Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

42
MODEL SPASIAL DEFORESTASI PERIODE 2000-2013 DI KPHP POIGAR, PROVINSI SULAWESI UTARA AFANDI AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Transcript of Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

Page 1: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

MODEL SPASIAL DEFORESTASI PERIODE 2000-2013 DI

KPHP POIGAR, PROVINSI SULAWESI UTARA

AFANDI AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

Page 2: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...
Page 3: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Spasial

Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara adalah

benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Afandi Ahmad

E151130051

Page 4: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

RINGKASAN

AFANDI AHMAD. Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 di KPHP

Poigar, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh MUHAMMAD BUCE SALEH

dan TEDDY RUSOLONO.

Hutan merupakan bagian dari ekosistem yang menyediakan jasa lingkungan

bagi satu kesatuan ekosistem. Penurunan fungsi hutan dalam suatu ekosistem

terjadi salah satunya karena deforestasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis

deforestasi dan faktor yang mempengaruhi deforestasi di KPHP Poigar. Metode

analisis deforestasi yaitu dengan analisis perubahan tutupan hutan menjadi tutupan

bukan hutan dengan teknik post classification comparison. Analisis faktor

penyebab deforestasi dilakukan dengan pembangunan model spasial deforestasi

menggunakan model regresi logistik biner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total penurunan luas kelas tutupan

hutan dari periode 2000 sampai 2007 yakni sebesar 7 918.41 hektar (19 %),

kemudian pada 2013 penurunan luas kelas tutupan hutan sebesar 4 735.19 hektar

(11 %) sehingga total penurunan luas tutupan hutan sampai periode 2013 sebesar

12 668.2 hektar. Perubahan tutupan hutan sebagian besar terjadi akibat konversi

hutan menjadi lahan perkebunan.

Hasil analisis penyebab deforestasi di KPHP Poigar dipengaruhi oleh enam

faktor yaitu jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, jarak dari sungai, kepadatan

penduduk, ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Faktor kepadatan penduduk

merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap deforestasi dengan nilai V

sebesar 0.674. Model spasial deforestasi dengan regresi logistik dibangun

menggunakan lima peubah penjelas yaitu jarak dari jalan, jarak dari sungai,

kepadatan penduduk, ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Persamaan regresi

logistik yang dihasilkan adalah Logit (Deforestasi) = 0.6054 –

0.000787(ketinggian tempat) – 0.448363(jarak dari jalan) – 0.231288(jarak dari

sungai) + 0.001038(kemiringan lereng) + 0.001692(kepadatan penduduk). Hasil

analisis model spasial deforestasi menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan

infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor kunci yang mempengaruhi

deforestasi di KPHP Poigar.

Model spasial deforestasi mampu memprediksi kejadian deforestasi di

KPHP Poigar dengan tingkat akurasi sebesar 58 % secara spasial. Kajian

mengenai deforestasi di kawasan hutan dapat membantu dalam perumusan opsi

pengelolaan kawasan pada blok/petak pengelolaan. Rekomendasi pengelolaan

blok di kawasan KPHP Poigar yang diusulkan dalam penelitian ini terdiri atas

HTI (1 blok), HTR (2 blok), HKM (1 blok) dan H-mitra (4 blok) serta kegiatan

rehabilitasi dan perlindungan pada kawasan lindung.

Kata kunci: Deforestasi, regresi logistik, model spasial, KPHP Poigar

Page 5: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

SUMMARY

AFANDI AHMAD. Spatial Modeling of Deforestation Period 2000-2013 at FMU

of Poigar, North Sulawesi Province. Supervised by MUHAMMAD BUCE

SALEH and TEDDY RUSOLONO.

Forest is a part of the ecosystem that provides environmental services.

Deforestation may decreased forest function in an ecosystem. This study aimed to

analyze deforestation and driving forces of deforestation in forest management

unit (FMU) of Poigar. Deforestation analysis carried out by analyze change of

forest cover into non-forest cover with post classification comparison technique.

Driving forces of deforestation carried out by analyze of spatial modeling using

binary logistic regression models (LRM).

Results of deforestation analysis showed that loss of forest cover during

2000 to 2007 amounted to 7 918.41 hectares (19 %), then at the 2013 forest loss

amounted to 4 735 hectares (11 %). Total of forest lost during 2000 to 2013

amounted to 12 668.2 hectares. Change in forest cover mostly occur due to

conversion of forest to coconut, quarrel or cocoa plantation.

Deforestation in FMU of Poigar caused by six factors there are distance

forest cover from the road, distance from the settlement, distance from the river,

population density, altitude and slope. Logistic regression model was built using

five explanatory variables there are the distance from the road, distance from the

river, population density, elevation and slope. The resulting regression logistic

equation is Logit (Deforestation) = 0.6054 – 0.000787(elevation) –

0.448363(distance from road) – 0.231288(distance from river) + 0.001038(slope)

+ 0.001692(population density). Population density and accessibility founded as

the most influented factor caused deforestation in FMU of Poigar.

Prediction of deforestation could explained about 58 % of actual

deforestation spatially. Study of deforestation in forest areas could help in the

formulation of management options in the area of the block management.

Recommendations for FMU of Poigar proposed in this study consisted of forest

plantation (1 block), community plantation forest (2 blocks), the state owned

commmunity forest (1 block) and forest partnership (4 blocks) as well as the

rehabilitation and protection of the protected area.

Key word: Deforestation, logistic regression model, spatial modeling, FMU of

Poigar

Page 6: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 7: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

MODEL SPASIAL DEFORESTASI PERIODE 2000-2013 DI

KPHP POIGAR, PROVINSI SULAWESI UTARA

AFANDI AHMAD

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

Page 8: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Omo Rusdiana, MSc F Trop

Page 9: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

Judul Tesis : Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar,

Provinsi Sulawesi Utara

Nama : Afandi Ahmad

NIM : E151130051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS

Ketua

Dr Ir Teddy Rusolono, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana S Hut MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 2 Pebuari 2016 Tanggal Lulus:

Page 10: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Tuhan seru sekalian alam, puji syukur hanya

untuk Allah Subhanahu wata’ala, karena atas nikmat dan karunia-Nya yang masih

memberikan kesempatatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dengan

Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi

Utara yang dilaksanakan mulai bulan Mei sampai September 2015. Shalawat dan

salam selalu tercurah kepada makhluk seru sekalian alam sebagai teladan bagi

kehidupan kita yakni Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam, kepada

keluarga serta sahabatnya. Semoga dengan selalu bershalawat bisa menjadikan

hidup lebih dekat dengan akhlak yang beliau ajarkan kepada umatnya di dunia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Muhammad Buce Saleh,

MS dan Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MS selaku komisi pembimbing yang

dengan sabarr memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. Kepada Bapak Dr

Ir Omo Rusdiana, MSc F Trop selaku dosen penguji pada ujian tertutup atas

waktu serta saran dan masukan untuk hasil penelitian ini. Disamping itu, terima

kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan

beasiswa selama penulis menempuh studi Magister di Sekolah Pascasarjana IPB,

serta Kepala dan staf unit KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara yang telah

membantu selama proses penelitian lapangan di kawasan KPHP Poigar. Ucapan

terima kasih juga untuk teman-teman Program Studi Ilmu pengelolaan Hutan

angkatan 2013 untuk kebersamaan dan kekompakan kita selama menempuh studi

di IPB.

Ungkapan terima kasih dan penghagaan penulis sampaikan kepada orang

tua, istri dan anak yang telah sabar dan tanpa henti memanjatkan doa serta

memberikan dukungan selama penulis menempuh studi di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Afandi Ahmad

Page 11: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii DAFTAR GAMBAR iii 1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan 4 Manfaat Penelitian 4

2 METODE 4 Kerangka Pemikiran 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 5 Data dan Perangkat Analisis 5 Analisis Data 6 Pengolahan Citra Digital dan Deteksi Deforestasi 7 Faktor Pemicu Deforestasi 7 Model Spasial Deforestasi 8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 10 Deforestasi di KPHP Poigar 10 Faktor pemicu deforestasi 13 Model Spasial Deforestasi KPHP Poigar 15

Validasi Model Spasial Deforestasi 18 Arahan Pengelolaan KPHP Poigar 21

4 SIMPULAN DAN SARAN 24 Simpulan 24 Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25 RIWAYAT HIDUP 29

DAFTAR TABEL

1 Jenis data yang digunakan dalam penelitian 5 2 Analisis peubah penjelas model spasial deforestasi 9 3 Keeratan hubungan antara peubah penjelas dan variabel terikat 13 4 Korelasi sederhana peubah penjelas 15

5 Parameter statistik model hasil regresi logistik biner 15 6 Koefisien regresi model spasial deforestasi 16 7 Perbandingan luas hutan aktual dan hasil prediksi 19 8 Rekomendasi pengelolaan KPHP Poigar 22

Page 12: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

DAFTAR GAMBAR

1 Kawasan hutan KPHP Poigar Provinsi Sulawesi Utara 5 2 Bagan alur penelitian 6 3 Tutupan lahan di KPHP Poigar periode 2000, 2007 dan 2013 11 4 Deforestasi periode 2000–2007 di KPHP Poigar 12 5 Faktor pendorong deforestasi untuk pembangunan model 14 6 Sebaran peluang deforestasi periode 2000–2007 16 7 Peluang deforestasi 2000–2013 19 8 Prediksi deforestasi (a) dan deforestasi aktual periode 2000–2013 (b) 20 9 Luas tutupan lahan yang menggantikan hutan (%) tahun 2000–2007 (a),

2007–2013 (b) 21 10 Deforestasi aktual pada blok pengelolaan KPHP Poigar 22

Page 13: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...
Page 14: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan hutan saat ini telah berkembang dari pengelolaan ekosistem

hutan menjadi pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Hutan menciptakan kondisi

ekosistem yang mampu menyediakan jasa lingkungan untuk ekosistem yang ada

disekitarnya. Penurunan fungsi hutan menjadi ancaman bagi sebuah ekosistem.

