Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

12
87 Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut (Fear Appeal) : Studi Eksperimen Bahaya Rokok di Kalangan Remaja Volume VII Nomor 1 Maret 2018 ISSN 2301-9816 JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Abstrak/Abstract Kata kunci/Keywords: Penelitian ini berangkat dari celah studi teori EPPM, di mana studi mengenai EPPM selama ini jarang mengkaji pengaruh bentuk-bentuk pesan persuasi terhadap motivasi khalayak untuk menerima pesan persuasi. Penelitian ini mengkaji apa- kah ada efek bentuk pesan persuasi (pesan persuasi dengan berbagai tingkatan ancaman dan efikasi) terhadap motivasi untuk mengikuti pesan persuasi. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain factorial 3x3. Hasil pe- nelitian ini membuktikan pesan persuasi dengan pendekatan rasa takut (fear appeals) mempunyai efek terhadap tingkat motivasi subyek penelitian untuk tidak merokok. Pesan persuasi dengan ancaman yang tinggi dan disertai dengan efikasi tinggi menghasilkan motivasi yang paling tinggi dari subyek penelitian untuk mengikuti pesan persuasi. This research is based on the existence of the EPPM theory study gap, where studies on EPPM have rarely examined the effect of persuasion message forms on audience motivation to receive messages of persuasion. This study examines whether there are effects of persuasive messages (messages of persuasion with various levels of threats and efficacy) on motivation to follow the message of persuasion. This study uses an experimental method with factorial 3x3 design. The results of this study prove the message of persuasion with a fear appeals has an effect on the level of motivation of research subjects not to smoke. The message of persuasion with a high threat and accompanied by high efficacy results in the highest motivation of research subjects to follow the message of persuasion. Persuasion, fear appeals, protection motivation, defensive motivation, experiment, Extended Parallel Process Model (EPPM) Persuasi, pendekatan rasa takut, motivasi proteksi, motivasi defensive, eksperimen, model perluasan proses paralel Eriyanto Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, Kota Depok 16424 Email: [email protected] Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Pendahuluan Konsumsi rokok di kalangan masyarakat Indo- nesia masih sangat tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 memperlihatkan, angka prevalensi rokok sebesar 36,3%. Dengan kata lain, penduduk usia dewasa (di atas 15 tahun) yang merokok sebanyak 36,3%. Angka prevalensi ini mengalami kenaikan dibanding- kan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari data Riskesdas, pada tahun 1995 sebanyak 27 persen penduduk berusia di atas 15 tahun mengonsum- si rokok. Atau dalan kurun waktu kurang dari 20 tahun telah terjadi peningkatan prevalensi jumlah perokok sebanyak 9% (TCSC, 2014). Ge- jala lain yang mengkhawatirkan adalah jumlah perokok remaja yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Masih dari data Riskes- das, terjadi tren kenaikan signifikan pada me reka yang mulai merokok pada usia anak den- gan rentang 5-14 tahun. Tahun 1995, sebanyak

Transcript of Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

Page 1: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

87

Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut (Fear Appeal): Studi Eksperimen

Bahaya Rokok di Kalangan Remaja

Volume VIINomor 1

Maret 2018ISSN 2301-9816

JURNALKOMUNIKASIINDONESIA

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih

Abstrak/Abstract

Kata kunci/Keywords:

Penelitian ini berangkat dari celah studi teori EPPM, di mana studi mengenai EPPM selama ini jarang mengkaji pengaruh bentuk-bentuk pesan persuasi terhadap motivasi khalayak untuk menerima pesan persuasi. Penelitian ini mengkaji apa-kah ada efek bentuk pesan persuasi (pesan persuasi dengan berbagai tingkatan ancaman dan efikasi) terhadap motivasi untuk mengikuti pesan persuasi. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain factorial 3x3. Hasil pe-nelitian ini membuktikan pesan persuasi dengan pendekatan rasa takut (fear appeals) mempunyai efek terhadap tingkat motivasi subyek penelitian untuk tidak merokok. Pesan persuasi dengan ancaman yang tinggi dan disertai dengan efikasi tinggi menghasilkan motivasi yang paling tinggi dari subyek penelitian untuk mengikuti pesan persuasi.

This research is based on the existence of the EPPM theory study gap, where studies on EPPM have rarely examined the effect of persuasion message forms on audience motivation to receive messages of persuasion. This study examines whether there are effects of persuasive messages (messages of persuasion with various levels of threats and efficacy) on motivation to follow the message of persuasion. This study uses an experimental method with factorial 3x3 design. The results of this study prove the message of persuasion with a fear appeals has an effect on the level of motivation of research subjects not to smoke. The message of persuasion with a high threat and accompanied by high efficacy results in the highest motivation of research subjects to follow the message of persuasion.

Persuasion, fear appeals, protection motivation, defensive motivation, experiment, Extended Parallel Process Model (EPPM)

Persuasi, pendekatan rasa takut, motivasi proteksi, motivasi defensive, eksperimen, model perluasan proses paralel

Eriyanto Departemen Ilmu Komunikasi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FI SIP), Universitas Indonesia, Kota Depok 16424

Email: [email protected]

Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI),

Sisingamangaraja, Kebayoran Baru,Jakarta Selatan 12110

PendahuluanKonsumsi rokok di kalangan masyarakat Indo-nesia masih sangat tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 memperlihatkan, angka prevalensi rokok sebesar 36,3%. Dengan kata lain, penduduk usia dewasa (di atas 15 tahun) yang merokok sebanyak 36,3%. Angka prevalensi ini mengalami kenaikan dibanding-kan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari data Riskesdas, pada tahun 1995 sebanyak 27 persen penduduk berusia di atas 15 tahun mengonsum-si rokok. Atau dalan kurun waktu kurang dari 20 tahun telah terjadi peningkatan prevalensi jumlah perokok sebanyak 9% (TCSC, 2014). Ge-jala lain yang mengkhawatirkan adalah jumlah perokok remaja yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Masih dari data Riskes-das, terjadi tren kenaikan signifikan pada me­reka yang mulai merokok pada usia anak den-gan rentang 5-14 tahun. Tahun 1995, sebanyak

Page 2: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

88

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

9,6 persen penduduk usia 5-14 tahun mulai mencoba merokok. Pada 2001, jumlah ini naik jadi 9,9 persen, kemudian terus melonjak hingga 19,2 persen pada 2010 (TCSC, 2014).

Data lain dari Laporan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 juga menunjukkan kondi-si yang mengkhawatirkan mengenai prevalensi perokok di kalangan remaja. Penelitan GYTS ter-hadap 5.986 remaja, khususnya pelajar di Indo-nesia dengan rentang umur 13 hingga 15 tahun menunjukan, dari 19,4 persen remaja laki-laki dan perempuan adalah perokok aktif. Sebanyak 35,3 persen perokok tembakau adalah remaja la-ki-laki, sedangkan remaja perempuan hanya 3,4 persen. Sebanyak 35,6 persen remaja perokok mengisap satu batang rokok per hari. Sementa-ra, hanya 0,5 persen remaja yang mengaku mer-okok lebih dari 20 batang per hari (Metrotv.new.com, 11 /8/ 2016).

Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah perokok. Dian-taranya dengan meningkatkan harga cukai rokok dan peringatan mengenai bahaya rokok. Peme-rintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerin-tah No 109 tahun 2012 (pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 28 tahun 2013) mengenai Pencantuman Peringatan Kese-hatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau. Lewat peraturan ini, perusa-haan rokok wajib mencantumkan bahaya rokok dalam bentuk tulisan dan visual. Tujuan dari peraturan in agar perokok menyadari me ngenai bahaya rokok sebeleum mengkonsumsinya. Pe-merintah juga mengeluarkan peraturan mengenai Kawasan bebas rokok dan peraturan mengenai larangan iklan rokok di ruang publik (Peraturan Menteri Kesehatan No 28 Tahun 2013).

Berbagai regulasi tersebut belum berhasil menurunkan angka prevalensi rokok di Indone-sia. Selain peraturan untuk membatasi pere-daran dan iklan rokok, pemerintah juga aktif dalam membuat iklan layanan masyarakat men-genai bahaya rokok. Pada tahun 2016 misalnya, Departemen Kesehatan setiap tahun membuat iklan dan kampenye mengenai bahaya rokok. Pada tahun 2015 misalnya, Departemen Ke-sehatan membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dengan menampilkan Ike Wijayanti, seo-rang penderita kanker pita suara. Pada iklan itu ditampilkan bagaimana Ike tidak mampu bersu-ara karena pita suaranya rusak.

Penelitian ini memfokuskan pada studi me-ngenai persuasi atau kampanye untuk mengu-rangi prevalensi perokok. Pola persuasi atau kampanye umumnya menggunakan pendekatan rasa takut (fear appeal). Yang dimaksud dengan persuasi dengan pendekatan rasa takut adalah bentuk persuasi yang menitikberatkan pada up-aya untuk membuat khalayak menjadi takut. Persuasi dilakukan dengan memberi gambaran mengenai bahaya atau ancaman yang muncul kalau seseorang merokok----mulai dari penyakit paru-paru, hilangnya pita suara hingga menye-

baban kematian. ILM yang dibuat tiap tahun oleh Departemen Kesehatan menggunakan pendeka-tan rasa takut. Iklan umumnya berisi tentang bahaya atau ancaman akibat rokok. Lewat iklan ini, Departemen Kesehatan mengharapkan agar khalayak tidak merokok atau berhenti merokok bagi yang sudah merokok agar tidak mendapat bahaya seperti dalam iklan.

Salah satu pertanyaan penting dalam per-suasi atau kampanye dengan pendekatan rasa takut (fear appeal) adalah apakah kampanye ini efektif? Apakah khalayak akan mengikuti pesan atau rekomendasi yang diberikan dalam persua-si. Salah satu teori yang menjawab pertanyaan ini adalah model Extended Parallel Process Mod-el (EPPM) yang diperkenalkan oleh Kim Witte. Model ini diperkenalkan pertama kali oleh Kim Witte pada tahun 1993. Model ini telah banyak dipakai untuk menguji berbagai kasus mengenai pesan persuasi dengan mendekatan rasa takut. Model EPPM sendiri terdiri atas tiga bagian, yakni komponen pesan, persepsi atas ancaman / efikasi, dan motivasi untuk menerima atau me-nolak pesan persuasi (lihat Eriyanto & Zarkasih, 2017). Studi mengenai EPPM umumnya berada pada bagian kedua dan ketiga. Studi umumnya berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah ada pengaruh persepsi atas bahaya (ancaman) dan efikasi terhadap motivasi seseorang untuk mengikuti pesan persuasi. Sebagai misal studi yang dilakukan oleh Lewis (2008); Love (2009); Duong et al. (2009); Duong dan Bradshaw (2013); De Vocht et al. (2013); Witte (1993); Tay et al. (2001); Chikombero (2004). Studi semacam ini tidak bisa menjawab pertanyaan apakah pesan persuasi tertentu efektif ataukah tidak dalam mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap tindakan tertentu.

Studi mengenai EPPM jarang dilakukan de ngan menguji pengaruh bentuk-bentuk pesan persuasi terhadap persepsi atas bahaya / efikasi dan motiva-si. Studi pada level ini bisa dilakukan dengan jalan menguji berbagai bentuk pesan persuasi dan meli-hat pengaruh dari bentuk-bentuk pesan persuasi itu pada khalayak. Penelitian ini berangkat dari celah studi teori EPPM, di mana studi me ngenai EPPM selama ini jarang mengkaji pengaruh ben-tuk-bentuk pesan persuasi ter hadap motivasi kha-layak untuk menerima pesan persuasi. Penelitian ini mengkaji apakah ada pe ngaruh bentuk pesan persuasi (pesan persuasi dengan berbagai tingka-tan ancaman dan efikasi) terhadap motivasi untuk mengikuti pesan persuasi.

Tinjauan LiteraturPersuasi dengan Pendekatan Rasa Takut (Fear Appeals)

Persuasi dengan pendeatan rasa takut secara sederhana bisa didefinisikan sebagai cara per-suasi dengan menggunakan ketakutan (fear) se-bagai alat untuk membujuk atau mempersuasi untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang (Perloff, 2010). Misalnya, membujuk pengemudi

Page 3: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

89

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

motor agar menggunakan helm dengan mem-berikan rasa takut berupa bahaya terjadinya gegar otak kalau terjadi kecelakaan. Atau per-suasi mengenai pola makan yang baik dengan memberi ketakutan potensi terjadinya berbagai macam penyakit yang mematikan akibat pola makan yang buruk. Lewat pendekatan rasa ta-kut (fear appeals), seseorang mengikuti rekomen-dasi dalam pesan karena takut mengalami ber-bagai bahaya seperti digambarkan dalam pesan persuasi. Pendekatan rasa takut kerap dipergu-nakan dalam pesan persuasi karena menyentuh aspek emosi dari seseorang, di mana ketakutan adalah sesuatu yang manusiawi, dan orang pada dasarnya ingin agar hidupnya terhindar dari berbagai bahaya.

Witte (1992:331) dan Mongeau (2013:185) mendefinisikan ketakutan (fear) sebagai emosi negatif yang disertai oleh perasaan yang tinggi yang diakibatkan oleh ancaman yang dianggap signifikan dan berdampak langsung pada diri seseorang. Dari definisi ini, terdapat tiga aspek penting dari ketakutan (fear). Pertama, rasa takut berkaitan dengan emosi. Kedua, ketaku-tan melibatkan perasaan yang terlihat secara fisiologis seperti peningkatan denyut jantung, tingkat respirasi, tekanan darah, pelebaran pu-pil dan meningkatnya adrenalin. Ketiga, keta-kutan diakibatkan oleh adanya ancaman besar (misalnya akan terjadinya penyakit, kematian dan sebagainya) yang dinilai oleh seseorang bisa menimpa dirinya.

Definisi ketakutan dari Witte dan Mongeau ini secara jelas membedakan antara ancaman (threat) dan ketakutan (fear). Menurut Mongeau (2013: 185-186), dahulu antara ancaman dan ke-takutan dipandang oleh ahli sebagai istilah yang sama (sinonim). Literatur terbaru mengenai rasa takut sebaliknya melihat dua istilah sebagai hal yang berbeda. Ancaman (threat) adalah kondisi eksternal yang berada di luar diri individu. Se-mentara ketakutan (fear) adalah kondisi emosi yang ada pada diri internal individu. Ancaman bisa mempengaruhi ketakutan. Misalnya, an-caman terjadinya tanah longsor atau banjir bisa membuat individu takut untuk membuang sampah sembarangan di sungai. Tetapi ancaman adalah hal yang berbeda dengan rasa takut. Rasa takut berada pada level internal individu. Sebuah ancaman bisa dipersepsi secara berbeda oleh individu sebagai akibatnya akan mengaki-batkan rasa takut yang berbeda pula.

