh adalah cerminan paradigma berpikir yang telah terbangun kokoh di dalam diri Muh{ammad ‘Abduh sehingga karya tafsir yang dilahirkannya sarat dengan ide-ide dan konsep-konsep pembaharuan. Kemunculan hal tersebut tidak terlepas dari konteks historis kehidupan ‘Abduh dan visi yang diusung. Untuk itu, perlu kiranya dalam bab ini diulas sisi historis kehidupan ‘Abduh dari masa awal pendidikan hingga menjadi seorang mufasir dan reformis, kemudian melihat sekilas tentang Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma sebagai bagian dari transformasi pemikiran dan pembaharuan ‘Abduh serta melihat konsep pemikiran ‘Abduh tentang relasi Alquran dengan akal dan ilmu pengetahuan guna menelaah secara spesifik dasar epistemologi ‘Abduh dalam menafsirkan Alquran.

A. Muh{ammad ‘Abduh dan Afiliasi Pemikiran Barat

Dalam pembahasan ini perlu kiranya melihat sisi-sisi kehidupan yang dilewati ‘Abduh baik itu latar belakang keluarga dan proses pendidikan serta gerakan-gerakan pembaharuan ‘Abduh pada masa hidupnya. 1. Proses Pendidikan Muh{ammad ‘Abduh

Nama lengkap Muh}ammad ‘Abduh adalah Muh}ammad bin ‘Abduh bin H}asan Khairulla>h.1 Beliau lahir di Delta Sungai Nil2 yang merupakan sebuah desa di Mesir Hilir3 yang bernama Mah{allah Nas}r di Kabupaten Al-Buhairah4 pada tahun 1849.5

1 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-

Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 5. Lihat juga ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa>d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@m al-Usta>dh al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Maktabah Mis}r, t.th), 80.

2 Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam” dalam buku Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, Penerj; Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), 36.

3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 58.

4 ‘Abduh tidak mengetahui detail latar belakang desa tersebut selain bahwa ia merupakan lahan pertanian yang dimiliki seseorang bernama Nas}r yang merupakan

44

‘Abduh terlahir dari orang tua dengan ayah yang bernama ‘Abduh Ibn Hasan Khairullah, dan ibunya bernama Junainah.6 Masa awal pendidikan ‘Abduh dilalui di rumah dan berguru kepada seorang hafizh hingga Abduh juga menjadi seorang hafizh hanya dalam waktu dua tahun.7 Pada tahun 1279 H/ 1863 M ia dikirim orang tuanya ke T{ant}a> untuk meluruskan bacaanya di masjid Al-Ah}madi sekaligus mengikuti proses pendidikan yang diberikan di masjid tersebut.8 Adanya penerapan sistem pendidikan yang dirasa kurang menarik menyebabkan Muh{ammad ‘Abduh beberapa kali melarikan diri dari T{ant}a>9 hingga ia sempat diasuh dan dididik oleh Syaikh Darwis Khadr.10 Didikan Syaikh Darwis berhasil mengantarkan ‘Abduh melanjutkan studinya di al-Azhar. pemberian penguasa saat itu. Penamaan sebuah tempat dengan nama pemiliknya berlaku umum di tempat itu, seperti penyebutan rumah ‘Abduh dengan Bait al-Tarkuma>n, yaitu nama salah seorang leluhur ‘Abduh. Muh{ammad Rasyi@d Rid}a>, Ta>ri@kh al-Usta>dh al-Ima>m al-Shaikh Muh}ammad ‘Abduh, Juz’ I (Mesir: al-Mana>r, 1350 H / 1931 M), 16.

5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 58. Informasi yang disampaikan oleh Harun Nasution terlihat berbeda dengan apa yang ditulis salah seorang murid kepercayaannya yaitu Muh{ammad Rasyi@d Rid}a yang menyebutkan bahwa ‘Abduh lahir pada tahun 1265 H atau bertepatan dengan tahun 1844 M. Muh{ammad Rasyi@d Rid}a>, Ta>ri@kh al-Usta>dh al-Ima>m, 15-16.

6 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muh{ammadiyah dan Muh{ammad ‘Abduh Suatu Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 112. A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), 199.

7 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muh{ammadiyah dan Muh{ammad ‘Abduh, 112. 8 ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa>d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@m, 85. Sedangkan

menurut ‘Abdul Ghafa>r ‘Abdul Rah}i@m, menyebutkan ‘Abduh mulai belajar di T{ant}a> pada tahun 1282 H. ‘Abdul Ghafa>r ‘Abdul Rah}i@m, al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh wa Manhajuh fi@ al-Tafsi@r (Mesir: al-Markaz al-‘Arabi@ al-Thaqa>fah wa al-‘Ulu>m, t.th), 25. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al-Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70, No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 90.

9 Para pengajar yang terkadang memberikan istilah-istilah yang tidak dikenal siswa dan kemudian juga tidak menjelaskannya secara rinci tentang maksud dari istilah yang diberikan, dinilai ‘Abduh sebagai metode yang tidak efisien dan memunculkan kejenuhan dalam diri ‘Abduh. Oliver Schartbrodt, Islam and the Baha’i Faith A Comparative Study of Muh{ammad ‘Abduh and ‘Abdul Baha ‘Abbas (New York: Roudledge, 2008), 48-49.

10 ‘Abduh sempat melarikan diri ke kampung halamannya di Mahallah Nas{r dan kemudian kembali dipaksa oleh orang tuanya untuk kembali ke T{ant{a setelah

45

Dalam masa proses studi di al-Azhar tersebut, salah seorang tokoh revolusi Mesir yang bernama Jamaluddin al-Afghani datang ke Kairo dalam perjalanannya ke Istambul dan menginap tidak jauh dari al-Azhar dan inilah momentum awal pertemuan Muh{ammad ‘Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani sekitar tahun 1869.11 Sekitar tahun 1871, Jamaluddin al-Afghani kembali datang ke Mesir dan kemudian menetap di sana. Di masa inilah ‘Abduh menjadikan dirinya sebagai murid yang bersungguh-sungguh belajar kepada Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menjadi muridnya yang setia. Dari Jamaluddin al-Afghani, ‘Abduh mulai mempelajari filsafat dan mengenal wawasan kewartawanan serta politik yang ada pada masa itu, yaitu sekitar tahun 1876 M.12

Dari pertemuannya dengan al-Afghani, menjadikan ‘Abduh mulai ter-Baratkan. ‘Abduh mulai merasa tertarik untuk memperhatikan dan mempelajari kemajuan peradaban dan pemikiran Eropa. Dalam tahap awal persentuhan ‘Abduh dengan kemajuan

terlebih dahulu menikah dengan seorang gadis di kampungnya. ‘Abduh juga sempat diasuh oleh kerabatnya yang bernama Syaikh Darwis Khadr sebelum ia menempuh pendidikan di al-Azhar. Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), 11. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 7. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006), 251. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam”, 37. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 60. T{a>hir al-T{ana>h{i@, Mudhakara>t al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Da>r al-Hila>l, t.th), 34.

11 ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa>d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@m, 122. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al-Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70, No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 91.

12 Sebenarnya pada masa itu berkembang dua partai, berhaluan konservatif dan Sufi (tarekat) dimana di antara kedua guru ‘Abduh di atas merupakan salah satu dari pemuka partai tersebut. Sementara al-Afghani berafiliasi pada partai pertama. Namun dalam kunjungan yang kedua ke Mesir, al-Afghani mengembangkan tasawuf ke arah filsafat, dan dari situlah dia membangun gerakan revolusi sosial-politik. Kondisi seperti itu turut mempengaruhi kepribadian ‘Abduh karena dia menghadiri rapat-rapat kedua partai di atas. Akan tetapi seperti dinyatakan sebelumnya, kecenderungan tradisional partai tarekat, membuatnya lebih tertarik kepada al-Afghani. Dari situlah dia menekuni filsafat dan mantiq. Muh}ammad ‘Ima>rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, Juz I (Beiru>t: Muasasah al-‘Arabiyyah li al-Dira>sa>h wa al-Nashr, 1972), 20-21.

46

Eropa, nampaknya ‘Abduh memahami pentingnya penguasaan bahasa untuk bisa masuk menyelami kemajuan bangsa Eropa. Mempelajari bahasa-bahasa asing menjadi langkah pertama yang diusahakan ‘Abduh. Bahasa asing pertama yang dipelajari ‘Abduh adalah bahasa Prancis, kemudian Jerman dan Inggris.13 Detlev Kha>lid menjelaskan bahwa salah satu tujuan ‘Abduh mempelajari bahasa-bahasa asing pada masa itu adalah untuk membuka dan memperluas akses wawasannya tentang berbagai keilmuan dan pemikiran yang berkembang di Barat saat itu. Detlev Kha>lid dan Harun Nasution juga menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa bidang keilmuan yang ingin didalami oleh ‘Abduh dari kemajuan Eropa pada waktu itu, yaitu ilmu-ilmu Sosial, ilmu Etika, Sejarah, ilmu alam (sains), Matematika, dan model pendidikan Barat.14

Aspek lain yang mendapat perhatian ‘Abduh dari kemajuan bangsa Eropa hingga abad ke 18 adalah aspek pemikiran kefilsafatan.15 Dimuatnya pemikiran Francis Bacon dan Ernenst Renan dalam salah satu karya ‘Abduh,16 menunjukkan keluasan wawasan ‘Abduh terhadap kefilsafatan Eropa. Bahkan Ignaz Goldziher menyebutkan bahwa ‘Abduh telah mengajak umat Islam untuk mulai meninggalkan

13 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah

(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 24-25. 14 Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh”

dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.

15 Yvonne Haddad menjelaskan bahwa tujuan lain dari usaha ‘Abduh menguasai bahasa Prancis adalah untuk mendapat berbagai pengetahuan dan wawasan filsafat-filsafat Prancis yang sedang berkembang pada masa itu. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam” dalam buku Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, Penerj; Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), 49.

16 ‘Abduh memuat pendapat Francis Bacon tentang metode eksperiment dan observasi. Sedangkan pengulasan tentang Ernest Renan terkait dengan sanggahan ‘Abduh terhadap pendapat yang dilontarkan Ernenst Renan. Muh}ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H), 100 dan 119. Mungkin inilah akar pemikiran yang ikut mempengaruhi gaya berpikir ‘Abduh yang modern sehingga banya memberikan pengaruh dalam proses modernisasi di berbagai negara-negara musli, termasuk di Asia Tenggara. Ahmad N. Amir Dkk. “Muh{ammad Abduh’s Contributions to Modernity” dalam Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1 No. 1, April 2012 (Diakses dari http://www.ajmse.leena-luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.1(1)/AJMSE2012(1.1-07).pdf, tanggal 15-01-2013, pukul 13.05 WIB), 66.

47

pemikiran filosof-filosof Yunani klasik dan beralih memperhatikan pemikiran para filosof-filosof modern Eropa seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza.17 Harun Nasution juga menyebutkan bahwa ‘Abduh sering mengisi waktu-waktu liburnya untuk berkunjung ke Eropa guna mengikuti kuliah-kuliah ilmiah yang diadakan di berbagai perguruan tinggi, terutama di Prancis dan Swis. Di Prancis, ‘Abduh mendapat izin untuk mengunjungi universitas mana saja yang disukainya, termasuk universitas Jneef.18 Sedangkan di Inggris, ‘Abduh mengunjungi beberapa universitas ternama seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge.19 Bahkan pada tahun 1903, ‘Abduh sengaja pergi ke Inggris untuk bertukar pikiran dengan filosof Inggris ternama pada masa itu yaitu Herbert Spencer (1820-1903).20 Dalam sejarah filsafat, selain dikenal sebagai filosof pendukung teori Evolusi, Herbert Spencer juga dikenal sebagai tokoh pendukung filsafat Positivisme.21

Dengan keluasan wawasan yang dipelajari dan dimiliki ‘Abduh dari kemajuan peradaban dan keilmuan Eropa pada masa itu, menjadikan ‘Abduh tampil sebagai sosok reformis dan modernis yang

17 Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa ‘Abduh berusaha menggiring wacana umat untuk tidak lagi memperhatikan pemikiran-pemikiran beberapa filosof klasik Yunani dan India, melainkan ‘Abduh justru menganjurkan agar umat Islam memperhatikan dan melakukan kajian terhadap wacana-wacana baru (pada saat itu) yang dibawa oleh beberapa filosof Jerman, Prancis dan Inggris seperti Leibniz, Auguste Comte dan Spinoza. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@m al-Naja>r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376.

18 Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 253.

19 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 26.

20 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), 203. Detlev Kha>lid juga menyebutkan bahwa ‘Abduh juga mempelajari bahasa inggris untuk tujuan memperluas wawasan keilmuannya dari perkembangan peradaban Inggris. ‘Abduh juga sempat menterjemahkan salah satu karya Herbert Spencer ke dalam bahasa Arab. Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.

21 Akhyar Yusuf Lubis menjelaskan bahwa Herbert Spencer termasuk salah satu tokoh Positivisme, yaitu Positivisme Evolusioner. Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 197.

48

kuat dan cerdas.22 Dalam bidang pemerintahan di Mesir, ‘Abduh sempat terlibat serangkaian pemberontakan frontal yang didalangi Jamaluddin al-Afghani terhadap pemerintahan Khadewi Taufik (1879-1882).23 Sedangkan di Paris, ‘Abduh bersama Jamaluddin al-Afghani mendirikan gerakan bawah tanah yang diberi nama Al-‘Urwah al-Wusqa> yang diketuai oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muh{ammad ‘Abduh sebagai wakilnya. Kemudian untuk menyalurkan pemikirannya kepada umat Islam secara umum (Mesir secara kusus) dalam konteks revolusi dan pemberontakan terhadap penjajah, maka dibentuklah majalah Al-‘Urwah al-Wusqa>.24 Inilah bagian dari respon ‘Abduh dalam menanggapi fenomena umat Islam pada waktu itu25 yang lebih cenderung menjadi objek penghianatan dan penghinaan bangsa Eropa, baik dari segi harga diri maupun sumber daya yang ada di tengah-

22 Mark Sedgwick, “Muhammad ‘Abduh” dalam Bulletin of the School of

Oriental and African Studies, 2010 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/516242920?accountid=25704, tanggal 18-05-2014, pukul 20.20 WIB), 320.

23 Kedekatan ‘Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani (sebagai guru dan reformis), ikut menyeret ‘Abduh melakukan penentangan dan penggulingan kekuasaan Khadewi Taufik selaku pemimpin Mesir waktu itu yang telah bersekutu dengan Prancis dan Inggris dan membiarkan kedua negara Eropa tersebut mengintervensi pemerintahan Mesir. Namun gerakan ‘Abduh dan al-Afghani ternyata mampu diantisipasi oleh Khadewi Taufik mereka dibuang ke luar Kairo, yaitu ke Beirut. Oliver Schartbrodt, Islam and the Baha’i Faith, 67-69. Muh}ammad ‘Ima>rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 24-25.

24 Oliver Scharbrodt menjelaskan bahwa masuknya Inggris ke Mesir menimbulkan efek yang besar bagi masyarakat Mesir, namun praktek penjajahan yang dilakukan Inggris terhadap Mesir tetap saja tidak dapat ditolelir. Hal itulah yang terfikir oleh sebagian tokoh revolusi Mesir pada waktu itu, terutama ‘Abduh sehingga dilakukanlah perlawanan-perlawanan dalam berbagai cara, termasuk sebagaimana yang dilakukan ‘Abduh dan Muh{ammad Rashi>d Rid{a dan ‘Abduh sewaktu di Prancis untuk mendirikan majalah al-‘Urwah al-Wusqa> sebagai wadah penyaluran ide-ide dalam melakukan perlawanan terhadap Inggris. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al-Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70,No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 90.

25 Mark Sedgwick, “Muhammad ‘Abduh” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 2010 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/516242920?accountid=25704, tanggal 18-05-2014, pukul 20.20 WIB), 321.

49

tengah umat Islam, namun umat Islam itu sendiri tidak menyadari akan penghinaan yang mereka alami.

Setelah Al-’Urwah al-Wusqa> dibubar paksa oleh Inggris selang tidak berapa lama setelah organisasi ini berdiri, menjadikan ‘Abduh harus menetapkan pilihan untuk kembali ke Beirut. Hari-hari Muh{ammad ‘Abduh di Beirut disibukkan dengan memberikan pendidikan dan pengajaran pada salah satu sekolah muslim yang ada di Beirut. Tidak hanya itu, rumah ‘Abduh sering dijadikan fasilitas pendidikan non formal dengan melakukan berbagai kajian-kajian yang dipimpin langsung oleh ‘Abduh, sehingga hal tersebut menarik perhatian para pemuda-pemuda Beirut yang berasal dari berbagai kalangan untuk menimba ilmu kepada ‘Abduh. Akhirnya kegiatan inipun terhenti pada tahun 1888 ketika Khadewi Taufik mengizinkan ‘Abduh pulang kembali ke Kairo. Di Kairo Muh{ammad ‘Abduh tidak mendapat izin untuk mengajar, namun sebagai gantinya Khadewi Taufik menempatkan sebuah posisi hakim di pengadilan.

Pada tahun 1895, jabatan Muh{ammad ‘Abduh dipindahkan menjadi dewan administratif al-Azhar. Tidak lama kemudian ‘Abduh diangkat menjadi mufti besar Mesir. Dalam masa jabatan inilah ‘Abduh banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan di Mesir hingga akhir hayatnya pada tanggal 11 Juli 1905.

2. Ide dan Gerakan Pembaharuan Muh{ammad ‘Abduh

Pertemuan Muh{ammad ‘Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani pada tahun 1871,26 secara perlahan memperluas kapasitas wawasan keilmuan yang selama ini dimiliki ‘Abduh. Dari al-Afghani, ‘Abduh sempat mempelajari ilmu Kalam, Filsafat, Tafsir, Hadis, Tasawuf dan ilmu Sosial Politik. Selain mendapatkan perluasan beberapa wawasan keilmuan, ‘Abduh juga diberikan kesadaran bahwa sesungguhnya kondisi Islam pada waktu itu berada dalam intervensi Eropa dan untuk menghadapi intervensi asing, umat Islam harus bersatu. Kesadaran tentang hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan perubahan tersendiri dalam diri Muh{ammad ‘Abduh. Sisa-sisa tasawuf yang bersifat pantang dunia yang selama ini mengakar dalam diri ‘Abduh, beliau ganti dengan semangat dunia dalam bingkai aktivitas sosio politik.27

26 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 9. 27 Muh}ammad ‘Ima>rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad

‘Abduh, 22. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam”, 38.

50

Berbagai pembaharuanpun kemudian mulai dilakukan ‘Abduh bersama Jamaluddin al-Afghani. Awalnya ‘Abduh bergerak dalam ritme yang sama dengan Jamaluddin al-Afghani, yaitu di bidang politik sehingga kemudian mengantarkan ‘Abduh ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan terhadap pemerintahan Mesir yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan atau konsep politik tersendiri bagi ‘Abduh bahwa perbaikan politik itu harus didahului oleh perbaikan akhlak.28 Hal itu berarti perbaikan pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan sumber daya manusianya, bukan sistem pemerintahan. Dari konsep ini kemudian ‘Abduh bersimpang jalan dengan Jamaluddin al-Afghani. ‘Abduh menghentikan aktivitas politik dan lebih memilih aspek pendidikan sebagai orientasi dari gerakan pembaharuan.29 Aktivitas pembaharuan dari aspek pendidikan, sebenarnya telah lama dimulai ‘Abduh. Bahkan sejak ‘Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877 dimana ‘Abduh memberikan kajian-kajian keilmuan, baik di al-Azhar ataupun di rumahnya sendiri dengan berpegang pada beberapa buku yang dianggapnya menarik seperti buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Mukaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab tahun 1879 M.30

Masalah lain yang dianalisa ‘Abduh adalah degradasi umat Islam yang dilatarbelakangi oleh adanya kejumudan berfikir yang

28 Salah satu gerakan pembaharuan yang dilakukan ‘Abduh adalah dari

aspek politik meskipun hanya pada masa-masa awal aktivitas pembaharuan ‘Abduh. Salah satu yang dilakukan dalam bidang politik adalah membuat pembaharuan-pembaharuan dalam aturan-aturan sistem demokrasi parlemen serta meprovokasi gerakan-gerakan penentangan tehadap pemerintahan Mesir yang zalim pada waktu itu. Konsep di ataslah yang menjadi dasar paradigma politik ‘Abduh dimana perbaikan politik harus dimulai dari perbaikan akhlak. ‘Abdul Ghafa>r ‘Abdul Rah}i@m, al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 70.

29 Strategi ini juga dipilih oleh T{a>hir al-Jaza>’iri dalam mengkritisi pemerintahan Ottoman dalam rangka melakukan perubahan dan reformasi dimana aspek pendidikan menjadi prioritas utama yang harus difokuskan untuk dilakukan pembaharuan. Salah satu langkah yang dilakukan Al-Jaza’iri adalah dengan mewajibkan para siswa mempelajari ilmu perdagangan dan ekonomi guna mencetak sisiwa yang memiliki kemandirian tinggi. Joseph H. Escovitz, “He Was the Muh{ammad ‘Abduh of the Syria, A Study of T{a>hir al-Jaza>’iri and His Influence” dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 3 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/163380, tanggal 27-01-2014), 297.

30 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 61.

51

tengah menyelimuti dan mengakar kuat dalam diri umat Islam. Kejumudan tersebut dipahami ‘Abduh sebagai suatu kondisi yang mengandung unsur kebekuan, statis dan tidak ada perubahan. Hal itulah yang menyebabkan umat Islam tidak menghendaki adanya perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam lebih menyukai dan berpegang teguh kepada tradisi yang sudah ada yang dari hari kehari tidak mengalami kemajuan, namun justru mundur dan tertinggal jauh dari bangsa lain yang di dominasi oleh Eropa.31

Adanya hegemoni Barat dalam dunia Islam yang menghendaki negara-negara Islam dan umat Islam itu sendiri berada di dalam penguasaannya, mengantarkan umat Islam kepada lingkaran budaya animistis yang lebih mengesampingkan kombinasi unsur akal dan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan untuk menutup mata umat Islam agar mereka tetap berada secara tidak sadar di bawah intervensi Barat sehingga menjadikan umat Islam itu sendiri mudah dikendalikan. Secara tidak langsung bangsa Eropa menyebarkan virus-virus permusuhan terhadap ilmu pengetahuan ke dalam tubuh umat Islam.

Sedangkan dari aspek pemahaman dan aktualisasi ke-Islaman, jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan menjadikan mereka cenderung berada dalam pemahamanan taqlid dan aktualisasi bid’ah, yang dinilai ‘Abduh sebagai bentuk lupanya umat Islam akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu Muahammad ‘Abduh menuntut umat Islam harus segera keluar dari kondisi yang menyedihkan tersebut dengan kembali kepada ajaran Islam yang

31 Cita-cita politik ‘Abduh sama dengan al-Afghani yaitu kebebasan

berpikir dan kemerdekaan politik. Namun kedua tokoh tersebut ber\beda dalam memilih strategi perjuangannya. Jamaluddin al-Afghani memandang revolusi sebagai satu-satunya cara untuk meraih cita-cita tersebut. Dia bukan tidak menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana efektif untuk cita-cita pertama, hanya saja dia menyadari bahwa rezim pengetahuan saat itu di dominasi oleh modernisme Barat yang justru menumpulkan logika revolusi. Oleh karena itu bangunan revolusi politik al-Afghani di dasarkan pada semangat Islam sebagai anti tesis Barat. Sementara ‘Abduh menganggap reformasi mesti dijalankan secara gradual (berangsur-angsur) melalui penekanan pendidikan, bahkan dengan cara yang sama sekali ditentang oleh al-Afghani, sebab melalui pendidikan dengan orientasi Barat sekalipun perjuangan revolusi bisa bermain dijantung kekuatan Barat-kolonial itu sendiri. Bahkan ‘Abduh menilai perjuangan politik menimbulkan perpecahan dikalangan umat Islam. Muh}ammad ‘Ima>rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 37-38. Bandingkan dengan Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005), 95-101.

52

mendasar.32 Namun bagi ‘Abduh usaha tersebut tidak cukup sampai di situ, justru ajaran-ajaran Islam yang asli tersebut haruslah disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang ada di dunia modern itu sendiri.33

Guna mencapai visi tersebut, salah satu jalan yang diusahakan ‘Abduh adalah dengan menghadirkan penafsiran bernuansa baru, terutama tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan yang sarat akan unsur ilmu pengetahuan. Kemudian penafsiran-penafsiran yang mampu memberikan ransangan bagi pembaca agar segera membuka mata untuk mengetahui dan menguasai segala perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan modern.34

Secara prinsip, Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa kehadiran ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam merupakan ciptaan Allah dan wahyupun juga berasal dari Allah. Oleh karena kedua aspek tersebut sama-sama berasal dari Allah, maka ilmu pengetahuan modern yang berasal dari hukum alam serta Islam yang sebenarnya berasal dari wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin akan bertentangan. Oleh karenanya Islam haruslah sesuai dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan modern itu sendiri harus sesuai dengan Islam. Ilmu pengetahuan merupakan faktor kemajuan umat Islam pada masa

32 ‘Abduh berusaha mengembalikan budaya di tengah-tengah umat Islam

sebagaimana pada masa ulama salaf dimana mereka tidak hanya mengetahui sesuatu tanpa dasar, namun justru mengetahui dengan diiringi alasan dari apa yang diketahui tersebut. Selain itu, pada masa ini budaya berfikir juga sangat menojol, karena mengetahui sesuatu tersebut sesungguhnya menuntut manusia untuk berfikir. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 62-63.

33 ‘Abduh melihat bahwa minimnya umat Islam yang mengetahui secara sadar bahwa mereka pada dasarnya sedang berada dalam kondisi kemunduran dan kejumudan berfikir yang salah satu faktor penyebab semua itu adalah adanya kecenderungan hegemoni dalam keilmuan seorang muslim, yaitu antara kecenderungan tradisionalis yang membatasi diri pada ilmu-ilmu keagamaan dan kecenderungan modern yang berusaha mempelajari sains dan ilmu-ilmu lain sebagaimana yang di terapkan di Barat. ‘Abduh merasa kedua kecenderungan tersebut perlu disatukan untuk membuka dan merobah cara berpikir kaum muslimin secara keseluruhan pada waktu itu, sehingga tidak ada lagi dikotomi antara tradisionalis dan modern. Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n” dalam Islamic Studies, 3.

34 Mostafa Labib, “Nazarat fi Fikr al-Imam Muhammad 'Abduh/ Consideraciones Sobre el Pensamiento del Imam Muhammad Abduh” dalam Anaquel de Estudios Árabes, Vol. 24. 2013 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1492831250?accountid=25704, tanggal 22-03-2014, pukul 23.04 WIB), 192-193.

53

lampau dan juga menjadi faktor kemajuan Barat sekarang ini. Untuk itu, dalam rangka mencapai kemajuan umat Islam itu sendiri dari aspek apapun, umat Islam haruslah kembali mempelajari dan mementingkan soal ilmu pengetahuan tanpa pengecualian,35 termasuk ilmu-ilmu modern (sains).

Konsep ini menjadi bagian dari langkah pembaharuan ‘Abduh untuk menyadarkan dan membangkitkan umat Islam agar keluar dari kondisi degradasi sekaligus sebagai bentuk perlawanan ‘Abduh dalam menghadapi intervensi Eropa ke dunia Islam, karena dalam prinsip Muh{ammad ‘Abduh, “Besi tak tumpul kecuali oleh besi” yang berarti menghadapi intervensi Eropa haruslah dengan kekuatan yang sempurna yaitu senjata dan intelektual.36 B. Tafsi@r al-Qur’a@n al-Kari@m Juz’ ‘Amma Muh{ammad ‘Abduh

Kitab Tafsi@r al-Qur’a@n al-Kari@m Juz’ ‘Amma merupakan salah satu karya yang berharga dari Muh{ammad ‘Abduh yang ditulisnya sekitar tahun 1321 H. Pada awalnya, kitab ini ditulis ‘Abduh dengan memanfaatkan waktu-waktu senggang yang menurut ‘Abduh sangat jarang dijumpaianya. Namun ketika ia berada di daerah Maghrib, ‘Abduh memiliki waktu yang cukup luang untuk kembali meneruskan penulisan kitab Tafsi@r al-Qur’a@n al-Kari@m Juz’ ‘Amma hingga karya tafsir ini selesai.37 Secara lebih rinci dalam sub bab ini, akan diuraikan tentang motivasi penulisan, metode penafsiran yang digunakan serta corak dari penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a@n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

1. Motivasi Penulisan

Dalam pendahuluan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh telah mengungkapkan motivasinya dalam penulisan dari kitab tafsir ini. Secara umum, motivasi tersebut dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu motivasi internal dan motivasi eksternal.

a. Motivasi Internal Motivasi internal ‘Abduh dalam penulisan kitab Tafsi@r al-

Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, lebih kepada kesadaran tanggung

35 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 65. 36 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Penerj; Sunarwoto

Dema (Yogyakarta: LKiS, 2012), 21. 37 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma (Kairo: al-

Ami@riyyah, 1322 H), 2.

54

jawab serta kewajiban setiap individu muslim untuk mempelajari, menggali dan mengamalkan apa yang dikandung oleh Alquran. Hadirnya Alquran di tengah-tengah manusia berperan sebagai standar nilai dalam membentuk kepribadian setiap individu serta sebagai hujah tertinggi guna memberikan ketegasan hukum yang berlaku universal.

Sebagaimana yang diungkapkan ‘Abduh dalam pendahuluan Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, terlihat bagaimana ‘Abduh menyadari sepenuhnya bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan pelajaran kebaikan kepada setiap manusia. Dalam pemikiran ‘Abduh, hal tersebut mampu diperoleh dengan jalan berkomunikasi secara total dengan Alquran. ‘Abduh memandang Alquran sebagai pengejawantahan pengajaran Allah bagi manusia dan merupakan nikmat luar biasa yang harus disyukuri.38 Wajar saja jika M. Quraish Shihab menjelaskan dan menegaskan pandangannya bahwa hadirnya Alquran bertujuan untuk mengajak manusia menuju kebahagiaan hidup dunia akhirat39 dengan menempuh jalur-jalur yang ditunjukkan oleh Alquran itu sendiri.

Petunjuk-petunjuk tersebut akan diraih oleh manusia jika hidup dalam lingkungan Alquran, sehingga kemudian merasakan bahwa Alquran berdialog dan bahkan besahabat dengannya. Inilah suatu proses komunikasi secara tidak langsung yang substansinya merupakan komunikasi antara manusia dengan Allah.40 Keingingan untuk bersahabat sepenuhnya dengan Alquran sebagai bagian dari

38 Dalam pendahuluan dari kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma,

‘Abduh menyatakan isi hatinya bahwa Allah telah membukakan baginya pintu-pintu karunia Allah dan ‘Abduh merasa Allah telah mengajarkannya apa-apa yang dikehendaki Allah sebagaimana di dalam rahasia-rahasia dari firman-Nya. Atas nikmat itu ‘Abduh menyebutkan bahwa dengan ucapan apa ia harus memuji Allah dan dengan perbuatan apa dia bisa bersyukur kepada Allah. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 2.

39 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran (Ciputat, Tanggerang: Lentera Hati, 2013), 21.

40 M. Quraish Shihab menegaskan dengan mengutip perkataan para pakar tafsir yang menyebutkan bahwa: “Jika anda ingin berbicara dengan Allah, maka berdoalah, dan jika anda ingin Allah berbicara dengan anda, maka bacalah Alquran. Bersahabatlah dengan Alquran”. M. Quraish Shihab memandang bahwa bersahabat dengan Alquran akan memperoleh rahasia-rahasia yang tidak disampaikan kepada siapa saja yang hanya sekedar berkenalan dengannya. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 23.

55

pemenuhan kebutuhan rohani yang disertai harapan agar Allah melimpahkan hidayah serta membuka pintu-pintu karunia-Nya, menjadi salah satu target yang ingin diwujudkan ‘Abduh.

Motivasi internal lain dari penulisan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma juga terlihat dari cara ‘Abduh dalam memandang Alquran sebagai sebuah kitab yang luar biasa hebat. Bagi ‘Abduh, Alquran memberikan kekuatan tersendiri di dalam dirinya sehingga ‘Abduh menjadikan Alquran sebagai ucapan pamungkas yang mampu digunakan dan ditujukan bagi seluruh manusia.41 Dalam buku Risa>lah al-Tauhi@d, ‘Abduh juga menjelaskan bahwa Alquran memberikan seperangkat aturan hukum kepada manusia yang sangat sesuai dengan kemaslahatan manusia itu sendiri. Keadilan dapat ditegakkan dengan melaksanakannya. Masyarakat akan menjadi teratur sesuai dengan ketentuan yang ditetapkannya dan begitu juga sebaliknya. Bagi ‘Abduh, dengan seperangkat aturan dan nilai yang dibawa Alquran, mampu mendorong hati untuk tunduk dan akal untuk menerimanya serta memacu keinginan mewujudkan cita-cita kebahagiaan seluruh manusia.42 Pandangan ini memiliki korelasi yang sejalan dan saling mendukung dalam proses pencapaian tujuan ‘Abduh yang gigih mengkritisi, merobah dan membangkitkan kembali pandangan serta peradaban umat Islam secara umum yang pada saat itu telah tertinggal jauh dari kemajuan dan kejayaan Eropa, sehingga tidak salah jika ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasi@b menegaskan bahwa ‘Abduh telah membangun konsep reformasi yang semata-mata bertumpu pada tafsir-tafsir Alquran yang ditulis dengan metodologinya sendiri.43

41 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 2. 42 Muh{ammad ‘Abduh melihat Alquran sebagai anugrah Allah yang luar

biasa. Bagi ‘Abduh, Alquran itu turun membawa seperangkat aturan hukum, nasehat dan etika moral yang menyebabkan hati menjadi tunduk, akalpun terdorong untuk menerima kebenaran Alquran serta menyemangati manusia untuk mewujudkan kebahagiaan umat. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 128.

43 Muh}ammad ‘Abduh telah membuat metodologi tafsir sendiri sekaligus dijadikan sebagai landasan utamanya dalam melakukan reformasi (di Mesir) guna menghapus budaya bid’ah, wahm (asumsi-asumsi teologis tanpa dasar) dan khurafat sehingga seringkali menjadikan ‘Abduh berseberangan dengan doktrin ulama pada masa itu. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi@ al-‘As}r al-Rahin (‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M), 124.

56

Dengan demikian dipahami bahwa kebutuhan dan keinginan untuk bersahabat dengan Alquran sebagai bagian dari proses pendekatan diri kepada Allah, sekaligus sebagai salah satu langkah bijak yang dapat ditempuh untuk merobah peradaban umat secara mendasar agar umat Islam keluar dari keterpurukan, menjadi motivasi internal dari ‘Abduh dalam menulis kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

b. Motivasi Eksternal

Motivasi ekternal Muh{ammad ‘Abduh dalam penulisan kitab tafsir Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma terindikasi dari penjelasan ‘Abduh mengungkapkan bahwa adanya beberapa ikhwan dari anggota al-Jami’i@yah al-Khairi@yah al-Isla>mi@yah yang telah meminta ‘Abduh untuk menuliskan tafsir dua juz dari Alquran, yaitu juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30) dan juz Taba>rakalladhi@ Biyadihi al-Mulk (Juz ke-29). Penulisan tafsiran tersebut ditujukan sebagai rujukan bagi para pengajar dalam mengajarkan makna-makna yang terkandung di dalam Alquran di sekolah-sekolah Al-Jami’[email protected]

Langkah tersebut diharapkan mampu menjadikan para murid dari sekolah Al-Jami’i@yah, terbiasa memahami apa yang mereka hafal dan merenungi makna dari apa yang mereka baca serta agar kandungan dari ayat-ayat Alquran yang mengandung unsur tauhid yang kuat dan nasehat yang dalam, diharapkan akan menjadi benih-benih akidah yang mengakar kokoh sehingga melalui langkah tersebut dengan sendirinya akan merubah kepribadian individu murid, baik pemikiran ataupun tindakan keseharian mereka.45

Jika ditinjau dari sisi sejarah, tertinggalnya Mesir dari Eropa dalam segala bidang dan tak terkecuali dari segi pendidikan pada waktu itu, memunculkan semangat tokoh-tokoh revolusi Mesir seperti Jamaluddin al-Afghani, Muh{ammad ‘Abduh dan Muh}ammad Rashi@d Rid}a> untuk melakukan gerakan pembaharuan di Mesir dengan cara mereka masing-masing. Dalam hal ini, pembaharuan dari segi pendidikan menjadi jalan yang mantap dipilih ‘Abduh. Mengembalikan semangat ilmiah dan cinta ilmu

44 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 2. 45 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasi@b, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi@ al-‘As}r al-

Rahin, 105.

57

pengetahuan dijadikan sebagai basis ‘Abduh dalam merobah masyarakat yang sedang mengalami masa degradasi.

‘Abduh melihat hal tersebut urgen dilakukan dari pada memilih jalan revolusi sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya Jamaluddin al-Afghani karna kemajuan negara itu berasal dari majunya kepribadian individu masyarakatnya. Untuk itu pendidikan dasar yang ingin diwujudkan ‘Abduh adalah mentransformasikan nilai-nilai yang dikandung Alquran ke dalam jiwa individu dari masyarakat Islam,46 termasuk para murid-murid dari sekolah Al-Jami’iyyah karena ‘Abduh meyakini bahwa Alquran dengan seperangkat hukum, nasehat dan pelajaran moral yang dikandungnya mampu menyemangati dan membangkitkan kembali pencapaian cita-cita kemajuan dan kebahagiaan dari cita-cita bersama suatu masyarakat. Berpegang pada pandangan inilah kemudian ‘Abduh merasa perlu untuk menulis penafsirannya terhadap Alquran terutama juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30) dan juz Taba>rakalladhi@ Biyadihi al-Mulk (Juz ke-29), meskipun pada akhirnya hanya mampu menyelesaikan satu juz penafsiran, yaitu juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30).