Salah satu penyebab menurunnya fungsi hutan adalah deforestasi. Deforestasi

merupakan kegiatan perubahan tutupan hutan menjadi bukan hutan yang

berdampak pada penurunan fungsi ekosistem hutan (Turner et al. 2007). Definisi

deforestasi menurut FAO (2000) adalah konversi hutan menjadi penggunaan lain

dengan penutupan tajuk di bawah 10 persen. Deforestasi telah menjadi masalah

nasional karena berdampak terhadap kondisi perekonomian nasional,

kesejahteraan masyarakat dan ancaman keanekaragaman hayati yang terkandung

di dalam hutan (Nawir dan Rumboko 2008). Deforestasi menyebabkan terjadinya

degradasi lahan sehingga menurunkan kualitas dan produktivitas lahan tersebut.

Selain itu, deforestasi menyebabken hilangnya habitat alami flora dan fauna

endemik.

Deforestasi terjadi karena faktor alami berupa perubahan iklim atau bencana

alam atau faktor aktivitas/gangguan manusia (antropogenik). Deforestasi yang

terjadi akibat peristiwa alam dapat berupa kejadian cuaca ekstrim, kekeringan dan

kebakaran hutan (Eckert et al. 2015). Aktivitas manusia menjadi penyebab yang

paling berkontribusi terhadap terjadinya deforestasi dan dapat berkaitan langsung

dengan aktor atau pelakunya (Geist dan Lambin 2002). Penyebab deforestasi oleh

aktivitas manusia tidak dapat dilihat hanya berdasarkan agen/pelaku tunggal

melainkan cenderung terdapat keterkaitan antar pelaku dan adanya penyebab yang

mendasari (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Angelsen dan Kaimowitz 1999;

Geist dan Lambin 2002). Lebih rinci Sunderlin dan Resosudarmo (1997)

meyatakan bahwa penyebab deforestasi terbagi atas tiga tingkatan penyebab yaitu

tingkat pertama adalah pelaku (actor) yang merupakan pihak yang melakukan

deforestasi (petani/perambah hutan, HTI atau perusahaan HPH dan perkebunan),

kedua penyebab langsung yakni parameter yang mempengaruhi keputusan atau

perilaku pelaku (harga komoditi, aksesibilitas, pasar, perkembangan teknologi dan

kebudayaan) dan tingkatan ketiga adalah penyebab yang mendasari (underlying

causes) adalah kekuatan pada tingkat nasional, regional maupun global yang

berpengaruh terhadap penyebab langsung (parameter). Penyebab yang mendasari

(underlying causes) terjadinya deforestasi dapat berupa kondisi penduduk

(demografi), kondisi ekonomi, teknologi, kebijakan/kelembagaan dan faktor

sosial-politik dan kebudayaan (Geist dan Lambin 2002; Entwisle et al. 2008).

Deforestasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor penyebab langsung

berupa perambahan kawasan hutan, penebangan liar dan kebakaran hutan, selain

itu deforestasi juga terjadi karena adanya penyebab tidak langsung yaitu

kegagalan kebijakan, kegagalan pasar berupa rendahnya harga kayu dan persoalan

sosial ekonomi dan politik dalam negeri (Nawir dan Rumboko 2008).

Deforestasi bervariasi berdasarkan sebaran, luas, pola dan laju terjadinya

(Kumar et al. 2014). Kajian mengenai deforestasi penting dilakukan untuk

mengetahui perubahan tutupan hutan dan menganalisis faktor-faktor yang

Page 15: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

2

menyebabkan terjadinya deforestasi (Turner et al. 2007). Selain itu, dengan

memahami laju deforestasi dan faktor-faktor penyebabnya maka dapat

direncanakan bentuk pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan

yang lestari (Panta et al. 2008). Salah satu kajian deforetasi yang terus

berkembang adalah pemodelan spasial yaitu pembangunan sebuah model

deforestasi dengan peubah-peubah yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab

terjadinya deforestasi. Penggabungan antara model deforestasi dan analisis spasial

menghasilkan sebuah model spasial deforestasi yang memberikan gambaran

mengenai lokasi dan sebaran terjadinya deforestasi serta faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya deforestasi (Kumar et al. 2014). Beberapa teknik

pemodelan yang telah digunakan dalam studi deforestasi antara lain model regresi

logistik (Mulyanto dan Jaya 2004; Prasetyo et al. 2009; Kumar et al. 2014;

Shehzad et al. 2014), cellular automata (Entwisle et al. 2008) dan ordinary least

square regression (Romijn et al. 2013).

Pemanfaatan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit

multitemporal dapat membantu dalam melakukan analisis deforestasi. Penelitian

sebelumnya dengan menggunakan data citra satelit tahunan (annual) untuk

menganalisis laju deforestasi dan degradasi hutan serta melakukan pemantauan

perubahan tutupan hutan (Eckert et al. 2015). Penelitian lain digunakan data

multiwaktu dengan titik waktu tertentu untuk membangun sebuah model spasial

deforestasi kemudian melakukan prediksi dan validasi hasil pemodelan deforestasi

(Wyman dan Stein 2010; Kumar et al. 2014; Shehzad et al. 2014). Selain data

multiwaktu, analisis deforestasi dibedakan berdasarkan unit analisis yang secara

umum terbagi atas dua yaitu pixel based dan object based analysis (vektor).

Pendekatan ini berkaitan dengan teknik pemodelan yang digunakan dan variabel-

variabel dalam model. Romijn et al. (2013) menggunakan pendekatan vektor

untuk menganalisis pengaruh perbedaan definisi hutan dan deforestasi terhadap

besarnya laju deforestasi di Indonesia. Sedangkan, pendekatan dengan pixel based

digunakan untuk menganalisis deforestasi dengan teknik pemodelan berbasis

piksel seperti cellular automata (Entwisle et al. 2008) dan regresi logistik (Kumar

et al. 2014; Shehzad et al. 2014) untuk melihat pengaruh faktor-faktor yang

mendorong terjadinya deforestasi.

Pemodelan spasial deforestasi menggunakan regresi logistik perlu

memperhatikan faktor-faktor penyebab deforestasi yang menjadi peubah-peubah

dari sebuah model spasial yaitu penyebab terdekat dan penyebab yang mendasari

(Ludeke et al. 1990; Prasetyo et al. 2009; Siles 2009; Getahun et al. 2013; Kumar

et al. 2014; Shehzad et al. 2014). Regresi logistik digunakan untuk menilai tingkat

pengaruh dari variabel penjelas tentang perubahan hutan dan untuk memprediksi

kemungkinan deforestasi (Kumar et al. 2014). Analisis deforestasi yang

disebabkan oleh aktivitas manusia (antropogenik) dipengaruhi oleh peubah-

peubah dari faktor terdekat antara lain jarak hutan dari jalan (aksesibilitas), jarak

dari rumah dan pusat-pusat pemukiman, infrastruktur transportasi berupa jalan

dan jaringan sungai dan karakter biofisik lahan meliputi tingkat kesuburan tanah,

topografi, ketersediaan sumber air dan kondisi vegetasi (Ludeke et al. 1990; Geist

dan Lambin 2002; Mulyanto dan Jaya 2004; Wyman dan Stein 2010).

Undang-undang 41 tahun 1999 mengamanatkan terwujudnya pengelolaan

hutan di tingkat tapak. Sebagai perwujudan amanat UU 41 tahun 1999 tersebut,

Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor PP

Page 16: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

3

6/2007 untuk membentuk unit pengelolaan hutan tingkat tapak dalam bentuk

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Menurut Kartodihardjo et al. (2011) KPH

menjadi lembaga pengelola kawasan hutan di tingkat tapak untuk meningkatkan

pembangunan kehutanan melalui pengelolaan yang intensif dan memantapkan

kawasan hutan. KPHP Poigar adalah salah satu KPH yang dibentuk di Provinsi

Sulawesi Utara melalui surat keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.

788/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 dalam bentuk lembaga UPTD di

bawah pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Kawasan hutan yang merupakan areal

kerja KPHP Poigar terdiri atas kawasan dengan status hutan lindung (HL), hutan

produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi (HP). Luas kawasan hutan KPHP

Poigar adalah 41 597 ha yang terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten

Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Kawasan hutan KPHP

Poigar merupakan kawasan yang terpecah-pecah (fragmented area) serta memiliki

tingkat akesibilitas yang tinggi. Aksesibilitas tersebut berupa jalan bekas

perusahaan HPH PT. Tembaru Budi Pratama yang pernah beroperasi di kawasan

KPHP Poigar. Selain itu kondisi open access dan tekanan terhadap keberadaan

hutan di KPHP Poigar sangat tinggi sehingga memungkinkan terjadinya

deforestasi. Oleh karena itu penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan hutan

KPHP Poigar menggunakan model regresi logistik dengan variabel berupa faktor

terdekat dan faktor yang mendasari terjadinya deforestasi.

Perumusan Masalah

Kondisi kawasan hutan di KPHP Poigar yang terpisah-pisah (fragmented

area) serta memiliki aksesibilitas tinggi menjadi peluang terjadinya aktivitas

ilegal di dalam kawasan hutan. Selain itu, 80% kawasan hutan di KPHP Poigar

adalah hutan produksi (HP). Berbagai kondisi ini semakin memungkinkan

terjadinya deforestasi di dalam kawasan hutan KPHP Poigar.

Pemodelan spasial deforestasi sebagai upaya untuk melakukan analisis dan

penilaian deforestasi akan memberikan informasi mengenai sebaran spasial dan

penyebab yang mendorong terjadinya deforestasi di kawasan hutan yang dikelola

oleh KPHP Poigar. Model spasial regresi logistik digunakan untuk menganalisis

faktor yang mempengaruhi deforestasi dan dapat dilakukan untuk prediksi

kejadian deforestasi. Panta et al. (2008) mengemukakan bahwa dengan

mengetahui laju deforestasi dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

deforestasi maka dapat dirancang bentuk pengelolaan yang mampu mewujudkan

pengelolaan hutan dan sumber daya alam hayati yang lestari. Diharapkan hasil

penelitian ini mampu memberikan informasi deforestasi yang terjadi di KPHP

Poigar.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis deforestasi yang terjadi di kawasan hutan KPHP Poigar. Kajian

analisis deforestasi yang akan dilakukan antara lain laju deforestasi dan faktor-

faktor penyebab baik penyebab terdekat atau penyebab yang mendasari terjadinya

deforestasi. Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana deforestasi yang terjadi di KPHP Poigar selama periode 2000-

2013?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deforestasi di kawasan hutan

KPHP Poigar?