Bagaimana Pendekatan Rasa Takut Bekerja?Persuasi dengan menggunakan pendekatan

rasa takut (fear appeals) telah dipergunakan sejak tahun 1950-an. Sejak saat itu telah ban-yak teori dan penjelasan mengenai bagaimana rasa takut bekerja dalam mempersuasi individu. Setidaknya ada 4 penjelasan mengenai bagaima-na rasa takut bekerja, yakni model penggerak rasa takut atau Fear-as-Acquired Drive Model (FADM); model proses paralel atau Parallel Pro-

cess Model (PPM); model motivasi proteksi atau Protection Motivation Theory (PMT) dan model perluasan proses parallel atau Extended Paral-lel Process Model (EPPM). Model-model tersebut berusaha menjelaskan mengapa ada persuasi dengan pendekatan rasa takut yang berhasil dan ada yang gagal, serta proses apa yang terjadi dalam diri individu ketika menerima pesan per-suasi. Di bawah ini akan diuraikan sekilas inti dari model dan penjelasan mengenai bagaimana persuasi bekerja.

Pertama, penggerak rasa takut atau Fear-as-Acquired Drive Model (FADM). Model ini dikembangkan oleh Irving Janis dan kolegan-ya tahun 1953. Model ini banyak dipengaruhi oleh teori-teori behaviorisme yang berkembang saat itu. Pesan persuasi dilihat mempunyai pengaruh langsung pada diri individu. Menurut Janis (1967) pesan dengan pendekatan rasa ta-kut dapat menghasilkan dorongan negatif yang memotivasi individu untuk bertindak. Indivi-du kemudian akan melakukan tindakan untuk mengurangi dorongan negatif tersebut, yang pada akhirnya akan dijadikan suatu kebiasaan ketika merespon pesan rasa takut (ancaman).Ada tiga kemungkinan tindakan yang dilaku-kan oleh individu. Pertama, menerima tindakan yang direkomendasikan. Kedua, tidak menerima tindakan yang direkomendasikan. Ketiga, peng-hindaran negatif (defensive avoidance) di mana individu mencoba memanipulasi perasaan takut yang diterimanya, seperti tidak mau memikir-kan bahaya ancaman yang diterimanya atau menganggap ancaman tersebut hanya mengenai orang lain bukan dirinya. Individu akan meng-adopsi tindakan/perilaku yang ia anggap paling efektif untuk mengurangi bahkan mengelimina-si rasa takut (ancaman).

Menurut model ini, pilihan tindakan yang dip-ilih oleh individu ditentukan oleh rangsangan emosional (Beck & Frankel, 1981). Jika ransan-gan emosional tinggi, individu akan cenderung melakukan penghindaran defensif. Rasa ketaku-tan yang berlebihan akan memicu seseorang un-tuk menghindari rasa takut dibandingkan den-gan menerima pesan yang direkomendasikan. Sementara jika rangsangan emosional rendah, individu cenderung untuk tidak memperhatikan atau tidak menerima pesan. Jika individu tidak merasakan ketakutan, pesan tidak akan ber-dampak apapun karena tidak akan diperhatikan oleh individu. Kondisi yang paling efektif adalah jika rangsangan emosionalnya adalah moderat. Pada kondisi ini, individu akan berusaha menga-tasi ketakutan dengan cara mengikuti rekomen-dasi yang diberikan. Tiga kondisi tersebut jika digambarkan mirip sebuah kurva U-terbalik (Barth& Bengel, 2000: 36). Pesan yang efektif adalah jika bisa mendorong adanya rasa takut yag bersifat moderat (tengah). Sementara jika pesan ketakutan itu ekstrim (berlebihan) atau kurang kuat, tidak akan efektif dalam mengu-bah perilaku seseorang.

Page 4: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

90

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

Kedua, model proses paralel atau Parallel Process Model (PPM). Model ini merupakan kri-tik dan revisi terhadap model penggerak rasa takut. Kelemahan dari model penggerak rasa ta-kut, model ini kurang memberi perhatian pada proses pengolahan dan pemrosesan pesan yang terjadi pada diri individu. Model ini dikembang-kan oleh Howard Leventhal tahun 1970-an. Jika model penggerak rasa takut banyak dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme, maka model ini banyak mendapat pengaruh dari psikologi kog-nitif yang berkembang pada era tahun 1970-an. Berbeda dengan model penggerak rasa takut yang melihat pesan persuasi akan berdampak langsung pada diri individu, model paralel lebih menitikberatkan pada proses pengolahan pesan. Menurut Leventhal (1970,1971), pesan persua-si dengan pendekatan rasa takut akan diolah dan diproses dalam kognisi individu. Pengola-han tersebut menghasilkan dua kemungkinan reaksi yang berbeda. Pertama, kontrol bahaya (danger control). Ini merupakan reaksi kognitif individu dalam mengatasi ancaman yang ada di dalam pesan rasa takut, di mana individu men-coba mengatasi ancaman atau bahaya dengan jalan mengikuti rekomendasi agar ancaman tersebut tidak muncul. Kedua, kontrol rasa ta-kut (fear control). Ini merupakan reaksi afektif individu untuk mengatasi rasa takut. Individu melakukan tindakan-tindakan untuk mengura-ngi rasa takut, bisa berupa fisik (makan, minum, istirahat) atau emosional seperti mengalihkan perhatian atau memandang bahaya tidak akan menimpa pada dirinya.

Menurut model ini, pesan rasa takut akan dio-lah dalam kognisi individu. Pesan akan efektif ji-kalau proses yang terjadi adalah kontrol bahaya (danger control). Individu takut dengan adanya bahaya, karena itu berusaha menghindari baha-ya tersebut dengan memecahkan masalah secara langsung berupa perubahan sikap atau perilaku. Misalnya persuasi bahaya rokok yang memper-lihatkan bahaya merokok bisa mengakibatkan terjadinya penyakit paru-paru dan hilangnya pita suara. Pada kontrol bahaya, individu takut kalau bahaya (penyakit) tersebut mebgenai dir-inya, dan karena itu mengikuti pesan persuasi dengan jalan tidak merokok. Sebaliknya, pesan persuasi tidak akan efektif proses yang terjadi adalah kontrol rasa takut (fear control). Indivi-du takut dengan bahaya (penyakit paru-paru), dan akan berusaha untuk menutupi ketakutan tersebut Ketakutan tidak diselesaikan dengan cara mengatasi masalah (tidak merokok), tetapi melakukan penhindaran----misalnya yakin ka-lau bahaya itu hanya menimpa orang lain, bu-kan pada dirinya.

Ketiga, teori motivasi proteksi atau Protection Motivation Theory (PMT). Teori ini diperkenal-kan oleh Ronald Rogers tahun 1975. Model ini merupakan pengembangan dari model Leventhal dengan fokus pada kontrol bahaya (reaksi kogni-tif) dan pengaruhnya terhadap perubahan sikap/

perilaku. Leventhal hanya menjelaskan bahwa pesan persuasi akan diproses dengan cara yang berbeda (kontrol bahaya versus kontrol ketaku-tan) yang akan mengakibatkan dampak yang berbeda pada diri seseorang. Hanya Leventhal tidak menyelidiki lebih lanjut, dalam kondisi seperti apa sebuah persuasi akan diproses men-jadi kontrol bahaya dan kontrol ketakutan.