2. Metode Penafsiran

Secara umum dalam ilmu tafsir Alquran terdapat empat metode tafsir yang cukup dikenal, yaitu metode Tah{lili, Ijma@li@, Muqa>ran dan Maud{u>i@. Dari ke empat metode tafsir sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Ali Hasan al-‘Arid{ dan ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@ tentang ke empat metode tersebut,47 Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r

46 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib menjelaskan bahwa ‘Abduh

melakukan pembaharuan dengan menyentuh paradigma masyarakat sebagai dasar dari peradaban dan mereformasikannya melalui tafsir Alquran sehingga nilai-nilai kebenaran Alquran bisa ditransformasikan ke dalam diri umat Islam. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi@ al-‘As}r al-Rahin, 105.

47 Dalam ilmu tafsir Alquran, terdapat beberapa motode tersendiri yang biasa digunakan oleh para mufasir dalam menafsirkan Alquran. ‘Ali Hasan al-‘Arid{ dan ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@ secara umum menjelaskan bahwa metode penafsiran Alquran dapat dibedakan menjadi empat macam metode, yaitu metode Tah{li@li@, metode Ijma>li@, metode Muqa>ran dan metode Maud{u>’i@. Metode Tah{li@li@ merupakan metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai aspek dan lebih bersifat analitis. Metode Ijma>li@ merupakan metode dengan menafsirkan Alquran secara singkat dan global. Metode Muqa>ran lebih kepada usaha menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan penafsiran dari beberapa mufasir yang memiliki metode, kecenderungan dan penafsiran yang berbeda-beda. Sedangkan

58

al-Qur’a>n al-Kari@m (Juz ‘Amma) yang ditulisnya lebih cenderung menunjukkan penerapan metode Tah{li@li@ atau metode analisis. Dalam metode Tah{li@li@, seorang mufasir berusaha untuk menafsirkan ayat berdasarkan analisis pemahamannya terhadap ayat dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh aspeknya. Selain itu, para mufasir juga cenderung mengawali proses penafsiran dengan membedah ayat melaui aspek kebahasaan yang diikuti dengan keterangan tentang munasabah (korelasi) antar ayat yang ditafsirkan. Tidak jarang juga mufasir menyertakan Asba>b al-Nuzu>l dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan M. Quraish Shihab yang memahami metode Tah{li@li@ sebagai metode yang mengandalkan nalar.48

Tujuan dari metode ini sebagaimana yang disebutkan oleh Malik bin Nabi ketika dikutip oleh M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa penggunaan metode Tah{li@li@ oleh para ulama adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman dan pembuktian kemukjizatan Alquran. Namun M. Quraish Shihab justru mengkritik tujuan metode Tah{li@li@ yang disampaikan Malik bin Nabi dan memandang bahwa tujuan itu benar jika melihat tahap awal dari lahirnya metode ini, karena dalam kenyataannya hal tersebut tidak selalu ditemukan kecuali pada tafsir Tah{li@li@ yang bercorak kebahasaan.49 Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam melihat tujuan dari metode ini, pada intinya tetap saja tafsir Tah{li@li@ bertujuan untuk membantu seseorang memahami Alquran.50

Penerapan metode Tah{li@li@ yang membuka ruang untuk mengulas ayat dari berbagai aspek dengan menggunakan analisa yang dalam menjadi salah satu kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh tafsir Tah{li@li@, sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Abd Hayy al-Farma>wi@ bahwa terkadang seorang mufasir terlihat dominan dalam mengulas ayat dari salah satu aspek yang secara tidak langsung

metode Maud{u>’i@ lebih kepada usaha menafsirkan ayat dengan menghimpun beberapa ayat dalam satu tema besar dan kemudian melihat kandungan umum dari ayat-ayat tersebut untuk ditarik saru pemahaman besar tentang tema yang ulas. ‘Ali Hasan al-‘Arid{, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerj; Ahmad Akram (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 41, 73, 75, 78. ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ Al-Tafsi@r al-Maud{u>’i@ (Kairo: ttp, 1988), 24, 43, 45, 46.

48 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 85.

49 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 378. 50 ‘Ali Hasan al-‘Arid{, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 41. ‘Abd H{ayy al-

Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud{u>’i@ , 25.

59

menjadi kecenderungan atau corak tersendiri ketika menafsirkan ayat. Al-Farma>wi@ menyebutkan bahwa dalam metode Tah{li@li@, terdapat beberapa kecenderungan tafsir di antaranya al-Ma’thu>r, al-Ra’yi, al-S{u>fi@, al-Fiqhi@, al-Falsafi@, al-‘Ilmi@ dan al-Adabi@ al-Ijtima>’[email protected]

Sedangkan kelemahan dari metode ini sebagaimana yang dijelaskan M. Quraish Shihab bahwa disamping sering kali mufasir bertele-tele dalam menjelaskan tafsirannya terhadap ayat, metode Tah{li@li@ juga kurang memiliki rambu-rambu metodologis yang harus diperhatikan oleh seorang mufasir ketika menarik makna dan pesan ayat Alquran. Hal itu mengakibatkan terbukanya ruang yang lebar untuk masuknya subjektivitas dalam porsi yang banyak ketika menafsirkan ayat Alquran.52

Pendapat M. Quraish Shihab tentang kelemaham metode Tah{li@li@ secara umum ini agaknya bertentangan dengan pendapat al-Farma>wi@. Al-Farma>wi@ dalam pendapatnya memasukkan tafsir bi al-Ma’thu>r ke dalam salah satu kecenderungan dari metode Tah{li@li@. Dalam ilmu tafsir Alquran dikenal luas bahwa sistem kerja dari tafsir bi al-Ma’thu>r sendiri adalah menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, atau menafsirkan ayat Alquran dengan hadis dan pendapat sahabat yang secara substansi metode ini merupakan upaya secara tidak langsung dalam menekan banyaknya porsi subjektivitas mufasir dalam menafsirkan Alquran. Oleh karna itu, meskipun M. Quraish Shihab sepakat dengan pendapat al-Farma@wi@ dalam membagi metode tafsir menjadi empat metode, namun dalam memandang corak tafsir nampaknya ada sedikit perbedaan dimana M. Quraish Shihab justru tidak memasukkan tafsir bi al-Ma’thu>r dan tafsir bi al-Ra’yi sebagai salah satu kecenderungan tafsir dari metode tafsir Tah{li@li@ seperti yang dilakukan oleh al-Farma>wi@, melainkan hanya menyebutkan bahwa corak tafsir Alquran terdiri dari corak sastra

51 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud{u>’i@, 24. 52 Menurut M. Quraish Shihab, kurangnya rambu-rambu metodologis dari

metode tafsir Tah{li@li@ menjadikan mufasir cenderung bergerak dalam subjektivitas yang dominan. Terasa bahwa semua yang terdapat di dalam benak penulisnya ingin dihidangkannya sehingga mengakibatkan kejenuhan pembaca. Padahal dalam saat yang sama hidangan yang disodorkan hampir tidak pernah tuntas. Hal itu dikarenakan sang mufasir biasanya mengarahkan pandangan pada ayat yang dibahasnya yang terlepas dari ayat lain. Padahal antara ayat yang satu dengan ayat yang lain memiliki keterikatan makna dengan ayat tersebut. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 379.

60

bahasa, corak filsafat dan teologi, corak ilmiah, corak Fiqh atau hukum, corak tasawuf dan corak sosial kemasyarakatan.53

Mengenai penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma dan menganalisa pendapat al-Farma>wi@ dan M.Quraish Shihab dalam melihat kelebihan dan kekurangan dari metode tafsir Tah{li@li@, nampaknya terdapat kesamaan dengan kecenderungan penafsiran yang diterapkan oleh ‘Abduh. Dalam penafsiran yang diterapkan ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan ‘Abduh tidak menggunakan tiga metode lain sebagaimana yang dirumuskan oleh al-Farma>wi@, yatu metode Ijma>li, Muqa>ran dan Maud{u>’i@. Pertama, dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, terlihat adanya upaya ‘Abduh mencoba menafsirkan Alquran dengan analisa-analisa luas dan dalam serta sarat akan nilai-nilai ilmiah, baik itu dalam menguraikan maksud yang ingin dituju dari suatu surat ataupun dalam mengulas tiap-tiap ayat, meskipun ada juga sebahagian dari penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran dari Juz’ ‘Amma yang diuraikan secara singkat. Meski demikian, setidaknya hal ini mengindikasikan secara tidak langsung bahwa ‘Abduh tidak menggunakan metode Ijma>li@.

Kedua, dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh berusaha menghindari penafsirannya dari pertentangan dan perbedaan pendapat para ulama-ulama terdahulu.54 Hal itu dilakukan lantaran adanya kekhawatiran ‘Abduh bahwa hal tersebut akan menimbulkan kebingungan dari pembaca ketika membaca tafsiran terhadap ayat-ayat yang ditafsirkannya serta menjauhkan pembaca dari substansi Alquran itu sendiri.55 Di samping itu, dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh juga tidak terlihat mengumpulkan ayat-ayat dari Juz’ ‘Amma dalam satu tema khusus dan menjelaskan tema tersebut berdasarkan ayat-ayat yang dikumpulkannya untuk ditarik satu kesimpulan besar. Hal ini jelas menunjukkan ‘Abduh sama sekali tidak menerapkan metode Muqara>n dan Maud{u>’i@ sebagai metode yang digunakan ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran Juz’ ‘Amma. Selain itu, ‘Abduh juga cenderung menutup tafsirannya tentang satu ayat dengan mengaitkan makna atau

53 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 71-73. 54 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma (Kairo: al-

Ami@riyyah, 1322 H), 2. 55 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 20-21.

61

penafsiran dari satu ayat dengan ayat sesudahnya. Langkah tersebut menimbulkan kesan yang kuat dimana seluruh ayat-ayat dalam satu surat benar-benar memiliki keterkaitan yang erat untuk menjelaskan maksud umum dari satu surat. Inilah penerapan metode ‘Abduh secara umum dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma yang lebih menunjukkan keidentikan sistematika dari metode tafsir Tah{li@li@.

3. Corak Penafsiran

Mengenai corak tafsir yang diusung ‘Abduh dalam menafsirkan Alquran, ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib dan M. Quraish Shihab telah memberikan pandangan mereka masing-masing. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib misalnya menilai tendensi tafsir yang diusung ‘Abduh dalam penafsirannya, lebih memperlihatkan corak tafsir ‘Ilmi@ dengan alasan bahwa dalam sebagian besar penafsiran ‘Abduh terhadap ayat Alquran terlihat ‘Abduh begitu bangga dengan ilmu pengetahuan alam yang dimilikinya. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib memandang seringkali ditemukan dalam sebagian besar penafsiran dimana ‘Abduh berusaha masuk ke dalam ambiguitas Alquran dengan berpedoman pada penemuan-penemuan sains yang diketahuinya untuk mejelaskan ambiguitas tersebut. Bahkan ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib menilai ‘Abduh sebagai pelopor tafsir dengan corak ‘Ilmi@ di era modern.56 Sedangkan di sisi yang berbeda M. Quraish Shihab justru menilai corak tafsir yang diusung ‘Abduh lebih kepada corak Adabi@ al-Ijtima>’i@,57 yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah di tengah-tengah masyarakat berdasarkan

56 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasi@b menjelaskan bahwa ‘Abduh

telah mempelopori corak tafsir ‘Ilmi era modern bukanlah sesuatu hal yang berlebih-lebihan, namun hal itu merupakan realitas. Tendensi tersebut dikarenakan kuatnya pondasi rasional ‘Abduh yang dikolaborasikan dengan fakta dan temuan-temuan dari kemajuan Eropa pada waktu itu sehingga ‘Abduh juga termotivasi untuk menerapkannya dalam penafsiran Alquran. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib memberikan contoh penafsiran ‘Abduh yang memasuki wilayah ambiguitas dari ayat yaitu terkait penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Naba’ ayat 17 dan surat al-Fi@l ayat 3. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r Fi al-‘As}r al-Rahi@n, 266-267.

57 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 24-25.

62

petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.58

Merujuk pendapat ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@ dalam menunjukkan keidentikan dari tafsir dengan corak Ilmi@ dan corak al-Adabi@ al-Ijtima>’i@ dapat memperjelas perbedaan dan keidentikan dari masing-masing corak tersebut dimana corak tafsir Ilmi@ lebih kepada usaha menunjukkan tendensi penafsiran yang mengedepankan dan menggunakan kacamata ilmu pengetahuan serta fakta-fakta ilmiah dalam menjelaskan kandungan ayat. Hal itu lebih memperlihatkan korelasi yang sejalan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Sedangkan al-Adabi@ al-Ijtima>’i@ lebih kepada upaya untuk menghubungkan antara ayat-ayat Alquran dengan permasalahan serta kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Corak ini kering dari ungkapan-ungkapan yang berbau ilmu pengetahuan dan teknologi, kecuali sebatas kebutuhan.59

Meskipun terdapat perbedaan tersendiri dari ketiga ulama di atas dalam memandang corak tafsir, yang jelas dalam corak tafsir sebagaimana yang jelaskan oleh Hujair A. H. Sanaky bahwa corak penafsiran Alquran tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufasir, misi yang diemban, kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi serta sebagainya.60

Meninjau tendensi tafsir yang dikedepankan Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, terutama dengan berpijak kepada pandangan ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, M. Quraish Shihab dan ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@ sebagai barometer analisa, maka tendensi penafsiran yang menonjol dari gaya penafsiran ‘Abduh lebih memperlihatkan indikasi-indikasi dari corak tafsir al-‘Ilmi@ meskipun sebahagian yang lain dari seluruh penafsirannya dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma juga mengandung indikasi corak al-Adabi@ al-Ijtima>’i@. Sebagaimana yang disampaikan oleh Maurice Bucaille bahwa Alquran sesungguhnya mengajak manusia memperdalam sains. Alquran itu memuat

58 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 73. 59 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud{u>’i@, 35-42. 60 Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir Perkembangan Tafsir Mengikuti

Warna atau Corak Mufasirin” dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVIII, 2008 (Diakses dari http://fis.uii.ac.id/images/al-mawarid-edisi-xviii-2007-08-sanaky.pdf, tanggal 11-01-2014, pukul 02.48 WIB), 265.

63

bermacam-macam pemikiran tentang fenomena alam dengan rincian yang menerangkan kecocokannya dengan sains modern,61 misalnya saja mengenai penciptaan alam, astronomi, keterangan tentang bumi, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan dan kelahiran manusia.62 Secara prinsip, pemikiran Maurice Bucaille dalam memandang Alquran, memiliki kesejalanan dengan pemikiran yang ingin ditunjukkan ‘Abduh bahwa keunggulan Alquran itu terhimpun dalam dua segi, yaitu segi bahasa dan ilmu. Bagi ‘Abduh dasar pertama pembinaan Islam terletak pada penelitian yang sejalan dengan akal, yaitu yang berdasarkan bukti-bukti nyata.63

Corak penafsiran ‘Abduh dapat dilihat dari penafsiran-penafsirannya terkait ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya). Selain dalam Juz’ ‘Amma terdapat banyak ayat-ayat yang bercerita tentang alam seperti tentang langit, bumi dan isinya seperti lautan, gunung, tumbuh-tumbuhan beserta proses penciptaan manusia, penafsiran yang diberikan ‘Abduh ketika menafsirkan ayat-ayat al-Kauni>yah juga terlihat mendalam dengan disertai analisis yang di dasari atas ilmu-ilmu alam yang dirasa mampu menjelaskan maksud ayat yang juga dikuatkan oleh fakta-fakta ilmiah berdasarkan ilmu-ilmu alam tersebut. Meskipun ‘Abduh sering kali tidak menyebutkan penafsiran yang diberikannya terhadap ayat berdasarkan tinjauan analisa dari disiplin ilmu alam tertentu, namun kedalaman dan kekentalan indikasi-indikasi ilmiah yang disajikan, cukup memberikan keterangan tentang ilmu-ilmu alam apa saja yang digunakan ‘Abduh sebagai pisau analisa dalam menyelami kandungan dari ayat-ayat al-Kauni@yah tersebut. Misalnya saja seperti ‘Abduh menjelaskan penafsirannya tentang surat an-Na>zi’a>t (79) ayat 2764 dimana kata بناھا ditafsirkan dengan mengumpulkan bagian-bagian menjadi satu dan mengikatnya dengan sesuatu sehingga tidak bercerai berai dan menjadi satu kesatuan, seperti Allah menciptakan planet-

61 Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science Bibel Quran dan

Sains Modern, Penerj; H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 106-107. 62 Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science, 110. 63 Muh}ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-

Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H) . 61-62. 64 Surat an-Na>zi’a>t (79) ayat 27:

÷Λ ä⎢Ρr& u™ ‘‰ x©r& $)ù= yz ÏΘ r& â™!$uΚ¡¡9 $# 4 $yγ8oΨt/ ∩⊄∠∪

Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah membinanya.

64

planet. Tiap-tiap planet diletakkan dengan jarak-jarak tertentu yang terdapat sistem yang mengikatnya dijalur peredarannya. Itulah alam yang disebut langit.65

Penafsiran yang bercorak ‘Ilmi@ lainnya juga terlihat ketika ‘Abduh menafsirkan ayat yang berbicara tentang gunung seperti yang terdapat dalam surat an-Na>zi’a>t (79) ayat 3266 dimana والجبال ارسھا ditafsirkan dengan gunung-gunung dipancangkan untuk mencegah bumi bergoyang untuk selanjutnya dapat dihuni oleh makhluk hidup.67

Begitu juga ketika ‘Abduh menafsirkan tentang laut yang diluapkan sebagaimana yang terdapat surat al-Takwi@r (81) ayat 6,68 bahwa رت berarti saat itu gempa yang terjadi meledakkan واذاالبحارسجbatas-batas antar lautan tersebut sehingga semuanya bercampur dan menjadi satu (lautan). Atau (kalimat itu) juga berarti penuh karena tiap-tiap lautan akan menjadi penuh dan meluap sehingga bercampur dengan yang lainnya yang dikarenakan putusnya bagian-bagian bumi dan lepasnya gunung-gunung darinya.69

Model penafsiran seperti ini, seringkali diaplikasikan ‘Abduh ketika menafsirkan ayat-ayat al-Kauni@yah. Dengan model penafsiran yang secara umum sarat dengan indikasi-indikasi analisis ilmiah, seakan ‘Abduh ingin menunjukkan bahwa dalam menafsirkan Alquran tidak cukup hanya bermodalkan ilmu bahasa semata, melainkan adanya menguasaan yang dalam terhadap cabang ilmu-ilmu lain, terutama sains yang dapat dikolaborasikan dengan pengetahuan bahasa Arab sang mufasir guna membantu mufasir memilih berbagai alternatif penafsiran yang dapat dijadikan sebagai tafsiran dari ayat yang ditafsirkan sekaligus menghindari mufasir dari kesalahan memaknai arti kata sebuah ayat Alquran sehingga tafsiran yang dihasilkan akan terasa lebih luas dan mendalam. Analisa ini dikuatkan oleh pendapat Maurice Bucaille yang menjelaskan bahwa untuk memahami ayat-ayat

65 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 13. 66 Surat an-Na>zi’a>t (79) ayat 32;

tΑ$ t7Ågø:$#uρ $ yγ9y™ ö‘r& ∩⊂⊄∪

Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. 67 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 14. 68 Surat al-Takwi@r (81) ayat 6;

#sŒ Î) uρ â‘$ ysÎ7ø9 $# ôNt Édfß™ ∩∉∪

Dan apabila lautan dijadikan meluap. 69 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 26.

65

Alquran, pengetahuan tentang bahasa Arab yang mendalam saja tidak cukup. Selain bahasa Arab, ahli tafsir juga memerlukan pengetahuan ilmiah yang bermacam-macam. Hal itu diperlukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan penafsiran sebagaimana yang dialami oleh sebagian ahli tafsir pada era tafsir-tafsir klasik dimana sains pada saat itu belum mencapai perkembangan yang pesat.70

C. Konsep Relasi Alquran, Akal dan Ilmu Pengetahuan

Mengenai Wahyu (Alquran), akal dan ilmu pengetahuan, ketiga elemen ini memiliki garis relasi yang saling terhubung dalam kontek Alquran sebagai tuntunan yang harus diketahui dan diyakini oleh manusia. Pertama adalah relasi antara wahyu dan akal. Pada dasarnya, Alquran diturunkan dan dialamatkan kepada manusia. Bagi ‘Abduh, Islam dengan Alquran sebagai pondasi, itulah sebuah agama untuk pertama kali menunjukkan realita kesesuaian antara akal dengan kitab suci.71 ‘Abduh memandang bahwa sebagian besar dari ketetapan agama yang terdapat di dalam wahyu tidak mungkin diyakini tanpa melibatkan akal. Justru Alquran itu sendiri turun dalam misinya menarik aspek pikiran manusia dan meransang akal untuk memahami dan membentuk sebuah konsep utuh tentang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.72 Oleh karena itu bagaimana mungkin manusia mampu mengetahui dan mendengar seruan wahyu dengan mengabaikan akal sebagai kualitas terpenting dan meonjol dari manusia.73 Dalam konteks inilah kemudian ‘Abduh menyuarakan

70 Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science, 110. 71 Detlev Khalid menjelaskan bahwa Jamaluddin al-Afghani dan

Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa Islam adalah agama akal. Hal ini mengindikasikan antara Islam dan akal tidak ada pertentangan, namun antara keduanya terdapat kesejalanan. Begitu juga ketika Alquran sebagai landasan hukum tertinggi dalam Islam, tentunya secara tidak langsung juga tidak terdapat pertentangan dengan akal. Prinsip ini yang dinilai oleh Detlev Khalid yang coba dikembangkan pada periode pasca ‘Abduh seperti Ahmad Ami>n. Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n” dalam Islamic Studies, 3.

72 Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), Volume II, 127.

73 Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, Penerj; Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta: Sadra Press, November 2011), 32.

66

pemikirannya secara lantang bahwa sesuatu yang mustahil jika Alquran bertentangan dengan akal.74

Alquran bukanlah kitab suci yang serta merta memaksa pembacanya menerima makna ataupun realitas yang dikandung ayat, namun justru Alquran menunjukkan sikap terbuka dan memberikan ransangan-ransangan logis untuk membuktikan kebenaranya dari berbagai sisi bagi siapapun yang masih meragukan Alquran. Bagi ‘Abduh, terdapat sebagaian (kandungan berita) ayat-ayat Alquran yang dinilai sulit untuk diyakini secara realitas dan untuk itu perlu adanya peran serta akal untuk memahami sisi-sisi yang bisa dipahami sejauh kemampuan maksimal akal.75

Selain menghimbau manusia untuk memfungsikan akal, Alquran juga mengecam dan memberikan cemoohan bagi manusia yang mengabaikan dan tidak memfungsikan akal secara optimal, bahkan hal itu dianggap sebagai salah satu penyebab terjerumusnya manusia ke dalam neraka.76 Sehingga tidak salah jika Imam Kazhim menyebutkan bahwa Allah telah menganugrahkan kepada manusia dua bukti kebenaran, yaitu bukti eksternal dan bukti internal. Bukti eksternal manusia salah satunya adalah adanya nabi dan bukti internal manuisa adalah akal. Sebagian ulama lain terkadang memposisikan akal pada posisi ekstrim, bahkan ada di antara mereka yang

74 Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa sebagian ketentuan agama yang

terdapat di dalam Alquran tidak dapat diyakini kecuali dengan akal seperti memahami adanya Allah, mengetahui kekuasaan-Nya, kebenaran diutusnya Rasul, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Alquran itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan akal dan mustahil jika Alquran bertentangan dengan akal. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 10.

75 H{asan H{anafi@ telah menjelaskan bahwa secara natural, akal manusia telah tercipta untuk mampu memahami segala sesuatu. Namun di sisi lain, dalam konteks memahami ayat-ayat Allah, ’Abduh memandang bahwa tidak seluruh ayat dan informasi yang dimuat di dalam ayat mampu diketahui dan dipahami oleh akal. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 22. Bandingkan dengan H{asan H{anafi@, Dira>sat Falsafiyah fi@ al-Falsafah al-Gharbiyyah al-H{adithah wa al-Mu’a>s}irah, Jilid II (Beirut, Libanon: al-Suwi@r, 1995), 35.

76 Qs. Al-Mulk (67) ayat 10:

(#θä9$s% uρ öθs9 $Ζ ä. ßì yϑó¡nΣ ÷ρ r& ã≅É)÷è tΡ $ tΒ $ ¨Ζä. þ’Îû É=≈ ptõ¾ r& ÎÏè¡¡9 $# .

Dan mereka berkata: Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.

67

menganggap akal sebagai nabi.77 Meski demikian, kebanyakan ulama cenderung menganggap akal sebagai bagian dari penyangga bangunan agama, karena hanya dengan sarana akallah manusia mampu mengenal dan dekat dengan Allah.78

Mengenai jangkauan akal terhadap Alquran, ‘Abduh mengakui bahwa tidak seluruh maksud ayat mampu dijangkau oleh akal. Akal memiliki jangkauan yang terbatas. Namun, hal itu bukan berarti memberikan defenisi bahwa akal bertentangan dengan Alquran, hanya saja kemampuan akal yang terbatas dalam memahaminya. Maka keterbatasan akal tersebut menjadikan manusia butuh bimbingan dan tambahan informasi dari Rasulullah, kususnya dalam persoalan metafisika dan persoalan ibadah.79 Cara pandang inilah kemudian menjadikan ‘Abduh berani mengkritisi realita sejarah yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah,80 dimana akal dinilai bergerak melebihi batas wilayah yang seharusnya disentuh oleh akal.

77 Al-Ma’ari@ adalah salah satu ulama yang berpendapat ekstrim tentang

akal. Bagi al-Ma’ari@, akal adalah imam dan prasangka bukanlah sebuah kebenaran, namun justru akal itu sendirilah yang berupa kebenaran. Bahkan al-Ma’ari@ menganggap akal itu sama dengan Nabi. Yusu>f Farha>t, al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha> (Jenewa, Swiss: Tara>d Kasi@m, 1986), 42.

78 H{asan H{anafi@ menyebutkan bahwa akal yang benar itu adalah akal yang mampu mencapai tuhannya. Bagi H{asan H{anafi, selayaknya akal itu memikirkan segala sesuatu yang dapat membantu manusia untuk mengenal Allah lebih dekat dan jika akal bekerja bukan untuk memenuhi tujuan tersebut, maka dia bukanlah akal yang benar. Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu, 241-242. Bandingkan dengan H{asan H{anafi@, Dira>sat Falsafiyah, 36.

79 Yusuf H. R. Sefereta menjelaskan bahwa bagi ‘Abduh, keberadaan Nabi dibutuhkan manusia dalam konteksnya sebagai pembawa wahyu yang mengetahui lebih dalam seluruh persoalan yang diberitakan di dalam Alquran. Misalnya tentang persoalan kehidupan pasca kematian bahwa fitrah manusia tidak mampu mengetahui hal tersebut kecuali hanya sebatas apa yang dijelaskan Nabi berdasarkan informasi dari Alquran. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in the Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashi@d Rid{a>” dalam Islamic Studies, Vol 24, No. 2 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20847306.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.55 WIB), 142-143.

80 ‘Abduh menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan akal dalam memahami Alquran yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah melalui konsep penggunaan akal yang dikembangkan oleh pengikut Was{il bin At}a’ pada waktu itu. Namun, menanggapi hal tersebut ‘Abduh sendiri justru mengkritisi konsep penggunaan akal dalam penerapan pengikut Was{il yang cenderung di luar porsinya. Kuatnya pengaruh wawasan dari referensi-referensi Yunani dan beberapa wawasan lain yang menjadi acuan Was{il dan pengikutnya, cenderung mengantarkan mereka

68

Tuntutan untuk memahami dan meyakini berbagai konteks realitas yang dikandung Alquran, telah membuka ruang bagi akal untuk memainkan posisi penting dalam membentuk dan mengukuhkan keyakinan tersebut. Bahkan A. Jawadi Amuli mengidentifikasi akal ke dalam tiga peran, yaitu akal sebagai tolak ukur, akal sebagai sarana pembuka dan akal sebagai sumber pengetahuan.81 Dari ketiga identifikasi peran akal ini, ‘Abduh lebih cenderung terlihat memposisikan akal terhadap Alquran sebagai sarana pembuka.82 Bagi ‘Abduh, keyakinan itu tidaklah terbentuk hanya berdasarkan pendapat-pendapat yang ada pada masa dahulu,83 melainkan akallah yang menjadi sarana untuk membuka, mengetahui dan memahami realitas-realitas yang terkandung di dalam Alquran yang pada akhirnya akan memunculkan keyakinan.84 Bahkan Muh{ammad al-Ghazali menyamaratakan seluruh ayat dalam kawasan yang dapat ditelusuri akal tanpa membedakan secara teliti mana ayat-ayat yang bisa dipahami melalui penggunaan akal dan mana yang tidak, sehingga dalam penilaian ‘Abduh hal tersebut justru melahirkan penafsiran-penafsiran yang menunjukkan pertentangan antara pengetahuan agama dengan rasionalitas akal. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 15-16.

81 Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu, 256. 82 Muh{ammad ‘Abduh memandang bahwa Islam melaui kitab sucinya

(Alquran) telah melenyapkan penghalang yang mengalangi kemerdekaan berpikir manusia untuk memahami kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada manusia (kitab Samawi). ‘Abduh bahkan mengkritisi sikap sebagian tokoh agama yang dalam penilaiannya sudah mulai mengalami penyimpangan dan menebarkan anggapan pelarangan bahwa tidak semua orang berhak menggali dan mengetahui maksud Alquran, bahkan melarang diri mereka sendiri dan seolah-olah mereka menempatkan diri mereka pada tempat yang memiliki hak prerogatif untuk menggali dan memahami Alquran. ‘Abduh begitu mengecam ulama dengan kecenderungan seperti ini, yaitu mereka yang menganggap akal yang dimiliki oleh setiap individu manusia tidak cukup memadai untuk menggali dan menemukan keterangan-keterangan dalam syariat dan kenabian, yang tentunya termasuk di dalamnya adalah Alquran. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 141-143.

83 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), 45.

84 Akal bagi ‘Abduh memiliki kekuatan yang tinggi. Muh{ammad ‘Abduh menganggap bahwa dengan meneliti alam sekitar akan mengantarkan manusia untuk sampai ke alam abstrak. Pada sebagian ayat Alquran, memang terdapat anjuran penggunaan akal ketika meneliti alam semesta untuk sampai kepada rahasia-rahasia yang terletak di belakangnya (Alquran). Oleh karena itu, dalam pandangan Harun Nasution ketika menilai dan memahami pemikiran ‘Abduh untuk beberapa persoalan keagamaan, misalnya persoalan ketuhanan, nabi dan lain sebagainya, hal tersebut tidak dapat diyakini tanpa melalui pertolongan akal. Berbeda dengan pendapat Harun Nasution, Yusuf H. R. Sefereta menilai bahwa dalam pandangan ‘Abduh akal

69

menegaskan bahwa iman atau keyakinan akan hilang apabila manuisa mengabaikan dan melakukan penyimpangan terhadap akal serta mencampur adukkan antara nafsu dengan hati nurani, sehingga Islam dengan Alquran sebagai pedoman yang universal tidak akan berfungsi jika akal manusia diposisikan pada tempat yang tidak selayaknya.85 Dengan demikian, relasi antara akal dan naql (Alquran) dalam pandangan ‘Abduh ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi dalil naql merupakan landasan pokok yang kokoh, dan di sisi lain akallah sebagai pengikut yang setia mendampingi naql.86

Dalam membentuk keyakinan, akal tidaklah memunculkan keyakinan dengan sendirinya. Akal membutuhkan unsur pembenaran yang didapat dari luar dirinya. Pada dasarnya akal tidak akan mampu dengan sendirinya memikirkan secara konkrit hal-hal yang tidak berwujud, apalagi substansi sebenarnya dari sesuatu kecuali hanya berupa pengejawantahan dari hal-hal yang telah ada di dalam idea manusia itu sendiri yang didasarkan terhadap benda-benda (materi) yang sebelumya telah diketahui oleh manusia sebagai hasil tangkapan pancaindra. Ji@ra>r Juha>mi@ termasuk salah satu ulama yang sejalan dengan konsep ini yang berpendapat bahwa akal akan cenderung memikirkan objek yang bersifat materi dan tidak mungkin akal akan sampai memikirkan sesuatu yang berada dalam wilayah immateri, karena pada dasarnya akal akan memikirkan sesuatu objek berdasarkan objek lain yang bersifat empiris, namun apa yang dipikirkan berdasarkan kepada pengejawantahan terhadap hal-hal empirik

memiliki keterbatasan untuk masuk ke wilayah-wilayah gaib yang di ceritakan Alquran, termasuk wujud dan sifat-sifat tuhan serta persoalan metafisika lainnya. Namun Yusuf H. R. Severeta meyakini bahwa wahyu (Alquran) tidaklah bertentangan dengan akal, bahkan dengan ilmu pengetahuan modern. Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh, 48. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood” dalam Islamic Studies, 143.

85 Muh{ammad al-Ghazali menyebutkan bahwa sejak dari masa kerasulan dan nabi-nabi pembawa risalah terdahulu, telah dituntut untuk menjauhi kekerasan hati dan kelemahan akal pikiran, sebaliknya mereka dituntut untuk mengikat diri dengan pikiran yang lurus dan akal yang sadar untuk membentuk iman yang kokoh serta menjadikan agama menjadi berfungsi dalam kehidupan meraka. Muh{ammad al-Ghazali, Syariat dan Akal dalam Perspektif Tradisi Pemikiran Islam, Penerj; Halid al-Kaff dan Muljono Damopoli (Jakarta: Penerbit Lentera, 2002), 55.

86 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 22-23.

70

tersebut tetap saja bukan esensi sesungguhnya,87 dan menurut Muh{ammad Ka>mal al-Hur, itulah kekuatan akal yang sebenarnya.88 Dalam konteks inilah persoalan dasar dari pengetahuan manusia mulai dibahas.

‘Abduh dalam pendapatnya sempat menyinggung bagaimana manusia bisa mengetahui sesuatu, hanya dengan menggunakan potensi alami yang ada di dalam dirinya sendiri bahwa keberadaan pancaindra sebagai sarana untuk mendeteksi dan merasakan keberadaan sesuatu yang ada di alam menjadi basis yang kuat dari manusia untuk mengetahui sesuatu.89 Dalam pandangan ‘Abduh, apa yang diketahui oleh manusia berdasarkan apa yang dideteksi ataupun dirasakan melalui perantara pancaindra, menjadi titik pembenaran yang digunakan manusia secara umum dan alami untuk meyakini kebenaran dari apa yang dicerna oleh akal manusia.90 Mungkin ini merupakan

87 Ji@ra>r Juha<mi@ menjelaskan pandangannya yang sejalan dengan pemikiran

Aristoteles bahwa tidak mungkin akal akan memikirkan sesuatu yang tidak berwujud kecuali sebatas imajinasi manusia berdasarkan benda-benda yang bersifat materi. Ji@ra>r Juha>mi@, Risa>lah Ma> Ba’da al-T{abi@’ah (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr al-Libana>ni@, 1994), 153, 155, 157-158.

88 Menurut Muh{ammad Ka>mal al-Hur, yang bisa difikirkan itu adalah segala yang tampak dan itulah yang merupakan kekuatan dari akal manusia. Muh{ammad Ka>mal al-Hur, Ibn Si@na> Haya>tuhu Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991). 117.

89 Yusuf H. R. Seferta menjelaskan bahwa ‘Abduh pada dasarnya memandang manusia sebagai makhluk yang secara alaminya untuk berpikir, mencari dan menalar, namun mereka hanya mampu menjelaskan hal-hal yang berada dalam wilayah fisik, di luar itu, manusia tidak mampu untuk menjangkaunya. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in the Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashi@d Rid{a>” dalam Islamic Studies, Vol 24, No. 2 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20847306.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.55 WIB), 142-143.

90 Mengenai epistemologi pengetahuan itu sendiri, ‘Abduh menjadikan wujud empirik sebagai dasar dari pengetahuan. Pengetahuan manusia tidak lebih hanya sebatas hal-hal yang mampu diamati oleh pancaindra manusia. Misalnya saja ketika ‘Abduh menjelaskan bahwa Allah tidak menuntut manusia untuk mengetahui esensi dari benda-benda di alam. Manusia hanya butuh mengetahui sifat dan keistimewaan benda-benda. Kepuasan akal terletak pada kesanggupannya menunjukkan sifat-sifat dari benda-enda alam beserta hukum yang berlaku bagi benda tersebut. Jika di analisa, substansi pandangan ‘Abduh tersebut mengarah kepada pengamatan terhadap hal-hal atau benda-benda yang berada pada wilayah empirik. Inilah cara dan kecenderungan yang diperlihatkan ‘Abduh dalam epistemologi pengetahuannya yang lebih dekat dengan kecenderungan epistemologi

71

wujud kongkrit dari pemikiran al-Ghaza>li@ dalam mendefenisikan akal sebagai sarana untuk mengenali informasi-informasi yang diberikan oleh penglihatan.91 Inilah model epistemologi pengetahuan manusia yang begitu dipegang dan disuarakan sebagaimana yang terjadi pada masa abad pencerahan Eropa oleh kaum Empirisme.