Page 17: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

4

Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan utama penelitian ini adalah

membangun model deforestasi di kawasan hutan KPHP Poigar. Untuk memenuhi

tujuan utama tersebut maka terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai

antara lain:

1. Menganalisis deforestasi di KPHP Poigar selama periode 2000-2013

2. Membangun model spasial deforestasi di areal KPHP Poigar.

3. Menganalisis faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi di KPHP Poigar.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian model spasial deforestasi di KPHP Poigar diharapkan dapat

menjadi salah satu sumber informasi mengenai fenomena deforestasi dan faktor-

faktor yang menyebabkan deforestasi di tingkat KPH. Hasil penelitian juga dapat

memberikan masukan terhadap pengelolaan kawasan hutan KPHP Poigar di masa

yang akan datang.

2 METODE

Kerangka Pemikiran

Aktivitas ilegal penyebab deforestasi di KPHP Poigar mengancam

kelestarian dan fungsi ekosistem hutan di DAS Poigar. Kondisi ini memerlukan

usaha untuk menekan laju deforestasi agar kelestarian hutan dapat terjaga.

Analisis deforestasi memberikan informasi mengenai laju deforestasi dan faktor-

faktor penyebabnya. Deforestasi akan dianalisis pada periode 2000-2013

menggunakan data citra digital Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI. Terjadinya

deforestasi disebabkan oleh dua faktor yaitu penyebab terdekat yang merupakan

penyebab langsung deforestasi dan penyebab yang mendasari.

Penelitian ini akan menganalisis deforestasi yang terjadi selama periode

2000-2013 di kawasan hutan KPHP Poigar serta menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya deforestasi. Meskipun organisasi KPHP Poigar baru

terbentuk pada tahun 2009 melalui SK Menteri Kehutanan nomor SK.

788/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 namun deforestasi yang akan

dianalisis adalah periode 2000-2013 agar dapat diketahui tren deforestasi yang

terjadi di kawasan tersebut. Analisis deforestasi menggunakan metode change

detection yaitu dengan teknik post classification comparison. Menurut Singh

(1989) post classification comparison adalah teknik untuk menganalisis

perubahan tutupan lahan yang terjadi pada hasil klasifikasi citra t1 dengan hasil

klasifikasi citra t2. Model spasial dibangun menggunakan model regresi logistik

yang bertujuan menjelaskan pengaruh faktor-faktor penyebab terjadinya

deforestasi. Penyebab deforestasi yang dianalisis yakni yang berkaitan aktivitas

masyarakat sekitar kawasan hutan dengan variabel berupa jarak dari jalan,

pemukiman dan jarak dari sungai dan kondisi biofisik yaitu kemiringan lereng dan

ketinggian tempat (elevasi). Selain faktor aksesibilitas dan biofisik, dalam

penelitian ini juga digunakan variabel sosial yaitu kepadatan penduduk.

Page 18: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

5

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian, pertama pengamatan

jenis tutupan lahan di kawasan KPHP Poigar, Kabupaten Minahasa Selatan dan

Bolaang Mongondow selama bulan Maret sampai April 2015. Tahap kedua yaitu

analisis deforestasi dan pembangunan model spasial pada bulan Mei sampai

Agustus 2015 di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG Fakultas

Kehutanan IPB.

Gambar 1 Kawasan hutan KPHP Poigar Provinsi Sulawesi Utara

Data dan Perangkat Analisis

Jenis data yang digunakan dalam penelitian terdiri atas data primer dan

sekunder (Tabel 1). Data primer berupa citra digital Landsat yang digunakan

yakni citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI serta citra DEM untuk data

lereng. Data sekunder berupa data batas areal KPHP Poigar, data jaringan jalan,

data jaringan sungai, data batas administrasi dan data kependudukan Kabupaten

Minahasa Selatan dan Bolaang Mongondow.

Tabel 1 Jenis data yang digunakan dalam penelitian

Jenis Data Sumber

Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000,

2007 dan OLI tahun 2013 Portal Earth Explorer http://earthexplorer.usgs.gov/

Digital Elevation Model (DEM)

Layer batas areal KPHP Poigar Peta Batas Kawasan KPHP Poigar berdasarkan SK.

788/Menhut-II/2009

Layer jaringan jalan Badan Informasi Geospasial Peta Rupa Bumi Indonesia

Skala 1:50 000 tahun 2000 dan 2008 Layer jaringan sungai

Data spasial desa Kabupaten

Minahasa dan Bolaang Mongondow

Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun

2010

Data Kependudukan Kabupaten

Minahasa dan Minahasa Selatan

Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Minahasa dan

Minahasa Selatan tahun 2000, 2007 dan 2013

Data Kependudukan Kabupaten

Bolaang Mongondow

Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Bolaang

Mongondow tahun 2000, 2007 dan 2013

Page 19: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

6

Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas peralatan untuk survey

lapangan berupa GPS receiver, kamera, tallysheet. Sedangkan perangkat analisis

dan pengolahan citra digital yakni perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 untuk

pengolahan citra digital, ArcGIS 9.3 untuk analisis tutupan lahan dan deforestasi,

IDRISI Selva untuk pembangunan model spasial deforestasi dan perangkat lunak

spreadsheet.

Analisis Data

Analisis data diawali dengan interpretasi visual citra digital. Hasil

interpretasi citra selanjutnya dianalisis untuk melihat deforestasi pada masing-

masing periode. Hasil analisis deforestasi periode 2000 dan 2007 digunakan

dalam pembangunan model spasial deforestasi. Alur penelitian tersaji pada

Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alur penelitian

Page 20: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

7

Pengolahan Citra Digital dan Deteksi Deforestasi

Analisis citra digital Landsat dilakukan untuk analisis deforestasi yang

terjadi pada tahun 2000, 2007 dan 2013. Klasifikasi tutupan lahan untuk analisis

deforestasi yang digunakan adalah klasifikasi visual (on screen digitation).

Klasifikasi visual dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan. Citra

rekaman tahun 2013 diinterpretasi terlebih dahulu untuk dijadikan data refrensi

dalam interpretasi citra tahun 2007 dan 2000. Sensor Scan Line Corrector (SLC)

Citra Landsat 7 ETM+ mengalami kegagalan operasi sejak tahun 2003 sehingga

menyebabkan terjadinnya stripping pada produk Citra Landsat 7 ETM+ yang

dihasilkan. Data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2007 dilakukan perbaikan strip

yakni dengan menambahkan data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2007 rekaman

bulan Oktober.

Hasil klasifikasi terdiri atas dua kelas tutupan lahan yaitu hutan dan bukan

hutan. Hutan didefiniskan sebagai suatu areal yang didominasi pepohonan yang

memiliki tutupan tajuk mencapai 10 persen dari luas minimal 0.5 hektar dengan

definisi ini maka areal dengan tutupan berupa belukar masuk dalam kelas hutan

(FAO 2000). Deteksi deforestasi perlu dibatasi dengan menetapkan definisi

deforestasi. Definisi deforestasi yang digunakan dalam penelitian ini yakni

mengacu pada definisi FAO (2000) yaitu konversi tutupan hutan menjadi

penggunaan lahan selain hutan dengan penutupan tajuk di bawah 10 persen dari

luas 0.5 hektar secara permanen sedangkan penurunan atau perubahan penutupan

hutan di atas 10 persen didefinisikan sebaga degradasi.

Analisis deforestasi dengan metode deteksi perubahan yaitu dengan teknik

post classification comparison yaitu dengan melakukan analisis perubahan

tutupan hutan menjadi bukan hutan yang berasal dari hasil klasifikasi citra tahun

2000 dan 2007. Hasil deteksi deforestasi akan menghasilkan data deforestasi

dengan nilai biner yaitu nilai 0 (tidak terjadi deforestasi) dan nilai 1 (terjadi

deforestasi) yang akan digunakan sebagai variabel terikat pada model regresi

logistik.

Faktor Pemicu Deforestasi

Faktor pemicu deforestasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

faktor-faktor yang tergolong sebagai faktor tidak langsung (proximity causes).

Identifikasi faktor pemicu deforestasi didasari terhadap dugaan awal, studi

literatur dan kaitannya dengan ketersediaan data khususnya data spasial.

Landasan pembangunan model prediksi deforestasi adalah asumsi bahwa

terdapat hubungan antara deforestasi dengan sejumlah faktor pemicu. Beberapa

peubah yang diduga menjadi pemicu deforestasi di KPHP Poigar antara lain:

1. Kepadatan Penduduk

Faktor kepadatan penduduk suatu wilayah mempunyai pengaruh terhadap

potensi kerusakan lingkungan. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka

semakin tinggi kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan lahan. Beberapa

hasil penelitian terkait kepadatan penduduk terhadap deforestasi yaitu oleh

Entwisle et al. (2008) dan Prasetyo et al. (2009) yang menyatakan bahwa

faktor penduduk berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.

2. Jarak Dari Jaringan Jalan

Jaringan jalan merupakan faktor yang termasuk dalam faktor aksesibilitas.

Keberadaaan jaringan jalan di sekitar atau di dalam kawasan hutan

memberikan akses bagi masyarakat untuk merambah hutan. Hasil penelitian

Page 21: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

8

Mulyanto dan Jaya (2004); Perez-Verdin et al. (2009); Wyman dan Stein

(2010); Kumar et al. (2014) menunjukkan bahwa faktor kedekatan areal hutan

dari jaringan jalan berpengaruh terhadap deforestasi.

3. Jarak Dari Jaringan Sungai

Jaringan sungai juga termasuk dalam faktor aksesibilitas. Jaringan sungai

berfungsi sebagai sumber air namun di beberapa lokasi, jaringan sungai dapat

berfungsi sebagai jaringan jalan. Wyman dan Stein (2010); Chen et al. (2015)

menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terjadi karena faktor

kedekatan jarak areal hutan dengan jaringan sungai.

4. Jarak Dari Pemukiman

Salah satu faktor yang menjadi pendorong kejadian deforestasi adalah faktor

yang dikategorikan sebagai faktor antropogenik atau akibat aktivitas manusia.

Faktor jarak hutan dari pemukiman menjadi salah satu peubah penjelas yang

digunakan dalam penelitian ini untuk pembangunan model spasial deforestasi.