Menurut Rogers (1975, 1983), rasa takut memiliki 4 dimensi. Pertama, penilaian atas keparahan skala bahaya (severity). Seberapa be-sar kerugian atau ancaman dari suatu bahaya. Kedua, kemungkinan seseorang terkena baha-ya (susceptibility). Bagaimana seseorang mem-persepsikan bahaya dengan dirinya, apakah bahaya itu dipersepsikan kemungkinan akan mengenai dirinya ataukah tidak. Ketiga, efika-si respon (response efficacy). Aspek ini berkai-tan dengan efektivitas respon yang direkomen-dasikan dalam mencegah ancaman. Bagaimana individu mempersepsikan tindakan atau re-komendasi dalam mencegah atau mengurangi bahaya. Apakah individu menilai rekomendasi yang diberikan dalam pesan persuasi bisa efektif mengatasi bahaya. Keempat, efikasi diri (self-ef-ficacy). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk melakukan respon terhadap bahaya atau ancaman. Apakah individu mem-persepsikan dirinya mampu melakukan tinda-kan yang direkomendasikan untuk mencegah terjadinya bahaya.

Keempat aspek ini secara bersama-sama akan menghasilkan proses kognitif untuk bertindak (Barth& Bengel, 2000:39-40; Beck & Frankel, 1981:209-210). Jika empat aspek tersebut ting-gi (individu mempersepsikan bahaya sangat tinggi, kemungkinan bahaya mengenai dirinya, rekomendasi dinilai efektif dalam mengatasi ba-haya dan persepsi bahwa dirinya mampu melaku-kan tindakan yang direkomendasikan) akan menjadi motivasi proteksi. Motivasi proteksi ini pada akirnya akan berdampak pada keinginan individu untuk mengadopasi tindakan (respon) yang direkomendasikan. Sebagai misal, persua-si mengenai bahaya rokok. Menurut model ini, persuasi akan efektif jikalau muncul motivasi individu untuk melakukan proteksi berupa upa-ya memenuhi rekomendasi agar tidak terkena bahaya rokok. Motivasi proteksi ini akan muncul jikalau ada empat aspek, yakni rokok mengaki-batkan penyakit paru-paru yang membahayakan (severity), penyakit paru-paru ini bisa menimpa semua perokok seperti dirinya (susceptibility), penyakit paru-paru bisa dihindari kalau seseo-rang berhenti merokok (response efficacy) dan yakin bahwa dirinya bisa berhenti merokok agar terhindar dari penyakit paru-paru (self-efficacy).

Keempat, model perluasan proses parallel atau Extended Parallel Process Model (EPPM). Model ini dikembangkan oleh Kim Witte di ta-hun 1990-an. Sesuai dengan namanya, model ini merupakan perluasan atau pengembangan dari model proses parallel dari Leventhal. Perluasan

Page 5: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

91

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

model ini dilakukan oleh Witte dengan mengin-tegrasikan model proses parallel dengan model motivasi proteksi dari Rogers. Dari model pros-es parallel, Witte mengambil pemikiran menge-nai dua proses pengolahan pesan, yakni kontrol bahaya dan kontrol ketakutan. Pesan persuasi berisi rasa takut akan diproses dengan dua ke-mungkinan, apakah individu akan berusaha untuk menghindari ketakutan (kontrol ketaku-tan) ataukah individu akan mengikuti pesan rekomendasi untuk mengurangi atau mencegah masalah (kontrol bahaya). Sementara dari te-ori motivasi proteksi, Witte mengambil gagasan Rogers mengenai 4 dimensi rasa takut, yakni skala bahaya (severity), kemungkinan seseorang terkena bahaya (susceptibility), efikasi respon (response efficacy) dan efikasi diri (self-efficacy). Dua model tersebut (proses parallel dan motivasi proteksi) kemudian digabung oleh Witte untuk menggambarkan proses pengolahan pesan per-suasi dengan pendekatan rasa takut.

Integrasi yang dilakukan oleh Witte berhasil mengatasi kelemahan model proses parallel dan motivasi proteksi (Mongeau, 2013). Kelemahan dari model proses parallel adalah tidak meng-gambarkan penyebab kontrol ketakutan dan kontrol bahaya. Bentuk pesan dan faktor apa yang menyebabkan individu mengolah pesan dengan cara yang berbeda. Kelemahan ini ber-hasil dijawab oleh Rogers lewat model motivasi proteksi. Rogers memasukkan 4 aspek (severity, susceptibility, efikasi respon dan efikasi diri) se-bagai penjelasan. Hanya saja, model Rogers ini hanya membatasi diri pada motivasi proteksi. Model ini tidak menjawab proses kontrol keta-kutan seperti digambarkan oleh Levinthal. Witte mengintegrasikan dua model tersebut untuk mengatasi kelemahan masing-masing model.

Teori EPPM (Extended Parallel Process Model)Penelitian ini menggunakan model EPPM

(Extended Parallel Process Model). Witte (1993, 1998) membedakan antara ancaman (threat) dengan rasa takut (fear). Ancaman merupakan stimulus eksternal, sementara rasa takut mer-upakan kondisi internal dalam diri individu. Gambar 1 menujukkan bagaimana model EPPM bekerja. Seperti terlihat dalam gambar terse-but, model EPPM terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, stimulus eksternal. Bagian ini berkaitan dengan persuasi, bagaimana bentuk ancaman dalam pesan persuasi. Dengan menga-cu kepada model motivasi proteksi dari Rogers, Witte membagi bentuk pesan persuasi tersebut ke dalam 4 komponen. Pertama, seberapa besar ancaman digambarkan dalam pesan persuasi (signifikansi / severity). Misalnya, pesan persua-si bahaya rokok. Pesan persuasi bisa ditampil-kan dengan ancaman kecil (rokok menyebabkan gangguan kesehatan) hingga tinggi (rokok bisa menyebabkan kematian). Kedua, suseptibilitas yakni sejauh mana penggambaran bahaya atau ancaman tersebut berlaku pada semua orang.

Pesan persuasi bisa menampilkan bahwa ba-haya rokok bisa menyerang semua orang, bisa juga digambaran hanya menyerang beberapa orang saja (misalnya hanya pada perokok be-rat). Ketiga, efikasi respon. Ini berkaitan dengan penggambaran apakah alternatif tindakan yang direkomendsikan bisa mengatasi bahaya atau ancaman. Pesan persuasi bisa menampilkan re-komendasi berupa tindakan berhenti merokok di mana rekomendasi tersebut kalau diikuti bisa sepenuhnya membuat individu terhindar dari bahaya rokok. Bisa juga alternatif tindakan yang ditawarkan tidak sepenuhnya bisa mengatasi ancaman yang ada. Keempat, efikasi diri. Kom-ponen ini berkaitan dengan penggambaran me-ngenai kemampuan individu, apakah individu digambarkan mampu menjalankan rekomendasi yang ditawarkan (berhenti merokok) ataukah se-baliknya.