Seiring berkembangnya cara pandang yang cenderung empiris, meransang kebanyakan manusia untuk mulai melakukan observasi dan penelitian terhadap alam dengan realitas empiris sebagai objek. Di Eropa misalnya, perlahan-lahan perkembangan tersebut mengantarkan manusia Eropa dengan gencarnya mulai menyusun metode-metode tersendiri untuk mengetahui dan menguak sisi-sisi realitas empiris yang dapat ditangkap dan dirasakan oleh pancaindra manusia sehingga kemudian membentuk sebuah disiplin-disiplin keilmuan atau lebih dikenal dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Melalui ilmu-ilmu alam yang berkembang pesat pada zaman itu, menjadikan Eropa mulai tumbuh dan bangkit dari era keterpurukannya, bahkan ‘Abduh menyebutkan bahwa peradaban Barat saat itu jauh lebih maju dan lebih baik dibandingkan peradaban Islam yang semakin hari semakin mengalami masa kemunduran. ‘Abduh menilai bahwa inilah imbas yang timbul di tengah-tengah bangsa Eropa karena mereka mampu menguasai alam sekaligus menjadi pemimpin dari alam dengan memanfaatkan kegencaran dan kegesitan mereka menguasai, mengembangkan dan menggunakan ilmu-ilmu alam yang secara perlahan-lahan semakin mapan.

Dalam memahami realitas (empiris), ilmu pengetahuan alam memiliki peran yang sangat urgen. Keberadaan manusia yang dilingkupi oleh realitas-realitas empiris yang ada di sekitarnya, memaksa manusia untuk berusaha keras mengetahui dan memahami realitas-realitas empiris yang telah berjalan berdasarkan hukum alam. Di sinilah ilmu alam memainkan perannya bahwa dengan adanya ilmu-ilmu alam yang semakin hari semakin berkembang dan mapan, mampu

Empirisme dengan realitas empirik sebagai dasar pengetahuan. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 45-46.

91 Imam al-Ghaza>li@ membangun definisi tersendiri tentang akal. Bagi Imam al-Ghaza>li@ akal merupakan sebuah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi yang diberikan oleh penglihatan. Dari konsep ini dipahami bahwa akal membangun sebuah persepsi berdasarkan apa yang diketahui oleh pancaindra dalam objek yang tentunya berada di wilayah empirik. Muh{ammad bin Muh{ammad Abu Ha>mid al-Ghaza>li@ al-Matu>fi@, Mukhtas{ar Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di@n (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1414 H / 1993 M), 28.

72

dimanfaatkan manusia untuk mengungkap realitas-realitas alam (dalam sifatnya yang empiris) yang sebelumnya tertutup dari pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu alam memiliki cirinya tersendiri bahwa ilmu-ilmu tersebut hanya berusaha mengungkap kebenaran realitas dari wilayah-wilayah empiris karena dasar dari ilmu-ilmu alam adalah apa yang diketahui pancaindra dari hal-hal empiris. Ilmu-ilmu alam tidaklah mampu menjangkau realitas alam yang berada dalam wilayah-wilayah trasendental atau metafisis karena wilayah-wilayah tersebut berada di luar wilayah empirik dan tidak dapat diketahui serta dijangkau oleh pancaindra manusia.

Melihat pembicaraan yang menyinggung persoalan relasi antara Alquran dengan ilmu alam (sains), sama halnya membicarakan hubungan sains dengan kitab suci. Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Rosadisastra bahwa Ian G. Barbour telah mengemukakan teori tentang empat pola umum relasi antara sains (ilmu pengetahuan alam) dengan kitab suci. Pertama, Tipologi konflik,92 yaitu anggapan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Tipologi seperti ini umumnya dipegang oleh kaum Materialisme ilmiah (murni) dan kelompok Literalisme kitab suci. Tipologi inilah yang sebelumnya juga pernah melingkupi hubungan antara kitab suci Injil dan sains dalam agama Kristen sehingga kemudian di antara mereka ada yang berpendapat antara sains dengan kitab suci Injil terdapat pertentangan sendiri, karena antara sains dan kitab suci memiliki substansi dasar yang berbeda.93

92 Andi Rosadisastra menyebutkan bahwa di akhir dasawarsa 90-an sampai

sekarang, di Amerika Serikat dan Eropa Barat telah berkembang arus pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dan kitab suci. Beredarnya wacana ini di dua daerah tersebut menjadikan berbagai tokoh berusaha memahami relasi antara sains dan agama. Di antaranya Ian G. Barbour dengan mengemukakan empat tipologi umum relasi sains dengan kitab suci. Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2007), 15-16.

93 Michael Goheen menjelaskan bahwa terdapat perbendaan pandangan dalam meninjau relasi dan kesejalanan antara kitab suci Injil dengan sains, ada sebagian orang yang berpendapat antara keduanya sejalan dan ada yang menentang bahwa antara keduanya tidak jarang ditemukan pertentangan. Di antara tokoh yang menyuarakan konsep tersebut adalah Berkouwer yang berpandangan bahwa antara sains dengan kitab suci adalah dua hal yang terpisah dan akan ada pertentangan dikarenakan keduanya memiliki substansi dasar yang berbeda. Untuk memahami kitab suci landasannya adalah iman sedangkan sains adalah penelitian ilmiah. Michael Goheen, “Scriptural Revelation, Creational Revelation and Natural Science: The Issue” dalam Facets of Faith and Science, Vol 4 (Diakses dari

73

Kedua, tipologi Independensi. Tipologi Independensi ini lebih kepada anggapan bahwa tidak perlu ada konflik antara keduanya karna antara ilmu pengetahuan (sains) dan kitab suci merupakan 2 hal yang berbeda. Sains merupakan kajian tentang alam dan agama merupakan rangkaian aturan perilaku, merupakan dua dimensi manusia yang saling terpisah. Ketiga, tipologi dialog, yaitu tipologi yang berusaha mencari relasi teologis dan ilmiah guna melihat sisi-sisi persamaan dan perbedaan dari keduanya.94

Keempat, adalah tipologi integrasi, yaitu sebuah pendekatan yang berusaha mencari titik temu antara agama (kitab suci) dengan ilmu pengetahuan (sains). Tipologi integrasi ini juga terbagi kepada tiga bagian yaitu: 1. Natural Theology, merupakan cara pandang bahwa eksistensi tuhan

dapat disimpulkan dari bukti desain alam, yang dari alam tersebut memunculkan kesadaran akan adanya tuhan. Jadi Natural Theology lebih kepada upaya untuk berangkat dari sains untuk mengantarkan manusia sampai kepada keyakinan teologis.

2. Theology of Nature, merupakan cara pandang yang berangkat dari doktrin keagamaan yang berdasarkan pada pengalaman keagamaan dan wahyu historis, kemudian berusaha menjadikan doktrin tradisional untuk dirumuskan ulang dalam sinaran sains (ilmu pengetahuan) terkini.

3. Sintesis Sistematis, adalah cara pandang yang melihat antara keduanya merupakan sintesa integrasi yang lebih sistematis antara sains dengan agama yang memberikan kontribusi ke arah pandangan dunia yang lebih koheren dengan mengelaborasikannya dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif. Singkatnya, sintesis sistematis merupakan sitesa integrasi sains dan agama yang di sistematisasikan melalui pandangan bahwa peristiwa atau teori baru merupakan produk masa lalu dari tindakan dan aksi tuhan.95

Dalam kontek relasi antara ilmu pengetahuan alam (sains) dengan Alquran sebagai kitab suci, ‘Abduh berpandangan bahwa Alquran pada dasarnya telah menekankan kepada manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Substansi tujuan yang ingin dicapai Alquran dari perintah tersebut dalam pandangan ‘Abduh tidak lain

http://www.allofliferedeemed.co.uk/Goheen/ScripturalRevelationCreationalRevelation.pdf, tanggal 10-11-2013, pukul 03.18 WIB), 5.

94 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, 17-18. 95 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, 19-23.

74

untuk menyokong manusia dari rasa keingintahuannya terhadap kebenaran yang dikemukakan Alquran dengan melakukan serangkaian kajian secara mendalam melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, sehingga manusia sampai kepada keberhasilannya untuk menggali dan mengetahui sisi kebenaran syariat yang telah ditetapkan di dalam Alquran itu sendiri,96 sehingga dapat dicerna akal berdasarkan logika kebenaran yang tersistematisasi. Nampaknya dalam konteks ini, konsep ‘Abduh ketika menunjukkan hubungan antara sains dan Alquran sebagai kitab suci, lebih berindikasi kepada tipologi integrasi sintesis sistematis.

‘Abduh memandang peran akal dan tindakan penelitian dalam mengetahui sesuatu merupakan dua aspek yang saling mengokohkan. ‘Abduh menjelaskan bahwa melalui akal yang dilandasi penelitian, menjadikan manusia mampu membuka tabir pengetahuan sehingga kemudian menjadikan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam yang pada dasarnya telah terlebih dahulu digambarkan Allah di dalam Alquran.97 Dengan kata lain, Abduh mempercayai bahwa antara Alquran dan ilmu pengetahuan (sains) tidak terdapat pertentangan sebagaimana pertentangan yang terjadi antara Bible dan sains (dalam sejarah agama Kristen), namun antara keduanya justru menunjukkan relasi yang saling berkaitan erat karna keduanya sama-sama berasal dari yang maha benar (Allah).98 Konsep ini menjadi salah satu solusi

96 Bagi ‘Abduh, sudah selayaknya Alquran menjadi sarana untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk itulah Alquran telah memberikan sinyal yang jelas kepada manusia untuk segera memfungsikannya dengan jalan mengkaji Alquran secara mendalam melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang alam yang berada di sekitar manusia agar manusia menemukan sesuatu yang berharga dari apa yang telah ditetapkan-Nya di dalam Alquran itu sendiri. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 143.

97 Kuatnya akal manusia sehingga mampu membuka ruang yang sebelumnya tertutup serta dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh manusia, menjadikan ‘Abduh yakin manusia mampu mengetahui rahasia-rahasia alam dibalik apa yang telah terlebih dahulu digambarkan di dalam Alquran secara sempurna. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 146. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 146. Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

98 Detlev Khalid menguatkan analisanya dalam melihat pandangan ‘Abduh bahwa pada dasarnya ‘Abduh memegang prinsip antara Alquran dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan. Alquran dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara dalam menunjukkan kebenaran Ilahi. Pandangan inilah yang kemudian menurut Detlev mendorong ‘Abduh untuk menjelaskan kandungan Alquran

75

yang ditawarkan ‘Abduh untuk lebih diperhatikan guna membawa umat Islam keluar dari kondisi masyarakat yang taqlid dan statis.99

Ah}mad Fua>d Ba>tha> menguraikan pandangannya bahwa Alquran yang diturunkan Allah kepada nabi Muh{ammad berperan sebagai kitab bacaan yang harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan diciptakannya alam raya sebagai kitab pengamatan dan penelitian, bertujuan merangsang manusia melalui akal yang didasari ilmu pengetahuan untuk melakukan verifikasi secara mendalam terutama terkait ayat-ayat al-Kauni@yah yang telah digambarkan Allah di dalam Alquran dan antara kedua kitab tersebut mengandung kebenaran yang tidak akan saling bertentangan.100 Bahkan T{ant}a>wi@ Jauhari@ telah memberikan perhatian kusus terhadap pembahasan seperti ini dan berusaha keras menunjukkan hal tersebut dengan menghadirkan kitab tafsir yang secara terang-terangan sarat akan penafsiran-penafsiran dengan tendensi sains.101

berdasarkan relasi yang erat dengan teori-teori ilmiah modern. Detlev Khalid, “Ah}mad Ami@n” dalam Islamic Studies, 11.

99 Menurut ‘Abduh, ada 2 hal yang harus diperhatikan sekaligus juga sebagai solusi dari stagnannya kondisi masyarakat waktu itu yaitu; membebaskan mayarakat dari belenggu taklid dan menanamkan paradigma bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) adalah dua hal yang sejalan dan saling terkait. P. J. Vatikiotis, “Muh{ammad ‘Abduh and the Quest for A Muslim Humanis” dalam Arabica, Vol. 4, No. 1 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4055152, tanggal 27-01-2014, pukul 16.17 WIB), 59.

100 Alquran yang merupakan kitab bacaan dan alam sebagai kitab pengamatan yang antara keduanya tidak akan bertentangan. Justru akan menunjukkan dua kebenaran yang saling terkorelasi, yaitu kebenaran agama dan kebenaran ilmu pengetahuan. Ah}mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@, 2002 M), 31. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Aristoteles bahwa alam adalah wilayah pengmatan atau pengalaman. Michael Esfeld, “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam Jurnal The Review of Metaphysics, Dsember 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09-2013, pukul 00.14 WIB), 323.

101 T{ant}a>wi@ Jauhari@ memeberikan perhatian lebih terhadap ayat-ayat al-Kauniyya>h dalam kitab tafsirnya. Hal ini dikarenakan banyaknya ayat-ayat yang bercerita tentang alam sehingga secara tidak langsung mengajak manusia untuk mengetahuinya yang kemudian menuntut manusia untuk mengikutsertakan sains. T{ant}a>wi@ Jauhari@ menyebutkan bahwa perbandingan antara ayat-ayat al-Kauni@yah dan ayat-ayat Fiqh tidaklah sama. Ayat Fiqh hanya sekitar 150 dan ayat tentang alam ada sekitar 750 ayat. Untuk itu T{ant}a>wi@ berusaha mengkorelasikan tafsirannya dengan berbagai disiplin sains, seperti Agraris, Kedokteran, Pertambangan, Fisika, Arsitektur dan Kelautan. Dengan demikian T{ant}a>wi@ Jauhari@ berharap pembaca

76

Mengenai ayat-ayat yang bercerita tentang fenomena alam, Ah}mad Fua>d Ba>tha> juga menyuguhkan sebuah konsep yang menarik. Baginya, tingkat membaca yang paling baik adalah membaca fenomena-fenomena alam dengan berbagai unsur dan sarananya serta menembus alam teori dan hukum sains. Proses tersebut akan mengantarkan manusia untuk memahami bahwa semua ilmu yang menjadikan alam raya dan fenomenanya sebagai objek secara substansi juga merupakan ilmu yang membahas tentang kekuasaan dan kebesaran Allah. Sains sebenarnya bukan dimaksudkan untuk sains itu sendiri, melainkan juga merupakan sebuah upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan akal manusia yang di dalamnya terkandung dimensi-dimensi keimanan. Sains akan melihat setiap fenomena alam sebagai ayat yang berbicara mengenai kekuasaan serta keesaan Allah. Alquran menjelaskan bahwa seluruh alam raya dengan sifatnya yang nyata merupakan buku sains sekaligus menjadi bukti rasional dari apa yang disampaikan oleh Alquran, oleh karena itu ilmu-ilmu pengetahuan yang terkorelasi dengan seluruh alam nyata menjadi penting untuk diketahui dan dikuasai guna menguak dan memberikan pemahaman akan adanya hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya di dalam dan di balik segala fenomena alam. Hal itulah yang pada akhirnya mengantarkan manusia mengenal Allah secara sempurna yang pada esensinya akan memunculkan dan meningkatkan keimanan yang kuat serta rasa takut akan kebesaran dan kemaha agungan Allah SWT.102 Inilah perbedaan konsep yang ditawarkan Islam dengan

mampu melihat keunikan tersendiri antara sains, makhluk empirik dan Alquran. T{ant}a>wi@ Jauhari@, al-Jawa>hir fi@ Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m, Juz’ I (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-Halabi@, 1350 H), 2-3.

102 Pandangan Ah}mad Fua>d Ba>tha seakan-akan ingin menyampaikan bahwa alam raya merupakan pengejawantahan dari kebenaran Alquran. Sains merupakan sarana yang mampu digunakan untuk mengetahui dan memahami hukum alam yang ada di alam raya. Oleh karenanya sains pun juga diperlukan ketika memahami kandungan ayat-ayat Alquran. Ah}mad Fua>d Ba>tha>, Rah{i@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n, 30-34. Sebagaimana yang dijelaskan P. Lipton bahwa posisi pengalaman dan pengamatan indrawi tetap sebagai sumber pokok dari pengetahuan manusia. George Bealer dan P. F. Strawson, “The Incoherence of Empiricism” dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol 66 tahun 1992 (Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and%20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB), 105. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

77

konsep yang disuarakan Materialisme murni yang semakin hari semakin menjadikan pengikutnya kering dari nilai-nilai spiritualitas.103

Seiring perkembangan dan keberhasilan ilmu-ilmu alam (sains), terutama sains modern dalam menemukan fakta-fakta baru tentang alam raya, seiring itu juga ilmu-ilmu alam (sains) mampu memainkan peran sebagai salah satu faktor pendukung ijtihad dalam menguasai alam raya untuk menampakkan makna-makna baru dari apa yang disampaikan Alquran serta menunjukkan sisi-sisi kemukjizatan Alquran yang sebelumnya masih tersembunyi dari pengetahuan dan pemahaman manusia.104 Agus Purwanto berpandangan bahwa setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains selalu berpijak kepada tiga pilar utama, yaitu Ontologis, Aksiologis dan Epistemologis. Dalam konteks ke-Islaman ketiga pilar tersebut hendaklah dibangun berdasarkan prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la> ila>ha illalla>h dan terdeskripsi di dalam rukun iman dan rukun Islam sehingga suatu ilmu tersebut layak untuk disebut sebagai sains Islam. Agus Purwanto juga menyebutkan bahwa tujuan sains Islam adalah untuk mengenal sang pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya dan mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan tuhan. Selain itu sains Islam juga bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesaling hubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi, karena mengenal alam dan hukum setiap spesies adalah wujud berarti mengenal Islam sehingga membawa sang ilmuwan menjadi lebih dekat dengan sang pencipta. Pemahaman ini adalah refleksi Epistemologis Islam bagi seorang ilmuwan dimana Alquran dengan prisnsip-prinsip sains yang dikandungnya mampu menjadi pengantar manusia kepada suatu pengetahuan.105

103 Sebagaimana yang disebutkan Ahmad Mahmud Sulaiman bahwa seiring

perkembangannya, Materialisme semakin hari semakin mendapatkan dirinya sangat membutuhkan nilai-nilai spiritual akibat kegagalannya mencapai kebahagiaan manusia karena semakin materialistis suatu Negara maka akan semakin memperlebar jarak untuk meraih kebahagiaan dan akan memperumit hubungan manusia. Bahkan menurut Ahmad Mahmud Sulaiman, kegagalan kaum Materialisme untuk menguak rahasia dan misteri alam semesta justru menyadarkan umat Islam untuk melihat dan meyakini terdapatnya suatu kekuatan besar dan utama yang telah mengukuhkan alam semesta ini. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains Mengungkap Berita-Berita Ilmiah al-Quran, Penerj; Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 13-14.

104 Ah}mad Fua>d Ba>tha>, Rah{i@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n, 38. 105 Agus Purwanto menyebutkan bahwa secara umum ada tiga pilar ilmu

pengetahuan yaitu Ontologis yaitu berkaitan dengan objek dari ilmu pengetahuan,

78

Perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan (sains) memang telah banyak menunjukkan berbagai manfaat yang positif. Meskipun demikian tidak sertamerta kemudian menyatukan persepsi dari seluruh umat Islam dalam memfungsikan ilmu-ilmu alam (sains) guna membantu mufasir memahami ayat-ayat Alquran. Bahkan adu argumentasi kerap mewarnai pertikaian pandangan antara kaum pembaharu (modernis) dengan ulama lain yang telah memakan waktu lama. Misalnya penolakan Abu> Hayya>n al-Andalusi@ terhadap tafsir ‘Ilmi yang menganggap bahwa hal itu dapat menjadikan penafsiran terhadap ayat keluar dari metode dan esensi yang dimaksud dalam ayat itu sendiri.106 Begitu juga dengan al-Sha>t}ibi@ yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang melampaui batas dalam memberikan klaim terhadap Alquran.107 Berbeda halnya dengan ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@ yang berpandangan bahwa ajakan Alquran adalah ajakan ilmiah. Selain menyuruh memperhatikan wahyu yang tertulis, Allah juga menyuruh untuk memperhatikan wahyu yang tampak, yaitu alam. Merkipun ayat-ayat al-Kauni@yah tidak secara terbuka dialamatkan khusus bagi para ilmuwan, namun merekalah yang sebenarnya diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat al-Kauni@yah karena mereka memiliki sarana dan kompetensi yang lebih dibidang ilmu-ilmu alam.108 Bahkan Ah{mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi@ secara terang-terangan mengakui bahwa dalam menulis karya tafsirnya, al-Mara>ghi@ telah memanfaatkan sudut pandang berbagai disiplin ilmu-ilmu alam modern (sains) dalam sebagian tafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran guna menunjukkan korelasi yang erat antara Alquran dengan ilmu-ilmu lain (sains) sekaligus dalam rangka menghasilkan penafsiran yang

Aksiologis yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu pengetahuan itu dibangun dan di rumuskan (nilai dari ilmu pengetahuan), dan yang terakhir Epistemologis yaitu berkaitan dengan bagaimana mencapai sebuah pengetahuan. Ketiga pilar tersebut berlaku umum sehingga sulit membedakan antara sains Islam dan sains modern (Barat). Sain tersebut baru menjadi sains Islam ketiga ketiga pilar tersebut dibalut dengan nilai dan semangat yang dilandasi dengan tauhid. Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi al-Quran yang Terlupakan (Bandung: Mizan, 2008), 188-193.

106 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi al-‘As}r al-Rahin, 295-296.

107 Menambah ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu dan ilmu-ilmu mutakhir seperti ilmu Eksakta, Arsitektur, filsafat logika dan sebagainya ke dalam tafsir Alquran dianggap al-Shat}ibi@ sebagai tindakan yang melampaui batas. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi al-‘As}r al-Rahin, 300.

108 ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@, Al-Bida>yah fi al-Tafsi@r al-Maud}u>’i@, 35-36.

79

lebih mendekati kebenaran secara realitas dan dapat dibuktikan dalam konteks kekinian (berdasarkan sains modern).109

Pervez Hoodbhoy secara umum memandang bahwa konflik antara kaum pembaharu (modernis) dan muslim ortodoks sebenarnya hanya dipicu oleh satu masalah yang mendasar yaitu anggapan seputar sains sebagai suatu pencapaian yang sekuler. Dalam pandangan Pervez Hoodboy, sifat sekuler sains bukan berarti sains tidak perlu mengakui keberadaan tuhan. Tetapi dalam sains, keabsahan kebenaran ilmiah itu sendiri tidak bersandarkan pada segala bentuk wewenang spiritual. Pengamatan dan percobaan adalah wasit tunggal yang memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Para ilmuwan memiliki kebebasan menganut suatu agama secara fanatik, namun sains tidak mengakui barometer satu hukumpun di luar hukumnya sendiri.110 Ahmad Mahmud Sulaiman juga menegaskan bahwa satu-satunya perbedaan antara agama dan penelitian ilmiah adalah bahwa agama berlandaskan kepada iman, sedangkan penelitian ilmiah berlandaskan kepada penyelidikkan. Meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, tetap saja antara keduanya tidak terdapat pertentangan. Bisa saja sesuatu hal yang diberitakan Alquran terlihat tidak masuk akal pada satu waktu, namun secara perlahan dan seiring berjalannya

109 Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi@ ingin menunjukkan bahwa penafsiran

Alquran tidak hanya terkait dengan ilmu-ilmu bahasa, Fiqh dan Tauhid, namun juga memiliki korelasi yang erat dengan disiplin ilmu-ilmu alam (sains) lainnya. Untuk itulah dalam menulis karya tafsirnya al-Mara>ghi@ berkonsultasi dengan para ahli di bidang sains (seperti para ahli di bidang Kedokteran dan ilmu Astronomi dan lain sebagainya) untuk mengetahui perkembangann ilmu pengetahuan serta untuk mendukung pemahaman isi Alquran agar penafsiran yang dihasilkan semakin mendekati kebenaran realitas sesuai dengan konteks kekinian. Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi@, Tafsi@r al-Mara>ghi@, Juz’ I (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{alabi@, 1325 H / 1946 M), 17.

110 Kaum tradisionalis yang cenderung antipati terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan berusaha menjaga jarak dengan sains. Hal itu mereka lakukan guna memelihara Islam dari pengaruh yang merusak serta sekuler. Anggapan inilah yang selalu bertentangan dengan pandangan serta cara pikir kaum pembaharu atau modernis sehingga mereka saling beradu argumentasi dalam waktu yang cukup lama, bahkan sejak seribu tahun yang lalu. Bagi kaum modernis, perkembangan ilmiah dan ideologi semakin terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kaum modernis berusaha meminimalisir dan mendamaikan pertentangan antara sistem metafisika yang berdasarkan iman dan kemapuan akal dengan sistem keingintahuan yang didasarkan unsur empiris. Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Penerj; Sari Mutia (Bandung: Mizan, 1996), 24-25.

80

waktu, kebenarannya sedikit demi sedikit mulai terkuak.111 Sedangkan menurut H{anafi@ Ah{mad sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@ menyebutkan bahwa hal lain yang juga menjadi penyebab penentangan memahami Alquran melaui ilmu pengetahuan (sains) adalah kuatnya mainstream akidah sebagian umat Islam sehingga hanya memandang Alquran semata-mata sebagai petunjuk dan penuntun yang tidak memiliki korelasi dengan teori ilmu-ilmu alam.112

Dalam pandangan M. Quraish Shihab, relasi antara Alquran dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalam Alquran dan juga bukan dengan menunjukkan kebenaran dari teori-teori ilmiah, melainkan antara ilmu pengetahuan terhadap Alquran selayaknya diletakkan dalam proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran serta dengan logika ilmu pengetahuan.113 Lebih lanjut M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ilmu pengetahuan dengan sifatnya yang tidak mengenal kata kekal atau selesai, bekerja dalam porsinya sebatas melihat atau menilik dan bukan menetapkan. Ilmu pengetahuan hanya mewadahi manusia untuk melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang ilmuwan yang memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan.114 M. Quraish Shihab memberikan rambu-rambu yang

111 Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, 12-13. 112 ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi al-Tafsi@r al-Maud}u>’i@, 38. 113 Korelasi antara ilmu pengetahuan dengan Alquran dipahami M. Quraish

Shihab bukan dengan melihat sejauh mana teori-teori ilmiah tersebut ada di dalam Alquran. Misalnya melihat teori relativitas, teori terkait luar angkasa atau teori terkait dengan ilmu Komputer dan imu-ilmu lainnya. Namun yang terpenting yang harus diperhatikan adalah menunjukkan bahwa terhindarnya jiwa yang dikandung dan diusung oleh ayat-ayat yang ada di dalam Alquran yang kontradiktif dengan semangat kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 41-42.

114 Teori-teori ilmiah dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan memiliki sifat yang tidak kekal serta relatif, artinya di sini selalu mengalami perubahan dan perkembangan serta perbedaan seiring temuan-temuan baru dan perbedaan cara pandang dari ahlinya. Misalnya adanya teori bahwa Bumi itu datar pada masa dahulu, dibantah oleh temuan berikutnya yang menghasilkan teori bahwa Bumi itu bulat, dan teori tersebut juga dibantah oleh teori yang ditemukan kemudian yang menyatakan bahwa Bumi berbentuk lonjong. Dari sini dipahami bahwa kemungkinan kebenaran berdasarkan daya nalar dan hitung-hitungan logika manusia belum tantu memiliki kesesuaian yang mutlak benar dengan realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, sifatnya yang tidak kekal dan relatif dari ilmu pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang akan dan bisa menetapkan maksud dari sesuatu,

81

tegas bahwa sesuatu kekeliruan jika seseorang membenarkan dan menyalahkan teori-teori ilmiah yang ditemukan dengan menggunakan ayat-ayat Alquran. Artinya di sini adalah Alquran bukanlah sebagai hakim pembenaran atas kebenaran atau kesalahan dari teori-teori ilmiah yang ditemukan seseorang, namun yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan adalah memanfaatkannya dalam konteks pengamalan dan pembelajaran guna membantu memahami arti ayat-ayat Alquran tanpa menjadikannya sebagai maksud mutlak dari ayat-ayat tersebut.115

Sejalan dengan M. Quraish Shihab, ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi@ juga menegaskan bahwa pengkajian Alquran melaui pendekatan ilmiah diperbolehkan sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat dan tidak memperkosa lafaz-lafaznya dan si mufasirpun tidak memaksakan diri secara berlebihan untuk mengeluarkan makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Penentuan arti ayat harus berpijak pada aturan kebahasaan serta harus tetap berada di dalam lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz ayat tanpa melakukan pengurangan dan penambahan.116 Meskipun demikian, hal itu tidak menghalangi ilmu-ilmu alam (sains) untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah teologis dan memberikan ruang yang lebih lapang dalam membentuk sebuah konsepsi pemahaman seseorang ketika berinteraksi dengan Alquran sebagai sumber wacana dan diskursus teologis. Bahkan Amin Abdullah memandang pentingnya hal itu dilakukan.117 Mengabaikan hal tersebut justru akan menimbulkan kegersangan rasa dan nilai terhadap konsep yang terlahir dari penggalian sumber utama yang sebenarnya kaya akan saripati kebaikan serta menjadikan diskursus teologis menjadi jauh dari gerak dinamis seiring

melainkan hanya sebatas melihat dan mengungkapkan sisi-sisi yang dapat diketahui. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 44-46.

115 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 56-57. 116 ‘Abd al-H{ayy al-Farma>wi, al-Bida>yah fi al-Tafsi@r al-Maud}u>’i@, 40-41. 117 Polarisasi yang begitu tajam antara tradisi idealis dan tradisi empiris di

wilayah peta pemikiran Islam klasik dan kontemporer merupakan salah satu sebab dari sekian sebab mengapa pemikiran Islam begitu kurang peduli terhadap realitas ayat-ayat al-Kauni@yah dan ayat ayat lain di dalam Alquran. Bentuk polarisasi antara kedua tradisi yang seharusnya perlu bergerak dinamis, tetapi di dalam dunia pemikiran Islam lebih banyak bergeser ke wilayah pemikiran idealis-normatif dan berhenti sampai di situ. Pemisahan ilmu agama dan ilmu umum lainnya (ilmu alam dan ilmu sosial) akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan tersendiri dalam tatanan hidup peradaban umat Islam. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 58-59.

82

perkembangan dan kemajuan serta kompleksitas permasalahan dalam ruang lingkup peradaban manusia dari waktu ke waktu.

83

BAB IV

TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK

Dalam melihat tafsir Positivistik sebagai sebuah nuansa tafsir yang muncul di era modern, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diulas lebih dalam di antaranya basis dan karakteristik dari tafsir Positivistik yang diterapkan Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma dengan tujuan melihat bagaimana ‘Abduh menjadikan pengetahuan dan fakta-fakta temuan sains modern yang dijadikan sebagai landasan penafsirannya sehingga tafsir yang dihasilkan terkait alam semesta dan fenomenanya sarat dengan nilai-nilai ilmiah sains modern. Sedangkan pengulasan karakteristik dari tafsir Positivistik ‘Abduh, bertujuan untuk melihat kecenderungan-kecenderungan yang sering muncul dalam penerapan tafsir Positivistik ‘Abduh. Selain itu, pada bab ini juga akan diulas urgensi dari tafsir Positivistik sehingga ‘Abduh menjadi tertarik untuk menerapkan model tafsir dengan nuansa Positivistik. A. Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

Muh}ammad ‘Abduh sebagai salah seorang modernis Islam, telah berusaha menggiring wacana umat Islam ke arah pembaharuan tafsir yang mengadopsi sebagian pemikiran Barat modern untuk diaplikasikan ke dalam penafsiran Alquran.1 Salah satu tokoh yang mendapat perhatian ‘Abduh adalah Auguste Comte dan filsafat

1 Rotraud Wielandt berpendapat bahwa sebagian modernis Islam abad 18

yang terkesan dengan perkembangan pemikiran dan peradaban Barat modern, berupaya mengadopsi esensi dari pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada saat itu untuk diterapkan sebagai metode atau pendekatan dalam menafsirkan Alquran. Mengenai Muh{ammad ‘Abduh, Rotraud Wielandt berpendapat bahwa ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Inilah yang menyebabkan munculnya penafsiran bertendensi ilmiah. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127. Meskipun demikian, kebolehan penggunaan sains itu sendiri dalam penafsiran Alquran masih diperdebatkan. Nor Syamimi Mohd Dkk. “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06-2014, pukul 20.07 WIB. 237-239.

84

Positivismenya.2 Dalam filsafat Positivisme, ilmu pengetahuan alam modern (sains) memiliki peran yang urgen, terutama dalam membentuk deskripsi dan pembenaran setiap proposisi yang berkaitan dengan fenomena alam empiris.3 Positivisme telah membatasi ruang lingkup kajiannya pada segala sesuatu yang terdapat dalam wilayah empiris. Positivisme berusaha menjadikan proposisi untuk ditinjau dan dijelaskan secara empiris dan ilmiah. Ilmiah dalam konteks Positivisme adalah menjadikan analisis dan fakta-fakta sains modern sebagai landasan dalam mendeskripsikan sebuah proposisi.

Model penafsiran yang diterapkan ‘Abduh pada sebagian ayat dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, setidaknya menunjukkan indikasi kemiripan dengan model deskripsi proposisi filsafat Positivisme. Dalam penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat fenomena alam, terkesan telah melandaskan penafsirannya secara

2 Analisis ini dikuatkan oleh keterangan Ignaz Goldziher yang menyebutkan

bahwa ‘Abduh telah menggiring wacana umat Islam untuk tidak lagi menafsirkan Alquran dengan menggunakan perangkat pemikiran filosof klasik Yunani dan India seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya. Justru ‘Abduh lebih menekankan umat Islam untuk memperhatikan dan mengkaji wacana-wacana baru yang dibawa oleh filosof-filosof Prancis, Jerman dan Inggris pada masa itu. Salah satu nama filosof modern yang disebutkan oleh Ignaz Goldziher yang mendapat perhatian dari ‘Abduh adalah Auguste Comte yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme. Filsafat Positivisme ini kemudian berkembang pesat yang tidak hanya di Eropa, namun juga masuk ke daerah-daerah di luar Eropa. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@m al-Naja>r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376. Detlev Kha>lid juga menyebutkan bahwa ‘Abduh juga sempat bersentuhan dengan pemikiran Herbert Spencer yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pendukung Positivisme. Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.

3 John Stuart Mill menjelaskan bahwa Auguste Comte begitu terobsesi menjadikan filsafat Positivismenya mampu mensistematisasikan secara lengkap dan menyebarkan pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. Menurut Ernest March, substansi science atau ilmu-ilmu alam merupakan deskripsi dari pengalaman manusia, dan tentunya berada dalam wilayah empiris. Oleh karena itu Positivisme menganggap penting penggunaan sains sebagai barometer tinjauan dan pembenaran dalam menjelaskan dan melihat sesuatu. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2 dan Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan (Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.05 WIB), 1.

85

umum kepada fakta-fakta dan analisis sains modern. ‘Abduh terlihat berusaha menjadikan fakta dan analisis sains modern sebagai basis tafsirnya4 terhadap ayat-ayat tentang alam sehingga ‘Abd Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh}tasi@b menilai penafsiran ‘Abduh merupakan penafsiran ilmiah yang sarat dengan fakta-fakta temuan sains modern.

Penafsiran ‘Abduh yang dinilai bernuansa Positivistik dalam konteks penelitian ini bukan bermakna bahwa konteks realitas yang dibicarakan oleh ayat merupakan suatu kejadian yang telah terjadi pada masa lampau atau telah terjadi secara berulang-ulang. Namun, nuansa tafsir Positivistik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah upaya yang dilakukan ‘Abduh untuk menafsirkan secara positif ayat-ayat yang berbicara dalam konteks fenomena-fenomena alam dimana di dalamnya mengandung ruang yang dapat dijelaskan secara positif (berdasarkan analisis terhadap rangkaian pola empiris serta realitas sains dan mungkin dengan objek yang berbeda), meskipun dari segi waktu kejadian, ayat tersebut bisa saja telah terjadi atau akan terjadi. Ketika sebuah ayat yang bercerita tentang fenomena alam (baik itu yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi) dan kemudian ditafsirkan ‘Abduh dengan penjelasan yang sarat memuat fakta empiris dan analisis sains modern, maka itulah wujud dari tafsir Positivistik ‘Abduh. Menggiring penafsiran ke arah tendensi positif dari sebuah ayat yang pada dasarnya dapat ditafsirkan dengan penafsiran lain (seperti penafsiran bernuansa Rasionalisme-teologis), merupakan ciri umum dari tafsir Positivistik. Dari sekian banyak ayat-ayat tentang fenomena alam yang ditafsirkan ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, setidaknya terdapat beberapa

4 Fauzi M. Najjar nampaknya juga memiliki argument yang berkaitan atau

bahkan menguatkan hal tersebut. Fauzi M. Najjar menyebutkan bahwa dalam menanggapi kemajuan dan pengaruh Barat, umat Islam secara umum terbagi ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok Revivalis (menolak kemajuan modern dalam beragama), kelompok Liberal (memisahkan agama dari unsur-unsur kehidupan bernegara) dan kelompok Modernis (yang menyatakan agama sesuai dengan perkembangan modernisasi budaya). Salah satu tokoh yang begitu getor menyuarakan pemikiran ini adalah Muhammad ‘Abduh yang berusaha mengintegrasikan perkembangan dan kemajuan peradaban Barat dalam sisi-sisi budaya dan pemikiran umat Islam. Fauzi M. Najjar, “Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida by Malcolm H. Kerr” dalam The American Political Science Review, Vol. 62, No. 3. 1968 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/1953452.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 17.09 WIB), 972.

86

penafsiran yang menunjukkan indikasi bahwa fakta dan analisis sains modern yang empiris menjadi basis penafsiran Muh{ammad ‘Abduh.