Arekhi (2011) menyatakan bahwa perubahan tutupan hutan dipengaruhi oleh

kedekatan jarak dengan pusat pemukiman

5. Ketinggian Tempat

Faktor ketinggian tempat berpengaruh terhadap deforestasi dengan asumsi

bahwa semakin rendah ketinggian suatu areal hutan maka akan mingkatkan

peluang terjadinya deforestasi. Hal ini didasarkan atas beberapa hasil

penelitian yang menyatakan bahwa faktor ketinggian tempat berbanding

terbalik terhadap kejadian deforestasi (Arekhi 2011; Kumar et al. 2014)

6. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng berkaitan dengan kondisi biofisik lahan. Areal hutan yang

memiliki kemiringan lereng kemungkinan kecil untuk terdeforestasi. Hasil

penelitian Kumar et al. (2014) menyatakan bahwa peluang deforestasi akan

meningkat pada areal yang relatif landai.

Model Spasial Deforestasi

Model spasial untuk mengetahui faktor-faktor penyebab deforestasi

menggunakan model regresi logistik. Analisis regresi logistik digunakan untuk

menguji apakah probabilitas terjadinya variabel deforestasi dapat diprediksi

dengan peubah penjelasnya. Penelitian ini menggunakan variabel tidak bebas

berupa nilai biner (0 = tidak terjadi deforestasi dan 1 = terjadi deforestasi) yang

merupakan hasil analisis deforestasi berupa data raster sebaran kejadian

deforestasi periode 2000 sampai 2007. Peubah penjelas berupa faktor-faktor

penyebab deforestasi dianalisis menggunakan euclidean distance untuk variabel

jarak dari jalan, pemukiman, dan sungai. Analisis grid map pada variabel

kepadatan penduduk didapatkan dari data vektor kemudian dikonversi menjadi

data raaster dengan ukuran piksel 30 m (Tabel 2).

Pembangunan model spasial melibatkan lebih dari satu peubah penjelas.

Menard (2002) menyatakan bahwa perlu dilakukan uji multikolinieritas untuk

melihat hubungan linier yang terjadi antar peubah penjelas. Pengujian

multikolinieritas dilihat berdasarkan korelasi linier antar peubah penjelas.

Penelitian ini menggunakan ambang batas koefisien korelasi yaitu 0.65, nilai

korelasi lebih besar dari ambang batas menunjukkan adanya korelasi antar peubah

(Aguayo et al. 2007).

Setelah analisis multikolinieritas dilakukan langkah selanjutnya adalah

melakukan uji Cramer’s V untuk menganalisis derajat hubungan antara peubah

Page 22: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

9

penjelas dan variabel terikat (Eastman 2012; Kumar et al. 2014). Hasil uji derajat

keeratan hubungan antara peubah penjelas dan terikat menghasilkan nilai

Cramer’s V yang berkisar antara 0 sampai 1, peubah penjelas dikatakan

berpengaruh signifikan apabila nilai p value sebesar 0.00 (Eastman 2012).

Meskipun analisis Cramer’s V menunjukkan derajat keeratan hubungan antara

peubah penjelas dan terikat namun untuk menganalisis pengaruh peubah penjelas

terhadap variabel terikat dilakukan dengan analisis regresi logistik biner.

Selanjutnya akan dilakukan pembangunan model spasial deforestasi

menggunakan regresi logistik. Persamaan regresi logistik yang menggambarkan

peubah terikat dengan peubah penjelas adalah sebagai berikut (Menard 2002):

p E( ) e p

e p Persamaan 1

Nilai p merupakan peluang terjadinya deforestasi dimana ≤ p ≥ , E(Y) adalah

nilai harapan peubah Y, adalah konstanta dan

adalah koefisien regresi

Persamaan 1 kemudian ditransformasi sebagai berikut:

logit p log e(

p

-p) Persamaan 2

Hasil transformasi Persamaan 2 menjadi sebagai berikut:

logit p

Persamaan 3

Tabel 2 Analisis peubah penjelas model spasial deforestasi

Variabel Analisis Satuan

X1 = jarak dari jalan Euclidean distance kilometer (km)

X2 = jarak dari pemukiman Euclidean distance kilometer (km)

X3 = jarak dari sungai Euclidean distance kilometer (km)

X4 = kepadatan penduduk Grid map 30 m jiwa/km2

X5 = ketinggian tempat Grid map 30 m mdpl

X6 = kemiringan lereng Grid map 30 m persen (%)

Regresi logistik menggunakan modul LOGISTICREG pada perangkat lunak

IDRISI versi 17. Metode yang digunakan untuk membangun model menggunakan

modul LOGISTICREG yaitu dengan metode stepwise. Tahap pertama

pembangunan model menggunakan satu variabel. Tahap berikutnya menggunakan

dua variabel hingga tahap akhir (tahap ke-6) menggunakan enam variabel yang

diproses secara bersamaan untuk membangun model regresi logistik biner.

Parameter statistik hasil model menggunakan LOGISTICREG antara lain:

a. -2logL0 : model regresi logistik dengan hanya menggunakan nilai konstanta

tanpa peubah penjelas

b. -2logL(likelihood) : model regresi logistik yang menggunakan nilai konstanta

dan peubah penjelas

Berdasarkan dua parameter tersebut maka akan dihitung nilai pseudo R2 yaitu

dengan persamaan (Menard 2002):

Pseudo R -log

log

Page 23: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

10

Ayalew dan Yamagishi (2005) menyatakan bahwa pemilihan model terbaik dapat

dilihat berdasarkan nilai model chi-square yang merupakan selisih antara -2logL

dengan nilai -2logL0, nilai goodness of fit terkecil, pseudo R2

lebih besar dari 0.2

dan nilai ROC (Relative Operating Characteristic) semakin mendekati nilai 1

(nilai ROC antara 0 sampai 1) maka model tersebut dapat dikatakan baik.

Model deforestasi yang dibangun dengan menggunakan data pada periode

periode 2000 sampai 2007 digunakan untuk memprediksi deforestasi yang terjadi

pada periode 2007 sampai 2013. Prediksi dilakukan dengan mengganti peubah

penjelas yang bersifat dinamis (berubah-ubah) yang memicu kejadian deforestasi

di KPHP Poigar yaitu peubah jarak dari jalan (X1) dan kepadatan penduduk (X4).

Hasil prediksi deforestasi akan divalidasi dengan deforestasi aktual periode 2000

sampai 2013 hasil analisis deforestasi berdasarkan citra dijital dan diuji tingkat

akurasinya.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Wilayah KPHP Poigar secara administrasi terletak di Kabupaten Minahasa

Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Total luas unit pengelolaan KPHP

Poigar adalah 41 597 hektar. Luas kawasan yang masuk dalam Kabupaten

Bolaang Mongondow sebesar 25.014 hektar (60,1%) dan Kabupaten Minahasa

Selatan sebesar 16 583 hektar (39.9 %). Kawasan KPHP Poigar memiliki areal

yang terpecah–pecah dan dipisahkan oleh jaringan jalan trans Sulawesi dan jalan

provinsi yang menghubungkan kabupaten Bolaang Mongndow dan Minahasa

Selatan. Daerah sekitar kawasan KPHP Poigar juga banyak terdapat jaringan jalan

lokal yang menjadi penghubung antar desa serta akses menuju areal perkebunan

masyarakat.

Status kawasan yang berbatasan dengan kawasan KPHP Poigar terdiri atas

status cagar alam dan area penggunaan lain (DEPHUT 2007). Kawasan cagar

alam merupakan bagian dari Cagar Alam Gunung Ambang yang dikelola oleh

BKSDA Provinsi Sulawesi Utara. Sementara itu, areal penggunaan lain (APL)

disekitar KPHP telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pemukiman,

sawah serta lahan pertanian dan perkebunan.

Penduduk yang berada di sekitar kawasan KPHP Poigar mempunyai mata

pencaharian sebagai petani dan nelayan. Teknik pengolahan lahan secara

tradisional seringkali belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga

masih masyarakat memerlukan alternatif sumber pendapatan lain. Kondisi

tersebut menjadikan masyarakat desa sekitar hutan memilih menjadi buruh

penebang kayu atau perambah hutan. Namun, produktivitas yang rendah serta

lemahnya pemasaran mengakibatkan rendahnya pendapatan masyarakat sekitar

kawasan.

Deforestasi di KPHP Poigar

Analisis deforestasi dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis tutupan

lahan yang ada di kawasan KPHP Poigar. Analisis tutupan lahan dilakukan

dengan interpretasi citra dijital dengan teknik interpretasi visual. Hasil analisis

Page 24: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

11

tutupan lahan menunjukkan terdapat enam tutupan lahan yang berada di kawasan

KPHP Poigar (Gambar 3).

Gambar 3 Tutupan lahan di KPHP Poigar periode 2000, 2007 dan 2013

Hasil klasifikasi tutupan lahan terdiri atas enam tutupan lahan yakni belukar,

hutan, pemukiman, perkebunan, semak dan tanah terbuka. Kelas tutupan lahan

kemudian dikelaskan menjadi dua kelas yang terdiri atas kelas hutan dan bukan

hutan untuk menganalisis kejadian deforestasi (Gambar 4). Kelas hutan terdiri

atas tutupan lahan berupa hutan dan belukar sedangkan tutupan bukan hutan

antara lain pemukiman, perkebunan, semak dan tanah terbuka.

Page 25: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

12

Gambar 4 Deforestasi periode 2000–2007 di KPHP Poigar

Berdasarkan Gambar 4, deforestasi terjadi sebagian besar pada areal yang

berstatus hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) yang lokasinya

dekat dengan batas kawasan hutan KPHP Poigar. Operasional perusahaan HPH di

kawasan KPHP Poigar yang telah berhenti menyebabkan beberapa area menjadi

mudah diakses. Deforestasi menyebabkan perubahan tutupan hutan menjadi

perkebunan, pemukiman, pertanian, semak dan tanah terbuka. Hasil analisis

perubahan tutupan lahan di kawasan KPHP Poigar menunjukkan bahwa pada

periode 2000 sampai 2007 telah terjadi penurunan luas tutupan hutan seluas 5

156.5 hektar (12 %). Selain itu, penurunan luas tutupan berupa belukar seluas 2

776.6 hektar (6.7 %) sehingga total penurunan areal hutan mencapai luas 7 933.05

hektar (19 %). Persentase deforestasi yang terjadi di kawasan KPHP Poigar pada

periode 2000 sampai 2007 lebih besar jika dibandingkan dengan yang terjadi di

kawasan KPH Malinau yang hanya sebesar 1.44 persen pada periode 2000–2005

hasil kajian Navratil (2013).