Bagian kedua dari model EPPM adalah pem-rosesan pesan (Witte & Morrison, 2000). Bagian ini berkaitan dengan rasa takut (fear), yakni re-spon emosional individu ketika menerima pesan persuasi berisi ketakutan. Witte menggambarkan pemrosesan pesan ini sebagai bagaimana indivi-du mempersepsikan pesan ancaman (stimulus eksternal). Sama dengan komponen pesan, pada pemrosesan informasi terdapat 4 komponen. Per-tama, signifikansi (severity) yakni bagaimana in-dividu mempersepsikan tingkat bahaya. Setelah mendapatkan stimulus eksternal individu bisa mempersepsikan rokok mempunyai bahaya yang sangat tinggi (misalnya menyebabkan kematian) atau skala bahanya kecil (menyebabkan sakit tenggorokan). Kedua, suseptibilitas. Individu bisa mempersepsikan bahaya atau ancaman tersebut bisa mengenai semua orang atau hanya pada orang­orang tertentu saja. Ketiga, efikasi respon. Komponen ini berkaitan dengan persepsi individu atas rekomendasi tindakan untuk me-ngatasi ancaman atau bahaya. Apakah individu mempersepsikan tindakan itu bisa mengatasi ancaman secara penuh ataukah tidak. Keempat, efikasi diri. Aspek ini berkaitan dengan persepsi atas kemampuan diri dalam mengikuti rekomen-dasi agar terhindar dari ancaman atau bahaya. Seseorang bisa mempersepsikan dirinya mampu menghindari diri dari ancaman, bisa juga seba-liknya.

Bagian ketiga dari model EPPM berkaitan dengan prediksi hasil pengolahan informasi. Bagian ini dikembangkan oleh Witte dari model proses parallel dari Leventhal. Ada dua kemung-kinan proses yang terjadi (Witte 1992; Witte, 1998; Witte & Morrison, 2000). Pertama, proses kontrol bahaya. Pada proses ini, individu akan berupaya untuk mengurangi atau menghilang-kan bahaya dengan cara mengikuti rekomendasi yang ditawarkan. Individu memunyai motivasi untuk melakukan proteksi agar terhindar dari bahaya atau ancaman. Misalnya, individu takut dengan penyakit paru-paru yang bisa menyebab-kan kematian. Individu kemudian mempunyai

Page 6: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

92

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

motivasi agar tidak terkena penyakit paru-paru dengan cara berhenti merokok. Kedua, proses kontrol ketakutan. Pada proses ini, individu ti-dak berusaha mengatasi bahaya tetapi menga-tasi rasa takut. Individu takut dengan bahaya rokok berupa penyakit paru-paru, tetapi ketaku-tan ini dikurangi atau dihilangkan dengan jalan melakukan defensif. Individu tidak termotivasi untuk melakukan rekomendasi Iberhenti mero-kok), tetapi melakukan penghindaran terhadap ketakutan---misalnya yakin bahwa penyakit pa-ru-paru pasti tidak menimpa dirinya, penyakit itu hanya menimpa perokok berat, penyakit turunan tidak hanya akibat rokok, dan sebagainya.

Pemrosesan Pesan Persuasi dan Perubahan Sikap / Perilaku

Kelebihan teori EPPM dibandingkan dengan teori persuasi pendekatan rasa takut (fear ap-peals) lainnya adalah menempatkan perubahan sikap atau perilaku sebagai akibat dari pemros-esan pesan. Teori EPPM memprediksikan pem-rosesan pesan akan menentukan apakah persua-si akan diproses menjadi respon kontrol bahaya (danger control) ataukah kontrol ketakutan (fear control). Pemrosesan pesan persuasi bisa ditentu-kan oleh dua aspek. Pertama, tingkat ancaman. Bagaimana individu mempersepsikan ancaman dalam pesan persuasi---apakah tinggi, sedang ataukah rendah. Pesan persuasi mengenai baha-ya rokok misalnya bisa dipersepsi oleh individu dengan ancaman yang sangat tinggi (misalnya merokok bisa menyebabkan kematian) hingga rendah (merokok bisa menyebabkan gangguan kesehatan). Kedua, tingkat efikasi. Bagaima-na individu mempersepsi kemampuan dirinya dalam menghindarkan diri dari bahaya. Apa-kah individu memandang bahwa bahaya akan menimpa semua orang ataukah hanya orang ter-tentu saja Sama dengan tingkat ancaman, indi-vidu bisa mempersepsikan efikasi dari tingkatan tinggi, sedang hingga rendah. Jika dua aspek tersebut digabungkan, setidaknya ada 9 kondi-si (3x3) pemrosesan informasi. Misalnya, sebuah pesan persuasi bisa diproses oleh seseorang den-gan kondisi ncaman tinggi dan efikasi tinggu, an-caman tinggi dan efikasi sedang, dan seterusnya.

Witte (1992: 339-345) mengajukan beberapa proposisi mengenai bagaimana pemrosesan pe-san persuasi tersebut bisa mempengaruhi peru-bahan sikap. Proposisi tersebut bisa dirangkum sebagai berikut. Pertama, jika ancaman dan efikasi dipersepsikan rendah maka pesan tidak akan diproses. Misalnya, seseorang mempersep-sikan bahwa ancaman bahaya rokok rendah (rokok tidak membahayakan kesehatan) dan efi-kasi juga rendah (bahaya rokok hanya menimpa orang tertentu), maka pesan persuasi tidak akan diproses. Pada Gambar 1A, kondisi ini digam-barkan sebagai titik kritis, yakni kondisi ketika pesan tidak diolah atau diproses. Pesan akan hilang begitu saja karena tidak diproses dalam

kognisi individu. Kedua, jika persepsi atas ancaman tinggi

(misalnya rokok dipersepsikan bisa menyebab-kan kematian) dan efikasi juga tinggi (individu mempersepsikan dirinya mampu melakukan tin-dakan untuk menghindari ancaman), maka pe-san persuasi tersebut akan diolah menjadi res-pon kontrol bahaya (danger control). Lihat pada Gambar 5A. Semakin tinggi persepsi atas an-caman dan semakin tinggi efikasi, maka semakin besar kemungkinan pesan akan diproses meng-gunakan kontrol bahaya (danger control). Pada kontrol bahaya, pesan persuasi mempengauhi terjadinya motivasi individu untuk melakukan proteksi, dan sebagai akibatnya akan terjadi pe-rubahan adaptif. Individu akan mengikuti pesan persuasi (misalnya tidak akan merokok) karena menganggap rokok berbahaya (menyebabkan ke-matian) dan yakin dirinya bisa menghindari ba-haya rokok tersebut dengan jalan tidak merokok.

Ketiga, jika persepsi atas ancaman tinggi se-baliknya efikasi rendah, maka pesan persuasi akan diproses menjadi respon kontrol ketakutan (fear control). Pada kondisi ini, seseorang mem-persepsikan ancaman tinggi (misalnya percaya bahwa rokok bisa menyebabkan kematian) tetapi di sisi lain efikasinya rendah (ia tidak yakin ada alternatif atau cara untuk menghindarkan diri dari rokok, misalnya karena sudah kecanduan, tidak percaya bisa berhenti merokok, dan se-bagainya). Teori EPPM memprediksikan, pesan persuasi akan diproses menggunakan kontrol ketakutan (fear control). Seseorang hanya takut tetapi respon yang diberikan bukan mengindar dari bahaya (misalnya dengan jalan berhenti merokok atau memulai gaya hidup sehat), tetapi menghindar dari ketakutan---misalnya mengali-hkan pandangan bahwa akibat rokok tersebut ti-dak akan menimpa dirinya. Pesan persuasi tidak berdampak pada perubahan sikap atau perilaku karena seseorang lebih termotivasi melakukan tindakan defensif (bertindak untuk menghindari ketakutan) dari pada mengikuti rekomendasi yang diberikan. Lihat kembali pada Gambar 1A. Semakin tinggi ancaman dan semakin rendah efikasi, maka semakin mungkin sebuah pesan akan diproses menggunakan kontrol ketakutan (fear control).