1. Kehancuran Langit.

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang fenomena langit seperti yang terdapat dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1. Secara umum ketiga ayat tersebut menggambarkan kondisi terjadinya hari kiamat. Mengenai ayat-ayat ini, Muh{ammad ‘Abduh telah memberikan penafsiran yang cukup menarik. Misalnya mengenai lafazh وفتحت السماء dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, ‘Abduh menafsirkannya dengan kacaunya tatanan planet-planet serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur-jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Maka itulah kehancuran alam atas (langit) sebagaimana hancurnya alam bawah (bumi).5 Penafsiran yang senada juga terlihat ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 ( طرتاذا السماء انف ) sebagai kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak lagi seperti yang disaksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. Bahkan lebih dalam lagi ‘Abduh mengaitkan tafsiran surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a>r (82) ayat 2 (وإذا الكواكب انتثرت) bahwa dengan bertabrakkannya planet-planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a>r (82)

5 Dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh telah

memberikan tafsirannya bahwa “dibukanya langit” sama dengan apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat lain seperti “apabila langit terbelah” atau “ingatlah ketika langit terbelah dan mengeluarkan kabut”, bahwa pada hari itu tatanan planet-planet menjadi kacau serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet tersebut sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur-jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma (Kairo: al-Ami@ri@yah, 1322 H), 5.

87

ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”.6 Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1( نشقتء اامإذا الس ) sebagai rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki hancurnya alam. Kehancuran tersebut misalnya disebabkan oleh salah satu sebab yaitu apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan menimbulkan (gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga mengacaukan tatanan tata surya secara keseluruhan.7

Dalam karya yang lain ‘Abduh sempat menjelaskan gagasan yang sama terkait persoalan tata surya bahwa keterkaitan antar bintang-bintang yang ada di alam beserta kadar geraknya, tunduk terhadap suatu aturan tersendiri yang membuat bintang-bintang tersebut tetap berada pada tempatnya. Kemudian peredaran bintang itu sendiri yang mengikuti alur yang teratur berdasarkan garis edarnya, menunjukkan bintang-bintang tersebut bergerak berdasarkan hukum alam. Jika bintang-bintang itu sedikit saja keluar dari keteraturannya mengikuti garis edar, maka hilanglah keteraturan alam yang berakibat pada hancurnya seisi alam.8 Jadi tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1, secara umum ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet yang berakibat hancurnya seluruh benda-benda langit.

Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh nampaknya berbeda dengan penafsiran yang dihadirkan oleh al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@

6 Mengenai surat al-Infit}a>r (82) ayat 1, ‘Abduh menafsirkannya dengan

kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak lagi seperti yang di saksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. ‘Abduh juga mengaitkan penafsiran surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a>r (82) ayat 2 bahwa dengan bertabrakkannya planet-planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a>r (82) ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 33.

7 Mengenai surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1, ‘Abduh mnyebutkan bahwa “terbelahnya langit” yaitu rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki hancurnya alam, seperti apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan (menimbulkan gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga mengacaukan tatanan tata surya secara keseluruhan. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 49.

8 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 35.

88

yang masing-masingnya dikenal sebagai ulama tafsir dengan kecenderungan al-Ma’thu>r, rasional dan bertendensi rasional Mu’tazilah. Misalnya seperti al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan terbelahnya langit, kemudian retak sehingga menjadi jalur-jalur atau langit itu terbuka sehingga menjadi pecahan-pecahan seperti potongan kayu yang dipakai untuk pintu rumah dan tempat tinggal.9 Sedangkan al-Ra>zi@ menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan terbukanya pintu surga sebagai jalan untuk turunnya malaikat dan terbukanya langit tidak sampai menyebabkan langit itu terbelah atau bisa juga bermakna terbukanya seluruh pintu-pintu yang ada di langit.10 Kemudian mengenai surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 al-Ra>zi@ memberikan tafsiran jika langit bergoncang maka jatuhlah seluruh bintang-bintang ke bumi.11 Begitu juga dengan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan menyebutkan bahwa nanti akan terdapat banyak pintu-pintu yang terbuka di langit untuk turunnya malaikat, seolah-olah di langit yang ada hanya pintu-pintu.12

Jika dianalisa secara lebih dalam dari sudut pandang sains, penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 sebagai tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet, secara tidak langsung menunjukkan keluasan pengetahuan ‘Abduh tentang teori peredaran planet dalam tata surya yang tentunya berkaitan erat dengan ilmu Astronomi dan Fisika dimana para filosof serta ilmuwan telah terlebih dahulu membahasnya jauh sebelum ‘Abduh menyebutkan hal ini. Ian Stewart menyebutkan bahwa teori tentang peredaran planet di ruang tata surya pertama kali muncul pada tahun 1300 M dari seorang filosof asal Persia bernama Najm al-Katibi yang dikenal dengan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat planet). Meskipun pada masa ini kemunculan teori tersebut belum mencapai tingkat kematangan, namun cukup berhasil mempelopori dan merangsang Nicolaus Copernicus pada tahun 1543

9 Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n, Juz 24 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 19-20.

10 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’ 31 (Kairo: Da>r al-Fikr, 1981 M), 12.

11 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’ 31, 77.

12 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6 (Riya>d{: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998), 299.

89

M untuk mematangkan teori peredaran planet bahwa posisi bumi bukanlah berada di tengah-tengah benda-benda lain. Pada tahun 1609 M barulah Johannes Kepler mulai memecahkan teka-teki peredaran planet-planet (bintang) dengan mengeluarkan 2 hukum. Hukum pertama mengatakan bahwa semua planet bergerak secara elips dengan matahari sebagai pusat edar dan hukum kedua mengatakan bahwa setiap planet bergerak melintasi orbitnya dengan sedemikian rupa dan kembali melewati orbit yang sama. Teori inilah kemudian memunculkan sebuah penemuan besar tentang filsafat alam pada tahun 1687 M oleh Isaac Newton yang kemudian dikenal dengan hukum gravitasi.13 Dalam hukum gravitasi Newton disebutkan bahwa dua benda akan saling tarik menarik dengan kekuatan yang sebanding serta dengan massa dan jarak yang berbading terbalik antara kedua benda tersebut.14 Benda-benda (planet) tersebut bergerak secara bersamaan di sekitar pusat gravitasi dalam orbit elips.15 Hal ini terdengar cukup bertentangan dengan teori Ptolemy sebagaimana yang berkembang antara tahun 500-1450 M, bahwa bumi dianggap sebagai suatu bidang

13 Lebih dari 300 tahun yang lalu Newton telah mencoba merumuskan teori

gravitasi ke dalam rumus-rumus matematika dan dari hukum-hukum yang tersistematis tersebut sampai saat ini belum ada seorangpun yang sanggup membantah hukum gravitasi Newton dengan hukum baru yang lebih diakui kebenarannya. I. Peterson, “Taking the Measure of Newton's Gravity Law” dalam Science News, Vol. 142, No. 14, 1992 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4017931.pdf, tanggal 24-06-2014, pukul 23.10 WIB), 215.

14 I. Bernard Cohen, “ Newton's Third Law and Universal Gravity” dalam Journal of the History of Ideas, Vol. 48, No. 4. 1987 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2709688.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 20.20 WIB), 574.

15 Ian Stewart menyebutkan bahwa Najm al-Katibi pertama kali mulai memberikan perhatian kusus tentang tata surya dan sempat mengeluarkan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat planet) meskipun Najm al-Katibi sendiri sempat berubah pikiran tentang teorinya. Beranjak dari konsep yang dikemukakan oleh Najm al-Katibi inilah kemudian memunculkan konsep-konsep besar lainnya dari beberapa tokoh yang kemudian cukup dikenal, terutama di kalangan para Astronom, seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler dan Isaac Newton. Ian Stewar, “Riddle of the Wandering Stars” dalam Jurnal New Statesman, April 2012, (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1010584593?accountid=25704, tanggal 29-10-2013, pukul 08.42 WIB), 34.

90

datar dan tidak bergerak. Selain itu, bumi juga dianggap sebagai pusat semesta dimana seluruh benda-benda langit mengedarinya.16

Pada dasarnya, planet-planet yang memiliki bentuk bulat, hanya memiliki 2 jenis gerak yaitu gerak translasi yang berupa perpindahan posisi dalam ruang, dan gerak berputar atau rotasi yang dapat terjadi di tempat yang sama tanpa perubahan posisi dalam ruang.17 Selain itu Nadiyah Tharayyarah menyebutkan bahwa adanya gaya gravitasi yang menyertai pergerakan planet dalam orbitnya merupakan bagian dari ketetapan Allah dimana gaya gravitasi itu sendiri berfungsi untuk mengendalikan sisi-sisi semesta dan berhubungan dengan orbit atau ruang hampa serta massa dan energi.18 Gaya gravitasi dan kontra gravitasi yang terjadi itulah yang akan mengatur pergerakan planet-planet di dalam orbitnya sehingga planet-planet tersebut tetap beredar pada poros dan jalurnya masing-masing.19 Itulah yang menyebabkan pergerakan planet-planet di tata surya begerak dalam bidang elips (melengkung) dan tidak mengenal garis lurus.20 Gerakan berputar secara terus menerus yang kemudian

16 Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains Mengungkap Berita-Berita

Ilmiah Alquran, Penerj: Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 31. 17 Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Alquran yang Terlupakan,

(Bandung: Mizan, 2008), 219. Sedangkan menurut Newton Garver, Johanes Kepler justru membagi gerak planet kepada tiga bagian yang salah satu di antaranya adalah bahwa setiap planet bergerak dalam bidang elips mengelilingi matahari dengan matahari sebagai pusat edar. Newton Garver, “What Theory Is “ dalam Journal of Folklore Research, Vol. 45. No.1. 2008 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40206965.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tangga 12-04-2014, pukul 22.34 WIB), 65.

18 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam al-Quran Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah, Penerj. M. Zaenal Arifin dkk (Jakarta: Zaman, 2013), 332. R. Monastersky juga menunjukkan bukti adanya gaya gravitasi pada tiap-tiap planet. Misalnya saja pada bumi, ketika dilakukan penggalian yang semakin dalam ke arah inti bumi, maka akan ditemukan gaya tarik gravitasi yang semakin kuat. R. Monastersky, “Newton's Gravity Law May Take a Fall” dalam Science News, Vol. 134 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/3972808.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 23-05-2014, pukul 22.09 WIB), 85.

19 Ah}mad Fua>d Ba>tha> menjelaskan bahwa setiap benda-benda langit mempunyai garis edarnya, baik itu bintang-bintang (planet), bulan, komet dan beberapa benda-benda angkasa lainnya, beredar pada garis edar yang telah ditetapkan Tuhan. Pergerakan ini menggabungkan antara kekuatan gerak alam dengan kemahabesaran serta kekuasaan Allah. Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@, 2002 M), 70.

20 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 345-347.

91

memunculkan dorongan dari pusat (kontra gravitasi) yang menyeimbangkan kekuatan gravitasi. Dari putaran yang tiada henti itulah kemudian timbul keseimbangan gerak dari planet-planet yang ada di tata surya. Ketika gaya gravitasi itu hilang, terutama gaya gravitasi pusat (matahari sebagai kontra gravitasi), maka hal itu akan berakibat pada beredarnya planet-planet di luar jalurnya yang akan menyebabkan terjadinya tabrakan antar planet.21 Ketika seluruh planet bertabrakan dalam skala besar, maka besar kemungkinan seluruh planet akan hancur sehingga ruang angkasa menjadi kosong dari planet dan bintang-bintang. Jika dikaitkan antara realita-realita sains dengan penafsiran ‘Abduh, mungkin ada benarnya penafsiran ‘Abduh bahwa “terbelahnya langit” dipahami sebagai tabrakan antar planet. Namun secara substansi, ‘Abduh telah melandaskan penafsiran tentang “terbelahnya langit” dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 kepada realitas dan analisis sains tentang teori tarik menarik (gaya gravitasi) antar planet dan peredarannya sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Astronomi dan Fisika.

2. Proses Metabolisme Tanaman.

Dalam surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-2722 Allah telah menjadikan tanaman sebagai objek pembicaraan. Dalam beberapa ayat tersebut Allah mengungkapkan isyarat-isyarat umum tentang rangkaian proses metabolisme tanaman, mulai dari diturunkannya hujan, kemudian dibelahnya bumi, dan ditumbuhkannya biji-bijian. Mengenai ketiga ayat tersebut, dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma ‘Abduh telah menafsirkannya dengan menyebutkan bahwa ketika Allah telah mencurahkan air hujan dengan curahan yang deras, kemudian Allah membelah tanah dengan sebaik-baiknya seperti kondisi tanah setelah diairi, atau seperti tanah yang telah dibajak manusia dengan tangan ataupun dengan alat-alat (tertentu) yang menyebabkan udara dan cahaya matahari masuk ke dalamnya sehingga

21 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 360-361. 22 Surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27:

$Ρr& $ uΖö;t7|¹ u™!$ yϑø9 $# ${7|¹ ∩⊄∈∪ §ΝèO $uΖ ø)s)x© uÚö‘F{$# $y)x© ∩⊄∉∪ $uΖ ÷Kt7/Ρr'sù $pκÏù ${7ym ∩⊄∠∪

Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.

92

tanah tersebut siap untuk ditanami dan kemudian menumbuhkan tanaman.23 Tanaman tersebut akan menyerap zat-zat tertentu yang dibutuhkannya dari tanah untuk proses hidupnya.24

Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terkait surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27, cukup berbeda dengan penafsiran al-T{abari@ dan al-Zamakhshari@. Terkait surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27. Al-T{abari@ menjelaskan tafsirannya bahwa ketika (Allah) benar-benar menurunkan hujan ke bumi, lalu kemudian (Allah) membelah bumi melalui tumbuh-tumbuhan dan barulah kemudian ditumbuhkan biji-bijian yang akan keluar dari bumi seperti gandum dan sejenisnya.25 Sedangkan al-Zamakhshari@ menafsirkan bahwa ketika Allah menurunkan hujan dan kemudian membelah tanah. Terbelahnya tanah dapat dilihat dari adanya hewan yang menggarap tanah, dan kemudian baru tumbuh tanaman seperti gandum atau sejenisnya.26 Membandingkan penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@ dan al-Zamakhshari@ dengan penafsiran ‘Abduh tentang surat ‘Abasa (80) ayat 25-27, maka dapat dianalisa bahwa penafsiran al-T{abari@ lebih mengedepankan sudut pandang dan tendensi teologis, sedangkan penafsiran al-Zamakhshari@ yang sedikit berbeda dibandingkan penafsiran al-T{abari@, masih sebatas penggunaan epistemologi Empirisme. Sedangkan penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh secara umum mengarah pada model pembenaran proposisi dalam filsafat Positivisme dengan menghadirkan penafsiran yang dibangun berdasarkan fakta empiris yang sarat dengan muatan fakta-fakta dan analisis sains modern sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Botani dan Biologi. Analisis ini bukan tanpa alasan karena dalam karya

23 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 20. 24 Dalam karya lain disebutkan ‘Abduh bahwa tanaman mempunyai

kemampuan untuk menyerap zat-zat tertentu yang dibutuhkannya dan membuang zat-zat yang tidak dibutuhkannya dalam proses hidup tanaman. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 35. Lihat juga penjelasan ilmiah Kieko Saito dan Masahiko Ikeda tentang proses penyerapan zat-zat mineral oleh tanaman. Kieko Saito dan Masahiko Ikeda, “The Function of Roots of Tea Plant (Camellia Sinensis) Cultured by a Novel Form of Hydroponics and Soil Acidification” dalam American Journal of Plant Sciences, Vol. 3, 2012 (Diakse dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1019983456?accountid=25704, tanggal 13-05-2014, pukul 04.00 WIB), 647.

25 Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 115-116.

26 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6, 316-317.

93

‘Abduh yang lain, ‘Abduh telah menunjukkan bahwa dia memiliki wawasan pengetahuan tentang ilmu flora dan fauna serta ilmu Botani modern, sehingga tidak heran jika penafsiran yang dihasilkan tidak hanya sekedar empiris, namun juga ilmiah.27

Dalam tinjauan ilmu alam modern (sains), realitas penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terhadap surat ‘Abasa (80) ayat 25-27 tersebut memang memiliki sisi-sisi yang dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan analisa sains. Budiyanto menyebutkan bahwa dalam dunia tumbuh-tumbuhan, terdapat suatu proses pengubahan zat organik menjadi makanan. Proses tersebut diistilahkan dengan fotosintesis yang merupakan penggabungan zat-zat mineral dengan bantuan cahaya matahari.28 Kieko Saito dan Masahiko menyebutkan bahwa tumbu-tumbuhan menyerap air dan berbagai zat mineral dari tanah melalui akar29 yang kemudian diproses beserta karbon dioksida yang diambil dari udara. Dengan bantuan cahaya matahari menjadikan tanaman memiliki energi klorofil yang menyebabkan tanaman mampu memasak makanan dengan sendirinya melaui daun.30

27 Dalam buku Risa>lah al-Tauhi@d ‘Abduh sempat menyuruh pembaca buku

ini untuk memperhatikan alam semesta dan isinya, baik itu langit, bumi, flora dan fauna serta proses hidup manusia sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Astronomi, Botani, Zoologi, sejarah alam dan Kedokteran. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Abduh bukanlah sosok modernis yang buta dan anti terhadap pengetahuan-pengetahuan sains modern. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d, 35-36.

28 Budiyanto, Risalah Alam Semesta dan Kehidupan (Jakarta: G Kreatif, 2006), 70. Pieter J. C. Kuiper juga melakukan penelitian dalam proses fotosintesis tanaman dan membuktikan bahwa beberapa unsur sangat berperan dalam proses tersebut, termasuk unsur air dan beberapa unsur mineral lainnya. Pieter J. C. Kuiper, “Temperature Dependence of Photosynthesis of Bean Plants as Affected by Decenylsuccinic Acid” dalam Plant Physiology, Vol. 40, No. 5. 1965 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4260528.pdf, tanggal 23-05-2014, pukul 12.34 WIB), 915-916.

29 Kieko Saito dan Masahiko Ikeda menyebutkan bahwa secara umum tanaman hidup dengan bergantung pada akar. Akar adalah alat utama untuk memperoleh makanan. Melalui akar, tamanan menyerap dan menyaring zat-zat mineral yang dibutuhkannya sebagai bahan makanan (memasak makanan atau fotosintesis). Namun ada juga beberapa zat yang terdapat di tanah yang tidak dibutuhkan oleh tanaman. Kieko Saito dan Masahiko Ikeda, “The Function of Roots of Tea Plant (Camellia Sinensis) Cultured by a Novel Form of Hydroponics and Soil Acidification” dalam American Journal of Plant Sciences, Vol. 3, 2012 (Diakse dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1019983456?accountid=25704, tanggal 13-05-2014, pukul 04.00 WIB), 647.

30 Budiyanto, Risalah Alam Semesta dan Kehidupan, 70.

94

Nadiyah Tharayyarah juga menjelaskan bahwa dalam proses pertumbuhan tanaman, tanaman mengambil beberapa zat yang dikandung tanah seperti oksigen, hidrogen, karbon, nitrogen, potassium, kalsium dan sebagainya. Tanaman berusaha menyerap air dari tanah dan cahaya dari matahari.31 Jika tanaman tidak mendapatkan air atau zat-zat mineral dari tanah, maka tanaman tidak akan mampu melakukan fotosintesis yang berakibat tanaman menjadi mati.32 Disinilah hikmah Allah dari penciptaan akar pada tumbuh-tumbuhan yang menjadikan akar sebagai struktur utama dalam penyerapan berbagai unsur yang terdapat pada tanah sehingga dalam proses hidup tumbuh-tumbuhan, akar pohon dengan jumlah yang banyak, menancap ke dalam tanah dan menyerap zat-zat yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan dalam memasak makanannya sendiri.33 Menancapnya akar pohon tanaman yang lurus ke dalam tanah mirip seperti sesutu yang membelah bumi dan proses tersebut tidak akan terjadi jika bukan karena kekuasaan dan skenario Allah. Konteks realitas seperti inilah yang dimaksudkan ‘Abduh sekaligus sebagai tafsiran dari firman Allah dalam surat ‘Abasa (80) ayat 26 yang menyebutkan “lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya”.

31 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 654. 32 J. S Boyer telah membuktikannya dengan meneliti proses perkembangan

tanaman dalam ruangan tertutup yang tidak mendapat asupan air yang cukup dengan tanaman yang berada di alam terbuka yang medapat asupan cahaya matahari dan air yang cukup. Hasilnya, tanaman yang mendapat asupan cahaya matahari dan air yang cukup yang mengalami perkembangan yang baik. J. S. Boyer, “Nonstomatal Inhibition of Photosynthesis in Sunflower at Low Leaf Water Potentials andHigh Light Intensities” dalam Plant Physiology (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4262593.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 13-04-2014, pukul 14.35 WIB), 533.

33Ah{mad Fua>d Ba>tha> menjelaskan bahwa struktur tanah juga mempengaruhi perkembangan akar tanaman. Akar akan menancap dalam dan lebih lebih leluasa mencari makanan jika berada pada tanah yang lebih tinggi. Dengan berkembangnya akar dengan baik, maka akan semakin banyak zat-zat makanan (zat organik) pada tanah yang mampu diserap oleh tumbuhan sehingga dengan hal itu tanaman bisa menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@, 2002 M), 138-139. Charles C. Wilson dan kawan-kawan menyebutkan bahwa berkurangnya air yang diserap akar, dapat mengurangi asupan air pada daun sebagai tempat berproses fotosintesis bagi tanaman. Charles C. Wilson dkk, “Diurnal Fluctuations in the Moisture Content of Some Herbaceous Plants” dalam American Journal of Botany, Vol. 40. No. 3 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/2438766.pdf, tanggal 25-05-2014, pukul 11.32 WIB), 97-99.

95

3. Meluapnya Lautan. Dalam surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat

3, secara umum Allah menggambarkan sebuah fenomena dimana fenomena tersebut merupakan fenomena yang terjadi pada hari kiamat, yaitu meluapnya air laut. Mengenai surat al-Takwi@r (81) ayat 6 ( وإذا misalnya, ‘Abduh memberikan tafsiran bahwa yang (البحار سجرتdimaksud dengan “lautan-lautan diluapkan” adalah ketika adanya gempa yang meledakkan batas-batas antar lautan sehingga menjadikan seluruh lautan menyatu. Kata itu juga mengandung makna “penuh” dimana masing-masing lautan akan menjadi amat penuh sehingga menjadikannya (air laut) meluap sebagai akibat dari terputusnya bagian-bagian bumi.34 Begitu juga ketika ‘Abduh menafsirkan surat surat al-Infit}a>r (82) ayat 3 ( البحار فجرتوإذا ) bahwa kata fujjirat bisa saja berarti berkobarnya api di dalam laut dikarenakan naiknya api yang berada di dalam perut bumi dengan menembus lapisan atasnya (kerak bumi). Akibatnya, air yang ada di laut menjadi meluap sehingga di dalam laut tidak ada yang tertinggal kecuali api. Hal itulah yang telah ditunjukkan (fakta) dengan bukti meletusnya gunung-gunung berapi ketika terjadinya gempa bumi yang begitu kuat sehingga terbelahnya tanah dan lautan di beberapa bagian bumi, seperti yang terjadi di daerah Jawa pada beberapa tahun sebelumnya.35

Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh tentang surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3 terlihat berbeda dari gaya penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@. Misalnya al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3 dengan makna penuh hingga meluap dan mengalir,36 atau Allah menjadikan sebagian lautan meluapi sebagian yang lainnya sehingga seluruhnya menjadi penuh.37 Sedangkan al-Ra>zi@ menafsirkan surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dengan berkumpulnya seluruh air laut (pada suatu tempat) sehingga laut itu jadi mengering atau air laut itu tumpah menuju daratan dan naik sampai ke gunung sehingga setelah sampai di gunung maka air laut itu pecah seperti pecahnya

34 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma (Kairo: al-Ami@riyyah, 1322 H), 26-27.

35 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 26-27 dan 33-34.

36 Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 140.

37 Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 174.

96

tanah, maka jadilah bumi menjadi lautan seluruhnya.38 Mengenai surat al-Infit}a>r (82) ayat 3, al-Ra>zi@ menafsirkannya dengan berubahnya kebiasaan air laut dimana sebelumnya air laut itu berada di bawah, namun tiba-tiba berubah menjadi tinggi dengan naiknya air laut ke daratan.39 Begitu juga dengan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3 sebagai suatu keadaan laut yang meluap antara yang satu dengan yang lainnya sehingga kembali kepada satu lautan40 atau membuka suatu bagian dengan bagian lainnya sehingga bercampurlah antara air tawar dan air asin sebagai akibat hilangnya batas antara keduanya sehingga seluruhnya menjadi lautan.41

Jika menganalisa penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@, al-Ra>zi@, al-Zamakhshari@ dan ‘Abduh tentang surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3, terlihat model penafsiran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Penafsiran yang diberikan al-T{abari@ lebih bersifat teologis. Sedangkan penafsiran al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ yang terkesan sedikit berbeda dari al-T{abari@, namun penjelasan yang diberikan masih sebatas deskripsi empiris. Penafsiran ketiga ulama tersebut masih berupa spekulasi umum yang terkesan kering dari unsur-unsur ilmiah yang ditandai dengan penyelidikan dan pengamatan. Sedangkan penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terlihat lebih bertendensi ilmiah dengan deskripsi gaya bahasa yang sarat muatan-muatan sains serta ditunjang oleh fakta-fakta empiris dalam sains itu sendiri.

Dalam tinjauan sains modern, berbagai pakar telah melakukan penelitian tentang lapisan-lapisan bumi. Setidaknya ada tiga bagian besar dari struktur lapisan bumi yaitu lapisan kerak bumi (Crush), lapisan selimut (Mantle) dan inti bumi (Core). Lapisan kerak bumi memiliki bagian paling atas dengan ketebalan rata-rata antara 10-50 km. Ketebalan lapisan ini tidak sama pada semua tempat di permukaan bumi. Yang kedua adalah lapisan selimut (Mantle), merupakan lapisan bagian dalam setelah kerak bumi. Lapisan ini berfungsi untuk

38 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’31, 69.

39 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’31, 78.

40 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6, 321.

41 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6, 329.

97

melindungi lapisan bagian paling dalam (inti) dari bumi. Ketebalan lapisan mantel bumi terbagi dalam tiga bagian, yaitu Litosfer (paling luar dengan ketebalan sekitar 50-100 km), Astenosfer (terletak di bawah Litosfer dengan ketebalan sekitar 100-400 km) dan Mesosfer (bagian paling bawah dari lapisan selimut yang berdampingan dengan inti bumi dengan ketebalan sekitar 2.400-2.750 km). Lapisan bumi yang ketiga adalah inti bumi (Core), merupakan lapisan paling dalam dari Bumi. Inti bumi terbagi dua, yaitu inti luar dengan ketebalan sekitar 2.160 km dan inti dalam dengan ketebalan sekitar 1.320 km.42 Inti bumi mengandung energi panas yang terdiri dari berbagai macam unsur yang dikenal dengan magma.43 Dalam ilmu Volkanologi misalnya, magma yang tersimpan dalam bumi tidak selalu berada di dalam inti bumi. Magma akan naik ke permukaan bumi dengan sebab-sebab tertentu. Secara teori, pergeseran antara magma yang naik melalui pipa-pipa gunung api dengan batuan penyusun tubuh gunung, menjadi penyebab timbulnya gempa.44 Namun penelitian lain juga menyebutkan bahwa salah satu sebab yang menyertai naiknya magma ke permukaan bumi adalah gempa. Hugh Tuffen dan kawan-kawan menjelaskan hasil penelitian mereka45 bahwa gempa yang terjadi pada suatu gunung berapi tertentu meskipun memiliki skala yang kecil akan dapat meningkatkan aktifitas magma yang ada di dalamnya dan menyebabkan magma naik ke permukaan yang kemudian dikenal dengan letusan gunung berapi. Versi lain juga menyebutkan bahwa

42 Moch. Munir, Geologi Lingkungan (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), 43-48.

43 Inti bumi yang dikenal dengan sebutan Magma terletak pada kedalaman 4.000 mil dari permukaan bumi. Magma merupakan batuan cair yang mengandung unsur besi dan nikel dengan suhu yang sangat panas. Nichollas Harris dan Marc Gave, “Journey to the Center of the Earth” dalam Children's Digest, 1999 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/232010800?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 02.24 WIB), 17.

44 Moch. Munir, Geologi Lingkungan, 176. 45 Hugh Tuffen dan kawan-kawan telah melakukan penelitian guna menguji

efek gempa (meski hanya berukuran kecil) terhadap peningkatan aktifitas gunung berapi dengan menggunakan sampel kristal dan kaca yang dipanaskan dengan suhu 900\\°C. Penelitian tersebut sampai pada kesimpulan bahwa proses gempa yang terjadi dapat meningkatkan aktivitas gunung berapi yang menyebabkan naiknya lava atau magma ke permukaan bumi yang sebelumnya berada pada bagian inti bumi. Hugh Tuffen dkk, “Evidence for Seismogenic Fracture of Silicic Magma” dalam Journal Nature, Vol 453, 2008 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/204539398?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 02-46 WIB), 513.

98

adanya pergeseran lempeng kerak bumi juga dapat menimbulkan gempa sehingga memancing munculnya gunung-gunung berapi, lava dan letusan gunung berapi yang dahsyat, bahkan sampai menyebabkan Tsunami.46 Walaupun memiliki versi yang berbeda, namun dari ketiga pendapat tersebut, dua di antaranya menyebutkan hal yang sama bahwa gempa dapat memancing dan meningkatkan aktivitas pada wilayah magma sehingga kemudian menyebabkan magma bergolak dan muncul ke permukaan kerak bumi, atau dikenal dengan lava (pijar).47

Di Indonesia, fenomena meletusnya gunung berapi pernah terjadi di tengah-tengah lautan dan fenomena ini cukup dikenal oleh dunia sebagai salah satu fenomena letusan gunung berapi dalam skala besar, yaitu letusan gunung Krakatau yang terjadi di perairan Selat Sunda pada tahun 1883. Letusan gunung Krakatau yang begitu besar berhasil mengeluarkan lahar atau magma dalam volume yang besar sehingga kemudian massa lahar yang dikeluarkan gunung Krakatau mendorong massa air laut yang ada di sekitarnya menuju daratan dan bahkan menimbulkan ombak besar setinggi 30-40 meter, yang kemudian dikenal dengan Tsunami. Kejadian tersebut berdampak buruk pada pesisir pantai dan daratan yang ada di sekitarnya, bahkan sejarah mencatat bahwa lebih dari 36.000 orang meninggal dunia akibat fenomena besar tersebut.48 Berdasarkan ilmu Geologi, memang disebutkan bahwa fenomena alam yang berupa Tsunami bisa dibangkitkan oleh tiga sumber utama yaitu gempa, letusan gunung api dan longsoran yang terjadi di dasar laut.49 Mungkin inilah yang dimaksud ‘Abduh dengan meluapnya lautan seperti yang terjadi pada

46 Ahmad Baiquni, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta:

Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), 113. 47 Budiyanto, Risalah alam Semesta dan Kehidupan, 42. 48 Colin Pantall, “A Volcanic Media Event Vivid Details Enliven the Story

of the Eruption of Krakatoa in 1883” dalam Far Eastern Economic Review, 2003 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/208239678?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 03.31 WIB), 52. Fukashi Maeno dan Fumihiko Imamura, “Tsunami Generation By A Rapid Entrance of Pyroclastic Flow Into the Sea During the 1883 Krakatau Eruption, Indonesia” dalam Journal of Geophysical Research, VOL. 116, 2011 (Diakses dari: http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1026770220?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 03.44 WIB), 1-2.

49 Moch. Munir, Geologi Lingkungan, 200.

99

ledakan gunung berapi di daerah Jawa dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma.

4. Gunung Sebagai Penyeimbang Bumi

Dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7 (والجبال أوتادا), Allah berbicara tentang gunung dan fungsinya terhadap bumi. Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa gunung-gunung berfungsi sebagai pasak bagi bumi. Di dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Karim Juz’ ‘Amma, Muh{ammad ‘Abduh telah memberikan tafsiran sendiri tentang ayat ini bahwa disebutnya gunung sebagai pasak dikarenakan bentuk dari gunung itu sendiri yang menyerupai pasak. Pengibaratan gunung sebagai pasak juga dikarenakan fungsi dari gunung itu sendiri sebagai pengukuh sekaligus menjaga keseimbangan bumi agar tidak bergoncang (gempa). Jika seandainya tidak ada gunung-gunung tersebut, niscaya bumi akan selalu mengalami goncangan (gempa) yang disebabkan oleh bergolaknya material-material yang ada di dalamnya.50

Dalam tinjauan sains, sebagaimana yang dijelaskan Zagloul el-Naggar bahwa gunung-gunung yang timbul di atas permukaan bumi sebenarnya hanya tonjolan puncak raksasa batu karang yang mengapung di atas zona lemah bumi, sebagaimana gunung es yang mengapung di sekitar air laut. Posisi gunung dengan bloknya yang menancap dalam lapisan batu karang bumi dan mengapung di zona lemah bumi, mampu mengurangi kerasnya goyangan bumi dalam rotasinya dan menjadikan gerak bumi lebih teratur.51 Caner Taslaman mengutip penjelasan Frank Press yang menjelaskan bahwa keberadaan gunung dalam fungsinya terhadap bumi memang ibarat seperti pasak. Lempeng bumi yang ketebalannya sekitar 5 km pada dasarnya mengambang di atas berbagai cairan dan material di dalam bumi. Hal ini menjadikan bumi memerlukan sesuatu yang dapat mengokohkannya.52

50 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 3. 51 Zagloul el-Naggar, Selekta dari Tafsir Ayat-Ayat Kosmos dalam al-Quran

al-Karim, Penerj; Masri El-Mahsyar Bidin dan Mirzan Thabrani Razak (Jakarta Selatan: Shorouk International Bookshop, 2010), 147.

52 Caner Taslaman mengutip penjelasan Frank Press (penulis buku yang berjudul Earth) yang mengibaratkan gunung dengan baji yang bagian terbesarnya berada di bawah permukaan tanah. Press menyebutkan fungsi gunung dan peran pentingnya dalam memperkokoh lempeng bumi. Caner Taslaman menyebutkan bahwa keterangan itu sesuai dengan penjelasan dari ayat lain yaitu surat al-Anbiya>’

100

Agus Haryo Sudarmojo juga menjelaskan bahwa sejak kurang dari 3,5 miliar tahun yang lalu ketika planet bumi mulai mendingin, ia berusaha mengeluarkan gas demi menjaga tekanan dan temperatur di dalam bumi. Jika gas yang ada di dalam bumi tidak dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu maka bumi akan meledak sebagai akibat adanya tekanan gas yang terus menerus sehingga terkumpul dalam jumlah besar. Pada akar gunung terdapat tempat mengalirnya magma, gas dan produk-produk material lainnya. Pengibaratan gunung sebagai pasak juga berkaitan dengan fungsi gunung yang meminimalisir guncangan Litosfer ketika bergerak. Desakan gas yang ada di dalam bumi dikeluarkan melaui saluran magma di dalam gunung berapi yang disebutVolcanic Neck dan juga melaui retakan, rengkahan dan patahan yang ada di bumi. Selain sebagai saluran pembuangan unsur gas dan matrial lain dari bumi, Agus Haryo Sudarmojo juga menyebutkan bahwa gunung-gunung, terutama gunung berapi dapat memperlambat gerakan kerak atau lempeng bumi sehingga perputaran dan kondisi bumi menjadi stabil.53

Senada dengan apa yang dijelaskan Agus Haryo Sudarmojo, Ah{mad Fua>d Ba>tha> juga menyebutkan bahwa bagian bumi yang pertama kali mendingin dalam proses pembentukannya adalah lapisan kulit bumi bagian luar. Kulit bumi mengalami pembekuan, sedangkan bagian dalamnya masih tetap panas dalam bentuk larutan berbagai material dan gas. Dalam proses pendinginan, kulit bumi mengalami keretakan. Bagian yang tinggi menjadi gunung dan bukit, yang rendah menjadi lembah dan daratan serta lautan. Jika bumi tidak menjorok ke permukaan, maka lapisan kulit bumi akan pecah dan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa. Oleh karena itu, salah satu fungsi gunung adalah memelihara dan menahan bagian bawah bumi agar tidak meledak dan menimbulkan goncangan atau gempa.54

5. Wabah Penyakit Cacar

Topik ini berkaitan dengan firman Allah dalam surat al-Fi@l (105) ayat 3-4; (21) ayat 31 yang menyebutkan bahwa dijadikan gunung-gunung bagi bumi agar tidak ikut berguncang. Caner Taslaman, The Quran Unchallengeable Miracle (Turki: Netleberry / Citlembik Publication, 2006), 129-130.

53 Agus Haryo Sudarmodjo, Menyibak Sains Bumi dalam Alquran (Bandung: Mizania, 2008), 183-190.

54 Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@, 2002 M), 97.

101

Ÿ≅ y™ ö‘ r&uρ öΝÍκö n= tã #·ösÛ Ÿ≅‹Î/$ t/r& ∩⊂∪ ΝÎγ‹ÏΒ ös? ;οu‘$ y∨Ït¿2 ⎯ÏiΒ 9≅ŠÅd∨Å™ ∩⊆∪

“dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”, (al-Fi@l (105): 3-4).