Areal yang masih tertutup hutan pada tahun 2000 sampai tahun 2007 di

KPHP Poigar telah mengalami perubahan menjadi tutupan perkebunan (25 %),

semak (6 %) dan tanah terbuka (1 %). Perubahan terbesar terjadi pada konversi

hutan menjadi perkebunan dan semak yakni masing-masing seluas 5 878.72

hektar dan 1 778.26 hektar. Periode kedua dalam analisis deforestasi dalam

penelitian ini yaitu periode 2007 dan 2013 menunjukkan penurunan luas areal

yang terdeforestasi yakni sebesar 11 persen (4 735.19 ha) sehingga total

penurunan luas tutupan hutan sampai periode 2013 sebesar 12 668.2 hektar.

Penurunan luas deforestasi disebabkan oleh semakin berkurangnya luas areal

hutan karena telah hilang pada periode sebelumnya dan lokasi hutan yang sulit

dijangkau karena topografi dan tidak tersedianya jalan. Tutupan berupa semak dan

Page 26: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

13

tanah terbuka terjadi pada areal yang sudah di lakukan land clearing namun

belum digarap oleh masyarakat dan dapat juga berupa tempat pengumpulan kayu.

Faktor yang menyebabkan tingginya aktivitas masyarakat ke dalam kawasan

hutan adalah aksesibilitas berupa jalan setapak yang masih bisa dilalui oleh

kendaraan roda dua atau kendaraan tradisional. Bahkan areal KPHP Poigar yang

masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Minahasa Selatan, terdapat jalan

lintas provinsi yang melintasi kawasan hutan KPHP Poigar. Hasil pengamatan

lapangan juga menunjukkan di beberapa tempat terdapat pemukiman yang

berbatasan langsung dengan kawasan hutan bahkan terdapat pemukiman yang

masuk ke kawasan hutan.

Faktor pemicu deforestasi

Pembentukan model spasial deforestasi di KPHP Poigar periode 2000–2007

dilakukan dengan menggunakan enam faktor yang terdiri dari aspek aksesibilitas

(jarak dari jalan, pemukiman dan sungai), aspek biofisik (kemiringan lereng dan

elevasi) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Hasil analisis spasial terhadap

faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi seperti pada Gambar 5.

Faktor pemicu deforestasi di KPHP Poigar terdiri atas enam faktor yakni

aspek aksesibilitas (jarak dari jalan, pemukiman dan sungai), aspek biofisik

(kemiringan lereng dan elevasi) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Tahap

awal untuk menjalankan model spasial deforestasi adalah melakukan analisis

derajat keeratan hubungan antara peubah penjelas terhadap deforestasi untuk

pembentukan model (Tabel 3). Hasil analisis Cramer’s V tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Keeratan hubungan antara peubah penjelas dan variabel terikat

Peubah penjelas Cramer’s V p value Jarak dari jalan 0.598 0.000 Jarak dari pemukiman 0.585 0.000 Kepadatan penduduk 0.674 0.000 Jarak dari sungai 0.506 0.000 Kemiringan lereng 0.536 0.000 Ketinggian tempat 0.418 0.000

Hasil analisis Cramer’s V pada Tabel 3 terlihat bahwa rentang nilai V yaitu

0.4 sampai 0.6 dengan p value 0.00 hal ini menunjukkan bahwa semua peubah

penjelas berpengaruh terhadap variabel terikat. Variabel kepadatan penduduk

memiliki derajat hubungan yang paling tinggi dengan nilai V sebesar 0.674

sedangkan hubungan yang kurang erat yaitu peubah ketinggian tempat (elevasi)

yakni dengan nilai V sebesar 0.418. Eastman (2012) menyatakan bahwa analisis

Cramer’s V menunjukkan derajat keeratan peubah penjelas terhadap variabel

terikat namun analisis ini adalah analisis parsial antara peubah penjelas dengan

kejadian deforestasi. Oleh karena itu analisis mengenai faktor pendorong

deoferstasi secara keseluruhan dilakukan dengan regresi logistik. Setelah hasil

analisis derajat keeratan peubah penjelas, tahap selanjutnya adalah analisis

korelasi antar peubah penjelas.

Page 27: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

14

Gambar 5 Faktor pendorong deforestasi untuk pembangunan model

Tahap selanjutnya adalah analisis korelasi antara peubah penjelas (Tabel 4).

Berdasarkan Tabel 4 nilai terlihat bahwa nilai korelasi tertinggi yakni sebesar 0.7

terjadi antara peubah jarak dari jalan (X1) dengan peubah jarak dari pemukiman

(X2). Berdasarkan ambang batas koefisien korelasi yang digunakan yakni 0.65

maka hal ini mengindikasikan terjadinya korelasi antara peubah penjelas X1 dan

X2. Hasil pengamatan jaringan jalan di kawasan sekitar KPHP Poigar terdapat

Page 28: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

15

jaringan jalan berupa jalan provinsi hingga jalan desa yang telah dibangun pusat

pemukiman. Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa pembangunan

infrastruktur jalan akan diikuti dengan pembangunan pusat-pusat pemukiman dan

kondisi ini dapat menjadi pemicu terjadinya deforestasi (proximity causes).

Tabel 4 Korelasi sederhana peubah penjelas

Peubah Penjelas X1 X2 X3 X4 X5 X6

X1 1

X2 0.700 1

X3 -0.081 -0.038 1

X4 0.036 -0.094 0.085 1

X5 0.245 0.038 0.005 -0.046 1

X6 0.101 0.096 0.030 -0.052 0.037 1

Model Spasial Deforestasi KPHP Poigar

Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode stepwise menghasilkan

enam persamaan yang masing-masing dibedakan oleh jumlah variabel yang

digunakan dalam model spasial. Tabel 5 menyajikan statistik masing-masing

model yang dihasilkan oleh regresi logistik biner.

Tabel 5 Parameter statistik model hasil regresi logistik biner

Statistik model Persamaan

1 2 3 4 5 6

-2logL0 1107950.2 1107950.2 1107950.2 1107950.2 1107950.29 1107950.2

-2log(likelihood) 579293.41 579214.43 524186.40 524021.25 519911.16 517530.42

Pseudo R2 0.477 0.477 0.526 0.527 0.531 0.532

Goodness of Fit 461630.62 461650.53 455116.83 453677.85 450317.92 445605.88

ChiSquare 528656.87 528735.85 583763.88 583929.03 588039.12 590419.86

ROC 0.90 0.90 0.95 0.95 0.95 0.95

Berdasarkan kriteria pemilihan model, hasil analisis Cramer’s V dan uji

korelasi maka model terpilih yaitu persamaan menggunakan lima peubah penjelas.

Meskipun pada Tabel 5 menunjukkan bahwa persamaan 6 memiliki nilai chi

square terbesar dan nilai goodness of fit terkecil namun model ini tidak dipilih

karena terjadi multikolinieritas antar peubah penjelas. Luaran hasil analisis regresi

logistik biner menunjukkan nilai chi square sebesar 588 039.12, nilai goodness of

fit 450 317.92 serta nilai pseudo R square 0.53 lebih besar dari 0.2 yang

menunjukkan model layak digunakan. Selain itu, nilai ROC model persamaan 5

juga baik yaitu sebesar 0.95. Koefisien regresi untuk model terpilih tersaji pada

Tabel 6.

Nilai koefisien ( ) menunjukkan hubungan peubah penjelas terhadap

peluang kejadian deforestasi (log odds). Sedangkan tanda positif dan negatif pada

koefisien regresi menunjukkan arah hubungan peubah penjelas terhadap peluang

kejadian deforestasi. Mahapatra dan Kant (2005) menyatakan bahwa transformasi

nilai koefisien menjadi Exp (odd ratio) untuk memudahkan interpretasi hasil

regresi.

Page 29: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

16

Tabel 6 Koefisien regresi model spasial deforestasi

Peubah Penjelas Koefisien Exp

Konstanta 0.6054 1.831985

Jarak dari jalan -0.448363 0.638673

Jarak dari sungai -0.231288 0.793511

Kepadatan penduduk 0.001692 1.001693

Ketinggian tempat -0.000787 0.999213

Kemiringan lereng 0.001038 1.001039

Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 6 maka persamaan regresi logistik

untuk model spasial deforestasi adalah:

logit p . . . . ) . .

atau

p e p . . . . ) . .

e p . . . . ) . .

Model regresi logistik biner yang dihasilkan menunjukkan bahwa peluang

terjadinya deforestasi di KPHP Poigar berkisar antara 0 sampai 0.91 (Gambar 6).

Area yang berwarna merah (mendekati nilai 1) menunjukkan tingginya peluang

deforestasi pada area tersebut. Luaran analisis model regresi logistik juga

menghasilkan nilai ambang batas (threshold) sebesar 0.43 yang artinya bahwa

nilai peluang deforestasi < 0.43 merupakan areal yang tidak terjadi deforestasi

sedangkan nilai peluang deforestasi > 0.43 merupakan areal yang terdeforestasi.

Gambar 6 Sebaran peluang deforestasi periode 2000–2007

Page 30: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

17

Hasil model regresi logistik biner menggunakan lima peubah penjelas

menunjukkan pengaruh terhadap variabel terikat. Faktor pertama yang

mempengaruhi terjadinya deforestasi adalah faktor ketinggian tempat (elevasi).

Hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa semakin rendah elevasi

maka peluang deforestasi akan meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai

koefisien -0.000787). Elevasi pada kawasan KPHP Poigar berkisar antara -5–

1402 mdpl. Nilai ketinggian tempat terdapat nilai yang negatif. Hal ini disebabkan

karena kawasan KPHP Poigar terdapat areal berupa hutan mangrove. Faktor

ketinggian tempat ditunjang dengan ketersediaan sarana aksesibilitas berupa jalan

setapak untuk menjangkau lokasi yang berada di daerah ketinggian. Hasil tinjauan

lapangan menunjukkan bahwa areal yang berada didaerah ketinggian cukup sulit

dijangkau karena kurangnya akses untuk menuju daerah tersebut. Oleh karena itu,

daerah yang berada di ketinggian sebagian besar masih berupa tutupan hutan.