Keempat, jika ancaman dan efikasi dipersep-sikan sedang (tidak tinggi atau rendah), maka akan terjadi dampak seperti model U terbalik. Pada awalnya terjadi respon kontrol bahaya, kemudian perlahan berubah menjadi respon kontrol ketakutan. Lihat dalam Gambar 1B. Individu mula-mula akan mengolah pesan den-gan menggunakan kontrol bahaya (mengikuti rekomendasi pesan persuasi dengan tidak me-rokok), kemudian akan berubah menjadi kontrol ketakutan (tidak mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh pesan persuasi).

Page 7: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

93

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

Gambar 1. Prediksi Perubahan Sikap Dilihat dari Pesan Persuasi

Sumber: Witte (1992: 342)

Bentuk Pesan Persuasi dan Hipotesis Penelitian Model EPPM terdiri atas tiga bagian (stimulus

eksternal, pemrosesan pesan dan keluaran / proses). Studi-studi mengenai EPPM umumnya lebih ban-yak menguji pengaruh dari bagian kedua ke bagian ketiga. Misalnya, banyak studi-studi EPPM yang membahas pengaruh persepsi rasa takut terhadap keluaran (kontrol bahaya versus kontrol ketaku-tan). Studi yang dilakukan oleh Tay et al. (2001); Chikombero (2004); Millar dan Houska (2007); Lew-is (2008); Love (2009); Duong et al. (2009); Duong dan Bradshaw (2013); dan De Vocht et al. (2013) bisa dikategorikan dalam kelompok ini.

Penelitian ini sebaliknya ingin menguji teori EPPM dari bagian pertama ke bagian kedua. Apakah ada pengaruh antara stimulus eksternal dengan motivasi individu (motivasi proteksi dan motivasi defensif). Hipotesis diturunkan dari proposisi yang dibuat oleh Witte (1992). Proposi-si dari Witte (1992) ini sebenarnya terait dengan pengaruh antara pemrosesan informasi (persepsi atas rasa takut) dengan output. Penulis menggu-

naakn prosisi tersebut untuk menguji pengaruh stimulus eksternal terhadap pemrosesan pesan.

Hipotesis 1: Ada perbedaan motivasi proteksi se-bagai akibat dari pesan persuasi yang berbeda, di mana motivasi proteksi lebih mungkin terja-di pada individu yang diberikan pesan persuasi dengan tingkat ancaman dan efikasi tinggi.

Hipotesis 2: Ada perbedaan motivasi defensif se-suai dengan pesan persuasi, di mana motivasi ini lebih mungkin terjadi pada subyek penelitian yang diberikan ancaman tinggi dan efikasi rendah.

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode eksper-

imen. Metode eksperimen adalah metode pe-nelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara satu variabel dengan variabel lainnya (variabel X dan Y). Eksperimen merupakan cara yang paling kuat untuk mempertajam fokus pada hubungan kausal (Neuman, 2013).

Bentuk eksperimen ini adalah between subject. Yang dimaksud dengan between subject adalah penelitian dilakukan atas sejumlah kelompok, di mana masing-masing kelompok hanya akan mendapat 1 perlakuan saja (Wimmer & Domi-nick, 2011). Subyek dalam penelitian ini dibagi ke dalam 9 kelompok, di mana di masing-mas-ing kelompok hanya diberikan satu perlakuan. De ngan kata lain 1 kelompok hanya mendapa-tkan 1 iklan pesan persuasi dengan perbedaan pendekatan tehnik pendekatan rasa takut (fear appeals) di kelompok lainnya. Desain eksperi-men yang dipakai dalam penelitian ini adalah desain faktorial. Desain ini dipilih karena eks-perimen memasukkan lebih dari 2 variabel inde-penden (tingkatan efikasi dan ancaman). Desain faktorial yang dipakai adalah 3x3, yang bisa di-baca sebagai desain memasukkan dua variabel independen, di mana masing-masing variabel independen tersebut mempunyai tiga level yak-ni tinggi, sedang dan rendah (Crano & Brewer, 2002). Desain faktorial bisa digambarkan se-bagai berikut.

Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah bentuk pesan persuasi mengenai ba-haya rokok yang menggunakan pendekatan rasa takut (fear appeal). Ada dua variabel indepen-den. Pertama, tingkatan ancaman dalam pesan persuasi. Tingkatan ancaman mengacu kepa-da definisi yang diberikan oleh Witte (1998). Ancaman didefinisikan sebagai seberapa besar bahaya atau dampak atau kerugian yang digam-barkan dalam pesan persuasi. Dalam penelitian

Tabel 1. Desain Eksperimen

Page 8: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

94

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

ini, tingkatan ancaman mengenai bahaya rokok dalam pesan persuasi berisi tentang ancaman yang besar (rokok menyebabkan orang mening-gal dunia), sedang (sakit paru-paru) dan ringan (sakit tenggorokan atau batuk-batuk). Kedua, tingkatan efikasi yang diberikan dalam pesan persuasi. Definisi mengenai efikasi mengacu ke-pada Witte (1998). Efikasi didefinisikan sebagai rekomendasi respon untuk menghindari resiko atau bahaya. Ini mengacu kepada seberapa mu-dah respon atau rekomendasi yang disediakan oleh pesan persuasi untuk diikuti oleh seseorang. Pesan persuasi mengenai efikasi efikasi (kemam-puan orang untuk terhindar dari bahaya) dalam penelitian ini diturunkan ke dalam kadar tinggi, sedang dan rendah.

Pada penelitian eksperimen, variabel inde-penden tersebut menjadi perlakuan (treatment). Peneliti mengoperasionalisasikan kedua variabel independen tersebut dalam bentuk perlakuan, berupa iklan mengenai bahaya merokok. Karena ada 9 kelompok, maka peneliti membuat 9 bentuk iklan mengenai bahaya merokok menurut tingka-tan bahaya dan efikasinya. Gambaran mengenai bentuk perlakuan adalah sebagai berikut.

Variabel terikat (dependen) dalam penelitian

ini adalah motivasi untuk tidak merokok atau berhenti merokok bagi yang pernah merokok. Motivasi adalah bentuk mekanisme kontrol di dalam diri responden untuk menerima atau menolak pesan rasa takut, dalam hal ini pesan rasa takut terkait bahaya merokok. Variabel ini meliputi dua dimensi, yakni motivasi proteksi (protection motivation) dan motivasi defensif (de-fensive motivation). (1) Motivasi proteksi adalah keyakinan responden bahwa dirinya dapat se-cara efektif mencegah terjadinya bahaya atau kerugian akibat merokok melalui perubahan proteksi diri, sehingga ia akan menerima pesan persuasi rasa takut. (2) Motivasi defensif adalah keyakinan responden bahwa dirinya tidak dapat melakukan respon yang direkomendasikan, seh-ingga ia akan menolak pesan rasa takut terse-but. Definisi dan operasionalisasi konsep dari variabel ini bersumber dari Witte (1998).