Mengenai ayat ini, ‘Abduh membuat sebuah penafsiran yang menarik dan berbeda. Mengenai kata t}aira>n aba>bi@l, awalnya ‘Abduh hanya menjelaskan makna dari kedua kata tersebut, yaitu aba>bi@l berarti kawanan burung atau kuda yang berbondong-bondong, sedangkan t}airun berarti hewan yang terbang di langit, baik bertubuh kecil atau bertubuh besar, baik yang tampak ataupun yang tidak. Namun pada bagian akhir dari penafsiran terhadap surat ini ‘Abduh kembali mempertegas penafsirannya tentang t}aira>n aba>bi@l. Secara umum ‘Abduh menyebutkan bahwa tidak ada salahnya jika kata t}aira>n aba>bi@l ditafsirkan dengan sejenis nyamuk atau lalat yang membawa virus suatu penyakit, dan kata al-h{ija>rah juga diartikan sebagai tanah kering yang bercampur racun yang menempel di kaki binatang tersebut. Apabila racun itu menempel di kulit, maka racun atau virus itu akan masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori yang berakibat menimbulkan bisul-bisul yang akan merontokkan daging dari tubuh seseorang.55

Wawasan ‘Abduh tentang sejarah yang melingkupi ayat, nampaknya juga ikut mempengaruhi hasil penafsirannya. ‘Abduh mengatakan dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di Mekah dimana ada seorang panglima perang dari Habasyah (Yaman) yang berniat ingin menghancurkan Ka’bah. Awalnya panglima tersebut hanya mengirim utusan untuk memperingati penduduk Mekah bahwa panglima dan pasukannya akan menyerang Ka’bah dan diharapkan kepada penduduk untuk menghindar. Namun sebelum pasukan itu sampai di Mekah, pada hari keduanya muncullah wabah penyakit cacar. Kejadian ini dikuatkan oleh riwayat dari ‘Ikrimah sebagaimana yang dikutip ‘Abduh dalam tafsirnya bahwa ini merupakan wabah cacar yang pertama kali muncul di Jazirah Arab. Kemudian ‘Abduh juga mengutip perkataan Ya’qu>b bin ‘Utbah bahwa pertama kali wabah cacar terlihat di Jazirah Arab adalah pada tahun itu.56 Sejarah yang diungkapkan ‘Abduh tentang penafsiran surat al-Fi@l (105) ayat 3-4 sebagai penyakit cacar, juga

55 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 156-158. 56 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 157.

102

diungkapkan oleh beberapa ulama sebelum dan sesudah ‘Abduh seperti Iman al-T{abari@,57 Imam al-Qurt}ubi@58 dan Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka)59 yang sama-sama memuat riwayat yang sama tentang munculnya penyakit cacar pada tahun gajah tersebut.

Penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Fi@l (105) ayat 3-4, sangat berbeda dengan penafsiran yang diberikan al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@. Al-Ra>zi@ menafsirkan t}aira>n aba>bi@l sebagai burung yang datang berbondong-bondong dengan ciri-ciri paruhnya seperti gajah dan cakarnya seperti anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam. Sedangkan al-h{ija>rah ditafsirkan sebagai batu dari neraka yang masing-masing burung membawa tiga buah batu (satu di paruh dan dua di kakinya) dan tiap-tiap batu membunuh satu orang. Pada batu tersebut juga tertulis nama-nama orang yang akan ditimpa batu tersebut. Ketika batu itu menimpa seseorang dari satu sisi, maka batu

57 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam kitab tafsir Tafsi@r al-

T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n, juga mengutip sebuah riwayat yang datang dari ‘Ikrimah yang kemudian diriwayatkan oleh Husain dan Ya’qu>b mengatakan bahwa “Apabila mengenai salah seorang di antara mereka, maka muncullah cacar darinya. Itulah hari pertama terlihatnya cacar. Tidak pernah terlihat cacar tersebut sebelum hari itu dan begitu pula pada hari sesudahnya”. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 633.

58 Al-Qurt}ubi@ menyebutkan riwayat dari ‘Ikrimah bahwa ketika batu-batu kecil yang dilemparkan burung-burung tersebut mengenai pasukan bergajah, maka akan timbul cacar yang sangat parah pada kulit mereka, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Al-Qurt}ubi@ juga mengutip pendapat Ibn ‘Abba>s yang menyebutkan bahwa cacar itu tidak langsung muncul setelah terkena lemparan batu-batu itu, namun didahului rasa terbakar di kulit mereka, setelah itu barulah memunculkan penyakit cacar. Abi@ ‘Abdalla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@, al-Ja>mi’ li@ Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba>’ah wa al-Nashr, 1967), 198.

59 Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka) mengatakan setelah dia mengutip penafsiran Muh{ammad ‘Abduh tentang surat al-Fi@l ayat 3-4 bahwa penafsiran ‘Abduh tentang t}aira>n aba>bi@l sebagai virus penyakit cacar memang bisa diterima karena pada masa penyerangan tentara Abrahah ke Mekah itulah mulai munculnya penyakit cacar. Hal itu dikarenakan adanya riwayat yang kuat dari sahabat yang membenarkan sejarah tersebut. Seperti yang diungkapkan Hamka tentang riwayat ‘Ikrimah yang menyebutkan bahwa sejak saat itu mulai ditemukannya penyakit cacar di tanah Arab, kemudian juga riwayat dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa sejak waktu itulah terjadinya penyakit cacar di tanah Arab. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsi@r al-Azhar, (Jakarta: Citra Serumpun Padi, April 2004), 274.

103

itu akan keluar di sisi yang lainnya.60 Senada dengan al-Ra>zi@, al-Zamakhshari@ juga menafsirkan t}aira>n aba>bi@l sebagai burung (dengan ciri-ciri) berwarna hijau dan putih. Al-Zamakhshari@ menjelaskan bahwa setiap burung tersebut membawa batu yang terletak di paruhnya dan di kedua kakinya. Ketika batu tersebut dijatuhkan di atas kepala seseorang maka batu tersebut akan keluar dari duburnya dan pada tiap batu telah tertulis nama dari orang yang akan ditimpakan batu tersebut. Sedangkan al-h{ija>rah ditafsirkan al-Zamakhshari dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abba>s yang menyebutkan bahwa al-h{ija>rah merupakan batu yang berasal dari tanah yang dibakar.61

Jika diverifikasi dari sudut pandang historis sains modern, Ian dan Jenifer Glynn menjelaskan karyanya yang berjudul The Life and Death of Smallpox bahwa terdapat banyak versi yang menceritakan sejarah awal munculnya penyakit cacar. Ada di antara ilmuwan yang mengatakan cacar muncul sekitar tahun 340 M dan sebagian yang lain mengatakan cacar muncul sekitar tahun 500 M, meskipun secara umum banyak yang berpendapat bahwa cacar pertama kali muncul sekitar tahun 500 M. Namun ada sejarah lain yang lebih panjang diulas oleh Ian dan Jenifer Glynn yaitu tentang sejarah yang terjadi di Mekah sekitar tahun 569 M tentang pengepungan Mekah oleh tentara Abesinia yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Abrahah. Penyerangan pasukan Abrahah terhenti ketika mereka “kalah” dikarenakan terkena virus yang membuat tubuh mereka hancur dan

60 Al-Ra>zi@ menjelaskan dalam tafsirnya bahwa t}aira>n aba>bi@l berarti burung

yang berbondong-bondong. Al-Ra>zi@ juga menyebutkan ciri-ciri dari burung tersebut di antaranya memiliki paruh seperti gajah dan cakarnya menyerupai cakar anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam meskipun ada juga sebagian riwayat yang menyebutkan warnanya putih dan sebagian lagi menyebutkan warnanya hijau. Mengenai al-h{ija>rah, al-Ra>zi@ menafsirkannya sebagai batu. Setiap burung membawa tiga buah batu (di paruh dan kedua cakarnya) dan tiap-tiap batu membunuh satu orang (pasukan bergajah). Pada tiap batu tertulis nama masing-masing orang yang akan ditimpa batu tersebut. Ketika batu itu ditimpakan di satu sisi, maka batu itu akan keluar dari sisi tubuh yang lain. Sedangkan menurut riwayat ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abba>s, batu tersebut akan menyebabkan tubuh seseorang menjadi terkoyak dan terbakar. ‘Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’31, 99-100.

61 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6, 433-434.

104

mencair (meleleh). Sejak saat itulah wabah penyakit cacar itu mulai menyebar di sekitaran Jazirah Arab.62

Dalam ilmu kesehatan sebagaimana yang dijelaskan Kim Renee Finer dari bukunya yang berjudul Smallpox, Deadly Diseases and Epidemics menjelaskan bahwa sebelum abad ke 19, cacar menjadi sesuatu penyakit yang menakutkan dengan sifatnya yang menular. Virus cacar masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung dan kulit (kontak langsung atau tak langsung). Virus yang masuk ke dalam tubuh akan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui getah bening dan darah. Masa inkubasi (perkembangan) virus cacar di dalam tubuh terjadi dalam rentang waktu 7-17 hari, namun rata-rata hanya 12 hari. Virus yang terus berkembang tersebut kemudian masuk ke dalam pembuluh darah kecil pada bagian kulit sehingga menimbulkan semacam luka atau infeksi. Infeksi-infeksi tersebut awalnya berbentuk bintik-bintik yang berwarna merah yang disebut Makula. Makula muncul pada kulit yang tumbuh menyebar di seluruh bagian tubuh. Makula kemudian berkembang seperti jerawat yang berwarna merah muda yang disebut Papula. Papula tersebut kemudian terus berkembang dan membengkak serta bernanah yang kemudian disebut Pustula. Pustula inilah yang kemudian menjadi melepuh dan memberikan efek rasa sakit kepada si penderita di seluruh tubuh. Efek lain yang dimunculkan Pustula kepada si penderita adalah rasa panas dan terbakar yang intens pada kulit sehingga ketika rasa ini terlalu berlebihan dan tidak tertahankan oleh tubuh si penderita, maka sering kali dapat menyebabkan kematian. Pustula yang bernanah tersebut juga menimbulkan sejenis lubang atau korengan pada kulit si penderita.63 Bahkan Jon Cohen menyebut virus cacar sebagai virus yang paling mematikan di muka bumi.64

62 Ian dan Jenifer Glynn, The Life and Death of Smallpox, (London: Profil

Book, 2005), 16-19. 63 Kim Renee Finer, Smallpox, Deadly Diseases and Epidemics (New York:

Chelsea House Publisher, 2004), 57-59. 64 Jon Cohen menyebutkan bahwa para ahli kesehatan telah memberikan

perhatian kusus dalam menangani penyakit cacar, bahkan pada tahun 1995 sekelompok peneliti melakukan penelitian besar-besaran untuk menemukan vaksin guna mengatasi penyakit cacar yang disebabkan oleh virus yang dianggap paling berbahaya di bumi pada saat itu. Jon Cohen, “Blocking Smallpox: A Second Defense” dalam Jurnal Science, Vol. 294, 2001 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/213562699?accountid=25704, tanggal 27-04-2014, pukul 21.08 WIB), 500.

105

Hugh Pennington menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus yang diketahuinya, jika seseorang tidak segera mendapat vaksinasi ketika terjangkit penyakit cacar, maka cacar akan mengembang dengan cepat dan tidak membutuhkan waktu lama akan menjadi parah. Dalam tulisannya, Penningtong mengungkap beberapa kasus yang menggambarkan betapa cacar dapat membunuh seseorang dalam waktu singkat, misalnya saja seperti kasus yang terjadi di Todmorden Inggris pada tahun 1893. Pada tahun ini wabah cacar menyerang daerah Todmorden yang merupakan pusat industri pemintalan benang dan tenun kapas dengan jumlah penduduk 19.000 jiwa. Para penduduk terjangkit penyakit cacar dan dapat menular dari seseorang ke orang lain. Sebagian penduduk yang tidak mendapat vaksinasi, tidak beberapa lama meninggal dunia setelah terjangkit penyakit cacar, ada yang hanya jelang tiga hari atau dalam rentan waktu tujuh hari.65

Jika dianalisa penafsiran ‘Abduh terhadap surat al-Fi@l (105) ayat 3-4, terdapat sisi-sisi tersendiri yang dapat dibenarkan berdasarkan realitas empiris sains (ilmu kesehatan) bahwa penyakit cacar yang dialami seseorang dalam kondisi tertentu dan tidak segera mendapat pertolongan pencegahan (vaksin), maka hal itu dapat mengakibatkan kematian. Begitu juga dengan kisah yang dialami tentara Abrahah saat menuju Mekah bahwa bisa jadi kematian yang dialami tentara tersebut disebabkan oleh parahnya penyakit cacar yang dialami sehingga daya tahan tubuh pasukan Abrahah tidak sanggup lagi menahan pekembangan virus-virus cacar di dalam tubuh mereka hingga pada akhirnya satu persatu dari tentara Abrahah gugur. Meskipun dalam konteks informasi yang diberitakan ayat tidak dapat diketahui dan dibuktikan secara pasti apa yang menyebabkan pasukan

65 Todmorden merupakan suatu daerah yang terletak di Pennine Hills

Inggris yang memiliki 19.000 jiwa dengan rata-rata pencaharian penduduk adalah sebagai pemintal benang dan bertenun kapas. Pada tahun 1893, masyarakat di daerah ini terjangkit cacar. Hugh Pennington mengungkapkan beberapa kasus cacar di daerah ini di antaranya seperti kasus istri seorang pengusaha pemintal benang yang meninggal tanggal 2 maret setelah beberapa hari terjangkit gejala awal cacar dan tiga jam dirawat di rumah sakit, tidak berapa hari kemudian dua orang karyawannya juga meninggal karena penyakit yang sama. Bahkan ada seseeorang karyawan di perusahaan City of Leeds Public Mortuary yang meninggal hanya dalam waktu dua hari setelah terjangkit penyakit cacar. Hugh Pennington, “Smallpox and Bioterrorism” dalam Bulletin of the World Health Organization, Vol. 81, No. 10, 2003 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/229544802?accountid=25704, tanggal 28-04-2014, pukul 02.59 WIB), 763.

106

Abrahah mati di tengah perjalanan menuju Mekah, namun realita seperti inilah yang dipilih ‘Abduh untuk dijadikan sebagai tafsiran dari surat surat al-Fi@l (105) ayat 3-4.

‘Abduh telah membuat spekulasi tersendiri yang lebih bersifat real agar deskripsi dari informasi yang diberitakan ayat dapat lebih diterima logika kebanyakan manusia. ‘Abduh terkesan memanfaatkan pendekatan kebahasaan untuk membuka ruang yang lebih lebar agar ‘Abduh bisa lebih leluasa menarik beberapa fenomena-fenomena bersifat empiris yang sarat dengan nilai dan fakta-fakta ilmiah untuk dijadikan deskripsi (penafsiran) dari realitas yang diinformasikan oleh ayat. Berbeda dengan al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ yang cenderung menafsirkan ayat secara rasional (dalam konteks epistemologi filsafat Rasionalisme) tanpa menarik sisi-sisi yang bersifat real (nyata) atau ilmiah sebagai landasan pembenaran dari tafsir yang dihadirkan. Hal inilah yang menunjukkan perbedaan penafsiran ‘Abduh sekaligus memperkuat indikasi bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat tentang alam semesta ‘Abduh telah menjadikan alam empiris yang ditunjang dengan nilai dan fakta ilmiah ilmu-ilmu alam (sains) sebagai basis penafsirannya terhadap ayat.

B. Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

Menganalisa penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma yang terindikasi bernuansa Positivistik tentang ayat-ayat fenomena alam, terdapat beberapa poin yang menunjukkan karakteristik dari aplikasi tafsir Positivistik ‘Abduh. 1. Ayat-Ayat Fenomena Alam Sebagai Objek.

Tafsir Positivistik pada intinya merupakan aplikasi penafsiran Alquran yang memanfaatkan teknis-teknis pembenaran proposisi seperti yang diterapkan dalam filsafat Positivisme. Prinsip dasar yang perlu dipahami dari filsafat Positivisme adalah pandangannya yang meyakini bahwa alam bergerak berdasarkan hukum-hukum yang meliputinya atau diistilahkan dengan hukum alam. Hukum alam menyertai seluruh fenomena-fenomena yang terjadi dalam wilayah empiris. Filsafat Empirisme yang lahir sebelum filsafat Positivisme, telah terlebih dahulu meyakini bahwa wilayah empiris merupakan wilayah yang dapat diketahui dan dipahami oleh manusia. Oleh karenanya kemudian Positivisme mengadopsi epistemologi Empirisme

107

yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber pengetahuan66 atau dalam istilah lain disebut sumber empiris.67

Positivisme berpandangan bahwa setiap pernyataan yang tidak dapat dikembalikan pada fakta, maka pernyataan tersebut dinilai tidak real (nyata) dan dianggap irrasional (negatif). Positivisme hanya menganggap hubungan antara fakta-faktalah yang dapat diketahui.68 Positivisme mengajarkan kepada manusia bahwa segala yang berhubungan dengan kehidupan dan tindakan manusia di alam merupakan sesuatu yang berwujud nyata, bisa dibuktikan serta sudah menjadi hukum positif dalam tatanan elemen alam.69 Secara tidak langsung Positivisme telah membatasi ruang kajiannya kepada fenomena empiris sebagaimana yang digambarkan oleh Kamanto Sunarto bahwa objek kajian filsafat ini haruslah berupa fakta dan dinilai bermanfaat (bisa diketahui) serta mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Hal ini merupakan substansi penegasan Comte tentang pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis sebagai sarana yang dapat digunakan untuk melakukan kajian Positivistik.70 Persoalan teologis atau yang berkaitan dengan masalah transendental, pada akhirnya hanya dianggap sebatas kemungkinan, sedangkan sains adalah kepastian,71 dan alam (empiris) serta

66 Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi epistemologi

Empirisme yang berasal dari teori David Hume tentang sifat realitas (terkait ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta real dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB), 343. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi, (Bogor: Akademia, 2009), 190.

67 Ugi Suharto, “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam, Editor; Laode M. Kamaluddin (Semarang: Unisula Press, 2010), 141.

68 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192. 69 Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism and Happiness” dalam

Journal of Happiness Studies, April 2000 (Diakses dari: http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 02-12-2013, pukul 02.22 WIB), 428.

70 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), 3.

71 Ugi Suharto, “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization, 143.

108

fenomena-fenomena yang menyertainya merupakan objek yang akan dibedah dengan paradigma Positivisme.

Pembatasan objek kajian yang dilakukan Positivisme kepada alam empiris beserta fenomena-fenomenanya, setidaknya berdiri di atas tiga logika berpikir yang saling terkait. Pertama, Positivisme telah mendefenisikan alam yang dianggap benar sebagai sesuatu yang berada pada wilayah dengan sifat empiris. Kedua, dikarenakan alam dipahami sebagai sesuatu yang berada di wilayah empiris, maka Positivisme meyakini bahwa manusia mampu mengetahui, mengungkap dan mengukur sisi-sisi yang benilai positif, yaitu yang dapat diketahui dan dibenarkan oleh pancaindra. Ketiga, dikarenakan manusia dianggap mampu mengungkap dan mengukur sisi-sisi positif dari alam, maka Positivisme menyakini bahwa hal tersebut dapat dicapai dan dijelaskan melalui ilmu-lmu alam.72 Kebutuhan Positivisme terhadap ilmu-ilmu alam (sains) dikarenakan ilmu-ilmu alam itu sendiri berdiri di atas epistemologi Empirisme yang menganggap sesuatu yang bisa diketahui dan diamati pancaindra sebagai pengetahuan yang benar.

Ontologi dalam kajian filsafat mengandung keluasan makna yang di dasari satu pertanyaan umum yaitu “apakah yang disebut dengan kenyataan (realitas)”. Pertanyaan ini secara tidak langsung merangkul wilayah realitas fisis (yang dapat diamati) dan metafisis (tidak dapat diamati),73 atau singkatnya membahas segala yang dianggap ada. Dalam perkembangan ontologi, juga muncul sebuah kecendungan yang berpandangan bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang menguasai fenomena-fenomena empiris dan semua itu terlepas dari kekuasaan dunia mistis. Pandangan ini kemudian mempertajam wilayah kajian ontologi yang terfokus pada masalah-masalah yang terdapat dalam ruang lingkup pengalaman manusia.74

72 Birger Hjorland menyebutkan bahwa Positivisme pada dasarnya memang

telah terlahir dari doktrin yang mengagungkan teknik pembenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah yang berasal dari pengamatan empiris dianggap sebagai dasar yang dapat di buktikan kebenarannya. Birger Hjorland, “Empiricism, Rationalism and Positivism in Library and Information Science” dalam Journal of Documention, 2005 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/217978392/fulltextPDF/13E049046462C52FCBD/12?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 04.01 WIB), 135-136.

73 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 31-32. 74 Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam

dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan

109

Inilah poin dasar yang ditarik oleh Positivisme menjadi ontologinya sekaligus membatasi ruangnya bahwa yang dianggap sebagai kenyataan (realitas) hanyalah sesuatu yang berada pada wilayah fisis (bisa teramati) dan menegasikan sesuatu yang berada pada wilayah metafisis sehingga dasar pengetahuan yang dianggap benar dalam Positivisme adalah sesuatu yang terkait dengan alam empiris atau segala sesuatu yang dapat diamati.

Alquran diyakini hadir dalam wujudnya yang utuh dan sempurna tanpa mengecualikan satu dimensi (pembahasan) sekalipun, singkatnya Alquran hadir membawa informasi dan petunjuk seputar dimensi alam metafisis dan alam fisis.75 Dimensi metafisis bersifat doktrinal yang menuntut iman sebagai landasannya. Tanpa iman manusia menampik informasi dan petunjuk dari dimensi ini.76 Persoalan-persoalan seputar ketuhanan, kenabian, alam ghaib dan kehidupan setelah mati, hari perhitungan dan pembalasan menjadi tidak berarti jika tidak dimulai dari iman. Sedangkan dimensi fisis yang dibawa Alquran, bukanlah bersifat doktrinal, karena dimensi ini menuntut pengoptimalan akal dan pengamatan pancaindra sebagai anugrah tertinggi manusia dalam mencari kebenaran.

Manusia secara fitrahnya, dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk mengetahui kenyataan-kenyataan besar di alam

hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu sendiri. Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014). Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007).

75 Howard R. Turner juga menjelaskan bahwa kepercayaan umat Islam pada keutuhan fenomena-fenomena yang dimiliki Alquran yang diikuti oleh klasifikasi sains dalam pandangan yang filosofis, telah mendorong penelitian terhadap kosmologi yang secara keseluruhan mencerminkan keluasan wilayah pembahasannya. Pada satu sisi terdapat spekulasi metafisika yang melampaui keberadaan benda-benda empiris yang dapat diamati pancaindra serta diuji secara rasional. Sedangkan di sisi yang lain juga memuat persoalan dan isyarat tentang fenomena-fenomena alam yang dapat diamati secara langsung dan empiris. Howard R. Turner, Science in Medieval Islam (Austin: University of Texas Press, 2002), 38.

76 Muzaffar Iqbal justru menyebutkan bahwa persoalan metafisik dalam Islam itu sendirilah yang menjadi pemicu awal tumbuh dan berkembangnya sains di internal umat Islam. Muzaffar Iqbal, “Islam and Science” dalam Aleph : Historical Studies in Science & Judaism, Vol 5, 2005 (http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/220524961?accountid=25704, tanggal 22-05-2014, pukul 01.32 WIB), 305.

110

raya yang mengarah kepada pengungkapan rahasia dan tujuan dari segala sistem yang menyertainya.77 Di sinilah relasi antara Alquran, alam raya dan manusia. Alam raya sebagai kitab pengamatan, merupakan ekspresi nyata dari informasi dimensi fisis yang disampaikan Alquran. Semua itu bertujuan untuk membuka peluang bagi manusia guna memverifikasi sebagian kecil dari kebenaran Alquran, karena pada dasarnya fitrah manusia secara umum melalui akal dan pancaindra, hanya mampu menyibak kebenaran dari sesuatu yang jelas teramati dalam wilayah empiris.78

Ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat tentang fenomena alam) yang begitu banyak terdapat di dalam Alquran, menjadi salah satu penghubung ketiga elemen tersebut, yaitu Alquran, manusia dan alam semesta. Jika melihat penafsiran Muh{ammad ‘Abduh tentang ayat-ayat Alquran dalam Juz’ ‘Amma, penafsiran-penafsiran yang teridikasi menggunakan paradigma Positivisme memang hanya terlihat dalam penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat yang bercerita tentang alam dan fenomena-fenomenanya. Misalnya saja seperti penafsiran ‘Abduh terhadap surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 yang bercerita tentang terbelahnya langit, kemudian penafsiran ‘Abduh terhadap

77 Mahmu>d Syukri@ al-Alu>si@ menjelaskan bahwa penciptaan alam raya

sebenarnya mengandung maksud agar manusia terdorong untuk melakukan pengamatan dan perenungan. Melalui alam raya sebagai sarana, diharapkan manusia memahami bahwa apa yang diisyaratkan Allah di dalam Alquran sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang diketahui manusia dari pengamatan alam raya. Dengan demikian hendaknya manusia menyadari akan kebesaran Allah. Mahmu>d Syukri@ al-Alu>si@, Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@, 1997), 4. Menurut Syed Shahid Ali dan kawan-kawan, begitulah salah satu cara Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya kepada manusia. Syed Shahid Ali dkk, “Belief and Respect in Multicultural Society: Religious Approach in the Globalised World” dalam American Journal of Applied Sciences, Vol. 9, No.10, 2012 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1326330057?accountid=25704, tanggal 25-04-2014, pukul 22.56 WIB), 1571-1573.

78 Muh{ammad Ka>mal al-Hur menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya hanya mengetahui segala yang tampak dan yang bisa difikirkan manusia juga segala yang tampak. Itulah kekuatan akal manusia yaitu mengetahui segala sesuatu yang dapat disaksikan. Muh{ammad Ka>mal Al-Hur, Ibn Si@na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117. Dalam konteks inilah P. Lipton memahami pengalaman dan pengamatan indrawi dalam posisi sebagai sumber pokok pengetahuan manusia. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history of empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

111

surat ‘Abasa (80) ayat 25-27 yang bercerita tentang metabolisme tumbuhan, diguncangkannya bumi (al-Inshiqa>q (84) ayat 3 dan al-Zalzalah (99) ayat 1-2), fenomena meluapnya lautan (Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3), fungsi gunung sebagai stabilisator bumi dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7, tentang wabah penyakit cacar dalam surat al-Fi@l (105) ayat 3-4 dan lain sebagainya. Pengulasan ayat-ayat tersebut melaui pendekatan sains, menggambarkan visi ‘Abduh yang tengah berusaha menggiring dan menunjukkan bahwa tidak selayaknya umat Islam mengesampingkan isyarat-isyarat tentang alam semesta yang diungkap Alquran. Banyak aspek yang perlu dikaji dari ayat-ayat terkait alam semesta yang mampu meningkatkan dan meransang kemampuan berfikir manusia serta menyadarkan akan pentingnya benda-benda tersebut bagi kelansungan hidup manusia. Menurut ‘Abduh, inilah salah satu hikmah mengapa dalam sebagian ayat-ayat Alquran Allah mengungkapkan sumpah dengan menggunakan benda-benda empiris ciptaan-Nya yang terdapat di alam semesta.79

Hikmah lain menurut ‘Abduh yang paling penting bagi manusia dengan diungkapnya ayat-ayat tentang alam adalah dorongan untuk memperhatikan alam semesta dan bersungguh-sungguh mempelajarinya sebagai eksplorasi manusia terhadap sisi-sisi alam raya yang masih tersembunyi dari pengetahuan manusia.80 Pendapat yang senada dengan ‘Abduh juga diutarakan Sayed Hosen Nasr81 dan

79 Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang mengandung ungkapan sumpah dari Allah dengan menggunakan benda-benda pada alam semesta, seperti pada awal surat al-Na>zi’a>t dimana Allah bersumpah demi sesuatu yang melesat dengan cepat (bintang), kemudian dalam surat al-Takwi@r (81) ayat 17 Allah juga bersumpah dengan menggunakan malam sebagai objek sumpah, begitu juga pada awal surat al-T{a>riq (86) dimana Allah bersumpah dengan langit sebagai objek sumpah. Dalam pandangan ‘Abduh, hikmah dari sumpah-sumpah Allah dengan menggunakan alam semesta sebagai objek sumpah demi menjelaskan bahwa begitu besarnya perhatian Allah terhadap alam semesta. Selain itu, Allah juga bermaksud menunjukkan betapa agungnya benda-benda itu (sebagai ciptaannya) dan betapa pentingnya benda-benda itu bagi manusia. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 10.

80 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 57. 81 Mulyadhi Kartanegara menjelaskan pandangan Sayyed Hossein Nasr yang

menyebutkan bahwa ketika ilmuwan-ilmuwan muslim mempelajari fenomena alam, mereka melakukan sesuatu hal yang tidak hanya sekedar melunaskan rasa ingin tahu, melainkan justru untuk mengamati dari dekat jejak-jejak ilahi (Vestigial Dei). Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen, melainkan tanda-tanda (sign / ayat) Allah yang dengannya manusia diberi petunjuk akan keberadaan tuhan, kasih

112

M. Quraish Shihab.82 Bahkan ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad mempertajam lagi bahwa ayat-ayat tentang alam mengandung ajakan aqidah.83 Pandangan-pandangan seperti ini mengindikasikan alasan mengapa ‘Abduh menjadikan ayat-ayat al-Kauni@yah sebagai objek penerapan penafsiran bernuansa Positivistik dengan memanfaatkan pendekatan nilai-nilai ilmiah sains modern dalam menafsirkannya sehingga hal tersebut bisa dilihat sebagai salah satu karakteristik dari tafsir Positivistik yang diperlihatkan ‘Abduh di dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

2. Fakta Empiris Sebagai Realitas.

Dalam pembahasan filsafat, realitas tidak dapat dipisahkan dari pembahasan ontologi. Ontologi secara umum membahas tentang segala yang ada. Pertanyaan yang mendasar dari ontologi tertuju kepada apa yang disebut realitas. Ontologi pada esensinya tidak mendikotomikan realitas antara alam fisis dan metafisis. Rasionalisme

sayang, kebijaksanaannya dan kepintarannya. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Ciputat, Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003), 3.

82 Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Alquran tentang alam raya dan fenomenanya. Pertama, adanya perintah Alquran untuk mempelajari dan memahaminya dalam rangka meyakini ke-Esaan dan kekuasaan tuhan. Perintah ini mengandung substansi bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak. Kedua, alam raya dan hukum-hukumnya diciptakan, dimiliki dan diatur oleh ketetapan tuhan yang sangat teliti, dan alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan tersebut kecuali jika tuhan yang menghendakinya. Hal ini mengandung maksud bahwa alam raya dan seluruh elemennya tidak boleh disembah. Ketiga, redaksi yang digunakan oleh Alquran dalam uraian tentang fenomena alam bersifat singkat, teliti dan padat sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 104-105. Ali Raza Tahir menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad Iqbal bahwa hal itu juga bertujuan untuk mengungkapkan tanda-tanda (keberadaan dan kekuasaan) Allah kepada manusia. Ali Raza Tahir, “The Concept of Ethical Life in Islam” dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, Vol. 3. No. 9. 2012 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/964018844?accountid=25704, tanggal 23-04-2014, pukul 23.03 WIB), 1361.

83 ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad, Filsafat Qur’an, Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Qur’an, Penerj; Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 13.

113

yang mengatakan realitas adalah apa yang dideskripsikan dalam alam idea, dibantah dengan keras oleh Empirisme yang justru menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Rasionalisme menjadikan realitas empiris sebagai bayangan dari idea manusia, sebaliknya Empirisme justru menjadikannya sebagai hal yang utama untuk disebut realitas. Realitas Empirisme mengarah kepada hal yang berupa materi. Seolah-olah Empirisme membatasi ontologi hanya pada wilayah empiris. Hal ini sangat berkaitan erat dengan fakta. Bangunan konsep Empirisme tentang fakta adalah sesuatu yang real (nyata), yaitu sesuatu yang dapat diketahui pancaindra dan dapat dihitung. Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya Epistimologi Fundasional mengutip pandangan Thomas Kuhn dan Michel Polanyi yang menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara sendiri, fakta hanya berbicara dalam kerangka teori atau paradigma tertentu. Betrand Russel menyebutkan fakta adalah segala sesuatu yang ada di alam. Fakta merupakan sesuatu yang dapat di observasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan benar dan salahnya secara empiris.84 Pandangan ini kemudian menjadi salah satu titik penting yang ditekankan Positivisme. Positivisme menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas maka membuka ruang bagi manusia untuk mengetahui bagian-bagiannya yang positif,85 yaitu yang

84 Disebutkan oleh Akhyar Yusuf Lubis bahwa secara umum dalam ilmu

pengetahuan, terdapat hubungan yang sangat erat antara fakta dengan teori. Penjelasan tentang hubungan antara fakta-fakta disebut teori. Jadi teori adalah suatu pernyataan yang dapat dibuktikan benar dan salahnya. Secara umum, ada beberapa peran teknis fakta terhadap teori, yaitu untuk membenarkan teori (memverifikasi) atau membuktikan salahnya (memfalsifikasi) teori. Selain itu fakta juga dapat mempertajam atau memperluas rumusan teori yang ada dan yang terakhir fakta dapat menimbulkan munculnya sebuah teori baru. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 91-92. Fakta-fakta itulah yang kemudian disebut pengalaman sebagai dasar pengetahuan. Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB), 115.

85 Auguste Comte mendefenisikan kata ”positif” tentang alam sebagai sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata. Pemahaman Comte tentang “positif” berbeda dengan pemahaman Schelling yang mendefenisikan secara lebih luas. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191 dan Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266. Vincent A. Wellman menyebutkan juga bahwa hukum alam yang ada dan meliputi setiap wujud dari benda-benda alam, dijadikan sebagai subjek sekaligus objek perhatian dalam Positivisme. Vincent A. Wellman,

114

memungkinkan manusia untuk mengetahui secara pasti dan dapat dibenarkan oleh setiap orang berdasarkan sumber pengetahuan yang sama yaitu pancaindra.86

Dalam konteks penafsiran ayat-ayat tentang alam, ‘Abduh secara tidak langsung telah mengaplikasikan konsep Positivisme yang melandaskan pembenaran proposisi pada fakta empiris yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah. Misalnya ayat-ayat yang membahas tentang terbelahnya langit (surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1), ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) dari tiap-tiap planet. Pada dasarnya, ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkan ayat ini dengan penafsiran lain misalnya melalui pendekatan teologis, kemudian membuat spekulasi rasional dengan menyebutkan “terbelahnya langit sebagai bentuk kekuasaan Allah terhadap alam dan hanya Allah yang mengetahui kejadian sesungguhnya”, atau cukup mengatakan bahwa “hal itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi di masa yang akan datang dan manusia cukup mengimaninya atau memperbanyak ibadah sebagai persiapan menghadapi kejadian tersebut”. Namun dalam kenyataannya, ‘Abduh tidak berbuat demikian. ‘Abduh justru menjadikan realitas empiris sains sebagai deskripsi pembenaran dari tafsiran yang diberikan terhadap ayat.

Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh terkait fenomena meluapnya lautan (al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3) dan penyakit cacar (surat al-Fi@l (105) ayat 3-4. Mengenai surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3, ‘Abduh memberikan penafsiran dengan deskripsi bahwa ketika terjadi sebuah gempa yang menyebabkan batas-batas antar lautan hancur sehingga “Positivism, Emergent and Triumphant” dalam Michigan Law Review, Vol. 97, May 1999 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/201044593?accountid=25704, tanggal 12-06-2014, pukul 21.12 WIB), 1725.

86 Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas, Comte mengharapkan agar setiap manusia mampu mengungkap dan menemukan hukum kebenaran dari fenomena-fenomena yang ada di wilayah empiris. Bahkan Nadem J. Z. Hussain menegaskan bahwa Comte telah mengkolaborasikan antara aspek penalaran dan observasi dalam upaya Comte untuk menemukan hukum kebenaran (realitas empiris) dari fenomena. Nadem J. Z. Hussain, “Nietzsche’s Positivism” dalam European Journal of Philosophy, 2004 (Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_NsPositivism.pdf, tanggal 13-05-2012, pukul 02.04 WIB), 344.

115

seluruh air yang ada di laut menyatu dan penuh, kemudian menjadikan air tersebut tumpah ke daratan, atau bergolaknya api yang ada di dalam perut bumi, kemudian naik ke permukaan bumi dan mendorong massa air laut sehingga menjadikannya meluap ke daratan. Selain itu ‘Abduh juga menguatkan penafsirannya dengan mengemukakan peristiwa meletusnya salah satu gunung berapi di daerah Jawa pada waktu itu (1883) atau dikenal dengan fenomena gunung Krakatau. Sedangkan mengenai surat al-Fi@l (105) ayat 3, ‘Abduh menafsirkan t}aira>n aba>bi@l sebagai nyamuk atau lalat yang membawa virus yang kemudian menjadikan pasukan bergajah yang menyerang Mekah terjangkit penyakit cacar sehingga kemudian mereka mati seperti daun yang dimakan ulat.

Tentang kedua penafsiran ‘Abduh tersebut, sebenarnya ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkannya dengan penafsiran lain. Misalnya seperti gaya penafsiran teologis yang dihadirkan al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit{a>r (82) ayat 3 dengan meluapnya air laut87 dimana Allah menjadikan sebagiannya meluapi sebagian yang lain sehingga seluruhnya akan menjadi penuh,88 atau seperti penafsiran al-Qurt}ubi@ yang dikutipnya dari riwayat al-Qushairi@ yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan penghalang (batas) antara keduanya dengan cara-Nya sehingga antara keduanya tidak saling melampaui dan jika pembatas itu diangkat, maka terpancarlah air laut yang kemudian akan menggenangi seluruh bumi sehingga semuanya (tergenang) menjadi satu lautan.89 Begitu

87 Al-T{abari@ menyebutkan bahwa penafsiran tentang surat al-Takwi@r (81)

ayat 6 dalam pandangan ulama-ulama sebelum beliau secara umum terbagi kepada tiga penafsiran, ada yang memahami maksud ayat tersebut dengan lautan yang menyalakan api dan dipanaskan, ada yang menafsirakannya dengan meluap dan ada juga yang menafsirkannya dengan menghilangnya air laut. Dari ketiga penafsiran ulama tersebut, al-T{abari@ menyebutkan bahwa penafsiran yang tepat dari surat al-Takwi@r (81) ayat 6 adalah pendapat yang kedua yang bermakna meluapnya air laut. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n , 137-141.