Faktor elevasi berpengaruh terhadap kejadian deforestasi dinyatakan juga oleh

Agarwal et al. (2005) melalui hasil penelitiannya di Madagaskar.

Faktor yang mempengaruhi deforetasi di KPHP Poigar selanjutnya adalah

faktor jarak hutan dari jaringan jalan. Koefisien peubah jarak dari jalan dihasilkan

yakni -0.448363 artinya bahwa semakin dekat jarak hutan dengan jaringan

jalan maka peluang deforestasi akan semakin besar. Variabel jarak dari jaringan

jalan memiliki nilai antara 0 sampai 7.2 kilometer. Kondisi di lapangan juga

ditemukan terdapat beberapa jaringan jalan di dalam kawasan hutan yang

digunakan oleh masyarakat untuk akses ke dalam kawasan hutan. Jaringan jalan

dapat berupa jaringan jalan desa atau jalan setapak yang sering dilalui oleh

masyarakat. Keberadaan saran jaringan jalan di dalam kawasan hutan KPHP

Poigar dapat menjadi saran untuk melakukan patroli pengamanan kawasan hutan.

Sarana jaringan jalan yang sudah ada juga dapat dimanfaatkan oleh KPHP Poigar

untuk menjalin kerja sama dengan masyarakat untuk kegiatan pengelolaan hutan

kolaboratif.

Temuan penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya

terkait faktor jaringan jalan. Hasil penelitian Mahapatra dan Kant (2005); Arekhi

(2011); Kumar et al. (2014) menyatakan bahwa semakin dekat jarak hutan dari

jaringan jalan maka akan meningkatkan peluang deforestasi. Sementara itu, hasil

penelitian Deng et al. (2011) menyatakan bahwa jaringan jalan di Jiangxi, Cina

cukup aman dan tidak berpengaruh terhadap deforestasi yang terjadi.

Peubah penjelas berikutnya yaitu jarak hutan dari jaringan sungai. Hasil

analisis model regresi logistik menunjukkan bahwa jaringan sungai memiliki

koefisien nilai odd ratio sebesar 0.7935. Nilai tersebut menunjukkan bahwa areal

hutan yang berada dekat dengan jaringan sungai berpeluang terdeforestasi sebesar

0.7935 kali lipat dibandingkan dengan areal hutan yang lebih jauh dari jaringan

sungai. Rentang nilai jarak dari jaringan sungai di kawasan KPHP Poigar adalah 0

sampai 2.2 kilometer. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan terdapat areal

yang mengalami deforestasi berada dekat dengan jaringan sungai. Karakter

biofisik lahan yang berada dekat dengan jaringan sungai memiliki lereng yang

tidak terlalu curam dibandingkan dengan lahan yang berada jauh dengan jaringan

sungai. Selain itu, pemilihan pembukaan lahan yang dekat dengan jaingan sungai

agar sumber air mudah didapatkan. Sungai yang berada di dalam kawasan KPHP

Poigar dapat juga menjadi sarana jaringan jalan (aksesibilitas) di dalam kawasan

hutan.

Page 31: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

18

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian oleh Wyman dan Stein

(2010) yang menyatakan bahwa jaringan sungai berbanding terbalik dengan

kejadian deforestasi. Artinya bahwa semakin dekat jarak hutan dengan jaringan

sungai maka peluang deforestasi akan meningkat. Wyman dan Stein (2010) juga

menyatakan bahwa masyarakat di Belize, Guatemala memilih areal yang dekat

dengan jaringan sungai karena memiliki kualitas tanah yang cukup subur sehingga

cocok untuk areal budidaya tanaman pertanian.

Peubah penjelas lain dalam membangun model spasial deforestasi yaitu

faktor kemiringan lereng. Sebaran kemiringan lereng di KPHP Poigar berkisar

antara 0 sampai 246 persen. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa

peluang deforestasi meningkat di areal yang relatif curam. Kondisi ini cukup

sesuai karena sebagian besar lahan di KPHP Poigar memiliki kemiringan lereng

yang curam dan cukup sulit ditemukan lahan yang landai. Meskipun hasil model

menunjukkan bahwa peluang deforestasi terjadi pada lahan yang curam tetapi hal

tersebut perlu didukung dengan faktor lain. Hasil temuan dalam penelitian ini

terkait dengan faktor kemiringan lereng (slope) tidak sesuai dengan hasil

penelitian Kumar et al. (2014) yang menyatakan bahwa peluang deforestasi akan

berkurang pada areal yang memiliki kemiringan lereng yang curam.

Peubah terakhir yang digunakan dalam pembuatan model adalah peubah

kepadatan penduduk. Tingkat kepadatan penduduk tergolong dalam aspek sosial

penyebab terjadinya deforestasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel ini

berbanding lurus dengan kejadian deforestasi di KPHP Poigar. Hal ini terlihat

pada koefisien . 01692 yang bernilai positif. Berdasarkan hasil tersebut

maka dapat dinyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di daerah yang

berbatasan langsung dengan KPHP Poigar akan meningkatkan peluang terjadinya

deforestasi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2000 terdapat di Desa

Mobuya, Kabupaten Bolaang Mongondow yakni sebesar 1 189.89 jiwa/km2 (BPS

2010). Namun, penelitian ini tidak menggunakan peubah kepadatan profesi petani

karena keterbatasan data berkala (inkonsistensi). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk

suatu daerah akan meningkatkan peluang terjadinya deforestasi (Mahapatra dan

Kant 2005; DeFries et al. 2010). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan

penelitian Gorenflo et al. (2011); Getahun et al. (2013) yang menyatakan bahwa

kepadatan penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap deforestasi. Kepadatan

penduduk erat kaitannya dengan aktivitas masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Müller et al. (2011) dan Grecchi et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa aktivitas pertanian modern menjadi ancaman bagi eksistensi tutupan hutan.

Oleh karena itu, pengelola KPHP Poigar perlu merumuskan program-program

pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan agar deforestasi dapat

dikendalikan.

Validasi Model Spasial Deforestasi

Hasil prediksi deforestasi periode 2000–2013 menunjukkan sebaran peluang

deforestasi antara 0.04–0.92 (Gambar 7). Hasil prediksi deforestasi menunjukkan

bahwa peluang deforestasi banyak terdapat pada kawasan dengan fungsi hutan

produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT). Sementara itu fungsi hutan

lindung (HL) yang memiliki peluang besar terdeforestasi terdapat pada areal yang

terpisah (fragmented) atau tidak berada pada satu kesatuan areal yang luas.

Page 32: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

19

Kawasan KPHP Poigar terdapat banyak jaringan jalan dan pada beberapa daerah

berbatasan langsung dengan kawasan pemukiman.

Gambar 7 Peluang deforestasi 2000–2013

Hasil peta sebaran peluang deforestasi pada Gambar 7 selanjutnya disusun

menjadi peta prediksi deforestasi. Sesuai dengan luaran model regresi logistik

yaitu ambang batas (threshold) peluang deforestasi sebesar 0.43 maka dapat

dinyatakan bahwa nilai peluang 0<P<0.43 adalah areal yang tidak tedeforestasi

dan nilai peluang 0.43<P<1 adalah areal yang tedeforestasi (Gambar 8).

Hasil prediksi deforestasi menunjukkan bahwa luas areal bukan hutan akibat

deforestasi lebih kecil dibandingkan luas areal bukan hutan hasil interpretasi citra

dijital yakni dengan selisih sebesar 6 037.09 hektar (Tabel 7). Luas total hasil

prediksi deforestasi dipengaruhi oleh nilai ambang batas yang digunakan untuk

pemisahan antara areal terdeforestasi dan areal yang masih berupa hutan.

Tabel 7 Perbandingan luas hutan aktual dan hasil prediksi

Kelas Tutupan Hutan Luas (Ha)

2000 2007 2013 Prediksi 2013

Hutan 35 842.71 27 909.65 23 174.46 29 212.35

Non Hutan 5 755.89 13 688.95 18 424.14 12 386.25

Total 41 598.60 41 598.60 41 598.60 41 598.60

Page 33: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

20

Gambar 8 Prediksi deforestasi (a) dan deforestasi aktual periode 2000–2013 (b)

Analisis akurasi antara prediksi deforestasi dengan deforestasi sktual

menunjukkan bahwa hasil prediksi deforestasi hanya mampu menjelaskan 58 %

dari deforestasi aktual. Secara sebaran spasial, hasil prediksi deforestasi

dibeberapa areal ditemukan pendugaan deforestasi yang overestimate dan diareal

lain terjadi underestimate. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor lain yang tidak

Page 34: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

21

masuk dalam pembangunan model spasial antara lain faktor mata pencaharian,

kondisi ekonomi masyarakat, status kepemilikan lahan.

Analisis penyebab deforestasi dengan pendekatan model spasial yang

dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga faktor penyebab deforestasi

yaitu faktor aksesibilitas, faktor biofisik dan faktor sosial. Penyebab deforestasi di

lokasi lain dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain yang digunakan dalam

penelitian ini. Hal ini disebabkan oleh karakteristik suatu lokasi yang tidak persis

sama dengan kondisi di KPHP Poigar. Geist dan Lambin (2002) menyatakan

bahwa faktor penyebab deforestasi dapat berasal dari faktor ekonomi, politik dan

kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Penelitian ini tidak mengakomodir

faktor-faktor tersebut dalam pembangunan model dan analisis faktor penyebab

deforestasi karena keterbatasan ketersediaan data.

Arahan Pengelolaan KPHP Poigar

Kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) Poigar dibentuk dengan

tujuan antara lain pengelolaan hutan yang intensif pada tingkat tapak,

pemanfaatan hasil hutan secara adil khususnya bagi daerah Kabupaten Boolang

Mongondow dan Minahasa Selatan serta peningkatan kemampuan dan kinerja

SDM untuk pelayanan publik dibidang kehutanan (DEPHUT 2007). Pencapaian

tujuan pengelolaan KPHP Poigar diimplementasikan dalam pembagian 14 blok

pengelolaan sesuai dengan fungsi kawasan hutan yang tersebar di KPHP Poigar.