Subyek penelitian ini adalah para mahasiswa. Menurut Nahartyo (2012: 172), penelitian de-ngan menggunakan metode eksperimen banyak menggunakan mahasiswa sebagai subyek pene-litian. Penelitian ini dilakukan di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indone-sia (UAI). Alasan memilih populasi ini karena

Tabel 2. Bentuk Perlakuan (Treatment)

Page 9: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

95

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

mahasiswa berasal dari latar belakang yang ber-beda. Sampel diambil dari populasi secara acak (random). Pembagian peserta ke dalam kelom-pok eksperimen (kelompok I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dan IX) menggunakan random assign-ment, di mana penempatan responden ke dalam kelompok ekspermen dilakukan secara acak.

Proses pemilihan subyek penelitian dilakukan lewat dua proses. Pertama, penarikan sampel secara acak (random sampling) mahasiswa Pro-gram Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI). Peserta eksperimen dip-ilih secara acak. Total subyek penelitian adalah 225 orang mahasiswa. Kedua, penempatan sub-yek penelitian ke dalam kelompok eksperimen secar acak (random assignment). Ke-250 orang subyek penelitian itu kemudian dipilih untuk ditempatkan ke dalam 9 kelompok eksperimen. Masing-masing kelompok eksperimen terdiri atas 25 orang siswa.

Alat eksperimen yang dipakai dalam penelitian ini adalah manipulasi (artifisial) iklan layanan masyarakat (Public Service Advertisement /PSA) bahaya rokok. Peneliti membuat “manipulasi” dengan memberikan perlakuan (treatment) adan-ya sosialisasi mengenai bahaya rokok. Peserta yang diberikan alat eksperimen harus bisa dike-sankan bahwa pesan dalam medium berupa iklan dan selebaran tersebut adalah faktual. Dari kes-embilan kelompok diberikan template layout de-sain iklan PSA yang sama namun dengan tehnik pesan yang berbeda satu dengan lainnya terkait bahaya rokok.

Subyek penelitian ditempatkan di dalam ke-las. Peneliti memberikan iklan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Subyek penelitian

diminta untuk melihat iklan selama 5-10 menit. Setelah iklan dibaca, subyek penelitian diukur kembali motivasinya untuk tidak merokok (post test). Agar penelitian valid, peneliti menggunakan teknik doble blind. Peneluti dibantu oleh asisten lapangan. Baik asisten lapangan ataupun peser-ta tidak mengetahui hipotesis penelitian (doble blind). Teknik ini dilakukan untuk mencegah jawaban atau respon dari subyek penelitian dise-suaikan dengan hipotesis (Neuman, 1999).

Analisis data menggunakan uji ANOVA. Uji statsitik dipakai untuk mengukur perbedaan (dalam hal ini motovasi menerima pesan per-suasi) dari kelompok yang beragam. Lewat uji statistik ini akan diketahui apakah terdapat perbedaan antara motivasi meneriman pesan persuasi (tidak merokok) antara kelompok yang diberikan pesan persuasi rasa takut (fear appeal) yang berbeda-beda. Uji ini juga memberikan in-formasi mengenai kelompok mana yang paling tinggi tingkat motivasinya, sehingga bisa disim-pulkan sebagai hasil dari bentuk persuasi yang berhasil.

Hasil PenelitianTabel 4 menyajikan data deskripsi motivasi

subyek penelitian. Skor 1 adalah sangat tidak setuju sementara skor 4 adalah sangat setuju. Untuk motivasi proteksi (keyakinan subyek pe-nelitian bahwa dirinya bisa menghindari baha-ya), nilai rata-rata berada di antara 2,82 hing-ga 2,84. Sementara untuk motivasi defensive (keyakinan subyek penelitian bahwa dirinya tidak dapat melakukan respon yang direkomen-dasikan), nilai rata-rata berada di antara skr 1,28 hingga 1,33.

Tabel 3. Dimensi dan Indikator Variabel Terikat (Dependen)

Page 10: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

96

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

Tabel 5 menyajikan data deskripsi motivasi responden menurut kelompok eksperimen, dari kelompok 1 hingga 9.

Gambar 2 menyajikan ringkasan deskripsi motivasi proteksi (keyakinan untuk berhenti merokok) dari kelompok 1 hingga 9. Dari gam-bar ini terlihat, skor motivasi bervariasi di an-tara kelompok eksperimen. Skor tertinggi be-rada pada kelompok 1 (pesan persuasi dengan ancaman tinggi dan efikasi tinggi). Sementara skor terendah berada pada kelompok 4 (ancaman tinggi dan efikasi sedang). Teori EPPM mempre-diksikan bahwa pesan persuasi dengan ancaman dan efikasi tinggi secara teoritis akan membuat seseorang lebih menerima pesan persuasi. Dari

hasil deskripsi ini terlihat, hipotesis terbukti. Kelompok 1 yang diberikan pesan persuasi den-gan ancaman dan efikasi tinggi terlihat meng-hasilkan motivasi paling tinggi dibandingkan dengan kelompok eksperimen lainnya.

Gambar 3 memperlihatkan rangkuman nilai rata-rata untuk motivasi defensif (keyakinan su-byek penelitian bahwa dirinya tidak mampu ber-henti merokok). Teori EPPM memprediksikan bahwa motivasi defensive akan lebih mungkin terjadi ketika pesan persuasi berupa ancaman tinggi dan efikasi rendah. Diprediksikan bahwa kelompok 4 dan 7 adalah kelompok yang mem-punyai skor motivasi defensif paling tinggi. Dari grafik ini terlihat, hipotesis tidak terbukti. Skor untuk motivasi defensive relatif seimbang un-

Tabel 4. Hasil Penelitian Deskriptif: Skor Rata-Rata (Mean)

Gambar 2. Perbandingan Nilai Rata-Rata (Mean) Untuk Motivasi Proteksi (Protection Motivation)

Page 11: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

97

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

Tabel 6. Uji ANOVA

Keterangan: *) Signifikan pada taraf kepercayaan 0,05

tuk masing-masing kelompok. Untuk membuktikan hipotesis tersebut,

dilakukan uji statistik ANOVA. Hipotesis 1 da-lam penelitian dirumuskan sebagai ada perbe-daan motivasi proteksi sebagai akibat dari pesan persuasi yang berbeda, di mana motivasi proteksi lebih mungkin terjadi pada individu yang diber-ikan pesan persuasi dengan tingkat ancaman dan efikasi tinggi. Hipotesis ini terbukti secara signifikan (p<0,05). Hipotesis 2 dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: ada perbedaan motivasi defensif sesuai dengan pesan persuasi, di mana motvasi ini lebih mungkin terjadi pada subyek penelitian yang diberikan ancaman ting-gi dan efikasi rendah. Pengujian ANOVA mem-perlihatkan hipotesis ini tidak terbukti (p>0,05).

KesimpulanHasil penelitian ini membuktikan pesan per-

suasi dengan pendekatan rasa takut (fear ap-peals) mempunyai pengaruh terhadap tingkat

motivasi subyek penelitian untuk berhenti mero-kok. Pesan persuasi dengan ancaman yang tinggi dan disertai dengan efikasi tinggi menghasilkan motivasi yang paling tinggi dari subyek peneli-tian untuk berhenti merokok. Mengapa? Pesan persuasi semacam ini menghasilkan tingkat ke-takutan yang tinggi dan pada saat bersamaan meyakinkan kepada subyek penelitian bahwa ancaman (bahaya merokok) bisa dihindari. Pe-san ancaman dan efikasi adalah dua aspek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Agar pe-san persuasi efektif, pesan tidak boleh hanya menakutkan tetapi juga harus memberi jalan keluar berupa rekomendasi bahwa seseorang bisa menghindari bahaya tersebut. Karena itu pesan persuasi yang efektif harus mengandung 2 unsur sekaligus. Pertama, pesan berisi ancaman yang menakutkan. Kedua, pesan meyakinkan jalan keluar untuk menghindari masalah. Studi ini membuktikan bekerjanya teori EPPM dalam konteks di Indonesia.