88 Mirip dengan penafsiran surat al-Takwi@r (81) ayat 6, pada intinya al-T{abari@ juga menafsirkan surat al-Infit{a>r (82) ayat 3 dengan “air yang meluap”, namun penafsiran al-T{abari@ tentang ayat ini lebih sedikit bermuatan teologis dengan menyebutkan bahwa “Allah menjadikan sebagiannya meluapi bagian yang lain sehingga menjadikan semuanya menjadi penuh”. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r Al-T{abari, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, 174.

89 Abi@ ‘Abdalla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@, al-Ja>mi’ li@ Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba>’ah wa al-Nashr, 1967), 230.

116

juga ketika al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan t{aira>n aba>bi@l dalam surat al-Fi@l (105) ayat 3 sebagai burung yang berbondong-bondong. Bahkan al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ sampai menjelaskan bentuk dan ciri-ciri dari burung tersebut, meskipun mereka tidak melihat secara langsung atau mengetahui secara pasti kronologis kejadiannya.90

Mengenai surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit{a>r (82) ayat 3, penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terlihat berbeda jika dibandingkan dengan penafsiran al-T{abari@ dan al-Qurt{ubi@. ‘Abduh cenderung menunjukkan ketertarikannya untuk menjadikan fakta-fakta empiris dan analisis sains sebagai deskripsi dari informasi ayat, seperti penafsiran tentang meluapnya lautan (dalam surat Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3) dengan melihat proses naiknya magma ke permukaan bumi melalui letusan gunung berapi sehingga berakibat Tsunami seperti yang terjadi di daerah Jawa.91 Kemudian penafsiran ‘Abduh tentang t}aira>n aba>bi@l dalam surat al-Fi@l (105) ayat 3 sebagai penyakit cacar. Penafsiran ini didasarkan kepada serangkaian proses beserta akibat yang dapat ditimbulkan penyakit cacar pada tubuh manusia dan juga ditunjang dengan informasi-informasi historis yang melingkupi ayat. Model aplikasi dari penafsiran yang diterapkan ‘Abduh menjadikan informasi yang dibawa ayat lebih bisa terlihat real dan diterima oleh akal manusia. Inilah karakteristik yang kedua yang

90 Al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari> secara umum menafsirkan t{aira>n aba>bi@l

sebagai burung yang berbondong-bondong. Al-Ra>zi@ menafsirkan t}aira>n aba>bi@l sebagai burung yang datang berbondong-bondong dengan ciri-ciri paruhnya seperti gajah dan cakarnya seperti anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam. al-Zamakhshari@ juga menafsirkan t}aira>n aba>bi@l sebagai burung (dengan ciri-ciri) berwarna hijau dan putih. Al-Zamakhshari@ menjelaskan bahwa setiap burung tersebut membawa batu yang terletak di paruhnya dan di kedua kakinya. Ketika batu tersebut dijatuhkan di atas kepala seseorang maka batu tersebut akan keluar dari duburnya dan pada tiap batu telah tertulis nama dari orang yang akan ditimpakan batu tersebut. ‘Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’31, 99-100. Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6, 433-434.

91 Lynn Nutwell menyebutkan bahwa ledakan dahsyat pernah terjadi di tengah-tengah perairan Indonesia, tepatnya peristiwa meletusnya gunung Krakatau 1883 yang menyebabkan naiknya air laut ke daratan-daratan yang ada di sekitaran gunung. Lynn Nutwell, “Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883” dalam School Library Journal, Vol. 49, 2003 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/211725793?accountid=25704, tanggal 12-06-2014, pukul 14.08 WIB), 210.

117

diperlihatkan ‘Abduh dalam penafsiran-penafsirannya yang bernusansa Positivistik.

3. Meminimalisasi Penafsiran dalam Wilayah Transendental.

Dalam sejarah masyarakat Eropa pada putaran abad ke-17 hingga abad setelahnya, sains mengalami pekembangan yang pesat. Pandangan mereka tentang kebenaran alam, bergerak ke arah Empirisme dan mengukur benar-salah sesuatu berdasarkan fakta-fakta sains (fakta ilmiah). Cara pandang seperti ini menjadikan masyarakat Eropa mendefinisikan alam empiris sebagai alam yang layak untuk disebut sebagai alam sebenarnya dan menafikkan segala sesuatu yang berada di luar itu untuk disebut alam. Mereka menganggap nyata segala hal yang bisa ditunjukkan dalam alam empiris atau sains dan menganggap segala hal yang berada di luar wilayah tersebut sebagai khayalan atau asumsi. Paradigma Empirisme yang semakin mengakar dalam diri masyarakat Eropa, menjadikan mereka secara perlahan-lahan mulai menafikkan keberadaan dan kebenaran dari wilayah metafisik. Bahkan lebih ekstrim lagi adanya pengingkaran penuh terhadap Tuhan dan agama.92

Cara pandang seperti ini jelas bertententangan dengan doktrin ke-Islaman. Islam justru mengakui wilayah metafisik dan dalam hal-hal tertentu justru mewajibkan setiap muslim untuk mengimaninya. Misalnya saja Alquran sebagai landasan utama hukum dan nilai dalam Islam, memuat begitu banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal yang berada di dalam wilayah transendental seperti tuhan dan sifat-sifatnya, malaikat, jin serta surga dan neraka. Dalam menyikapi ayat-ayat yang berbicara tentang hal-hal yang berada pada wilayah transendental, nampaknya ‘Abduh memiliki cara pandang dan konsep

92 Sayyed Hosein Nasr menjelaskan bahwa sejak abad ke-17 peradaban

Barat mulai diselimuti sekularisme. Untuk pertama kalinya bangsa Barat mulai memisahkan diri terhadap agama dan mengikatkan diri kepada sains modern yang empiris dan dengan itu mereka secara perlahan-lahan mulai berusaha menggantikan peran agama. Dengan mengikatkan diri kepada kebenaran empiris sains, mereka mulai mempersoalkan agama dan doktin-doktrin teologi agama. Gerakan seperti ini dinilai sebagai gerakan filsafat modern yang diistilahkan dengan Misosophy (kebencian yang muncul dari cinta terhadap kebijaksanaan yang menjadi makna etimologis filsafat). Bahkan dalam sebagian gerakan filsafat-filsafat empiris dan sains, mulai memandang dirinya sebagai pengganti agama-agama yang ada. Sayyed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Penerj; Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1994), 155-157.

118

sendiri. Dalam pandangan ‘Abduh, akal manusia pada dasarnya tidak akan mampu menyusun dan mengungkap pengetahuan tentang substansi hal-hal gaib (transendental).93 Hal itu bukan berarti bahwa keterangan dan kebenaran dari informasi yang dibawa Alquran (terkait persoalan transendental) bertentangan dengan akal manusia, namun kemampuan akal yang terbatas menjadikan akal tidak mampu masuk ke dalam wilayah transendental guna mengetahui kebenaran mutlak dari hal-hal yang berada dalam wilayah transendental itu sendiri.94 Dalam konteks ini ‘Abduh lebih cenderung mengambil sikap untuk mempercayai dan mengimani hal-hal tersebut, karena pengetahuan yang benar tentang hal-hal gaib (transendental) bukanlah berada dalam jangkauan manusia, namun berada dalam kekuasaan Allah.95

M. Quraish Shihab juga menilai bahwa ‘Abduh lebih bersikap untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang berada di luar jangkauan akal,

93 Bagi ‘Abduh, persoalan dalam wilayah transendental menjadi persoalan

yang berada di luar jangkauan akal manusia. Kemampuan akal yang terbatas, membuat jurang pemisah dalam pengetahuan manusia antara alam nyata dan alam gaib. Di sinilah letak keterbutuhan manusia dengan rasul sehingga pengimanan terhadap alam gaib tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan pengakuan adanya Nabi. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 83-84.

94 Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i menjelaskan bahwa Alquran mempunyai kedudukan yang tinggi, terutama dalam hal nilai spiritual. Dalam pembahasan-pembahasan tertentu, karna tingginya nilai-nilai yang diungkap dalam Alquran, menjadikannya tidak terjangkau oleh manusia. Terbatasnya kemampuan manusia untuk menembus wilayah pembahasan tersebut sehingga dalam memahaminya dibutuhkan perumpamaan-perumpamaan yang melibatkan akal. Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia al-Quran, Penerj; A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), 70-71.

95 ‘Abduh menjelaskan pandangan ini ketika menafsirkan surat al-Qa>riah (101) ayat 8-9 sebagai respon terhadap perbedaan penafsiran dari beberapa mufasir sebelum ‘Abduh yang begitu jauh menafsirkan ayat ini (secara umum berbicara tentang proses penimbangan amal ibadah manusia di akhirat) yang sampai menafsirkan bagaimana bentuk detail dari timbangan yang akan digunakan Allah dalam menimbang amal ibadah manusia di hari kemudian. ‘Abduh menjelaskan bahwa, akal manusia pada hakikatnya tidak akan mampu menyingkapi pengetahuan terhadap hal tersebut, bahkan jika dipaksakan justru akan menjauhkan dari pengimanan terhadap hal-hal gaib. Bagi ‘Abduh, yang lebih layak dilakukan oleh seorang muslim adalah mempercayai bahwa kelak Allah akan benar-benar menimbang amal ibadah manusia di hari kemudian dengan caranya sendiri dan tidak perlu bertanya-tanya tentang bagaimana cara Allah menimbang dan bagaimana cara Allah menentukan nilai. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 147.

119

dan tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak dirinci oleh Alquran. Bahkan ‘Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan justru menganjurkan untuk tidak membahasnya.96 J. M. S. Baljon juga menegaskan bahwa salah satu kecenderungan yang menonjol dari mufasir modern adalah adanya usaha untuk meniadakan segala hal yang bersifat tahayul atau menghindari sebisa mungkin eksplorasi hal-hal ghaib dalam penafsiran-penafsiran terhadap Alquran.97 Sayyed Ah{mad Kha>n juga menganggap penting usaha meminimalisir kecenderungan dominasi cerita-cerita supranatural (transendental) serta hal-hal lain yang berada di luar nalar dan saintifik manusia karena dengan melandaskan pemahaman Alquran melalui dominasi cerita-cerita yang bersifat transendental maka akan menutup akses yang sama bagi seluruh manusia untuk memahaminya sehingga hasil penafsiran cenderung bersifat eksklusif.98

Dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ada beberapa ayat yang menyinggung persoalan transendental dan ‘Abduh lebih mengambil sikap untuk tidak memfokuskan penafsiran terhadap hal tersebut, apalagi berusaha menafsirkan secara rinci substansi keadaan dari wilayah transendental yang dibicarakan Alquran. Sikap ‘Abduh justru lebih kepada upaya untuk menyarankan pembaca agar mengimani kebenaran dari apa yang diinformasikan oleh ayat. Dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, setidaknya terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh yang menunjukkan kecenderungan seperti

96 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 78-79.

97 J. M. S. Baljon melihat bahwa para mufasir era modern telah terpengaruh paradigma modern masyarakat Eropa yang lebih berpegang kepada alam fisis dan mengesampingkan hal-hal metafisis. Kebanyakan masyarakat Eropa modern menganggap cerita-cerita metafisis hanya bersifat tahayul dan primitif. Menurut Baljon, cara pandang inilah yang telah merasuk ke dalam diri sebagian mufasir modern sehingga ketika menafsirkan ayat-ayat yang bersinggungan dengan persoalan transendental, mereka cenderung berspekulasi dengan mengetengahkan deskripsi empiris-ilmiah atau memperkecil eksporasi hal-hal gaib dalam uraian penafsirannya. J. M. S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (Leiden: E. J. Brill, 1968), 21-24.

98 Sayyed Ah{man Kha>n mengangap penting untuk menghilangkan kecenderungan penafsiran yang melandaskan pemahamannya pada cerita-cerita supranatural. Menurut Kha>n, pendekatan dengan sains lebih bersifat universal yang membuka akses lebih luas bagi seluruh manusia untuk memahaminya. Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 127.

120

ini. Pertama, ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 18 yang berbicara tentang peniupan (يوم ينفخ فى الصور فتأتون أفواجا)sangkakala pada hari akhir. Dalam ayat ini diinformasikan bahwa pada hari akhir akan ditiupkan sangkakala dan kemudian manusia datang secara berkelompok-kelompok. Mengenai ayat ini ‘Abduh terlebih dahulu menjelaskan tafsirannya bahwa informasi dari ayat itu memberikan gambaran tentang begitu cepatnya proses kebangkitan manusia pada hari kiamat dan seolah-olah proses kebangkitan tersebut hanya membutuhkan waktu satu tiupan saja.99 Sedangkan mengenai bagaimana proses peniupan sangkakala dilakukan, ‘Abduh lebih menyarankan pembaca untuk sekedar mengimaninya dan tidak berusaha untuk mencari tahu bagaimana cara peniupan maupun hakekat benda dari sangkakala, karena membahas hal itu sama dengan melakukan perbuatan yang sia-sia.100 Di sisi yang berbeda, al-T{abari@ justru mencoba menafsirkan الصور (sangkakala) dengan mengutip riwayat-riwayat dari para sahabat yang kemudian dijadikan sebagai tafsiran ayat ini. Di antara riwayat-riwayat tersebut ada yang menyebutkan bahwa sangkakala adalah tanduk yang ditiup101 dan ada riwayat lain yang mencoba menjelaskan keadaan pada saat ditiup sangkakala dengan menyebutkan bahwa Isra>fi@l telah menyentuh sangkakala dan keningnya telah ditundukkan sambil menunggu perintah Allah untuk meniup sangkakala.102

Kedua, penafsiran ‘Abduh terkait surat al-Infit}a>r (82) ayat 10-12103 yang secara umum menginformasikan bahwa sesungguhnya bagi

99 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 5. 100 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 5. 101 Al-T{abari@ menafsirkan lafazh al-S{u>ri (sangkakala) dalam surat al-Kahfi

(18) ayat 99 sebagai tanduk yang ditiup. Penafsiran ini disandarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdulla>h Ibn ‘Amr. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n, Juz’ 15 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 416.

102 Penafsiran tentang lafazh al-S{u>ri dalam surat al-An’a>m (6) ayat 73 berasal dari sebuah hadis Nabi yang tidak disebutkan sanadnya oleh al-T{abari@, namun intinya hadis tersebut menyebutkan bahwa Isra>fi@l telah memenyentuh sangkakala dan menundukkan kepalanya menunggu perintah Allah datang untuk meniup sangkakala. Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n, Juz’ 9 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 340.

103 Surat al-Infit}a>r (82) ayat 10-12;

¨βÎ) uρ öΝä3ø‹n= tæ t⎦⎫ ÏàÏ≈ ptm: ∩⊇⊃∪ $YΒ#t Ï. t⎦⎫ Î6ÏF≈ x. ∩⊇⊇∪ tβθçΗ s>ôè tƒ $ tΒ tβθè=yè øs? ∩⊇⊄∪

121

setiap manusia ada (petugas-petugas) yang mengawasi dan mencatat serta mengetahui segala apa yang telah dilakukan oleh manusia. Mengenai ayat ini, ‘Abduh menafsirkan bahwa di antara hal-hal yang wajib diimani (manusia) adalah adanya (makhluk Allah) pada tiap-tiap manusia yang bertugas mencatat dan mengawasi setiap perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Namun bukanlah suatu kewajiban bagi manusia untuk mencari tahu tentang substansi mereka, baik itu tentang dari apa mereka diciptakan dan apa saja yang mereka lakukan untuk mencatat dan mengawasi (manusia). Apakah mereka menggunakan alat-alat tulis seperti yang biasa dikenal manusia atau tidak, ataukah hanya berupa ruh yang merekam semua yang dilakukan manusia. ‘Abduh juga menegaskan bahwa pengetahuan tentang hal itu bukanlah menjadi tanggung jawab bagi manusia. Kewajiban manusia hanya mengimani kebenaran informasi yang disampaikan Allah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang makna yang sebenarnya. Seharusnya, manusia memfokuskan perhatian pada amal perbuatan yang dilakukan karena semua itu pasti akan dicatat dan dihitung.104

Ketiga, penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Buru>j (85) ayat 21-22105 dimana ayat ini secara umum berbicara tentang pendustaan sekelompok manusia (kaum Fir’aun dan kaum Thamu>d sebagaimana disebutkan Allah dalam surat al-Buru>j (85) ayat 18) terhadap kebenaran Alquran yang tersimpan di al-Lauh{ al-Mah{fu>z}. Menyikapi ayat 22 dari surat al-Buru>j (85), ‘Abduh tidak menjelaskan hakekat keadaan dari al-Lauh{ al-Mah{fu>z} sebagaimana yang diinformasikan oleh Alquran, namun ‘Abduh hanya menjelaskan bahwa al-Lauh{ al-Mah{fu>z} merupakan sesuatu tempat yang diinformasikan oleh Allah sebagai tempat disimpannya Alquran tanpa memberitahu bagaimana hakikatnya dan manusia hanya berkewajiban mengimaninya sebagai sesuatu yang benar-benar ada.106

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (petugas-petugas) yang mengawasi, yang mulia dan mencatat, mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

104 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 36. 105 Surat al-Buru>j (85) ayat 21-22;

ö≅ t/ uθèδ ×β#u™öè% Ó‰‹Åg¤Χ ∩⊄⊇∪ ’Îû 8yöθs9 ¤âθàøt¤Χ ∩⊄⊄∪

“Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Alquran yang mulia, yang (tersimpan) dalam al-Lauh{ Mahfu>z{“.

106 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 61.

122

Keempat, penafsiran ‘Abduh terkait surat al-Lail (92) ayat 14107 dimana ayat ini bercerita tentang peringatan Allah kepada manusia tentang api yang menyala-nyala. Mengenai lafaz نارا تلظى (api neraka yang menyala-nyala) dalam ayat ini, ‘Abduh menjelaskan bahwa mengenai (hakikat keadaan) api neraka tersebut, manusia hanya berkewajiban sebatas mengimaninya, manusia tidak perlu menyelidikinya karena hal itu berkaitan dengan persoalan akhirat dan hanya Allah yang mengetahui persoalan tersebut. Kemudian ‘Abduh menjelaskan bahwa yang dapat diketahui hanyalah (api neraka) itu merupakan azab yang amat pedih bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya.108 Penafsiran yang senada juga diperlihatkan ‘Abduh ketika menafsirkan surat al-Bayyinah (98) ayat 6.109 Secara umum ayat ini menginformasikan tentang gambaran keadaan orang-orang kafir (dari kalangan ahlul kitab) dan orang-orang musyrik yang nantinya akan berada di neraka Jahannam dan itulah gambaran dari seburuk-buruk manusia. Mengenai neraka Jahannam yang disebutkan dalam ayat tersebut, ’Abduh menjelaskan tafsirannya bahwa neraka Jahannam merupakan suatu tempat penghukuman di akhirat. Tentang bagaimana hakekat keadaan neraka (Jahannam) tersebut, manusia hanya wajib mengimani dan membenarkan keadaan azab yang ada di dalamnya lebih pedih dari pada azab di dunia. ‘Abduh juga menyebutkan bahwa seharusnya wajib bagi manusia untuk menghindari pembahasan tentang hakikat dari neraka Jahannam, baik itu tentang bahan bakar ataupun letak dari api neraka Jahannam itu sendiri, karena menurut ‘Abduh akal manusia tidak akan mungkin sampai mengetahui dan mengungkap hal tersebut.110

107 Surat al-Lail (92) ayat 14;

ö/ ä3è?ö‘x‹Ρr'sù #Y‘$tΡ 4‘©àn= s? ∩⊇⊆∪

“Maka Kami memperingatkan kamu akan neraka yang menyala-nyala”. 108 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 104. 109 Surat al-Bayyinah (98) ayat 6;

¨βÎ) t⎦⎪Ï%©!$# (#ρã xx. ô⎯ ÏΒ È≅÷δ r& É=≈tGÅ3ø9 $# t⎦⎫ Ï.Îô³ßϑø9 $#uρ ’Îû Í‘$ tΡ zΟΨyγy_ t⎦⎪Ï$Î#≈yz !$pκÏù 4 y7Í×≈ s9 'ρé& öΝèδ • Ÿ° Ïπ −ƒÎ y9ø9 $# ∩∉∪

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.

110 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma, 137.

123

4. Mengedepankan Argumentasi Ilmiah. Aspek lain yang menandakan sebuah penafsiran bernuansa

Positivistik adalah penafsiran tersebut berusaha mendeskripsikan informasi yang dihadirkan Alquran melalui bahasa sains modern. Sebagaimana filsafat Positivisme, keberadaan sains menjadi elemen penting yang mendasari pembenaran terhadap proposisi.111 Selain itu, sains juga dipercaya mampu menjadi medium dan barometer dalam mengungkap serta mengukur sisi-sisi positif dari sebuah proposisi sehingga Positivisme selalu mengupayakan deskripsi dari proposisi hadir dalam bahasa-bahasa ilmiah sains yang mengandung muatan fakta-fakta dan temuan sains. Positivisme meyakini bahwa dengan menggunakan bahasa sains dalam mendeskripsikan sebuah proposisi menjadikannya lebih bisa diterima akal.

Tafsir bernuansa Positivistik sebagaimana yang dimunculkan oleh sebagian mufasir pada masa modern, secara tidak langsung juga memperlihatkan kesejalanannya dengan paradigma Positivisme. Dalam konteks tertentu, tafsir Positivistik bisa dipahami sebagai sebuah upaya dari seorang mufasir untuk menghadirkan kehendak tuhan yang terumuskan dalam hukum alam dengan mengenal mekanisme sebab akibat yang memungkinkannya untuk bisa dikaji dan dibuktikan secara eksperimental.112 Tafsir Positivistik kelihatannya tidak hanya ingin menunjukkan korelasi yang erat antara Alquran dengan sains modern namun juga berusaha menunjukkan bahwa Alquran sebagai teks suci keagamaan mampu diinterpretasikan ke dalam bahasa-bahasa ilmiah sains modern. Artinya, gaya bahasa ilmiah sains modern dapat dimanfaatkan sebagai media pembuka ruang relasi secara langsung antara informasi Alquran dengan realitas empiris yang menjadikan setiap pembaca tafsir dapat mengetahui, mengukur dan menyelidiki realitas Alquran secara positif sehingga deskripsi dari realitas ayat

111 David L. Prychitko bahkan mengkritisi Positivisme yang terlalu

mengagung-agungkan sains yang bersifat nisbi. Inilah yang dalam pandangan Davit L Prychitko sebagai bentuk kegagalan Positivisme. David L. Prychitko, “Beyond Positivism and Relativism: Theory, Method, and Evidence” dalam Southern Economic Journal, 1997 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/212132638?accountid=25704, tanggal 18-06-2014, pukul 22.45 WIB), 359-360.

112 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta Selatan: Teraju, 2004), 100.

124

hadir dalam sistematisasi yang lebih real.113 Di samping itu, gaya bahasa ilmiah yang dijadikan sebagai argument atau deskripsi dari ayat yang ditafsirkan, dianggap mampu mempersempit ruang masuk cerita-cerita primitif dan mitos-mitos bersifat khayali yang sulit untuk dibuktikan secara empiris. Dominasi cerita-cerita primitif dan mitos-mitos yang bersifat khayali dalam membentuk sebuah pembenaran hanya akan mendorong seseorang untuk membenarkan secara emosional dan bersifat subjektif, bukan objektif.

Dalam filsafat Positivisme memang dikenal bahwa salah satu tujuan dari Positivisme adalah membentuk paradigma masyarakat yang terbebas dari cerita-cerita prmitif dan mitos-mitos yang bersifat khayali sehingga tidak terbuka ruang yang sama bagi setiap manusia untuk dapat membuktikannya.114 Jika dibandingkan dengan sejarah gerakan dan visi yang diusung ‘Abduh, ‘Abduh memang berencana mengikis segala bentuk bid’ah, tahayul dan khurafat yang saat itu sedang menyebar di tengah-tengah umat Islam terkusus di Mesir.115

113 Hal ini tergambar dari penjelasan ‘Abduh ketika menafsirkan surat al-

Gha>shiyah (88) ayat 20 dimana ‘Abduh sempat menyebutkan bahwa pemilihan unta, langit, gunung dan bumi sebagai perumpamaan dikarenakan benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang dapat diamati secara langsung oleh pancaindra. Jika semua manusia mau memahami Alquran melalui penalaran terhadap alam semesta, maka sesungguhnya setiap orang akan menemukan hal yang sama bahwa alam yang mereka lihat merupakan perwujudan dari apa yang diulas Allah dalam Alquran yang tidak akan pernah lepas dari wujud dan pemeliharaan Allah. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah mengembalikan semangat pengkajian alam (semangat ilmiah ) agar membuahkan pengetahuan sempurna dan kesadaran. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 75. Al-Marbawi juga memahami bahwa mengetahui ilmu pengetahuan modern secara mendalam, dapat membantu mufasir dalam menemukan alternatif-alternatif makna yang lebih sesuai dengan Alquran. Nor Syamimi Mohd Dkk, “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06-2014, pukul 20.07 WIB), 240.

114 Doyle Paul Johnson menjelaskan bahwa salah satu tujuan mengapa Positivisme menerima sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar pada analisis sains modern adalah untuk melahirkan suatu masyarakat dengan budaya penalaran akal budi yang (dianggap) benar sehingga unsur-unsur tahayul, ketakutan, kebodohan, paksaan dan konflik di tengah-tengah masyarakat akan hilang secara perlahan-lahan. Pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Positivisme Comte. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 80.

115 Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 254-258. Inilah penyakit tercela yang menggerogoti

125

Jika penafsiran pada periode klasik atau sebelum era modern cenderung menuntut keberadaan iman terlebih dahulu untuk bisa masuk meyakini kebenaran realitas informasi Alquran sehingga sering kali cerita-cerita fiktif yang bersifat khayali atau transendental dengan muatan teologis hadir memperkuat atau membenarkan realitas yang diinformasikan Alquran, maka berbeda halnya jika menyelami Alquran dengan beranjak dari pengungkapan realitas Alquran dalam tinjauan sains modern. Luasnya wilayah yang diulas oleh Alquran, baik itu persoalan dalam wilayah metafisis dan fisis, secara tidak langsung Alquran telah memperlihatkan bahwa pada Alquran itu sendiri terdapat sisi-sisi yang membuka ruang yang sama bagi seluruh manusia untuk mengetahui, memahami, menyelidiki dan mengukur dimensi-dimensi yang “positif” tanpa perlu terlebih dahulu melandasi diri dengan iman. Manusia secara keseluruhan memiliki satu barometer ukur yang bersifat universal yaitu melalui pembuktian secara empiris dengan melakukan penyelidikan yang didasarkan pada pemahaman akal atas hasil tangkapan pancaindra sehingga dengan tolak ukur yang sama dari setiap manusia maka akan mungkin ditemukan satu bukti kebenaran yang sama terhadap Alquran.116 Inilah salah satu wujud dari teknis pembenaran proposisi yang di dasarkan pada pengalaman dalam filsafat Positivisme-Empirisme. Langkah seperti ini sebelumnya pernah dilakukan oleh salah seorang orientalis Prancis yang bernama Maurice Bucaille. Bucaille mencoba membandingkan kebenaran Bible dengan Alquran dalam mengungkap persoalan-persoalan empiris pada alam dan memahami ayat-ayat pada Bible dan Alquran dengan pendekatan sains empiris, kemudian memberikan deskripsi-deskripsi dari ayat-ayat yang dibahas dalam

masyarakat Mesir pada waktu itu yang menurut ‘Abduh bukan bagian dari apa yang diajarkan Islam. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 15.53 WIB), 4918.

116 Inilah yang sempat disebutkan oleh Nor Syamimi Mohd dan kawan-kawan bahwa upaya pengungkapan fakta-fakta secara ilmiah dari Alquran merupakan bagian dari nilai-nilai kemukjizatan yang dikandung Alquran. Nor Syamimi Mohd Dkk, “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06-2014, pukul 20.07 WIB), 237.

126

bahasa sains.117 Langkah yang dilakukan Bucaille mengantarkannya pada kesimpulan bahwa Alquran adalah satu-satunya kitab suci keagamaan yang memuat persoalan-persoalan tentang alam beserta fenomenanya dengan menunjukkan keserasian antara informasi yang diceritakan Alquran dengan realitas empiris dan sains modern. Dengan kesimpulan tersebut, Maurice Bucaille mengakui bahwa Alquran benar-benar murni karya tuhan dan bukan karya manusia karena jika Alquran adalah karya manusia maka ia tidak akan lepas dari kesalahan dan ketidak serasian antara informasi ayat dengan realitas alam empiris dan sains modern.

Rotraud Wielandt menjelaskan pandangan ‘Abduh bahwa Alquran merupakan pengejawantahan bimbingan Allah terhadap manusia yang terkorelasi dengan tanda-tanda kekuasaannya pada alam. Selayaknya setiap manusia berusaha memahami bimbingan tersebut dengan memusatkan usaha mereka pada pencarian makna-makna Alquran melalui pembacaan tanda-tanda yang telah diletakkan-Nya pada alam, memahami hukum dan norma-norma yang tersimpan di belakangnya. Sikap ini merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan dari pada seorang mufasir hanya disibukkan dengan persoalan dan perdebatan tata bahasa arab serta cerita-cerita mistis dalam memahami Alquran.118

Dalam aplikasi bahasa ilmiah sebagai argument dalam menafsirkan ayat, secara umum mengandung beberapa ciri utama. Pertama, gaya bahasa yang dijadikan sebagai argument dalam menafsirkan ayat merupakan hasil telaah dan eksperimen yang telah dilakukan sebelumnya, baik langsung ataupun tidak langsung. Kedua, gaya bahasa yang dihadirkan bersifat hipotesis yang mengandung

117 Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science (Diakses dari http://www.islamicbook.ws/english/english-017.pdf, tanggal 13-06-2014, pukul 16.05 WIB), 2-18.

118 Bagi ‘Abduh, di dalam Alquran tercakup bimbingan Allah untuk menjadikan manusia mengenal alam. Oleh karena itu ‘Abduh meyakini bahwa dalam konteks tertentu Alquran sama sekali tidak bertentangan dengan hukum alam dan akal manusia yang berperan penting mengungkap makna-makna Alquran melalui pendekatan ilmiah pada alam. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 127-128. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 15.53 WIB), 4917-4918.

127

hukum sebab akibat. Ketiga, gaya bahasa yang dihasilkan bersifat terbuka untuk diverifikasi melalui penyelidikan dan penemuan baru yang dirasa lebih tepat dan benar. Keempat, gaya bahasa yang dihadirkan penuh dengan muatan dan prediksi empiris sehingga mampu membuat prediksi atau ramalan tentang kejadian pada masa yang akan datang.119 Jadi, ketika Alquran menyebutkan “apabila langit terbelah” (surat al-Infit}a>r (82) ayat 19),120 kemudian ditafsirkan dengan “Allah membelah langit dengan kehendak dan kekuasaan-Nya” maka secara teologis penafsiran tersebut dapat diterima. Namun secara ilmiah, masih terdapat sisi lain dari ayat yang masih bisa dikejar dan digali lebih dalam lagi sehingga akan terkuak realitas yang bersifat empiris eksperimental dan mengandung hukum sebab akibat serta dapat diverifikasi secara terbuka bagi siapa saja yang ingin memverifikasinya. Misalnya seperti ‘Abduh yang menafsirkan “apabila langit terbelah” sebagai tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya gravitasi tiap-tiap planet sehingga seluruh planet akan menjadi hancur.121

C. Urgensi Tafsir Positivistik

Model penafsiran Positivistik yang diterapkan ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, telah memberikan inspirasi dan warna baru dunia penafsiran Alquran. Tendensi penafsiran yang berusaha melandaskan deskripsi realitas ayat kepada hal-hal ataupun fenomena-fenomena yang berada di dalam wilayah empiris yang juga didukung oleh kebenaran-kebenaran analisis ilmiah,122 menjadi model

119 Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa metodologi ilmiah iptek

secara umum mengandung keempat unsur tersebut. Bahasa ilmiah dalam memahami Alquran secara substansi berusaha mengejar sisi-sisi yang mampu dideskripsikan dengan bahasa yang menjadikan kehendak tuhan terumuskan dalam hukum alam yang mengenal mekanisme sebab akibat yang memungkinkan siapapun untuk bisa mengkaji dan membuktikan secara eksperimental. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), 100-101.

120 Surat al-Infit}a>r (82) ayat 19; مآء انفطرت .(Apabila langit terbelah) اذا الس121 Gaya penafsiran seperti ini dapat dilihat dalam penafsiran ‘Abduh terkait

surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma (Kairo: al-Ami@riyyah, 1322 H), 5, 33 dan 49.

122 Bagi ‘Abduh, wahyu dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dan antara keduanya dapat diintegrasikan. Detlev Kha>lid, “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari

128

penafsiran yang banyak menarik perhatian dari berbagai kalangan. Banyaknya upaya menafsirkan Alquran dengan corak Positivistik yang muncul sejak pasca ‘Abduh, baik itu dari kalangan ulama Islam ataupun ilmuwan-ilmuwan, menjadi bukti bahwa model penafsiran Positivistik telah banyak diminati dan dianggap penting sebagai salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk memahami Alquran. Merujuk kepada aplikasi penafsiran (bertendensi Positivistik) dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma beserta ide-ide pembaharuan yang ingin diwujudkan ‘Abduh, setidaknya terdapat sejumlah poin yang menandakan urgensi penggunaan model tafsir Postivistik.

1. Integrasi Alquran dan Sains

Relasi antara kitab suci dan sains di Eropa, pernah mengalami masa-masa kelam. Keberadaan paham Materialistik yang sempat berkembang di Eropa, memberikan efek yang negatif dalam membentuk paradigma masyarakat dalam melihat hubungan kitab suci dan sains.123 Kitab suci yang merupakan bagian pokok dari agama dan sains sebagai hasil dari proses pengetahuan manusia dianggap sebagai dua unsur yang saling terpisah. Mereka menganggap bahwa sains merupakan sebuah pengetahuan yang bersifat sekuler,124 duniawi serta jauh dari unsur keagamaan. Sains juga dianggap sebagai faktor dasar yang menentukan kemajuan dalam kehidupan dan peradaban http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 11.

123 Munculnya perhatian-perhatian sebagian orang dari masyarakat Eropa yang mencoba memperhatikan berbagai fenomena-fenomena alam pada masa itu dinilai sebagai awal pengaruh paradigma Materialistik. Hal ini dibuktikan adanya upaya pembuktian ajaran-ajaran agama dalam kitab suci Kristen (Bible) yang kemudian menimbulkan pertentangan antara saintis dan agamawan ortodok. Upaya Galileo mempersoalkan bahwa bumi itu bulat adalah salah satu contoh paradigma Materialisme yang menyelimuti Eropa sehingga ajaran-ajaran agama Kristen yang seharusnya berada dalam wilayah pengimanan, justru mendapat penggugatan dari jamaahnya. Seng Piew Loo, “Islam, Science and Science Education: Conflict or Concord?” dalam Studies in Science Education, 2001 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/222856588?accountid=25704, tanggal 22-06-2014, pukul 23.40 WIB), 45-50.

124 Mereka memandang segala sesuatu berdasarkan epistemologi Empirisme yang melihat realita sebagai kebenaran yang sesungguhnya. Brian W. Ogilvie, “The Science of Describing: Natural History in Renaissance Europe” dalam Science and Technology, 2006 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/225775522?accountid=25704, tanggal 17-06-2014, pukul 20.38 WIB), 665.

129

manusia di dunia.125 Sebaliknya, kitab suci dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kemunduran. Agama dan kitab suci dipandang telah mengekang ruang dan proses perkembangan pengetahuan manusia. Perkembangan sains cenderung terhambat oleh doktrin-doktrin yang disampaikan oleh kitab suci. Ketika realitas sains yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan (saintis) bertentangan dengan berita yang dibawa kitab suci atau doktrin agama, maka realitas sains dianggap sebagai suatu kekeliruan. Dalam sejarah masyarakat Kristen, hubungan antara kitab suci (Bible) dengan sains pernah sampai pada kondisi yang tidak lagi menunjukkan kedua hal tersebut berbeda dan terpisah, namun justru telah mengarah kepada sikap yang menunjukkan pertentangan antara kitab suci dan sains. Bahkan sebagian saintis terpaksa harus menjalani hukuman mati atau hukuman bakar hanya karena dia telah mengungkapkan sebuah penemuan sains yang bertentangan dengan apa yang diberitakan kitab suci (Bible).126

125 Ah{mad Fua>d Ba>tha> menyebutkan bahwa dalam peradaban Barat pernah

berkembang sebuah paham Materialistik. Paham ini kemudian mempengaruhi paradigma masyarakat Eropa pada waktu itu dalam melihat hubungan antara kitab suci dan sains. Akibat paham Materialistik tersebut, dalam masyarakat Barat mulai muncul kecenderungan untuk memisahkan sains dengan kitab suci. Mereka memiliki jargon bahwa sains dianggap sebagai penentu kehidupan dunia dan syarat dari terbentuknya sebuah peradaban. Oleh karena itu sekularisasi antara sains dan agama dianggap sebagai langkah yang urgen dilakukan, karena sains itu sendiri dipandang bersifat sekuler, duniawi dan tidak bersifat keagamaan. Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n, 25. Paham inilah yang secara tidak langsung memunculkan sekularisari antara agama dan negara di beberapa negara Eropa, seperti Italia. David S. Peterson, “Out of the margins: Religion and the Church in Renaissance Italy” dalam Renaissance Quarterly, 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/222337111?accountid=25704, tanggal 23-05-2014, pukul 22.45 WIB), 837-838.