Blok atau zonasi pengelolaan KPHP Poigar selanjutnya dianalisis kaitannya

dengan kejadian deforestasi di kawasan KPHP Poigar untuk menjadi rekomendasi

mengenai opsi manajemen yang tepat diterapkan pada masing-masing blok

pengelolaan.

Hasil analisis spasial deforestasi di kawasan KPHP Poigar menunjukkan

terjadinya penurunan luas tutupan hutan selama periode 2000–2013 yang

dikonversi menjadi tutupan perkebunan monokultur, semak belukar dan tanah

terbuka (Gambar 9).

a b

Gambar 9 Luas tutupan lahan yang menggantikan hutan (%) tahun 2000–2007 (a),

2007–2013 (b)

Page 35: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

22

Sebaran spasial deforestasi menunjukkan bahwa kejadian deforestasi banyak

tersebar pada kawasan produksi yakni antara lain HP Poigar-Inobonto 1, HP

Poigar Inobonto 4, HP Poigar-Inobonto 5, HPT Gunung Lolombulan dan HPT

Gunung Sinonsayang. Beberapa blok tersebut terjadi deforestasi di atas 50 persen

dari luas masing-masing blok. Sedangkan deforestasi pada kawasan lindung

terjadi di HL Gunung Popotelu dan HL Gunung Lolombulan (Gambar 10).

Gambar 10 Deforestasi aktual pada blok pengelolaan KPHP Poigar

Berdasarkan hasil analisis spasial deforestasi serta identifikasi penutupan

lahan yang menggantikan tutupan hutan. Selanjutnya akan disusun rekomendasi

mengenai opsi-opsi manajemen yang tepat untuk diterapkan di blok-blok

pengelolaan KPHP Poigar. Rekomendasi opsi manajemen dikaitkan dengan

kejadian deforestasi aktual dan peluang terjadinya deforestasi pada masing-

masing blok. Tabel 8 menyajikan rekomendasi opsi pengelolaan yang tepat untuk

diterapkan. Opsi tersebut dipilih dari beberapa alternatif yang telah disusun oleh

pihak KPHP Poigar.

Tabel 8 Rekomendasi pengelolaan KPHP Poigar

Zonasi Luas

(Ha) Opsi

pengelolaan Produk Rekomendasi

HL Gunung Bumbungon 1 1 078.22 Rehabilitasi

lahan

Jasa lingkungan

dan HHBK

Rehabilitasi

lahan

HL Gunung Bumbungon 2 1 587.45 Rehabilitasi

lahan

HHBK nira dan

enau, sumber air

Rehabilitasi

lahan

HL Gunung Lolombulan 1 205.52 Rehabilitasi

lahan

Sumber air dan

HHBK

Rehabilitasi

lahan

HL Gunung Popotelu 434.24 Rehabilitasi

lahan

Sumber air dan

HHBK

Rehabilitasi

lahan

HL Torout 524.04 Rehabilitasi

lahan

Sumber air dan

HHBK

Rehabilitasi

lahan

HLB Tanjung Walinatu 377.67 Rehabilitasi dan

pengayaan

Ekowisata,

HHBK dan

Rehabilitasi

lahan dan

Page 36: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

23

Zonasi Luas

(Ha) Opsi

pengelolaan Produk Rekomendasi

hutan bakau perlindungan

daerah pesisir

perlindungan

HP Inobonto-Poigar 1 6 471.46 IUPHHK

terbatas, HTI,

HTR, HKm dan

H-mitra

Kayu bulat H-mitra

HP Inobonto-Poigar 2 3 263.31 HTI, HTR,

HKm dan H-

mitra, IUPHHK,

HHBK

Kayu bulat dan

HHBK

H-mitra

HP Inobonto-Poigar 3 1 685.02 HTI, HTR,

HKm dan H-

mitra

Kayu bulat HTR

HP Inobonto-Poigar 4 6 643.39 HTI, HTR,

HKm dan H-

mitra

Kayu bulat dan

sumber benih

HTR

HP Inobonto-Poigar 5 1 676.02 HTI, HTR,

HKm dan H-

mitra

Kayu bulat dan

HHBK

H-mitra

HPT Gunung Bumbungon 12 327.85 HTI, HTR,

HKm dan H-

mitra

Kayu bulat dan

HHBK

HTI

HPT Gunung Lolombulan 491.90 HTR, HKm, H-

mitra

Kayu bulat dan

HHBK

H-mitra

HPT Gunung Sinonsayang 3 832.51 HTI, HTR,

HKm, H-mitra

dan ekowisata

Kayu bulat,

HHBK dan jasa

lingkungan

HKM

Berdasarkan Tabel 8 maka dapat terlihat bahwa opsi pengelolaan yang

diterapkan di KPHP Poigar terdiri atas hutan tanaman industri (HTI), hutan

kemasyarakatan (HKM), hutan mitra (H-mitra) dan kegiatan rehabilitasi lahan

serta perlindungan kawasan. Kawasan HTI diusulkan sebagai opsi pengelolaan

blok HPT Gunung Bumbungon karena blok ini merupakan blok yang sangat luas

dan masih memiliki areal hutan yang cukup baik. Hasil analisis deforestasi

menunjukkan bahwa areal ini masih memiliki tutupan hutan yang baik. Selain itu,

zona ini juga memiliki peluang deforestasi yang kecil. Terdapat beberapa jenis

lokal yang dapat dibudidayakan untuk pembangunan hutan tanaman yakni

cempaka, jabon merah, dan nantu.

Opsi kedua yang menjadi rekomendasi hasil penelitian ini adalah

pengelolaan blok dengan hutan kemasyarakatan. Opsi ini tepat untuk diterapkan

pada blok HPT Gunung Sinonsayang. Pola hutan kemasyarakatan (HKM) tepat

untuk diterapkan karena blok HPT Gunung Sinonsayang merupakan blok yang

terpisah (fragmented) dari kawasan KPHP Poigar. Selain itu banyak terdapat

pusat-pusat pemukiman masyarakat yang berada disekitar blok HPT Gunung

Sinonsayang. Hasil analisis peluang dan deforestasi aktual juga menunjukkan

bahwa blok ini memiliki peluang defoestasi yang tinggi. Hal yang sama juga

ditunjukkan pada kejadian defoestasi aktual di HPT Gunung Sinonsayang yakni

sebesar 52 persen dari luas blok.

Rekomendasi pengelolaan blok selanjutnya adalah dengan HTR yang tepat

untuk diterapkan di blok HP Inobonto-Poigar 3 dan HP Inobonto Poigar 4.

Pengelolaan dengan pola HTR dipilih karena lokasi blok ini berbatasan langsung

Page 37: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

24

dengan pusat pemukiman dan aktivitas perkebunan masyarakat. Selain itu

aksesibilitas dan jangkauan masyarakat sekitar pada blok ini cukup mudah

terjangkau karena ditunjang dengan saran jaringan jalan. Faktor pendukung lain

untuk menerapkan pengelolaan dengan HTR adalah tersedianya sumber benih

unggulan lokal di blok HP Inobonto-Poigar 4 salah satunya yaitu jenis jabon

merah.

Rekomendasi selanjutnya yang diusulkan adalah pengelolaan blok dengan

hutan kemitraan (H-mitra). Opsi pengelolaan dengan hutan kemitraan dapat

diterapkan pada blok HPT Gunung Lolombulan, HP Inobonto-Poigar 1, HP

Inobonto-Poigar 2 dan HP Inobonto-Poigar 5. Pengelolaan dengan hutan

kemitraan dapat diterapkan salah satunya dengan pola perkebunan agroforestri.

Hal ini ditujukan untuk areal-areal yang sudah menjadi areal perkebunan

masyarakat. Pengelolaan dengan hutan kemitraan diusulkan karena hasil analisis

spasial deforestasi menunjukkan bahwa blok-blok tersebut memiliki kejadian

deforestasi aktual yang sangat besar. Selain itu blok pengelolaan ini juga memiliki

peluang deforestasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dan upaya

mitigasi deforestasi pada blok pengelolaan ini.

Opsi pengelolaan selanjutnya adalah pengelolaan blok yang berfungsi

sebagai kawasan lindung. Meskipun kawasan ini ditujukan sebagai kawasan

lindung namun blok-blok pengelolaan pada kawasan ini masih ditemukan

kejadian deforestasi yang cukup tinggi. Rekomendasi yang diusulkan untuk

pengelolaan kawasan lindung di KPHP Poigar adalah rehabilitasi lahan dan

perlindungan areal hutan. Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk meningkatkan dan

mengoptimalkan fungsi jasa lingkungan kawasan hutan KPHP Poigar. Kegiatan

rehabilitasi dapat dilakukan dengan penanaman jenis multi purpose trees (durian,

manggis dan matoa) sehingga pemanfaatannya dapat berupa buah-buahan

(HHBK). Target produk yang dihasilkan dari kawasan lindung ini dapat berupa

jasa lingkungan perlindungan dan tata air, ekowisata dan hasil hutan bukan kayu

(HHBK). Produk barang dan jasa yang dihasilkan dari kawasan lindung dapat

dimaknai oleh masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan di KPHP Poigar

Rekomendasi pengelolaan kawasan lindung dan produksi di KPHP Poigar

disusun berdasarkan potensi dan analisis kerawanan deforestasi. Diharapkan

dengan adanya rekomendasi opsi pengelolaan tersebut maka tujuan pengelolaan

hutan lestari di KPHP Poigar dapat terwujud. Selain itu, kesejahteraan masyarakat

sekitar KPHP Poigar dapat meningkat seiring dengan keberadaan unit KPHP

Poigar.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini antara lain:

1. Deforestasi yang terjadi di kawasan KPHP Poigar pada periode 2000

sampai 2007 sebesar 7 933.05 hektar dan periode 2007 sampai 2013

sebesar 4 735.19 hektar

Page 38: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

25

2. Faktor pendorong deforestasi disebabkan oleh enam faktor yaitu kepadatan

penduduk, jarak dari jaringan jalan, jarak dari jaringan sungai, jarak dari

pemukiman, ketinggian tempat dan kemiringan lereng

3. Model spasial deforestasi dibentuk menggunakan lima peubah penjelas

dengan persamaaan logit (p) = 0.6054 – 0.448363 (x1) – 0.231288 (x3) +

0.001692 (x4) – 0.000787 (x5) + 0.001038 (x6) dan cukup baik untuk

digunakan prediksi kejadian deforestasi

4. Opsi pengelolaan yang tepat untuk diterapkan di KPHP Poigar diantaranya

adalah HTI (1 blok), HTR (2 blok), HKM (1 blok) dan H-mitra (4 blok)

serta kegiatan rehabilitasi dan perlindungan pada kawasan lindung.