Gambar 3. Perbandingan Nilai Rata-Rata (Mean) Untuk Motivasi Defensif (Defensive Motivation)

Page 12: Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan ...

98

Eriyanto & Irwa R. Zarkasih Model Persuasi yang Efektif Dengan Menggunakan Pendekatan Rasa Takut

Barth, J. & Bengel, J. (2000). Prevention Through Fear? : The State of Fear Appeal Research / An Expert Report. Köln, Germany: Fed-eral Centre for Health Education (BZgA).

Beck, K. H., & Frankel, A. (1981). A Conceptualization of Threat Com-munications and Protective Health Behavior. Social Psychology Quarterly, 44 (3), 204–217.

Chikombero, P.M. (2004). An Analysis and Interpretation of Televised An-ti-HIV/AIDS Public Service Announcements in Zimbabwe. Dis-ertasi pada College of Communication and Information of Kent State University Ohio.

Crano, W.D. & Brewer, M.B. (2002). Principles and Methods of Social Research. Second Edition. Mahwah, New Jersey: Lawrence Er-lbaum Associates.

De Vocht, M., Cauberghe,V., Sas, B. & Uyttendaele, M. (2013). Analyzing Consumers’ Reactions to News Coverage of the 2011 Esche-richia Coli O104:H4 Outbreak, Using the EPPM. Journal of Food Protection, 76 (3), 473-481.

Departemen Kesehatan (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengenda-lian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan.

Dillard, J. P., & Meijnders, A. (2002). Persuasion and the Structure of Affect. Dalam Dillard, J.P. & Pfau, M. (eds.), The Persuasion Handbook: Developments in Theory and Practice (pp. 309-327). Thousand Oaks, CA: Sage Publication.

Duong, J., Sawyer, A., Hayat, M. & Rose, L. (2009). An Application of the EPPM to Understand First Respondersʼ Attitudes toward Assisting Individuals with Serious Mental Illness. Johns Hopkins Blommberg School of Public Health and John Hopkins School of Nursing.

_______. & Bradshaw, C.P. (2013). Using the EPPM to Examine Teachers’ Likelihood of Intervening in Bullying. Journal of School Health, 83 (6), 422-429.

Eriyanto & Zarkasih, I. (2017). Kampanye Bahaya Rokok dan Pendeka-tan Rasa Takut (Fear Appeal). Jurnal ASPIKOM-Jurnal Ilmu Ko-munikasi, 3 (2), 340-357.

Janis, I. L. (1967). Effects of Fear Arousal on Attitude Change: Recent Developments in Theory and Research. In Berkowitz, L. (ed.), Advances in Experimental Social Psychology (Vol. 3, pp. 167–222). New York: Academic Press.

Lewis, I. (2008). Factors Influencing the Effectiveness of Advertising Countermeasures in Road Safety. Disertasi pada Centre for Accident Research and Road Safety - Queensland (CARRS-Q) School of Psychology and Counselling Queensland University of Technology, Brisbane.

Leventhal, H. (1970). Findings and Theory in the Study of Fear Commu-nications. Dalam Berkowitz, L (ed.), Advances in Experimental Social Psychology (Vol. 5, pp. 119–186). New York: Academic Press.

___________. (1971). Fear Appeals and Persuasion: The Differentiation of a Motivational Construct. American Journal of Public Health, 61 (6), 1208–1224.

Love, B. (2009). News Media, Individual-level Traits, and Behavior Change in Fear appeal Research. Disertasi pada Media and Information Studies Michigan State University, Michigan.

McGuire, W. J. (1969). The Nature of Attitudes and Attitude Change. In Lindzey, G.L. & Aronson, E. (Eds.), The Handbook of Social Psychology (pp. 136–314). Second Edition. Reading, MA: Ad-dison-Wesley.

Mongeau, P.A. (2013). Fear Appeals. Dalam Dillard, J.P & Shen, L. (eds), The SAGE Handbook of Persuasion: Developments in Theory and Practice (pp. 184-198). Thousand Oaks, CA: Sage Publi-cation.

Millar, G. & Houska, J. (2007). Masculinity and Intention to Perform Health Behaviors: The Effectiveness of Fear Control Arguments. Journal of Behavioral Medicine, 30, 403-409.

Neuman, W. L. (1999). Social Research Methods: Qualitative and Quan-titative Approaches. Fourth Edition. Boston and New York: Pear-son Education.

Perloff, R.M. (2010). The Dynamics of Persuasion: Communication and Attitudes in the 21st Century. Fourth Edition. London: Routledge.

Rogers, R. W. (1975). A Protection Motivation Theory of Fear Appeals and Attitude Change. Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, 91 (1), 93–114.

____________. (1983). Cognitive and Physiological Processes in Fear Appeals and Attitude Change: A Revised Theory of Protection Motivation. In J. Cacioppo & R. Petty (Eds.), Social psychophys-iology (pp. 153–176). New York: Guilford.

Ruiter, R.A..C, Kessels, L.T.E., Peters, G.Y. & Kok, G. (2014). Sixty Years of Fear Appeal Research: Current State of the Evidence. Inter-national Journal of Psychology, 49 (2), 63–70.

Tannenbaum M.B., Hepler, J., Zimmerman, R.S.. Saul, L. Jacobs,S., Wil-son, K. & Albarracín, D. (2015). Appealing to Fear: A Meta-Anal-ysis of Fear Appeal Effectiveness and Theories. Psychological Bulletin, 141 (6), 1178–1204.

Tay, R., Watson, B. & Radbourne, O. (2001). The Influence of Fear Arous-al and Perceived Efficacy on the Acceptance and Rejection of Road Safety Advertising Message. Road Safety Research, Policing and Education Conference (Regain the Momentum), Melbourne.

Tobacco Control and Support Center (TCSC) IAKMI dan Departemen Kesehatan RI. (2014). Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia. Jakarta: obacco Control and Support Center – IAKMI.

Wimmer, R. D. & Dominick, J.R. (2011). Mass Media Research: An In-troduction. Ninth Edition. Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning.

Witte, K. (1993). Message and Conceptual Confounds in Fear appeals: The Role of Threat, Fear, and Efficacy. The Southern Communi-cation Journal, 58 (2), 147- 155.

_______. (1998). Fear as Motivator, Fear as Inhibitor: Using the Extend-ed Parallel Process Model to Explain Fear appeal Successes and Failures. Dalam Andersen, P.A & Guerrero, L.K. (eds.). Handbook of Communication and Emotion: Research, Theory, Applications, and Context (pp. 423-450). San Diego: Academic Press..

_______. & Allen, M. (2000). A Meta Analysis of Fear Appeals: Implica-tions for Effective Public Health Campaigns. Health Education and Behavior, 27 (5), 591-615.

_______. & Morrison, K. (2000). Examining the Influence of Trait Anxiety/Repression-Sensitization on Individuals’ Reactions to Fear Ap-peals. Western Journal of Communication, 64 (1), 1–27.

Daftar Pustaka