126 Maurice Bucaille menjelaskan bahwa di dunia Kristen selama beberapa abad, para pemegang otoritas agama telah melakukan penentangan terhadap perkembangan sains yang didasarkan pada inisiatif mereka sendiri dan bukan berlandaskan kepada kitab suci mereka. Terhadap mereka yang memajukan sains, para pemegang otoritas agama Kristen melancarkan tindakan-tindakan yang memaksa para saintis untuk menyembunyikan diri mereka dan kebenaran yang mereka bawa jika para saintis ingin terhindar dari hukuman mati bakar, kecuali jika mereka memperbaiki sikap dan kesimpulan sains yang mereka bawa atau jika mereka memohon ampun dan mengakui bahwa mereka telah berbuat salah. Kasus seperti ini pernah dialami oleh Galileo Galilie yang harus mengalami hukum mati bakar hanya karena ia mencoba melanjutkan penyelidikan Copernicus tentang peredaran bumi. Upaya yang dilakukan Galileo dianggap sebagai kekeliruan dalam menafsirkan ayat-ayat Bible sehingga apa yang ditemukan berdasarkan realitas penyelidikan ilmiah

130

Dalam perkembangan masyarakat Islam, cara pandang sekularistik antara Alquran dan sains ternyata juga pernah berkembang, meskipun tidak seperti yang terjadi di Barat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ah{mad Fua>d Ba>tha> bahwa munculnya sekelompok orang yang cenderung sekularistik di tengah-tengah umat Islam pasca berkembangnya paham Materialistik dan Sekularistik di Eropa, telah menyebabkan terjadinya pemisahan antara aspek materi dan rohani dari Alquran. Kecenderungan mereka lebih dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan dalam melihat relasi antara Alquran dan sains. Ah{mad Fua>d Ba>tha> juga menambahkan bahwa keyakinan seperti ini merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang telah menyebabkan terhentinya perkembangan sains dalam diri umat Islam, sehingga kemampuan berkreatifitas dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang bersifat baru juga ikut menjadi lumpuh.127

Alquran pada dasarnya mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh manusia karena Alquran itu sendiri turun untuk ditujukan bagi seluruh manusia. Di samping itu, manusia juga dituntut menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk menggali dan memahami maksud yang terkandung di dalamnya,128 walaupun tidak seluruh maksud ayat dapat diketahui secara pasti. Meskipun demikian, ada dimensi-dimensi tertentu dari informasi Alquran yang membuka ruang bagi manusia untuk lebih memanfaatkan metode pengetahuan yang Galileo yang berbeda dengan keterangan Bible dianggap sebagai sebuah kesalahan fatal yang harus dihukum. Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science Bibel Quran dan Sains Modern. Penerj. H. M. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 106. Seng Piew Loo, “Islam, Science and Science Education: Conflict or Concord?” dalam Studies in Science Education, 2001 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/222856588?accountid=25704, tanggal 22-06-2014, pukul 23.40 WIB), 45-50. Wood. C. G, “Renaissance Genius: Galileo Galilei & His Legacy to Modern Science” dalam Choice Science and Technology, Vol. 47. 2010 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/225677244?accountid=25704, tanggal 24-05-2014, pukul 01.03 WIB), 1091.

127 Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n, 25. 128 Alquran pada dasarnya meransang manusia untuk memahami secara

mendalam hal-hal yang diberitakan dari ayat-ayat Alquran itu sendiri. Bahkan Ahmad Mahmud Sulaiman lebih memperjelas lagi bahwa Alquran telah memberikan penekanan penelitian yang bersifat ilmiah. Hal itu dilatarbelakangi oleh banyaknya ayat-ayat yang meminta manusia untuk berfikir dan menggunakan akal mereka guna mengungkap rahasia alam semesta dan mengungkap rahasia penciptaan. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, Mengungkap Berita-Berita Ilmiah al-Quran, Penerj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 30.

131

bersifat empiris, misalkan ketika Alquran bercerita tentang alam semesta dan fenomena-fenomena yang melingkupinya.

Dalam konteks usaha memahami ayat-ayat ini, secara tidak langsung manusia harus bersentuhan dengan alam dan mengetahui secara ekplisit segala hal yang berkaitan dengan alam dan fenomenanya. Proses dan upaya untuk membaca dan mengetahui realitas alam beserta fenomenanya juga telah dilakukan secara kusus dalam metode-metode penelitian sains, dan dalam perkembangannya metode-metode tersebut telah dispesifikasikan ke dalam berbagai disiplin keilmuan tertentu.

Ahmad Mahmud Sulaiman berpandangan bahwa Alquran sebagai kitab suci dalam Islam pada dasarnya mengandung banyak fakta ilmiah, meskipun Alquran itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Salah satu penyebab dari munculnya stigma negatif terkait pertentangan antara kitab suci keagamaan dengan sains terletak pada proses pembacaan atau penafsiran Alquran itu sendiri. Ketika proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung fakta-fakta ilmiah tidak memanfaatkan sains sebagai salah satu sarana dalam memahami ayat, maka besar kemungkinan penafsiran yang dihasilkan akan berbeda dari kesimpulan atau realitas yang ditunjukkan oleh sains. Dari situlah kemudian secara perlahan-lahan muncul stigma negatif terhadap sains, bahkan terkadang sampai kepada justifikasi bahwa apa yang ditunjukkan oleh sains bertentangan dengan Alquran. Cara pandang seperti ini kemudian memicu perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam sendiri sehingga ada yang setuju penafsiran menggunakan pendekatan sains (secara ilmiah), dan ada juga yang menolak hal tersebut dengan keras.129 Harun Nasution juga menjelaskan, hal lain yang ikut melatarbelakangi munculnya pandangan bahwa antara Alquran dan sains saling bertentangan adalah anggapan yang menyebutkan ketidakserasian antara Alquran dan sains sehingga tidak mungkin dua sifat yang berbeda dipersatukan.130 Alquran sebagai

129 Inilah realitas lapangan yang pernah terjadi di tengah-tengah umat Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Mahmud Sulaiman bahwa pada abad-abad pertengahan telah terjadi kekeliruan umat dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan fakta-fakta ilmiah sehingga kemudian berujung pada konflik terhadap sains seiring berkembangnya sains itu sendiri. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, Mengungkap Berita-Berita Ilmiah al-Quran, 12.

130 Harun Nasution menjelaskan bahwa agama yang mengandung ajaran-ajaran absolut telah lumrah dipandang bersifat statis. Hal itu dianggap tidak sejalan

132

landasan hukum dalam Islam miliki sifat absolut dan statis. Sedangkan ilmu pengetahuan justru bersifat dinamis. Kebenaran sains dianggap benar selagi belum ada teori dan penemuan ilmiah lain atau baru yang diyakini lebih benar dan valid. Oleh karenanya antara kebenaran yang absolut dengan kebenaran yang relatif, tidak akan mungkin serasi.

Sikap Islam sebagai sebuah agama terhadap sains, secara umum tidak berada dalam lingkaran konflik, pemisahan diri ataupun permusuhan dengan sains. Sikap Islam justru berdiri di atas penyatuan dua unsur tersebut, karena memang kedua unsur itu sama-sama berasal dari zat yang satu, Allah Swt. Begitu juga jika merinci lagi hubungan antara Alquran dan sains. Maurice Bucaille menjelaskan sekaligus mengakui bahwa pada intinya Alquran telah mengajak umat manusia untuk memperdalam sains. Alquran telah memuat bermacam-macam pemikiran tentang fenomena alam dengan menyertakan perincian yang menerangkan hal-hal yang secara otomatis cocok dengan sains modern. Maurice Bucaille juga menyebutkan bahwa sikap yang ditunjukkan Alquran terhadap sains, tidak satupun serupa dengan sikap yang ditunjukkan dalam kitab suci agama Yahudi dan Kristen. Tuntunan-tuntunan yang diberikan Alquran telah hadir menggiring rohani manusia sehingga memiliki sikap ketaatan dan jiwa keagamaan yang kuat tanpa menghalangi mereka untuk menjadi seorang yang mukmin dan sekaligus pandai. Hal itu menunjukkan bahwa dalam Islam sains hadir sebagai saudara kembar dari agama.131

Mah{mu>d Shukri@ al-Alu>si@ juga menegaskan bahwa Islam sebenarnya telah memberikan apresiasi atas sikap dan usaha umat Islam dalam memperdalam ilmu pengetahuan (sains). Di samping hal itu mampu memberikan manfaat secara langsung bagi kehidupan manusia di dunia, aktivitas memperdalam sains juga akan membantu dengan sains yang memiliki sifat dinamis. Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), 291.

131 Bagi Maurice Bucaille, Islam dan sains merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Islam telah memberikan dorongan kepada manusia untuk memperdalam sains. Sikap Islam yang lebih terbuka dalam melihat sains tidak hanya didorong oleh Alquran, melainkan hadis Nabi juga menekankan hal serupa dan menegaskan untuk mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Hal itu justru sangat berbeda dari sikap yang ditunjukkan dalam agama Yahudi dan Kristen. Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science, 106-107. Maurice Cucaille juga menunjukkan beberapa ayat yang keterangan di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan sains modern. Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science (Diakses dari http://www.islamicbook.ws/english/english-017.pdf, tanggal 13-06-2014, pukul 16.05 WIB), 1-13.

133

manusia memberikan kejelasan dalam proses memahami Alquran yang menyinggung hal-hal terkait fakta-fakta dan fenomena alam semesta. Misalnya saja ketika Alquran berbicara persoalan bintang, planet, matahari ataupun tentang proses turunnya hujan yang mau tidak mau menjadikan mufasir harus bersinggungan atau merujuk kepada realitas ilmiah ilmu Astronomi dan ilmu Meteorologi.132 Begitu juga ketika Alquran berbicara tentang proses turunnya hujan yang menyebabkan tanaman menjadi hidup, tumbuh hingga bisa menghasilkan buah atau ketika Alquran menyuruh manusia memperhatikan gunung-gunung beserta struktur dan kelakuannya, menjadi bahasan yang mengharuskan manusia untuk berkomunikasi dengan ilmu Biologi, ilmu Geologi dan ilmu Fisika.133

Informasi dan berita tentang alam yang disuguhkan Alquran pada dasarnya masih berupa indikasi-indikasi yang bersifat global. Di sinilah ruang yang terbuka bagi manusia untuk mengetahui wilayah-wilayah yang lebih spesifik dari informasi global yang disampaikan Alquran dengan mengamati dan mengetahui realitas empiris pada alam. Di samping berangkat dari ilmu bahasa dalam menafsirkan Alquran, mengetahui fakta-fakta tentang alam secara ilmiah melaui sains dan kemudian menjadikannya sebagai pendekatan dalam memahami ayat, maka langkah tersebut akan menjadikan mufasir memperoleh gambaran real dari realitas yang diungkapkan Alquran. Langkah tersebut juga dinilai mampu meminimalisir kekeliruan dari penafsiran yang dihasilkan ketika ayat sebagai sebuah proposisi, diverifikasi ke dalam realitas empiris (alam nyata). Inilah deskripsi yang mencerminkan sebuah harmonisasi antara Alquran dan sains dimana ketika kedua unsur tersebut dimanfaatkan dalam relasi yang saling terintegrasi maka akan memberikan pemahaman yang lebih sempurna terhadap Alquran.

132 Alquran memang tidak memberikan spesifikasi keterkaitan Alquran terhadap keilmuan tertentu. Namun begitu banyak realita-realita alam yang membuka ruang bagi masuknya berbagai sains untuk membantu memahami maksud dari ayat-ayat Alquran tersebut. Misalanya ilmu Astronomi dan Meteorologi. Mah{mu>d Shukri@ al-Alu>si@, Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n, cet. 3 (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@, 1997), 12-13.

133 Salman Harun, Mutiara al-Quran, Aktualisasi Pesan al-Quran dalam Kehidupan (Ciputat: Logos, 2004), 94.

134

2. Universalitas Pemahaman Alquran Tuntunan Alquran bagi manusia bersifat universal. Tidak

hanya berlaku untuk internal umat Islam, melainkan juga ditujukan bagi seluruh umat manusia. Dalam konteks manusia yang telah mengikrarkan diri dalam keyakinan utuh terhadap Islam, menerima kebenaran dari informasi beserta realita yang dibawa Alquran menjadi sesuatu keniscayaan. Namun ketika Alquran harus berhadapan dengan mereka yang berada di luar doktrin ke-Islaman, menerima kebenaran informasi dan realita yang diberitakan Alquran menjadi hal yang sulit dilakukan. Hal ini merupakan titik balik dari apa yang dituju Alquran yaitu menjadi petunjuk yang universal bagi seluruh manusia.134

Dalam konteks ini, penafikkan kebenaran informasi Alquran bagi mereka yang mengingkarinya menjadi tantangan tersendiri yang harus diselesaikan oleh umat Islam secara umum, terkhusus bagi para mufasir. Muh{ammad ‘Abduh sebagai mufasir yang hidup pada abad modern, telah memperhatikan persoalan tersebut. ‘Abduh melihat peluang bagaimana Alquran yang telah digali makna dan maksudnya melalui peran aktif mufasir, bisa diterima oleh mereka yang mengingkari kebenaran Alquran karena landasan keyakinan keberagamaan yang berbeda. Salah satu peluang yang dilihat ‘Abduh adalah dengan menghadirkan penafsiran yang sesuai dengan standar dasar kebenaran manusia yaitu akal yang di dasari pengamatan dan penyelidikan. Manusia secara umum, telah dianugrahi oleh Allah akal dan pancaindra sebagai modal dasar dalam mengetahui dan meyakini sesuatu. ‘Abduh berpandangan bahwa kemampuan manusia untuk melihat dan mengetahui sesuatu yang bersifat empiris, menjadi basis umum bagi seluruh manusia untuk meyakini sesuatu yang dianggap benar dan bisa diterima. Kekuatan pancaindra mengetahui hal-hal yang bersifat empiris menjadi barometer pembenaran untuk menilai kebenaran sebuah realitas.135

134 Caner Taslaman menyebutkan bahwa firman Allah ditujukan kepada

seluruh umat manusia. Artinya tujuan Alquran bersifat universal. Namun dalam konteks kekinian, telah terjadi transisi paradigma yang sebelumnya beranjak dari pendekatan teologis menjadi paradigma sains. Bahkan agama dan kitab suci juga diukur dengan sains. Untuk itu, bagi orang-orang yang memandang segala sesuatu berdasarkan sains, cara pandang yang bersifat teologis terhadap Alquran tidak sepenuhnya dapat diterima sehingga Alquran tidak lagi secara aktif menunjukkan keuniversalitasannya. Caner Taslaman, The Quran Unchallengeable Miracle, 17-18.

135 ‘Abduh menyebutkan bahwa akal bagi manusia dalam doktrin keislaman memiliki kedudukan yang tinggi. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan sasaran

135

Paradigma Materialisme yang pernah menyelimuti bangsa Eropa sekitar abad ke 16 telah mengakibatkan pemisahan hal-hal yang bersifat fisik dan non fisik, bahkan aplikasi tersebut juga diterapkan pada agama. Sebagian mereka bahkan cenderung tidak mengakui hal-hal yang berada pada wilayah transendental hanya karena hal itu tidak mampu diketahui oleh pancaindra.136 Materialisme memunculkan era Renaissance, yaitu kebangkitan semangat ilmiah Eropa. Begitu kuatnya semangat ilmiah bangsa ini, menjadikan mereka cenderung melandaskan barometer kebenaran segala sesuatu kepada fakta-fakta bersifat empiris-ilmiah.

Dalam menghadapi tipikal manusia seperti ini, peran penafsiran yang kuat menunjukkan hal-hal empiris dengan dilandasi sains menjadi diperlukan. Bagi mereka yang mengingkari kebenaran Alquran karna landasan keimanan yang berbeda, tafsir Positivistik menjadi salah satu solusi untuk membuktikan kebenaran Alquran. Tafsir Positivistik yang diterapkan ‘Abduh dalam penafsiran Alquran bukan lagi mengusung misi dasar Positivisme murni yang berusaha menentang agama, namun justru sebaliknya bahwa tafsir Positivistik berusaha menunjukkan keintegrasian antara ilmu-ilmu alam modern (sains) dengan agama. Penerapan paradigma Positivistik dalam proses penafsiran Alquran, secara tidak langsung mengindikasikan kritikan ‘Abduh terhadap Positivisme murni yang cenderung menafikkan dan menentang agama

penyelidikan akal. Akal merupakan sarana pembuka untuk mengetahui sesuatu yang menjadikan penyelidikan sebagai sasaran sekaligus pondasi pengetahuan. Pengetahuan manusia secara alami berasal dari apa yang diketahui pancaindra, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Hal ini menjadi saranan yang disenangi dari proses pengetahuan manusia. Muh{ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H), 87-88.

136 Howard R. Turner menjelaskan bahwa pada abad ke 13, filosof Roger Bacon mencoba menekankan penerapan penelitian ilmiah Metematika yang teliti terhadap fenomena alam dan juga validasi terhadap hasilnya. Tiga abad kemudian (abad ke 16), rekan senegara yang juga senama dengannya yaitu Francis Bacon juga mendorong metode-metoda rasional-empiris dalam penelitian ilmiah yang dianggap dapat mengurangi kesengsaraan manusia. Pemikiran Bacon kemudian terus berkembang menjadi paradigma umum masyarakat Eropa (Materialisme) sekaligus menjadi jantung revolusi Ilmiah pasca abad ke 16. Paradigma ini kemudian juga berimbas pada pemisahan antara agama dan sains. Hal ini menjadi jurang pembeda yang mencerminkan karakteristik wajah sains antara dunia Barat dengan dunia Islam. Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, 219.

136

melalui kebenaran-kebenaran sains.137 Tafsir Positivistik yang berusaha menafsirkan ayat-ayat tentang alam semesta dengan melandaskan penafsirannya kepada bukti-bukti empiris yang juga dikuatkan oleh kebenaran sains, menjadi sebuah penafsiran yang membuka ruang bagi setiap manusia untuk mengukur sisinya yang positif, tanpa perlu melandaskan diri sebelumnya kepada keimanan yang utuh terhadap doktrin-doktrin keislaman dan Alquran. Sayyed Ah{mad Kha>n berpandangan bahwa,138 di dalam Alquran telah memuat berbagai macam persoalan keilmiahan yang memungkinkan bagi siapa saja untuk membuktikannya melalui kebenaran sains, bahkan hal itu merupakan bagian dari tantangan yang dihadirkan oleh Alquran kepada seluruh manusia. Dengan demikian melalui panafsiran Positivistik, setiap orang (baik yang meyakini kebenaran Alquran atau tidak), bisa menerima informasi yang diberitakan oleh Alquran dengan standar umum kebenaran manusia yaitu akal dan pancaindra, sehingga menjadikan penafsiran yang dihasilkan mufasir menjadi lebih universal.

3. Stimulus Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Pasca abad pertengahan, umat Islam mulai mengalami kemuduran. Kejumudan berpikir dan keengganan untuk membuka diri kepada kondisi yang lebih baru, berdampak kepada peradaban Islam yang lebih terlihat statis. M. Amin Abdullah mengutip pandangan Fazlur Rahman yang menjelaskan bahwa adanya sikap yang berusaha

137 M. Quraish Shihab mengutip penjelasan Muh{ammad Rashi>d Ridha> yang

menjelaskan bahwa salah satu tujuan ‘Abduh memberikan penafsiran-penafsiran yang mengeksplorasi sebagian ayat-ayat Alquran melalui paradigma dan realita-realita ilmiah adalah untuk meyakinkan orang-orang yang mengingkari hakekat keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Abduh memahami tingkatan audience yang berbeda-beda dan ‘Abduh memiliki cara tersendiri untuk menghadapi audience dengan tipikal masing-masing. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 266.

138 Rotraud Wielandt menjelaskan pandangan Sayyed Ah{mad Kha>n yang menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Islam sebagai agama agar Islam mampu dipahami oleh seluruh manusia dan kekuatan utama manusia dalam memahami segala sesuatu adalah akal yang dilandasi realitas empiris. Oleh karenanya, agar Alquran bisa dipahami secara universal, maka Islam harus diposisikan dalam wilayah empiris sehingga mampu dijangkau akal dan ilmu pengetahuan manusia. Oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika apa yang dibawa Alquran bertentangan dengan sains manusia. Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a>n” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, 127.

137

memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu sekuler, telah melemaskan dan mematikan semangat keilmuan yang kritis-diskursif di dalam diri umat Islam.139 Hal itu justru bertolak belakang dengan Eropa yang begitu gesit dalam memperbaiki kondisi peradaban mereka, sehingga pasca Renaissance bangsa Eropa tampil ke pentas dunia sebagai penguasa yang mendominasi pengaruh peradaban.

Degradasi peradaban yang dialami umat Islam secara umum, mulai mendapat perhatian para pembaharu Islam pada abad ke 18. Munculnya al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Sayyed Ahmad Khan, Muh{ammad ‘Abduh dan Muh{ammad Rasyid Ridha dan lain sebagainya, tidak dapat dilepaskan dari kondisi historis pada masa itu. Mereka kemudian mulai melakukan kritikan dan memperbaiki paradigma masyarakat Islam. Salah satu aspek utama yang mendapat perhatian kaum pembaharu abad ke 18 adalah perkembangan keilmuan.

Dalam pandangan Muh{ammad ‘Abduh, kekosongan otak dari ilmu pengetahuan dan kehampaan jiwa dari agama serta dominasi nafsu dalam diri setiap individu, menjadi faktor utama terjebaknya peradaban umat dalam kondisi statis, bahkan degradasi. Sikap taqlid telah mematikan semangat dan perhatian umat terhadap budaya keilmuan yang kritis-diskursif.140 Bagi ‘Abduh, permasalahan tersebut hanya dapat diselesaikan dengan memperkuat basic keilmuan dan memperkokoh nilai-nilai agama dalam diri setiap individu umat.

139 M. Amin Abdullah mengutip pandangan Fazlur Rahman yang

menjelaskan bahwa konsepsi al-Ghazali dalam memisahkan secara tegas antara ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu sekuler di pihak lain secara perlahan tapi pasti, telah mematikan dan melemaskan semangat keilmuan yang kritis-diskursif dalam diri umat Islam. Amin Abdullah juga mengutip pendapat Roger Geraudi yang menilai sikap tersebut sebagai bentuk penolakan umat Islam terhadap pemikiran yang kreatif. M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam (Diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id/269/1/02.%20Amin%20Abdullah%20-%20ASPEK%20EPISTEMOLOGIS%20FILSAFAT%20ISLAM.pdf, tanggal 15-07-2013, pukul 14.04 WIB), 13.

140 Muh{ammad ‘Abduh memandang bahwa ketiga unsur tersebut telah menyebabkan kebenaran menjadi tertutup oleh kebatilan dan memunculkan kepercayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai pokok dalam agama. Muh{ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah, 125-126. Nurizam Baharum, “Pengaruh Reformasi Pendidikan Muhammad Abduh” dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 2011 (Diakses dari http://www.ukm.my/nun/Artikel%20EDITED%20OK%20%28PDF%29/51%20392-399%20Nurizan.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.31 WIB), 393.

138

Memadukan kekuatan ilmu pengetahuan dan agama dinilai mampu menggiring peradaban umat Islam untuk kembali bangkit menuju kejayaan.141

Muh{ammad al-Ghazali berpandangan bahwa Alquran telah mengajak manusia untuk memperhatikan ilmu pengetahuan. Banyaknya ayat Alquran yang menyuruh manusia untuk berfikir, secara substansi mengisyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan.142 Harun Nasution juga berpandangan bahwa sumber agama adalah wahyu, sedangkan sumber dari ilmu pengetahuan adalah hukum alam (kosmos). Kedua hal tersebut sama-sama bersumber dari zat yang satu, yaitu Allah. Begitu juga dengan ayat-ayat Alquran yang bercerita tentang alam semesta, ketika manusia berusaha memahaminya, secara tidak langsung telah meniscayakan manusia untuk memperhatikan, mempelajari dan meneliti alam sekitar beserta fenomenanya.143 Hal itu mengisyaratkan bahwa pengetahuan tentang alam semesta (alam empiris) tidak dapat dikesampingkan ketika seseorang masuk memahami ayat-ayat Alquran tentang alam secara utuh.

Langkah seperti ini ternyata telah terlebih dahulu dipahami Muh{ammad ‘Abduh pada masa hidupnya. Sebagaimana yang dijelaskan Ignaz Goldziher dalam aspek keterkaitan Alquran dengan ilmu pengetahuan alam (sains), Muh{ammad ‘Abduh telah menjelaskan pandangan dasar bahwa pada substansinya Alquran tidak diturunkan semata-mata guna mengupas persoalan-persoalan ilmu pengetahuan alam (sains), namun adanya ayat-ayat yang bercerita tentang alam semesta dimaksudkan agar manusia dapat melihat dan memahami keindahan beserta keagungan ciptaan-ciptaan Allah sebagai hikmah

141 Muh{ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah, 154. Itulah mengapa

kemudian ‘Abduh berusaha melakukan modernisasi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama di Mesir tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman dalam pendidikannya. H. Sahrah, “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi” (Diakses dari http://idb3.wikispaces.com/file/view/rk3018.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 14.46 WIB), 4-10.

142 Muh{ammad al-Ghaza>li@, Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Qur’a>n (Kairo: Nahd{ah Mis{r, 2005), 43.

143 Harun Nasution menyebutkan bahwa ulama-ulama Islam zaman klasik nampaknya sudah menyadari bahwa untuk memahami ayat-ayat Alquran yang bercerita tentang alam, meniscayakan manusia untuk memperhatikan fenomena-fenomena alam. Hal tersebut kemudian juga diikuti oleh tindakan mempelajari dan meneliti segala yang berkaitan tentang alam. Dari sanalah muncul sebuah pemahaman dan mengamalan nilai-nilai Alquran secara utuh dan sempurna. Harun Nasution, Islam Rasional. 298.

139

dari kekuasaan Allah. Ignaz Goldziher juga menambahkan bahwa inilah bagian hikmah yang disampaikan Alquran yang mendorong manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu alam dan melakukan penyelidikan terhadapnya.144

Dalam mencapai visi membangkitkan kembali semangat ilmu pengetahuan di dalam diri umat Islam, Muh{ammad ‘Abduh telah menjadikan tafsir Alquran sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan pemikirannya kepada umat. Gaya penafsiran ‘Abduh yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah terhadap sebagian ayat Alquran dijadikan sebagai salah satu langkah kongkrit dalam meminimalisir sikap skeptis dan menstimulus semangat umat terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangan sains modern. Hal ini diungkapkan oleh ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib bahwa Muh{ammad ‘Abduh telah berusaha memperbaiki kebodohan umat (terhadap ilmu pengetahuan) sebagai gerakan pembaharuannya melalui sarana tafsir Alquran yang dijadikan sebagai sandaran dan pijakan dalam memperbaiki budaya umat. Al-Muh{tasib juga berpandangan tafsir yang dihasilkan ‘Abduh terhadap sebagian ayat-ayat Alquran bukanlah menjadi tujuan bagi ‘Abduh namun hanya sebagai alat untuk menyuguhkan pemikiran dan ide-ide pembaharuanya.145 Misalnya saja ketika Muh{ammad ‘Abduh dalam

144 Ignaz Goldziher melandaskan pandangannya kepada pandangan ‘Abduh

terhadap ilmu pengetahuan yang juga kemudian dikuatkan oleh dorongan beberapa ayat Alquran yang mendorong manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam dan memperhatikan alam beserta fenomenanya seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 28-29 dan ayat 164. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi, 378-379.

145 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib menjelaskan bahwa ‘Abduh menyadari akan kemunduran umat Islam yang semakin hari semakin mendekati puncak kebodohan dan budaya itu cenderung mengakar. Di samping itu, ‘Abduh juga melihat kecenderungan umat yang begitu kuat berpegang secara sempit kepada hukum-hukum yang dijelaskan Alquran. Oleh karena itu ‘Abduh berusaha memperbaiki kondisi umat Islam dan menstimulus semangat umat untuk kembali mempelajari dan mengembangkan semangat keilmuan melalui penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran. Di sinilah dipahami kemudian oleh ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib bahwa tafsir Alquran hanya sebagai alat bagi ‘Abduh untuk menyadarkan umat tentang kondisi dan posisinya di tengah-tengah perkembangan peradaban saat itu. ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi@ al-‘As}r al-Rahin (‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M), 125. Berbagai solusi kemudian diusahakan ‘Abduh dalam merespon kondisi degradasi tersebut secara nyata. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari

140

kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma menafsirkan surat al-Buru>j (85) ayat 1-3.146 Dalam ayat ini Allah telah bersumpah dengan sesuatu yang bersifat fisik dan non fisik, yaitu demi langit yang mempunyai buru>j, dan demi hari yang dijanjikan serta demi yang menyaksikan serta disaksikan. Secara umum, dari penafsiran ‘Abduh tentang ketiga ayat tersebut, ‘Abduh ingin menyampaikan pemikirannya bahwa dalam ayat ini Allah telah bersumpah demi sesuatu yang telah diciptakannya dan mengisyaratkan tentang alam yang terbagi ke dalam dua dimensi yaitu dimensi fisis (nyata) dan dimensi metafisis (ghaib). Langit dan bintang-bintang termasuk bagian dari dimensi fisis dan dapat disaksikan oleh mata, sedangkan dalam pembahasan langit tersebut, terdapat pula aspek lain yang bersifat metafisis (ghaib) yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra seperti hakekat dari bintang-bintang dan penghuni-penghuni yang berada di dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pancaindra manusia. Model sumpah yang dihadirkan Allah dalam ayat ini dimaksudkan agar manusia mampu mengambil pelajaran dan pengetahuan dari alam sekitar manusia dan dari apa yang tersembunyi darinya. ‘Abduh Juga menambahkan bahwa dalam ayat-ayat tersebut terkandung sebuah tujuan yang mengharuskan manusia mengamati sisi-sisi empiris dari realitas fisis yang diungkapkan oleh ayat.147 http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 15.53 WIB), 4918-4920.

146 Surat al-Buru>j (85) ayat 1-3:

Ï™!$ uΚ¡¡9$#uρ ÏN#sŒ Ælρçã9ø9 $# ∩⊇∪ ÏΘ öθu‹ø9 $#uρ ÏŠθããöθpRùQ $# ∩⊄∪ 7‰Ïδ$ x©uρ 7Šθåκ ô¶tΒuρ ∩⊂∪

Demi langit yang mempunyai al-buru>j (gugusan bintang), dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.

147 Penjelasan ini dijelaskan oleh ‘Abduh ketika menjelaskan penafsiran surat al-Buru>j (85) ayat 1-3. Dalam ayat 1 dari sirat al-Buru>j (85) ‘Abduh menjelaskan bahwa dari sumpah Allah terhadap langit menggambarkan bahwa langit dan bintang-bintang merupakan benda-benda yang dapat diamati dan disaksikan oleh penglihatan manusia, namun di balik itu juga terdapat hal-hal yang tidak dapat diketahui manusia seperti hakikat dari bintang-bintang dan penghuni-penghuninya. Begitu juga dengan sumpah Allah dalam ayat ke 2 bahwa اليوم الموعود (demi hari yang dijanjikan) juga merupakan bagian dari hal yang tidak diketahui manusia, namun manusia dapat megetahui bahwa hari tersebut pasti akan datang suatu saat nanti. Kemudian dalam ayat 3 dari surat ini Allah juga bersumpah dengan menyebutkan yang dapat disaksikan oleh) مشھود dan (demi yang mempunyai penglihatan) وشاھد penglihatan). Menurut ‘Abduh, hal ini mengandung maksud untuk menarik perhatian manusia tentang keagungan dan kebesaran-Nya melalui penggambaran dari sesuatu

141

Terkhusus ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta, manusia secara umum sulit untuk bisa memahami maksud yang disampaikan ayat seutuhnya tanpa mengamati realitas alam raya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syed Muh{ammad Naquib al-Attas bahwa pada dasarnya ilmu terbagi kepada dua bagian, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah dan ilmu yang diperoleh dari usaha manusia. Ilmu yang langsung datang dari Allah salah satunya hadir melalui firman-firman-Nya di dalam Alquran dalam bentuk teks tertulis. Dari firman-firman Allah yang terdapat di dalam teks tertulis, manusia diberikan indikasi-indikasi yang bernilai pragmatis agar manusia memperoleh pengetahuan berdasarkan kemampuan dasarnya yaitu mengetahui sesuatu yang bersifat nyata (empiris). Pengetahuan manusia yang kedua ini diperoleh dengan mengandalkan pengalaman, pengamatan dan penyelidikan yang dilandaskan kepada segenap bukti-bukti dari tangkapan pancaindra yang kemudian dipahami oleh akal.148 Hal itu menjadikan manusia harus menguasai segala yang bersinggungan tentangnya, yaitu melalui sains.

Dengan menghadirkan model penafsiran Positivistik yang mengedepankan fakta-fakta tentang alam Empiris yang ditunjang oleh kebenaran dari analisis sains, ‘Abduh mengharapkan umat Islam memahami bahwa ada hal lain yang perlu diperhatikan dan ditumbuh kembangkan dalam diri umat Islam selain pembahasan dan perdebatan seputar persoalan bersifat teologis, yaitu Ilmu pengetahuan. Melalui yang dapat disaksikan oleh sesuatu mempunyai alat untuk menyaksikan (pancaindra). Bagi ‘Abduh, inilah dorongan kepada manusia untuk bersungguh-sungguh mengamati dan mempelajari benda-benda yang dapat disaksikan oleh manusia kemudian menarik pengetahuan dari apa yang diamati tentang alam. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 56-57.

148 Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia sama-sama bersumber dari zat yang satu, yaitu Allah. Namun jika diklasifikasikan lagi berdasarkan cara memperolehnya, maka ilmu itu dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu yang langsung dari Allah dan ilmu yang diperoleh melaui hasil pengetahuan manusia. Ilmu yang diperoleh dari Allah salah satunya datang melalui firman-firman Allah dalam Alquran yang bersifat tertulis dan ilham. Pengetahuan ini bersifat langsung. Sedangkan ilmu yang kedua didapat melaui usaha manusia itu sendiri yang mengandalkan nilai-nilai pragmatis (pengalaman) berdasarkan pengamatan dan penyelidikan. Dari sebagian ayat Alquran yang disampaikan langsung oleh Allah, memiliki ruang-ruang tersendiri yang mampu dimasuki dan diketahui manusia dengan melalukan serangkaian pengamatan dan penyelidikan yang didasarkan pada tangkapan pancaindra. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Isla>m and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993), 144-147.

142

tafsir Positivistik, manusia digiring pada motivasi untuk membuka realitas alam di sekitarnya dan menyusun pengetahuan tentang alam tersebut ke dalam kerangka-kerangka pengetahuan yang tersistematisasi, walaupun pada substansinya hal tersebut telah terlebih dahulu dirangkum Allah di dalam Alquran secara sempurna.

143

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam bagian sebelumnya, penelitian

ini menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian penafsiran yang muncul sejak abad ke 18, terutama penafsiran-penafsiran terkait ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang fenomena alam) telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme yang menjadikan hasil penafsiran semakin rasional-ilmiah. Penafsiran dengan kecenderungan seperti ini penulis istilahkan dengan penafsiran Positivistik. Salah satu mufasir yang menunjukkan tendensi tafsir Positivistik adalah Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

Dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran yang berbicara mengenai fenomena alam seperti terbelahnya langit (surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1), metabolisme tumbuh-tumbuhan (surat ‘Abasa (80) ayat 25-27), berguncangnya bumi (al-Inshiqa>q (84) ayat 3 dan al-Zalzalah (99) ayat 1-2), fenomena meluapnya lautan (Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3), fungsi gunung sebagai penyeimbang bumi dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7, tentang wabah penyakit cacar dalam surat al-Fi@l ayat 3-4 dan lain sebagainya. Dalam penafsiran beberapa ayat tersebut, ‘Abduh menjadikan realitas ilmiah sains modern sebagai basis dari penafsiran yang dihasilkannya.

Dari penerapan tafsir Positivistik versi Muh{ammad ‘Abduh setidaknya terdapat beberapa poin yang menunjukkkan karakteristik dari tafsir Positivistik. Pertama, menjadikan ayat-ayat fenomena alam sebagai objek penafsiran. Kedua, memposisikan fakta empiris sebagai realitas. Ketiga, meminimalisasi penafsiran dalam wilayah transendental. Keempat, mengedepankan argumentasi ilmiah. Sedangkan urgensi dari penafsiran bernuansa Positivistik setidaknya dapat dilihat dalam tiga poin pokok. Pertama, menunjukkan integrasi antara Alquran dan sains modern. Kedua, memperlihatkan universalitas penafsiran Alquran, sehingga kebenaran yang di informasikan Alquran tidak hanya mampu dilihat dan dibenarkan oleh internal umat Islam, namun juga bagi mereka yang mengingkari

144

Alquran dengan dasar keyakinan keagamaan yang berbeda. Ketiga, menstimulus perkembangan ilmu pengetahuan.