Saran

Model spasial deforestasi perlu dicoba menggunakan metode cellular

automata. Selain itu faktor–faktor penyebab deforestasi perlu ditambahkan untuk

meningkatkan keterandalan model. Penambahan faktor penyebab deforestasi

diharapkan mampu meningkatkan kemampuan model untuk menggambarkan

kondisi di lapangan.

Analisis deforestasi dapat dijadikan salah satu instrumen untuk merumuskan

opsi pengelolaan di KPHP Poigar. Selain itu, pengelolaan hutan perlu

merumuskan pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat sekitar kawasan KPHP

Poigar. Opsi pengelolaan untuk pengelolaan hutan dengan tujuan produksi perlu

disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar agar tujuan

pengelolaan hutan lestari dapat tercapai. Pengelolaan kolaboratif dapat berbentuk

pola agroforestri untuk meningkatkan fungsi hutan pada areal perkebunan yang

telah dibangun oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal DK, Silander JA, Gelfand AE, Dewar RE, Mickelson JG. 2005. Tropical

deforestation in Madagascar: analysis using hierarchical, spatially explicit,

Bayesian regression models. Ecological Modelling. 185(1):105-131.

Aguayo MI, Wiegand T, Azócar GD, Wiegand K, Vega CE. 2007. Revealing the

driving forces of mid-cities urban growth patterns using spatial modeling:

A case study of Los Ángeles, Chile. Ecology and Society. 12(1).

Angelsen A, Kaimowitz D. 1999. Rethinking the causes of deforestation: Lessons

from economic models. The World Bank Research Observer. 14(1):73–98.

Arekhi S. 2011. Modeling spatial pattern of deforestation using GIS and logistic

regression: A case study of northern Ilam forests, Ilam province, Iran.

African Journal of Biotechnology. 10(72).

Ayalew L, Yamagishi H. 2005. The application of GIS-based logistic regression

for landslide susceptibility mapping in the Kakuda-Yahiko Mountains,

Central Japan. Geomorphology. 65(1-2):15-31.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Dan Rumah Tangga Provinsi

Sulawesi Utara Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 Menurut

Desa/Kelurahan. Manado (ID): BPS.

Page 39: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

26

Chen G, Powers RP, de Carvalho LMT, Mora B. 2015. Spatiotemporal patterns

of tropical deforestation and forest degradation in response to the

operation of the Tucuruí hydroelectric dam in the Amazon basin. Applied

Geography. 63:1–8.

DeFries RS, Rudel T, Uriarte M, Hansen M. 2010. Deforestation driven by urban

population growth and agricultural trade in the twenty-first century.

Nature Geoscience. 3(3):178-181.

Deng X, Huang J, Uchida E, Rozelle S, Gibson J. 2011. Pressure cookers or

pressure valves: Do roads lead to deforestation in China? Journal of

Environmental Economics and Management. 61(1):79-94.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Rancangan Pembangunan Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) Model Poigar Di Wilayah Kabupaten Bolaang

Mongondow dan Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.

Manado (ID): DEPHUT.

Eastman JR. 2012. IDRISI Selva Tutorial. Worcester (US): Clark University.

Eckert S, Hüsler F, Liniger H, Hodel E. 2015. Trend analysis of MODIS NDVI

time series for detecting land degradation and regeneration in Mongolia.

Journal of Arid Environments. 113:16–28.

Entwisle B, Rindfuss RR, Walsh SJ, Page PH. 2008. Population Growth and Its

Spatial Distribution as Factors in the Deforestation of Nang Rong,

Thailand. Geoforum; journal of physical, human, and regional

geosciences. 39(2):879-897.

[FAO] Food And Agricultural Organization. 2000. Forest resources assessment

on definitions of forest and forest change. Rome (IT): FAO.

Geist HJ, Lambin EF. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of

tropical deforestation. BioScience. 52(2):143–150.

Getahun K, Van Rompaey A, Van Turnhout P, Poesen J. 2013. Factors

controlling patterns of deforestation in moist evergreen Afromontane

forests of Southwest Ethiopia. Forest Ecology and Management. 304:171–

181.

Gorenflo L, Corson C, Chomitz KM, Harper G, Honzák M, Özler B. 2011.

Exploring the Association Between People and Deforestation in

Madagascar. Di dalam: Cincottal RP dan Gorenflo J, editor. Human

Population: Its Influences on Biological Diversity. New York Springer.

hlm 197–221.

Grecchi RC, Gwyn QHJ, Bénié GB, Formaggio AR, Fahl FC. 2014. Land use

and land cover changes in the Brazilian Cerrado: A multidisciplinary

approach to assess the impacts of agricultural expansion. Applied

Geography. 55:300–312.

Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundangan dan

Implementasi. Jakarta (ID): Debut Wahana Sinergi.

Kumar R, Nandy S, Agarwal R, Kushwaha SPS. 2014. Forest cover dynamics

analysis and prediction modeling using logistic regression model.

Ecological Indicators. 45:444–455.

Ludeke AK, Maggio RC, Reid LM. 1990. An analysis of anthropogenic

deforestation using logistic regression and GIS. Journal of environmental

management. 31:247–259.

Page 40: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

27

Mahapatra K, Kant S. 2005. Tropical deforestation: a multinomial logistic model

and some country-specific policy prescriptions. Forest Policy and

Economics. 7(1):1-24.

Menard S. 2002. Applied Logistic Regression Analysis (Quantitative Applications

In The Social Sciences). California (US): Sage Publications.

Müller R, Müller D, Schierhorn F, Gerold G, Pacheco P. 2011. Proximate causes

of deforestation in the Bolivian lowlands: an analysis of spatial dynamics.

Regional Environmental Change. 12(3):445-459.

Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi:

Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. Jurnal Manajemen

Hutan Tropika. 10(1):29–42.

Navratil P. 2013. Telaah Situasi Penutupan Lahan dan Perubahan Penutupan

Lahan di Kabupaten Kapuas Hulu dan Malinau, Indonesia. Jakarta (ID):

FORCLIME.

Nawir AA, Rumboko L. 2008. Sejarah dan kondisi deforestasi dan degradasi

lahan. Di dalam: Nawir AA, Murniati dan Rumboko L, editor.

Rehabilitasi hutan di Indonesia akan kemanakah arahnya setelah lebih

dari tiga dasawarsa? Bogor (ID): CIFOR. hlm 13–32.

Panta M, Kim K, Joshi C. 2008. Temporal mapping of deforestation and forest

degradation in Nepal: Applications to forest conservation. Forest Ecology

and Management. 256(9):1587-1595.

Perez-Verdin G, Kim YS, Hospodarsky D, Tecle A. 2009. Factors driving

deforestation in common-pool resources in northern Mexico. Journal of

environmental management. 90(1):331-340.

Prasetyo LB, Kartodihardjo H, Okarda B, Adiwibowo S, Setiawan Y. 2009.

Spatial model approach on deforestation of Java Island, Indonesia. Journal

of Integrated Field Science.

Romijn E, Ainembabazi JH, Wijaya A, Herold M, Angelsen A, Verchot L,

Murdiyarso D. 2013. Exploring different forest definitions and their

impact on developing REDD+ reference emission levels: A case study for

Indonesia. Environmental Science & Policy. 33:246–259.

Shehzad K, Qamer FM, Murthy M, Abbas S, Bhatta LD. 2014. Deforestation

trends and spatial modelling of its drivers in the dry temperate forests of

Northern Pakistan – A case study of Chitral. Journal of Mountain Science.

11(5):1192–1207.

Siles NJS. 2009. Spatial modelling and prediction of tropical forest conversion in

the Isiboro Sécure National Park and Indigenous Territory (TIPNIS),

Bolivia [Tesis]. Enschede (NL): International Institute For Geo-

Information Science And Earth Observation.

Singh A. 1989. Review Article Digital change detection techniques using

remotely-sensed data. International Journal of Remote Sensing. 10(6):989-

1003.

Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di

Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Bogor (ID):

CIFOR.

Turner BL, Lambin EF, Reenberg A. 2007. The emergence of land change

science for global environmental change and sustainability. Proceedings of

the National Academy of Sciences. 104(52):20666–20671.

Page 41: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

28

Wyman MS, Stein TV. 2010. Modeling social and land-use/land-cover change

data to assess drivers of smallholder deforestation in Belize. Applied

Geography. 30(3):329-342.

Page 42: Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar ...

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Ujung Pandang (Makassar sekarang) pada

tanggal 28 Juni 1989, dari pasangan dari Ansar dan Hj. Fatmawati. Penulis adalah

putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2013 penulis menikah dengan

Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut dan telah dikaruniai seorang putra bernama

Arendra Khairan Shiddiq (9 Maret 2014). Pendidikan sarjana kehutanan ditempuh

di Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

dan lulus pada tahun 2012. Penulis pernah bekerja sebagai staf bidang evaluasi

dan pelaporan pada Balai Penelitian Kehutanan Manado (BPK Manado) selama

tahun 2012 sampai 20 13.

Penulis melanjutkan studi S2 pada tahun 2013 Sekolah Pascasarjana IPB

dan menerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dari

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan

Nasional. Selama menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB penulis aktif

dibeberapa organisasi mahasiswa yaitu Forum Mahasiswa IPH (FORMA IPH)

dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Selatan (RUMANA IPB). Selain

itu, penulis pernah bekerja sebagai tim analisis spasial dan pemetaan berbasis

drone di Sekolah Drone Desa (SDD) yang bernaung di bawah lembaga Pusat

Studi Pengembangan Pertanian dan Pedesaan (PSP3-IPB).