B. Saran

Secara teoritis, kajian mengenai tafsir Alquran merupakan kajian yang bersifat dinamis dan interdisipliner sehingga membuka ruang untuk diteliti dari berbagai aspek. Namun, penelitian ini hanya difokuskan pada satu pembahasan dan tentunya masih membuka ruang yang luas untuk meneliti aspek-aspek lain yang belum tersentuh oleh pembahasan ini. Secara khusus penelitian ini hanya mengeksplorasi nuansa tafsir pada era modern dengan pendekatan filsafat Positivisme. Sedangkan objek penelitian difokuskan pada kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karya Muh{ammad ‘Abduh.

Dalam konteks bahasan yang lebih luas, penulis menyarankan agar peneliti berikutnya dapat mengeksplor lebih dalam nuansa tafsir Positivistik modern, baik itu berkaitan dengan karya tafsir ‘Abduh yang lain seperti kitab Tafsi@r al-Manna>r, apakah ‘Abduh tetap konsisten dalam penggunaan paradigma Positivisme dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat tentang alam semesta atau tidak. Begitu juga dengan mufasir-mufasir pasca ‘Abduh seperti T}ant}a>wi@ al-Jauhari@ dan Ah{mad Must}afa> al-Mara>ghi@ yang secara tegas mengakui penggunaan sains modern dalam penafsirannya.

145

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Buku-Buku

‘Abduh, Muh}ammad. al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah. Kairo: al-Mana>r, 1323 H.

________. Risa>lah al-Tauh{i@d. Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969. ________. Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m (Juz ‘Amma). Kairo: al-

Ami@riyyah, 1322 H. Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era Post Modernisme.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Abu> Rayya>n, Muh{ammad ‘Ali@. Ta>ri@kh al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m,

Iskandariya: Da>r al-Ma’rifa>h, 1980. Abu Zayd, Nasr Hamid. Teks Otoritas Kebenaran. Penerj; Sunarwoto

Dema. Yogyakarta: LKiS, 2012. Al-Alu>si@, Mahmu>d Syukri@. Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n. Beirut: al-

Maktab al-Isla>mi@, 1997. Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsi@r al-Azhar. Jakarta: Citra

Serumpun Padi, April 2004. Al-‘Aqqa>d, ‘Abba>s Mah}mu>d. ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@m al-Usta>dh

al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh. Kairo: Maktabah Mis}r, t.th. ________, Filsafat Qur’an, Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat

Qur’an. Penerj; Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Al-‘Aridl, ‘Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Penerj; Ahmad

Akrom. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

146

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Isla>m and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.

Baiquni, Ahmad. Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman.

Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999. Baljon, J. M. S. Modern Muslim Koran Interpretation. Leiden: E. J.

Brill, 1968. Baso, Ahmad. Islam Pasca Kolonial Perselingkuhan Agama,

Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005. Ba>tha>, Ah}mad Fua>d. Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n. Kairo: Da>r al-Fikr al-

‘Arabi@, 2002 M. Bucaille, Maurice. La Bible Le Coran Et La Science Bibel Quran Dan

Sains Modern. Penerj; H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.

Budiyanto. Risalah Alam Semesta dan Kehidupan. Jakarta: G Kreatif,

2006. Al-Dhahabi@, Muh{ammad H{usain. ‘Ilm al-Tafsi@r. Kairo: Da@r al-Ma’a@rif,

tth. Farha>t, Yusuf. al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha>. Jenewa, Swiss:

Tara>d Kasi@m, 1986. Al-Farma>wi@, ‘Abd H{ayy. al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud}u’i@ Dira>sah

Manhajiyyah Maud}u’iyyah. Kairo: Maktabah Jumhuriyyah, 1977.

Finer, Kim Renee. Smallpox, Deadly Diseases and Epidemics. New

York: Chelsea House Publisher, 2004.

147

Al-Ghaza>li@, Muh{ammad. Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Qur’a>n. Kairo: Nahd{ah Mis{r, 2005.

Al-Ghazali, Muh{ammad. Syariat dan Akal dalam Perspektif Tradisi

Pemikiran Islam, Penerj; Halid al-Kaff dan Muljono Damopoli. Jakarta: Penerbit Lentera, 2002.

Goldziher, Ignaz. Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi. Penerj; ‘Abdul H{ali@m

al-Naja>r. Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955.

Haddad, Yvonne. “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam”

dalam buku Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, Penerj; Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1995.

Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,

2003. Al-H{anafi@, Abi@ al-Su’u>d Bin Muh{ammad al-‘Ama>di>. Tafsi@r Abi@ al-

Su’u>d au Irsha>d al-‘Aql al-Sali@m Ila> Maza>ya> al-Kita>b al-Kari@m. Juz 5. Riya>d}: Maktabah al-Riya>d} al-Hadi@thah, t.th.

H{anafi@, H{asan. Dira>sat Falsafiyah fi@ al-Falsafah al-Gharbiyyah al-

H{adithah wa al-Mu’a>s}irah, Jilid II. Beirut, Libanon: al-Suwi@r, 1995.

Harun, Salman. Mutiara al-Quran, Aktualisasi Pesan al-Quran dalam

Kehidupan. Ciputat: Logos, 2004. Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta Selatan:

Teraju, 2004. Hoodbhoy, Pervez. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan

Ortodoksi Islam. Penerj; Sari Mutia. Bandung: Mizan, 1996. Al-Hurr, Muh{ammad Ka>mal. Ibn Si@na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa

Falsafatuhu. Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991.

148

Ian dan Jenifer Glynn. The Life and Death of Smallpox. London: Profil Book, 2005.

‘Ima>rah, Muh}ammad. al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad

‘Abduh, Juz I. Beiru>t: Muasasah al-‘Arabiyyah li al-Dira>sa>h wa al-Nashr, 1972.

‘Itr, Nu>ruddi@n. ‘Ulu@m al-Qur’a>n al-Kari@m. Damaskus: Al-Shiba@l, 1996. Jauhari@, T{ant}a>wi@. al-Jawa>hir fi@ Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m, Juz’ I.

Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-Halabi@, 1350 H. Jibri@l, Muh{ammad al-Sayyid. Madakhil al-Mana@hij al-Mufassiri@n.

Kairo: al-Risa>lah, 2008. Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerj;

Robert M. Z. Lawang, Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1988. Juha>mi@, Ji@ra>r. Risa>lah ma> Ba’da al-T{abi@’ah. Beirut, Libanon: Da>r al-

Fikr al-Libana>ni@, 1994. Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam.

Ciputat, Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003. Lubis, Akhyar Yusuf. Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi. Bogor: Akademia, 2009.

Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muh{ammadiyah dan Muh{ammad ‘Abduh

Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Mahdi, Muhsin. “Tradisi Rasional dalam Islam” dalam Tradisi-Tradisi

Intelektual Islam, Ed. Farhad Daftary. Penerj; Fuad Jabali dan Udjang Tholib. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.

Mahmud, Mani’ ‘Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif

Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

149

Al-Mara>ghi@, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi@r al-Mara>ghi@, Juz’ I. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{alabi@, 1325 H / 1946 M.

Marcuse, Herbert. Rasio dan Revolusi Menyuguhkan Kembali Doktrin

Hegel Untuk Umum. Penerj; Imam Baehaqie. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Al-Matu>fi@, Muh{ammad bin Muh{ammad Abu Ha>mid al-Ghaza>li@.

Mukhtas{ar Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di@n. Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1414 H / 1993 M.

Mill, John Stuart. Auguste Comte and Positivism. Ttt: Marc

D'Hooghe, 2005. Al-Muh{tasib, ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m. Ittija>ha>t al-Tafsi@r fi@ al-

‘As}r al-Rahin. ‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M.

Munir, Moch. Geologi Lingkungan. Malang: Bayu Media Publishing,

2006. Mura>d, Bara>kah Muh{ammad. Manha>j al-Jada>l wa al-Muna>d{arah fi@ al-

Fikr al-Isla>m. Kairo: al-Nashi@r, 1990. El-Naggar, Zagloul. Selekta dari Tafsir Ayat-Ayat Kosmos dalam al-

Quran al-Karim. Penerj; Masri El-Mahsyar Bidin dan Mirzan Thabrani Razak. Jakarta Selatan: Shorouk International Bookshop, 2010.

Al-Nashr, Muh{ammad Hamid. Menjawab Modernisasi Islam;

Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal. Penerjemah; Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004.

Al-Nasha>r, ‘Ali@ Sami@. Nash’at al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m, Juz 1.

Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1981. Nasr, Sayyed Hosein. Menjelajah Dunia Modern. Penerj; Hasti

Tarekat. Bandung: Mizan, 1994.

150

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996. ________. Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah.

Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987. ________. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. ________. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.

Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978. Purwanto, Agus. Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi al-Quran yang

Terlupakan. Bandung: Mizan, 2008. Al-Qat}t}a@n, Manna@’. Maba@hith fi@ ‘Ulu@m al-Qur’a@n. Kairo: Da@r al-

Rashi@d, t.th. Al-Qurt}ubi@, Abi@ ‘Abdalla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@. al-Ja>mi’

li@ Ah}ka>m al-Qura>n. Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba>’ah wa al-Nashr, 1967.

Al-Rah}i@m, ‘Abd al-Ghafa>r ‘Abd. al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh wa

Manhajuh fi@ al-Tafsi@r. Mesir: al-Markaz al-‘Arabi@ al-Thaqa>fah wa al-‘Ulu>m, t.th.

Rid}a>, Muh{ammad Rashi@d. Ta>ri@kh al-Usta>dh al-Ima>m al-Shaikh

Muh}ammad ‘Abduh, Juz’ I. Mesir: al-Mana>r, 1350 H / 1931 M.

Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial.

Jakarta: Amzah, 2007. Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an Towards A Contemporary

Aproach. New York: Routledge, 2006. ________. The Quran An Introduction. New York: Routledge, 2008. Schartbrodt, Oliver. Islam and the Baha’i Faith A Comparative Study

of Muh{ammad ‘Abduh and ‘Abdul Baha ‘Abbas. New York: Roudledge, 2008.

151

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran. Ciputat, Tanggerang: Lentera Hati, 2013.

________. Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Cet. XIX. Bandung: Mizan, 1999. ________. Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar.

Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006. Al-S{iba@gh, Muh{ammad bin Lut}fi@. Maba>hith fi@ Us}u>l al-Tafsi@r. Beirut:

al-Maktab al-Isla>mi@, 1988. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat

1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. S}ubh}i@, Ah{mad Mah}mu>d. al-Falsafah al-Akhla>qiyah fi@ al-Fikr al-Isla@m.

Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969. Sudarmodjo, Agus Haryo. Menyibak Sains Bumi dalam Alquran.

Bandung: Mizania, 2008. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2011. Suharto, Ugi. “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization

Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam, Editor; Laode M. Kamaluddin. Semarang: Unisula Press, 2010.

Sulaiman, Ahmad Mahmud. Tuhan dan Sains Mengungkap Berita-

Berita Ilmiah al-Quran, Penerj; Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.

Sumarna, Cecep. Rekonstruksi Ilmu dari Empirik Rasional Ateistik ke

Empirik Rasional Teistik. Bandung: Benang Merah Press, 2005.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2004.

152

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke 20. Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007.

Al-T{abari@, Ja’far Muh{ammad bin Jari@r. Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n

‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n. Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H.

Thabathaba’i, Allamah Muhammad Husain. Mengungkap Rahasia al-

Quran. Penerj; A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas. Bandung: Mizan Pustaka, 2009.

Al-T{ana>h{i@, T{a>hir. Mudhakara>t al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh. Kairo:

Da>r al-Hila>l, t.th. Taslaman, Caner. The Quran Unchallengeable Miracle. Turki:

Netleberry / Citlembik Publication, 2006. Tharayyarah, Nadiah. Sains dalam al-Quran Mengerti Mukjizat Ilmiah

Firman Allah, Penerj. M. Zaenal Arifin dkk. Jakarta: Zaman, 2013.

Turner, Howard. R. Science in Medieval Islam. Austin: University of

Texas Press, 2002. Al-‘Umar, Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakhruddi@n Ibn al-‘Ala>mah D{iya>.

Mafa>ti@h al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz 11. Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1981 M / 1401 H.

Wielandt, Rotraud. “ Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and

Contemporary” dalam Encyclopeadia of the Qur’a>n. Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II. Leiden: Koninklijke Brill, 2002.

Ya’qu@b, T{a@hir Mah{mu>d Muh{ammad. Asba>b al-Khat{a’ fi@ al-Tafsi@r, Juz

I. Kairo: Da>r Ibnu al-Jauzi@, 1425 H /2004 M. Yusufian, Hasan dan Ahmad Husain Sharifi. Akal dan Wahyu Tentang

Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat. Penerj; Ammar Fauzi Heryadi. Jakarta: Sadra Press, November 2011.

153

Al-Zamakhshari@, Abi@ al-Qa>sm Mah}mu>d Bin ‘Umar. al-Kashsha>f ‘an H{aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi@l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi@l fi@ Wuju@h al-Ta’wi@l. Juz 3. Riyad}: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998 M / 1418 H.

B. Jurnal dan Artikel

Abdullah, M. Amin. Aspek Epistemologis Filsafat Islam. Diakses dari

http://digilib.uin-suka.ac.id/269/1/02.%20Amin%20Abdullah%20-%20ASPEK%20EPISTEMOLOGIS%20FILSAFAT%20ISLAM.pdf, tanggal 15-07-2013, pukul 14.04 WIB.

Abu Bakar, Ibrahim. “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism

and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012. Diakses dari http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 15.53 WIB.

Ali, Syed Shahid dkk. “Belief and Respect in Multicultural Society:

Religious Approach in the Globalised World” dalam American Journal of Applied Sciences. Vol. 9. No.10. 2012. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1326330057?accountid=25704, tanggal 25-04-2014, pukul 22.56 WIB.

Amir, Ahmad N. Dkk. “Muh{ammad Abduh’s Contributions to

Modernity” dalam Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1 No. 1, April 2012. Diakses dari http://www.ajmse.leena-luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.1(1)/AJMSE2012(1.1-07).pdf, tanggal 15-01-2013, pukul 13.05 WIB.

Amir, Ahmad N. Dkk. “The Foundation of Science and Technology in

View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, Vol. 1. No. 2. Juni 2012. Diakses dari http://www.ajsc.leena-luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.01 WIB.

154

Baharum, Nurizam. “Pengaruh Reformasi Pendidikan Muhammad Abduh” dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 2011. Diakses dari http://www.ukm.my/nun/Artikel%20EDITED%20OK%20%28PDF%29/51%20392-399%20Nurizan.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.31 WIB.

Bealer, George dan P. F. Strawson. “The Incoherence of Empiricism”

dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol 66 tahun 1992. Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and%20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB.

Boyer, J. S. “Nonstomatal Inhibition of Photosynthesis in Sunflower

at Low Leaf Water Potentials and High Light Intensities” dalam Plant Physiology. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4262593.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 13-04-2014, pukul 14.35 WIB.

Bucaille, Maurice. The Qur’an and Modern Science. Diakses dari

http://www.islamicbook.ws/english/english-017.pdf, tanggal 13-06-2014, pukul 16.05 WIB.

Caldwell, Bruce. “Positivist Philosophy of Science and Methodology

of Economics” dalam Journal of Economic Issues, Vol. XIV, No. I March 1980. Diakses dari http://public.econ.duke.edu/~bjc18/docs/Pos%20Phil%20of%20Science%20and%20Method%20of%20Econ.pdf, tanggal 21-02-2013, pukul 23.08 WIB.

Cohen, I. Bernard. “Newton's Third Law and Universal Gravity”

dalam Journal of the History of Ideas, Vol. 48, No. 4. 1987 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2709688.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 20.20 WIB.

155

Cohen, Jon “Blocking. Smallpox: A Second Defense” dalam Jurnal Science. Vol. 294. 2001. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/213562699?accountid=25704, tanggal 27-04-2014, pukul 21.08 WIB.

Delaney, “Auguste Comte Proponent of Positivism and Evolutionary

Thought” dalam Journal Free Inquiry, 2003. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/230080362?accountid=25704, tanggal 10-09-2013, pukul 01.25 WIB.

Escovitz, Joseph H. “He Was the Muh{ammad ‘Abduh of the Syria, A

Study of T{a>hir al-Jaza>’iri and His Influence” dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 3. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/163380, tanggal 27-01-2014.

Esfeld, Michael. “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam The

Review of Metaphysics, Dsember 2000. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09-2013, pukul 00.14 WIB.

Farha>t, Ah{mad Nabi@l. “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@fiyyah” dalam al-

Muntadi@ al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008. Diakses dari http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014.

Fuchs, Christian dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or

Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6. Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB.

Furlow, Christopher A. “Islam, Science and Modernity: From

Northern Virginia to Kuala Lumpur”. Disertasi di University of Florida, 2005. Diakses dari

156

http://etd.fcla.edu/UF/UFE0012881/furlow_c.pdf, tanggal 31-02- 2013, pukul 00.31 WIB.

Garver, Newton. “What Theory Is” dalam Journal of Folklore

Research, Vol. 45. No. 1. 2008. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40206965.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 12-04-2014, pukul 22.34 WIB.

Goheen, Michael. “Scriptural Revelation, Creational Revelation and

Natural Science: The Issue” dalam Facets of Faith and Science, Vol 4. Diakses dari http://www.allofliferedeemed.co.uk/Goheen/ScripturalRevelationCreationalRevelation.pdf, tanggal 10-11-2013, pukul 03.18 WIB.

H{alami@, Must{afa>. “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah

al-Thaqa>fiyyah, 2012. Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014.

Harris, Nichollas dan Marc Gave. “Journey to the Center of the Earth”

dalam Children's Digest, 1999. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/232010800?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 02.24 WIB.

Hetherington, Eric D. “Reconsidering Logical Positivism” dalam The

Review of Metaphysics, Volume 54, No. 2, 2000. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/223456212?accountid=25704, tanggal 15-05-2014, pukul 20.30 WIB.

Hjorland, Birger. “Empiricism, Rationalism and Positivism in Library

and Information Science” dalam Journal of Documention, 2005. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/217978392/fulltextPDF/13E049046462C52FCBD/12?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 04.01 WIB.

157

Hodgson, Anthony. “Towards An Ontology of the Present Moment” dalam On the Horizon, Vol. 21. No. 1. 2013. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1282277506?accountid=25704, tanggal 21-06-2014, pukul 14.34 WIB.

Hussain, Nadem J. Z. “Nietzsche’s Positivism” dalam European

Journal of Philosophy, 2004. Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_NsPositivism.pdf, tanggal 13-05-2012, pukul 02.04 WIB.

Iqbal, Muzaffar. “Islam and Science” dalam Aleph : Historical Studies

in Science & Judaism. Vol 5. 2005. http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/220524961?accountid=25704, tanggal 22-05-2014, pukul 01.32 WIB.

Kaboub, Fadel. “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2.

2008. Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB.

Kha>lid, Detlev. “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh”

dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB.

Kuiper, Pieter J. C. “Temperature Dependence of Photosynthesis of

Bean Plants as Affected by Decenylsuccinic Acid” dalam Plant Physiology, Vol. 40, No. 5. 1965. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4260528.pdf, tanggal 23-05-2014, pukul 12.34 WIB.

Labib, Mostafa. “Nazarat fi Fikr al-Imam Muhammad 'Abduh/

Consideraciones Sobre el Pensamiento del Imam Muhammad Abduh” dalam Anaquel de Estudios Árabes, Vol. 24. 2013. Diakses dari http://e-

158

resources.pnri.go.id:2056/docview/1492831250?accountid=25704, tanggal 22-03-2014, pukul 23.04 WIB.

Lane, Andrew J. “You Can’t Tell A Book by Its Author the Study of

Mu’tazillite of Theology in Zamakhshari’s (d.538/1144) Kashsha>f” dalam Journal SOAS, 2012. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/1008896618?accountid=25704, tanggal 03-09-2013, pukul 15.08 WIB.

Lipton, P. History of Empiricism, Diakses dari

http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB.

Loo, Seng Piew. “Islam, Science and Science Education: Conflict or

Concord?” dalam Studies in Science Education. 2001. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/222856588?accountid=25704, tanggal 22-06-2014, pukul 23.40 WIB.

Maeno, Fukashi dan Fumihiko Imamura. “Tsunami Generation By A

Rapid Entrance of Pyroclastic Flow Into the Sea During the 1883 Krakatau Eruption, Indonesia” dalam Journal of Geophysical Research. VOL. 116. 2011. Diakses dari: http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1026770220?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 03.44 WIB.

Mohd, Nor Syamimi Dkk. “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic

Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06-2014, pukul 20.07 WIB.

Monastersky, R. “Newton's Gravity Law May Take a Fall” dalam

Science News, Vol. 134. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/3972808.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 23-05-2014, pukul 22.09 WIB.

159

Najjar, Fauzi M. “Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida by Malcolm H. Kerr” dalam The American Political Science Review, Vol. 62, No. 3. 1968. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/1953452.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 17.09 WIB.

Nurung, Muhammad. “Pemikiran Tafsir Muh{ammad Rashi@d Rid{a>”

dalam Jurnal Inovatio, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember 2010. Jambi: Pasca Sarjana IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, 2010.

Nutwell, Lynn. “Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27,

1883” dalam School Library Journal, Vol. 49, 2003. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/211725793?accountid=25704, tanggal 12-06-2014, pukul 14.08 WIB.

Ogilvie, Brian W. “The Science of Describing: Natural History in

Renaissance Europe” dalam Science and Technology. 2006. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/225775522?accountid=25704, tanggal 17-06-2014, pukul 20.38 WIB.

Pantall, Colin. “A Volcanic Media Event Vivid Details Enliven the

Story of the Eruption of Krahatoa in 1883” dalam Far Eastern Economic Review, 2003. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/208239678?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 03.31 WIB.

Passmore. J. “Logical Positivism” dalam The Encyclopeadia of

Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan. Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.05 WIB.

Pennington, Hugh. “Smallpox and Bioterrorism” dalam Bulletin of the

World Health Organization. Vol. 81. No. 10. 2003. Diakses dari http://e-

160

resources.pnri.go.id:2056/docview/229544802?accountid=25704, tanggal 28-04-2014, pukul 02.59 WIB.

Peterson, David S. “Out of the margins: Religion and the Church in

Renaissance Italy” dalam Renaissance Quarterly, 2000. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/222337111?accountid=25704, tanggal 23-05-2014, pukul 22.45 WIB.

Peterson, I. “Taking the Measure of Newton's Gravity Law” dalam

Science News, Vol. 142, No. 14, 1992. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4017931.pdf, tanggal 24-06-2014, waktu 23.10 WIB.

Ple, Bernhard. “Auguste Comte on Positivism and Happiness” dalam

Journal of Happiness Studies, 2000. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 03.5 WIB.

Prychitko, David L. “Beyond Positivism and Relativism: Theory,

Method, and Evidence” dalam Southern Economic Journal, 1997. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/212132638?accountid=25704, tanggal 18-06-2014, pukul 22.45 WIB.

Ridwan, Mursyidi. “Islam Modernisme dan Fundamentalisme; Studi

Tentang Ideologi Modernisme dan Fundamentalisme dalam Islam” dalam Jurnal Dialogia, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2005. Ponorogo: Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo, 2005.

Rubiyanah. “Pertumbuhan Tradisi Filsafat di Dunia Islam” dalam

Jurnal Refleksi, Vol. VII, No. 3, 2005. Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Rustom, Mohammed. “Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy:

Mulla> S{adra>’s Tafsi@r Su>rat al-Fa@tih{a“. Tesis di University of Toronto, 2009. Diakses dari http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/thesescanada/vol2/O

161

TU/TC-OTU-32020. pdf, tanggal 31-01-2013, pukul 01.51 WIB.

Sahrah, H. “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai

Strategi Modernisasi”. Diakses dari http://idb3.wikispaces.com/file/view/rk3018.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 14.46 WIB.

Saito, Kieko dan Masahiko Ikeda. “The Function of Roots of Tea

Plant (Camellia Sinensis) Cultured by a Novel Form of Hydroponics and Soil Acidification” dalam American Journal of Plant Sciences. Vol. 3. 2012. Diakse dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1019983456?accountid=25704, tanggal 13-05-2014, pukul 04.00 WIB.

Sanaky, Hujair A. H. “Metode Tafsir Perkembangan Tafsir Mengikuti

Warna atau Corak Mufassirin” dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVIII, 2008. Diakses dari http://fis.uii.ac.id/images/al-mawarid-edisi-xviii-2007-08-sanaky.pdf, tanggal 11-01-2014, pukul 02.48 WIB.

Scharbrodt, Oliver. “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh

and his Risa>lat al-Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70, No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB.

Sedgwick, Mark. “Muhammad ‘Abduh” dalam Bulletin of the School

of Oriental and African Studies, 2010. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/516242920?accountid=25704, tanggal 18-05-2014, pukul 20.20 WIB.

Seferta, Yusuf H. R. “The Doctrine of Prophethood in the Writings of

Muh{ammad ‘Abduh and Rashi@d Rid{a>” dalam Islamic Studies, Vol 24, No. 2. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20847306.pdf?&acceptT

162

C=true&jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.55 WIB.

Stewar, Ian. “Riddle Of The Wandering Stars” dalam Jurnal New

Statesman, April 2012. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1010584593?accountid=25704, tanggal 29-10-2013, pukul 08.42 WIB.

Tuffen, Hugh dkk. “Evidence for Seismogenic Fracture of Silicic

Magma” dalam Journal Nature, Vol 453, 2008. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/204539398?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 02-46 WIB.

Vatikiotis, P. J. “Muh{ammad ‘Abduh and the Quest for A Muslim

Humanis” dalam Arabica, Vol. 4, No. 1. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4055152, tanggal 27-01-2014, pukul 16.17 WIB.

Vermilyea, Jennifer. The Paradox of Positivism Securing Inherently

Insecure Boundaries. Diakses dari: http://web.uvic.ca/~onpol/spring2006/6-vermilyea.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.00 WIB.

Wellman, Vincent A. “Positivism, Emergent and Triumphant” dalam

Michigan Law Review, Vol. 97, May 1999. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/201044593?accountid=25704, tanggal 12-06-2014, pukul 21.12 WIB.

Wilson, Charles C. dkk. “Diurnal Fluctuations in the Moisture Content

of Some Herbaceous Plants” dalam American Journal of Botany, Vol. 40. No. 3. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/2438766.pdf, tanggal 25-05-2014, pukul 11.32 WIB.

Wood. C. G. “Renaissance Genius: Galileo Galilei & His Legacy to

Modern Science” dalam Choice Science and Technology, Vol. 47. 2010. Diakses dari http://e-

163

resources.pnri.go.id:2056/docview/225677244?accountid=25704, tanggal 24-05-2014, pukul 01.03 WIB.

164

165

GLOSARIUM

Antropomorfisme : Meletakkan sifat-sifat manusia kepada bukan manusia atau memberi gambaran tentang sifat tuhan dengan sifat dan bentuk manusia.

Biologi : Ilmu tentang makhluk hidup. Botani : Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan. Empirisme : Salah satu aliran filsafat Eropa yang

menganggap bahwa pengetahuan didapat dari realitas empiris adalah pengetahuan yang benar.

Epistemologi : Bagian dari pembahasan filsafat tentang dasar-dasar dan sumber-sumber pengetahuan.

Fisis : Alam, segala yang tampak dan nyata. Fotosintesis : Proses pengubahan air dan karbondioksida

menjadi karbohidrat atau bagian dari proses memasak makanan pada tumbuhan.

Gaya Gravitasi : Gaya tarik-menarik yang terjadi antar benda atau partikel yang mempunyai massa di alam semesta.

Hukum Tiga Tahap : Tiga tahapan perkembangan pemikiran manusia secara umum dalam filsafat Positivisme.

Geologi : Ilmu (sains) yang mempelajari tentang bumi, komposisi, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya.

Mainstream : Aliran atau pendapat yang medominasi di dalam suatu masyarakat.

Metabolisme Tanaman

: Sebuah rangkaian reaksi bersifat kimia yang terjadi tanaman. Reaksi ini terjadi sebagai modal atau sumber untuk bertahan hidup pada tanaman.

Metafisis : Salah satu pembahasan filsafat yang membahas tentang substansi atau keberadaan hal-hal yang berada diluar wilayah pengetahuan indra manusia secara nyata.

Meteorologi : Ilmu yang mempelajari tentang atmosfer,

166

baik itu temperatur, tekanan udara, uap air dan lain-lain.

Observasi : Pengamatan yang dilakukan terhadap sesuatu objek atau benda guna mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi pada objek atau benda sebagai bagian dari proses penelitian.

Ontologi : Bagian dari kajian filsafat yang membahas tentang realitas atau segala yang diyakini secara konkrit keberadaannya.

Positivisme : Sebuah aliran filsafat yang melihat kebenaran sesuatu berdasarkan kepada kebenaran yang bersifat empirik dan bisa dijelaskan serta diverifikasi kebenarannya berdasarkan nilai dan fakta ilmiah ilmu-ilmu alam.

Positivistik : Kecendrungan kearah atau pemanfaaatan sesuatu dari filsafat Positivisme.

Rasionalisme : Aliran filsafat yang berpandangan bahwa akal merupakan sumber pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme menjadikan akal sebagai tumpuan kebenaran dan menafikkan realitas empiris sebagai kebenaran yang sesungguhnya.

Renaissance : Era kebangkitan bangsa eropa sekitar abad ke-17.

Teori Heliosentris : Teori yang menyebutkan matahari berada di pusat alam semesta.

Teori Ptolemy : Teori yang menyebutkan bumi merupakan bidang datar dan tidak bergerak. Teori ini juga beranggapan bahwa bumi merupakan pusat edar planet-planet di alam semesta.

Volcanic Neck : Saluran magma yang terdapat di dalam gunung berapi sebagai tempat keluarnya tekanan gas yangada di dalam bumi.

Volkanologi : Ilmu yang mempelajari tentang gunung berapi, baik struktur, sifat gunung, magma, tekanan gunung dan fenomena-fenomenanya.

167

167

INDEKS

A A. Jawadi Amuli, 68 ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqa>d, 5, 43,

44, 45, 46 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, 22, 57,

57, 58, 59, 60, 78, 81 ‘Abd al-Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-

Muh{tasi@b, 55, 61. Abdullah Saeed, 2, 4, 11 Abi@ Su’u>d, 25, 26, 27 Abu> Hayya>n al-Andalusi, 78 Agus Haryo Sudarmojo, 100 Agus Purwanto, 77, 78, 90 Ah{mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi, 78,

78, 144 Ah}mad Fua>d Ba>tha, 75, 76, 77, 90 Ahmad Mahmud Sulaiman, 77,

79, 80, 90, 130, 131 Ahmad N. Amir, 3, 4, 5, 10, 13,

14 Akhyar Yusuf Lubis, 5, 15, 28, 33,

33, 34, 35, 36, 37, 38, 41, 47, 113

Al-Ayah al-Kauni@yah, 8, 9, 18, 27, 63, 64, 75, 78, 110, 111, 143

‘Ali Hasan al-‘Arid{, 1, 57, 58 Al-Qurt}ubi@, 23, 26, 27, 102 Al-Ra’yi, 18, 21, 22, 23, 58, 59 ‘Arsh, 24, 25 Al-Sha>t}ibi@, 78 Al-T{abari@, 24, 25, 26, 88, 92, 95,

96, 102, 103, 115, 120 Al-Zamakhshari@, 5, 7, 12, 25, 26,

84, 85, 88, 92, 96, 103, 116 Andi Rosadisastra, 72, 73 Animal rasionale, 28 Antropomorfisme, 27

Aristoteles, 1, 8, 12, 28, 34, 70, 75, 84

Astronomi, 18, 39, 63, 79, 88, 91, 93, 133

Auguste Comte, 8, 12, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 47, 84, 104, 109, 120

B

Bible, 74, 125, 129 Biologi, 18, 39, 92, 133 Botani, 92, 93 Budiyanto, 93, 98

C Caner Taslaman, 99, 134

D David Hume, 34, 36, 107 Doyle Paul Johnson, 38, 39, 41,

124

E Empirisme, 9, 19, 26, 32, 33, 34,

35, 36, 41, 71, 92, 106, 108, 113, 117, 125

F

Fakhruddi@n al-Ra>zi@, 7, 25, 26, 88,

95, 96, 102, 103, 106, 116 Fetisisme, 40 Fisika, 10, 18, 38, 39, 67, 88, 91,

133 Fotosintesis, 93,94 Francis Bacon, 35, 46, 145

168

H Hamka (Haji Abdulmalik

Abdulkarim Amrullah), 102 Harun Nasution, 7, 30, 46, 47,

131, 138 Heliosentris, 88, 89 Herbert Marcuse, 33, 36 Hidrogen, 94 Hoekheimer, 36 Hugh Pennington, 105 Hugh Tuffen, 97 Hujair A. H. Sanaky, 62

I Ian G. Barbour, 72 Ian Stewart, 88 Ibnu Abba>s, 26 Ibnu Khaldun, 35, 50 Ignaz Goldziher, 8, 12, 13, 14, 46,

138, 139 Ijma>li@, 57, 60 ‘Ikrimah, 101 Ilmu Geologi, 98, 133

J Jennifer Vermilyea, 39 Ji@ra>r Juha>mi, 69 J. M. S. Baljon, 119 Johannes Kepler, 89 Jon Cohen, 104 Jujun S. Suriasumantri, 37, 109,

145

K Kalsium, 94 Kamanto Sunarto, 39, 107 Kieko Saito, 92, 93 Kim Renee Finer, 104

Kimia, 39, 104 M

M. Amin Abdullah, 39, 136 M. Quraish Shihab, 2, 4, 13, 14,

22, 54, 58, 59, 61, 62, 80, 81, 82 Mah{mu>d Shukri@ al-Alu>si@, 132 Mainstream, 30, 80 Malik bin Nabi, 58 Manna>’ al-Qat}t{a>n, 22 Maqa>man mahmu>da>, 24, 25, 26,

25 Materialisme, 72, 77, 135 Maud{u>i@, 57 Maurice Bucaille, 57, 63, 125, 132 Meteorologi, 126 Michel Polanyi, 113 Muh{ammad H{usein al-Dhahabi,

21, 22 Mu’tazilah, 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 18, 21, 27, 28, 30, 31, 32

Muh{ammad al-Ghazali, 68, 69, 138

Muh{ammad al-Sayyi@d Jibri@l, 22 Muh{ammad Bin Lut}fi@ al-S{iba>gh,

23 Muh}ammad Rashi@d Rid}a>, 6, 56 Muhammad Hamid al-Nashr, 13,

14 Muhsin Mahdi, 29, 30 Muqa>ran, 57, 60

N

Na>sikh Mansu>kh, 22 Nadem J. Z. Hussain, 41, 114 Nadiyah Tharayyarah, 90, 94 Najm al-Katibi, 88, 89 Naql, 28, 69 Nasr Hamid Abu Zaid, 3, 4, 53 Nitrogen, 94

169

O Observasi, 41, 71, 113 Oksigen, 114 Ontologis, 77

P Pervez Hoodbhoy, 79 Plato, 8, 12, 32, 33 Positivisme, 8, 9, 10, 14, 15, 17,

18, 19, 21, 27, 32, 35, 36, 37, 38, 39, 47, 84, 92, 106, 107, 108, 109, 110, 113, 114, 123, 124, 125, 135

Positivistik, 8, 9, 14, 15, 17, 20, 43, 85, 106, 107, 112, 117, 123, 127, 128, 135, 136, 141, 143

Potassium, 94 R

Rasional-ilmiah, 1, 2, 3, 4, 5, 14,

135 Rasionalisme, 8, 9, 19, 21, 28, 29,

30, 32, 33, 35 Reanisance, 135, 137 Rene Descartes, 128 Rotraud Wielandt, 3, 4, 10, 11,

13, 14, 126

S S{u>fi@, 59 Sayd Hosen Nasr, 106 Schelling, 36, 113 Soerjono Soekanto, 17, 18, 38 Sosiologi, 18, 39 Syaikh Darwis Khadr, 44, 45 Syed Muh{ammad Naquib al-

Attas, 141

T T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad

Ya’qu>b, 23 T{ant}a>wi@ Jauhari@, 75, 76 Tah{li@li@, 58, 59, 60, 61 Teori Ptolemy, 89 Thomas Kuhn, 113 Tura>th, 3

V Vaksin, 104, 105 Volkanologi, 97

Y Ya’qu>b bin ‘Utbah, 97

Z

Zagloul el-Naggar, 99

170

INDEKS ALQURAN

No Nama Surat Ayat Halaman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

al-An’a>m (6) al-Isra>’ (17) al-Qiya>mah (75) al-Naba’ (78) an-Na>zi’a>t (79) ‘Abasa (80) al-Takwi@r (81) al-Infit}a>r (82) al-Mut}affifi@n (83) al-Buru>j (85) al-Lail (92) al-Fi@l (105)

103 79 22-23 7 18 19 27 32 25-27 1-2 6 1 3 10-12 15 21-22 14 3-4

31 24 30 99 120 25, 86 63 64 91 26 64, 95 86 95 120 30 121 122 100

170

171

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Fuad Syukri Tempat/ T. Lahir : Lubuksikaping/ 17 Mai 1989

Jenis Kelamin : Laki-laki Negri Asal : Jl. Tirta Kencana No. 10 A,

Tanjung Beringin, Lubuksikaping, Kab. Pasaman, Sumatra Barat.

ORANG TUA Ayah : Nafrizal. S.Pd Ibu : Rahmi S.Pd.I Alamat : Jl. Tirta Kencana No.10 A, Lubuksikaping, Kab.

Pasaman

RIWAYAT PENDIDIKAN 1. 1994-1995 TK Islam Darul Hikmah Lubuksikaping 2. 1995- 2001 SDN 35 Benteng, Tanjung Beringin, Lubuksikaping. 3. 2001-2004 MTsN Lubuksikaping. 4. 2004-2006 MAN Koto Baru Padang Panjang 5. 2006-2007 MAN Lubuksikaping 6. 2007- 2011 Strata I (S.1) Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

IAIN Imam Bonjol Padang.

172